TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada hewan jantan, karena terdiri atas beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing- masing. Ovarium merupakan dua organ kecil yang terletak di ruang abdominal dengan fungsi utama adalah untuk menghasilkan ovum sekaligus sebagai tempat terjadinya proses oogenesis (proses produksi sel telur). Tugas lain dari ovarium adalah menghasilkan estrogen dan progesteron dimana kedua hormon ini memiliki peran penting dalam siklus reproduksi betina (Hafez dan Hafez, 2000). Partodiharjo (1982) menambahkan, ternak sapi bersifat poliestrus dan memperlihatkan berahi secara periodik sepanjang tahun. Estrus berasal dari kata latin oestrus yang dikenal dengan istilah berahi yaitu satu periode secara psikologis maupun fisiologis pada hewan betina yang bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Toliehere (1985) menerangkan bahwa tanda-tanda berahi pada sapi adalah sapi betina menjadi tidak tenang, kurang nafsu makan, menguak, berkelana mencari pejantan, mencoba menaiki betina lain dan diam jika dinaiki sapi lain, selain itu vulva sapi tersebut terlihat membengkak, memerah, hangat dan penuh dengan lendir. Saat hewan betina mengalami estrus, serviks akan membuka sehingga sperma bisa masuk. Serviks berhubungan dengan vagina yang merupakan organ mirip pipa atau selongsong (sheath-like organ) dan berfungsi sebagai saluran kelahiran agar fetus dapat keluar dari uterus induk. Bagian paling luar dari saluran reproduksi betina adalah vulva yang sekaligus merupakan akhir dari saluran urinari (Herren, 2000). Folikulogenesis Mekanisme intraovarian mengatur pertumbuhan jumlah folikel ovulasi yang spesifik pada setiap spesies. Manusia dan sapi merupakan makhluk monotokus, terjadi pertumbuhan beberapa lusin folikel antral dalam pola seperti gelombang setiap 7-14 hari selama setiap menstruasi atau siklus estrus. Sebuah gelombang folikuler yang bertepatan dengan fase folikular dari hasil siklus menstruasi atau estrus menghasilkan pengembangan folikel ovulasi dominan, sedangkan folikel dominan yang berkembang pada gelombang yang tidak sinkron dengan fase folikular akan mengalami atresia. Setiap gelombang folikuler didahului dengan kenaikan konsentrasi serum FSH. Proses seleksi terjadi dimana satu folikel dominan terus 3

2 tumbuh dan berkembang sementara semua folikel subordinat lainnya mengalami atresia (Evans et al., 2004). Menurut Fortune (1994) perkembangan folikel (folikulogenesis) dimulai dari proses rekrutmen, mekanisme seleksi dan akhirnya sampai pada satu titik folikel dihadapkan pada dua pilihan, terus berkembang kemudian berovulasi atau berhenti berkembang dan mengalami atresia atau mati Istilah rekrutmen identik dengan proses pertumbuhan folikel pada saat sebagian besar folikel lain mengalami atresia dan masing-masing folikel berusaha untuk mencapai tahap ovulasi. Rekrutmen tidak berlangsung secara acak, melainkan dalam kelompok folikel mereka akan terus berkembang apabila terjadi peningkatan konsentrasi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dalam sistem sirkulasi. Menurut Bo et al. (1995), perkembangan folikel di dalam ovarium merupakan proses yang berkesinambungan dan tidak hanya melibatkan satu folikel selama siklus, tetapi sekelompok folikel sehingga dianalogikan sebagai gelombang folikel. Gelombang folikel didefinisikan sebagai perkembangan folikel dengan diameter 4-5 mm dalam jumlah besar secara serentak yang diikuti dengan mekanisme seleksi, perkembangan menjadi folikel dominan dan penekanan atau supresi terhadap perkembangan folikel subordinat. Proses perkembangan folikel hanya melibatkan beberapa folikel yang berkembang dan berhasil diovulasikan, sedangkan sebagian besar di antaranya akan mengalami atresia sebelum mencapai tahap ovulasi. Atresia dapat muncul pada setiap proses perkembangan folikel, namun frekuensi atresia tidak selalu terjadi dan tidak terdistribusi merata sepanjang proses folikulogenesis (Fortune, 1994). Triwulanningsih et al. (2001) menambahkan bahwa atresia dapat disebabkan degenerasi sel-sel kumuius, degenerasi oosit, peredaran darah yang memberi nutrisi ke oosit berkurang dan faktor penghambat dari folikel dominan terhadap folikel lainnya (folikel subordinat). Perkembangan folikel diketahui sebagai proses yang berkesinambungan dan tidak hanya melibatkan satu folikel selama siklus, tetapi sekelompok folikel sehingga dianalogikan sebagai "gelombang" folikel. Gelombang folikel (follicular wave) merupakan perkembangan folikel dalam jumlah besar secara sinkron yang diikuti dengan mekanisme seleksi berupa perkembangan folikel dominan dan penekanan 4

3 (supresi) terhadap folikel subordinat. Pada ternak, setiap gelombang terdiri atas kelompok folikel (15 folikel). Kemudian mereka berkompetisi (mekanisme seleksi) sehingga menghasilkan folikel dominan dan menekan perkembangan folikel lain (Bo et al., 1995). Folikulogenesis ovarium merupakan sistem yang kompleks dari morfologis dan peristiwa biokimia yang mengatur pertumbuhan serta diferensiasi dari folikel primordial ke tahap ovulasi (folikel ovulasi tunggal pada sapi) dan pelepasan oosit. Peningkatan folikulogenesis terkait dengan perubahan pada produksi dari faktor pertumbuhan dan hormon ovarium tetapi tidak dalam sekresi gonadotropin (Echternkamp, 2000). Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormon (LH) Gonadotropin adalah kelompok hormon yang bekerja pada gonad, misalnya FSH dan LH yang berperan dalam menginduksi perkembangan folikel ovari dan stimulasi ovulasi (Triwulanningsih et al., 2001). Eyestone dan Boer (1993) menjelaskan bahwa FSH berfungsi merangsang pertumbuhan folikel dalam ovari, proses pematangan Oosit dan perkembangan embrio secara dini, tetapi kurang berperan untuk perkembangan selanjutnya. Untuk meningkatkan pematangan folikel dalam jumlah besar (gelombang), diberikan perlakuan hormon gonadotropin selama fase luteal siklus estrus (Armstrong, 1993). Toelihere (1985) menyatakan bahwa hormon utama yang digunakan pada superovulasi adalah hormon gonadotropin. yaitu FSH dan LH. FSH merupakan hormon gonadotropin dengan unsur glikopeptida yang memiliki reseptor pada sel granulosa folikel yang berfungsi menstimulasi pertumbuhan folikel, sehingga sangat diperlukan dalam proses superovulasi. Kaiin dan Tappa (2006) menambahkan hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormon glikoprotein yang mempunyai waktu paruh pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Selain FSH dapat pula digunakan hormon lain, yaitu Pregnant Mare Serum Gonadotropine (PMSG) yang mempunyai waktu paruh lebih panjang sehingga hanya perlu dilakukan salu kali injeksi. Waktu paruh yang panjang tersebut akan berdampak pada : (1) hasil superovulasi sangat bervariasi, (2) sering timbul folikel yang menetap dalam ovarium sehingga terjadi ketidakseimbangan hormonal dan (3) 5

4 kualitas embrio yang kurang memenuhi klasifikasi yang telah ditentukan (Yusuf et al., 1993). Waktu paruh PMSG yang panjang menyebabkan terus terjadi stimulasi pembentukan folikel baru, meskipun ovulasi sudah selesai sehingga dari folikel yang terbentuk akan menghasilkan estrogen dengan kadar cukup tinggi yang pada akhirnya akan mengganggu transpor dan daya tahan hidup embrio (Mustofa, 1999). Baik FSH maupun PMSG telah banyak digunakan dalam teknik-teknik tertentu (misalnya produksi embrio) untuk menginduksi superovulasi (Hunter, 1995). Respon imunologi terhadap pemberian injeksi berulang hormon gonadotropin dapat membatasi kemampuan respon sapi donor terhadap superovulasi. PMSG dan FSH merupakan hormon protein sehingga sangat potensial menginduksi reaksi anafilaksis. Hal ini menandakan bahwa injeksi berulang dapat merangsang pembentukan antigonadotropin yang dapat mengurangi respon selanjutnya terhadap hormon gonadotropin endogen (Seidel dan Elsden, 1985). Seleksi Betina Donor Seleksi induk sapi yang akan digunakan sebagai ternak resipien dilakukan dengan memeriksa keadaan alat reproduksi. Sapi dengan kondisi reproduksi yang memenuhi syarat digunakan sebagai ternak resipien. Setelah itu sapi diprogram dan disinkronisasi berahi dengan penyuntikan PGF2α (Prosolvin, Intervet) dengan dosis dua ml/ekor secara intra muskular (Kaiin et al., 2008). Sapi yang digunakan sebagai ternak donor harus mempunyai kriteria : memiliki genetik unggul (genetic superiority), memiliki kemampuan reproduksi (reproductive ability) dan memiliki keturunan yang marketable atau memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Grimes, 2008). Seidel dan Elsden (1985) mendefinisikan donor sebagai hewan sumber embrio dipanen. Nilai (value) dari hewan donor biasanya hanya dilihat dari kemampuan produksi susu dan daging. Hewan donor harus memiliki tubuh yang sehat karena sapi yang sakit umumnya tidak memberikan respon terhadap perlakuan superovulasi. Kondisi tubuh donor yang terlalu gemuk atau terlalu kurus dapat mengurangi fertilitas (Herren, 2000). Menurut Wright (1987) sapi donor harus bebas penyakit dan bebas abnormalitas gerak, mempunyai catatan produksi atau produktifitas yang baik dan siklus estrus yang teratur. 6

5 Sinkronisasi Estrus Sinkronisasi estrus adalah pencocokan siklus estrus dari ternak donor dan penerima dengan injeksi prostaglandin (PGF2 ) untuk merangsang estrus (Kunkel, 1998). Preparat Prostaglandin F2α (PGF2α) dikenal sebagai agen luteolitik yang dapat menyamakan siklus estrus dalam waktu yang bersamaan, sedangkan hcg dapat menginduksi ovulasi, sehingga pemberian hcg pada pertengahan estrus dapat merangsang pelepasan ovum dalam waktu yang lebih seragam. Dengan demikian perkembangan folikel dapat diamati sehingga dapat ditentukan waktu inseminasi yang lebih tepat (Arifiantini et al., 2010). Superovulasi Ovulasi adalah proses pemecahan folikel de graaf yang terjadi sewaktu ovum dilepaskan dari ovarium. Tingkatan ovarium adalah primer, sekunder dan tersier dan folikel de graaf. LH menyebabkan pengendoran dinding folikel sehingga lapisanlapisan pecah dan melepaskan ovum dan cairan folikel, sesudah ovulasi terbentuk Corpus luteum di dalam folikel yang telah pecah dan mulai mensekresikan progesterone. Hewan-hewan betina dewasa yang disuntikan hormon gonadotropin dapat menghasilkan ova pada satu estrus. FSH menggertak pematangan beberapa folikel, sedangkan LH menyebabkan ovulasi hal ini disebut superovulasi (Toelihere, 1985). Dalam program Transfer Embrio (TE), untuk merangsang ovulasi ganda (multiple ovulation), maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh sel telur dalam satu kali ovulasi (Herren, 2000). Superovulasi dapat diinduksi secara buatan melalui pemberian hormon gonadotropin eksogen (berasal dari luar tubuh), misalnya FSH dan PMSG. Pemberian hormon tersebut dengan dosis tertentu akan menstimulasi proses pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan ovulasi dari sejumlah besar folikel pada ternak sapi. Betina donor diinjeksikan setiap hari dengan FSH (Herren, 2000) yang dapat berasal dari ekstrak hipofise babi dan domba (Wheeler dan Bowen, 1989) atau dari esktrak hipofise sapi (Wilson, 1992). Donor tertentu memerlukan penambahan LH selain FSH, namun umumnya preparat FSH yang dijual sudah ditambahkan LH (Wright, 1987). Perlakuan superovulasi dapat dilakukan tepat waktu apabila siklus estrus dapat segera dikenal (Seidel dan Elsden, 1985). Hal yang terpenting adalah menjaga 7

6 agar siklus estrus berjalan normal dan teratur sehingga perlakuan superovulasi dapat sinkron dengan pola hormonal hewan secara normal. Jika siklus estrus abnormal, maka perlakuan superovulasi mungkin mengalami kegagalan Wilson (1992). Inseminasi Buatan Setelah berhasil memilih hewan donor berkualitas tinggi, kunci keberhasilan Transfer Embrio (TE) selanjutnya terletak pada inseminasi dengan semen yang berasal dari sapi jantan bibit unggul (Davis, 2004). Setelah perlakuan superovulasi, perlu dilakukan pengamatan terhadap tanda-tanda estrus pada sapi donor sehingga dapat dijadikan acuan untuk menentukan waktu inseminasi yang tepat dan IB dilakukan 6-24 jam setelah estrus. Herren (2000) menyarankan agar inseminasi segera dilakukan pada saat sel telur diovulasikan karena daya hidup sperma yang singkat (20-30 jam). Dengan semen kualitas yang baik dan banyak pengalaman dengan program TE, cukup dilakukan sekali inseminasi saja. Jika hanya satu inseminasi yang dilakukan, penting untuk memeriksa berahi dan inseminasi 10 sampai 20 jam setelah awal berahi (Inseminasi dilakukan ketika sejumlah besar telur dilepaskan dari ovarium, ovulasi dapat terjadi selama 24 jam atau lebih). Pada saat telur terakhir dilepaskan dari ovarium mungkin tidak ada cukup sperma untuk membuahi. Sangat penting bahwa prosedur IB harus dilakukan secara tepat dan hanya dilakukan oleh teknisi IB yang sangat berpengalaman (Lewis, 1996). Fertilisasi yang rendah dapat disebabkan kualitas semen yang rendah, teknik serta waktu inseminasi yang kurang tepat (Seidel dan Elsden, 1989). Greve et, al. (1995) menyatakan jumlah embrio layak transfer rendah pada ternak yang disuperovulasi dapat diakibatkan oleh kondisi ovum, tingkat fertilisasi dan perkembangan embrio awal yang terganggu. Hardjopranjoto (1995) juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang kurang menguntungkan dalam superovulasi adalah menghasilkan sel telur yang belum dewasa sehingga setelah pembuahan banyak terjadi kematian embrio muda. Faktor yang dapat mempengaruhi kematian embrio awal antara lain zat kekebalan kurang berfungsi, ketidakseimbangan nutrisi pakan, lingkungan uterus yang kurang baik, defisiensi hormon serta umur ovum dan sperma. Semen segar lebih baik digunakan daripada semen beku karena semen segar dapat lebih lama bertahan di dalam saluran reproduksi betina. Pada program TE, 8

7 dapat digunakan semen segar dengan konsentrasi juta sperma motil atau semen beku yang mengandung 30 juta sperma motil dan diberikan dengan dosis ganda. Grimes (2008) menyarankan agar inseminasi dilakukan 1-3 kali selama dan setelah estrus dengan interval yang sama. Koleksi Embrio Panen atau koleksi embrio pada sapi donor dilakukan pada hari ke-7 sampai hari ke-8 setelah berahi saat sebagian besar embrio sudah memasuki ujung cornua uteri pada masa itu. Embrio akan berkembang sekitar satu minggu, kemudian embrio dipanen pada tahap morula sampai blastocyst (Grimes, 2008). Embrio dikoleksi antara hari ke-6 dan ke-8 setelah estrus (Herren, 2000). Pemanenan embrio tidak dilakukan lebih awal karena dapat menurunkan efisiensi koleksi embrio dengan metode non bedah. Sebelum hari ke-4, hampir semua embrio terletak di dalam oviduk yang dipisahkan dari uterus oleh utero-tubal junction. Struktur ini berfungsi sebagai katup (valve) yang dapat mengatur masuknya sperma dari uterus menuju oviduk sehingga fertilisasi terjadi tepat waktu dan mengatur transpor embrio ke arah sebaliknya. Embrio akan ditranspor menuju uterus pada hari ke-4 sampai hari ke-5 setelah estrus, melalui kontraksi ritmik pada dinding oviduk dan relaksasi dari otot pada dinding utero-tubal junction sehingga tingkat keberhasilan koleksi embrio akan lebih tinggi pada hari ke-6 dan seterusnya daripada hari ke-4. Kadang-kadang beberapa embrio masih ditemukan dalam oviduk pada sapi yang disuperovulasi sampai hari ke-10 (Seidel dan Elsden, 1989). Teknik koleksi embrio pada sapi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu bedah dan non bedah (Herren, 2000). Secara empiris, teknik bedah telah diketahui dapat mengakibatkan pembentukan jaringan parut (scar tissue) sehingga terjadi perlekatan ovarium pada uterus. Selanjutnya digunakan cara lain yaitu teknik koleksi embrio non bedah dengan resiko yang lebih kecil, aplikasi sederhana, tidak memerlukan fasilitas khusus sehingga dapat dilakukan di lapangan dengan biaya yang lebih ekonomis (Hunter, 1995). Namun, menurut Wright (1987), teknik bedah masih dapat dijadikan alternatif untuk menangani kasus infertilitas tertentu (misalnya causa mekanis seperti sumbatan pada oviduk) atau karena kesulitan memasukkan kateter melalui serviks. Tahap perkembangan embrio dapat dilihat pada Gambar 1. 9

8 1 Sel (hari 1) 2 Sel (hari 2) 4 Sel (hari 3) 8 Sel (hari 4) 16 Sel (hari 5) Morula awal (hari 5-6) Morula (hari 6) Blastosit awal (hari 7) Blastosit (hari 7-8) Expanded blastocyst (hari 8-9) Hatched blastocyst (hari 9) Expanding hatched blastocyst (hari 9) Gambar 1. Tahap Perkembangan Embrio (Robertson dan Nelson, 2009) Batas waktu paling akhir untuk koleksi embrio adalah hari ke-14 setelah estrus, sedangkan di luar batas ini embrio yang dikoleksi akan rusak. Pada hari ke-9, embrio mulai keluar dari zona pellusida dan koleksi embrio tidak disarankan pada tahap ini karena kesulitan dalam mengidentifikasi embrio ketika ia sudah keluar dari zona pellusida. Hampir semua embrio telah keluar pada hari ke-11, pada saat diameter embrio meningkat secara drastis. Hari ke-12 sampai ke-13, embrio mulai memanjang (elongate) dan tampak seperti bola (American football). Hari ke-14 sampai ke-15, bentuk embrio sangat panjang seperti spaghetti. Hari ke-18 sampai 10

9 hari ke-19, embrio hampir memenuhi cornua uteri. Koleksi embrio mungkin dapat dilakukan pada hari ke-17 dengan teknik non bedah, tetapi potensi terjadinya kerusakan/cacat pada embrio sangat besar sejak hari ke-14 (Seidel dan Elsden, 1989). Tahap perkembangan embrio dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tahap Perkembangan Embrio Tahap Deskripsi 1 Belum dibuahi sel 3 Morula awal 4 Morula 5 Blastosit awal 6 Blastosit 7 Expanded blastocyst 8 Hatched blastocyst 9 Expanded hatched blastocyst Sumber: Wright (2009) Faktor yang mempengaruhi perkembangan embrio menurut Hunter (1995) adalah : (1) keadaan uterus, karena mempunyai fungsi penting bagi embrio sebagai penyedia nutrisi, tempat implantasi differensiasi embrio dan memanjang foetus waktu normal kalahiran, (2) cadangan makanan dalam sitoplasma, (3) nutrisi pada cairan uterus yang disebut susu uterus atau histrotop, komponen dari cairan uterus ini mungkin secara khusus terlibat dalam mendorong pertumbuhan embrio, (4) kecepatan memasuki uterus yang terlalu cepat, hal tersebut merugikan karena embrio masih memerlukan perkembangan di tuba falopii. FSH berfungsi merangsang pertumbuhan Follikel dalam ovari, proses pematangan oosit dan perkembangan embrio secara dini, tetapi kurang berperan untuk perkembangan lebih lanjut (Eyestone dan Boer, 1993). 11

10 Corpus Luteum (CL) Corpus Luteum (CL) merupakan benda yang terbentuk pada tempat ovum diovulasikan dan dijadikan patokan untuk mendeteksi berapa jumlah ovum yang diovulasikan oleh seekor sapi (Adriani et al., 2009). Setelah terjadi ovulasi maka pada situs pelepasan oosit akan terbentuk Corpus Luteum (CL). Selama awal fase luteal (metestrus). CL dibentuk dari sel-sel luteal. Pada pertengahan fase luteal (diestrus) sel-sel luteal menghasilkan sejumlah besar progesteron. Selama akhir fase luteal, CL dilisiskan PGF2 α yang dihasilkan endometrium uterus. Lisis CL diikuti dengan penurunan kadar progesteron. sehingga mekanisme umpan balik negatif progesteron pada hypotalamus hilang, mengakibatkan peningkatan GNRH yang menandakan dimulai fase folikular. Ukuran CL pada hari ke 3-5 mulai meningkat sampai maksimal disertai dengan peningkatan produksi progesteron sampai kadar maksimal sekitar hari ke-10 (Senger, 1999). Menurut Amiridis et al. (2006), CL tersusun atas sel-sel luteal yang berperan menghasilkan progesteron. Konsitensi atau kekenyalan badan CL sangat ditentukan jumlah sel-sel luteal dan vaskuralisasi darah kebagian tersebut. Demikian juga kemampuan CL memproduksi progesteron tergantung pada tingkat vaskularisasi pada lapisan seluler. Fungsi CL yang rendah (sintesis dan sekresi progesteron sedikit) diyakini akan menjadi penyebab penting kegagalan reproduksi dan ketidakmampuan uterus dalam mendukung perkembangan embrio dini. Senger (1999) menambahkan, dalam satu siklus estrus CL harus mengalami lisis agar fase folikular dimulai. Ovulasi tidak dapat terjadi dalam kondisi saat kadar progesteron dominan. Luteolisis berarti disintengrasi atau dekomposisi dari CL yang terjadi 2-3 hari pada akhir fase luteal. Dua hormon yang berperan penting dalam lisis CL yaitu oxytocin yang dihasilkan CL dan hormon PGF2α yang dihasilkan endometrium uterus. Klasifikasi Embrio Evaluasi embrio merupakan faktor yang menentukan keberhasilan program Transfer Embrio (TE) (Wright, 1987). Evaluasi morfologi embrio telah terbukti berguna dalam memprediksi angka kebuntingan (pregnancy rate) bagi sekelompok embrio, namun teknik ini kurang dapat menentukan kemampuan bertahan hidup (viabilitas) embrio. Embrio dievaluasi agar diketahui kualitas sehingga dapat 12

11 ditransfer ke resipien yang tepat, dimana embrio dengan kualitas terbaik ditransfer ke respien yang paling baik pula (Seidel dan Elsden, 1985). Seidel dan Elsden (1985) menyatakan beberapa karakteristik yang dapat digunakan dalam evaluasi embrio sebagai berikut: (1) kepadatan sel-sel; (2) keteraturan bentuk embrio; (3) variasi ukuran sel; (4) warna dan tekstur sitoplasma; (5) ada tidaknya rongga (vesikel) berukuran besar; (6) ada tidaknya sel yang keluar; (7) diameter embrio; (8) keteraturan bentuk zona pellusida; dan (9) ada tidaknya sesel debris. Embrio yang ideal mempunyai bentuk seperti bola (spherical) dan sel-sel di dalam terlihat kompak (padat). Blastomer memiliki ukuran yang hampir sama, warna dan tesktur sama, terlihat tidak terlalu cerah dan tidak terlalu gelap. Sitoplasma tidak bergranular atau tersebar merata serta terdapat beberapa vesikel berukuran sedang. Ruang periviteim tampak kosong, zona pellusida tidak berkerut apalagi kolaps serta tidak ditemukan sel-sel debris. Klasifikasi kualitas embrio dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kualitas Embrio Kode Deskripsi 1 Excellent or Good 2 Fair 3 Good 4 Dead or Degenerating Sumber: Wright (2009) Transfer Embrio Transfer embrio (TE) pada sapi adalah teknik manipulasi genetik yang merupakan salah satu teknologi terbaru dalam bidang reproduksi. Berbeda dengan inseminasi buatan (IB) yang meningkatkan mutu genetik hanya melalui hewan jantan (parental), TE juga berusaha meningkatkan mutu ternak hewan betina (Herren, 2000). Teknologi TE memungkinkan diperoleh anak sapi unggul dalam jumlah yang lebih banyak (Wilson, 1992). Dengan demikian, perbaikan genetik dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat (Seidel dan Elsden, 1989). 13

12 Salah satu masalah utama dalam program transfer embrio (TE) adalah tingginya variabilitas respon terhadap superovulasi pada induk donor. Padahal kuantitas dan kualitas embrio donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan TE. Superovulasi merupakan kunci keberhasilan TE dan tidak hanya ditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan jumlah embrio yang diperoleh, tetapi superovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai faktor seperti faktor-faktor yang mempengaruhi respon superovulasi pada induk donor, faktor yang mempengaruhi fertilisasi dan viabilitas embrio serta faktor yang berhubungan dengan manajemen induk donor (Kaiin dan Tappa, 2006). 14

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada sapi jantan, dimana terdiri dari beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Ovarium

Lebih terperinci

TINGKAT SUPEROVULASI PADA BEBERAPA BANGSA SAPI DENGAN SUMBER FOLLICLE STIMULATING HORMONE (FSH) YANG BERBEDA SKRIPSI DHEDY PRASETYO

TINGKAT SUPEROVULASI PADA BEBERAPA BANGSA SAPI DENGAN SUMBER FOLLICLE STIMULATING HORMONE (FSH) YANG BERBEDA SKRIPSI DHEDY PRASETYO TINGKAT SUPEROVULASI PADA BEBERAPA BANGSA SAPI DENGAN SUMBER FOLLICLE STIMULATING HORMONE (FSH) YANG BERBEDA SKRIPSI DHEDY PRASETYO DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam upaya menjadikan subsektor peternakan sebagai pendorong kemandirian pertanian Nasional, dibutuhkan terobosan pengembangan sistem peternakan. Dalam percepatan penciptaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 A B Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16-17 Gambar 8 Teknik penyuntian PGF 2α. (A) Penyuntikan pertama, (B) Penyuntikan kedua, (C) Pengamatan estrus yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hormon dan Perannya dalam Dinamika Ovari

TINJAUAN PUSTAKA. Hormon dan Perannya dalam Dinamika Ovari TINJUN PUTK Hormon dan Perannya dalam inamika Ovari Gonadotrophin eleasing Hormone (GnH). GnH tidak secara langsung mempengaruhi ovarium, tetapi hormon yang dihasilkan hipotalamus ini bekerja menstimulus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau sangat bermanfaat bagi petani di Indonesia yaitu sebagai tenaga kerja untuk mengolah sawah, penghasil daging dan susu, serta sebagai tabungan untuk keperluan dikemudian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kementrian Pertanian Tahun 2010-- 2014 (Anonim

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α Hasil penelitian didapatkan 13 dari 15 ekor domba (87,67%) menunjukan respon estrus dengan penyuntikan PGF 2α. Onset estrus berkisar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh kelenjar endokrin dan disekresikan ke dalam aliran darah

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB Tatap muka ke 13 & 14 PokokBahasan : SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB 1. Tujuan Intruksional Umum Mengerti tujuan sinkronisasi / induksi birahi Mengerti cara- cara melakuakn sinkronisasi birahi/induksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. (a) Luar kandang, (b) Dalam kandang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. (a) Luar kandang, (b) Dalam kandang HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Balai Embrio Ternak (BET) yang terletak di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Topografi lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI BAB I PENYERENTAKAN BERAHI 1.1 Pendahuluan Penyerentakan berahi (Sinkronisasi Estrus) merupakan suatu proses manipulasi berahi pada sekelompok ternak betina. Adapun alasan dilakukannya Penyerentakan berahi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian 2 2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan akan mempermudah dalam menentukan waktu yang tepat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Siklus Menstruasi Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2005), sedangkan

Lebih terperinci

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI 105 Buana Sains Vol 7 No 2: 105-112, 2007 PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI Eko Marhaeniyanto dan I Gedhe Putu Kasthama Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kambing Pada mulanya domestikasi kambing terjadi di daerah pegunungan Asia Barat sekitar 8000-7000 SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) berasal

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 MEMPELAJARI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MANUSIA MELALUI BIOTEKNOLOGI Bioteknologi berkebang sangat pesat. Produk-produk bioteknologi telah dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba merupakan ruminansia kecil yang relatif mudah dibudidayakan oleh masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai pakan berupa

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan

Lebih terperinci

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK 1 PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK Untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Reproduksi Oleh : Ardan Legenda De A 135050100111093 Mirsa Ita Dewi Adiana 135050100111189 Ari Prayudha 135050100111098

Lebih terperinci

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

Teknologi Reproduksi

Teknologi Reproduksi Teknologi Reproduksi Teknologi reproduksi merupakan satu kesatuan dari teknik-teknik rekayasa sistem reproduksi hewan yang dikembangkan melalui suatu proses penelitian dalam bidang reproduksi hewan secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Swasembada Daging Sapi Swasembada daging sapi adalah kemampuan penyediaan daging produksi lokal sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor sapi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan fase luteal yang terdiri dari metestrus-diestrus (Toelihere, 1979).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan fase luteal yang terdiri dari metestrus-diestrus (Toelihere, 1979). 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Estrus Siklus estrus umumnya terdiri dari empat fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Namun ada juga yang membagi siklus estrus hanya menjadi dua

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN SKRIPSI Oleh DARUSSALAM I111 11 014 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 PENGARUH

Lebih terperinci

HASlL DAN PEMBAHASAN

HASlL DAN PEMBAHASAN HASlL DAN PEMBAHASAN Siklus Estrus Alamiah Tanda-tanda Estrus dan lama Periode Estrus Pengamatan siklus alamiah dari temak-ternak percobaan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari.

Lebih terperinci

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK 1 PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK Untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Reproduksi Oleh : Ardan Legenda De A 135050100111093 Mirsa Ita Dewi Adiana 135050100111189 Ari Prayudha 135050100111098

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad lalu. Beberapa sinonim sapi Bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1 TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Secara taksonomi domba termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis dan spesies Ovis aries. Dari sisi genetik

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma nutfah nasional Indonesia, hasil domestikasi dari banteng liar beratus-ratus tahun yang lalu.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Deteksi Estrus Pengukuran hambatan arus listrik lendir vagina dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore) selama lima hari berturut-turut. Angka estrus detektor direkapitulasi dalam bentuk tabel secara

Lebih terperinci

KESEHATAN REPRODUKSI* Oleh: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes**

KESEHATAN REPRODUKSI* Oleh: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes** KESEHATAN REPRODUKSI* Oleh: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes** A. Pengantar Sistem reproduksi pada manusia dapat dibedakan menjadi sistem reproduksi laki-laki dan wanita sesuai jenis kelaminnya. 1. Sistem

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 1. Perhatikan gambar berikut! Bagian yang disebut dengan oviduct ditunjukkan oleh huruf... A B C D Bagian yang ditunjukkan oleh gambar

Lebih terperinci

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI Agung Budiyanto Dosen FKH, Master dan Doctoral Degree Pasca Sarjana UGM Sekretaris Bagian Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Ketua Asosisasi

Lebih terperinci

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Kelompok 3 Aswar Anas 111810401036 Antin Siti Anisa 121810401006 Nenny Aulia Rochman 121810401036 Selvi Okta Yusidha 121810401037 Qurrotul Qomariyah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA

SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA 17 SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA Oleh: Takdir Saili 1), Ali Bain 1), Achmad Selamet Aku 1),

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 8 No. 1, Maret 2014 ISSN : 1978-225X PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI The Effect of Pituitary

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sinkronisasi Estrus dan Waktu Ovulasi Folikel Untuk sinkronisasi estrus dan induksi ovulasi dilakukan pemberian PGF 2α sebanyak 2 ml i.m dan hcg 1500 IU. Hasil seperti tertera pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Ekstrak Metanol Buah Adas terhadap Lama Siklus Siklus estrus terdiri dari proestrus (12 jam), estrus (12 jam), metestrus (12 jam), dan diestrus (57 jam), yang secara total

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak lokal berperan penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa sifat unggul dibandingkan

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family Menispermaceae yang mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat digunakan untuk mengobati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Induk Sapi SimPO Sapi Simmental Peranakan Ongole (SimPO) merupakan hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi Peranakan Ongole (PO). Karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hcg pada Induk Sapi Potong

Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hcg pada Induk Sapi Potong Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 141-146 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005 Vol. 29 No. 3 Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hcg pada Induk Sapi Potong

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

... Tugas Milik kelompok 8...

... Tugas Milik kelompok 8... ... Tugas Milik kelompok 8... 6. Siklus menstruasi terjadi pada manusia dan primata. Sedang pada mamalia lain terjadi siklus estrus. Bedanya, pada siklus menstruasi, jika tidak terjadi pembuahan maka lapisan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersifat sementara dan dapat pula bersifat menetap (Subroto, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersifat sementara dan dapat pula bersifat menetap (Subroto, 2011). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kontrasepsi Kontrasepsi merupakan bagian dari pelayanan kesehatan untuk pengaturan kehamilan dan merupakan hak setiap individu sebagai makhluk seksual, serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM 1 GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM Takdir Saili 1*, Fatmawati 1, Achmad Selamet Aku 1 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sekitar 85-90% dari pasangan muda yang sehat akan hamil dalam waktu 1 tahun. Evaluasi dan pengobatan infertilitas telah berubah secara dramatis selama periode waktu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infertilitas 1. Definisi Infertilitas atau kemandulan adalah penyakit sistem reproduksi yang ditandai dengan ketidakmampuan atau kegagalan dalam memperoleh kehamilan, walaupun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis 3 TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba merupakan salah satu sumber protein yang semakin digemari oleh penduduk Indonesia. Fenomena ini semakin terlihat dengan bertambahnya warung-warung sate di pinggiran jalan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat produksi daging domba di Jawa Barat pada tahun 2016 lebih besar 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging domba dan kambing di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu cara bagi pasangan infertil untuk memperoleh keturunan. Stimulasi ovarium pada program FIV dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN Pokok bahasan kuliah sinkronisasi alami ini meliputi pengertian hormon reproduksi mulai dari definisi, jenis, macam, sumber, cara kerja, fungsi dan pengaruhnya

Lebih terperinci

drh. Herlina Pratiwi

drh. Herlina Pratiwi drh. Herlina Pratiwi Fase Folikuler: Oosit primer => folikel primer => foliker sedunder => folikel tertier => folikel degraaf => ovulasi => folikel haemoraghicum Fase Luteal: corpus luteum => corpus spurium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di Peternakan rakyat masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama induk sapi PO)

Lebih terperinci