PERKEMBANGAN POLA KONSUMSI PANGAN MENURUT WILAYAH DAN TINGKAT PENDAPATAN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANGGI ANDARINI RITONGA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERKEMBANGAN POLA KONSUMSI PANGAN MENURUT WILAYAH DAN TINGKAT PENDAPATAN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANGGI ANDARINI RITONGA"

Transkripsi

1 1 PERKEMBANGAN POLA KONSUMSI PANGAN MENURUT WILAYAH DAN TINGKAT PENDAPATAN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANGGI ANDARINI RITONGA DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017

2 2

3 3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan Pola Konsumsi Pangan menurut Wilayah dan Tingkat Pendapatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dalam bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2017 Anggi Andarini Ritonga NIM. I

4 4

5 5 ABSTRAK ANGGI ANDARINI RITONGA. Perkembangan Pola Konsumsi Pangan menurut Wilayah dan Tingkat Pendapatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF dan DRAJAT MARTIANTO. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan pola konsumsi pangan pasca penerapan Peraturan Presiden nomor 22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Analisis dilakukan menggunakan dua pendekatan yaitu wilayah dan tingkat pendapatan. Desain penelitian yang digunakan adalah deksriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan selama bulan Mei-Juli Data yang digunakan merupakan data sekunder hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009, 2012, dan Provinsi DIY masih belum mampu mencapai sasaran skor PPH yang ditetapkan meskipun terus mengalami peningkatan yaitu 80.7 (2012) dan 83.7 (2015). Masyarakat kota dan desa memiliki pola konsumsi pangan yang hampir sama. Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Perlu upaya khusus untuk memperbaiki konsumsi pangan rumah tangga berpendapatan rendah melihat capaian skor PPH yang hanya berkisar antara Kata kunci : Pangan lokal, Penganekaragaman konsumsi pangan, Pola konsumsi pangan, Pola pangan harapan ABSTRACT ANGGI ANDARINI RITONGA. Dietary pattern changes based on region and income level in Special Region of Yogyakarta Province. Supervised by HIDAYAT SYARIEF and DRAJAT MARTIANTO. This study aimed to analyze changes in food consumption pattern during implementation of Presidential Regulation number 22 year 2009 on Acceleration of Food Consumption Diversification Based on Local Resources. The analysis conducted by using two approaches based on urban-rural area and income level. The research design which used is quantitative descriptive. The study conducted on May-July Data used are National Social Economic Survey (Susenas) year 2009, 2012, and Based on Presidential Regulation number 22/2009, the government stimulates the goal of achieving Desirable Dietary Pattern (DDP) score by 88.1 in 2011 and 95 in Special Region of Yogyakarta Province is still unable to reach the target, although it continue to increase by 80.7 (2012) and 83.7(2015). urban and rural communities have a similar dietary pattern. The quantity and quality of food consumption increases as long as the revenue increased. Special efforts are needed to improve comsumption of low income household food, DDP scores achieved only ranged Keywords : Desirable dietary pattern, food consumption pattern, food diversification, local food

6 6

7 7 PERKEMBANGAN POLA KONSUMSI PANGAN MENURUT WILAYAH DAN TINGKAT PENDAPATAN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANGGI ANDARINI RITONGA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari program studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017

8 8

9 9

10 10

11 11 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tema penelitian yang dipilih yaitu analisis situasi konsumsi pangan pasca diterapkannya kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2017 di Bogor dengan judul Perkembangan Pola Konsumsi Pangan menurut Wilayah dan Tingkat Pendapatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Terima kasih Penulis ucapkan kepada: 1. Dr. Rimbawan selaku Ketua Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor 2. Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan motivasi kepada Penulis 3. Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan banyak ilmu, bimbingan, dan motivasi kepada Penulis 4. Bapak M. Noor Ritonga (Ayah), Ibu Putri Indah Juwita N. (Ibu), Suci Oktavani Ritonga, Reny Novitasari Ritonga, dan Afandi Ramadhan Ritonga selaku Keluarga yang senantiasa memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada Penulis 5. Anggita Laras T, Alfred Ryando, Ira Widya Zahara, Laillia Ghaisani, Martina R.S, Nur Lailatul Zahra selaku teman satu bimbingan yang senantiasa membantu dan bekerja sama dalam menyelesaikan tugas akhir Demikian kata pengantar yang dapat Penulis sampaikan. Mohon maaf apabila masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat kedepannya. Bogor, Desember 2017 Anggi Andarini Ritonga

12 12

13 13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain dan Waktu Penelitian 5 Jenis dan Sumber Data 5 Pengolahan dan Analisis Data 6 Definisi Operasional 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 10 Perkembangan Pola Konsumsi Pangan menurut Wilayah 11 Perkembangan Pola Konsumsi Pangan menurut Tingkat Pendapatan Perkembangan Kontribusi Pangan Pokok menurut Wilayah 25 Perkembangan Kontribusi Pangan Pokok menurut Tingkat Pendapatan Pola Konsumsi Pangan Menurut Wilayah dan Tingkat Pendapatan 33 SIMPULAN DAN SARAN 38 DAFTAR PUSTAKA 39 LAMPIRAN 44 xii xii xiii 18 29

14 14 DAFTAR TABEL 1 Jenis dan sumber data penelitian 5 2 Golongan pendapatan menurut Susenas 6 3 Perhitungan skor pola pangan harapan 7 4 Perkembangan tingkat kecukupan energi dan protein menurut 12 wilayah 5 Kontribusi energi dan protein sembilan kelompok pangan menurut 13 wilayah 6 Persentase asupan energi aktual terhadap ideal sembilan kelompok 16 pangan menurut wilayah 7 Perkembangan tingkat kecukupan energi dan protein menurut 19 tingkat pendapatan 8 Kontribusi energi dan protein sembilan kelompok pangan menurut 20 tingkat pendapatan 9 Persentase asupan energi aktual terhadap ideal sembilan kelompok 24 pangan menurut tingkat pendapatan 10 Kontribusi energi komoditas pangan pokok menurut wilayah Kontribusi energi komoditas pangan pokok menurut tingkat pendapatan 30 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran perkembangan pola konsumsi pangan menurut 4 wilayah dan tingkat pendapatan 2 Perkembangan skor PPH menurut wilayah 15 3 Perkembangan skor PPH menurut tingkat pendapatan 23 4 Perbandingan kontribusi energi pangan pokok pokok lokal dan impor 26 terhadap total pangan pokok menurut wilayah 5 Perbandingan kontribusi energi pangan pokok pokok lokal dan impor 29 terhadap total pangan pokok menurut tingkat pendapatan 6 Perkembangan pola konsumsi pangan secara umum tahun 2009, , dan Pola konsumsi pangan menurut wilayah dan tingkat pendapatan 34 tahun Pola konsumsi pangan pokok menurut wilayah dan tingkat 35 pendapatan tahun Pola konsumsi pangan sumber protein menurut wilayah dan tingkat pendapatan tahun Pola konsumsi pangan sayur dan buah menurut wilayah dan tingkat 37 pendapatan tahun 2015

15 15 DAFTAR LAMPIRAN 1 Kontribusi energi dan protein sembilan kelompok pangan di wilayah 44 Kota+Desa 2 Skor PPH menurut wilayah 44 3 Skor PPH menurut tingkat pendapatan 45 4 Persentase konsumsi pangan pokok lokal dan impor menurut wilayah 46 5 Persentase konsumsi pangan pokok lokal dan impor menurut tingkat 46 pendapatan 6 Kontribusi energi berbagai komoditas pangan tahun 2009, 2012, dan Kontribusi energi berbagai komoditas pangan antar wilayah dan 47 tingkat pendapatan tahun Kontribusi energi pangan pokok antar wilayah dan tingkat 48 pendapatan tahun Kontribusi energi pangan sumber protein antar wilayah dan tingkat pendapatan tahun Kontribusi energi sayur dan buah golongan pendapatan rendah antar 48 wilayah tahun Kontribusi energi sayur dan buah golongan pendapatan menengah 49 antar wilayah tahun Kontribusi energi sayur dan buah golongan pendapatan tinggi antar 49 wilayah tahun 2015

16 16

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Gizi merupakan komponen penting dalam menunjang derajat kesehatan manusia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ketidakseimbangan asupan gizi menjadi faktor resiko berbagai penyakit degeneratif (Vadiveloo et al. 2014). Salah satu penyebab ketidakseimbangan asupan gizi adalah kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi (Marshall et al. 2001), karena tidak ada satupun komoditas pangan yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan zat gizi manusia. Oleh karena itu, isu penganekaragaman pangan menjadi perhatian para ahli di berbagai negara, baik dibidang kesehatan maupun pertanian termasuk ahli gizi. Pola konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia saat ini masih didominasi oleh beras. Hasil survey diet total (2014) menunjukkan rata-rata konsumsi beras nasional sebesar gram/orang/hari. Jumlah ini mencapai 97.7% dari total konsumsi pangan serealia/olahannya, yaitu sebesar gram/orang/hari. Jika dibandingkan dengan anjuran konsumsi ideal Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi padi-padian di Indonesia hampir mencapai anjuran ideal yaitu 275 gram/kapita/hari. Sedangkan, jumlah konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayuran, dan buah secara berurutan yaitu 27.1, 145.8, 57.2, dan 33.5 gram/kapita/hari. Jumlah ini masih sangat jauh dari anjuran ideal PPH, yaitu masing-masing 100, 150, dan 250 gram/kapita/hari untuk kombinasi sayur dan buah (BKPP 2014; DKP 2006). Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah sebagai upaya mewujudkan pola konsumsi pangan yang lebih beragam dan bergizi seimbang. Secara umum, kebijakan ini dikenal sebagai kebijakan diversifikasi pangan atau kebijakan penganekaragaman pangan. Secara formal, kebijakan terkait penganekaragaman pangan pertama kali diterbitkan melalui Instruksi Presiden nomor 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Berbagai upaya telah dilakukan setelahnya mulai dari sosialisasi, promosi, pendampingan Kelompok Wanita Tani (KWT), dsb (Ariani 2012). Tetapi, selama lebih dari 30 tahun, upaya ini belum mencapai target yang diharapkan. Berbagai evaluasi telah dilakukan yang menunjukkan bahwa peran pangan pokok lokal justru semakin tergerus pangan pokok impor (terigu). Oleh karena itu, diterbitkan Peraturan Presiden nomor 22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumber Daya Lokal (Martianto et al. 2009). Kebijakan penganekaragaman bertujuan untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia dengan upaya membudayakan pola konsumsi yang lebih beraneka ragam serta bergizi seimbang. Pemerintah menggunakan indikator Pola Pangan Harapan (PPH) untuk mengukur tingkat keberhasilan dari kebijakan ini. Implementasi kebijakan sendiri dibagi menjadi dua tahap pelaksanaan dengan sasaran PPH yang berbeda. Indonesia ditarget mencapai skor PPH nasional sebesar 88.1 pada tahap I ( ) dan 95 pada tahap II ( ). Strategi yang ditempuh meliputi :1) Internalisasi Penganeakragaman Konsumsi Pangan dan 2) Pengembangan Bisnis dan Industri Lokal.

18 2 Evaluasi merupakan salah satu tahapan penting dalam implementasi kebijakan. Salah satu metode untuk mengevaluasi suatu kebijakan adalah evaluasi output. Pada konteks Perpres nomor 22 tahun 2009 output yang dapat dievaluasi adalah sasaran yang ditetapkan, yaitu skor Pola Pangan Harapan (PPH). Setiap tahunnya Badan Ketahanan Pangan (BKP) telah merilis capaian PPH nasional dan provinsi. Tetapi, hasil publikasi ini belum dapat menggambarkan perubahan pola konsumsi pangan secara lebih spesifik. Padahal pola konsumsi pangan masyarakat dipengaruhi oleh banyak hal seperti ketersediaan pangan, pendapatan, selera, pengetahuan gizi, kebudayaan dsb. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang menjadikan isu penanekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal sebagai prioritas kebijakan (Wastuningsih & Untari 2011). Selain itu, Provinsi DIY juga dikenal dengan berbagai potensi daerah seperti ubi jalar, ubi kayu, uwi, gembili, suriname, savera, kimpul dll (Wanita 2011). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan analisis terhadap perkembangan pola konsumsi pangan di Provinsi DIY setelah penerapan kebijakan percepatan penganekaragaman pangan. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, rumusan masalah dari penelitian ini, adalah : 1. Bagaimana perkembangan pola konsumsi pangan masyarakat menurut wilayah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pasca penerapan peraturan presiden nomor 22 tahun 2009? 2. Bagaimana perkembangan pola konsumsi pangan masyarakat menurut tingkat pendapatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pasca penerapan peraturan presiden nomor 22 tahun 2009? 3. Bagaimana perkembangan peranan pangan pokok lokal dan impor terhadap total konsumsi pangan pokok menurut wilayah pasca penerapan peraturan presiden nomor 22 tahun 2009? 4. Bagaimana perkembangan peranan pangan pokok lokal dan impor terhadap total konsumsi pangan pokok menurut golongan pendapatan pasca penerapan peraturan presiden nomor 22 tahun 2009? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis perkembangan pola konsumsi pangan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada periode sebelum penerapan, evaluasi tahap I, dan evaluasi tahap II Peraturan Presiden nomor 22 tahun Tujuan Khusus 1. Menganalisis perkembangan pola konsumsi pangan masyarakat menurut wilayah.

19 3 2. Menganalisis perkembangan pola konsumsi pangan masyarakat menurut tingkat pendapatan. 3. Menganalisis perkembangan peranan pangan pokok lokal dan impor terhadap total konsumsi pangan pokok menurut wilayah. 4. Menganalisis perkembangan peranan pangan pokok lokal dan impor terhadap total konsumsi pangan pokok menurut tingkat pendapatan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti, Institusi Pendidikan, dan Instansi Pemerintah. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memperdalam wawasan dibidang analisis data terutama dalam konteks evaluasi kebijakan dan gizi. Bagi Institusi Pendidikan, khususnya Departemen Gizi Masyarakat, diharapkan dapat menjadi bentuk kontribusi untuk memperkaya penelitian didivisi IV, yaitu Bidang Kebijakan Pangan dan Gizi. Untuk Instansi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait kondisi perkembangan pola konsumsi masyarakat yang lebih spesifik, sehingga dapat membantu mengevaluasi kebijakan yang telah berjalan serta merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran kedepannya. KERANGKA PEMIKIRAN Pangan merupakan kebutuhan pokok dan bagian dari hak asasi manusia sehingga pemenuhannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) Secara lebih rinci, peraturan mengenai penyelenggaraan pangan diatur dalam UU nomor 7 tahun 1996 yang telah diperbarui menjadi UU nomor 18 tahun Berdasarkan UU nomor 7/1996 pasal 46, penganekaragaman pangan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan. Pada tahun 2009, pemerintah mengesahkan Peraturan Presiden nomor 22 yang mengatur mengenai Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Kebijakan ini disusun karena capaian skor PPH nasional yang masih jauh dari ideal dan semakin melemahnya peran pangan lokal dalam mewujudkan penganekaragaman pangan. Konsumsi tepung terigu yang bahan bakunya bukan berasal dari tanaman lokal Indonesia justru semakin meningkat, sehingga diperlukan upaya pengendalian dan perbaikan pola konsumsi pangan masyarakat. Kementerian Pertanian kemudian merumuskan kebijakan P2KP menjadi tiga program turunan yaitu : 1) Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L), dan 3) Sosialisasi dan Promosi P2KP. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan. Secara umum faktor tersebut dapat dibagi menjadi faktor internal dan eksternal individu. Tingkat pendapatan merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pola konsumsi pangan seseorang (Madanijah 2010). Rumah

20 4 tangga yang memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi akan mampu memenuhi kebutuhan pangan yang lebih baik secara kuantitas maupun kualitas. Distribusi pangan merupakan jembatan antara produksi pangan dengan konsumsi pangan. Distribusi pangan sangat dipengaruhi oleh aspek ekonomi (daya beli, harga pangan, harga non-pangan) dan aspek fisik (sarana prasarana, transportasi, infrastruktur wilayah). Pembangunan dan pengembangan wilayah yang difokuskan pada wilayah perkotaan menyebabkan adanya perbedaan ketersediaan fasilitas umum dan akses wilayah yang memadai (Ariani 2015). Faktor ini akan mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam mengakses pangan. Selain itu, perbedaan agroekologi, kebudayaan, dan gaya hidup antara wilayah desa dan kota menyebabkan adanya perbedaan kebiasaan makan (Hartog et al. 2006) Faktor Internal Pendapatan Pekerjaan Preferensi pangan Pengetahuan gizi Pendidikan Gaya hidup Status kesehatan Peraturan Presiden nomor 22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Bebasis Sumberdaya Lokal Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP): 1. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) 2. Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L) 3. Sosialisasi dan Promosi P2KP Faktor Eksternal Agroekologi Kebijakan Promosi/Iklan Ketersediaan pangan Nilai/Kebudayaan Infrastruktur Pola pertanian Pola konsumsi pangan : Jenis konsumsi pangan Jumlah konsumsi pangan Sumber konsumsi pangan Pola konsumsi pangan : Tingkat Kecukupan Energi Tingkat Kecukupan Protein Skor Pola Pangan Harapan Keterangan : = Variabel yang diteliti = Hubungan yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang tidak diteliti Gambar 1 Kerangka pemikiran perkembangan pola konsumsi pangan menurut wilayah dan tingkat pendapatan

21 5 METODOLOGI PENELITIAN Desain dan Waktu Penelitian Desain penelitian yang digunakan yaitu deksriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juli Pemilihan Provinsi DIY sebagai subjek penelitian didasari beberapa alasan, yaitu 1) Provinsi DIY memiliki karakteristik sosial ekonomi penduduk yang unik, 2) Perkembangan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang tergolong baik secara umum, dan 3) Wilayah historis dengan konsumsi pangan pokok yang beragam. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder. Data yang digunakan merupakan data Survey Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statisik (BPS) secara berkala. Terdapat dua jenis pengumpulan data Susenas yaitu Kor dan Modul. Kor merupakan data yang bersifat umum dan dilakukan setiap tahun, sedangkan Modul mengumpulkan data yang bersifat rinci dan diterbitkan secara berulang setiap 3 tahun sekali. Terdapat tiga paket Modul, yaitu : 1) Modul konsumsi/pengeluaran rumah tangga, 2) Modul sosial budaya dan pendidikan, dan 3) Modul kesehatan dan perumahan. Pada penelitian ini, data yang digunakan merupakan Modul konsumsi/pengeluaran rumah tangga. Data Susenas dikumpulkan dengan metode probability sampling yang mencakup lingkup nasional. Kekuatan estimasi data Susenas representatif hingga tingkat kabupaten. Selain itu juga dibedakan antara wilayah kota, desa, dan kotadesa. Penelitian ini menggunakan data Susenas tahun 2009, 2012, dan 2015 sesuai dengan tahapan pelaksanaan Perpres nomor 22/2009. Berikut daftar data yang digunakan dalam penelitian. Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian No Data Sumber Penerbit Tahun 1 Geografi dan Demografi Daerah Dalam BPS DIY 2015 Provinsi DIY Angka 2 Ketersediaan pangan Neraca Bahan 2009, BKPP DIY (kg/kapita/tahun) Makanan 2012, Program P2KP di Provinsi Laporan Kerja BKPP DIY DIY Tahunan 4 Kuantitas asupan energi Survey Sosial 2009, menurut kelompok pendapatan BPS Ekonomi Nasional 2012, 2015 (desa, kota, desa+kota) 5 Kuantitas asupan protein menurut kelompok pendapatan (desa, kota, desa+kota) 6 Kuantitas konsumsi pangan (gram/hari) Survey Sosial Ekonomi Nasional Survey Sosial Ekonomi Nasional BPS BPS 2009, 2012, , 2012, 2015

22 6 Kuantitas asupan energi dan protein diperoleh dari pengolahan data konsumsi pangan dalam satuan gram/kap/hari. Pada data Susenas, golongan pendapatan ditetapkan menggunakan pendekatan pengeluaran meliputi pengeluaran pangan dan non-pangan. Referensi waktu untuk pangan yang digunakan saat survey yaitu jumlah pengeluaran selama seminggu terakhir, sedangkan untuk non-pangan dibagi menjadi sebulan dan setahun, tergantung komoditasnya. Data pangan yang dikalkulasikan hanya yang dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga baik dari produksi sendiri, pembelian, maupun harian. Data dikumpulkan menggunakan ukuran rumah tangga (URT), kemudian dikonversi menjadi satuan rupiah serta energi. Pada tahun 2009 dan 2012, terdapat 215 komoditas yang dibagi menjadi 14 kelompok untuk konsumsi pangan. Pada tahun 2015, terjadi pengurangan jumlah komoditas menjadi 111 jenis. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan menggunakan Microsoft Excel 2013 dan software perhitungan pola pangan harapan. Data disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan bubble chart. Masing-masing indikator diolah berdasarkan dua pendekatan yaitu wilayah dan tingkat pendapatan. Terdapat tiga klasifikasi wilayah yaitu kota, desa, dan kota+desa. Untuk tingkat pendapatan dibagi menjadi delapan golongan sesuai klasifikasi Susenas, tetapi untuk analisis secara lebih dalam kedelapan golongan tersebut disederhanakan menjadi tiga klasifikasi yaitu rendah (II), menengah (golongan V), dan tinggi (golongan VIII). Golongan pendapatan yang didapatkan dari Susenas merupakan data pendekatan pengeluaran perkapita/minggu. Terdapat perbedaan klasifikasi golongan pendapatan di ketiga titik tahun tersebut. Berikut rincian klasifikasi golongan pendapatan berdasarkan data susenas. Tabel 2 Golongan pendapatan menurut Susenas Golongan Jumlah pendapatan (Rp perkapita/minggu) 2009, I < < II III IV V VI VII VIII > > Kuantitas Konsumsi Pangan Kuantitas konsumsi pangan diukur menggunakan indikator tingkat kecukupan energi (TKE) dan tingkat kecukupan protein (TKP). Perhitungan TKE dan TKP dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah dan tingkat pendapatan. Berikut adalah rumus perhitungan TKE dan TKP.

23 7 (*) = AKE dan AKP berdasarkan hasil WNPG 2004 (AKE = 2000 kkal/kap/hari dan AKP = 52 gram/kap/hari) 2. Kualitas Konsumsi Pangan Kualitas konsumsi pangan diukur menggunakan indikator skor PPH. Perhitungan skor PPH dilakukan menggunakan software perhitungan pola pangan harapan. Pengolahan dilakukan dengan meng-input data konsumsi setiap komoditas pangan dalam satuan gram/kap/hari ke formula yang telah tersedia dalam software. Secara lebih sederhana, data konsumsi pangan akan dikelompokkan menjadi sembilan jenis, yaitu 1) padi-padian, 2) umbi-umbian, 3) pangan hewani, 4) minyak dan lemak, 5) buah/biji berlemak, 6) kacangkacangan, 7) sayur dan buah, 8) gula, dan 9) lain-lain. Berikut dijabarkan langkah-langkah perhitungan skor PPH secara manual. Tabel 3 Perhitungan skor pola pangan harapan No Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan Kelompok E (kkal/ % % Skor Skor Skor Pangan Bobot PPH kap/hr) Aktual AKE Aktual AKE Maks (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) 1 Padipadian Umbiumbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berlemak Kacangkacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Rumus skor pola pangan harapan : a. Total asupan energi aktual (kkal/kap/hari) b. Persentase kontribusi energi aktual per kelompok pangan = c. Persentase angka kecukupan energi (AKE) = d. Kolom bobot berisi nilai tetap yang menggambarkan besarnya kontribusi setiap bahan pangan terhadap kebutuhan gizi sesuai fungsi triguna makanan. e. Skor aktual = f. Skor AKE =

24 8 g. Skor maksimal berisi nilai tetap yang menggambarkan skor PPH ideal untuk setiap kelompok bahan pangan. h. Kolom PPH diisi dengan membandingkan skor AKE dengan skor maskimal. Apabilae, maka diisi dengan nilai. Sebaliknya, jika, maka nilai diisi dengan nilai Keterangan : = kelompok pangan 3. Kontribusi Pangan Pokok Lokal dan Impor Kontribusi pangan pokok lokal dan impor diolah dengan membandingkan kontribusi energi setiap komoditas pangan pokok dengan total kontribusi energi pangan pokok. Kelompok pangan yang termasuk pangan pokok dibatasi pada padi-padian dan umbi-umbian. Komoditas yang termasuk pangan pokok lokal yaitu beras, jagung, dan umbi-umbian dengan asumsi semua konsumsi berasal dari produksi dalam negeri. Komoditas yang termasuk pangan pokok impor yaitu terigu dan produk turunannya. Pengolahan untuk tingkat kontribusi pangan pokok juga menggunakan dua pendekatan yaitu wilayah dan tingkat pendapatan. Berikut adalah rumus perhitungan tingkat kontribusi pangan pokok: Analisis Data 1. Kuantitas Konsumsi Pangan Persentase TKE dan TKP yang telah didapatkan untuk setiap klasifikasi wilayah dan tingkat pendapatan kemudian dibandingkan dengan klasifikasi tingkat kecukupan gizi. Angka kecukupan gizi yang digunakan mengacu pada hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) pada tahun Penggunaan acuan WNPG 2004 didasarkan pada pertimbangan tahun penerapan Perpres nomor 22/2009. Klasifikasi tingkat kecukupan untuk energi dan protein juga dibandingkan dengan ketentuan hasil WNPG 2004, yaitu <80% (kurang), % (baik), dan >110% (lebih). Kuantitas konsumsi pangan tergolong baik apabila TKE dan TKP selama periode berada pada %. 2. Kualitas Konsumsi Pangan Skor PPH yang telah didapatkan untuk setiap klasifikasi wilayah dan tingkat pendapatan kemudian dibandingkan dengan sasaran skor PPH dalam Perpres nomor 22/2009. Data skor PPH pada tahun 2012 dibandingkan dengan sasaran evaluasi tahap I (2011), yaitu Data skor PPH pada tahun 2015 dibandingkan dengan sasaran evaluasi tahap II (2015), yaitu 95. Perkembangan skor PPH tergolong baik apabila telah mencapai atau melebihi sasaran Perpres nomor 22/ Kontribusi pangan pokok lokal dan impor Analisis perkembangan kontribusi pangan pokok dibagi menjadi dua kelompok yaitu pangan pokok lokal dan pangan pokok impor. Analisis dilakukan dengan melihat perkembangan tingkat kontribusi antar waktu untuk setiap wilayah

25 9 dan tingkat pendapatan. Mengacu pada Perpres nomor 22/2009, target yang hendak dicapai yaitu pengurangan konsumsi pangan pokok impor dan peningkatkan konsumsi pangan pokok lokal. Perkembangan kontribusi pangan pokok tergolong baik jika terjadi peningkatan kontribusi pangan pokok lokal (terutama umbi-umbian) dan penurunan kontribusi pangan pokok impor. Definisi Operasional Infrastruktur merupakan kebutuhan dasar fisik yang diperlukan untuk mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat disuatu wilayah seperti distribusi dan aliran barang/jasa. Infrastruktur mengacu pada tersedianya infrastruktur fisik (jalan, air bersih, listrik dll) dan sosial (sekolah, rumah sakit) yang fungsional. Ketersediaan Pangan adalah jumlah pangan yang tersedia disuatu wilayah baik dari hasil produksi, bibit/benih, bahan baku industri, penyusutan/tercecer, dan impor jika produksi pangan daerah tidak mencukupi. Pangan Lokal merupakan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat suatu daerah sesuai dengan kearifan dan potensi sumberdaya lokal. Pangan Pokok adalah pangan sumber energi yang dikonsumsi oleh masyarakat sehari-hari yaitu kelompok padi-padian dan umbi-umbian. Penganekaragaman Konsumsi Pangan adalah upaya untuk meningkatkan keragaman jenis pangan yang dikonsumsi serta bergizi seimbang yang berbasis pada sumberdaya lokal. Pola Konsumsi Pangan merupakan susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi pada tingkat rumah tangga dalam jangka waktu tertentu. Makanan yang dikonsumsi kemudian dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan sesuai Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan adalah susunan pangan yang beragam berdasarkan proposi keseimbangan energi menurut kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kualitas konsumsi pangan dicerminkan dari nilai skor PPH. Semakin besar skor PPH menunjukkan konsumsi pangan yang semakin beragam. Skor PPH maksimal adalah 100. Tingkat Kecukupan Energi merupakan perbandingan antara jumlah asupan energi aktual dengan angka kecukupan energi yang dianjurkan oleh WNPG yaitu 2000 kkal/kap/hari (2004). Tingkat Kecukupan Protein merupakan perbandingan antara jumlah asupan protein aktual dengan angka kecukupan yang dianjurkan oleh WNPG, yaitu 52 gram/kap/hari (2004). Tingkat Pendapatan merupakan pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk pengeluaran pangan dan non pangan. Tingkat pendapatan dibagi menjadi delapan golongan sesuai kategori dalam Survey Sosial Ekonomi Nasional pada tahun 2009, 2012, dan Wilayah merupakan daerah tempat tinggal penduduk yang terbagi atas kota dan desa yang mengacu pada klasifikasi BPS dengan tiga indikator yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses pada fasilitas perkotaan.

26 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Jawa bagian tengah. Provinsi DIY memiliki wilayah seluas km 2 yang terdiri atas empat kabupaten dan satu kota. Jumlah penduduk sebanyak jiwa dengan persentase penduduk pria sebesar 49.4% dan wanita 50.6%. Provinsi DIY memiliki wilayah sebanyak 269 desa dan 169 kota. Sebagian besar penduduknya berdomisili di wilayah perkotaan, yaitu sebanyak 66.7%. Provinsi DIY memiliki tingkat kepadatan penduduk 1.16 jiwa/km 2 dan laju pertumbuhan penduduk 1.19% (BPS 2016). Provinsi DIY memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diatas IPM Indonesia dengan rincian beberapa indikator yaitu Angka Harapan Hidup sebesar 74.68, Indeks Kesehatan 84.12, Indeks Pendidikan 71.75, dan Indeks pengeluaran Rata-rata lama sekolah penduduk DIY yaitu 9 tahun. Sebanyak 68.4% penduduk provinsi DIY berada pada usia produktif (15-64 tahun) dengan tingkat pengangguran 2.78%. Tingkat partisipasi wanita yang bekerja sebesar 31.78%. Sektor pekerjaan utama penduduk DIY antara lain perdagangan (25.67%), pertanian (23.08%), dan jasa (21.25%). Jumlah penduduk miskin di provinsi DIY mencapai 14.91% dengan garis kemiskinan Rp Berdasarkan jumlah pendapatan perkapita perbulan, sebanyak 1.2% penduduk memiliki pendapatan < Rp , 32.19% untuk pendapatan Rp , 33.16% untuk Rp , dan 33.46% untuk pendapatan > Rp Rata-rata pengeluaran perkapita perbulan penduduk DIY sebesar Rp dengan persentase pengeluaran 39.3% untuk makanan dan 60.7% untuk non-makanan. Pengeluaran penduduk kota lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk desa. Secara umum, provinsi DIY mudah diakses melalui berbagai jalur baik darat, laut, maupun udara. Provinsi DIY memiliki sarana dan prasarana berupa empat belas terminal, lima stasiun kereta api, tiga pelabuhan, dan dua bandar udara. Ketiga pelabuhan tidak difungsikan untuk lalu lintas penumpang dan barang, tetapi hanya untuk pendaratan ikan. Satu pelabuhan belum di manfaatkan secara optimal. Selain itu, satu bandar udara hanya difungsikan sebagai landasan pendukung untuk aktivitas TNI AU (Dishubkominfo DIY 2016). Total panjang jalan provinsi DIY yaitu km dengan kondisi jalan 37.4% baik, 36.6%, sedang, dan 22.9% rusak serta sisanya tidak terinci (BPS 2016). Provinsi DIY juga memiliki fasilitas pendidikan dan kesehatan yang cukup memadai. Secara total, terdapat 2032 SD/MI, 530 SMP/Mts, 204 SMA/MA, 220 SMK, 10 PTN, dan 106 PTS. Untuk fasilitas kesehatan, terdapat 74 RSU, 121 Puskesmas, 70 Rumah Bersalin, 181 balai pengobatan, dan 1526 dokter perorangan (BPS 2016). Provinsi DIY memiliki lahan pertanian seluas Ha dengan luas penggunaan lahan sawah 22.88% dan 77.12% bukan sawah. Secara total, seluas 76.04% lahan di DIY merupakan lahan pertanian. Hal ini mendukung penyediaan pangan untuk konsumsi masyarakat. Hasil produksi lokal tahun 2015 menunjukkan bahwa bukan hanya tanaman pangan, potensi pertanian di provinsi

27 11 DIY juga meliputi perternakan dan perikanan. Untuk pangan pokok, tiga komoditas dengan produksi terbesar yaitu padi, ubi kayu, dan jagung dengan jumlah produksi masing-masing , , dan ton. Untuk konsumsi pangan hewani, produksi terbesar yaitu ayam ras, sapi, ayam kampung, dan domba dengan jumlah produksi , , , dan ton. Selain daging, produksi telur dan susu juga cukup tinggi. Produksi telur ayam ras sebesar butir, telur ayam kampung butir, dan telur itik butir, sedangkan untuk susu sebanyak liter. Baik produksi telur maupun susu, seluruhnya bersumber dari hasil peternakan rakyat. Produksi buah terbanyak di provinsi DIY yaitu salak, pisang, dan mangga. Analisis Pola Konsumsi Pangan Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 22 tahun 2009 hakikatnya menghendaki terjadinya perubahan pola konsumsi pangan yang lebih beragam, bergizi seimbang, dan aman untuk dikonsumsi seluruh masyarakat Indonesia. Perubahan yang diharapkan berupa peningkatan mutu baik secara kuantitas maupun kualitas. Tingkat kecukupan energi (TKE) dan tingkat kecukupan protein (TKP) merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur kuantitas konsumsi pangan, sedangkan secara kualitas digunakan indikator skor pola pangan harapan (PPH) (Hardinsyah et al. 2001). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004 menganjurkan asupan energi dan protein yang ideal bagi rata-rata penduduk Indonesia masing-masing sebesar 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Angka tersebut menunjukkan jumlah yang harus dikonsumsi untuk mempertahankan hidup sehat dan produktif. Berdasarkan klasifikasi WNPG (2004), tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menjadi tiga yaitu kurang (<80%), baik (80-110%), dan lebih (>110%). Pola pangan harapan merupakan adaptasi dari rumusan komposisi pangan ideal yang disusun oleh FAO-RAPA berdasarkan fungsi pangan dan kontribusi energinya (Kemendag 2013). Skor PPH menunjukkan tingkat keanekaragaman konsumsi pangan, semakin besar skor PPH maka semakin beragam pangan yang di konsumsi. Skor ideal untuk PPH adalah 100 (Hardinsyah et al. 2001). Untuk evaluasi kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), maka standar yang digunakan mengacu pada sasaran dalam Perpres nomor 22/2009 yaitu 88.1 (2011) dan 95 (2015). Perkembangan Pola Konsumsi Pangan menurut Wilayah Analisis perkembangan pola konsumsi pangan berdasarkan wilayah dikelompokkan menjadi kota, desa, dan agregat kota-desa. Penggolongan wilayah kota dan desa mengacu pada klasifikasi BPS dengan menggunakan tiga indikator, yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses pada fasilitas perkotaan (BPS 2010). Data agregat merupakan data rata-rata tertimbang dari seluruh sampel Susenas di provinsi tersebut. Berikut adalah tabel perkembangan tingkat kecukupan energi dan protein di Provinsi DIY.

28 12 Tabel 4 Perkembangan tingkat kecukupan energi dan protein menurut wilayah Zat gizi/ Konsumsi (kkal/kaphari) TKE (%) Wilayah Energi - Kota (K) Desa (D) K + D Konsumsi (gram/kap/hari) TKP (%) Protein - Kota (K) Desa (D) K + D Tingkat kecukupan energi (TKE) dan tingkat kecukupan protein (TKP) di Provinsi DIY cenderung mengalami peningkatan baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Baik TKE maupun TKP tergolong normal pada hampir setiap titik tahun, kecuali untuk TKP tahun 2015 di perkotaan yang tergolong berlebih. Rata-rata laju perubahan TKE dan TKP juga bernilai positif yang menandakan cenderung terus terjadi peningkatan dengan laju peningkatan TKP lebih besar. Dapat disimpulkan bahwa kecukupan energi dan protein di Provinsi DIY telah terpenuhi. Terdapat beberapa perbedaan pola konsumsi antara masyarakat perkotaan dan perdesaan. Pertama, rata-rata asupan energi di wilayah perdesaan lebih besar dibandingkan dengan perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan gaya hidup dan pola aktivitas/pekerjaan antara masyarakat kota dengan desa sehingga menyebabkan perbedaan kebutuhan energi. Sebagian besar masyarakat perkotaan cenderung memiliki pola hidup sedentari atau kurang aktif (Regmi & Dyck 2001). Pola hidup ini ditandai dengan rendahnya aktivitas fisik dengan skala sedang-berat (Pate et al. 2008). Perbaikan sarana prasarana dan berkembangnya berbagai teknologi modern turut memudahkan aktivitas manusia sehari-hari, sehingga energi yang dikeluarkan menjadi lebih sedikit (Ford et al. 2016). Ketersediaan fasilitas dan teknologi tersebut lebih banyak di wilayah perkotaan. Selain itu dari segi pekerjaan, umumnya masyarakat kota bekerja di sektor yang tidak banyak menguras tenaga fisik seperti sektor industri atau perkantoran. Sebaliknya, sebagian besar masyarakat desa di Indonesia merupakan rumah tangga petani yang menggarap sawah sehingga membutuhkan lebih banyak asupan energi (Lisanty dan Tokuda 2015). Kondisi ini sesuai dengan data BPS DIY yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk DIY memiliki pekerjaan utama di sektor pertanian yaitu sebanyak 23.97% (2009), 26.91% (2012), dan 23.08% (2015). Kedua yaitu berbanding terbalik dengan asupan energi, asupan protein di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan dengan perdesaan. Peningkatan asupan protein sangat erat kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa selama masa krisis ekonomi, konsumsi untuk pangan sumber protein mengalami penurunan tetapi akan meningkat seiring dengan pemulihan kondisi ekonomi (Ariani 2004; Hinke dan Leckie 2017). Ratarata penduduk kota memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan penduduk desa. Hal ini ditunjukkan dengan persentase penduduk miskin yang selalu lebih besar selama di perdesaan dibanding perkotaan yaitu

29 13 berturut-turut 14.25%, 13.13%, 13.43% untuk kota dan 22.6%, 21.76%, 17.85% untuk desa. Hal ini turut menjelaskan pola ketiga, dimana rata-rata laju perubahan TKE dan TKP selalu lebih besar di wilayah perkotaan. Tingkat kecukupan energi dan protein terbesar terjadi pada tahun Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan konsumsi zat gizi berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan kondisi ekonomi DIY jika ditinjau dengan indikator Indeks Kedalaman Kemiskinan (IKdK) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (IKpK) selama tahun 2009, 2012, dan 2015 yaitu masing-masing 3.52 dan 1.04, 3.47 dan 1.14, serta 2.98 dan 0.75 (BPPD DIY 2016). IKdK menggambarkan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan, sedangkan IKpK menggambarkan penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai kedua indikator tersebut maka menandakan kondisi kemiskinan yang semakin parah. Tahun 2015 memiliki nilai IKdK dan IKpK terkecil yang menandakan kondisi ekonomi provinsi DIY pada tahun tersebut lebih baik dibandingkan dengan 2009 maupun Tidak terdapat masalah pangan dan gizi di Provinsi DIY jika ditinjau dari segi kuantitas. Kebutuhan energi dan protein telah terpenuhi dengan rata-rata persentase lebih dari 90%, baik pada masyarakat kota maupun desa. Untuk menilai komoditas pangan mana yang menjadi sumber energi dan protein provinsi DIY, maka perlu dianalisis perkembangan jumlah konsumsi pangannya. Berikut data perkembangan persentase kontribusi energi dan protein menurut kelompok pangan berdasarkan wilayah. Tabel 5 Kontribusi energi dan protein sembilan kelompok pangan menurut wilayah Kelompok Pangan Kota Desa Energi (kkal/kap/hari) Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Protein (gram/kap/hari) Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Berdasarkan data pada tabel 5, tiga kelompok pangan dengan kontribusi energi terbesar baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan yaitu padi-padian,

30 14 pangan hewani, serta minyak dan lemak. Kontribusi energi terbesar berasal dari padi-padian dengan rata-rata persentase lebih dari 50%. Secara fungsional, kelompok pangan yang merupakan sumber energi adalah padi-padian dan umbiumbian. Konsumsi padi-padian di provinsi DIY telah melebihi anjuran Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yaitu 50%, sebaliknya konsumsi umbi-umbian masih sangat rendah dibandingkan dengan anjuran ideal yaitu 6% (Kemendag 2013). Rata-rata kontribusi energi dari umbi-umbian hanya sebesar 1-2%, selain itu justru menunjukkan laju kontribusi energi yang semakin menurun terutama di perdesaan. Sejalan dengan tingginya konsumsi padi-padian, kontribusi protein terbesar juga berasal dari kelompok padi-padian kemudian diikuti oleh pangan hewani dan kacang-kacangan. Secara fungsional, pangan hewani dan kacangkacangan memang merupakan pangan sumber protein. Peran pangan hewani cenderung semakin menguat, sedangkan peran kacang-kacangan semakin melemah. Laju kontribusinya pun berbanding terbalik, dimana laju konsumsi pangan hewani bernilai postif sedangkan kacang-kacangan bernilai negatif, terutama di perdesaan. Pola perkembangan yang menarik untuk disimak yaitu meningkatnya konsumsi pangan hewani dengan peningkatan kontribusi energi lebih dari 50% di wilayah perkotaan pada tahun Konsumsi pangan hewani di perdesaan juga mengalami peningkatan tetapi tidak sebesar di perkotaan. Hal ini didukung dengan meningkatnya ketersediaan energi pangan hewani dibandingkan tahun 2009 dan Ketersediaan pada kedua tahun tersebut masih dibawah 200 kkal/kap/hari, sedangkan pada tahun 2015 mencapai 416 kkal/kap/hari (BKPP DIY 2015). Hasil survey BPS pun menunjukkan tingginya angka produksi lokal hasil unggas dan susu yang 100% berasal dari perternakan rakyat (BPS 2016) Melihat tingginya persentase kontribusi energi dan protein dari padipadian maka dapat disimpulkan bahwa padi-padian masih merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk di provinsi DIY. Tingkat kecukupan energi dan protein merupakan indikator penting yang dapat menggambarkan tingkat ketahanan pangan rumah tangga (Irawan 2002). Ketergantungan pada hanya satu jenis kelompok pangan sebagai sumber energi dan protein dapat menghambat terwujudunya ketahanan pangan. Kondisi ini juga menunjukkan konsumsi penduduk provinsi DIY yang masih belum beragam, padahal padi-padian bukan merupakan pangan sumber protein. Kondisi ini juga sejalan dengan situasi konsumsi pangan nasional dimana rata-rata kontribusi energi dan protein yang berasal dari padi-padian mencapai lebih dari 50% (BKP 2015). Jumlah konsumsi pangan yang cukup tidak selalu menjamin kualitas konsumsi pangan yang baik pula. Kualitas konsumsi pangan dapat digambarkan melalui tingkat keanekaragamannya. Kenakeragaman berarti terdapat berbagai macam jenis pangan yang dikonsumsi baik secara kelompok maupun jenisnya. Konsumsi pangan yang beragam dibutuhkan karena tak ada satupun jenis pangan yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan zat gizi manusia. Tingkat keanaekaragaman konsumsi pangan diukur menggunakan skor PPH. Berikut adalah grafik pencapaian skor PPH di provinsi DIY dibandingkan dengan sasaran dalam Perpres nomor 22/2009.

31 Kota Desa Kota+Desa Sasaran Gambar 2 Perkembangan skor PPH menurut wilayah Gambar 2 menunjukkan bahwa secara agregat skor PPH di provinsi DIY mengalami peningkatan. Skor PPH di perkotaan juga mengalami peningkatan sedangkan di perdesaan mengalami penurunan. Skor PPH provinsi DIY masih belum dapat mencapai sasaran yang tertuang dalam Perpres nomor 22/2009 di setiap titik tahun evaluasi, baik di kota, desa, maupun kota-desa. Situasi ini sejalan dengan kondisi nasional dimana skor PPH nasional pada tahun 2009, 2012, dan 2015 masing-masing yaitu 75.7, 83.5, dan Perkembangan skor PPH Provinsi DIY masih berada dibawah skor PPH nasional. Hal ini menggambarkan masih belum berjalannya program P2KP secara efektif. Skor PPH di wilayah perkotaan selalu lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat kota memiliki pola konsumsi pangan yang lebih beragam di bandingkan masyarakat desa. Hal ini disebabkan adanya perbedaan infrastruktur di kedua wilayah yang akan mempengaruhi ketersediaan dan akses pangan. Selain itu, perbedaan kualitas sumberdaya manusia juga akan mempengaruhi preferensi pangan. Pertama, perbedaan kondisi infrastruktur. Kota merupakan pusat pembangunan ekonomi. Para investor lebih tertarik untuk menanamkan modal di daerah perkotaan karena ketersediaan fasilitas serta sarana prasarana seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, perbankan serta sumberdaya manusia yang lebih terampil dibandingkan dengan di perdesaan (Barika 2012). Pembangunan ekonomi pun selanjutnya berdampak dengan berkembangnya berbagai sektor usaha termasuk dibidang makanan, sehingga ketersediaan pangan di kota menjadi lebih beragam. Data BPS menunjukkan bahwa industri makanan, minuman, dan tembakau masih menjadi bidang usaha nomor satu yang paling banyak berkembang. Hasil penelitian Nurpita dan Nastiti (2016) dengan menggunakan indikator produk domestik regional bruto (PDRB), pertumbuhan penduduk, dan PDRB perkapita menunjukkan bahwa terdapat disparitas antar wilayah di Provinsi DIY. Indikator PDRB perkapita digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Selama tahun , Kota Yogyakarta selalu memiliki nilai PDRB perkapita yang jauh lebih besar dibandingkan dengan empat kabupaten di Provinsi DIY. Keempat kabupaten di Provinsi DIY memiliki PDRB perkapita antara Rp juta, sedangkan kota Yogyakarta mencapai Rp10-16 juta. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Provinsi DIY juga masih lebih fokus pada daerah perkotaan. Kedua, kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia tercermin dari aspek pendidikan, kesehatan, pertumbuhan ekonomi (pendapatan),

32 16 dan proporsi penduduk usia produktif. Pada berbagai penelitian, aspek pendidikan seringkali diduga memiliki hubungan dengan kecukupan energi atau ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Meskipun tingkat pendidikan tidak selalu berkorelasi positif terhadap pengetahuan dan perilaku gizi yang memadai, tetapi tingginya tingkat pendidikan menggambarkan semakin besarnya kesempatan untuk mengakses berbagai informasi termasuk di bidang gizi dan kesehatan (Mackenbach 2015). Seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan prinsip gizi seimbang. Orang yang berpendidikan tinggi juga biasanya lebih banyak berinteraksi dengan berbagai kebudayaan sehingga memiliki pengetahuan mengenai keberagaman pangan yang lebih baik (Drescher 2007). Berdasarkan tingkat pendidikan yang terakhir diselesaikan, masyarakat kota memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat desa. Mayoritas penduduk kota menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA/sederajat, sedangkan penduduk desa hanya sampai SMP/sederajat (BPS 2009; 2012; 2015). Masih perlu dilakukan peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan baik di wilayah kota maupun desa. Konsumsi pangan yang melebihi anjuran juga menunjukkan konsumsi pangan yang belum ideal. Untuk meninjau konsumsi pangan mana yang harus ditingkatkan atau dikurangi maka dilakukan analisis persentase pemenuhan konsumsi aktual terhadap ideal menurut sembilan kelompok bahan pangan. Berikut adalah data persentase pemenuhan konsumsi per kelompok pangan. Tabel 6 Persentase asupan energi aktual terhadap ideal sembilan kelompok pangan menurut wilayah Kelompok Pangan Ideal Asupan energi (kkal/kap/hari) Kota Desa Kota+Desa Padi-padian Persentase (%) Umbi-umbian Persentase (%) Pangan Hewani Persentase (%) Minyak dan Lemak Persentase (%) Buah/Biji Berminyak Persentase (%) Kacang-kacangan Persentase (%) Gula Persentase (%) Sayur dan Buah Persentase (%) Lain-lain Persentase (%)

33 17 Berdasarkan data pada tabel 6, kelompok pangan yang konsumsinya telah melebihi anjuran ideal yaitu padi-padian, sedangkan kelompok pangan yang konsumsinya masih jauh dibawah ideal dan cenderung mengalami penurunan yaitu umbi-umbian, kacang-kacangan, serta sayur dan buah. Konsumsi pangan hewani di perdesaan juga belum mencapai anjuran ideal tetapi terus mengalami peningkatan, sedangkan di perkotaan justru melebihi anjuran pada tahun Komoditas padi-padian meliputi beras, terigu, dan jagung merupakan pangan yang kaya akan kandungan karbohidrat. Karbohidrat merupakan zat gizi penting yang dibutuhkan tubuh sebagai sumber energi utama sehingga pola konsumsinya akan lebih dominan dibandingkan dengan kelompok pangan lain. Selain padi-padian, umbi-umbian juga merupakan pangan sumber karbohidrat. Tetapi, konsumsi umbi-umbian baik di perkotaan maupun perdesaan masih sangat rendah bahkan kurang dari 50% anjuran ideal. Persentase konsumsinya bahkan semakin menurun yang menandakan semakin rendahnya tingkat konsumsi umbiumbian. Pada tahun 1979, provinsi DIY merupakan daerah dengan pola pangan pokok beras dan umbi-umbian, bahkan bertambah menjadi beras, umbi-umbian, dan jagung pada tahun 1984 (Pusat Penelitian Agroekonomi 1989). Saat ini pola pangan pokok di Provinsi DIY telah didominasi oleh beras dan terigu. Perubahan ini terjadi hampir diseluruh provinsi di Indonesia yang mengarah pada pola pangan pokok tunggal (beras) dan sedang berjalan menuju pola pangan pokok global (terigu). Penyebab perubahan pola pangan pokok disebabkan oleh mekanisme pasar bebas dan urbanisasi. Pasar bebas mendorong pemasaran/promosi produk yang masif melalui berbagai media massa serta berkembangnya korporasi multinasional di bidang makanan. Sedangkan urbanisasi, mendorong pemerataan pembangunan infrastruktur sehingga mempermudah akses ke berbagai daerah serta memperlancar arus barang/jasa termasuk makanan dan minuman, termasuk hingga ke wilayah perdesaan (Kearney 2010). Lama kelamaan masyrakat memiliki pola pangan yang hampir seragam dan meninggalkan produk lokal (Hardinsyah dan Pranadji 2010). Konsumsi gula juga telah melebihi anjuran ideal, selain itu konsumsi minyak dan lemak cenderung meningkat. Komoditas yang paling banyak dikonsumsi yaitu minyak, gula pasir, dan gula merah. Ketiga komoditas tersebut merupakan pangan komplementer yang dikonsumsi sebagai pelengkap pangan lainnya. Tingginya konsumsi minyak di provinsi DIY menandakan masih tingginya konsumsi makanan dengan pengolahan di goreng. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa provinsi DIY menempati posisi nomor dua terbanyak untuk konsumsi makanan berlemak, berkolestrol, dan gorengan (50.7%) dan makanan/minuman manis (69.2%) dengan intensitas lebih dari satu kali per hari. Negara-negara berkembang didunia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sedang mengalami nutrition transition, termasuk Indonesia. Nutrition transition merupakan kondisi perubahan pola makan tradisional yang didominasi whole foods menjadi pola pangan dengan densitas energi tinggi yang ditandai dengan tingginya konsumsi lemak, gula, dan garam. Gula dan lemak dapat meningkatkan rasa enak pada makanan dan merangsang nafsu makan, sehingga dapat diterima oleh banyak kalangan (Kearney 2010; Ford et al. 2017). Hal ini

34 18 menyebabkan tingginya konsumsi pangan dengan kandungan gula dan lemak yang tinggi. Konsumsi pangan sumber protein di provinsi DIY masih belum mencapai anjuran ideal, tetapi konsumsi pangan hewani terus mengalami peningkatan bahkan telah melebihi anjuran pada tahun 2015 di perkotaan. Sebaliknya, konsumsi kacang-kacangan justru mengalami penurunan. Konsumsi pangan hewani lebih tinggi diwilayah perkotaan dibandingkan di perdesaan, sebaliknya untuk konsumsi kacang-kacangan. Hasil penelitian Saliem dan Ariningsih (2005) menunjukkan bahwa penurunan pangsa pengeluaran untuk pangan nabati akan diikuti oleh peningkatan pangsa pengeluaran untuk pangan hewani. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran protein nabati akan digaantikan oleh protein hewani seiring dengan meningkatnya kesejahteraan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penduduk kota memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Selain itu, kesejahteraan penduduk provinsi DIY secara umum juga terus mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga 2015 sehingga konsumsi pangan hewani juga semakin meningkat. Konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral, yaitu sayur dan buah juga masih tergolong rendah baik di perkotaan maupun perdesaan. Konsumsi sayur dan buah secara agregat sempat meningkat pada tahun 2012, tetapi kembali menurun pada tahun Hasil analisis Hermina dan Prihatini (2016) menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi sayuran yang signifikan di perkotaan dengan perdesaan, sedangkan untuk konsumsi buah lebih besar di perkotaan. Individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, juga mengonsumsi buah dalam jumlah yang lebih banyak. Laporan BKPP DIY tahun 2015 menunjukkan sebanyak empat puluh Kelompok Wanita Tani (KWT) di Provinsi DIY telah menerima manfaat dan menjalankan program KRPL. Jenis pangan yang dikembangkan berupa sayur, buah, dan ternak unggas atau lele, sebagian hasil pekarangan dikonsumsi sendiri dan sebagian lainnya dijual. Evaluasi dari pelaksanaan program KRPL yaitu kecenderungan untuk tidak melanjutkan pemanfaatan pekarangan setelah satu kali panen, terutama untuk tanaman sayuran. Hal ini yang menyebabkan masih belum efektifnya pelaksanaan program P2KP sehingga belum mampu memberikan efek terhadap perubahan pola konsumsi pangan masyarakat Provinsi DIY, terutama sayur dan buah yang berarti. Gambaran situasi konsumsi pangan diatas jelas belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan pemerintah. Selama periode penerapan kebijakan P2KP, kelompok pangan yang menunjukkan perubahan positif hanyalah pangan hewani. Sedangkan untuk kelompok pangan lain yang masih belum mencapai anjuran ideal, justru semakin mengalami penurunan. Peran umbi-umbian pun semakin melemah yang menandakan upaya untuk mensubtitusi beras dan terigu masih belum tercapai. Tidak ada perbedaan yang berarti antara pola konsumsi pangan di perkotaan dan perdesaan. Artinya upaya perbaikan masih harus dilakukan diseluruh wilayah. Perkembangan Pola Konsumsi Pangan menurut Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi pola konsumsi pangan seseorang atau rumah tangga. Hukum Engel menjelaskan bahwa dengan asumsi harga pangan tetap, rumah tangga

35 19 dengan pendapatan lebih rendah akan memiliki pangsa pengeluaran pangan yang lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang berpendapatan tinggi. Pangan merupakan kebutuhan pokok, sehingga seseorang akan memprioritaskan alokasi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pangan (Adriani & Wirjatmadi 2012). Berikut adalah data perkembangan tingkat kecukupan energi dan protein pada ketiga titik tahun berdasarkan delapan golongan pendapatan Tabel 7 Perkembangan tingkat kecukupan energi dan protein menurut tingkat Pendapatan Golongan Asupan (kkal/kap/hari) TKE (%) Pendapatan Energi (kkal/kap/hari) I II III IV V VI VII VIII Asupan (gram/kap/hari) TKP (%) Protein I II III IV V VI VII VIII Berdasarkan data pada tabel 7, dapat disimpulkan bahwa asupan energi dan protein akan semakin meningkat seiring meningkatnya pendapatan. Pola yang terjadi hampir sama disemua titik tahun, yaitu golongan pendapatan I memiliki TKE dan TKP yang paling kecil, sedangkan golongan pendapatan VIII memiliki TKE dan TKP yang terbesar. Meningkatnya jumlah pendapatan akan memperbesar peluang seseorang untuk membeli dan memilih makanan yang lebih baik secara kuantitas maupun kualitas (Madanijah 2010). Rata-rata TKE pada golongan pendapatan I, II, dan III tergolong defisit sedangkan sisanya tergolong normal. Untuk TKP, golongan pendapatan I, II, dan III juga tergolong defisit, golongan IV dan V tergolong normal, dan sisanya tergolong berlebih. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa rata-rata kecukupan protein lebih besar dibandingkan kecukupan energi, kecuali pada golongan pendapatan rendah (I, II dan III). Golongan pendapatan rendah memiliki TKE yang lebih besar dibandingkan TKP. Hasil penelitian Irawan (2002) menunjukkan bahwa asupan energi dan protein memiliki hubungan yang inelastis terhadap pengeluaran rumah tangga dan perubahan harga pangan. Hal ini menunjukkan bahwa laju penurunan asupan energi dan protein akan lebih rendah dibandingkan dengan laju perubahan pengeluaran dan harga pangan. Asupan protein memiliki nilai elastisitas yang lebih besar dibandingkan energi. Asupan protein akan cenderung mengalami perubahan lebih signifikan apabila terjadi perubahan pendapatan dan harga. Nilai

36 20 elastistias cenderung menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan rumah tangga, maka tingkat asupan energi dan proteinnya cenderung lebih stabil. Gejala ini juga terjadi di provinsi DIY, dimana laju perubahan asupan protein lebih besar dibandingkan energi seiring dengan meningkatnya pendapatan. Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, cenderung terjadi perubahan pola konsumsi pangan yang ditandai dengan meningkatnya konsumsi pangan sumber protein. Berikut disajikan data konsumsi berdasarkan sembilan kelompok pangan untuk melihat perubahan struktur konsumsi pangan di berbagai tingkat pendapatan. Golongan pendapatan disederahanakan menjadi tiga klasifikasi yaitu rendah, menangah, dan tinggi. Tabel 8 Kontribusi energi dan protein sembilan kelompok pangan menurut tingkat pendapatan Kelompok Rendah Menengah Tinggi Pangan Energi (kkal/kap/hari) Padi-padian Umbiumbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Protein (gram/kap/hari) Padi-padian Umbiumbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Berdasarkan data pada tabel 8, kelompok pangan padi-padian memiliki persentase kontribusi energi yang paling besar baik pada golongan pendapatan rendah, menengah, maupun tinggi. Pada golongan pendapatan rendah dan menengah, kontribusi energi terbesar kedua berasal dari minyak dan lemak, sedangkan untuk golongan tinggi berasal dari pangan hewani. Untuk urutan ketiga, kontribusi energi terbesar berasal dari gula pada golongan pendapatan rendah dan menengah serta berasal dari minyak dan lemak untuk golongan

37 21 pendapatan tinggi. Golongan pendapatan rendah lebih banyak mengonsumsi kacang-kacngan dibandingkan pangan hewani, sebaliknya untuk golongan menengah dan tinggi. Konsumsi umbi-umbian cenderung mengalami penurunan pada golongan pendapatan menengah dan tinggi, selain itu sayur dan buah juga mengalami penurunan pada golongan pendapatan rendah dan menengah. Konsumsi kacang-kacangan mengalami penurunan di semua golongan pendapatan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa negara-negara berkembang tengah mengalami fenemona nutrition transition, dimana terjadi pergeseran pola konsumsi pangan dari dominasi tanaman lokal dan kaya serat menjadi tinggi gula dan lemak (Morseth et al. 2017). Ciri-ciri tersebut sesuai dengan data pada tabel 8, pola makan seperti ini disebut sebagai energy-dense diet. Nutrition transition sendiri merupakan dampak dari pembangunan ekonomi, perdagangan pasar bebas, promosi global, dan berkembangnya makanan cepat saji yang menyebabkan semakin menyebarluasnya produk asing (Mayen et al. 2014). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa energy-dense diets merupakan faktor resiko terjadinya obesitas dan sindrom metabolik. Energy-dense food merupakan pangan tinggi kalori tetapi rendah kandungan zat gizi mikro. Jenis makanan seperti ini dapat merangsang nafsu makan seseorang sehingga akan menghabiskan lebih banyak porsi makan. Kombinasi antara tingginya kontribusi energi dan porsi besar inilah yang kemudian menjadi penyebab obesitas (Mayen et al. 2014). Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas di Provinsi DIY terus mengalami peningkatan selama Prevalensi obesitas untuk remaja dan laki-laki dewasa bahkan berada diatas prevalensi nasional (Kemenkes 2013). Analisis pola konsumsi pangan di berbagai negara oleh Darmon dan Drewnowski (2008) menjelaskan seseorang dengan status ekonomi lebih tinggi cenderung memiliki konsumsi pangan yang kaya akan biji-bijian utuh, daging putih, ikan, susu/olahannya, serta sayur dan buah. Sedangkan individu dengan status ekonomi menengah kebawah cenderung mengonsumsi lebih banyak bijibijian olahan, gula, dan lemak. Energy-dense foods biasanya memiliki harga yang lebih murah dibandingkan pangan lain. Selain itu, energy-dense foods juga rendah kandungan air sehingga memiliki masa simpan yang lebih lama. Rendahnya pendapatan akan mendorong seseorang untuk memilih pangan dengan harga yang murah dan masa simpan yang lebih panjang atau diawetkan. Rumah tangga atau individu dengan status ekonomi tinggi memiliki asupan protein lebih tinggi yang ditandai dengan meningkatnya konsumsi pangan hewani dan terjadinya nutrition transition (Mayen et al. 2014). Konsumsi pangan hewani memiliki laju perubahan positif yang menandakan cenderung terjadi peningkatan konsumsi baik pada golongan pendapatan rendah, menengah, dan tinggi. Golongan pendapatan tinggi memiliki laju konsumsi lebih kecil dibandingkan golongan pendapatan menengah dan rendah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pertimbangan dalam mengonsumsi hewani pada ketiga golongan tersebut. Hasil analisis keputusan dalam mengonsumsi pangan hewani di provinsi DIY oleh Muzayyanah et al. (2017) menunjukkan bahwa pada golongan pendapatan rendah, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan hewani yaitu jumlah anggota rumah tangga (JART), harga pangan, dan tingkat

38 22 pendapatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan hewani pada golongan pendapatan menengah yaitu tingkat partisipasi sekolah, pengeluaran pangan, dan partisipasi kerja istri, sedangkan pada pendapatan tinggi hanya JART dan partisipasi sekolah dari kepala keluarga. Kenaikan pendapatan akan meningkatkan konsumsi pangan hewani, sebaliknya peningkatan harga pangan hewani akan mengurangi tingkat konsumsinya. Hal ini menunjukkan kesadaran rumah tangga akan pentingnya konsumsi pangan hewani, namun terbatas pada sumberdaya ekonomi yang ada. Ketika terjadi perubahan pendapatan atau harga, rumah tangga akan mengganti konsumsinya dengan pangan yang lebih murah untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Pada rumah tangga pendapatan rendah, JART yang semakin banyak menyebabkan konsumsi pangan hewani yang semakin rendah. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatknya beban kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi. Sebaliknya pada rumah tangga pendapatan tinggi, JART yang semakin banyak menyebabkan semakin meningkatnya konsumsi pangan hewani. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan hewani setiap anggota rumah tangga berusaha untuk selalu dipenuhi. Kepala rumah tangga dengan pendidikan lebih tinggi juga cenderung meningkatkan konsumsi pangan hewaninya (Muzayyanah et al. 2017). Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga pendapatan rendah dan menengah lebih rentan terhadap perubahan situasi ekonomi, sedangkan pada pendapatan tinggi hanya dipengaruhi faktor pengetahuan dan motivasi. Sayur dan buah memang bukan sumber energi, sehingga cenderung menyumbangkan energi dalam persentase yang kecil. Tetapi, jika diperhatikan cenderung tidak terjadi perubahan yang berarti pada konsumsi sayur dan buah disetiap golongan pendapatan. Laju konsumsi pada pendapatan rendah dan menengah justru mengalami penurunan. Padahal analisis lanjutan Survey Konsumsi Makanan Individu (SKMI) tahun 2014 menunjukkan bahwa hampir semua penduduk Indonesia masih memiliki konsumsi sayur dan buah yang sangat rendah dibandingkan dengan anjuran Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) (Hermina dan Prihatini 2016). Analisis pola konsumsi pangan berdasarkan tingkat pendapatan juga dianalisis perkembangan kualitasnya. Teori ekonomi menyebutkan bahwa pada kondisi ekonomi terbatas, motif biologis akan lebih diprioritaskan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan. Seiring dengan meningkatnya pendapatan, motif pemenuhan pangan akan meluas seperti motif psikologis, sosial, dan ekonomi. Sehingga, semakin tinggi pendapatan maka jumlah pangan yang dikonsumsi akan cenderung lebih beragam. Berikut adalah data perkembangan skor PPH di Provinsi DIY berdasarkan delapan golongan pendapatan.

39 23 VIII VII VI V IV III II I Gambar 3 Perkembangan skor PPH menurut tingkat pendapatan Gambar 3 menunjukkan bahwa kualitas konsumsi pangan meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendapatan. Golongan pendapatan I memiliki skor PPH yang terkecil, sedangkan golongan pendapatan VII dan VIII memiliki skor PPH yang terbesar. Meskipun skor PPH provinsi DIY secara agregat cenderung mengalami peningkatan, tetapi analisis berdasarkan tingkat pendapatan justru menunjukkan bahwa skor PPH pada golongan menengah ke bawah cenderung mengalami penurunan. Sejalan dengan hasil analisis berdasarkan wilayah yang menunjukkan skor PPH di perdesaan cenderung mengalami penurunan. Sebagian besar penduduk desa masih memiliki status ekonomi rendah. Hal ini menunjukkan semakin menurunnya kualitas konsumsi pangan rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah. Akses ekonomi meliputi pendapatan, pengeluaran, akses pasar, dan harga pangan merupakan bagian dari dimensi ketahanan pangan yang sangat mempengaruhi tingkat konsumsi (Ariani 2015). Tingkat kesejahteraan yang rendah seringkali berhubungan dengan akses fisik yang terbatas. Rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah biasanya tinggal di wilayah terisolasi atau jauh dari fasilitas umum, selain itu juga jarang memiliki aset kepemilikan transportasi pribadi. Hal ini menyebabkan terbatasnya akses dan mobilitas rumah tangga pendapatan rendah terhadap pasar yang menyediakan lebih banyak jenis pangan (Darmon dan Drewnowski 2008). Rumah tangga dengan pendapatan rendah juga cenderung memiliki akses yang terbatas terhadap pendidikan. Rendahnya tingkat partisipasi pendidikan berhubungan dengan rendahnya pengetahuan gizi dan motivasi untuk mempertahankan pola hidup yang sehat, sehingga cenderung kurang memperhatikan kualitas pangan. Selain itu, perempuan pada lingkungan rumah tangga pendapatan rendah biasanya juga ikut bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan. Hal ini menyebabkan keterbatasan waktu untuk berbelanja atau menyiapkan makanan yang lebih beragam sehingga konsumsinya terbatas pada pangan yang murah dan mudah dijangkau (Darmon dan Drewnowski 2008). Meskipun persentase jumlah penduduk miskin di Provinsi DIY cenderung mengalami penurunan, tetapi harga-harga barang dan jasa baik makanan maupun non-makanan cenderung mengalami inflasi sehingga daya beli masyarakat semakin menurun. Harga-harga bahan makanan di Provinsi DIY selain beras dan daging unggas juga cenderung mengalami inflasi.

40 24 Tabel 9 Persentase asupan energi aktual terhadap ideal sembilan kelompok pangan menurut tingkat pendapatan Kelompok Pangan Ideal Asupan energi (kkal/kap/hari) Rendah Menengah Tinggi Padi-padian Persentase (%) Umbi-umbian Persentase (%) Pangan Hewani Persentase (%) Minyak dan Lemak Persentase (%) Buah/Biji Berminyak Persentase (%) Kacang-kacangan Persentase (%) Gula Persentase (%) Sayur dan Buah Persentase (%) Lain-lain Persentase (%) Pada golongan pendapatan rendah, semua konsumsi kelompok pangan masih dibawah ideal dengan tiga presentase pemenuhan konsumsi terkecil pada umbi-umbian, pangan hewani, serta sayur dan buah. Pada golongan pendapatan menengah, konsumsi yang telah melebihi anjuran ideal yaitu padi-padian dan gula, sedangkan tiga presentase pemenuhan konsumsi terkecil yaitu umbi-umbian, pangan hewani, dan kacang-kacangan. Berbanding terbalik dengan golongan pendapatan rendah, hampir semua konsumsi pada golongan pendapatan tinggi telah melebihi anjuran ideal kecuali untuk umbi-umbian dan kacang-kacangan. Status ekonomi yang lebih baik memiliki hubungan positif dengan kuantitas dan kualitas diet serta pola hidup sehat yang lebih baik dibandingkan dengan status ekonomi yang lebih rendah (Mayen et al. 2014). Hal ini disebabkan karena konsumsi pangan yang lebih bervariasi membutuhkan jumlah pengeluaran pangan yang lebih besar (Conklin et al. 2014). Hal ini biasanya dicirikan dengan peningkatan konsumsi pangan hewani serta sayur dan buah. Oleh karena itu, seseorang dengan status ekonomi yang lebih baik biasanya memiliki asupan protein serta vitamin dan mineral yang lebih baik (Darmon dam Drewnowski 2008). Situasi ini sejalan dengan kondisi di provinsi DIY, dimana rumah tangga berpendapatan tinggi telah mencapai mampu memenuhi konsumsi ideal untuk konsumsi pangan hewani serta sayur dan buah, sedangkan kedua golongan lainnya masih memiliki konsumsi yang rendah. Peningkatan konsumsi pangan hewani serta sayur dan buah khususnya secara keragaman dapat meningkatkan pengeluaran pangan. Hasil penelitian di

41 25 Rusia menunjukkan bahwa penurunan pendapatan 10% akan menurunkan konsumsi daging, susu, sayur, dan buah sebesar 3.8-6% (Hinke dan Leckie 2017). Sayur dan buah termasuk low energy density-foods dimana kandungan energin per-unitnya lebih rendah, tetapi kaya akan vitamin dan mineral. Low energy density-foods cenderung memiliki harga yang lebih mahal dipasaran dibandingkan energy density-foods (Drewnowski dan Rehm 2015). Di satu sisi, harga kebutuhan dasar non-pangan juga terus meningkat, seperti rumah dan pendidikan. Pada kondisi dengan beban ekonomi yang semakin berat, individu akan memodifikasi pola pengeluarannya untuk pangan. Mofidikasi biasanya dilakukan dengan mengganti konsumsi pangan dengan jenis yang lebih murah (Conklin et al. 2014), Hal ini menyebabkan rendahnya keragaman konsumsi pangan pada golongan pendapatan rendah. Kondisi ini turut menjelaskan bahwa pada golongan pendapatan menengah, kenaikan tingkat pendapatan cenderung digunakan untuk meningkatkan keragaman jenis yang dikonsumsi dibandingkan kuantitasnya (Muzayyanah et al. 2017). Masih rendahnya konsumsi kacang-kacangan pada semua golongan pendapatan juga disebabkan oleh alasan yang sama. Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, individu akan mengganti konsumsi sumber proteinnya dengan jenis pangan yang lebih mahal. Jika diperhatikan, pola yang terbentuk adalah cenderung terjadi penurunan konsumsi kacang-kacangan seiring dengan meningatknya konsumsi pangan hewani. Pada kondisi ini, masyarakat beranggapan bahwa kacang-kacangan dan pangan hewani memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai lauk pauk. Padahal kedua jenis pangan tersebut memiliki fungsi yang berbeda, sehingga konsumsi keduanya masih sama-sama harus ditingkatkan. Konsumsi umbi-umbian masih tergolong rendah baik pada golongan pendapatan rendah, menengah, maupun tinggi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, situasi ini merupakan salah satu ciri-ciri terjadinya nutrition transition, dimana tanaman pangan lokal semakin ditinggalkan. Selain itu, umbiumbian masih dipandang sebagai pangan inferior dan memiliki nilai sosial rendah. Umbi-umbian dianggap sebagai pangan orang miskin atau tidak mampu, sehingga selama jumlah pendapatan masih cukup untuk membeli beras, maka pengeluaran akan diprioritaskan untuk beras (Bantacut 2009). Ditinjau dari pendekatan golongan pendapatan, maka yang perlu diberi pehatian khusus adalah golongan pendapatan rendah dan menengah. Terutama golongan pendapatan rendah. Seperti yang diketahui bahwa sebagian petani tergolong rumah tangga miskin. Hal ini menggambarkan bahwa kualitas konsumsi produsen pangan juga belum terjamin. Meskipun skor PPH untuk golongan pendapatan tinggi bernilai lebih dari 90, tetapi tidak menunjukkan kontribusi peran pangan lokal yang semakin membaik. Situasi ini menggambarkan penerapan kebijakan yang belum efektif, sehingga perlu dilakukan pengajian strategi yang lebih tepat sasaran. Analisis Perkembangan Kontribusi Pangan Pokok Lokal dan Impor Mengacu pada Peraturan Presiden nomor 22 tahun 2009, arah penganekaragaman konsumsi pangan lebih terfokus pada pangan pokok. Pada UU nomor 18/2012, pangan pokok didefinisikan sebagai makanan utama sehari-hari

42 26 sesuai dengan potensi sumberdaya dan kearifan lokal. Pangan pokok berfungsi sebagai sumber energi sehingga harus memiliki kandungan utama karbohidrat, yaitu jenis padi-padian dan umbi-umbian. Fokus diversifikasi yang terarah pada pangan pokok ini bukannya tanpa alasan. Masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan pola konsumsi pangan yang semula beragam jenis (umbi-umbian, padipadian) menjadi bergantung pada satu jenis, yaitu beras. Meskipun saat ini konsumsi beras nasional cenderung menurun, tetapi konsumsi terigu justru mengalami peningkatan. Kondisi ini jelas bukan sesuatu yang diharapkan, karena bahan dasar pembuatan terigu harus diimpor. Pola konsumsi pangan yang hanya bergantung pada satu komoditas ataupun bergantung pada komoditas impor akan menghambat terwujudnya kemandirian dan kedaulatan pangan (Suyastiri 2008). Tingkat partisipasi konsumsi beras penduduk Indonesia pada tahun mencapai 100%, sedangkan untuk terigu lebih dari 95% (BKP 2015). Apabila terjadi masalah produksi pada satu komoditas tersebut, tentu akan mengganggu stabilitas konsumsi pangan penduduk. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan analisis terhadap perkembangan kontribusi pangan pokok lokal dan impor terhadap total konsumsi pangan pokok dalam rangka mengevaluasi penerapan kebijakan yang telah berjalan. Perkembangan Kontribusi Pangan Pokok menurut Wilayah Setiap daerah memiliki pola konsumsi pangan yang berbeda dan terus berubah dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dipengaruhi beberapa faktor seperti selera, tingkat pendapatan, sumberdaya lokal, dan budaya. Arus globalisasi yang mencakup semua aspek kehidupan mengaburkan batas-batas antar wilayah. Invasi berbagai teknologi dan produk impor masuk hingga wilayah perdesaan. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan gaya hidup yang juga mempengaruhi pola konsumsi pangan (Djauhari 2013). Berikut adalah grafik perkembangan kontribusi pangan pokok lokal dan impor di Provinsi DIY berdasarkan wilayah. 100% 80% 60% 40% 20% 0% Kota Desa Wilayah Impor Lokal Gambar 4 Perbandingan kontribusi energi pangan pokok pokok lokal dan impor terhadap total pangan pokok menurut wilayah Pada gambar 4, terlihat bahwa kontribusi pangan pokok lokal masih dominan dibandingkan pangan pokok impor. Kontribusi pangan pokok lokal berada pada rentang 70-80%. Meskipun begitu, persentase kontribusi pangan pokok impor terus mengalami peningkatan disetiap titik tahun baik di wilayah kota maupun desa. Pangan pokok lokal memiliki persentase konsumsi yang lebih besar diwilayah perdesaan dibanding perkotaan. Wilayah perkotaan merupakan

43 27 pusat aktivitas ekonomi dimana arus pertukaran barang dan jasa terus terjadi, termasuk produk impor. Akses pasar yang mudah dan ketersediaan produk pangan yang lebih beragam menyebabkan lebih tingginya tingkat konsumsi pangan impor di wilayah perkotaan. Untuk melihat komoditas pangan pokok apa yang menjadi pilihan utama rata-rata penduduk provinsi DIY, maka dilakukan analisis perkembangan kontribusi energi berbagai komoditas pangan pokok. Tabel 10 Kontribusi energi komoditas pangan pokok menurut wilayah Kontribusi energi (kkal/kap/hari) Jenis Pangan Kota Desa Kota+Desa Pangan Pokok Lokal Beras Jagung Singkong Ubi Jalar Sagu Kentang Umbi Lainnya Total Pangan Pokok Impor Tepung terigu Mie Instan Mie Basah Makaroni/Mie Kering Roti tawar Roti manis/lainnya Kue kering/biskuit Makanan gorengan Mie bakso/ Mie instan Makanan ringan Lainnya Total Kontribusi energi pangan pokok lokal yang paling banyak berasal dari beras. Rata-rata kontribusi energi beras mencapai lebih dari 90% dari total konsumsi pangan pokok lokal. Selain beras, komoditas pangan lokal yang menyumbangkan energi terbesar adalah singkong dan jagung tetapi dengan presentase yang jauh lebih kecil. Untuk pangan pokok impor, tiga komoditas dengan kontribusi energi terbesar yaitu makanan gorengan, makanan ringan anakanak, dan mie instan. Ketiga komoditas tersebut merupakan produk turunan terigu. Tidak ada perbedaan pola konsumsi antara masyarakat desa dan kota dari segi komoditas. Dapat disimpulkan bahwa beras masih menjadi komoditas nomor satu sebagai suplai energi, tetapi konsumsinya terus mengalami penurunan. Sedangkan persentase konsumsi terigu dan produk turunannya terus mengalami peningkatan dengan laju peningkatan lebih besar di perdesaan. Beras atau nasi masih menjadi makanan pokok hampir di seluruh wilayah Indonesia, bahkan wilayah historis non-beras pun mulai mengarah ke pola pangan pokok beras. Menurut Krisnamurthi (2004) terdapat beberapa alasan mengapa beras menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia. Pertama, beras merupakan bahan pangan yang mudah diolah dan rasanya relatif netral, sehingga cocok dengan selera banyak orang. Kedua, dari segi ketersediaan pemerintah sendiri

44 28 fokus untuk meningkatkan produksi dan distribusi beras. Beras sendiri sudah dijadikan komoditas politik dimana keberhasilan pemerintah dalam bidang pangan bisa diukur dengan swasembada beras. Ketiga, faktor budaya atau kebiasaan. Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi nasi sudah terjadi selama puluhan tahun, nasi biasa disajikan dalam setiap menu makan di rumah. Konsumsi umbi-umbian yang cenderung mengalami penurunan disebabkan karena pengolahannya yang kurang praktis, sedangkan gaya hidup masyarakat saat ini menuntut kepraktisan karena terbatasnya waktu yang dimiliki (Gafar 2009). Konsumsi terigu dan produk olahannya terus mengalami peningkatan. Terigu disukai berbagai kalangan masyarakat karena rasanya yang netral dan pengolahannya yang mudah. Tepung terigu dapat diolah untuk berbagai penggunaan, baik sebagai bahan baku maupun campuran. Teknologi pembuatan tepung dan produk turunannya dalam skala kecil dan sedang pun sudah dikenal masyarakat. Hal ini ditandai dengan beredarnya berbagai jenis mie, roti, dan jajanan di masyarakat. Ketersediaan terigu dan produk turunannya pun semakin meningkat dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau (Gafar 2009). Oleh karena itu, konsumsi terigu dan produk turunannya terus mengalami peningkatan. Salah satu tujuan khusus dalam Perpres nomor 22/2009 adalah tersedianya pangan sumber karbohidrat non-beras dan non-terigu bagi masyarakat. Meskipun telah terjadi penurunan konsumsi beras secara nasional, tetapi konsumsi terigu justru semakin meningkat. Padahal Provinsi DIY merupakan salah satu provinsi yang menjadi lokasi pengembangan Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L). Pelaksanaan MP3L dilaksanakan dalam dua tahap. Pertama, tahun dengan dua produk yang dikembangkan yaitu Mie Kering dan Tiwul Instan di Kabupaten Gunung Kidul. Kedua pada tahun 2014, yaitu produk mie berbahan dasar tepung tapioka di Kabupaten Bantul. Tetapi kenyataannya belum terjadi peningkatan konsumsi pangan lokal yang berarti. Tidak ditemukan data pelaksaaan ataupun evaluasi pelaksanaan program MP3L di Provinsi DIY. Jika dibandingkan dengan program MP3L di Provinsi Lampung yang menghasilkan produk Beras Siger (Tiwul), dapat dikatakan bahwa program MP3L masih berjalan kurang efektif baik dari segi produksi maupun konsumsi. Bahan baku yang tidak selalu tersedia menyebabkan permintaan konsumen yang tidak pasti. Permintaan yang tidak pasti pun menyebabkan harga jual yang berubah-ubah, bahkan lebih tinggi daripada beras padi. Hal ini menyebabkan konsumen lebih banyak memilih untuk tetap mengonsumsi beras padi. Sedangkan sebagian besar konsumen justru mengonsumsi Besar Siger dengan alasan kesehatan (Anggraini et al. 2016) Kebanyakan konsumen juga kurang menyukai atribut-atribut seperti rasa, atau tekstur pada beras siger karena tidak terbiasa mengonsumsinya, terutama anak-anak dan remaja. Beberapa konsumen justru menjadikan Beras Siger sebagai pangan komplementer. Artinya beras siger disajikan sebagai campuran dari nasi, bukan sebagai pangan substitusi (Anggraini et al. 2016). Kondisi diatas sebenarnya menggambarkan bahwa masyarakat masih memiliki motivasi untuk menjaga pola konsumsi yang sehat, tetapi seringkali terhambat oleh kurangnya pengetahuan dan tingginya harga pangan. Penyuluhan dan promosi yang intensif perlu dilakukan. Pengalihan subsidi untuk beras ke pangan lokal juga dapat dilakukan agar harga produk pangan lokal lebih terjangkau oleh masyrakat.

45 29 Perkembangan Kontribusi Pangan Pokok menurun Tingkat Pendapatan Penelitian untuk menganalisis perubahan pola konsumsi pangan berdasarkan tingkat pendapatan telah banyak dilakukan. Analisis yang dilakukan oleh Purwantini dan Susilowati (2011) mengenai pola konsumsi pangan lokal di Indonesia selama tahun menunjukkan bahwa konsumsi beras meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan, tetapi secara nasional telah mengalami penurunan. Penurunan konsumsi beras ini juga diikuti dengan penurunan konsumsi umbi-umbian dan peningkatan konsumsi terigu. Kelompok berpendapatan rendah masih menjadi konsumen umbi-umbian yang paling besar. Hasil penelitian Gafar (2009) juga menunjukkan bahwa golongan berpendapatan rendah memiliki pola makan yang lebih beragam. Berikut adalah analisis pola konsumsi pangan pokok berdasarkan tingkat pendapatan di provinsi DIY. 100% 80% 60% 40% 20% 0% Rendah Menengah Tinggi Impor Lokal Gambar 5 Perbandingan kontribusi energi pangan pokok pokok lokal dan impor terhadap pangan total pangan pokok menurut tingkat pendapatan Berdasarkan data pada gambar 5, dapat disimpulkan bahwa konsumsi pangan impor untuk golongan menengah cenderung meningkat, sedangkan untuk golongan pendapatan rendah dan tinggi mengalami fluktuatif. Pada tahun 2012, konsumsi pangan impor pada golongan pendapatan rendah mengalami peningkatan kemudian kembali mengalami penurunan pada tahun 2015, sebaliknya untuk golongan pendapatan tinggi. Rumah tangga yang paling banyak mengonsumsi pangan lokal merupakan golongan pendapatan rendah. Pada tahun 2012, daya beli masyarakat terhadap produk makanan pun mengalami penurunan. Hal ini ditandai oleh Indeks Harga Konsumen (IHK) bahan makanan yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2009 dan 2015, yaitu sebesar Tetapi secara rinci, IHK untuk kelompok pangan padi-padian pada tahun 2012 justru paling rendah, yaitu Golongan pendapatan rendah merupakan golongan yang paling rentan terhadap perubahan harga pangan. Oleh sebab itu, tingginya harga pangan menyebabkan rumah tangga memenuhi kebutuhan pangannya dengan mengonsumsi komoditas yang lebih murah. Alternatif yang mungkin dilakukan adalah memperbanyak konsumsi pangan yang berasal dari padi-padian dan umbiumbian serta mengurangi konsumsi pangan lainnya. Hal ini menyebabkan peningkatan konsumsi pangan asal terigu (pangan impor) yang tergolong murah. Meningkatnya konsumsi umbi-umbian pada golongan pendapatan tinggi ditahun 2012 dapat disebabkan tingginya ketersediaan umbi-umbian jika dibandingkan dengan tahun 2009 dan Berikut disajikan perkembangan data konsumsi komoditas pangan pokok lokal dan impor di Provinsi DIY.

46 30 Tabel 11 Kontribusi energi komoditas pangan pokok menurut tingkat pendapatan Kontribusi energi (kkal/kap/hari) Jenis Pangan Rendah Menengah Tinggi Pangan Pokok Lokal Beras Jagung Singkong Ubi Jalar Sagu Kentang Umbi Lainnya Total Pangan Pokok Impor Tepung terigu Mie Instan Mie Basah Makaroni/Mie Kering Roti tawar Roti manis/lainnya Kue kering/biskuit Makanan gorengan Mie bakso Mie instan Makanan ringan Lainnya Total Sesuai dengan kondisi konsumsi pangan di perdesaan dan perkotaan, beras masih menjadi komoditas nomor satu dengan kontribusi energi terbesar pada berbagai golongan pendapatan. Persentase kontribusi beras terhadap konsumsi pangan pokok mencapai 66-80%. Untuk konsumsi pangan pokok lokal lainnya, pola yang dimiliki juga sama dengan daerah persedaan dan perkotaan, yaitu singkong dan jagung, tetapi konsumsi kentang cenderung mengalami peningkatan pada golongan pendapatan tinggi. Persentase kontribusi pangan pokok lokal terhadap total konsumsi pangan pokok semakin berkurang seiring meningkatnya pendapatan. Pola konsumsi pangan pokok impor memiliki pola yang hampir sama pada tiga golongan pendapatan. Pada golongan pendapatan rendah, tiga komoditas yang paling banyak di konsumsi yaitu makanan ringan anak-anak, makanan gorengan, dan mie instan. Sedangkan pada golongan pendapatan menengah dan tinggi, komoditas dengan konsumsi terbanyak yaitu makanan gorengan, mie instan, dan mie bakso. Berbanding terbalik dengan pangan lokal, persentase konsumsi pangan pokok impor bertambah seiring dengan meningkatnya pendapatan. Jagung dan singkong (ubi kayu) merupakan dua komoditas yang paling banyak diproduksi secara lokal setelah beras. Jenis pangan umbi-umbian seperti ubi kayu atau ubi jalar memiliki karakteristik cepat rusak. Kandungan air yang tinggi menyebabkan terjadinya penurunan mutu yang cepat dalam 2-3 hari. Jika sulit untuk menjual cepat, umumnya petani akan memanfaatkan hasil panen untuk konsumsi sendiri. Seperti yang kita ketahui, bahwa rata-rata rumah petani merupakan rumah tangga miskin (Lisanty dan Tokuda 2015).

47 Untuk mempertahankan kualitas umbi-umbian tetap baik maka dibutuhkan pengolahan pascapanen yang memadai. Sebagian besar masyarakat masih mengolah hasil pertaniannya dengan metode konvensional. Saat ini, sebenarnya sudah berkembang berbagai teknologi pengolahan pangan, tetapi kebanyakan teknologi tersebut berhenti sampai tahap penelitian. Teknologi modern lebih banyak digunakan oleh industri sedang dan besar. Kegiatan sosialisasi dan pendampingan penggunaan teknologi pangan harus lebih efektif agar teknologi yang ada dapat mendukung terwujudnya penganekaragaman konsumsi pangan diberbagai kalangan (Suksmantri et al. 2012). Komoditas kentang tidak diproduksi secara lokal sejak tahun Kebutuhan konsumsi kentang sepenuhnya diimpor dari daerah lain. Meskipun termasuk umbi-umbian, tetapi kentang lebih banyak diolah sebagai campuran dari sayur. Rendahnya konsumsi jagung di perkotaan disebabkan proses pengolahannya yang cukup sulit dan membutuhkan lebih banyak bahan bakar (Gafar 2009), sedangkan sebagian besar masyarakat kota memiliki waktu kerja yang lebih panjang dan terikat sehingga memiliki waktu yang terbatas untuk menyiapkan pangan. Alasan tersebut juga menjadi penyebab tingginya konsumsi makanan jadi atau instan didaerah perkotaan yang rata-rata berbahan dasar tepung terigu. Persentase pengeluaran pangan untuk makanan jadi di Provinsi DIY mencapai lebih dari 40%. Tingginya konsumsi makanan gorengan pada berbagai tingkat pendapatan sejalan dengan hasil Riskesdas 2013 yang menunjukkan bahwa rata-rata penduduk Provinsi DIY mengonsumsi makanan gorengan terbanyak kedua di Indonesia. Pengolahan pangan dengan cara digoreng tergolong mudah, cepat, dan menghasilkan rasa yang enak, sehingga digemari berbagai lapisan masyarakat. Pergeseran pola konsumsi pangan pokok kedua dari jagung menjadi mie telah terjadi diberbagai lapisan masyarakat, baik di perdesaan atau perkotaan maupun rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah atau tinggi. Mie disukai karena memiliki rasa enak, tekstur lembut, dan cara penyajian yang praktis. Selain itu, mie juga memiliki masa simpan yang lama. Meningkatnya konsumsi mie pun didukung maraknya promosi melalui berbagai media massa (Gafar 2009). Rata-rata produk mie yang terdapat dipasaran masih berbahan baku tepung terigu. Terigu sendiri merupakan hasil pengolahan gandum yang bukan merupakan tanaman lokal Indonesia, sehingga harus dilakukan impor untuk memenuhi permintaan pasar. Tingkat konsumsi terigu dan pangan olahannya yang tinggi disebabkan tingginya ketersediaan di pasar, harganya relatif murah dan serbaguna. Impor terigu sendiri dilakukan pertama kali pada tahun 1967 dalam rangka stablisasi pemenuhan kebutuhan pangan penduduk. Saat itu sedang terjadi penurunan produktivitas pertanian sehingga ketersediaan beras sangat terbatas. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan seperti mensubsidi harga impor serta konsumsi dan membebaskan bea masuk agar harga pangan yang sampai ke masyarakat murah dan terjangkau. Harga terigu dalam negeri bahkan lebih murah 50% dibandingkan harga internasional. Pemerintah juga menetapkan kebijakan rasio harga beras:terigu mendekati satu, sehingga jika terjadi kelangkaan beras akan cenderung digantikan oleh terigu yang memiliki harga hampir sama. Kebijakan ini tentunya memicu peningkatan konsumsi terigu perkapita, sehingga terigu berperan sebagai pangan substitusi untuk beras (Gafar 2009). 31

48 32 Konsumsi terigu perkapita selama sepuluh tahun terakhir terus mengalami peningkatan, walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2008 tetapi kembali mengalami peningkatan pada tahun berikutnya. Konsumsi terigu penduduk Indonesia pada tahun 2015 mencapai 22.3 kg/kap/tahun. Kondisi ini sejalan dengan konsumsi penduduk Provinsi DIY terhadap terigu dan produk turunannnya yang cenderung mengalami peningkatan selama enam tahun terakhir. Tepung terigu lebih disukai pelaku industri dan masyarakat karena mengandung gluten sehingga memiliki kemampuan mengembang yang lebih baik. Sifat spesifik gluten tersebut tidak dimiliki serealia lainnya, termasuk tanaman lokal Indonesia. Padahal tanaman lokal (umbi-umbian) memiliki nilai gizi yang tidak kalah dengan terigu (Suarni 2009). Semakin rendahnya konsumsi umbi-umbian di Indonesia disebabkan produk olahannya yang relatif masih terbatas dan tampilannya yang kurang menarik sehingga dianggap sebagai pangan inferior (Yulifianti et al. 2012). Pengolahan umbi-umbian menjadi produk antara berupa terigu dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan ketersediaan dan konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal, sesuai dengan tujuan dalam Perpres nomor 22/2009. Keunggulan umbi-umbian dalam bentuk tepung antara lain: 1) masa simpan lebih lama, 2) pengolahan yang lebih mudah, 3) meningkatan nilai guna, dan 4) meningkatkan daya tarik konsumen. Tepung lokal dapat digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu 100% atau sebagai bahan komposit (campuran) (Yulifianti et al. 2012). Pengembangan produk tepung lokal juga dapat menjadi solusi untuk menggerakkan roda ekonomi di perdesaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan daya beli petani kedepannya. Program seperti ini telah banyak dilakukan, meskipun mengalami banyak kendala pada pelaksaannya. Kendala-kendala yang dialami umumnya sama seperti yang telah dijelaskan pada kasus produk Beras Siger. Bukan hanya terigu, tingginya konsumsi beras pada berbagai kalangan pun tak lepas dari pengaruh kebijakan pemerintah. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas harga beras dan pasokan yang merata untuk mewujudkan stabilitas politik. Beberapa program yang telah diterapkan antara lain Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), pemberian subsidi pupuk, penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP), dan pembangunan prasaranan irigasi (Suryani dan Rachman 2008). Kebijakan ini semakin melemahkan peran pangan pokok lokal lainnya atau umbi-umbian. Melihat dua gambaran kondisi diatas, maka pemerintah memiliki peran besar dalam mengarahkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Memang dibutuhkan waktu yang cukup panjang, tetapi perlu keseriusan dari berbagai pemangku kebijakan. Peningkatan produktivitas, pengendalian harga, pemberian subsidi yang sebelumnya diterapkan untuk beras dan terigu dapat dialihkan untuk umbi-umbian. Program-program yang memberikan kesana Istimewa pada beras dan terigu secara perlahan harus dikurangi, sehinga tidak terjadi tumpang-tindih kebijakan yang memiliki tujuan berlawanan.

49 33 Pola Konsumsi Pangan menurut Wilayah dan Tingkat Pendapatan Untuk melihat pola konsumsi pangan masyarakat di provinsi DIY secara lebih menyeluruh, maka dilakukan analisis konsumsi pangan menggunakan pendekatan gabungan wilayah dan tingkat pendapatan. Sama seperti pembahasan sebelumnya, wilayah dibagi menjadi tiga yaitu kota, desa, dan agregat kota-desa. Untuk tingkat pendapatan juga dibagi menjadi tiga golongan yaitu pendapatan rendah, tinggi, dan menengah. Sumbu Y menunjukkan tingkat pendapatan, sedangkan sumbu X menunjukkan wilayah. Data disajikan dalam bentuk bubble chart, besarnya bubble menggambarkan jumlah kontribusi energi dalam satuan kkal/kap/hari. Analisis konsumsi pangan hanya dilakukan pada tahun 2015, agar dapat menggambarkan situasi konsumsi pangan di provinsi DIY terkini. Sebelum membahas lebih rinci beberapa poal konsumsi kelompok pangan, berikut disajikan perkembangan pola konsumsi pangan secara umum, yaitu berdasarkan data agregat kota-desa dan pendapatan rata-rata pada tahun 2009, 2012, dan Gambar 6 Perkembangan pola konsumsi pangan secara umum tahun 2009, 2012, dan 2015 Gambar 6 menunjukkan perbandingan jumlah konsumsi pangan berdasarkan sembilan kelompok pangan. Untuk padi-padian, data disajikan per komoditas pangan (beras, jagung, dan terigu) karena jumlah kontribusi energinya yang jauh lebih besar dibandingkan kelompok pangan lain. Selain itu, kelompok pangan hewani juga dirinci berdasarkan jenisnya. Selama tahun tidak terjadi perubahan pola konsumsi pangan yang cukup berarti di Provinsi DIY. Beras merupakan komoditas pangan yang paling banyak di konsumsi dan jumlah konsumsinya cenderung tetap. Setelah beras, jumlah kontribusi energi terbanyak berasal dari terigu. Konsumsi terigu terus mengalami peningkatan yang terlihat dari semakin besar ukuran bubble. Kontribusi energi yang berasal dari jagung menunjukkan presentase energi yang sangat kecil. Setelah beras dan terigu, kelompok pangan yang memiliki persentase kontribusi energi terbesar yaitu minyak dan lemak, selanjutnya adalah gula. Konsumsi minyak dan lemak serta gula cenderung tetap. Semua komoditas pangan hewani mengalami peningkatan konsumsi yang cukup besar. Peningkatan terbesar terjadi pada komoditas asal unggas dan produk olahannya. Konsumsi umbi-umbian, sayur, dan kacang-kacangan mengalami penurunan, sedangkan konsumsi buah-buahan mengalami fluktuatif. Selama periode sumber energi utama bagi penduduk Provinsi DIY masih berasal dari kelompok pangan padi-padian, terutama beras dan terigu. Persentase kontribusi energi yang berasal

50 34 dari pangan hewani terus mengalami peningkatan. Disisi lain, konsumsi pangan pokok lokal dan kacang-kacangan terus mengalami penurunan. Analisis dilakukan secara lebih rinci terhadap beberapa kelompok pangan untuk melihat komoditas pangan mana yang dapat menjadi potensi peningkatan kualitas pangan dan mana yang harus dibatasi, yaitu secara umum, pangan pokok, pangan hewani, serta sayur dan buah. Berikut disajikan data konsumsi pangan secara umum pada tahun Gambar 7 Pola konsumsi pangan menurut wilayah dan tingkat pendapatan tahun Berdasarkan gambar 7, dapat disimpulkan bahwa penduduk kota dengan pendapatan tinggi memiliki pola konsumsi pangan yang paling beragam. Penduduk di kota memiliki pola konsumsi yang lebih beragam dibandingkan perdesaan, namun dengan perbedaan yang tidak terlalu berarti. Rumah tangga dengan pendapatan tinggi juga memiliki kualitas konsumsi pangan yang lebih baik dibandingkan dengan pendapatan rendah. Tingkat pendapatan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pola konsumsi pangan dibandingkan wilayah tempat tinggal. Secara kuantitas, golongan pendapatan rendah juga memiliki konsumsi pangan yang lebih rendah dibandingkan golongan pendapatan menengah dan rendah. Pada semua wilayah dan golongan pendapatan, kontribusi energi terbesar berasal dari beras. Rumah tangga dengan pendapatan rendah memiliki akses ekonomi yang lebih rendah dibandingkan pendapatan menengah dan tinggi. Kondisi ekonomi yang terbatas menyebabkan pemilihan konsumsi pangan yang terbatas pula. Rumah tangga atau individu harus mampu membuat keputusan yang tepat agar

51 35 kebutuhan pangan dan non-pangannya terpenuhi. Hal ini menyebabkan terbatasnya individu untuk membeli jenis pangan yang lebih beragam meskipun tersedia dan terjangkau secara fisik. Begitu pula secara kuantitas, porsi makanan yang dikonsumsi akan lebih sedikit untuk menghemat pengeluaran. Konsumsi pangan rumah tangga berpendapatan rendah akan didominasi energy-dense foods yang cenderung lebih murah dan tinggi kalori, seperti padi-padian, minyak dan lemak, serta gula. Pangan hewani yang dikonsumsi pun terbatas pada telur dan unggas, karena harganya yang lebih murah dibandingkan ikan dan dagingdagingan merah. Kebutuhan protein lebih banyak dipenuhi dari sumber nabati, yaitu kacang-kacangan. Peran pangan pokok pokok lokal selain beras pun masih rendah pada golongan pendapatan rendah. Tidak ada perbedaan konsumsi pangan secara khusus antara golongan pendapatan menengah ditinjau secara kualitas. Golongan pendapatan menengah mulai mengonsumsi ikan dan daging ruminansia, tetapi dengan persentase kontribusi energi yang masih sedikit. Konsumsi kedua komoditas pangan tersebut meningkat pada golongan pendapatan tinggi. Konsumsi buah juga mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya pendapatan. Gambar 8 Pola konsumsi pangan pokok menurut wilayah dan tingkat pendapatan tahun 2015 Pola konsumsi pangan pokok di Provinsi DIY pada berbagai tingkat pendapatan masih didominasi oleh beras, baik di kota maupun desa. Pada golongan pendapatan rendah, kontribusi energi dari beras mencapai lebih dari 50%. Pangan pokok yang dikonsumsi semakin beragam seiring meningkatnya pendapatan. Peran pangan pokok lokal lainnya terlihat masih sangat rendah baik di kota maupun desa. Pangan pokok lokal selain beras yang dikonsumsi penduduk

52 36 di provinsi DIY, yaitu jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Persentase kontribusi energi dari ubi kayu dan ubi jalar semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Konsumsi jagung masih sangat rendah diberbagai tingkat pendapatan, terutama di desa. Semua golongan pendapatan baik di kota maupun desa mengonsumsi pangan impor. Peran pangan impor semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Kontribusi energi terbesar dari pangan impor berasal dari terigu. Terigu juga menempati posisi kedua sebagai penyumbang energi terbanyak setelah beras di semua golongan pendapatan. Pada golongan pendapatan rendah, produk pangan yang juga dikonsumsi adalah mie instan, sedangkan pada golongan pendapatan menengah dan tinggi yaitu mie instan serta roti dan biskuit. Produk-produk makanan tersebut merupakan produk turunan terigu, sehingga harus dilakukan impor untuk mendapatkan bahan bakunya. Tidak terdapat perbedaan secara khusus antara pola konsumsi pangan pokok di kota dengan desa. Meskipun jumlah konsumsi pangan pokok lokal, terutama beras masih lebih dominan dibandingkan pangan impor tetapi secara jenis, komoditas pangan pokok impor yang dikonsumsi lebih beragam. Gambar 9 Pola konsumsi pangan sumber protein menurut wilayah dan tingkat pendapatan tahun Dibandingkan dengan konsumsi pangan pokok, terlihat perbedaan yang lebih berarti pada pola konsumsi pangan hewani terutama pada golongan pendapatan rendah. Dapat disimpulkan bahwa golongan pendapatan tinggi memiliki konsumsi pangan hewani yang paling beragam serta dengan kuantitas yang lebih besar. Jenis pangan sumber protein yang dikonsumsi oleh golongan pendapatan rendah jauh lebih sedikit baik secara jenis maupun jumlah jika dibandingkan pendapatan tinggi dan rendah. Kontribusi protein nabati lebih

53 37 dominan dibandingkan pangan hewani. Kontribusi energi terbesar berasal dari tempe. Jenis pangan hewani yang dikonsumsi di perkotaan yaitu telur dan susu, sedangkan diperdesaan yaitu telur dan ikan segar Sebaliknya untuk golongan pendapatan menangah dan tinggi, kontribusi pangan hewani lebih besar dibandingkan pangan nabati. Pada golongan menengah, jenis pangan sumber protein sudah semakin beragam dan tidak terdapat perbedaan yang mencolok dengan pendapatan tinggi. Perbedaan yang terlihat hanya dari segi kuantitas. Kontribusi energi terbesar pada golongan menengah dan tinggi berasal dari unggas. Pada golongan pendapatan menengah kontribusi energi terbesar kedua berasal dari tempe, sedangkan pada golongan tinggi berasal dari ikan segar. Konsumsi daging yang diawetkan didesa hanya terdapat pada golongan tinggi. Gambar 10 Pola konsumsi pangan sayur dan buah menurut wilayah dan tingkat pendapatan tahun Data yang disajikan merupakan konsumsi data sedikitnya tiga jenis sayur dan buah yang paling banyak di provinsi DIY. Teredapat perbedaan pola konsumsi sayur dan buah antara berbagai golongan pendapatan. Jenis sayur yang dikonsumsi oleh hampir semua penduduk di Provinsi DIY yaitu daun ketela pohon dan kacang panjang, sedangkan untuk buah yaitu pisang dan rambutan. Dintinjau dari kontribusi energinya, buah menyumbangkan kontribusi energi lebih besar dibandingkan sayur pada golongan pendapatan menengah dan tinggi, sebaliknya untuk golongan pendapatan rendah. Jenis buah yang sering dikonsumsi golongan berpendapatan rendah di perdesaan hanyalah rambutan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin beragam jenis sayur dan buah yang dikonsumsi.

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN Pengantar Survei Konsumsi Pangan Tujuan Survei Konsumsi Pangan Metode berdasarkan Jenis Data yang diperoleh Metode berdasarkan Sasaran Pengamatan Neraca Bahan Makanan Pola

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu

Lebih terperinci

JIIA, VOLUME 5 No. 2, MEI 2017

JIIA, VOLUME 5 No. 2, MEI 2017 POLA KONSUMSI PANGAN PADA RUMAH TANGGA PETANI DI DESA RUGUK KECAMATAN KETAPANG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN (Food Consumption Patterns of Farmers Household at Ruguk Village Ketapang Sub District South Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO AGRISE Volume XV No. 1 Bulan Januari 2015 ISSN: 1412-1425 ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO (ANALYSIS OF FOOD BALANCE SHEET (FBS) AND DESIRABLE DIETARY

Lebih terperinci

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun DIVERSIFIKASI KONSUMSI MASYARAKAT BERDASARKAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN PADA LOKASI MKRPL DI KEC. KRAMATWATU KAB. SERANG Yati Astuti 1) dan Fitri Normasari 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang 121 V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA Dalam penelitian ini ketahanan pangan diukur berdasarkan ketersediaan pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang ketersediaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Pola Konsumsi Non Beras Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungsinya sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut di Indonesia mengandung sumberdaya kelautan dan perikanan yang siap diolah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga sejumlah besar rakyat Indonesia

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. No.397, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 43/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 24 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study.penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari data riset

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan gizinya (BKP, 2013). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar, dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Menurut Balitbang (2008), Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara 2 0 25-9 0 Lintang Selatan dan 130 0-141 0 Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Rachman dan Yuni Marisa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Lebih terperinci

ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA TAHUN

ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA TAHUN ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA TAHUN 2005-2015 SRI CATUR LESTARI WIDIASIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian, yang

Lebih terperinci

DAMPAK PROGRAM KRPL (KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI) TERHADAP POLA PANGAN HARAPAN (PPH) ABSTRAK

DAMPAK PROGRAM KRPL (KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI) TERHADAP POLA PANGAN HARAPAN (PPH) ABSTRAK DAMPAK PROGRAM KRPL (KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI) TERHADAP POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Muh. Aniar Hari Swasono 1 )Nur Cholilah 2 ) Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan Email : hariswasono@gmail.com

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI disampaikan pada : Temu Ilmiah Internasional Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian November 2014 OUTLINE 1. Pendahuluan 2. Permasalahan

Lebih terperinci

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PENELITIAN Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Studi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan masyarakat Indonesia, yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan wilayah dengan

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR Menimbang : a.

Lebih terperinci

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung)

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung) Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung) Nasriati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jl. ZA. Pagar

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ANALISIS POLA KONSUMSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Ketahanan pangan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan dengan penentuan lokasi secara purposive. Penelitian ini berlansung selama 2 bulan, dimulai

Lebih terperinci

BADAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN Disampaikan pada : Pertemuan Sinkronisasi Kegiatan dengan Kabupaten/Kota

BADAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN Disampaikan pada : Pertemuan Sinkronisasi Kegiatan dengan Kabupaten/Kota BADAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2016 Disampaikan pada : Pertemuan Sinkronisasi Kegiatan dengan Kabupaten/Kota Bukittinggi, Maret 2016 BIDANG PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN (PKP)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,

Lebih terperinci

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN DIAN KARTIKASARI

ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN DIAN KARTIKASARI ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN 2011-2015 DIAN KARTIKASARI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119 PENDAHULUAN Hingga saat ini, upaya mewujudkan ketahanan

Lebih terperinci

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) P R O S I D I N G 58 Fahriyah 1*, Rosihan Asmara 1 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya *E-mail ria_bgl@yahoo.com

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya 5 TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya Dikemukakan oleh Maslow, pangan merupakan salah satu kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup (Sumarwan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PERATURAN PRESIDEN NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN P R O S I D I N G 69 KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN Condro Puspo Nugroho 1*, Fahriyah 1, Rosihan Asmara 2 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Studi Diploma III (Tiga)

Lebih terperinci

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi

Lebih terperinci

ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG PENDAHULUAN

ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG PENDAHULUAN P R O S I D I N G 125 ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG Farah Ainun Jamil 1, Pudji Purwanti 2, Riski Agung Lestariadi 2 1 Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

ESTIMASI FUNGSI KONSUMSI PANGAN DAN NON PANGAN PENDUDUK PERKOTAAN PROPINSI JAMBI. Adi Bhakti ABSTRACT

ESTIMASI FUNGSI KONSUMSI PANGAN DAN NON PANGAN PENDUDUK PERKOTAAN PROPINSI JAMBI. Adi Bhakti ABSTRACT ESTIMASI FUNGSI KONSUMSI PANGAN DAN NON PANGAN PENDUDUK PERKOTAAN PROPINSI JAMBI Adi Bhakti Dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Jambi adibhakti@unja.ac.id ABSTRACT This study aims

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression ABSTRACT INDA WULANDARI. Determinant of Household Food Security in East Nusa Tenggara Province. Under supervision of SRI HARTOYO and YETI LIS PURNAMADEWI. The issue of food security has become an important

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan 4 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Menurut UU No 7 tahun 1997, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah ataupun produk turunannya

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan nasional Bangsa Indonesia yaitu mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR

Lebih terperinci

DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PEDESAAN DI DESA SUKOLILO KECAMATAN WAJAK KABUPATEN MALANG Oleh : Gema Iftitah Anugerah Y*

DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PEDESAAN DI DESA SUKOLILO KECAMATAN WAJAK KABUPATEN MALANG Oleh : Gema Iftitah Anugerah Y* DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PEDESAAN DI DESA SUKOLILO KECAMATAN WAJAK KABUPATEN MALANG Oleh : Gema Iftitah Anugerah Y* ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis pola konsumsi

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang

Lebih terperinci

Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas

Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas TIKEL Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Oleh: Achmad Suryana RINGKASAN Berbagai kajiandi bidang gizidan kesehatan menunjukkan bahwa untuk

Lebih terperinci

JURNAL OLEH : IKA SAPUTRI DEWI AGRIBISNIS

JURNAL OLEH : IKA SAPUTRI DEWI AGRIBISNIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA NELAYAN (Studi Kasus: Desa Bagan Dalam, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara) JURNAL OLEH : IKA SAPUTRI DEWI 120304077

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN NON BERAS DI KABUPATEN MAGELANG

FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN NON BERAS DI KABUPATEN MAGELANG FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN NON BERAS DI KABUPATEN MAGELANG Tesis Untuk memenuhi sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Agribisnis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2.1 Pola Konsumsi Pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2010). Pola

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki karakteristik yang khas di setiap wilayahnya. Pembagian kawasan menurut UU no.22 tahun 1999 ada

Lebih terperinci

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Tri Bastuti Purwantini PENDAHULUAN Banyak kemajuan telah dicapai dalam pembangunan pangan

Lebih terperinci

ANALISIS PENYEDIAAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SIDOARJO

ANALISIS PENYEDIAAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SIDOARJO AGRISE Volume XIV No. 3 Bulan Agustus 2014 ISSN: 1412-1425 ANALISIS PENYEDIAAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SIDOARJO (FOOD PROVISION ANALYSIS IN THE EFFORT TO INCREASE FOOD SECURITY

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

ANALISIS KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN BERDASARKAN DAYA DUKUNG LAHAN WILAYAH KABUPATEN GARUT TAHUN UMIYATI

ANALISIS KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN BERDASARKAN DAYA DUKUNG LAHAN WILAYAH KABUPATEN GARUT TAHUN UMIYATI ANALISIS KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN BERDASARKAN DAYA DUKUNG LAHAN WILAYAH KABUPATEN GARUT TAHUN 2009-2014 UMIYATI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah tangga. Menurut (Hanafie, 2010) ketahanan pangan bagi suatu negara

I. PENDAHULUAN. rumah tangga. Menurut (Hanafie, 2010) ketahanan pangan bagi suatu negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia sehingga secara normatif sumber utama pasokan pangan harus dapat diproduksi sendiri hingga tingkat rumah tangga. Menurut (Hanafie,

Lebih terperinci

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN BAHASAN 1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN NUHFIL HANANI AR UNIVERSITAS BAWIJAYA Disampaikan

Lebih terperinci

DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN. Nuhfil hanani AR

DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN. Nuhfil hanani AR DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN Nuhfil hanani AR Pengertian Diversifikasi Pangan Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam peristilahan kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia, oleh karena

Lebih terperinci