BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi pangan merupakan salah satu komponen dalam sistem pangan dan gizi. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup dan seimbang menjadi syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia maupun kemampuan fisiknya. Karena itu kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh keadaan status gizinya. Konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap status gizi, disamping kemampuan tubuh dalam absorbsi dan menggunakan zat gizi tersebut. Kebutuhan gizi setiap orang berbeda, tergantung dari umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas (ringan, sedang, dan berat), dan keadaan fisiologis tubuh. Setiap orang perlu mengonsumsi zat gizi sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan standar gizi yang telah ditentukan yang disebut sebagai Angka Kecukupan Gizi. Rata-rata kebutuhan konsumsi pangan seseorang untuk hidup sehat yaitu 2000 kkal/kap/hari untuk energi dan 52 gram/kap/hari untuk protein (Sibuea, 2012). Konsumsi pangan yang berlebihan akan mengakibatkan seseorang mengalami gizi lebih dan sebaliknya jika konsumsi pangan yang kurang dari kebutuhan dalam jangka waktu tertentu maka akan menyebabkan gizi kurang atau gizi buruk. Kejadian gizi kurang dan gizi buruk yang kebanyakan terjadi di usia balita (0-5 tahun) akan berdampak buruk bagi masa depan anak, sebab 10

2 11 kekurangan gizi akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Demikian pula jika gizi lebih terjadi pada usia balita, remaja, ataupun dewasa akan meningkatkan prevalensi kejadian penyakit degenaratif (Suhardjo, 1986). Menurut Baliwati (2004), konsumsi pangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial. Kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, atau suatu bangsa/negara berpengaruh kuat dan kekal terhadap apapun dan bagaimana penduduk makan. Pola kebudayaan memengaruhi seseorang dalam memilih pangan, jenis pangan yang diproduksi, cara pengolahannya, penyaluran, penyiapan, dan penyajian. Jumlah pangan, jenis pangan, dan banyaknya bahan pangan dalam suatu pola makanan yang ada disuatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau hasil produksi setempat dalam jangka waktu yang cukup lama. Pangan pokok yang digunakan oleh suatu negara atau daerah biasanya menempati kedudukan yang tinggi. Penggunaan pangan tersebut lebih luas dari pada pangan yang lainnya, besar kemungkinannya berkembang karena merupakan hasil dari produksi setempat atau setelah dibawa ke tempat tersebut tumbuh dengan cepat. Selain itu, tamanan tersebut menghasilkan pangan dalam jumlah besar selama musim tanam yang panjang dan dapat disimpan dengan mudah dalam jangka waktu yang panjang. Konsumsi zat gizi sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan atau dapat disebut kebiasaan makan. Kebiasaan makan di setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan penduduk setempat. Cara atau kebiasaan makan yang

3 12 salah dapat berpengaruh negatif terhadap tingkat pertumbuhan yang pada akhirnya menyebabkan gangguan gizi dan menurunnya produktifitas kerja (Badan Bimas Ketahanan Pangan dalam Rosida, 2011) Pemantauan Konsumsi Pangan Pemantauan konsumsi pangan penduduk pertama kali dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan pada tahun 1995 yang dikenal dengan Survei Konsumsi Gizi. Survei tersebut dilakukan secara periodik untuk kepentingan pelaksanaan program perbaikan gizi sampai tingkat kabupaten/kotamadya, sehingga informasi konsumsi dapat dipantau secara berkesinambungan (Depkes, 1999 dalam Sembiring, 2002). Secara khusus survei konsumsi gizi bertujuan untuk: 1) diperolehnya gambaran tingkat konsumsi khususnya energi dan protein di tingkat kecamatan, 2) tersedianya informasi perubahan tingkat konsumsi gizi di tingkat kecamatan yang diperlukan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, 3) tersedianya informasi skor mutu konsumsi pangan penduduk dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (Aritonang, 2000 dalam Sembiring, 2002). Menurut Depkes (1999) dalam Sembiring (2002), informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk perencanaan dan evaluasi program pangan dan perbaikan gizi oleh tingkat kabupaten maupun provinsi. Tersedianya informasi mengenai tingkat konsumsi pangan dan skor PPH bermanfaat bagi tingkat kabupaten/kotamadya untuk mengetahui besar dan luasnya masalah konsumsi pangan di kecamatan dan kelompok desa serta melihat perkembangan dan keragaman konsumsi pangan. Tersedianya informasi mengenai distribusi kabupaten menurut tingkat konsumsi gizi dan skor PPH di tingkat provinsi digunakan sebagai perbandingan

4 13 antar kabupaten/kotamadya. Informasi mengenai perkembangan tingkat konsumsi pangan dan skor PPH setiap tahunnya dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan yang terjadi apakah mengalami peningkatan atau penurunan, serta kesesuaian dengan AKG maupun skor PPH. 2.2 Pola Konsumsi Pangan Menurut Departemen Pertanian (2005) dalam Arbaiyah (2013), pola konsumsi pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum seseorang atau sekelompok orang atau penduduk dalam rangka memenuhi kebutuhan hayati. Sedangkan menurut Suhardjo (1986), pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah pangan ratarata perorang perhari yang umum dikonsumsi penduduk dalam jangka waktu tertentu. Menurut BKP (2005) dalam Rosida (2011), jenis pangan atau kelompok pangan dalam Pola Pangan Harapan terdiri dari sembilan kelompok antara lain: 1) Padi-padian (beras, jagung, tepung terigu, gandum, dan lain-lain), 2) Umbiumbian (ubi jalar, kentang, singkong, talas, wortel, dan lain-lain), 3) Pangan Hewani (daging ruminansia, daging unggas, telur, susu, ikan, dan lain-lain), 4) Minyak dan Lemak (minyak kelapa, minyak sawit, minyak jagung, dan lain-lain), 5) Buah/Biji Berminyak (kelapa, kemiri, dan lain-lain), 6) Kacang-kacangan (kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah), 7) Gula (gula aren, gula pasir, dan lain-lain), 8) Sayur dan Buah (sayur-sayuran dan buah-buahan), dan 9) Lain-lain (minuman, bumbu, dan lain-lain). Secara umum pola konsumsi pangan masyarakat di Indonesia diwarnai dengan berbagai jenis-jenis bahan makanan yang umum dan dapat diproduksi

5 14 setempat. Misalnya, penduduk nelayan di daerah-daerah pantai, ikan merupakan makanan yang dipilih sehari-hari karena dapat dihasilkan sendiri. Masyarakat daerah pertanian padi, maka pola konsumsi pangan pokok mereka adalah beras. Daerah-daerah yang produksi utamanya adalah jagung, seperti Madura dan Jawa Timur bagian Selatan berpola pangan pokok jagung. Dan beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan ubi kayu yang merupakan produksi utama mereka (Suhardjo, 1986). Perilaku konsumsi pangan masyarakat dilandasi oleh kebiasaan makan (food habit) yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga melalui proses sosialisasi. Kebiasaan makan tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan ekologi suatu daerah seperti ciri tanaman pangan, ternak, atau ikan yang tersedia dan dapat dibudidayakan di daerah tersebut (Arbaiyah, 2013). Pola konsumsi pangan masyarakat dapat menunjukkan tingkat keberagaman pangan masyarakat yang diamati dari parameter pola pangan harapan (PPH). Pola makan atau kebiasaan makan yang terdapat dalam suatu masyarakat dapat dicermati melalui adanya pantangan atau larangan atau tabu. Biasanya, pangan pantangan ini ditujukan pada anak kecil, ibu hamil, dan ibu menyusui. Padahal mereka merupakan kelompok penduduk yang rawan gizi (Baliwati, 2004). Penganekaragaman konsumsi pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan. Berbagai penelitian menunjukkan keanekaragaman pangan dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan pangan, konsumsi serat, dan menurunkan risiko hiperkolesterol, hipertensi, dan penyakit jantung

6 15 koroner. Penganekaragaman pangan akan berdampak pada perbaikan kesehatan penduduk (Hardinsyah, 1996 dalam Baliwati, 2004). Menurut Departemen Pertanian (2013), ada empat faktor pendukung utama yang memengaruhi pola konsumsi pangan antara lain: (1) ketersediaan; (2) kondisi sosial ekonomi; (3) letak geografis daerah (desa-kota); dan (4) karateristik rumah tangga. Ketersediaan pangan secara makro (nasional/tingkat wilayah) sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan di daerah tersebut. Sedangkan ketersediaan pangan secara mikro (tingkat rumah tangga) dipengaruhi oleh pendapatan atau daya beli rumah tangga tersebut. Selanjutnya, kondisi sosial ekonomi masyarakat dilihat dari tingkat pendapatan, harga pangan dan nonpangan, selera, dan kebiasaan makan. Letak geografis dapat ditinjau dengan melihat lokasi desa-kota dari rumah tangga yang bersangkutan. Dan yang terakhir yaitu karateristik rumah tangga dilihat dari struktur umur, jenis kelamin, pendidikan, dan lapangan pekerjaan. Menurut Suhardjo (1986), faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi pangan ada tiga faktor yaitu: 1) ketersediaan pangan, 2) pola sosial budaya, 3) faktor-faktor pribadi. Ketersediaan pangan dipengaruhi oleh produksi pangan, dimana produksi sangat dipengaruhi oleh cara bertani, mutu dan luas lahan, pola penguasaan lahan, pola pertanaman, tempat tinggal, perangsang produksi, peranan sosial, dan tingkat pendapatan (Baliwati, 2004). Pola sosial budaya terdiri dari pola makanan, pembagian makanan dalam keluarga, besar keluarga, dan akseptabilitas. Sedangkan faktor-faktor pribadi terdiri dari pengetahuan gizi, preferensi, dan status kesehatan.

7 Pola Pangan Harapan Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). PPH tidak hanya berperan sebagai standar dalam mengukur pemenuhan kecukupan gizi namun juga sebagai pedoman dalam meningkatkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Melalui pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score), sehingga semakin tinggi skor mutu pangan hal ini menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisinya (BKP, 2013). Pola pangan harapan adalah susunan pangan yang beragam yang didasarkan pada sumbangan energi baik secara absolut maupun relatif dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA tahun 1989 yang dikenal dengan Desirable Dietary Pattern, yang didefenisikan sebagai komposisi pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Tujuan utama disusunnya PPH yaitu untuk membuat suatu reasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi keanekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita rasa (FAO-RAPA, 1989 dalam Sembiring, 2002). Pola pangan ini dapat digunakan sebagai ukuran keseimbangan dan keanekaragaman gizi. Terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit akan memenuhi hampir semua kebutuhan zat gizi, kecuali pada zat gizi yang sangat defisit pada suatu kelompok pangan. Oleh karena itu skor PPH dapat mencerminkan mutu gizi dan keragaman konsumsi

8 17 pangan. Disamping itu dalam pemberian nilai bobot setiap kelompok pangan, telah dipertimbangkan kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan, dan tingkat kelezatan (Hardinsyah, 2001 dalam Arbaiyah, 2013). Pangan dalam PPH, dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan. Diantaranya yaitu: 1) padi-padian yang terdiri dari beras, jagung, terigu, dan lainnya; 2) umbi-umbian yang terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar, sagu, talas, dan lainnya; 3) pangan hewani yang terdiri dari ikan, daging, telur, susu, dan lemak hewani; 4) lemak dan minyak yang terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit, dan margarin; 5) buah biji berminyak yang terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat; 6) kacang-kacangan yang terdiri dari kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan lainnya; 7) gula yang terdiri dari gula pasir, gula merah, dan lainnya; 8) sayur dan buah yang terdiri dari seluruh jenis sayur dan buah yang dapat dan biasa dikonsumsi manusia; 9) lain-lain terdiri dari kopi, teh, bumbu makanan, dan minuman beralkohol. Skor pangan dalam metode PPH diperoleh dari hasil perkalian antara tingkat kontribusi energi kelompok pangan dengan bobotnya. Tabel 2.9 dibawah ini merupakan bobot dari setiap kelompok pangan yang sudah ditetapkan oleh FAO-RAPA (1989) yang didasarkan pada konsentrasi energi, kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan, dan tingkat kelezatan.

9 18 Tabel 2.1 Kriteria Pemberian Bobot Untuk Setiap Kelompok Pangan No. Kelompok Pangan Bobot Kriteria 1 Padi-padian 0,5 Konsentrasi energi 2 Umbi-umbian 0,5 Konsentrasi energi 3 Pangan Hewani 2,0 Zat gizi esensial, citarasa, kepadatan energi 4 Lemak dan minyak 1,0 Konsentrasi energi 5 Buah dan biji berminyak 0,5 Konsentrasi energi 6 Kacang-kacangan 2,0 Nilai gizi pemakan nabati 7 Gula 0,5 Konsentrasi energi 8 Sayur dan buah 2,0 Zat gizi mikro, volume, kandungan serat 9 Lain/lain 0,0 Penambah citarasa Sumber: FAO-RAPA (1989) dalam Sembiring 2002 Berdasarkan kesepakatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998 yang menggunakan bobot atau rating FAO RAPA (1989) yang terus disempurnakan menjadi Pola Pangan Harapan (PPH) yang disepakati bahwa tahun 2020 skor mutu pangan yang ideal untuk hidup sehat bagi penduduk Indonesia adalah 100. Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG VIII) tahun 2004, susunan Pola Pangan Harapan untuk kebutuhan konsumsi per orang per hari sebesar 2000 kalori adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) No. Kelompok Pangan Berat Energi (gr/kap/hari) (kkal/kap/hari) % (AKG) 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Lemak dan minyak Buah dan biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Sumber: BKP Kementerian Pertanian dalam Sibuea, 2012 (diolah) Suhardjo (1998) dalam Sembiring (2002) melakukan penilaian terhadap keberhasilan diversifikasi pangan berdasarkan skor mutu PPH yang dicapai dengan kategori sebagai berikut ini:

10 19 a. Segitiga Perunggu Skor mutu pangan = < 78, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian masih tinggi diatas norma PPH. 2. Energi dari pangan hewani, sayur, dan buah serta kacang-kacangan masih rendah dibawah norma PPH. 3. Energi dari minyak dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH. b. Segitiga Perak Skor mutu pangan = 78 87, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian makin menurun, namun masih diatas norma PPH. 2. Energi dari pangan hewani, sayur, dan buah masih rendah dibawah norma PPH masing-masing antara 8-12% dan 4-5%. 3. Energi dari minyak, kacang-kacangan, dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH. c. Segitiga Emas 1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian sedikit diatas norma PPH atau relatif sama. 2. Energi dari pangan hewani diatas 12% atau relatif sama dengan norma PPH. 3. Energi dari kelompok pangan lain sudah memenuhi norma PPH.

11 Penilaian Situasi Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH Menurut BKP (2013), penilaian situasi konsumsi pangan dilakukan dengan menganalisis dua aspek penilaian yaitu aspek kuantitas konsumsi (% AKE) dan aspek kualitas konsumsi (mutu konsumsi skor PPH). 1. Aspek Kuantitas Penilaian aspek kuantitas ditinjau dari volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan. Digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang dikenal dengan Angka Kecukupan Gizi. Parameter yang digunakan untuk menilai kuantitas konsumsi pangan masyarakat yaitu Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP). Beberapa studi menyebutkan bahwa jika konsumsi energi dan protein sudah terpenuhi dan sesuai dengan norma atau angka kecukupan gizi dan konsumsi pangan beragam, maka kebutuhan akan zat-zat gizi lain juga akan terpenuhi dari konsumsi pangan. 2. Aspek Kualitas Penilaian pada aspek kualitas lebih ditekankan pada penganekaragaman pangan, bukan hanya keragaman makanan pokok saja namun juga keragaman jenis pangan yang lainnya. Semakin beragam dan seimbang pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya, karena pada hakekatnya tidak ada satu jenis pangan yang mengandung semua zat gizi. untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH yang didapatkan dari

12 21 perhitungan skor mutu PPH menunjukkan konsumsi pangan semakin beragam dan komposisinya semakin baik atau berimbang Kecukupan Energi Rata-Rata Keluarga Menurut Hardinsyah (1992), untuk menilai tingkat konsumsi energi ratarata suatu keluarga atau rumah tangga (bukan individu) diperlukan Angka Kecukupan Energi Rata-rata keluarga (AKERK). Sedangkan Angka Kecukupan Energi Keluarga (AKEK) diperlukan untuk menyusun menu keluarga. AKEK merupakan penjumlahan Angka Kecukupan Energi Individu dari setiap anggota keluarga yang mengonsumsi makanan dalam suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam menaksir AKEK dapat dilakukan dengan cara Unit Konsumen dengan menggunakan konsumen tertentu sebagai patokan kecukupan energi, biasanya digunakan pria dewasa dengan nilai 1,000 yang setara dengan 2700 kal/org/hr. AKE kelompok umur yang lain dibandingkan terhadap AKE patokan ini, sehingga diperoleh nilai-nilai perbandingan kecukupan energi, yang disebut Faktor Unit Konsumen Energi (UE). Dengan menggunakan faktor UE dapat dihitung AKEK dan AKERK dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = ( ) (2700) = ( ) (2700) Keterangan: AKEK = Angka Kecukupan Energi keluarga AKERK = Angka Kecukupan Rata-Rata Keluarga UEi = Faktor Unit Konsumen Energi dari anggota keluarga ke-i n = jumlah individu yang mengonsumsi makanan dalam suatu keluarga i = individu (anggota keluarga) ke-i yang makan dalam suatu keluarga 2700 = nilai UE sama dengan 1,000

13 22 Tabel di bawah ini merupakan faktor UE yang dihitung berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi 1988, dengan patokan kecukupan energi pria dewasa (20 59 tahun), berat badan 56 kg, dan aktivitas sedang. Faktor UE = 1,000 yang setara dengan 2700 kal/org.hr. Tabel 2.3 Faktor Unit Konsumen Energi (UE) Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur. Kelompok Umur (tahun) Kecukupan Energi (Kal/org/hr) 0, , , , ,689 Faktor Unit Konsumen Energi* (1,000 = 2700) Pria , , , /2700/3250** 0,889/1,000/1,204** >= ,726 Wanita , , , /2100/2400** 0,704/0,778/0,889** >= ,630 Tambahan: Hamil 200/245/285** 0,074/0,091/0,106** Menyusui 500 0,185 Sumber: Hardinsyah & Martianto, 1992 Keterangan: * = Dihitung berdasarkan Kecukupan Energi hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1988 ** = Disajikan secara berurutan dari kiri ke kanan menurut tingkat kegiatan ringan, sedang, dan berat Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga Untuk menghitung Angka Kecukupan Protein Keluarga (AKPK) dan Angka Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga (AKPRK) juga menggunakan faktor unit konsumen dengan patokan angka kecukupan protein pria atau wanita dewasa. Berikut rumus untuk menghitung AKPK dan AKPRK:

14 23 = ( ) (50) = ( ) (50) Keterangan: AKPK = Angka Kecukupan Protein Keluarga AKPRK = Angka Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga UPi = Faktor Unit Konsumen Protein bagi anggota keluarga ke-i n = Jumlah anggota keluarga 50 = Nilai UP sama dengan 1,00 Tabel 2.4 di bawah ini merupakan faktor unit konsumen protein (UP) yang dihitung berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1988 dengan patokan kecukupan protein pria dewasa, berat badan 56 kg. Tabel 2.4 Faktor Unit Konsumen Protein (UP) Menurut Kelompok Umur Kelompok Umur (tahun) Kecukupan Protein (gr/org/hr) 0, , , , ,72 Faktor Unit Konsumen Protein* (1,00 = 50) Pria , , , ,00 >= ,00 Wanita , , , ,88 >= ,88 Tambahan: Hamil 0,24 Menyusui 0,32 Sumber: Hardinsyah & Martianto, Keterangan: * = Faktor Unit Konsumsi (UP) ini dihitung berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1988

15 Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan Skor mutu PPH dapat ditentukan dengan beberapa cara yaitu sebagai berikut: pertama, mengelompokkan bahan makanan/makanan yang dikonsumsi menjadi 9 kelompok pangan; kedua, menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan dengan bantuan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM); ketiga, menghitung presentase kontribusi energi menurut AKG tiap kelompok pangan terhadap total energi; keempat, prentase masing-masing kelompok dikalikan dengan rating (bobot) menurut FAO (BKP, 2013). 2.4 Keluarga Perokok Menurut Hasibuan (1994), keluarga adalah ayah, ibu, dan anak-anak serta famili yang menjadi penghuni rumah. Sedangkan menurut BPS (2000) dalam Arbaiyah (2013), keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup dalam satu rumah tangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak. Fungsi keluarga sebagai tempat belajar berbagai dasar kehidupan bermasyarakat sangat tepat dijadikan sebagai filter utama untuk membentuk pola hidup sehat guna menjaga ketahanan keluarga. Keluarga yang dibangun dengan dasar yang kuat dan memiliki individu yang sehat akan menjadi keluarga yang berpengaruh kuat dalam pembangunan semua bidang. Karena dengan kondisi keluarga yang sehat, sebuah keluarga akan mencapai tahapan kesejahteraan (Sudaryati, 2013).

16 25 Keluarga yang sehat pada masa sekarang ini sulit untuk dicapai khususnya keluarga kelompok rawan seperti memiliki balita dalam keluarga tersebut. Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada masa balita mengakibatkan berbagai kemungkinan penyakit akibat kurang gizi. Kekurangan protein dalam waktu yang lama mengakibatkan pertumbuhan anak terhambat. Anak yang mengalami keadaan seperti ini berat badan dan tinggi badan menurut umurnya rendah (Hardinsyah & Martianto, 1992). Keluarga perokok adalah sebuah keluarga dimana satu atau lebih anggotanya merokok baik perempuan maupun laki-laki. Merokok saat ini sudah menjadi kebiasaan sebagian besar orang dewasa, kebanyakan dari mereka yaitu laki-laki. Sebagai kepala keluarga sering sekali mereka tidak menyadari bahwa rokok yang mereka hisap tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri namun juga berdampak buruk bagi anggota keluarganya yang lain, khususnya anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, dan anak usia sekolah. Secara langsung nikotin dengan ribuan bahaya beracun yang berasal dari asap rokok akan masuk ke dalam saluran pernapasan bayi dan dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Selain itu, racun dari nikotin yang berasal dari asap rokok juga dapat masuk ke dalam tubuh yang masih menyusu dari ibu yang telah terpapar oleh asap rokok tersebut. Sehingga racun tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh bayi dan tentu saja membahayakan kesehatan si kecil (Hidayat, 2005 dalam Trisnawati & Juwarni, 2012). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktaviasari (2010), menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan terhadap kebiasaan ayah

17 26 (kepala keluarga) dengan status gizi balita. Sehingga menurutnya, perlu adanya kesadaran orangtua terutama ayah untuk dapat membatasi pengeluaran rokok dan kebiasaan merokok agar anak bisa mendapat asupan gizi sesuai dengan kebutuhannya. Kebiasaan merokok yang lama dan merupakan suatu kebudayaan bagi Suku Karo akan sulit untuk diubah. Namun jika tidak segera diubah maka akan berdampak bagi kualitas SDM di masa depan yang akan terlihat dalam jangka waktu yang cukup lama. Karena itu sebuah keluarga yang mempunyai anggota perokok perlu diperhatikan bagaimana pola konsumsi keluarga tersebut. Karena jika kebiasaan merokok ditambah dengan pola konsumsi yang tidak baik dan tidak sesuai dengan yang dianjurkan akan memperburuk status gizi keluarga nantinya. Menurut Hardinsyah (1996) dalam Baliwati (2004), konsumsi pangan yang beragam dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan yang berasal dari pangan. Jadi ketika keluarga perokok mempunyai pola makan yang sehat dan beragam akan dapat mengurangi dampak kesehatan yang diakibatkan oleh rokok. Namun meskipun demikian mengurangi atau bahkan berhenti untuk merokok akan jauh lebih baik Karateristik Keluarga Perokok Setiap keluarga mempunyai perbedaan dalam hal konsumsi pangan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan karateristik setiap rumah tangga, seperti pengeluaran pangan dan non pangan, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan penelitian Akmal (2005) mengenai analisis pola konsumsi keluarga di Kecamatan Tallo menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor kondisi sosial ekonomi keluarga

18 27 (pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan, dan ukuran keluarga) dengan pola konsumsi keluarga. Pendapatan merupakan salah satu faktor penting yang diduga sebagai determinan dalam keragaman konsumsi pangan. Pendapatan dikaitkan dengan daya beli pangan yang biasanya didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi rumah tangga untuk memeroleh bahan pangan berdasarkan besarnya alokasi pendapatan untuk pangan, harga pangan yang dikonsumsi, dan jumlah anggota rumah tangga (Hardinsyah, 2007 dalam Arbaiyah, 2013). Apabila tingkat pendapatan meningkat maka jumlah dan jenis makanan cenderung membaik pula. Peningkatan pendapatan tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi di luar rumah. Jika pendapatan meningkat maka presentasi pengeluaran untuk pangan semakin kecil (Suhardjo, 1986). Menurut Marsetyo (1995), pendapatan yang dihasilkan oleh kepala keluarga atau anggota keluarga yang bekerja harus dibagi-bagi untuk berbagai macam keperluan. Akibatnya, nominal untuk pangan semakin kecil. Apalagi untuk rumah tangga yang memiliki anggota keluarga yang merokok, akan menurunkan pengeluaran terhadap pangan akibat pengeluaran rokok yang tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan pada keluarga perokok. Selain pendapatan, pendidikan seorang ibu rumah tangga juga ikut memengaruhi pola konsumsi pangan dalam rumah tangga. Menurut Hardinsyah (2007) dalam Arbaiyah (2013), semakin tinggi pendidikan seseorang maka akses

19 28 terhadap informasi mengenai gizi juga semakin tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan pendidikan tinggi cenderung untuk tertarik terhadap informasi gizi lebih tinggi. Sehingga dapat dipastikan bahwa pengetahuan ibu yang semakin bertambah mengenai gizi akan memengaruhinya untuk mengubah pola pangan keluarganya ke arah yang lebih baik. Marsetyo (1995) mengatakan bahwa meskipun sebuah keluarga berpenghasilan rendah namun apabila mereka berpendidikan dan memiliki pengetahuan mengenai gizi maka mereka akan dapat menyusun suatu hidangan makanan yang mempunyai kandungan dan nilai gizi tinggi. Demikian pula sebaliknya, walaupun sebuah rumah tangga berpenghasilan tinggi tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai gizi maka makanan yang mereka konsumsi meski kelihatan lezat namun dapat merusak tubuh mereka. Demikian pula halnya dengan keluarga perokok. Meskipun kebiasaan merokok memang sulit untuk dihilangkan namun jika ibu rumah tangga yang berperan banyak terhadap konsumsi pangan keluarga memiliki pengetahuan mengenai gizi yang tinggi akan dapat menyusun menu keluarganya dengan baik dengan meningkatkan pangan sumber antioksidan untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya. Jumlah anggota keluarga juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan dalam keluarga. Menurut BPS (2001) dalam Arbaiyah (2013), besarnya keluarga atau rumah tangga menyatakan seluruh anggota yang menjadi tanggungan dalam keluarga tersebut yang dapat memberi indikasi beban rumah tangga. Semakin tinggi besaran keluarga berarti semakin

20 29 banyak anggota keluarga yang selanjutnya akan meningkatkan berat beban rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhannya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara laju kelahiran tinggi dengan gizi kurang. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak akan berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa zat gizi yang diperlukan oleh anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan pada umumnya memerlukan pangan bergizi yang lebih banyak daripada anggota keluarga lainnya (Suhardjo, 1986). Berbagai kajian telah membuktikan semakin besar sebuah keluarga maka angka kejadian gizi kurang semakin tinggi. Pada umumnya kasus ini terjadi pada keluarga miskin. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pembagian makanan semakin sedikit sehingga tidak akan mungkin untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. 2.5 Kerangka Konsep Pola konsumsi pangan keluarga perokok dipengaruhi oleh karateristik keluarga tersebut seperti pendapatan (pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan, dan pengeluaran rokok), pendidikan ibu, dan jumlah anggota rumah tangga. Pola konsumsi pangan terdiri dari jenis pangan, jumlah pangan dalam bentuk kecukupan energi dan kecukupan protein rata-rata keluarga, dan frekuensi makan keluarga. Sedangkan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi keluarga akan memengaruhi tinggi/rendahnya skor PPH pada keluarga perokok.

21 30 Karateristik Keluarga Perokok 1. Pendapatan a. Pengeluaran pangan b. Pengeluaran non pangan c. Pengeluaran rokok 2. Pendidikan ibu 3. Jumlah anggota keluarga Jenis Pangan Pola Konsumsi Pangan Keluarga Perokok Jumlah Pangan 1. Tingkat kecukupan energi rata-rata keluarga 2. Tingkat kecukupan protein rata-rata keluarga Skor PPH Frekuensi Makan Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut di Indonesia mengandung sumberdaya kelautan dan perikanan yang siap diolah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga sejumlah besar rakyat Indonesia

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Menurut Balitbang (2008), Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Pola Konsumsi Non Beras Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungsinya sebagai sumber

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar, dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sarapan Pagi Sarapan pagi adalah makanan atau minuman yang memberikan energi dan zat gizi lain yang dikonsumsi pada waktu pagi hari. Makan pagi ini penting karena makanan yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. No.397, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 43/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2.1 Pola Konsumsi Pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2010). Pola

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Ketahanan pangan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN MELALUI KONSEP RUMAH PANGAN LESTARI BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN Pengantar Survei Konsumsi Pangan Tujuan Survei Konsumsi Pangan Metode berdasarkan Jenis Data yang diperoleh Metode berdasarkan Sasaran Pengamatan Neraca Bahan Makanan Pola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI KABUPATEN PURWOREJO Menimbang a. bahwa

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN DENGAN PENDEKATAN POLA PANGAN HARAPAN PADA KELUARGA PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI

GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN DENGAN PENDEKATAN POLA PANGAN HARAPAN PADA KELUARGA PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN DENGAN PENDEKATAN POLA PANGAN HARAPAN PADA KELUARGA PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI (DESCRIPTION OF FOOD CONSUMPTION PATTERNS WITH DESIRABLE DIETARY PATTERN APPROACH IN SMOKER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI BARITO UTARA Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Jumlah sampel dalam kecamatan (KK) Nama Desa. KK tidak

METODE PENELITIAN. Jumlah sampel dalam kecamatan (KK) Nama Desa. KK tidak 18 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah Descriptive Study. Penelitian ini bersifat prospektif untuk memproyeksikan kondisi yang akan datang. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun DIVERSIFIKASI KONSUMSI MASYARAKAT BERDASARKAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN PADA LOKASI MKRPL DI KEC. KRAMATWATU KAB. SERANG Yati Astuti 1) dan Fitri Normasari 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sosial Ekonomi Keluarga

TINJAUAN PUSTAKA. Sosial Ekonomi Keluarga TINJAUAN PUSTAKA Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengkonsumsi berbagai jenis pangan sehingga keanekaragaman pola

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengkonsumsi berbagai jenis pangan sehingga keanekaragaman pola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia adalah peningkatan jumlah penduduk yang pesat dan tidak seimbang dengan penyediaan pangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan 4 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Menurut UU No 7 tahun 1997, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah ataupun produk turunannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu digilib.uns.ac.id 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh Yuliasih (2007) yang berjudul Analisis Ketersediaan Pangan Pokok dan Konsumsi Pangan Keluarga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Studi Diploma III (Tiga)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya 5 TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya Dikemukakan oleh Maslow, pangan merupakan salah satu kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup (Sumarwan

Lebih terperinci

GIZI DAUR HIDUP. Rizqie Auliana, M.Kes

GIZI DAUR HIDUP. Rizqie Auliana, M.Kes GIZI DAUR HIDUP Rizqie Auliana, M.Kes rizqie_auliana@uny.ac.id Pengantar United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan masyarakat Indonesia, yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan wilayah dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara 2 0 25-9 0 Lintang Selatan dan 130 0-141 0 Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup 7 II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka 1. Pola makan anak balita Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup khususnya manusia. Pangan merupakan bahan yang

Lebih terperinci

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO AGRISE Volume XV No. 1 Bulan Januari 2015 ISSN: 1412-1425 ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO (ANALYSIS OF FOOD BALANCE SHEET (FBS) AND DESIRABLE DIETARY

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru

Lebih terperinci

PERENCANAAN KEBUTUHAN PANGAN PADA REPELITA VI DI TIGA PROPINSI DI INDONESIA (Penerapan Pedoman Pola Pangan Harapan)

PERENCANAAN KEBUTUHAN PANGAN PADA REPELITA VI DI TIGA PROPINSI DI INDONESIA (Penerapan Pedoman Pola Pangan Harapan) FAE. Vol. 13, No. 1, 1995: 22 29 PERENCANAAN KEBUTUHAN PANGAN PADA REPELITA VI DI TIGA PROPINSI DI INDONESIA (Penerapan Pedoman Pola Pangan Harapan) Oleh.. 2 Mewa Arran' 1, Hidayat Syarief dan Clara M.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang dapat dicerminkan dari tersedianya pangan yang

Lebih terperinci

Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang

Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang Indonesian Journal of Disability Studies ISSN : - Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang * Agustina Shinta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), Universitas Brawijaya, Malang,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. tahun 2004, konsumsi protein sudah lebih besar dari yang dianjurkan yaitu

PENDAHULUAN. tahun 2004, konsumsi protein sudah lebih besar dari yang dianjurkan yaitu 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia masih berada pada pola konsumsi tunggal, yaitu beras. Tingginya ketergantungan pada beras tidak saja menyebabkan ketergantungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. 1. Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. 1. Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L) II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka 1. Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L) Pangan menjadi kebutuhan pokok bagi manusia dimanapun. Kebutuhan akan pangan harus tercukupi

Lebih terperinci

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Tri Bastuti Purwantini PENDAHULUAN Banyak kemajuan telah dicapai dalam pembangunan pangan

Lebih terperinci

POLA KONSUMSI PANGAN

POLA KONSUMSI PANGAN POLA KONSUMSI PANGAN = Pola Pangan = Food Pattern = Kebiasaan Makan = Food Habit Cara seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan yg dikonsumsinya yg dipengaruhi oleh fisiologis, psikologis,

Lebih terperinci

12 PESAN DASAR NUTRISI SEIMBANG

12 PESAN DASAR NUTRISI SEIMBANG 12 PESAN DASAR NUTRISI SEIMBANG Makanlah Aneka Ragam Makanan Kecuali bayi diperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantintasnya Triguna makanan; - zat tenaga; beras, jagung, gandum, ubi kayu, ubi jalar,

Lebih terperinci

SUSTAINABLE DIET FOR FUTURE

SUSTAINABLE DIET FOR FUTURE BIODATA 1. Nama : Iwan Halwani, SKM, M.Si 2. Pendidikan : Akademi Gizi Jakarta, FKM-UI, Fakultas Pasca sarjana UI 3. Pekerjaan : ASN Pada Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI SUSTAINABLE

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas

Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas TIKEL Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Oleh: Achmad Suryana RINGKASAN Berbagai kajiandi bidang gizidan kesehatan menunjukkan bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ketersediaan Pangan Ketersediaan (food availabillity) yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang baik yang berasal dari produksi sendiri,

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN DIAN KARTIKASARI

ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN DIAN KARTIKASARI ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN 2011-2015 DIAN KARTIKASARI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi Tanggal 16 Oktober 2014 PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi PENDAHULUAN Usia 6 bulan hingga 24 bulan merupakan masa yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian, yang

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Pangan Pangan dan gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang

Lebih terperinci

JIIA, VOLUME 5 No. 2, MEI 2017

JIIA, VOLUME 5 No. 2, MEI 2017 POLA KONSUMSI PANGAN PADA RUMAH TANGGA PETANI DI DESA RUGUK KECAMATAN KETAPANG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN (Food Consumption Patterns of Farmers Household at Ruguk Village Ketapang Sub District South Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin 4 TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Beastudi Etos merupakan sebuah beasiswa yang dikelola oleh Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa. Beasiswa ini berdiri sejak tahun 2005 hingga sekarang dengan jumlah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN PANGAN DI KECAMATAN RUMBAI PESISIR KOTA PEKANBARU. Niken Nurwati, Enny Mutryarny, Mufti 1)

ANALISIS KEBUTUHAN PANGAN DI KECAMATAN RUMBAI PESISIR KOTA PEKANBARU. Niken Nurwati, Enny Mutryarny, Mufti 1) Analisis Kebutuhan Pangan Di Kecamatan Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru ANALISIS KEBUTUHAN PANGAN DI KECAMATAN RUMBAI PESISIR KOTA PEKANBARU 1) Niken Nurwati, Enny Mutryarny, Mufti 1) Saff Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsumsi Energi dan Protein 1. Energi Tubuh memerlukan energi sebagai sumber tenaga untuk segala aktivitas. Energi diperoleh dari makanan sehari-hari yang terdiri dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak sekolah merupakan generasi penerus dan modal pembangunan. Oleh karena itu, tingkat kesehatannya perlu dibina dan ditingkatkan. Salah satu upaya kesehatan tersebut

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PENELITIAN Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Studi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) 5 TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Posyandu merupakan salah satu bentuk kegiatan dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dimana masyarakat antara lain melalui kader-kader yang terlatih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

DAMPAK PROGRAM KRPL (KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI) TERHADAP POLA PANGAN HARAPAN (PPH) ABSTRAK

DAMPAK PROGRAM KRPL (KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI) TERHADAP POLA PANGAN HARAPAN (PPH) ABSTRAK DAMPAK PROGRAM KRPL (KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI) TERHADAP POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Muh. Aniar Hari Swasono 1 )Nur Cholilah 2 ) Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan Email : hariswasono@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI

BAB I PENDAHULUAN. Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI Nomor 22 tahun 2009 merupakan strategi untuk

Lebih terperinci

BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN

BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi

Lebih terperinci

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH Oleh: Achmad Djauhari dan Supena Friyatno*) Abstrak Kelompok rumah tangga adalah sasaran utama dalam program peningkatan dan perbaikan tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar paling utama bagi manusia adalah kebutuhan pangan. Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan. Dalam sejarah, kehidupan manusia dari tahun ke tahun mengalami

BAB I PENDAHULUAN. makanan. Dalam sejarah, kehidupan manusia dari tahun ke tahun mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia berusaha memenuhi kebutuhan primernya, salah satu kebutuhan primer tersebut adalah makanan. Dalam sejarah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah sesuatu yang hakiki dan menjadi hak setiap warga negara untuk memperolehnya. Ketersediaan pangan sebaiknya

Lebih terperinci