V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 83 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) di tahun Dalam pemeringkatan tersebut, KPPOD menetapkan sembilan indikator yang digunakan untuk menggambarkan tata kelola ekonomi daerah di 35 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. Sembilan indikator tersebut yaitu Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha, Perizinan Usaha, Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha, Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah, Biaya Transakasi, Infrastruktur Daerah, Keamanan dan Penyelesaian Konflik, dan Peraturan Daerah. Skor tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Jawa Tengah ditunjukkan oleh Tabel 8. Berdasarkan laporan tersebut, pemerintah daerah kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang memiliki pelayanan akses lahan usaha yang terbaik adalah Kabupaten Wonosobo dengan skor 80,2, disusul pada peringkat kedua dan ketiga yaitu Kabupaten Banjarnegara dengan skor 79,1 dan Kabupaten Rembang dengan skor 76,1. Sedangkan yang terburuk ditempati Kota Surakarta dengan skor Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah di Kabupaten Wonosobo jauh lebih cepat dibanding Kota Surakarta. Lama pengurusan rata-rata status tanah di Kabupaten Wonosobo adalah 15 minggu, sedangkan di Kota Surakarta mencapai 27 hari. Di samping itu, frekuensi konflik lebih sering terjadi di Kota Surakarta daripada di Kabupaten Wonosobo. Sebesar 49 persen para pelaku usaha di Kota Surakarta menilai sering terjadi persoalan/konflik mengenai kepemilikan

2 84 lahan di daerahnya. Sementara di Kabupaten Wonosobo, pelaku usaha yang menilai sering terjadi konflik kepemilikan lahan di daerahnya hanya 6,5 persen. Untuk indikator pelayanan terbaik perizinan usaha peringkat satu, dua dan tiga ditempati oleh Kabupaten Rembang (skor 73,6), Kabupaten Purbalingga (skor 70,2), dan Kabupaten Demak (skor 66,3). Sedangkan peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Pemalang dengan skor 37,6. Tiga kabupaten terbaik tersebut telah menjalankan sistem pelayanan perizinan usaha yang sudah cukup baik bagi para pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari lebih dari 98 persen para pelaku usaha di ketiga kabupaten tersebut menilai bahwa perizinan usaha merupakan hambatan kecil bagi kinerja perusahaan. Perusahaan di Kabupaten Pemalang yang merupakan kabupaten skor terkecil dibanding dengan kabupaten/kota lain di Jawa Tengah yang memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP) sangat kecil yaitu 33,3 persen dari total perusahaan yang disurvei di kabupaten tersebut. Hal ini terjadi karena waktu yang dibutuhkan untuk perolehan TDP relatif lebih lama dibanding kabupaten/kota lain, yakni 20 hari kerja. Tiga besar kabupaten dan kota terbaik dalam indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha, yaitu Kabupaten Demak (skor 65,9), Kabupaten Purbalingga (skor 65,3) dan Kabupaten Magelang (61,1 persen). Sedangkan yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Banyumas dengan skor 26,3. Seluruh perusahaan yang menjadi responsen sepakat menilai bahwa hal-hal yang berkaitan dengan interaksi Pemda dengan pelaku usaha menjadi hambatan kecil bagi kinerja perusahaan. Mereka menilai bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Demak berpengaruh besar terhadap kinerja perusahaan. Kabupaten Demak telah memiliki forum komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha walaupun masih belum

3 85 sempurna, namun sudah cukup memberikan solusi kepada pelaku usaha dalam menghadapi permasalahan dunia usaha. Pemerintah daerah yang memiliki program pengembangan usaha swasta terbaik adalah Kabupaten Klaten (skor 64,5), Kabupaten Tegal (skor 61,9), Kabupaten Semarang (57,4). Untuk Indikator program pengembangan usaha swasta, Kabupaten Cilacap menempati peringkat terakhir dengan skor 27,3. Pada dasarnya, seluruh pelaku usaha mengetahui bahwa terdapat program yang disediakan oleh pemda dalam rangka mengembangkan bisnis. Namun, pelaku usaha di Kabupaten Cilacap menilai bahwa program-program tersebut hanya memberikan manfaat yang relatif kecil bagi perusahaan. Hal ini dilihat dari 98 persen pelaku usaha di Kabupaten Cilacap mengatakan program pengembangan usaha yang dilaksanakan pemda memiliki manfaat kecil bahkan sangat kecil bagi kinerja perusahaan mereka. Hal ini terjadi karena pemda belum dapat menyelenggarakan program pengembangan bisnis yang tepat dan sesuai bagi pengembangan usaha-usaha di kabupaten tersebut. Untuk indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah peringkat tiga terbaik ditempati oleh Kabupaten Purbalingga (skor 78,9), Kabupaten Rembang (skor 69,4), Kabupaten Demak (skor 67,4). Sedangkan untuk peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Banyumas dengan skor 27,1. Rendahnya skor di Kabupaten Banyumas tersebut karena Kepala Daerah (Bupati) dinilai tidak memahami masalah dunia usaha yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha lokal di daerah tersebut. Lebih dari 70 persen para pelaku usaha menilai tidak setuju jika Bupati mereka dinyatakan memahami permasalahan dunia usaha, bertindak profesional dan tegas dalam kasus korupsi korupsi birokratnya.

4 86 Kabupaten/kota yang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha adalah Kabupaten Pati (skor 85,1), Kabupaten Kudus (skor 84,9) dan Kabupaten Rembang (skor 83,6). Sedangkan Kabupaten Semarang merupakan kabupaten dengan biaya transaksi termahal di Jawa Tengah dengan hanya memiliki skor sebesar 52,3. Total biaya yang dibayarkan yang oleh perusahaan, termasuk pajak dan retribusi, di Kabupaten Pati pada tahun 2007 relatif lebih rendah dibanding kabupaten/kota lain yakni sebesar Rp tiap perusahaan. Sedangkan Kabupaten Semarang tertinggi kedua di Jawa Tengah yakni rata-rata sebesar Rp per perusahaan. Hal inilah yang merupakan salah satu penghambat utama bagi kinerja perusahaan di kabupaten tersebut. Menurut laporan TKED, banyak pengusaha yang terpaksa memberikan biayatambahan untuk keamanan, baik kepada organisasi massa (ormas) maupun kepada preman. Pembayaran biaya informal oleh pelaku usaha kepada kepolisian di Kabupaten Pati lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada Ormas dan preman untuk mendapat jaminan perlindungan usaha. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Semarang, pelaku usaha lebih banyak menyerahkan uang keamanan kepada aparat pemda dan preman daripada kepada kepolisian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Pati memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha daripada Kabupaten Semarang. Untuk kabupaten/kota yang telah memiliki indikator infrastruktur daerah terbaik adalah Kabupaten Magelang (skor 83,7), Kabupaten Kudus (skor 82,8), dan Kabupaten Banyumas (skor 82,2). Sedangkan Kabupaten Pemalang merupakan kabupaten terburuk di Jawa Tengah dalam indikator ini dengan skor

5 87 63,8. Di Kabupaten Magelang, lama perbaikan infrastruktur baik jalan maupun lampu penerangan relatif lebih singkat daripada kabupaten lainnya. Lama perbaikan jalan di Kabupaten Magelang rata-rata hanya 40 hari sedangkan di Kabupaten Pemalang lebih dari dua bulan. Untuk perbaikan lampu penerangan jalan, di Kabupaten Magelang hanya dua hari sedangkan di Kabupaten Pemalang mencapai satu minggu. Kualitas jalan raya di Kabupaten Magelang pun dinilai sangat baik oleh para pelaku usaha. Penempatan Kabupaten Pemalang sebagai kabupaten terburuk di bidang infrastruktur selain dilihat dari lama perbaikan, juga dapat dilihat dari kualitas infrastruktur, misalnya kualitas jalan. Kualitas jalan di Kabupaten Pemalang relatif lebih buruk dibanding yang lain. Hal ini ditunjukan oleh hanya 53 persen dari total responden menilai kualitas infrastruktur baik. Selebihnya, sebesar 47 persen menilai buruk. Bahkan, jalan Pantai Utara (Pantura) yang menjadi jalan utama di Kabupaten Pemalang pun relatif sempit dan memiliki kualitas buruk (banyak jalan yang rusak). Hal ini jelas menghambat aktivitas transportasi bagi perusahaan-perusahaan di sekitarnya. Untuk indikator jaminan keamanan dan penyelesaian sengketa terbaik adalah Kabupaten Banjarnegara (skor 77), peringkat kedua Kabupaten Banyumas (skor 71,9), dan peringkat ketiga Kabupaten Demak (skor 69,8). Kabupaten yang terburuk dalam indikator ini adalah Kota Tegal dengan nilai 39,8. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk dapat disebabkan oleh banyaknya kasus pencurian yang terjadi, kualitas penanganan masalah kriminal dan demostrasi buruh oleh polisi. Pelaku usaha mengatakan bahwa selama tahun 2007 rata-rata hanya satu kali kejadian pencurian di Kabupaten Banjarnegara.

6 88 Sementara di Kota Tegal, pelaku usaha rata-rata mengatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut terdapat tiga kali kejadian pencurian. Lebih dari 90 persen pelaku usaha di Kabupaten Banjarnegara, menilai polisi telah mengambil tindakan tepat waktu dalam menangani kasus kriminal yang berhubungan dengan kegiatan usaha. Sedangkan pelaku usaha di Kota Tegal yang menilai hal tersebut hanya 72 persen. Tidak hanya itu, kualitas polisi dalam menangani kasus demonstrasi buruh pun jauh lebih baik di Kabupaten Magelang daripada di Kota Tegal. Sehingga pelaku usaha lokal Kabupaten Magelang merasa aman dan nyaman berusaha karena kualitas jaminan keamanan usaha yang sangat baik. Indikator kualitas peraturan daerah yang terbaik ditempati oleh Kabupaten Boyolali (skor 100), Kabupaten Pemalang (skor 98,3), dan Kabupaten Pekalongan (skor 94,4). Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Wonosobo merupakan kabupaten terburuk dalam indikator ini dengan nilai 61,1 persen. Secara keseluruhan kualitas peraturan daerah di Jawa Tengah dinilai oleh KPPOD sudah sangat baik. Kabupaten Boyolali merupakan salah satu dari 10 kabupaten/kota yang diberi skor 100 pada indikator kualitas perda di tahun KPPOD menilai bahwa kualitas peraturan daerah di Kabupaten Boyolali terkait dengan lalu lintas barang dan jasa, serta ketenagakerjaan memenuhi tiga kategori yaitu kategori prinsip, kategori substansi, dan kategori acuan yuridis. Setelah mendapatkan nilai-nilai dari sembilan indikator tersebut, tahap selanjutnya adalah mendapatkan nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) secara keseluruhan untuk menilai kabupaten dan kota yang memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan Tabel 8. peringkat lima kabupaten dan kota terbaik di Jawa Tengah pada tahun 2007

7 89 ditempati oleh Kabupaten Purbalingga dengan nilai indeks TKED sebesar 71,1, Kota Magelang (skor 70,5), Kabupaten Kudus (skor 69), Kota Salatiga (skor 68,6), dan Kabupaten Wonosobo (skor 68,2). Sedangkan lima peringkat terbawah ditempati oleh Kabupaten Karanganyar dengan nilai indeks TKED 59, Kota Surakarta (skor 58,7), Kabupaten Pemalang (skor 57,5), Kota Semarang (skor 57,2), dan kabupaten/kota yang terburuk tata kelola ekonomi daerah di Jawa Tengah pada tahun 2007 adalah Kabupaten Kebumen yang hanya mendapat nilai TKED sebesar 55,2. Menariknya, Kota Surakarta dimana memiliki Walikota yang merupakan salah satu pemimpin daerah terbaik di dunia namun memiliki indeks tata kelola ekonomi daerah terendah keempat di Jawa Tengah. Jika dianalisis, indikator akses lahan di Kota Surakarta memiliki nilai sub-indeks terendah di Jawa Tengah. Hal ini dapat diindikasikan bahwa tingkat terjadinya penggusuran dan konflik lahan lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Pemda Surakarta memang lebih memihak kepada para PKL daripada para UKM. Pemda Surakarta memiliki kepedulian yang tinggi terdahap nasib para PKL. Keberpihakan pemda ditunjukkan dari pembangunan tempat berusaha yang layak untuk para PKL daripada untuk UKM dan UB. Oleh karena itu, kota ini dinilai oleh UKM dan UB sebagai responden survei sebagai kota dengan frekuensi penggusuran dan konflik lahan tertinggi di Jawa Tengah.

8 90 Tabel 8 Indeks TKED tahun 2007 kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah No Kabupaten/kota Akses Lahan Usaha dan Kepastian Usaha Izin Usaha Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha Program Pengembangan Usaha Swasta Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota Biaya Transaksi Kebijakan Infrastruktur Daerah Keamanan dan Penyelesaian Sengketa Kualitas Peraturan Derah Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah 1 Cilacap 72,4 55,8 50,6 27,3 56,8 66,8 74,2 64,5 61,1 61, Banyumas 58,3 58,2 26,3 36,8 27, ,2 71,9 90,2 62, Purbalingga 75,9 70,2 65,3 48,7 78,9 75,8 78, ,3 71, Banjarnegara 79, ,3 35,3 64, , ,2 67, Kebumen 69,7 53,4 48,2 19,7 51,6 59,1 64,9 55,1 89,1 55, Purwerejo 68,2 58,9 50,3 35,6 44,6 66,5 73,9 51,1 93,2 61, Wonosobo 80,2 61,9 58,1 36,6 65,3 77,4 77,7 79,4 61,1 68, Magelang 70,2 56,3 61,1 41,8 59,1 75, ,6 80,7 66, Boyolali 74 60,4 55,4 39,8 59,6 81,9 78, , Klaten 71,3 60,8 55,7 64, ,4 68, , Sukoharjo 70 62,3 62,2 36,9 58,2 72,7 72,3 53,8 93,2 64, Wonogiri 65,9 57,2 51,6 36,9 57,5 66,5 68,9 50, , Karanganyar 59,8 59,3 59,8 44,6 60,3 55,7 65,7 46,7 86, Sragen 67, ,3 34,4 63,2 73,4 76,2 46,9 75,3 63, Grobogan 70,2 62,5 49,4 43,2 65,4 77,2 72,2 65,9 69,1 64, Blora 75, ,4 35,9 65,1 66,5 74, , Rembang 76,1 73,6 52,7 34,5 69,4 83,6 74,6 70, , Pati 71,8 64, ,6 57,5 85,1 81,8 64,8 87, Kudus 68,5 62,9 57,2 39,4 57,4 84,9 82,8 60,6 89, Jepara 75,7 63,7 54,7 45,1 53,4 72,8 76,6 62,4 93,2 67, Demak 64,8 66,3 65,9 52,9 67,4 76,4 71,1 69,8 66,3 66, Semarang 65,5 59,5 48,3 57,4 34,3 52,3 69,4 48, , Temanggung 72 54,4 62,9 37,2 57,8 76,3 76,7 63,1 85, Kendal 69,7 61,8 51,8 53,5 52,9 73,3 77,5 66,5 65,4 67, Batang 62,2 64,4 58,4 40,3 52,3 71,3 77,2 64,7 79,7 65, Pekalongan 71 53,1 50,7 31,1 49,4 74,6 77,2 42,3 94,4 62, Pemalang 71,1 37,6 42,8 41,5 51,8 70,8 63,8 53,5 98,3 57, Tegal 70,7 60,3 56,9 39,5 52,6 69,8 73,7 49,3 94,1 63, Brebes 74,5 61, ,3 52,8 78,1 75,9 53,8 76, Kota Magelang 66, ,7 51,9 55,4 79,1 83,7 55,7 73,9 70, Kota Surakarta 46,6 55,7 49,8 47,3 59,7 54,8 73,1 45,5 90,7 58, Kota Salatiga 73, , , ,9 61,9 90,3 68, Kota Semarang 52, ,5 44,8 59, ,5 97,7 57, Kota Pekalongan 60,1 64,8 54,6 41,2 58, ,6 43,4 93,6 64, Kota Tegal 67,1 60,4 54,6 61,9 57,4 66,1 68,1 39,8 79,9 63,6 99 Sumber: KPPOD 2007 Peringkat

9 Keterkaitan Variabel-Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Dalam melakukan survei, instrumen yang digunakan adalah menggunakan kuisioner dan wawancara langsung dengan pelaku usaha. Lebih dari 90 pertanyaan yang ditanyakan kepada pelaku usaha termasuk informasi umum dan kesimpulan yang digunakan untuk pembobotan indeks akhir. Hanya sekitar 45 pertanyaan yang sesuai dengan variabel dari indikator tata kelola ekonomi daerah yang dianalisis dalam penelitian ini. Untuk mengetahui hubungan antara variabel tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB per kapita kabupaten dan kota di Jawa Tengah dilakukan uji korelasi Pearson untuk data interval, uji korelasi spearman untuk data ordinal dilengkapi dengan scatter plot serta boxplot-nya Hubungan Variabel Akses Lahan dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Variabel-varibel Akses Lahan yang ditanyakan memiliki skala yang berbeda, yaitu skala ordinal dan skala interval. Pada variabel waktu yang dibutuhkan untuk kepengurusan status tanah (Q30) memiliki skala interval, yaitu lama waktu kepengurusan dalam minggu. Oleh karena itu, variabel ini dianalisis menggunakan uji korelasi spearman. Berdasarkan uji korelasi Pearson maupun scatter plot (Gambar 12), dapat dilihat bahwa variabel waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah berhubungan negatif secara signifikan pada tingkat 10 persen terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Dalam hal ini, dapat diduga bahwa semakin lama kepengurusan lahan, akan menyebabkan PDRB per kapita semakin rendah. Jika semakin lama pengurusan setifikat lahan,

10 92 maka akan menghambat dimulainya suatu usaha. Sebaliknya semakin cepat pengurusan sertifikat lahan, perusahan-perusahaan baru semakin cepat tumbuh. Dengan demikian, perekonomian akan tumbuh dan PDRB per kapita pun semakin besar. Tabel 9 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama kepengurusan status tanah Correlations Q30 L_PDRBKAP Pearson Correlation -0,28 Sig. (2-tailed) 0,1* Pearson PE Correlation -0,31 Sig. (2-tailed) 0,07* *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed) L_PDRBKAP 6.5 PE Q30 Gambar 12 Hubungan ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama kepengurusan status tanah. Empat variabel akses lahan lainnya yakni persepsi tentang kemudahan perolehan lahan (Q32), persepsi tentang penggusuran lahan oleh pemda (Q33 dan

11 PDRBKAP 93 Q34), frekuensi konflik (Q35) dan peresepsi keseluruhan permasalahan lahan usaha (Q36) memiliki skala ordinal. Dalam menganalisis variabel-variabel tersebut menggunakan uji Spearman yang dilengkapi dengan boxplot. Tabel 10 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persepsi kemudahan perolehan lahan, persepsi penggusuran lahan oleh pemda, persepsi frekuensi konflik dan persepsi keseluruhan permasalahan lahan usaha Correlations Q32 Q33 Q34 Q35 Q36 PDRBKAP Correlation Coefficient 0,09-0,12-0,29-0,36-0,05 Sig. (2-tailed) 0,59 0,51 0,09* 0,03** 0,74 PE Correlation Coefficient -0,15-0,39-0,24-0,35 0,21 Sig. (2-tailed) 0,39 0,02** 0,16 0,04** 0,23 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed) Seringkah terjadi penggsuran di wilayah ini? 3 = Jarang 4 = Tidak Pernah Q34 4 Gambar 13 Boxplot persepsi penggusuran lahan dengan PDRB per kapita.

12 PE PDRBKAP Seberapa sering konflik kepemilikan lahan terjadi? 3 = Jarang 4 = Tidak Pernah 3 Q35 4 Gambar 14 Boxplot persepsi frekuensi konflik lahan dengan PDRB per kapita Q33 Seberapa mungkin terjadi penggusuan di wilayah ini? 3 = tidak mungkin 4 = sangat tidak mungkin 4 Gambar 15 Boxplot persepsi kemungkinan penggusuran lahan dengan pertumbuhan ekonomi.

13 PE Seberapa sering konflik kepemilikan lahan terjadi? 3 = jarang 4 = tidak pernah 3 Q35 4 Gambar 16 Boxplot persepsi konflik lahan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan menggunakan uji korelasi Spearman, dapat diketahui bahwa variabel yang berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita pada tingkat 5 persen dan 10 persen adalah persepsi frekuensi konflik (Q36) dan persepsi frekuensi penggusuran lahan (Q35). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan uji korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan variabel akses lahan. Dari uji korelasi Spearman dapat dilihat bahwa variabel persepsi kemungkinan terjadi penggusuran dan persepsi konflik kepemilikan tanah. Namun, hubungan keduanya adalah berkebalikan atau berhubungan negatif. Jika sering terjadi penggusuran, maka PDRB per kapita tinggi. Hal ini bisa terjadi mengingat Pemda sering melakukan penggusuran lahan kepada para pedagang kaki lima (PKL). Kemudian lahan tersebut digunakan untuk aktivitas ekonomi yang dinilai lebih menguntungkan bagi perekonomian daerah daripada tempat usaha bagi para PKL. Hal inilah yang pada akhirnya dapat meningkatan PDRB per kapita. Begitu juga dengan frekuensi konflik. Semakin sering terjadi konflik, semakin tinggi PDRB per kapita. Hal ini pun dapat terjadi mengingat para

14 96 PKL sering mengalami konflik dengan usaha lain dengan skala yang lebih besar atau dengan pemda mengenai kepemilikan lahan usahanya. Lahan dimana tempat usaha mereka berdiri dinilai mempunyai nilai ekonomis yang tinggi sehingga sering terjadi perebutan kepemilikan lahan. Pemda atau usaha besar menanggap bahwa lahan usaha para PKL lebih memberikan manfaat ekonomi yang tinggi jika lahan tersebut digunakan untuk aktivitas ekonomi dengan skala yang lebih besar yang dapat lebih meningkatkan perekonomian. Tidak hanya dari uji korelasi Spearman, grafik boxplot semakin memperlihatkan bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut berlawanan arah dengan PDB per kapita. Gambar 13 menunjukan bahwa kabupaten yang tidak pernah terjadi penggusuran memiliki PDRB per kapita yang lebih kecil yaitu Rp daripada kabupaten yang terjadi penggusuran dengan frekuensi jarang dengan nilai tengah (median) PDRB per kapita sebesar Rp Di samping itu, Gambar 14 menunjukkan bahwa kabupaten dimana pelaku usahanya menilai bahwa daerah tersebut tidak pernah terjadi konflik memiliki nilai tengah (median) PDRB per kapita yang lebih kecil dari kabupaten dimana pelaku usahanya menilai bahwa daerahnya pernah terjadi konflik dengan frekuensi jarang Hubungan Variabel Izin Usaha dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Pada indikator ini, variabel-variabel yang dianalisis memiliki skala nominal, ordinal serta interval. Skala nominal dimiliki oleh variabel kepemilikan Tanda Daftar Perusahaan (Q38AR1) dan keberadaan mekanisme pengaduan tentang pelayanan perizinan usaha (Q45). Variabel rata-rata waktu perolehan TDP

15 97 memiliki skala interval. Sedangkan variabel lainnya, yaitu persepsi kemudahan perolehan TDP (Q40CR1), persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha (Q41DR1), persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien dan bebas pungli (Q43 R1-R3) serta persepsi tingkat hambatan izin usaha (Q46) memiliki skala ordinal. Untuk menganalisis variabel kepemilikan TDP dan keberadaan mekanisme pengaduan, dapat dilakukan uji korelasi Pearson maupun Uji korelasi Spearman. Untuk melakukan Uji Korelasi Pearson, digunakan data persentase perusahaan yang memiliki TDP dan persentase keberadaan mekanisme pengaduan. Selain itu, variabel waktu perolehan TDP dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Pearson sehingga diperoleh Tabel berikut. Tabel 11 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang memiliki TDP, waktu perolehan TDP dan persentase keberadaan mekanisme pengaduan Correlations Q38AR1 Q40DR1 Q45 L_PDRBKAP Pearson Correlation 0,34 0,21 0,21 Sig. (2-tailed) 0,04** 0,217 0,22 PE Pearson Correlation 0,44 0,09 0,06 Sig. (2-tailed) 0,008** 0,59 0,73 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olah

16 PDRBKAP 6.5 PE Q38AR1 Sumber: Data Olah Gambar 17 Hubungan ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang memiliki TDP. Berdasarkan Uji Korelasi Pearson pada Tabel 11, dapat disimpulkan bahwa variabel yang berhubungan signifikan dengan PDRB per kapita maupun pertumbuhan ekonomi pada tingkat 5 persen adalah variabel persentase perusahaan yang memiliki TDP. Gambar 17 pun menunjukkan hubungan positif antara Ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel persentase perusahaan yang memiliki TDP. Semakin banyak perusahaan yang memiliki TDP, semakin banyak pula perusahaan dengan status kepemilikan yang jelas. Perusahaan dengan status kepemilikian yang jelas dapat melakukan kegiatan usahanya dengan lebih baik. Selain itu, banyaknya perusahaan yang memiliki TDP dapat mengindikasikan tentang mudahnya pengurusan TDP di suatu kabupaten/kota. Hal ini dapat menarik minat investor untuk mendirikan perusahaan di kabupaten/kota tersebut.

17 99 Empat variabel lain yaitu persepsi kemudahan perolehan TDP (Q40CR1), persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha (Q41DR1), persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien dan bebas pungli (Q43 R1-R3) serta persepsi tingkat hambatan izin usaha (Q46) memiliki skala ordinal sehingga dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman. Tabel 12 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persepsi kemudahan perolehan TDP, persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha, persepsi pelayanan izin usaha bebas KKN, efisien dan bebas pungli serta persepsi tingkat hambatan izin usaha Correlations Q40CR1 Q41DR1 Q43R1 Q43R2 Q43R3 Q46 PDRBKAP Coefficient 0,19 0,2. -0,16-0,34-0,2 Sig. 0,28 0,26. 0,35 0,04** 0,23 PE Coefficient 0,07-0,10. -0,18-0,04-0,22 Sig. 0,70 0,58. 0,30 0,84 0,21 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olah Dengan menggunakan uji Spearman, dapat diketahui pada Tabel 12 bahwa variabel yang berhubungan negatif secara signifikan pada tingkat 5 persen adalah variabel pelayanan izin usaha bebas KKN (Q43R3). Dilihat dari grafik Boxplot (Gambar 18), PDRB per kapita kabupaten yang dinilai oleh para pelaku usaha bahwa proses perizinan usaha di kabupaten/kota tersebut terdapat praktik kolusi memiliki median yaitu Rp yang lebih besar dari kabupaten yang dinilai bebas dari korupsi yakni dengan nilai tengah sebesar Rp Dalam hal ini, diduga bahwa PDRB per kapita tinggi yang menyebabkan semakin banyaknya tindakan KKN atas pelayanan izin usaha. Kabupaten/kota yang dinilai bahwa pelayanan izin usaha terdapat KKN adalah Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Semarang, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Pekalongan memiliki PDRB per kapita yang relatif tinggi. Daerah yang kaya

18 PDRBKAP 100 (ditunjukkan dengan PDRB per kapita yang tinggi) mempunyai peluang yang lebih besar bagi Pemda untuk melakukan tindakan KKN dibandingkan dengan daerah yang miskin. Oleh karena itu, PDRB per kapita semakin tinggi, tindakan KKN atas pelayanan izin usah semakin tinggi Boxplot of PDRBKAP vs Q43R Proses peizinan usaha bebas dari KKN 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju Q43R3 3 Gambar 18 Boxplot pelayahan izin usaha bebas KKN dengan PDRB per kapita Hubungan Variabel Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha dan Pertumbuhan Ekonomi dengan PDRB per Kapita Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Pada indikator interaksi pemda dengan pelaku usaha, variabel-variabel yang dianalisis memiliki skala nominal dan skala ordinal. Skala nominal dimiliki oleh variabel keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha (Q48). Variabel tingkat pemecahan permasalahan oleh pemda (Q49R1-R3), tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha (Q50R1-R5), tingkat kebijakan pemda yang mendorong iklim investasi (Q51), tingkat kebijakan non diskriminatif pemda (Q52), pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha (Q53R1), tingkat

19 PE 101 kepastian hukum terkait dunia uasaha (Q53R2) dan tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha (Q55) memiliki skala ordinal. Tabel 13 Korelasi Pearson PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang mengetahui adanya forum komunikasi Correlations Q48 Pearson 0,26 L_PDRBKAP Correlation Sig. (2-tailed) 0,13 Pearson 0,30 PE Correlation Sig. (2-tailed) 0,08* *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olah Q Sumber: Data Olah Gambar 19 Hubungan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang mengetahui keberadaan forum komunikasi. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa variabel persentase keberadaan forum berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Grafik scatter plot pun semakin mejelaskan bahwa semakin banyak perusahaan yang mengetahui adanya forum komunikasi, pertumbuhan ekonomi semakin tinggi. Keberadaan forum komunikasi sebagai forum yang dapat mengkoordinasikan anatara pemerintah daerah dengan para pelaku usaha sangat penting bagi dunia

20 102 usaha. Dengan adanya forum ini, dapat terjadi pola hubungan yang konstruktif dan sinergis antara pemda dengan pelaku usaha. Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha dapat disampaikan dalam forum tersebut untuk didiskusikan dan dicari solusi bersama. Oleh karena itu, dengan adanya forum komunikasi ini dapat membantu kinerja perusahaan sehingga perekonomian meningkat. Tabel 14 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel interaksi pemda dengan pelaku usaha Correlations PDRBKAP PE PDRBKAP PE Q49R1 Coef 0,13-0,22 Q50R5 Coef 0,32-0,09 Sig. 0,47 0,20 Sig. 0,06* 0,61 Q49R2 Coef 0,03-0,02 Q51 Coef -0,05 0,01 Sig. 0,88 0,90 Sig. 0,78 0,96 Q49R3 Coef 0,36-0,21 Q52 Coef 0,09-0,06 Sig. 0,03** 0,23 Sig. 0,62 0,71 Q50R1 Coef 0,03-0,20 Q53R1 Coef 0,15-0,15 Sig. 0,84 0,24 Sig. 0,38 0,38 Q50R2 Coef 0,034 0,36 Q53R2 Coef 0,15-0,15 Sig. 0,88 0,03** Sig. 0,38 0,38 Q50R3 Coef 0,11 0,39 Q55 Coef -0,11-0,11 Sig. 0,53 0,02** Sig. 0,54 0,27 Q50R4 Coef 0,15-0,15 Sig. 0,38 0,38 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olah Berdasarkan uji korelasi Spearman, variabel yang signifikan pada tingkat 5 persen dan 10 persen berhubungan dengan PDRB per kapita adalah variabel tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q43R3) dan dukungan pemda terhadap pelaku usaha melalui penyediaan fasilitas (Q50R5). Pada Gambar 20, terlihat bahwa kabupaten dimana instansi pemda

21 PDRBKAP 103 selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah yang ditentukan oleh Kepala Daerah memiliki nilai tengah PDRB per kapita yang lebih tinggi dari pada kabupaten yang instansi pemda-nya tidak selalu menindaklanjuti pemecahan masalah usaha. Begitu pula pada Gambar 21, pemda kabupaten yang memberikan fasilitas yang mendukung dunia usaha memiliki median PDRB per kapita yang lebih tinggi dari pemda kabupaten yang tidak memberikan fasilitas yang mendukung dunia usaha Q49R3 3 Instansi Pemda menindaklanjuti pemecahan masalah yg ditentukan Bupati 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju Gambar 20 Boxplot instansi pemda menindaklanjuti pemecahan masalah yang ditentukan oleh kepala daerah dengan PDRB per kapita.

22 PDRBKAP Q50R5 Pemda memberikan fasilitas yang mendukung usaha 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju Gambar 21 Boxplot dukungan pemda melalui penyedian fasilitas yang mendukung dunia usaha dengan PDRB pe kapita. Dari uji korelasi Spearman maupun boxplot dapat diduga bahwa ketika instansi pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah yang ditentukan oleh Kepala Daerah, maka PDRB per kapita tinggi. Dalam hal ini, bukan hanya kebijakan yang telah ditetapkan Kepala Daerah yang berperan dalam dunia usaha, melainkan tindak lanjut dari instansi pemda mempunyai peran yang sangat penting dalam pemecahan permasalahan di dunia usaha. Kebijakan yang telah dibuat oleh Kepala Daerah namun tidak ditindaklanjuti oleh instansi pemda yang terkait merupakan kebijakan di atas kertas saja. Kebijakan tersebut akan tepat manfaat apabila ada tindak lanjut yang tepat dari instansi pemda yang terkait. Tindak lanjut instansi pemda dalam pemecahan masalah di dunia usaha sangat membantu perusahaan sehingga kinerja perusahaan dapat bekerja dengan lebih baik. Dengan demikian, akan peningkatkan perekonomian. Selain itu, pemberian fasilitas yang dapat mendukung perkembangan dunia usaha berpengaruh positif dengan koefisien korelasi 0,32. Hal tersebut dapat mendukung hipotesis awal bahwa semakin banyak pemberian fasilitas dari pemda 3

23 105 yang mendukung dunia usaha, maka akan menyebabkan PDRB per kapita meningkat. Ketentuan mengenai fasilitas dukungan terhadap dunia usaha diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, sebagaimana telah dilakukan dua kali perubahan, yaitu melalui Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan perubahan kedua melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Menurut peraturan presiden tersebut, terdapat tiga fasilitas kunci yang telah disediakan, yaitu: (i) Dana Tanah (the Land Funds) merupakan dana yang dialokasikan untuk membantu investor dalam pembiayaan pengadaan tanah dan untuk mengatasi masalah ketidakpastian harga tanah., (ii) Pembiayaan Infrastruktur (the Infrastructure Fund), (iii) Dana Penjaminan (the Guarantee Fund). Ketiga fasilitas tersebut telah berdiri dan beroperasi secara penuh dalam mendukung program Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Oleh karena itu, semakin banyak pemberian fasilitas yang mendukung dunia usaha, maka akan membantu kinerja perusahaan sehingga perusahaan bekerja dengan lebih efisien yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat daerah.

24 PE PE Q50R2 pemda melakukan konsultasi publik jika membuat kebijakan 2 = tidak setuju 3 = setuju 3 Gambar 22 Boxplot instansi pemda melakukan konsultasi publik ketika akan membuat kebijakan yang terkait dunia usaha dengan PDRB pertumbuhan ekonomi Q50R3 Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permalahan usaha 2 = tidak setuju 3 = setuju Gambar 23 Boxplot instansi pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan yang dihadapi dunia usaha dengan PDRB pertumbuhan ekonomi. Dari hasil uji korelasi Spearman juga dapat diketahui bahwa variabel yang berhubungan signifikan positif dengan pertumbuhan ekonomi adalah instansi pemda melakukan konsultasi publik dengan pelaku usaha jika akan membuat kebijakan publik menyangkut kepentingan pelaku usaha dan instansi pemda 3

25 107 membicarakan permasalahan pelaku usaha. Adanya pertemuan antara pemda dengan pelaku usaha untuk membicarakan berbagai permasalahan pelaku usaha sehingga pemda dapat membuat kebijakan yang tepat terkait dunia usaha. Adanya konsultasi antara pemda dengan dunia usaha serta kebijakan yang tepat terkait dunia usaha tentu sangat membantu kinerja perusahaan. Oleh karena itu output perusahaan akan meningkat dan perekonomian pun akan meningkat. Dari grafik boxplot pun demikian. Kabupaten/kota dimana pemda melakukan konsultasi publik ketika akan membuat kebijakan yang terkait dunia usaha memiliki median pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi yaitu 5,2 persen. Median pertumbuhan ekonomi dimana pemda kabupaten/kota tidak melakukan konsultasi publik sebelum mebuat kebijakan yaitu sebesar 4,8 persen Hubungan Variabel Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Indikator selanjutnya adalah Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS). Terdapat empat variabel yang dianalisis, yaitu tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS (Q57A), tingkat partisipasi dalam PPUS (Q57B), tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha (Q58 R1-7) dan dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan (Q49). Keempat indikator tersebut dianalisis melalui uji korelasi Spearman. Berdasarkan uji korelasi Spearman, tidak ada satupun variabel PPUS yang berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita maupun pertumbuhan ekonomi. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang diselenggarakan oleh pemda di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh

26 108 pemda. Namun, program tersebut pada kenyataannya kurang bermanfaat terhadap kinerja perusahaan sehingga ada tidaknya PPUS tersebut tidak berpengaruh terhadap perekonomian suatu daerah. Hal ini ditunjukkan oleh PPUS yang diselenggarakan oleh pemda hanya memberikan manfaat kecil bahkan sangat kecil. Tidak ada satu pun daerah yang memiliki program pengembangan tersebut yang berdampak besar bagi perusahaan. Tabel 15 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel program pengembangan sektor swasta PDRB KAP Q57 A Q57 B Q58R 1 Correlations Q58R Q58R 2 3 Q58R 4 Q58R 5 Q58R 6 Q58R 7 Koe f.a.a -0,27-0,02 0,1 0,06 0,08 0,01 0,26 0,16 Sig... 0,11 0,94 0,6 0,75 0,65 0,96 0,14 0,35 Koe -0,05 0,18 0,16-0,21-0,15 0,14 0,10 0,14 PE f.a.a Sig.. 0,78 0,31 0,35 0,22 0,38 0,42 0,59 0,41 Q59 Dari enam program yang diperlukan untuk pengembangan bisnis, hanya satu program yaitu program promosi produk lokal kepada investor maupun konsumen melalui berbagai pameran (expo) yang ada di semua kabupaten/kota di Jawa Tengah. Sementara lima program lainnya, hanya ada di beberapa kabupaten/kota. Bahkan dari seluruh para pelaku usaha yang mengetahui di daerahnya terdapat program promosi produk, hanya 35 perusahaan yang mengikuti program tersebut. Minimnya manfaat dan keikutsertaan PPUS ini perlu menjadi bahan untuk dievaluasi. Sedikitnya peserta dari perusahaan yang ikut dalam program pengembangan tersebut dapat terjadi karena terbatasnya informasi mengenai program atau mungkin besarnya biaya yang dikenakan untuk mengikuti program tersebut. Selain itu, kurang bermanfaatnya program ini dapat disebabkan oleh

27 109 penyelenggaraan program yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha. Oleh karena itu, hal yang wajar jika PPUS yang diselenggarakan oleh pemda ini memiliki tingkat partisipaasi dan manfaat yang rendah Hubungan Variabel Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Pada indikator kapasitas dan integritas kepala daerah, ada enam variabel yang dianalasisis, yaitu pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha (Q61R1), profesionalisme birokrat daerah (Q61R2), ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya (Q61R3), tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri (Q61R4), karakter kepemimpinan kepala daerah (Q61R5), hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha (Q63). Semua variabel tersebut memiliki skala ordinal sehingga semuanya dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Tabel 16 Korelasi Spearman PDRB per kapita dengan variabel kapasitas dan integritas bupati/walikota Correlations Q61R1 Q62R2 Q63R3 Q64R4 Q65R5 Q63 PDRBKAP Coef -0,06 0,04-0,05 0,13-0,02-0,2 Sig. 0,73 0,82 0,76 0,44 0,89 0,28 PE Coef -0,24-0,23-0,27 0,21-0,10-0,23 Sig. 0,16 0,18 0,12 0,22 0,58 0,18 Berdasarkan uji korelasi Spearman pada Tabel 16, tidak ada satupun variabel kapasitas dan integritas kepala daerah yang berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita maupun dengan pertumbuhan ekonomi. Para pelaku usaha menilai bahwa kapasitas dan integritas bupati/ walikota bukan aspek penghambat kinerja perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh lebih dari 90 persen para

28 110 pelaku usaha menilai bahwa kapasitas dan integritas pemimpin daerah mereka memiliki pengaruh yang kecil bahkan sangat kecil terhadap kinerja perusahaan. Seorang kepala daerah yang merupakan figur pemimpin yang kuat, memahami dunia usaha, serta bertindak tegas terhadap praktek korupsi sehingga dapat merumuskan kebijakan yang tepat terkait dunia usaha tidak menjadi faktor yang dapat memberikan manfaat besar bagi dunia usaha. Yang lebih penting adalah bahwa instansi pemda yang terkait mampu menindaklanjuti kebijakan yang telah ditetapkan oleh kepala daerah itu sendiri Hubungan Variabel Keamanan dan Penyelesaian Konflik dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Indikator keamanan dan penyelesaian konflik memiliki empat variabel, yaitu tingkat kejadian pencurian di tempat usaha (Q83BR1), kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi (Q84R1-R3), kualitas penanganan kasus demonstrasi buruh oleh polisi (Q86R1-R2), tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan (Q88). Variabel yang memiliki skala interval adalah tingkat kejadian pencurian di tempat usaha sehingga dianalisis dengan uji koelasi Pearson. Variabel-variabel lainnya memiliki skala ordinal sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Tabel 17 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kejadian pencurian di tempat usaha Correlations Q83BR1 L_PDRBKAP Pearson Correlation 0,158 Sig. (2-tailed) 0,366 PE Pearson Correlation -0,27 Sig. (2-tailed) 0,11

29 111 Dari uji korelasi Pearson, variabel tingkat kejadian kriminal tidak berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita maupun pertumbuhan ekonomi. Variabel-variabel yang berhubungan signifikan dengan PDRB per kapita namun negatif berdasarkan uji korelasi Spearman pada Tabel 18 adalah variabel kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, yaitu polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus kriminal (Q84R1) dan solusi yang diberikan polisi menguntungkan perusahaan (Q84R2). Sementara variabel yang berhubungan signifikan negatif dengan pertumbuhan ekonomi adalah variabel polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus kriminal (Q84R1). Dari Gambar 17, dapat diketahui bahwa polisi di kabupaten/kota yang bertindak tepat waktu (ditunjukan oleh nomor 3), memiliki nilai tengah (median) PDRB per kapita yang lebih kecil dibanding polisi di kabupaten/kota yang bertindak tidak tepat waktu (ditunjukkan oleh nomor 2). Tabel 18 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, kualitas penanganan demonstrasi buruh oleh polisi, tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan Correlations Q84R1 Q84R2 Q84R3 Q86R1 Q86R2 Q88 PDRBKAP Coef -0,37-0,36-0,06. 0,12-0,1 Sig. 0,03** 0,03** 0,73. 0,48 0,57 PE Coef -0,35-0,17-0,13. 0,10-0,22 Sig. 0,04** 0,32 0,46. 0,58 0,20 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Dari hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa kabupaten/kota yang kurang aman justru memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi. Hubungan negatif tersebut diduga PDRB per kapita yang tinggi justru meningkatkan ketidakamanan daerah, baik dari jumlah frekuensi tindakan kriminal maupun

30 PDRBKAP 112 kualitas polisi dalam menangani kasus kriminal. Empat daerah yang dinilai memiliki keamanan yang rendah adalah Kabupaten Karanganyar, Kota Semarang, Kota Magelang dan Kota Pekalongan. Keempat daerah tersebut merupakan daerah dengan tingkat kesejahteraan tinggi di Jawa Tengah. Semakin kaya daerah tersebut, akan semakin mendorong terjadinya tindakan kriminal di suatu daerah. Tingginya tingkat kriminalitas di empat daerah tersebut yang tidak diimbangi dengan tingginya kualitas penanganan oleh polisi akan mengakibatkan keamanan yang rendah. Oleh karena itu, kabupaten/kota dengan PDRB per kapita tinggi cenderung memiliki tingkat keamanan yang lebih rendah dibanding kabupaten/kota dengan PDRB per kapita yang rendah Q84R1 Polisi bertindak tepat waktu menangan kasus kriminal 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju 3 Gambar 24 Boxplot tindakan tepat waktu oleh polisi dalam menangani kasus kriminal dengan PDRB per kapita.

31 PE PDRBKAP Q84R2 Solusi dari polisi dalam kasus kriminal menguntungkan usaha 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju 3 Gambar 25 Boxplot solusi yang diberikan polisi dalam menangani kasus kriminal dengan PDRB per kapita Q84R1 Polisi bertindak tepat waktu menangan kasus kriminal 2 = tidak setuju 3 = setuju 3 Gambar 21 Boxplot tindakan tepat waktu oleh polisi dalam menangani kasus kriminal dengan pertumbuhan ekonomi Hubungan Variabel Biaya Transaksi dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Variabel yang masuk ke dalam indikator ini adalah tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1-R2), tingkat hambatan donasi terhadap pemda (Q67CR1), tingkat pembayaran biaya informal

32 114 terhadap polisi (Q70BR1), tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan (Q71) memiliki skala ordinal. Sementara variabel tingkat pembayaran donasi terhadap pemda (Q67A) memiliki skala interval. Dari uji korelasi Pearson pada Tabel 19, variabel tingkat tingkat pembayaran donasi terhadap pemda tidak berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita. Uji korelasi Spearman pada Tabel 20 menyimpulkan bahwa variabel tingkat hambatan pajak resmi terhadap kinerja perusahaan (Q65CR2) berhubungan signifikan namun negatif dengan PDRB per kapita. Sedangkan variabel tingkat hambatan donasi (biaya pungutan dan retribusi) terhadap pemda (Q67CR1) berhubungan positif dengan PDRB per kapita. Tabel 19 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pembayaran donasi terhadap pemda Correlations Q67A L_PDRBKAP Pearson Correlation -0,03 Sig. (2-tailed) 0,85 PE Pearson Correlation -0,14 Sig. (2-tailed) 0,41 Tabel 20 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan, tingkat hambatan donasi terhadap pemda, tingkat pembayaran biaya informal terhadap polisi dan tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan Correlations Q65CR1 Q65CR2 Q67CR1 Q70BR1 Q71 PDRBKAP Coefficient. -0,35 0,29 0,08-0,16 Sig. (2-tailed). 0,04** 0,09* 0,66 0,342 PE Coefficient. 0,03-0,18 0,01-0,19 Sig. (2-tailed). 0,88 0,30 0,97 0,27 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed).

33 115 Hasil uji korelasi variabel tingkat hambatan pajak resmi terhadap kinerja perusahaan (Q65CR2) berhubungan negatif, artinya ketika pajak resmi yang dibayarkan kepada pemda dinilai memberatkan pelaku usaha, PDRB per kapita pun tinggi. Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa besarnya tarif pajak badan yang dikenakan kepada pelaku usaha (badan/korporasi) adalah 25 persen. Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp ,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50 persen dari tarif yang seharusnya. Besaran pajak tersebut dinilai memberakan bagi para pelaku usaha. Dalam hal ini, diduga pajak yang tinggi dapat menyebabkan PDRB per kapita meningkat. Pajak sebagai komponen PAD digunakan untuk belanja pemerintah, misalnya belanja modal. Semakin banyak pajak yang dipungut, maka semakin banyak pula dana yang digunakan untuk belanja pemerintah di daerah tersebut. Hal ini yang mengakibatkan perekonomian tumbuh dengan cepat. Variabel tingkat hambatan donasi biaya pungutan dan retribusi untuk pendistribusian barang antarwilayah (Q67CR1) berhubungan positif dengan PDRB per kapita. Hal ini sejalan dengan teori yang ada, sehingga uji korelasi tersebut semakin menguatkan hipotesis bahwa semakin biaya pungutan dan retribusi yang dibayar tidak memberatkan perusahaan, PDRB per kapita semakin besar. Pendistribusian barang antarwilayah merupakan salah satu faktor utama dalam kinerja perusahaan. Semakin tinggi biaya pendistribusian barang, maka biaya perusahaan semakin tinggi. Hal tersebut dapat menurunkan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Sebaliknya, jika biaya pungutan dan retribusi tidak memberatkan perusahaan, maka keuntungan yang diperoleh perusahaan semakin

34 116 besar. Dengan demikian, perekonomian menjadi lebih besar dan PDRB per kapita pun lebih tinggi Hubungan Variabel Infrastruktur Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Indikator infastruktur daerah memiliki lima variabel yaitu kualitas infrastruktur yaitu jalan, lampu penerangan, air PDAM, listrik, dan telpon (Q78A R1-R5), lama perbaikan lima jenis infrastruktur tersebut (Q78C R1-R5), perusahaan yang tidak memakai genset (Q79), lama pemadaman listrik (Q80) dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan (Q81). Variabel lama perbaikan infrastruktur (Q78CR1-5), persentase pemakaian genset (Q79) dan lama pemadaman listrik (Q80) memiliki skala interval dan dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Tabel 20 merupakan hasil korelasi ketiga variabel tersebut terhadap ln PDRB per kapita. Berdasarkan Tabel 20, dapat diketahui bahwa variabel lama perbaikan jalan (Q78CR1) dan persentase perusahaan yang tidak memakai genset (Q79) berhubungan negatif dan signifikan pada tingkat 5 persen dan 10 persen. Grafik scatterplot pada Gambar 22 pun menunjukkan hubungan negatif antara lama perbaikan jalan dan persentase pemakaian genset. Dari hasil tersebut dapat diduga bahwa semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan jalan, maka PDRB per kapita semakin besar. Semakin sedikit waktu perbaikan jalan, semakin baik infrastruktur di daerah tersebut. Infrastruktur yang baik akan membuat kinerja perusahaan lebih efisien dan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut.

35 117 Semakin banyak perusahan yang tumbuh di suatu daerah, maka perekonomi akan berjalan semakin tinggi sehingga PDRB per kapita semakin tinggi. Tabel 21 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama perbaikan infrastruktur, persentase perusahaan yang tidak memakai genset dan lama pemadaman listrik Correlations L_PDRBKAP PE Q78CR1 Koef -0,34-0,20 Sig. 0,04** 0,26 Q78CR2 Koef -0,25-0,10 Sig. 0,14 0,55 Q78CR3 Koef 0,06-0,03 Sig. 0,71 0,87 Q78CR4 Koef.a.a Sig... Q78CR5 Koef -0,03-0,17 Sig. 0,86 0,32 Q79 Koef -0,3-0,38 Sig. 0,1* 0,02** Q80 Koef -0,2-0,06 Sig. 0,2 0,75 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Banyaknya perusahaan yang memakai genset justru menunjukkan tata kelola yang lebih buruk karena pemda belum mampu menyediakan listrik dari PLN dengan memadai. Oleh karena itu, uji korelasi pearson menghasilkan korelasi signifikan yang tidak sejalan. Hal ini terjadi karena pemakaian genset diduga lebih membantu kinerja suatu perusahaan sehingga lebih efisien daripada penggunaan listrik. Oleh karena itu, semakin banyak perusahaan yang memakai genset, perekonomian berjalan semakin baik dan akhirnya PDRB per kapita semakin baik pula.

PDRB per kapita: Produk Domestik Regional Bruto per kapita. PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta

PDRB per kapita: Produk Domestik Regional Bruto per kapita. PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta 146 Lampiran 1 Daftar Istilah PDRB per kapita: Produk Domestik Regional Bruto per kapita APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah IPM : Indeks Pembangunan Manusia PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010 79 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 27 dan 21 Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah kabupaten/kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA 5.1 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Penyediaan Infrastruktur di Indonesia Hubungan antara tata kelola pemerintahan

Lebih terperinci

ELIZABETH KARLINDA P H

ELIZABETH KARLINDA P H KETERKAITAN ANTARA TATA KELOLA EKONOMI DAERAH DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PER KAPITA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA PROPINSI JAWA TENGAH ELIZABETH KARLINDA P H14080025 DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH TAHUN

Lebih terperinci

5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah

5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah 5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah Seiring dengan tuntutan pemangku kepentingan terutama dari pemerintah daerah dalam hal efektifitas reformasi kebijakan yang harus dilakukan yang memiliki dampak

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 56 TAHUN 201256 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga-lembaga sosial. Perubahan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 71 A TAHUN 201356 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

IV. GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA IV. GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 4.1 Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia Terdapat sembilan dimensi tata kelola pemerintahan yang dipotret dari Studi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan Provinsi yang termasuk ke dalam Provinsi yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 728 112 20 1,955 2,178 2,627 1,802 9,422 57,379 16.42 2 Purbalingga 70 50 11 471

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional, guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal LP2KD Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Kendal TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL TAHUN 2012 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam meningkatkan pendapatan suatu pembangunan perekonomian di Indonesia, tentunya diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Metode penelitian merupakan cara penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2010:2) mengemukakan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Provinsi Jawa Tengah Sensus Ekonomi 2016 No. 37/05/33 Th. XI, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Hasil Pendaftaran

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 No. 79/11/33/Th. XI, 06 November 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 Agustus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S -- BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Letak dan Luas Wilayah Jawa Tengah terletak di antara 108 30 B.T -- 111 30 B.T dan 6 30 L.S -- 8 30 L.S. Propinsi ini terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan di belahan dunia. Bahkan banyak negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia dianggap sebagai titik sentral dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan dikendalikan oleh sumber

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH,

GUBERNUR JAWA TENGAH, GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 wsm 2^17 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 9 Februari 2016 Kemiskinan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap 15.24 6.68 22.78 1676090 2 Kab. Banyumas 18.44 5.45 21.18 1605580 3 Kab. Purbalingga 20.53 5.63 21.56 879880 4 Kab. Banjarnegara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian Hasil analisa Deskripsi Obyek Penelitian dapat dilihat pada deskriptif statistik dibawah ini yang menjadi sampel penelitian adalah

Lebih terperinci

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah, No.26/04/33/Th.XI, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi. BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Dimasa pergantian era reformasi pembangunan manusia merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah di Indonesia, bahkan tidak hanya di Indonesia di negara-negara

Lebih terperinci

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH No Program Anggaran Sub Sasaran Lokasi 1. Program Rp. 1.000.000.000 Pelayanan dan Sosial Kesejahteraan Sosial Penyandang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.1/3307/BRS/11/2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 Pembangunan manusia di Wonosobo pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH TARGET INDIKATOR LKPD YANG OPINI WTP Dalam Perpres No 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019 telah ditetapkan prioritas nasional pencapaian

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR : 561.4/69/2010 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah

6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah 6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh komite pemantauan

Lebih terperinci

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG GUBERNURJAWATENGAH PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG PERKIRAANALOKASIDANABAGI HASILCUKAIHASILTEMBAKAU BAGIANPEMERINTAHPROVINSIJAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATENjKOTADI JAWATENGAHTAHUNANGGARAN2016

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian 33 A. Gambaran Umum BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Dengan ibu kotanya adalah Semarang. Provinsi ini di sebelah

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan uji Park, nilai probabilitas dari semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 5%. Keadaan ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mengingat pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, khususnya bagi. bangsa Indonesia, peranan negara sangat penting di dalam mengatur

I. PENDAHULUAN. Mengingat pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, khususnya bagi. bangsa Indonesia, peranan negara sangat penting di dalam mengatur I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mengingat pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, khususnya bagi bangsa Indonesia, peranan negara sangat penting di dalam mengatur penguasaan tanah. Negara sebagai organisasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah tahun 2011-2013 yang seluruh data keuangannya telah di terbitkan dan dilaporkan kepada

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 GUBERNUR JAWA TENGAH, Membaca : Surat Kepala Dinas Tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan pembangunan ekonomi modern memiliki suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan ekonomi modern tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

Sosialisasi Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 560/94 Tahun 2017 tanggal 20 Nop 2017 tentang Upah Minimum Pada 35 Kabupaten/Kota Tahun 2018 di

Sosialisasi Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 560/94 Tahun 2017 tanggal 20 Nop 2017 tentang Upah Minimum Pada 35 Kabupaten/Kota Tahun 2018 di Sosialisasi Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 560/94 Tahun 2017 tanggal 20 Nop 2017 tentang Upah Minimum Pada 35 Kabupaten/Kota Tahun 2018 di Provinsi Jawa Tengah 1 Dasar Hukum 2 1. Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) No. 74/12/33 Th.VII, 2 Desember 2013 HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) RUMAH TANGGA PETANI GUREM JAWA TENGAH TAHUN 2013 SEBANYAK 3,31 JUTA RUMAH TANGGA, TURUN 28,46 PERSEN DARI TAHUN 2003 Jumlah

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 NO KAB./KOTA L P JUMLAH 1 KABUPATEN REMBANG 820 530 1.350 2 KOTA MAGELANG 238 292 530 3 KABUPATEN WONOGIRI 2.861

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab analisis dan pembahasan ini akan jelaskan tentang pola persebaran jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kemudian dilanjutkan dengan pemodelan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH. Latar Belakang Keluarnya UU No. 22 tahun 999 tentang pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi 1 A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki lahan perikanan yang cukup besar. Hal ini merupakan potensi yang besar dalam pengembangan budidaya perikanan untuk mendukung upaya pengembangan perekonomian

Lebih terperinci

PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta. : waktu yang dibutuhkan untuk mengurus status tanah (minggu) : persepsi tingkat kemudahan mendapatkan lahan

PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta. : waktu yang dibutuhkan untuk mengurus status tanah (minggu) : persepsi tingkat kemudahan mendapatkan lahan 157 Lampiran 1 Daftar Istilah PMDN: Penanaman Modal DalamNegeri PMA : Penanaman Modal Asing TKED : Tata KelolaEkonomi Daerah IPPU : InteraksiPemdaDenganPelaku Usaha PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH Kondisi umum Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari aspek pemerintahan, wilayah, kependudukan dan ketenagakerjaan antara lain sebagai berikut : A. Administrasi Pemerintah,

Lebih terperinci

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017 REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL 13-17 JULI 2017 NO SIMBOL JENIS STAND NOMOR STAND INSTANSI 1 1 Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah 2 2 Dinas Ketahanan Pangan Provinsi

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA

PENEMPATAN TENAGA KERJA PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2015 NO. KAB./KOTA 2015 *) L P JUMLAH 1 KABUPATEN SEMARANG 3,999 8,817 12816 2 KABUPATEN REMBANG 1,098 803 1901 3 KOTA.

Lebih terperinci

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan BAB I BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dekade 1970, pembangunan identik dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi lebih menitikberatkan pada kemampuan suatu negara untuk mengembangkan outputnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tanggal 7 Juni 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Lebih terperinci

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015 KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun 1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TARUN 2116 PERUBAHANPERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 63 TAHUN2015 KEBUTUHAN DAN HARGAECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIANDI

Lebih terperinci

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) LAMPIRAN LAMPIRAN A 1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) NO. KOTA/KABUPATEN PAD DAU DAK BELANJA MODAL PDRB 1 Kab. Banjarnegara 71.107 562.288 65.367

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

Bab 4 Hasil dan Pembahasan Bab 4 Hasil dan Pembahasan Model prediksi variabel makro untuk mengetahui kerentanan daerah di Provinsi Jawa Tengah, dilakukan dengan terlebih dahulu mencari metode terbaik. Proses pencarian metode terbaik

Lebih terperinci