DAFTAR ISI 3 TEORI KONGRUENSI 39 4 TEOREMA FERMAT DAN WILSON 40

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI 3 TEORI KONGRUENSI 39 4 TEOREMA FERMAT DAN WILSON 40"

Transkripsi

1 DAFTAR ISI 1 TEORI KETERBAGIAN Algoritma Pembagian Pembagi persekutuan terbesar Algoritma Euclides Kelipatan persekutuan terkecil FPB lebih dari 2 bilangan Persamaan Diophantine BILANGAN PRIMA Teorema Fundamental Aritmatika Saringan Eratosthenes Distribusi Bilangan Prima Uji Keterbagian TEORI KONGRUENSI 39 4 TEOREMA FERMAT DAN WILSON 40

2 1 TEORI KETERBAGIAN Bilangan 0 dan 1 adalah dua bilangan dasar yang digunakan dalam sistem bilangan real. Dengan dua operasi + dan x maka bilangan-bilangan lainnya didenisikan. Himpunan bilangan asli (natural number ) N didenisikan sebagai n N n := } {{ + 1 }. n suku Jadi himpunan bilangan asli dapat disajikan secara eksplisit N = { 1, 2, 3, }. Himpunan bilangan bulat Z didenisikan sebagai Z := N {0}N dimana N := { n : n N }. Jadi himpunan bilangan bulat dapat ditulis secara eksplisit Z = {, 2, 1, 0, 1, 2, }. Selanjutnya bilangan rasional Q didenisikan sebagai Q := { a b : a, b Z, b 0 }. Bilangan real yang bukan bilangan rasional disebut bilangan irrasional. Salah satu bilangan irrasional yang sangat dikenal adalah 2. Berdasarkan beberapa denisi tersebut maka kita dapat menyajikan komposisi himpunan bilangan real dalam bentuk diagram venn berikut. Gambar 1.1: Komposisi bilangan real Teori bilangan adalah cabang ilmu matematika yang mempelajari sifat-sifat keterbagian 1

3 bilangan bulat, khususnya himpunan bilangan asli. Himpunan bilangan asli memiliki keunikan tersendiri karena ia terdenisi secara alami. Ini alasan bagi matematikawan Leopold Kronecker mengatakan bahwa God created the natural numbers, and all the rest is the work of man." 1.1 Algoritma Pembagian Algoritma ini merupakan batu pijakan pertama dalam mempelajari teori bilangan. Ia disajikan dalam bentuk teorema berikut. Teorema 1.1. Jika diberikan bilangan bulat a dan b, dengan b > 0 maka selalu terdapat dengan tunggal bilangan bulat q dan r yang memenuhi a = qb + r, 0 r < b. (1.1) Contoh 1.1. Bila a = 9 dan b = 4 maka diperoleh 9 = (2)(4) + 1, jadi diperoleh q = 2 dan r = 1. Bila a = 9 dan b = 4 maka 9 = ( 3)(4) + 3, jadi diperoleh q = 3 dan r = 3. Pada persamaan (1.1), bilangan q disebut hasil bagi dan r disebut sisa atau residu. Ingat sisa r selalu kurang dari b. Bukti Untuk membuktikan teorema ini digunakan prinsip urutan baik (well-ordering property) yang mengatakan bahwa setiap himpunan takkosong dari N selalu memuat anggota terkecil. Kita bangun suatu himpunan S dengan S := {a nb n Z} = {a, a ± b, a ± 2b, }. Dengan mengambil n := a maka diperoleh t := a ( a )(b) = a + a b > 0 sehingga dapat dipastikan t N S. Dengan demikian kita peroleh bahwa N S merupakan himpunan bagian takkosong dari N. Oleh karena itu ia memiliki anggota terkecil, katakan r N S yang mempunyai bentuk r = a qb 0 untuk suatu q Z. Jadi a = qb + r dengan r 0. Selanjutnya dibuktikan r < b agar persamaan (1.2) dipenuhi. Andaikan r b. Ambil r 1 S N dengan r 1 = a (q + 1)b = r b < r. Fakta ini kontradiksi dengan pernyataan r anggota 2

4 terkecil pada S N. Terbuktilah 0 r < b. Selanjutnya, ditunjukkan bahwa q dan r ini tunggal. Andaikan ada q 1 dan r 1 yang bersifat seperti ini maka diperoleh a = qb + r = q 1 b + r 1, 0 r, r 1 < b. Dapat ditulis r r 1 = (q 1 q)b. Dapat disimpulkan bahwa q = q 1, sebab bila tidak yaitu q q 1 maka selisih magnitudnya q q 1 1, sehingga r 1 r = q q 1 b b. Hal ini tidaklah mungkin karena kedua r dan r 1 bilangan tak negatif yang terletak di kiri b. Jadi disimpulkan q = q 1. Akibatnya diperoleh r = r 1. Bila semua ruas pada persamaan (1.1) dibagi dengan b maka diperoleh a b = q + r b, atau q = a b r b dengan 0 r b < 1. Ini menujukkan bahwa q = a b yaitu pembulatan ke bawah (ooring) a. Dengan b menggunakan bentuk ini kita dapat menentukan hasil bagi dengan mudah. Misalnya a = 27 dan b = 12 maka q = r = a qb = 27 ( 3)(12) = = 9. = = 3. Sisa r mudah diperoleh, yaitu Pada Teorema 1.1 disyaratkan bahwa b > 0. Sesungguhnya Teorema ini dapat diperluas juga untuk b < 0 seperti diungkapkan pada teorema berikut. Teorema 1.2. Jika diberikan bilangan bulat a dan b, dengan b 0 maka selalu terdapat dengan tunggal bilangan bulat q dan r yang memenuhi a = qb + r, 0 r < b. (1.2) Bukti Untuk b > 0 berlaku b = b sehingga persamaan (1.1) dipenuhi langsung oleh persamaan (1.2). Untuk b < 0, ambil b sebagai pengganti b pada Teorema (1.1). Jadi terdapat q dan r sehingga a = q b + r, 0 r < b. Selanjutnya dengan mengambil q = q dan karena b = b maka persamaan 3

5 terakhir ini menjadi a = q b + r = q( b) + r = qb + r, 0 r < b. Diperhatikan untuk b < 0 berlaku b b dengan b diperoleh = 1. Dengan membagi persamaan terakhir a b = q + r b atau q = a b r b, 0 r b > 1, yaitu q = a b pembulatan ke atas atau ceiling dari a b Contoh 1.2. Tentukan hasil bagi dan sisanya jika 1, -2, 61 dan -59 dibagi oleh -7. Penyelesaian Diketahui b = 7 < 0. Untuk a = 1 diperoleh q = 1 7 = 0 dan r = a qb = 1 0 = 1. Periksa bahwa 1 = (0)( 7) + 1. Untuk a = 2 diperoleh q = 2 7 = 2 7 = 1 dan r = 2 (1)( 7) = 5. Untuk a = 61 diperoleh q = 61 7 = = 8 dan r = 61 ( 8)( 7) = 5. Untuk a = 59 diperoleh q = 59 7 = = 9 dan r = 59 (9)( 7) = 4. Berikut diberikan beberapa contoh soal pembuktian sebagai penerapan langsung dari algoritma pembagian. Contoh 1.3. Untuk setiap bilangan bulat a, buktikan a(a 2 + 2)/3 merupakan bilangan bulat. Penyelesaian. Ambil b = 3. Dengan algoritma pembagian maka terdapat q dan r sehingga a = 3q + r, dimana r = 0, 1 atau 2. Untuk r = 0, substitusi a = 3q ke dalam a(a 2 + 2)/3 diperoleh 3q(9q 2 + 2)/3 = q(9q 2 + 2) yang merupakan bilangan bulat. Untuk r = 1, substitusi a = 3q + 1 ke dalam a(a 2 + 2)/3 diperoleh(3q + 1)(9q 2 + 6q )/3 = (3q + 1)3(3q 2 + 2q + 1)/3 = (3q + 1)(3q 2 + 2q + 1) yang merupakan bilangan bulat. Untuk r = 2, substitusi a = 3q + 2 ke dalam a(a 2 + 2)/3 diperoleh (3q + 2)(9q q )/3 = (3q + 2)3(3q 2 + 4q + 2)/3 = (3q + 2)(3q 2 + 4q + 2) yang juga merupakan bilangan bulat. Untuk lebih meyakinkan, coba periksa untuk beberapa nilai a = 1, 0, 1, 2, 3. Contoh 1.4. Buktikan untuk sebarang bilangan kuadrat bila dibagi 4 selalu memberikan sisa 0 atau 1. 4

6 Penyelesaian Untuk bilangan bulat sebarang a, ambil b = 4. Terdapat q dan r sehingga a = 4q + r dengan r = 0, 1, 2, 3. Selanjutnya kita melihat bentuk n := a 2. Untuk r = 0 diperoleh n = 4(4q 2 ) memberikan sisa 0. Untuk r = 1 diperoleh n = 16q 2 + 8q + 1 = 4(4q 2 + 2q) + 1 memberikan sisa 1. Untuk r = 2 diperoleh n = 16q q + 4 = 4(4q 2 + 4q + 4) memberikan sisa 0. Terakhir, untuk r = 3 diperoleh n = 16q q + 9 = 4(4q 2 + 6q + 2) + 1 memberikan sisa 1. Jadi semua kasus memberikan sisa 0 atau 1. Dengan menggunakan hasil ini kita dapat memahami contoh soal berikut. Contoh 1.5. Tunjukkan bahwa bilangan yang berbentuk 11, 111, 1111, 11111, tidak pernah merupakan kuadrat sempurna. Penyelesaian. Diperhatikan pola berikut 11 = = = = Jadi dapat ditulis = Karena bilangan selalu habis dibagi 4 maka sesungguhnya bilangan-bilangan tersebut mempunyai bentuk 4k + 3. Dengan kata lain mereka selalu memberikan sisa 3 jika dibagi 4. Padahal bilangan kuadrat selalu memberikan sisa 0 atau 1 jika dibagi 4 (lihat Contoh sebelumnya). Karena itu bilangan-bilangan tersebut tidak mungkin merupakan bilangan kuadrat. 1.2 Pembagi persekutuan terbesar Suatu keadan khusus pada algoritma pembagian ketika sisa r = 0. Dalam kasus ini kita katakan a habis membagi b. 5

7 Denisi 1.1. Sebuah bilangan bulat b dikatakan terbagi atau habis dibagi oleh bilangan bulat a 0 jika terdapat bilangan bulat c sehingga b = ac, ditulis a b. Notasi a b digunakan untuk menyatakan b tidak habis terbagi oleh a. Jadi 12 terbagi oleh 4 sebab 12 = 4 3, tetapi 10 tidak terbagi oleh 3 sebab tidak ada bilangan bulat c sehingga 10 = 3c, atau setiap bilangan bulat c berlaku 10 3c. Dalam kasus ini ditulis 4 12 dan Istilah lain untuk a b: a faktor dari b, a pembagi b atau b kelipatan dari a. Bila a pembagi b maka a juga pembagi b, sehingga pembagi suatu bilangan selalu terjadi berpasangan. Jadi dalam menentukan semua faktor dari suatu bilangan bulat cukup ditentukan faktor-faktor positifnya saja, kemudian tinggal menggabungkan. Fakta sederhana yang diturunkan langsung dari denisi adalah sebagai berikut. a 0, 1 a, a a untuk setiap a Z. Penjelasannya, bilangan 0 selalu habis dibagi oleh bilangan apapun yang tidak nol, hasil baginya 0. Ingat pembagi disyaratkan tidak nol. Pembagian bilangan dengan nol tidak didenisikan. Bilangan 1 merupakan faktor atau pembagi dari bilangan apapun termasuk bilangan 0. Bilangan a 0 selalu habis membagi dirinya sendiri dengan hasil baginya adalah 1. Teorema 1.3. Untuk setiap a, b, c Z berlaku pernyataan berikut 1. a 1 bila hanya bila a = ±1 2. Jika a b dan c d maka ac bd 3. Jika a b dan b c maka a c 4. a b dan b a bila hanya bila a = ±b 5. Bila a b dan b 0 maka a < b 6. Bila a b dan a c maka a (bx + cy) untuk sebarang bilangan bulat x dan y. Bukti. Pernyataan 1: a = ±1 a 1 jelas, sesuai penjelasan sebelumnya. Sebaliknya, diketahui a 1 berarti ada k Z sehinga 1 = ka. Persamaan ini hanya dipenuhi oleh dua kemungkinan berikut: k = 1, a = 1 atau k = 1, a = 1. Jadi berlaku a 1 a = ±1. Jadi a 1 a = ±1 terbukti. 6

8 Pernyataan 2: diketahui a b dan c d yaitu ada k 1, k 2 Z sehingga b = k 1 a dan d = k 2 c. Kedua persamaan ini dikalikan diperoleh bd = (k 1 k 2 )ac, yaitu ac bd. Pernyataan 3: Diketahui a b dan b c yaitu ada k 1, k 2 Z sehingga b = k 1 a dan c = k 2 b. Substitusi, diperoleh c = k 2 b = k 2 (k 1 a) = (k 1 k 2 a). Pernyataan 4: Diketahui a = k 1 b dan b = k 2 a. Kedua persamaan dikalikan, diperoleh ab = (k 1 k 2 )(ab). Diperoleh k 1 k 2 = 1, yakni k 1 = k 2 = 1 atau k 1 = k 2 = 1. Terbukti a = ±b. Pernyataan 5: Kita mempunyai b = ac untuk suatu c Z. Diambil nilai mutlaknya b = ac = a c. Karena b 0 maka c 1, sebab bila tidak seperti ini maka c = 0 yang mengakibatkan b = 0 (kontradiksi). Karena itu diperoleh b = a c a. Pernyataan 6 : x, y Z berlaku Kita mempunyai relasi b = k 1 a dan c = k 2 a. Untuk sebarang bx + cy = k 1 ax + k 2 ay = (k 1 x + k 2 y)a yang berarti a (bx + cy). Pernyataan terakhir teorema ini berlaku juga untuk berhingga banyak bilangan yang dibagi oleh a, yaitu jika a b k, k = 1,, n maka a (b 1 x 1 + b 2 x b n x n ) untuk setiap bilangan bulat x 1, x 2,, x n. persekutuan terbesar. Selanjutnya kita bahas pengertian faktor Denisi 1.2. Misalkan a dan b dua bilangan bulat dimana minimal salah satunya tidak nol. Faktor persekutuan terbesar (FPB) atau greatest common divisor (gcd) dari a dan b adalah bilangan bulat d yang memenuhi 1. d a dan d b 2. Jika c a dan c b maka c d Pada denisi ini, kondisi 1 menyatakan bahwa d adalah faktor persekutuan dan kondisi 2 menyatakan bahwa d adalah faktor persekutuan terkecil diantara semua faktor 7

9 persekutuan yang ada. Selanjutnya jika d faktor persekutuan terbesar dari a dan b akan ditulis d = gcd(a, b). Contoh 1.6. Faktor positif dari 12 adalah 1, 2, 3, 4, 6, 12, sedangkan faktor dari 30 adalah 1, 2, 3, 5, 6, 10, 15, 30. Jadi faktor persekutuaannya adalah 1, 2, 3, 6. Karena itu disimpulkan gcd(12, 30) = 6. Berdasarkan denisi FPB sesungguhnya kita cukup mengasumsikan bahwa a dan b positif, sebab berlaku gcd(a, b) = gcd(a, b) = gcd( a, b) = gcd( a, b). Penjelasannya, faktor atau pembagi suatu bilangan selalu terjadi secara berpasangan, satunya positif dan lainnya negatif. Jadi faktor persekutuan dua bilangan selalu sama tanpa melihat tanda positif atau negatif kedua bilangan tersebut. Akibatnya, faktor persekutuan terbesarnya juga sama. Teorema 1.4. Jika a dan b dua bilangan bulat yang keduanya taknol maka terdapat bilangan bulat x dan y sehingga gcd(a, b) = ax + by. (1.3) Persamaan (1.3) disebut dengan identitas Bezout. Sebelum dibuktikan, diperhatikan ilustrasi berikut gcd( 12, 30) = 6 = ( 12) gcd( 8, 36) = 4 = ( 8)4 + ( 36)( 1). Identitas Bezout menyatakan bahwa d = gcd(a, b) dapat disajikan dalam bentuk kombinasi linier atas a dan b. Ekspresi ruas kanan pada (1.3) disebut kombinasi linier dari a dan b. Pada Teorema ini keberadaan x dan y tidak harus tunggal. Bukti. Bentuk S himpunan semua kombinasi linier positif dari a dan b sebagai berikut S = { au + bv au + bv 1, u, v Z } 8

10 Perhatikan jika a 0 maka a = au+b 0 S, yaitu dengan mengambil u = 1 bila a positif atau u = 1 bila a negatif. Jadi himpunan S takkosong. Menurut sifat urutan baik, S terjamin memiliki anggota terkecil katakan saja d. Selanjutnya, dibuktikan d = gcd(a, b). Karena d S maka terdapat x, y Z sehingga d = ax + by. Terapkan algoritma pembagian pada a dan d maka terdapat q dan r sehingga a = qd + r, 0 r < d. Selanjutnya ditunjukkan r = 0. Bila ini oke maka d a. Andai r > 0 maka dapat ditulis 0 < r = a qd = a q(ax + by) = a(1 qx) + b( qy) S. Fakta r S dan syarat r < d bertentangan dengan pernyataan bahwa d elemen terkecil S sehingga disimpulkan r = 0 atau d a. Argumen yang sama dapat dipakai dengan menerapkan algoritma pembagian pada b dan d untuk menunjukkan bahwa d b. Dengan demikian terbukti bahwa d adalah faktor persekutuan dari a dan b. Selanjutnya ditunjukkan faktor persekutuan ini adalah yang terbesar. Misalkan c bulat positif dengan c a dan c b, maka berdasarkan Teorema (1.3)(6) maka c ax + b yaitu c d. Jadi c d; alasannya tidak mungkin pembagi lebih besar dari bilangan yang dibagi. Terbukti bahwa d = gcd(a, b). Akibat 1.1. Bila a dan b dua bilangan bulat yang keduanya tidak nol maka himpunan T = {ax + by x, y Z} merupakan himpunan semua kelipatan dari d = gcd(a, b). Bukti. Karena d a dan d b maka d (ax + by) untuk setiap x, y Z, maka setiap elemen T merupakan kelipatan d. Sebaliknya, dapat ditulis d = ax 0 + by 0 untuk suatu x 0, y 0 Z. Perhatikan kelipatan dari d, yaitu nd = n(ax 0 + by 0 ) = a(nx 0 ) + b(ay 0 ) T. Ini berarti setiap kelipatan d merupakan elemen T. Denisi 1.3. Dua bilangan a dan b (keduanya tidak nol) dikatakan prima relatif jika gcd(a, b) = 1. Pasangan bilangan (3, 5), (5, 9) dan ( 27, 35) adalah beberapa contoh pasangan bilangan prima relatif. 9

11 Teorema 1.5. Bilangan a dan b prima relatif bila hanya bila terdapat bulat x, y sehingga ax + by = 1. Bukti. Karena a dan b prima relatif maka gcd(a, b) = 1. Identitas Bezout menjamin adanya bulat x, y sehingga 1 = ax+by. Sebaliknya misalkan ada bulat ax+by = 1. Dibuktikan gcd(a, b) = d = 1. Karena d a dan d b maka d (ax + by = 1), jadi d 1. Karena itu disimpulkan d = 1. Akibat 1.2. Bila d = gcd(a, b) maka gcd ( a d, b d) = 1. Bukti. Berdasarkan identitas Bezout selalu ada x dan y sehingga ax + by = d. Dengan membagi kedua ruas persamaan ini dengan d diperoleh ( ( a d) x+ b d) y = 1. Menurut teorema sebelumnya disimpulkan a dan b prima relatif. d d Pada penyederhanaan pecahan a biasanya dilakukan dengan membagi kedua bilangan b a dan b dengan FPBnya. Misalnya 8 disederhanakan menjadi 2. Dalam hal ini kita 12 3 mempunyai gcd(8, 12) = 4 gcd(2, 3) = 1. Teorema berikut memberikan sifat keterbagian yang melibatkan dua bilangan prima relatif. Teorema 1.6. Diketahui gcd(a, b) = 1. Maka berlaku pernyataan berikut. 1. Jika a c dan b c maka ab c. 2. Jika a bc maka a c. Bukti. Untuk pernyataan 1, terdapat bilangan bulat r dan s sehingga c = ar = bs. Karena diketahui gcd(a, b) = 1 maka dapat ditulis 1 = ax + by untuk suatu bilangan bulat x, y. Diperoleh c = c 1 = c(ax + by) = acx + bcy = a(bs)x + b(ar)y = ab(sx + ry), yaitu ab c. Untuk pernyataan 2, dapat ditulis c = c 1 = c(ax + by) = acx + bcy. Karena faktanya a ac dan diketahui a bc maka a (acx + bcy), yaitu terbukti a c. 10

12 Contoh 1.7. Untuk sebarang bilangan bulat a, buktikan salah satu dari a, a + 2, a + 4 habis dibagi oleh 3. Bukti. Cara pertama dengan menggunakan algoritma pembagian. Ambil a dan 3, maka ada q dan r sehingga a = 3q + r, r = 0, 1, 2. Bila r = 0 maka a = 3q yaitu a 3. Bila r = 1 maka a = 3q + 1 a + 2 = 3q = 3(q + 1), yaitu 3 (a + 2). Bila r = 2 maka a = 3q + 2 a + 4 = 3q = 3(q + 2), yaitu 3 (a + 4). Perhatikan pada contoh berikut ditunjukkan bahwa perkalian dua bilangan bulat berurutan selalu habis dibagi 2. Contoh 1.8. Untuk setiap bilangan bulat a, buktikan 2 a(a + 1). Bukti. Masih menggunakan algoritma pembagian dengan mengambil b = 2. Terdapat q Z sehingga a = 2q + r dimana r = 0, 1. Untuk r = 0 jelas a = 2q habis dibagi 2 sehingga a(a + 1) juga habis dibagi 2. Untuk k = 1, a(a + 1) = (2q + 1)(2q + 2) = (2q + 1)(q + 1)2 jelas habis dibagi 2. Cara lain pembuktian dapat dengan memberikan argumen logis berikut: salah satu diantara bilangan bulat a dan a + 1 pasti ada bilangan genap. Jadi 2 a atau 2 (a + 1). Berdasarkan fakta ini maka dapat disimpulkan bahwa 2 a(a + 1). Dengan argumen yang mirip, coba buktikan kebenaran pernyataan a a(a + 1)(a + 2). Contoh 1.9. Buktikan bahwa untuk setiap bulat positif n dan sebarang bilangan bulat a maka gcd(a, n + a) n. Bukti. Misalkan d = gcd(a, a + n). Karena d a dan d (a + n) maka d membagi setiap kombinasi kedua bilangan ini, khususnya d ((a)( 1) + (a + n)(1)) = n. Berdasarkan contoh ini secara khusus untuk n = 1 kita memperoleh gcd(a, a + 1) = 1. Dengan kata lain dua bilangan bulat berurutan selalu prima relatif. 11

13 1.3 Algoritma Euclides Algoritma Euclides digunakan untuk menentukan FPB dua bilangan besar dengan cara mereduksinya menjadi bilangan-bilangan lebih kecil. Algoritma ini bertumpu pada teorema berikut. Teorema 1.7. Jika a = qb + r maka gcd(a, b) = gcd(b, r). Bukti. Berdasarkan Teorema (1.3)(6), setiap faktor persekutuan b dan r juga merupakan faktor persekutuan qb + r = a. Karena r = a qb maka faktor persekutuan a dan b juga merupakan faktor persekutuan r. Jadi pasangan bilangan a, b dan b, r mempunyai faktor persekutuan yang sama sehingga mereka mempunyai FPB yang sama. Algoritma Euclides dapat disajikan sebagai berikut: Misalkan a dan b dua bilangan yang akan ditentukan FPB nya. Cukup diasumsikan a b > 0, karena tanda positif atau negatif bilangan a dan b tidak mempengaruhi nilai FPB nya. Dengan algoritma pembagian, diperoleh q 1 dan r 1 sehingga a = q 1 b + r 1, 0 r 1 < b. Bila r 1 = 0 maka gcd(a, b) = b, pekerjaan selesai. Bila r 1 0, bagilah b dengan r 1 untuk memperoleh q 2 dan r 2 yang memenuhi b = q 2 r 1 + r 2, 0 r 2 < r 1. Bila r 2 = 0 maka gcd(a, b) = r 1, pekerjaan selesai. Bila r 2 0, bagilah r 1 dengan r 2 untuk memperoleh q 3 dan r 3 yang memenuhi r 1 = q 3 r 2 + r 3, 0 r 3 < r 2. Proses ini diteruskan sampai dicapai sisa nol. bentuk berikut Bila dirangkum maka akan diperoleh 12

14 a = q 1 b + r 1, 0 < r 1 < b b = q 2 r 1 + r 2, 0 < r 2 < r 1 r 1 = q 3 r 2 + r 3, 0 < r 3 < r 2. r n 2 = q n r n 1 + r n, 0 < r n < r n 1 r n 1 = q n+1 r n + 0. Berdasarkan Teorema sebelumnya maka diperoleh tahapan berikut gcd(a, b) = gcd(b, r 1 ) = gcd(r 1, r 2 ) = = gcd(r n 1, r n ) = gcd(r n, 0) = r n. Contoh Hitunglah FPB dari 1492 dan Bukti. Terapkan algoritma Euclides seperti dijelaskan sebelumnya dengan mengambil a = 1492 dan b = 1066, yaitu 1492 = = = = = Sisa taknol yang terakhir adalah 2 sehingga d = gcd(1492, 1066) = 2. Terdapat konsep yangsejalan dengan FPB yaitu kelipatan persekutan terkecil (KPK). Bagaimana pengertian KPK dan hubungan dengan FPB serta sifat-sifat yang memuat kedua istilah ini disampaikan pada bagian berikut. 1.4 Kelipatan persekutuan terkecil Denisi 1.4. Misalkan a dan b dua bilangan bulat tidak nol. Kelipatan persekutuan terkecil (KPK) atau least common divisor (lcm) dari a dan b adalah bilangan bulat positif m yang memenuhi 13

15 1. a m dan b m 2. Bila ada c > 0 dengan a c dan b c maka m c. Kondisi 1 menyatakan bahwa m kelipatan bersama atau persekutuan dari a dan b. Kondisi 2 menyatakan bahwa m adalah kelipatan persekutan terkecil diantara semua kelipatan persekutuan yang ada. Selanjutnya, bila m adalah KPK dari a dan b maka akan selalu ditulis m = lcm(a, b). Sebagai contoh kelipatan persekutuan dari 12 dan 30 adalah 60, 120, 180,... sehingga gcd(12, 30) = 60. Berikut diberikan hubungan antara FPB dan KPK. Teorema 1.8. Untuk dua bilangan positif a dan b berlaku lcm(a, b) = ab. gcd(a,b) Bukti. Ambil d = gcd(a, b) maka dapat ditulis a = dr dan b = ds untuk suatu bilangan bulat r dan s. Perhatikan pernyataan m = ab d m = a(ds) d = as dan m = (dr)b d = rb, yakni m kelipatan persekutuan dari a dan b. Selanjutnya ditunjukkan m ini adalah kelipatan persekutuan yang paling kecil. Misalkan c kelipatan persekutuan lainnya dari a dan b. Dapat ditulis c = au dan c = bv untuk suatu bilangan bulat u dan v. Dengan ientitas Bezout terdapat bulat x dan y yang memenuhi d = ax + by. Substitusi m = ab d, diperoleh c m = cd ab = c(ax + by) ab = ( c ( c x + y = vx + uy Z, b) a) yang berarti m c. Jadi haruslah m c. Jadi m adalah KPK dari a dan b yang memenuhi m = ab d lcm(a, b) = ab. gcd(a,b) Akibat berikut ini memberikan keadaan dimana KPK dua bilangan tidak lain adalah hasil kali keduanya. Buktinya sederhana, langsung dari teorema sebelumnya. Akibat 1.3. Untuk setiap pasangan bilangan bulat a dan b berlaku lcm(a, b) = ab bila hanya bila gcd(a, b) = 1. 14

16 Contoh Tentukan KPK dari 3054 dan Penyelesaian. Dihitung dulu FPB dari kedua bilangan ini dengan menggunakan algoritma Euclides = = = = = = sehingga diperoleh gcd(3054, 12378) = 6. Berdasarkan Teorema (1.8) maka diperoleh lcm(3054, 12378) = = FPB lebih dari 2 bilangan Setelah melihat pengertian dan sifat-sifat FPB dari dua bilangan maka kita dapat dengan mudah memperluasnya kepada FPB untuk beberapa bilangan. Prinsipnya sama, yaitu d dikatakan FPB dari a, b dan c, ditulis d = gcd(a, b, c) jika d a, d b dan d c; kemudian jika ada faktor persekutuan lain c maka c d. Sebagai ilustrasi diperhatikan contoh berikut ini. Contoh Dapat diperiksa bahwa gcd(39, 42, 54) = 3 dan gcd(49, 210, 350) = 7. Untuk memudahkan menghitung FPB beberapa bilangan dapat dilakukan dengan metoda reduksi bertahap seperti diungkapkan pada teorema berikut. Teorema 1.9. Untuk beberapa bilangan a 1, a k berlaku gcd(a 1, a 2,, a k ) = gcd (gcd (a 1, a 2 ), a 3,, a k ). 15

17 Bukti. Hanya akan dibuktikan untuk tiga bilangan bulat, yaitu gcd(a 1, a 2, a 3 ) = gcd (a 1, gcd(a 2, a 3 )). Misalkan d = gcd(a 1, a 2, a 3 ) maka d a 1, d a 2 dan d a 3. Karena itu d gcd(a 2, a 3 ) := d 1 sebab d (a 2 x + a 3 y) untuk setiap bulat x dan y sedangkan d 1 = gcd(a 2, a 3 ) dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk kombinasi linier ini. Jadi d a 1 dan d d 1. Ditunjukkan d faktor persekutuan terbesar dari a 1 dan d 1. Bila ada bulat c dengan c a 1 dan c d 1. Karena c d 1 maka c a 2 dan c a 3. Jadi c faktor persekutuan dari a 1, a 2 dan a 3. Karena d = gcd(a 1, a 2, a 3 ) maka disimpulkan c d. Jadi d adalah FPB dari a 1 dan d 1, yaitu d = gcd(a 1, d 1 ) = gcd (a 1, gcd(a 2, a 3 )). Untuk sejumlah berhingga banyak bilangan dapat dibuktikan dengan menggunakan prinsip induksi matematika. Dengan teorema ini d = gcd(a 1, a 2,, a k ) dapat direduksi sebagai berikut: d 2 = gcd(a 1, a 2 ) d 3 = gcd(d 1, a 3 ) d 4 = gcd(d 2, a 4 ). d k = gcd(d k 2, a k ) dan diperoleh d = d k. Contoh Untuk menghitung d = gcd(36, 24, 54, 27) dihitung dulu d 2 = gcd(36, 24) = 12, kemudian d 3 = gcd(12, 54) = 6, dan akhirnya d = d 4 = gcd(6, 27) = 3. Konsep KPK dari lebih dua bilangan dikembangkan sejalan. dibuktikan hubungan KPK dan FPB sebagai berikut Dengan mudah dapat lcm(a, b, c) = abc gcd(a, b, c). (1.4) 1.6 Persamaan Diophantine Persamaan ini pertama kali dipelajari oleh seseorang yang bernama Diophantus yang menghabiskan hidupnya di Alexandria, Mesir sekitar tahun 250 Masehi. Persamaan 16

18 Diophantine adalah persamaan linier yang memuat beberapa variabel, namun harus diselesaikan dalam bilangan bulat. Bentuk paling sederhananya diberikan oleh ax + by = c (1.5) dimana a, b dan c konstanta bulat yang diberikan. Penyelesaian persamaan Diophantine (1.5) adalah semua pasangan bilangan bulat (x, y) yang memenuhi persamaan ini. Contoh Untuk persamaan 3x + 6y = 18 kita dapat menulis dalam beberapa bentuk berikut = 18 3 ( 6) = ( 2) = 18 sehingga (4, 1), ( 6, 6), (10, 2) merupakan penyelesaiannya. Masih banyak penyelesaian lainnya, coba temukan! Diperhatikan persamaan 2x + 10y = 17. Adakah bilangan bulat (x, y) yang memenuhi persamaan ini?. Jawabnya, tidak ada. Dalam kasus ini kita katakan persamaan 2x + 10y = 17 tidak mempunyai penyelesaian. Berdasarkan contoh ini persamaan Diophantine dapat mempunyai atau tidak mempunyai penyelesaian. Dalam kasus ia mempunyai penyelesaian maka penyelesaiannya banyak. Teorema berikut memberikan syarat perlu dan cukup persamaan Diophantine mempunyai penyelesaian. Teorema Misalkan a, b dan c bilangan bulat dimana a dan b tidak keduanya nol dan d = gcd(a, b). Maka persamaan Diophantine ax + by = c mempunyai penyelesaian jika hanya jika d c; dalam kasus ini terdapat takberhingga banyak penyelesaian. Penyelesaian-penyelesaian ini diberikan oleh x = x 0 + b d n, y = y 0 a n, n Z (1.6) d dimana (x 0, y 0 ) merupakan penyelesaian khusus. Bukti. Perhatikan kembali akibat (1.1), setiap anggota himpunan T = {ax + by x, y Z} merupakan kelipatan dari d = gcd(a, b). Sebaliknya setiap anggota K = 17

19 {kd k Z} yaitu himpunan kelipatan d merupakan anggota T. Dengan kata lain dapat ditulis K = T. Karena diketahui d c maka berlaku c = kd K sehingga c T. Ini berarti ada x, y Z sehingga ax + by = c. Misalkan (x 0, y 0 ) penyelesaian tertentu atau khusus, maka musti berlaku ax 0 + by 0 = c. Bila diambil x = x 0 + b n, y = y d 0 a n, n Z maka d a (x 0 + bd ) n + b (y 0 a ) d n = ax 0 + by 0 + ab d n ab d n = ax 0 + by 0 = c, yakni (x, y) juga penyelesaian untuk setiap n Z. Selanjutnya ditunjukkan bahwa hanya (x, y) pada (1.6) yang menjadi penyelesaian persamaan Diophantine. Diperhatikan, karena ax + by = c = ax 0 + by 0 maka diperoleh a(x x 0 ) = b(y y 0 ) a d (x x 0) = b d (y y 0). Karena a dan b tidak keduanya nol, cukup diasumsikan b 0. Diperhatikan b 0, ia membagi a(x x d d 0). Karena gcd( a, b ) = 1 maka ( ( b d d d) a d) (x x0 ). Jadi ( b ) d (x x0 ), yakni x x 0 = b n x = x d 0 + b n untuk suatu n Z. Substitusi d mundur (x x 0 ) maka diperoleh b (y y d 0) = a b n y = y d d 0 an. d Keadaan khusus dimana a dan b prima relatif maka persamaan Diophantine selalu mempunyai penyelesaian yang diberikan oleh dimana (x 0, y 0 ) penyelesaian khususnya. x = x 0 + bn, y = y 0 an, n Z (1.7) Berikut diberikan algoritma untuk menentukan penyelesaian persamaan Diophantine. 1. Hitung d = gcd(a, b); dengan cara langsung atau menggunakan algoritma Euclides. 2. Bila d c maka persamaan Diophantine tidak mempunyai penyelesaian, stop. Bila d c, tulis c = kd. 3. Temukan bilangan bulat v dan w sehingga av + bw = d. Kedua ruas dikalikan k 18

20 diperoleh akv + bkw = kd a(kv) + b(kw) = c. Diambil x 0 = kv dan y 0 = kw sebagai penyelesaian khususnya. 4. Gunakan formula (1.6) untuk membangun himpunan semua penyelesaian. Contoh Diberikan persamaan Diphantie 172x + 20y = Selidikilah apakah persamaan ini mempunyai penyelesaian. 2. Bila ia mempunyai, tentukan semua penyelesaian tersebut. 3. Tentukan penyelesaian yang bernilai positif. Penyelesaian. Pertama selidiki dulu gcd(172, 20), yaitu dengan algoritma Euclides berikut 172 = = = = sehingga diperoleh gcd(172, 20) = 4. Karena maka persamaan Diphantine ini dipastkan mempunyai penyelesaian. Tulis 1000 = Untuk menentukan penyelesaian ini digunakan algoritma yang telah diberikan sebelumnya. Dengan cara berjalan mundur pada algoritma Euclides di atas untuk membentuk identitas Bezout berikut. 4 = 12 8 = 12 ( ) = = 2( ) 20 = ( 17)

21 Jadi dengan mengalikan kedua ruas dengan 250 diperoleh ( 4250) 20 = Dari sini diambil x 0 = 500 dan y 0 = 4250 sebagai penyelesaian khususnya. Selanjutnya bentuk umum penyelesaian persamaan ini diperoleh dengan menerapkan formula pada (1.6), diperoleh x = t = t 4 y = t = t 4 dimana t bilangan bulat sebarang. Terakhir untuk memilih diantara penyelesaian ini yang bernilai positif, kita perlu memberikan syarat berikut t > t > 0 Berdasarkan syarat ini diperoleh t > 500 = 100 untuk syarat pertama dan 5 t < 4250 = untuk syarat kedua. Jadi t yang memenuhi kedua syarat ini adalah t = 99 dan penyelesaian positif yang dimaksud adalah x = ( 99) = 5 y = ( 99) = 7. Contoh Seorang nenek meminta cucunya membeli dua macam buah, yaitu mangga dan jeruk. Sang nenek memberikan uang rupiah kepada sang cucu untuk mendapatkan sebanyak mungkin buah tetapi jeruk lebih banyak dari mangga. Bila harga mangga 700 rupiah per biji dan jeruk 1300 rupiah per biji, tentukan banyak buah yang harus dibeli oleh sang cucu. Bukti. Misalkan x menyatakan banyak mangga dan y banyak jeruk yang harus dibeli maka permasalahan di atas dapat diformulasikan sebagai 700x y = x 0 & y 0 y > x 20

22 Setelah disederhanakan kita mempunyai persamaan Diophantine 7x + 13y = Karena gcd(7, 13) = 1 maka dipastikan persamaan ini mempunyai penyelesaian. Secara kasat mata kita langsung dapat membentuk identitas Bezout berikut 1 = ( 1). Jika kedua ruas dikalikan dengan 1000 diperoleh 1000 = ( 1000) sehingga diperoleh penyelesaian khususnya x 0 = 2000 dan y 0 = Penyelesaian umum persamaan ini diberikan oleh x = n y = n, n Z. Karena disyaratkan x 0 maka diperoleh n 0 n n = { 153, 152, 151, }. Syarat pada y 0 menghasilkan batasan n berikut n 0 n n = {, 145, 144, 143}. Syarat y > x memberikan hasil berikut n > n n < 150 n = {, 153, 152, 151}. Nilai n yang memenuhi ketiga syarat ini adalah n = { 153, 152, 151} Penyelesaian yang bersesuaian dengan n ini akan bernilai positif, tetapi kita perlu memilih n yang membuat nilai x + y terbesar. Perhatikan tabel berikut 21

23 n x y x + y Jadi sang cucu harus membeli 37 biji mangga dan 57 biji jeruk. Ada metoda lain untuk menyelesaikan persamaan Diophantine, yaitu metoda Reduksi Euclides. Metoda ini didasarkan pada penyajian penyelesaian persamaan Diophantine dalam bentuk x = i + jt y = k + mt dimana i, j, k, m Z. Untuk jelasnya kita perhatikan contoh berikut. Contoh Selesaikan persamaan Diphantine 6x + 5y = 171, x, y > 0. Penyelesaian. Karena gcd(6, 5) = 1 maka persamaan ini dipastikan mempunyai penyelesaian. Pertama, nyatakan x secara eksplisit x = 171 5y 6 = y. }{{ 6 } p Ambil p = 3 5y 6 Z sehingga dapat ditulis: x = 28+p. Variabel y juga dinyatakan secara eksplisit dalam p, yaitu y = 3 6p 5 = p + 3 p. }{{ 5 } q Ambil q = 3 q 5 Z sehingga dapat ditulis: y = p + q dan p = 3 5q. Dengan menggunakan hasil ini diperoleh penyelesaian yang dimaksud x = 28 + (3 5q) = 31 5q y = (3 5q) + q = 6q 3. Syarat x > 0 memberikan 31 5q > 0 q < 31 = 6 1, sedangkan syarat y > memberikan 6q 3 > 0 q > 1. Jadi dipenuhi oleh q {1, 2, 3, 4, 5, 6}. Silahkan 2 22

24 dihitung sendiri penyelesaian positif yag dimaksud. Perhatikan semakin banyak syarat yang dikenakan pada penyelesaian semakin berkurang banyaknya penyelesaian yang memenuhi. 23

25 2 BILANGAN PRIMA Bilangan prima telah dikenal sejak sekolah dasar, yaitu bilangan yang tidak mempunyai faktor selain dari 1 dan dirinya sendiri. Bilangan prima memegang peranan penting karena pada dasarnya konsep apapun yang dibahas dalam teori bilangan selalu dikaitkan dengan bilangan prima. Sebagai ilustrasi: jika ditanyakan banyak faktor positif dari 24 maka biasanya dilakukan dengan mendaftar semua faktor tersebut yaitu 1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 24 jadi ada 8 buah. Untuk bilangan 60 mempunyai sebanyak 12 faktor positif. Cara mendaftarkan satu per satu semua faktor seperti ini tidaklah efektif khususnya untuk bilangan yang besar. Coba perhatikan 24 = dan 60 = Dengan menambahkan 1 pada setiap pangkat prima, kemudian mengalikan mereka maka diperoleh banyaknya faktor prima. Untuk bilangan 24 terdapat (3 + 1) (1 + 1) = 8 faktor, dan untuk 60 terdapat (2 + 1) (1 + 1) (1 + 1) = 12 faktor. Bagaimana juga ketika diminta untuk menentukan suatu bilangan prima atau bukan, bagaimana memutuskan suatu bilangan bulat besar dapat dibagi oleh bilangan bulat lain, bagaimana distribusi bilangan prima dalam Z; semuanya akan dibahas pada bab ini. 2.1 Teorema Fundamental Aritmatika Denisi 2.1. Suatu bilangan bulat p > 1 dikatakan prima jika faktor positifnya hanyalah 1 dan p (dirinya sendiri). Bilangan bulat lebih dari 1 yang bukan prima disebut komposit. Diantara 10 bilangan bulat pertama, 2, 3, 5, 7 adalah prima dan 4, 6, 8, 10 adalah komposit. Berdasarkan denisi ini hanya 2 bilangan prima yang genap, sedangkan 1 bukan prima dan bukan komposit. Suatu bilangan p adalah komposit jika ada bilangan bulat a dan b sehingga p = ab. Tentunya dipenuhi 0 < a, b < p. 24

26 2 BILANGAN PRIMA Untuk mulai pokok bahasan, diperhatikan fakta sederhana bahwa bilangan prima 3 dapat membagi 36. Kita juga mempunyai faktorisasi berikut 36 = 6 6 = 9 4 = 12 3 = Ternyata bilangan 3 dapat membagi minimal salah satu faktor di setiap perkalian tersebut. Sekarang diperhatikan pula bilangan komposit 4, yaitu 4 (2 6) tetapi 4 2 dan 4 6. Teorema 2.1. Jika p prima dan p ab maka p a atau p b. Bukti. Bila ternyata p a maka teorema terbukti, selesai. Bila p a maka pastilah gcd(a, b) = 1 sebab faktor p hanyalah 1 atau p. Berdasarkan Teorema 1.6(2) disimpulkan p b. Teorema ini menyatakan bahwa jika suatu bilangan prima p membagi perkalian dua bilangan bulat maka p pasti membagi salah satu diantara keduanya. Fakta ini dapat diperluas untuk bentuk perkalian beberapa bilangan bulat. Akibat 2.1. Bila p prima dan p a 1 a 2 a n maka p a k untuk suatu k {1,, n}. Bukti. Dibuktikan dengan menggunakan prinsip induksi matematika. Untuk n = 1, pernyataan berlaku secara otomatis. Untuk n = 2 pernyataan benar berdasarkan Teorema 2.1. Andaikan berlaku untuk n = i, yaitu p a 1 a 2 a i p a k untuk suatu k {1,, i}. Untuk n = i + 1, diketahui p (a 1 a 2 a i )(a i+1 ). Berdasarkan Teorema 2.1 maka p a 1 a 2 a i atau p a i+1, yakni p a k untuk suatu k {1,, i + 1}. Akibat 2.2. Bila p, q 1,, q n semuanya prima dan p q 1 q 2 q n maka p = q k untuk suatu k {1,, n}. Bukti. Berdasarkan akibat 2.1, p q k untuk suatu k {1,, n}. Karena q k prima maka tidak ada faktor lain selain 1 dan dirinya sendiri q k. Jadi haruslah p = q k. Pada awal bab ini telah diilustrasikan bahwa suatu bilangan bulat dapat disajikan dalam bentuk perkalian bilangan-bilangan prima. Formalisasi keadaan ini disajikan dalam bentuk Teorema Fundamental Aritmatika (TFA) yang merupakan batu pijakan dalam teori bilangan. 25

27 2 BILANGAN PRIMA Teorema 2.2. Setiap bilangan bulat positif n > 1 selalu dapat disajikan dalam bentuk perkalian bilangan-bilangan prima. Representasi ini tunggal terhadap urutan faktorfaktornya, yaitu n = p e 1 1 p e 2 2 p e k k (2.1) dimana p 1,, p k prima dan e 1,, e k eksponen bulat positif. Bukti. Dibuktikan dengan menggunakan prinsip induksi kuat. Untuk n = 2 pernyataan benar, yaitu dengan mengambil p 1 = 2 dan e 1 = 1. Asumsikan n > 2 dan ekspresi (2.1) dipenuhi oleh setiap bilangan diantara 1 dan n, yaitu m = p e 1 1 p e 2 2 p e km k m untuk setiap m = 3, 4,, n 1. Sekarang untuk bilangan n. Bila n prima maka tidak perlu dibuktikan lagi, karena ekspresi (2.1) terpenuhi secara otomatis. Jadi diasumsikan n komposit, yaitu terdapat bilangan bulat a dan b sehingga n = ab dimana 0 < a, b < n. Karena kedua a dan b kurang dari n maka berdasarkan hipotesis, mereka dapat disajikan sebagai perkalian bilangan-bilangan prima, katakan a = q e 1 1 q e 2 2 q e ka k a dan b = r e 1 1 r e 2 2 r e kr k r dimana para q i dan r k prima. Dengan membuat urutan baru dapat disajikan n = ab = p e 1 1 p e 2 2 p e k k. Selanjutnya ditunjukkan ketunggalan representasi (2.1). Andai kita mempunyai dua bentuk representasi berikut n = p e 1 1 p e 2 2 p e k k = q f 1 1 q f 2 2 q ft t (#). Berlaku p 1 n. Berdasarkan Akibat (2.1), p 1 q j untuk suatu j {1,, t}. Dengan cara menyusun kembali maka kita dapat meletakan q j diawal, katakan q j = q 1. Karena p 1 dan q 1 keduanya prima dan p 1 q 1 maka haruslah p 1 = q 1. Substitusi ke dalam persamaan (#) diperoleh p e p e 2 2 p e k k = q f q f 2 2 q ft t. Bila proses ini diteruskan dengan memasangkan faktor prima yang sama pada kedua ruas, kemudian melakukan kanselasi maka akan terjadi penghilangan faktor prima pada salah satu ruas. Bila ada salah satu ruas yang tidak habis faktor primanya maka akan terdapat bilangan 1 pada ruas lainnya sehingga 1 merupakan perkalian dari paling tidak dua bilangan prima p i atau q j. Hal ini tidaklah mungkin karena p i dan q j keduanya lebih dari 1. Jadi faktor-faktor prima pada kedua ruas saling menghabiskan. Untuk itu, setelah penyusunan ulang haruslah k = t, p i = q i dan e i = f i. Terbukti representasi (2.1) tunggal. 26

28 2 BILANGAN PRIMA Salah satu manfaat faktorisasi prima kita dapat menghitung banyaknya faktor prima suatu bilangan bulat seperti diilustrasi pada awal bab ini. Contoh 2.1. Tentukan faktorisasi prima dari 24, dan 60.Gunakan hasil anda untuk menghitung banyaknya faktor positif yang ada. Temukan faktor-faktor prima tersebut. Penyelesaian. Dengan mudah kita dapat menemukan faktorisasi untuk 24, yaitu 24 = Untuk menemukan semua faktor positifnya, diperhatikan tabulasi silang seperti diberikan pada Tabel 2.1 (kiri). Semua faktor yang dimaksud adalah {1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 24} yaitu berjumlah 8 buah faktor. Kalau diperhatikan dengan seksama, besarnya pangkat pada faktorisasi prima menentukan banyak baris atau kolom pada tabulasi silang. Dalam hal ini pangkat 3 pada faktor 2 3 menghasilkan 4 kolom karena ditambahkan bilangan 1, sedangkan pangkat 1 pada 3 1 = 3 menghasilkan 3 baris karena ditambahkan bilangan 1. Jadi banyak faktornya adalah (3 + 1) (1 + 1) = 8. Argumen yang sama diterapkan pada bilangan 60 yang mempunyai faktorisasi prima Bila diperhatikan Tabel 2.1 (kanan), kombinasi faktor 2 2 dan 3 menghasilkan (2 + 1) (1 + 1) = 6 buah faktor, yaitu {1, 2, 3, 4, 6, 12}. Kontribusi faktor 5 berikutnya memberikan total faktor sebanyak (2 + 1) (1 + 1) (1 + 1) = 12 buah, yaitu {1, 2, 3, 4, 6, 12, 5, 10, 15, 20, 30, 60}. Tabulasi silang seperti ini dapat membantu untuk menemukan semua faktor positifnya Table 2.1: Tabulasi silang faktor prima berpangkat Berdasarkan pembahasan pada contoh soal ini diperoleh hasil sebagai berikut. Teorema 2.3. Bila n = p e 1 1 p e 2 2 p e k k dan Π(n) adalah banyak faktor positif dari n maka Π(n) = (e 1 + 1) (e 2 + 1) (e n + 1). (2.2) 27

29 2 BILANGAN PRIMA Contoh 2.2. Tentukan semua faktor prima dari 50!, dan hitung banyak semua faktor positifnya. Penyelesaian. Diperhatikan 50! := (50)(49)(48) (3)(2)(1). Jadi faktor-faktor primanya tidak lain adalah semua bilangan prima yang kurang dari 50, yaitu 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, 23, 29, 31, 37, 41, 43, 47 (ada 15 buah). Untuk menghitung semua faktor positifnya, terlebih dahulu sajikan bilangan 50! dalam bentuk faktorisasi prima. Wow bilangannya besar sekali, bagaimana caranya? Salah satu caranya adalah dengan membentuk faktorisasi prima untuk masing-masing faktor kompositnya, yaitu: 50 = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = 2 5 Jadi 50! = sehingga terdapat sebanyak (44)(21)(14)(9)(5)(4)(3)(3)(3)(2)(2)(2)(2)(2)(2) = buah, suatu jumlah yang sangat besar. Contoh 2.3. Diberikan p prima, 1. Bila p a n, maka buktikan p n a n. 2. Bila gcd(a, b) = p, tentukan nilai dari gcd(a 2, b 2 ). Bukti 1. Karena p aa }{{ a} = a n maka menurut Akibat 2.2 disimpulkan bahwa p = a, n faktor yaitu p a. Akibatnya, p n a n. 2. Karena p a dan p b maka p 2 a 2 dan p 2 b 2. Jadi p 2 faktor persekutuan dari a 2 dan b 2. Apakah p 2 faktor persekutuan terkecil? Misalkan untuk dua bilangan bulat a dan b mempunyai representasi berikut a = r i=1 p α i i, b = r i=1 p β i i 28

30 2 BILANGAN PRIMA dimana lambang Π untuk perkalian. Kita selalu dapat menyatakan p i sebagai faktor persekutuan dari a dan b dengan membolehkan α i dan β i bernilai nol. Dengan menggunakan representasi ini, maka diperoleh hasil berikut ab = a b = gcd(a, b) = lcm(a, b) = r i=1 r i=1 r i=1 r i=1 p α i+β i i p α i β i i p min{α i,β i } i p max{α i,β i } i asalkan b a Contoh 2.4. Tentukan FPB dan KPK dari 132 dan 400. Penyelesaian. Pertama ditentukan faktorisasi prima kedua bilangan ini, yaitu 132 = = Dengan menuliskan semua faktor prima yang ada, diperoleh p 1 = 2, p 2 = 3, p 3 = 5, p 4 = 11 dan α 1 = 2, β 1 = 4, α 2 = 1, β 2 = 0, α 3 = 0, β 3 = 2, α 4 = 1, β 4 = 0. Dengan demikian diperoleh gcd(132, 400) = = 4 lcm(132, 400) = = Saringan Eratosthenes Bila diberikan sebuah bilangan bulat, bagaimana kita dapat memutuskan apakah ia prima atau komposit. Kalau ia komposit, bagaimana menentukan faktor-faktornya. Teorema 2.4. Sebuah bilangan bulat n > 1 adalah komposit bila hanya bila ia dapat dibagi oleh suatu faktor prima p n. Bukti. ( ) Bila n dapat dibagi oleh bilangan prima p tersebut maka jelas n komposit. ( ) Sebaliknya diketahui n komposit, maka dapat ditulis n = ab dengan 0 < 29

31 2 BILANGAN PRIMA a, b < n. Ini berakibat a n atau b n, sebab bila tidak akan menghasilkan ab > n. Faktor a atau b ini pasti dapat dibagi oleh bilangan prima p n, yang juga kemudian membagi n. Teorema ini mengatakan bahwa jika suatu bilangan bulat n tidak terbagi oleh setiap bilangan prima p dengan p n maka dipastikan n adalah prima. Hasil inilah yang digunakan oleh seorang matematikawan Yunani Eratosthenes ( SM) menemukan teknik untuk memilih bilangan prima dalam rentang tertentu. Metoda ini disebut saringan Eratosthenes (sieve of Eratosthenes). Metoda ini akan jelas dalam contoh menentukan semua bilangan prima yang kurang dari Daftarkan semua bilangan tersebut, yaitu 2, 3,, 100. Dapat dibentuk dalam bentuk persegi panjang untuk menghemat tempat. 2. Biarkan bilangan 2 sebagai bilangan prima pertama, silang semua bilangan keliapatan 2, yaitu 4, 6, 8, 3. Setelah 2, bilangan pertama tidak tercoret adalah 3. Pertahankan bilangan 3 sebagai prima kedua, silang semua kelipatan 3, yaitu 6, 9, 12,. 4. Bilangan pertama setelah 3 yang belum tercoret mestinya 5. Pertahankan bilangan 5 ini, coret semua kelipatan 5, yaitu 10, 15, 20, 5. Cara yang sama dilakukan pada bilangan 7. Diperhatikan 7 adalah bilangan prima terakhir dengan 7 100, sebab prima berikutnya adalah 11. Jadi setelah langkah ke 5, bilangan dalam daftar yang tidak tercoret adalah bilangan prima. Bilangan prima yang dimaksud adalah 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, 23, 29, 31, 37,41,43,47, 53, 59, 61, 67, 71, 73, 79, 83, 89, 97, kesemuanya prima kurang dari 100. Contoh 2.5. Nyatakan a = 2093 dalam bentuk perkalian bilangan prima berpangkat. Penyelesaian. Diperhatikan bahwa 2093 < 46. Jadi cukup diperiksa bilangan prima yang kurang dari 46: 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, 23, 29, 31, 37, 41, 43 yang merupakan faktor. Ternyata 2093 hanya memiliki tiga faktor prima, yaitu 17, 13 dan 23, tepatnya 2093 =

32 2 BILANGAN PRIMA 2.3 Distribusi Bilangan Prima Diperhatikan terdapat 4 bilangan prima diantara 1 dan 10, ada 21 bilangan prima diantara 10 dan 100, ada 21 bilangan prima diantara 100 dan 200, ada 16 bilangan prima diantara 200 dan Berdasarkan data empiris ini, distribusi bilangan prima semakin lama semakin jarang. Mungkinkah suatu saat bilangan prima tidak muncul lagi diantara kumpulan bilangan bulat yang sangat besar. Teorema berikut memberian jawabannya. Teorema ini dikenal dengan Teorema Euclides. Teorema 2.5. Terdapat takberhingga banyak bilangan prima. Bukti. Dibuktikan dengan kontradiksi. Andai hanya terdapat berhingga banyak bilangan prima, katakan secara berurutan p 1 = 2, p 2 = 3,, p n. Ambil bilangan bulat N yang didenisikan sebagai N = p 1 p 2 p n + 1. Karena N > 1 maka berdasarkan TFA, P mesti dapat dibagi oleh suatu bilangan prima p. Tetapi kita telah mengandaikan bahwa hanya p 1, p 2,, p n bilangan prima yang ada. Jadi haruslah p = p k untuk suatu k {1,, n}. Kita mempunyai dua fakta, yaitu p N dan p p 1 p 2 p n. Akibatnya p (N p 1 p 2 p n ) atau p 1. Hal ini menimbulkan kontradiksi karena p > 1. Jadi tidaklah benar bahwa banyaknya bilangan prima berhingga. Pembahasan mengenai bilangan prima banyak menyimpan misteri yang belum terkuak. Sampai saat ini belum ada formula eksplisit atau cara efektif untuk mengidentikasi bilangan prima. Diperhatikan contoh berikut. Contoh 2.6. Misalkan p 1, p 2,, p n adalah n buah bilangan prima pertama, dan didenisikan p n = p 1 p 2 p n + 1. Selidikilah apakah untuk setiap n N, p n prima. Berikan komentar. Penyelesaian. Kita selidiki untuk beberapa p 1 = = 3 p 2 = = 7 p 3 = = 31 p 4 = = 211 p 5 = = 2311, 31

33 2 BILANGAN PRIMA semuanya adalah prima. Namun perhatikan kasus berikut ini p 6 = = p 7 = = , ternyata tidak prima. Ternyata tidak semua n, p n prima. Permasalahan selanjutnya adalah tidak dapat diketahui dengan pasti apakah bilangan prima dengan pola seperti ini berhingga atau takberhingga. Sampai saat ini baru ditemukan 2, 3, 5, 7, 11, 31, 379, 1019, 1021, 2657, 3229, 4547, 4787, 11549, 13649, 18523, 23801, dan bilangan prima yang mengikuti pola ini. Terakhir, sebuah bilangan prima bentuk ini ditemukan pada tahun 1995 terdiri dari digit. Selain itu, semua p n dengan n < adalah komposit. Teorema 2.6. Terdapat takberhingga banyak bilangan prima yang berbentuk 4q + 3. Bukti. Bukti dengan kontradiksi. Andai hanya terdapat berhingga bilangan prima bentuk ini, katakan p 1, p 2,, p k. Ambil m = 4p 1 p 2 p k 1 sehingga m berbentuk 4q + 3 yaitu dengan mengambil q = p 1 p 2 p k + 1. Karena m ganjil maka setiap bilangan prima p yang membagi m juga ganjil, atau secara ekuivalen berbentuk p = 4q + 1 atau p = 4q + 3. Ingat adanya faktor prima ini dijamin oleh TFA. Bila p berbentuk 4q + 1 maka m juga mempunyai bentuk ini, padahal m berbentuk 4q + 3. Jadi haruslah m terbagi oleh suatu bilangan prima p yang berbentuk 4q + 3. Karena diasumsikan hanya ada p 1, p 2,, p k bilangan prima bentuk ini maka haruslah p = p i untuk suatu i {1,, k}. Jadi p p 1 p 2 p k, dan juga p m. Diperoleh p 4p 1 p 2 p k m, atau p 1 suatu kontradiksi. Contoh 2.7. Temukan 5 bilangan prima yang mempunyai pola 4q + 1. Penyelesaian. Untuk q = 1 diperoleh 4(1)+1 = 5, untuk q = 3 diperoleh 4(2)+1 = 13, untuk q = 4 diperoleh 4(4) + 1 = 17, untuk q = 7 diperoleh 4(7) + 1 = 29, untuk q = 9 diperoleh 4(9) + 1 = 37. Sebaliknya tidak semua bilangan prima berbentuk 4q + 1, misalnya 7, 11, 19 dan lainlain. Jadi walaupun takberhingga banyak bilangan prima dalam bentuk ini, namun masih terdapat takberhingga banyak pula bilangan prima yang tidak berbentuk seperti ini. Tidak semua bilangan prima dapat dikenali bentuk umumnya. Sebaliknya sulit menemukan suatu bentuk umum yang dapat menghasilkan bilangan prima. Teorema 32

34 2 BILANGAN PRIMA Dirichlet mengatakan terdapat takerhingga banyak bilangan prima yang terdapat didalam barisan aritmatika a, a + b, a + 2b, a + 3b, asalkan gcd(a, b) = 1. Sebagai contoh, diperhatikan bilangan yang diakhiri oleh angka 999: 1999, , , merupakan bilangan prima. Mereka ini berbentuk 1000n+ 999 dengan gcd(1000, 999) = 1. Bilangan prima Fermat dan Mersene Kita fokus pada bilangan bulat yang mempunyai bentuk umum 2 m ± 1. Sebagian besar bilangan ini adalah prima, misalnya 3, 5, 7, 13, 31, 127,, semuanya berbentuk 2 m ± 1. Kita tahu persis bentuk umum m yang membuat bilangan ini prima. Namun sebaliknya kita dapat mendeteksi bentuk m bilamana 2 m + 1 prima, seperti diungkapkan pada teorema berikut. Teorema 2.7. Bila 2 m + 1 prima maka m = 2 n untuk suatu n 0. Bukti. Dibuktikan melalui kontraposisinya. Diketahui m tidak berbentuk 2 n. Maka ada bilangan ganjil q > 1 sehingga m = 2 n q. Alasannya adalah sebagai berikut: untuk q ganjil, katakan q = 2k + 1 maka m = 2 n (2k + 1), yaitu diantaranya berbentuk 2 n 3, 2 n 5, 2 n 7, kesemuanya tidak mungkin berbentuk 2 n karena faktor ganjilnya tidak dapat digabungkan dengan 2 untuk membentuk 2 ( ). Bila q genap maka ada kemungkinan 2 n q berbentuk 2 ( ), misalnya 2 n 4 = 2 n+2. Perhatikan polinomial P (t) = t q + 1. Karena q ganjil maka dapat difaktorkan P (t) = (t + 1)(t q 1 t q t 2 t + 1), jadi (t + 1) merupakan faktor dari P (t). Ambil t = x 2n, substitusi ke dalam P (t) diperoleh P ( ) ( ) x 2n = x 2 n q+1 = x 2 nq +1 = x m +1 mempunyai faktor (x 2n + 1). Diambil x = 2 maka disimpulkan (2 2n + 1) adalah faktor dari 2 m + 1. Jadi 2 m + 1 bukan prima. Bilangan yang berbentuk F n := 2 2n + 1, n 0 disebut bilangan Fermat. Bilangan Fermat yang merupakan bilangan prima disebut prima Fermat. Ada konjektur bahwa semua bilangan Fermat adalah prima. Coba perhatikan beberapa diantaranya F 0 = 3, F 1 = 5, F 2 = 17, F 3 = 257, F 5 = kesemuanya adalah prima. Namun pada tahun 1732 Euler menunjukkan bahwa bilangan Fermat berikutnya adalah komposit, yaitu F 5 = = = , 33

35 2 BILANGAN PRIMA sehingga konjektur tersebut tidak terbukti. Walaupun tidak semua bilangan Fermat adalah prima, namun dapat dipastikan setiap pasangan dua bilangan Fermat membentuk prima relatif, yaitu gcd(f n, F n+k ) = 1. Untuk bukti, lihat Jones and Jones (2005). Selanjutnya, bilangan yang berbentuk 2 p +1 dimana p prima disebut bilangan Mersene, dan diantara bilangan ini yang prima disebut bilangan prima Mersene. Untuk p = 2, 3, 5, 7 diperoleh bilangan prima Mersene berikut M p = 3, 7, 31, 127, tetapi untuk p = 11, M 11 = = 2047 = ternyata bukan prima. 2.4 Uji Keterbagian Berdasarkan Teorema Fundamental Aritmatika kita selalu dapat menyajikan sebarang bilangan bulat dalam bentuk perkalian bilangan prima berpangkat. Permasalahannya adalah bagaimana cara efektif untuk menemukan semua faktor tersebut. Metoda cobacoba sangat tidak efektif terutama bilangannya besar. Untuk itu diperlukan cara untuk mendeteksi awal suatu bilangan bulat dapat terbagi oleh bilangan bulat lainnya. Suatu bilangan bulat n dalam bentuk desimal dan dalam basis 10 ditulis sebagai berikut n = a k a k 1 a 1 a 0 n = a k 10 k + a k 1 10 k a a 0. Sebagai contoh n = 3457 berarti k = 3 dan n = Berikut beberapa proposisi untuk uji keterbagian. Proposisi 2.1. n habis terbagi 2 bila hanya bila a 0 genap. Bukti. Cukup jelas. Proposisi 2.2. n habis dibagi 3 bila hanya bila jumlah angka-angka pembangunnya habis dibagi 3. Bukti. Diperhatikan bentuk 10 k = (9 + 1) k. Bila dijabarkan maka akan menghasilkan bentuk m k +1 dimana m k suatu bilangan kelipatan 9, jadi habis dibagi 3. Ilustrasi, 34

n suku Jadi himpunan bilangan asli dapat disajikan secara eksplisit N = { 1, 2, 3, }. Himpunan bilangan bulat Z didenisikan sebagai

n suku Jadi himpunan bilangan asli dapat disajikan secara eksplisit N = { 1, 2, 3, }. Himpunan bilangan bulat Z didenisikan sebagai Contents 1 TEORI KETERBAGIAN 2 1.1 Algoritma Pembagian............................. 3 1.2 Pembagi persekutuan terbesar......................... 6 1.3 Algoritma Euclides............................... 11

Lebih terperinci

1 TEORI KETERBAGIAN. Jadi himpunan bilangan asli dapat disajikan secara eksplisit N = { 1, 2, 3, }. Himpunan bilangan bulat Z didenisikan sebagai

1 TEORI KETERBAGIAN. Jadi himpunan bilangan asli dapat disajikan secara eksplisit N = { 1, 2, 3, }. Himpunan bilangan bulat Z didenisikan sebagai 1 TEORI KETERBAGIAN Bilangan 0 dan 1 adalah dua bilangan dasar yang digunakan dalam sistem bilangan real. Dengan dua operasi + dan maka bilangan-bilangan lainnya didenisikan. Himpunan bilangan asli (natural

Lebih terperinci

2 BILANGAN PRIMA. 2.1 Teorema Fundamental Aritmatika

2 BILANGAN PRIMA. 2.1 Teorema Fundamental Aritmatika Bilangan prima telah dikenal sejak sekolah dasar, yaitu bilangan yang tidak mempunyai faktor selain dari 1 dan dirinya sendiri. Bilangan prima memegang peranan penting karena pada dasarnya konsep apapun

Lebih terperinci

BAB 1. TEORI KETERBAGIAN. Materi mata kuliah: Teori Bilangan, pertemuan 1-4: Disiapkan oleh: Julan Hernadi

BAB 1. TEORI KETERBAGIAN. Materi mata kuliah: Teori Bilangan, pertemuan 1-4: Disiapkan oleh: Julan Hernadi BAB 1. TEORI KETERBAGIAN Materi mata kuliah: Teori Bilangan, pertemuan 1-4: Disiapkan oleh: Julan Hernadi February 3, 2015 2 DAFTAR ISI 1 TEORI KETERBAGIAN 1 1.1 Pendahuluan...............................

Lebih terperinci

Lembar Kerja Mahasiswa 1: Teori Bilangan

Lembar Kerja Mahasiswa 1: Teori Bilangan Lembar Kerja Mahasiswa 1: Teori Bilangan N a m a : NIM/Kelas : Waktu Kuliah : Kompetensi Dasar dan Indikator: 1. Memahami pengertian faktor dan kelipatan bilangan bulat. a) Menuliskan denisi faktor suatu

Lebih terperinci

BAB II KETERBAGIAN. 1. Mahasiswa bisa memahami pengertian keterbagian. 2. Mahasiswa bisa mengidentifikasi bilangan prima

BAB II KETERBAGIAN. 1. Mahasiswa bisa memahami pengertian keterbagian. 2. Mahasiswa bisa mengidentifikasi bilangan prima BAB II KETERBAGIAN 2.1 Pendahuluan Pada pertemuan minggu ke-3, dan 4 ini dibahas konsep keterbagian, algoritma pembagian dan bilangan prima pada bilangan bulat. Relasi keterbagian pada himpunan semua bilangan

Lebih terperinci

1 TEORI KETERBAGIAN. Jadi himpunan bilangan asli dapat disajikansecaraeksplisitn = { 1, 2, 3, }. Himpunan bilangan bulat Z didefinisikan sebagai

1 TEORI KETERBAGIAN. Jadi himpunan bilangan asli dapat disajikansecaraeksplisitn = { 1, 2, 3, }. Himpunan bilangan bulat Z didefinisikan sebagai 1 TEORI KETERBAGIAN Bilangan 0 dan 1 adalah dua bilangan dasar yang digunakan dalam sistem bilangan real. Dengan dua operasi + dan maka bilangan-bilangan lainnya didefinisikan. Himpunan bilangan asli (natural

Lebih terperinci

Faktor Persekutuan Terbesar (FPB)

Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) Perlu diingat kembali bahwa suatu bilangan bulat a tidak nol adalah faktor dari suatu bilangan bulat b, ditulis a b, jika ada bilangan bulat c sedemikian sehingga b =

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi teori pendukung dalam proses

TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi teori pendukung dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi teori pendukung dalam proses penelitian untuk penyelesaian persamaan Diophantine dengan relasi kongruensi modulo m mengenai aljabar dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas konsep-konsep yang mendasari konsep representasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas konsep-konsep yang mendasari konsep representasi 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas konsep-konsep yang mendasari konsep representasi penjumlahan dua bilangan kuadrat sempurna. Seperti, teori keterbagian bilangan bulat, bilangan prima, kongruensi

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. bilangan coprima, bilangan kuadrat sempurna (perfect square), kuadrat bebas

LANDASAN TEORI. bilangan coprima, bilangan kuadrat sempurna (perfect square), kuadrat bebas II. LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diberikan konsep dasar (pengertian) tentang bilangan prima, bilangan coprima, bilangan kuadrat sempurna (perfect square), kuadrat bebas (square free), keterbagian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bilangan yang mendukung proses penelitian. Dalam penyelesaian bilangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. bilangan yang mendukung proses penelitian. Dalam penyelesaian bilangan II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diberikan beberapa definisi mengenai teori dalam aljabar dan teori bilangan yang mendukung proses penelitian. Dalam penyelesaian bilangan carmichael akan dibutuhkan definisi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Sejak tiga abad yang lalu, pakar-pakar matematika telah menghabiskan banyak waktu untuk mengeksplorasi dunia bilangan prima. Banyak sifat unik dari bilangan prima yang menakjubkan.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Sebelum kita membahas mengenai uji primalitas, terlebih dahulu kita bicarakan beberapa definisi yang diperlukan serta beberapa teorema dan sifat-sifat yang penting dalam teori bilangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan konsep dasar (pengertian) tentang bilangan sempurna,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan konsep dasar (pengertian) tentang bilangan sempurna, II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diberikan konsep dasar (pengertian) tentang bilangan sempurna, square free, keterbagian bilangan bulat, modulo, bilangan prima, daerah integral, ring bilangan bulat

Lebih terperinci

1 SISTEM BILANGAN REAL

1 SISTEM BILANGAN REAL Bilangan real sudah dikenal dengan baik sejak masih di sekolah menengah, bahkan sejak dari sekolah dasar. Namun untuk memulai mempelajari materi pada BAB ini anggaplah diri kita belum tahu apa-apa tentang

Lebih terperinci

TEORI KETERBAGIAN.

TEORI KETERBAGIAN. TEORI KETERBAGIAN 1 ALGORITMA PEMBAGIAN Teorema 2.1: (Algoritma Pembagian) Diberikan bilangan bulat a dan b, dengan b > 0, maka ada bilangan bulat tunggal q dan r yang memenuhi a = qb + r, 0 r < b. Bilangan

Lebih terperinci

R. Rosnawati Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

R. Rosnawati Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY R. Rosnawati Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY Induksi Matematika Induksi matematika adalah : Salah satu metode pembuktian untuk proposisi perihal bilangan bulat Induksi matematika merupakan teknik

Lebih terperinci

Pembagi Persekutuan Terbesar dan Teorema Bezout

Pembagi Persekutuan Terbesar dan Teorema Bezout Latest Update: March 10, 2017 Pengantar Teori Bilangan (Bagian 3): Pembagi Persekutuan Terbesar dan Teorema Bezout M. Zaki Riyanto Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan konsep dasar (pengertian) tentang bilangan sempurna,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diberikan konsep dasar (pengertian) tentang bilangan sempurna, 3 II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diberikan konsep dasar (pengertian) tentang bilangan sempurna, square free, keterbagian bilangan bulat, modulo, bilangan prima, ideal, daerah integral, ring quadratic.

Lebih terperinci

BAB V BILANGAN BULAT

BAB V BILANGAN BULAT BAB V BILANGAN BULAT PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibicarakan sistem bilangan bulat, yang akan dimulai dengan memperluas sistem bilangan cacah dengan menggunakan sifat-sifat baru tanpa menghilangkan

Lebih terperinci

1 SISTEM BILANGAN REAL

1 SISTEM BILANGAN REAL Bilangan real sudah dikenal dengan baik sejak masih di sekolah menengah, bahkan sejak dari sekolah dasar. Namun untuk memulai mempelajari materi pada BAB ini anggaplah diri kita belum tahu apa-apa tentang

Lebih terperinci

TEORI BILANGAN (3 SKS)

TEORI BILANGAN (3 SKS) BAHAN AJAR: TEORI BILANGAN (3 SKS) O l e h Drs. La Misu, M.Pd. (Dipakai dalam Lingkungan Sendiri) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

Lebih terperinci

Pengantar Teori Bilangan

Pengantar Teori Bilangan Pengantar Teori Bilangan Kuliah 2 2/2/2014 Yanita, FMIPA Matematika Unand 1 Materi Kuliah 2 Teori Pembagian dalam Bilangan Bulat Algoritma Pembagian Pembagi Persekutuan Terbesar 2/2/2014 2 Algoritma Pembagian

Lebih terperinci

Materi Pembinaan Olimpiade SMA I MAGELANG TEORI BILANGAN

Materi Pembinaan Olimpiade SMA I MAGELANG TEORI BILANGAN Materi Pembinaan Olimpiade SMA I MAGELANG TEORI BILANGAN Oleh. Nikenasih B 1.1 SIFAT HABIS DIBAGI PADA BILANGAN BULAT Untuk dapat memahami sifat habis dibagi pada bilangan bulat, sebelumnya perhatikan

Lebih terperinci

Bilangan Prima dan Teorema Fundamental Aritmatika

Bilangan Prima dan Teorema Fundamental Aritmatika Pembaharuan Terakhir: 28 Maret 2017 Pengantar Teori Bilangan (Bagian 5): Bilangan Prima dan Teorema Fundamental Aritmatika M. Zaki Riyanto Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan

Lebih terperinci

TEORI BILANGAN Setelah mempelajari modul ini diharapakan kamu bisa :

TEORI BILANGAN Setelah mempelajari modul ini diharapakan kamu bisa : TEORI BILANGAN Setelah mempelajari modul ini diharapakan kamu bisa : 1 Menggunakan algoritma Euclid untuk menyelesaikan masalah. 2 Menggunakan notasi kekongruenan. 3 Menggunakan teorema Fermat dan teorema

Lebih terperinci

SISTEM BILANGAN REAL

SISTEM BILANGAN REAL DAFTAR ISI 1 SISTEM BILANGAN REAL 1 1.1 Sifat Aljabar Bilangan Real..................... 1 1.2 Sifat Urutan Bilangan Real..................... 6 1.3 Nilai Mutlak dan Jarak Pada Bilangan Real............

Lebih terperinci

Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK)

Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) Ada suatu konsep yang paralel dengan konsep faktor persekutuan terbesar (FPB), yang dikenal faktor persekutuan terkecil (KPK). Suatu bilangan bulat c disebut kelipatan

Lebih terperinci

3 TEORI KONGRUENSI. Contoh 3.1. Misalkan hari ini adalah Sabtu, hari apa setelah 100 hari dari sekarang?

3 TEORI KONGRUENSI. Contoh 3.1. Misalkan hari ini adalah Sabtu, hari apa setelah 100 hari dari sekarang? Pada bab ini dipelajari aritmatika modular yaitu aritmatika tentang kelas-kelas ekuivalensi, dimana permasalahan dalam teori bilangan disederhanakan dengan cara mengganti setiap bilangan bulat dengan sisanya

Lebih terperinci

BIDANG MATEMATIKA SMA

BIDANG MATEMATIKA SMA MATERI PENGANTAR OLIMPIADE SAINS NASIONAL BIDANG MATEMATIKA SMA DISUSUN OLEH: TIM PEMBINA OLIMPIADE MATEMATIKA TIM OLIMPIADE MATEMATIKA INDONESIA Juli 009 KATA PENGANTAR Olimpiade Sains Nasional (OSN)

Lebih terperinci

BAB I INDUKSI MATEMATIKA

BAB I INDUKSI MATEMATIKA BAB I INDUKSI MATEMATIKA 1.1 Induksi Matematika Induksi matematika adalah suatu metode yang digunakan untuk memeriksa validasi suatu pernyataan yang diberikan dalam suku-suku bilangan asli. Dalam pembahasan

Lebih terperinci

BAB I TEORI KETERBAGIAN DALAM BILANGAN BULAT

BAB I TEORI KETERBAGIAN DALAM BILANGAN BULAT BAB I TEORI KETERBAGIAN DALAM BILANGAN BULAT. Pendahuluan Well-Ordering Principle Jika S himpunan bagian dari himpunan bilangan bulat positif yang tidak kosong, maka S memiliki sebuah unsur terkecil. Unsur

Lebih terperinci

MODUL 1. Teori Bilangan MATERI PENYEGARAN KALKULUS

MODUL 1. Teori Bilangan MATERI PENYEGARAN KALKULUS MODUL 1 Teori Bilangan Bilangan merupakan sebuah alat bantu untuk menghitung, sehingga pengetahuan tentang bilangan, mutlak diperlukan. Pada modul pertama ini akan dibahas mengenai bilangan (terutama bilangan

Lebih terperinci

BAB I NOTASI, KONJEKTUR, DAN PRINSIP

BAB I NOTASI, KONJEKTUR, DAN PRINSIP BAB I NOTASI, KONJEKTUR, DAN PRINSIP Kompetensi yang akan dicapai setelah mempelajari bab ini adalah sebagai berikut. (1) Dapat memberikan sepuluh contoh notasi dalam teori bilangan dan menjelaskan masing-masing

Lebih terperinci

DIKTAT KULIAH (2 sks) MX 127 Teori Bilangan

DIKTAT KULIAH (2 sks) MX 127 Teori Bilangan DIKTAT KULIAH ( sks) MX 17 Teori Bilangan (Revisi Terakhir: Juli 009 ) Oleh: Didit Budi Nugroho, S.Si., M.Si. Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana KATA

Lebih terperinci

1 SISTEM BILANGAN REAL

1 SISTEM BILANGAN REAL 1 SISTEM BILANGAN REAL Bilangan real sudah dikenal dengan baik sejak masih di sekolah menengah, bahkan sejak dari sekolah dasar. Namun untuk memulai mempelajari materi pada BAB ini anggaplah diri kita

Lebih terperinci

Teori Bilangan (Number Theory)

Teori Bilangan (Number Theory) Bahan Kuliah ke-3 IF5054 Kriptografi Teori Bilangan (Number Theory) Disusun oleh: Ir. Rinaldi Munir, M.T. Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung 2004 3. Teori Bilangan Teori bilangan

Lebih terperinci

MA5032 ANALISIS REAL

MA5032 ANALISIS REAL (Semester I Tahun 2011-2012) Dosen FMIPA - ITB E-mail: hgunawan@math.itb.ac.id. August 16, 2011 Pada bab ini anda diasumsikan telah mengenal dengan cukup baik bilangan asli, bilangan bulat, dan bilangan

Lebih terperinci

BAHAN AJAR TEORI BILANGAN. DOSEN PENGAMPU RINA AGUSTINA, S. Pd., M. Pd. NIDN

BAHAN AJAR TEORI BILANGAN. DOSEN PENGAMPU RINA AGUSTINA, S. Pd., M. Pd. NIDN BAHAN AJAR TEORI BILANGAN DOSEN PENGAMPU RINA AGUSTINA, S. Pd., M. Pd. NIDN. 0212088701 PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO 2015 KATA PENGANTAR ب

Lebih terperinci

TEORI BILANGAN. Bilangan Bulat Bilangan bulat adalah bilangan yang tidak mempunyai pecahan desimal, misalnya 8, 21, 8765, -34, 0.

TEORI BILANGAN. Bilangan Bulat Bilangan bulat adalah bilangan yang tidak mempunyai pecahan desimal, misalnya 8, 21, 8765, -34, 0. TEORI BILANGAN Bilangan Bulat Bilangan bulat adalah bilangan yang tidak mempunyai pecahan desimal, misalnya 8, 21, 8765, -34, 0. Sifat Pembagian pada Bilangan Bulat Misalkan a dan b adalah dua buah bilangan

Lebih terperinci

Setelah mengikuti materi Bab ini mahasiswa diharapkan mampu: 2. Mendefinisikan factor persekutuan, kelipatan persekutuan, FPB, dan KPK.

Setelah mengikuti materi Bab ini mahasiswa diharapkan mampu: 2. Mendefinisikan factor persekutuan, kelipatan persekutuan, FPB, dan KPK. BAB II KETERBAGIAN PENDAHULUAN A. Deskripsi Singkat Mata Kuliah Mata kuliah ini dimaksudkan untuk memberikan kemampuan pada mahasiswa untuk belajar bukti matematika. Materi dalam mata kuliah ini sangat

Lebih terperinci

BILANGAN DAN KETERBAGIAN BILANGAN BULAT

BILANGAN DAN KETERBAGIAN BILANGAN BULAT BILANGAN DAN KETERBAGIAN BILANGAN BULAT A. Sistem Bilangan Dalam matematika mempelajari urutan dan keberaturan di antara bilangan-bilangan merupakan suatu bagian yang sangat fundamental. Dengan ditemukannya

Lebih terperinci

1 SISTEM BILANGAN REAL

1 SISTEM BILANGAN REAL Pertemuan Standar kompetensi: mahasiswa memahami cara membangun sistem bilangan real, aturan dan sifat-sifat dasarnya. Kompetensi dasar Memahami aksioma atau sifat aljabar bilangan real Memahami fakta-fakta

Lebih terperinci

MODUL PERSIAPAN OLIMPIADE. Oleh: MUSTHOFA

MODUL PERSIAPAN OLIMPIADE. Oleh: MUSTHOFA MODUL PERSIAPAN OLIMPIADE Oleh: MUSTHOFA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2007 1 TEORI BILANGAN Dalam teori bilangan, semesta pembicaraan

Lebih terperinci

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA HANDOUT TEORI BILANGAN MUSTHOFA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2011 1 RELASI KETERBAGIAN Dalam teori bilangan, semesta pembicaraan

Lebih terperinci

Pemfaktoran prima (2)

Pemfaktoran prima (2) FPB dan KPK Konsep Habis Dibagi Definisi: Jika a suatu bilangan asli dan b suatu bilangan bulat, maka a membagi habis b (dinyatakan dengan a b) jika dan hanya jika ada sebuah bilangan bulat c demikian

Lebih terperinci

Nama Mata Kuliah : Teori Bilangan Kode Mata Kuliah/SKS : MAT- / 2 SKS

Nama Mata Kuliah : Teori Bilangan Kode Mata Kuliah/SKS : MAT- / 2 SKS Nama Mata Kuliah : Teori Bilangan Kode Mata Kuliah/SKS : MAT- / 2 SKS Program Studi : Pendidikan Matematika Semester : IV (Empat) Oleh : Nego Linuhung, M.Pd Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) dan Kelipatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bagian ini diterangkan materi yang berkaitan dengan penelitian, diantaranya konsep

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada bagian ini diterangkan materi yang berkaitan dengan penelitian, diantaranya konsep II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini diterangkan materi yang berkaitan dengan penelitian, diantaranya konsep bilangan bulat, bilangan prima,modular, dan kekongruenan. 2.1 Bilangan Bulat Sifat Pembagian

Lebih terperinci

Keterbagian Pada Bilangan Bulat

Keterbagian Pada Bilangan Bulat Latest Update: March 8, 2017 Pengantar Teori Bilangan (Bagian 1): Keterbagian Pada Bilangan Bulat Muhamad Zaki Riyanto Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Lebih terperinci

Matematika Diskrit. Reza Pulungan. March 31, Jurusan Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Matematika Diskrit. Reza Pulungan. March 31, Jurusan Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Matematika Diskrit Reza Pulungan Jurusan Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada Yogyakarta March 31, 2011 Teori Bilangan (Number Theory) Keterbagian (Divisibility) Pada bagian ini kita hanya akan berbicara

Lebih terperinci

BILANGAN. Bilangan Satu Bilangan Prima Bilangan Komposit. Bilangan Asli

BILANGAN. Bilangan Satu Bilangan Prima Bilangan Komposit. Bilangan Asli BILANGAN A. Sistem Bilangan Dalam matematika mempelajari urutan dan keberaturan di antara bilangan-bilangan merupakan suatu bagian yang sangat fundamental. Dengan ditemukannya pola dalam suatu bilangan,

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. Secara umum, apabila α bilangan bulat dan b bilangan bulat positif, maka ada

II. LANDASAN TEORI. Secara umum, apabila α bilangan bulat dan b bilangan bulat positif, maka ada II. LANDASAN TEORI Pada bilangan ini diterangkan materi yang berkaitan dengan penelitian, diantaranya konsep bilangan sempurna, bilangan bulat, bilangan prima,faktor bilangan bulat dan kekongruenan. 2.1

Lebih terperinci

Pengantar Teori Bilangan

Pengantar Teori Bilangan Pengantar Teori Bilangan I Bilangan Bulat dan Operasinya Pembekalan dan pemahaman dasar tentang bentuk bilangan pada suatu kelompok/set/himpunan salah satunya adalah bilangan bulat (yang lazim disebut

Lebih terperinci

BAB VI BILANGAN REAL

BAB VI BILANGAN REAL BAB VI BILANGAN REAL PENDAHULUAN Perluasan dari bilangan cacah ke bilangan bulat telah dibicarakan. Dalam himpunan bilangan bulat, pembagian tidak selalu mempunyai penyelesaian, misalkan 3 : 11. Timbul

Lebih terperinci

3 LIMIT DAN KEKONTINUAN

3 LIMIT DAN KEKONTINUAN Menurut Bartle dan Sherbet (994), Analisis matematika secara umum dipahami sebagai tubuh matematika yang dibangun oleh berbagai konsep limit. Pada bab sebelumnya kita telah mempelajari limit barisan, kekonvergenan

Lebih terperinci

B I L A N G A N 1.1 SKEMA DARI HIMPUNAN BILANGAN. Bilangan Kompleks. Bilangan Nyata (Riil) Bilangan Khayal (Imajiner)

B I L A N G A N 1.1 SKEMA DARI HIMPUNAN BILANGAN. Bilangan Kompleks. Bilangan Nyata (Riil) Bilangan Khayal (Imajiner) 1 B I L A N G A N 1.1 SKEMA DARI HIMPUNAN BILANGAN Bilangan Kompleks Bilangan Nyata (Riil) Bilangan Khayal (Imajiner) Bilangan Rasional Bilangan Irrasional Bilangan Pecahan Bilangan Bulat Bilangan Bulat

Lebih terperinci

PENERAPAN FAKTOR PRIMA DALAM MENYELESAIKAN BENTUK ALJABAR (Andi Syamsuddin*)

PENERAPAN FAKTOR PRIMA DALAM MENYELESAIKAN BENTUK ALJABAR (Andi Syamsuddin*) PENERAPAN FAKTOR PRIMA DALAM MENYELESAIKAN BENTUK ALJABAR (Andi Syamsuddin*) A. Faktor Prima Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan faktor prima sebuah bilangan adalah pembagi habis dari sebuah bilangan

Lebih terperinci

3 LIMIT DAN KEKONTINUAN

3 LIMIT DAN KEKONTINUAN Menurut Bartle dan Sherbet (1994), Analisis matematika secara umum dipahami sebagai tubuh matematika yang dibangun dari berbagai konsep limit. Pada bab sebelumnya kita telah mempelajari limit barisan,

Lebih terperinci

Diktat Kuliah. Oleh:

Diktat Kuliah. Oleh: Diktat Kuliah TEORI GRUP Oleh: Dr. Adi Setiawan UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 Kata Pengantar Aljabar abstrak atau struktur aljabar merupakan suatu mata kuliah yang menjadi kurikulum nasional

Lebih terperinci

BAHAN AJAR ANALISIS REAL 1 Matematika STKIP Tuanku Tambusai Bangkinang

BAHAN AJAR ANALISIS REAL 1 Matematika STKIP Tuanku Tambusai Bangkinang Pertemuan 2. BAHAN AJAR ANALISIS REAL Matematika STKIP Tuanku Tambusai Bangkinang 0. Bilangan Real 0. Bilangan Real sebagai bentuk desimal Pada pembahasan berikutnya kita diasumsikan telah mengetahui dengan

Lebih terperinci

G a a = e = a a. b. Berdasarkan Contoh 1.2 bagian b diperoleh himpunan semua bilangan bulat Z. merupakan grup terhadap penjumlahan bilangan.

G a a = e = a a. b. Berdasarkan Contoh 1.2 bagian b diperoleh himpunan semua bilangan bulat Z. merupakan grup terhadap penjumlahan bilangan. 2. Grup Definisi 1.3 Suatu grup < G, > adalah himpunan tak-kosong G bersama-sama dengan operasi biner pada G sehingga memenuhi aksioma- aksioma berikut: a. operasi biner bersifat asosiatif, yaitu a, b,

Lebih terperinci

GLOSSARIUM. A Akar kuadrat

GLOSSARIUM. A Akar kuadrat A Akar kuadrat GLOSSARIUM Akar kuadrat adalah salah satu dari dua faktor yang sama dari suatu bilangan. Contoh: 9 = 3 karena 3 2 = 9 Anggota Himpunan Suatu objek dalam suatu himpunan B Belahketupat Bentuk

Lebih terperinci

BAB 4. TEOREMA FERMAT DAN WILSON

BAB 4. TEOREMA FERMAT DAN WILSON BAB 4. TEOREMA FERMAT DAN WILSON 1 Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah, Ponorogo June 11, 2012 Metoda Faktorisasi Fermat (1643) Biasanya pemfaktoran n melalui tester, yaitu faktor

Lebih terperinci

Disajikan pada Pelatihan TOT untuk guru-guru SMA di Kabupaten Bantul

Disajikan pada Pelatihan TOT untuk guru-guru SMA di Kabupaten Bantul Disajikan pada Pelatihan TOT untuk guru-guru SMA di Kabupaten Bantul Training of Trainer (TOT) Olimpiade Matematika Tingkat Sekolah Menengah Atas Untuk Guru-guru Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Bantul

Lebih terperinci

BAGIAN PERTAMA. Bilangan Real, Barisan, Deret

BAGIAN PERTAMA. Bilangan Real, Barisan, Deret BAGIAN PERTAMA Bilangan Real, Barisan, Deret 2 Hendra Gunawan Pengantar Analisis Real 3 0. BILANGAN REAL 0. Bilangan Real sebagai Bentuk Desimal Dalam buku ini pembaca diasumsikan telah mengenal dengan

Lebih terperinci

II. SISTEM BILANGAN RIIL. Handout Analisis Riil I (PAM 351)

II. SISTEM BILANGAN RIIL. Handout Analisis Riil I (PAM 351) II. SISTEM BILANGAN RIIL Handout Analisis Riil I (PAM 351) Sifat Aljabar (Aksioma Lapangan) dari Bilangan Riil Bagian ini akan membicarakan struktur aljabar bilangan riil dengan terlebih dahulu memberikan

Lebih terperinci

MENENTUKAN KELIPATAN PERSEKUTUAN TERKECIL (KPK) DAN FAKTOR PERSEKUTUAN TERBESAR (FPB) DENGAN METODE EBIK

MENENTUKAN KELIPATAN PERSEKUTUAN TERKECIL (KPK) DAN FAKTOR PERSEKUTUAN TERBESAR (FPB) DENGAN METODE EBIK MENENTUKAN KELIPATAN PERSEKUTUAN TERKECIL (KPK) DAN FAKTOR PERSEKUTUAN TERBESAR (FPB) DENGAN METODE EBIK Nuryadi, S.Pd, M.Pd. 1 A. PENDAHULUAN Pendidikan hendaknya mampu membentuk cara berpikir dan berprilaku

Lebih terperinci

3 LIMIT DAN KEKONTINUAN

3 LIMIT DAN KEKONTINUAN Menurut Bartle dan Sherbet (1994), Analisis matematika secara umum dipahami sebagai tubuh matematika yang dibangun oleh berbagai konsep limit. Pada bab sebelumnya kita telah mempelajari limit barisan,

Lebih terperinci

A. UNSUR - UNSUR ALJABAR

A. UNSUR - UNSUR ALJABAR PENGERTIAN ALJABAR Bentuk ALJABAR adalah suatu bentuk matematika yang dalam penyajiannya memuat hurufhuruf untuk mewakili bilangan yang belum diketahui. Bentuk aljabar dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

EKSPLORASI BILANGAN. 1.1 BARISAN BILANGAN

EKSPLORASI BILANGAN. 1.1 BARISAN BILANGAN EKSPLORASI BILANGAN. 1.1 BARISAN BILANGAN 1 EKSPLORASI BILANGAN Fokus eksplorasi bilangan ini adalah mencari pola dari masalah yang disajikan. Mencari pola merupakan bagian penting dari pemecahan masalah

Lebih terperinci

Usia Usia Usia Jumlah

Usia Usia Usia Jumlah Bilangan Prima Jika kita menulis a b maka kita katakan bahwa a adalah pembagi b. Salah satu metode yang biasa digunakan di sekolah dasar untuk menentukan pembagi suatu bilangan adalah menggunakan kertas

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN KALKULUS

BAB 1. PENDAHULUAN KALKULUS BAB. PENDAHULUAN KALKULUS (Himpunan,selang, pertaksamaan, dan nilai mutlak) Pembicaraan kalkulus didasarkan pada sistem bilangan nyata. Sebagaimana kita ketahui sistem bilangan nyata dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, November Penulis

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, November Penulis KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas anugrah yang diberikan sehingga penulisan Buku Diktat yang dilengkapi dengan Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) dan

Lebih terperinci

Teori bilangan. Nama Mata Kuliah : Teori bilangan Kode Mata Kuliah/SKS : MAT- / 2 sks. Deskripsi Mata Kuliah. Tujuan Perkuliahan.

Teori bilangan. Nama Mata Kuliah : Teori bilangan Kode Mata Kuliah/SKS : MAT- / 2 sks. Deskripsi Mata Kuliah. Tujuan Perkuliahan. Nama : Teori bilangan Kode /SKS : MAT- / 2 sks Program Studi : Pendidikan Matematika Semester : IV (Empat) TEORI BILANGAN Oleh : RINA AGUSTINA, M.Pd. NEGO LINUHUNG, M.Pd Mata kuliah ini masih merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang mendasari pembahasan pada bab-bab berikutnya. Beberapa definisi yang

BAB II LANDASAN TEORI. yang mendasari pembahasan pada bab-bab berikutnya. Beberapa definisi yang BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diberikan beberapa definisi, penjelasan, dan teorema yang mendasari pembahasan pada bab-bab berikutnya. Beberapa definisi yang diberikan diantaranya adalah definisi

Lebih terperinci

1.6 RULES OF INFERENCE

1.6 RULES OF INFERENCE 1.6 RULES OF INFERENCE 1 Argumen Argumen dalam logika adalah kumpulan sejumlah proposisi. Seluruh proposisi dalam suatu argumen, kecuali proposisi terakhir, disebut premis. Sedangkan proposisi terakhir

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 LANDASAN TEORI. Universitas Sumatera Utara 5 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kriptografi Kriptografi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mengirim pesan secara rahasia sehingga hanya orang yang dituju saja yang dapat membaca pesan rahasia tersebut.

Lebih terperinci

MAKALAH KRIPTOGRAFI CHINESE REMAINDER

MAKALAH KRIPTOGRAFI CHINESE REMAINDER MAKALAH KRIPTOGRAFI CHINESE REMAINDER Disusun : NIM : 12141424 Nama : Ristiana Prodi : Teknik Informatika B SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN ILMU KOMPUTER EL RAHMA YOGYAKARTA 2016 1. Pendahuluan

Lebih terperinci

Himpunan dan Fungsi. Modul 1 PENDAHULUAN

Himpunan dan Fungsi. Modul 1 PENDAHULUAN Modul 1 Himpunan dan Fungsi Dr Rizky Rosjanuardi P PENDAHULUAN ada modul ini dibahas konsep himpunan dan fungsi Pada Kegiatan Belajar 1 dibahas konsep-konsep dasar dan sifat dari himpunan, sedangkan pada

Lebih terperinci

ALJABAR ABSTRAK ( TEORI GRUP DAN TEORI RING ) Dr. Adi Setiawan, M. Sc

ALJABAR ABSTRAK ( TEORI GRUP DAN TEORI RING ) Dr. Adi Setiawan, M. Sc ALJABAR ABSTRAK ( TEORI GRUP DAN TEORI RING ) Dr. Adi Setiawan, M. Sc PROGRAM STUDI MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2011 0 KATA PENGANTAR Aljabar abstrak

Lebih terperinci

BAB III PENGEMBANGAN TEOREMA DAN PERANCANGAN PROGRAM

BAB III PENGEMBANGAN TEOREMA DAN PERANCANGAN PROGRAM BAB III PENGEMBANGAN TEOREMA DAN PERANCANGAN PROGRAM 3.1 Pengembangan Teorema Pada penelitian dan perancangan algoritma ini, akan dibahas mengenai beberapa teorema uji primalitas yang telah ditemukan baru

Lebih terperinci

METODA PEMBUKTIAN DALAM MATEMATIKA

METODA PEMBUKTIAN DALAM MATEMATIKA METODA PEMBUKTIAN DALAM MATEMATIKA Dr. Julan HERNADI & Uki Suhendar, S.Pd (Asrul dan Enggar) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unmuh Ponorogo Pertemuan 8 FONDASI MATEMATIKA Matematika Bukan Sekedar

Lebih terperinci

LEMBAR AKTIVITAS SISWA INDUKSI MATEMATIKA

LEMBAR AKTIVITAS SISWA INDUKSI MATEMATIKA Nama Siswa Kelas : : LEMBAR AKTIVITAS SISWA INDUKSI MATEMATIKA Latihan 1 1. A. NOTASI SIGMA 1. Pengertian Notasi Sigma Misalkan jumlah n suku pertama deret aritmatika adalah S n = U 1 + U 2 + U 3 + + U

Lebih terperinci

Contoh-contoh soal induksi matematika

Contoh-contoh soal induksi matematika Contoh-contoh soal induksi matematika Buktikan bahwa 2 n > n + 20 untuk setiap bilangan bulat n 5. (i) Basis induksi : Untuk n = 5, kita peroleh 2 5 > 5 + 20 adalah suatu pernyataan yang benar. (ii) Langkah

Lebih terperinci

BAHAN AJAR TEORI BILANGAN

BAHAN AJAR TEORI BILANGAN BAHAN AJAR TEORI BILANGAN PENYUSUN NURYADI, S.PD.SI, M.PD. PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA 2014 FKIP UMB-Yogyakarta Page 1 KETERBAGIAN

Lebih terperinci

BAB 5 Bilangan Berpangkat dan Bentuk Akar

BAB 5 Bilangan Berpangkat dan Bentuk Akar BAB 5 Bilangan Berpangkat dan Bentuk Akar Untuk materi ini mempunyai 3 Kompetensi Dasar yaitu: Kompetensi Dasar : 1. Mengidentifikasi sifat-sifat bilangan berpangkat dan bentuk akar 2. Melakukan operasi

Lebih terperinci

PERSAMAAN KUADRAT. Persamaan. Sistem Persamaan Linear

PERSAMAAN KUADRAT. Persamaan. Sistem Persamaan Linear Persamaan Sistem Persamaan Linear PENGERTIAN Definisi Persamaan kuadrat adalah kalimat matematika terbuka yang memuat hubungan sama dengan yang pangkat tertinggi dari variabelnya adalah 2. Bentuk umum

Lebih terperinci

1. Variabel, Konstanta, dan Faktor Variabel Konstanta Faktor

1. Variabel, Konstanta, dan Faktor Variabel Konstanta Faktor ALJABAR BENTUK ALJABAR adalah suatu bentuk matematika yang dalam penyajiannya memuat huruf-huruf untuk mewakili bilangan yang belum diketahui Bentuk aljabar dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah

Lebih terperinci

OLIMPIADE MATEMATIKA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS MATERI : TEORI BILANGAN

OLIMPIADE MATEMATIKA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS MATERI : TEORI BILANGAN OLIMPIADE MATEMATIKA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS MATERI : TEORI BILANGAN Disajikan pada Pembimbingan Kompetisi Guru-Guru Matematika dalam pemecahan soal-soal OSN di lingkungan Sekolah Menengah Atas Kota

Lebih terperinci

Ayundyah Kesumawati. April 29, Prodi Statistika FMIPA-UII. Deret Tak Terhingga. Ayundyah. Barisan Tak Hingga. Deret Tak Terhingga

Ayundyah Kesumawati. April 29, Prodi Statistika FMIPA-UII. Deret Tak Terhingga. Ayundyah. Barisan Tak Hingga. Deret Tak Terhingga Kesumawati Prodi Statistika FMIPA-UII April 29, 2015 Akar Barisan a 1, a 2, a 3, a 4,... adalah susunan bilangan-bilangan real yang teratur, satu untuk setiap bilangan bulat positif. adalah fungsi yang

Lebih terperinci

BAB III. PECAHAN KONTINU dan PIANO. A. Pecahan Kontinu Tak Hingga dan Bilangan Irrasional

BAB III. PECAHAN KONTINU dan PIANO. A. Pecahan Kontinu Tak Hingga dan Bilangan Irrasional BAB III PECAHAN KONTINU dan PIANO A. Pecahan Kontinu Tak Hingga dan Bilangan Irrasional Sekarang akan dibahas tentang pecahan kontinu tak hingga yang diawali dengan barisan tak hingga bilangan bulat mendefinisikan

Lebih terperinci

BILANGAN CACAH. b. Langkah 1: Jumlahkan angka satuan (4 + 1 = 5). tulis 5. Langkah 2: Jumlahkan angka puluhan (3 + 5 = 8), tulis 8.

BILANGAN CACAH. b. Langkah 1: Jumlahkan angka satuan (4 + 1 = 5). tulis 5. Langkah 2: Jumlahkan angka puluhan (3 + 5 = 8), tulis 8. BILANGAN CACAH a. Pengertian Bilangan Cacah Bilangan cacah terdiri dari semua bilangan asli (bilangan bulat positif) dan unsur (elemen) nol yang diberi lambang 0, yaitu 0, 1, 2, 3, Bilangan cacah disajikan

Lebih terperinci

Pertemuan 4 Pengantar Teori Bilangan

Pertemuan 4 Pengantar Teori Bilangan INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Telp./Fax 0251-8625481/8625708 Email: fmipa@apps.ipb.ac.id, https://www.fmipa.ipb.ac.id Pertemuan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Rantauprapat,11 April Penyusun

KATA PENGANTAR. Rantauprapat,11 April Penyusun KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-nya lah dan hidayah-nya jualah penulisan makalah ini dapat selesai dengan tepat waktu. Makalah ini

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... II HALAMAN PENGESAHAN... III KATA PENGANTAR... IV DAFTAR ISI... V BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... II HALAMAN PENGESAHAN... III KATA PENGANTAR... IV DAFTAR ISI... V BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... II HALAMAN PENGESAHAN... III KATA PENGANTAR... IV DAFTAR ISI... V BAB I PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG MASALAH... 1 B. PEMBATASAN MASALAH... 2 C.

Lebih terperinci

KONSTRUKSI SISTEM BILANGAN

KONSTRUKSI SISTEM BILANGAN KONSTRUKSI SISTEM BILANGAN KEVIN MANDIRA LIMANTA 1. Konstruksi Aljabar 1.1. Bilangan Natural. Himpunan bilangan paling primitif adalah bilangan natural N, yang dicacah dengan aturan sebagai berikut: (1)

Lebih terperinci

matematika PEMINATAN Kelas X PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN EKSPONEN K13 A. PERSAMAAN EKSPONEN BERBASIS KONSTANTA

matematika PEMINATAN Kelas X PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN EKSPONEN K13 A. PERSAMAAN EKSPONEN BERBASIS KONSTANTA K1 Kelas X matematika PEMINATAN PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN EKSPONEN TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami bentuk-bentuk persamaan

Lebih terperinci

Pengantar Teori Bilangan. Kuliah 4

Pengantar Teori Bilangan. Kuliah 4 Pengantar Teori Bilangan Kuliah 4 Materi Kuliah Bilangan Prima dan Distribusinya Teorema Fundamental Aritmatika Saringan Eratosthenes 22/2/2014 Yanita, FMIPA Matematika Unand 2 Bilangan Prima dan Komposit

Lebih terperinci

FAKTORISASI SUKU ALJABAR

FAKTORISASI SUKU ALJABAR 1 FAKTORISASI SUKU ALJABAR Pernahkah kalian berbelanja di supermarket? Sebelum berbelanja, kalian pasti memperkirakan barang apa saja yang akan dibeli dan berapa jumlah uang yang harus dibayar. Kalian

Lebih terperinci