ANALISIS SWIMMING LAYERS DAN SEBARAN DENSITAS IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK DONWILL PANGGABEAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS SWIMMING LAYERS DAN SEBARAN DENSITAS IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK DONWILL PANGGABEAN"

Transkripsi

1 ANALISIS SWIMMING LAYERS DAN SEBARAN DENSITAS IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK DONWILL PANGGABEAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Swimming Layers dan Sebaran Densitas Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar dengan Pendekatan Hidroakustik adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan di dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2011 Donwill Panggabean C

3 Swimming Layers Analysis and Density Distribution of Small Pelagic Fish in Makassar Strait by Acoustic Approach Donwill Panggabean 1), Indra Jaya 2), Bonar P. Pasaribu 3) 1 Marine Technology Study Program IPB. Kampus Dramaga, Bogor. phone: Corresponding author : donwill@rock.com 2 Department of Science and Marine Technology IPB. Kampus Dramaga, Bogor. phone: Department of Science and Marine Technology IPB. Kampus Dramaga, Bogor. phone: Donwill Panggabean

4 ABSTRACT DONWILL PANGGABEAN. Swimming Layers Analysis and Density Distribution of Small Pelagic Fish in Makassar Strait by Acoustic Approach. Supervised by INDRA JAYA and BONAR P. PASARIBU. The purposes of this research are to analyze swimming layer and to estimate distribution and density of small pelagic fish in Makassar Strait by acoustic system approach, and how far the effect of both temperature and salinity on distribution and density of small pelagic fish. Cruise track was designed by parallel grid, acoustic data were collected by echosounder, temperature and salinity data were collected by CTD instrument, data analysis displayed on 3 layers, namely: homogen layer (1 to 50 m), thermocline layer (50 to 300 m), and deep layer (300 m to bottom), all of data measured on October 14 to 25, In homogen layer, acoustic density values range 221,10 to 36199,92 m 2 /nmi 2, in thermocline layer, acoustic density values range 5,09 to 2982,66 m 2 /nmi 2 and in deep layer, acoustic density values range 281,69 to 577,49 m 2 /nmi 2. In homogen layer, the temperature values range 25,33 to 29,59 o C and salinity values range 30,41 to 34,36 psu. In thermocline layer, a drastic decrease temperature is happened with range 9,98 to 28,47 o C and salinity values range 33,74 to 34,79 psu. In deep layer, temperature tend to decrease with narrow range 3,61 to 11,28 o C and salinity tend to increase by decrease depth with values range 34,45 to 34,59 psu. The result showed that both temperature and salinity affect the distribution and density of small pelagic fish per layer. Keywords: acoustic, homogen layer, thermocline layer, deep layer, density, distribution.

5 RINGKASAN DONWILL PANGGABEAN. Analisis Swimming Layers dan Sebaran Densitas Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar dengan Pendekatan Hidroakustik. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan BONAR P. PASARIBU. Informasi mengenai distribusi maupun densitas ikan pelagis kecil dengan metode hidroakustik di Selat Makassar serta hubungannya dengan faktor oseanografi masih sedikit dan mungkin masih kurang, oleh karena itu dianggap perlu untuk melakukan penelitian tentang estimasi distribusi (secara vertikal dan horisontal) dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar dengan menggunakan peralatan deteksi hidroakustik dan hubungannya dengan faktor oseanografi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa swimming layers dan mengestimasi distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar melalui pendekatan hidroakustik dan bagaimana faktor oseanografi khususnya parameter suhu dan salinitas dapat mempengaruhi distribusi dan densitas sumberdaya ikan pelagis kecil pada suatu perairan yang diteliti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan menggunakan sistem akustik split beam untuk mendapatkan data akustik secara in situ dan real time, dimana instrumen akustik dan perangkat lainnya telah terpasang pada Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Agar pelaksanaan pendeteksian, pengukuran dapat mencakup seluruh area yang diteliti, maka di desain suatu rancangan survei berupa cruise track berbentuk paralel, ditetapkan 5 leg dan 4 antar leg dengan jarak masing-masing leg sekitar 30 nautical mile (nmi). Bersamaan dengan perekaman data akustik, dilakukan juga pengumpulan data oseanografi dengan alat conductivity temperature depth (CTD) pada 16 stasiun di sepanjang cruise track. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan estimasi terhadap densitas nilai akustik pada area yang diteliti berkisar antara 5, ,92 m 2 /nmi 2. Nilai akustik pada homogen layer memiliki nilai densitas tertinggi dengan kisaran 221, ,92 m 2 /nmi 2, dan selanjutnya densitas tersebut terdistribusi semakin kecil pada dua layer di bawahnya. Densitas nilai akustik pada thermocline layer berkisar 5, ,66 m 2 /nmi 2 dan pada deep layer berkisar 281,69-577,49 m 2 /nmi 2. Hasil pengukuran faktor oseanografi pada 16 stasiun mendapatkan nilai suhu pada homogen layer berkisar 25,33-29,59 o C sedangkan salinitas berkisar 30,41-34,36 psu, pada thermocline layer suhu berkisar 9,98-28,47 o C sedangkan salinitas berkisar 33,74-34,79 psu, dan pada deep layer nilai suhu berkisar 3,61-11,28 o C sedangkan salinitas berkisar 34,45-34,59 psu. Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan bahwa ada pengaruh suhu dan salinitas terhadap sebaran dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar, hal ini diduga disebabkan batasan-batasan ikan pelagis kecil terhadap kondisi oseanografis terutama terhadap suhu dan salinitas. Hal tersebut dapat diketahui dari tingginya nilai densitas pada homogen layer dibandingkan dengan densitas pada thermocline layer dan densitas pada deep layer. Selanjutnya, walaupun tidak terlalu signifikan, ada pengaruh ketersediaan klorofil-a terhadap sebaran dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar, dan dapat disimpulkan juga bahwa pada thermocline layer distribusi dan densitas ikan pelagis kecil lebih dipengaruhi oleh suhu dari pada ketersediaan klorofil-a. Pengaruh suhu paling besar dan cukup nyata dari pada pengaruh ketersediaan klorofil-a, hal ini dapat dilihat dari perbedaan distribusi dan densitas pada thermocline layer bila dibandingkan pada homogen layer, padahal klorofill-a masih tersedia pada thermocline layer tersebut. Kata kunci: akustik, homogen layer, thermocline layer, deep layer, densitas, distribusi.

6 @ Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber ; a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan sesuatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 ANALISIS SWIMMING LAYERS DAN SEBARAN DENSITAS IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK DONWILL PANGGABEAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB. Kampus Dramaga, Bogor. Telp:

9 Judul Tesis Nama : Analisis Swimming Layers dan Sebaran Densitas Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar dengan Pendekatan Hidroakustik : Donwill Panggabean NRP : C Program studi : Teknologi Kelautan Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 20 Januari 2011 Tanggal Lulus :

10 PERSEMBAHAN Tulisan ini untuk R.M. Lumban Tobing, yang melahirkan saya.

11 KATA PENGANTAR Ucapan penuh syukur dan rasa terima kasih penulis sampaikan melalui pujipujian dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih-nya karena penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Tulisan ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB dan memperoleh gelar Master. Selama melakukan penelitian dan penyusunan tulisan ini, penulis dapat merasakan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, maka dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada: Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc. yang dengan sungguh-sungguh memberikan arahan dan bimbingan hingga tulisan ini dapat penulis selesaikan dengan baik Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta jajarannya, dan seluruh dosen Program Studi Teknologi Kelautan Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP II) DKP Semua pihak yang telah memberikan dukungan terutama dalam bentuk moril, namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini memiliki kekurangan, oleh karena itu kritik, saran dan masukan yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan, dan semoga tesis ini memiliki manfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Januari 2011 Donwill Panggabean

12 RIWAYAT HIDUP Aku bersyukur kepada-mu karena kejadianku dahsyat dan ajaib! (Mazmur 139:14a). Untuk pertama kalinya penulis melihat dunia pada tengah hari bolong, Sabtu, 20 November 1976 di Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir - Riau. Penulis merupakan anak kedua (empat bersaudara) dari pasangan keluarga M. Panggabean dan R.M. Lumban Tobing. Penulis memulai pendidikan pada tahun di SD Negeri 2 Tembilahan; tahun mengikuti pendidikan di SMP Negeri 1 Tembilahan; dan pada tahun mengikuti pendidikan di SMA Negeri 1 Tembilahan. Kemudian, pada tahun 1995 mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan diterima pada program studi Ilmu Kelautan di Universitas Riau dan menyelesaikan studi pada 29 Januari Agustus 2002 penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana IPB dan diterima pada program studi Teknologi Kelautan. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif menulis pada beberapa surat kabar dan jurnal nasional. Penulis juga cukup berperan aktif dalam beberapa project dan riset survei yang berhubungan dengan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Pada bulan Oktober 2003 penulis mengikuti ekspedisi census of marine life di Selat Makassar dan pada bulan Desember 2003 hingga Januari 2004 mengikuti pelayaran program international nusantara stratification and transport (leg 1 dan leg 2) di Selat Lombok, Laut Timor dan Selat Ombai. Penulis melakukan riset untuk penulisan tesis dengan judul analisis swimming layers dan distribusi densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar dengan pendekatan hidroakustik. Setelah mempertahankan argumen dihadapan penguji dan pembimbing saat sidang pada tanggal 20 Januari 2011, penulis dinyatakan lulus dan berhak untuk menyandang gelar Master Sains.

13 ix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xii DAFTAR ISTILAH xiii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Daerah Penelitian Ikan Pelagis Kecil Landasan Teoritis Sistem Hidroakustik Target Strength Estimasi Densitas Ikan METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Kapal Survei dan Instrumen Penelitian Desain Survei Perolehan Data Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Nilai Sv Distribusi Nilai NASC Distribusi Nilai Suhu Distribusi menegak suhu Distribusi mendatar suhu Distribusi melintang suhu Distribusi Nilai Salinitas Distribusi menegak salinitas Distribusi mendatar salinitas Distribusi melintang salinitas Distribusi Densitas Ikan Pelagis Kecil KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

14 x DAFTAR TABEL Halaman 1 Distribusi Kisaran Nilai Suhu pada Seluruh Section (searah Longitude) Distribusi Kisaran Nilai Suhu pada Seluruh Section (searah Latitude) Distribusi Kisaran Nilai Salinitas pada Seluruh Section (searah Longitude) Distribusi Kisaran Nilai Salinitas pada Seluruh Section (searah Latitude)... 61

15 xi DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Massa Air Termoklin Samudera Pasifik Utara dan Pasifik Selatan Perambatan Suara pada Medium yang Ideal Volume Backscattering Strength pada Multiple Target Ilustrasi Dual Beam dan Split Beam Prinsip dari Split Beam Echosounder Pemantulan Echo dari Single dan Multiple Target Cruise Track dan Posisi Stasiun Oseanografi Diagram Alir Pemrosesan Data dan Analisisnya Estimasi Distribusi Menegak Nilai Sv pada Seluruh Leg dan Layer Estimasi Distribusi Mendatar Nilai Sv pada Seluruh Layer Estimasi Distribusi Melintang Nilai Sv pada Masing-masing Leg Estimasi Distribusi Melintang Nilai Sv pada Masing-masing Antar Leg Estimasi Distribusi Menegak Nilai NASC pada Seluruh Leg dan Layer Estimasi Distribusi Mendatar Nilai NASC pada Seluruh Layer Estimasi Distribusi Melintang Nilai NASC pada Masing-masing Leg Estimasi Distribusi Melintang Nilai NASC pada Masing-masing Antar Leg Estimasi Distribusi Nilai NASC pada Siang Hari Estimasi Distribusi Nilai NASC pada Malam Hari Distribusi Menegak Nilai Suhu pada 16 Stasiun Pengamatan Distribusi Mendatar Nilai Suhu pada Masing-masing Layer Distribusi Melintang Nilai Suhu pada Masing-masing Section (Longitude) Distribusi Melintang Nilai Suhu pada Masing-masing Section (Latitude) Distribusi Menegak Nilai Salinitas pada 16 Stasiun Pengamatan Distribusi Mendatar Nilai Salinitas pada Masing-masing Layer Distribusi Melintang Nilai Salinitas pada Masing-masing Section (Longitude) Distribusi Melintang Nilai Salinitas pada Masing-masing Section (Latitude) 62

16 xii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Gambar dan Spesifikasi Kapal Riset Baruna Jaya VIII Gambar dan Spesifikasi SIMRAD EK 500 Scientific Echosounder Conductivity Temperature Depth Echogram dari Software Sonardata Echoview Nilai Suhu dan Salinitas pada Masing-masing Stasiun

17 xiii DAFTAR ISTILAH a : diameter transduser (m) ABC : area backscattering coefficient dalam satuan m 2 /m 2 b o : normalized target strength untuk tiap 1 cm (db/cm) c : kecepatan gelombang suara dalam medium air (m/s) C 1 : parameter kalibrasi (SL, SRT, ψ dan lainnya) cτ/2 : lebar pulsa yang merambat dalam medium air (m) dv : volume target strength suatu pulsa yang diinsonifikasi dω : solid angle yang dibentuk oleh suatu volume target (steradian) EL : echo level, intensitas akustik pada receiving transduser (db/1µ Pa) F : frekuensi suara (Hz) Ge : faktor gain dari echo integrator I : intensitas suara, jumlah energi perdetik yang melewati satuan luas tertentu dan tegak lurus terhadap arah pancaran (db/1µ Pa) I b : intensitas suara yang dipantulkan oleh sekelompok target I o : intensitas suara pada saat transmit I n : intensitas suara pada saat ke n I i : intensitas suara yang dipancarkan oleh suatu sumber suara I r : intensitas suara yang dipantulkan target Ir : rata-rata intensitas yang dipantulkan oleh sekelompok target k : faktor skala yang diperoleh dari kalibrasi L : panjang ikan (cm) M : nilai integrator pengamatan n : jumlah individu ikan (ekor) N : panjang pulsa yang terjadi dalam interval jarak integrasi NASC : nautical area scattering coefficient, besarnya nilai acoustic backscattering strength di dalam setiap milnya (m 2 /nmi 2 ) P R : daya power yang keluar dari transduser R n : jarak ke n kedalaman integrasi RL : reverberation level, jumlah total intensitas yang terhambur atau dipantulkan R : interval jarak integrasi S A : coefficient backscattering area dari suatu area integrasi (m 2 /nmi 2 ) SL : source level, intensitas akustik pada sumbu axis, 1 meter dari sumber suara (db/1µ Pa/m) SRT : sensitivitas transduser (db/iv/1µ Pa) SV : volume backscattering, ratio logaritmik intensitas kelompok ikan dengan intensitas yang dipancarkan (db) Sv : volume backscattering strength (m 2 /m 2 ) T : ketebalan setiap layer yang akan diambil datanya (m) TL : transmission loss, jumlah kehilangan suara karena adanya faktor geometrical spreading dan attenuation TL A : transmission loss, karena faktor attenuation (db) TL G : transmission loss, karena faktor geometrical spreading TS : target strength, ratio logaritmik intensitas yang dipantulkan target tunggal dengan intensitas yang dipancarkan

18 TS : rata-rata target strength dari sekelompok tunggal target terdeteksi (db) VRT : voltase yang ditimbulkan gelombang reverbrasi, terjadi ditransduser Vo 2 : kuadrat keluaran voltase dari suatu sistem fungsi TVG α : koefisien absorbsi (db/km) φ : sudut azimut pada bidang transduser yang dibentuk target η : faktor peredaman (db) λ : panjang gelombang suara θ : sudut dari target terhadap sumbu akustik θ 1 : posisi target yang diperoleh dari beda phase pada sisi alongship θ 2 : posisi target yang diperoleh dari beda phase pada sisi athwartship ρ A : densitas ikan per unit area yang diintegrasi (ekor/m 2 ) ρv : rata-rata densitas ikan per volume perairan (ekor/m 3 ) σ : acoustic backscattering dari target tunggal σ bs : acoustic backscattering dari target tunggal pada koordinat sudut (θ,φ) τ : durasi pulsa yang dipancarkan suatu sumber suara (s) ψ : beam ideal dalam akustik yang mempunyai directivity pattern seragam (steradian) xiv

19 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini informasi sumberdaya ikan sangat berguna dan diperlukan bagi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, pengambilan keputusan, masyarakat, akademika dan swasta perikanan dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang berkesinambungan. Sayangnya, ketersediaan informasi tersebut masih minim untuk didapatkan, padahal ini sangat penting untuk hal-hal di atas dan perlu dilakukan pengumpulan data untuk membuat suatu informasi bagi sumberdaya perikanan dan kelautan. Tersedianya data dan informasi tentang potensi sumberdaya ikan pada suatu perairan dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan bagi pengembangan (termasuk juga bagi investasi) pada wilayah tersebut. Estimasi potensi sumberdaya ikan (fish stock assessment) untuk sebagian wilayah Indonesia telah dirintis sejak tahun tujuh puluhan, sedangkan estimasi potensi sumberdaya ikan pada perairan Indonesia secara keseluruhan baru dilaporkan pada sekitar tahun sembilan puluhan (Martosubroto, 1991). Seberapa besar stok awal sumberdaya ikan seharusnya menjadi perhatian utama, karena dengan demikian maka suatu rencana pembangunan terhadap upaya pengelolaan sumberdaya ikan akan lebih memiliki kepastian, apalagi bila didukung pula oleh informasi yang akurat mengenai distribusi dan densitasnya. Salah satu sumberdaya ikan tersebut adalah ikan pelagis kecil, yang merupakan sumberdaya ikan paling melimpah di Indonesia. Kehidupan ikan di suatu perairan sangat ditentukan oleh faktor oseanografi, antara lain; suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut, dan juga faktor ekologi lainnya (Brand 1979). Fenomena distribusi vertikal populasi ikan berdasarkan hasil laporan dari beberapa penelitian (Simbolon 1996; Latumeten 1996; Nugroho 2004) menggambarkan adanya pergerakan pola migrasi ikan, dimana ikan pada umumnya melakukan migrasi diurnal (pada siang hari) dan nokturnal (pada malam hari) secara vertikal pada kolom perairan. Sumberdaya ikan pelagis merupakan jenis-jenis ikan yang biasa hidup atau menghuni perairan lapisan tengah (mid layer) hingga ke permukaan suatu perairan.

20 2 Ikan pelagis ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu ikan pelagis kecil antara lain adalah: ikan layang (Decapterus russeli), kembung (Ratrelliger spp), tembang (Sardinella fimbriata), dan ikan lemuru (Sardinella longiceps) dan ikan pelagis besar seperti; cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Scomberidae sp), madidihang (Thunnus albacores) dan ikan cucut (Carchahinidae). Ikan pelagis kecil memiliki nilai ekonomis penting dan terdapat pada seluruh wilayah perairan Indonesia, akan tetapi informasi mengenai sebaran dan densitas ikan pelagis kecil ini masih dirasa kurang, seharusnya dengan wilayah perairan Indonesia yang sangat luas, kita memiliki informasi yang lengkap dan akurat tentang potensi sumberdaya ikan, oleh karena itu melalui penelitian-penelitian perlu digali informasi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Indonesia dan selanjutnya dipetakan agar dapat dimanfaatkan oleh stakeholders serta pihak lain yang memerlukannya. Salah satu upaya untuk penggalian informasi ketersediaan sumberdaya ikan pelagis kecil bagi tujuan-tujuan pemanfaatan dan pengelolaan secara efesien serta berkelanjutan antara lain adalah dengan menerapkan pengetahuan bidang kelautan dan perikanan yang didukung oleh keahlian dalam bidang eksplorasi. Hidroakustik merupakan salah satu metode yang digunakan dalam survei pendugaan sumberdaya ikan. Metode ini memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan dengan metode lainnya, antara lain; informasi tentang kelimpahan dan distribusi sumberdaya ikan pada daerah yang disurvei dapat diperoleh secara real time (cepat), in situ (langsung), tidak merusak atau mengganggu objek yang diteliti, serta memiliki selang dinamik yang cukup lebar sehingga informasi yang diperoleh cukup akurat. Sistem split-beam dari transducer memungkinkan perolehan nilai target strength dan posisi dari objek secara langsung. Metode hidroakustik dapat memberikan informasi yang detail mengenai densitas, distribusi kedalaman renang, ukuran panjang ikan dan variasi migrasi vertikal. Metode hidroakustik merupakan salah satu teknik terbaik dan tercanggih hingga saat ini dengan menggunakan transduser split beam. Metode hidroakustik ini pada prinsipnya ditujukan untuk mengestimasi target strength, densitas dan kelimpahan ikan per satuan luas atau volume perairan. Cara ini dilakukan dengan mengintegrasikan energi echo (gema) yang sebelumnya telah dikonversi ke bentuk energi listrik, yang merupakan hasil pantulan echo dari sejumlah target (massa ikan

21 3 tertentu). Hasil intergrasi tersebut kemudian dikonversi ke dalam biomassa ikan. Perolehan kelimpahan sumberdaya ikan akan diperoleh dari densitas yang terdeteksi dengan luasan area lokasi ikan yang menjadi target. Pengintegrasian echo merupakan cara yang diterapkan dalam penelitian akustik, karena dengan cara ini densitas dan distribusi ikan dapat ditentukan dalam cakupan yang besar. Dewasa ini, digital echo integrator telah dapat dengan mudah diprogram untuk menampung banyak parameter penelitian, termasuk di dalamnya interval kedalaman (layer) dimana akan dilakukan penghitungan densitas ikan. Apabila densitas ikan dapat diketahui berdasarkan swimming layers di suatu lokasi perairan, akan lebih mudah melakukan analisa terhadap keberadaan sumberdaya ikan tersebut, dan selanjutnya untuk proses pemanfaatan (penangkapan) terhadap sumberdaya ikan tersebut dapat lebih ditingkatkan karena telah didapatkan informasi dan data mengenai keberadaan ikan tersebut di lokasi perairan yang diamati. 1.2 Perumusan Masalah Suatu kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkeberlanjutan membutuhkan indikator utama pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu seberapa besar stok sumberdaya ikan yang tersedia, dan untuk menganalisis stok sumberdaya ikan, maka dibutuhkan beberapa informasi penting yaitu; data hasil tangkapan (ukuran, jenis, dan jumlah ikan), daerah tangkapan (fishing ground) dan upaya penangkapan (effort). Untuk menyatakan bahwa suatu perairan tersebut adalah fishing ground, perlu suatu kegiatan eksplorasi yang disertai dengan kajian mengenai keberadaan dan ketersedian sumberdaya ikan pada perairan tersebut. Ketersediaan ikan dapat dikaji melalui seberapa besar nilai densitas serta distribusi ikan tersebut pada suatu area perairan. Sumberdaya ikan memiliki spesies yang relatif beragam (multi-species) dan dinamis yang sangat bergantung pada karakteristik oseanografi, dimana karakteristik oseanografi tersebut sangat berpengaruh bagi tingkah laku, distribusi dan densitas serta fluktuasi sumberdaya ikan di suatu perairan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang densitas dan pola distribusi kelompok ikan di suatu perairan terutama dalam kaitannya dengan kondisi oseanografi perairan sangat penting untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi pendugaan dan pengkajian sumberdaya ikan sebagai komponen dasar pengelolaan sumberdaya ikan itu sendiri (Pasaribu et al. 1998). Maka, selain

22 4 menggunakan metode akustik, sangat perlu dilakukan penganalisaan faktor-faktor oseanografi bagi penentuan distribusi dan densitas sumberdaya ikan. Sama halnya dengan densitas, untuk mengetahui dan menganalisa swimming layer sumberdaya ikan pada suatu perairan harus mengarah pada pengetahuan mengenai karakteristik fisik perairan, sebab fisik perairan merupakan faktor penting dan dominan bagi keberadaan sumberdaya ikan pada suatu area perairan, terlebih apabila perairan tersebut merupakan daerah penangkapan ikan. Laporan penelitian terdahulu dengan menggunakan pendekatan akustik yang menjelaskan densitas ikan berdasarkan swimming layers di perairan Indonesia masih terbatas, penelitian ini berusaha menjelaskan densitas ikan pelagis kecil berdasarkan swimming layers yang dilakukan melalui pendeteksian akustik serta menganalisa karakteristik fisik perairan yaitu faktor oseanografi yang diduga turut mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan pelagis kecil tersebut di suatu perairan. Selat Makassar merupakan salah satu perairan di Indonesia yang cukup unik bila dibandingkan dengan beberapa perairan lainnya, karena Selat Makassar dilalui massa air yang sangat besar yang biasa disebut Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Hal ini diperkirakan dapat menyebabkan fenomena, baik terhadap oseanografi fisik perairan maupun terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil yang terdapat pada perairan Selat Makassar tersebut. Selain itu, perairan Selat Makassar juga menerima proses penyuburan sepanjang tahun dimana pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari daratan Kalimantan dan Sulawesi akibat curah hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi proses upwelling di beberapa lokasi bagian selatan Selat Makassar akibat pertemuan massa air dari Samudera Pasifik dengan massa air Laut Jawa dan Laut Flores. Hal-hal tersebut cukup menggelitik dan turut membangkitkan rasa ingin tahu lebih jauh sehingga diputuskanlah untuk melakukan riset di perairan Selat Makassar dengan mengkombinasikan peralatan deteksi hidroakustik dan pengukuran kondisi oseanografi fisik untuk mengestimasi sebaran dan densitas ikan pelagis kecil. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis swimming layers dan mengestimasi distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar melalui pendekatan hidroakustik serta bagaimana pengaruh faktor oseanografi khususnya

23 5 parameter suhu dan salinitas terhadap distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar berdasarkan strata ketebalan lapisan perairan (layer). 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Diperoleh data estimasi swimming layers (posisi lapisan renang) dan estimasi densitas ikan serta kecenderungan pola distribusinya secara vertikal maupun horizontal di Selat Makassar. (2) Dapat diketahui sejauh mana faktor oseanografi (terutama suhu dan salinitas) turut mempengaruhi distribusi dan densitas nilai akustik di Selat Makassar.

24 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang biasanya disebut Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesian throughflow. Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Wyrtki 1961; Ilahude dan Gordon 1996; Molcard et al. 1996; Fieux et al. 1996; Tomascik et al. 1997; Susanto dan Gordon 2005). Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh bertiupnya angin musim tenggara di bagian selatan Pasifik dari wilayah Indonesia. Angin tersebut mengakibatkan permukaan bagian tropik Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi dari pada Samudera Hindia bagian timur, akibatnya terjadinya gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus (Arlindo) dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arlindo selama musim tenggara umumnya lebih kuat dari pada saat musim barat laut, dan Selat Makassar merupakan jalur utama Arlindo, sehingga tentu saja Arlindo tersebut sangat mempengaruhi kondisi oseanografis di Selat Makassar. Arlindo yang membawa massa air sangat besar dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia memiliki dua jalur, yang utama adalah melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores kemudian ke Laut Banda Selatan dan keluar melalui Laut Timor menuju Samudera Hindia, sedangkan jalur sekunder adalah melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku, kemudian masuk ke perairan Laut Banda bagian utara dan keluar melalui Selat Ombai dan Selat Lombok (Gordon 1986; Gordon et al. 1994; Ilahude dan Gordon 1996). Selat Makassar adalah perairan yang relatif subur, dimana proses penyuburan yang terjadi berlangsung sepanjang tahun, baik pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari daratan Kalimantan dan Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi proses upwelling di beberapa lokasi akibat pertemuan massa air dari Samudera Pasifik dengan massa air Laut Jawa dan Laut Flores (Illahude 1978).

25 7 Gambar 1 Massa Air Thermocline Pasifik Utara dan Pasifik Selatan serta Massa Air Permukaan yang Disebabkan Monsoon (Susanto dan Gordon 2005). Gambar 1 memperlihatkan gugusan kepulauan Indonesia dengan sungaisungai utama dan aliran massa air yang melewatinya. Garis panah warna hitam menginterpretasikan massa air thermocline dari Samudera Pasifik Utara melalui Selat Makasar yang merupakan jalur utama Arlindo, sedangkan garis panah putusputus warna hitam merupakan massa air thermocline yang berasal dari Samudera Pasifik Selatan dan merupakan jalur sekunder Arlindo. Garis panah putus-putus warna biru dan hijau merupakan massa air permukaan utara Sumatra dan selatan Sumatra yang secara musiman bergerak menuju Nusa Tenggara akibat pengaruh monsoon (Susanto dan Gordon 2005). Angin utama yang berhembus di Selat Makassar adalah monsoon (angin musim), monsoon mengalami pembalikan arah sebanyak dua kali dalam setahun, hal ini disebabkan perbedaan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember Februari angin berhembus dari Asia ke Australia, sehingga di atas Selat Makassar angin bergerak dari arah utara menuju selatan (west monsoon). Pada bulan Juni Agustus angin berhembus dari Australia ke Asia, sehingga angin bergerak dari arah tenggara menuju selatan (east monsoon). Selama angin musim barat berhembus, curah hujan meningkat dan menyebabkan salinitas di perairan Selat Makassar menjadi turun, dan sebaliknya pada saat musim timur terjadi peningkatan salinitas karena penguapan yang tinggi di Selat Makassar, ditambah

26 8 lagi dengan masuknya massa air bersalinitas cukup tinggi dari Samudera Pasifik melaui Laut Sulawesi (Wyrtki 1961). Arlindo yang melalui Selat Makassar juga dipengaruhi oleh monsoon, kekuatan monsoon bahkan dapat menyebabkan pergerakan massa air hingga kedalaman 500 meter (Arief, 1998). Perpindahan massa air Arlindo diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan Juli-September dan paling sedikit pada periode Februari-Mei. Hasil estimasi yang didapat berdasarkan model terbaru menunjukkan bahwa perpindahan massa air Arlindo mencapai 7 Sverdrup * pada musim tenggara dan 0,7 Sverdrup pada musim barat laut (Gordon dan McClean 1999). Pada kurun waktu tahun 1997 massa air Arlindo dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makassar menuju Samudera Hindia diperkirakan mencapai 9,1 Sverdrup (Susanto dan Gordon 2005). Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa salinitas permukaan perairan Indonesia umumnya berkisar antara 31,2-34,5 ppt. Naulita (1998) mendapatkan nilai salinitas permukaan di Selat Makassar sebesar 34,12 ppt pada musim timur (Juni, Juli dan Agustus), dan mendekati nilai 30 ppt pada musim barat (Desember, Januari dan Februari). Hasil pengukuran Abdilah (2002) pada bulan Mei 2001 di Selat Makassar mendapatkan kisaran salinitas antara 33,26-33,35 ppt pada lapisan dibawah permukaan (2,5 meter), sedangkan hasil pengukuran Wenno (2003) pada bulan Oktober 2003 mendapatkan nilai salinitas permukaan Selat Makassar sedikit berfluktuasi dengan kisaran 30,4-33,7 psu dan mengalami peningkatan hingga kedalaman 100 meter (34,7 psu), kemudian terjadi sedikit penurunan hingga kedalaman 300 meter. Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara stratification and transport (INSTANT) bulan Juli 2005 menunjukkan salinitas permukaan menurun dari utara ke selatan, bagian utara berkisar antara 33,441-35,314 psu dan bagian selatan antara 33,916-35,206 psu (Awaludin 2005). Nilai salinitas Selat Makassar memiliki nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan salinitas di Laut Sulawesi, Laut Banda dan Laut Flores. Hal ini disebabkan karena posisi Selat Makassar diapit oleh daratan Kalimantan dan Sulawesi yang memberikan suplai air tawar yang cukup besar (Naulita 1998). Suhu pada suatu perairan akan mengalami penurunan secara teratur sesuai dengan kedalaman, semakin dalam suhu akan semakin rendah atau dingin. Hal ini * 1 Sverdrup = 1 x 10 6 m 3 s -1

27 9 diakibatkan karena kurangnya intensitas matahari yang masuk kedalam perairan. Pada kedalaman melebihi 1000 meter suhu air relatif konstan dan berkisar antara 2-4 o C (Hutagalung 1988). Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktorfaktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden dan Hayes (1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1 o C pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 meter. Lukas dan Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur (lapisan homogen). Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991) adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya upwelling. Webster et al. (1998) menyatakan bahwa aliran bahang Arlindo dapat dibandingkan terhadap aliran bersih permukaan di utara Samudera Hindia dan sejumlah fraksi substansial dari aliran bahangnya. Beberapa hasil model penelitian mengungkapkan ketergantungan suhu permukaan dan simpanan bahang permukaan Samudera Pasifik dan Hindia terhadap Arlindo ini. Kedua samudera tersebut akan sangat berbeda jika tanpa Arlindo (MacDonald 1993). Maes (1998) menemukan bahwa ketiadaan Arlindo akan meningkatkan permukaan laut di Pasifik dan menurunkannya di Hindia sebanyak 2-10 cm. Perubahan dalam bilangan sentimeter dalam skala samudra akan berpengaruh sangat besar pada sirkulasi lautan dan keadaannya secara keseluruhan yang berimplikasi pada perubahan anggaran bahang dan akhirnya perubahan yg drastis pada sistem iklim regional. Sebaran suhu permukaan perairan Selat Makassar dipengaruhi oleh keadaan cuaca, antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan

28 10 intensitas penyinaran matahari. Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara o C dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db (Tomascik et al. 1997). Hasil pengukuran yang dilakukan Abdilah (2002) pada bulan Mei 2001 di Selat Makassar mendapatkan kisaran suhu antara 29,89-30,0 o C pada lapisan dibawah permukaan (2,5 meter), sedangkan hasil pengukuran Wenno (2003) pada bulan Oktober 2003 mendapatkan nilai rata-rata suhu lapisan permukaan Selat Makassar adalah 29,2 o C dengan nilai kisaran antara 28,5-29,6 o C dan mengalami penurunan hingga kedalaman 300 meter (11,29 o C). Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara stratification and transport (INSTANT) bulan Juli 2005 menunjukkan suhu permukaan Selat Makassar sebelah utara lebih hangat berkisar antara 29,14-29,69 o C dan sebelah selatan antara 27,44-29,10 o C (Awaludin 2005). 2.2 Ikan Pelagis Kecil Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang umumnya menyebar di perairan Selat Makassar antara lain adalah ikan kembung (Ratrelliger spp), layang (Decapterus russeli), tembang (Sardinella fimbriata), lemuru (Sardinella longiceps), selar bentong (Selar crumenophthalmus), japuh (Dussumieria acuta), tenggiri (Scomberomorus sp), tongkol (Scomberidae sp), petek (Leognatidae spp) dan ikan teri (Engraulidae) (Latumeten 1996). Penyebaran ikan pelagis kecil tersebut semakin meningkat dari bagian utara ke arah selatan Selat Makassar (Simbolon 1996). Ikan pelagis kecil merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena penyebaran utamanya adalah di perairan sekitar pantai, dan pada daerahdaerah dimana terjadi proses up welling, dan sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar (Csirke 1988). Menurut Ehrenberg (1984), ikan-ikan kecil cenderung bergerombol pada lapisan atas perairan, sedangkan ikan yang lebih besar menyebar di lapisan bawah. Burczynski et al. (1987) juga menyatakan bahwa penyebaran ikan-ikan kecil dapat dipengaruhi oleh profil temperatur dan thermocline. Menurut Laevastu dan Hela (1970), hewan laut termasuk di dalamnya ikan pelagis dapat dibagi dalam beberapa kelompok melalui migrasi vertikal, antara lain:

29 11 (1) Spesies ikan pelagis yang pada siang hari berada sedikit di atas termoklin, akan bermigrasi ke lapisan permukaan pada sore hari, menyebar di antara permukaan thermocline pada malam hari, dan naik ke atas lapisan thermocline pada pagi hari. (2) Spesies ikan pelagis yang pada siang hari berada di bawah lapisan thermocline, bermigrasi melalui thermocline ke lapisan permukaan selama pagi hari, menyebar antara permukaan dan dasar perairan selama malam hari dan melimpah di atas thermocline. (3) Spesies ikan pelagis yang berada di bawah lapisan thermocline, bermigrasi ke lapisan thermocline selama sore hari, menyebar kelapisan yang lebih dalam selama pagi hari. Pendugaan kelimpahan sumberdaya ikan sangat penting karena merupakan langkah awal dalam manajemen pengelolaan perikanan. Pendugaan kelimpahan dapat digunakan untuk menduga laju eksploitasi, mortalitas dan rekrutmen pada suatu sok ikan (Aziz 1989). 2.3 Landasan Teoritis Metode Hidroakustik MacLennan dan Simmonds (1992) menyatakan beberapa keuntungan dan keunggulan yang didapat bila menggunakan metode hidroakustik dalam estimasi ikan antara lain: (1) Menghasilkan informasi tentang densitas ikan secara cepat dan meliputi suatu kawasan yang luas; (2) Pendugaan dapat dilakukan secara langsung tanpa tergantung dari data statistik perikanan; (3) Memiliki ketelitian dan kecepatan tinggi dan dapat digunakan ketika metode lain tidak dapat digunakan. Metode ini menggunakan pulsa suara atau bunyi yang dihasilkan oleh alat transduser dan akan menghasilkan echo (gema) dari target yang dituju. Transmisi pulsa suara dari transduser dalam media air akan mengalami pengurangan intensitas dalam rambatannya menuju suatu obyek atau target. Pengurangan intensitas selama berlangsungnya proses transmisi pulsa itu disebut transmission loss (TL). Ada dua faktor yang membentuk pengurangan intensitas tersebut, yaitu perambatan geometris

30 12 (geometrical spreading) dan peredaman (attenuation) suara oleh suatu massa air (Burczynski 1982; Urick 1983; Johannesson dan Mitson 1983). Jika diasumsikan bahwa transmisi gelombang suara ada pada suatu titik dan merambat dalam medium yang ideal (tidak ada pengaruh peredaman), maka power (P) yang keluar dari seluruh permukaan sumber harus sama pada jarak berapapun dari sumber suara (misal; pada jarak R 1, R 2,.R n ), yang dirumuskan oleh Burczynski (1982) sebagai berikut: P R = I πR1 I 2 4πR 2... I n 4πR n (1) dimana: P R : power yang keluar/dipancarkan sumber suara I = 1,2,3, n : besarnya intensitas yang diukur pada jarak R = 1,2,3,..n. Gambar 2 Perambatan Suara pada Medium yang Ideal (Burczynski 1982). Dari persamaan (1) dapat ditentukan intensitas suara dari sumber pada jarak R n, yaitu: I πR0 I R 4πR n (2) dimana: I 0 : intensitas suara yang dipancarkan sumber suara R 0 : jarak standar, 1 meter dari sumber suara I : intensitas suara pada jarak R dari sumber suara R karena standar jarak (R) untuk referensi yang digunakan adalah 1 meter dari sumber suara atau ( R 0 ), maka dari persamaan (2) akan didapat: πr0 I 0 4π1 I 4 I 4 R πr 2 sehingga: 2 I R = I 0 R (3)

31 13 Penurunan intensitas yang diakibatkan oleh perambatan geometris (geometrical spreading) biasa juga disebut transmission loss (TL G ), persamaannya adalah: 2 ( I I ) 10 log ( ) TLG = 10 log 0 n R 20 log R (4) Pengurangan intensitas juga disebabkan adanya peredaman, dimana gelombang suara yang merambat di medium air sebagian energinya diserap oleh massa air, dan menurut Urick (1983) untuk setiap meter energi yang diserap dapat dinyatakan dengan: di I = ηdx, dimana:η : faktor peredaman Pada jarak antara R 1 dengan R0, maka intensitas I 1 pada jarak R 1 berhubungan dengan I 0 pada jarak R0, sehingga: I 1 = I η( R R ) (5) Dalam skala logaritmik, penurunan intensitas akibat peredaman (attenuation) ), menjadi: (TL A = 10 log ( I I ) 10 logη log ( R R ) TL A karena 10 logη log = α, dan R 1, maka: = TL A = αr (6) Berdasarkan persamaan (4) dan (6), maka pengurangan intensitas suara pada medium air akibat perambatan geometris (geometrical spreading) dan peredaman (attenuation) ditentukan dengan persamaan: TL = 20 log R + αr (7) Pengurangan intensitas pada persamaan (7) merupakan sekali perjalanan energi suara, yaitu dari transduser ke target, sedangkan sistem hidroakustik adalah menghitung gema (echo) yang dipantulkan kembali oleh target menuju sumber suara (transduser), sehingga akan terjadi dua kali perjalanan energi suara; dari transduser ke target, lalu kembali lagi (dipantulkan) ke transduser, yang berarti terjadi dua kali pengurangan intensitas. Maka untuk pengurangan intensitas ini, persamaannya adalah: 2 TL = 40 log R + αr (8) 1 0

32 14 Sedangkan energi yang dipantulkan kembali oleh target dan diterima kembali oleh transduser disebut juga derajat gema (Echo Level, EL), dan dapat ditentukan dengan persamaan yang dikemukakan oleh Urick (1983) sebagai berikut: EL = SL 2 TL + TS (9) Namun persamaan di atas hanya diterapkan pada target tunggal, maka untuk multiple target intensitas suara yang mencapai transduser biasa disebut reverberation level (RL). Johannesson dan Mitson (1983) mengemukakan konsep perhitungan intensitas suara yang mencapai transduser untuk multiple target, yang dijelaskan seperti pada Gambar 3. Gambar 3 Volume Backscattering Strength pada Multiple Target (Johannesson dan Mitson 1983). 2 Volume dv dihitung berdasarkan perkalian luas permukaan insonifikasi ( R dω) teradap ketebalan target ( c τ 2), sehingga diperoleh: dv 2 = R cτ 2 dω (10) Untuk mendapatkan intensitas volume acoustic backscattering, digunakan istilah coefficient volume backscattering (SV) yang analog dengan σ untuk target tunggal, yaitu: SV = I dan SV = 10 log sv b I 1 Sehingga intensitas dari dv ( d Ω disubstitusi ψ ) akan menjadi: sv r 2 ( cτ 2)ψ, dengan demikian maka RL dalam bentuk logaritmik adalah (Urick 1983):

33 15 RL = 10 log 4 2 [ I r sv R ( τ 2) ψ ] 0 c ( cτ 2) 10 logψ SL 20 log R + 10 log sv + 10 log +... (11) Gelombang tekanan yang memutuskan aksi RL pada transduser menghasilkan sebuah voltase VTR yang amplitudonya pada seketika waktu sama dengan RL + SRT (SRT = sensitivitas transduser), sehingga didapatkan: VTR = SL + SRT + SV + 10 log cτ/ log ψ..... (12) SL + SRT adalah sebuah parameter kelompok yang dapat diukur dengan rata-rata dari prosedur kalibrasi pada standar target. Tegangan VRT diolah melalui echosounder, pada awalnya oleh gain amplifier tetap (G1) dan kemudian amplitudo TVG (G2). Semua tegangan dari echosounder dikuadratkan dalam echo integrator untuk dikonversi dari satuan tegangan ke intensitas (Johannesson dan Mitson 1983). 2.4 Target Strength Target Strength merupakan kemampuan atau kekuatan suatu target untuk memantulkan kembali gelombang suara yang datang dan membenturnya (Ehrenberg 1984), sedangkan Coates (1990) mendefenisikan target strength sebagai ukuran desibel intensitas suara yang dikembalikan oleh target, diukur pada jarak standar satu meter dari pusat akustik target dan berbanding terhadap intensitas suara yang mengenai target. Ketika suatu gelombang akustik dalam bentuk pulsa suara dipancarkan melalui sebuah alat transduser dan mengenai atau membentur target di dalam kolom air, maka akan terjadi pemantulan gema (echo) energi dari target itu, akan tetapi tidak semua energi yang membentur target tersebut dapat dipantulkan, karena ada juga yang diabsorb dan ada pula yang melewati target itu. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai target strength dari ikan, antara lain ukuran dan bentuk ikan, sudut datang pulsa, orientasi ikan terhadap transduser, gelembung renang, acoustic impedance dan elemen ikan (daging, tulang, kekenyalan kulit, distribusi dari sirip dan ekor) walaupun pengaruh faktor terakhir ini kecil karena nilai kerapatannya tidak jauh berbeda dengan air (MacLennan 1989). Target strength adalah kemampuan dari suatu target untuk memantulkan suara, yang dapat dinyatakan dalam bentuk intensity target strength dan energy target strength. Nilai dan karakteristik target strength ikan ini ditentukan oleh

34 16 beberapa faktor, yaitu ukuran ikan (panjang badan), bentuk tubuh, spesies ikan, gelembung renang, tingkah laku (orientasi), acoustic impedance, panjang gelombang suara, beam pattern, kecepatan renang dan multiple scattering/sadowing effect (Johannesson dan Mitson 1983; MacLennan 1989; MacLennan dan Simmonds 1992). Johannesson dan Mitson (1983) menyatakan bahwa target strength dapat diartikan sebagai 10 kali nilai logaritma dari intensitas suara yang di pantulkan (I r) pada jarak satu meter dari target, dan dibagi dengan intensitas suara yang membentur target tersebut (I i ), seperti pada persamaan berikut ini: TS = 10 log Ir I i (13) dimana: I r : intensitas suara yang dipantulkan target I i : intensitas suara yang membentur target Menurut MacLennan dan Simmonds (1992), target strength merupakan backscattering cross section (σ bs ) dari target yang mengembalikan sinyal, seperti persamaan di bawah ini: TS = 10 log ( σ 4 π ) 10 log σbs (14) dimana : (σ/4 π) σ bs : acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (θ,φ) Maka, target strength dapat dinyatakan dalam: TS = 10 log Ir Ii 10 log ( σ 4 π ) 10 log σbs (15) Intensitas dari echo yang dipantulkan kembali oleh target tunggal dapat dinyatakan dalam persamaan ini: I = k ( 10-2αR /R 4 ) b 2 ( θ,φ ) σ bs (16) dimana: k : faktor skala kalibrasi (10-2αR /R 4 ) : faktor peredaman b 2 (θ,φ) : faktor beam pattern : acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (θ,φ) σ bs Untuk mendapatkan target strength atau σbs, maka faktor skala, peredaman dan beam pattern harus terlebih dahulu dieliminir. Faktor skala dan peredaman dapat dieliminir dengan kalibrasi pada TVG/time varied gain (penambahan berdasarkan variasi waktu), sedangkan faktor beam pattern cukup sulit dieliminir. Pada sistem akustik dual beam, faktor beam pattern dieliminir dengan menggunakan narrow

35 17 beam dan wide beam, sedangkan pada sistem akustik split beam dilakukan pembagian transduser atas empat kuadran secara elektrik, seperti tampak pada Gambar 4. Gambar 4 Ilustrasi Dual Beam dan Split Beam Acoustic System dalam Mendeteksi Keberadaaan Ikan Tunggal dan Kelompok Ikan (Simrad 1999). Proses transmisi gelombang suara dilakukan dengan full beam dari keempat kuadran secara simultan, tapi pada saat menerima echo yang kembali dari target, keempat kuadran tersebut bekerja secara terpisah. Output dari masing-masing kuadran digabungkan kembali membentuk full beam dan dua set split beam untuk isolasi target tunggal serta posisi sudut target (Gambar 5). Gambar 5 Prinsip dari Split Beam Echosounder (MacLennan 1990). Gambar 5 menjelaskan bahwa sinyal yang diterima oleh setiap kuadran diperbesar secara terpisah dalam empat saluran receiver yang memungkinkan arah datangnya echo dapat ditentukan. Sinyal echo sampai ke transduser pada waktu yang

36 18 berbeda di empat kuadran, sehingga dengan adanya phase detector maka phase angle dari tiap kuadran dapat dibedakan (Simrad 1977). Sudut lokasi dari suatu target tunggal dapat ditentukan dari perbedaan phase electric antara separuh transduser. Pada sisi alongship, beda phase dapat diperoleh dengan cara membandingkan sinyal di kuadran a + b dengan sinyal c + d, sehingga diperoleh beda phase θ 1, kemudian pada sisi athwarship, sinyal a + c dibedakan dengan sinyal b + d, sehingga diperoleh beda phase θ 2. Dengan diketahuinya beda phase θ 1 dan θ 2, maka koordinat sudut (θ,φ) dari posisi target dapat dihitung dengan persamaan berikut (Ehrenberg, 1983): θ = sin 1 γ ( sin 2 θ 1 + sin 2 θ 2 ) φ = tan 1 ( sin 2 θ 1 / sin 2 θ 2 ) (17) Setelah diperoleh nilai sudut θ 1 dan θ 2, maka faktor beam pattern dapat dihitung, sehingga nilai σ bs dapat diestimasi berdasarkan persamaan (17) di atas. Sebuah model geometrik sederhana untuk menduga energi backscatter berdasarkan ukuran ikan dikemukakan oleh MacLennan (1990) sebagai berikut: σ = b 0 L (18) TS = 20 lo L + b (19) Love (1971) dan (1977) merumuskan persamaan yang menghubungkan backscattering cross section (σ), panjang ikan (L) dan panjang gelombang (λ): σ/λ 2 = a ( L/λ ) b (db ) (20) dimana: a dan b adalah konstanta yang tergantung dari anatomi, ukuran ikan dan panjang gelombang. Persamaan (10) bila dirubah ke dalam bentuk logaritmik akan menjadi: dimana: TS = a log ( L ) + b log ( f ) + c (db) (21) TS : Target strength f : frekuensi suara a, b, c : konstanta Namun dari hasil penelitian yang dilakukan Foote (1987), menunjukkan tidak ada perbedaan hasil yang didapatkan dari frekwensi yang berbeda, oleh sebab itu diformulasikanlah suatu hubungan antara target strength dengan panjang ikan sebagai berikut: TS = 20 log ( L) 68 (db) (22) dimana: 68 adalah normalisasi target strength yang bersangkutan

37 Estimasi Densitas Akustik Ikan Burczynski (1982) menyatakan, suatu kelompok ikan tunggal yang berada pada suatu volume air tertentu yang diinsonifikasi secara sesaat oleh gelombang suara dapat disebut multiple target, selanjutnya dikatakan jika individu target menyebar normal, maka total power yang dipantulkan oleh multiple target akan merupakan jumlah dari power yang direfleksikan oleh masing-masing individu (Gambar 6), sehingga intensitasnya menjadi: I r total = I r1 + I r I rn (23) dimana: n = jumlah individu ikan Untuk suatu kelompok target sebanyak n target akan dapat diduga nilai rata-rata intensitasnya (Īr), sehingga: I r total = n Īr (24) oleh karena σ = 4π (I r / I i ), maka intensitas rata-rata per-target menjadi: Ī r = σ I i / 4π (25) sehingga: I r total = ( n σ / 4π) I i (26) Persamaan (26) dapat dituliskan dalam bentuk yang sederhana menjadi: I r total = n σ I i (27) Gambar 6 Pemantulan Echo dari Single dan Multiple Target (Burczynski 1982). Persamaan (27) merupakan dasar untuk mengestimasi stok ikan secara kuantitatif dengan hidroakustik dan apabila ditulis dalam bentuk logaritmik akan menjadi: S V = 10 log n + TS (28) dimana: S V adalah volume backscattering strength.

38 20 Menurut Johanesson dan Mitson (1983) bahwa untuk sebuah integrasi pada jarak kedalaman ΔR = R 1 - R 2, volume backscattering strength (S V ) untuk satu transmisi dari suatu ukuran intensitas akustik, direfleksikan dari tiap m 3 air yang dijumlahkan dan dirata-ratakan pada ΔR, sehingga S V yang diperoleh merupakan rata-rata S V ( S V ) dapat dituliskan sebagai berikut: S V = 10 log ρν + TS (29) S V n N = = 2 ( Vo ) n n 1 = Ci( R R ) (30) dimana: Ci : menggambarkan parameter SL, SRT, Ψ dan lain-lain N = ΔR/(Cτ/2) : jumlah panjang pulsa yang terjadi dalam ΔR (Vo 2 )n : kuadrat dari keluaran voltase ke-n Jika S V diketahui, maka rataan densitas ikan untuk suatu integrasi dapat diketahui apabila TS juga diketahui. Selanjutnya secara matematis persamaan (30) digabung dengan persamaan integrator, dimana output (M) yaitu: dimana: R2 M = Ge R1 2 Vo. dr (31) Ge : faktor gain echo integrator Vo : keluaran voltase yang diperoleh dari VR yang langsung masuk ke input terminal dari integrator Penggabungan dari dua persamaan (30) dan (31) akan diperoleh: S ΔR = M/Ci.Ge (32) V Dengan mensubstitusi persamaan (29) dan (32) akan diperoleh: ρv / ΔR = M/Ci.Ge (σ/4π) (33) ρv / ΔR = ρ A (34) Selanjutnya dalam sistem akustik bim terbagi (split beam), persamaan (34) diaplikasikan dengan: ρ A = S A / σ bs (35) dimana integrasi didasarkan pada persamaan berikut (Simrad 1997): σ / v = 4πr 2 Sv (36) σ / A = σ / v.dr (37) σbs = rata-rata ( σ / A ) (38)

39 21 Kemudian persamaan (38) mengubah volume backscattering strength (S V ) menjadi coefficient backscattering area (S A ) per unit volume. Jumlah S A (m 2 /nmi 2 ) dihubungkan dengan σ bs menjadi: S A = (1852 m/nmi) 2 σ bs (39) Selanjutnya perhitungan yang diimplimentasikan echosounder diperoleh dengan mengkombinasikan persamaan (36) dan (39) menjadi: R S A = 4π R Sv. dr (1852m / nmi ) (40) R1 Coefficient backscattering area (S A ) dari persamaan (40) dikalkulasi untuk setiap area terpilih yang dideteksi secara hidroakustik, dan dari nilai tersebut diperoleh nilai backscattering cross section (Sv): S (41) A Sν = π. R (1852m / nmi) ( R2 R1 ) Selanjutnya integrasi secara vertikal dilakukan dengan menghitung densitas ikan dalam suatu volume perairan berdasarkan persamaan (33) menjadi: ρv = ρa ( R 2 - R 1 ) (41) dimana: ρv : densitas ikan yang diperoleh untuk tiap satuan jarak integrasi dalam bentuk nilai jumlah ikan persatuan volume (1000 m 3 ) ρa : densitas ikan per luas area (ekor/m 3 ) R : jarak target dari transduser Densitas akustik ikan ρv dapat juga dilihat dari nilai NASC (m 2 /nmi 2 ), karena NASC merupakan besarnya nilai acoustic backscattering strength di dalam setiap milnya. Nilai NASC dapat diturunkan dari ABC (area backscattering coefficient) dalam satuan m 2 /m 2. Sν ABC = T (m 2 /m 2 ) (42) dimana: Sv : volume backscattering strength (m 2 /m 2 ) T : ketebalan setiap layer yang akan diambil datanya (m) Sehingga nilai NASC dapat diketahui seperti persamaan berikut ini: Sν NASC = 4π T (43) 2 = 4π1852 ABC (m 2 /nmi 2 ) (44) Nilai ABC dan NASC diukur berdasarkan area scattering, dihitung setelah terlebih dahulu mengintegrasikan area-area yang ingin dihitung, hal ini dilakukan

40 22 pada saat proses penghitungan dengan menggunakan software sonardata echoview versi NASC (nautical area scattering coefficient) identik dengan S A (coefficient backscattering area) yang biasa digunakan pada Simrad.

41 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dari bulan Agustus 2003 sampai Januari 2004, mulai dari persiapan, pengukuran dan pengumpulan data di lapangan, analisis data hingga penyusunan laporan. Pengukuran dan pengumpulan data secara in situ dilakukan pada tanggal Oktober 2003 di perairan Selat Makassar. 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian Sumberdaya ikan pelagis kecil dan data oseanografi (suhu dan salinitas) di perairan Selat Makassar merupakan bahan penelitian yang diteliti, sedangkan peralatan yang digunakan untuk melakukan pengukuran dan pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain: (1) Kapal Penelitian Penelitian ini menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII (1300 GT) milik Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) (spesifikasi dan desain dapat dilihat pada Lampiran 1). (2) Instrumen Akustik Semua instrumen akustik yang digunakan telah tersedia pada KR. Baruna Jaya VIII, meliputi: 1) scientific echosounder SIMRAD EK-500 dengan frekwensi 38 khz, transmisi berkekuatan 2 kw yang mampu mendeteksi hingga kedalaman meter, bandwidth terdiri dari 0,38 khz (narrow) dan 3,8 khz (wide) serta panjang pulsa 0,1; 0,3; dan 3,0 (ms); 2) SIMRAD BI-500 post-processing system; 3) donggle; 4) komputer tipe pentium dan printer warna (Lampiran 2). Selama perekaman data akustik, echosounder EK-500 diset sebagai berikut: Frekuensi : 38 khz Kedalaman rekaman : 5 ~ m TVG : 20 log R Kecepatan kapal : 6 ~ 7 knot Panjang pulsa : Medium Sv minimum : -70 db TS minimum : -70 db

42 24 (3) Instrumen Oseanografi Pengukuran parameter perairan (suhu dan salinitas) dilakukan dengan alat conductivity temperature depth (CTD) tipe SBE 911 plus seabirds dengan tingkat kemampuan mengukur hingga kedalaman maksimum meter (Lampiran 3). 3.3 Desain Survei Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan menggunakan sistem akustik split beam untuk mendapatkan data secara in situ dan real time. Peralatan akustik serta perangkat lainnya telah terpasang pada Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Agar pelaksanaan pendeteksian, pengukuran dapat mencakup seluruh area yang diteliti, maka dibuat suatu rancangan survei yang berupa suatu jalur transek pelayaran (cruise track) seperti Gambar 7. Gambar 7 Cruise Track dan Posisi Stasiun Oseanografi. Cruise track di Selat Makassar dibuat berbentuk sistematik sejajar (paralel) dengan jarak antar leg sekitar 30 mil laut. Menurut MacLennan dan Simmonds (1992) bahwa jika salah satu tujuan dari survei adalah untuk distribusi ikan, maka transek

43 25 dengan jarak yang sama atau sejajar (parallel grid) adalah lebih baik digunakan karena upaya penyamplingan distribusi akan merata pada area yang diteliti. Ditetapkan 5 leg dan 4 antar leg pada cruise track paralel yang digunakan, dan penentuan elementary sampling distance unit (ESDU) untuk perekaman data akustik ditetapkan sepanjang 1 nautical mile (nmi), sedangkan untuk pengukuran data oseanografi ditetapkan 16 stasiun pengukuran. Sebelum melakukan cruise seluruh instrumen akustik dan instrumen oseanografi harus dikalibrasi, dan stasiun untuk sampling faktor-faktor oseanografi pada sepanjang transek harus terlebih dahulu ditentukan dan ditandai pada peta pelayaran, sehingga pada saat melakukan pengukuran mudah diketahui dengan menggunakan kompas dan GPS. 3.4 Perolehan Data Data dan informasi yang diperoleh dari echosounder (frekuensi 38 khz) diteruskan ke komputer melalui local area network untuk keperluan penyimpanan serta analisis data dan perhitungan selanjutnya. Integrasi echo dilakukan meliputi seluruh kolom air sepanjang jalur transek yang dilewati oleh kapal mulai dari kedalaman 5 meter, dan selanjutnya pada pengolahan data dilakukan per-layer (lapisan kedalaman) dengan ketebalan masing-masing layer adalah 50m (5~50, 50~100, 100~150, 150~200, 200~250, 250~300 dan 300~350m), sehingga ada 7 layer yang diambil datanya. Nilai integrasi dikelompokan dalam satuan integrasi (ESDU) yang diperuntukan dalam pendugaan rata-rata densitas ikan per km 2 atau m 2 /nmi 2 untuk seluruh kolom perairan atau per-layer. Bersamaan dengan pengambilan data akustik, dilakukan juga pengumpulan data oseanografi (salinitas dan suhu) dengan menggunakan CTD pada 16 stasiun pengambilan data yang telah ditetapkan di sepanjang cruise track, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan adalah hasil penghitungan nilai sebaran kandungan korofil-a di perairan Selat Makassar. 3.5 Analisis Data Instrumen akustik merekam data akustik secara otomatis dan terus menerus serta menghasilkan data dalam bentuk echogram, dan selanjutnya data deteksi ikan tunggal dan kelompok ikan oleh perangkat echosounder SIMRAD EK 500 diproses dengan menggunakan software di dalam BI 500 post processing system. Software

44 26 tersebut berisi formula target strength ikan tunggal dan formula scattering volume kelompok ikan seperti yang diuraikan pada sub bab 2.4 Target Strength dan sub bab 2.5 Estimasi Densitas Akustik Ikan. Distribusi dan densitas ikan yang akan diestimasi diperoleh melaui proses intergrasi echo dalam arah vertikal untuk setiap layer yang telah ditentukan serta merata-ratakan dalam arah horisontal sepanjang cruise track. Pemrosesan data tersebut menghasilkan nilai densitas relatif (mean volume backscattering strength) tiap ESDU yang direkam dan dapat diketahui dalam bentuk echogram pada display komputer maupun dari print out printer. Pada prinsipnya keluaran echo integrator adalah dalam bentuk mean volume backscattering strength (densitas relatif), dan untuk melihat pola sebaran densitas ikan secara horisontal, maka nilai densitas akustik (acoustic density) ikan untuk setiap ESDU dipetakan sebagai satu titik koordinat yang terletak pada bagian tengah jalur transek. Echogram yang ditampilkan berdasarkan pemrosesan software sonardata echoview versi 4.10 dalam wujud densitas ikan dengan satuan ekor ikan/nmi 2 pada setiap ESDU dan menurut layer (lapisan kedalaman), selanjutnya dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan variasi distribusi densitas berdasarkan keseluruhan kedalaman perairan. Kedalaman perairan dialokasikan masing-masing dalam layer sekitar 50 meter, yaitu 5~50, 50~100, 100~150, 150~200, 200~250, 250~300 dan 300~350 meter. Fenomena parameter suhu, salinitas, estimasi acoustic values dan distribusi densitas per layer divisualisasikan dalam bentuk peta kontur horisontal dengan menggunakan software ocean dataview versi Secara umum, seluruh proses pengolahan dan analisis data hidroakustik dan oseanografi pada penelitian ini adalah seperti diagram alir pada Gambar 8.

45 27 Echosounder Simrad EK 500 GPS CTD Software BI 500 Software Sonardata echoview version 4.10 Sv, NASC per layer dan per ESDU Vessel position: Latitude and longitude Temperatur dan Salinitas Estimasi densitas dan distribusi Software Ocean dataview version Kondisi fisik perairan yang di teliti O v e r l a y Deskriptif Estimasi swimming layers dan densitas ikan pelagis kecil Gambar 8 Diagram Alir Pemrosesan Data dan Analisisnya.

46 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan dan analisa data untuk distribusi Sv dan NASC pada daerah penelitian ditampilkan berdasarkan tujuh layer (lapisan kedalaman). Suhu dan salinitas ditampilkan berdasarkan tiga layer, yaitu homogen layer (lapisan homogen) yang merupakan lapisan perairan dengan ketebalan lebih kurang 50 meter, mulai dari permukaan perairan hingga kedalaman 50 meter; thermocline layer (lapisan termoklin) yang berada tepat di bawah lapisan homogen hingga kedalaman 300 meter; dan deep layer (lapisan dalam) yang berada di bawah lapisan thermocline. Hal ini dilakukan untuk lebih memudahkan pembahasan yang dilakukan. 4.1 Distribusi Nilai Sv Pada profil menegak, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada layer 1, 2 dan sedikit pada layer 3 hingga layer 7, seperti tampak pada Gambar 9. Gambar 9 Estimasi Distribusi Menegak Nilai Sv pada Seluruh Leg dan Layer. Pada profil mendatar berikut ini dapat dilihat secara detil estimasi distribusi nilai Sv pada masing-masing layer, seperti dapat dilihat pada Gambar 10. Pada layer 1 yang ditunjukkan Gambar 10a memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv di bagian utara hingga tengah area memiliki nilai yang lebih tinggi

47 29 dibandingkan bagian barat dan barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv berkisar (-47,29 db) (-69,43 db). Pada layer 2 yang ditunjukkan Gambar 10b memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv cukup bervariatif, dimana nilai Sv yang lebih tinggi terdistribusi di bagian utara, di tengah, dan barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv ada pada kisaran (-58,29 db) (-69,92 db). Pada layer 3 yang ditunjukkan Gambar 10c memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi hanya di bagian selatan, barat daya dan barat area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv berkisar antara (-63,27 db) (-70 db). Pada layer 4 yang ditunjukkan Gambar 10d memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi hanya di bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv ada pada kisaran (-63,9 db) (-69,45 db). Pada layer 5 yang ditunjukkan Gambar 10e memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi masih hanya pada bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv berada pada kisaran (-62,46 db) (-69,29 db). Pada layer 6 yang ditunjukkan Gambar 10f memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi tetap hanya pada bagian barat daya area yang diteliti. Secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv pada layer ini berada pada kisaran (-62,95 db) (-69,77 db). Pada layer 7 yang ditunjukkan Gambar 10g memperlihatkan bahwa estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi masih di bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv ada pada kisaran (-65,72 db) (-68,84 db).

48 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) 30 Gambar 10 Estimasi Distribusi Mendatar Nilai Sv pada Seluruh Layer.

49 31 Untuk memudahkan estimasi dan pembahasan terhadap nilai Sv, maka pada pembahasan ini profil melintang dibagi menjadi lima leg (section melintang searah longitude) dan empat antar leg (section melintang searah latitude). Profil estimasi distribusi melintang nilai Sv yang terdiri dari lima leg dapat dilihat seperti tampak pada Gambar 11. Pada leg 1 yang ditunjukkan oleh Gambar 11a memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada layer 1 dan 2. Distribusi nilai Sv hampir merata pada kolom perairan layer 1 dan 2 tersebut, dan setelah kedalaman 110 meter tidak terdeteksi adanya distribusi nilai Sv. Pada leg 2 yang ditunjukkan oleh Gambar 11b memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv masih tetap terkonsentrasi pada layer 1 dan 2, serta sedikit pada layer 6 dan 7. Distribusi nilai Sv lebih dominan berada pada bagian barat, yakni di depan perairan Muara Bekapai. Pada leg 3 yang ditunjukkan oleh Gambar 11c memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv juga terkonsentrasi pada layer 1 dan 2. Distribusi nilai Sv lebih dominan pada bagian timur yang merupakan perairan di depan Delta Mahakam dan pada bagian barat yang merupakan perairan di atas Teluk Palu. Kekosongan yang terlihat pada bagian tengah leg disebabkan tidak tersedianya data akibat masalah teknis saat perekaman data di lapangan. Pada leg 4 yang ditunjukkan oleh Gambar 11d memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada layer 1 dan 2. Distribusi nilai Sv hampir merata pada kolom perairan layer 1 dan 2 tersebut, dan setelah kedalaman 70 meter tidak terdeteksi adanya distribusi nilai Sv. Leg 4 ini berada tepat di depan perairan Bontang hingga depan perairan Tanjung Manimbaya yang berada di Sulawesi. Pada leg 5 yang ditunjukkan oleh Gambar 11e memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada layer 1 dan 2. Sama halnya dengan leg 3, pada leg 5 ini kekosongan yang terlihat pada bagian tengah leg disebabkan oleh tidak tersedianya data akibat masalah teknis saat perekaman data di lapangan.

50 50 (a) (b) (c) (d) (e) 32 Gambar 11 Estimasi Distribusi Melintang Nilai Sv pada Masing-masing Leg.

51 33 Profil estimasi distribusi melintang nilai Sv yang terdiri dari lima antar leg dapat dilihat pada Gambar 12. Pada antar leg 1 yang ditunjukkan Gambar 12a memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi secara acak mulai dari layer 1 hingga pada layer 7. Lintasan antar Leg 1 ini berada di depan perairan Muara Bekapai. Pada antar leg 2 yang ditunjukkan Gambar 12b memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv hanya terkonsentrasi pada layer 1, lebih dominan berada pada bagian utara lintasan. Lintasan antar leg ini berada di depan perairan Donggala. Pada antar leg 3 yang ditunjukkan Gambar 12c memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv juga terkonsentrasi pada layer 1 dan 2. Distribusi nilai Sv lebih dominan pada bagian utara, yakni perairan di atas Muara Berau. Pada antar leg 4 yang ditunjukkan Gambar 12d memperlihatkan estimasi distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada sepanjang lintasan antar leg, pada layer 1 dan 2 serta sedikit pada layer 3. Lintasan antar leg 4 ini tepat berada di depan perairan Tanjung Manimbaya.

52 34 (a) (b) (c) (d) Gambar 12 Estimasi Distribusi Melintang Nilai Sv pada Masing-masing Antar Leg.

53 Distribusi Nilai NASC Pada profil menegak ini terlihat bahwa estimasi distribusi kepadatan akustik ikan berkisar antara 5, ,92 m 2 /nmi 2 yang umumnya terkonsentrasi pada layer 1 dan sedikit pada layer 2, seperti ditunjukkan pada Gambar 13. Gambar 13 Estimasi Distribusi Menegak Nilai NASC pada Seluruh Leg dan Layer. Sama halnya dengan pfofil distribusi secara menegak, maka pada profil mendatar ini dapat dilihat dengan jelas bahwa estimasi distribusi nilai NASC secara umum terkonsentrasi pada layer 1 dan 2, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 14. Pada layer 1 yang ditunjukkan oleh Gambar 14a memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC sangat bervariasi. Pada bagian utara hingga ke tengah area memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan pada bagian barat, barat daya dan tenggara area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC berkisar 221, ,92 m 2 /nmi 2. Pada layer 2 yang ditunjukkan oleh Gambar 14b memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC cukup variatif, dimana distribusi nilai yang lebih tinggi berada pada bagian selatan area yang diteliti. Pada layer ini, secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC berada pada kisaran 219, ,66 m 2 /nmi 2.

54 36 Pada layer 3 yang ditunjukkan oleh Gambar 14c memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC yang lebih tinggi terkonsentrasi pada bagian selatan dan pada bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC berada pada kisaran 175, ,07 m 2 /nmi 2. Pada layer 4 yang ditunjukkan oleh Gambar 14d memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC terkonsentrasi hanya di bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC ada pada kisaran 5,09 878,32 m 2 /nmi 2. Pada layer 5 yang ditunjukkan oleh Gambar 14e memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC terkonsentrasi masih hanya di bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC ada pada kisaran 210, ,33 m 2 /nmi 2. Pada layer 6 yang ditunjukkan oleh Gambar 14f memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC terkonsentrasi tetap hanya di bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC ada pada kisaran 125,29 933,06 m 2 /nmi 2. Pada layer 7 yang ditunjukkan oleh Gambar 14g memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC masih tetap terkonsentrasi pada bagian barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai NASC ada pada kisaran 281,69 577,49 m 2 /nmi 2.

55 55 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) 37 Gambar 14 Estimasi Distribusi Mendatar Nilai NASC pada Seluruh Layer.

56 38 Untuk memudahkan estimasi dan pembahasan terhadap nilai NASC, maka pada pembahasan ini profil melintang dibagi menjadi lima leg (section melintang searah longitude) dan empat antar leg (section melintang searah latitude). Profil estimasi distribusi melintang nilai NASC yang terdiri dari lima leg dapat dilihat pada Gambar 15. Pada leg 1 yang ditunjukkan Gambar 15a memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran m 2 /nmi 2 hanya terkonsentrasi pada layer 1 yang berada di bagian timur lintasan leg. Selain dari area yang telah disebutkan tadi, distribusi nilai NASC di bawah kisaran 3000 m 2 /nmi 2 menyebar hampir merata pada kolom perairan layer 1, 2 dan 3. Pada leg 2 yang ditunjukkan Gambar 15b memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran m 2 /nmi 2 hanya terkonsentrasi pada layer 1 yang berada pada bagian tengah lintasan leg. Selain dari area yang disebutkan tadi, distribusi nilai NASC di bawah kisaran 4000 m 2 /nmi 2 hampir merata pada kolom perairan layer 1 dan sebagian pada layer 2, serta sedikit pada layer 6 dan 7. Pada leg 3 yang ditunjukkan Gambar 15c memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC yang berkisar antara m 2 /nmi 2 terkonsentrasi pada hampir seluruh layer 1, sedangkan distribusi nilai NASC di bawah kisaran 4000 m 2 /nmi 2 ada di sebagian layer 2. Pada leg 4 yang ditunjukkan Gambar 15d memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran m 2 /nmi 2 terkonsentrasi di hampir seluruh layer 1, pola ditribusi nilai NASC pada leg 4 ini hampir sama seperti pola distribusi yang ada pada leg 3, dan distribusi nilai NASC di bawah kisaran 4000 m 2 /nmi 2 ada di sebagian layer 2. Pada leg 5 yang ditunjukkan Gambar 15e memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran m 2 /nmi 2 terkonsentrasi di seluruh layer 1, pola ditribusi nilai NASC pada leg 5 ini ada kemiripan seperti pola distribusi yang ada pada leg 3 dan leg 4, dan distribusi nilai NASC di bawah kisaran 4000 m 2 /nmi 2 berada pada sebagian kecil layer 2.

57 42 (a) (b) (c) (d) (e) 39 Gambar 15 Estimasi Distribusi Melintang Nilai NASC pada Masing-masing Leg.

58 40 Profil estimasi distribusi melintang nilai NASC yang terdiri dari empat antar leg dapat dilihat pada Gambar 16. Pada antar leg 1 yang ditunjukkan Gambar 16a memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran di bawah 4000 m 2 /nmi 2 terkonsentrasi secara acak hampir membentuk kolom diagonal mulai dari layer 1 hingga layer 7. Antar leg 1 ini berada di depan perairan Muara Bekapai. Pada antar leg 2 yang ditunjukkan Gambar 16b memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC yang memiliki kisaran m 2 /nmi 2 terkonsentrasi pada seluruh layer 1, sedangkan distribusi nilai NASC di bawah kisaran 4000 m 2 /nmi 2 berada pada sebagian kecil layer 2. Lintasan antar leg ini berada di depan perairan Donggala. Pada antar leg 3 yang ditunjukkan Gambar 16c memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC dengan kisaran di bawah 4000 m 2 /nmi 2 terkonsentrasi pada seluruh layer 1, sebagian pada layer 2 dan sebagian kecil pada layer 3. Lintasan antar leg ini berada di depan perairan Muara Berau. Pada antar leg 4 yang ditunjukkan oleh Gambar 16d memperlihatkan estimasi distribusi nilai NASC yang memiliki kisaran m 2 /nmi 2 terkonsentrasi pada seluruh layer 1, sedangkan distribusi nilai NASC dengan kisaran di bawah 4000 m 2 /nmi 2 berada pada sebagian layer 2 dan sebagian kecil pada layer 3. Lintasan antar leg 4 ini berada tepat di depan perairan Tanjung Manimbaya.

59 41 (a) (b) (c) (d) Gambar 16 Estimasi Distribusi Melintang Nilai NASC pada Masing-masing Antar Leg.

60 42 Profil estimasi distribusi nilai NASC juga disajikan secara temporal (siang dan malam), dan pada Gambar 17 yang merupakan profil nilai NASC pada siang hari dapat dilihat bahwa nilai NASC yang terdeteksi pada sepanjang cruise track berkisar antara 125, ,54 m 2 /nmi 2. Nilai NASC dengan kisaran nilai antara m 2 /nmi 2 umumnya terdistribusi mulai dari layer 1 hingga layer 2. Gambar 17 Estimasi Distribusi Nilai NASC pada Siang Hari. Pada profil nilai NASC malam hari yang ditunjukkan oleh Gambar 18 dapat dilihat bahwa nilai NASC yang terdeteksi pada sepanjang cruise track berkisar antara 5, ,92 m 2 /nmi 2. Nilai NASC dengan kisaran antara m 2 /nmi 2 umumnya terdistribusi hanya pada layer 1. Gambar 18 Estimasi Distribusi Nilai NASC pada Malam Hari.

61 43 Perbedaan distribusi nilai NASC pada siang dan malam hari disebabkan oleh pengaruh suhu, karena pada siang hari umumnya suhu relatif akan lebih tinggi pada permukaan perairan akibat penerimaan intensitas sinar matahari, sehingga kawanan ikan diduga akan bergerak sedikit lebih dalam menuju layer di bawahnya. Pada malam hari suhu permukaan perairan umumnya relatif menjadi lebih rendah karena tidak ada intensitas sinar matahari, sehingga kawanan ikan akan bergerak sedikit ke permukaan perairan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 17 dimana nilai NASC pada siang hari dengan kisaran cukup padat yakni m 2 /nmi 2 yang terdeteksi berada pada layer 1 dan layer 2. Pada Gambar 18 yang mewakili nilai NASC pada malam hari dapat dilihat bahwa NASC dengan kisaran nilai m 2 /nmi 2 hanya terdistribusi pada layer 1. Fenomena migrasi vertikal siang dan malam hari ini seperti yang dikemukaan oleh Laevastu dan Hela (1970) bahwa ikan pelagis umumnya akan melakukan migrasi vertikal menurut perubahan suhu pada perairan.

62 Distribusi Nilai Suhu Distribusi menegak suhu Pada Gambar 19 dapat dilihat profil nilai suhu pada ketiga layer, yaitu homogen layer, thermocline layer dan deep layer pada seluruh area penelitian. Gambar 19 Distribusi Menegak Nilai Suhu pada 16 Stasiun Pengamatan. Pada seluruh stasiun pengamatan yang berjumlah 16 stasiun, nilai suhu yang tercatat memiliki kisaran 3,61 29,59 o C. Kisaran nilai suhu pada homogen layer cukup bervariasi, sedangkan pada thermocline layer memiliki tren penurunan yang drastis, dan pada deep layer nilai suhu cenderung mengalami penurunan dengan kisaran yang sempit. Dari data hasil pengukuran dan analisa yang telah dilakukan, didapatkan distribusi nilai suhu pada homogen layer mulai dari permukaan perairan hingga kedalaman 50 meter memiliki kisaran 25,33 29,59 o C. Pada thermocline layer, mulai dari kedalaman 50 meter hingga 300 meter didapatkan kisaran nilai suhu 9,98 28,47 o C. Pada lapisan ini terjadi penurunan suhu yang sangat drastis seiring

63 45 penurunan kedalaman. Pada deep layer, mulai dari kedalaman 300 meter hingga perairan di bawahnya, nilai suhu tercatat pada kisaran 3,61 11,28 o C. Pada layer ini terjadi penurunan nilai suhu seiring dengan penurunan kedalaman, tetapi dengan kisaran nilai suhu yang kecil dan cukup konstan. Mulai dari kedalaman meter hingga batas akhir pengukuran (kedalaman meter) kisaran nilai suhu sangat kecil, yaitu antara 4,5 3,61 o C Distribusi mendatar suhu Distribusi nilai suhu pada homogen layer yang ditunjukkan oleh Gambar 20a memperlihatkan bahwa sebaran nilai suhu lebih tinggi berada pada bagian timur dan tenggara area yang diteliti. Sebaran nilai suhu paling rendah berada di bagian barat daya dan barat laut. Pada thermocline layer yang ditunjukkan oleh Gambar 20b memperlihatkan sebaran nilai suhu yang lebih tinggi masih berada pada bagian timur dan tenggara, menyebar hingga ke bagian barat area yang diteliti. Sebaran nilai yang relatif lebih rendah berada pada bagian utara hingga timur laut area yang diteliti. Pada deep layer yang ditunjukkan oleh Gambar 20c memperlihatkan bahwa sebaran nilai suhu yang relatif lebih tinggi berada pada bagian tenggara, barat daya, dan bagian utara area yang diteliti. Sebaran nilai suhu yang lebih rendah berada pada bagian selatan dan barat laut area yang diteliti, sedangkan untuk nilai suhu yang paling rendah menyebar merata pada seluruh area selain area yang telah disebutkan tadi.

64 46 (a) (b) (c) Gambar 20 Distribusi Mendatar Nilai Suhu pada Masing-masing Layer.

65 Distribusi melintang suhu Dalam menampilkan distribusi nilai suhu secara melintang, maka dibuat section (pembagian sesuai trek pada saat pengambilan data di lapangan). Hal ini akan memudahkan pembahasan terhadap nilai suhu tersebut. Pada pembahasan ini dibuat empat section melintang searah longitude dan empat section melintang searah latitude. Profil distribusi melintang nilai suhu searah dengan longitude yang terbagi dalam empat section dapat dilihat seperti pada Tabel 1 dan Gambar 21. Section 1 yang ditunjukkan oleh Gambar 21a mencakup stasiun 1 hingga stasiun 4, dimana pada stasiun 1 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,54 29,27 o C. Pada stasiun 2 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,19 29,12 o C dan pada stasiun 3 nilai suhu tercatat pada kisaran 9,98 28,99 o C. Pada stasiun 4 tercatat nilai suhu pada kisaran 9,14 28,5 o C. Secara keseluruhan pada section 1 ini tercatat kisaran nilai suhu antara 9,14 29,27 o C. Section 2 yang ditunjukkan oleh Gambar 21b mencakup stasiun 5 hingga stasiun 8, dimana pada stasiun 5 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,27 29,13 o C dan pada stasiun 6 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,9 28,89 o C. Pada stasiun 7 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,2 29,4 o C dan pada stasiun 8 nilai suhu tercatat pada kisaran 11,26 29,59 o C. Secara keseluruhan, pada section 2 ini tercatat kisaran nilai suhu antara 10,2 29,59 o C. Section 3 yang ditunjukkan oleh Gambar 21c mencakup stasiun 9 hingga stasiun 12, dimana pada stasiun 9 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,86 29,58 dan pada stasiun 10 nilai suhu tercatat pada kisaran 9,53 28,88 o C. Pada stasiun 11 nilai suhu tercatat pada kisaran 11,13 28,67 o C dan pada stasiun 12 nilai suhu yang tercatat berada kisaran 23,51 28,63 o C. Secara keseluruhan, pada section 3 ini nilai suhu yang tercatat pada kisaran 9,53 29,58 o C. Section 4 yang ditunjukkan oleh Gambar 21d mencakup stasiun 13 hingga stasiun 16, dimana pada stasiun 13 nilai suhu tercatat pada kisaran 9,94 28,71 o C dan pada stasiun 14 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,77 28,52 o C. Pada stasiun 15 nilai suhu tercatat pada kisaran 11,34 28,91 o C dan pada stasiun 16 nilai suhu tercatat pada kisaran 11,34 28,91 o C. Secara keseluruhan, pada section 4 ini nilai suhu yang tercatat pada kisaran 9,94 28,91 o C. o C

66 48 Tabel 1 Distribusi Kisaran Nilai Suhu pada Seluruh Section (searah Longitude). Section 1 Section 2 Section 3 Section 4 Stasiun Kisaran Nilai Suhu Kisaran Suhu tiap Section [ o C] [ C] 1 10,54 29, ,19 29,12 9,14 29,27 3 9,98 28,99 4 9,14 28,5 5 10,27 29,13 6 9,53 28,88 10,2 29, ,2 29,4 8 11,26 29, ,86 29,58 9,53 29, ,51 28, ,94 28,71 9,94 28, ,34 28, ,53 28,88 10,77 28, ,13 28,67 11,34 28,91

67 49 (a) (b) (c) (d) Gambar 21 Distribusi Melintang Nilai Suhu pada Masing-masing Section searah Longitude.

68 50 Tampilan distribusi melintang nilai suhu searah dengan latitude yang terbagi dalam empat section dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 22. Section 1 yang ditunjukkan oleh Gambar 22a mencakup stasiun 4, 5, 12 dan stasiun 13, dimana pada stasiun 4 nilai suhu tercatat pada kisaran 9,14 28,5 o C. Pada stasiun 5 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,27 29,13 o C, pada stasiun 12 nilai suhu tercatat pada kisaran 23,51 28,63 o C dan pada stasiun 13 nilai suhu tercatat pada kisaran 9,94 28,71 o C. Secara keseluruhan, pada section 1 ini kisaran nilai suhu tercatat antara 9,14 29,13 o C. Section 2 yang ditunjukkan oleh Gambar 22b mencakup stasiun 3, 6, 11 dan stasiun 14, dimana pada stasiun 3 nilai suhu tercatat pada kisaran 9,98 28,99 o C. Pada stasiun 6 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,9 28,89 o C, pada stasiun 11 nilai suhu tercatat pada kisaran 11,13 28,67 o C dan pada stasiun 14 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,77 28,52 o C. Secara keseluruhan, pada section 2 ini kisaran nilai suhu tercatat antara 9,98 29,99 o C. Section 3 yang ditunjukkan oleh Gambar 22c mencakup stasiun 2, 7 dan stasiun 10, dimana pada stasiun 2 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,19 29,12 o C, pada stasiun 7 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,2 29,4 o C dan pada stasiun 10 nilai suhu tercatat pada kisaran 9,53 28,88 o C. Secara keseluruhan, pada section 3 ini kisaran nilai suhu tercatat antara 9,53 29,4 o C. Section 4 yang ditunjukkan oleh Gambar 22d mencakup stasiun 1, 8, 9, 15 dan stasiun 16, dimana pada stasiun 1 nilai suhu berkisar 10,54 29,27 o C. Pada stasiun 8 nilai suhu tercatat pada kisaran 11,26 29,59 o C dan pada stasiun 9 nilai suhu tercatat pada kisaran 10,86 29,58 o C. Pada stasiun 15 nilai suhu tercatat pada kisaran 11,34 28,91 o C dan pada stasiun 16 nilai suhu berkisar 11,34 28,91 o C. Secara keseluruhan, pada section 4 ini kisaran nilai suhu antara 10,54 28,59 o C.

69 51 Tabel 2 Distribusi Kisaran Nilai Suhu pada Seluruh Section (searah Latitude). Section 1 Section 2 Section 3 Section 4 Stasiun Kisaran Nilai Suhu Kisaran Suhu tiap Section [ o C] [ C] 4 9,14 28,5 5 10,27 29,13 9,14 29, ,51 28, ,94 28,71 3 9,98 28,99 6 9,53 28,88 10,2 29, ,13 28, ,77 28, ,19 29, ,2 29,4 9,53 29, ,53 28, ,54 29, ,26 29, ,86 29,58 9,94 28, ,34 28, ,34 28,91

70 52 (a) (b) (c) (d) Gambar 22 Distribusi Melintang Nilai Suhu pada Masing-masing Section searah Latitude.

71 Distribusi Nilai Salinitas Distribusi menegak salinitas Pada seluruh stasiun pengamatan yang berjumlah 16 stasiun, nilai salinitas yang tercatat memiliki kisaran 30,41 34,79 psu (Gambar 23). Kisaran salinitas pada kedalaman 0 50 meter (homogen layer) lebih bervariasi bila dibandingkan dengan kedua layer di bawahnya. Pada kedalaman meter (thermocline layer) nilai salinitas memiliki kisaran cukup sempit dan pada kedalaman 300 hingga batas akhir pengukuran (deep layer) nilai salinitas memiliki kisaran yang sangat sempit. Dari hasil pengukuran dan analisa yang dilakukan, didapatkan distribusi nilai salinitas pada homogen layer dengan kisaran 30,41 34,36 psu. Pada layer ini nilai salinitas tertinggi terdapat pada kedalaman 50 meter. Pada thermocline layer didapatkan distribusi nilai salinitas dengan kisaran yang lebih sempit bila dibandingkan dengan nilai salinitas pada homogen layer. Pada thermocline layer ini nilai salinitas tercatat pada kisaran antara 33,74 34,79 psu. Nilai salinitas ini cenderung mengalami peningkatan mulai dari kedalaman 50 meter hingga kedalaman 130 meter, dan kemudian menurun lagi hingga batas bawah layer, yaitu kedalaman 300 meter. Pada layer ini nilai salinitas tertinggi terdapat pada kedalaman 115 meter. Pada deep layer didapatkan distribusi nilai salinitas dengan kisaran 34,45 34,59 psu, kisaran nilai pada layer ini memiliki kisaran yang lebih sempit bila dibandingkan dengan dua layer di atasnya dan cenderung meningkat seiring dengan penurunan kedalaman.

72 54 Gambar 23 Distribusi Menegak Nilai Salinitas pada 16 Stasiun Pengamatan Distribusi mendatar salinitas Distribusi nilai salinitas pada homogen layer yang ditunjukkan Gambar 24a memperlihatkan bahwa sebaran nilai salinitas cukup variatif dengan sebaran nilai salinitas lebih lebih rendah berada pada stasiun 5 dan 6 yang terletak pada bagian barat area yang diteliti. Salinitas pada homogen layer ini dipengaruhi oleh masuknya massa air dari Pasifik Utara, sistem monsoon dan besarnya suplai air tawar dari sungai-sungai yang ada di Kalimantan dan Sulawesi. Laut Sulawesi, Selat Makassar dan Laut Flores merupakan jalur masuk utama Arlindo (arus lintas Indonesia) yang bersalinitas cukup tinggi, akan tetapi suplai air tawar dari Kalimantan dan Sulawesi berpengaruh besar bagi terjadinya penurunan salinitas, sehingga nilai salinitas Selat Makassar memiliki nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan salinitas di Laut Sulawesi dan Laut Flores. Monsoon memegang peranan besar bagi perubahan pola arus dan mempengaruhi karakteristik (suhu dan salinitas) massa air permukaan perairan. Selain itu monsoon dapat menyebabkan terbentuknya monsoon current di

73 55 perairan lepas pantai, bahkan dapat pula menyebabkan pengadukan pada lapisan permukaan sehingga terbentuk lapisan homogen dengan ketebalan hingga 50 meter. Pada thermocline layer yang ditunjukkan Gambar 24b memperlihatkan sebaran salinitas dengan nilai yang lebih bervariatif pada area yang diteliti, dimana nilai salinitas yang lebih tinggi berada pada bagian timur laut dan selatan area yang diteliti. Sebaran nilai paling rendah masih berada pada stasiun 5 yang terletak pada bagian barat area yang diteliti, yakni area di depan perairan Delta Mahakam. Delta Mahakam memainkan peranan penting bagi dinamika salinitas perairan di depannya, karena delta yang mecakup beberapa muara sungai besar ini menyuplai air tawar yang cukup besar dan tentu saja mempengaruhi nilai salinitas perairan di sekitarnya. Pada deep layer yang ditunjukkan Gambar 24c memperlihatkan sebaran salinitas dengan kisaran nilai yang relatif seragam dan dengan kisaran yang sangat sempit, hal ini disebabkan karena sangat sedikit dan kecilnya faktor-faktor yang mampu dan dapat mempengaruhi massa air pada layer ini.

74 56 (a) (b) (c) Gambar 24 Distribusi Mendatar Nilai Salinitas pada Masing-masing Layer.

75 Distribusi melintang salinitas Dalam menampilkan distribusi nilai salinitas secara melintang, maka dibuat section (pembagian sesuai trek pada saat pengambilan data di lapangan), ini untuk lebih memudahkan penganalisaan dan pembahasan terhadap nilai salinitas tersebut. Pada pembahasan ini, dibuat empat section melintang searah longitude dan empat section melintang searah latitude. Tampilan distribusi melintang nilai salinitas searah dengan longitude yang terbagi dalam empat section dapat dilihat seperti pada Tabel 3 dan Gambar 25. Gambar 25a merupakan section 1 yang mencakup stasiun 1 hingga stasiun 4, dimana pada stasiun 1 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,42 34,76 psu dan pada stasiun 2 nilai salinitas tercatat pada kisaran 32,83 34,75 psu. Pada stasiun 3 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,69 34,74 psu dan pada stasiun 4 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,51 34,73 psu. Secara keseluruhan, pada section 1 ini nilai salinitas tercatat antara 32,83 34,76 psu. Gambar 25b merupakan section 2 yang mencakup stasiun 5 hingga stasiun 8, dimana pada stasiun 5 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,61 34,75 psu dan pada stasiun 6 nilai salinitas tercatat pada kisaran 30,41 34,74 psu. Pada stasiun 7 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,57 34,79 psu dan pada stasiun 8 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,21 34,74 psu. Secara keseluruhan, pada section 2 ini nilai salinitas tercatat antara 30,41 34,79 psu. Gambar 25c merupakan section 3 yang mencakup stasiun 9 hingga stasiun 12, dimana pada stasiun 9 nilai salinitas tercatat pada kisaran 32,79 34,76 psu dan pada stasiun 10 tercatat nilai salinitas pada kisaran 33,51 34,76 psu. Pada stasiun 11 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,52 34,75 psu dan pada stasiun 12 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,57 34,47 psu. Secara keseluruhan, pada section 3 ini nilai salinitas tercatat antara 32,79 34,76 psu. Gambar 25d merupakan section 4 yang mencakup stasiun 13 hingga stasiun 16, dimana pada stasiun 13 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,42 34,72 psu dan pada stasiun 14 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,65 34,73 psu. Pada stasiun 15 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,48 34,75 psu dan pada stasiun 16 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,48 34,75 psu. Secara keseluruhan, pada section 4 ini nilai salinitas tercatat antara 33,42 34,75 psu.

76 58 Tabel 3 Distribusi Kisaran Nilai Salinitas pada Seluruh Section (searah Longitude). Section 1 Section 2 Section 3 Section 4 Stasiun Kisaran Nilai Salinitas [psu] 1 33,42 34, ,83 34, ,69 34, ,51 34, ,61 34, ,41 34, ,57 34, ,21 34, ,79 34, ,51 34, ,52 34, ,57 34, ,42 34, ,65 34, ,48 34, ,48 34,75 Kisaran Salinitas tiap Section [psu] 32,83 34,76 30,41 34,79 32,79 34,76 33,42 34,75

77 59 (a) (b) (c) (d) Gambar 25 Distribusi Melintang Nilai Salinitas pada Masing-masing Section searah Longitude.

78 60 Tampilan distribusi melintang nilai salinitas searah dengan latitude yang terbagi dalam empat section dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 26. Gambar 26a merupakan section 1 yang mencakup stasiun 4, 5, 12 dan 13, dimana pada stasiun 4 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,51 34,73 psu dan pada stasiun 5 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,61 34,75 psu. Pada stasiun 12 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,57 34,47 psu dan pada stasiun 13 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,42 34,72 psu. Secara keseluruhan, pada section 1 ini nilai salinitas tercatat antara 33,42 34,75 psu. Gambar 26b merupakan section 2 yang mencakup stasiun 3, 6, 11 dan 14, dimana pada stasiun 3 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,69 34,74 psu dan pada stasiun 6 nilai salinitas tercatat pada kisaran 30,41 34,74 psu. Pada stasiun 11 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,52 34,75 psu dan pada stasiun 14 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,65 34,73 psu. Secara keseluruhan, pada section 2 ini nilai salinitas tercatat antara 30,41 34,75 psu. Gambar 26c merupakan section 3 yang mencakup stasiun 2, 7 dan 10, dimana pada stasiun 2 nilai salinitas tercatat pada kisaran 32,83 34,75 psu. Pada stasiun 7 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,57 34,79 psu dan pada stasiun 10 tercatat nilai salinitas pada kisaran 33,51 34,76 psu. Secara keseluruhan, pada section 3 ini nilai salinitas tercatat antara 32,83 34,79 psu. Gambar 26d merupakan section 4 yang mencakup stasiun 1, 8, 9, 15 dan 16, dimana pada stasiun 1 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,42 34,76 psu dan pada stasiun 8 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,21 34,74 psu. Pada stasiun 9 nilai salinitas tercatat pada kisaran 32,79 34,76 psu, pada stasiun 15 nilai salinitas yang tercatat pada kisaran 33,48 34,75 psu dan pada stasiun 16 nilai salinitas tercatat pada kisaran 33,48 34,75 psu. Secara keseluruhan, pada section 4 ini nilai salinitas tercatat antara 32,79 34,76 psu.

79 61 Tabel 4 Distribusi Kisaran Nilai Salinitas pada Seluruh Section (searah Latitude). Section 1 Section 2 Section 3 Section 4 Stasiun Kisaran Nilai Salinitas [psu] 4 33,51 34, ,61 34, ,57 34, ,42 34, ,69 34, ,41 34, ,52 34, ,65 34, ,83 34, ,57 34, ,51 34, ,42 34, ,21 34, ,79 34, ,48 34, ,48 34,75 Kisaran Salinitas tiap Section [psu] 32,83 34,76 30,41 34,79 32,79 34,76 33,42 34,75

80 62 (a) (b) (c) (d) Gambar 26 Distribusi Melintang Nilai Salinitas pada Masing-masing Section searah Latitude.

81 Distribusi Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara umum, estimasi yang dilakukan terhadap densitas ikan pelagis kecil yang terdapat pada daerah penelitian menunjukkan distribusi yang berbeda pada masing-masing layer, dengan kisaran nilai densitas 5, ,92 m 2 /nmi 2 pada seluruh daerah yang diteliti. Densitas tertinggi terkonsentrasi pada homogen layer (layer 1) dan hanya sedikit ditemukan pada thermocline layer (layer 2, 3, 4, 5 dan 6) dan deep layer (layer 7). Perbedaan densitas yang terjadi pada masing-masing layer disebabkan ikan sebagai biota air memiliki behaviour dan batasan yang berbeda-beda pula, terutama terhadap faktor oseanografi (suhu dan salinitas) pada suatu kolom perairan. Selain faktor tersebut, distribusi ikan pelagis kecil pada suatu perairan juga dipengaruhi oleh faktor kesuburan perairan, seperti yang dikemukakan oleh Laevastu dan Hela (1970) bahwa ketersediaan plankton sebagai sumber makanan. Ikan pelagis kecil umumnya berada pada permukaan perairan yang mengandung banyak unsur hara dan plankton, sehingga akan terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara densitas ikan pelagis kecil pada homogen layer, khususnya pada sekitar permukaan perairan dengan densitas ikan pelagis kecil yang terdapat pada thermocline layer dan deep layer. Pada homogen layer (layer 1) hasil estimasi menunjukkan nilai densitas berkisar antara 221, ,92 m 2 /nmi 2. Nilai densitas tertinggi yang tercatat pada layer ini berada pada longitude 119,09 o E dan latitude 0,5 o S. Pada layer ini tingginya densitas ikan pelagis kecil diduga karena kondisi suhu yang lebih hangat dibandingkan dengan layer dibawahnya dengan nilai salinitas yang lebih rendah dibandingkan dengan layer dibawahnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ehrenberg (1984), ikan-ikan kecil cenderung bergerombol di lapisan atas perairan, dan ikan yang lebih besar menyebar di lapisan bawah, dan Burczynski et. al. (1987) juga menyatakan bahwa penyebaran ikan-ikan kecil turut dipengaruhi oleh profil temperatur dan thermocline. Menurut Laevastu dan Hayes (1981) bahwa perubahan temperatur yang kecil sekalipun (0,02 o C) pada suatu perairan dapat mengakibatkan perubahan densitas, sehingga diduga ikan pelagis akan melakukan migrasi vertikal tergantung pada perubahan suhu di suatu perairan.

82 64 Klorofil-a sebagai bagian dari produktivitas primer pada perairan juga dapat mempengaruhi distribusi dan densitas ikan pelagis kecil pada perairan, sebab sebagai sumber makanan utama bagi biota perairan tentu akan menentukan berkumpulnya ikan pelagis kecil (Laevastu dan Hayes 1981). Dari pengukuran yang dilakukan pada bulan Oktober 2003 di perairan Selat Makassar diketahui bahwa kandungan klorofil-a cukup tinggi pada permukaan perairan dan semakin rendah seiring bertambahnya kedalaman. Kandungan klorofil-a pada homogen layer berkisar 0,16-1,14 mg/m 3 dengan rata-rata 0,8 mg/m 3, kisaran ini lebih tinggi dari pada yang terdapat pada thermocline layer yakni 0,00-1,08 mg/m 3 dengan rata-rata 0,63 mg/m 3 (Afdal dan Riyono 2004). Hal ini semakin memperkuat estimasi bahwa ikan pelagis kecil lebih banyak berkumpul dan terkonsentrasi pada homogen layer. Pada thermocline layer (layer 2-6) hasil estimasi menunjukkan nilai densitas berkisar antara 5, ,66 m 2 /nmi 2. Secara keseluruhan, kepadatan dengan nilai tertinggi pada thermocline layer ini berada di bagian selatan dan barat daya dengan nilai densitas tertinggi tercatat pada longitude 118,66 o E dan pada latitude 1,34 o S. Perbedaan nilai densitas yang cukup signifikan pada thermocline layer apabila dibandingkan dengan nilai densitas pada homogen layer diduga lebih disebabkan oleh faktor suhu, karena pada layer ini terjadi penurunan suhu yang sangat ekstrim seiring dengan bertambahnya kedalaman dengan perubahan salinitas yang relatif tidak terlalu besar. Suhu lebih berperan bila dibandingkan dengan faktor ketersediaan sumber makanan, hal ini dapat dilihat dari masih tersedianya kandungan klorofill-a pada kedalaman 75 dan 100 meter (Afdal dan Riyono 2004). Faktor oseanografi dalam hal ini adalah parameter suhu masih merupakan faktor yang utama dalam mempengaruhi sebaran dan densitas, sebab ikan dan biota air lainnya memiliki batasan terhadap kondisi lingkungannya (Laevastu dan Hayes 1981; Ehrenberg 1984; Burczynski et. al. 1987; Nybakken 1992). Pada deep layer nilai densitas yang tercatat berkisar 281,69-577,49 m 2 /nmi 2, rendahnya nilai densitas pada layer ini diduga akibat adanya faktor pembatas ikan pelagis kecil terhadap kondisi suhu, salinitas, ketersediaan sumber makanan, dan intensitas cahaya. Pada layer ini kondisi oseanografis yang cukup ekstrim yakni kisaran suhu yang sangat dingin dimana hampir tidak mungkin ikan pelagis kecil mampu beradaptasi pada layer tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Laevastu

83 65 dan Hayes (1981) bahwa kondisi suhu yang ekstrim (perubahan nilai suhu yang sangat kecil sekalipun dapat sangat mempengaruhi densitas dan keberadaan biota pada suatu perairan. Nilai densitas tertinggi yang tercatat pada layer ini berada pada longitude 117,96 o E dan latitude 0,92 o S.

84 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan pada daerah penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Ada pengaruh suhu dan salinitas terhadap sebaran dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar, hal ini disebabkan oleh batasan-batasan ikan pelagis kecil tersebut terhadap kondisi oseanografis terutama terhadap suhu dan salinitas. Hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai densitas yang terdapat pada homogen layer (221, ,92 m 2 /nmi 2 ) bila dibandingkan dengan densitas yang terdapat pada thermocline layer (5, ,66 m 2 /nmi 2 ) dan densitas yang terdapat pada deep layer (281,69-577,49 m 2 /nmi 2 ). (2) Walaupun tidak terlalu signifikan, ada pengaruh ketersediaan klorofil-a terhadap sebaran dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar. (3) Pada thermocline layer distribusi dan densitas ikan pelagis kecil lebih dipengaruhi oleh faktor suhu dari pada ketersediaan klorofil-a. Pengaruh suhu cukup besar dan lebih nyata dari pada pengaruh ketersediaan klorofil-a, hal ini dapat dilihat dari perbedaan distribusi dan densitas yang terdapat pada thermocline layer bila dibandingkan dengan yang terdapat pada homogen layer, padahal kandungan klorofill-a masih tersedia pada thermocline layer tersebut. 5.2 Saran Pada penelitian ini masih terdapat beberapa kekurangan, sehingga untuk penelitian lanjutan yang akan mengambil topik seperti penelitian ini disarankan agar melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) Pada penelitian ini tidak dilakukan sampling secara in situ dan simultan dengan pengambilan data akustik, maka untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan sampling dengan menggunakan alat tangkap, misalnya trawl untuk verifikasi jenis dan ukuran ikan pelagis kecil di Selat Makassar. (2) Pada penelitian ini transducer yang digunakan diset dengan frekwensi 38 khz, untuk penelitian lanjutan perlu digunakan frekwensi 120 khz, sehingga dapat menampilkan echogram yang lebih tajam untuk melihat kelompok ikan.

85 67 (3) Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan topik yang sama pada musim barat (Februari), musim timur (Agustus) dan musim peralihan awal tahun (April) agar dapat diketahui secara lengkap pola distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar sehingga dapat dilakukan langkah-langkah perumusan kebijakan untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Selat Makassar.

86 DAFTAR PUSTAKA Abdilah, B., Pengukuran Nilai Target Strength Ikan Pelagis dengan Menggunakan Sistem Akustik BIM Terbagi di Perairan Selat Makassar dan Laut Sulawesi (tidak dipublikasikan). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Afdal, dan Riyono, S.H., Sebaran Klorofil-a dan Kaitannya dengan Kondisi Hidrologi di Selat Makassar. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 36:69-82 Arief, D., Outer Southeast Asia: A Region of Deep Straits, including the Banda Sea. In: Robinson, A.R. & Brink, K.H. (eds.), The Sea Vol. 11, pp Wiley, New York. Awaludin, M.Y., Karakteristik Massa Air di Perairan Selat Makassar Selama Pelayaran Riset INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport) Bulan Juli Jurnal Kelautan; Kumpulan Jurnal Penelitian Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Aziz, K.A., Dinamika Populasi Ikan. Pusat antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Burczynski, J., Introduction to the use of Sonar System for Estimation Fish Biomass. FAO Fish. Tech. Paper No 199. Rev.1.94p. Burczynski, J., Paul H.M and Marrone, G., Hydroacoustic Assessment of The Abudance and Distribution of Rainbow Smelt in Lake Ohae. Jurnal of Fisheries Management 7: Coates, R.F.W., Underwater Acoustic System. MacMillan Education, Ltd. 188p. Csirke, J., Small Shoalding Fish Stock. In J.A. Gulland, ed. Fish Population Dynamics. 2 nd ed. John wiley & Sons, Chichester : Ehrenberg, J.E., The Biosonic Dual Beam Target Strength Measurement System. FAO Fish. Circ. 778: Fieux, M., Molcard, R. and Ilahude, A.G., Geostrophic Transport of the Pacific- Indian Oceans Througflow. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,421 12,432. Fischer, W., and Whitehead, P.J.P (eds.) FAO Species Identification Sheets for Fishery Pusposes. Eastern Indian Ocean (fishing area 51) and Western Central Pacific (fishing area 71). Volume 4. FAO. Rome. Foote, K.G., Fish Target Strength for use in Echo Integrator Survey. J.Acoust. Soc. Am. 82:

87 69 Gordon, A.L, Interocean Exchange of Thermocline Water. J. Geophys. Res., 91, Gordon, A.L., Ffield, A. and Ilahude, A.G., Thermocline of the Flores and Banda Seas. J. Geophys. Res., 99, 18,235 18,242. Gordon, A.L., and McClean, J.L Thermohaline Stratification of the Indonesian Seas: Model and observations. J. Geophys. Res. 29, Hutagalung, H.P., Pengaruh Suhu Air Terhadap Kehidupan Organisme Laut. Pewarta Oseana Vol. 3 No. 4. Jakarta. Illahude, A.G., On the Factors Affecting the Productivity of the Southern Makassar Strait. Mar. Res. Indonesia. 21: Illahude, A.G., and Gordon, A.L., Thermocline Stratification Within the Indonesian Seas. J. of Geophys. Res. 101 (C5): Johannesson, K.A., and Mitson, R.B., Fisheries Acoustic. A Practical Manual for Aquatic Biomass Estimation, FAO Fish. Tech. Paper 240, FAO, Rome. 249 p. Laevastu, T., and Hela, Fisheries Oceanography. Fishing News (Book) Ltd. London. 238p. Laevastu, T., and Hayes, M.L., Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News (Book) Ltd. Farnham, Surrey. London. Latumeten, J., Studi tentang In Situ Target Strength dengan Sistem Akustik Bim Ganda di Selat Makassar (tidak dipublikasikan). Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 102 hal. Love, R.H., Dorsal Aspect Target Strength of an Individual Fish. J. Acoust. Soc. Am. 49 (3): Love, R.H., Target Strength of an Individual Fish at any Aspect. J. Acoust. Soc. Am. 62: Lukas, R., and Lindstrom, E., The Mixed Layer of the Western Equatorial Pacific Ocean. J. Geophys. Res., 96: MacDonald, Property Fluxes at 300S and Their Implications for the Pacific- Indian Throughflow and the Global Heat Budget. J. Geophys. Res. 98, MacLennan, D.N., Simple Calibration Technique for the Split Beam Echosounder. Fish. Dir. Skr. Ser. Havunders. 18: MacLennan, D.N., Acoustical Measurement of Fish Abundance. J.Acoust. Soc. Am, Vol (1) 87: MacLennan, D.N., and Simmonds, E.J., Fisheries Acoustic. Chapman and Hall. London-New York-Tokyo-Melbourne-Madras. 325p.

88 70 Maes, C., Estimating the Influence of Salinity on Sea Level Anomaly in the Ocean. Geophys. Res. Lett. 25, McPhaden, and Hayes, S.P., On the Variability of Winds, Sea Surface Temperature and Surface Layer Heat Content in the Western Equatorial Pacific. J. Geosphys. Res. 96: Martosubroto, P., Naamin, N. dan Malik, B.B.A., (eds.), Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan, Puslitbang Perikanan dan puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. Molcard, R., Fiuex, M., and Ilahude, A.G., The Indo-Pacific Throughflow in the Timor Passage. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,411 12,420. Naulita, Y., Karakteristik Massa Air pada Perairan Lintasan Arlindo (tidak dipublikasikan). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 173 hal. Nugroho, D., Kajian Stok Ikan Pelagis di Laut Jawa Berdasarkan Deteksi Akustik Kelautan (tidak dipublikasikan). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 134 hal. Pasaribu, B.P., Pujiyati, S., Sagala, M.F., dan Nainggolan, C., Studi Tentang Densitas Ikan Pelagis dengan Sistem Akustik Beam Terbagi di Perairan Selat Sunda. Makalah. Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian tahap I tentang pengkajian sumberdaya ikan di Selat Sunda. STP Jakarta. Simbolon, D., Pendugaan Densitas dan Penyebaran Ikan Dengan Sistem Akustik Bim Ganda di Selat Makassar (tidak dipublikasikan). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 121 hal. Simrad, Intsruction Manual; Simrad EP 500. Simrad, Norway. 75p. Simrad BI 500, Operation Manual. Post-Processing System. Windows version. Simrad, A Kongsberg Company. Norway. 128p. Simrad EK 500, Scientific Echosounder. Intsruction Manual. Base Version. Simrad, A Kongsberg Company. Norway. 209p. Susanto, R.D., and Gordon, A.L., Velocity and Transport of the Makassar Strait Throughflow. J. Geophys. Res. Vol Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A., and Moosa, M.K., The Ecology of the Indonesian Seas. Part One. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VII. Periplus Editions (HK) Ltd. Urick, R.J., Principles of Underwater Sound. McGraw-Hill. New York. 423p. Webster, P.J., Magana, V., Palmer, T., Monsoon: Processes, Predictability and the Prospects for Prediction. J. Geophys. Res. 103,

89 71 Wenno, L.F., Studi Dinamika Selat Makassar serta Interaksinya dengan Daratan Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Laporan akhir pengembangan riset unggulan kompetitif tahun anggaran Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. 96 hal. Wyrtki, K., Physical Oceanography of the Southeast Asian waters, Naga Report Vol. 2. The University of California, Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California. 195p.

90 Lampiran 1 Gambar dan Spesifikasi Kapal Riset Baruna Jaya VIII. 72

91 73 Lampiran 1 lanjutan Data umum (General Information) Nama Kapal (Ship Name) : KR. BARUNA JAYA VIII Nama Panggilan (Call Sign) : YFZQ Kebangsaan (Nationality) : INDONESIA Pemilik (Owner) : Pusat Penelitian Oseanografi (P2O), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Alamat (Address) : Jln. Pasir Putih I Ancol timur, Jakarta Utara. Telp Fax Jenis Kapal (Kind of Ship) : Kapal Penelitian Laut (Research Vessel) IMO Number : Pelabughan Pendaftaran (Port Register) : JAKARTA Nama Tempat Galangan Pembangunan : Mjellem & Karlsen AS Bergen, Norway (Name and Place Builder) Tahun Pembangunan (Year of Build) : Juli 1997 Agustus 1998 Sertifikat Klas (Certificate Class) : BKI Konstruksi (Construction) : Badan (Hull): Carbon Steel (Marine Use) Bangunan Atas (Superstructurre): Marine Aluminium Klas (Class) : BKI + A 100 E0 Ukuran Utama (Main Measurement) Panjang Keseluruhan (LOA) : m Panjang antara Garis Tegak (LBP) : m Panjang Garis Air (LWL) : m Lebar Terbesar (Moulded Breath) : m Tinggi dari Selther Dek (Depth for S.Deck) : 7.10 m Tinggi dari Main Dek (Depth for M.Deck) : 4.70 m Sarat Maksimum (Draft Maximum) : 4.30 m Jarak Gading-gading (Frame Distance) : 0.60 m Berat Keseluruhan (Displacement) : ton Berat Kapal (Leight Ship) : ton Gross Tonnage : 1273 RT Net Tonnage : 382 RT Kecepatan (Speed) : 12 Knot-14 Knot Jarak Jelajah : 5000 mile/20 days Akomodasi (Accomodation) : 23 Crew, 33 Person Surveyor Tenaga Penggerak Mesin Penggerak Utama : Caterpillar 3516 B, Single Enggine and Propeller (Pich Propeler), KW/HP Motor Bantu : Cummnin (2 unit), 2x336 KW/HP, 380/220 V AC Motor Bantu Darurat : Cummnin (1 unit), 163 KW/HP, 380/220 V AC Peralatan Navigasi Peralatan Komunikasi Scientific Equipment : Radar 72 mile (freq 9 GHz); Radar ARPA120 mile; SIMRAD Planning Station (Electronic Chart Display Instrument); Current Meter; Anemometer; Barometer; Thermometer Humidity; Salinity Dopller Log (Speed Log); GPS/DGPS; Navtex : VHF SAILOR Consol (VHF, SSB, DSC, NBDB, Wah-keeping Receiver); Inmarsat C SAILOR (Telex, facsimile, EGC Program); Inmarsat B NERA (Telephone, telex, facsimile, data, Hight Speed Data) : CTD System, SBE 911 Plus, 6.800m; Acoustic Dopller Current Propiler 75 khz (ADCP); Micro Flow Analysis System; Data Management System (MDM 400); Seismic (Streamer 700m, Hidrophone 200m, Water Gun and Air Gun); Gravitymeter with recorder; Scientific Echosounder EK 500, 10000m; Multibeam EM 1000, 1000m; Echosounder EA 500, 10000m; Depth Sonar SD 570 with colour scope; Identification Trawl Instrumentation; Coring Equipment; Diving Compressor.

92 74 Lampiran 2 Gambar dan Spesifikasi SIMRAD EK 500 Scientific Echosounder. No Elements Specification 1 Frecquency 38 khz and 120 khz 2 Transmition power 2 kw 3 Ability detection 0 s/d 10,000 meter depth 4 Peragaan Dapat dilakukan secara simultan hingga 3 echogram pada setiap bagian dalam 12 warna; mampu menampilkan maksimum 10 lapisan antara permukaan dan dasar laut; scala line; integrator line; layer line; trawl lines; even marker. 5 Integrator Mempunyai jarak dinamik yang tidak terbatas, integrasi bebas pada setiap lapisan 6 Kalkulasi interval Ping atau waktu (simulasi kecepatan pulsa) dapat diatur secara otomatis 7 Umum: - konsumsi voltase - konsumsi tenaga - temperatur operasi 187 s/d 264 V AC; 90 s/d 132 V AC; 22.5 s/d 31 V DC 100 W; 125 W; 150 W (for channel 1,2 and 3) 0 s/d 50 o C 8 Parameter transceiver - frecquency - beam type - pulsa length - band width - resolution khz split 0.3; 1.0; 3.0 (m/sec) 0.38 (narrow); 3.8 (width) khz 10 cm

93 Lampiran 3 Conductivity Temperature Depth tipe SBE 911 Plus Seabirds. 75

94 Lampiran 4 Echogram dari Software Sonardata Echoview. 76

95 77 Lampiran 5 Nilai Suhu dan Salinitas pada Masing-masing Stasiun Pengamatan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

96 78 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

97 79 Stasiun 9 Stasiun 10 Stasiun 11 Stasiun 12

98 80 Stasiun 13 Stasiun 14 Stasiun 15 Stasiun 16

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian TINJAUAN PUSTAKA.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang biasanya disebut

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH P. Ika Wahyuningrum AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH Suatu teknologi pendeteksian obyek dibawah air dengan menggunakan instrumen akustik yang memanfaatkan suara dengan gelombang tertentu Secara

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI PENGUKURAN NILAI DAN SEBARAN TARGET STRENGTH IKAN PELAGIS DAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM ACOUSTIC SYSTEM) DI LAUT A MFUM PADA BULAN OKTOBER-NOPEMBER 2003 Oleh :

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Arief Wijaksana C64102055 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN 3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN Pendahuluan Keberadaan sumberdaya ikan, baik ikan pelagis maupun demersal dapat diduga dengan menggunakan metode hidroakustik (Mitson 1983). Beberapa keuntungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN.

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN. as-' PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN Oleh : Natalia Trita Agnilta C64102012 PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

PENDUGAAN NlLAl DAN SEBARAN TARGETSTRENGTH IKAN PELAGIS Dl SELAT MAKASSAR PADA BULAN OKTOBER Oleh FERl SUSANDI C

PENDUGAAN NlLAl DAN SEBARAN TARGETSTRENGTH IKAN PELAGIS Dl SELAT MAKASSAR PADA BULAN OKTOBER Oleh FERl SUSANDI C PENDUGAAN NlLAl DAN SEBARAN TARGETSTRENGTH IKAN PELAGIS Dl SELAT MAKASSAR PADA BULAN OKTOBER 2003 Oleh FERl SUSANDI C06498002 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian. 30 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data hasil survei akustik yang dilaksanakan oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen Perikanan Tangkap, KKP RI pada bulan Juni

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG Pendugaan Kelimpahan dan Sebaran Ikan... Metode Akustik di Perairan Belitung (Fahmi, Z.) PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG ABSTRAK Zulkarnaen

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1 3 METODOLOGI Secara garis besar metode penelitian dalam disertasi ini berkaitan dengan permasalahan identifikasi kawanan ikan secara hidroakustik yang berkaitan dengan pengukuran dan pemrosesan data hidroakustik,

Lebih terperinci

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada Dian Herdiana (C06499072). Pendugaan Pola Distribnsi Spasio-Temporal Target Strettgth Ikan Pelagis dengan Split Beam Acor~stic System di Perairan Teluk Tomini pada Bulan Juli-Amstus 2003. Di bawah bimbin~an

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting dan echo integration

2. TINJAUAN PUSTAKA. hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting dan echo integration 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metode Hidroakustik 2.1.1. Prinsip Kerja Metode Hidroakustik Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU Oleh: Munawir C64102020 PR AN TEKNOLOGI KELAUTAN AN DAN I Lm KELAUTAN INSTITUT PERTANLAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Nilai Target Strength (TS) Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) Nilai target strength (TS) merupakan parameter utama pada aplikasi metode akustik dalam menduga kelimpahan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO Oleh: Deddy Bakhtiar deddy_b2@yahoo.co.id Prodi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371A.

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1.

ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1. ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1. C PROUERBS 1 : 7 > WIWUH XIIR I(MGUfiGMP RRHRSIR MU1 MH FRMNFIIRIKnHmII UMUX KESEJIIHII31RAH UWI MMJSIII?? JAURBIIWR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Jarak Near Field (R nf ) yang diperoleh pada penelitian ini dengan menggunakan formula (1) adalah 0.2691 m dengan lebar transducer 4.5 cm, kecepatan suara 1505.06

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 Juli 2011 yang meliputi tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakukan mulai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda dan Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Kegiatan penelitian ini terbagi

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN Oleh : Ahmad Parwis Nasution PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penyebaran target strength ikan Target strength (TS) sangat penting dalam pendugaan densitas ikan dengan metode hidroakustik karena untuk dapat mengetahui ukuran

Lebih terperinci

Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura

Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura Jurnal Penelitian Sains Volume 13 Nomer 1(D) 13106 Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura Fauziyah dan Jaya A PS. Ilmu Kelautan FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan

Lebih terperinci

Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura, b Jurusan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa membawa massa air hangat dari Samudra Pasifik menuju

Lebih terperinci

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION Oleh : SEPTINA PAPILAYA K.L C64103024 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara)

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) Reflection and Refraction Ketika gelombang suara merambat dalam medium, terjadi sebuah pertemuan antara kedua medium dengan kepadatan

Lebih terperinci

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena 1.1. Latar Belakang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan

Lebih terperinci

0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003

0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003 204 0643 DISTRIBUSI NILAI TARGETSTRENGTH DAN DENSITAS I ON PELAGIS DENGAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI D1 LAUT TIMOR PADA BULAN DESEMBER 2003 PROGRAM STUD1 ILIMU KELAUTAS DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER Septian Nanda - 3311401055 dan Aprillina Idha - 3311401056 Geomatics Engineering Marine Acoustic, Batam State Politechnic Email : prillyaprillina@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di :

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di : JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 33-39 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/joce *) Penulis Penanggung Jawab STUDI STRUKTUR LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik. Oleh

Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik. Oleh Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik Oleh Susilawati 1 ) Aras Mulyadi 2 ) Mubarak 2 ) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

PENENTUAN SEBARAN Sa (Backscattering Area) DI LAUT FLORES BERDASARKAN METODE PROGRESSIVE THRESHOLD

PENENTUAN SEBARAN Sa (Backscattering Area) DI LAUT FLORES BERDASARKAN METODE PROGRESSIVE THRESHOLD PENENTUAN SEBARAN Sa (Backscattering Area) DI LAUT FLORES BERDASARKAN METODE PROGRESSIVE THRESHOLD SITI KOMARIYAH SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA 2003 Julius A.N. Masrikat Posted 11 December 2003 Makalah Pribadi Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2003 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan lanjutan yang dilakukan dari bulan Juli sampai bulan Agustus menggunakan data hasil olahan dalam bentuk format *raw.dg yang

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA

SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA IDA BAGUS ADI ANDITAYANA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari sampai 3 Februari 2011 di perairan Kepulauan Seribu. Wilayah penelitian mencakup di

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret September 2011 dengan menggunakan data berupa data echogram dimana pengambilan data secara in situ dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR 2.1 Persamaan Akustik Bawah Air Persamaan akustik bawah air diturunkan dari persamaan state, persamaan kekekalan massa (persamaan kontinuitas) dan persamaan kekekalan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Gangguan Pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Audio Yang Dipancarkan Pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat audio generator

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH What is a thermocline? A thermocline is the transition layer between warmer mixed water at the ocean's surface and

Lebih terperinci

PENDUGAAM SEBARAN DAN KEPADATAN RELATIF GEROMBOLAN IKAN PELAGIK Dl PERAIRAN BARAT SUMATERA PADA MUSlM TlMUR. Oleh. YUDl WAHYUDI C 23.

PENDUGAAM SEBARAN DAN KEPADATAN RELATIF GEROMBOLAN IKAN PELAGIK Dl PERAIRAN BARAT SUMATERA PADA MUSlM TlMUR. Oleh. YUDl WAHYUDI C 23. PENDUGAAM SEBARAN DAN KEPADATAN RELATIF GEROMBOLAN IKAN PELAGIK Dl PERAIRAN BARAT SUMATERA PADA MUSlM TlMUR V-e S K R I P S I Oleh YUDl WAHYUDI C 23. 1565 FAKULTAS PERIKANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1991

Lebih terperinci