2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) (Anonim a 2009)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) (Anonim a 2009)"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Malacopterigii Famili : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanos chanos Gambar 1. Ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) (Anonim a 2009) Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas ekspor yang dikenal dengan sebutan milkfish. Ikan ini memiliki karakteristik tubuh langsing seperti peluru dengan sirip ekor bercabang sebagai petunjuk bahwa ikan bandeng memiliki kesanggupan berenang dengan cepat. Tubuh ikan bandeng berwarna putih keperak-perakan dan dagingnya berwarna putih susu. Bentuk tubuh ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 1. Ikan bandeng di alam memiliki panjang tubuh mencapai 1 m. Namun ikan bandeng yang dibudidayakan di tambak hanya mempunyai ukuran tubuh maksimal 0,5 m. Ikan bandeng memiliki daerah penyebaran sangat luas yaitu dari Pantai Afrika Timur sampai ke Kepulauan Tuamutu sebelah timur Tahiti dan dari Jepang Selatan sampai Australia Utara (Murtidjo 2002). Ikan bandeng mempunyai sifat euryhalien (tahan terhadap perubahan yang besar dari kadar garam dalam air), yang memungkinkan mereka untuk dipelihara

2 dalam air payau. Pada kadar garam tambak air payau tidak konstan, kehidupan ikan bandeng tidak terpengaruh (Soeseno 1983). Di tambak, ikan bandeng memakan klekap, yaitu suatu kehidupan kompleks (plant complex) yang tersusun dari berbagai jenis bakteri, alga hijau biru baik uniseluler maupun berfilamen dari familia Oscillatoria, semua jenis Diatomae dan potongan dari alga hijau. Dari kelompok hewan terdiri dari Protozoa, Entomostraca, Copepoda, cacing pipih, cacing bulat serta berbagai jenis Mollusca dan udang tingkat rendah yang bergabung dengan jenis tumbuhan dan membentuk biological complex (Purnomo dan Muchyiddin 2007). Adapun kandungan gizi ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi ikan bandeng Zat gizi Jumlah Satuan Kalori 126,0 kalori Protein 17,4 gram Lemak 5,7 gram Air 60,2 gram Kalsium 43,4 milligram Posfor 138,0 milligram Besi 0,3 milligram Vitamin A 85,0 milligram Vitamin B6 0,4 milligram Vitamin B12 2,9 milligram Sumber: (2007) 2.2 Kemunduran Mutu Ikan Penanganan ikan memegang peranan penting dalam mempertahankan kesegaran ikan sebagai bahan makanan atau bahan mentah untuk pengolahan lebih lanjut. Penanganan tersebut dimulai dari cara penangkapan atau pemanenan ikan yang baik, pengolahan, sampai proses distribusi kepada konsumen (Moeljanto 1992). Menurut Standar Nasional Inonesia (SNI) , ikan yang masih segar mempunyai ciri-ciri antara lain mata cerah, bola mata menonjol dan kornea jernih. Insang berwarna merah cemerlang dan tanpa lendir. Tekstur dagingnya padat, elastis, sayatan daging sangat cemerlang. Permukaan badannya mengkilat dengan lapisan lendir jernih dan berbau sangat segar sesuai jenisnya (BSN 2006).

3 Setelah ikan mati terjadi perubahan penampakan, tekstur, dan aktivitas kimiawi dalam tubuh ikan (Gill 2000). Perubahan mutu pada ikan disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu enzim, bakteri dan biokimia (Govindan 1985). Perubahanperubahan yang terjadi pada ikan setelah mati dapat dilihat pada Gambar 2. Ikan mati Sirkulasi darah terhenti Sistem syaraf dan hormon terhenti Suplai vitamin, antioksidan, dll terhenti Suplai oksigen terhenti Keseimbangan osmotik rusak Akumulasi bakteri Potensial redoks menurun Respirasi terhenti (glikogen-/ CO 2 ) Glikolisis terjadi (glikogen as. laktat) Penurunan suhu Penguraian fosfat berenergi tinggi Penurunan ph Pemadatan lemak Permulaan rigor mortis Denaturasi protein Pembebasan dan pengaktifan katepsin Protein melepaskan Ca 2- dan mengikat K + Oksidasi lemak dan ketengikan Akumulasi, metabolit, pemicu flavor, dll Perubahan warna Penguraian protein Pertumbuhan bakteri Gambar 2. Perubahan yang terjadi setelah ikan mati (Eskin et al. 1990)

4 2.2.1 Tahapan post mortem Segera setelah ikan mati, terjadi perubahan-perubahan yang dapat mengakibatkan penurunan mutu ikan. Penurunan tingkat kesegaran ikan menyebabkan berbagai perubahan biokimia dan fisikokimia. Proses perubahan tersebut dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor (Eskin et al. 1990). Fase pre rigor merupakan tahap pertama dari post mortem ikan. Keadaan ini ditandai dengan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan mudah dilenturkan (Yunizal dan Wibowo 1998). Pada fase ini, jaringan otot ikan menjadi lunak dan lembut dan secara biokimia dicirikan dengan mulai menurunnya jumlah ATP dan kreatin fosfat (Eskin et al. 1990). Tahap selanjutnya adalah rigor mortis. Perubahan pada fase ini merupakan akibat dari suatu rangkaian kimiawi yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan ph tubuh ikan menurun (Eskin et al. 1990). Rigor mortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak mampu lagi mempergunakan cadangan energi. Apabila ATP telah habis, maka daging akan semakin cepat mengalami rigor mortis. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan miosin saling menindih membentuk ikatan aktomiosin yang permanen sehingga otot tidak dapat diregangkan. Proses hilangnya daya regang otot sampai terbentuknya kompleks aktomiosin mula-mula berlangsung lambat, kemudian berlangsung secara cepat dan akhirnya berlangsung secara konstan dengan kecepatan rendah sampai terjadinya kekakuan. Apabila keratin fosfat sudah habis, maka lamanya perkembangan rigor mortis akan ditentukan oleh jumlah glikogen yang masih tersedia di dalam otot dan enzim-enzim glikolitik yang masih mampu bekerja (Soeparno 2005). Selain itu, proses rigor mortis juga diikuti oleh penurunan daya ikat air daging. Penurunan daya ikat air oleh protein daging ini dapat disebabkan oleh penurunan ph atau karena denaturasi protein sarkoplasmik (Lawrie 1995). Fase rigor mortis pada ikan lebih pendek daripada mamalia (Govindan 1985). Pada fase ini ph tubuh ikan turun menjadi 6,2 6,6 (Bramsnaes 1965).

5 Waktu rigor mortis pada ikan umumnya berkisar antara 1-7 jam setelah kematian yang disebabkan oleh banyak faktor. Waktu yang diperlukan ikan untuk masuk dan melewati fase ini tergantung pada spesies ikan, kondisi fisik ikan, derajat perjuangan ikan sebelum mati, ukuran, cara penangkapan, dan suhu selama penyimpanan (Eskin et al. 1990). Fase terakhir post mortem ikan adalah fase post rigor. Tahap ini ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase ini meliputi autolisis, pembusukan oleh bakteri, dan ketengikan (Yunizal dan Wibowo 1998). Menurut penelitian Rustamaji (2009), pada fase ini enzim katepsin mengalami aktivitas yang optimum sehingga proses autolisis menjadi meningkat. Proses pembusukan ikan ditandai dengan terbentuknya senyawa-senyawa basa volatil. Komponen utama total volatile base (TVB) adalah amoniak (NH 3 ), trimetil amin (TMA), dan dimetil amin (DMA). Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi, yaitu ATP, juga berperan dalam penambahan jumlah amonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Kondisi anaerob setelah ikan mati akan menyebabkan ATP terurai dengan melepaskan energi (Yunizal dan Wibowo 1998) Proses perubahan karena aktivitas enzim Setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif. Namun, sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi, akibatnya enzim dapat merusak organ tubuh ikan. Peristiwa ini disebut autolisis atau proteolisis karena daging ikan sebagian besar mengandung protein yang diuraikan menjadi asam-asam amino. Selain itu, aktivitas enzim juga menyebabkan perubahan-perubahan dalam komponen flavor dan warna pada daging (diskolorisasi) (Ilyas 1983), penampakan, tekstur, dan aktivitas kimiawi dalam tubuh ikan (Gill 2000). Menurut Sikorski dan Sun Pan (1994), proses perubahan tersebut disebabkan adanya aktivitas enzim dan mikroba yang menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Salah satu perubahan tersebut adalah terjadinya proteolisis miofibril. Selama penyimpanan pada suhu chilling, enzim dalam tubuh ikan menyebabkan hilangnya kesegaran ikan secara

6 bertahap dengan melemahkan struktur miofibril. Aktivitas enzim tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti menurunnya ph, konsentrasi ion kalsium bebas dan adanya inhibitor dalam tubuh ikan (Ladrat et al. 2004). Aktivitas enzim digunakan sebagai indikator perubahan kualitas ikan. Enzim-enzim tersebut berasal dari dalam tubuh ikan. Perubahan pada post mortem, pengolahan, thawing, penyimpanan suhu chilling dan pembekuan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan organel seluler seperti mitokondria dan lisosom sehingga menyebabkan keluarnya enzim proteolisis (Gopakumar 2000). Ciri terjadinya perubahan autolisis ini adalah dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir yang disebabkan oleh penguraian adenosine triphosphate (ATP) oleh enzimenzim dalam jaringan tubuh ikan. Proses penguraian ATP oleh enzim dapat dilihat pada Gambar 3. Adenosin triphosphate Adenosine diphosphate Adenosine monophosphate (ATP) (ADP) (AMP) Hipoksantin Inosin Inosin monophospate (Hx) 5,6 (Ino) 4 (IMP) 7 Santin (Xa) Asam urea 8 Gambar 3. Proses degradasi ATP oleh enzim.1) ATPase; 2) Myokinase; 3) AMP deaminase; 4) Nukleotidase; 5) Nukleoside phosphorylase; 6) Inosine nucleosidase; 7,8) Xanthine oxidase (Gill 2000) Untuk menghindari terjadinya autolisis, ikan dipanaskan pada kondisi suhu ⁰ C dalam waktu relatif singkat (5 menit) atau lebih dikenal dengan istilah blancing. Cara lain adalah dengan menurunkan suhu hingga 0 ⁰ C atau lebih rendah lagi agar aktivitas enzim dapat dikurangi. Penggunaan suhu rendah lebih menguntungkan dibandingkan dengan blancing karena dengan cara ini kondisi ikan masih tetap segar (Afrianto dan Liviawaty 1989).

7 2.2.3 Proses perubahan karena aktivitas mikroorganisme Ikan segar dan produk perairan lainnya merupakan komoditas yang cepat mengalami kerusakan dibandingkan daging hewan lainnya. Mutu ikan menurun secara cepat disebabkan kontaminasi mikroba dari berbagai sumber terutama setelah mengalami kebusukan (Gram dan Huss 1996). Jumlah mikroba merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kelayakan ikan dikonsumsi oleh manusia. Mikroba tersebut dapat berupa virus, bakteri maupun parasit. Menurut Adawyah (2007), mikroorganisme yang dominan menyebabkan kerusakan ikan adalah bakteri karena ikan mempunyai kandungan protein dan kadar air yang tinggi serta ph daging yang mendekati netral sehingga menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan bakteri. Kontaminasi bakteri dapat terjadi ketika pemanenan, distribusi, peyimpanan maupun pengolahan (Sikorski dan Sun Pan 1994). Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau lukaluka yang terdapat pada kulit menuju jaringan daging dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian dalam. Akibat serangan bakteri, ikan mengalami berbagai perubahan, yaitu lendir menjadi lebih pekat, bergetah, amis, mata terbenam dan pudar sinarnya, serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan bau menusuk. Adapun jenis-jenis bakteri yang biasanya mencemari produk perikanan antara lain: Salmonella, Staphylococcus aureus, Vibrio parahaemolyticus, dan Escherichia coli (Prasetyawan 2008). Dalam pengawetan ikan semua usaha dilakukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri salah satunya adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah (chilling). Penyimpanan ikan pada suhu chilling merupakan salah satu cara untuk mengurangi laju kemunduran mutu ikan karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzim (Clucas dan Sutcliffe 1981). Lama kemunduran ikan yang disimpan pada suhu chilling dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti cara penangkapan atau pemanenan, higienitas selama pengolahan, dan rata-rata suhu chilling yang digunakan dalam penyimpanan (Sikorski dan Sun Pan 1994). 2.3 Proses Penguraian Protein secara Enzimatis oleh Enzim Proteolitik Proteinase atau dikenal juga dengan enzim proteolitik atau protease adalah enzim yang memiliki kemampuan untuk mendekomposisi protein (Govindan

8 1985). Enzim ini dihasilkan oleh kelenjar pencernaan ikan. Seperti halnya proteinase dari tanaman, hewan dan mikroorganisme, proteinase dari ikan melakukan aksi hidrolisis dan memecah ikatan peptida dengan molekul air sebagai reaktan (Simpson 2000). Protein yang mengalami denaturasi akan labil terhadap serangan enzimenzim proteolitik. Selama fase post mortem, enzim-enzim memecah tenunan pengikat (protein) menjadi asam-asam amino penyusunnya. Salah satu enzim proteolitik yang berperan dalam penguraian protein adalah katepsin (B, D, H, dan L) dari lisosom yang optimum dengan ph di bawah 6. Katepsin B dan L merupakan enzim yang mampu mendegradasi protein-protein urat daging lebih baik daripada jenis katepsin yang lain (Lawrie 1995). Aktivitas enzim pada ikan tergantung dari beberapa hal seperti spesies ikan, macam produk (round fish, fillet utuh, skinless), cara dan kondisi penyimpanan. Sebagai contoh, fillet ikan yang telah dithawing dan disimpan dalam es mempunyai aktivitas enzim yang lebih tinggi daripada fillet ikan segar (Rehbein dan Cakli 2000). Tingkat proteolisis juga dipengaruhi oleh ph dan temperatur. Pada suhu 37 ⁰ C, aktivitas proteolitik lebih besar daripada suhu 5 ⁰ C (Lawrie 1995). Menurut caranya dalam mengkatalisis protein, enzim proteolitik pada ikan diklasifikasikan menurut 4 kategori, yaitu proteinase aspartat, proteinase serin, thiol atau cystein proteinase dan metalloproteinase. Enzim proteolitik juga diklasifikasikan berdasarkan sensifitas ph seperti asam, netral atau protease alkalin. Pada saat ini, proteinase banyak digunakan dalam industri makanan untuk meningkatkan karakteristik produk, tekstur cereal, pelunakan daging, recovery protein tulang dan hidrolisa protein darah. Akan tetapi, sejauh ini penggunaan proteinase dari hewan laut sangat terbatas. Hal ini disebabkan kurangnya informasi tentang enzim tersebut dan dihadapkan dengan masalah ketersediaan sumber bahan baku yang harus kontinyu. Spesies ikan yang berbeda dengan kondisi habitat yang berbeda (suhu, tekanan, salinitas, intensitas cahaya, aerasi) menyebabkan genetika yang berbeda sehingga dihasilkan proteinase yang unik/tertentu, berbeda dengan enzim dari hewan terestrial, tanaman dan mikroorganisme (Simpson 2000).

9 2.4 Enzim Enzim adalah molekul non hayati yang disekresikan oleh semua sel hidup, baik tanaman, hewan dan mikroba. Di dalam sel, enzim ini memudahkan ribuan reaksi kimia yang memungkinkan sel untuk hidup, memperbaiki dan membuang produk limbahnya, serta berkembang biak (Suhartono 1988). Karena enzim adalah protein, faktor-faktor yang dapat mengubah konformasi protein juga dengan sendirinya potensial untuk mengubah konformasi enzim. Keadaan ph, suhu, kekuatan ion, dan polaritas larutan, serta adanya logam yang bersifat destruksif harus diperhatikan apabila melakukan isolasi enzim, artinya memisahkan enzim dari lingkungan sel hidup yang ringan tersebut. Menurut Suhartono (1988) ada empat sifat khas enzim, yaitu: sangat aktif, walaupun konsentrasinya amat rendah sangat selektif bekerja pada keadaan reaksi yang ringan (tanpa suhu atau tekanan tinggi) hanya aktif pada selang suhu atau ph yang sempit. Enzim adalah katalisator sejati. Molekul ini meningkatkan dengan nyata kecepatan reaksi kimia spesifik yang tanpa enzim akan berlangsung amat lambat. Enzim memiliki tenaga katalitik luar biasa yang biasanya jauh lebih besar dari katalisator sintetik. Spesifitas enzim amat tinggi terhadap substratnya, enzim mempercepat reaksi kimiawi spesifik tanpa pembentukan produk samping, dan molekul ini berfungsi di dalam larutan encer pada keadaan suhu dan ph normal (Lehninger 1998). Jika enzim mengkatalisis reaksi suatu senyawa, senyawa tersebut dinamakan substrat bagi enzim. Substrat melekat pada enzim dengan ikatan non kovalen membentuk kompleks enzim-substrat. Pelekatan terjadi pada bagian enzim yang dinamakan sisi aktif (active site). Tapak atau sisi aktif enzim merupakan bagian dari struktur tiga dimensi enzim yang nyatanya hanya terdiri dari beberapa asam amino saja (Suhartono 1988). 2.5 Enzim Katepsin Enzim proteolitik (proteinase) diklasifikasikan dalam dua famili utama, yaitu eksopeptidase dan endopeptidase. Dalam jaringan otot, katepsin dan enzim

10 hidrolisis lainnya ditempatkan pada organel subseluler atau lisosom. Menurut ph optimumnya, enzim proteolitik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu protease asam, netral dan basa. Protease asam atau disebut juga lysosomal cathepsin terdiri dari berbagai macam enzim katepsin, seperti katepsin A, B, C, D, E, H, dan L (Choi et al. 2005). Menurut sisi aktif dari asam aminonya, katepsin dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu sistein (katepsin B, C, H, F, K, L, O, S, V, W), aspartat (katepsin D, E), dan serine (katepsin G) (Duve 1983). Katepsin dikenal sebagai famlili endopeptidase dan atau eksopeptidase. Banyak katepsin optimal pada ph asam walaupun beberapa diantaranya paling aktif pada ph netral (Haard 1994). Macam katepsin diklasifikasikan menjadi katepsin A, B, C dan seterusnya tergantung pada aktivitas dengan substrat sintesik yang spesifik. Katepsin A termasuk jenis eksopeptidase yang mempunyai ph optimum 5-6 dan tidak aktif dalam kondisi panas dan alkali. Katepsin ini telah didapatkan dari beberapa jaringan ikan seperti bandeng yang aktif pada ph 7 dan cod pada ph 5. Katepsin B mempunyai aktivitas optimum pada ph 5,5-6 dan mulai tidak stabil pada ph diatas 7. Katepsin ini dapat mendegradasi jaringan aktin, miosin, dan troponin. Jenis katepsin ini telah ditemukan pada berbagai jenis ikan antara lain: gurame, grey mullet, tilapia dan mackerel. Aktivitas katepsin B mengalami penurunan pada saat fase post mortem dalam penyimpanan suhu dingin. Katepsin C dikenal dengan sebutan dipeptida aminopeptidase dan dipeptida transferase. Katepsin ini mempunyai aktivitas optimum pada ph 6-7. Menurut Haard (1994), aktivitas katepsin C berpengaruh terhadap flavor ikan yang difermentasi. Katepsin D mempunyai aktifitas optimal pada ph 3,5. Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa katepsin D hanya mengautolisis jaringan ikan pada spesies tertentu. Penelitian Sakai dan Matsumoto et al. (1981) diacu dalam Haard (1994) mendapatkan bahwa katepsin D berperan dalam autolisis jaringan cumi-cumi Pasifik tetapi tidak pada jaringan cumi-cumi Atlantik. Berbagai enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan lisosom ikan disajikan pada Tabel 2.

11 Tabel 2. Enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan lisosom ikan Enzim Famili Aktivitas Proses dan asal enzim Katepsin B Sistein Endopeptidase Diidentifikasi pada berbagai spesies ikan Katepsin H Sistein Endopeptidase Diidentifikasi pada otot ikan salmon Katepsin J Sistein Endopeptidase - Katepsin L Sistein Endopeptidase Diidentifikasi pada otot ikan salmon dan mackerel Katepsin C (Dipeptidil peptidase I) Sistein Endopeptidase Diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan Dipeptidil Sistein Endopeptidase - peptidase II Katepsin D Aspartat Endopeptidase Dimurnikan dan diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan γ-glutamil Aspartat Endopeptidase - karboksipeptidase Katepsin A dan I Serin Eksopeptidase Dimurnikan dan diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan Katepsin S Sistein Eksopeptidase Diidentifikasi pada otot ikan mackerel Sumber: Goll et al. (1989) diacu dalam Haard (1994) 2.6 Peranan Katepsin dalam Kemunduran Mutu Setelah ikan mati, sirkulasi darah menjadi terhenti dan suplai oksigen berkurang. Hal ini menyebabkan perubahan glikogen menjadi asam laktat sehingga ph tubuh ikan menurun. Nilai ph yang menurun mengakibatkan enzim katepsin yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif dalam menguraikan protein (Eskin et al. 1990). Proteolisis yang disebabkan oleh katepsin dapat meningkatkan pelunakan selama fase post mortem daging. Aktivitas utama katepsin tersebut dikhususkan pada protein sarkoplasma (Bate-Smith 1948 diacu dalam Eskin et al. 1990). Enzim protease menyerang ketika protein sarkoplasma mulai terdenaturasi saat kondisi post mortem. Katepsin berperan secara umum dalam pergantian protein, pertumbuhan sel dan jaringan homeostasis (Partanen 2006). Katepsin B yang dihasilkan dari otot dorsal ikan mackerel dapat menghidrolisis berbagai peptida dan membebaskan tripeptida dan dipeptida. Jenis katepsin ini juga menyerang protein miofibril, mendegradasi miosin serta

12 menghidrolisis aktin dan troponin T pada ph 6,0. Katepsin B yang dimurnikan dari ikan chum salmon mempunyai kemampuan menghidrolisis miosin, connectin dan nebulin. Katepsin B adalah enzim proteolitik yang paling aktif dalam fillet ikan (Jiang 2000). Katepsin D adalah protease lisosomal yang mempunyai peran penting dalam katabolisme protein (Jakimiec et al. 2004). Jenis katepsin ini termasuk dalam endopeptidase aspartat seperti halnya katepsin E, pepsin, gastrixin dan rennin yang dapat mendegradasi dan mendenaturasi sel protein (Gacko et al. 2007). Haard (1994) menyatakan bahwa katepsin D dapat menghidrolisis protein pada kondisi asam tetapi tidak pada ph netral. Katepsin disinyalir tidak bertanggung jawab pada pelunakan daging. Alasannya adalah lisosomal protease masih terdapat dalam lisosom dan tidak mempunyai akses kepada miofobril atau sitosol. Akan tetapi, turunnya ph selama glikolisis saat post mortem melemahkan dinding organel seperti lisosom yang menyebabkan terbebasnya proteinase lisosomal seperti katepsin B, H dan L yang mempunyai ph optimal antara 5,5-6,5 (Koohmaraie 1996 diacu dalam Jiang 2000). 2.7 Inhibitor Enzim Inhibitor enzim adalah substansi yang mengurangi ukuran rata-rata reaksi katalis enzim (Whitaker 1994 diacu dalam Carreno dan Cortes 2000). Hampir semua enzim dapat diracuni atau dihambat oleh senyawa kimia tertentu. Penelitian mengenai senyawa penghambat enzim memberikan informasi yang berguna tentang spesifitas substrat enzim, sifat-sifat alamiah gugus fungsional pada sisi aktif, dan mekanisme aktivitas katalitik (Lehninger 1998). Inhibitor enzim diperoleh dari berbagai macam organisme termasuk bakteri, tanaman, dan hewan. Kebanyakan inhibitor protease alami adalah protein atau peptida. Protein ini berfungsi sebagai regulator enzim proteolitik dalam tubuh sebagaimana perlindungan terhadap hal-hal penganggu. Protein tersebut dapat dikelompokkan sebagai inhibitor aspartat, sistein, serine, dan metalloprotease (Grzywnowicz dan Sobczyk 2006). Lebih dari 100 jenis inhibitor potein alami telah berhasil diidentifikasi dan lebih banyak lagi jenis yang telah berhasil

13 disintesis. Inhibitor enzim dibagi menjadi tiga kelas, yakni pertama adalah inhibitor yang bereaksi dengan lebih dari satu kelas protein, kedua adalah inhibitor yang spesifik terhadap satu kelas proteinase, dan ketiga adalah inhibitor yang memperlihatkan selektivitas yang tinggi terhadap satu jenis proteinase (Creighton 1989) Mekanisme kerja inhibitor enzim Aktivitas enzim proteolitik dikontrol oleh beberapa mekanisme termasuk penghambat enzim yaitu inhibitor protease. Penghambatan enzim dapat bersifat reversible (dapat balik) atau irreversible (tidak dapat balik). Penghambatan yang bersifat irreversible, aktifitas enzimnya tidak dapat diperoleh kembali secara fisik, sedangkan pada penghambatan yang bersifat reversible aktivitas enzimnya diregenerasi oleh pemindahan molekul inhibitor. Salah satu fungsi dari inhibitor protease yang paling penting adalah mengontrol aktivitas protease yang memainkan peranan dalam mengontrol fungsi protein dan polipeptida (Carreno dan Cortes 2000). Penghambat tak dapat balik adalah golongan yang bereaksi dengan atau merusakkan suatu gugus fungsional pada molekul enzim yang penting bagi aktivitas katalitiknya. Suatu contoh dari penghambat tak dapat balik adalah senyawa diisoprofilfluorofosfat (DFP) yang menghambat enzim asetilkolinesterase yang penting di dalam transmisi impuls syaraf. Penghambat enzim dapat balik memberikan banyak informasi penting mengenai struktur aktif berbagai enzim. Penghambatan dapat balik dapat dibedakan menjadi penghambat kompetitif dan non kompetitif. Ciri penghambat kompetitif adalah dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat. Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal sehingga menipu enzim untuk berikatan. Penghambat kompetitif dapat dianalisis secara kuantitatif oleh teori Michaelis-Menten. Penghambat kompetitif I hanya berikatan secara dapat balik dengan enzim membentuk suatu kompleks EI. Akan tetapi, penghambat I tidak dapat dikatalisa oleh enzim untuk menghasilkan produk yang baru (Lehninger 1998). Karakteristik penghambat (inhibitor) kompetitif dapat dilihat pada Gambar 4.

14 inhibitor kompetitif substrat sisi aktif substrat sisi aktif diblok tidak jadi produk Gambar 4. Karakteristik inhibitor kompetitif (Anonim b 2009) Pada penghambatan non kompetitif, penghambat berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan dan mengubah bentuk tiga dimensi enzim sehingga mengurangi aktivitas katalis. Penghambat non kompetitif berikatan secara dapat balik pada kedua molekul enzim bebas dan kompleks ES, membentuk kompleks EI dan ESI (Hames dan Hooper 2005). Karakteristik penghambat (inhibitor) non kompetitif dapat dilihat pada Gambar 5. inhibitor non kompetitif substrat sisi aktif substrat sisi aktif berubah tidak bereaksi Gambar 5. Karakteristik inhibitor non kompetitif (Anonim b 2009) Inhibitor katepsin Inhibitor katepsin kebanyakan termasuk dalam golongan inhibitor pada sistein proteinase (cystatin) walaupun ada juga yang termasuk dalam serine dan aspartat proteinase. Selain menghambat katepsin, inhibitor ini juga menghambat enzim yang lain seperti ficin, papain dan calpain. Inhibitor tersebut digunakan untuk mengontrol autolisis jaringan ikan. Pada surimi, inhibitor ini ditambahkan untuk menghambat aktivitas enzim katepsin yang dapat menghambat kemampuan pembentukan gel (Choi et al. 2005). Beberapa penelitian telah menghasilkan inhibitor alami enzim katepsin. Salah satunya adalah inhibitor katepsin D yang telah berhasil dihambat dengan pepstatin dan inhibitor dari benih tanaman kentang (Worowski dan Ostrowska 1980 diacu dalam Jakimiec et al. 2004). Pepstatin merupakan salah satu inhibitor

15 yang efektif untuk menghambat pergerakan enzim katepsin (Dinu et al. 2002). Hasil uji berbagai inhibitor untuk menghambat aktivitas enzim katepsin disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh berbagai inhibitor terhadap enzim katepsin Komponen Konsentrasi Katepsin I Inhibisi (%) Katepsin II Idoacetic acid 10 mm 5,3 4,5 Iodoacetic amide 10 mm 4,1 4,6 Phenylmethanesulphonyl fluoride 10 mm 6,2 3,4 Diisopropyl phosphofluoridate 1 mm 2,5 3,5 Pepstatin 1 µm 98,2 97,5 Sumber: Dinu et al. (2002) Hal yang serupa juga didapatkan dari penelitian Apriyanti (2007) yang mendapatkan hasil bahwa pepstatin merupakan inhibitor kimia yang cocok untuk menghambat enzim katepsin. Pepstatin dengan konsentrasi 5 µm mampu menekan laju aktivitas enzim katepsin sebesar 92,71%. Selain berasal dari senyawa kimia, inhibitor katepsin juga dapat diperoleh dari bahan alami. An et al. (1995) telah menemukan bahwa inhibitor katepsin dapat diisolasi dari daging ikan Pacific Whiting (Merluccicus productus) dengan cara memisahkan kompleks enzim-inhibitor dengan perlakuan pengasaman.

PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) PADA SUHU CHILLING MOHAMMAD ZAENURI

PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) PADA SUHU CHILLING MOHAMMAD ZAENURI PERANAN INHIBITOR KATEPSIN DALAM MENGHAMBAT KEMUNDURAN MUTU IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) PADA SUHU CHILLING MOHAMMAD ZAENURI DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan bandeng

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) Ikan bandeng atau milkfish termasuk ikan yang sudah lama dikenal di Indonesia. Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis

Lebih terperinci

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT) TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Morfologi ikan patin (Susanto dan Heru 1999).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Morfologi ikan patin (Susanto dan Heru 1999). 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius sp.) Ikan patin (Pangasius sp.) mempunyai ciri-ciri morfologi berbadan panjang, berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng ( Chanos chanos Forskal)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng ( Chanos chanos Forskal) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang potensial dikembangkan. Jenis ikan ini mampu

Lebih terperinci

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. dhinie_surilayani@yahoo.com Ikan = perishable food Mengandung komponen gizi: Lemak, Protein, Karbohidrat, dan Air Disukai Mikroba Mudah Rusak di Suhu Kamar Setelah ikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

Harryara Sitanggang

Harryara Sitanggang IV. Hasil Pengamatan & Pembahasan Penanganan pasca panen bukan hanya berlaku untuk produk pangan yang berasal dari tumbuhan atau biasa disebut produk nabati. Pemanenan dari komoditas hewani juga perlu

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kelangsungan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh nilai atau kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, karbohidrat, mineral, serta

Lebih terperinci

Uji Organoleptik Ikan Mujair

Uji Organoleptik Ikan Mujair Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR TINGKAT KETAHANAN KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) MENGGUNAKAN ASAP CAIR. Riyantono 1 Indah Wahyuni Abida 2 Akhmad Farid 2 1 Alumni Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo 2 Dosen Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1)

FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1) FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1) OLEH : PIENYANI ROSAWANTI PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA 2017 METABOLISME Metabolisme adalah proses-proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi

Lebih terperinci

Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb.

Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb. Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb. Anabolisme = (biosintesis) Proses pembentukan senyawa

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU MOHAMMAD IRFAN C

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU MOHAMMAD IRFAN C AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU MOHAMMAD IRFAN C34051397 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enzim merupakan suatu protein yang berfungsi sebagai biokatalisator. Katalisator didefinisikan sebagai percepatan reaksi kimia oleh beberapa senyawa dimana senyawanya

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging Hasil pengujian nilai ph dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan

BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN. 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan BAB 2. KUALITAS HASIL PERIKANAN 2.1 Parameter Kualitas Hasil Perikanan Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar. Ikan segar yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui waktu pelelehan es dan proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

Lebih terperinci

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME Metabolisme adalah seluruh reaksi kimia yang dilakukan oleh organisme. Metabolisme juga dapat dikatakan sebagai proses

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Ikan Bandeng Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. aplikasi enzim menyebabkan penggunaan enzim dalam industri semakin luas.

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. aplikasi enzim menyebabkan penggunaan enzim dalam industri semakin luas. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam beberapa tahun terakhir ini, industri enzim telah berkembang pesat dan berperan penting dalam dunia industri. Kesadaran masyarakat akan kondisi lingkungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Makanan sebagai sumber zat gizi yaitu karbohidrat, lemak,

Lebih terperinci

FUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP

FUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP TUGAS MATA KULIAH NUTRISI TANAMAN FUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP Oleh : Dewi Ma rufah H0106006 Lamria Silitonga H 0106076 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 Pendahuluan Fosfor

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

PERANAN ENZIM PROTEASE JEROAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DALAM PROSES KEMUNDURAN MUTU NINA FENTIANA

PERANAN ENZIM PROTEASE JEROAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DALAM PROSES KEMUNDURAN MUTU NINA FENTIANA PERANAN ENZIM PROTEASE JEROAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) DALAM PROSES KEMUNDURAN MUTU NINA FENTIANA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR Sri Purwaningsih 1, Josephine W 2, Diana Sri Lestari 3 Abstrak Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA Bahan Baku Kerang Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai ciri-ciri: cangkang terdiri dari dua belahan atau katup yang dapat membuka dan menutup dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Layang (Decapterus sp.) Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat di Indonesia. Ikan ini termasuk jenis pemakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sebagai seorang manusia tentunya kita memiliki berbagai kebutuhan yang sangat banyak dan bermacam. Salah satu yang menjadi kebutuhan utama seorang manusia tentunya

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 4-5. METABOLISME Ada 2 reaksi penting yang berlangsung dalam sel: Anabolisme reaksi kimia yang menggabungkan bahan

Lebih terperinci

BIOLOGI. Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt

BIOLOGI. Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt BIOLOGI Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt Metabolisme Sel Metabolisme Metabolisme merupakan totalitas proses kimia di dalam tubuh. Metabolisme meliputi segala aktivitas hidup yang bertujuan agar sel

Lebih terperinci

BIOKIMIA Kuliah 2 KARBOHIDRAT

BIOKIMIA Kuliah 2 KARBOHIDRAT BIOKIMIA Kuliah 2 KARBOHIDRAT 1 2 . 3 . 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Biokimia Kuliah 2 POLISAKARIDA 17 POLISAKARIDA Sebagian besar karbohidrat dalam bentuk polisakarida. Suatu polisakarida berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan pengawet berbahaya dalam bahan makanan seperti ikan dan daging menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh pemerintah. Penggunaan bahan pengawet

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

Nama-nama dan jenis-jenis Enzim dalam Sistem Pencernaan

Nama-nama dan jenis-jenis Enzim dalam Sistem Pencernaan Nama-nama dan jenis-jenis Enzim dalam Sistem Pencernaan Saluran Pencernaan Mulut (Kelenjar Ludah / Saliva) Lambung (Kelenjar Lambung) Pankreas (Saluran Pankreas) Usus (Kelenjar Usus) Nama enzim dan fungsinya

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN Anna Rakhmawati,M.Si Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Email:anna_rakhmawati@uny.ac.id Bahan makanan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang penting

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dari ikan kembung adalah : : Tunicata (Urochordata) : Scomber kanangurta

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dari ikan kembung adalah : : Tunicata (Urochordata) : Scomber kanangurta TINJAUAN PUSTAKA Sekilas Tentang Ikan Sistematika dari ikan kembung adalah : Phylum Sub phylum Class Sub class Ordo Sub ordo Family Genus Species : Chordata : Tunicata (Urochordata) : Osteichthyes : Sarcopterygii

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI Oleh : Rendra Eka A 1. Kemunduran mutu ikan segar secara sensori umumnya diukur dengan metode sensori

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Klasifikasi Ikan Cakalang Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas memiliki ukuran tubuh yang relatif besar, panjang tubuh sekitar 25cm dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi dan Higienitas di Tempat Pelelangan Ikan Kebersihan terdiri dari dua aspek yang saling berkaitan yaitu sanitasi dan higienitas. Sanitasi adalah suatu usaha untuk mengawasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Berdasarkan data dari Kementerian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, produksi perikanan khususnya yang berasal dari hasil penangkapan hampir mencapai titik jenuh, sedangkan permintaan dan kebutuhan ikan baik di dalam negeri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan patin adalah ikan air tawar yang banyak ditemukan di perairan umum di Indonesia seperti sungai, waduk, dan rawa. Di Indonesia, ikan patin telah banyak dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerang darah (Anadara granosa) merupakan salah satu jenis kerang dari kelas Bivalvia yang berpotensi dan memiliki nilai ekonomis untuk dikembangkan sebagai sumber protein

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Daging itik mempunyai kualitas rendah karena bau amis, bertekstur kasar dan alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

Lebih terperinci

KEMUNDURAN MUTU IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) PASCA PANEN PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING RIJAN ZAKARIA

KEMUNDURAN MUTU IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) PASCA PANEN PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING RIJAN ZAKARIA KEMUNDURAN MUTU IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) PASCA PANEN PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING RIJAN ZAKARIA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7) Waktu dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum,

Lebih terperinci

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN.

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN. PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN Nurmeilita Taher Staf Pengajar pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

PROTEIN. Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan

PROTEIN. Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan PROTEIN Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan 2-2015 Contents Definition Struktur Protein Asam amino Ikatan Peptida Klasifikasi protein Sifat fisikokimia Denaturasi protein Definition Protein adalah sumber asam-asam

Lebih terperinci

Pemanfaatan Mikroba dalam Pengawetan Makanan

Pemanfaatan Mikroba dalam Pengawetan Makanan Pemanfaatan Mikroba dalam Pengawetan Makanan Menurut Volk dkk (1994) beberapa bukti mengenai peranan mikrobiologi dapat dikemukakan sebagai proses klasik menggunakan bakteri. Di Jepang dan Indonesia sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90%,

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi penanganan pasca panen Penanganan pasca panen dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

Lebih terperinci

2.1.3 Terjadi dimana Terjadi salam mitokondria

2.1.3 Terjadi dimana Terjadi salam mitokondria 2.1.1 Definisi Bioenergetika Bioenergetika atau termodinamika biokimia adalah ilmu pengetahuan mengenai perubahan energi yang menyertai reaksi biokimia. Reaksi ini diikuti oleh pelepasan energi selama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu reaksi kimia, khususnya antara senyawa organik, yang dilakukan dalam laboratorium memrlukan suatu kondisi yang ditentukan oleh beberapa faktor, speerti suhu,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Lolosi Merah (C. chrysozona) Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk dalam family ikan caesiodidae yang erat

Lebih terperinci

Protein ENZIM Mempercepat reaksi dengan jalan menurunkan tenaga aktivasi Tidak mengubah kesetimbangan reaksi Sangat spesifik

Protein ENZIM Mempercepat reaksi dengan jalan menurunkan tenaga aktivasi Tidak mengubah kesetimbangan reaksi Sangat spesifik E N Z I M Sukarti Moeljopawiro Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Protein ENZIM Mempercepat reaksi dengan jalan menurunkan tenaga aktivasi Tidak mengubah kesetimbangan reaksi Sangat spesifik ENZIM

Lebih terperinci

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. PROTEIN Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringanjaringan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

Enzim dan koenzim - 3

Enzim dan koenzim - 3 Enzim dan koenzim Macam-macam enzim Cara kerja enzim Sifat kinetik enzim Faktor-faktor yang mempengaruhi katalisis enzim Regulasi dan aktivitas enzim Enzim dan koenzim - 2 Enzim dan koenzim - 3 Substansi

Lebih terperinci

Enzim dan koenzim Macam-macam enzim Cara kerja enzim Sifat kinetik enzim Faktor-faktor yang mempengaruhi katalisis enzim Regulasi dan aktivitas enzim

Enzim dan koenzim Macam-macam enzim Cara kerja enzim Sifat kinetik enzim Faktor-faktor yang mempengaruhi katalisis enzim Regulasi dan aktivitas enzim Enzim dan koenzim Macam-macam enzim Cara kerja enzim Sifat kinetik enzim Faktor-faktor yang mempengaruhi katalisis enzim Regulasi dan aktivitas enzim Enzim dan koenzim - 2 Substansi yang terdapat didalam

Lebih terperinci

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti yang paling utama) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan A. Protein Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino

Lebih terperinci

Mekanisme Kerja Otot

Mekanisme Kerja Otot Mekanisme Kerja Otot 1. Sarkolema Sarkolema adalah membran yang melapisi suatu sel otot yang fungsinya sebagai pelindung otot 2. Sarkoplasma Sarkoplasma adalah cairan sel otot yang fungsinya untuk tempat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pemotongan hewan Pacar Keling, Surabaya. dengan waktu pengamatan setiap 4 jam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pemotongan hewan Pacar Keling, Surabaya. dengan waktu pengamatan setiap 4 jam BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian tentang skrining dan uji aktivitas enzim protease bakteri hasil isolasi dari limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pacar Keling Surabaya menghasilkan data-data sebagai

Lebih terperinci

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1 DAGING Theresia Puspita Titis Sari Kusuma There - 1 Pengertian daging Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ayam jantan ras White Cornish dari Inggris dengan ayam betina dari ras

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ayam jantan ras White Cornish dari Inggris dengan ayam betina dari ras BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pedaging Ayam ras pedaging atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan nama ayam broiler adalah merupakan jenis ras unggul dari persilangan (perkawinan) antara ayam

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan 1 P a g e Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan Pengasapan Ikan Menurut perkiraan FAO,2 % dari hasil tangkapan ikan dunia diawetkan dengan cara

Lebih terperinci