BAB III PEMODELAN DENGAN METODE VOLUME HINGGA 3.1 Teori Dasar Metode Volume Hingga Computational fluid dynamic atau CFD merupakan ilmu yang mempelajari tentang analisa aliran fluida, perpindaan panas dan fenomena yang berubungan dengannya seperti reaksi kimia dengan menyelesaikan persamaan matematika dan menggunakan bantuan simulasi komputer. Persamaan-persamaan aliran fluida dapat dideskripsikan dengan persamaan differensial parsial yang tidak dapat dipecakan secara analitis kecuali dengan kasus yang spesial. Seinggadibutukan suatu metode pendekatan untuk menentukan suatu asil. Perbedaan tingkat akurasi eksperimen dengan CFD adala jika data eksperimen, tingkat akurasi akan bergantung pada alat yang digunakan. Sedangkan akurasi dari solusi numerik, dalam al ini adala CFD bergantung pada kualitas diskretisasi yang digunakan. CFD disusun berdasarkan algoritma numerik yang mampu untuk mengatasi masala aliran fluida. Komponenkomponen yang dibutukan dalam algoritma numerik adala model matematika dan metode diskretisasi [4]. Langka awal dalam menyusun algoritma numerik adala model matematika. Model matematika digunakan untuk mendeskripsikan aliran fluida dengan menentukan persamaan differensial parsial dan kondisi batas dari suatu prediksi aliran fluida. Persamaan umum dari aliran fluida yang merepresentasikan model matematika didapatkan dari tiga prinsip utama, yaitu [5]: 1. Hukum kekekalan massa (persamaan kontinuitas),. Hukum II Newton (persamaan momentum), 3. Hukum kekekalan energi (persamaan energi). Setela menentukan model matematika, arus dipili metode diskretisasi yang cocok dengan kata lain sebua metode dari pendekatan persamaan differensial dengan sistem persamaan aljabar. Untuk menentukan sebua solusi 33
34 pendekatan numerik, digunakan metode diskretisasi persamaan differensial dengan sistem persamaan aljabar yang dapat dipecakan dengan komputer. Ada beberapa metode pendekatan, yaitu finite difference metod, finite element metod, dan finite volume metod. Sala satu metode yang sering digunakan dalam analisa CFD adala finite volume metod. Metode volume ingga mula-mula dikembangkan dari formulasi special finite difference. Metode volume ingga menggunakan bentuk integral dari persamaan umum untuk dilakukan diskretisasi persamaan. Solusi dibagi ke dalam sejumla control volume yang beringga, dan persamaan umum yang tela didiskretisasi diaplikasikan pada tiap control volume. Titik pusat tiap control volume merupakan nodal komputasi pada variabel yang diitung [4]. Untuk kasus satu dimensi dapat digambarkan seperti Gambar 3.1 yang merepresentasikan pembagian domain ke dalam control volume yang beringga dan notasi yang biasa digunakan. Titik nodal diidentifikasikan dengan P. Dan titik nodal didekatnya di sebela barat dan timur diidentifikasi dengan W dan E. Titik permukaan control volume di sisi barat ditunjukkan dengan w dan di sisi timur dengan e. Jarak antara nodal W dan P, dan antara P dan E diidentifikasi dengan δx WP dan δx PE. Sedangkan jarak antara titik permukaan control volumew dengan titik nodal P, dan antara titik nodal P dengan titik permukaan control volumee dinotasikan dengan δx wp dan δx Pe. Panjang control volume adala δx we. (a) (b) Gambar 3.1(a) Pembagian control volume 1 dimensi, (b) Panjang control volume[5]
35 Kasus difusi aliran steady dianggap sebagai conto dari diskretisasi persamaan. Persamaan umum didapat dari persamaan penguba umum dari sifat memberikan: 0 div grad S Integral dari control volume merupakan kunci dari metode volume ingga yang membedakannya dari teknik CFD yang lain. Persamaan umum diintegralkan teradap control volume untuk mengasilkan persamaan diskretisasi titik nodal P. CV 0 div grad dv S dv CV d d d d dv SdV A A SV 0 dx dx dx dx (3.1) V V e w Disini A adala luas bidang normal dari permukaan control volume. Sedangkan adala rata-rata sumber S dari control volume. Persamaan (3.1) mendeskripsikan bawa flux difusi dari yang meninggalkan permukaan control volume timur dikurangi flux difusi dari yang memasuki permukaan control volume barat adala sama dengan pembangkitan dari keduanya,dengan kata lain, ini merupakan persamaan kesetimbangan dari seluru control volume. Untuk mengitung gradien pada permukaan control volume, digunakan pendekatan distribusi antara titik nodal yang digunakan. Pendekatan linear merupakan cara yang paling sederana untuk mengitung nilai pada permukaan control volume. d E P A eae dx e xpe (3.) d P W A waw dx w xwp (3.3)
36 Dalam situasi praktisnya, sumber S diberikan fungsi dari variabel yang dicari. Dalam kasus ini, metode volume ingga memperkirakan sumber dengan bentuk linier: SV Su SPP (3.4) Seingga dengan substitusi persamaan (3.), (3.3), dan (3.4) ke dalam persamaan (3.1) memberikan: E P P W eae waw Su SP P xpe xwp 0 (3.5) Dan persamaan (3.5) dapat disusun kembali menjadi: A A S A A S x x x x e w w e e w P P w W e E u PE WP WP PE (3.6) Persamaan (3.6) dapat disusun kembali dengan koefisien-koefisien dari W dan E adala a W dan a E, seingga persamaan (3.6) di atas menjadi: a a a S (3.7) P P W W E E u dimana, a E x e PE A e a W x w WP A w ap aw ae SP Persamaan (3.7) tersebut merupakan persamaan diskretisasi yang dapat dipakai pada tiap control volume[3]. Penggunaan metode dalam mendapatkan persamaan diskretisasi pada kasus 1 dimensi dapat dengan muda diperluas ke dalam kasus dimensi.control volume yang digunakan untuk pembagian grid seperti ditunjukkan pada Gambar 3.. Dalam tambaannya nodal yang
37 bersebelaan dengan titik nodal P tidak anya E dan W, akan tetapi juga mempunyai utara (N) dan selatan (S). N W P E Δy S Δx Gambar 3. Grid Dimensi [5] Sedangakan untuk kasus 3 dimensi sebua cell dan nodal yang bersebelaan digambarkan pada Gambar 3.3. Sebua cell berisi titik nodal P yang akan diidentifikasi dan memiliki 6 nodal yang bersebelaan yang diidentifikasi sebagai west, east, sout, nort, bottom dan top (W, E, S, N, B, T). Seperti sebelumnya notasi w, e, s, n, b, dan t digunakan untuk mengacu pada permukaan control volume sebela barat, timur, selatan, utara, bawa dan atas. T W P N E Δz z y S x B Δy Δx Gambar 3.3 Grid 3 Dimensi [5]
38 3. Formulasi Permasalaan 3..1 Kasus I Permukaan Smoot1 Dimensi No-Slip a. Formulasi permasalaan: Kontak sliding dimodelkan dengan infinite widt journal bearing yaitu lebar bearing diasumsikan tak ingga, seingga gradien kecepatan fluida dan tekanan anya berpengaru pada ara x. Journal bearing dimodelkan dalam ketebalan film pelumas yang sederana seperti pada Gambar 3.4, dimana dua permukaan membentuk sudut tertentu. Pada bearing ini ketebalan film memisakan dua permukaan.ketinggian fluida ini merupakan fungsi dari (Pers.3 dan Pers.4). Permukaan atas adala permukaan (ousing) yang merupakan permukaan yang diam. Sedangkan permukaan bawa adala permukaan 1 (saft) yaitu permukaan yang bergerak dengan kecepatan U 1. ousing z x Permukaan (ousing) r Permukaan 1 (saft) U1 R Gambar 3.4 Skema ketebalan filminfinite widt journal bearing b. Tujuan: Software FLUENT digunakan untuk menganalisa sistem pelumasan.selanjutnya dilakukan validasi asil peritungan software FLUENT dengan MATLAB.
39 c. Pendekatan solusi: Pemodelan matematis menggunakan persamaan Reynolds klasik (Pers..19) 1 dimensi yaitu 3 p 6U 1 x x x (3.8) 3.. Kasus II Permukaan Smoot Dimensi No-Slip(Reynolds Classic) a. Formulasi permasalaan: Disini lebar bearing mempunyai ukuran tertentu (tidak infinity) seingga ketebalan film pada ara y juga diperitungkan.gambar 3.5 menunjukan ketebalan film journal bearing dalam dimensi. ousing r Gambar 3.5 Ketebalan film journal bearing dalam dimensi b. Tujuan: Dengan menggunakan kondisi batas seperti yang tela diterangkan pada sub bab.4.e, maka bisa didapatkan perbedaan performansi pelumasan setiap kondisi batas seingga bisa diketaui kondisi batas mana yang cocok dengan kondisi aktual.
40 c. Pendekatan solusi: Pada kasus ini menggunakan Pers. Reynolds dua dimensi seperti pada Pers..19, dengan mengilangkan nilai U, persamaan maka didapatkan 3 p p 3 6U 1 x x y y x (3.9) 3..3 Kasus III Permukaan Smoot Dimensi dengan Slipdengan menggunakan Navier Slip Model a. Formulasi permasalaan: Sebua pola eterogen dari slip/no-slip diaplikasikan pada permukaan.pada area ini dipertimbangkan terjadinya slip. Efek yang diinginkan adala aliran fluida pertama mengalami slip kemudian keluar pada daera no-slip. Slip terjadi sepanjang daeralsdan ditunjukkan pada Gambar 3.6. ws seperti yang z Permukaan (ousing) x Permukaan 1 (saft) U1 R (a) (b) Gambar 3.6 (a) Film pelumas journal bearing (b) Pola slip/no-slip pada permukaan ousing
41 b. Tujuan: Dengan adanya pemberian polaslip/no-slip, ada beberapa al yang ingin diketaui antara lain: 1. Efek pemberian slip teradap performansi pelumasan. Aplikasi penempatan daera slip 3. Pengaru panjang daera slip c. Pendekatan solusi: Slip anya akan terjadi pada area dimana permukaan ousing ataupun poros (saft) yang tela diperlakukan. Ketikapersyaratan ini dipenui maka diasilkan kecepatan slip, dengan faktor proporsionalitas untuk ousing dan s untuk poros. Konstanta α disebut sebagai koefisien slip dan bernilai selalu positif. Kondisi batas yang digunakan adala: u v pada z 0, u U s ; v s z z 0 z z 0 u v pada z, u ; v z z z z Persamaan Reynold Isoviskos -D diturunkan dari bentuk sederana persamaan Navier-Stokes yang mengasumsikan sebua aliran laminar dengan mengabaikan efek inersia pada lapisan film: p u x z z p v y z z p 0 z (3.10) Langka pertama adala mengintegralkan persamaan (3.10) diatas sebanyak dua kali teradap z untuk mendapatkan persamaan kecepatan.
4 Untuk ara x u z 1 p x 1 p x u Z C1Z C u u z U U C C z 0 1s 1 s 1 u 1 p u z C1 U z x C 1 s 1 p U1 C1 x s s s p C U1 x s s Dengan memasukkan koefisien ke dalam persamaan kecepatan: 1 p U p x s x s 1 u z z U1 p s( ) x s s Solusi untuk penyelesaian v sangat mirip. Satu-satunya perbedaan yaitu nilai C s C1 karena tidak ada kecepatan dalam ara y. 1 p p s p v Z Z y y s y s
43 Kecepatan ini digunakan untuk mengitung debit aliran. Ketika dimasukkan ke dalam persamaan kontinuitas, persamaan Reynolds yang tela dimodifikasi didapatkan: q x q y x y 0 q x 1 x s 3 p 4 s 1 s u dz x1 x 0 s U q y 3 p 4 s 1 s vdz 1 y 0 s 3 p 4 s 1 s x1 x s 3 p 4 s 1 s y1 y s U 1 x s (3.11) Modifikasi persamaan Reynolds (3.11) adala persamaan yang mengatur untuk pelumasan sistem cairan. Jika koefisien slipsama dengan nol maka kondisi batas diatas menjadi kasus no-slipmaka persamaan (3.11) menjadi persamaan Reynolds klasik.
44 Didefinisikan variabel universal D dan F untuk menjelaskan fenomena kavitasi pada journal bearing di daera yang tidak aktif dimana tekanan yang terjadi konstan, yaitu D p, F 1 D 0 (3.1) Pada daera yang aktif (0-180 ). D r, F 0 D 0 (3.13) Pada daera yang tidak aktif. Dimana r didefinisikan sebagai / 0, adala densitas campuran pelumas-gas dan 0 minyak [1]. adala densitas 3..4 Kasus IV Permukaan Kasar Dimensi dengan Slip a. Formulasi permasalaan: Pemberian kekasaran permukaan atau permukaan bertekstur pada permukaan yang mengalami kontak secara eksperimen tela menunjukkan keuntungan yang bermanfaat []. Pada umumnya ada dua kemungkinan pemodelan untuk kekasaran permukaan, yaitu: 1. Pemodelan berdasarkan persamaan Reynolds. Model ini secara umum diaplikasikan pada permukaan bertekstur secara keseluruan dan permukaan bertekstur sebagian.. Pemodelan berdasarkan persamaan Navier-Stokes. Model ini digunakan ketika persamaan Reynolds pada kasus tertentu tidak valid untuk permodelan kontak yang bertekstur. Hal ini disebabkan karena pengaru gaya inersia dari kontak permukaan bertekstur sepenunya atau bertekstur sebagian.
45 Validitas persamaan Reynolds ditentukan ole beberapa parameter dari geometri kekasaran permukaan. Gambar 3.7 menjelaskan secara dasar bentuk dan geometri dari permukaan yang bertekstur. Gambar 3.7 Bentuk single texture pada permukaan yang kasar [] Ada beberapa parameter yang digunakan dalam menentukan validitas persamaan Reynolds, T didefinisikan sebagai perbandingan antara panjang dimple l dan panjang permukaan bertekstur D l C, panjang dimple relatif S didefinisikan sebagai perbandingan antara kedalaman dimple D dengan ketebalan film F, dan parameter terakir adala dimple aspect ratio didefinisikan sebagai perbandingan antara panjang dimple dengan kedalaman dimple D. Dobrica dan Fillon [6] mempelajari tentang validitas persamaan Reynolds dengan menggunakan l D T yang dijaga konstan sebesar 0.5 dan panjang dimple relatif S juga dijaga konstan sebesar 1.0. Nilai tersebut dipili karena sering digunakan dalam teori pembelajaran tentang permukaan yang bertekstur. Akurasi dari persamaan Reynolds dievaluasi menggunakan perbedaan relatif antara model persamaan Reynolds dengan model persamaan Navier-Stokes. Persamaan Reynolds valid ketika perbedaan relatif yang diasilkan kurang dari 10 persen. Perbedaan relatif sebagai fungsi bilangan Re dan ditunjukkan pada Gambar 3.8.
46 Gambar 3.8 Berbagai region validitas Reynolds teradap persamaan Navier- Stokes [6] Dari Gambar 3.8 menjelaskan adanya 3 region yang menjelaskan tentang karakteristik validitas persamaan Reynolds, sebagai berikut: (1) Region I, persamaan Reynolds tidak dapat diaplikasikan karena perbandingan ketebalan film dengan fitur panjangnya sangat kecil. Dan efek inersia kecil maka persamaan Stokes tepat pada daera ini. () Region II, dimana efek inersia sangat berpengaru dan dibutukan dalam peritungan. (3) Region III, dimana efek inersia sangat kecil. Seingga persamaan Reynolds valid digunakan pada daera ini. Pada kasus permukaan kasar dipili region III dimana persamaan Reynolds masi valid jika digunakan. Permukaan kasar diberikan pada permukaan yang diam (ousing). Gambar 3.9 menunjukan bentuk satu cell kekasaran permukaan (ara circumferensial). Dimensi dari kekasaran permukaan yaitu: a. Kedalaman dimple ara circumferensial (ara x) 0, 4cdan kedalaman dimple ara aksial (ara y) 0,4c. Dy Dx
47 b. Panjang dimple circumferensial l 00 aksial l 00. Dy Dy Dx Dx dan panjang dimple c. Panjang cell circumferensial l l dan panjang cell aksial x Dx l y l. Dy Seingga, x 0.5, y 0.5, λx 00 dan λ y 00. Gambar 3.9 Bentuk satu cell kekasaran permukaan (ara circumferensial) b. Tujuan: Dengan memberikan kekasaran buatan pada permukaan, ada beberapa al yang ingin diketaui antara lain: 1. Efek pemberian kekasaran teradap performansi pelumasan.. Perbandingan pengaru pemberian kekasaran dengan pemberian slip. c. Pendekatan solusi: Fungsi ketinggian film agar diasilkan kekasaran berbentuk persegi didekati menggunakan deret Fourier (pada ara x ataupun y) sebagai berikut Dx Dx x 1 3 x 1 95 x F sin sin sin ldx 3 ldx 95 l Dx (3.14)
48 Pendekatan deret fourier dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 3.10 Pendekatan deret Fourier [9] Pada studi ini digunakan suku penamba, A n sebanyak 48 yaitu mulai dari 1 x 1 3 x 1 95 x sin, sin sampai sin. Dasar pemilian suku ini l l l 1 Dx 3 Dx 95 Dx ditunjukkan pada Gambar 3.11, dari gambar simulasi terliat bawa dengan semakin banyak suku penamba maka akan membuat profil kekasaran semakin mendekati bentuk persegi. Profil kekasaran juga dipengarui ole jumla grid, semakin besar jumla grid maka akan diasilkan profil yang semakin mendekati persegi. Jumla grid yang digunakan pada Gambar 3.11 adala 80x80. a. An = 1 b. An = 4 c. An = 36 d. An = 48 Gambar 3.11 Pengaru suku penamba An teradap profil kekasaran
49 3.3 Diskretisasi Persamaan Umum Sebua formulasi control volume digunakan dalam diskretisasi persamaan umum. Untuk kasus infinite widt journal bearing, control volume diasumsikan sebagai kasus 1 Dimensi. Karena gradien P teradap ara y dan z sama dengan nol, dengan kata lain variabel tidak bergantung teradap ara y dan z. Dalam al ini, panjang grid tiap control volume adala seragam, yaitu sepanjang Δx. Control volume digambarkan sebagai berikut: Gambar 3.1Control volume nodal P pada infinite widt journal bearing [4] Persamaan umum sesuai dengan persamaan yang didapat pada subbab sebelumnya, persamaan (3.8). Persamaan umum diintegralkan seluru control volume. e w p K dx 6U Cdx x x x e 1 w e w e 3 p dx 6U1 dx w x x x (3.16) Dimana K dan C adala variabel untuk menyederanakan persamaan (3.16) dan didefinisikan sebagai berikut: K 3 C
50 Seingga integral persamaan umum menjadi: p p K K 6U C C 1 e w xe x w p p p p K K 3U C C x x E P P W e w 1 E W p p p x x x P E W K K K K 3U C C e w e w 1 W E ap pp ae pe aw pw Sc (3.17) a E K K K E E P E x KE KP K a W K K K W W P W x KW KP K Sc 3U 1 C C W E (3.18) Karena nilai K merupakan fungsi dari x, maka untuk menjaga kontinuitas nilai K dari batas permukaan control volume dievaluasi berdasarkan armonic mean [7]. Persamaan 3.17 tersebut merupakan persamaan diskretisasi yang dapat dipakai pada tiap control volume untuk kasus infinite widt journal bearing.tabel 3.1 menunjukan diskretisasi persamaan umum untuk semua kasus.
51 Tabel 3.1 Diskretisasi persamaan umum semua kasus No Kasus Persamaan Matematis Diskretisasi Variabel diskretisasi 1 Permukaan Smoot 1 Dimensi No-Slip Permukaan Smoot Dimensi No-Slip (Reynolds Classic) 3 Permukaan Smootdan Kasar Dimensi dengan Slip dengan menggunakan Navier Slip Model 3 p 6U 1 x x x 3 p p 3 6U 1 x x y y x 3 p 4 s 1 s x1 x s 3 p 4 s 1 s y1 y s U x s 3 ap pp ae pe aw pw Sc K a p a p a p P P E E W W a p a p S N N S S c a p a p a p P P E E W W a p a p S N N S S c K C Sc 3U C C W E K 3 C Sc 3U C C y W E 4 1 s C s 3 s s Sc 3U C C y W E
5 3.4 Flowcart Pemrograman 3.4.1 FlowcartReynolds Klasik tanpa Kavitasi Mulai Membuat Grid Mengitung koefisien pada persamaan Reynolds Memasukkan kondisi batas awal TDMA semua baris dari awal sampai akir TDMA semua kolom dari awal sampai akir Tidak Konvergensi nilai tekanan Presidual 10-6 Ya Mengitung Parameter Performansi Selesai Gambar 3.13 Flowcart pemrograman untuk Reynolds classic
53 Gambar 3.13. menggambarkan langka-langka untuk pemogramannumerik untuk model yang digunakan adala Reynolds klasik tanpa kavitasi. Langka awal dalam pembuatan kode pemrograman adala dengan membuat grid, yaitu kasus dibagi menjadi beberapa nodal yang akan dilakukan komputasi. Langka selanjutnya adala mengitung koefisien persamaan Reynolds yang tela dilakukan diskretisasi sesuai dengan persamaan (3.18). Kemudian memasukkan kondisi batas awal untuk tekanan. Langka selanjutnya adala melakukan proses peritungan dalam al ini digunakan TDMA (Tri Diagonal Matrix Algoritm). TDMA yang dilakukan adala tiap baris dan kolom dari awal sampai akir. Seingga didapatkan nilai pada seluru nodal komputasi dalam al ini adala nilai tekanan.pada baris dan kolom TDMA inila dilakukan pendefinisian setiap kondisi batas, baik Full Sommerfeld, Half Sommerfeld dan Reynolds. TDMA akan berlangsung terus menerus sampai nilai tekanan mencapai nilai konvergensinya, yaitu P residual 10-6. Setela didapatkan nilai tekanan tiap nodal, maka langka selanjutnya adala mengitung parameter performansi. Langka ini merupakan langka terakir yang dilakukan dalam membuat kode pemrograman numerik.
54 3.4. Flowcart Navier Slip Model dengan Kavitasi Mulai Memasukkan ketebalan minimum awal Membuat Grid Mengitung koefisien pada persamaan Reynolds Memasukkan kondisi batas awal TDMA semua baris dari awal sampai akir TDMA semua kolom dari awal sampai akir Tidak Konvergensi nilai tekanan Presidual 10-6 Ya Menentukan daera kavitasi (F dan D) Tidak Konvergensi sebesar 0,5% dengan nilai beban acuan Ya Mengitung Performansi Pelumasan Selesai Gambar 3.14 Flowcart pemrograman untuk kondisi Navier Slip
55 Gambar 3.14. menggambarkan langka-langka untuk pemograman numerik untuk model slip yang digunakan adala Navier slip model dengan kavitasi. Langka awal dalam pembuatan kode pemrograman adala dengan membuat grid, yaitu kasus dibagi menjadi beberapa nodal yang akan dilakukan komputasi. Kemudian menentukan ketebalan film minimum awal.langka selanjutnya adala mengitung koefisien persamaan Reynolds modifikasi yang tela dilakukan diskretisasi sesuai dengan Tabel 3.1. Kemudian memasukkan kondisi batas awal untuk tekanan. Langka selanjutnya adala melakukan proses peritungan dalam al ini digunakan TDMA (Tri Diagonal Matrix Algoritm). TDMA yang dilakukan adala tiap baris dan kolom dari awal sampai akir dan diberikan kondisi batas Reynolds. Seingga didapatkan nilai pada seluru nodal komputasi dalam al ini adala nilai tekanan. TDMA akan berlangsung terus menerus sampai nilai tekanan mencapai nilai konvergensinya, yaitu P residual 10-6. Setela didapatkan nilai tekanan tiap nodal, maka langka selanjutnya adala menentukan daera kavitasi yaitu mencari nilai F dan D. Kemudian didapatkanla nilai load support asil iterasi yang selanjutnya akan dibandingkan dengan nilai beban acuan. Iterasi akan berlangsung terus menerus sampai nilai load support yang diasilkan mencapai nilai konvergensinya, yaitu sebesar 0,5% dari beban acuan. Setela itu baru dilakukan peritungan performansi pelumasan.langka ini merupakan langka terakir yang dilakukan dalam membuat kode pemrograman numerik.