BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 2007 dan 2010"

Transkripsi

1 79 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perbedaan Persepsi Pelaku Usaha tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah Menurut Hasil Survei TKED 27 dan 21 Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah kabupaten/kota terbanyak di Indonesia. Dalam mengelola pemerintahan daerahnya, masingmasing kabupaten/kota di Jawa Timur berpegang teguh pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Salah satu misi dalam RPJPD ini adalah mengembangkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sedangkan arah dan tujuan yang ditetapkan dalam mewujudkan misi ini adalah pembangunan hukum, penyelenggara pemerintahan, pembangunan politik, pembangunan komunikasi dan informasi, pembangunan keamanan dan ketertiban, serta pembangunan keuangan daerah (RPJPD, 25) Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik, perlu adanya pengukuran atau survei persepsi para pelaku usaha di daerah tersebut. Hal inilah yang coba diakomodir oleh KPPOD dengan menyelenggarakan Survei TKED di tahun 27 dan 21. Provinsi yang berada di ujung timur Pulau Jawa ini mendapat kesempatan dua kali menjadi responden Survei TKED baik di tahun di tahun 27 maupun di tahun 21. Salah satu dasar pertimbangan Jawa Timur kembali diikutkan dalam sampling frame Survei TKED 21 adalah karena di tahun 27 beberapa kabupaten/kota meraih posisi 1 besar dalam peringkat indeks TKED. Dengan diikutsertakannya lagi Jawa Timur di tahun 21, diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai perbedaan persepsi para pelaku usaha di Jawa Timur pasca dilakukannya survei serupa di tahun 27. Perbedaan persepsi para pelaku usaha di Jawa Timur dianalisis dengan uji beda berpasangan (paired samples T-test). Uji ini dimaksudkan untuk melihat rata-rata perbedaan persepsi yang nyata dari pelaku usaha di Jawa Timur, dengan hasil pada Tabel 11.

2 8 Tabel 11 Uji beda berpasangan antara Indeks dari Sub Indikator TKED 27 dan 21di Provinsi Jawa Timur Mean Sig SUB INDIKATOR (2 tailed) AKSES LAHAN (AL) IZIN USAHA (IU) *.3 INTERAKSI PEMDA & PELAKU USAHA (IPPU) PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA SWASTA (PPUS) KAPASITAS & INTEGRITAS BUPATI/ WALIKOTA (KIBW) KEAMANAN & PENYELESAIAN SENGKETA (KPS) * BIAYA TRANSAKSI (BT) **.1 INFRASTRUKTUR (INF) **. KUALITAS PERDA (PERDA) ket:**variabel signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat.1 (2-tailed). Secara umum kita dapat melihat bahwa dari Sembilan sub indikator TKED, lima diantaranya yaitu AL,IPPU,PPUS,KIBW, dan PERDA mengalami penurunan indeks persepsi, tetapi hanya KIBW yang signifikan penurunan indeksnya. Sementara itu, tiga sub indikator lainnya, IU, KPS BT dan INF mengalami kenaikan indeks persepsi, tetapi hanya IU, BT dan INF kenaikannya signifikan. Dari hasil uji beda berpasangan di atas (Tabel 11) dapat kita lihat bahwa, beberapa indikator yaitu Izin Usaha (IU), Kapasitas Integritas Bupati dan Walikota (KIBW), Biaya Transaksi(BT) dan Infrastruktur (INF) mengalami perubahan angka indeks yang signifikan (p value< taraf nyata 5%) namun dalam arah yang berbeda-beda. Untuk sub indikator IU, BT dan INF rata-rata perbedaan indeksnya adalah positif, artinya secara agregat pelaku usaha meyakini bahwa tata kelola izin usaha, biaya transaksi dan infrastrukturnya lebih baik dalam taraf kepercayaan 95%. Sementara itu sub indikator KPS rata-rata perbedaan indeksnya adalah negatif, yang artinya secara agregat pelaku usaha di Jawa Timur meyakini bahwa tata kelola kapasitas dan integritas bupati/walikotanya makin memburuk dalam taraf kepercayaan 95%. Jika diuraikan lebih lanjut, para pelaku usaha di kabupaten/kota di Jawa Timur berpersepsi bahwa tata kelola izin usaha di tahun 21 lebih baik dari tahun 27 sebesar rata-rata 4 poin. Sementara itu, persepsi untuk tata kelola

3 81 biaya transaksi dan kualitas infrastruktur daerah lebih baik sebesar-rata-rata 5.8 dan 5.7 poin. Akan tetapi ternyata para pelaku usaha juga berpersepsi bahwa tata kelola kualitas dan integritas bupati/walikota lebih buruk sebesar rata-rata 5.55 poin. Analisis uji beda rata-rata berdasarkan indeks agregat KPPOD di atas tidak boleh langsung kita jadikan tolok ukur bahwa memang suatu sub indeks persepsinya membaik atau memburuk. Elaborasi lebih lanjut sangat diperlukan terutama untuk benar-benar melihat variabel manakah dari suatu sub indikator yang mengalami perbedaan signifikan ke arah yang lebih baik atau bahkan lebih buruk. Untuk itu, uji beda rata-rata juga dilakukan terhadap seluruh variabel penyusun sub indikator tata kelola. Tabel 12 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Akses Lahan Survei TKED 27 dan 21di Provinsi Jawa Timur Rata-rata Sig Variabel (2 tailed) Durasi pengurusan status tanah (Q3) **.4 Kemudahan perolehan lahan (Q32) Kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur (Q33) **.3 Frekuensi terjadinya penggusuran lahan : jarang (Q34) Frekuensi terjadinya konflik : jarang (Q35) Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) ket:**variabel signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat.1 (2-tailed). Untuk sub indikator akses lahan (Tabel 12), ternyata hanya ada 2 variabel yang berbeda nyata yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah (Q3) dan persepsi kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur (Q33). Secara rata-rata pelaku usaha di Jawa Timur berpersepsi bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikat tanah di tahun 21 berkurang sebesar ratarata 3 minggu dari tahun 27. Hal ini semakin menunjukkan semakin sigapnya aparat pemerintah di bagian pertanahan seperti BPN (Badan Pertanahan Nasional) serta perangkat desa seperti lurah dan camat yang sangat akomodatif dalam pengurusan status tanah sehingga pelaku usaha tidak perlu menunggu terlalu lama akibat ketidaksigapan aparat pengurusan administrasi status tanah. Kabupaten

4 82 dengan median durasi pengurusan status tanah tercepat adalah Kabupaten Gresik, yaitu dari 23 minggu menjadi 6 minggu di tahun 21. Penggusuran yang biasanya dialami para pelaku usaha kecil dan menengah juga tidaklah mejadi hambatan utama,terbukti dari kenaikan rata-rata persepsi pelaku usaha yang berkeyakinan bahwa kecil kemungkinan lokasi usaha mereka akan digusur, sebesar 3.2 poin dari tahun 27. Hal ini menunjukkan semakin baiknya kualitas tata kelola pemerintahan daerah dalam sub indikator akses lahan. Tabel 13 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Izin Usaha Survei TKED 27 dan 21 di Provinsi Jawa Timur Mean Sig (2 tailed) Variabel Persentase Perusahaan Yang Memiliki TDP (Q38aR1) **. Kemudahan perolehan TDP (Q4cR1) Rata-rata waktu perolehan TDP (Q4dR1) Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) 3.55*.51 Pelayanan izin usaha efisien (Q43R1) 5.148**.43 Pelayanan izin usaha bebas pungli (Q43R2) Pelayanan izin usaha bebas KKN (Q43R3) Persentase pelaku usaha yang mengetahui keberadaan mekanisme pengaduan (Q45) Izin usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q46) ket:**variabel signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat.1 (2-tailed). Pada sub indikator izin usaha (Tabel 13), ternyata hanya ada 4 variabel yang berbeda nyata. Variabel pertama adalah persentase perusahaan yang memiliki TDP. Persentase perusahaan yang memiliki TDP naik sebesar rata-rata 39,714 % dari tahun 27 dengan kabupaten Blitar sebagai kabupaten yang tertinggi kenaikan persentasenya. Sementara itu pelaku usaha juga berpersepsi bahwa biaya yang dikeluarkan pada saat mengurus izin usaha tidak memberatkan dunia usaha, terbukti dengan naiknya rata-rata indeks sebesar 3.55 poin dari tahun 27. Pelaku usaha juga berpersepsi bahwa pelayanan izin usaha selama ini sudah cukup efisien, dilihat dari kenaikan rata-rata sebesar 5.1 poin. Secara umum pun para pelaku usaha di Jawa Timur beranggapan bahwa izin usaha makin kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, dengan kenaikan rata-rata sebesar 2.5 poin.

5 83 Tabel 14 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Interaksi Pemda Dengan Pelaku Usaha Survei TKED 27 dan 21 di Provinsi Jawa Timur Mean Sig (2 Variabel tailed) Persentase pelaku usaha yang menyadari keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha (Q48) Kepala Daerah memberikan pemecahan masalah yang nyata pada pelaku usaha (Q49R1) Pemecahan masalah oleh Pemda sesuai harapan pelaku usaha (Q49R2) Instansi Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah oleh Kepala Daerah (Q49R3) Pemda memiliki pengertian akan kebutuhan dunia usaha (Q5R1) Pemda melakukan konsultasi publik (Q5R2) Pemda mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha dlm membahas permasalahan dunia usaha (Q5R3) Pemda tidak membentuk perusahaan daerah yang merugikan kegiatan usaha (Q5R4) Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha (Q5R5) Kebijakan pemda berorientasi untuk mendorong iklim investasi (Q51) -1.3**.33 Kebijakan Pemda bersifat non-diskriminatif (Q52) Pengaruh kebijakan pemda tidak meningkatkan pengeluaran dunia usaha (Q53R1) Kebijakan Pemda menjamin kepastian hukum dari pelaku usaha (Q54) 6.258*.97 Interaksi pemda dengan pelaku usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q55) **. ket:**variabel signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat.1 (2-tailed). Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha di Jawa Timur ternyata belum sepeuhnya dirasakan oleh para pelaku usaha. Terbukti dari nilai variabel persepsi bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemda berorientasi untuk mendorong iklim investasi turun rata-rata sebesar 1.3 poin dari tahun 27 (Tabel 14). Demikian pula, persepsi bahwa interaksi pemda dengan pelaku usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, turun sebesar rata-rata 11.8 poin dari tahun 27. Namun persepsi bahwa kebijakan Pemda menjamin kepastian hukum dari pelaku usaha naik sebesar poin. Hal ini mengindikasikan, para pelaku usaha masih merasa kebijakan Pemda belum mendorong peningkatan iklim investasi namun di satu sisi kebijakan Pemda telah menjamin kepastian hukum bagi para pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya.

6 84 Tabel 15 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Program Pengembangan Usaha Sektor Swasta Survei TKED 27 dan 21 di Provinsi Jawa Timur Mean Sig(2 Variabel tailed) Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS (Q57A) 19.22**.3 Tingkat partisipasi dalam PPUS (Q57B) PPUS -pelatihan manajemen bisnis bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R1) PPUS -pelatihan peningkatan kualitas tenaga kerja bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R2) PPUS -promosi produk lokal kepada investor bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R3) **.1 PPUS -menghubungkan pelaku usaha kecil-sedang-besar bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R4) PPUS -pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R5) **.34 PPUS -business matchmaking program bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R6) PPUS lainnya bermanfaat bagi dunia usaha (Q58R7) *.83 PPUS berdampak besar terhadap kinerja perusahaan (Q59) ket: **Variabel signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat.1 (2-tailed). Program Pengembangan Usaha Sektor Swasta diselenggarakan pemda untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pelaku usaha khususnya usaha kecil menengah (UKM), yang jumlahnya paling dominan dalam perekonomian Indonesia. Adapun dari hasil uji beda berpasangan ini (Tabel 15), terlihat bahwa persentase pelaku usaha yang mengetahui keberadaan PPUS meningkat rata-rata 19.1 % dari tahun 27. Kabupaten yang tergolong paling menyadari keberadaan PPUS adalah kabupaten Blitar, dengan persentase responden yang menyadari keberadaan PPUS naik dari 33% menjadi 1% di tahun 21. Sementara itu pelaku usaha juga berpendapat bahwa PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensial bermanfaat bagi pengembangan usaha mereka, terlihat dari kenaikan rata-rata sebesar 13.8 poin di tahun 21 jika dibandingkan dengan tahun 27. Sektor permodalan yang merupakan jantung kegiatan UKM merupakan hal yang krusial. Hal ini terlihat dari persepsi pelaku usaha yang menganggap bahwa PPUS berupa pelatihan pengajuan aplikasi kredit sangatlah penting, naik

7 85 sebesar rata-rata 12.3%. Namun beberapa pelaku usaha juga menganggap bahwa PPUS selain 6 jenis PPUS yang telah dicanangkan sebelumnya, justru tidak terlalu bermanfaat bagi pelaku usaha, terlihat dari penurunan persepsi sebesar rata-rata 7.8 poin di tahun 21. Tabel 16 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota Survei TKED 27 dan 21 di Provinsi Jawa Timur Mean Sig (2- tailed) Variabel Kepala daerah memiliki pemahaman yang baik terhadap masalah dunia usaha (Q61R1) Penempatan birokrat sesuai pengalaman kerja dan profesional (Q61R2) Kepala daerah bertindak tegas terhadap korupsi birokratnya (Q61R3) Pelaku usaha tidak setuju bahwa tindakan kepala daerah menguntungkan diri sendiri (Q61R4) Kepala daerah merupakan figur pemimpin yang kuat (Q61R5) Kapasitas dan integritas kepala daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha. (Q63) ket: **Variabel signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat.1 (2-tailed) ** Kualitas dan Integritas Kepala Daerah yaitu bupati/walikota sebagai tokoh sentral dan figur pemimpin dideskripsikan pada Tabel 16. Secara keseluruhan, persepsi pelaku usaha terhadap kualitas dan integritas kepala daerahnya mengalami penurunan, namun hanya ada satu variabel yang berbeda nyata yaitu pelaku usaha yang tidak setuju bahwa tindakan kepala daerahnya menguntungkan diri sendiri, yang turun sebesar rata-rata 3.61 poin dari tahun 27.

8 86 Tabel 17 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Keamanan dan Penyelesaian Sengketa Survei TKED 27 dan 21 di Provinsi Jawa Timur Variabel Mean (2 tailed) Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha (Q83B) Polisi selalu bertindak tepat waktu menangani kasus kriminal (Q84R1) Solusi yang diberikan polisi menangani kriminalitas menguntungkan perusahaan (Q84R2) Solusi yang diberikan polisi meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya(q84r3) Polisi selalu bertindak tepat waktu menangani demonstrasi buruh (Q86R1) Solusi yang diberikan polisi dalam demo buruh hanya menyebabkan dampak kehilangan kecil pada waktu dan biaya (Q86R2) Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan (Q88) ket: **Variabel signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat.1 (2-tailed). Uji beda berpasangan pun dilakukan pada variabel-variabel penyusun sub indikator keamanan dan penyelesaian sengketa. Secara umum persepsi para pelaku usaha akan keamanan dan penyelesaian sengketa di kabupaten/kotanya memburuk, namun tidak ada yang berbeda nyata (Tabel 17). Sementara itu variabel-variabel penyusun sub indikator biaya transaksi juga diuji apakah berbeda nyata antara persepsi di tahun 27 dan 21. Unsur biaya transaksi berupa pajak daerah, retribusi daerah dan biaya lainnya merupakan salah satu pertimbangan utama investor dalam berinvestasi di suatu daerah. Untuk kasus Jawa Timur, rata-rata tingkat pembayaran donasi baik pajak, retribusi maupun biaya lainnya kepada Pemda dalam kurun waktu satu tahun meningkat dari tahun 27 ke 21 sebesar rata-rata Rp , per pelaku usaha per tahun (Tabel 18) dengan kabupaten Trenggalek sebagai kabupaten dengan kenaikan biaya transaksi tertinggi sebesar Rp , per pelaku usaha per tahun. Kenaikan biaya transaksi rata-rata ini mengindikasikan semakin mahalnya biaya transaksi rata-rata yang harus dipikul pelaku usaha di kabupaten/kota di Jawa Timur.

9 87 Tabel 18 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Biaya Transaksi Survei TKED 27 dan 21 di Provinsi Jawa Timur Mean Sig(2 Variabel tailed) Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) Pajak daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR2) Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda (Q67a) **.48 Pajak dan retribusi daerah tidak memberatkan/menghambat kegiatan usaha (Q67cR1) Pembayaran biaya tambahan untuk polisi untuk keamananan tidak memberatkan pelaku usaha (Q7bR1) Biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) 2.94**.34 ket:**variabel signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat.1 (2-tailed). Walaupun demikian biaya transaksi yang besar ini justru bukanlah menjadi suatu hambatan bagi pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari persepsi pelaku usaha bahwa biaya-biaya transaksi ini kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan yang naik sebesar rata-rata 2.9 poin dibandingkan di tahun 27. Salah satu yang melatarbelakangi fenomena ini adalah makin tingginya kepatuhan para pelaku usaha dalam membayar pajak dan retribusi daerah kepada Pemda, yang pada akhirnya akan digunakan untuk membangun kabupaten/kotanya masing-masing. Beranjak ke sub indikator berikutnya, kualitas infrastruktur sangat erat hubungannya dengan keputusan pelaku usaha untuk melakukan investasi. Dari hasil Survei KPPOD di tahun 27 dan 21, terlihat bahwa infrastruktur merupakan kendala utama bagi pelaku usaha dalam menanamkan modalnya. Bobot hambatan infrastruktur ini adalah 38% (KPPOD, 21).

10 88 Tabel 19 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Infrastruktur Daerah Survei TKED 27 dan 21 di Provinsi Jawa Timur Mean Sig (2 Variabel tailed) Kualitas infrastruktur jalan (Q78aR1) Kualitas infrastruktur lampu jalan (Q78aR2) 5.5**.28 Kualitas infrastruktur air PDAM (Q78aR3) Kualitas infrastruktur listrik (Q78aR4) Kualitas infrastruktur telepon (Q78aR5) Lama perbaikan jalan (Q78cR1) Lama perbaikan lampu jalan (Q78cR2) Lama perbaikan air PDAM (Q78cR3) Lama perbaikan listrik (Q78cR4) Lama perbaikan telepon (Q78cR5) Persentase pelaku usaha yang menggunakan genset(q79) -13.9**. Lama pemadaman listrik (Q8) -1.13**. Infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81) ket:**variabel signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). * Variabel signifikan pada tingkat.1 (2-tailed). Dari hasil uji beda berpasangan pada Tabel 19 dapat dideskripsikan bahwa kualitas infrastruktur berupa lampu jalan mengalami kenaikan sebesar rata-rata 5.5 poin di tahun 21, dengan kenaikan indeks tertinggi diraih oleh kabupaten Jember. Sementara itu persentase pelaku usaha yang menggunakan genset pun menurun sebesar rata-rata 13.9% dibandingkan tahun 27. Hal ini menunjukkan semakin baiknya kualitas pelayanan PLN di Jawa Timur, sehingga para pelaku usaha tidak terlalu menggantungkan pasokan listriknya pada genset. Berbanding lurus dengan penurunan pelaku usaha yang memakai genset, lama pemadaman listrik pun berkurang sebesar rata-rata 1 kali dalam seminggu dibandingkan tahun Hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dan realisasi PMDN Hubungan antara Akses Lahan dan realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Variabel-variabel penyusun sub indikator akses lahan memiliki skala yang berbeda-beda yaitu skala ordinal dan skala interval. Ada enam variabel pembentuk sub indikator akses lahan ini. Khusus untuk variabel waktu yang

11 89 diperlukan untukkepengurusan status tanah (Q3) memiliki skala interval dengan satuan lama waktu kepengurusan tanah dalam minggu. Oleh karena itu, variabel ini dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Tabel 2 Korelasi Pearson antara Ln PMDN dan Ln PMA dengan Variabel Lama Kepengurusan Status Tanahdi Provinsi Jawa Timur Q3 LPMDN Pearson Correlation Sig. (2-tailed) LPMA Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Dari hasil uji korelasi Pearson, ternyata lama kepengurusan status tanah tidak memiliki hubungan yang signifikan baik dengan dengan realisasi PMDN maupun PMA (Tabel 2). Hal ini berarti bahwa para pelaku usaha di kabupaten kota di Jawa Timur secara umum tidak menganggap variabel akses lahan sebagai suatu hambatan dalam melakukan kegiatan usahanya. Lima variabel akses lahan lainnya yakni persepsi kemudahan perolehan lahan (Q32),Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda ( Q33, Q34), Frekuensi Konflik (Q35)dan Persepsi Keseluruhan Permasalahan Lahan Usaha(Q36) memiliki skala ordinal, sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman yang dilengkapi dengan boxplot. Tabel 21 Korelasi Spearman antarapmdn dan PMA dengan Persepsi Kemudahan Perolehan Lahan,Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda, Frekuensi Konflik dan Persepsi Keseluruhan Permasalahan Lahan Usaha di Provinsi Jawa Timur Q32 Q33 Q34 Q35 Spearman's Correlation rho PMDN Coefficient **.959 Sig. (2-tailed) Correlation PMA Coefficient ** Sig. (2-tailed) ket.**korelasi signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). Berdasarkan uji korelasi Spearman, dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan secara signifikan pada level 1% adalah persepsi penggusuran lahan oleh Pemda (Q34) yaitu seberapa sering terjadi penggusuran di daerah tersebut, namun hubungan keduanya adalah negatif dan tidak sejalan dengan teori (Tabel

12 PMDN PMA 9 21). Deskripsi lebih jelasnya dapat diamati dalam boxplot (Gambar 14). Kabupaten/kota yang frekuensi penggusurannya jarang memiliki median realisasi investasi PMDN sebesar Rp. 1,37 Trilyun dibandingkan kabupaten/kota yang tidak pernah terjadi penggusuran dengan median realisasi investasi PMDN sebesar. Semakin tidak pernah terjadi penggusuran, realisasi investasi PMDN semakin rendah dan sebaliknya semakin sering terjadi penggusuran, realisasi investasi PMDN semakin tinggi. Boxplot of PMDN VS Q34 Boxplot of PMA vs Q34 4.E E+13 3.E+12 R s =-.268 P value= E+13 1.E+13 R s = -.36 P value =.7 2.E+12 8.E+12 6.E+12 1.E+12 4.E+12 2.E+12 Seringkah terjadi penggusuran 3 di wilayah ini? Q34 3=Jarang, 4= Tidak pernah 4 Sumber: Data Olahan Gambar 14 Boxplot Variabel Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda terhadap Realisasi PMDN dan PMA (25-21) di Provinsi Jawa Timur 3 Q34 4 Salah satu hal yang melatarbelakangi kondisi makin seringnya terjadi penggusuran maka semakin tinggi realisasi investasi adalah komposisi perusahaan dengan skala kecil dan menengah yang menempati lebih dari 5% responden dalam sampling frame survei ini. Dalam kenyataannya usaha mikro, kecil dan menengahlah yang biasanya menjadi sasaran penggusuran, baik karena tidak adanya izin usaha, berebut tempat dengan pelaku usaha lain, atau lahan yang mereka pakai ternyata akan dipakai untuk pembangunan proyek pemerintah. Ketika persepsi para pelaku usaha yang sering mengalami penggusuran ini dikorelasikan dengan realisasi PMDN, ternyata berkorelasi negatif. Adapun penggusuran lahan usaha pihak UKM ini adalah sebagai substitusi realisasi

13 91 investasi yang baru, baik berupa PMDN, PMA, maupun investasi pemerintah yang bekerjasama dengan PMA maupun PMDN. Dengan demikian, semakin sering terjadi penggusuran terhadap lahan usaha kecil dan menengah, realisasi investasi PMDN akhirnya makin tinggi. Untuk kasus PMA, yang biasanya adalah perusahaan dengan skala besar, ternyata juga terjadi fenomena seiring pelaku usaha berpendapat bahwa penggusuran sering terjadi, realisasi PMA makin besar. Hal ini disebabkan oleh kondisi yang terjadi juga pada PMDN yaitu, lahan usaha milik usaha kecil maupun menengah yang sering digusur, pada akhirnya akan digunakan untuk investasi baru seperti proyek pemerintah dengan PMA maupun PMA murni Hubungan antara Izin Usaha dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Sama halnya dengan variabel-variabel penyusun sub indikator akses lahan, variabel-variabel penyusun sub indikator Izin Usaha pun memiliki skala yang berbeda-beda. Variabel kepemilikan Tanda Daftar Perusahaan (Q38AR1) berskala nominal, demikian pula variabel persentase keberadaan mekanisme pengaduan (Q45). Sementara itu variabel Q4DR1 mengenai lama hari kerja perusahaan memperoleh TDP berskala interval. Oleh karena itu ketiga variabel ini dianalisis dengan korelasi Pearson. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan, hanya variabel Persentase keberadaan mekanisme pengaduan (Q45) lah yang berhubungan secara signifikan tetapi hubungannya negatif (Tabel 22). Implikasinya adalah seiring semakin besarnya persentase pelaku usaha yang menyadari keberadaan mekanisme pengaduan, realisasi PMDN justru semakin rendah.

14 LPMDN 92 Tabel 22 Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA dengan Persentase Perusahaan yang Memiliki TDP, Rata-Rata waktu perolehan TDP dan Persentase Keberadaan Mekanisme Pengaduandi Provinsi Jawa Timur Q38AR1 Q4DR1 Q45 Pearson LPMDN Correlation ** Sig. (2-tailed) Pearson LPMA Correlation Sig. (2-tailed) ket **Korelasi signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). Keberadaan mekanisme pengaduan justru diikuti dengan semakin menurunnya realisasi investasi PMDN (Gambar 15). Hal ini terjadi karena adanya mekanisme pengaduan ini menyebabkan para petugas perizinan usaha sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu izin terkait dunia usaha, seperti tanda daftar perusahaan (TDP), Tanda Daftar Industri (TDP), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Gangguan (HO) dan IMB, sehingga realisasi PMDN semakin menurun. 3 Scatterplot of LPMDN vs Q R p = P value= Q Sumber: Data Olahan Gambar 15 Scatterplot Variabel Persentase Keberadaan Mekanisme Pengaduan terhadap PMDN di Provinsi Jawa Timur Empat variabel lain menyangkut izin usaha yaitupersepsi kemudahan perolehan TDP (Q4CR1), persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha (Q41DR1), persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien dan

15 93 bebas pungli (Q43 R1-R3) serta persepsi tingkat hambatan izin usaha (Q46) berskala ordinal sehingga dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman (Tabel 23). Tabel 23 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA dengan Persepsi Kemudahan Perolehan TDP, Persepsi Tingkat Biaya yang Memberatkan Usaha,Persepsi bahwa Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN, Efisien dan Bebas Pungli, Persepsi Tingkat Hambatan Usaha terhadap Usahanya di Provinsi Jawa Timur Spear man's rho Q4 CR1 Q41 DR1 PM Correlation DN Coefficient Sig. (2- tailed) PM Correlation A Coefficient Sig. (2- tailed) ket.** Korelasi signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). * Korelasi signifikan pada tingkat.1 (2-tailed). Q43R1 Q43R2 Q43R3 Q * -.215* *.254** Dari hasil uji korelasi Spearman, dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan positif secara signifikan terhadap realisasi PMDN adalah variabel persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas pungli (Q43R2). Lebih jauh lagi dalam boxplot (Gambar 16) terlihat bahwa untuk kabupaten/kota yang setuju bahwa pelayanan perizinan usahanya bebas pungli memiliki median realisasi investasi sebesar Rp. 8.1., lebih tinggi dari nilai tengah kabupaten/kota yang menyatakan tidak setuju yaitu sebesar Rp.. Hal ini sejalan dengan teori bahwa semakin perizinan usaha menghindarkan diri dari hal-hal yang berbau pungutan liar, diharapkan semakin banyak pelaku usaha yang tertarik untuk berinvestasi, dan akan berdampak pada realisasi PMDN yang makin besar.

16 PMDN 94 4.E+12 Boxplot of PMDN VS Q43R2 3.E+12 2.E+12 R s =.28 P value=.7 1.E+12 Persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas pungli 2: Tidak setuju, 3= setuju 2 Q43R2 Sumber: Data Olahan Gambar 16 Boxplot Variabel Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas Pungli terhadap PMDN (25-21) di Provinsi Jawa Timur 3 Hubungan yang negatif secara signifikan juga dapat kita lihat dari hasil uji korelasi Spearman untuk variabel persepsi bahwa perizinan usaha bebas KKN (Q43R3) terhadap realisasi PMDN di Tabel 25. Peningkatan pelayanan perizinan usaha yang bebas pungli ternyata belum diikuti oleh kualitas pelayanan perizinan usaha yang bebas KKN. Para pelaku usaha yang menjawab tidak setuju bahwa pelayanan perizinan bebas KKN, ternyata memiliki kisaran realisasi investasi sebesar Rp. 1,3 Trilyun lebih besar dari para pelaku usaha yang menjawab setuju yaitu sebesar Rp. 12 Milyar saja (Gambar 17). Salah satu hal yang melatarbelakangi fenomena ini adalah proses perizinan usaha yang masih sangat berbelit, sementara itu perizinan yang harus diurus untuk melakukan kegiatan usaha juga sangat banyak, sehingga pelaku usaha lebih senang melalui jalan belakang, baik lewat kenalan, saudara atau calo yang berurusan dengan petugas perizinan. Semakin banyak perusahaan yang melalui jalur tidak resmi ini, pada akhirnya menyebabkan realisasi investasi PMDN semakin meningkat. Hal ini adalah merupakan indikasi awal, karena realisasi investasi tidak hanya dipengaruhi oleh persepsi pelaku usaha tentang tata kelola pemerintahan daerah dalam hal perizinan, namun juga oleh faktor lainnya.

17 PMDN PMA 95 4.E+12 Boxplot of PMDN VS Q43R3 1.4E+13 Boxplot of PMA vs Q43R3 3.E+12 R s = P value= E+13 1.E+13 R s = P value=.58 2.E+12 8.E+12 6.E+12 1.E+12 4.E+12 2.E+12 Persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas KKN : 2: Tidak setuju, 3= setuju 2 Q43R3 3 2 Q43R3 3 Sumber: Data Olahan Gambar 17 Boxplot Variabel Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN terhadap PMDN dan PMA (25-21)di Provinsi Jawa Timur Adapun kabupaten yang merupakan pencilan dalam boxplot PMDN vsq43r3 dan PMA vs Q43R3 adalah Kabupaten Pasuruan dan Gresik. Di kedua kabupaten ini walaupun pelaku usaha tidak setuju bahwa pelayanan izin usaha bebas KKN, realisasi PMA maupun PMDNnya tetap tinggi.namun jika kita telusuri lebih lanjut ternyata ada beberapa variabel tatakelola yang sangat baik kualitasnya di kedua kabupaten ini, antara lain konflik atas tanah jarang terjadi, retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan dan infrastruktur sangat kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Tabel 24). Hal ini membuktikan, dalam satu aspek/variabel bisa saja terjadi suatu kabupaten kota memiliki hubungan yang anomali, namun di sisi lain, kualitas tata kelola pemerintahan lainnya justru sangat baik. Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola yang sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya.

18 96 Tabel 24 Kabupaten Pencilan pada Korelasi Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN (Q43R3) terhadap PMDN dan PMA serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya di Provinsi Jawa Timur Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik Kab. a. Konflik atas tanah jarang terjadi(q35) Gresik Kab. Pasuruan b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha (Q55) d.persepsi bahwa kapasitas dan integritas kepala daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha. (Q63) e.tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan (Q88) f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) g. Biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) h. Infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81) Namun pelaku usaha yang berpersepsi bahwa izin usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, realisasi PMAnya justru lebih rendah daripada yang setuju (Gambar 18). Kabupaten/kota yang menganggap izin usaha besar hambatannya terhadap kinerja perusahaan adalah kabupaten Gresik. Walaupun demikian, di Kabupaten ini sangat kecil kemungkinan usahanya akan, digusur (Q33), program PPUS berupa proses memepertemukan mitra bisnis (business matchmaking program) sangat dirasakan manfaatnya bagi pelaku usaha (Q58R6) dan biaya transaksi berupa pajak daerah tidak memberatkan para pelaku usaha (Q65CR2).

19 PMA E+13 Boxplot of PMA VS Q46 1.2E+13 1.E+13 8.E+12 6.E+12 4.E+12 R s =. 254 P value=.26 2.E+12 Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap kinerja perusahaan 2: Besar, 3= Kecil 2 Q46 3 Gambar 18 Boxplot Variabel Persepsi Tingkat Hambatan Izin Usaha Terhadap realisasi PMA (25-21) di Provinsi Jawa Timur Hubungan antara Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha (IPPU) dan Realisasi PMDN dan PMAKabupaten dan Kota di Jawa Timur Dalam rangka meningkatkan investasi di daerahnya, Pemda sebagai stakeholder perlu mengembangkan komunikasi yang baik dengan para pelaku usaha sebagai shareholder. Salah satu upayanya adalah dengan membentuk forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha agar dapat diketahui apa saja permasalahan dunia usaha yang sedang terjadi belakangan in. Selain itu tujuan dibentuknya IPPU adalah agar dapat merumuskan kebijakan-kebijakan apa sajakah yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha dan memberikan dukungan serta solusi permasalahan para pelaku usaha. Variabel-variabel penyusun sub indikator IPPU ini terdiri dari variabel berskala nominal yaitu persentase keberadaan forum komunikasi Pemda dengan pelaku usaha(q48). Sementara itu variabel lainnya pembentuk sub indikator IPPU berskala ordinal seperti tingkat pemecahan permasalahan oleh pemda (Q49R1- R3), tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha (Q5R1-R5), tingkat kebijakan pemda yang mendorong iklim investasi (Q51), tingkat kebijakan non diskriminatif pemda (Q52), pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha (Q53R1), tingkat kepastian hukum terkait dunia usaha (Q53R2) dan tingkat

20 98 hambatan interaksi Pemda dengan pelaku usaha (Q55), sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman (Tabel 25). Tabel 25 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA25-21 dengan Variabel Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha di Provinsi Jawa Timur PMDN PMA PMDN PMA Spear man's rho Q48 Q49 R1 Q49 R2 Q49 R3 Q5 R1 Q5 R2 Q5 R3 Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Q5 R ** ** ket. **Korelasi signifikan pada tingkat.5 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat.1 (2-tailed). Q5 R5 Q51 Q52 Q53 R1 Q53 R2 Q55 Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) Correlation Coefficient Sig. (2- tailed) ** -.22* ** ** ** **.283** *.318**.79.5 Korelasi yang positif secara signifikan hanya didapati pada variabel Tingkat Hambatan Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha (Q55) dan tingkat kebijakan non diskriminatif Pemda (Q52). Hal ini menunjukkan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan perizinan usaha tidak menghambat kinerja perusahaan bahkan bergerak seiring kenaikan realisasi PMDN dan PMA di kabupaten/kota Jawa Timur (Gambar 19).

21 PMDN PMDN PMA 99 4.E+12 Boxplot of PMDN vs Q55 1.4E+13 Boxplot of PMA VS Q55 1.2E+13 3.E+12 2.E+12 R s =.22 P value:.79 1.E+13 8.E+12 R s =.318 P value:.5 6.E+12 1.E+12 4.E+12 3 Seberapa besar hal yang berkaitan dengan Q55 IPPU menghambat kinerja perusahaan? 2= Besar 3= Kecil 4 2.E+12 Sumber: Data Olahan Gambar 19 Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha, terhadap PMDN dan PMA di Provinsi Jawa Timur Semakin Pemda bersikap tidak diskriminatif akan berdampak positif terhadap realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut (Gambar 2). Dengan Pemda yang bersifat tidak berpihak kepada golongan pengusaha tertentu saja, akan berkorelasi positif terhadap realisasi PMDN. 3 Q E+12 Boxplot of PMDN VS Q52 3.E+12 2.E+12 1.E+12 R s =.355 P value:.79 Tindakan Pemda terhadap sektor swasta: 2:=Non Diskriminatif 3= Diskriminatif 2 Sumber: Data Olahan Gambar 2 Boxplot Variabel Tingkat Kebijakan Non Diskriminatif Pemda, terhadap PMDN (25-21)di Provinsi Jawa Timur Q52 3 Korelasi yang negatif secara signifikandapat ditemui pada korelasi variabel Tingkat Kepastian Hukum Pemda Terkait Dunia Usaha (Q53R2) terhadap PMDN dan PMA. Dari boxplot Gambar 19 dapat kita lihat bersama bahwa semakin banyak pelaku usaha yang tidak setuju bahwa kebijakan Pemda

22 PMDN PMA 1 tidak meningkatkan tingkat ketidakpastian bagi pelaku usaha maka semakin besar realisasi PMDN maupun PMA di daerah tersebut. 4.E+12 3.E+12 Boxplot of PMDN vs Q53R2 R s = P value: E E+13 1.E+13 Boxplot of PMA vs Q53R2 R s = P value:.13 2.E+12 1.E+12 8.E+12 6.E+12 4.E+12 2 Kebijakan Pemda tidak meningkatkan Q53R2 tingkat ketidakpastian bagi pelaku usaha 2= Tidak Setuju 3= Setuju 3 2.E+12 Sumber: Data Olahan Gambar 21 Boxplot Variabel Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Ketidakpastian Bagi Dunia Usaha, terhadap PMDN dan PMA di Provinsi Jawa Timur Pencilan untuk korelasi persepsi Q53R2 terhadap PMDN dan PMA adalah kabupaten Gresik, Kediri Pasuruan, Nganjuk, Tuban dan kota Pasuruan (Tabel 26). Di kabupaten/kota pencilan ini ternyata sangat jarang terjadi konflik atas tanah (Q35), biaya perizinan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q41dR1), serta biaya transaksi berupa retribusi tidak menghambat kinerja perusahaan (Q65CR1). Hal ini membuktikan, dalam satu aspek/variabel bisa saja terjadi suatu kabupaten kota memiliki hubungan yang anomali, namun di sisi lain, kualitas tata kelola pemerintahan lainnya justru sangat baik. Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola yang sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya. 2 Q53R2 3

23 11 Tabel 26 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Kebijakan Pemda Meningkatkan Tingkat Kepastian Bagi Dunia Usaha (Q53R2) terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik kab. Gresik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(q35) b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya kab. Kediri terhadap kinerja perusahaan (Q36) c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) kab. Pasuruan kab. Nganjuk kab. Tuban kota Pasuruan d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) e.keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81) Sumber: Data Olahan Korelasi negatif berikutnya dapat kita temui pada korelasi antara Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Pengeluaran bagi Bisnis (Q53R1) dengan realisasi PMA(Gambar 22). Deskripsi boxplotini pada dasarnya hanyalah deteksi fenomena awal, yang memang menunjukkan fenomena yang tidak sejalan teori. Selanjutnya perlu kita telusuri kabupaten/kota yang mengalami hubungan anomali ini, agar dapat mengidentifikasi variabel tata kelola lainnya yang berkualitas baik yang dimiliki kabupaten/kota tersebut.

24 PMA E+13 Boxplot of PMA VS Q53R1 1.2E+13 1.E+13 8.E+12 R s = P value:.3 6.E+12 4.E+12 2.E+12 Kebijakan Pemda tidak meningkatkan tingkat peningkatan pengeluaran bisnis 2= Tidak Setuju 3= Setuju Gambar 22 Boxplot Variabel Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Pengeluaran bagi Bisnis, terhadap PMA di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada gambar 22 ditempati oleh kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Tuban, kota Pasuruan dan kota Surabaya (Tabel 27). Modus persepsi yang berlaku pada kabupaten/kota pencilan ini adalah pelaku usaha yang tidak setuju bahwa kebijakan pemerintah tidak meningkatkan pengeluaran bagi bisnis, namun kenyataannya realisasi PMDNnya tinggi. Namun pada kabupaten pencilan ini, beberapa aspek tata kelola lainnya justru sangat baik seperti konflik atas tanah jarang terjadi (Q35). Demikian pula untuk biaya perizinan, para pelaku usaha di kabupaten-kabupaten pencilan menganggap biaya tersebut sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1). Dengan kata lain, terbukti bahwa biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71). Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola maupun faktor ekonomi yang sangat menanamkan modalnya. 2 Q53R1 mempengaruhi keputusan investor dalam 3

25 13 Tabel 27 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Pengeluaran bagi bisnis (Q53R1) terhadap PMDN, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya. Korelasi Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik Q53R1 vs a. Konflik atas tanah jarang terjadi(q35) PMDN kab. Pasuruan kab. Probolinggo b.persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha (Q41dR1) kab. Tuban c. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) Kota Pasuruan d. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) Kota Surabaya e. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) Adapun salah satu h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81) alasan yang melatarbelakangi fenomena mengapa kebijakan pemerintah daerah tidak berkorelasi positif dengan realisasi PMA maupun PMDN adalah kualitas kebijakan itu sendiri. Hasil penelitian Azis dan Wihardja (21) menyatakan bahwa ada 3 tipe kebijakan yang dirumuskan oleh Pemda. Pertama adalah tipe kebijakan yang mengabaikan fakta bahwa kualitas institusi pemerintah masih rendah. Akibatnya kebijakan tersebuthanya bekerja berdasarkan asumsi yang dimiliki oleh pengambil kebijakan. Yang kedua adalah tipe kebijakan yang secara tegas mempertimbangkan fakta bahwa kualitas institusi masih rendah. Kebijakan ini dibuat dengan asumsi bahwa institusi tidaklah sempurna. Yang ketiga adalah tipe kebijakan yang mengendogenouskan institusi dengan cara menginternalisasikan kompleksitas institusi tetapi juga melakukan perubahan pada institusi dengan memberikan insentif kepada masyarakat untk bertindak yang baik. Sayangnya sampai saat ini aturan dan kebijakan Pemda masih menempati tipe yang pertama, sehingga pada saat diaplikasikan, masih akan terdapat penyimpangan-penyimpangan karena kualitas institusinya masih rendah. Korelasi yang negatif namun signifikan juga ditemukan pada korelasi variabel-variabel Persepsi Instansi Pemda selalu Menindaklanjuti Langkah-

26 PMDN 14 Langkah Pemecahan masalah yang Telah Ditentukan Kepala Daerah (Q49R3), Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q5R3 dan Q5R5),Tingkat Kebijakan Pemda yang Berorientasi Mendorong Iklim Investasi (Q51), terhadap PMDN dan juga PMA. Deskripsi lebih detail dapat dilihat pada boxplot Gambar 23 sampai E+12 Boxplot of PMDN vs Q49R3 3.E+12 2.E+12 R s =-.37 P value:.6 1.E+12 Pemda selalu menindaklanjuti langkahlangkah Kepala Daerah: 2= Tidak Setuju 3= Setuju 2 Q49R3 3 Sumber: Data Olahan Gambar 23 Boxplot Variabel Persepsi Instansi Pemda selalu Menindaklanjuti Langkah-Langkah Pemecahan Masalah yang Telah Ditentukan Kepala Daerah terhadap PMDN di Provinsi Jawa Timur Pada Gambar 23 di atas terlihat bahwa semakin pelaku usaha menjawab setuju bahwa Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q49R3), semakin rendah realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut. Demikian sebaliknya, semakin pelaku usaha menjawab tidak setuju bahwa Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah, semakin tinggi realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut. Hal ini merupakan fenomena yang tidak sejalan teori, namun kembali ditegaskan bahwa korelasi ini adalah hanya deteksi awal hubungan linear sederhana antara PMDN dengan Q49R3.

27 15 Tabel 28 Kabupaten Pencilandi Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Pemda Selalu Menindaklanjuti Langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q49R3) terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik Q49R3 VS a. Konflik atas tanah jarang terjadi(q35) PMDN kab. Pasuruan kab. Malang b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) kab. Gresik c.biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) kab. Sidoarjo d. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) e. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) Sumber: Data Olahan f. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) Adapun kabupaten yang menjadi pencilan pada korelasi Q49R3 terhadap PMDN ini adalah Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, dan Sidoarjo (Tabel 28). Di Kabupaten/kota pencilan ini, kualitas tata kelola yang baik adalah konflik atas tanah jarang terjadi (Q35), biaya perizinan bagi para pelaku usaha sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1). Retribusi pun bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1). Di balik posisi 4 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya Hubungan atau korelasi negatif dalam sub indikator IPPU ini juga ditunjukkan pada Gambar 24. Semakin pelaku usaha menjawab setuju bahwa Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha (Q5R3), semakin rendah realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut. Demikian sebaliknya, semakin pelaku usaha menjawab tidak setuju bahwa Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha, semakin tinggi realisasi PMDN di kabupaten/kota tersebut.

28 PMDN 16 4.E+12 Boxplot of PMDN vs Q5R3 3.E+12 2.E+12 R s =-.216 P value:.6 1.E+12 Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha 2=Tidak Setuju, 3= Setuju 2 Q5R3 Sumber: Data Olahan Gambar 24 Boxplot Variabel Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q5R3), terhadap PMDN. Pencilan pada korelasi Q5R3 terhadap PMDN ini kembali ditempati Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, Sidoarjo, Tuban.(Tabel 29). Untuk kabupaten-kabupaten pencilan ini konflik atas lahan sangat jarang terjadi (Q35), biaya perizinan bagi para pelaku usaha sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1). Retribusi pun bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1). 3 Tabel 29 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q5R3) terhadap PMDN, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Pencilan (anomali) Kualitas Tata Kelola yang baik Q5R3 vs a. Konflik atas tanah jarang terjadi(q35) PMDN kab. Pasuruan kab. Malang b. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) kab. Gresik c.keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) kab. Sidoarjo d. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) kab Tuban Sumber: Data Olahan e. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) Variabel yang sama, terbukti memiliki korelasi yang relatif sama dengan realisasi PMA maupun PMDN. Variabel yang dimaksud adalah persepsi bahwa Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha

29 PMDN PMA 17 (Q5R5). Semakin pelaku usaha menjawab setuju akan persepsi ini, semakin rendah realisasi PMA maupun PMDN di kabupaten/kota tersebut (Gambar 25). Boxplot of PMDN vs Q5R5 Boxplot of PMA VS Q5R5 4.E E E+13 3.E+12 2.E+12 R s =-.371 P value:.1 1.E+13 8.E+12 R s =-.22 P value:.8 6.E+12 1.E+12 4.E+12 2.E+12 2 Q5R5 Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha 2=Tidak Setuju, 3= Setuju 3 2 Q5R5 3 Sumber: Data Olahan Gambar 25 Boxplot Variabel Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah, terhadap PMDN dan PMA di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada korelasi Q5R5 terhadap PMDN dan PMA ini adalah kabupaten Pasuruan dan Gresik (Tabel 3). Terbukti dengan modus persepsi pelaku usaha yang tidak setuju bahwa Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha, ternyata di beberapa aspek tata kelola kabupaten ini masih memiliki keunggulan. Beberapa diantaranya adalah seperti konflik atas tanah jarang terjadi (Q35), biaya perizinan sama sekali bukan hal yang memberatkan (Q41DR1), retribusi bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1) serta infrastruktur kecil hambatannya terhadap dunia usaha (Q81).

30 18 Tabel 3 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah (Q5R5) terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan (anomali) kab. Pasuruan kab. Gresik Sumber: Data Olahan Kualitas Tata Kelola yang baik a. Konflik atas tanah jarang terjadi(q35) b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q36) c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha (Q41dR1) d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan (Q46) e. Kapasitas dan Integritas kepala Daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha (Q63) f.keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan (Q88) g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan (Q65cR1) h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q71) i. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan (Q81) Di balik posisi 2 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya. Sementara itu, variabel kebijakan Pemda terhadap sektor swasta (Q51) juga berkorelasi negatif dengan realisasi PMDN. Semakin pelaku usaha berpersepsi bahwa kebijakan Pemda terhadap sektor swasta bersifat mendorong iklim investasi, realisasi investasinya makin rendah (Gambar 26).

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 83 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan

Lebih terperinci

PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta. : waktu yang dibutuhkan untuk mengurus status tanah (minggu) : persepsi tingkat kemudahan mendapatkan lahan

PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta. : waktu yang dibutuhkan untuk mengurus status tanah (minggu) : persepsi tingkat kemudahan mendapatkan lahan 157 Lampiran 1 Daftar Istilah PMDN: Penanaman Modal DalamNegeri PMA : Penanaman Modal Asing TKED : Tata KelolaEkonomi Daerah IPPU : InteraksiPemdaDenganPelaku Usaha PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta

Lebih terperinci

5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah

5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah 5. Gambaran Umum Tata Kelola Ekonomi Daerah Seiring dengan tuntutan pemangku kepentingan terutama dari pemerintah daerah dalam hal efektifitas reformasi kebijakan yang harus dilakukan yang memiliki dampak

Lebih terperinci

V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA 5.1 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Penyediaan Infrastruktur di Indonesia Hubungan antara tata kelola pemerintahan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

IV. GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA IV. GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 4.1 Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia Terdapat sembilan dimensi tata kelola pemerintahan yang dipotret dari Studi

Lebih terperinci

PDRB per kapita: Produk Domestik Regional Bruto per kapita. PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta

PDRB per kapita: Produk Domestik Regional Bruto per kapita. PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta 146 Lampiran 1 Daftar Istilah PDRB per kapita: Produk Domestik Regional Bruto per kapita APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah IPM : Indeks Pembangunan Manusia PPUS : Program Pengembangan Usaha Swasta

Lebih terperinci

DAMPAK TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP REALISASI INVESTASI DI PROVINSI JAWA TIMUR SANTI

DAMPAK TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP REALISASI INVESTASI DI PROVINSI JAWA TIMUR SANTI DAMPAK TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP REALISASI INVESTASI DI PROVINSI JAWA TIMUR SANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

EDISI REVISI TATA KELOLA EKONOMI DAERAH ACEH DAN NIAS Survei Pelaku Usaha di 25 Kabupaten/Kota di Aceh dan Nias 2010 Laporan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) Aceh dan Nias 2010 ini merupakan hasil kerjasama

Lebih terperinci

ELIZABETH KARLINDA P H

ELIZABETH KARLINDA P H KETERKAITAN ANTARA TATA KELOLA EKONOMI DAERAH DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PER KAPITA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA PROPINSI JAWA TENGAH ELIZABETH KARLINDA P H14080025 DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah

6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah 6.Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh komite pemantauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik adalah dengan mengukur tingkat investasi yang dimiliki oleh daerah

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik adalah dengan mengukur tingkat investasi yang dimiliki oleh daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kompetensi suatu daerah dalam mengelola daerahnya berpengaruh besar terhadap kemajuan dan kesejahteraan daerah tersebut. Salah satu instrumen penting untuk

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN 35 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa hasil survei tata kelola ekonomi daerah dari KPPOD, terutama provinsi Jawa

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAKORNIS KOPERASI & UKM, KERJASAMA, PROMOSI DAN INVESTASI SE-KALIMANTAN BARAT

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAKORNIS KOPERASI & UKM, KERJASAMA, PROMOSI DAN INVESTASI SE-KALIMANTAN BARAT 1 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAKORNIS KOPERASI & UKM, KERJASAMA, PROMOSI DAN INVESTASI SE-KALIMANTAN BARAT Selasa, 6 Mei 2008 Jam 09.00 WIB Di Hotel Orchard Pontianak Selamat

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Dari kegiatan pemetaan Perda dan pelaksanaan survey persepsi terhadap 900 UMKM yang dilakukan di 10 Kabupaten/Kota dapat disimpulkan hal-hal sebagai

Lebih terperinci

Tata Kelola Ekonomi Daerah di 20 Kabupaten/Kota Partisipan KINERJA

Tata Kelola Ekonomi Daerah di 20 Kabupaten/Kota Partisipan KINERJA Tata Kelola Ekonomi Daerah di 20 Kabupaten/Kota Partisipan KINERJA Tata Kelola Ekonomi Daerah di 20 Kabupaten/Kota Partisipan Program KINERJA Analisis atas Hasil Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)

Lebih terperinci

Ucapan Terima Kasih. iii

Ucapan Terima Kasih. iii Ucapan Terima Kasih Laporan Tata Kelola Ekonomi Daerah Aceh 2008 ini merupakan hasil kerjasama antara KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) dan The Asia Foundation. Tim KPPOD terdiri atas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak

Lebih terperinci

Komtte Pemantauan Pelaksanaan Otonoml Daerah RegIonal Autonomy Watch The Asia KPP~D. Au said

Komtte Pemantauan Pelaksanaan Otonoml Daerah RegIonal Autonomy Watch The Asia KPP~D. Au said Komtte Pemantauan Pelaksanaan Otonoml Daerah RegIonal Autonomy Watch The Asia KPP~D. Foundation Didukung oleh: '~ Australian ~. Au said Government Laporan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) 2011 ini merupakan

Lebih terperinci

DATA DAN INFORMASI BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIZINAN (BPMP) KABUPATEN SUBANG TAHUN 2016

DATA DAN INFORMASI BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIZINAN (BPMP) KABUPATEN SUBANG TAHUN 2016 DATA DAN INFORMASI BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIZINAN (BPMP) KABUPATEN SUBANG TAHUN 2016 A. INFORMASI TENTANG PROFIL PEJABAT STRUKTURAL DI BPMP KAB. SUBANG Terlampir B. INFORMASI TERKAIT TRANSPARANSI

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H14051312 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

(Laporan Kinerja Instansi Pemerintah) LKIP 2016 BAB I PENDAHULUAN

(Laporan Kinerja Instansi Pemerintah) LKIP 2016 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Singkat Organisasi Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Kabupaten Sumedang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

RANGKUMAN Survei mengenai Pengawasan Iklim Investasi Putaran VI (2014)

RANGKUMAN Survei mengenai Pengawasan Iklim Investasi Putaran VI (2014) RANGKUMAN Survei mengenai Pengawasan Iklim Investasi Putaran VI (2014) Pendahuluan Survei ke-6 mengenai Pengawasan Iklim Investasi yang berlangsung antara bulan Agustus - Desember 2014 ditugaskan kepada

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Investor Daily: Paket Kebijakan Plus Revolusi Mental Thursday, 19 May :39

Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di Investor Daily: Paket Kebijakan Plus Revolusi Mental Thursday, 19 May :39 Prof Mudrajad Kuncoro Paket Kebijakan Plus Revolusi Mental* Oleh: Mudrajad Kuncoro** Laporan Bank Dunia yang berjudul Doing Business 2016 (DB2016) menempatkan Indonesia pada peringkat 109 dari 189 negara.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tujuan untuk lebih mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat (pelayanan. demokratis sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

I. PENDAHULUAN. tujuan untuk lebih mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat (pelayanan. demokratis sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah meletakkan titik berat otonomi pada daerah kabupaten dan daerah kota dengan tujuan untuk lebih mendekatkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDUSTRI DI DAERAH : PENDEKATAN KELEMBAGAAN. Bambang P.S Brodjonegoro FEUI

PENGEMBANGAN INDUSTRI DI DAERAH : PENDEKATAN KELEMBAGAAN. Bambang P.S Brodjonegoro FEUI PENGEMBANGAN INDUSTRI DI DAERAH : PENDEKATAN KELEMBAGAAN Bambang P.S Brodjonegoro FEUI KONDISI SEKTOR MANUFAKTUR INDONESIA Mengalami perlambatan pertumbuhan tahunan yang cukup mengkhawatirkan, dari 11%

Lebih terperinci

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi BAB V KESIMPULAN Provinsi NTB merupakan daerah yang menjanjikan bagi investasi termasuk investasi asing karena kekayaan alam dan sumber daya daerahnya yang melimpah. Provinsi NTB dikenal umum sebagai provinsi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SAMARINDA

PEMERINTAH KOTA SAMARINDA PEMERINTAH KOTA SAMARINDA Jalan Basuki Rahmat No.78, Gedung Graha Tepian Samarinda 7512 Telp. (0541)739614, Fax. (0541)741286 SMS Center/SMS Pengaduan : 08115843555 Web:www.bpptsp.samarindakota.go.id PENDAHULUAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga investasi pada hakekatnya merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman

Lebih terperinci

Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU. I. Latar Belakang

Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU. I. Latar Belakang Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU I. Latar Belakang Penerapan otonomi daerah pada tahun 2001 telah membawa perubahan yang cukup berarti bagi kondisi ekonomi di Propinsi Riau. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu organisasi berdiri dengan maksud dan tujuan tertentu. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. Suatu organisasi berdiri dengan maksud dan tujuan tertentu. Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Suatu organisasi berdiri dengan maksud dan tujuan tertentu. Untuk mewujudkan maksud dan tujuan tersebut dalam pelaksanaannya melibatkan banyak unsur sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mengumpulkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu secara rasional, empiris dan sistematis. Adapun metodologi penelitian yang

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Survei Tahap Ketiga Monitoring Iklim Investasi di Indonesia

Ringkasan Eksekutif Survei Tahap Ketiga Monitoring Iklim Investasi di Indonesia Ringkasan Eksekutif Survei Tahap Ketiga Monitoring Iklim Investasi di Indonesia Copyright @ 2007 Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM-FEUI) Ringkasan Eksekutif Survei Tahap Ketiga Monitoring

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BARRU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG POKOK-POKOK PERLINDUNGAN INVESTASI DI KABUPATEN BARRU

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BARRU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG POKOK-POKOK PERLINDUNGAN INVESTASI DI KABUPATEN BARRU PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BARRU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG POKOK-POKOK PERLINDUNGAN INVESTASI DI KABUPATEN BARRU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARRU, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. berbatasan dengan Laut Jawa, Selatan dengan Samudra Indonesia, Timur dengan

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. berbatasan dengan Laut Jawa, Selatan dengan Samudra Indonesia, Timur dengan BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Sampel Provinsi Jawa Timur mempunyai 229 pulau dengan luas wilayah daratan sebesar 47.130,15 Km2 dan lautan seluas 110.764,28 Km2. Wilayah ini membentang

Lebih terperinci

4. METODE PENELITIAN

4. METODE PENELITIAN 4. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap kinerja

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. BPS Monografi Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara. Semarang : Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara.

DAFTAR PUSTAKA. BPS Monografi Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara. Semarang : Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara. DAFTAR PUSTAKA BPS. 2011. Kecamatan Semarang Tengah Dalam Angka 2010. Semarang : BPS Semarang. BPS. 2011. Kecamatan Semarang Utara Dalam Angka 2010. Semarang : BPS Semarang. BPS. 2011. Kota Semarang Dalam

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. dampak penerapan Tax Holiday (pembebasan pajak) pada penanaman modal asing di

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. dampak penerapan Tax Holiday (pembebasan pajak) pada penanaman modal asing di BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1. Simpulan Dari pembahasan dan analisis yang dilakukan oleh penulis berkenan dengan dampak penerapan Tax Holiday (pembebasan pajak) pada penanaman modal asing di Indonesia pada

Lebih terperinci

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur TOTAL SKOR INPUT 14.802 8.3268.059 7.0847.0216.8916.755 6.5516.258 5.9535.7085.572 5.4675.3035.2425.2185.1375.080 4.7284.4974.3274.318 4.228 3.7823.6313.5613.5553.4883.4733.3813.3733.367

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI B PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI B PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 3 Agustus 2012 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI B 1/B PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Oleh: Rahmasari Istiandari Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, setiap Pemda diberikan kewenangan dan peran aktif membangun

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. 1. Berdasarkan Tipologi Klassen periode 1984-2012, maka ada 8 (delapan) daerah yang termasuk

Lebih terperinci

SURVEI KEPUASAN MASYARAKAT BISNIS KABUPATEN WONOGIRI TAHUN Oleh : Dra. L.V. Ratna Devi, M.Si

SURVEI KEPUASAN MASYARAKAT BISNIS KABUPATEN WONOGIRI TAHUN Oleh : Dra. L.V. Ratna Devi, M.Si SURVEI KEPUASAN MASYARAKAT BISNIS KABUPATEN WONOGIRI TAHUN 2011 Oleh : Dra. L.V. Ratna Devi, M.Si ABSTRAK Kegiatan survei kepuasan masyarakat bisnis ini dilakukan untuk mengukur kinerja Pemkab dalam memberikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa pemerintah daerah wajib

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kabupaten/kota dapat menata kembali perencanaan pembangunan yang

I. PENDAHULUAN. kabupaten/kota dapat menata kembali perencanaan pembangunan yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki keleluasaan untuk mengelola daerah dan sumberdaya alam yang ada di daerahnya. Dengan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua Desa dengan pola hutan rakyat yang berbeda dimana, desa tersebut terletak di kecamatan yang berbeda juga, yaitu:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR 1 BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR Menimbang Mengingat SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, 1 Menimbang : PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, a. bahwa dalam rangka memacu pertumbuhan

Lebih terperinci

IV.B.9. Urusan Wajib Penanaman Modal

IV.B.9. Urusan Wajib Penanaman Modal 9. URUSAN PENANAMAN MODAL Salah satu tolak ukur penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan suatu dampak nyata dari kebijakan pembangunan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. nasional, sebagai upaya terus menerus ke arah perubahan yang lebih baik guna

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. nasional, sebagai upaya terus menerus ke arah perubahan yang lebih baik guna BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus ke arah perubahan yang lebih baik guna meningkatkan kualitas manusia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,

BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan

Lebih terperinci

2016 PENGARUH EFEKTIVITAS PENGENDALIAN INTERNAL TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

2016 PENGARUH EFEKTIVITAS PENGENDALIAN INTERNAL TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah semakin buruk. hal ini dipicu karena penyelenggaraan pemerintah yang tidak dikelola dengan baik. Sehingga menurunnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/43/KPTS/013/2006 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/43/KPTS/013/2006 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/43/KPTS/013/2006 TENTANG TIM PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA INVESTASI NON PMDN / PMA PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2006 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAN BELANJA MODAL DAERAH TERHADAP REALISASI INVESTASI DI INDONESIA SHINTA PRATIWI

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAN BELANJA MODAL DAERAH TERHADAP REALISASI INVESTASI DI INDONESIA SHINTA PRATIWI PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAN BELANJA MODAL DAERAH TERHADAP REALISASI INVESTASI DI INDONESIA SHINTA PRATIWI DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Lebih terperinci

MASALAH DAN STRATEGI MENARIK INVESTASI DI DAERAH

MASALAH DAN STRATEGI MENARIK INVESTASI DI DAERAH MASALAH DAN STRATEGI MENARIK INVESTASI DI DAERAH Oleh : Marsuki Seminar Investasi PUKTI, 15/06/2006, Hotel Quality, Makassar MASALAH DAN STRATEGI MENARIK INVESTASI DI DAERAH 1 Oleh : Marsuki 2 Setelah

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DATA DAN HASIL PEMBAHASAN. tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal 9 Oktober 2017 di Kantor Kecamatan

BAB III ANALISIS DATA DAN HASIL PEMBAHASAN. tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal 9 Oktober 2017 di Kantor Kecamatan BAB III ANALISIS DATA DAN HASIL PEMBAHASAN 3.1 Laporan Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai kualitas pelayanan publik terhadap kepuasan masyarakat dalam pembuatan Kartu Keluarga di Kecamatan Banguntapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari perkembangan

I. PENDAHULUAN. Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari perkembangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, dan tingkat pengangguran. Sasaran yang ingin dicapai adalah

Lebih terperinci

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi Boks 2 REALISASI INVESTASI DALAM MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU I. GAMBARAN UMUM Investasi merupakan salah satu pilar pokok dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, karena mampu memberikan multiplier effect

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode 2010-2015, secara umum pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi, dimana pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010-2015, laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu 57 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Obyek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu kota Bandung. Perkembangan Sejarah

Lebih terperinci

9. URUSAN PENANAMAN MODAL

9. URUSAN PENANAMAN MODAL 9. URUSAN PENANAMAN MODAL Peningkatan penanaman modal di daerah dapat menjadi tolok ukur adanya perkembangan perekonomian daerah, yang dapat memacu laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

Ikhtisar Eksekutif. vii

Ikhtisar Eksekutif. vii Kata Pengantar Laporan Kinerja Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi kepada masyarakat (stakeholders) dalam menjalankan visi dan misi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i vii xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-2 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4 1.3.1 Hubungan RPJMD

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang :

Lebih terperinci

SISTEM PELAYANAN TERPADU: STRATEGI PERBAIKAN IKLIM INVESTASI DI DAERAH (Oleh : Asropi )

SISTEM PELAYANAN TERPADU: STRATEGI PERBAIKAN IKLIM INVESTASI DI DAERAH (Oleh : Asropi ) SISTEM PELAYANAN TERPADU: STRATEGI PERBAIKAN IKLIM INVESTASI DI DAERAH (Oleh : Asropi ) Abstrak Perbaikan iklim investasi di daerah merupakan keniscayaan bagi peningkatan kinerja investasi nasional. Salah

Lebih terperinci

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur Disampaikan dalam Acara: World Café Method Pada Kajian Konversi Lahan Pertanian Tanaman Pangan dan Ketahanan Pangan Surabaya, 26 September 2013 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi

Lebih terperinci

GOOD GOVERNANCE GUNA MENCEGAH TSUNAMI SOSIAL. Oleh: Sofian Effendi Universitas Gadjah Mada

GOOD GOVERNANCE GUNA MENCEGAH TSUNAMI SOSIAL. Oleh: Sofian Effendi Universitas Gadjah Mada GOOD GOVERNANCE GUNA MENCEGAH TSUNAMI SOSIAL Refleksi 2006 dan Perspektif 2007 Oleh: Sofian Effendi Universitas Gadjah Mada Stabilitas Ekonomi Mampukan Pemerintah KIB ciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas

Lebih terperinci

REFORMASI BIROKRASI DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK

REFORMASI BIROKRASI DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK REFORMASI BIROKRASI DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK Oleh: Deputi Pelayanan Publik Kementerian PAN dan RB Disampaikan pada Acara Kunjungan dan Diskusi Mahasiswa FISIP UI Program Sarjana Ekstensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi (Katz, dalam Moeljarto 1995). Pembangunan nasional merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi (Katz, dalam Moeljarto 1995). Pembangunan nasional merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dirumuskan sebagai proses perubahan yang terencana dari suatu situasi nasional yang satu ke situasi nasional yang lain yang dinilai lebih tinggi (Katz, dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dan pemerintah di daerah adalah dalam bidang public service

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dan pemerintah di daerah adalah dalam bidang public service BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan perubahan sering ditujukan kepada aparatur pemerintah menyangkut pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat. Satu hal yang hingga saat ini seringkali

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Kuisoner Penelitian Analisis Daya Saing Ekonomi Kab/Kota di Propinsi Sumatera Utara

Kuisoner Penelitian Analisis Daya Saing Ekonomi Kab/Kota di Propinsi Sumatera Utara Lampiran 1 Instrumen Penelitian Wilayah : Kuisoner Penelitian Analisis Daya Saing Kab/Kota di Propinsi Sumatera Utara A. Identitas Responden 1. Nama Responden : 2. Badan Usaha : 1. PT 2. CV 3. UD 4. Lainnya...

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kedudukan Propinsi DKI Jakarta adalah sangat strategis dan juga menguntungkan, karena DKI Jakarta disamping sebagai ibukota negara, juga sebagai pusat

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Visi adalah suatu gambaran menantang tentang keadaan masa depan yang berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan instansi

Lebih terperinci

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN JUDUL REKOMENDASI Strategi Peningkatan Aspek Keberlanjutan Pengembangan Energi Laut SASARAN REKOMENDASI Kebijakan yang Terkait dengan Prioritas Nasional LATAR BELAKANGM Dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI BANTEN DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH ( DPA SKPD ) TAHUN ANGGARAN 2016 BELANJA LANGSUNG

PEMERINTAH PROVINSI BANTEN DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH ( DPA SKPD ) TAHUN ANGGARAN 2016 BELANJA LANGSUNG PEMERINTAH PROVINSI BANTEN DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN ( DPA SKPD ) TAHUN ANGGARAN 2016 BELANJA LANGSUNG NO DPA SKPD 1.16 01 02 05 5 2 URUSAN PEMERINTAHAN 1.16. 1.16 Urusan Wajib Penanaman Modal ORGANISASI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal

BAB I PENDAHULUAN. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum tingkat pelayanan publik di Indonesia saat ini masih rendah. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal yang menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebut sebagai desentralisasi. Haris dkk (2004: 40) menjelaskan, bahwa

I. PENDAHULUAN. disebut sebagai desentralisasi. Haris dkk (2004: 40) menjelaskan, bahwa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Otonomi daerah adalah salah satu bentuk nyata dari praktek demokrasi. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan penyerahan kewenangan yang disebut sebagai

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H14051312 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

Laporan Akuntabilitas Kinerja Badan Koordinasi Penanaman Modal Tahun 2011 KATA PENGANTAR

Laporan Akuntabilitas Kinerja Badan Koordinasi Penanaman Modal Tahun 2011 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR BKPM menyusun laporan pertanggung jawaban kinerja dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Tahun 2011 mengacu pada Instruksi Presiden RI Nomor 7

Lebih terperinci

VI. PENUTUP. Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat

VI. PENUTUP. Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat VI. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembangunan Kabupaten Pringsewu relatif lebih baik dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. 2.1 Sejarah Singkat PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. 2.1 Sejarah Singkat PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI 2.1 Sejarah Singkat PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur merupakan salah satu unit pelaksana induk dibawah PT PLN (Persero) yang merupakan

Lebih terperinci

Laporan Eksekutif Pendidikan Provinsi Jawa Timur 2013 Berdasarkan Data Susenas 2013 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR Laporan Eksekutif Pendidikan Provinsi Jawa Timur 2013 Nomor Publikasi : 35522.1402

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMEBERIAN INSENTIF DAN PEMEBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KONAWE SELATAN i! DITERBITKAN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

Kajian Identifikasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Kajian Identifikasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kajian Identifikasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kajian Identifikasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah Dalam Rangka Pengembangan Usaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan

I. PENDAHULUAN. suatu kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan adalah kebutuhan pokok bagi manusia, bahkan dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Pelayanan merupakan suatu kegiatan yang

Lebih terperinci