ELIZABETH KARLINDA P H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ELIZABETH KARLINDA P H"

Transkripsi

1 KETERKAITAN ANTARA TATA KELOLA EKONOMI DAERAH DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PER KAPITA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA PROPINSI JAWA TENGAH ELIZABETH KARLINDA P H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 RINGKASAN ELIZABETH KARLINDA P. Keterkaitan Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA. Prestasi ekonomi suatu negara dapat dinilai dengan berbagai ukuran agregat. Secara umum, prestasi tersebut diukur melalui sebuah besaran dengan istilah pendapatan nasional. Menurut Todaro (2003), produk nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu negara. Ketidakmerataan distribusi juga terjadi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Pulau Jawa. Menurut BPS, PDRB per kapita Jawa Tengah merupakan yang terendah dari lima Provinsi lain di Pulau Jawa. Tidak hanya itu, distribusi PDRB per kapita tahun 2010 pun tidak merata di Jawa Tengah. Lima kabupaten dengan PDRB per kapita tertinggi memiliki nilai di atas Rp 17 juta. Sedangkan lima daerah terendah memiliki PDRB per kapita hanya Rp 5 juta. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak pemerintah daerah di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah masih belum optimal dalam mengelola potensi daerahnya untuk meningkatkan perekonomian. Oleh karena itu dibutuhkan tata kelola ekonomi daerah yang baik dari pemerintah daerah. Baik buruknya tata kelola ekonomi daerah tergantung peran pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan di kabupaten/kota masing-masing. Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah sudah seharusnya berlomba dalam meningkatkan perekonomian masing-masing. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kondisi tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah, (2) menganalisis keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah, (3) menganalisis implementasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut adalah data tahun 2007 tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah yang diperoleh dari Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah, data Anggaran Pendapatan Belanja Daerah diperoleh dari Kementerian Keuangan, serta Produk Domestik Regional Bruto per kapita, pertumbuhan ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deksriptif, analisis korelasi dan analisis regresi OLS. Analisis korelasi digunakan untuk menganalisis hubungan variabel tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi sedangkan analisis regresi OLS digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah, APBD serta IPM terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan analisis korelasi, variabel tata kelola ekonomi daerah yang memiliki hubungan signifikan dengan PDRB per kapita yang sejalan dengan teori adalah lama kepengurusan sertifikat tanah, persentase perusahaan yang memperoleh TDP, persepsi pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah

3 masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah, persepsi mengenai dukungan pemda terhadap pelaku usaha, persepsi tingkat hambatan biaya pungutan dan retribusi, persepsi tentang kualitas infrastruktur jalan dan rata-rata lama perbaikan infrastruktur jalan. Sementara variabel tata kelola ekonomi daerah yang berhubungan signifikan namun tidak sejalan adalah persepsi frekuensi penggusuran, persepsi frekuensi konflik, persepsi izin usaha bebas KKN, persepsi kualitas penanganan oleh polisi dan persepsi tingkat hambatan pajak terhadap kinerja perusahaan. Variabel yang berhubungan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi adalah lama kepengurusan sertifikat tanah, persentase perusahaan yang memiliki TDP, persentase perusahaan yang mengetahui keberadaan forum komunikasi, persepsi pemda melakukan konsultasi publik sebelum membuat kebijakan yang terkait dunia usaha, persepsi pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan masalah yang dihadapi dunia usaha serta kualitas infrastruktur jalan. Berdasarkan analisis regresi OLS, variabel yang berpengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita adalah IPM, belanja modal dan belanja pendidikan pemerintah, lama kepengurusan sertifikat tanah serta dummy persepsi mengenai pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah. IPM, belanja modal, belanja pendidikan dan dummy pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita. Variabel lama pengurusan sertifikat tanah berpengaruh negatif terhadap PDRB per kapita. Hasil regresi OLS juga menunjukan bahwa variabel belanja kesehatan, variabel persentase perusahaan yang memiliki TDP dan dummy kualitas infratruktur jalan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel IPM dan belanja pendidikan memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, implikasi kebijakan yang dapat diambil adalah adalah perbaikan dan peningkatan kualitas di bidang perizinan sertifikat tanah maupun sertifikat usaha, peningkatan koordinasi antara kepala daerah dengan instansi pemda dalam penanganan masalah di dunia usaha, peningkatan dukungan pemda melalui penyediaan fasilitas di dunia usaha, efektifitas forum komunikasi untuk membicarakan masalah yang terkait dunia usaha, penurunan biaya pungutan dan retribusi agar tidak memberatkan para pelaku usaha, serta peningkatan kualitas infratruktur dan mempercepat lama perbaikan infrastruktur, terutama infratruktur jalan. Di samping itu, perlu adanya sosialisasi mengenai pemindahan padagang kaki lima agar para PKL mau untuk dilokalisasi ke tempat yang lebih baik. Kata kunci: tata kelola ekonomi daerah, PDRB per kapita, uji korelasi Spearman, uji korelasi Pearson, regresi OLS

4 KETERKAITAN ANTARA TATA KELOLA EKONOMI DAERAH DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PER KAPITA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH Oleh ELIZABETH KARLINDA P H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

5 Judul Skripsi : Keterkaitan Antara Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Nama : Elizabeth Karlinda P NRP : H Menyetujui, Dosen Pembimbing Prof.Dr.Ir. Bambang Juanda,MS NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim,M.Ec NIP Tanggal Kelulusan:

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI SAYA INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Juli 2012 Elizabeth Karlinda P NIM H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 26 Juli 1991 di Tegal, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak dari pasangan Alm. Supriyadi dan Heni Patriasih. Penulis menamatkan sekolah dasar di SDN Mangkukusuman 7 Tegal pada tahun 2002, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Tegal dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama, penulis diterima di SMA Negeri 1 Tegal dan lulus SMA pada tahu Penulis masuk melalui jalus Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi. Pada tahun 2008, penulis menjadi sekretaris asrama putri A3. Pada tahun 2010, penulis aktif menjadi kepala divisi perekonomian Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Pada tahun 2011, penulis aktif menjadi staf Kemeterian Pertanian Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor.

8 KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Keterkaitan Antara Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Tata kelola ekonomi daerah merupakan faktor penting yang dapat dilakukan untuk mendorong pembangunan daerah. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih serta rasa hormat kepada : 1. Prof.Dr.Ir.Bambang Juanda,MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan sehingga pembuatan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Dr.Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji utama yang telah menguji hasil skripsi ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga bagi penyempurnaan skripsi ini. 3. Salahuddin el Ayyubi, MA selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberi masukan mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik. 4. Orangtua penulis, Ibu Heni Patriasih dan Alm. Bapak Supriyadi atas semua pengorbanan, doa dan dukungannya. 5. Para dosen, staf dan Seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi. 6. Bayu Tri Laksana, Meita Puspitasari, Mbak Santi, Mas Sutarsono, Pak Adhitya Wardhana dan Bu Andi Tombolotutu atas semua dukungan saran dan diskusi mengenai penelitian yang terkait tata kelola ekonomi daerah. 7. Semua mahasiswa IE 45, terima kasih atas bantuan, dukungan serta kebersamaan selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.

9 8. Bapak dan Ibu dari Program Studi Pascasarjana Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan khususnya Bu Eka Intan, Pak Alex, Pak Asep, Bu Luh Putu, Mbak Elva dan Mbak Nisa atas dukungan, saran dan doa atas perbaikan skripsi ini. 9. Selain itu, penulis juga berterimakasih kepada seluruh pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap semoga informasi pada skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya. Bogor, Juli 2012 Elizabeth Karlinda P H

10 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Pembangunan Ekonomi Teori Pertumbuhan ekonomi Indeks Pembangunan Manusia Pengeluaran Pemerintah Otonomi Daerah Tata Kelola Pemerintahan Pengertian Good Governance Prinsip Good Governance Tata Kelola Ekonomi Daerah Hubungan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan IPM Hubungan Pendapatan per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Pemerintah... 29

11 Hubungan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Tata Kelola Pemerintahan Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Definisi Operasional Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis Korelasi Analisis Regresi Berganda Model Analisis Berganda Uji Statistik Model Uji Ekonometrika IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geografis Kondisi Demografi Provinsi Jawa Tengah Kondisi Pembangunan Manusia Kondisi Sosial Budaya Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Tengah Ketenagakerjaan Tata Kelola Ekonomi Daerah Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah Instrumen Penelitian Karakteristik Responden dan Perusahaan... 66

12 Akses Lahan Perizinan Usaha Interaksi Pemerintah Daerah (Pemda) dengan Pelaku Usaha Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Biaya Transaksi Infrastruktur Daerah Keamanan dan Penyelesaian Konflik Kualitas Peraturan Daerah (Perda) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Keterkaitan Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Keterkaitan Variabel Akses Lahan dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Keterkaitan Variabel Izin Usaha dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Keterkaitan Variabel Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Keterkaitan Variabel Program Pengembangan Usaha Swasta dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Keterkaitan Variabel Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

13 Keterkaitan Variabel Keamanan dan Penyelesaian Konflik dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Keterkaitan Variabel Biaya Transaksi dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Keterkaitan Variabel Infrastruktur Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Keterkaitan Sub-Indeks dan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Uji Asumsi Klasik Uji Statistik VI. PENUTUP Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Implementasi Kebijakan Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

14 DAFTAR TABEL 1 Perkembangan PDRB per kapita tanpa minyak dan gas enam provinsi di pulau Jawa tahun (ribu rupiah) Pertumbuhan ekonomi enam provinsi di Pulau Jawa tahun (persen) PDRB per kapita tanpa minyak dan gas kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah tahun PDRB per kapita dan indeks tata kelola ekonomi daerah lima kabupaten/kota tertinggi dan terendah di Jawa Tengah tahun Jenis dan sumber data Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Jawa Tengah tahun Produk domestik regional bruto menurut harga berlaku dan kontribusi tiap sektor terhadap pembentukan produk domestik regional bruto tahun Indeks TKED tahun 2007 kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama kepengurusan status tanah Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persepsi kemudahan perolehan lahan, persepsi penggusuran lahan oleh pemda, persepsi frekuensi konflik dan persepsi keseluruhan permasalahan lahan usaha Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang memiliki TDP, waktu perolehan TDP dan persentase keberadaan mekanisme pengaduan Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persepsi kemudahan perolehan TDP, persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha, persepsi pelayanan izin usaha bebas KKN, efisien dan bebas pungli serta persepsi tingkat hambatan izin usaha Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel interaksi pemda dengan pelaku usaha Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel program pengembangan sektor swasta Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel kapasitas dan integritas bupati/walikota Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kejadian pencurian di tempat usaha Korelasi Pearson in PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kejadian pencurian di tempat usaha Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, kualitas penanganan demonstrasi buruh oleh polisi, tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pembayaran donasi terhadap pemda

15 20 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan, tingkat hambatan donasi terhadap pemda, tingkat pembayaran biaya informal terhadap polisi dan tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan Korelasi Pearson ln PDRb per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama perbaikan infrastruktur, persentase perusahaan yang tidak memakai genset dan lama pemadaman listrik Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan kualitas infrastruktur dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan Korelasi Pearson PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah Hasil estimasi PDRB per kapita dengan metode OLS Hasil estimasi pertumbuhan ekonomi dengan metode OLS

16 DAFTAR GAMBAR 1 Pola interaksi tiga pilar good governance Faktor penggerak produktivitas perekonomian daerah Keadaan lingkungan usaha di daerah Kenaikan belanja pemerintah dalam perpotongan Keynessian Bagan kerangka pemikiran Wilayah kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah Indeks Pembangunan Manusia Jawa Tengah tahun Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah tahun PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah tahun Persentase sampel menurut ukuran usaha Persentase sampel menurut sektor usaha Hubungan ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama kepengurusan status tanah Boxplot persepsi penggusuran lahan dengan PDRB per kapita Boxplot persepsi frekuensi konflik dengan PDRB per kapita Boxplot persepsi kemungkinan penggusuran lahan dengan pertumbuhan ekonomi Boxplot persepsi konflik lahan dengan pertumbuhan ekonomi Hubungan ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang memiliki TDP Boxplot pelayahan izin usaha bebas KKN dengan PDRB per kapita Hubungan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang mengetahui keberadaan forum komunikasi Boxplot instansi pemda menindaklanjuti pemecahan masalah yang ditentukan oleh kepala daerah dengan PDRB per kapita Boxplot dukungan pemda melalui penyedian fasilitas yang mendukung dunia usaha dengan PDRB pe kapita Boxplot instansi pemda melakukan konsultasi publik ketika akan membuat kebijakan yang terkait dunia usaha dengan PDRB pertumbuhan ekonomi Boxplot instansi pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan yang dihadapi dunia usaha dengan PDRB pertumbuhan ekonomi Boxplot tindakan tepat waktu oleh polisi dalam menangani kasus kriminal dengan PDRB per kapita Boxplot solusi yang diberikan polisi dalam menangani kasus kriminal dengan PDRB per kapita Hubungan lama perbaikan infrastruktur jalan dan persentase perusahaan yang tidak memakai genset dengan PDRB per kapita Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita Boxplot instansi pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan yang dihadapi dunia usaha dengan PDRB pertumbuhan ekonomi

17 DAFTAR LAMPIRAN 1 Daftar Istilah Hasil uji korelasi Spearman variabel akses lahan dengan PDRB per kapita Hasil uji korelasi Spearman variabel izin usaha dengan PDRB per kapita Hasil uji korelasi Spearman variabel interaksi pemerintah daerah dengan pelaku usaha dengan PDRB per kapita Hasil uji korelasi Spearman variabel program pengembangan sektor swasta dengan PDRB per kapita Hasil uji korelasi Spearman variabel kapasitas dan integritas kepala daerah dengan PDRB per kapita Hasil uji korelasi Spearman variabel keamanan dan penyelesaian konflik dengan PDRB per kapita Hasil uji korelasi Spearman variabel biaya transaksi dengan PDRB per kapita Hasil uji korelasi Spearman variabel infrastruktur daerah dengan PDRB per kapita Hasil uji korelasi Pearson variabel infrastruktur daerah dengan PDRB per kapita Hasil uji korelasi Pearson variabel sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita Hasil uji normalitas Hasil uji Glejser Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengenai indikator akses lahan Modus persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengenai indikator izin usaha Persentase perusahaan yang memiliki TDP, lama kepengurusan TDP dan persentase keberadaan mekanisme pengaduan perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah Modus persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengenai indikator interaksi pemda dengan pelaku usaha (1) Modus persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengenai indikator interaksi pemda dengan pelaku usaha (2) Modus persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengenai indikator program pengembangan usaha swasta Modus persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengenai indikator kapasitas integritas bupati/walikota Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengenai indikator keamanan dan penyelesaian konflik Lampiran 21 Modus dan median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengenai indikator biaya transaksi Modus persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengenai indikator infrastruktur daerah Median persepsi perusahaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengenai indikator infrastruktur daerah

18 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta menghapuskan kemiskinan, atau paling tidak mengurangi tingkat kemiskinan di negara atau wilayah tersebut. Tidak hanya negara yang relatif sudah maju (negara berkembang) saja yang melakukan kegiatan pembangunan, negara yang belum maju pun melakukan kegiatan pembangunan. Dalam suatu negara atau wilayah, pembangunan ekonomi menjadi sesuatu yang sangat penting karena ketika berbicara mengenai pembangunan ekonomi berarti di dalamnya terdapat sebuah proses pembangunan yang melibatkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan beberapa perubahan. Perubahan-perubahan itu antara lain mencakup perubahan struktur ekonomi (dari pertanian ke industri atau jasa) dan perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri (Kuncoro, 1997). Prestasi ekonomi suatu negara dapat dinilai dengan berbagai ukuran agregat. Secara umum, prestasi tersebut diukur melalui sebuah besaran dengan istilah pendapatan nasional. Meskipun bukan merupakan satu-satunya ukuran untuk menilai prestasi ekonomi suatu negara, itu cukup representatif dan sangat lazim digunakan. Pendapatan nasional bukan hanya berguna untuk menilai perkembangan ekonomi suatu negara dari waktu ke waktu, tapi juga membandingkannya dengan negara lain. Rinciannya secara sektoral dapat menerangkan stuktur perekonomian negara yang bersangkutan. Di samping itu,

19 2 dari angka pendapatan nasional selanjutnya dapat pula diperoleh ukuran turunannya, sepeti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (Dumairy,1996). Berhasil atau tidaknya proses pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara atau wilayah dapat dilihat dari perkembangan indikator-indikator perekonomian tersebut, apakah mengalami peningkatan atau penurunan. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan untuk daerah tertentu disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain PDRB, pendapatan per kapita juga salah satu konsep penting dalam perekonomian suatu Negara. Menurut Todaro (2003), produk nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu Negara. Indonesia telah memberlakukan otonomi daerah pada tahun 2001 dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri urusan pemerintahannya termasuk urusan pembangunan ekonomi, namun pada kenyataannya sampai saat ini Pulau Jawa masih menjadi pusat pembangunan ekonomi bagi Indonesia. Bahkan dilihat dari Pulau Jawa sendiri, ketidakmerataan distribusi juga terjadi PDRB di Pulau Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah merupakan yang terendah diantara provinsi lain di Pulau Jawa. Provinsi DKI Jakarta merupakan Provinsi dengan PDRB per kapita tertinggi, disusul Provinsi Jawa Timur, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan yang terakhir adalah Provinsi Jawa Tengah. Provinsi DKI Jakarta memiliki PDRB sekitar delapan kali lebih tinggi dari pada PDRB Provinsi Jawa Tengah. Perkembangan PDRB Per

20 3 Kapita Tanpa Minyak & Gas Enam Provinsi di Pulau Jawa Tahun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan PDRB per kapita tanpa minyak dan gas enam provinsi di Pulau Jawa tahun (ribu rupiah) Provinsi Tahun DKI Jakarta Jawa Timur Jawa Barat Banten DI Yogyakarta Jawa Tengah Sumber: BPS Selain pendapatan per kapita, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan provinsi lainnya di Pulau Jawa. Peringkat pertama ditempati oleh Provinsi Banten dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 8,95 persen. Provinsi DKI Jakarta menempati peringkat kedua dengan persentase rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,03 persen. Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat menempati peringkat ketiga dan keempat dengan persentase rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,95 persen dan 5,8. Persen. Dua posisi terakhir diduduki oleh Provinsi Jawa Tengah dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen dan Provinsi DI. Yogyakarta dengan 4,47 persen.

21 4 Tabel 2 Pertumbuhan ekonomi enam provinsi di Pulau Jawa tahun (persen) Ratarata Tahun Provinsi Banten 5,57 6,04 22,53 4,69 5,94 8,95 DKI Jakarta 5,95 6,44 6,23 5,02 6,51 6,03 Jawa Timur 5,8 6,11 6,16 5,01 6,68 5,95 Jawa Barat 6,02 6,48 6,21 4,19 6,09 5,8 Jawa Tengah 5,33 5,59 5,61 5,14 5,84 5,5 DI, Yogyakarta 3,7 4,31 5,03 4,43 4,87 4,47 Jawa 5,78 6,19 7,03 4,81 6,3 6,02 Sumber: BPS Jika dilihat dari PDRB per kapita kabupaten dan kota di Jawa Tengah, perekonomian Provinsi Jawa Tengah ternyata hanya terpusat di beberapa daerah. Hal ini ditunjukkan dari PDRB per kapita di Jawa Tengah masih belum merata. Data BPS Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 menunjukkan hanya sekitar sepuluh kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang memiliki PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten dan kota lainnya memiliki PDRB per kapita kurang dari rata-rata di Jawa Tengah. Lima kabupaten dan kota yang memiliki PDRB per kapita tertinggi berturut-turut adalah Kabupaten Kudus, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, Kota Surakarta serta Kota Magelang dimana PDRB per kapita daerahnya jauh lebih tinggi dari kabupaten dan kota yang lainnya yaitu di atas Rp 17 juta per tahun. Sedangkan lima daerah yang memiliki PDRB per kapita terendah berturut adalah Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kebumen serta Kabupaten Demak. Daerah-daerah tersebut memiliki PDRB per kapita yang relatif sangat rendah dibandingkan yang lain yaitu hanya sekitar Rp 5 juta per tahun. Dari data Tabel 3, dapat diduga bahwa masih ada pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah yang belum optimal dalam

22 5 membangun perekonomian dengan memberdayakan potensi ekonomi di wilayahnya. Padahal di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah sudah diberi wewenang untuk mengelola potensi di daerah masing-masing. Wewenang ini yang seharusnya dapat dioptimalkan pemerintah daerah dalam membangun perekonomian daerah. Tabel 3 PDRB per kapita tanpa minyak dan gas kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 No Kabupaten/Kota PDRB per Kapita No Kabupaten/Kota PDRB per Kapita 1 Kudus Jepara Kota Semarang Pati Cilacap Sragen Kota Surakarta Banjarnegara Kota Magelang Batang Kota Pekalongan Temanggung Sukoharjo Wonogiri Kendal Pubalingga Semarang Magelang Karanganyar Banyumas Kota Tegal Pemalang Kota Salatiga Tegal Klaten Demak Purwerejo Kebumen Boyolali Wonosobo Pekalongan Blora Brebes Grobogan Rembang Jawa Tengah Sumber: BPS Provinsi Jateng Dengan berlakunya otonomi daerah, maka untuk melaksanakan pembangunan diperlukan kemandirian dan kemampuan dari pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan dana pembangunan. Dengan demikian, pemerintah daerah tentu harus mampu menggali sumber-sumber ekonomi dan mengolah potensi yang ada di daerahnya sehingga pembangunan di daerah tersebut dapat terus terlaksana. Selain dengan cara menggali sumber-sumber ekonomi daerah sebagai sumber pendanaan pembangunan, tentunya diperlukan penanaman modal

23 6 baik yang berasal dari dalam negeri (PMDN) maupun dari luar negeri (PMA) untuk mengembangkan perekonomian di suatu wilayah. Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta. Kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah (Perda), diantaranya perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan utama, pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Setelah fungsi pelayanan publik mendapatkan perbaikan kualitas maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan berkelanjutan adalah penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan yang dapat dibiayainya (KPPOD 2007). Melihat pentingnya peran pemerintah daerah melalui tata kelola pemerintahan daerah dalam meningkatkan perekonomian, maka penelitian ini ingin menjelaskan keterkaitan antara tata kelola ekonomi daerah dengan Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian mengenai tata kelola

24 7 ekonomi daerah ini didasarkan pada survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun Survei ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah di Indonesia. Pada tahun 2007, survei dilaksanakan di 243 kabupaten dan kota di 15 provinsi di Indonesia. Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Namun, hasilnya sangat mengejutkan yakni hanya ada sedikit atau tidak ada hubungan yang signifikan antara tata kelola perekonomian daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal yang mendorong hasil ini dimungkinkan karena dalam penelitian tersebut menganalisis dampak tata kelola perekonomian daerah terhadap pertumbuhan secara agregat. Untuk menganalisis hal tersebut menggunakan skor indeks akhir serta sub-indeks tata kelola ekonomi daerah. Sementara ada 90 pertanyaan dari kuisioner yang ditanyakan kepada para responden memiliki skala pengukuran yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan analisis secara parsial yaitu menganalisis variabel-variabel yang ditanyakan kepada responden untuk mengetahui keterkaitan setiap indikator tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi Permasalahan Perekonomian di provinsi Jawa Tengah pun hanya terfokus di beberapa kabupaten dan kota. Data BPS Provinsi Jawa tengah pada tahun 2007, PDRB per kapita tertinggi di Jawa Tengah berturut-turut adalah Kabupaten Kudus, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, Kota Surakarta serta Kota Magelang dimana

25 8 PDRB per kapita daerahnya jauh lebih tinggi dari kabupaten dan kota yang lainnya yaitu di atas Rp 17 juta per tahun. Peringkat daerah dengan PDRB per kapita tertinggi tahun 2007 tersebut sama dengan peringkan PDRB per kapita tahun Artinya, kelima daerah tersebut secara konsisten memiliki perekonomian yang lebih besar dari daerah lainnya. Sedangkan lima daerah yang memiliki PDRB per kapita tahun 2007 terendah berturut adalah Kabupaten Tegal, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Blora serta Kabupaten Grobogan. Daerah-daerah tersebut memiliki PDRB per kapita yang relatif sangat rendah dibandingkan yang lain yaitu hanya sekitar Rp 5 juta per tahun. Tabel 4 Pering kat PDRB per kapita dan indeks tata kelola ekonomi daerah lima kabupaten/kota tertinggi dan terendah di Jawa Tengah tahun 2007 PDRB per Pering Indeks Kabupaten/Kota kapita (Rp) kat Kabupaten/Kota TKED 1 Kudus Purbalingga 71,1 2 Kota Semarang Kota Magelang 70,5 3 Cilacap Kudus 69 4 Kota Surakarta Kota Salatiga 68,6 5 Kota Magelang Wonosobo 68,2 31 Tegal Karanganyar Kebumen Kota Surakarta 58,7 33 Wonosobo Pemalang 57,5 34 Blora Kota Semarang 57,2 35 Grobogan Kebumen 55,2 Sumber: BPS dan KPPOD Namun, dilihat dari indeks tata kelola ekonomi daerah, kabupaten/kota dengan tata kelola ekonomi daerah terbaik adalah Kabupaten Purbalingga, Kota Magelang, Kabupaten Kudus, Kota Salatiga dan Kabupaten Wonosono. Sedangkan kabupaten/kota dengan tata kelola ekonomi daerah terburuk adalah Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta, Kabupaten Pemalang, Kota Semarang dan Kabupaten Kebumen. Menariknya, Kota Semarang yang merupakan

26 9 kabupaten tertinggi kedua di Jawa Tegah ternyata menempati peringkat tata kelola ekonomi daerah terburuk kedua, setelah Kabupaten Kebumen. Tidak hanya itu, Kabupaten Wonosobo yang merupakan salah satu kabupaten dengan pendapatan per kapita terendah pun ternyata memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di peringkat kelima. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai ketidaksesuaian dalam pelaksanaan pembangunan. Baik buruknya tata kelola ekonomi daerah tergantung peran pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan di kabupaten/kota masing-masing. Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah sudah seharusnya berlomba dalam meningkatkan perekonomian masing-masing. Salah satu peran yang utama dari pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah adalah melalui tata kelola ekonomi daerah. Penelitian mengenai tata kelola ekonomi daerah ini didasarkan pada survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang disurvei oleh KPPOD di tahun Survei ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah di Indonesia. Pada tahun 2007, survei dilaksanakan di 243 kabupaten dan kota di 15 provinsi (KPPOD 2007). Berdasarkan uraian diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kondisi tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah?

27 10 2. Bagaimana keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah? 3. Bagimana implementasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Jawa Tengah? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kondisi tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. 2. Menganalisis keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. 3. Menganalisis implementasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak sebagai berikut : 1. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini menjadi jawaban atas permasalahan yang ingin diketahui dan menjadi tambahan pengetahuan.

28 11 2. Bagi para penentu kebijakan di pemerintah Provinsi Jawa Tengah serta Pemerintah Daerah di Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dalam menambah pemahaman tentang aspek atau indikator dalam tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh terhadap PDRB per kapita. Pemahaman tersebut membantu penentu kebijakan untuk fokus dalam membuat kebijakan dalam meningkatkan meningkatkan perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 3. Bagi para pemangku peran masyarakat serta LSM, penelitian ini diharapakan dapat digunakan sebagai alat advokasi kepada para pemimpin daerah untuk melakukan perbaikan tata kelola ekonomi daerah. 4. Bagi masyarakat umum, mahasiswa dan peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi, tambahan pengetahuan, dan sumber rujukan bagi penelitian terkait selanjutnya bagi peneliti yang berminat di bidang tata kelola ekonomi daerah Ruang Lingkup Penelitian ini berdasar pada survei tata kelola ekonomi daerah yang dilakukan oleh KPPOD. Kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang disurvei di tahun Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data cross section dengan unit analisis kabupaten dan kota di Jawa Tengah pada tahun Penelitian ini akan menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pendekatan analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi tata kelola ekonomi daerah dan PDRB per kapita di kabupaten dan kota

29 12 Provinsi Jawa Tengah. Pendekatan analisis kuantitatif digunakan untuk mencari keterkaitan tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan unit analisis variabel-variabel tata kelola ekonomi daerah. Indikator tata kelola ekonomi daerah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah : (1) akses lahan usaha dan kepastian berusaha, (2) perizinan usaha, (3) interaksi pemda dan pelaku usaha, (4) program pengembangan usaha swasta, (5) kapasitas dan integritas Kepala Daerah, (6) biaya transaksi, (7) kebijakan infrastruktur daerah, (8) keamanan dan penyelesaian sengketa, dan (9) kualitas peraturan daerah. Penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah yakni belanja pemerintah daerah dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

30 13 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teori Pembangunan Ekonomi Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian ahli ekonomi mengartikan istilah ini sebagai pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan-perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi seperti mempercepat pertumbuhan ekonomi dan masalah pemerataan pendapatan. Hal ini dikenal sebagai economic development is growth plus change-yaitu pembangunan ekonomi (Sukirno, 2001). Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian, yang kondisi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto. Produk nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu negara (Todaro, 2003). Selanjutnya pembangunan ekonomi menurut Jhingan (2008) diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, yaitu: a. Pembangunan sebagai suatu proses. Pembangunan sebagai suatu proses, artinya bahwa pembangunan merupakan suatu tahap yang harus dijalani oleh setiap masyarakat atau bangsa. Setiap bangsa harus menjalani tahap-tahap perkembangan untuk menuju kondisi yang adil, makmur, dan sejahtera.

31 14 b. Pembangunan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita. Sebagai suatu usaha, pembangunan merupakan tindakan aktif yang harus dilakukan oleh suatu negara dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita. Dengan demikian, sangat dibutuhkan peran serta masyarakat, pemerintah, dan semua elemen untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan. Hal ini dilakukan karena kenaikan pendapatan per kapita mencerminkan perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat. c. Peningkatan pendapatan per kapita harus berlangsung dalam jangka panjang. Suatu perekonomian dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila pendapatan per kapita dalam jangka panjang cenderung meningkat. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa pendapatan per kapita harus mengalami kenaikan terus-menerus. Besarnya Gross National Product (GNP) per kapita, pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan lapangan kerja serta inflasi yang terkendali, merupakan prestasi-prestasi pembangunan yang menjadi tolok ukur utama pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh percepatan pertumbuhan ekonomi tetapi lebih pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih utuh (Kuncoro, 1997). Tinggi rendahnya kemajuan pembangunan daerah diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik secara keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini akan menetes dengan sendiri sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai kondisi yang diperlukan demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan sosial secara lebih merata.

32 15 Pembangunan saat ini tidak lebih diukur dari suatu prestasi kuantitatif semata. Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata, namun memiliki perspektif yang luas. Dalam proses pembangunan dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih baik (Kuncoro, 1997) Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno, 2000). Jadi pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian serta kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh pertambahan faktor-faktor produksi baik dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah barang modal dan teknologi yang digunakan juga makin berkembang. Di samping itu tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk seiring dengan meningkatnya pendidikan dan keterampilan mereka. Salah satu sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga konstan. Laju pertumbuhan PDRB akan memperlihatkan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada proses, karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau perkembangan. Oleh karena itu pemahaman indikator pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya tahunan. Aspek tersebut relevan untuk dianalisa sehingga

33 16 kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong aktivitas perekonomian domestik dapat dinilai efektifitasnya (Rustiono, 2008) Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Menurut ekonom Klasik, Smith, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara ada tiga, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan stok modal. Menurut Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik, pertumbuhan ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi (Sukirno, 2001). Persamaannya adalah : Δ Y = f (ΔK, ΔL) Δ Y = tingkat pertumbuhan ekonomi Δ K = tingkat pertambahan barang modal Δ L = tingkat pertambahan tenaga kerja Indeks Pembangunan Manusia Ukuran pembangunan yang digunakan selama ini, yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) dalam konteks nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam konteks regional, hanya mampu memotret pembangunan ekonomi saja. Untuk itu dibutuhkan suatu indikator yang lebih komprehensif, yang mampu menangkap tidak hanya perkembangan ekonomi akan tetapi juga perkembangan aspek sosial dan kesejahteraan manusia. Pembangunan manusia memiliki banyak dimensi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan ukuran agregat dari dimensi dasar pembangunan manusia dengan melihat perkembangannya.

34 17 Probowoningtyas (2011) menyebutkan penghitungan IPM sebagai indikator pembangunan manusia memiliki tujuan penting, diantaranya: 1. Membangun indikator yang mengukur dimensi dasar pembangunan manusia dan perluasan kebebasan memilih. 2. Memanfaatkan sejumlah indikator untuk menjaga ukuran tersebut sederhana. 3. Membentuk satu indeks komposit daripada menggunakan sejumlah indeks dasar. 4. Menciptakan suatu ukuran yang mencakup aspek sosial dan ekonomi. Indeks tersebut merupakan indeks dasar yang tersusun dari dimensi berikut ini: 1. Umur panjang dan kehidupan yang sehat, dengan indikator angka harapan hidup; 2. Pengetahuan, yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; dan 3. Standar hidup yang layak, dengan indikator PDRB per kapita dalam bentuk Purchasing Power Parity (PPP). Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,0 100,0 dengan katagori sebagai berikut : 1. Tinggi : IPM lebih dari 80,0 2. Menengah Atas : IPM antara 66,0 79,9 3. Menengah Bawah : IPM antara 50,0 65,9 4. Rendah : IPM kurang dari 50,0.

35 Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran Pemerintah Keynes Identitas keseimbangan pendapatan nasional Y = C + I + G merupakan pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian tertutup. Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional. Y merupakan pendapatan nasional, C merupakan pengeluaran konsumsi, dan G merupakan Pengeluaran Pemerintah. Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional (Dumairy,1997). Inti dari kebijakan makro Keynes adalah bagaimana pemerintah bisa memengaruhi permintaan agregat. Dengan demikian, akan memengaruhi situasi makro agar mendekati posisi Full Employment -nya. Menurut Keynes untuk menghindari timbulnya stagnasi dalam perekonomian, pemerintah berupaya untuk meningkatkan jumlah pengeluaran pemerintah (G) dengan tingkat yang lebih tinggi dari pendapatan nasional sehingga dapat mengimbangi kecenderungan mengkonsumsi (C) dalam perekonomian Teori Wagner Wagner menyatakan dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah akan meningkat. Terutama disebabkan karena Pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya.

36 19 Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut organic theory of state yaitu teori yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dengan masyarakat yang lain. Menurut Wagner, ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu : 1. Tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan 2. Kenaikan tingkat pendapatan masyarakat 3. Urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi 4. Perkembangan demografi 5. Ketidakefisienan birokrasi Pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan hubungan antarindustri dan hubungan antarindustri dengan masyarakat akan semakin kompleks sehingga potensi terjadinya kegagalan eksternalitas negatif menjadi semakin besar. Namun teori Wagner memiliki kelemahan yaitu tidak didasari pada teori pemilihan barang-barang publik (Dumairy,1997) Otonomi Daerah Pengertian desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah menurut Undang-undang tersebut adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

37 20 urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini meletakkan prinsip-prinsip baru agar penyelenggaraan otonomi daerah lebih sesuai dengan prinsip demokrasi, adanya peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan berdasarkan potensi dan keanekaragaman daerah. Undang-undang tersebut memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pemberian kewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Alasan penerapan kebijakan desentralisasi di berbagai negara umumnya adalah dalam rangka memperbaiki kinerja sektor publik demi mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mendekatkan perencanaan. Selain itu, alasan desentralisasi lainnya adalah memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. Alasan yang terakhir adalah untuk mendukung pembangunan ekonomi daerah, dengan menyerahkan sejumlah kewenangan pengelolaan pembangunan kepada pemerintah daerah secara otonom (Murwito, 2008). Menurut Rasyid (2005), tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah di satu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik serta pemerintah pusat diharapkan lebih mau berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka daerah akan mengalami proses pemeberdayaan yang signifikan.

38 21 Kemampuan prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: politik, ekonomi serta sosial dan budaya. Di bidang politik, otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka otonomi daerah harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Hal ini memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif. Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan lebih tinggi dari waktu ke waktu.

39 22 Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin. Pengelolaan otonomi yang baik ini demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial. Selain itu, tujuan lain di bidang sosial budaya adalah memelihara nilainilai lokal yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan sekitarnya. Dalam era otonomi daerah, dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang di antaranya meliputi : a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang c. Pengendalian lingkungan hidup Tata Kelola Pemerintahan Pengertian Good Governance Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaanperbedaan diantara mereka. Good Governance menurut Bank Dunia adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah

40 23 alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Masyarakat Transparansi mendefinisikan Good Governance sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata baik disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance. Tata kepemerintahan yang baik (good governance) menurut Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (2007) merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif, serta di dalamnya mengatur pola hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia usaha swasta dan masyarakat. Tata kepemerintahan yang baik meliputi tata kepemerintahan untuk sektor publik (good public governance) yang merujuk pada lembaga penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan tata kepemerintahan untuk dunia usaha swasta (good corporate governance), serta adanya partisipasi aktif dari masyarakat (civil society). Para pihak inilah yang sering disebut sebagai tiga pilar penyangga penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

41 24 Sumber: Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah 2007 Gambar 1 Pola interaksi tiga pilar good governance. Jelas bahwa good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan kesehatan dan infrastruktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya sistem demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya pluralisme. Good governance sangat terkait dengan dua hal yaitu (1) good governance tidak dapat dibatasi hanya pada tujuan ekonomi dan (2) tujuan ekonomi pun tidak dapat dicapai tanpa prasyarat politik tertentu (Lalolo Krina, 2003) Prinsip Good Governance UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial),

42 25 manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum. Masyarakat Transparansi Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti: transparansi, akuntabilitas, kewajaran dan kesetaraan, kesinambungan, partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum serta efektivitas dan efisiensi. Jelas bahwa terdapat berbagai prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik. Berbagai prinsip ini berbeda dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun ada tiga prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat Tata Kelola Ekonomi Daerah Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta. Faktor penggerak produktivitas daerah yang terbentuk pada suatu daerah merupakan sebuah mekanisme dinamika yang terjadi pada sektor swasta. Hal ini terlihat pada Gambar 2. Kompetisi dan inovasi dari adanya kehadiran perusahaan dan tenaga kerja yang berkualitas baik diharapkan dapat menciptakan tingkat

43 26 investasi tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak produktivitas daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik. Berdasarkan hipotesa ini, keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu menjadi sangat penting (KPPOD, 2007). Sumber: KPPOD 2007 Gambar 2 Faktor penggerak produktivitas perekonomian daerah. Kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah (Perda), diantaranya perda tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan utama, Pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Disamping itu melalui kebijakan pendapatannya, pemda diharapkan mampu mendorong kegiatan berusaha ekonomi sehingga diharapkan tercipta sejumlah pemasukan yang berasal dari pajak dan retribusi daerah yang cukup memadai. Setelah fungsi pelayanan publik mendapatkan perbaikan kualitas maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan berkelanjutan adalah penciptaan

44 27 keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan yang dapat dibiayainya. Berbagai bentuk kewenangan telah didesentralisasikan dari pemerintah pusat ke pemda. Dengan demikian, pemda berperan besar dalam hal meningkatkan kompetisi antarperusahaan di daerah bersangkutan dan mendorong berbagai inovasi yang berasal dari perkembangan praktek berusaha yang mendorong kepada penggunaan teknologi. Gambar 3 menggambarkan kemungkinan bentuk interaksi antara pihak eksekutif dalam hal ini pemda, pihak legislatif yaitu Dewa Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintah pusat yang mempengaruhi keadaan berusaha di daerah. Konsep tata kelola ekonomi daerah menyoroti sejumlah kebijakan daerah terkait dunia usaha di kabupaten/kota Indonesia. Namun kebijakan terkait dunia usaha yang dihadapi pelaku usaha sehari-hari di daerah tidak hanya dibuat oleh pemda. Didalam interaksinya terdapat kebijakan pusat yang berlaku di daerah, pihak legislatif daerah, dan pihak eksekutif daerah. Interaksi diantara ketiganya sedikit-banyak memengaruhi keadaan berusaha di suatu daerah. Sumber: KPPOD 2007 Gambar 3 Keadaan lingkungan usaha di daerah.

45 28 KPPOD merumuskan beberapa indikator yang memengaruhi keadaan tata kelola ekonomi daerah. Indikator tersebut dirumuskan menjadi variabelvariabel yang digunakan dalam sembilan aspek sebagai berikut: akses lahan, infrastruktur, perizinan usaha, kualitas peraturan di daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta (PPUS) serta keamanan dan penyelesaian konflik. Sembilan indikator itu yang dapat menggambarkan tata kelola ekonomi daerah Hubungan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan IPM Sumberdaya manusia merupakan faktor terpenting dalam perekonomian. Menurut Jhingan (2008), peningkatan GNP per kapita yang tinggi ternyata berkaitan erat dengan pengembangan faktor manusia sebagaimana terlihat dalam efisiensi atau poduktivitas yang melonjak di kalangan tenaga buruh. Menurut Todaro (2003), sumberdaya manusia dari suatu bangsa, bukan modal fisik atau sumber daya material, merupakan faktor paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa bersangkutan. Laporan tahunan UNDP secara konsisten menunjukkan bahwa pembangunan manusia mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan pembangunan manusia tidak akan bertahan lama (sustainable). Agar berjalan positif dan berkelanjutan harus ditunjang oleh kebijakan sosial (social policy) pemerintah yang pro pembangunan manusia (sosial). Suryadi (1994) yang mengkaji lebih dalam mengenai peran pendidikan formal dalam menunjang perekonomian menyatakan bahwa semakin tinggi

46 29 pendidikan formal yang diperoleh, maka produktivitas tenaga kerja akan semakin tinggi pula. Pendidikan memiliki pengaruh terhadap peningkatan output perekonomian karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Jika setiap orang memiliki penghasilan yang lebih tinggi karena pendidikannya lebih tinggi, maka pertumbuhan ekonomi penduduk dapat ditunjang. Pembangunan sumberdaya manusia secara tepat untuk pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan cara berikut. Pertama, harus ada pengendalian atas perkembangan penduduk. Sumberdaya manusia dapat dimanfaatkan dengan baik apabila jumlah penduduk dapat dikendalikan dan diturunkan. Kedua, harus ada perubahan dalam pandangan tenaga buruh. Hanya tenaga buruh yang terlatih dan terdidik dengan efisiensi tinggi yang akan membawa masyarakat kepada pembangunan ekonomi yang tepat Hubungan Pendapatan per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Pemerintah Pengeluaran pemerintah merupakan seperangkat produk yang dihasilkan yang memuat pilihan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Pengeluaran pemerintah ini digunakan untuk menyediakan barang-barang publik dan pelayanan kepada masyarakat. Total pengeluaran pemerintah merupakan penjumlahan keseluruhan dari keputusan anggaran pada masing-masing tingkatan pemerintahan (pusat provinsi daerah) (Rustiono 2008). Belanja pemerintah adalah salah satu komponen pengeluaran. Jika belanja pemerintah naik sebesar G, maka kurva pengeluaran yang direncanakan ke atas sebesar G, seperti pada Gambar 4 ekulibrium perekonomian bergerak

47 30 dari titik A ke titik B, dan pendapatan meningkat dari Y 1 ke Y 2. Gambar 4 menunjukkan bahwa kenaikan belanja pemerintah mendorong adanya kenaikan dalam pendapatan yang lebih besar, yaitu Y lebih besar dari G. Rasio Y/ G disebut pengganda belanja pemerintah (Mankiw 2006). Pengeluaran, E B G A Y Pendapatan, output, Y Sumber: Mankiw (2000) Gambar 4 Kenaikan belanja pemerintah dalam perpotongan Keynesian Hubungan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Tata Kelola Pemerintahan Hubungan tata kelola pemerintahan dengan peningkatan perekonomian hingga kini masih menjadi dilema. Namun, beberapa penelitian membuktikan bahwa ada hubungan kuat antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi. Rodrik et al (2004) meneliti hubungan institusi, integrasi ekonomi (perdagangan internasional) dan geografi terhadap pembangunan ekonomi di beberapa negara dengan menggunakan data cross section. Kualitas institusi ditemukan memiliki dampak yang lebih besar terhadap tingkat akumulasi modal fisik dibandingkan modal manusia. Semakin pentingnya peranan institusi mampu

48 31 memberikan insentif yang lebih kuat bagi para pelaku ekonomi untuk berinvestasi sehingga akumulasi modal fisik meningkat yang akhirnya akan meningkatkan perekonomian. Studi empiris lainnya dilakukan oleh Abdellatif (2003) menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Fakta menunjukkan ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kebebasan politik (tata kelola pemerintahan yang demokratis) terhadap pertumbuhan. Dalam model yang digunakan, tata kelola pemerintahan yang demokratis memengaruhi pertumbuhan dengan menghambat tindakan korupsi dan menghendaki keterbukaan keuangan pemerintah kepada publik sehingga keuangan publik dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, tata kelola pemerintahan yang demokratis berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi hanya jika kualitas institusi meningkat. Jika tidak, tata kelola pemerintahan yang demokratis hanya memberikan dampak yang kecil terhadap pertumbuhan. Kaufmann dan Kraay (2002) memperkuat pemikiran bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi dapat bersifat dua arah. Hasil penelitian tesebut ditemukan hubungan sebab akibat yang positif yang kuat dari tata kelola pemerintahan terhadap pendapatan per kapita. Hubungan positif yang kuat tersebut berasal dari tata kelola pemerintahan yang bagus ke pendapatan per kapita yang lebih tinggi Penelitian Terdahulu Istiandari (2009) menganalisis tata kelola ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia dengan mengunakan metode (Ordinay Least Square (OLS). Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data

49 32 sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari 205 kabupaten dan kota di Indonesia. Data mengenai tata kelola ekonomi daerah tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD, data Pendapatan Asli Daerah tahun 2006 diperoleh dari Departemen Keuangan RI serta Indeks Pebangunan Manusia (IPM) tahun 2005 dari Badan Pusat Statistik. Dari pengujian secara ekonometri terlihat bahwa terdapat indikasi suatu daerah harus mencapai tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah tertentu agar tata kelola ekonomi mampu berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Selain itu, ditemukan indikasi bahwa tata kelola ekonomi daerah lebih cepat dirasakan dampaknya terhadap laju pertumbuhan pendapatan regional di wilayah kota dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa tata kelola ekonomi daerah kurang lebih memiliki efek yang sama terhadap proporsi penduduk miskin baik di wilayah kota maupun kabupaten. Mengingat masih terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah yang ditunjukkan oleh masih banyak daerah yang belum mencapai nilai indeks tata kelola ekonomi tertentu, maka khususnya bagi daerah yang masih memiliki tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi yang kurang, perlu ditingkatkan kualitas tata kelola ekonomi di daerah tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dampak positif dari tata kelola ekonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dirasakan di daerah-daerah yang bersangkutan. Januar (2009) menganalisis keterkaitan iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan realisasi investasi pada kasus provinsi Jawa Barat

50 33 dengan mengunakan metode OLS. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha di 25 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD serta data realisasi investasi Provinsi Jawa Barat tahun 2007 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara keseluruhan pelaku usaha menilai iklim usaha di Provinsi Jawa Barat sudah cukup kondusif yang terlihat dari nilai indeks TKED yang berada di atas nilai 50 persen. Lima kabupaten dan kota yang memiliki iklim investasi paling kondusif di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Sumedang. Namun pada kenyataannya, iklim investasi tersebut kurang mampu mendorong realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah investasi tahun 2007 jika dibandingkan dengan jumlah investasi tahun Jika dilihat berdasarkan distribusi penyebaran investasi di Provinsi Jawa Barat, hanya ada 16 kabupaten dan kota yang mendapatkan realisasi investasi tersebut. Ada lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mendapatkan realisasi investasi terbesar, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Purwakarta. Selain itu, terdapat lima indikator iklim investasi berdasarkan pelaku usaha dalam penelitian ini yang berpengaruh signifikan terhadap realisasi investasi di Jawa Barat. Kelima indikator tersebut adalah indikator interaksi

51 34 pemda dan pelaku usaha, indikator program pengembangan usaha swasta, dan indikator pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan indikator kapasitas dan integritas kepala daerah dan indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. McCulloch dan Malesky (2010) meneliti pengaruh tata kelola ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut merupakan data sekunder yang berasal dari dua sumber utama, yaitu data survei resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah. Pengukuran utama terhadap kinerja perekonomian adalah Produk Domestik Bruto (PDB) di tingkat daerah, baik termasuk minyak dan gas maupun tidak termasuk minyak dan gas. Metode analisis yang digunakan adalah model regresi berganda dan model panel dengan menggunakan Indeks TKED tahun Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dan pertumbuhan daerah lebih rumit dari pandangan sekilas. Secara mengejutkan penelitian ini mengemukakan bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada hubungan statistik yang signifikan antara berbagai pengukuran tipikal tata kelola perekonomian daerah dengan kinerja pertumbuhan daerah. Hasil tersebut didorong oleh beberapa kemungkinan, yakni rendahnya kualitas data serta hasil penelitian tersebut ditutupi karena beberapa variabel struktural yang memengaruhi pertumbuhan, juga berpengaruh terhadap kualitas tata kelola pemerintahan daerah, tetapi tidak harus ke arah yang sama.

52 35 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini menganalisis setiap variabel tata kelola ekonomi daerah. Sementara semua penelitian terdahulu menganalisis indeks dan sub-indeks tata kelola ekonomi daerah yang telah dibuat oleh KPPOD. Ada 90 variabel yang diuji korelasi dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya diambil variabelvariabel yang berhubungan signifikan yang akan dimasukan ke dalam model Kerangka Pemikiran Peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi merupakan syarat perlu bagi pembangunan daerah. Meskipun bukan satu-satunya syarat bagi pembangunan, pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi dapat menjadi indikator yang cukup representatif. Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah sangat besar dalam hal meningkatkan kompetisi antarperusahaan di daerah bersangkutan dan mendorong berbagai inovasi yang berasal dari perkembangan praktek berusaha yang mendorong kepada penggunaan teknologi. Dei era otonomi daerah, untuk melaksanakan pembangunan diperlukan kemandirian dan kemampuan dari pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan dana pembangunan. Dengan berbagai kewenangan yang telah didesentralisasikan,

53 36 pemerintah daerah seharusnya mampu optimal dalam mengelola potensi daerahnya masing-masing. Hal ini dapat diwujudkan melalui tata kelola ekonomi yang baik oleh pemerintah daerah. Selain pemerintah daerah, sektor swasta sangat menentukan perekonomian daerah. Sektor swasta berperan besar dalam menggerakkan kegiatan produksi barang dan jasa di daerah dengan cara menanamkan modal di daerah tersebut guna menghimpun sumber dana untuk membiayai kegiatan produksi tersebut. Investasi diyakini mampu menggerakan perekonomian di suatu daerah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan masyarakat serta mengurangi kemiskinan. Untuk meneliti variabel-variabel tata kelola ekonomi daerah yang berhubungan secara signifikan dengan dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi, penelitian ini menggunakan analisis korelasi. Selanjutnya dilihat pengaruh variabel-variabel yang berhubungan secara signifikan terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi serta faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi PDRB per kapita. Selain itu, penelitian ini juga akan memberikan rekomendasi implementasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah provinsi untuk memperbaiki kinerja perekonomian agar menjadi lebih kondusif dalam dapat mendorong PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah pada masa yang akan datang.

54 37 Peningkatan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi merupakan syarat perlu pembangunanan ekonomi Perlu upaya pemerintah daerah dalam mendorong pembangunan ekonomi Faktor-faktor yang memengaruhi PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi Tata Kelola Ekonomi Daerah Sembilan indikator: 1. Akses Lahan 2. Infrastruktur 3. Perizinan Usaha 4. Peraturan Daerah 5. Biaya Transaksi 6. Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota 7. Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha 8. Program Pengembangan Usaha Swasta 9. Keamanan dan Penyelesaian Konflik Faktor-faktor lain (Belanja, IPM) Implementasi Kebijakan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi Gambar 5 Bagan kerangka pemikiran.

55 Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diduga seluruh variabel dalam sembilan indikator tata kelola ekonomi daerah berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 2. Diduga belanja pemerintah berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 3. Diduga IPM berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

56 39 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 yang diperoleh dari Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD), data Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) diperoleh dari Kementerian Keuangan, serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, pertumbuhan ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. Data sekunder lain yang masih terkait dalam penelitian ini diperoleh dari artikel, jurnal, skripsi dan tesis dari perpustakaan IPB, internet dan lembaga lainnya. Tabel 5 Jenis dan sumber data No Variabel Sumber Data Satuan 1. Produk Domestik BPS (PDRB Kabupaten dan Kota di Rupiah Regional Bruto per Provinsi Jawa Tengah) Tahun 2007 kapita (PDRB per kapita) 2. Pertumbuhan Ekonomi BPS (PDRB Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah) Tahun 2007 persen 3. Belanja Modal Direktorat Jenderal Perimbangan rupiah Pemerintah Keuangan, Kementerian Keuangan 4. Belanja Pendidikan Direktorat Jenderal Perimbangan rupiah Pemerintah Keuangan, Kementerian Keuangan 5. Belanja Kesehatan Direktorat Jenderal Perimbangan rupiah 6. Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah Keuangan, Kementerian Keuangan KPPOD (Tata Kelola Ekonomi Daerah) 2007 skor

57 Definisi Operasional Operasional data merupakan variabel-variabel pendukung yang digunakan dalam analisis. Varibel-variabel operasional data tersebut akan didefinisikan sebagai berikut. 1. PDRB per kapita adalah rasio PDRB atas harga berlaku terhadap jumlah penduduk dalam satuan rupiah. 2. Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan PDRB atas harga konstan dari tahun 2006 hingga tahun Belanja modal pemerintah adalah belanja pemerintah dalam APBD yang digunakan untuk pembelian/pembentukan aset tetap seperti gedung, jalan (infrastruktur) dan aset tetap lainnya dalam satuan rupiah. 3. Belanja pendidikan pemerintah adalah pengeluaran pemerintah dalam APBD yang ditujukan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan seperti pembelian buku, fasilitas jaringan internet sekolah, maupun gedung sekolah dalam satuan rupiah. 4. Belanja kesehatan pemerintah adalah pengeluaran pemerintah dalam APBD yang ditujukan dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan seperti fasilitas rumah sakit, peralatan medis dan obat-obatan maupun gedung rumah sakit dalam satuan rupiah. 5. IPM adalah indeks komposit yang disusun dari tiga indikator yaitu lama hidup yang diukur denga angkan harapan hidup ketika lahir, pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas, dan standar hidup yang diukur dengan pengeluaran per kapita (PPP rupiah). Nilai indeks berkisar

58 41 6. Gov merupakan variabel tata kelola ekonomi daerah yang berhubungan secara signifikan dan sejalan dengan teori Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana. Analisis deskriptif ini mengkaji secara eksploratif mengenai gambaran tentang tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan bantuan tabel dan grafik. Adapun pola hubungan antara tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita ditunjukkan dengan boxplot serta scatter plot Analisis Korelasi Uji korelasi bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yang tidak menunjukkan hubungan fungsional (berhubungan bukan berarti disebabkan). Uji korelasi tidak membedakan jenis variabel apakah variabel dependen maupun independen. Korelasi dinyatakan dalam persentase keeratan hubungan antar variabel yang dinamakan dengan koefisien korelasi. Koefisien korelasi ini yang

59 42 menunjukkan derajat keeratan hubungan antara dua variabel dan arah hubungannya (+ atau -). Nilai koefisien korelasi berkisar antara sampai +1, yang kriteria pemanfaatannya dijelaskan sebagai berikut: Jika, nilai r > 0, artinya telah terjadi hubungan yang linear positif, yaitu makin besar nilai variabel X makin besar pula nilai variabel Y atau makin kecil nilai variabel X makin kecil pula nilai variabel Y. Jika, nilai r < 0, artinya telah terjadi hubungan yang linear negatif, yaitu makin besar nilai variabel X makin kecil nilai variabel Y atau makin kecil nilai variabel X maka makin besar pula nilai variabel Y. Jika, nilai r = 0, artinya tidak ada hubungan antara variabel X dan variabel Y. Jika, nilai r =1 atau r = -1, maka dapat dikatakan telah terjadi hubungan linear sempurna, berupa garis lurus, sedangkan untuk r yang makin mengarah ke angka 0 (nol) maka garis makin tidak lurus. Uji korelasi terdiri dari uji korelasi Pearson, uji korelasi Spearman dan uji korelasi Kendall Uji Korelasi Pearson Korelasi Pearson digunakan untuk data dalam jumlah besar dan sebaran normal. Uji korelasi ini dilakukan untuk mengetahui korelasi data kuantitatif (interval atau rasio). Hipoteseis korelasi Pearson adalah sebagai berikut: H 0 : ρ 1 = 0 H 1 : ρ 1 0

60 43 Koefisien korelasi diformulasikan sebagai berikut: r xy = ( ) ( ( ) (1) r xy x y x 2 y 2 N : Koefisien korelasi yang dicari : Jumlah perkalian variabel x dan y : Jumlah nilai variabel x : Jumlah nilai variabel y : Jumlah pangkat dua nilai variabel x : Jumlah pangkat dua nilai variabel y : Banyaknya sampel x dan variabel y. Jika r hitung r tabel, maka tolak H 0, artinya terdapat korelasi antara variabel Uji Korelasi Spearman Korelasi Spearman dan Kendall digunakan untuk data dalam jumlah sedikit dan sebarannya tidak normal. Uji korelasi ini dilakukan untuk mengukur korelasi pada statistik non parametrik (data ordinal). Hipotesis korelasi Spearman adalah H 0 : ρ 1 = 0 H 1 : ρ 1 0 korelasi rank Spearman dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: r s = 1 ( ) (2) dimana d i 2 = [(R(X i ) R(Y))] 2 = Jumlah kuadrat selisih variabel X dan Y

61 44 dan variabel y. Jika r s r tabel, maka tolak H 0, artinya terdapat korelasi antara variabel x Analisis Regresi Berganda Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan tujuan untuk menganalisis keterkaitan hubungan yang signifikan antara sembilan indikator tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah. Estimasi koefisien regresi dilakukan melalui metode Ordinary Least Square (OLS). Salah satu regresi dalam OLS adalah regresi linear berganda. Analisis regresi linear berganda menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang merupakan penyebab dan variabel Y (variabel tak bebas) yang merupakan akibat. Analisis linear berganda berfokus pada ketergantungan satu variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel penjelas (variabel bebas). Secara umum dapat dikatakan bahwa pemakaian metode OLS dalam menaksir parameter model linier berbentuk: Y i = α 0i + α 1 x 1i + α 2 x 2i +.+ α k x ki + ε i (3) Keterangan: i = nomor pengamatan dari 1 sampai N untuk data populasi atau n untuk data contoh. α 0 α n = Intersep model regresi = Koefisien kemiringan parsial X ki Y i ε i = Pengamatan ke-i untuk peubah bebas X k = Pengamatan ke-i untuk peubah bebas Y = Galat pada pengamatan ke-i

62 45 Asumsi model OLS menurut Juanda (2009), yaitu: i. Spesifikasi model ditetapkan seperti dalam persamaan (3) ii. Peubah X k merupakan peubah non-stokastik (fixed), artinya sudah ditentukan, bukan peubah acak. Selain itu, tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas X k. iii. a) Komponen sisaan ε i mempunyai nilai harapan sama dengan nol dan ragam konstan untuk semua pengamatan i. E(ε i )=0 dan Var(ε i )=σ² b) Tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan ε i sehingga Cov(ε i, ε j )=0, untuk i j. c) Komponen sisaan menyebar normal. Dalam terminologi statistika, asumsi (iii) ini biasa diringkas dengan simbol ε i ~ N(0, σ²) yang artinya komponen ε i menyebar Normal, Bebas Stokastik, dan Identik, dengan nilai tengah sama dengan nol dan ragam konstan untuk i=1,2,...,n. Semua asumsi di atas jika terpenuhi, maka penaksir OLS dari koefisien regresi adalah penaksir tak bias linear terbaik atau Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) Model Analisis Berganda Model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB per kapita kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut: PDRBKAP = α 0i + α 1 BM i + α 2 BP i + α 3 IPM i + α 4 GOV i + ε i...(4)

63 46 Keterangan: PDRBKAP: Pendapatan Domestik Regional Bruto per Kapita kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah tahun 2007 (rupiah) BP : Realisasi Belanja Pendidikan Pemerintah kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 (rupiah) BM : Realisasi Belanja Modal Pemerintah kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 (rupiah) IPM : Indeks Pembangunan Manusia kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah tahun 2007 (rupiah) Gov : Variabel tata kelola ekonomi daerah kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah tahun 2007 Sementara model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut: PE = β 0i + β 1ln_BK i + β 2 ln_bp i + β 3ln_IPM i + α 4 GOV i + ε i...(5) Keterangan: PE : Pertumbuhan ekonomi kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah tahun 2007 (rupiah) BP : Realisasi Belanja Pendidikan Pemerintah kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 (rupiah) BK : Realisasi Belanja Kesehatan Pemerintah kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 (rupiah) IPM : Indeks Pembangunan Manusia kabupaten.kota provinsi Jawa Tengah tahun 2007 (rupiah)

64 47 Gov : Variabel tata kelola ekonomi daerah tahun 2007 Variabel yang akan dimasukan ke dalam model adalah variabel terpilih, yaitu variabel yang mempunyai korelasi yang signifikan dan sesuai teori ekonomi. Setelah itu, model tersebut dianalisis menggunakan kriteria-kriteria uji statistik dan uji ekonometrika agar model tersebut memenuhi persyaratan metode analisis OLS dan terbebas dari masalah-masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas Uji Statistik Model Pengujian Model dengan Menggunakan Uji F-Statistik Uji F-statistik ini digunakan untuk menduga persamaan secara keseluruhan. Uji F-statistik menjelaskan kemampuan variabel bebas secara bersama dalam menjelaskan keragaman dari variabel terikat. Hipotesis yang diuji dari parameter pendugaan persamaan adalah variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat, hal ini disebut sebagai hipotesis nol (H 0 ) dengan mekanisme sebagai berikut: H 0 : α 1 = α 2 = = α i = 0, (tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan) H1 : minimal salah satu αi 0, (paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat) Untuk i = 1, 2, 3,, n dan α = dugaan parameter Statistik uji yang dilakukan dalam uji-f (Gujarati, 1993): F hitung= (6)

65 48 Keterangan: R 2 = Koefisien determinasi n = Banyaknya titik pengamatan k = Jumlah koefisien regresi dugaan Dimana hasil dari F-hitung dibandingkan dengan F tabel (F-tabel = Fα(k-1, n-k)) dengan kriteria uji: F-hitung > Fα(k-1, n-k), maka tolak H 0 F-hitung Fα(k-1, n-k), maka terima H 0 Langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian dimana F-hitung dari hasil analisis dibandingkan dengan F -tabel. Jika F -hitung > F -tabel maka tolak H 0, berarti minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel terikat. Jika F -hitung F -tabel maka terima H 0, berarti secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel terikat Pengujian Hipotesis Parameter Regresi (Uji t) Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh pada variabel terikatnya. Hipotesis: H 0 : α i = 0, (tidak ada pengaruh nyata variabel dalam persamaan) H 1 : α i 0, (variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat) Untuk i = 1, 2, 3,, n dan α = dugaan parameter

66 49 Uji statistik yang digunakan adalah uji-t: t -hitung = β (7) Keterangan: β : Koefisien regresi parsial sampel : Koefisien regresi parsial populasi S b : Simpangan baku koefisien dugaan Dimana hasil dari t-hitung dibandingkan dengan t-tabel (t -tabel = t α/2 (n-k) ) dengan kriteria uji: t -hitung > t α/2 (n-k), maka tolak H 0 t -hitung t α/ 2 (n-k), maka terima H 0 Hasil yang didapatkan dari perbandingan tersebut jika t hitung > t -tabel maka tolak H 0, berarti variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata (α). Hasil yang didapatkan dari perbandingan tersebut jika t -hitung t -tabel maka terima H 0, berarti variabel yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat Koefisien Determinasi (R-Squared) dan Adjusted R-Squared Koefisien determinasi (R-Squared) dan Adjusted R-Squared digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel tak bebasnya dan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model tersebut. Menurut Gujarati (1993), terdapat dua sifat R-Squared, yaitu: 1. Merupakan besaran non negatif.

67 50 2. Batasnya adalah 0 R 2 1, jika R 2 bernilai 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R 2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan varibel bebas. Nilai koefisien determinasi dapat dihitung sebagai berikut: R 2 = = = (8) Keterangan: ESS : Jumlah kuadrat yang dijelaskan (Explained Sum Square) TSS : Jumlah kuadrat total (Total Sum Square) Jika terus ditambahkan variabel bebas ke dalam model, maka model akan selalu mendapatkan nilai yang terus naik seiring dengan sehingga Adjusted R- squared bisa juga digunakan untuk melihat sejauhmana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel tak bebasnya. Adjusted R-squared secara umum memberikan hukuman terhadap penambahan variabel bebas yang tidak mampu menambah daya prediksi suatu model. Nilai Adjusted R-squared tidak akan pernah melebihi nilai R-squared bahkan dapat turun jika ditambahkan variabel bebas yang tidak perlu. Bahkan untuk model yang memiliki kecocokan rendah (goodness of fit), Adjusted R-squared dapat memiliki nilai negatif.

68 Uji Ekonometrika Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah suatu penyimpangan asumsi OLS dalam bentuk varians gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi OLS yang tidak bernilai konstan. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varian minimum (efisien). Menurut Gujarati (1993), jika terjadi heteroskedastisitas maka akan berakibat sebagai berikut: 1) Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien. 2) Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien. 3) Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians. Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser, yang dilakukan pertama kali pada uji ini adalah mendapatkan residual (u t ) dari regresi OLS, lalu regresikan nilai absolut dari ut ( u t ) terhadap variabel bebas yang diperkirakan mempunyai hubungan yang erat. Uji ini menggunakan nilai probabilitas dari u t, jika hasil regresi siginifikan berarti terdapat masalah heteroskedastisitas. Hipotesis : H 0 : ρ = 0 H 1 : ρ 0

69 52 Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas adalah sebagai berikut: 1. Probability u t < α, maka tolak H 0 2. Probability u t > α, maka terima H 0 Keterangan: u t : Residual (galat) Jika H 0 ditolak maka terjadi heteroskedastisitas dalam model, sebaliknya jika H 0 diterima maka tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Solusi dari masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki galat dengan varians yang konstan Multikolinearitas Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang sempurna antara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Tanda-tanda adanya multikolinearitas adalah sebagai berikut: Tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan. R-squared-nya tinggi tetapi uji individu (uji t) tidak banyak bahkan tidak ada yang nyata. Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (r ij tinggi). R 2 lebih kecil dari r ij 2 menunjukkan adanya masalah multikolinearitas. Ada beberapa cara untuk mengetahui multikolinearitas dalam model, salah satunya adalah uji Manquardt, yaitu dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing variabel bebas. Jika nilai VIF kurang dari sepuluh, maka dapat disimpulkan bahwa dalam persamaan tidak terdapat

70 53 multikolinearitas. Sebaliknya, jika nilai VIF lebih besar dari sepuluh maka terdapat multikolinearitas dalam persamaan tersebut. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah dengan regresi analisis komponen utama (principal componet analysis). Pendugaan dengan regresi komponen utama akan menghasilkan nilai dugaan yang memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi, dengan jumlah kuadrat sisaan yang lebih kecil dibandingkan dengan pendugaan metode kuadrat terkecil. Analisis komponen utama pada dasarnya mentransformasi peubah-peubah bebas yang berkorelasi menjadi peubah-peubah baru yang orthogonal dan tidak berkorelasi. Analisis ini bertujuan untuk menyederhanakan peubah-peubah yang diamati dengan cara mereduksi dimensinya. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan korelasi di antara peubah melalui transformasi peubah asal ke peubah baru (komponen utama) yang tidak berkorelasi.

71 54 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geografis Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Letak Provinsi Jawa Tengah berada di 5 o 40' hingga 8 o 30' Lintang Selatan dan antara 108 o 30' hingga 111 o 30' Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 Km dan dari Utara ke Selatan 226 Km (tidak termasuk pulau Karimunjawa). Luas wilayah Jawa Tengah tahun 2006 tercatat sebesar hektar. Batas wilayah Jawa Tengah adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara : Laut Jawa - Sebelah Timur : Provinsi Jawa Timur - Sebelah Selatan : Provinsi DIY dan Samudera Indonesia - Sebelah Barat : Provinsi Jawa Barat Gambar 6 Wilayah kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah.

72 55 Sampai dengan tahun 2006 Provinsi Jawa Tengah secara administratif terbagi dalam 35 Kabupaten/Kota, dimana terdapat 29 Kabupaten dan 6 Kota, yang terdiri dari 565 Kecamatan meliputi desa dan 784 kelurahan. Kabupaten Cilacap merupakan Kabupaten terluas di Jawa Tengah dengan luas wilayah hektar (6,57 persen dari luas Jawa Tengah), sedangkan kota terluas adalah Kota Semarang dengan luas hektar (1,15 persen dari luas Jawa Tengah). Kota tersempit di Provinsi Jawa Tengah adalah Kota Magelang dengan luas hektar (0,06 persen dari luas Jawa Tengah) Kondisi Demografi Provinsi Jawa Tengah Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 adalah sebesar (Sensus Penduduk BPS, 2010). Jumlah penduduk tertinggi pada tahun 2010 yaitu Kabupaten Brebes sebanyak jiwa (5,35 persen dari total penduduk Jawa Tengah). Jumlah penduduk terendah di Kota Magelang sebanyak jiwa (0,37 persen total penduduk Jawa Tengah). Tabel 6 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Jawa Tengah Tahun Penduduk (jiwa) LPP (%) , , , , ,37 Sumber: BPS Jateng Rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah pada tahun 2010 sebesar 995,04 jiwa per km 2. Dari tabel tersebut rata-rata laju petumbuhan penduduk Jawa Tengah semakin melambat. Pada periode tahun penduduk tubuh 1,74

73 56 persen, setelah lima puluh tahun kemudian rata-rata laju pertumbuhan penduduk menurun menjadi 0,37 persen pada periode tahun Rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tahun 2010 tercatat 995,04 jiwa setiap kilometer persegi. Wilayah terpadat adalah Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan sekitar setiap kilometer persegi sementara wilayah paling rendah tingkat kepadatan penduduk adalah Kabupaten Blora dengan 462 jiwa setiap kilometer persegi. Dengan demikian persebaran penduduk Jawa Tengah belum merata. Perkembangan penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari rasio jenis kelamin, yaitu perbandingan antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan. Jumlah penduduk laki-laki relatif seimbang bila dibandingkan dengan penduduk perempuan, yaitu masing-masing sebesar jiwa (49,69 persen) penduduk laki-laki dan jiwa (50,31 persen) penduduk perempuan. Dengan demikian rasio jenis kelamin penduduk Jawa Tengah tahun 2010 sebesar 98,77. Struktur atau komposisi penduduk Jawa Tengah menurut golongan umur dan jenis kelamin menunjukkan bahwa penduduk laki-laki maupun penduduk perempuan proporsi terbesar adalah berada pada kelompok umur tahun Kondisi Pembangunan Manusia Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat kemajuan pembangunan manusia di suatu daerah adalah indeks pembangunan manusia. Angka ini mencerminkan kemajuan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

74 57 IPM 72, , , , , Tahun Sumber: BPS Jateng Gambar 7 Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Jawa Tengah tahun Dengan melihat perkembangan angka IPM tiap tahun, terjadi kemajuan yang dicapat Jawa Tengah dalam pembangunan manusia. angka IPM provinsi ini mengalami peningkatan dari 69,8 pada tahun 2005 menjadi 72,1 pada tahun Peningkatan IPM pada tahun 2009 banyak dipengaruhi oleh naiknya kualitas pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rata-ata lama sekolah penduduk Jawa Tengah yang meningkat dari 6,9 tahu pada tahun 2008 menjadi 7,1 tahun pada tahun Angka IPM Jawa Tengah relatif lebih baik dari pada provinsi lain di Indonesia. IPM Jawa Tengah masih lebih baik dari rata-rata IPM Indonesia. Peringkat IPM provinsi ini pun meningkat dari tahun 2005 sampai tahun 2010.

75 Kondisi Sosial Budaya Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam hal peningkatan kualitas manusia. Indikator pendidikan yaitu angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (RLS) digunakan sebagai variabel dalam menghitung IPM selain indikator kesehatan dan indikator ekonomi. AMH Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 berdasakan perhitungan BPS adalah sebesar 89,95 persen, angka tersebut meningkat dari tahun 2009 yaitu sebesar 89,46 persen. Sedangkan RLS tahun 2010 sebesar 7,24 tahun, meningkat dari angka tahun 2008 yang sebesar 7,07 tahun. Menurut data BPS tahun 2010, penduduk berumur 15 tahun ke atas dengan tingkat pendidikan tertinggi SD berjumlah paling besar yaitu 58,03 persen. Sedangkan penduduk berumur 15 tahun keatas dengan pendidikan tertinggi SLTA dan Perguruan Tinggi sebesar 23 persen. Dilihat dari jumlah pendidikan tinggi, di Jawa Tengah terdapat 5 unit Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yaitu Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Negeri Semarang dan IAIN Walisongo serta 147 unit Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Kesehatan Salah satu indikator kesehatan adalah Angka Harapan Hidup (AHH) yang menunjukkan perkiraan lama hidup rata-rata penduduk dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas menurut umur. Berdasarkan perhitungan BPS,

76 59 AHH Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 adalah sebesar 71,4 tahun. Hal ini berarti bahwa penduduk Provinsi Jawa Tengah rata-rata bisa mencapai usia 71,4 tahun. Selain indikator tersebut, kondisi kesehatan masyarakat juga diantaranya dapat dilihat dari keadaan gizi balita, kondisi kesehatan ibu, kesehatan keluarga miskin dan kesehatan orang tua lanjut. Dilihat dari keadaan gizi balita, masih ada balita dengan status gizi buruk yang tentunya harus mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Daerah. Bayi dengan keadaan gizi buruk di Jawa Tengah tahun 2010 sebesar 3,3 persen. Sedangkan bayi dengan keadaan gizi kurang, baik dan lebih masing-masing sebesar 12,4 persen; 78,1 persen; 6,2 persen Agama Berdasarkan komposisi penduduk menurut agama yang dipeluk, sebagian besar penduduk memeluk agama Islam. Sebesar 96,8 persen dari total penduduk Jawa Tengah memeluk agama tersebut. Penduduk selebihnya agama Kristen (1,62 persen), Katholik (1,2 persen), Budha (0,22 persen), Hindu ( 0,0008 persen) Kondisi Perekonomian Jawa Tengah Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi yang diperlukan untuk evaluasi dan perencanaan ekonomi makro, biasanya dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas harga berlaku maupun berdasarkan atas harga konstan. Data pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah tahun yang ditunjukkan oleh BPS

77 60 Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat grafik berikut. Pertumbuhan Ekonomi Tahun Sumber: BPS Jateng Gambar 8 Pertumbuhan ekonomi provinsi Jawa Tengah tahun Gambar 8 menunjukkan pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah cenderung meningkat. Penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi di tahun 2009 yang diakibatkan oleh krisis global di tahun Meskipun mengalami pelambatan dibandingkan tahun 2008, perekonomian Jawa Tengah masih tumbuh sebesar 4,71 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 5,84 persen. Pada tahun 2010, kondisi perekonomian global maupun perekonomian Indonesia mulai pulih dari krisis global tahun Tabel 7 menunjukkan bahwa dari sembilan sektor yang ada, pada tahun 2010 sektor industri pengolahan memiliki kontribusi terbesar yakni 61,8 persen dari total PDB Jawa Tengah. Dapat dikatakan bahwa sektor sekunder menjadi sektor utama dalam perekonomian Jawa Tengah. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menempati posisi kedua terbesar setelah industri pengolahan dengan

78 61 persentase 25,63 persen dari total PDRB. Sektor pertanian yang merupakan sektor primer hanya memiliki persentase 6,2 persen dari total PDRB Jawa Tengah. Tabel 7 Produk domestik regional bruto menurut harga berlaku dan kontribusi tiap sektor terhadap pembentukan produk domestik regional bruto tahun 2010 LAPANGAN USAHA PDRB (Rp juta) Persentase terhadap PDRB (persen) 1. PERTANIAN ,19 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN ,66 3. INDUSTRI PENGOLAHAN ,80 a. Industri Migas ,60 b. Industri Bukan Migas ,20 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH ,21 5. KONSTRUKSI ,00 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN ,63 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI ,70 a. Pengangkutan ,56 b. Komunikasi ,14 8. KEU. REAL ESTAT, & JASA PERUSAHAAN ,07 9. JASA-JASA ,72 PDRB Sumber: BPS Jateng (diolah) PDRB per kapita merupakan tolak ukur kesejahteraan ekonomi. PDRB per kapita di Jawa Tengah mengalami peningkatan dari Rp pada tahun 2001 hingga Rp pada tahun Peningkatan dalam periode tersebut mencapai 37 persen. Pertumbuhan PDRB per kapita dapat dilihat pada Gambar 9.

79 62 PDRB pekapita Tahun Sumber: BPS Jateng Gambar 9 PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah tahun Ketenagakerjaan Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah yang termasuk dalam kategori bekerja pada tahun 2009 sebanyak jiwa, turun menjadi jiwa di tahun Jumlah pengangguran tahun 2008 sebanyak jiwa meningkat di tahun 2009 sebesar Pada tahun 2010, jumlah pengangguran sebanyak jiwa mengalami penurunan dari 7,34 persen pada tahun 2009 menjadi 6,2 persen tahun Tata Kelola Ekonomi Daerah Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) ini menyajikan suatu gambaran yang sangat menarik mengenai dinamika pemerintahan daerah dan pengembangan iklim investasi di Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah yang telah berlangsung sejak tahun Survei yang sudah dilaksanakan ketujuh

80 63 kalinya ini merupakan suatu program yang dilakukan KPPOD sejak tahun 2001 dengan dukungan The Asia Foundation. Cakupan wilayah survei bertambah dari tahun ke tahun, diawali dengan 90 kabupaten dan kota di tahun 2001, kemudian 134 kabupaten dan kota tahun 2002, dilanjutkan tahun 2003 meliputi 200 kabupaten dan kota, disusul 214 kabupaten dan kota di tahun 2004 dan 228 kabupaten dan kota tahun 2005, kemudian di 243 kabupaten dan kota 2007 dan yang terakhir tahun 2010 di 245 kabupaten dan kota di Indonesia. Survei ini merupakan survei terbesar untuk survei sejenis di Indonesia, dan salah satu dari survei tata kelola ekonomi terbesar di dunia. Tujuan dari survei ini adalah untuk mendorong kompetisi antar daerah dan untuk menekankan pentingnya iklim investasi daerah di era desentralisasi. Survei ini diharapkan dapat menjadi basis bagi pemerintah daerah (pemda) kabupaten/kota untuk memrioritaskan reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerahnya. Selain itu, survei ini juga diharapkan dapat menciptakan iklim kompetisi antar kabupaten/kota yang sehat. Survei ini lebih memfokuskan pada tata kelola ekonomi daerah yang menitikberatkan indikator penelitian yang bersifat kebijakan dan implementasinya, berbeda dengan survei tahun-tahun sebelumnya yang menggabungkan faktor anugerah dengan faktor kebijakan. Survei ini juga fokus pada aspek-aspek tata kelola ekonomi yang merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten dan kota. Survei ini menggunakan sembilan indikator iklim investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha, yaitu: akses lahan usaha dan kepastian usaha, perizinan usaha, interaksi antara Pemda dan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta, kapasitas dan integritas Kepala Daerah,

81 64 pajak daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain, kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian konflik, dan kualitas peraturan daerah Instrumen Penelitian Survei ini menggunakan dua jenis instrumen penelitian, yaitu kuesioner terhadap pelaku usaha dan asosiasi usaha daerah serta lembar penilaian melalui analisa kualitatif terhadap peraturan daerah dimana berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintahan daerah, mulai dari peraturan daerah (perda), peraturan, surat keputusan, dan surat edaran kepala daerah, yang terkait dengan dunia usaha dikumpulkan dan dikaji. Pelaku usaha yang menjadi responden survei adalah yang melakukan aktivitas usaha pada sektor usaha non-primer, yaitu jasa, industri pengolahan, dan pedagangan. Ketiga bidang ini merupakan sektor utama yang banyak bersinggungan dengan pemerintah. Pelaku usaha primer yang bergerak di bidang pertanian, kehutanan dan perikanan tidak dijadikan responden dalam survei ini dengan pertimbangan bahwa intervensi pemerintah yang dibutuhkan sektor tersebut sedikit berbeda dengan ketiga sektor yang dipilih. Acuan indeks TKED adalah kabupaten/kota yang terbaik dan terburuk di wilayah survei. Sumber data utama TKED adalah survei perusahaan untuk memastikan bahwa hasilnya adalah kenyataan atau praktik yang dihadapi oleh pelaku usaha, bukan pandangan para ahli maupun peraturan yang berlaku. Sedangkan sebagai acuan kinerja TKED suatu daerah, digunakan kabupaten/kota yang terbaik dan terburuk di wilayah survei untuk setiap variabel. Dengan demikian, kinerja TKED suatu daerah dibandingkan dengan daerah acuan yang dapat dicapai oleh daerah di provinsi lainnya yang disurvei.

82 65 Penghitungan indeks dilakukan untuk membandingkan keadaan tata kelola ekonomi daerah di kabupaten/kota yang disurvei. Terdapat beberapa langkah untuk menghitung indeks akhir, yaitu: (1) Penentuan variabel-variabel yang digunakan untuk membentuk subindeks. Variabel-variabel dipilih karena diyakini merupakan unsur pembentuk dari sub-indeks tersebut. Sebagai contoh: Sub-Indeks Akses Lahan dan Kepastian Hukum dibentuk dari variabel waktu yang diperlukan untuk mengurus sertifikat tanah; kemudahan atau kesulitan mendapatkan lahan untuk berusaha; tingkat penggusuran; dan masalah terkait dengan penyediaan lahan dan kepastian hukum menjadi hambatan bagi usaha mereka. (2) Normalisasi variabel dengan menghitung nilai t. Dalam kuesioner, setiap indikator terdiri atas beberapa pertanyaan yang berupa variabel kuantitatif (variabel kontinyu) dan kualitatif (variabel diskrit). Kedua jenis variabel ini tidak dapat diagregasikan secara langsung, karena memiliki satuan pengukuran yang berbeda, misalnya: antara angka Rp dan persepsi (1 = sangat buruk, 2 = buruk, 3 = baik dan sampai dengan 4 = sangat baik). Karena itu, perlu dilakukan normalisasi terlebih dahulu untuk menghilangkan satuan dari masing-masing variabel dengan rumus sebagai berikut: t Selain itu, beberapa variabel nilainya perlu dibalik untuk memastikan bahwa nilai yang lebih tinggi menunjukkan kinerja yang lebih baik. Misalnya, waktu yang lebih lama untuk mengurus sertifikat tanah menunjukkan kinerja yang

83 66 lebih buruk. Nilai-t untuk variabel-variabel seperti ini perlu dibalik dengan menghitung t rev = t. (3) Penghitungan sub-indeks. Berbagai variabel komposit dalam setiap indikator TKED dirata-ratakan untuk memperoleh sub-indeks. Pada tahap ini setiap variabel mempunyai bobot yang sama. (4) Penghitungan indeks. Tahap selanjutnya adalah penghitungan indeks akhir yang merupakan agregasi dari sembilan sub-indeks yang digunakan. Pada tahap ini digunakan bobot berdasarkan penilaian pelaku usaha atas hambatan utama dalam berusaha Karakteristik Responden dan Perusahaan Secara umum dilihat dari sisi ukuran perusahaan, sampel perusahaan terdiri dari 51 persen perusahaan kecil, 43 persen perusahaan menengah (sedang) dan 6 persen merupakan perusahaan besar (lihat Gambar 10). Sementara dilihat dari sektor usaha (Gambar 11) sampel perusahaan terdiri dari 43 persen sektor usaha produksi, 21 persen sektor perdagangan, dan 36 persen sektor jasa. 6% 43% 51% Perusahaan Kecil Perusahaan Menengah Perusahaan Besar Sumber: KPPOD Gambar 10 Persentase sampel menurut ukuran usaha.

84 67 36% 43% Sektor usaha produksi Sektor perdagangan Sektor jasa 21% Sumber: KPPOD Gambar 11 Persentase sampel menurut sektor usaha. Survei ini mewawancarai responden yang mengambil keputusan penting dalam perusahaan. Dari perusahaan yang disurvei, 59 persen posisi mereka yang diwawancarai adalah pemilik usaha, disusul manajer (21 persen). Data ini menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh dalam survei ini merupakan cerminan pendapat pelaku usaha. Hal ini ditunjukkan oleh 80 persen perusahaan yang disurvei, posisi respondennya adalah mereka yang paham betul mengenai seluk beluk perusahaan, karena mereka adalah pemilik (owners) dan manajer. Sementara itu, dilihat dari tingkat pendidikan responden 20 persen responden berpendidikan minimal sarjana dan 6,9 persen berpendidikan akademi dan 39,1 persen berpendidikan SLTA. Data ini menunjukkan bahwa secara umum, informasi yang diperoleh dari responden cukup baik, karena tingkat pendidikan mereka sebagaian besar adalah SLTA ke atas (66 persen). Hanya sekitar 5,2 persen responden yang tidak tamat SD.

85 Akses Lahan Lahan merupakan tempat yang digunakan untuk memulai aktivitas usaha yang dibutuhkan setiap jenis kegiatan usaha. Walaupun perkembangan teknologi dan jenis usaha tertentu (misalnya jasa dokter) tidak membutuhkan kehadiran lahan, namun sebagian besar aktivitas ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada lahan. Tingkat permintaan terhadap lahan semakin tinggi, sedangkan ketersediaan lahan yang terbatas telah menjadi permasalahan tersendiri. Permasalahan lahan tersebut bisa dikatakan sebagai masalah alami akses lahan. Sedangkan masalah administrasi pertanahan yang sering muncul seperti sengketa lahan karena adanya kepemilikan sertifikat ganda ataupun perubahan tanah ulayat. Prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan pada indikator akses lahan dan kepastian usaha adalah tingkat kepastian hukum terhadap kepemilikan lahan, tingkat resiko penggusuran, lama pengurusan surat kepemilikan tanah, dan tingkat kemudahan perolehan lahan serta frekuensi terjadinya konflik mengenai kepemilikan atau perjanjian kerjasama penggunaan lahan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 2 UUPA ayat (2) dijabarkan mengenai hak negara yang merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat (3) UUD. Atas dasar tersebut, negara memiliki hak atas permukaan bumi (tanah) yang diantaranya adalah: 1. Hak milik (HM) adalah hak turun-temurun, kuat, dan penuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, tetapi tidak berarti bahwa hak milik tersebut

86 69 merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat. langsung dalam bidang sosial atau keagamaan. 2. Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, misalnya digunakan untuk perusahaan pertanian atau perkebunan, perikanan dan peternakan. 3. Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dengan jangka waktu tertentu. 4. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang, dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik Dalam implementasinya, hak atas tanah dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat. Sertifikat tanah diperoleh melalui pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pendaftaran tanah sendiri meliputi dua hal, yaitu pendaftaran untuk tanah yang belum bersertifikat dan pendaftaran untuk pengalihan atau peningkatan hak. Pendaftaran tanah dimulai dari pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum dan dokumen. Gambaran Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota. Berikut adalah penjabaran detil

87 70 mengenai pembagian urusan pemerintahan bidang pertanahan pemerintah kabupaten dan kota: 1. Izin Lokasi 2. Pengadaan tanah 3. Penyelesaian sengketa tanah garapan 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian 5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah 6. Penetapan tanah ulayat 7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong 8. Izin membuka tanah 9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten dan kota Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator akses lahan usaha dan kepastian berusaha ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah. 2) Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan. 3) Persepsi tentang penggusuran lahan oleh Pemda. 4) Persepsi tentang keseluruhan permasalahan lahan usaha Perizinan Usaha Saat ini masalah perizinan usaha adalah salah satu masalah utama yang dihadapi seseorang ketika akan memulai usaha. Izin usaha merupakan bentuk pendaftaran perusahaan kepada pemerintah untuk mendapatkan formalitas status usaha. Formalitas usaha diperlukan agar perusahaan bersangkutan bisa mengakses modal dari lembaga keuangan formal dengan lebih mudah. Menurut laporan Doing Business dalam Bank Dunia (2010), untuk memulai sebuah usaha baru di

88 71 Jakarta seorang pengusaha harus melewati sembilan prosedur, memerlukan 47 hari kerja, dan membutuhkan biaya sampai 22 persen pendapatan per kapita. Masalah-masalah ini dapat menghambat aktivitas komersial, mempersulit perkembangan perusahaan-perusahaan kecil, menghambat pendirian usaha-usaha baru, dan membuat para usahawan menghindari formalisasi. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah di perizinan usaha pada survei ini terdapat lima jenis indikator yang dijadikan dasar pengumpulan informasi seputar izin usaha seperti kemudahan pengurusan izin, biaya total pengurusan, dan waktu pengurusan. Berikut ini akan dijabarkan berbagai peraturan pusat yang mengatur secara detil kualitas pelayanan publik beberapa aturan izin yang menjadi kewenangan daerah yaitu: 1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Perusahaan perdagangan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan kegiatan usaha di sektor Perdagangan yang bersifat tetap, berkelanjutan, didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 36/M-Dag/Per/9/2007). 2. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Pada tahapan selanjutnya, setelah mendapatkan SIUP. Dalam kurun waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah perusahaan beroperasi, perusahaan tersebut wajib segera mendaftarkan perusahannya. 3. Tanda Daftar Industri (TDI) Tanda Daftar Industri (TDI) adalah izin yang harus dimiliki oleh perusahaan yang melakukan kegiatan industri dengan nilai investasi seluruhnya

89 72 antara Rp ,00-Rp ,00 tidak termasuk tanah dan bangunan. Proses pengurusan ini membutuhkan waktu kurang lebih selama 14 hari kerja. 4. Izin Gangguan (UUG/HO) Setiap kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan bahaya atau ancaman bagi masyarakat luas diwajibkan memiliki izin gangguan (HO). Untuk perusahaan yang wajib memiliki amdal atau berada dalam kawasan industri yang telah memiliki AMDAL dikecualikan untuk memiliki HO. Sebagai syarat untuk memperoleh HO, terlebih dahulu harus memiliki IMB. 5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Undang-undang Bangunan mempertegas kewajiban atas izin terhadap setiap aktifitas pembangunan (konstruksi) dengan berbagai fungsinya. Sedangkan untuk dasar hukum HO yang masih menggunakan peraturan pada masa penjajahan hingga saat ini belum ada pembaharuan lagi. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator perizinan usaha ada enam variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Persentase perusahaan yang memiliki TDP. 2) Persepsi kemudahan perolehan TDP dan rata-rata waktu perolehan TDP. 3) Persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha. 4) Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien, dan bebas pungutan liar. 5) Persentase keberadaan mekanisme pengaduan. 6) Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap usahanya.

90 Interaksi Pemerintah Daerah (Pemda) dengan Pelaku Usaha Interaksi Pemda dengan pelaku usaha merupakan hal yang bisa dianggap membingungkan tingkatannya sampai sejauh mana tingkat intervensi kebijakan Pemda sebaiknya diberlakukan. Bentuk nyata konflik tingkat intervensi pemerintah ke dalam dunia swasta misalnya ditandai dengan perlu tidaknya Pemda mendirikan perusahaan daerah. Pemda yang mendirikan perusahaan daerah menilai bahwa peranan sektor swasta di daerahnya belum cukup besar sehingga diperlukan intervensi kebijakan pemerintah untuk menggerakkan roda perekonomian daerahnya. Namun di samping itu seringkali yang menjadi fakta di lapangan adalah adanya ketidakprofesionalan pengelolaan perusahaan daerah tersebut sehingga menjadi sarat kolusi dan korupsi. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha ada tujuh variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Keberadaan forum komunikasi. 2) Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh Pemda. 3) Tingkat dukungan Pemda terhadap pelaku usaha daerah. 4) Tingkat kebijakan non-diskriminatif Pemda. 5) Tingkat kebijakan Pemda yang tidak merugikan pelaku usaha. 6) Tingkat konsistensi kebijakan Pemda terkait dunia usaha. 7) Tingkat hambatan interaksi Pemda dan pelaku usaha Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) Program pengembangan usaha swasta terutama ditujukan kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Permasalahan utama yang dihadapi kelompok usaha

91 74 ini adalah keterbatasan modal, akses modal yang minim ke lembaga keuangan formal, dan kurangnya keahlian dalam bidang manajemen usaha. Bentuk usaha kecil ini merupakan bentuk usaha yang paling dominan yang terdapat di kabupaten dan kota di Indonesia. Program pengembangan usaha swasta oleh Pemda adalah pelayanan pengembangan bisnis yang disediakan Pemda dengan dukungan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Kegiatan tersebut diadakan tanpa adanya pungutan dari Pemda kepada pelaku usaha. Meskipun demikian, pada prakteknya ada beberapa daerah yang melakukan kegiatan tersebut dengan melibatkan keikutsertaan pendanaan aktif dari pihak swasta. Ada lima kegiatan pengembangan bisnis yang diperlukan untuk pelaku usaha kecil dan menengah yang dijadikan acuan pada pertanyaan survei ini yaitu: 1) Pelatihan manajemen bisnis untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam hal administrasi keuangan, manajemen pemasaran, dan manajemen produksi yang baik. 2) Pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja untuk tenaga kerja yang telah lulus sekolah namun belum bekerja berupa pelatihan administrasi kantor, pengenalan dunia kerja, etika bekerja, kemampuan bahasa asing. 3) Promosi produk lokal kepada investor (melalui exhibition, trade fair) promosi perdagangan/investasi/potensi ekonomi yang dilakukan di tingkat nasional, di kabupaten dan kota lain, dan di kabupaten dan kota sendiri. 4) Menghubungkan pelaku usaha kecil, sedang, besar untuk mempertemukan mata rantai kegiatan bisnis perusahaan daerah dengan perusahaan besar yang

92 75 ada di daerah kabupaten dan kota, di daerah kabupaten dan kota lain, dan di tingkat nasional. 5) Pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk mengatasi salah satu hambatan besar bagi pelaku bisnis kecil dan menengah terhadap kredit formal yang disediakan bank umum yang ada di kabupaten dan kota. Pelatihan ini meliputi pelatihan pengenalan jenis-jenis kredit, pengenalan jenis lembaga keuangan formal yang ada, pengenalan dan pelatihan prosedur pengajuan aplikasi kredit (syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban kreditur dan debitur). Terlihat di sini bahwa Pemda memegang peranan kunci untuk mengembangkan UKM di daerahnya. Dengan mengidentifikasi dengan tepat permasalahan UKM, beberapa Pemda telah melakukan program penjaminan kredit bagi UKM dengan menempatkan jaminan pada bank nasional seperti di kota Balikpapan. Pemohon aplikasi kredit dari pihak UKM tetap melalui prosedur formal sesuai ketentuan perbankan yang ditetapkan bank tersebut. Tanpa Pemda campur tangan secara langsung menyalurkan kredit kepada UKM, namun dengan memberikan jaminan kredit sekaligus memberi pelatihan keprofesionalan pengaksesan modal formal oleh UKM merupakan suatu langkah yang inovatif. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator program pengembangan usaha swasta ada lima variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat kesadaran akan kehadiran program pengembangan usaha. 2) Tingkat partisipasi program pengembangan usaha. 3) Tingkat kepuasan terhadap program pengembangan usaha. 4) Tingkat manfaat program pengembangan usaha terhadap pelaku usaha.

93 76 5) Tingkat hambatan program pengembangan usaha terhadap kinerja perusahaan Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Kinerja suatu pemerintahan, selain karena terlembaganya suatu sistem, dipengaruhi oleh pejabat pemerintah yang menjalankannya. Dalam suatu sistem yang sudah terlembaga dengan baik sangat mungkin memberikan batas ramburambu yang kuat untuk meminimalisir penyimpangan para pejabat pelaksananya. Namun dalam suatu sistem yang lemah, peran para pejabat yang melaksanakannya bisa sangat dominan mengabaikan sistem yang ada. Beberapa studi menunjukkan temuan tentang pentingnya peran Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dalam tata kelola pemerintahan. KPPOD (2005), menunjukkan bahwa integritas Kepala Daerah cukup penting pengaruhnya terhadap daya tarik investasi daerah. Meskipun belum sepenuhnya berjalan, namun kepatuhan para penyelenggara pemerintahan atas ketentuan tersebut dari tahun ke tahun semakin membaik yang memberikan harapan positif bagi berkurangnya praktek korupsi. Namun, di sisi lain publik mencatat banyaknya pejabat negara maupun pemerintah yang berurusan dengan aparat penegak hukum, utamanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang berujung pada dijebloskannya para pejabat publik ke penjara. Pemilihan Kepala Daerah langsung dengan disertai keberimbangan informasi menjadi salah satu mekanisme kontrol masyarakat untuk menilai secara langsung kinerja pemimpin tertinggi di daerahnya masing-masing. Dalam hal Kapasitas Kepala Daerah juga diyakini mempengaruhi kemampuannya untuk memberikan pelayanan kepada dunia usaha. Mengenai hal ini terdapat peraturan perundangan yang mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi Kepala Daerah.

94 77 Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah ada enam variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat pemahaman Kepala Daerah terhadap masalah dunia usaha. 2) Tingkat profesionalisme birokrat daerah. 3) Tingkat korupsi Kepala Daerah. 4) Tingkat ketegasan Kepala Daerah terhadap korupsi birokratnya. 5) Tingkat kewibawaan Kepala Daerah. 6) Tingkat hambatan kapasitas dan integritas Kepala Daerah terhadap dunia usaha Biaya Transaksi Biaya transaksi adalah pembayaran yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha yang dianggapnya sebagai beban biaya dalam menjalankan operasional perusahaannya baik yang resmi maupun tidak resmi. Biaya resmi meliputi pembayaran sejumlah nilai nominal tertentu dalam satuan rupiah oleh perusahaan kepada Pemda dengan disertai bukti tertulis yang jumlahnya sesuai antara yang tertera di bukti pembayaran tersebut dengan peraturan resmi yang ada. Pungutan resmi daerah meliputi pajak, retribusi, dan sumbangan pihak ketiga (SP3) dengan definisi dan contoh sebagai berikut: 1. Pajak Daerah Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan (dalam hal ini perusahaan) kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah (Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001). Contoh pajak daerah yaitu pajak penerangan jalan, pajak reklame, dan pajak restoran dan hotel.

95 78 2. Retribusi daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2001). Contoh retribusi daerah yaitu retribusi sewa tempat di pasar milik Pemda, retribusi kebersihan di pasar milik Pemda, retribusi parkir di tepi jalan umum yang disediakan oleh Pemda, dan retribusi sejenis lainnya. 3. Sumbangan Pihak Ketiga (SP3) Sumbangan Pihak Ketiga (SP3) yang resmi adalah sejumlah pembayaran yang diberikan oleh perusahaan kepada Pemda atas dasar adanya Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati/Walikota. Contoh sumbangan pihak ketiga yaitu sumbangan wajib pengusaha sektor perkebunan, sumbangan wajib pengusaha sektor industri (seperti nilai tertentu pada setiap unit hasil produksi: Rp 5,00 per kg buah sawit segar) dan sumbangan wajib pengusaha sektor jasa. Keluhan yang sering dikemukakan oleh kalangan bisnis adalah tingginya pajak dan retribusi pengguna di daerah yang harus mereka bayar. Bentuknya bermacam-macam. Pemerintah daerah biasanya membebankan pajak listrik daerah, juga pajak hotel dan restoran. Di samping itu, mereka berhak menarik retribusi pengguna untuk sejumlah besar layanan peraturan daerah, bahkan ketika kadangkala tidak ada layanan yang sungguh-sungguh diberikan. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator biaya transaksi ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan.

96 79 2) Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan. 3) Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda. 4) Tingkat pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi Infrastruktur Daerah Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor input dan faktor output produksinya. Kehadirannya dapat menjadi faktor pendorong tingkat produktivitas di suatu daerah. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain, tentunya juga dari satu daerah ke daerah lain. Apabila akses transportasi yang baik tidak ada tentunya akan sulit bagi suatu perusahaan untuk melakukan aktivitas usahanya. Oleh karena itu, tak pelak lagi ketersediaan infrastruktur, terutama kualitas jalan yang baik, sangat diperlukan untuk kelancaran proses produksi. Infrastruktur yang dinilai pada survei ini mencakup penilaian persepsi terhadap sejumlah fasilitas infrastruktur seperti jalan kabupaten dan kota, kualitas lampu penerangan jalan, kualitas air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), kualitas listrik, dan kualitas telepon. Selain itu, dihitung pula lama waktu yang dibutuhkan di setiap kabupaten dan kota untuk memperbaiki kerusakan terhadap berbagai infrastruktur tersebut. Jenis-jenis infrastruktur tersebut dipilih berdasarkan yang paling memengaruhi keputusan berbisnis pelaku usaha dan atau dalam kewenangan Pemda. Misalnya lampu penerangan jalan sebenarnya tidak terdapat peraturan yang menyebutkan aktivitas perawatannya kepada Pemda, namun karena pajaknya dimasukkan sebagai pajak daerah maka selayaknya Pemda memberikan perhatian terhadap kualitasnya. Di samping itu, tingkat

97 80 kepemilikan genset oleh pelaku usaha juga digunakan sebagai salah satu indikator. Hal tersebut mencerminkan tingkat kewaspadaan akan padamnya aliran listrik dimana semakin tinggi tingkatan tersebut menggambarkan keadaan listrik yang tidak baik. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator kebijakan infrastruktur daerah ada lima variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat kualitas infrastruktur. 2) Lama perbaikan infrastruktur bila mengalami kerusakan. 3) Tingkat pemakaian generator. 4) Lamanya pemadaman listrik. 5) Tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan Keamanan dan Penyelesaian Konflik Keamanan usaha merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan pelaku usaha ketika akan memulai usaha dan menjalankan usahanya. Pelaku usaha terkadang membayar biaya keamanan yang tinggi asalkan ia tetap dapat beroperasi di suatu daerah. Survei ini melakukan penilaian terutama terhadap tindakan aparat keamanan ketika menghadapi kejadian seperti demonstrasi buruh dan kejadian kriminalitas di tempat usaha. Struktur lembaga kepolisian Indonesia dipisahkan dari tentara nasional (TNI) sejak tahun Hal ini berkaitan dengan sejumlah tuntutan pelayanan dari masyarakat akan keprofesionalan polisi dalam penanganan masalah keamanan dalam negeri. Pemda secara langsung tidak memiliki kewenangan untuk menangani masalah keamanan yang terjadi di daerahnya. Namun keterbatasan kewenangan ini bukan berarti adanya pembatasan usaha yang dapat dilakukan untuk

98 81 menciptakan keadaan yang aman. Bentuk koordinasi antara aparat Dinas Ketertiban Umum Pemda dan pihak kepolisian dapat menjadi bentuk sinergi koordinasi yang dapat meningkatkan rasa aman bagi pelaku usaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa koordinasi antara lembaga negara dari berbagai tingkatan lebih penting untuk diimplementasikan dari pada sekedar mempersoalkan cakupan kewenangan. Untuk mendapatkan nilai persentase dari indikator keamanan dan penyelesaian sengketa ada empat variabel penilaian yang digunakan, yaitu: 1) Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha. 2) Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi. 3) Kualitas penanganan masalah demonstrasi buruh oleh polisi. 4) Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan Kualitas Peraturan Daerah (Perda) Perda merupakan sebuah instrumen kebijakan daerah yang sifatnya formal, melalui Perda inilah dapat diindikasikan adanya insentif maupun disinsentif sebuah kebijakan di daerah terhadap aktivitas perekonomian. Penilaian kualitas Perda dilakukan melalui desk analysis dengan empat belas kriteria. Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran mengenai kualitas Perda di daerah yang dikelompokan dalam tiga kategori potensi permasalahan, yaitu kategori prinsip, kategori substansi, dan kategori acuan yuridis. Dalam kategori acuan yuridis terdiri dari tiga kriteria yaitu relevansi acuan yuridis, up to date acuan yuridis, dan kelengkapan yuridis formal. Kategori substansi terdiri enam kriteria, yaitu diskoneksi tujuan dan isi serta konsistensi pasal, kejelasan obyek, kejelasan

99 82 subyek, kejelasan hak dan kewajiban wajib pungut dan Pemda, kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur atau struktur dan standard tarif, kesesuaian antara filosofi dan pungutan. Kategori prinsip terdiri dari lima kriteria, yaitu keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip free internal trade, persaingan sehat, dampak ekonomi negatif, menghalangi akses masyarakat dan kepentingan umum, dan pelanggaran kewenangan pemerintahan. Jumlah peraturan daerah yang dianalisis sebanyak 932 Perda. Perda yang dianalisis dibatasi dengan wilayah pengaturannya, yaitu terkait dengan perekonomian. Perda yang dianalisis tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) wilayah isu, yaitu Perda terkait dengan perizinan, Perda terkait dengan lalu lintas barang dan jasa, serta Perda terkait dengan ketenagakerjaan. Dari total 932 peraturan daerah, kebermasalahan pada kategori yuridis didominasi oleh banyaknya Perda yang tidak mengatur secara lengkap ketentuan-ketentuan peraturan yang lebih tinggi. Diantaranya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Sejumlah ketentuan yang tertuang dalam ketiga produk hukum seperti tersebut di atas sifatnya wajib, sehingga setiap pengaturan yang tidak merujuk pada ketentuannya dikategorikan Perda bermasalah.

100 83 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) di tahun Dalam pemeringkatan tersebut, KPPOD menetapkan sembilan indikator yang digunakan untuk menggambarkan tata kelola ekonomi daerah di 35 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. Sembilan indikator tersebut yaitu Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha, Perizinan Usaha, Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha, Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah, Biaya Transakasi, Infrastruktur Daerah, Keamanan dan Penyelesaian Konflik, dan Peraturan Daerah. Skor tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Jawa Tengah ditunjukkan oleh Tabel 8. Berdasarkan laporan tersebut, pemerintah daerah kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang memiliki pelayanan akses lahan usaha yang terbaik adalah Kabupaten Wonosobo dengan skor 80,2, disusul pada peringkat kedua dan ketiga yaitu Kabupaten Banjarnegara dengan skor 79,1 dan Kabupaten Rembang dengan skor 76,1. Sedangkan yang terburuk ditempati Kota Surakarta dengan skor Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah di Kabupaten Wonosobo jauh lebih cepat dibanding Kota Surakarta. Lama pengurusan rata-rata status tanah di Kabupaten Wonosobo adalah 15 minggu, sedangkan di Kota Surakarta mencapai 27 hari. Di samping itu, frekuensi konflik lebih sering terjadi di Kota Surakarta daripada di Kabupaten Wonosobo. Sebesar 49 persen para pelaku usaha di Kota Surakarta menilai sering terjadi persoalan/konflik mengenai kepemilikan

101 84 lahan di daerahnya. Sementara di Kabupaten Wonosobo, pelaku usaha yang menilai sering terjadi konflik kepemilikan lahan di daerahnya hanya 6,5 persen. Untuk indikator pelayanan terbaik perizinan usaha peringkat satu, dua dan tiga ditempati oleh Kabupaten Rembang (skor 73,6), Kabupaten Purbalingga (skor 70,2), dan Kabupaten Demak (skor 66,3). Sedangkan peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Pemalang dengan skor 37,6. Tiga kabupaten terbaik tersebut telah menjalankan sistem pelayanan perizinan usaha yang sudah cukup baik bagi para pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari lebih dari 98 persen para pelaku usaha di ketiga kabupaten tersebut menilai bahwa perizinan usaha merupakan hambatan kecil bagi kinerja perusahaan. Perusahaan di Kabupaten Pemalang yang merupakan kabupaten skor terkecil dibanding dengan kabupaten/kota lain di Jawa Tengah yang memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP) sangat kecil yaitu 33,3 persen dari total perusahaan yang disurvei di kabupaten tersebut. Hal ini terjadi karena waktu yang dibutuhkan untuk perolehan TDP relatif lebih lama dibanding kabupaten/kota lain, yakni 20 hari kerja. Tiga besar kabupaten dan kota terbaik dalam indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha, yaitu Kabupaten Demak (skor 65,9), Kabupaten Purbalingga (skor 65,3) dan Kabupaten Magelang (61,1 persen). Sedangkan yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Banyumas dengan skor 26,3. Seluruh perusahaan yang menjadi responsen sepakat menilai bahwa hal-hal yang berkaitan dengan interaksi Pemda dengan pelaku usaha menjadi hambatan kecil bagi kinerja perusahaan. Mereka menilai bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Demak berpengaruh besar terhadap kinerja perusahaan. Kabupaten Demak telah memiliki forum komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha walaupun masih belum

102 85 sempurna, namun sudah cukup memberikan solusi kepada pelaku usaha dalam menghadapi permasalahan dunia usaha. Pemerintah daerah yang memiliki program pengembangan usaha swasta terbaik adalah Kabupaten Klaten (skor 64,5), Kabupaten Tegal (skor 61,9), Kabupaten Semarang (57,4). Untuk Indikator program pengembangan usaha swasta, Kabupaten Cilacap menempati peringkat terakhir dengan skor 27,3. Pada dasarnya, seluruh pelaku usaha mengetahui bahwa terdapat program yang disediakan oleh pemda dalam rangka mengembangkan bisnis. Namun, pelaku usaha di Kabupaten Cilacap menilai bahwa program-program tersebut hanya memberikan manfaat yang relatif kecil bagi perusahaan. Hal ini dilihat dari 98 persen pelaku usaha di Kabupaten Cilacap mengatakan program pengembangan usaha yang dilaksanakan pemda memiliki manfaat kecil bahkan sangat kecil bagi kinerja perusahaan mereka. Hal ini terjadi karena pemda belum dapat menyelenggarakan program pengembangan bisnis yang tepat dan sesuai bagi pengembangan usaha-usaha di kabupaten tersebut. Untuk indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah peringkat tiga terbaik ditempati oleh Kabupaten Purbalingga (skor 78,9), Kabupaten Rembang (skor 69,4), Kabupaten Demak (skor 67,4). Sedangkan untuk peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Banyumas dengan skor 27,1. Rendahnya skor di Kabupaten Banyumas tersebut karena Kepala Daerah (Bupati) dinilai tidak memahami masalah dunia usaha yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha lokal di daerah tersebut. Lebih dari 70 persen para pelaku usaha menilai tidak setuju jika Bupati mereka dinyatakan memahami permasalahan dunia usaha, bertindak profesional dan tegas dalam kasus korupsi korupsi birokratnya.

103 86 Kabupaten/kota yang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha adalah Kabupaten Pati (skor 85,1), Kabupaten Kudus (skor 84,9) dan Kabupaten Rembang (skor 83,6). Sedangkan Kabupaten Semarang merupakan kabupaten dengan biaya transaksi termahal di Jawa Tengah dengan hanya memiliki skor sebesar 52,3. Total biaya yang dibayarkan yang oleh perusahaan, termasuk pajak dan retribusi, di Kabupaten Pati pada tahun 2007 relatif lebih rendah dibanding kabupaten/kota lain yakni sebesar Rp tiap perusahaan. Sedangkan Kabupaten Semarang tertinggi kedua di Jawa Tengah yakni rata-rata sebesar Rp per perusahaan. Hal inilah yang merupakan salah satu penghambat utama bagi kinerja perusahaan di kabupaten tersebut. Menurut laporan TKED, banyak pengusaha yang terpaksa memberikan biayatambahan untuk keamanan, baik kepada organisasi massa (ormas) maupun kepada preman. Pembayaran biaya informal oleh pelaku usaha kepada kepolisian di Kabupaten Pati lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada Ormas dan preman untuk mendapat jaminan perlindungan usaha. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Semarang, pelaku usaha lebih banyak menyerahkan uang keamanan kepada aparat pemda dan preman daripada kepada kepolisian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Pati memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha daripada Kabupaten Semarang. Untuk kabupaten/kota yang telah memiliki indikator infrastruktur daerah terbaik adalah Kabupaten Magelang (skor 83,7), Kabupaten Kudus (skor 82,8), dan Kabupaten Banyumas (skor 82,2). Sedangkan Kabupaten Pemalang merupakan kabupaten terburuk di Jawa Tengah dalam indikator ini dengan skor

104 87 63,8. Di Kabupaten Magelang, lama perbaikan infrastruktur baik jalan maupun lampu penerangan relatif lebih singkat daripada kabupaten lainnya. Lama perbaikan jalan di Kabupaten Magelang rata-rata hanya 40 hari sedangkan di Kabupaten Pemalang lebih dari dua bulan. Untuk perbaikan lampu penerangan jalan, di Kabupaten Magelang hanya dua hari sedangkan di Kabupaten Pemalang mencapai satu minggu. Kualitas jalan raya di Kabupaten Magelang pun dinilai sangat baik oleh para pelaku usaha. Penempatan Kabupaten Pemalang sebagai kabupaten terburuk di bidang infrastruktur selain dilihat dari lama perbaikan, juga dapat dilihat dari kualitas infrastruktur, misalnya kualitas jalan. Kualitas jalan di Kabupaten Pemalang relatif lebih buruk dibanding yang lain. Hal ini ditunjukan oleh hanya 53 persen dari total responden menilai kualitas infrastruktur baik. Selebihnya, sebesar 47 persen menilai buruk. Bahkan, jalan Pantai Utara (Pantura) yang menjadi jalan utama di Kabupaten Pemalang pun relatif sempit dan memiliki kualitas buruk (banyak jalan yang rusak). Hal ini jelas menghambat aktivitas transportasi bagi perusahaan-perusahaan di sekitarnya. Untuk indikator jaminan keamanan dan penyelesaian sengketa terbaik adalah Kabupaten Banjarnegara (skor 77), peringkat kedua Kabupaten Banyumas (skor 71,9), dan peringkat ketiga Kabupaten Demak (skor 69,8). Kabupaten yang terburuk dalam indikator ini adalah Kota Tegal dengan nilai 39,8. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk dapat disebabkan oleh banyaknya kasus pencurian yang terjadi, kualitas penanganan masalah kriminal dan demostrasi buruh oleh polisi. Pelaku usaha mengatakan bahwa selama tahun 2007 rata-rata hanya satu kali kejadian pencurian di Kabupaten Banjarnegara.

105 88 Sementara di Kota Tegal, pelaku usaha rata-rata mengatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut terdapat tiga kali kejadian pencurian. Lebih dari 90 persen pelaku usaha di Kabupaten Banjarnegara, menilai polisi telah mengambil tindakan tepat waktu dalam menangani kasus kriminal yang berhubungan dengan kegiatan usaha. Sedangkan pelaku usaha di Kota Tegal yang menilai hal tersebut hanya 72 persen. Tidak hanya itu, kualitas polisi dalam menangani kasus demonstrasi buruh pun jauh lebih baik di Kabupaten Magelang daripada di Kota Tegal. Sehingga pelaku usaha lokal Kabupaten Magelang merasa aman dan nyaman berusaha karena kualitas jaminan keamanan usaha yang sangat baik. Indikator kualitas peraturan daerah yang terbaik ditempati oleh Kabupaten Boyolali (skor 100), Kabupaten Pemalang (skor 98,3), dan Kabupaten Pekalongan (skor 94,4). Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Wonosobo merupakan kabupaten terburuk dalam indikator ini dengan nilai 61,1 persen. Secara keseluruhan kualitas peraturan daerah di Jawa Tengah dinilai oleh KPPOD sudah sangat baik. Kabupaten Boyolali merupakan salah satu dari 10 kabupaten/kota yang diberi skor 100 pada indikator kualitas perda di tahun KPPOD menilai bahwa kualitas peraturan daerah di Kabupaten Boyolali terkait dengan lalu lintas barang dan jasa, serta ketenagakerjaan memenuhi tiga kategori yaitu kategori prinsip, kategori substansi, dan kategori acuan yuridis. Setelah mendapatkan nilai-nilai dari sembilan indikator tersebut, tahap selanjutnya adalah mendapatkan nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) secara keseluruhan untuk menilai kabupaten dan kota yang memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan Tabel 8. peringkat lima kabupaten dan kota terbaik di Jawa Tengah pada tahun 2007

106 89 ditempati oleh Kabupaten Purbalingga dengan nilai indeks TKED sebesar 71,1, Kota Magelang (skor 70,5), Kabupaten Kudus (skor 69), Kota Salatiga (skor 68,6), dan Kabupaten Wonosobo (skor 68,2). Sedangkan lima peringkat terbawah ditempati oleh Kabupaten Karanganyar dengan nilai indeks TKED 59, Kota Surakarta (skor 58,7), Kabupaten Pemalang (skor 57,5), Kota Semarang (skor 57,2), dan kabupaten/kota yang terburuk tata kelola ekonomi daerah di Jawa Tengah pada tahun 2007 adalah Kabupaten Kebumen yang hanya mendapat nilai TKED sebesar 55,2. Menariknya, Kota Surakarta dimana memiliki Walikota yang merupakan salah satu pemimpin daerah terbaik di dunia namun memiliki indeks tata kelola ekonomi daerah terendah keempat di Jawa Tengah. Jika dianalisis, indikator akses lahan di Kota Surakarta memiliki nilai sub-indeks terendah di Jawa Tengah. Hal ini dapat diindikasikan bahwa tingkat terjadinya penggusuran dan konflik lahan lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Pemda Surakarta memang lebih memihak kepada para PKL daripada para UKM. Pemda Surakarta memiliki kepedulian yang tinggi terdahap nasib para PKL. Keberpihakan pemda ditunjukkan dari pembangunan tempat berusaha yang layak untuk para PKL daripada untuk UKM dan UB. Oleh karena itu, kota ini dinilai oleh UKM dan UB sebagai responden survei sebagai kota dengan frekuensi penggusuran dan konflik lahan tertinggi di Jawa Tengah.

107 90 Tabel 8 Indeks TKED tahun 2007 kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah No Kabupaten/kota Akses Lahan Usaha dan Kepastian Usaha Izin Usaha Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha Program Pengembangan Usaha Swasta Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota Biaya Transaksi Kebijakan Infrastruktur Daerah Keamanan dan Penyelesaian Sengketa Kualitas Peraturan Derah Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah 1 Cilacap 72,4 55,8 50,6 27,3 56,8 66,8 74,2 64,5 61,1 61, Banyumas 58,3 58,2 26,3 36,8 27, ,2 71,9 90,2 62, Purbalingga 75,9 70,2 65,3 48,7 78,9 75,8 78, ,3 71, Banjarnegara 79, ,3 35,3 64, , ,2 67, Kebumen 69,7 53,4 48,2 19,7 51,6 59,1 64,9 55,1 89,1 55, Purwerejo 68,2 58,9 50,3 35,6 44,6 66,5 73,9 51,1 93,2 61, Wonosobo 80,2 61,9 58,1 36,6 65,3 77,4 77,7 79,4 61,1 68, Magelang 70,2 56,3 61,1 41,8 59,1 75, ,6 80,7 66, Boyolali 74 60,4 55,4 39,8 59,6 81,9 78, , Klaten 71,3 60,8 55,7 64, ,4 68, , Sukoharjo 70 62,3 62,2 36,9 58,2 72,7 72,3 53,8 93,2 64, Wonogiri 65,9 57,2 51,6 36,9 57,5 66,5 68,9 50, , Karanganyar 59,8 59,3 59,8 44,6 60,3 55,7 65,7 46,7 86, Sragen 67, ,3 34,4 63,2 73,4 76,2 46,9 75,3 63, Grobogan 70,2 62,5 49,4 43,2 65,4 77,2 72,2 65,9 69,1 64, Blora 75, ,4 35,9 65,1 66,5 74, , Rembang 76,1 73,6 52,7 34,5 69,4 83,6 74,6 70, , Pati 71,8 64, ,6 57,5 85,1 81,8 64,8 87, Kudus 68,5 62,9 57,2 39,4 57,4 84,9 82,8 60,6 89, Jepara 75,7 63,7 54,7 45,1 53,4 72,8 76,6 62,4 93,2 67, Demak 64,8 66,3 65,9 52,9 67,4 76,4 71,1 69,8 66,3 66, Semarang 65,5 59,5 48,3 57,4 34,3 52,3 69,4 48, , Temanggung 72 54,4 62,9 37,2 57,8 76,3 76,7 63,1 85, Kendal 69,7 61,8 51,8 53,5 52,9 73,3 77,5 66,5 65,4 67, Batang 62,2 64,4 58,4 40,3 52,3 71,3 77,2 64,7 79,7 65, Pekalongan 71 53,1 50,7 31,1 49,4 74,6 77,2 42,3 94,4 62, Pemalang 71,1 37,6 42,8 41,5 51,8 70,8 63,8 53,5 98,3 57, Tegal 70,7 60,3 56,9 39,5 52,6 69,8 73,7 49,3 94,1 63, Brebes 74,5 61, ,3 52,8 78,1 75,9 53,8 76, Kota Magelang 66, ,7 51,9 55,4 79,1 83,7 55,7 73,9 70, Kota Surakarta 46,6 55,7 49,8 47,3 59,7 54,8 73,1 45,5 90,7 58, Kota Salatiga 73, , , ,9 61,9 90,3 68, Kota Semarang 52, ,5 44,8 59, ,5 97,7 57, Kota Pekalongan 60,1 64,8 54,6 41,2 58, ,6 43,4 93,6 64, Kota Tegal 67,1 60,4 54,6 61,9 57,4 66,1 68,1 39,8 79,9 63,6 99 Sumber: KPPOD 2007 Peringkat

108 Keterkaitan Variabel-Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Dalam melakukan survei, instrumen yang digunakan adalah menggunakan kuisioner dan wawancara langsung dengan pelaku usaha. Lebih dari 90 pertanyaan yang ditanyakan kepada pelaku usaha termasuk informasi umum dan kesimpulan yang digunakan untuk pembobotan indeks akhir. Hanya sekitar 45 pertanyaan yang sesuai dengan variabel dari indikator tata kelola ekonomi daerah yang dianalisis dalam penelitian ini. Untuk mengetahui hubungan antara variabel tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB per kapita kabupaten dan kota di Jawa Tengah dilakukan uji korelasi Pearson untuk data interval, uji korelasi spearman untuk data ordinal dilengkapi dengan scatter plot serta boxplot-nya Hubungan Variabel Akses Lahan dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Variabel-varibel Akses Lahan yang ditanyakan memiliki skala yang berbeda, yaitu skala ordinal dan skala interval. Pada variabel waktu yang dibutuhkan untuk kepengurusan status tanah (Q30) memiliki skala interval, yaitu lama waktu kepengurusan dalam minggu. Oleh karena itu, variabel ini dianalisis menggunakan uji korelasi spearman. Berdasarkan uji korelasi Pearson maupun scatter plot (Gambar 12), dapat dilihat bahwa variabel waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah berhubungan negatif secara signifikan pada tingkat 10 persen terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Dalam hal ini, dapat diduga bahwa semakin lama kepengurusan lahan, akan menyebabkan PDRB per kapita semakin rendah. Jika semakin lama pengurusan setifikat lahan,

109 92 maka akan menghambat dimulainya suatu usaha. Sebaliknya semakin cepat pengurusan sertifikat lahan, perusahan-perusahaan baru semakin cepat tumbuh. Dengan demikian, perekonomian akan tumbuh dan PDRB per kapita pun semakin besar. Tabel 9 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama kepengurusan status tanah Correlations Q30 L_PDRBKAP Pearson Correlation -0,28 Sig. (2-tailed) 0,1* Pearson PE Correlation -0,31 Sig. (2-tailed) 0,07* *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan L_PDRBKAP 6.5 PE Q30 Sumber: Data Olahan Gambar 12 Hubungan ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama kepengurusan status tanah. Empat variabel akses lahan lainnya yakni persepsi tentang kemudahan perolehan lahan (Q32), persepsi tentang penggusuran lahan oleh pemda (Q33 dan

110 PDRBKAP 93 Q34), frekuensi konflik (Q35) dan peresepsi keseluruhan permasalahan lahan usaha (Q36) memiliki skala ordinal. Dalam menganalisis variabel-variabel tersebut menggunakan uji Spearman yang dilengkapi dengan boxplot. Tabel 10 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persepsi kemudahan perolehan lahan, persepsi penggusuran lahan oleh pemda, persepsi frekuensi konflik dan persepsi keseluruhan permasalahan lahan usaha Correlations Q32 Q33 Q34 Q35 Q36 PDRBKAP Correlation Coefficient 0,09-0,12-0,29-0,36-0,05 Sig. (2-tailed) 0,59 0,51 0,09* 0,03** 0,74 PE Correlation Coefficient -0,15-0,39-0,24-0,35 0,21 Sig. (2-tailed) 0,39 0,02** 0,16 0,04** 0,23 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan Seringkah terjadi penggsuran di wilayah ini? 3 = Jarang 4 = Tidak Pernah Q34 4 Sumber: Data Olahan Gambar 13 Boxplot persepsi penggusuran lahan dengan PDRB per kapita.

111 PE PDRBKAP Seberapa sering konflik kepemilikan lahan terjadi? 3 = Jarang 4 = Tidak Pernah 3 Q35 4 Sumber: Data Olahan Gambar 14 Boxplot persepsi frekuensi konflik lahan dengan PDRB per kapita Q33 Seberapa mungkin terjadi penggusuan di wilayah ini? 3 = tidak mungkin 4 = sangat tidak mungkin 4 Sumber: Data Olahan Gambar 15 Boxplot persepsi kemungkinan penggusuran lahan dengan pertumbuhan ekonomi.

112 PE Seberapa sering konflik kepemilikan lahan terjadi? 3 = jarang 4 = tidak pernah 3 Q35 4 Sumber: Data Olahan Gambar 16 Boxplot persepsi konflik lahan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan menggunakan uji korelasi Spearman, dapat diketahui bahwa variabel yang berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita pada tingkat 5 persen dan 10 persen adalah persepsi frekuensi konflik (Q36) dan persepsi frekuensi penggusuran lahan (Q35). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan uji korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan variabel akses lahan. Dari uji korelasi Spearman dapat dilihat bahwa variabel persepsi kemungkinan terjadi penggusuran dan persepsi konflik kepemilikan tanah. Namun, hubungan keduanya adalah berkebalikan atau berhubungan negatif. Jika sering terjadi penggusuran, maka PDRB per kapita tinggi. Hal ini bisa terjadi mengingat Pemda sering melakukan penggusuran lahan kepada para pedagang kaki lima (PKL). Kemudian lahan tersebut digunakan untuk aktivitas ekonomi yang dinilai lebih menguntungkan bagi perekonomian daerah daripada tempat usaha bagi para PKL. Hal inilah yang pada akhirnya dapat meningkatan PDRB per kapita. Begitu juga dengan frekuensi konflik. Semakin sering terjadi konflik, semakin tinggi PDRB per kapita. Hal ini pun dapat terjadi mengingat para

113 96 PKL sering mengalami konflik dengan usaha lain dengan skala yang lebih besar atau dengan pemda mengenai kepemilikan lahan usahanya. Lahan dimana tempat usaha mereka berdiri dinilai mempunyai nilai ekonomis yang tinggi sehingga sering terjadi perebutan kepemilikan lahan. Pemda atau usaha besar menanggap bahwa lahan usaha para PKL lebih memberikan manfaat ekonomi yang tinggi jika lahan tersebut digunakan untuk aktivitas ekonomi dengan skala yang lebih besar yang dapat lebih meningkatkan perekonomian. Tidak hanya dari uji korelasi Spearman, grafik boxplot semakin memperlihatkan bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut berlawanan arah dengan PDB per kapita. Gambar 13 menunjukan bahwa kabupaten yang tidak pernah terjadi penggusuran memiliki PDRB per kapita yang lebih kecil yaitu Rp daripada kabupaten yang terjadi penggusuran dengan frekuensi jarang dengan nilai tengah (median) PDRB per kapita sebesar Rp Di samping itu, Gambar 14 menunjukkan bahwa kabupaten dimana pelaku usahanya menilai bahwa daerah tersebut tidak pernah terjadi konflik memiliki nilai tengah (median) PDRB per kapita yang lebih kecil dari kabupaten dimana pelaku usahanya menilai bahwa daerahnya pernah terjadi konflik dengan frekuensi jarang Hubungan Variabel Izin Usaha dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Pada indikator ini, variabel-variabel yang dianalisis memiliki skala nominal, ordinal serta interval. Skala nominal dimiliki oleh variabel kepemilikan Tanda Daftar Perusahaan (Q38AR1) dan keberadaan mekanisme pengaduan tentang pelayanan perizinan usaha (Q45). Variabel rata-rata waktu perolehan TDP

114 97 memiliki skala interval. Sedangkan variabel lainnya, yaitu persepsi kemudahan perolehan TDP (Q40CR1), persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha (Q41DR1), persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien dan bebas pungli (Q43 R1-R3) serta persepsi tingkat hambatan izin usaha (Q46) memiliki skala ordinal. Untuk menganalisis variabel kepemilikan TDP dan keberadaan mekanisme pengaduan, dapat dilakukan uji korelasi Pearson maupun Uji korelasi Spearman. Untuk melakukan Uji Korelasi Pearson, digunakan data persentase perusahaan yang memiliki TDP dan persentase keberadaan mekanisme pengaduan. Selain itu, variabel waktu perolehan TDP dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Pearson sehingga diperoleh Tabel berikut. Tabel 11 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang memiliki TDP, waktu perolehan TDP dan persentase keberadaan mekanisme pengaduan Correlations Q38AR1 Q40DR1 Q45 L_PDRBKAP Pearson Correlation 0,34 0,21 0,21 Sig. (2-tailed) 0,04** 0,217 0,22 PE Pearson Correlation 0,44 0,09 0,06 Sig. (2-tailed) 0,008** 0,59 0,73 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olah

115 PDRBKAP 6.5 PE Q38AR1 Sumber: Data Olah Gambar 17 Hubungan ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang memiliki TDP. Berdasarkan Uji Korelasi Pearson pada Tabel 11, dapat disimpulkan bahwa variabel yang berhubungan signifikan dengan PDRB per kapita maupun pertumbuhan ekonomi pada tingkat 5 persen adalah variabel persentase perusahaan yang memiliki TDP. Gambar 17 pun menunjukkan hubungan positif antara Ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel persentase perusahaan yang memiliki TDP. Semakin banyak perusahaan yang memiliki TDP, semakin banyak pula perusahaan dengan status kepemilikan yang jelas. Perusahaan dengan status kepemilikian yang jelas dapat melakukan kegiatan usahanya dengan lebih baik. Selain itu, banyaknya perusahaan yang memiliki TDP dapat mengindikasikan tentang mudahnya pengurusan TDP di suatu kabupaten/kota. Hal ini dapat menarik minat investor untuk mendirikan perusahaan di kabupaten/kota tersebut.

116 99 Empat variabel lain yaitu persepsi kemudahan perolehan TDP (Q40CR1), persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha (Q41DR1), persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien dan bebas pungli (Q43 R1-R3) serta persepsi tingkat hambatan izin usaha (Q46) memiliki skala ordinal sehingga dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman. Tabel 12 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persepsi kemudahan perolehan TDP, persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha, persepsi pelayanan izin usaha bebas KKN, efisien dan bebas pungli serta persepsi tingkat hambatan izin usaha Correlations Q40CR1 Q41DR1 Q43R1 Q43R2 Q43R3 Q46 PDRBKAP Coefficient 0,19 0,2. -0,16-0,34-0,2 Sig. 0,28 0,26. 0,35 0,04** 0,23 PE Coefficient 0,07-0,10. -0,18-0,04-0,22 Sig. 0,70 0,58. 0,30 0,84 0,21 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olah Dengan menggunakan uji Spearman, dapat diketahui pada Tabel 12 bahwa variabel yang berhubungan negatif secara signifikan pada tingkat 5 persen adalah variabel pelayanan izin usaha bebas KKN (Q43R3). Dilihat dari grafik Boxplot (Gambar 18), PDRB per kapita kabupaten yang dinilai oleh para pelaku usaha bahwa proses perizinan usaha di kabupaten/kota tersebut terdapat praktik kolusi memiliki median yaitu Rp yang lebih besar dari kabupaten yang dinilai bebas dari korupsi yakni dengan nilai tengah sebesar Rp Dalam hal ini, diduga bahwa PDRB per kapita tinggi yang menyebabkan semakin banyaknya tindakan KKN atas pelayanan izin usaha. Kabupaten/kota yang dinilai bahwa pelayanan izin usaha terdapat KKN adalah Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Semarang, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Pekalongan memiliki PDRB per kapita yang relatif tinggi. Daerah yang kaya

117 PDRBKAP 100 (ditunjukkan dengan PDRB per kapita yang tinggi) mempunyai peluang yang lebih besar bagi Pemda untuk melakukan tindakan KKN dibandingkan dengan daerah yang miskin. Oleh karena itu, PDRB per kapita semakin tinggi, tindakan KKN atas pelayanan izin usah semakin tinggi Boxplot of PDRBKAP vs Q43R Proses peizinan usaha bebas dari KKN 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju Q43R3 3 Sumber: Data Olahan Gambar 18 Boxplot pelayahan izin usaha bebas KKN dengan PDRB per kapita Hubungan Variabel Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha dan Pertumbuhan Ekonomi dengan PDRB per Kapita Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Pada indikator interaksi pemda dengan pelaku usaha, variabel-variabel yang dianalisis memiliki skala nominal dan skala ordinal. Skala nominal dimiliki oleh variabel keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha (Q48). Variabel tingkat pemecahan permasalahan oleh pemda (Q49R1-R3), tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha (Q50R1-R5), tingkat kebijakan pemda yang mendorong iklim investasi (Q51), tingkat kebijakan non diskriminatif pemda (Q52), pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha (Q53R1), tingkat

118 PE 101 kepastian hukum terkait dunia uasaha (Q53R2) dan tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha (Q55) memiliki skala ordinal. Tabel 13 Korelasi Pearson PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang mengetahui adanya forum komunikasi Correlations Q48 Pearson 0,26 L_PDRBKAP Correlation Sig. (2-tailed) 0,13 Pearson 0,30 PE Correlation Sig. (2-tailed) 0,08* *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olah Q Sumber: Data Olah Gambar 19 Hubungan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang mengetahui keberadaan forum komunikasi. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa variabel persentase keberadaan forum berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Grafik scatter plot pun semakin mejelaskan bahwa semakin banyak perusahaan yang mengetahui adanya forum komunikasi, pertumbuhan ekonomi semakin tinggi. Keberadaan forum komunikasi sebagai forum yang dapat mengkoordinasikan anatara pemerintah daerah dengan para pelaku usaha sangat penting bagi dunia

119 102 usaha. Dengan adanya forum ini, dapat terjadi pola hubungan yang konstruktif dan sinergis antara pemda dengan pelaku usaha. Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha dapat disampaikan dalam forum tersebut untuk didiskusikan dan dicari solusi bersama. Oleh karena itu, dengan adanya forum komunikasi ini dapat membantu kinerja perusahaan sehingga perekonomian meningkat. Tabel 14 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel interaksi pemda dengan pelaku usaha Correlations PDRBKAP PE PDRBKAP PE Q49R1 Coef 0,13-0,22 Q50R5 Coef 0,32-0,09 Sig. 0,47 0,20 Sig. 0,06* 0,61 Q49R2 Coef 0,03-0,02 Q51 Coef -0,05 0,01 Sig. 0,88 0,90 Sig. 0,78 0,96 Q49R3 Coef 0,36-0,21 Q52 Coef 0,09-0,06 Sig. 0,03** 0,23 Sig. 0,62 0,71 Q50R1 Coef 0,03-0,20 Q53R1 Coef 0,15-0,15 Sig. 0,84 0,24 Sig. 0,38 0,38 Q50R2 Coef 0,034 0,36 Q53R2 Coef 0,15-0,15 Sig. 0,88 0,03** Sig. 0,38 0,38 Q50R3 Coef 0,11 0,39 Q55 Coef -0,11-0,11 Sig. 0,53 0,02** Sig. 0,54 0,27 Q50R4 Coef 0,15-0,15 Sig. 0,38 0,38 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olah Berdasarkan uji korelasi Spearman, variabel yang signifikan pada tingkat 5 persen dan 10 persen berhubungan dengan PDRB per kapita adalah variabel tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q43R3) dan dukungan pemda terhadap pelaku usaha melalui penyediaan fasilitas (Q50R5). Pada Gambar 20, terlihat bahwa kabupaten dimana instansi pemda

120 PDRBKAP 103 selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah yang ditentukan oleh Kepala Daerah memiliki nilai tengah PDRB per kapita yang lebih tinggi dari pada kabupaten yang instansi pemda-nya tidak selalu menindaklanjuti pemecahan masalah usaha. Begitu pula pada Gambar 21, pemda kabupaten yang memberikan fasilitas yang mendukung dunia usaha memiliki median PDRB per kapita yang lebih tinggi dari pemda kabupaten yang tidak memberikan fasilitas yang mendukung dunia usaha Q49R3 3 Instansi Pemda menindaklanjuti pemecahan masalah yg ditentukan Bupati 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju Sumber: Data Olahan Gambar 20 Boxplot instansi pemda menindaklanjuti pemecahan masalah yang ditentukan oleh kepala daerah dengan PDRB per kapita.

121 PDRBKAP Q50R5 Pemda memberikan fasilitas yang mendukung usaha 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju Sumber: Data Olahan Gambar 21 Boxplot dukungan pemda melalui penyedian fasilitas yang mendukung dunia usaha dengan PDRB pe kapita. Dari uji korelasi Spearman maupun boxplot dapat diduga bahwa ketika instansi pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah yang ditentukan oleh Kepala Daerah, maka PDRB per kapita tinggi. Dalam hal ini, bukan hanya kebijakan yang telah ditetapkan Kepala Daerah yang berperan dalam dunia usaha, melainkan tindak lanjut dari instansi pemda mempunyai peran yang sangat penting dalam pemecahan permasalahan di dunia usaha. Kebijakan yang telah dibuat oleh Kepala Daerah namun tidak ditindaklanjuti oleh instansi pemda yang terkait merupakan kebijakan di atas kertas saja. Kebijakan tersebut akan tepat manfaat apabila ada tindak lanjut yang tepat dari instansi pemda yang terkait. Tindak lanjut instansi pemda dalam pemecahan masalah di dunia usaha sangat membantu perusahaan sehingga kinerja perusahaan dapat bekerja dengan lebih baik. Dengan demikian, akan peningkatkan perekonomian. Selain itu, pemberian fasilitas yang dapat mendukung perkembangan dunia usaha berpengaruh positif dengan koefisien korelasi 0,32. Hal tersebut dapat mendukung hipotesis awal bahwa semakin banyak pemberian fasilitas dari pemda 3

122 105 yang mendukung dunia usaha, maka akan menyebabkan PDRB per kapita meningkat. Ketentuan mengenai fasilitas dukungan terhadap dunia usaha diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, sebagaimana telah dilakukan dua kali perubahan, yaitu melalui Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan perubahan kedua melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Menurut peraturan presiden tersebut, terdapat tiga fasilitas kunci yang telah disediakan, yaitu: (i) Dana Tanah (the Land Funds) merupakan dana yang dialokasikan untuk membantu investor dalam pembiayaan pengadaan tanah dan untuk mengatasi masalah ketidakpastian harga tanah., (ii) Pembiayaan Infrastruktur (the Infrastructure Fund), (iii) Dana Penjaminan (the Guarantee Fund). Ketiga fasilitas tersebut telah berdiri dan beroperasi secara penuh dalam mendukung program Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Oleh karena itu, semakin banyak pemberian fasilitas yang mendukung dunia usaha, maka akan membantu kinerja perusahaan sehingga perusahaan bekerja dengan lebih efisien yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat daerah.

123 PE PE Q50R2 pemda melakukan konsultasi publik jika membuat kebijakan 2 = tidak setuju 3 = setuju 3 Sumber: Data Olahan Gambar 22 Boxplot instansi pemda melakukan konsultasi publik ketika akan membuat kebijakan yang terkait dunia usaha dengan PDRB pertumbuhan ekonomi Q50R3 Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permalahan usaha 2 = tidak setuju 3 = setuju Sumber: Data Olahan Gambar 23 Boxplot instansi pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan yang dihadapi dunia usaha dengan PDRB pertumbuhan ekonomi. Dari hasil uji korelasi Spearman juga dapat diketahui bahwa variabel yang berhubungan signifikan positif dengan pertumbuhan ekonomi adalah instansi pemda melakukan konsultasi publik dengan pelaku usaha jika akan membuat kebijakan publik menyangkut kepentingan pelaku usaha dan instansi pemda 3

124 107 membicarakan permasalahan pelaku usaha. Adanya pertemuan antara pemda dengan pelaku usaha untuk membicarakan berbagai permasalahan pelaku usaha sehingga pemda dapat membuat kebijakan yang tepat terkait dunia usaha. Adanya konsultasi antara pemda dengan dunia usaha serta kebijakan yang tepat terkait dunia usaha tentu sangat membantu kinerja perusahaan. Oleh karena itu output perusahaan akan meningkat dan perekonomian pun akan meningkat. Dari grafik boxplot pun demikian. Kabupaten/kota dimana pemda melakukan konsultasi publik ketika akan membuat kebijakan yang terkait dunia usaha memiliki median pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi yaitu 5,2 persen. Median pertumbuhan ekonomi dimana pemda kabupaten/kota tidak melakukan konsultasi publik sebelum mebuat kebijakan yaitu sebesar 4,8 persen Hubungan Variabel Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Indikator selanjutnya adalah Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS). Terdapat empat variabel yang dianalisis, yaitu tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS (Q57A), tingkat partisipasi dalam PPUS (Q57B), tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha (Q58 R1-7) dan dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan (Q49). Keempat indikator tersebut dianalisis melalui uji korelasi Spearman. Berdasarkan uji korelasi Spearman, tidak ada satupun variabel PPUS yang berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita maupun pertumbuhan ekonomi. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang diselenggarakan oleh pemda di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh

125 108 pemda. Namun, program tersebut pada kenyataannya kurang bermanfaat terhadap kinerja perusahaan sehingga ada tidaknya PPUS tersebut tidak berpengaruh terhadap perekonomian suatu daerah. Hal ini ditunjukkan oleh PPUS yang diselenggarakan oleh pemda hanya memberikan manfaat kecil bahkan sangat kecil. Tidak ada satu pun daerah yang memiliki program pengembangan tersebut yang berdampak besar bagi perusahaan. Tabel 15 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel program pengembangan sektor swasta PDRB KAP Q57 A Q57 B Q58R 1 Correlations Q58R Q58R 2 3 Q58R 4 Q58R 5 Q58R 6 Q58R 7 Koe f.a.a -0,27-0,02 0,1 0,06 0,08 0,01 0,26 0,16 Sig... 0,11 0,94 0,6 0,75 0,65 0,96 0,14 0,35 Koe -0,05 0,18 0,16-0,21-0,15 0,14 0,10 0,14 PE f.a.a Sig.. 0,78 0,31 0,35 0,22 0,38 0,42 0,59 0,41 Sumber: Data Olahan Q59 Dari enam program yang diperlukan untuk pengembangan bisnis, hanya satu program yaitu program promosi produk lokal kepada investor maupun konsumen melalui berbagai pameran (expo) yang ada di semua kabupaten/kota di Jawa Tengah. Sementara lima program lainnya, hanya ada di beberapa kabupaten/kota. Bahkan dari seluruh para pelaku usaha yang mengetahui di daerahnya terdapat program promosi produk, hanya 35 perusahaan yang mengikuti program tersebut. Minimnya manfaat dan keikutsertaan PPUS ini perlu menjadi bahan untuk dievaluasi. Sedikitnya peserta dari perusahaan yang ikut dalam program pengembangan tersebut dapat terjadi karena terbatasnya informasi mengenai program atau mungkin besarnya biaya yang dikenakan untuk mengikuti program tersebut. Selain itu, kurang bermanfaatnya program ini dapat disebabkan oleh

126 109 penyelenggaraan program yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha. Oleh karena itu, hal yang wajar jika PPUS yang diselenggarakan oleh pemda ini memiliki tingkat partisipaasi dan manfaat yang rendah Hubungan Variabel Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Pada indikator kapasitas dan integritas kepala daerah, ada enam variabel yang dianalasisis, yaitu pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha (Q61R1), profesionalisme birokrat daerah (Q61R2), ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya (Q61R3), tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri (Q61R4), karakter kepemimpinan kepala daerah (Q61R5), hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha (Q63). Semua variabel tersebut memiliki skala ordinal sehingga semuanya dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Tabel 16 Korelasi Spearman PDRB per kapita dengan variabel kapasitas dan integritas bupati/walikota Correlations Q61R1 Q62R2 Q63R3 Q64R4 Q65R5 Q63 PDRBKAP Coef -0,06 0,04-0,05 0,13-0,02-0,2 Sig. 0,73 0,82 0,76 0,44 0,89 0,28 PE Coef -0,24-0,23-0,27 0,21-0,10-0,23 Sig. 0,16 0,18 0,12 0,22 0,58 0,18 Sumber: Data Olahan Berdasarkan uji korelasi Spearman pada Tabel 16, tidak ada satupun variabel kapasitas dan integritas kepala daerah yang berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita maupun dengan pertumbuhan ekonomi. Para pelaku usaha menilai bahwa kapasitas dan integritas bupati/ walikota bukan aspek penghambat kinerja perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh lebih dari 90 persen para

127 110 pelaku usaha menilai bahwa kapasitas dan integritas pemimpin daerah mereka memiliki pengaruh yang kecil bahkan sangat kecil terhadap kinerja perusahaan. Seorang kepala daerah yang merupakan figur pemimpin yang kuat, memahami dunia usaha, serta bertindak tegas terhadap praktek korupsi sehingga dapat merumuskan kebijakan yang tepat terkait dunia usaha tidak menjadi faktor yang dapat memberikan manfaat besar bagi dunia usaha. Yang lebih penting adalah bahwa instansi pemda yang terkait mampu menindaklanjuti kebijakan yang telah ditetapkan oleh kepala daerah itu sendiri Hubungan Variabel Keamanan dan Penyelesaian Konflik dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Indikator keamanan dan penyelesaian konflik memiliki empat variabel, yaitu tingkat kejadian pencurian di tempat usaha (Q83BR1), kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi (Q84R1-R3), kualitas penanganan kasus demonstrasi buruh oleh polisi (Q86R1-R2), tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan (Q88). Variabel yang memiliki skala interval adalah tingkat kejadian pencurian di tempat usaha sehingga dianalisis dengan uji koelasi Pearson. Variabel-variabel lainnya memiliki skala ordinal sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Tabel 17 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kejadian pencurian di tempat usaha Correlations Q83BR1 L_PDRBKAP Pearson Correlation 0,158 Sig. (2-tailed) 0,366 PE Pearson Correlation -0,27 Sig. (2-tailed) 0,11 Sumber: Data Olahan

128 111 Dari uji korelasi Pearson, variabel tingkat kejadian kriminal tidak berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita maupun pertumbuhan ekonomi. Variabel-variabel yang berhubungan signifikan dengan PDRB per kapita namun negatif berdasarkan uji korelasi Spearman pada Tabel 18 adalah variabel kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, yaitu polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus kriminal (Q84R1) dan solusi yang diberikan polisi menguntungkan perusahaan (Q84R2). Sementara variabel yang berhubungan signifikan negatif dengan pertumbuhan ekonomi adalah variabel polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus kriminal (Q84R1). Dari Gambar 17, dapat diketahui bahwa polisi di kabupaten/kota yang bertindak tepat waktu (ditunjukan oleh nomor 3), memiliki nilai tengah (median) PDRB per kapita yang lebih kecil dibanding polisi di kabupaten/kota yang bertindak tidak tepat waktu (ditunjukkan oleh nomor 2). Tabel 18 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, kualitas penanganan demonstrasi buruh oleh polisi, tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan Correlations Q84R1 Q84R2 Q84R3 Q86R1 Q86R2 Q88 PDRBKAP Coef -0,37-0,36-0,06. 0,12-0,1 Sig. 0,03** 0,03** 0,73. 0,48 0,57 PE Coef -0,35-0,17-0,13. 0,10-0,22 Sig. 0,04** 0,32 0,46. 0,58 0,20 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olahan Dari hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa kabupaten/kota yang kurang aman justru memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi. Hubungan negatif tersebut diduga PDRB per kapita yang tinggi justru meningkatkan ketidakamanan daerah, baik dari jumlah frekuensi tindakan kriminal maupun

129 PDRBKAP 112 kualitas polisi dalam menangani kasus kriminal. Empat daerah yang dinilai memiliki keamanan yang rendah adalah Kabupaten Karanganyar, Kota Semarang, Kota Magelang dan Kota Pekalongan. Keempat daerah tersebut merupakan daerah dengan tingkat kesejahteraan tinggi di Jawa Tengah. Semakin kaya daerah tersebut, akan semakin mendorong terjadinya tindakan kriminal di suatu daerah. Tingginya tingkat kriminalitas di empat daerah tersebut yang tidak diimbangi dengan tingginya kualitas penanganan oleh polisi akan mengakibatkan keamanan yang rendah. Oleh karena itu, kabupaten/kota dengan PDRB per kapita tinggi cenderung memiliki tingkat keamanan yang lebih rendah dibanding kabupaten/kota dengan PDRB per kapita yang rendah Q84R1 Polisi bertindak tepat waktu menangan kasus kriminal 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju 3 Sumber: Data Olahan Gambar 24 Boxplot tindakan tepat waktu oleh polisi dalam menangani kasus kriminal dengan PDRB per kapita.

130 PE PDRBKAP Q84R2 Solusi dari polisi dalam kasus kriminal menguntungkan usaha 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju 3 Sumber: Data Olahan Gambar 25 Boxplot solusi yang diberikan polisi dalam menangani kasus kriminal dengan PDRB per kapita Q84R1 Polisi bertindak tepat waktu menangan kasus kriminal 2 = tidak setuju 3 = setuju 3 Sumber: Data Olahan Gambar 21 Boxplot tindakan tepat waktu oleh polisi dalam menangani kasus kriminal dengan pertumbuhan ekonomi Hubungan Variabel Biaya Transaksi dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Variabel yang masuk ke dalam indikator ini adalah tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1-R2), tingkat hambatan donasi terhadap pemda (Q67CR1), tingkat pembayaran biaya informal

131 114 terhadap polisi (Q70BR1), tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan (Q71) memiliki skala ordinal. Sementara variabel tingkat pembayaran donasi terhadap pemda (Q67A) memiliki skala interval. Dari uji korelasi Pearson pada Tabel 19, variabel tingkat tingkat pembayaran donasi terhadap pemda tidak berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita. Uji korelasi Spearman pada Tabel 20 menyimpulkan bahwa variabel tingkat hambatan pajak resmi terhadap kinerja perusahaan (Q65CR2) berhubungan signifikan namun negatif dengan PDRB per kapita. Sedangkan variabel tingkat hambatan donasi (biaya pungutan dan retribusi) terhadap pemda (Q67CR1) berhubungan positif dengan PDRB per kapita. Tabel 19 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pembayaran donasi terhadap pemda Correlations Q67A L_PDRBKAP Pearson Correlation -0,03 Sig. (2-tailed) 0,85 PE Pearson Correlation -0,14 Sig. (2-tailed) 0,41 Sumber: Data Olahan Tabel 20 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan, tingkat hambatan donasi terhadap pemda, tingkat pembayaran biaya informal terhadap polisi dan tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan Correlations Q65CR1 Q65CR2 Q67CR1 Q70BR1 Q71 PDRBKAP Coefficient. -0,35 0,29 0,08-0,16 Sig. (2-tailed). 0,04** 0,09* 0,66 0,342 PE Coefficient. 0,03-0,18 0,01-0,19 Sig. (2-tailed). 0,88 0,30 0,97 0,27 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan

132 115 Hasil uji korelasi variabel tingkat hambatan pajak resmi terhadap kinerja perusahaan (Q65CR2) berhubungan negatif, artinya ketika pajak resmi yang dibayarkan kepada pemda dinilai memberatkan pelaku usaha, PDRB per kapita pun tinggi. Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa besarnya tarif pajak badan yang dikenakan kepada pelaku usaha (badan/korporasi) adalah 25 persen. Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp ,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50 persen dari tarif yang seharusnya. Besaran pajak tersebut dinilai memberakan bagi para pelaku usaha. Dalam hal ini, diduga pajak yang tinggi dapat menyebabkan PDRB per kapita meningkat. Pajak sebagai komponen PAD digunakan untuk belanja pemerintah, misalnya belanja modal. Semakin banyak pajak yang dipungut, maka semakin banyak pula dana yang digunakan untuk belanja pemerintah di daerah tersebut. Hal ini yang mengakibatkan perekonomian tumbuh dengan cepat. Variabel tingkat hambatan donasi biaya pungutan dan retribusi untuk pendistribusian barang antarwilayah (Q67CR1) berhubungan positif dengan PDRB per kapita. Hal ini sejalan dengan teori yang ada, sehingga uji korelasi tersebut semakin menguatkan hipotesis bahwa semakin biaya pungutan dan retribusi yang dibayar tidak memberatkan perusahaan, PDRB per kapita semakin besar. Pendistribusian barang antarwilayah merupakan salah satu faktor utama dalam kinerja perusahaan. Semakin tinggi biaya pendistribusian barang, maka biaya perusahaan semakin tinggi. Hal tersebut dapat menurunkan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Sebaliknya, jika biaya pungutan dan retribusi tidak memberatkan perusahaan, maka keuntungan yang diperoleh perusahaan semakin

133 116 besar. Dengan demikian, perekonomian menjadi lebih besar dan PDRB per kapita pun lebih tinggi Hubungan Variabel Infrastruktur Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Indikator infastruktur daerah memiliki lima variabel yaitu kualitas infrastruktur yaitu jalan, lampu penerangan, air PDAM, listrik, dan telpon (Q78A R1-R5), lama perbaikan lima jenis infrastruktur tersebut (Q78C R1-R5), perusahaan yang tidak memakai genset (Q79), lama pemadaman listrik (Q80) dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan (Q81). Variabel lama perbaikan infrastruktur (Q78CR1-5), persentase pemakaian genset (Q79) dan lama pemadaman listrik (Q80) memiliki skala interval dan dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Tabel 20 merupakan hasil korelasi ketiga variabel tersebut terhadap ln PDRB per kapita. Berdasarkan Tabel 20, dapat diketahui bahwa variabel lama perbaikan jalan (Q78CR1) dan persentase perusahaan yang tidak memakai genset (Q79) berhubungan negatif dan signifikan pada tingkat 5 persen dan 10 persen. Grafik scatterplot pada Gambar 22 pun menunjukkan hubungan negatif antara lama perbaikan jalan dan persentase pemakaian genset. Dari hasil tersebut dapat diduga bahwa semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan jalan, maka PDRB per kapita semakin besar. Semakin sedikit waktu perbaikan jalan, semakin baik infrastruktur di daerah tersebut. Infrastruktur yang baik akan membuat kinerja perusahaan lebih efisien dan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut.

134 117 Semakin banyak perusahan yang tumbuh di suatu daerah, maka perekonomi akan berjalan semakin tinggi sehingga PDRB per kapita semakin tinggi. Tabel 21 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama perbaikan infrastruktur, persentase perusahaan yang tidak memakai genset dan lama pemadaman listrik Correlations L_PDRBKAP PE Q78CR1 Koef -0,34-0,20 Sig. 0,04** 0,26 Q78CR2 Koef -0,25-0,10 Sig. 0,14 0,55 Q78CR3 Koef 0,06-0,03 Sig. 0,71 0,87 Q78CR4 Koef.a.a Sig... Q78CR5 Koef -0,03-0,17 Sig. 0,86 0,32 Q79 Koef -0,3-0,38 Sig. 0,1* 0,02** Q80 Koef -0,2-0,06 Sig. 0,2 0,75 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan Banyaknya perusahaan yang memakai genset justru menunjukkan tata kelola yang lebih buruk karena pemda belum mampu menyediakan listrik dari PLN dengan memadai. Oleh karena itu, uji korelasi pearson menghasilkan korelasi signifikan yang tidak sejalan. Hal ini terjadi karena pemakaian genset diduga lebih membantu kinerja suatu perusahaan sehingga lebih efisien daripada penggunaan listrik. Oleh karena itu, semakin banyak perusahaan yang memakai genset, perekonomian berjalan semakin baik dan akhirnya PDRB per kapita semakin baik pula.

135 L_PDRBKAP 118 Scatterplot of L_PDRBKAP vs Q78CR1, Q Q78CR Q Sumber: Data Olahan Gambar 26 Hubungan lama perbaikan infrastruktur jalan dan persentase perusahaan yang tidak memakai genset dengan PDRB per kapita. Tabel 22 Korelasi Spearman PDRB per kapita dengan kualitas infrastruktur dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan Correlations Q78AR1 Q78AR2 Q78AR3 Q78AR4 Q78R5 PDRBKAP Coeff 0, ,04 Sig. 0,097*.... 0,81 PE Coeff 0, ,18 Sig. 0, ,29 *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan Q81 Uji korelasi Spearman pada indikator ini digunakan untuk menganalisis variabel kualitas infrastruktur yaitu jalan, lampu penerangan, air PDAM, listrik, dan telpon (Q78A R1-R5), dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan (Q81). Berdasarkan uji korelasi Spearman terhadap data ordinal, variabel yang berhubungan signifikan dengan PDRB per kapita adalah variabel kualitas infrastruktur jalan (Q78AR1). Hal ini sejalan dengan teori yang ada sehingga dapat memperkuat hipotesis semakin tinggi kualitas infrastruktur jalan,

136 119 PDRB per kapita semakin tinggi. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor input dan faktor output produksinya. Jika kualitas infrastruktur semakin baik, semakin baik kinerja perusahaan dan output perusahaan meningkat. Dengan demikian, perekonomian meningkat dan PDRB per kapita pun meningkat Hubungan Sub-Indeks dan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Tata Kelola Ekonomi Daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah telah dibuat indeks oleh KPPOD pada tahun Seluruh variabel tata kelola ekonomi daerah diagregasi menjadi sebuah indeks tata kelola ekonomi daerah (TKED). Pembuatan indeks ini melalui beberapa cara, yakni tahap normalisasi, perhitungan sub indeks dan perhitungan indeks melalui pembobotan tiap variabel. Selain itu, ada sembilan indikator yang dibuat sub-indeks, yaitu indikator akses lahan (AL), izin usaha (IU), interaksi pemda dengan pelaku usaha (IPPU), program pengembangan usaha swasta (PPUS), kapasitas dan integritas pemimpin daerah (KIP), Biaya Transaksi (BT), infrastruktur daerah (INF), keamanan dan penyelesaian konflik (KPK) dan peraturan daeah (PERDA). Untuk mengetahui hubungan subindeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan pendapatan per kapita di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah, dilakukan uji korelasi Pearson.

137 120 Tabel 23 Korelasi Pearson PDRB per kapita dengan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah Correlations L_PDRBKAP PE AL Koef -0,45-0,33 Sig. 0,007 ** 0,05** IU Koef 0,04-0,02 Sig. 0,8 0,89 IPPU Koef 0,08-0,02 Sig. 0,7 0,89 PPUS Koef 0,2 0,11 Sig. 0,25 0,54 KIP Koef -0,2-0,11 Sig. 0,3 0,53 BT Koef -0,1-0,34 Sig. 0,5 0,04** INFRA Koef 0,07-0,11 Sig. 0,68 0,54 KPK Koef -0,3-0,31 Sig. 0,07* 0,07 PERDA Koef 0,1 0,29 Sig, 0,56 0,09* TKED Koef -0,05-0,21 Sig, 0,78 0,23 **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan Tabel 23 menunjukkan bahwa indeks TKED tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan PDRB per kapita di kota dan kabupaten Provinsi Jawa Tengah. Tidak hanya itu, dari sembilan indikator, hanya dua indikator yang berhubungan signifikan. Namun, keduanya berhubungan negatif dimana tidak sejalan dengan teori yang ada. Sementara tujuh indikator lainnya, tidak memiliki hubungan yang signifikan. Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi. Indeks tata kelola ekonomi daerah tidak berhubungan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Dari sembilan indikator, hanya satu yang berhubungan positif, yaitu indikator kualitas peraturann daerah. Dua indikator lain yaitu akses lahan dan

138 L_PDRBKAP 121 biaya transaksi memiliki hubungan yang signifikan negatirf. Bahkan, dari scatterplot pada Gambar 23 pun menunjukkan demikian, dimana scatterplot indeks TKED dan tujuh indikator tersebut memiliki kemiringan (slope) yang cenderung landai. Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berupa lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks. Pertanyaan yang menjadi variabel memiliki berbagai skala, baik nominal, ordinal maupun interval. Oleh karena itu, dalam melakukan analisisnya lebih tepat menggunakan analisis atau uji yang berbeda-beda, disesuaikan dengan skala masing-masing. Dengan demikian, akan terlihat variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB per kapita sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan yang tepat. 17 AL IU IPPU PPUS KIP BT INF RA KPK INF RA TKED Sumber: Data Olahan Gambar 27 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita.

139 PE AL IU IPPU PPUS KIP BT INF RA KPK INF RA TKED Sumber: Data Olahan Gambar 28 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Pengujian untuk mengetahui pengaruh variabel tata kelola ekonomi daerah, belanja pemerintah dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap PDRB per Kapita Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dengan analisis regresi berganda. Untuk memperoleh hasil estimasi yang lebih baik, Kabupaten Kudus tidak dimasukan ke dalam model. PDRB per kapita kabupaten tersebut mencapai Rp 31 juta sehingga dianggap sebagai pencilan. Oleh karena itu, data kabupaten dan kota yang digunakan dalam model berjumlah 34 kabupaten/kota. Setelah dilakukan berbagai uji coba, hasil estimasi model utama persamaan linear berganda diperoleh hasil terbaik sebagai berikut. PDRBKAP = IPM *BP(JUTA) BM (juta) Q Q49R3D + ɛ i

140 123 Hasil model tersebut menunjukkan bahwa ada dua variabel tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh secara signifikan, yaitu lama kepengurusan sertifikat lahan (Q30) dan variabel tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q43R3). Keduanya memiliki p-value di bawah 10 persen. Tidak berbeda dengan estimasi sebelumnya, IPM, belanja modal dan belanja pendidikan juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap PDRB per kapita. Untuk dapat menganalisis lebih lanjut, perlu dilakukan pengujianpengujian. Tabel 24 Hasil estimasi PDRB per kapita dengan metode OLS Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. VIF IPM ,3 BP (JUTA) ,0 BM (JUTA) ,2 Q ,3 Dummy Q49R ,2 C R-squared Mean dependent var F-statistic Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) Sumber: Data Olahan Pengujian untuk mengetahui pengaruh variabel tata kelola ekonomi daerah, belanja pemerintah dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dengan analisis regresi berganda. Setelah dilakukan berbagai uji coba, hasil estimasi model utama persamaan linear berganda diperoleh hasil terbaik sebagai berikut. PE = LN_IPM LN_BK LN_BP Q38AR Dummy Q78AR1

141 124 Hasil model tersebut menunjukkan bahwa ada dua variabel tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh secara signifikan, yaitu persentase perusahaan yang memiliki tanda daftar peusahaan (TDP) dan variabel kualitas infrastruktur jalan (Q78AR1). Keduanya memiliki p-value di bawah 10 persen. Belanja kesehatan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan belanja pendidikan dan IPM memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan. Untuk dapat menganalisis lebih lanjut, perlu dilakukan pengujian-pengujian. Tabel 25 Hasil estimasi pertumbuhan ekonomi dengan metode OLS Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. VIF LN_IPM LN_BK LN_BP Q38AR Dummy Q78AR C R-squared Mean dependent var Adjusted R-squared S.D. dependent var F-statistic Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) Sumber: Data Olahan Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas Kedua model ini memiliki galat yang menyebar normal. Hal ini dapat dilihat dari sebaran galat mendekati garis distribusi normal (Lampiran 12) Uji Heteroskedastisitas Kedua model ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji glejser (Lampiran 11) pada setiap indikator yang memiliki

142 125 nilai p-value lebih besar dari 10 persen. Selain itu, p-value dari obs R 2 melebihi 10 persen Uji Multikolinearitas Gejala multikolinearitas dapat dilihat dengan menggunakan nilai VIF. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa tidak ada nilai VIF dari tiap indikator yang lebih besar dari lima. Hal ini berarti bahwa kedua model penelitian ini terbebas dari masalah multikolinearitas Uji Statistik Koefisien Determinasi (R 2 ) Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness-fit dari model regresi yang dapat lihat dari nilai R Square. Dari perhitungan nilai R Square hasil regresi PDRB per kapita adalah 0,72. Hal ini berarti 72 persen keragaman PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh kelima variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 18 persen dijelaskan oleh faktor-faktor yang lain. Sementara nilai R Square hasil regresi pertumbuhan ekonomi lebih rendah yaitu 0,40. Artinya 40,56 persen keragaman pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh kelima variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 59,94 persen dijelaskan oleh faktor-faktor yang lain Uji Parameter Signifikansi Individu Hasil uji t menunjukkan bahwa semua variabel bebas secara individu berpengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita. Hal ini terlihat dari p-value

143 126 masing-masing variabel di bawah 10 persen. Artinya, variabel bebas secara sendiri-sendiri dapat memengaruhi PDRB per kapita. Dari hasil uji t model regresi pertumbuhan ekonomi, hanya tiga variabel yang berpengaruh signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Ketiga variabel tersebut adalah belanja kesehatan, persentase perusahaan yang memiliki tanda daftar perusahaan dan dummy kualitas infrastruktur jalan. Dua variabel lainnya yaitu belanja pendidikan dan IPM memiliki pengaruh namun tidak signifikan pada tingkat kesalahan 10 persen Uji Signifikansi Parameter Simultan (Uji F) Uji pengaruh simultan digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tak bebas. Nilai p-value uji f kedua model berada di bawah 10 persen. Ini berarti bahwa kelima variabel bebas secara bersama-sama signifikan dalam menjelaskan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah. Dari hasil estimasi output, kelima variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah. Kelima variabel tersebut adalah IPM, belanja modal, belanja pendidikan, varibel tata kelola ekonomi daerah yaitu lama kepengurusan sertifikat lahan dan dummy tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah. Hal ini diketahui dari p-value masing-masing variabel di bawah taraf nyata 10 persen. Variabel IPM berpengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita dengan nilai koefisien sebesar Hal ini berarti bahwa peningkatan IPM sebesar 1

144 127 satuan akan meningkatkan PDRB per kapita sebesar Rp , cateris paribus. Ini sesuai dengan teori yang ada bahwa sumberdaya manusia merupakan salah faktor yang terpenting dalam pembangunan ekonomi. Semakin baik kualitas sumber daya manusia yang diproksi dengan IPM, semakin baik pula kinerja manusia khususnya di bidang ekonomi. Dengan demikian perekonomian akan tumbuh lebih cepat dan pembangunan ekonomi pun meningkat. Pengaruh positif IPM dengan PDRB per kapita pun sejalan dengan laporan UNDP yang menyatakan bahwa pembangunan manusia mendorong perekonomian suatu daerah. Agar perekonomian berjalan positif dan berkelanjutan, maka harus ditunjang dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Jika tidak, perekonomian yang tumbuh tidak akan bertahan lama. Variabel belanja modal dan belanja pendidikan berpengaruh postif terhadap PDRB per kapita. Kofisien variabel belanja model sebesar berarti bahwa setiap kenaikan belanja modal sebesar Rp 1 juta menyebabkan PDRB per kapita meningkat sebesar Rp 32, cateris paribus. Hal ini sejalan dengan teori belanja pemerintah dimana peningkatan belanja pemerintah akan meningkatkan perekonomian suatu daerah. Dalam hal ini, belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menambah aset tetap misalnya membuat gedung, perbaikan jalan maupun belanja tanah terbukti dapa memberikan efek yang besar dalam perekonomian. Semakin banyak belanja modal yang dilakukan pemerintah, semakin cepat perekonomian tumbuh sehingga kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh PDRB per kapita dapat meningkat. Tidak hanya belanja modal, belanja pendidikan pun berpengaruh

145 128 secara signifikan dengan koefisien 9,98. Artinya setiap kenaikan belanja pemerintah di bidang pendidikan sebesar RP 1 juta, akan meningkatkan PDRB per kapita sebesar Rp 9,98 ( cateris paribus). Dengan demikian, untuk meningkatkan PDRB per kapita, belanja yang dialokasikan di bidang pendidikan harus ditingkatkan. Selanjutnya, variabel rata-rata lama kepengurusan sertifikat tanah berpengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita. Nilai koefisien berarti bahwa jika rata-rata kepengurusan sertifikat tanah lebih cepat atau berkurang satu minggu, akan meningkatkan PDRB per kapita sebesar Rp , cateris paribus. Hal ini sejalan dengan teori yang ada, bahwa semakin baik tata kelola ekonomi daerah akan meningkatkan kinerja perekonomian. Singkat atau lamaya waktu kepengurusan sertifikat tanah yang mencerminkan tata kelola ekonomi daerah yang dilakukan oleh Pemda. Semakin cepat waktu kepengurusan sertifikat tanah menunjukkan kinerja pemerintahan yang semakin baik. Sebaliknya, jika waktu yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikat semakin lama menunjukkan kinerja pemerintahan yang buruk. Waktu yang cepat dalam mengurus sertifikat tanah menyebabkan perusahaan lebih memudahkan perusahaan dalam memulai usaha baru. Dengan demikian, daerah dimana lebih mudah dan cepat dalam mengurus sertifikat tanah akan menarik perhatian investor untuk membuka usaha di daerah tersebut. Semakin banyak investor yang masuk, maka perekonomian akan semakin meningkat. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh PDRB per kapita akan meningkat (cateris paribus).

146 129 Variabel tata kelola lainnya yang berpengaruh signifikan adalah dummy persepsi tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah. Dummy yang digunakan adalah persepsi setuju tidaknya perusahaan bahwa aparat/instansi pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditentukan oleh kepala daerah. Koefisien variabel ini sebesar Artinya, rata-rata perbedaan PDRB per kapita antara kabupaten/kota dimana pemda menindaklanjuti dengan kabupaten/kota dimana pemda tidak menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditetapkan adalah sebesar Rp , cateris paribus. Variabel ini menunjukkan pentingnya pemecahan masalah terkait dunia usaha dilakukan tidak hanya oleh kepala daerah melalui kebijakan yang telah ditetapkan, melainkan kinerja aparat pemda dalam menindaklanjuti kebijakan tersebut. Kebijakan yang telah ditetapkan kepala daerah tanpa ditindaklanjuti oleh intansi pemda merupakan kebijakan yang tidak ada fungsinya. Kebijakan tersebut menjadi tepat sasaran jika ada kerjasama antara instansi pemda sebagai pelaksana kebijakan dengan kepala daerah sebagai pembuat kebijakan. Dengan demikian, dalam hal ini kinerja instansi pemda tidak kalah pentingnya dengan kepala daerah. Instansi pemda yang menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditetapkan oleh kepala daerahnya terkait pemecahan dunia usaha akan sangat membantu kinerja perusahaan. Tindakan tersebut merupakan langkah konkret terhadap pemecahan dunia usaha yang dilakukan bersama-sama, yaitu kepala daerah, instansi pemda maupun masyarakat. Hal tersebut akan membuat kinerja perusahaan semakin baik sehingga perekonomian pun dapat meningkat.

147 130 Peningkatan perekonomian ini dapat menyebabkan peningkatan PDRB per kapita sebagai proksi dari kesejahteraan masyarakat yang menigkat. Terdapat tiga variabel berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketiga variabel tersebut adalah variabel belanja kesehatan, variabel persentase perusahaan yang memperoleh Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan variabel kualitas infrastruktur jalan. Sementara variabel IPM dan belanja pendidikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi namun pengaruhnya tidak signifikan. Variabel belanja kesehatan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Koefisien ln belanja kesehatan sebesar 0,32 berarti bahwa jika belanja kesehatan meningkat 1 persen, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,32 persen, cateris paribus. Alokasi belanja di bidang kesehatan, misalnya untuk penyediaan fasilitas peralatan dan obat-obatan. Ketersediaan sarana dan prasarana di bidang kesehatan akan meningkatkan kesehatan manusia. Dengan demikian, kualitas sumberdaya manusia akan meningkat. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia di bidang kesehatan tentu akan meningkatkan kinerja manusia dalam perekonomian. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Variabel persentase perusahaan yang memiliki TDP berpengaruh postif terhadap pertumbuhan ekonomi. Koefisien 0,027 artinya bahwa kenaikan persentase peusahaan yang memiliki TDP sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,027 persen, cateris paribus. Semakin banyaknya persentase perusahaan yang memiliki TDP mengindikasikan kemudahan dalam mengurus TDP, baik dari faktor lama kepengurusan TDP maupun biaya yang

148 131 dikeluarkan untuk mendapatkan TDP. Hal tersebut akan menarik investor untuk menanamakan modalnya di daerah tersebut. Dengan demikian perekonomian akan tumbuh lebih cepat. Variabel tata kelola lainnya yang berpengaruh signifikan adalah dummy persepsi infrastruktur jalan. Dummy yang digunakan adalah baik buruknya kualitas infrastruktur jalan yang. Koefisien variabel ini sebesar 1,2. Artinya, ratarata perbedaan pertumbuhan ekonomi antara kabupaten/kota dimana kualitas infrastruktur di daerah tersebut baik dengan kabupaten/kota dimana infrastruktur buruk adalah sebesar 1,2 (cateris paribus). Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor input dan faktor output produksinya. Baik buruknya infrastruktur di suatu daerah sangat menentukan tingkat biaya yang dikeluarkan. Semakin baik infrastuktur, perusahaan di daerah tersebut dapat menekan biaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu output perusahaan dapat meningkan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Implementasi Kebijakan Proses perizinan yang terjadi di kabupaten/kota di Provinsi Jawa tengah masih relatif lama. Rata-rata lama waktu untuk mengurus sertifikat tanah di Jawa Tengah mencapai 16 minggu. Waktu yang cukup lama yaitu empat bulan yang dibutuhkan bagi perusahaan untuk mengurus sertifikat tanah seharusnya dapat digunakan perusahaan untuk mengurus keperluan yang lain yang dapat lebih meningkatkan kinerja perusahaan. Hambatan berupa lamanya waktu serta sulitnya proses perizinan ini yang menyebabkan kinerja perusahaan terhambat sehingga

149 132 tidak mengherankan jika tidak sedikit pelaku usaha yang menempuh praktik suap-menyuap kepada aparat pemda agar proses perizinan bisa dipermudah. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kualitas pelayanan khususnya di bidang perizinan. Proses perizinan sertifikat lahan atau sertifikat perusahaan harus lebih efisien sehingga membutuhkan waktu yang cepat bagi perusahaan dalam mengurusnya. Proses perizinan yang cepat dan mudah memang sulit dilakukan, namun bukan berarti tidak mungkin. Kepala daerah harus bekerjasama dengan instansi pemda terkait untuk lebih meningkatkan pelayanan perizinan di bidang usaha maupun di bidang lainnya. Selain itu, kepala daerah harus dapat memerangi praktik suap-menyuap yang banyak terjadi. Alasan utama yang menjadi penyebab terjadinya praktik suap adalah proses perizinan yang lama dan sulit dilakukan sehingga menuntut perusahaan bertindak praktis melalui suap menyuap agar proses perizininan lebih mudah dan cepat. Oleh karena itu, menghilangkan praktik suap menyuap tentu harus diimbangi peningkatan kualitas pelayanan perizinan oleh pemda. Selanjutnya, perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat umum khususnya pelaku usaha mengenai proses perizininan yang mudah dan cepat tanpa menggunakan uang pelicin. Jika masyarakat tidak mengetahui proses perizinan, walaupun kualitas pelayanan perizinan ditingkatkan, maka praktik suap dapat terus terjadi. Masyarakat yang memiliki sedikit pengetahuan mengenai proses perizinan usaha cenderung menganggap proses perizinan akan lebih mudah apabila menggunakan uang suap.

150 133 Selain itu, untuk meningkatkan PDRB per kapita, perlu dilakukan penertiban tempat usaha bagi para PKL. Perlu diperhatikan bahwa penertiban ini tidak dilakukan dengan paksaan, misalnya penertiban para PKL yang dilakukan oleh satpol PP. Tidak hanya itu, penertiban para PKL juga harus disertai dengan penyediaan tempat yang layak bagi usaha mereka. Proses lokalisasi PKL ini memang tidak mudah. Tidak sedikit yang menganggap tempat usaha lama yang digusur lebih memiliki nilai jual atau nilai ekonomis yang lebih tinggi dari tempat usaha baru yang disediakan oleh pemda sebagai tempat usaha PKL. Oleh karena itu dibutuhkan sosialisasi dan sikap persuasif yang terus-menerus dari instansi pemda khususnya bupati/ walikota agar para PKL mau berpindah ke tempat usaha yang telah disediakan oleh pemda. Variabel tata kelola yang berhubungan signifikan lainnya adalah persepsi tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tidak hanya kepala daerah, peran instansi pemda sangat penting dalam penanganan masalah yang terkait dunia usaha. Agar instansi pemda mau menindaklanjuti langkah-langkah kebijakan tersebut, kepala daerah harus berkoordinasi dengan instansi pemda mengenai kebijakan yang diambil terkait masalah di dunia usaha. Kebijakan yang dirumuskan bersamasama akan menumbuhkan sikap tanggungjawab bagi instansi pemda untuk dapat menindaklanjuti kebijakan dengan tepat. Tidak hanya itu, koordinasi pun harus dilakukan saat pelaksanaan kebijakan tersebut. Instansi pemda yang tidak bisa menindaklanjuti langkah yang ditetapkan oleh kepala daerah mungkin terjadi karena ketidaktahuan intansi

151 134 mengenai langkah-langkah dari kebijakan tersebut. Oleh karena itu, perlu ada koordinasi lebih lanjut dalam pelaksaan kebijakan sehingga instansi pemda memahami dengan benar langkah-langkah yang harus dilakukan mereka. Persepsi mengenai dukungan pemda terhadap pelaku usaha melalui penyediaan fasilitas yang mendukung dunia usaha memiliki hubungan positif yang signifikan namun pengaruhnya tidak signifikan terhadap PDRB per kapita. Dukungan pemda melalui penyediaan fasilitas yang mendukung dunia usaha sangat penting dalam membantu kinerja perusahaan. Oleh karena itu, penyediaan fasilitas yang mendukung dunia usaha perlu ditingkatkan. Misalnya peningkatan efektivitas forum komunikasi antara pemda dengan pelaku usaha. Dengan forum komunikasi, pemda dapat lebih memahami permasahan yang dihadapi oleh para pelaku usaha. Namun, forum tersebut belum mampu dioptimalkan oleh pemda. Oleh karena itu, pemda perlu mengaktifkan kembali serta mengoptimalkan peran forum komunikasi ini sehingga terjalin interaksi serta kerjasama yang baik antara pemda dengan pelaku usaha. Selain itu, adanya forum komunikasi antara pemda dengan para pelaku usaha sangat penting. Dengan adanya foum ini, berbagai macam permasalahan yang dihadapi dunia usaha dapat dibicarakan dan bersama-sama mencari solusi terbaik. Dengan demikian, pemda dapat merumuskan suatu kebijakan yang tepat sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi para pelaku usaha. Hal itu yang sangat membantu kinerja usaha. Tingkat donasi seperti biaya pungutan dan retribusi yang harus dibayar perusahaan perlu disesuaikan dengan perusahaan agar dinilai tidak memberatkan pelaku usaha. Dari korelasi menunjukkan hubungan positif yang kuat antara

152 135 variabel ini dengan PDRB per kapita namun pengaruhnya tidak signifikan. Artinya biaya pungutan atau retribusi yang tidak memberatkan, maka dapat menyebabkan PDRB per kapita meningkat walaupun tidak signifikan. Tingkat pungutan yang terlalu tinggi dapat menghambat kinerja perusahaan. Oleh karena itu, penetapan biaya pungutan dan retribusi harus jelas dan tidak memberatkan perusahaan. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor input dan faktor output produksinya. Kehadirannya dapat menjadi faktor pendorong tingkat produktivitas di suatu daerah. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain, tentunya juga dari satu daerah ke daerah lain. Apabila akses transportasi yang baik tidak ada tentunya akan sulit bagi suatu perusahaan untuk melakukan aktivitas usahanya. Oleh karena itu, tak pelak lagi ketersediaan infrastruktur, terutama kualitas jalan yang baik, sangat diperlukan untuk kelancaran kinerja perusahaan. Oleh karena itu, kondisi infrastruktur yang baik sangat menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut. Kualitas infrastruktur maupun lama perbaikan khususnya jalan raya memiliki hubungan yang positif dengan perekonomian. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur sangat penting karena infastruktur merupakan aspek yang dinilai paling menghambat kinerja perusahaan. IPM juga merupakan salah satu faktor utama bagi peningkatan kesejahteraan penduduk. Kualitas pembangunan manusia yang baik, akan meningkatan kinerja manusia dalam perekonomian sehingga perekonomian akan

153 136 meningkat. Untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, pemda dapat melakukan peningkatan di bidang kesehatan dan pendidikan. Di bidang kesehatan, perlu diperhatikan penyediaan fasilitas kesehatan, baik di rumah sakit maupun di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Jaminan kesehatan daerah (jamkesda) yang diberikan sebagai jaminan kesehatan bagi keluarga yang kurang mampu agar dapat berobat ke rumah sakit daerah belum dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat yang kurang mampu. Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang kurang mampu tidak mengetahui mengenai program tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat khususnya yang kurang mampu mengenai jaminan kesehatan yang diberikan oleh pemda khususnya persyaratan yang dibutuhkan untuk mendapatkan jaminan tersebut. Di samping itu, fasilitas yang ada di puskesmas harus ditingkatkan. Selama ini, puskesmas ada kurang memberikan pelayanan yang optimal. Misalnya, dokter tidak ada di setiap puskesmas. Jika tidak ada dokter yang menangani orang sakit, mantri atau perawat yang mengambil alih fungsi tersebut. Oleh karena itu, tenaga medis berupa doktor dan perawat sebaiknya ada di setiap puskesmas disertai dengan peralatan dan pengobatan yang memadai. Di bidang pendidikan, penyediaan fasilitas khususnya di sekolah-sekolah yang terpencil perlu ditingkatkan. Selama ini, hanya sekolah yang favorit atau yang berada di pusat kota yang memiliki fasilitas memadai dan layak digunakan untuk kegiatan belajar dan mengajar. Sekolah-sekolah yang terpencil justru masih belum memiliki fasilitas yang memadai. Hal ini yang mengakibatkan sekolahsekolah terpencil belum dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.

154 137 Peningkatan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi juga dapat dilakukan melalui peningkatan belanja pemda khususnya untuk belanja modal, belanja pendidikan dan belanja kesehatan. Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menambah aset tetap misalnya membuat gedung, perbaikan jalan maupun belanja tanah. Dalam hal ini peningkatan belanja modal akan menambah aset tetap sehingga dapat memberikan efek pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian. Selain itu, peningkatan belanja pendidikan yang dialokasikan untuk peningkatan pelayanan dan kualitas pendidikan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Dengan kualitas sumberdaya manusia yang baik, kinerja manusia akan meningkat sehingga akan meningkatkan perekonomian.

155 138 VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian keterkaitan tata kelola ekonomi daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita kabupaten dan kota di Provinsi Jawa tengah, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dilihat dari indeks tata kelola ekonomi daerah yang dibuat oleh Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD), tata kelola ekonomi daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dinilai cukup baik. Lima kabupaten dan kota terbaik di Jawa Tengah pada tahun 2007 adalah Kabupaten Purbalingga, Kota Magelang, Kabupaten Kudus, Kota Salatiga, dan Kabupaten Wonosobo. Sedangkan lima peringkat terbawah ditempati oleh Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta, Kabupaten Pemalang, Kota Semarang, dan Kabupaten Kebumen. 2. Pada indikator akses lahan, variabel lama kepengurusan sertifikat tanah berhubungan negatif dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Semakin cepat pengurusan sertifikat lahan, perusahan-perusahaan baru semakin cepat tumbuh. Variabel persepsi frekuensi konflik, persepsi kemungkinan penggusuran lahan, dan pesepsi frekuensi penggusuran lahan memiliki hubungan negatif dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa terjadi karena Pemda sering melakukan penggusuran lahan kepada para pedagang kaki lima (PKL) kemudian lahan tersebut digunakan untuk aktivitas ekonomi yang dinilai lebih menguntungkan bagi perekonomian.

156 Pada indikator izin usaha, variabel persentase perusahaan yang memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP) berhubungan positif dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Mudahnya pengurusan TDP dapat menarik minat investor untuk mendirikan perusahaan di kabupaten/kota tersebut. Variabel persepsi perizinan usaha yang bebas KKN berhubungan negatif dengan PDRB per kapita. Daerah kaya yang ditunjukkan dengan tingginya PDRB per kapita lebih memiliki banyak peluang untuk dapat melakukan KKN daripada daerah yang miskin. 4. Indikator kapasitas dan integritas kepala daerah, variabel yang berhubungan signifikan positif dengan PDRB per kapita adalah variabel persepsi mengenai tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah dan persepsi mengenai dukungan pemda terhadap pelaku usaha melalui penyediaan fasilitas yang mendukung dunia usaha. Variabel yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi adalah persepsi pemda melakukan konsultasi publik sebelum membuat kebijakan yang terkait dunia usaha dan instansi pemda membicarakan permasalahan terkait dunia usaha bersama para pelaku usaha. Semua hal tersebut sangat membatu kinerja perusahaan sehingga output perusahaan dapat meningkat. 5. Pada indikator keamanan dan penyelesaian konflik, variabel kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi memiliki hubungan negatif dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Kabupaten/kota yang kurang aman justru memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi. Semakin kaya daerah

157 140 tersebut, akan semakin mendorong terjadinya tindakan kriminal di suatu daerah. 6. Pada indikator biaya transaksi, variabel tingkat hambatan pajak resmi terhadap kinerja perusahaan berhubungan negatif, artinya ketika pajak resmi yang dibayarkan kepada pemda dinilai memberatkan pelaku usaha, PDRB per kapita pun tinggi. Semakin banyak pajak yang dipungut, maka semakin banyak pula dana yang digunakan untuk belanja pemerintah. Hal ini dapat meningkatkan PDRB per kapita. Variabel tingkat hambatan biaya pungutan dan retribusi untuk pendistribusian barang antarwilayah berhubungan positif dengan PDRB per kapita. Jika biaya pungutan dan retribusi tidak memberatkan perusahaan, maka keuntungan yang diperoleh perusahaan semakin besar. 7. Pada indikator infrasturktur daerah, variabel lama perbaikan infrastruktur jalan berhubungan negatif dengan PDRB per kapita. Semakin sedikit waktu perbaikan jalan, semakin baik infrastruktur di daerah tersebut. Variabel persentase perusahaan yang tidak memakai genset berhubugan negatif dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena pemakaian genset diduga lebih membantu kinerja suatu perusahaan sehingga lebih efisien daripada penggunaan listrik. Variabel kualitas infrastruktur jalan berhubungan positif dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Jika kualitas infrastruktur semakin baik, semakin baik kinerja perusahaan dan output perusahaan meningkat. 8. Uji korelasi PDRB per kapita dengan indeks dan sub-indeks yang telah dibuat oleh KPPOD menunjukkan menunjukkan bahwa indeks TKED tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan PDRB per kapita di kota dan kabupaten

158 141 Provinsi Jawa Tengah. Tidak hanya itu, dari sembilan indikator, hanya dua indikator yang berhubungan signifikan bahkan keduanya berhubungan negatif. Hasil tersebut tidak bebeda dengan pertumbuhan ekonomi. Dua indikator yang berhubungan signifikan namun negatif adalah akses lahan dan biaya transaksi. Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berupa lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks. Oleh karena itu, lebih tepat menggunakan analisis yang berbeda-beda, disesuaikan dengan skala masing-masing. Dengan demikian, akan terlihat variabel-variabel yang berhubungan signifikan dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. 9. Variabel yang berpengaruh secara signifikan tehadap PDRB per kapita adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), belanja modal pemerintah, belanja pendidikan pemerintah serta dua variabel tata kelola ekonomi daerah yaitu lama kepengurusan sertifikat tanah serta persepsi mengenai tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah. Disamping itu, variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah belanja kesehatan, variabel persentase perusahaan yang memiliki TDP dan variabel kualitas infrastruktur jalan. Sementara IPM dan belanja pendidikan memiliki pengaruh namun tidak signifikan. 10. Implementasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemda adalah perbaikan dan peningkatan kualitas di bidang perizinan sertifikat tanah maupun sertifikat usaha, penyediaan tempat usaha baru bagi para PKL yag digusur, peningkatan koordinasi antara kepala daerah dengan instansi pemda dalam penanganan

159 142 masalah di dunia usaha sehingga instansi pemda dapat menindaklanjuti secara tepat dan cepat kebijakan yang telah ditetapkan kepala daerah, peningkatan dukungan pemda melalui penyediaan fasilitas di dunia usaha, penurunan biaya pungutan dan retribusi agar tidak memberatkan para pelaku usaha, serta peningkatan kualitas infratruktur dan mempercepat lama perbaikan infrastruktur, terutama infratruktur jalan Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang diberikan adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya koordinasi antara Kepala Daerah, instansi Pemda dan masyarakat khususnya pelaku usaha dalam menangani masalah-masalah yang terkait dunia usaha. 2. Untuk penelitian selanjutnya, diperlukan kajian tata kelola pemerintahan daerah yang lebih mendalam agar dapat mendeskripsikan secara jelas sesuai dengan kondisi di daerah.

160 143 DAFTAR PUSTAKA Abdellatief, M. Adel Good Governance and Its Relationship to Democracy and Economic Development. Global Forum III on Fighting Corruption and Safeguarding Integrity. Seoul May Anonim Good Governance. Masyarakat Transparansi Indonesia. [diakses tanggal 2 Februari 2012] Badan Pusat Statistik Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Berlaku Menurut Pulau tahun Jakarta: BPS Pusat Perkembangan PDRB Per Kapita Tanpa Minyak & Gas Enam Propinsi di Pulau Jawa Tahun Jakarta: BPS Pusat Perkembangan PDRB Atas Harga Kostan Enam Propinsi di Pulau Jawa Tahun Jakarta: BPS Pusat PDRB Atas Harga Berlaku Kabupaten dan Kota Propinsi Jawa Tengah Tahun Semarang: BPS Jateng Jumlah Penduduk Kabupaten dan Kota Propinsi Jawa Tengah Tahun Semarang: BPS Jateng Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun Semarang: BPS Jateng Kepadatan Penduduk Propinsi Jawa Tengah Penduduk Tahun BPS Semarang: BPS Jateng Indeks Pebangunan Manusia Kabupaten/ Kota Propinsi Jawa Tengah Penduduk Tahun Semarang: BPS Jateng Produk Domestik Regional Bruto Harga Berlaku Propinsi Jawa Tengah Tahun Semarang: BPS Jateng Jumlah Angkatan Kerja Kabupaten/ Kota Propinsi Jawa Tengah Penduduk Tahun Semarang: BPS Jateng Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Pengembangan Ekonomi Daerah dan Sinegi Kebijakan Investasi Pusat- Daerah. Pemerintah Republik Indonesia: Jakarta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/ Kota Propinsi Jawa Tengah Tahun Jakarta: Kemenkeu

161 144 Dokumen Kebijakan UNDP Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan, dalam buletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia. Publication UNDP: Jakarta Dumairy Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Gujarati, D Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta. Istiandari, Rahmasari Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia.[Laporan Magang]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Januar, Ardani Keterkaitan Antara Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jhingan Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan Guritno. Jakarta: RajaGrafindo Persada Juanda, Bambang Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Kaufmann, Daniel dan Kraay, Aart Growth without Governance. World Bank Policy Research Working Paper Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Jakarta: KPPOD Pusat Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Jakarta: KPPOD Pusat Kuncoro, M Ekonomi Pembangunan; Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta. Lalolo Krina, Loina Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi. Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Mankiw, N.Gregory.2000.Teori Makro Ekonomi Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. McCulloch N dan Malesky E Does Better Local Governance Improve District Growt Performance in Indonesia?. Economics Departement Working Paper Series Murwito, Sigit Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Rangka Pembangunan Ekonomi Berbasis Wilayah. KPPOD News. Edisi: Januari-April Pemerintah Propinsi Jawa Tengah Letak Geografis Jawa Tengah. Semarang: Pemprov Jateng

162 145 Probowoningtyas, Dwi Handini Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Model Pertumbuhan Neo Klasik.[Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang. Rasyid, Ryaas Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya. Jakarta: LIPI Pres Rodrik, Subramanian, dan Trebbi Institutions Rule: The Primarcy of Institutions Over Geography and Integration in Economic Development. Jounal of Economic Growth 9, Rustiono, Deddy Analisis Pengaruh Investasi, Tenaga Kerja, dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Tengah. [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. Sukirno, Sadono Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran Dari Klasik Hingga Keynesian Baru. Jakarta: Raja Grafindo Pustaka. Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja. Todaro, Michael dan Smith, Stephen Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan. Terjemahan Haris Munandar. Jakarta: Erlangga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Ketentuan Pokok-Pokok Agraria

163 146 Lampiran 1 Daftar Istilah PDRB per kapita: Produk Domestik Regional Bruto per kapita APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah IPM : Indeks Pembangunan Manusia PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta Q30 Q32 Q33 Q34 Q35 Q36 : waktu yang dibutuhkan untuk mengurus status tanah (minggu) : persepsi tingkat kemudahan mendapatkan lahan : persepsi kemungkinan lokasi usaha akan digusur : persepsi frekuensi penggusuran lahan : persepsi frekuensi konflik kepemilikan lahan : persepsi hambatan ketersediaan lahan dan kepastian hukum terhadap kineja perusahaan Q38AR1 : perusahaan yang memiliki TDP Q40CR1 : persepsi kesulitan mengurus TDP Q40DR1 : waktu mengurus TDP (hari kerja) Q41DR1 : persepsi hambatan biaya kepengurusan TDP Q43R1 : persepsi proses perizinan usaha dijalankan dengan sistem kerja yang efisien Q43R2 : persepsi proses perizinan usaha bebas pungutan liar Q43R3 : persepsi proses perizinan usaha bebas KKN Q48 : keberadaan forum komunikasi Q49R1 : persepsi kepala daerah selalu memberikan pemecahan masalah yang nyata terhadap permasalahan pelaku usaha Q49R2 : persepsi pemecahan masalah yang diberikan oleh kepala daerah sesuai dengan haapan kebanyakan perusahaan Q49R3 : persepsi instansi pemda terkait selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah yang telah ditentukan oleh kepala daerah Q50R1 : persepsi pemda memiliki pengertian akan kebutuhan usaha

164 147 Q50R2 : persepsi pemda melakukan konsultasi publik dengan pelaku usaha apabila akan membuat kebijakan publik yang menyangkut kepentingan usaha Q50R3 : persepsi pemda mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha di daerahnya untuk membicarakan masalah pelaku usaha Q50R4 : persepsi pemda tidak membentuk perusahaan daerah yang dapat merugikan kegiatan usaha swasta Q50R5 : persepsi pemda memberikan fasilitas yang dapat mendukung perkembangan dunia usaha Q51 Q52 : persepsi kebijakan pemda yang berorientasi mendorong iklim investasi melalui promosi investasi : persepsi kebijakan non-diskriminatif pemda Q53R1 : persepsi kebijakan pemda terkait dunia usaha tidak meningkatkan pengeluaran bisnis Q53R2 : Persepsi kebijakan pemda terkait dunia usaha tidak meningkatkan ketidakpastian berusaha Q55 Q57A Q57B : persepsi hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha terhadap kinerja perusahaan : tingkat pengetahuan keberadaan PPUS : tingkat partisipasi dalam PPUS Q58R1 : persepsi tingkat manfaat pelatihan manajemen bisnis Q58R2 : persepsi tingkat manfaat pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja Q58R3 : persepsi tingkat manfaat promosi produk lokal kepada investor Q58R4 : persepsi tingkat manfaat menghubungkan pelaku usaha kecil-sedangbesar Q58R5 : persepsi tingkat manfaat pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM Q58R6 : persepsi tingkat manfaat program proses mempertemukan mitra bisnis Q58R7 : persepsi tingkat manfaat program pengembangan swasta lainnya Q61R1 : persepsi kepala daeah memiliki pemahaman yang baik mengenai persoalan yang dihadapi pelaku usaha Q61R2 : persepsi pejabat di lingkunga birokrasi pemda terkait dunia usaha bisnis berdasarkan pengalaman kerja sesuai bidangnya

165 148 Q61R3 : persepsi kepala daerah melakukan tindakan tegas terhadap setiap tindakan korupsi Q61R4 : persepsi kepala daerah melakukan korupsi Q61R5 : persepsi kepala daerah merupakan figur pemimpin yang kuat Q63 : persepsi hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap kinerja perusahaan Q65CR1 : persepsi hambatan retribusi daerah terhadap aktifitas bisnis Q65CR2 : perespsi hambatan pajak resmi daerah terhadap aktivitas bisnis Q67AR1: total biaya pungutan dan retribusi yang harus dibayarkan oleh perusahaan untuk pendistribusian barang antarwilayah Q67CR1: persepsi hambatan biaya pungutan dan retribusi yang harus dibayarkan oleh perusahaan untuk pendistribusian barang antarwilayah Q70BR1: persepsi hambatan biaya tambahan untuk keamanan kepada polisi terhadap aktifitas bisnis Q71 : persepsi hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan Q78AR1: persepsi kualitas infrastuktur jalan Q78AR2: persepsi kualitas infrastuktur lampu penerangan jalan Q78AR3: persepsi kualitas infrastuktur air PDAM Q78AR4: persepsi kualitas infrastuktur listrik Q78AR5: persepsi kualitas infrastuktur telepon Q78CR1: lama perbaikan infrastruktur jalan Q78CR2: lama perbaikan infrastruktur lampu penerangan jalan Q78CR3: lama perbaikan infrastruktur air PDAM Q78CR4: lama perbaikan infrastruktur listrik Q78CR5: lama perbaikan infrastruktur telepon Q79 Q80 Q81 : persentase perusahaan yang tidak memakai genset : frekuensi pemadaman listrik (kali dalam seminggu) : persepsi hambatan infastruktur terhadap kinerja perusahaan

166 149 Q83BR1: frekuensi pencurian pada tahun 2007 Q84R1 : persepsi polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus kriminal yang berhubungan dengan dunia usaha Q84R2 : persepsi solusi yang diberikan polisi ketika menangani kasus kriminal menguntungkan perusahaan Q84R3 : persepsi solusi yang diberikan polisi ketika menangani kasus kriminal meminimalisir kerugian dan biaya usaha Q86R1 : persepsi polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus demonstrasi buruh yang berhubungan dengan dunia usaha Q86R2 : persepsi solusi yang diberikan polisi ketika menangani kasus demostrasi buruh hanya menyebabkan dampak kehilangan yang kecil terhadap waktu produktif dan biaya operasional usaha Q88 TDP : persepsi hambatan keamanan dan penyelesaian konflik terhadap kinerja perusahaan : Tanda Daftar Perusahaan

167 Lampiran 2 Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Akses Lahan dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Spearman's rho PDRBKAP Correlation Coefficient 1 PE Sig. (2-tailed). N 35 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Q32 Correlation Coefficient , Correlations PDRBKAP PE Q32 Q33 Q34 Q35 Q36 Sig. (2-tailed) , N Q33 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) ,022** N Q34 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) * 0, N Q35 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) ** 0,037** E-06 **. N Q36 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , ** N **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). 150

168 Lampiran 3 Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Perizinan Usaha dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Correlations PDRBKA P PE Q38AR1 Q40CR1 Q41DR1 Q43 R1 Q43R2 Q43R3 Q45 Q46 Spearman's rho PDRBKAP Correlation Coefficient 1 Sig. (2-tailed). PE Correlation Coefficient 1 Sig. (2-tailed). Q38AR1 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) * 0,0039**. Q40CR1 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , Q41DR1 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , **. Q43R1 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Q43R2 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , Q43R3 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) ** 0, ** **. Q45 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , Q46 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , ** **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). 151

169 Lampiran 4 Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi PDRBK Q49R1 Q49R2 Q49R3 Q50R1 Q50R2 Q50R3 Q50R4 Q50R5 Q51 Q52 Q53R1 Q53R2 Q55 PDRBK Correlation Coefficient 1 Sig. (2-tailed). Q49R1 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Q49R2 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) **. Q49R3 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) 0.031** 0.0** 0.0**. Q50R1 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) * 0.03** 0.007**. Q50R2 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) * 0.0** 0.002** 0.053*. Q50R3 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) **. N Q50R4 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) * 0.00** N Q50R5 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) ** 0.0** 0.003** 0.00** **. N Q51 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Q52 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) ** 0.052*. N Q53R1 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) ** N Q53R2 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) * 0.00** ** N Q55 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) * 0.02** ** 0.0** N

170 Lampiran 5 Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Program Pengebangan Usaha Swasta (PPUS) dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Correlations PDRBKAP PE Q58R1 Q58R2 Q58R3 Q58R4 Q58R5 Q58R6 Q58R7 Q59 Spearman's rho PDRBKAP Correlation Coefficient 1 Sig. (2-tailed). N 35 PE Correlation Coefficient 1 Sig. (2-tailed). N 35 Q58R1 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , N Q58R2 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , N Q58R3 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , **. N Q58R4 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , N Q58R5 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , ** 0.076*. N Q58R6 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , ** **. N Q58R7 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , N Q59 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , **. N **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). 153

171 Lampiran 6 Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Kapasitas dan Integritas Bupati/ Walikota dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Correlations PDRBKAP PE Q61R1 Q62R2 Q63R3 Q64R4 Q65R5 Q63 Spearman's rho PDRBKAP Correlation Coefficient 1 Sig. (2-tailed). N 35 PE Correlation Coefficient 1 Sig. (2-tailed). N 35 Q61R1 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , N Q62R2 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , **. N Q63R3 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , ** 0.016**. N Q64R4 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , ** **. N Q65R5 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , ** 0.03** 0.000** 0.00**. N Q63 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , * N **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). 154

172 Lampiran 7 Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Keamanan dan Penyelesaian Konflik dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Correlations PDRBKAP PE Q84R1 Q84R2 Q84R3 Q86R1 Q86R2 Q88 Spearman's rho PDRBKAP Correlation Coefficient 1 Sig. (2-tailed). 1 PE Correlation Coefficient. Sig. (2-tailed) Q84R1 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) ** 0,037**. Q84R2 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) ** 0, **. Q84R3 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , *. N Q86R1 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Q86R2 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , **.. N Q88 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , N **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). 155

173 Lampiran 8 Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Biaya Transaksi dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Correlations PDRBKAP PE Q65CR1 Q65CR2 Q67CR1 Q70BR1 Q71 Spearman's rho PDRBKAP Correlation Coefficient 1 Sig. (2-tailed). N 35 1 PE Correlation Coefficient. Sig. (2-tailed) 35 N Q65CR1 Correlation Coefficient... Sig. (2-tailed)... N Q65CR2 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) ** 0, N Q67CR1 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) * 0, N Q70BR1 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , N Q71 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) , N **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). 156

174 Lampiran 9 Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Infrastruktur Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Correlations PDRBKAP PE Q78AR1 Q78AR2 Q78AR3 Q78AR4 Q78AR5 Q81 Spearman's rho PDRBKAP Correlation Coefficient 1 Sig. (2-tailed). PE Correlation Coefficient 0, Sig. (2-tailed) 0, Q78AR1 Correlation Coefficient , Sig. (2-tailed) * 0,012**. Q78AR2 Correlation Coefficient.... Sig. (2-tailed).... N Q78AR3 Correlation Coefficient..... Sig. (2-tailed)..... N Q78AR4 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Q78AR5 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Q81 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). 157

175 Lampiran 10 Hasil Uji Korelasi Pearson Variabel Infrastruktur Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Correlations L_PDRBKAP Q78CR1 Q78CR2 Q78CR3 Q78CR4 Q78CR5 Q79 Q80 L_PDRBKAP Pearson Correlation 1 Sig. (2-tailed) Q78CR1 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) ** N Q78CR2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Q78CR3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) * N Q78CR4 Pearson Correlation.a.a.a.a Sig. (2-tailed).... N Q78CR5 Pearson Correlation a 1 Sig. (2-tailed) **. N Q79 Pearson Correlation a Sig. (2-tailed) 0.10* N Q80 Pearson Correlation a Sig. (2-tailed) N **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). 158

176 Lampiran 11 Hasil Uji Korelasi Pearson Sub-Indeks dan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Correlations L_PDRBKAP PE AL IU IPPU PPUS KIP BT INFRA KPK PERDA TKED L_PDRBKAP Pearson Correlation 1 Sig. (2-tailed) PE Pearson Correlation Sig. (2-tailed) AL Pearson Correlation Sig. (2-tailed) 0.007** 0.054* IU Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N IPPU Pearson Correlation Sig. (2-tailed) ** N PPUS Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N KIP Pearson Correlation Sig. (2-tailed) ** 0.00** N BT Pearson Correlation Sig. (2-tailed) ** ** 0.022** ** N INFRA Pearson Correlation Sig. (2-tailed) ** ** N KPK Pearson Correlation Sig. (2-tailed) 0.07* 0.068* ** 0.035** * 0.009** ** N PERDA Pearson Correlation Sig. (2-tailed) * ** N TKED Pearson Correlation Sig. (2-tailed) ** 0.002** 0.088* ** 0.00** 0.00** 0.001** N **. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). 159

177 Percent 160 Lampiran 12. Hasil Uji Normalitas 99 Normal Probability Plot (response is PE) Residual 1 2

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 83 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 13 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Pembangunan Ekonomi Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan pembangunan ekonomi modern memiliki suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan ekonomi modern tidak hanya

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam meningkatkan pendapatan suatu pembangunan perekonomian di Indonesia, tentunya diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga-lembaga sosial. Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan di belahan dunia. Bahkan banyak negara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 56 TAHUN 201256 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dekade 1970, pembangunan identik dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi lebih menitikberatkan pada kemampuan suatu negara untuk mengembangkan outputnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi. BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Dimasa pergantian era reformasi pembangunan manusia merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah di Indonesia, bahkan tidak hanya di Indonesia di negara-negara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H14051312 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

PDRB per kapita: Produk Domestik Regional Bruto per kapita. PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta

PDRB per kapita: Produk Domestik Regional Bruto per kapita. PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta 146 Lampiran 1 Daftar Istilah PDRB per kapita: Produk Domestik Regional Bruto per kapita APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah IPM : Indeks Pembangunan Manusia PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan Provinsi yang termasuk ke dalam Provinsi yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah, No.26/04/33/Th.XI, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.1/3307/BRS/11/2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 Pembangunan manusia di Wonosobo pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional, guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun 1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 71 A TAHUN 201356 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal LP2KD Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Kendal TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL TAHUN 2012 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan struktur ekonomi dan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejaheraan penduduk atau masyarakat. Kemiskinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia dianggap sebagai titik sentral dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan dikendalikan oleh sumber

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Metode penelitian merupakan cara penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2010:2) mengemukakan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 9 Februari 2016 Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Meskipun

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S -- BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Letak dan Luas Wilayah Jawa Tengah terletak di antara 108 30 B.T -- 111 30 B.T dan 6 30 L.S -- 8 30 L.S. Propinsi ini terletak di

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Provinsi Jawa Tengah Sensus Ekonomi 2016 No. 37/05/33 Th. XI, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Hasil Pendaftaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013 BADAN PUSAT STATISTIK INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013 BPS KABUPATEN WONOSBO Visi: Pelopor Data Statistik Terpercaya Untuk Semua Nilai-nilai Inti BPS: Profesional Integritas Amanah Pelopor Data Statistik

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian Hasil analisa Deskripsi Obyek Penelitian dapat dilihat pada deskriptif statistik dibawah ini yang menjadi sampel penelitian adalah

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah suatu proses dalam melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Proses pembangunan yang mencakup berbagai perubahan mendasarkan status sosial,

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara. dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara. dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah tahun 2011-2013 yang seluruh data keuangannya telah di terbitkan dan dilaporkan kepada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hakikat pembangunan ini mengandung makna bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR : 561.4/69/2010 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 39 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri, oleh sebab itu

BAB I PENDAHULUAN. dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri, oleh sebab itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah pembangunan suatu wilayah diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri, oleh sebab itu semua wilayah menetapkan target

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam memperkuat suatu perekonomian agar dapat berkelanjutan perlu adanya suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu negara sangat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Keadaan Geografis a. Letak Geografis Provinsi Jawa Tengah secara geografis terletak antara 5 o 4 dan 8 o 3 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH,

GUBERNUR JAWA TENGAH, GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 wsm 2^17 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 No. 79/11/33/Th. XI, 06 November 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 Agustus

Lebih terperinci

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH Joko Sutrisno 1, Sugihardjo 2 dan Umi Barokah 3 1,2,3 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 GUBERNUR JAWA TENGAH, Membaca : Surat Kepala Dinas Tenaga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang dialami dunia hanya semenjak dua abad

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang kemiskinan ini hanya terbatas pada kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-2011. Variabel yang digunakan dalam menganalisis

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) No. 74/12/33 Th.VII, 2 Desember 2013 HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) RUMAH TANGGA PETANI GUREM JAWA TENGAH TAHUN 2013 SEBANYAK 3,31 JUTA RUMAH TANGGA, TURUN 28,46 PERSEN DARI TAHUN 2003 Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Oleh: Rahmasari Istiandari Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, setiap Pemda diberikan kewenangan dan peran aktif membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public

BAB I PENDAHULUAN. 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paradigma pembangunan ekonomi Indonesia sejak pertenghan tahun 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public driven growth. Semenjak itu pemerintah

Lebih terperinci