HASIL DAN PEMBAHASAN. Saluran Reproduksi Rusa Timor 8etina

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Saluran Reproduksi Rusa Timor 8etina"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Saluran Reproduksi Rusa Timor 8etina Rusa timor (Gervus timorensis) yang digunakan pada penelitian ini berumur tiga dan empat tahun. Pada umur terse but, rusa timor telah masuk masa aktif reproduksi, seperti yang dilaporkan Takandjandji (1997) bahwa masa aktif reproduksi rusa timor adalah 2-12 tahun. Pada penelitian ini diperoleh gambaran morfologis organ reproduksi betina rusa timor. Susunan dan bag ian-bag ian organ reproduksi betina rusa timor mirip dengan organ reproduksi pada ternak ruminansia lain (domba, sapi dan kambing), yaitu terdiri atas ovarium, tuba Fallopii (oviduct), uterus, vagina dan vulva (Gam bar 8). Ovarium merupakan organ reproduksi primer karena menghasilkan oosit yang berperan penting untuk menghasilkan individu baru. Selain itu, ovarium juga menghasilkan hormon yang berperan dalam proses reproduksi seperti estrogen, progesteron, inhibin dan aktivin (Senger 1999). Tuba Fallopii, uterus, vagina dan vulva merupakan organ reproduksi sekunder atau saluran reproduksi. Saluran-saluran ini berfungsi untuk menerima dan menyalurkan oosit atau spermatozoa serta menyuplai nutrisi bagi calon individu baru. Gambar 8 Organ reproduksi betina rusa timor (Gervus timorensis), terdiri atas a. Ovarium, b. Tuba Fallopii, c. Cornua uteri, d. Corpus uteri, e. Cervix, f. Vagina.

2 22 Tuba Fallopii rusa timor mempunyai panjang cm dengan diameter cm dan berat gram. Ukuran ini relatif sama dengan tuba Fallopii pada domba (15-19 cm) dan babi (15-30 cm) (Toelihere, 1979). Diameter tuba Fallopii rusa timor lebih kecil dibandingkan dengan yang ditemukan pada kerbau yaitu di bagian kiri sebesar 0.2 ± 0.01 cm dan bagian kanan sebesar 0.21 ± 0.01 cm (Sikar, 1983). Uterus rusa timor bertipe bicornis, terbagi alas sepasang cornua (kanan dan kiri), corpus dan cervix uteri. Cornua uteri melengkung seperti tanduk dengan panjang em. Ukuran ini relatif sama dengan yang dilaporkan pada rusa merah ( em), dan lebih panjang daripada cornua wapiti (Gervus canadiensis) yang dilaporkan mempunyai panjang 5-8 cm (Haigh dan Hudson 1993). Corpus dan cervix uteri rusa timor masing-masing memiliki panjang em dan cm. Pada corpus dan cornua uteri rusa timor ditemukan adanya karunkulae sebagaimana yang ditemukan pada uterus do mba, sapi dan kambing. Karunkulae merupakan daerah mukosa uterus yang berbentuk tonjolan tak berkelenjar pada uterus, yang mengandung banyak pembuluh darah. Karunkulae berperan sebagai tempat bertautnya cotyledon dengan adanya viii chorion. Viii ini akan menghubungkan komunikasi antara fetus dan induk (Toelihere 1979). Karunkulae tidak ditemukan pada uterus kuda dan babi (Toelihere 1979). Hal ini karena tipe implantasi pada kuda dan babi adalah difuse, sedangkan implantasi pada ruminansia umumnya bertipe cotyledonary (T oelihere 1979). Viii chorion pada kuda dan babi tersebar di seluruh permukaan plasenta. Ukuran panjang cervix rusa timor ini lebih pendek dibanding cervix pada rusa wapiti (10-15 cm) dan rusa merah (5-7 cm) (Haigh dan Hudson 1993), serta sa pi (8-10 em) dan domba (4-10 em) (Toelihere 1979). Ukuran diameter cervix akan lebih kecil pada betina yang belum pernah bunting (Haigh dan Hudson 1993). Mukosa cervix pad a rusa timor mempunyai 4-5 cincin annuler (Gambar 9). Hal ini kurang lebih sam a dengan yang dilaporkan pad a rusa wapiti, 4-6 cincin (Haigh dan Hudson 1993). Sapi mempunyai 4 cincin (Hafez dan Hafez 2000). Cincin ini terdiri atas lapisan otot licin yang be~alan sirkuler, berfungsi untuk membantu menutup uterus dari kontaminasi mikroba (Anonim 2005). Selain itu sebagai tempat transportasi spermatozoa masuk menuju uterus dan tempat seleksi spermatozoa yang masuk. Bentuk cervix yang berlekuk dapat berfungsi sebagai penyimpan spermatozoa. Lumen yang dibentuk oleh cincin ini akan membuka selama estrus sehingga spermatozoa dapat masuk ke uterus.

3 23 Cervix pada babi berbentuk corong sedangkan pada kuda berupa lipatan berrnukus. Bentuk cervix ini disesuaikan dengan bentuk glans penis pada hewan jantannya (Anonim 2005). Gambar 9 Gambaran perrnukaan internal mukosa uterus rusa timor (C. timorensis) menunjukkan karunkula pada eorpus dan einein annuler (panah) pada cervix. Vagina pada rusa timor memiliki panjang em. Nilai ini lebih panjang dibandingkan vagina domba (10-14 em) (Toelihere 1979), tetapi lebih pendek jika dibandingkan rusa wapiti (20 em) dan rusa merah (21 em) (Haigh dan Hudson 1993). Vagina berfungsi sebagai alat kopulatoris dimana spermatozoa dideposisikan. Selain itu vagina merupakan saluran keluarnya fetus. Ukuran vagina yang berbeda-beda antar spesies diduga karena disesuaikan dengan morfometri penis dari hewan jantannya. Struktur Makroskopis Ovariurn Ovarium rusa timor berbentuk ovoid (Gam bar 10) dan terletak di dekat tepi pelvis dan memiliki ukuran panjang em, lebar em, tebal em serta berat (Tabel 3). Ovarium yang berbentuk ovoid seperti bentuk ovarium pada domba atau kambing (Azis 1994, Kusnandar 2001). Hafez dan Hafez (2000) menyatakan bahwa ovarium sapi dan kambing mempunyai bentuk oval seperti buah almond. Sedangkan ovarium babi seperti buah anggur dengan ukuran lebih besar dari ovarium domba. Ovarium kuda mempunyai bentuk seperti ginjal dan 2-3 kali lebih besar daripada ovarium sapi. Ovarium rusa timor memiliki panjang

4 em dan berat g. Ukuran ovarium rusa timor ini lebih keeil jika dibandingkan dengan ovarium rusa wapiti saat estrus pada musim tidak kawin (1.5xO.8xO.5 em) dan dengan ovarium kambing dan domba. Toelihere (1979) mengatakan bahwa bentuk dan ukuran ovarium bisa berbeda berdasarkan spesies dan siklus berahinya. Ovarium sapi mempunyai ukuran 3.5x2.5x1.5 em (Anonim 2005). Sedangkan ukuran ovarium pada domba dan kambing relatif lebih besar dibanding ovarium rusa (Tabel 3). Menurut Arthur et al. (1996), ovarium domba pada saat anoestrus berukuran 1.3 x1.1 x 0.8 em. Gambar 10 Ovarium rusa timor (C. timorensis) memperlihatkan bentuk ovoid dari ovarium. Bar: 3 mm. Pada penelitian ini ditemukan bahwa ovarium kiri rusa timor 1 relatif lebih berat dibanding berat ovarium kanan. Sedangkan pada rusa 2, ovarium kanan relatif lebih berat. Hal ini menunjukkan bahwa ovarium kanan dan ovarium kiri pada rusa timor mempunyai potensi yang sama dalam menghasilkan ovum dan berovulasi, tidak mempunyai kecenderungan sebagai ovulator kanan atau ovulator kiri. Hal ini juga terjadi pada domba, ovarium kanan (0.72±0.39 g) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan ovarium kiri (0.70±0.35 g) (Mardhiana 2001). Aktivitas ovarium kanan dan ovarium kiri dapat berbeda pada setiap individu. Ovarium yang fungsional memiliki babot yang lebih berat dan lebih besar. Hal ini juga ditandai dengan suplai darah ke ovarium fungsional lebih aktif (Nalbandov 1990). Menurut Hafez (1993) perbedaan berat ovarium juga dapat disebabkan oleh perbedaan umur, bangsa, paritas (berapa kali melahirkan), pakan, dan siklus reproduksinya. Pada hewan betina yang sering beranak, ukuran ovariumnya dapat lebih besar dua kali lipat dari hewan betina muda. Rusa yang digunakan untuk penelitian ini dilaporkan pernah melahirkan satu kali.

5 25 Tabel 3 Bebera~a ukuran ovarium rusa timor dibanding ruminansia lain Parameter Posisi Rusa 1 Rusa 2 Domba Kambing Wapiti (Haigh & (Azis 1994) Hudson 1993) Berat (g) Kanan Kiri Kanan Panjang (em) Kiri Kanan Lebar (em) Kiri Kanan Tebal (em) Kiri Bentuk Ovoid Ovoid Oval Oval Oval Ukuran panjang, lebar, tebal ovarium yang diperoleh pada kedua rusa, memperlihatkan bahwa ovarium kiri cenderung lebih besar. Hal ini sarna dengan yang ditemukan pada ovarium kambing yang mempunyai ovarium kiri cenderung lebih besar walaupun ukuran ovarium kanan dan kiri tidak berbeda nyata (Azis 1994). Dari kedua rusa yang digunakan untuk penelitian ini, ukuran ovarium rusa 2 relatif lebih besar dibanding dengan ovarium rusa 1. Hal ini karena rusa 2 berada pada fase luteal. Pada fase luteal terbentuk corpus luteum yang dapat menyebabkan bertambahnya ukuran dan berat ovarium. Perbedaan ukuran ini juga diamati pada kambing (Kusnandar 2001), walaupun perbedaan ukuran ovarium pada kedua fase tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Perbedaan ini juga ditemukan pada ovarium sapi. Ovarium sebelah kiri (2.57x1.91x1.61 cm) lebih besar dibanding ovarium kanan (2.51x1.84x1.53 cm) (Tian dan Zhao 2000). Struktur Mikroskopis Ovarium Secara mikroskopis, perrnukaan ovarium dilapisi oleh epitel selapis (epitel genminal) yang berbentuk kubus rendah. Tepat di bawah (ke arah dalam) epitel genminal ini terdapat stroma yang membentuk tunika albuginea, lapisan jaringan ikat padat tidak teratur. Ovarium dapat dibagi atas dua bag ian yaitu bag ian korteks dan bag ian medula. Berbagai tipe folikel tersebar di bag ian korteks dan berkembang ke arah medula (Gambar 11A). Pada bagian medula ditemukan adanya pembuluh darah (Gam bar 118), otot polos dan sel hilus. Pada foukel ovarium rusa timor ditemukan adanya rete ovarii (Gam bar 11 C) dan call exner body (Gambar 11 D). Secara umum, gambaran histologis ovarium rusa timor mirip dengan ovarium ruminansia lain (domba, kambing dan sapi). Pada ovarium rusa timor ditemukan adanya rete ovarii. Tian dan Zhao (2000) juga menemukan rete ovarii

6 26 pada ovarium sapi. Rete ovarii diperlukan pada awal pembentukan sel folikuler. Hal ini dibuktikan pada penelitian transplantasi. Folikel pada ovarium transplantasi yang mengandung rete ovarii akan berkembang, sedangkan yang tidak mengandung rete ovarii akan gagal membentuk folikel (Byskov 1977, diacu dalam Jones 1977). Manurut Jones (1977), rete ovarii ini dapat menginisiasi awal pembelahan meiosis. Namun rete ovarii tidak berperan dalam pembentukan folikel pada kelinci dan marmut (Oeanesly 1975, diacu dalam Jones 1975). Selain rete ovarii, perkembangan folikel juga ditentukan oleh adanya sel folikuler atau sel granulosa. Gambar 11 Gambaran umum histologi ovarium rusa timor. A. Bagian korteks dengan (a) sel germinal, (b) tunika albugenia, (c) folikel preantral, dan (d) folikel antral; B. Pada bag ian medula tampak adanya pembuluh darah (panah); (e) rete ovarii; O. call exner body (panah). Pewamaan HE. Bar 20 Ilm. Oi dalam folikel ovarium rusa timor ditemukan adanya call exner body yang disekresi oleh sel granulosa, dan dikatakan mengandung asam hialuronat dan proteoglikan (Ross et al. 1995). Asam hialuronat merupakan mukopolisakarida asam yang terdiri atas komponen O-Glukoronat dan N-Asetil O-Glukosamin (Lehninger 1998). Selain itu juga berperan dalam memfasilitasi migrasi sel. Proteoglikan dapat beke~a sebagai reseptor dan berpartisipasi

7 27 dalam pertumbuhan sel serta komunikasi antar sel (Murray et al. 1997). Call exner body diduga sebagai prekursor liquor folikuli. Morfologi Folikel Pada Berbagai Tahap Perkembangan Pada ovarium rusa timor ditemukan folikel dari berbagai tahap perkembangan (folikulogenesis). Masing-masing tipe folikel mempunyai struktur dan ukuran yang berbeda-beda (Tabel 4). Berdasarkan karakteristik pada struktur morfologi dan ukurannya, folikel yang ditemukan pad a ovarium rusa timor ini dapat dibedakan menjadi 8 tipe dan dua jenis corpus yaitu corpus luteum dan corpus albikans. Hafez dan Hafez (2000) mengatakan bahwa perkembangan dan maturasi folikel terjadi dengan adanya perubahan bentuk secara subseluler pada beberapa komponen folikel seperti differensiasi oosit, proliferasi dan differensiasi sel granulosa dan sel teka. Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor intraovari, faktor intrafolikel ataupun faktor hormonal. Perubahan molekuler juga te~adi pada proses pperkembangan folikel, seperti pembentukan zona pelusida, reseptor FSH dan LH, pembentukan hormon (Ross et al. 1995). Faktor hormonal (antara lain androgen dan estrogen) akan menginduksi proliferasi dan diferensiasi sel-sel teka dan sel-sel granulosa serta meningkatkan kemampuan folikel dalam memproduksi estradiol dan merespon gonadotropin. Menurut pendapat lain (Anonim 2005), maturasi folikel terbagi atas beberapa tahap folikel yaitu folikel primer, sekunder, tersier (antral) dan folikel de Graaf. Selama perkembangan dalam satu siklus estrus, ada dua tahap proses te~adinya diferensiasi ovum yaitu proses mitosis dan meiosis. Pada saat prenatal oogonium mengalami proliferasi secara mitosis (multiplikasi) dari sel germinal. Kemudian oogonia mengalami pembelahan meiosis I menjadi oosit primer sampai tahap diploten profase. Perkembangan ini terhenti sampai individu masuk masa pubertas. Setelah pubertas folikel akan berkembang lebih lanjut dan oosit primer akan berkembang menjadi oosit sekunder melalui pembelahan meiosis II (Banks 1986). Beberapa faktor yang dipersiapkan untuk pertumbuhan oosit dan folikel antara lain adalah FSH, Epidermal Growth factor, IGF-I, dan ion kalsium. Pertumbuhan oosit dikendalikan oleh adanya OMI yang disekresi oleh sel granulosa (konsentrasi lebih tinggi pada foliel keeil dibanding folikel tersier) (Carlson 1999).

8 28 Perkembangan oosit akan diikuti dengan pembentukan zona pelusida. Diameter folikel dan diameter oositnya mengalami peningkatan. Gambaran yang ditemukan menunjukkan karakteristik folikel yang berada pada tahap awal perkembangan (Gambar 12). Menurut Rajput dan Sahrma (1996), diameter folikel primer pada domba adalah 40,.,30 11m dengan diameter oosit 25,.,35 11m sedangkan pad a kerbau diameter folikelnya adalah 35"-'48 11m dengan diameter oosit 21,.,28 11m. Pada folikel tipe satu (1), sel granulosa berbentuk kuboid pendek (Gambar 128). Oosit besar dan berada di tengah folikel. Folikel ini merupakan folikel tipe dua (2). Sel granulosa selapis kemudian akan berubah menjadi kuboid tinggi. Oosit akan berkembang diikuti dengan pembentukan zona pelusida. Zona pelusida mulai terbentuk antara sel granulosa dan oosit. Membran basal tampak membatasi sel-sel granulosa dengan stroma disekitamya (Gambar 12C). Folikel tipe ini mempunyai diameter dengan kisaran antara mm. Menurut Hyttel et al. (1996), bertambah besamya diameter berhubungan dengan differensiasi oosit. Selama perkembangan oosit, di ooplasm a terbentuk kompleks golgi, retikulum endoplasm a, lipid droplet dan membran vesikel. Aktivitas transkripsi dilakukan selama perkembangan oosit untuk sintesis protein yang digunakan untuk proses pembelahan meiosis oosit atau untuk dikeluarkan dari sel. Secara ultrastruktur perubahan-perubahan pada folikel akan terjadi selama perkembangan folikel. Pada folikel primordial akan terbentuk coated pits dan vesikel. Pada folikel primer ditemukan beberapa mikrovili dan mitokondria. Gap junction terbentuk pada folikel sekunder. Mikrovili menjadi kuat, jumlah coated pits berkurang dan ditemukan adanya sekelompok cortical granule. Pada folikel tersier awal akan terbentuk atrum folikuli, jumlah cortical granule meningkat, mikrovili akan tertanam dalam zona pelusida. Kemudian jumlah lipid droplet akan meningkat. Pad a folikel tersier akhir, jumlah lipid droplet dan vesikel semakin meningkat dan organel-organel sel berada di daerah peripheral. Pada oosit, cortical granule akan berperan untuk menghambat polispenna, dan lipid droplet sangat penting untuk awal perkembangan embrio sampai tahap blastosis.

9 Tabel4 Jumlah dan diameter folikel (mm) serta diameter oosit (mm) pad a rusa timor, C. timorensis Lapisan Jumlah folikel Diameter folikel Diameter oosit Sel Antrum Zona Folikel sel Posisi oosit teka folikuli pelusida F. folikuler F. luteal F. folikuler F. luteal F. folikuler F. luteal granulosa Tipe 1 1 konsentrik Tipe konsentrik Tipe konsentrik Tipe konsentrik Tipe konsentrik Tipe konsentrik Tipe 7 > eksentrik Tipe 8 > eksentrik Keterangan : n - 20 sayatan

10 30 Braw-Tal dan Yossefi (1997) menyatakan bahwa awal perkembangan folikel dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu tahap perubahan sel granulosa dari pipih menjadi kuboid pendek dan tahap kedua adalah meningkatnya jumlah sel granulosa yang diikuti dengan peningkatan ukuran oosit. Perubahan dari folikel primordial menjadi folikel yang berkembang lebih lanjut memiliki tiga ciri yaitu adanya perubahan bentuk sel granulosa dari pipih menjadi kuboid, adanya proliferasi sel granulosa dan oosit bertambah besar (Hirshfield 1991, diacu dalam Braw-Tal dan Yossefi 1997). Menurut Senger (1999), sel granulosa pada folikel primer mulai mengekspresi reseptor FSH dengan dibentuknya aktivin. Perkembangan folikel ini meliputi tiga macam maturasi (pematangan) yaitu maturasi oosit, maturasi inti dan maturasi sitoplasma. Gambar 12 Gambaran morfologi berbagai folikel pada tahap awal perkembangan. A. Beberapa folikel tipe 1 dengan sel granulosa pipih (panah); B. Folikel tipe 2 dengan selapis sel granulosa yang berbentuk kuboid pendek (panah); C. Folikel tipe 2 dengan sel granulosa berbentuk kuboid tinggi (panah). Pewamaan HE. Bar 201Jm. Folikel tipe dua (2) merupakan folikel tahap selanjutnya. Pada folikel ini, sel granulosa mulai berproliferasi menjadi satu sampai dua lapis. Awal dari tahap ini ditandai dengan masih banyaknya sel granulosa yang selapis. Membran basal tampak jelas (Gambar 14A), dan mulai terbentuk lapis teka intema di bagian luar

11 31 membran basal (Gambar 14B). oosit berada di tengah folikel dan dikelilingi oleh sel-sel granulosa. Folikel tipe ini memiliki diameter antara mm. Zona pelusida tampak relatif sempuma mengelilingi oosit (Gambar 14C). Pada mencit dan manusia, zona pelusida terbentuk sempurna mengelilingi oosit pada tahap folikel primer (Himelstein-Braw et al. 1976; Oakberg 1979 diacu dalam Braw-Tal dan Yossefi 1997). Pada ovarium sapi terbentuknya zona pelusida secara sempurna terjadi pada folikel preantral tahap akhir (Braw-Tal dan Yossefi 1997). Zona pelusida pada rusa timor tampak terbentuk secara sempurna lebih awal dari sapi, yaitu pada folikel preantral dengan dua lapis sel granulosa. Zona pelusida adalah selubung ekstraseluler tebal yang mengelilingi oosit mamalia. Zona pelusida mengandung reseptor spermatozoa yang merupakan perantara interaksi spermatozoa-oosit, yang mengawali fertilisasi, menginduksi reaksi akrosom dan berperan dalam hambatan (zona block) terhadap polisperma (Ross et al. 1995) Folikel tipe satu (1) dan dua (2) banyak ditemukan pada ovarium fase folikuler (Gambar 13). Diameter folikel dan diameter oosit pada folikel-folikel ini pada ovarium fase folikuler lebih besar dibanding pada ovarium fase luteal. Hal ini karena pada fase luteal banyak ditemukan folikel dominan yang dapat menekan pertumbuhan folikel subordinat ataupun folikel tahap awal. Folikel dominan menghasilkan inhibin dan estrogen yang akan menghambat sekresi FSH ~ ~~.e 22.c 20!! 18 E 16.a 14., ~ 8 i!! o - -= 1.- I--- I- I--- I '- '-- ~ r-- ~ :-- r-- t;::;::.c--- t-- '-r= J., 7... ~ 8 of. folikuler!ii f luteal Tipe follkel Gambar 13 Diargam persentase jumlah folikel ovarium rusa timor pada fase folikuler dan fase luteal.

12 32 Pada folikel tipe tiga (3), sel-sel granulosa berproliferasi menjadi lebih banyak. Pada tahap ini, zona pelusida tampak menebal mengelilingi oosit (Gambar 14D). Sel granulosa yang terletak setelah lapisan pertama berbentuk kuboid sedangkan pada lapisan pertama sel ini berbentuk kuboid tinggi. Diameter folikel tipe ini berkisar antara mm. Folikel tipe tiga (3) lebih banyak ditemukan pada ovarium fase luteal dibanding pada ovarium fase folikuler (Gam bar 14). Diameter folikelnyapun relatif lebih besar pada ovarium fase luteal, sedangkan diameter oositnya lebih besar pada fase folikuler. Folikel pada tahap perkembangan selanjutnya dikategorikan sebagai folikel tipe empat (4). Pada folikel ini jumlah sel-sel teka bertambah banyak, lapis sel granulosa bertambah menjadi tiga sampai empat lapisan dan ditandai dengan penebalan zona pel us ida (Gambar 14E), oosit masih konsentrik. Perbandingan antara diameter folikel dan diameter oosit semakin besar. Sel granulosa telah banyak yang menempel pada zona pelusida, yang nantinya akan membentuk corona radiata. Di antara sel-sel granulosa tampak adanya ruangan yang berisi matriks (Gambar 14F). Sel-sel teka ekstema telah terbentuk. Folikel ini memiliki diameter antara mm. Pembuluh darah akan terbentuk setelah terbentuknya teka ekstema pada folikel tipe (4). Darah bersirkulasi di sekitar folikel, membawa nutrisi dan gonadotropin ke folike!. Dengan pengaruh LH, sel teka intema akan memproduksi androstenidion dan testosteron. Dengan pengaruh FSH, testosteron ini akan diubah menjadi estrogen oleh membran sel granulosa. Estrogen ini akan terkumpul dalam antrum folikuli dan akan menginduksi proliferasi sel granulosa dan pertumbuhan folikel (Banks 1986). Pad a penelitian ini, folikel tipe lima (5) termasuk kategori folikel antral (Gam bar 15), karena telah tampak adanya pembentukan antrum yang berisi liquor folikuli (Gam bar 16A). Liquor folikuli ini mengandung hormon steroid dan glikosaminoglikan tertentu (Anonim 2004). Oosit masih berada di tengah folikel dan dikelilingi zona pelusida yang semakin teba!. Folikel ini memiliki empat sampai enam lapis sel granulosa dengan diameter folikel berkisar antara 0.25 sampai 0.66 mm. Pada folikel ini, oosit telah dikelilingi secara sempuma oleh corona radiata yang berupa selapis sel kolumnar. Lapisan sel ini berperanan dalam penyediaan makanan untuk oosit dan mengatur pematangan oosit. Corona radiata akan tetap intact sampai saat pertemuan oosit dengan spermatozoa.

13 33 Gambar 14 Folikel pada ovarium rusa timor. A. Folikel tipe 2, tampak membran basal yang jelas (anak panah); B. Sel granulosa mulai berproliferasi; C. Folikel tipe 2 (0) oosit, (n) nukleolus, (g) sel granulosa, zona pelusida telah sempurna (anak panah); O. Folikel tipe 3; E. Folikel tipe 4; F. Folikel tipe 4 tahap akhir. Oi antara sel granulosa tampak ada ruangan yang berisi matriks (Pewarnaan HE. Bar 20 IJm). Folikel tipe enam (6) merupakan perkembangan folikel tahap selanjutnya. Perubahan yang tampak pada folikel ini meliputi perubahan ukuran folikel, penambahan jumlah sel-sel granulosa, perkembangan lapisan teka, posisi oosit yang dikelilingi oleh sel-sel cumulus oophorus dan adanya perluasan antrum. Folikel tahap ini memiliki antrum folikuli yang mulai meluas ke arah tengah (Gam bar 16B). Oi dalam antrum terlihat adanya liquor folikuli yang semakin

14 34 banyak. Oosit masih berada ditengah dengan zona pelusida yang semakin tebal. Zona pelusida dan sel teka eksterna tampak sangat jelas. Sel-sel granulosa mengumpul ke bag ian tepi. Folikel tipe empat (4), lima (5) dan enam (6) lebih banyak ditemukan pada ovarium fase luteal dibandingkan pada ovarium fase folikuler. Diameter folikel relatif lebih besar pada ovarium fase luteal, namun diameter oositnya lebih besar pada fase folikuler. Gambar 15 Folikel antral dan bagian-bagiannya. a. Antrum folikuli yang berisi liquor folikuli, b. Oosit, c. Sel granulosa, d. Cumulus oophorus, e. Sel-sel teka, f. Nukleus, membran basal (panah tipis), zona pelusida (panah tebal). Pewarnaan HE. Bar 20 IJm. Pada folikel tipe tujuh (7), tampak oosit telah mulai menuju perifer karena terdesak oleh perluasan antrum (Gam bar 16C). Pada tahap lebih lanjut oosit mulai tertanam di bag ian tepi folikel dengan cumulus oophorus (Gam bar 160). Diameter dari folikel tipe ini berkisar antara 0.40 sampai 1.3 mm. Folikel tahap selanjutnya adalah folikel tipe delapan (8) yang memiliki ciri folikel de Graaf. Setelah oosit tertanam pada cumulus oophorus, maka antrum terus membesar karena bertambahnya liquor folikuli. Liquor folikuli akan terus bertambah sampai folikel mencapai kondisi optimum untuk diovulasikan. Pada folikel de Graaf, diameter folikel dapat mencapai 5.4 mm dengan diameter oosit 0.16 mm. Antrum folikuli akan mendominasi bag ian dalam folikel. Perbandingan diameter folikel dan diameter oosit sangat besar (Gambar 16E). Folikel pada tahap ini, oositnya dikelilingi oleh corona radiata (Gam bar 16F). Pada kedua

15 35 ovarium, fase folikuler maupun fase luteal, ditemukan adanya folikel tersier. Namun folikel tersier pada ovarium fase folikuler memiliki diameter folikel (5.4 mm) dan diameter oosit (0.160 mm) yang jauh lebih besar dibanding pada ovarium fase luteal (Gambar 18). Hal ini diduga rusa timor memiliki gelombang folikel dalam siklus estrusnya. Kenitz (2003) menyatakan bahwa sapi memiliki 2, 3 atau 4 gelombang folikel selama satu siklus estrus. Menurut Adam (1999), diacu dalam Kenitz (2003), 95% siklus estrus sa pi terdiri dari dua atau tiga gelombang folikel (Gam bar 17). Gambar 16 Tahap perkembangan folikel antral. A. Folikel antral tahap awal yang mulai terbentuk antrum folikuli (panah). B. Folikel antral dengan atrum folikuli yang mulai meluas dan mulai terbentuk liquor folikuli (panah). C. Folikel antral dengan antrum folikuli yang meluas dan oosit berada ditengah folikel (panah), D. Folikel antral dengan oosit yang telah terdesak ke tepi (panah). E. Folikel de Graaf dengan antrum folikuli yang sangat luas. F. Oosit tertanam dalam cumulus oophorus (panah). Pewarnaan HE. Bar 20 jjm.

16 36 Antrum foukuli pada folikel yang berkembang akan mengalami perluasan terus-menerus, sehingga oosit akan terdesak ke tepi dan akan tertanam dalam cumulus oophorus sampai te~adi ovulasi (Gam bar 16F). Pada foukel de Graaf, diameter foukel dapat mencapai 5.4 mm (Gambar 18) dengan diameter oosit mm. Antrum folikuli akan mendominasi bag ian dalam dari folikel de Graaf. Pada domba diameter foukel tersier lebih dari 5 mm (Maracek at a/. 2002). Hasil penelitian McLeod at al. (2001) menunjukkan bahwa diameter foukel antral yang besar pada rusa merah di fase folikuler mencapai 8.3 ± 0.38 mm. Folikel dominan pada sapi dapat mencapai diameter 15 mm (Tian dan Zhao 2000). 16r ~ o L~~~ ~~r'~ ~ ~~~~~ o dom. foil. first wave - Days of oestrous cycle dem. foil. second wave-.. progesterone Gambar 17 Diagram skema gelombang pertumbuhan foukel selama satu siklus estrus. (Kenitz 2003). Menurut Hafez dan Hafez (2000), pada fase folikuler, liquor folikuli folikel antral besar mengandung 1713 estradiol yang tinggi dan mengandung progesteron pada saat mendekati ovulasi. Selain steroid, foukel juga mengakumulasi dan mensekresi OMI (polipeptida ± 1500 Da), luteinisasi inhibitor (protein kompleks), protein inhibitor (protein ± 1400 Da), relaxin (poupeptida 9000 Da) dan inhibin (menghambat aktivitas FSH). Folikel antral ditemukan pada semua fase (fase folikuler dan fase luteal). FoUkel ini berkembang dengan adanya pengaruh FSH dan LH. Selama LH surge, sel taka intema pada foukel dominan memproduksi progesteron yang penting untuk ovulasi. Progesteron

17 37 menyebabkan inisiasi sintesis enzim kolagenase oleh sel teka interna. Enzim ini akan mempermudah degradasi sel-sel pada tunika albuginea pada sisi ovulasi ~ 5 ~ ~ 3.5 :: 3 ~ 2.5 -m 2 E 1.5 IV 'S a dil L~ I-- - I-- - I-- l- I- t- I- 8 of. folikuler Ii!I f.luteal tipe folikel Gambar 18 Diagram diameter folikel ovarium rusa timor pada fase folikuler dan fase luteal. Menurut Senger (1999), dinamika folikel antral terdiri atas tiga tahap yaitu: 1. tahap recruitmen folikel, merupakan awal pertumbuhan folikel antral dan mulai memproduksi estrogen. 2. tahap seleksi folikel, seleksi folikel yang nantinya dapat berkembang menjadi folikel dominan. 3. tahap dominasi folikel, yang merupakan perkembangan akhir dari folikel yang terseleksi untuk menjadi folikel dominan yang siap diovulasikan. Folikel-folikel lain yang tidak terseleksi akan atresi. Pada fase luteal banyak ditemukan folikel antral karena diduga semuanya dalam tahap seleksi. Folikel dominan pada sapi dapat menekan pertumbuhan (mendominasi) folikel-folikel yang lebih kecil, namun pada domba folikel dominan tetap tumbuh selama fase luteal namun dominasinya tidak sebesar pada sapi (Ravindra et al. 1994). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada fase luteal sedikit ditemukan folikel tahap awal (primer-sekunder). Hal ini diduga akibat pengaruh dari inhibin pada folikel dominan atau dapat juga akibat rendahnya kadar hormon yang menstimulasi pertumbuhan folikel pada hewan yang diteliti, walaupun hal ini perlu diteliti lebih lanjut. Selain menghasilkan inhibin, folikel dominan diduga akan mereduksi suplai darah ke beberapa folikel lain dan akan menekan konsentrasi FSH dalam darah sehingga akan menyebabkan folikel lain atresi. Hal ini karena folikel antral akan menghasilkan

18 38 estrogen yang memberikan feed back negatif terhadap sekresi FSH dan feed back negatif terhadap sekresi LH. Selain itu, folikel antral juga memproduksi inhibin yang dapat menghambat sekresi FSH sehingga perkembangan folikel kecil terhambat (Hafez dan Hafez 2000). Menurut Armstrong dan Webb (1997), folikel dominan juga menghasilkan FGIF yang menghambat proliferasi sel granulosa yang menstimulasi FSH dan menghambat aktivitas aromatase. Selain itu juga menghambat vaskularisasi folikel subordinat. Seperti pada domba dan kambing, pada rusa timor perkembangan folikel juga te~adi pada ovarium fase luteal. Pada fase tersebut ditemukan berbagai tipe folikel yang berkembang dari tipe primordial sampai folikel antral. Hal ini mencerminkan adanya dinamika folikel pada semua fase estrus. Pada fase luteal ditemukan adanya folikel tersier, namun folikel ini tidak akan terovulasi selama corpus luteum belum regresi karena tidak te~adi LH surge. Hal ini karena sekresi LH yang penting untuk pertumbuhan folikel antral akan ditekan oleh adanya progesteron (Ravindra et al. 1994). Menurut Mc Leod et al. (2001), perkembangan folikel antral pada red deer mirip dengan ruminansia monovulatori, dan minimal terdapat satu folikel besar pada fase folikuler dan fase luteal. Pada penelitian ini ditemukan bahwa diameter oosit pada ovarium fase folikuler relatif lebih besar dibanding pada ovarium fase luteal (Gam bar 19) di berbagai tahap perkembangan (tipe 1-9). Hal ini diduga karena perkembangan oosit pada fase folikuler dipengaruhi oleh FSH, sedangkan pada fase luteal sekresi FSH dihambat oleh adanya hormon progesteron ' ~ 0.1 ~ 0.08 E!1! 0.06 " o fit It ~ : ~ o f.folikuler Eli! f.luteal tipe folikel Gambar 19 Diagram diameter oosit rusa timor pada fase folikuler dan fase luteal.

19 39 Pada CL, sel granulosa dan lapisan teka interna mengalami perubahan morfologi menjadi sel luteal walaupun antrum masih tampak (Gambar 20A). Diameter folikel tipe ini adalah 0.5 mm. Corpus albikans merupakan corpus luteum yang telah mengalami regresi. Pada corpus tipe ini antrum secara keseluruhan telah menjadi jaringan ikat yang berwarna keputihan (Gam bar 20B). Diamater corpus albikans berkisar antara mm. CL hanya ditemukan pada ovarium fase luteal dengan diameter 0.5 mm, sedangkan corpus albikans ditemukan di kedua fase ovarium. Gambar 20 Gambaran corpus luteum dan corpus albikans pada ovarium rusa timor (A). Pada bag ian tengah corpus albikans tampak adanya jaringan ikat berwarna putih (B). Pewarnaan HE. Bar: 40llm. Setelah te~adi ovulasi, maka folikel akan membentuk CL. Pada awalnya sel granulosa dan lapisan teka interna mengalami perubahan morfologi menjadi sel luteal. Ada dua tipe sel luteal yaitu sel lutein granulosa yang berada ditengah folikel yang merupakan derivat dari sel granulosa, dan sel lutein teka yang ukurannya lebih kecil dari sel lutein granulosa yang merupakan derivat dari lapisan sel teka interna. Sel-sel lutein ini akan memproduksi progesteron. Ketika CL mengalami regresi maka terbentuklah corpus albikans yang berwarna keputihan dan terdiri atas banyak jaringan ikat. Corpus haemoraghikum tidak ditemukan pada penelitian ini. Hal ini diduga dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel yang tidak tepat untuk terbentuknya corpus tersebut. Karena corpus haemoraghikum akan segera berubah menjadi CL kemudian menjadi corpus albikans jika tidak te~adi kebuntingan. Berdasarkan karakteristik pada struktur morfologi dan ukurannya, folikel yang ditemukan pada ovarium rusa timor ini dapat dibedakan menjadi 8 tipe dan dua tipe corpus (Tabel 4). Masing-masing tipe diduga memiliki dan mewakili

20 40 tahap perkembangan yang berbeda-beda, meliputi tahap perkembangan awal (preantral) maupun tahap folikel antral. Menurut Ross et al. (1995), ada tiga macam folikel berdasarkan tahap perkembangan, yaitu folikel primordial, folikel pertumbuhan dan folikel matang atau folikel de Graaf. Menurut Senger (1999), folikulogenesis dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu fase preantral dan fase antral. Pada fase preantral perkembangan folikel bebas dari pengaruh gonadotropin, namun dikontrol oleh faktor pertumbuhan, sedangkan pada fase antral pertumbuhan folikel distimulasi oleh gonadotropin (FSH dan LH). Fase ini ditandai dengan meningkatnya ukuran folikel secara nyata. Peningkatan ukuran ini disebabkan oleh perluasan antrum folikuli dan proliferasi sel granulosa. Serdasarkan perubahan morfologi pada pembagian fase folikulogenesis, Erickson (2003) menemukan 8 tipe perkembangan folikel pada folikulogenesis man usia. Fase preantral (tipe 1) terbagi menjadi tiga tahap utama yaitu tahap folikel primordial, folikel primer dan folikel sekunder. Fase antral terbagi menjadi empat tahap yaitu tahap folikel antral kecil ( tipe 2, 3, 4, 5), folikel antral sedang (tipe 6), folikel antral besar (tipe 7) dan folikel de Graaf (tipe 8). Pada penelitian ini, ditemukan delapan tipe folikel pada folikulogenesis rusa timor. Pada fase preantral ada lima tipe folikel yaitu tipe 1 (folikel primer), dan folikel sekunder (tipe 2, 3, 4). Fase antral (folikel tersier) terbagi menjadi empat tahap yaitu tahap folikel antral kecil ( tipe 5), folikel antral sedang (tipe 6), folikel antral besar (tipe 7) dan folikel de Graaf preovulatori (tipe 8). Karakteristik Histokimia Folikel Ovarium Pada penelitian ini pewamaan Alcian Slue (AS) ph 2.5 dimaksudkan untuk menunjukkan adanya substansi karbohidrat dari golongan karbohidrat asam, sedangkan pewamaan Periodic Acid Schiff (PAS) digunakan untuk menunjukkan adanya substansi karbohidrat dari golongan karbohidrat netra!. Hasil pewarnaan menunjukkan hasil yang bervariasi pada tiap-tiap bag ian folikel (TabeI5). Hasil pewarnaan AS-PAS menunjukkan bahwa pada folikel ovarium rusa timor, pewarnaan PAS bereaksi positif kuat pada zona pelusida, sedangkan AS bereaksi positif kuat pada liquor folikuli. AS dan PAS menunjukkan reaksi positif sangat lemah sampai lemah pada matriks di sekitar sel granulosa dan sel-sel teka. Reaksi positif terhadap AS-PAS ini juga ditemukan pada ovarium tikus

21 41 (Tadano dan Yamada 1978) dan ovarium antral awal pada kerbau (Parillo et al. 1998). Tabel5 Sebaran karbohidrat asam dan karbohidrat netral pada berbagai tipe folikel ovarium rusa timor, C. Timorensis Jenis Karbohidrat Tipe folikel Distribusi asam netral Tipe 1 Tipe2 Tipe 3 Tipe4 Zona pelusida ± + Sel granulosa ± Zona pelusida ± ++ Sel granulosa ++ ± Zona pel us ida Sel granulosa +++ ± Zona pelusida + ++ Sel granulosa +++ ± Zona pel us ida + ++ Tipe 5 Sel granulosa ++ + Liquor folikuli Zona pelusida Tipe6 Sel granulosa + + Liquor folikuli Zona pelusida Tipe7 Sel granulosa + + Liquor folikuli Zona pelusida Tipe8 Sel granulosa + + Liquor folikuli ± ++ Corpus luteum Sellutein Corpus albikans Sellutein + + Keterangan : - = negatif, ± = 5angat lemah, + = lemah, ++ = 5edang, +++ = kuat HasH pengamatan menunjukkan bahwa pada tahap perkembangan awal, AS tidak menunjukkan reaksi positif pada sel-sel granulosa namun tampak positif pad a matrik diantara sel-sel granulosa. AS menunjukkan reaksi positif dengan intensitas kuat pada matriks sel-sel granulosa folikel tipe (3) dan (4), kemudian mengalami penurunan intensitas reaksi sampai folikel tipe (8) (Gam bar 21) dan sedikit meningkat kembali pada tahap corpus luteum pada sel-sel lutein. Hal ini

22 42 memberikan dugaan keterlibatan atau peran yang lebih dari karbohidrat asam dalam perkembangan foukel tahap preantral akhir jika dibandingkan dengan karbohidrat netrai. Pada foukel tipe satu (1), AB menunjukkan reaksi positif sangat lemah dan PAS menunjukkan reaksi positif lemah pada zona pelusida. Reaksi positif PAS yang sangat lemah juga teruhat pada sel granulosa. AB dan PAS positif pada semua bag ian foukel tipe dua (2). AB positif dengan intensitas sangat lemah dan PAS positif dengan intensitas sedang pada zona pelusida. SebaUknya pada bagian matriks diantara sel granulosa, AB menunjukkan reaksi positif sedang (Gambar 23A), dan PAS bereaksi positif sangat lemah. Pada foukel tipe tiga (3), AB menunjukkan peningkatan intensitas reaksi positif pada zona pelusida dan matriks diantara sel granulosa dibanding pada folikel tipe (2). Namun PAS menunjukkan reaksi positif dengan intensitas yang relatif sama. Reaksi positif lemah dari AB dan positif sedang dari PAS terlihat pada zona pelusida folikel tipe (4) (Gambar 23B). AB positif kuat sedangkan PAS positif sang at lemah pada matriks di antara sel granulosa folikel tipe ini (Gam bar 26A) E ~ ~ 2+---, ~.- 1 ImAS I -----I iiipas o tipe 1 tipe 2 tipe 3 tipe 4 tipe 5 tipe 6 tipe 7 tipe 8 Tipe follkel Gambar 21 Diagram intensitas reaksi AB-PAS pad a sel-sel granulosa. Pada folikel tipe (5), AB dan PAS menunjukkan reaksi positif pada semua bagian foukel (zona pelusida, matriks di antara sel-sel granulosa dan liquor folikuli). Intensitas reaksi AB dan PAS pada bagian zona pelusida relatif sama dengan yang ditemukan pada foukel tipe (6). Penurunan intensitas reaksi AB terlihat pada matriks diantara sel granulosa namun PAS sebaliknya menunjukkan peningkatan intensitas reaksi positifnya pada bagian-bagian ini (Gam bar 26B). AB bereaksi positif kuat dan PAS bereaksi positif lemah pada liquor folikuli.

23 43 Pada folikel tipe (6), AB dan PAS bereaksi positif lemah pada matriks. Pada zona pelusida, AB bereaksi positif lemah (Gambar 23C) sedangkan PAS bereaksi positif kuat. Sebaliknya pada bag ian liquor folikuli, AB menunjukkan reaksi positif kuat sedangkan PAS bereaksi lemah (Gambar 26C). Pada liquor folikuli, intensitas reaksi AB dan PAS ini masih relatif sama dengan yang terdapat pada liquor folikuli folikel tipe (5). Intensitas reaksi positif AS dan PAS pada zona pelusida folikel tipe (7) relatif sama dengan pada folikel tipe (6) (Gambar 230). Begitu juga dengan reaksi positif tersebut pada sel granulosa. Pada bag ian liquor folikuli folikel tipe (7), AS dan PAS menunjukkan reaksi positif sedang (Gambar 24). Pada folikel tipe (8), intensitas reaksi AB dan PAS pada bag ian zona pelusida dan sel granulosa masih relatif sam a (Gam bar 22) dengan yang ditemukan pada bagian-bagian tersebut di folikel tipe (7) (Gambar 23E). Namun pada liquor folikuli, intensitas reaksi AB menurun, sedangkan PAS menunjukkan reaksi positif dengan intensitas sedang (Gambar 24). Reaksi positif dari PAS pada sel-sel granulosa dari folikel tipe satu sampai delapan (1-8) menunjukkan intensitas yang meningkat seiring tahap perkembangan folikel (Gambar 21). Hal ini memberikan dugaan keberadaan karbohidrat dari kelompok karbohidrat netral pada sel-sel granulosa serta kemungkinan keterlibatannya dalam perkembangan sel-sel granulosa folikel rusa timor. Adanya PAS positif pada corpus luteum menandakan keberadaan karbohidrat netral. Sel-sel lutein menghasilkan hormon yang mengandung karbohidrat yang dibutuhkan selama fase luteal seperti progesteron dan relaxin (Banks 1986). 5~ ~ ImAS I -I m PAS o ti~1ti~2_3_4ti~5_6ti~7_8 tlpe folikel Gambar 22 Diagram intensitas reaksi AB-PAS pada zona pelusida.

24 44 Pewamaan AB dan PAS mulai tampak positif pada zona pelusida folikel tipe (1) walaupun zona pelusida belum terbentuk sempuma, dan seterusnya AB dan PAS secara konstan bereaksi positif pada zona pelusida (Gam bar 22). Intensitas reaksi tersebut relatif meningkat seiring tahap perkembangan folikel. Zona pelusida merupakan lapisan nonseluler berbentuk pita tipis mengelilingi sitoplasma oosit dan terbentuk dari glikosaminoglikan dan glikoprotein yang disekresikan oosit (Senger 1999). Gambar 23 Distribusi reaksi positif AB yang menunjukkan substansi karbohidrat asam (wama biru) pada folikel ovarium rusa timor. Karbohidrat asam ini terdistribusi pada lapisan sel teka, matriks sel granulosa, liquor folikuli dan zona pelusida. A. Distribusi karbohidrat asam pada folikel preantral. Distribusi karbohidrat asam pada folikel preantral sebelum terbentuk antrum folikuli (B). C. Distribusi karbohidrat asam pada folikel antral. D. Distribusi karbohidrat asam pada folikel antral dengan oosit yang mulai tertanam dalam cumulus oophorus. E Distribusi karbohidrat asam pada folikel de Graaf. Pewamaan AB. Bar: 30lJm.

25 45 Komponen utama zona pelusida tikus adalah tiga glikoprotein yang biasa disebut ZP1, ZP2, dan ZP3 (Aviles et al. 1997). Zona pelusida ini akan menjadi media interaksi antara sel-sel granulosa dan oosit. Dalam fertilisasi, ZP3 merupakan molekul spesies spesifik yang berikatan dengan spermatozoa. Selain itu ZP3 berperan untuk inisiasi reaksi akrosom pada spermatozoa yang terkapasitasi (Erickson 2003). Diduga keberadaan komponen-komponen karbohidrat di atas menyebabkan AS dan PAS bereaksi positif pada zona pelusida. Zona pel us ida pada kambing menunjukkan reaksi positif terhadap pewamaan AS dan PAS. Sedangkan oosit folikel de Graaf pada domba dan kerbau tidak bereaksi positifterhadap PAS (Rajput dan Sahrma 1996). Pada folikel antral, reaksi positif kuat AS terti hat pada liquor folikuli folikel tipe (6), dan intensitas ini menurun sampai sangat lemah pada folikel de Graaf. Pewamaan PAS bereaksi positif sedang pada liquor folikuli sampai tahap perkembangan folikel de Graaf (Gambar 24). Hal ini mencerminkan dinamika perkembangan dan perbedaan kandungan karbohidrat dari kelompok karbohidrat asam dan kelompok karbohidrat netral pada liquor folikuli sesuai dengan tahap perkembangan folikel sampai dengan tahap folikel de Graaf. Ovarium tikus juga ditemukan adanya karbohidrat netral, karbohidrat asam dan residu manosil dan glukosil pada zona pelusida, liquor folikuli dan matriks antar sel granulosa (Tadano dan Yamada 1978). 5~ ~ co E ; B 0; 2 ~ I: J!I I: - 1 ~ ImAB I f i mpas tipe 1 tipe 2 tipe 3 tipe 4 tipe 5 tipe 6 tipe 7 tipe 8 Tipe follkel Gambar 24 Diagram intensitas reaksi AS-PAS pada liquor folikuli. AS dan PAS menunjukkan reaksi positif dengan intensitas sedang pada sel lutein CL, dan reaksi positif dengan intensitas lemah pada lumen folikel

26 46 (Gam bar 25A). Pada corpus albikans tampak AB dan PAS bereaksi positif dengan intensitas sedang pada bagian tengah Oaringan ikat) (Gambar 25B). Gambar 25 Distribusi karbohidrat asam (biru panah) pada corpus luteum dan corpus albikans. Pewarnaan AB. Bar: 40J.lm. Reaksi positif pada CL dan corpus albikans menandakan adanya karbohidrat asam dan netral pada struktur ini. Karbohidrat ini diduga berperan dalam proses perkembangan corpus pada fase luteal. Gambar 26 Distribusi karbohidrat netral pada folikel ovarium rusa timor. Reaksi positif (merah magenta, panah) pada zona pelusida dari folikel preantral (A), awal perkembangan folikel antral (B), folikel antral dengan oosit yang telah menepi (C) dan pad a sel lutein corpus luteum.(d). Pewarnaan PAS. Bar: 20 J.lm.

27 47 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan dan distribusi karbohidrat asam dan karbohidrat netral berbeda-beda tergantung pad a tahap perkembangan folikel. Misalnya pad a folikel tipe 6, AS dan PAS sama-sama bereaksi positif kuat, namun keduanya memiliki distribusi yang berbeda. AS positif kuat pada liquor folikuli sedangkan PAS positif kuat pada z.ona pelusida. Pewarnaan AS-PAS ini digunakan untuk mendeteksi adanya karbohidrat asam atau karbohidrat netral. Untuk mengetahui jenis karbohidrat yang lebih spesifik maka dilakukan pewarnaan histokimia lektin. Metode histokimia lektin digunakan untuk menentukan jenis karbohidrat sesuai dengan residu gulanya. Lektin dapat secara spesifik mengikat residu gula dari glikokonjugat seperti glikoprotein. Hasil pewarnaan histokimia lektin memperlihatkan distribusi ikatan lektin dari hasil reaksi lektin PHA, LCA, RCA dan ConA yang bervariasi pada bagian-bagian folikel yang berbeda (TabeI6). Reaksi positif lektin RCA juga te~adi pada semua bag ian folikel dengan intensitas sangat lemah sampai kuat (Gam bar 27A). Lektin RCA spesifik untuk karbohidrat dengan residu gula galaktosa. Pad a penelitian ini, galaktosa ditemukan di semua bag ian folikel dengan intensitas bervariasi. Hal ini menunjukkan keberadaan dan kemungkinan peran serta keterlibatan karbohidrat dengan residu gula galaktosa pada tahap perkembangan folikel baik pada fase preantral maupun pada fase antral. Pada zona pelusida folikel fase antral, RCA bereaksi lemah (Gambar 28A) sedangkan pada folikel preantral, reaksi menunjukkan positif sedang sampai. kuat. Pada sel-sel granulosa folikel fas~ antral, intensitas RCA mengalami penurunan menjadi sedang seiring dengan perkembangan folikel, sebaliknya pada liquor folikuli intensitas RCA tampak semakin kuat pada tahap akhir perkembangan folikel. Reaksi positif pada sel granulosa dan liquor folikuli ini juga dilaporkan pada kebanyakan mamalia seperti pada men cit, tikus, hamster, kelinci, kucing, anjing dan babi (Skutelsky et al. 1994). Lektin RCA dilaporkan negatif pada zona pelusida anjing (Skutelsky et al. 1994). Pada penelitian ini, RCA menunjukkan reaksi positif yang sangat lemah pada zona pelusida dari folikel tahap akhir. Pada ovarium kerbau, zona pelusida folikel antral awal banyak ditemukan residu galaktosa (Parillo et al. 1998). Penelitian Skutelsky et al. (1994) menunjukkan bahwa!3-galaktosa, O-Nasetilgalaktosamin dan N-asetilglukosamin terdapat pada zona pel us ida rodensia.

28 48 Tabel6 Pola distnbusi ikatan lektin pada bagian-bagian folikel dan ovanum rusa timor, C. timorensis Lektin PHA RCA LCA Con A Bagian folikel preantral Tipe folikel antral Teka eksterna ± + Teka interna + + Sel granulosa ± +++ Liquor folikuli belum terbentuk +++ Zona pelusida ++ Sitoplasma oosit Teka eksterna ++ + Teka interna ++ + Sel granulosa ++"' Liquor folikuli belum terbentuk +++ Zona pelusida ± Sitoplasma oosit Teka eksterna + ++ Teka interna + ++ Sel granulosa Liquor folikuli belum terbentuk +++ Zona pelusida ± Sitoplasma oosit + Teka eksterna ± Teka interna ± Sel granulosa Liquor folikuli belum terbentuk ± Zona pelusida ± Sitoplasma oosit ± Keterangan : - = negatif, ± = sangat iemah, + = iemah, ++ = sedang, kuat Lektin PHA menunjukkan adanya karbohidrat dengan residu gula O-Nasetilgalaktosamin. Pada folikel ovarium rusa timor reaksi positif bervariasi pada bag ian-bag ian folikel. Lektin PHA bereaksi positif dengan intensitas sangat lemah sampai lemah pada sel-sel teka folikel fase preantral (Gambar 278) maupun fase folikel antral. Pada sel-sel granulosa terlihat adanya peningkatan intensitas, dari intensitas sangat lemah menjadi kuat pada foukel fase antral tahap akhir.

29 49 Intensitas kuat juga terjadi pada bag ian liquor folikuli. Hal ini menunjukkan kemungkinan keberadaan dan keterlibatan karbohidrat yang memiliki residu gula D-N-asetilgalaktosamin pada perkembangan sel-sel granulosa dan liquor folikuli, yang merupakan sekreta sel-sel granulosa, pada folikel fase antral. Reaksi positif sedang terlihat pada bagian zona pelusida dan sitoplasma oosit (Gambar 28B). Reaksi positif lektin PHA pada bag ian-bag ian folikel ovarium rusa timor menunjukkan adanya substansi karbohidrat dengan residu gula D-Nasetilgalaktosamin. Karbohidrat dengan residu gula D-N-asetilgalaktosamin ditemukan pada bag ian sitoplasma oosit rusa timor di semua tahap perkembangan. Karbohidrat dengan residu beta-n-asetilgalaktosamin banyak ditemukan di zona pelusida pada awal perkembangan folikel antral ovarium kerbau (Parillo et at. 1998). Gambar 27 Distribusi ikatan lektin (warna coklat) pada folikel preantral. A. Lektin RCA bereaksi positif pada semua bagian folikel kecuali pada sel granulosa. B. Lektin PHA menunjukkan reaksi positif dengan intensitas sedang pada zona pelusida dan sitoplasma oosit, dan bereaksi lemah pada matriks sel granulosa dan sel-sel teka. C. Lektin LCA bereaksi positif pada semua bag ian folikel. DAB, Bar: 20 IJm.

30 50 Lektin LCA yang menunjukkan karbohidrat dengan residu gula manosa terlihat bereaksi positif dengan intensitas lemah sampai sedang pada sel-sel teka, baik sel teka interna maupun sel teka eksterna (Gambar 27C). Reaksi positif kuat terjadi pada sel-sel granulosa dan pada liquor folikuli. Sedangkan pad a oosit, bag ian zona pelusida lektin LCA menunjukkan reaksi positif yang sangat lemah, dan pada sitoplasma terlihat reaksi negatif sampai positif lemah (Gambar 28C). Karbohidrat manosa tidak terdapat pada oosit folikel antral (zona pelusida dan sitoplasma) seperti yang dilaporkan pada folikel kucing (Skutelsky et al. 1994). Namun pada folikel preantral, karbohidrat ini terdeteksi pada semua bag ian folikel (Gambar 27C). Dari intensitas reaksi positif LCA yang diamati, pada bag ian sel granulosa dan liquor folikuli banyak ditemukan karbohidrat dengan residu gula manosa ini. Hal ini mirip dengan yang telah dilaporkan pada mamalia yang lain (Skutelsky et al.1994). Begitu juga pada folikel kerbau tahap antral awal (Parillo et al. 1998). ConA merupakan lektin yang digunakan untuk mengenal adanya karbohidrat dengan residu manosa dan glukosa pada jaringan. Hasil penelitian ini memperlihatkan tidak adanya karbohidrat dengan residu gula manosa pada beberapa bagian folikel ovarium rusa timor seperti pada sel-sel granulosa dan zona pelusida (Gambar 28D). Ketiadaan karbohidrat dengan residu gula manosa dan glukosa dilaporkan juga pada zona pelusida kucing, anjing dan babi (Skutelsky et al. 1994). Pada sel lutein, lektin PHA, LCA dan RCA menunjukkan reaksi positif lemah, sedangkan lektin ConA bereaksi negatif. Reaksi positif terhadap lektin LCA, RCA dan PHA ini menunjukkan bahwa sel lutein mengandung karbohidrat dengan residu gula mannosa, galaktosa dan D-N-asetilgalaktosamin. Pada penelitian ini juga diketahui bahwa sel interstisial di sekitar folikel dalam ovarium mengandung karbohidrat dengan residu gula D-N-asetilgalaktosamin, galaktosa, manosa dan sedikit glukosa. Lektin PHA juga menunjukkan reaksi positif pada Call-Exner body, menunjukkan adanya karbohidrat dengan residu gula D-Nasetilgalaktosamin pada unsur tersebut. Secara umum dari hasil pewarnaan histokimia lektin terlihat bahwa pada sel-sel teka baik sel teka intema dan sel teka eksterna mengandung substansi karbohidrat dengan residu gula D-N-asetilgalaktosamin, galaktosa dan manosa dengan intensitas sangat lemah sampai sedang. Karbohidrat ini terlihat pada

31 51 semua tahap perkembangan folikel. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa GaINAc, galaktosa dan manosa berperan dalam perkembangan folikel pada ovarium rusa timor. Berdasarkan hasil pewarnaan histokimia AB-PAS dan histokimia lektin ini, maka dapat diketahui bahwa karbohidrat asam yang terkandung dalam folikel rusa timor adalah D-N-asetilgalaktosamin, sedangkan karbohidrat netral yang terdeteksi adalah manosa, galaktosa dan glukosa. Gambar 28 Distribusi ikatan lektin pada folikel antral tahap akhir. A. Lektin RCA bereaksi positif sangat lemah pada zona pelusida (panah). B. Lektin PHA bereaksi positif dengan intensitas sedang di sitoplasma oosit (panah) dan matriks pada sel-sel granulosa. C. Lektin LCA bereaksi negatif pada zona pelusida (panah). D. Lektin ConA bereaksi positif sangat lemah pad a sitoplasma oosit (anak panah). DAB, Bar: 20 jjm. Penelitian Skutelsky et al. (1994) melaporkan bahwa zona pelusida oosit dari spesies mamalia yang berbeda menunjukkan pola ikatan lektin yang berbeda pula. Karbohidrat yang terdapat pada zona pelusida ini dapat berperan sebagai reseptor spermatozoa, residu a-galaktosil berperan pada zona pelusida tikus, sedangkan pada men cit yang berpartisipasi pada ikatan spermatozoa adalah L-fukosa, D manosa dan metil manosida. Pada hamster, marmot dan manusia yang berperan adalah L-Fucosa dan D-Galaktosa. Zona pelusida folikel

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... 3 TINJAUAN PUSTAKA Trenggiling... 4 1. Klasifikasi dan Persebaran... 4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis 3 TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba merupakan salah satu sumber protein yang semakin digemari oleh penduduk Indonesia. Fenomena ini semakin terlihat dengan bertambahnya warung-warung sate di pinggiran jalan,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh Setyo Utomo (Kuliah ke 7)

SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh Setyo Utomo (Kuliah ke 7) SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh Setyo Utomo (Kuliah ke 7) TIU : 1 Memahami bentuk anatomis dan histologis alat reproduksi betina. TIK : 1 Memahami secara anatomis dan histologis ovarium sebagai kelkenjar

Lebih terperinci

ORGAN GENITAL EKSTERNAL DAN INTERNAL PADA HEWAN BETINA DAN PROSES OOGENESIS. drh. Herlina Pratiwi, M.Si

ORGAN GENITAL EKSTERNAL DAN INTERNAL PADA HEWAN BETINA DAN PROSES OOGENESIS. drh. Herlina Pratiwi, M.Si ORGAN GENITAL EKSTERNAL DAN INTERNAL PADA HEWAN BETINA DAN PROSES OOGENESIS drh. Herlina Pratiwi, M.Si FEMALE GENITAL ORGANS Terdiri dari: 1. Sepasang ovarium 2. Tuba fallopii (tuba uterina) 3. Uterus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Kancil Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Kancil Klasifikasi TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Kancil Klasifikasi Kancil termasuk ke dalam ordo Artiodactyla, famili Tragulidae dan genus Tragulus. Famili Tragulidae terdiri dari dua genus yaitu genus Tragulus yang terdiri

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Rusa Timor (Cervus timorensis)

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Rusa Timor (Cervus timorensis) TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Rusa Timor (Cervus timorensis) Rusa adalah salah satu satwa ruminansia yang dikelompokkan dalam ordo Artiodactyla, famili Cervidae dengan 17 genus dan 42 spesies. Distribusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tjitrosoepomo (1997), rumput teki dikelompokkan ke dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tjitrosoepomo (1997), rumput teki dikelompokkan ke dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Rumput Teki (Cyperus rotundus L.) 1. Klasifikasi Menurut Tjitrosoepomo (1997), rumput teki dikelompokkan ke dalam regnum Plantae. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan berbiji terbuka

Lebih terperinci

DINAMIKA PERKEMBANGAN OVARIUM RUSA TIMOR (Cervus timorensis) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA GAMBARAN DAN KARAKTERISTIK HISTOKIMIA FOLIKEL

DINAMIKA PERKEMBANGAN OVARIUM RUSA TIMOR (Cervus timorensis) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA GAMBARAN DAN KARAKTERISTIK HISTOKIMIA FOLIKEL Ltt!S-2ID. 0 tl:> DINAMIKA PERKEMBANGAN OVARIUM RUSA TIMOR (Cervus timorensis) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA GAMBARAN DAN KARAKTERISTIK HISTOKIMIA FOLIKEL NAJDA RIFQIYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERT

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Domba Lokal Domba merupakan hewan ternak yang pertama kali di domestikasi. Bukti arkeologi menyatakan bahwa 7000 tahun sebelum masehi domestik domba dan kambing telah menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI...

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN.... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI...... ABSTRACT... ii iii v vii viii ix x xii xiii BAB I.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

MORFOLOGI DAN FUNGSI OVARIUM RUSWANA ANWAR

MORFOLOGI DAN FUNGSI OVARIUM RUSWANA ANWAR MORFOLOGI DAN FUNGSI OVARIUM RUSWANA ANWAR SUBBAGIAN FERTILITAS DAN ENDOKRINOLOGI REPRODUKSI BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNPAD BANDUNG 2005 1 MORFOLOGI DAN FUNGSI OVARIUM PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

yang dihasilkan oleh sel ini adalah untuk menyediakan nutrisi pendukung bagi sel telur ketika melakukan pergerakan pada tuba uterina.

yang dihasilkan oleh sel ini adalah untuk menyediakan nutrisi pendukung bagi sel telur ketika melakukan pergerakan pada tuba uterina. 40 PEMBAHASAN Organ reproduksi betina terdiri dari sepasang gonad, yaitu ovarium, organ reproduksi internal yang terdiri dari tuba uterina, uterus, dan vagina, serta organ reproduksi eksternal yang terdiri

Lebih terperinci

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS Titta Novianti OOGENESIS Pembelahan meiosis yang terjadi pada sel telur Oogenesis terjadi dalam dua tahapan pembelahan : yaitu mitosis meiosis I dan meiosis II Mitosis : diferensaiasi

Lebih terperinci

SISTEM ALAT REPRODUKSI HEWAN BETINA. Oleh: Kustono Diah Tri Widayati

SISTEM ALAT REPRODUKSI HEWAN BETINA. Oleh: Kustono Diah Tri Widayati SISTEM ALAT REPRODUKSI HEWAN BETINA Oleh: Kustono Diah Tri Widayati Alat reproduksi betina terletak pada cavum pelvis (rongga pinggul). Cavum pelvis dibentuk oleh tulangtulang sacrum, vertebra coccygea

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Sasaran Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan sistem reproduksi dan laktasi Materi Kontrol gonad dan perkembangan

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

4.DINAMIKA DISTRIBUSI GLIKOKONJUGAT PADA GONAD WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

4.DINAMIKA DISTRIBUSI GLIKOKONJUGAT PADA GONAD WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN 4.DINAMIKA DISTRIBUSI GLIKOKONJUGAT PADA GONAD WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan Ovarium merupakan tempat perkembangan folikel, ovulasi dan luteinisasi. Semua proses tersebut meliputi proses

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

teka mulai terbentuk mengitari lapis sel-sel granulosa pada tahap akhir folikel sekunder (Dellmann dan Brown 1992).

teka mulai terbentuk mengitari lapis sel-sel granulosa pada tahap akhir folikel sekunder (Dellmann dan Brown 1992). PEMBAHASAN Organ reproduksi betina terdiri atas organ reproduksi primer yaitu ovarium dan organ reproduksi sekunder yaitu tuba uterina, uterus (kornua, korpus, dan serviks), dan vagina. Ovarium memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed Sel akan membelah diri Tujuan pembelahan sel : organisme multiseluler : untuk tumbuh, berkembang dan memperbaiki sel-sel yang rusak organisme uniseluler (misal : bakteri,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh : Ir. Setyo Utomo,M.P.

SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh : Ir. Setyo Utomo,M.P. SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh : Ir. Setyo Utomo,M.P. TIU : 1 Memahami bentuk anatomis dan histologis alat reproduksi betina. TIK : 1 Memahami secara anatomis dan histologis ovarium sebagai kelkenjar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Trenggiling 1. Klasifikasi dan Persebaran

TINJAUAN PUSTAKA Trenggiling 1. Klasifikasi dan Persebaran 4 TINJAUAN PUSTAKA Trenggiling 1. Klasifikasi dan Persebaran Trenggiling merupakan salah satu mamalia yang dilindungi. Lekagul dan McNeely (1977) menyebutkan bahwa terdapat 7 spesies trenggiling yang tersebar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Tanaman Rumput Teki (Cyperus rotundus L.) Rumput teki (Cyprus rotundus L.) merupakan jenis tanaman yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Tanaman Rumput Teki (Cyperus rotundus L.) Rumput teki (Cyprus rotundus L.) merupakan jenis tanaman yang telah 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Rumput Teki (Cyperus rotundus L) 1. Klasifikasi Tanaman Rumput Teki (Cyperus rotundus L.) Rumput teki (Cyprus rotundus L.) merupakan jenis tanaman yang telah banyak digunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus

Lebih terperinci

BAB III PROSES REPRODUKSI HEWAN BETINA A. PENDAHULUAN

BAB III PROSES REPRODUKSI HEWAN BETINA A. PENDAHULUAN BAB III PROSES REPRODUKSI HEWAN BETINA A. PENDAHULUAN Pokok bahasan kuliah proses reproduksi meliputi pengertian mengenai proses reproduksi hewan betina mulai dan pubertas yang meliputi umur pubertas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pemotongan terhadap sapi betina yang masih produktif. Menurut Rianto (2010),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pemotongan terhadap sapi betina yang masih produktif. Menurut Rianto (2010), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya pemotongan sapi betina di Rumah Potong Hewan (RPH) menjadi hal yang harus diperhatikan untuk mencegah atau mengontrol pemotongan terhadap sapi betina yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 A B Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16-17 Gambar 8 Teknik penyuntian PGF 2α. (A) Penyuntikan pertama, (B) Penyuntikan kedua, (C) Pengamatan estrus yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pada

Lebih terperinci

... Tugas Milik kelompok 8...

... Tugas Milik kelompok 8... ... Tugas Milik kelompok 8... 6. Siklus menstruasi terjadi pada manusia dan primata. Sedang pada mamalia lain terjadi siklus estrus. Bedanya, pada siklus menstruasi, jika tidak terjadi pembuahan maka lapisan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

SISTEM GENITAL BETINA. HISTOLOGI VETERINER drh. Herlina Pratiwi

SISTEM GENITAL BETINA. HISTOLOGI VETERINER drh. Herlina Pratiwi SISTEM GENITAL BETINA HISTOLOGI VETERINER drh. Herlina Pratiwi SISTEM REPRODUKSI BETINA - OVARIUM - SALURAN KELAMIN Tuba Fallopii / oviduct Uterus = kornua, korpus, servik Vagina Vulva ALAT PENGGANTUNG

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 36 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Lapisan Granulosa Folikel Primer Pengaruh pemberian ekstrak rimpang rumput teki (Cyperus rotundus L.) terhadap ketebalan lapisan granulosa pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α Hasil penelitian didapatkan 13 dari 15 ekor domba (87,67%) menunjukan respon estrus dengan penyuntikan PGF 2α. Onset estrus berkisar

Lebih terperinci

drh. Herlina Pratiwi

drh. Herlina Pratiwi drh. Herlina Pratiwi Fase Folikuler: Oosit primer => folikel primer => foliker sedunder => folikel tertier => folikel degraaf => ovulasi => folikel haemoraghicum Fase Luteal: corpus luteum => corpus spurium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit Oosit adalah sel terbesar pada tubuh makhluk hidup. Oosit dihasilkan di ovarium yang merupakan organ reproduksi primer yang memiliki fungsi utama menghasilkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat produksi daging domba di Jawa Barat pada tahun 2016 lebih besar 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging domba dan kambing di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Ovarium yang dikoleksi dari rumah potong hewan biasanya berada dalam fase folikular ataupun fase luteal. Pada Gambar 1 huruf a mempunyai gambaran ovarium pada fase folikuler dan

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus BAB IV HASIL PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap pertambahan bobot badan tikus betina bunting pada umur kebuntingan 0-13 hari dapat dilihat pada Tabel 2.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan fase luteal yang terdiri dari metestrus-diestrus (Toelihere, 1979).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan fase luteal yang terdiri dari metestrus-diestrus (Toelihere, 1979). 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Estrus Siklus estrus umumnya terdiri dari empat fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Namun ada juga yang membagi siklus estrus hanya menjadi dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional terus dikembangkan dan dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang

Lebih terperinci

STUDI MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI KANCIL (Tragulus javanicus) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA OVARIUM, PERKEMBANGAN FOLIKEL DAN PEMATANGAN OOSIT IN VITRO

STUDI MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI KANCIL (Tragulus javanicus) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA OVARIUM, PERKEMBANGAN FOLIKEL DAN PEMATANGAN OOSIT IN VITRO STUDI MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI KANCIL (Tragulus javanicus) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA OVARIUM, PERKEMBANGAN FOLIKEL DAN PEMATANGAN OOSIT IN VITRO HAMNY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Kebuntingan dan Kelahiran Kebuntingan Fertilisasi: Proses bersatunya/fusi antara sel kelamin betina (oosit)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu cara bagi pasangan infertil untuk memperoleh keturunan. Stimulasi ovarium pada program FIV dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Gambar 4.1 Folikel Primer. 30 Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Gambar 4.1 Folikel Primer. 30 Universitas Indonesia BAB 4 HASIL Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemajanan medan elektromagnet pada jumlah folikel ovarium mencit. Hasil penelitian ini membandingkan antara kelompok kontrol

Lebih terperinci

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN Pokok bahasan kuliah sinkronisasi alami ini meliputi pengertian hormon reproduksi mulai dari definisi, jenis, macam, sumber, cara kerja, fungsi dan pengaruhnya

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 1-13 hari terhadap rata-rata bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4.1 Luas Ovarium BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam terhadap organ reproduksi betina diawali dengan pengamatan patologi anatomi (PA) dari ovarium dan uterus. Pengamatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teknik Reproduksi Berbantu Fertilisasi In Vitro

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teknik Reproduksi Berbantu Fertilisasi In Vitro BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknik Reproduksi Berbantu Fertilisasi In Vitro Fertilisasi in vitro adalah fertilisasi yang dilakukan diluar tubuh melalui proses tertentu untuk mendapatkan embrio (Speroff,

Lebih terperinci

Gametogenesis. GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad 2/4/2014

Gametogenesis. GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad 2/4/2014 Gametogenesis GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad BSK, Pada Amphibia, Mamalia ameboid lewat mesenterium ke pematang genital (bakal gonad) Aves : pasif dibawa aliran

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh gram. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh gram. Di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kematangan Gonad Ikan Lele Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur satu tahun dengan ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat tubuh 100-200 gram.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada sapi jantan, dimana terdiri dari beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Ovarium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Ekstrak Metanol Buah Adas terhadap Lama Siklus Siklus estrus terdiri dari proestrus (12 jam), estrus (12 jam), metestrus (12 jam), dan diestrus (57 jam), yang secara total

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada hewan jantan, karena terdiri atas beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing- masing. Ovarium

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh kelenjar endokrin dan disekresikan ke dalam aliran darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting adalah estradiol

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian 2 2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan akan mempermudah dalam menentukan waktu yang tepat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Umur terhadap Bobot Ovarium. Hasil penelitian mengenai pengaruh umur terhadap bobot ovarium domba

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Umur terhadap Bobot Ovarium. Hasil penelitian mengenai pengaruh umur terhadap bobot ovarium domba 24 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Umur terhadap Bobot Ovarium Hasil penelitian mengenai pengaruh umur terhadap bobot ovarium domba lokal terlihat bahwa perbedaan umur mengakibatkan terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB VI Hormon Reproduksi

BAB VI Hormon Reproduksi BAB VI Hormon Reproduksi Hormon-hormon reproduksi dibuat di testis ovarium, adrenal korteks, berguna dalam pembentukan sperma dan ovum, serta membentuk sifat seks sekunder. Hormonhormon reproduksi bersifat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di Peternakan rakyat masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama induk sapi PO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Infertilitas dalam arti klinis didefinisikan sebagai Ketidakmampuan seseorang atau pasangan untuk menghasilkan konsepsi setelah satu tahun melakukan hubungan seksual

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perlakuan penyuntikan hormon PMSG menyebabkan 100% ikan patin menjadi bunting, sedangkan ikan patin kontrol tanpa penyuntikan PMSG tidak ada yang bunting (Tabel 2).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. INFERTILITAS Sebelum pemeriksaan apapun dimulai, penyebab utama ketidaksuburan dan komponen dasar evaluasi infertilitas yang dirancang untuk mengidentifikasi penyebab tersebut

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 1. Perhatikan gambar berikut! Bagian yang disebut dengan oviduct ditunjukkan oleh huruf... A B C D Bagian yang ditunjukkan oleh gambar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sinkronisasi Estrus dan Waktu Ovulasi Folikel Untuk sinkronisasi estrus dan induksi ovulasi dilakukan pemberian PGF 2α sebanyak 2 ml i.m dan hcg 1500 IU. Hasil seperti tertera pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uterus 2.1.1. Anatomi dan Histologi Uterus Uterus berbentuk seperti buah pir dan berdinding tebal. Yang terdiri dari fundus uteri, korpus uteri, cavum uteri. Ukuran dari fundus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Reproduksi dan Perkembangan Gonad Ikan Lele. Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur 6 bulan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Reproduksi dan Perkembangan Gonad Ikan Lele. Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur 6 bulan dengan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Reproduksi dan Perkembangan Gonad Ikan Lele Ikan lele (Clarias sp) pertama kali matang kelamin pada umur 6 bulan dengan ukuran panjang tubuh sekitar 45cm dan ukuran berat tubuh

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik Bobot Badan Tikus Ekstrak rumput kebar yang diberikan pada tikus dapat meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan tikus normal yang diberi

Lebih terperinci

Aulia Puspita Anugra Yekti,Spt,MP,MS

Aulia Puspita Anugra Yekti,Spt,MP,MS PETUNJUK PRAKTIKUM ILMU REPRODUKSI TERNAK Disusun oleh : Prof. Dr.Ir. Trinil Susilawati,MS Prof. Dr.Ir. Suyadi,MS Prof. Dr. Ir. Worobusono,MS Prof. Dr. Nur. Ihsan,MS Dr.Ir. Sri Wahyuningsih,M.Si Dr.Ir.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci