BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Candi Borobudur adalah salah satu karya besar nenek moyang bangsa Indonesia. Candi Borobudur merupakan candi terbesar di dunia dan sudah ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia. Candi Borobudur memerlukan pemeliharaan, perawatan dan upaya pelestarian secara khusus sesuai dengan standar pemeliharaan peninggalan warisan dunia. Salah satu bentuk pemeliharaan candi adalah dengan melakukan pemantauan (monitoring) struktur atau konstruksi bangunan candi. Pemantauan dapat dilakukan terhadap adanya kemungkinan penurunan (settlement) candi akibat beban yang ada. Salah satunya dilakukan dengan pengamatan menggunakan sipat datar pada jaring pantau vertikal candi. Pemantauan pergeseran vertikal sudah lama dilakukan sejak selesainya pemugaran candi tahun Pemantauan terus dilakukan dari tahun ke tahun dengan berbagai kendala, antara lain terjadi perubahan titik pada tahun 1991 akibat terlindas buldozer, tahun 1993 perubahan jaring sipat datar untuk memperbaiki konfigurasi dan kehandalannya. Hal ini menyebabkan sebagian data pengukuran tidak menunjuk ke titik-titik pantau yang sama. Bentuk jaring sipat datar tahun 1993 masih mempunyai kelemahan dalam hal distribusi titik pantau yang terlalu rapat. Kekurangan lainnya yaitu dalam hal pelaksanaan pengukuran yang hanya menggunakan sipat datar otomatis dan rambu biasa. Disamping itu cara pengolahan hasil ukuran hanya dengan menggunakan metode perataan sederhana beda tinggi ukuran sipat datar. Pada tahun 2002 didesain jaring sipat datar baru dengan mempertimbangkan aspek geometrik dan fisik. Kelemahan-kelemahan pada jaring sebelumnya diperbaiki pada jaring baru ini mulai dari geometri jaring, alat ukur yang digunakan, teknik pengamatan hingga pengolahan data (Ma ruf dan Djawahir, 2004). Pada penelitian ini menganalisis menggunakan jaring tersebut untuk monitoring jaring pantau vertikal. Pengukuran dengan dua alat yang berbeda dan geometri jaring yang berbeda. Pengukuran sipat datar telah dilakukan tahun 2011 dengan menggunakan

2 2 alat sipat datar otomatis dan tahun 2012 dengan menggunakan Total Station. Data pengukuran yang telah diolah dapat dilakukan analisis kualitas jaring pantau vertikal. Analisis data yang telah diperoleh ini nantinya bisa digunakan untuk membantu studi deformasi vertikal Candi Borobudur. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan kualitas jaring dapat ditinjau dari segi alat yang berbeda, cara pengukuran yang berbeda dan bentuk geometri jaring yang berbeda Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dikemukakan maka dihasilkan perumusan masalah yaitu : 1. Berapa posisi estimasi tinggi jaring kerangka pemantau vertikal Candi Borobudur kala pengamatan tahun 2011 dan 2012? 2. Berapa nilai korelasi bentuk masing-masing jaring pada halaman candi berpengaruh terhadap kekuatan geometri jaring? 3. Berapa besar pergeseran vertikal yang terdeteksi berdasarkan hasil estimasi tinggi kala pengamatan tahun 2011 dan 2012? Batasan Masalah Dalam penelitian ini pembatasan permasalahan yang ada dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: dibuat pernyataan yang lenih terukur 1. Data yang digunakan adalah ukuran sipat datar kala pengamatan tahun 2011 dengan waterpass dan tahun2012 dengan Total Station. 2. Hitung kuadrat terkecil menggunakan metode parameter minimum constraint. 3. Analisis kualitas dilakukan dengan melihat nilai simpangan baku. 4. Adanya perbedaan desain jaring antara jaring vertikal sipat datar dan dengan jaring Total Station 2011 dan 2012, maka titik-titik yang digunakan untuk analisis pergeseran adalah titik-titik yang sama terdapat pada masing-masing epok. Tujuan penelitian ini adalah: Tujuan Penelitian

3 3 1. Menentukan posisi dan ketelitian vertikal titik-titik pantau pada jaring pemantau vertikal Candi Borobudur tahun 2011 dan tahun Menentukan kualitas jaring pemantau vertikal dari analisis perhitungan dan kekuatan geometri jaring masing-masing kala pengamatan. 3. Menentukan pergeseran vertikal titik-titk pantau dari kala I dan II untuk keperluan studi deformasi. I. 5. Tinjauan Pustaka Lestari dan Widjajanti,(2000) melakukan pemantauan defomasi untuk keperluan pelestarian Candi Borobudur dengan pendekatan Geodetik pada jaring sipat datar yang terletak di kompleks Candi Borobudur. Dari data pengukuran tahun 1990 dan 1999 dilakukan penelitian untuk menentukan besar pergerakan vertikal candi, kecepatan dan percepatan pergerakannya. Proses perhitungan data dilakukan dengan menggunakan perataan kuadarat terkecil metode parameter terpisah masingmasing kala pengamatan untuk mendapatkan titik objek dan pergeseran vertikal. Hasil analisis pergeseran vertikal menunjukkan bahwa titik-titik bergerak pada halaman candi, pada lorong I dan pada lorong IV. Nilai pergeseran vertikal ke bawah terkecil pada titik 3 pada poligon di lorong V = -11,688 mm dan terbesar pada titik 11 pada poligon di lorong IV = -32,406 mm. Nilai pergeseran ke atas terkecil pada titik 26 pada poligon di lorong I = 14,906 mm dan terbesar pada titik 15 pada poligon di lorong IV = 40,594 mm. Koesumakristi, (2005) melakukan analisis deformasi vertikal berdasarkan pengukuran jaring sipat datar telah dilakukan dengan perataan secara bertahap tiap epok dengan hitung kuadrat terkecil metode parameter. Data yang digunakan adalah pengukuran beda tinggi tahun 2002, 2003 dan Hasil penelitian ini menunjukkan data yang diukur selama kurun waktu November 2002 hingga November 2003 menunjukkan bahwa candi Borobudur mengalami kenaikan rerata sebesar 2,245 mm. Selama kurun waktu November 2003 hingga November 2004 sisi Timur, Tenggara, Selatan dan Barat daya Candi Borobudur mengalami kenaikan rerata sebesar 0,815 mm sedangkan sisi lainnya relatif stabil. Selama kurun waktu November 2002 hingga November 2004 candi Borobudur secara umum mengalami kenaikan rerata sebesar 2,551 mm.

4 4 Nugroho, dkk. (2012) melakukan perhitungan terhadap beberapa titik-titik pantau vertikal tahun 2005 dan Dari hasil yang terlihat hampir semua titik pantau mengalami pergeseran vertikal. Pergeseran vertikal ini bisa disebabkan karena terjadi pergeseran pada titik-titik pantau yang bersangkutan. Adapun sebab yang lain pergeseran terjadi akibat kesalahan pengukuran. Menurut analisis yang dilakukan ada dua faktor yang menjadi penyebab yaitu faktor manusia dan faktor alat (TOPCON AT G2 auto level dan Leica Sprinter M-100). Terjadinya pergerakan dari titik-titik objek yang disebabkan oleh aktifitas manusia adalah seperti pengangkatan terhadap batu-batu candi yang merupakan tempat dimana titik-titik tersebut dipasang. Hal ini disebabkan karena terjadinya bencana alam yang menyebabkan kerusakan pada batu-batu Candi Borobudur, sehingga diadakanlah pembersihan pada bangunan candi (misalnya: Peristiwa letusan gunung Merapi pada tahun 2010 yang menyebabkan Candi Borobudur dipenuhi dengan abu vulkanik sehingga perlu dilakukan pembersihan). Faktor alat yaitu penggunaan alat ukur yang berbeda berpengaruh pada hasil pengamatan yang didapat. Pengaruh keduanya jelas terlihat adalah pada tingkat ketelitan dari data pengukuran, hal ini dapat dilihat pada hitung perataan pada masing-masing kala pengamatan yaitu dari hasil matrik V (residu), ketelitian masing-masing titik pantau dan juga pada perbedaan varian aposteorinya yang besar. Dari beberapa studi di atas perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut terhadap jaring pantau pengukuran tahun 2011 dan Pengukuran dengan alat dan bentuk geometri jaring yang berbeda yang berbeda antara tahun 2011 dan Untuk itu pada penelitian ini akan dikaji lagi analisis kualitas jaring pantau vertikal ditinjau dari hal tersebut. Dari hasil yang dihasilkan diharapkan membantu dalam menilai kualitas jaring untuk studi pergeseran vertikal. I.6. Landasan Teori I Deformasi vertikal Pengertian deformasi secara umum yaitu perubahan posisi titik, bentuk dan dimensi suatu benda secara absolut maupun relatif. Perubahan kedudukan titik secara

5 5 absolut ditinjau dari perilaku gerakan titik itu sendiri sejak titik tersebut belum bergerak, sedangkan perubahan kedudukan titik secara relatif peninjauan gerakan titik dilihat terhadap titik lainnya. Deformasi dapat terjadi karena adanya gaya yang bekerja dari luar ataupun dari dalam benda tersebut. Sesuai dengan hukum fisika, maka pada benda itu akan timbul efek reaksinya. Respon inilah yang kemudian membuat benda mengalami translasi, rotasi, deformasi linier serta dilatasi (deformasi sudut) atau bisa disebut benda mengalami deformasi. Dalam kaitannya dengan deformasi vertikal maka fokus utama terhadap respon tersebut adalah pada arah vertikal (Widjajanti, 2001). Perubahan posisi mengacu pada data acuan atau data referensi yang digunakan. Deformasi yang terjadi tidak hanya bergeser secara horizontal, namun dapat terjadi secara vertikal yang biasanya diakibatkan karena penurunan tanah, pergeseran lempeng bumi dan faktor alam yang lainnya. Analisis deformasi memerlukan waktu pemantauan / rentang / kala yang dilakukan secara periodik. Dari hasil pengukuran berulang ini akan didapatkan perbedaan koordinat titik-titik obyek. Dari titik-titik pantau hasil perhitungan dapat dilakukan evaluasi kualitas jaring yang selanjutnya bisa digunakan untuk analisis deformasi. Pemantauan dengan suatu alat yang berbeda dan bentuk geometri jaring yang berbeda dapat menententukan kualitas untuk analisis pergeseran. Salah satu pendekatan untuk analisis ini adalah hitungan yang menerapkan perataan kuadrat terkecil minimal constraint terhadap masing-masing kala pengamatan dan uji pergeseran titik. I Pengukuran Sipat Datar Pengukuran jaring pemantauan deformasi vertikal menggunakan metode sipat datar. Metode sipat datar merupakan metode penentuan beda tinggi yang paling teliti, maka metode ini biasanya dikerjakan untuk menentukan ketinggian titik-titik kerangka dasar pemetaan atau pekerjaan-pekerjaan rekayasa yang membutuhkan ketelitian yang tinggi. Istilah sipat datar di sini berarti konsep penentuan beda tinggi antara dua titik atau lebih dengan garis bidik mendatar atau horizontal yang diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau vertikal. Sedangkan alat ukurnya disebut penyipat datar atau waterpass.

6 6 Prinsip pengukuran beda tinggi dengan alat sipat datar adalah menentukan beda tinggi antara dua titik dengan menghitung selisih bacaan benang tengah rambu muka dan rambu belakang yang didirikan pada kedua titik tersebut. Berikut ini gambar prinsip pengukuran sipat datar (Gambar 1. 1). a b a Δh AB = a - b B b A Gambar I. 1. Prinsip penentuan beda tinggi dengan sipat datar (Basuki, 2006) Keterangan : A dan B : titik diatas permukaan bumi yang akan diukur beda tingginya a : bacaan benang tengah rambu di titik A b : bacaan benang tengah rambu di titik B Δh AB : beda tinggi antara titik A dan B Berdasarkan gambar (I.1) dapat dicari beda tinggi antara titik A dan B dengan persamaan: Δh AB = a b (I.1) Untuk menentukan tinggi suatu titik dengan sipat datar dibutuhkan setidaknya satu titik lain yang telah diketahui ketinggiannya (titik referensi). Dengan mengasumsikan ketinggian titik A (H A ) telah diketahui, maka ketinggian titik B (H B ) dapat dicari dengan persamaan: H B = H A + Δh AB (I.2)

7 7 Jika jarak antar titik kontrol pemetaan relatif jauh, pengukuran beda tinggi dengan penyipat datar tidak dapat dilakukan dengan satu kali berdiri alat. Oleh karena itu, antara dua buah titik kontrol yang berturutan dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu pengukurannya dibuat secara berantai (differential levelling) (Basuki, 2006). Sipat datar berantai ini juga dilakukan ketika beda tinggi antar titik terlalu terjal, karena tidak dimungkinkan untuk melakukan pengukuran beda tinggi dengan sekali berdiri alat. b 1 m 1 b 2 m 2 b 3 m 3 b n m n A 1 2 n B Gambar I. 2. Pengukuran sipat datar (Basuki, 2006) Keterangan : A dan B : titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya 1, 2, 3,... n : titik-titik bantu pengukuran m 1, m 2, m 3,...m n : bacaan rambu depan b 1, b 2, b 3,...b n : bacaan rambu belakang Pada gambar 1.2., untuk menentukan beda tinggi antara titik A dan B yang berjauhan, maka diantara kedua titik tersebut dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu yang pengukurannya dibuat secara berantai. Nilai beda tinggi antara titik A dan B merupakan jumlah total beda tinggi pada tiap slag pengukuran sepanjang lintasan antara kedua titik tersebut Dari pengukuran sipat datar berantai antara titik A dan titik B yang ditunjukkan pada Gambar I.2, nilai pengukuran Δh AB merupakan total Δh dari tiap slag dari i = 1 sampai n pada lintasan tersebut. Nilai Δh AB dapat ditentukan dengan persamaan: Δh AB = Δh A1 + Δh Δh nb Δh AB = (I.3)

8 8 Sebelum digunakan alat ukur sipat datar harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu, garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo yang merupakan syarat utama, garis arah nivo tegak lurus sumbu I, dan garis mendatar diafragma tegak lurus sumbu I (Basuki, 2006). Seperti halnya pengukuran jarak dan sudut, pengukuran beda tinggi juga tidak cukup dilakukan dengan sekali jalan, tetapi dibuat pengukuran pergi-pulang, yang pelaksanaannya dapat dilakukan dalam satu hari (seksi), serta dimulai dan diakhiri pada titik tetap. Pada pengukuran sipat datar pergi-pulang hasil pengukuran yang diperoleh harus berada pada tingkat ketelitian yang sesuai dengan tingkat ketelitian kelas. Tingkat ketelitian kelas sangat menentukan kualitas dari pengukuran sipat datar yang dihasilkan dan tingkat ketelitian kelas ini pada tahap pemilihannya disesuaikan dengan tingkat ketelitian kerangka kontrol yang akan dicapai. Berikut lima tingkatan orde pengukuran sipat datar dari yang tertinggi sampai tingkat yang terendah menurut (BSN, 2004) merupakan penjabaran kriteria untuk penempatan kelas dari standar kesalahan penutup loop hasil hitungan perataan (BSN, 2004): Pengukuran sipat datar dengan kelas pengukuran LAA yaitu pengukuran sipat datar dengan batas toleransi maksimum 2 mm* (D adalah jarak keseluruhan dari pengukuran dalam satuan km). Pengukuran sipat datar dengan kelas pengukuran LA yaitu pengukuran sipat datar dengan batas toleransi maksimum 4 mm*. Pengukuran sipat datar dengan kelas pengukuran LB yaitu pengukuran sipat datar dengan batas toleransi maksimum 8mm* D. Pengukuran sipat datar dengan kelas pengukuran LC yaitu pengukuran sipat datar dengan batas toleransi maksimum 12mm* D Pengukuran sipat datar dengan kelas pengukuran LD yaitu pengukuran sipat datar dengan batas toleransi maksimum 12mm* D atau tingkat orde 4. Pada penjelasan di atas D adalah jarak antar titik pengamat keseluruhan pada saat melakukan pengukuran sipat datar atau dapat dikatakan jarak dari keseluruhan

9 9 slag dari suatu kerangka pengukuran. Untuk mengetahui apakah pengukuran yang dilakukan telah sesuai dengan kelas yang ditentukan maka caranya adalah dengan menjumlahkan seluruh pengukuran beda tinggi maka akan didapat suatu besaran yang merupakan selisih dari harga jumlah pengukuran yang sebenarnya yaitu 0 (ΣΔh = 0) yang dapat bernilai positif maupun negatif. Maka harga inilah yang kemudian dibandingkan dengan harga yang telah didapat dari perhitungan kelas seperti yang telah dipaparkan di atas. Sehingga jika hasil mutlak dari jumlah keseluruhan pengukuran beda tinggi lebih kecil dari harga yang tertera pada kelas maka pengukuran telah masuk toleransi begitu juga sebaliknya jika hasil penjumlahan lebih besar maka pengukuran harus diulang (ΣΔh < kelas masuk toleransi). Ketelitian hasil pengukuran tinggi dapat dilihat dari kesalahan penututp hasil ukuran pergi pulang dalam seksi ataupun dalam satu kring. Ketelitian pengukuran beda tinggi pada sipat datar dan Total Station dikategorikan pada tingkatan pengukuran sipat datar tingkat yang sesuai dengan klasifikasi. Klasifikasi ditentukan oleh faktor-faktor desain jaringan, pelaksanaan pengukuran, peralatan yang digunakan, teknik hasil reduksi dan hasil hitung perataan terkendala minimal (minimal constraint). I Penentuan beda tinggi secara trigonometrik Pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometrik adalah salah satu metode penentuan beda tinggi dari satu titik ke titik yang lain. Pengamatan ini dilakukan dengan cara mengukur sudut vertikal, jarak miring/datar antar titik, tinggi instrumen serta tinggi target. Sudut miring dapat diukur dengan alat teodolit ataupun total station, sedangkan jarak dapat diukur menggunakan jarak optis ataupun EDM. Gambar 1.3. berikut ini adalah penjelasan pengukuran beda tinggi cara trigonometrik (Basuki, 2006).

10 10 Gambar I. 3. Pengukuran cara trigonometrik Keterangan Gambar I.3. P : tempat berdiri alat Q : titik yang diamat SD : jarak miring (slope distance) HD : jarak mendatar (horizontal distance) V : jarak vertikal antara sumbu II teropong dengan pusat reflektor ih : tinggi instrumen di atas titik P th : tinggi target di atas titik Q h PQ : beda tinggi antar PQ α : sudut vertikal Dari gambar 1.3. diketahui bahwa : V = SD sin α (1.4) Beda tinggi antara titik P dan Q dapat dihitung dengan persamaan (1) berikut : h PQ = ih + V th (1.5) Jika ketinggian titik P (H P ) diketahui, dan tinggi titik Q (H Q ) adalah besaran yang dicari, maka besaran ukuran dapat dihitung sebagai berikut h PQ = H Q - H P (1.6)

11 11 I Hitung Kuadrat Terkecil Metode Parameter Metode hitung perataan kuadarat terkecil adalah metode perhitungan yang digunakan untuk mencari suatu nilai akhir sehingga jumlah kuadrat dari residual minimum. Residual adalah beda antara ukuran dengan nilai hasil hitungan. Dalam metode kuadrat terkecil, dikenal beberapa metode yang untuk kepraktisannya mudah digunakan dan mudah untuk dimengerti. Metode kuadrat terkecil tersebut diantaranya adalah metode kuadrat terkecil dengan menggunakan bantuan parameter yang nantinya metode ini disebut sebagai metode parameter. Pada metode ini, harus dicari sejumlah parameter (besaran yang belum diketahui nilainya) yang masing-masing parameter yang dicari adalah independent. Setelah parameternya ditentukan selanjutnya ditentukan hubungan masing-masing ukuran dengan parameter-parameter tersebut. Perlu diketahui bahwa pada suatu pengukuran pasti dihinggapi dengan kesalahan dan kesalahan inilah yang membuat suatu pengukuran berbeda dengan ukuran sebenarnya. Pada metode ini residual (V) dan ukuran terkoreksi (La) dimodelkan sebagai fungsi matematika yaitu (Hadiman, 2001) : La = L + V (1. 7) V = n A u u X 1 + n F 1 (1. 8) X = - ( A t P A ) -1 ( A t P F ) (1. 9) (1. 10) Σ x = ( A t P A ) -1 (1. 11) Keterangan: La : Ukuran terkoreksi L : Nilai pengukuran n : Jumlah pengukuran u : Jumlah parameter r (n-u) : derajad kebebasan V : Matriks kolom yang sering disebut sebagai vektor residual dengan banyaknya elemen sejumlah pengukuran (n)

12 12 A X F Σ x P : Matriks koefisien parameter berbentuk empat segi panjang dengan baris merupakan pengukuran dan kolom merupakan parameter : Matrik parameter : Vektor sisa : Varian aposteori : Matrik kovarian parameter : Bobot Pengukuran I Evaluasi hitung perataan. Rank suatu matriks didefinisikan sebagai dimensi tertinggi dari suatu matriks sehingga determinannya tidak nol. Suatu matriks bujur sangkar beronde n dikatakan mempunyai kekurangan rank bila matriks tersebut memiliki rank lebih kecil dari m. Kekurangan rank (rank deficiency) ini merupakan selisih dari dimensi matriks tersebut dengan rank matriks itu sendiri. Hitung perataan berkendala minimum (minimum constrain adjustment) adalah hitung perataan dengan jumlah unsur yang diketahui (referensi) sebanyak kekurangan rank nya. Dalam kaitannya dengan aplikasi di bidang Geodesi, kekurangan rank disebabkan karena belum terdefinisikan sistem koordinat (Soeta at, 1996). Matriks yang mempunyai kekurangan rank merupakan matriks singular yang tidak bisa diinversikan. Kekurangan rank atau rank deficiency disebabkan oleh belum terdefinisinya sistem koordinat. Pada sistem koordinat 1D, misalnya sipat datar, ada kekurangan rank sebanyak satu, sehingga sistem koordinat 1D terdefinisi dengan menentukan satu titik sebagai referensi (tinggi). Pada sistem koordinat 2D, misalnya kontrol horizontal, ada kekurangan rank sebanyak empat, sehingga sistem koordiant 2D terdefinisi bila ada empat unsur yang dipakai sebagai referensi. Sehingga yang dimaksud dengan perataan dengan kendala minimal (minimal constraint adjusment) adalah perataan dengan jumlah unsur yang diketahui (referensi) sebanyak kekurangan rank-nya (Soeta at, 1996)

13 13 I Bobot pengukuran. Bobot suatu pengukuran merupakan perbandingan ketelitian antara besaran-besaran yang diukur. Besaran pengukuran yang didapat dari suatu pengukuran mempunyai tingkat ketelitian yang berbeda oleh karena itu dalam perhitungannya harus diberikan suatu nilai besaran (bobot pengukuran) yang sesuai dengan harga ketelitian dari suatu pengamatan (Hadiman, 1991). Bobot yang baik pada hitungan kuadrat terkecil akan menghasilkan varian akhir ( o 2 ) yang bersesuaian dengan varian awalnya (σ 2 o ) (Mikhail dan Gracie, 1981). Sedangkan estimasi varian (σ 2 o ) yang kurang tepat akan mengakibatkan estimasi bobot pengukuran yang kurang tepat (Soeta at, 1996). Bobot dari pengukuran tunggal dapat didefinisikan sebagai satuan yang berbanding terbalik dengan varian pengukuran (σ 2 x ), sehingga: P =. (I.12) Dalam hal ini k adalah konstanta sebagai pembanding nilai pengamatan. Bila suatu pengamatan mempunyai bobot yang sama dengan satu (P = 1) dan nilai varian pengukuran sama dengan varian apriori (σ 2 o ), maka: 1 = (I. 13) ini: Dari kedua persamaan (1.12) dan (1.13) akan diperoleh persamaan di bawah P = (I. 14) Dalam hal ini: 2 σ o 2 σ x : varian apriori : varian pengukuran Pada saat pengukuran tidak saling berkorelasi sehingga matriks varian kovarian pengukuran merupakan suatu matriks diagonal, yaitu: Σ L -1 = (I. 15)

14 14 Dalam hal ini: Σ L 2 σ x : matriks varian kovarian pengukuran : varian pengukuran ke n Dari persamaan di atas didapatkan hubungan bobot pengukuran dengan pengukuran adalah: P 1 = σ 2 o / σ 2 1, P 2 = σ 2 o / σ 2 2,..., P n = σ 2 2 o / σ n Diperoleh matriks bobot P: P = (I.16) Dari persamaan akan menjadi : P = σ o 2 (I.17) Jika dituliskan dalam bentuk notasi persamaan menjadi : P = σ o 2 Σ L -1 (I. 18) Pengukuran beda tinggi dilakukan dengan membaca bacaan rambu depan dan bacaan rambu belakang. Apabila pada setiap pengukuran diterapkan prosedur pengaturan alat yang sama, maka dapat diasumsikan bahwa α a dan α b memunyai ketelitian yang sama yang dinyatakan dengan σ α. Jika rambu depan dan rambu belakang yang digunakan mempunyai jenis yang sama, maka diasumsikan pembacaan rambu depan dan rambu belakang mempunyai ketelitian yang sama, dengan ketelitian σ β. Dari penjelasan tersebut, selanjutnya bobot seperjarak dan sepervarian dikembangkan dari persamaan: 2 σ Δhn = 2nD 2 (σ 2 α + σ 2 β ) (I. 19)

15 15 Apabila jarak D tiap slag pengamatan, jumlah slag pengamatan n dibuat sama dan prosedur pengaturan alat yang diterapkan sama, maka nd(σ 2 α + σ 2 β ) dianggap sebagai konstanta k bagi semua pengukuran slag, sedangkan 2nD adalah panjang lintasan keseluruhan antara dua titik adalah S, sehingga: σ 2 n = σ 2 Δhn = 2nDk = Sk (I. 20) Untuk k = 1, σ Δhn 2 = S, maka: P = = (I. 21) Dari pengukuran total station bobot ditentukan menggunakan sepervarian pengukuran dari tinggi alat/ instrument (ti), tinggi ferlektor(t r ), sudut miring (SD) dan beda tinggi/ vertikal (h). Varian pada Total Station diperoleh : = + sin 2 α + SD 2 cos 2 α + (1. 22) Dalam hal ini; : varian beda tinggi titik PQ : varian sudut vertikal : varian tinggi instrumen : varian tinggi target : varian jarak miring (SD) Sehingga bobot seperjarak dan sepervarian dapat ditulis: Ps = (I. 23) Pt = (1.24) Dalam hal ini:

16 16 Ps : bobot pengukuran sipat datar Pt : bobot pengukuran total station S n : jarak antara dua titik yang diukur beda tingginya I Evaluasi hasil hitung perataan. Pengamatan besaran ukuran secara berulang, akan diperoleh data pengamatan yang bervariasi nilainya. Variasi hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pengamatan mengandung kesalahan yang secara alamiah terkandung di dalamnya. Untuk mengetahui bahwa hasil pengamatan di lapangan tidak mengandung kesalahan tak acak maka nilai varian dan koreksi ukuran hasil pengamatan dilakukan pengujian secara statistik untuk daerah kepercayaan tertentu. Selanjutnya pada hitung kuadrat terkecil, kesalahan pengamatan diasumsikan mengikuti sebaran normal, benar atau tidaknya asumsi tersebut perlu diuji dengan uji statistik. Uji statistik yang digunakan adalah Pope s Tau (τ). Menurut Pope, varian pengukuran yang sebenarnya sulit untuk diketahui (Caspary, 2000). Di dalam teorinya, Pope menyebutkan bahwa perbandingan koreksi pengamatan dengan simpangan baku pengukuran harus mendekati hasil formula derajat kebebasan seperti pada persamaan berikut ini : Ti = = ~ τ (r) (1. 25) τ (r) = (1. 26) Dalam hal ini : Vi : koreksi pengamatan ke-i : matriks varian kovarian residual r : derajat kebebasan t : nilai table t H o pada τ tes mengasumsikan bahwa seluruh pengukuran telah terdistribusi normal. Sehingga residual ekspetasi adalah nol, karena tidak ada kesalahan kasar. Alternatif hipotesis adalah Ha, apabila H o ditolak. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Pope H o ditolak berdasarkan nilai berikut ini :

17 17 Ti > τ (α/2) (1. 27) Dan sebaliknya, diterima apabila Ti < τ (α/2) (1.28) Penolakan H o disebabkan masih ada kesalahan kasar (gross error) pada persamaan pengukuran. Melalui test τ, data snooping secara tidak langsung telah dilakukan, hal ini dikarenakan dengan metode tersebut nilai residual masing-masing pengukuran langsung diketahui. I.6.5. Analisis kualitas jaring Kualitas jaringan geodesi sangat ditentukan oleh kualitas data pengukuran. Kualitas bisa ditunjukkan dari hasil matriks varian kovarian parameter (Σ xx ). Nilai varian dapat diperoleh dari elemen diagonal utama matriks varian kovarian. Melihat elemen diagonal utama matris varian kovarian bisa diperoleh nilai varian. Akar dari varian diperoleh simpangan baku parameter terkoreksi yang menunjukkan informasi ketelitian. Nilai simpangan baku menunjukkan presisi titik pada jaring. Penetuan presisi dilakukan dengan cakupan tidak seluruh jaringan tetapi presisi koordinat satu titik dan bisa diperoleh dari matriks varian kovarian. Kemudian melalui varian dan kovarian hubungan antar titik bisa dilihat dari nilai korelasi (r) untuk menilai kehandalan jaringan, menjelaskan bagaimana jaringan bereaksi terhadap bias yang kecil dari pengukuran, yaitu menunjukkan ketahanan jaringan terhadap besarnya kesalahan kasar yang tidak terdeteksi pada pengukuran. Matriks varian kovarian titik/station pengukuran mengandung semua informasi tentang kepresisian hasil estimasi titik. Semakin kecil nilai variannya, semakin baik presisi titiknya. Informasi korelasi antara dua titik menunjukan bahwa semakin kecil nilainya korelasi semakin lemah korelasi antar kedua titik tersebut. Dari matriks varian kovarian di atas, dapat dihitung nilai standart deviasi dan interval kepercayaan dari koordianta hasil estimasi. Jika nilai varian apriori diketahui, maka Ho akan mengikuti distribusi normal sedangkan jika digunakan nilai varian aposteori maka akan mengikuti kurva distribusi t- student.

18 18 I Evaluasi kualitas posisi. Ukuran yang dilakukan berulangkali diukur dengan menggunakan suatu alat ukur tertentu, kemudian diolah dengan proses sama dikenakan pada alat lain yang sama juga dilakukan secara berulang-ulang, maka akan dihasilkan dua ketelitian dan dua parameter hasil ukuran tersebut. Untuk menguji kepresisian dan akurasi ketelitian titik dua kelompok sampel tersebut dapat digunakan uji Fisher untuk menguji presisi parameternya, dan uji-τ untuk menguji akurasi parameternya. Uji presisi titik. Uji Fisher (F-test) dapat digunakan untuk menguji kesesuaian varian antara dua kelompok sampel yang berdistribusi normal. Dengan menggunakan distribusi F (Fisher) dapat dilakukan uji kesamaan antara rata-rata varian tinggi hasil hitungan perataan kuadrat terkecil pertama dengan rata-rata varian tinggi hasil hitungan perataan kuadrat terkecil kedua. Distribusi F dapat dirumuskan sebagai berikut : F = (I.30) Pengujian dilakukan dengan nilai kesesuaian antara hasil hitungan dengan suatu nilai yang diharapkan. Kriteria pengujiannya adalah Ho diterima jika nilai berdasarkan nilai berikut : < F < F f1, f2,α/2 (I.31) Dimana: f1 : derajat kebebasan untuk pembilang f2 : derajat kebebasan untuk penyebut Apabila hipotesis diterima (H o ), menunjukkan bahwa titik tersebut mempunyai presisi yang hampir sama atau tidak berbeda secara signifikan. Sebaliknya, apabila hipotesis ditolak (H a ) maka titik tersebut mempunyai presisi ketelitian yang berbeda secara signifikan. Uji akurasi titik. Selain uji τ untuk satu pihak, terdapat uji τ yang digunakan untuk menguji secara komparatif suatu parameter dari dua metode hasil hitung

19 19 perataan. Hipotesis nol diterima apabila dipenuhi besaran kriteria pada persamaan (I.32) berikut ini (Soeprapto, 2005) : (I.32) Dalam hal ini : : Nilai parameter metode satu : Nilai parameter metode dua : Nilai varian dari parameter metode satu : Nilai varian dari parameter metode dua Hiptesis nol ( H o ) diterima berdasarkan nilai berikut ini : τ (1-α/2) < τi < τ (α/2) (I.33) Apabila hipotesis nol (H o ) diterima maka nilai akurasi parameter metode satu tidak berbeda secara signifikan dengan akurasi parameter metode dua. Alternatif hipotesis Ha, apabila H o ditolak, yaitu nilai parameter metode satu berbeda secara signifikan dengan parameter metode dua. I Evaluasi Kekuatan Geometri Jaring. Evaluasi kekuatan geometri jaring dengan menggunakan nilai korelasi antar titik. Soetaat, (1996) menjelaskan mengenai ill condition system yaitu adanya kondisi yang sakit yang bisa digunakan untuk menganalisis jaring yang digunakan.hal ini umumnya terjadi karena kondisi jaringan (strength of figure) yang kurang baik. Bisa dilihat dari nilai koefisien antar parameter yang dihitung dari : r 12 (1.34 ) Dimana : r 12 = korelasi antara parameter 1 dan parameter 2 q 12 = Nilai kovarian q 1, q 2 = niai simpangan baku masing-masing parameter Nilai r yang mendekati +1 atau -1 merupakan indikator adanya ill condition system. Seharusnya adanya kondisi ini sudah terdeteksi pada waktu optimasi atau perencanaan jaringan. Sebab cara mengatasi kondisi ini hanya bisa dilakukan dengan

20 20 merubah bentuk jaring atau mungkin juga bisa dengan menambah pengukuran. Dalam hal ini untuk menge cek lagi apakah di dalah pengukuran yang dilakukan korelasinya bagus ataiu tidak. Dari uji korelasi akan tampak korelasi data hasil hitungan dari pengukuran yang sudah dilakukan Analisis pergeseran vertikal Penentuan pergeseran vertikal adalah besarnya perubahan tinggi dari suatu titik yang diukur dari dua kala pengamatan yang berbeda. Analisis untuk mengetahui besarnya pergerakan vertikal ini dilakukan dengan analisis pergeseran. Perbedaan tinggi titik dari semua titik pantau beserta ketelitiannya untuk masing-masing epoch dapat dihitung dengan hitung kuadrat terkecil metode parameter. Hasil pengamatan dari masing-masing epoch dapat dituliskan sebagai model hubungan seperti ditunjukkan pada persamaan berikut ini (Yulaikhah, 2004): V i = AX i + F i untuk epoch ke-i V i+1 = AX i+1 + F i+1 untuk epoch ke-i+1 (1.35) Dimana nilai X i dan X i+1 diperoleh dari hitung kuadrat terkecil metode parameter, sehingga vektor pergeseran d dapat dihitung dari selisih nilai perameter dua buah epoch pengamatan yang berbeda yaitu : di = X i+1 - X i (1.36) Untuk menentukan parameter pergeseran dan menganalisis ada tidaknya pergeseran pada titik-titik pantau, dilakukan hitungan analisis pergeseran pada titik yang sama. Data yang digunakan dalam hitung analisis pergeseran vertikal adalah nilai pergeseran titik dengan simpangan baku masing-masing titik. Untuk mengetahui adanya pergeseran atau tidak pada titik pantau maka disini digunakan Uji Tau : (1.37) Dimana : di : vektor pergeseran x1 : nilai pengamatan 1

21 21 x2 : nilai pengamatan 2 : simpangan baku 1 : simpangan baku 2 Pengujian ini adalah untuk memastikan bahwa besaran yang dimodelkan benar-benar diterima secara statistik. Untuk menghitung nilai τ i (nilai hitung t) setiap data pengamatan menggunakan persamaan (I.38) berikut ini : (I.38) Dimana : : Koreksi pengamatan ke-i : Simpangan baku koreksi ke-i (akar dari elemen diagonal matriks Σ vv ) Hipotesis nol (H o ) pada τ-tes mengasumsikan bahwa seluruh pengukuran telah terdistribusi normal. Sehingga residual ekspetasi adalah nol, karena tidak ada kesalahan kasar. Alternatif hipotesis adalah Ha, apabila H o ditolak. Sehubungan dengan hal tersebut, H o diterima berdasarkan nilai berikut ini : τ (1-α/2) < τi < τ (α/2) (I.37) Apabila hipotesis diterima (H o ), menunjukkan bahwa titik ke-i tidak mengalami pergeseran dan sebaliknya, apabila hipotesis ditolak (H a ) maka titik tersebut mengalami pergeseran Hipotesis Berdasarkan hasil studi pustaka dan dasar teori yang ada, maka hipotesis penelitian ini adalah: - Pengukuran sipat datar tahun 2011 lebih teliti dari pengukuran Total Station Bentuk jaring 2012 lebih baik dari 2011 dilihat dari bentuk geometri jaring. - Terjadi pergeseran posisi vertikal berdasarkan data pengukuran dua periode.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sebagai salah satu situs warisan budaya dunia, Candi Borobudur senantiasa dilakukan pengawasan serta pemantauan baik secara strukural candi, arkeologi batuan candi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Candi Borobudur sebagai sebuah peninggalan bersejarah bagi bangsa Indonesia sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Salah satu bentuk antisipasi pencegahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Candi Borobudur adalah bangunan yang memiliki nilai historis tinggi. Bangunan ini menjadi warisan budaya bangsa Indonesia maupun warisan dunia. Candi yang didirikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan peradaban masa lampau yang sangat megah. Peninggalan peradaban masa lampau tersebut masih dapat dinikmati hingga

Lebih terperinci

I.3. Pertanyaan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat tiga pertanyaan penelitian :

I.3. Pertanyaan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat tiga pertanyaan penelitian : BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai beraneka ragam budaya. Hal ini nampak dari adanya berbagai macam suku, bahasa, rumah adat, dan tarian daerah

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI METODE PENGUKURAN STABILITAS CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT

STUDI EVALUASI METODE PENGUKURAN STABILITAS CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT STUDI EVALUASI METODE PENGUKURAN STABILITAS CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT Oleh Joni Setyawan, S.T. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur ABSTRAK Candi Borobudur sebagai sebuah peninggalan bersejarah bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bendungan atau dam adalah konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Salah satu dari bendungan di Indonesia, yaitu

Lebih terperinci

STUDI PENERAPAN MODEL KOREKSI BEDA TINGGI METODE TRIGONOMETRI PADA TITIK-TITIK JARING PEMANTAU VERTIKAL CANDI BOROBUDUR DENGAN TOTAL STATION

STUDI PENERAPAN MODEL KOREKSI BEDA TINGGI METODE TRIGONOMETRI PADA TITIK-TITIK JARING PEMANTAU VERTIKAL CANDI BOROBUDUR DENGAN TOTAL STATION Studi Penerapan Model Koreksi Beda Tinggi Metode Trigonometri... (Rosalina) STUDI PENERAPAN MODEL KOREKSI BEDA TINGGI METODE TRIGONOMETRI PADA TITIK-TITIK JARING PEMANTAU VERTIKAL CANDI BOROBUDUR DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bendungan adalah suatu bangunan penampung air yang dibentuk dari berbagai batuan dan tanah. Air yang dibendung akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pengukuran dalam geodesi dapat diaplikasikan untuk pemantauan terhadap kemungkinan pergeseran pada suatu obyek. Pemantauan pergeseran dilakukan terusmenerus dalam

Lebih terperinci

5/16/2011 SIPAT DATAR. 1

5/16/2011 SIPAT DATAR.   1 SIPAT DATAR www.salmanisaleh.wordpress.com 1 2 www.salmanisaleh.wordpress.com 1 THEODOLIT 3 APA YG DIHASILKAN DARI SIPAT DATAR 4 www.salmanisaleh.wordpress.com 2 5 6 www.salmanisaleh.wordpress.com 3 7

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PT. Adaro Indonesia merupakan salah satu perusahaan tambang batubara yang menerapkan sistem tambang terbuka dengan metode strip mine. Penambangan secara terbuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bendungan adalah suatu bangunan penampung air yang dibentuk dari berbagai batuan, tanah dan juga beton. Bendungan dibangun untuk menahan laju air, sehingga menjadi

Lebih terperinci

PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR

PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR Survei dan Pengukuran APA YG DIHASILKAN DARI SIPAT DATAR 2 1 3 4 2 5 3 KONTUR DALAM ILMU UKUR TANAH Kontur adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik yang berketinggian

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 21 Analisis Regresi Perubahan nilai suatu variabel tidak selalu terjadi dengan sendirinya, namun perubahan nilai variabel itu dapat disebabkan oleh berubahnya variabel lain yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Tinjauan Umum Deformasi

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Tinjauan Umum Deformasi BAB II TEORI DASAR 2.1 Tinjauan Umum Deformasi Deformasi adalah perubahan bentuk, posisi, dan dimensi dari suatu benda (Kuang,1996). Berdasarkan definisi tersebut deformasi dapat diartikan sebagai perubahan

Lebih terperinci

Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten

Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten Jurnal Integrasi Vol. 8, No. 1, April 2016, 50-55 p-issn: 2085-3858 Article History Received February, 2016 Accepted March, 2016 Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan

Lebih terperinci

Prinsip Kuadrat Terkecil

Prinsip Kuadrat Terkecil Prinsip Kuadrat Terkecil Dari suatu pengukuran yang tidak saling bergantung (independent): d1, d2, d3, d4,..., dn. Dari pengukuran tersebut dapat dicari nilai rata-rata (d) yang merupakan nilai yang paling

Lebih terperinci

Bab 2 LANDASAN TEORI

Bab 2 LANDASAN TEORI 17 Bab 2 LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Matriks 2.1.1 Definisi Matriks Matriks adalah suatu kumpulan angka-angka yang juga sering disebut elemen-elemen yang disusun secara teratur menurut baris dan kolom sehingga

Lebih terperinci

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika Tugas 1 Survei Konstruksi Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB Krisna Andhika - 15109050 TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2012 Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis Korelasi adalah metode statstika yang digunakan untuk menentukan

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis Korelasi adalah metode statstika yang digunakan untuk menentukan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Defenisi Analisis Regresi dan Korelasi 1. Analisis Korelasi adalah metode statstika yang digunakan untuk menentukan kuatnya atau derajat hubungan linier antara dua variabel atau

Lebih terperinci

BAB ΙΙ LANDASAN TEORI

BAB ΙΙ LANDASAN TEORI 7 BAB ΙΙ LANDASAN TEORI Berubahnya nilai suatu variabel tidak selalu terjadi dengan sendirinya, bisa saja berubahnya nilai suatu variabel disebabkan oleh adanya perubahan nilai pada variabel lain yang

Lebih terperinci

Jaring kontrol vertikal dengan metode sipatdatar

Jaring kontrol vertikal dengan metode sipatdatar Standar Nasional Indonesia Jaring kontrol vertikal dengan metode sipatdatar ICS 3524070 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isii Prakata iii 1 Ruang lingkup 1 2 Istilah dan definisi 1 3 Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengecekan Kualitas Data Observasi Dengan TEQC Kualitas dari data observasi dapat ditunjukkan dengan melihat besar kecilnya nilai moving average dari multipath untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebelum pembahasan mengenai irisan bidang datar dengan tabung lingkaran tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut. A. Matriks Matriks adalah himpunan skalar (bilangan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan 7 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Defenisi Analisis Regresi dan Korelasi 1. Analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan kuatnya atau derajat hubungan linier antara dua variabel

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Model Regresi Linier Ganda

TINJAUAN PUSTAKA. Model Regresi Linier Ganda TINJAUAN PUSTAKA Model Regresi Linier Ganda Hubungan antara y dan X dalam model regresi linier umum adalah y = X ß + e () dengan y merupakan vektor pengamatan pada peubah respon (peubah tak bebas) berukuran

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. digunakan sebagai konsep statistik pada tahun 1877 oleh Sir Francis Galton. Dia

BAB 2 LANDASAN TEORI. digunakan sebagai konsep statistik pada tahun 1877 oleh Sir Francis Galton. Dia 10 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Regresi Dalam ilmu statistika teknik yang umum digunakan untuk menganalisa hubungan antara dua variabel atau lebih adalah analisa regresi linier. Regresi pertama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Analisis regresi adalah suatu metode analisis data yang menggambarkan

TINJAUAN PUSTAKA. Analisis regresi adalah suatu metode analisis data yang menggambarkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Regresi Analisis regresi adalah suatu metode analisis data yang menggambarkan hubungan fungsional antara variabel respon dengan satu atau beberapa variabel prediktor.

Lebih terperinci

L A P O R A N K A J I A N

L A P O R A N K A J I A N L A P O R A N K A J I A N PENGEMBANGAN METODE PENGUKURAN DEFORMASI VERTIKAL DAN HORISONTAL CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT Disusun oleh : Brahmantara, S.T Joni Setiyawan, S.T Yenny Supandi, S.Si Ajar Priyanto

Lebih terperinci

BAB II METODE ANALISIS DATA. memerlukan lebih dari satu variabel dalam membentuk suatu model regresi.

BAB II METODE ANALISIS DATA. memerlukan lebih dari satu variabel dalam membentuk suatu model regresi. 10 BAB II METODE ANALISIS DATA 2.1 Pengertian Regresi Berganda Banyak data pengamatan yang terjadi sebagai akibat lebih dari dua variabel, yaitu memerlukan lebih dari satu variabel dalam membentuk suatu

Lebih terperinci

dimana, Ba = Benang atas (mm) Bb = Benang bawah (mm) Bt = Benang tengah (mm) D = Jarak optis (m) b) hitung beda tinggi ( h) dengan rumus

dimana, Ba = Benang atas (mm) Bb = Benang bawah (mm) Bt = Benang tengah (mm) D = Jarak optis (m) b) hitung beda tinggi ( h) dengan rumus F. Uraian Materi 1. Konsep Pengukuran Topografi Pengukuran Topografi atau Pemetaan bertujuan untuk membuat peta topografi yang berisi informasi terbaru dari keadaan permukaan lahan atau daerah yang dipetakan,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Regresi Linier Sederhana Dalam beberapa masalah terdapat dua atau lebih variabel yang hubungannya tidak dapat dipisahkan karena perubahan nilai suatu variabel tidak selalu terjadi

Lebih terperinci

TEORI SIPAT DATAR (LEVELLING)

TEORI SIPAT DATAR (LEVELLING) POKOK BAHASAN : TEORI SIPAT DATAR (LEVELLING) Prinsip penentuan beda tinggi; Jenis Peralatan Sipat Datar: Dumpy Level, Tilting level, Automatic Level; Bagian Alat; Mengatur Alat : garis arah niveau, garis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. apa yang akan dipakai pakai, karena dengan hal itu akan mepermudah penelitian,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. apa yang akan dipakai pakai, karena dengan hal itu akan mepermudah penelitian, 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Dalam penyusunan penelitian seorang peneliti harus menentukan metode apa yang akan dipakai pakai, karena dengan hal itu akan mepermudah penelitian,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. : Ukuran sampel telah memenuhi syarat. : Ukuran sampel belum memenuhi syarat

BAB II LANDASAN TEORI. : Ukuran sampel telah memenuhi syarat. : Ukuran sampel belum memenuhi syarat BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uji Kecukupan Sampel Dalam melakukan penelitian ini yang berhubungan dengan kecukupan sampel maka langkah awal yang harus dilakukan adalah pengujian terhadap jumlah sampel. Pengujian

Lebih terperinci

Bab 2 LANDASAN TEORI

Bab 2 LANDASAN TEORI 9 Bab 2 LANDASAN TEORI 21 Uji Kecukupan Sampel Dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan kecukupan sampel maka langkah awal yang harus dilakukan adalah pengujian terhadap jumlah sampel Pengujian

Lebih terperinci

MATEMATIKA DASAR TAHUN 1987

MATEMATIKA DASAR TAHUN 1987 MATEMATIKA DASAR TAHUN 987 MD-87-0 Garis singgung pada kurva y di titik potong nya dengan sumbu yang absisnya positif mempunyai gradien 0 MD-87-0 Titik potong garis y + dengan parabola y + ialah P (5,

Lebih terperinci

Pengukuran Tachymetri Untuk Bidikan Miring

Pengukuran Tachymetri Untuk Bidikan Miring BAB XII Pengukuran Tachymetri Untuk Bidikan Miring Metode tachymetri didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding. Kebanyakan pengukuran tachymetri

Lebih terperinci

(A) 3 (B) 5 (B) 1 (C) 8

(A) 3 (B) 5 (B) 1 (C) 8 . Turunan dari f ( ) = + + (E) 7 + +. Turunan dari y = ( ) ( + ) ( ) ( + ) ( ) ( + ) ( + ) ( + ) ( ) ( + ) (E) ( ) ( + ) 7 5 (E) 9 5 9 7 0. Jika f ( ) = maka f () = 8 (E) 8. Jika f () = 5 maka f (0) +

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN 3.1 Persiapan Persiapan menjadi salah satu kegiatan yang penting di dalam kegiatan penelitian tugas akhir ini. Tahap persiapan terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu : 3.1.1

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Alat Ukur GPS GPS (Global Positioning System) adalah sistem radio navigasi menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat, untuk menentukan posisi, kecepatan

Lebih terperinci

DESKRIPSI PEMELAJARAN

DESKRIPSI PEMELAJARAN DESKRIPSI PEMELAJARAN MATA DIKLAT : Matematika TUJUAN : Melatih berfikir dan bernalar secara logis dan kritis serta mengembangkan aktifitas kreatif dalam memecahkan masalah dan mengkomunikasikan ide/gagasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Matriks adalah suatu susunan bilangan berbentuk segi empat. Bilangan-bilangan

TINJAUAN PUSTAKA. Matriks adalah suatu susunan bilangan berbentuk segi empat. Bilangan-bilangan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Matriks 2.1.1 Matriks Matriks adalah suatu susunan bilangan berbentuk segi empat. Bilangan-bilangan dalam susunan itu disebut anggota dalam matriks tersebut. Suatu

Lebih terperinci

Sipat datar / Levelling/ Waterpassing

Sipat datar / Levelling/ Waterpassing Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Sipat datar / Levelling/ Waterpassing Nursyamsu Hidayat, Ph.D. 2 Sipat datar Bertujuan menentukan beda tinggi antara titiktitik

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Vektor Pergeseran Titik Pengamatan Gunungapi Papandayan

BAB IV ANALISIS 4.1 Vektor Pergeseran Titik Pengamatan Gunungapi Papandayan BAB IV ANALISIS Koordinat yang dihasilkan dari pengolahan data GPS menggunakan software Bernese dapat digunakan untuk menganalisis deformasi yang terjadi pada Gunungapi Papandayan. Berikut adalah beberapa

Lebih terperinci

SURVEYING (CIV-104) PERTEMUAN 4-5 : METODE PENGUKURAN SIPAT DATAR

SURVEYING (CIV-104) PERTEMUAN 4-5 : METODE PENGUKURAN SIPAT DATAR SURVEYING (CIV-104) PERTEMUAN 4-5 : METODE PENGUKURAN SIPAT DATAR UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224 Pendahuluan Beda tinggi adalah perbedaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari data, baik itu bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Apabila dikumpulkan data dari seluruh elemen dalam suatu populasi,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Matriks 2.1.1 Definisi Matriks Matriks adalah suatu kumpulan angka-angka yang juga sering disebut elemen-elemen yang disusun secara teratur menurut baris dan kolom sehingga

Lebih terperinci

Matematika EBTANAS Tahun 1986

Matematika EBTANAS Tahun 1986 Matematika EBTANAS Tahun 986 EBT-SMA-86- Bila diketahui A = { x x bilangan prima < }, B = { x x bilangan ganjil < }, maka eleman A B =.. 3 7 9 EBT-SMA-86- Bila matriks A berordo 3 dan matriks B berordo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Matriks Matriks adalah himpunan bilangan real yang disusun secara empat persegi panjang, mempunyai baris dan kolom dengan bentuk umum : Tiap-tiap bilangan yang berada didalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan hasil tinjauan pustaka tentang definisi, konsep, dan teori-teori yang terkait dengan penelitian ini. Adapun pustaka yang dipakai adalah konsep perambatan

Lebih terperinci

Bab 2 LANDASAN TEORI. : Ukuran sampel telah memenuhi syarat. : Ukuran sampel belum memenuhi syarat

Bab 2 LANDASAN TEORI. : Ukuran sampel telah memenuhi syarat. : Ukuran sampel belum memenuhi syarat Bab 2 LANDASAN TEORI 2.1. Uji Kecukupan Sampel Dalam melakukan penelitian ini yang berhubungan dengan kecukupan sampel maka langkah awal yang harus dilakukan adalah pengujian terhadap jumlah sampel. Pengujian

Lebih terperinci

MIKHO HENRI DARMAWAN Ir.CHATARINA N,MT DANAR GURUH.ST,MT

MIKHO HENRI DARMAWAN Ir.CHATARINA N,MT DANAR GURUH.ST,MT STUDI KEANDALAN ALAT ETS TKS 202 DALAM PENGUKURAN SITUASI PENYUSUN : MIKHO HENRI DARMAWAN 3504 100 020 DOSEN PEMBIMBING : DOSEN PEMBIMBING : Ir.CHATARINA N,MT DANAR GURUH.ST,MT Latar Belakang.Perkembangan

Lebih terperinci

BAB III REGRESI PADA DATA SIRKULAR

BAB III REGRESI PADA DATA SIRKULAR BAB III REGRESI PADA DATA SIRKULAR Variabel dalam suatu regresi secara umum terdiri atas variabel bebas (independent variable dan variabel terikat (dependent variable. Jenis data pada variabel-variabel

Lebih terperinci

DURASI PEMELAJARAN KURIKULUM SMK EDISI 2004

DURASI PEMELAJARAN KURIKULUM SMK EDISI 2004 DESKRIPSI PEMELAJARAN MATA DIKLAT TUJUAN : MATEMATIKA : Melatih berfikir dan bernalar secara logis dan kritis serta mengembangkan aktifitas kreatif dalam memecahkan masalah dan mengkomunikasikan ide/gagasan

Lebih terperinci

Tabel 1 Sudut terjadinya jarak terdekat dan terjauh pada berbagai kombinasi pemilihan arah acuan 0 o dan arah rotasi HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 Sudut terjadinya jarak terdekat dan terjauh pada berbagai kombinasi pemilihan arah acuan 0 o dan arah rotasi HASIL DAN PEMBAHASAN sudut pada langkah sehingga diperoleh (α i, x i ).. Mentransformasi x i ke jarak sebenarnya melalui informasi jarak pada peta.. Melakukan analisis korelasi linier sirkular antara x dan α untuk masingmasing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkembangnya jaman yang semakin maju dan modern turut dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Hal tersebut dapat dilihat secara nyata

Lebih terperinci

MATEMATIKA. Sesi TRANSFORMASI 2 CONTOH SOAL A. ROTASI

MATEMATIKA. Sesi TRANSFORMASI 2 CONTOH SOAL A. ROTASI MATEMATIKA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN TRANSFORMASI A. ROTASI Rotasi adalah memindahkan posisi suatu titik (, y) dengan cara dirotasikan pada titik tertentu sebesar sudut tertentu.

Lebih terperinci

Tujuan Khusus. Tujuan Umum

Tujuan Khusus. Tujuan Umum Tujuan Umum Tujuan Khusus Mahasiswa memahami arti Kerangka Kontrol Horizontal (KKH) Mahasiswa memahami cara pengukuran, cara menghitung, cara koreksi dari suatu pengukuran polygon baik polygon sistem terbuka

Lebih terperinci

SOAL-SOAL dan PEMBAHASAN UN MATEMATIKA SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 2011/2012

SOAL-SOAL dan PEMBAHASAN UN MATEMATIKA SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SOAL-SOAL dan PEMBAHASAN UN MATEMATIKA SMA/MA IPA TAHUN PELAJARAN 0/0. Akar-akar persamaan kuadrat x +ax - 40 adalah p dan q. Jika p - pq + q 8a, maka nilai a... A. -8 B. -4 C. 4 D. 6 E. 8 BAB III Persamaan

Lebih terperinci

BAB VII PENGUKURAN JARAK OPTIS

BAB VII PENGUKURAN JARAK OPTIS BAB VII PENGUKURAN JARAK OPTIS Pengukuran jarak optis termasuk dalam pengukuran jarak tidak Iangsung, jarak disini didapat melalui proses hitungan. Pengukuran jarak optis dilakukan dengan alat ukut theodolit,

Lebih terperinci

( ) 2. Nilai x yang memenuhi log 9. Jadi 4x 12 = 3 atau x = 3,75

( ) 2. Nilai x yang memenuhi log 9. Jadi 4x 12 = 3 atau x = 3,75 Here is the Problem and the Answer. Diketahui premis premis berikut! a. Jika sebuah segitiga siku siku maka salah satu sudutnya 9 b. Jika salah satu sudutnya 9 maka berlaku teorema Phytagoras Ingkaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Analisis regresi (regressison analysis) merupakan suatu teknik untuk membangun persamaan

BAB II LANDASAN TEORI. Analisis regresi (regressison analysis) merupakan suatu teknik untuk membangun persamaan BAB II LANDASAN TEORI 21 Konsep Dasar Analisis Regresi Analisis regresi (regressison analysis) merupakan suatu teknik untuk membangun persamaan dan menggunakan persamaan tersebut untuk membuat perkiraan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Regresi pertama kali digunakan sebagi konsep statistika pada tahun 1877 oleh sir Francis Galton.

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Regresi pertama kali digunakan sebagi konsep statistika pada tahun 1877 oleh sir Francis Galton. BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Regresi Regresi pertama kali digunakan sebagi konsep statistika pada tahun 1877 oleh sir Francis Galton. Beliau memperkenalkan model peramalan, penaksiran, atau pendugaan,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENGARUH VARIASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA SMP NEGERI 3 PEKALONGAN

BAB IV ANALISIS PENGARUH VARIASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA SMP NEGERI 3 PEKALONGAN BAB IV ANALISIS PENGARUH VARIASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA SMP NEGERI 3 PEKALONGAN A. Analisis Variasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 3 Pekalongan

Lebih terperinci

P E N G U K U R A N S I P A T D A T A R

P E N G U K U R A N S I P A T D A T A R P E N G U K U R A N S I P A T D A T A R GLOSARIUM. Rata-rata permukaan laut atau datum : tinggi permukaan laut dalam keadaan tenang yang dinyatakan dengan elevasi atau ketinggian sama dengan nol. Beda

Lebih terperinci

UJIAN NASIONAL Tahun Pelajaran 2011/2012 SOAL TEORI KEJURUAN

UJIAN NASIONAL Tahun Pelajaran 2011/2012 SOAL TEORI KEJURUAN DOKUMEN NEGARA UJIAN NASIONAL Tahun Pelajaran 2011/2012 SOAL TEORI KEJURUAN Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kompetensi Keahlian : Teknik Survei dan Pemetaan Kode Soal : 1014 Alokasi

Lebih terperinci

UJIAN NASIONAL Tahun Pelajaran 2011/2012 SOAL TEORI KEJURUAN

UJIAN NASIONAL Tahun Pelajaran 2011/2012 SOAL TEORI KEJURUAN DOKUMEN NEGARA UJIAN NASIONAL Tahun Pelajaran 2011/2012 SOAL TEORI KEJURUAN Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kompetensi Keahlian : Teknik Survei dan Pemetaan Kode Soal : 1014 Alokasi

Lebih terperinci

Hitung Perataan Kuadrat Terkecil (Least Squares Adjustment)

Hitung Perataan Kuadrat Terkecil (Least Squares Adjustment) Hitung Perataan Kuadrat Terkecil (Least Squares Adjustment) Metoda Kuadrat Terkecil adalah salah satu metoda yang paling populer dalam menyelesaikan masalah hitung perataan. Aplikasi pertama perataan kuadrat

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Dalam bab ini diuraikan beberapa tinjauan pustaka sebagai landasan teori pendukung penulisan penelitian ini. 2.1 Analisis Regresi Suatu pasangan peubah acak seperti (tinggi, berat)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. B. Tujuan Praktikum

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. B. Tujuan Praktikum BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pengukuran merupakan penentuan besaran, dimensi, atau kapasitas, biasanya terhadap suatu standar atau satuan pengukuran atau dapat dikatakan juga bahwa pengukuran adalah

Lebih terperinci

Matematika EBTANAS Tahun 1991

Matematika EBTANAS Tahun 1991 Matematika EBTANAS Tahun 99 EBT-SMA-9-0 Persamaan sumbu simetri dari parabola y = 8 x x x = 4 x = x = x = x = EBT-SMA-9-0 Salah satu akar persamaan kuadrat mx 3x + = 0 dua kali akar yang lain, maka nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu tahapan dalam pengadaan jaring kontrol GPS adalah desain jaring. Desain jaring digunakan untuk mendapatkan jaring yang optimal. Terdapat empat tahapan dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data merupakan sekumpulan

BAB II LANDASAN TEORI. Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data merupakan sekumpulan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Data Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data merupakan sekumpulan datum yang berisi fakta-fakta serta gambaran suatu fenomena yang dikumpulkan, dirangkum, dianalisis, dan

Lebih terperinci

PROFIL MEMANJANG. Program Studi D3/D4 Teknik Sipil ITS. Mata Kuliah : Ilmu Ukur Tanah

PROFIL MEMANJANG. Program Studi D3/D4 Teknik Sipil ITS. Mata Kuliah : Ilmu Ukur Tanah 3.1.3. PERHITUNGAN PROFIL MEMANJANG Program Studi D3/D4 Teknik Sipil ITS Mata Kuliah : Ilmu Ukur Tanah Pengantar Sebagai Bagian dari Sipat Datar, Sipat Datar profil memanjang bertujuan Mengetahui Ketinggian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram kotak garis

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram kotak garis TINJAUAN PUSTAKA Diagram Kotak Garis Metode diagram kotak garis atau boxplot merupakan salah satu teknik untuk memberikan gambaran tentang lokasi pemusatan data, rentangan penyebaran dan kemiringan pola

Lebih terperinci

Transformasi Geometri Sederhana. Farah Zakiyah Rahmanti 2014

Transformasi Geometri Sederhana. Farah Zakiyah Rahmanti 2014 Transformasi Geometri Sederhana Farah Zakiyah Rahmanti 2014 Grafika Komputer TRANSFORMASI 2D Transformasi Dasar Pada Aplikasi Grafika diperlukan perubahan bentuk, ukuran dan posisi suatu gambar yang disebut

Lebih terperinci

LATIHAN SOAL PROFESIONAL

LATIHAN SOAL PROFESIONAL LATIHAN SOAL PROFESIONAL 1. Jika 7 x = 8; maka 7 +x =. A. 686 B. 512 C. 4 D. 256 E. 178 7 x = 2 (7 x ) = 2 7 x = 2 7 x+ = 7. 7 x = 7. 2 = 4. 2 = 686 2. Panjang sisi miring segitiga siku-siku sama kaki

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r) BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Kalibrasi Kamera Analisis kalibrasi kamera didasarkan dari hasil percobaan di laboratorium dan hasil percobaan di lapangan. 4.1.1. Laboratorium Dalam penelitian ini telah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Deret Fourier Dalam bab ini akan dibahas mengenai deret dari suatu fungsi periodik. Jenis fungsi ini sering muncul dalam berbagai persoalan fisika, seperti getaran mekanik, arus

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Analisis regresi (regression analysis) merupakan suatu teknik untuk membangun

BAB 2 LANDASAN TEORI. Analisis regresi (regression analysis) merupakan suatu teknik untuk membangun BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Regresi Analisis regresi (regression analysis) merupakan suatu teknik untuk membangun persamaan dan menggunakan persamaan tersebut untuk membuat perkiraan (prediction).

Lebih terperinci

2.1 Soal Matematika Dasar UM UGM c. 1 d d. 3a + b. e. 3a + b. e. b + a b a

2.1 Soal Matematika Dasar UM UGM c. 1 d d. 3a + b. e. 3a + b. e. b + a b a Soal - Soal UM UGM. Soal Matematika Dasar UM UGM 00. Jika x = 3 maka + 3 log 4 x =... a. b. c. d. e.. Jika x+y log = a dan x y log 8 = b dengan 0 < y < x maka 4 log (x y ) =... a. a + 3b ab b. a + b ab

Lebih terperinci

1. Sebuah kawat yang panjangnya 10 meter akan dibuat bangun yang berbentuk 3 persegi panjang kongruen seperti pada gambar di bawah.

1. Sebuah kawat yang panjangnya 10 meter akan dibuat bangun yang berbentuk 3 persegi panjang kongruen seperti pada gambar di bawah. 1. Sebuah kawat yang panjangnya 10 meter akan dibuat bangun yang berbentuk 3 persegi panjang kongruen seperti pada gambar di bawah. Luas maksimum daerah yang dibatasi oleh kawat tersebut adalah... 3,00

Lebih terperinci

MODUL TEORI ESTIMASI ATAU MENAKSIR TEORI ESTIMASI ATAU MENAKSIR

MODUL TEORI ESTIMASI ATAU MENAKSIR TEORI ESTIMASI ATAU MENAKSIR TEORI ESTIMASI ATAU MENAKSIR MODUL 9 TEORI ESTIMASI ATAU MENAKSIR. Pendahuluan Untuk menginginkan mengumpulkan populasi kita lakukan dengan statistik berdasarkan data yang diambil secara sampling yang

Lebih terperinci

Pengaruh Sudut Vertikal Terhadap Hasil Ukuran Jarak dan Beda Tinggi Metode Trigonometris Menggunakan Total Station Nikon DTM 352

Pengaruh Sudut Vertikal Terhadap Hasil Ukuran Jarak dan Beda Tinggi Metode Trigonometris Menggunakan Total Station Nikon DTM 352 Pengaruh Sudut Vertikal Metode Trigonometris - Parseno & Yulaikhah 149 Pengaruh Sudut Vertikal Terhadap Hasil Ukuran Jarak dan Beda Tinggi Metode Trigonometris Menggunakan Total Station Nikon DTM 35 Parseno

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan secara matematis untuk meratakan kesalahan (koreksi), kemudian

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan secara matematis untuk meratakan kesalahan (koreksi), kemudian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ilmu ukur tanah (Plane Surveying) adalah ilmu yang mempelajari tentang pengukuran-pengukuran pada sebagian permukaan bumi guna pembuatan peta serta memasang kembali

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data tenaga kerja, PDRB riil, inflasi, dan investasi secara berkala yang ada di kota Cimahi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Perkembangan teknologi dalam survey pemetaan pada masa kini berkembang sangat cepat. Dimulai dengan alat - alat yang bersifat manual dan konvensional, sekarang banyak

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Himpunan Fuzzy Tidak semua himpunan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari terdefinisi secara jelas, misalnya himpunan orang miskin, himpunan orang pandai, himpunan orang tinggi,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Linear Definisi 2.1.1 Matriks Matriks A adalah susunan persegi panjang yang terdiri dari skalar-skalar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk berikut: [ ] Definisi 2.1.2

Lebih terperinci

PREDIKSI UAN MATEMATIKA SESUAI KISI-KISI PEMERINTAH

PREDIKSI UAN MATEMATIKA SESUAI KISI-KISI PEMERINTAH PREDIKSI UAN MATEMATIKA SESUAI KISI-KISI PEMERINTAH. Apabila P dan q kalimat pernyataan, di mana ~p q kalimat bernilai salah, maka kalimat yang benar berikut ini, kecuali (d) p q (~p ~q) (~p ~q) ~ (~p

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

Transformasi Datum dan Koordinat

Transformasi Datum dan Koordinat Transformasi Datum dan Koordinat Sistem Transformasi Koordinat RG091521 Lecture 6 Semester 1, 2013 Jurusan Pendahuluan Hubungan antara satu sistem koordinat dengan sistem lainnya diformulasikan dalam bentuk

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL SOAL. SOAL PILIHAN GANDA A. Berilah tanda silang (X) paad huruf a, b, c, d, e sesuai dengan pilihan jawaban yang paling tepat!

KUMPULAN SOAL SOAL. SOAL PILIHAN GANDA A. Berilah tanda silang (X) paad huruf a, b, c, d, e sesuai dengan pilihan jawaban yang paling tepat! KUMPULAN SOAL SOAL APROKSIMASI KESALAHAN SOAL PILIHAN GANDA A. Berilah tanda silang (X) paad huruf a, b, c, d, e sesuai dengan pilihan jawaban ang paling tepat!. Banakna angka sinifikan dari bilangan,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Matriks 2.1.1 Definisi Matriks Matriks adalah suatu kumpulan angka-angka yang juga sering disebut elemenelemen yang disusun secara teratur menurut baris dan kolom berbentuk

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada BAB III ini akan dibahas mengenai pengukuran kombinasi metode GPS dan Total Station beserta data yang dihasilkan dari pengukuran GPS dan pengukuran Total Station pada

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS SPEKTRAL PADA RUNTUN WAKTU MODEL ARIMA. Analisis spektral adalah metode yang menggambarkan kecendrungan osilasi

BAB III ANALISIS SPEKTRAL PADA RUNTUN WAKTU MODEL ARIMA. Analisis spektral adalah metode yang menggambarkan kecendrungan osilasi BAB III ANALISIS SPEKTRAL PADA RUNTUN WAKTU MODEL ARIMA Analisis spektral adalah metode yang menggambarkan kecendrungan osilasi atau getaran dari sebuah data pada frekuensi tertentu. Analisis spektral

Lebih terperinci

4. SISTEM PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN

4. SISTEM PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN 4. SISTEM PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN 4.1 Persamaan Garis a. Bentuk umum persamaan garis Garis lurus yang biasa disebut garis merupakan kurva yang paling sederhana dari semua kurva. Misalnya titik A(2,1)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Biplot Biasa

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Biplot Biasa TINJAUAN PUSTAKA Analisis Biplot Biasa Analisis biplot merupakan suatu upaya untuk memberikan peragaan grafik dari matriks data dalam suatu plot dengan menumpangtindihkan vektor-vektor dalam ruang berdimensi

Lebih terperinci