III. TINJAUAN PUSTAKA A. PRODUK UDANG BEKU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. TINJAUAN PUSTAKA A. PRODUK UDANG BEKU"

Transkripsi

1 III. TINJAUAN PUSTAKA A. PRODUK UDANG BEKU Udang dalam bentuk produk beku memiliki pangsa pasar yang cukup luas. Sebagian besar produk udang beku diekspor ke negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Produk beku adalah produk yang sudah diberi perlakuan proses pembekuan yang cukup untuk mereduksi suhu seluruh produk sampai pada tingkat suhu yang cukup rendah guna mengawetkan mutu produk dan tingkat suhu rendah ini dipertahankan selama pengangkutan, penyimpanan, dan distribusi sampai saat (dan termasuk) waktu penjualan akhir (Johnston et al., 1994). Udang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi. Sidwell et al, (1987) menyebutkan bahwa pada udang mentah mempunyai kadar protein pada kisaran 14,1g 25,0g. Proses pemasakan dan pengalengan tidak terlalu memengaruhi kisaran protein pada udang mentah. Kadar lemak pada udang mentah lebih sedikit dibandingkan dengan protein udang. Kadar lemak pada udang mentah berkisar antara 0,37g 0,88g. Phospholipids dan sterol adalah komponen terbesar dalam kadar lemak yang terdapat dalam udang (Kritchevsky, et al. 1976) Definisi udang beku menurut SNI adalah udang segar yang telah dicuci bersih, didinginkan untuk mempertahankan suhu udang sekitar 0 o C, dan dibekukan dengan atau tanpa perlakuan pendahuluan pada suhu rendah maksimum -45 o C sehingga suhu produk akhir menjadi maksimum -18 o C, dan kemudian disimpan pada tempat penyimpanan dengan suhu maksimum -25 o C dengan fluktuasi 1 o C (BSN, 1992). Berbagai macam bentuk udang beku dapat ditemukan di pasaran. Namun demikian, produk-produk itu dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: produk untuk dikonsumsi langsung dan produk untuk diolah lebih lanjut. Produk udang beku yang umum ada dipasaran adalah head-on (HO), headless (HL), peeled and undeveined (PUD udang dikupas, kepala dan kulit dibuang, tetapi isi perut tetap). Bentuk lain termasuk peeled and undeveined, tail on (PUDT/PTO); peeled and deveined, tail-on (butterfly); dan black tiger (BT tidak ada kulit atau kaki harus tetap ada pada udang atau pada kemasan). Dunia perdagangan mengenal bentuk penyajian udang beku antara lain (Ilyas, 1993): 1. Utuh: berkepala dan berkulit (whole; head and shell-on); 2. Tanpa kepala berkulit (headless shell-on); 3. Ekor kipas utuh: kepala dan kulit dibuang, kecuali ruas paling akhir dan ekor (fantail round); 4. Ekor kipas tanpa isi perut (fantai deveined); 5. Ekor kipas kupu-kupu (fantail butterfly); 6. Dikupas: tanpa kepala dan dikupas (peeled); 7. Dikupas dan tanpa isi perut (peeled and deveined); 8. Dikupas dan direbus (peeled and cooked); 9. Utuh direbus (whole cooked); 10. Dikupas dan tidak dibuang isi perut (peeled and undeveined). Udang diperdagangkan berdasarkan ukuran dengan menghitung jumlah ekor udang, yang dinyatakan sebagai rentang jumlah udang per pon atau kilogram. Misalnya ukuran menyatakan bahwa terdapat 26 dan 30 ekor udang per pon. Mendapatkan 6

2 hitungan yang benar dari jumlah udang merupakan hal yang sangat penting karena terdapat perbedaan harga diantara berbagai ukuran. Jumlah udang lebih sering dinyatakan sebagai nama dibandingkan jumlah, misalnya colossal (raksasa): per pon, jumbo: per pon dan extra large: per pon. Terdapat tiga kategori produk udang yang dimasak: cooked, peeled and deveined, tail-on (CP, tail-on/cto); cooked, peeled and deveined, tail-off (CP, tail-off); dan cooked in the sheel (utuh dimasak) (Kanduri dan Eckhardt, 2002). B. TEKNOLOGI PEMASAKAN UDANG CTO (cooked tail-on) Udang CTO adalah produk udang Litopenaeus vannamei dengan ekor tanpa kepala, dibuang kulit segmen 1 5, bekas pangkal kaki renang dikerik, kemudian dibelah dari segmen 2 5 sedalam usus terambil (kedalaman 30%) kemudian dimasak dan dibekukan (A&I PT CPB, 2007). Pada penelitian ini pengujian dilakukan sampai dengan tahap pemasakan. Secara umum proses pemasakan udang CTO melalui beberapa tahapan, mulai dari pengupasan kepala (head of/ho), pengupasan kulit (peeled), dan membuang isi perut (deveined). Kemudian dilakukan proses perendaman menggunakan STP (Sodium Tripolifosfat) dan dimasak menggunakan suhu o C (Kanduri dan Eckhardt, 2002). Namun, di PT CPB perendaman dilakukan menggunakan polifosfat sesuai dengan permintaan buyer. Selain itu proses pemasakan menggunakan steam bersuhu o C. Proses pemasakan udang CTO pada PT CPB ini dimulai dari penerimaan udang mentah (raw material), kemudian dilakukan pencucian dengan air es yang mengandung klorin 20-30ppm. Tahap selanjutnya adalah pemisahan berdasarkan ukuran dan grade udang kemudian dilanjutkan dengan penimbangan. Setelah penimbangan udang dicuci menggunakan air es, dipotong kepala, dan dicuci kembali menggunakan air es. Setelah itu udang dikelompokkan berdasarkan permintaan harian yang telah dibuat oleh PPIC (Production Planning & Inventory Control). Setelah dikelompokkan, kemudian dilakukan pengupasan kulit dan pembuangan usus sampai pembelahan pada punggung udang. Udang kemudian direndam dengan menggunakan larutan garam dan polifosfat. Proses pemasakan dilakukan setelah perendaman menggunakan larutan tersebut. Secara lebih rinci proses pemasakan udang ini dapat dilihat pada Gambar 1. Proses pemasakan yang dilakukan merupakan salah satu penerapan pengolahanpanas pada bahan pangan. Menurut Lund (1989), pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan unutk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Pengolahan panas pada bahan pangan yang diterapkan pada pemasakan udang berupa pengukusan (menggunakan sumber panas berupa steam). Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan, pengeringan atau pengalengan. Tujuan proses pengukusan bergantung pada perlakuan lanjutan terhadap bahan pangan. Misalnya pengukusan sebelum pembekuan atau pengeringan terutama untuk menginaktivasi enzim yang akan menyebabkan perubahan warna, cita rasa atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan (Lund, 1989). Pada proses pemasakan penggunaan suhu yang kebih rendah dengan waktu pemasakan yang lebih lama dapat menurunkan susut masak produk. Hal ini dikarenakan pada penggunaan suhu rendah pada proses pemasakan perbedaan suhu pusat udang dengan suhu permukaan menjadi lebih kecil sehingga air yang hilang selama pemasakan dat ditekan dan rendemen akan meningkat jika dibandingkan dengan mengunakan suhu 7

3 tinggi. Selain itu penggunaan suhu yang lebih rendah akan membuat produk lebih aman karena produk akan lebih lama berada pada kisaran suhu diatas pertumbuhan bakteri serta akan memberikan penampakan tekstur dan rasa yang lebih baik (Anonim 1, 2001). Penerimaan Pencucian menggunakan air es Pemisahan (ukuran dan grade) Penimbangan Pencucian menggunakan air es Potong kepala Pencucian menggunakan air es Pengelompokkan Pengupasan kulit, pengambilan usus dan pembelahan punggung Perendaman dengan garam dan polifosfat Pemasakan Pendinginan Pembekuan dengan tunnel freezer Penimbangan Glazing Pengemasan dan Pelabelan Penyimpanan dalam cold room Gambar 1. Diagram alir proses pemasakan udang di PT CPB Menurut Crowly (2001), metode dasar dari pemasakan komersil seafood ada tiga yaitu: pemasakan dengan steam, pemasakan dengan air panas dan pemasakan dengan udara panas. Prose pemasakan di PT CPB memakai steam sebagai sumber panasnya dan memanfaatkan pindah panas konduksi dan konveksi dalam prosesnya. Mesin pemasak yagn digunakan pada penelitian ini adalah mesin Cabinplant cooker. Mesin ini mampu memenuhi kapasitas produksi pemasakan 1000 kg/jam. Steam, yang dijadikan sumber panas, dialirkan langsung merata dari bagian atas mesin ke produk dengan waktu 8

4 pemasakan antara 25 detik sampai 240 detik. Suhu yang digunakan yaitu 197 o F-203 o F atau sekitar 92 o C-113 o C (Crowly, 2001). Suhu pemasakan yang distandarkan pada mesin Cabinplant cooker di PT CPB yaitu 98 o C-99 o C. kisaran suhu ini juga banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan udang masak lainnya. Setelah proses pemasakan berakhir, kemudian dilanjutkan dengan pendinginan dalam air yang telah ditambahkan serpihan es (flake es) dan garam 2% sampai suhu dibawah 5 o C yang berfungsi sebagai shock chilling yang bertujuan agar mikroba yang belum tereduksi selama pemasakan tidak tumbuh lagi. Selain itu, suhu dingin pada udang juga diperlukan karena setelah proses pemasakan, akan dilanjutkan pada proses pembekuan sehingga produk akan lebih cepat beku dan beban refrigerasi dapat dikurangi. Proses pembekuan dilakukan dengan menggunakan system tunnel freezer, penimbangan, glazing, dikemas dan diberi label, dan tahap akhir adalah penyimpanan di cold room. C. MUTU PRODUK UDANG BEKU Salah satu metode penilaian mutu produk perikanan yaitu dengan penilaian subjektif. Penilaian subjektif yang disebut juga penilaian organoleptik, menggunakan panca indra pengamat untuk menilai faktor mutu yang umumnya dikelompokkan atas penampakkan, bau, citarasa dan tekstur. Sifat organoleptik yang berhubungan dengan sifat fisik sangan memegan peran penting terutama untuk menentukan komoditas yang masih segar atau sudah busuk (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Berdasarkan penampakan, untuk udang masak, daging udang yang telah matang berwarna putih susu. Penilaian mutu secara organoleptik selain penampakan adalah tekstur dan rasa. Tekstur yang palin bagus pada udang masak adalah elastic, kompak dan padat kenyal. Untuk produk udang masak, kematangan juga sangat berpengaruh terhadap tekstur. Udang yang terlalu matang akan merusak tekstur. Udang yang terlalu lembek dan sangat lunak juga tidak bagus bagi tekstur udang (AOAC, 2000). Udang dan produk perikanan lainnya pada umumnya mempunyai sifat cepat busuk dan mutunya identik dengan kesegarannya. Proses pembusukan atau penurunan mutu pada udang dan produk perikanan lainnya terutama disebabkan oleh kegiatan enzim dan bakteri. Untuk mempertahankan suhu agar dibawah suhu pertumbuhan mikroba, biasanya ditambahkan sejumlah es (Moeljanto, 1992). Ada tiga penyebab terjadinya penurunan mutu udang menurut Purwaningsih (2000), yang pertama adalah penurunan secara autolisis dimana terjadinya penurunan ini diakibatkan oleh kegiatan enzim didalam tubuh udang yang tidak terkendali sehingga senyawa kimia pada jaringan tubuh terurai. Diantara proses enzimatis yang sangat mempengaruhi rupa udang selama proses penanganan adalah pembentukan bercak hitam (black spot) akibat melanosis. Gejalanya adalah penghitaman pada kepala, ruas-ruas dan ekor. Penyebabnya adalah enzim dalam udang yang melalui suatu rangkaian reaksi, mengoksidasi senyawa-senyawa tertentu, menghasilkan pigmen melanin berwarna hitam, proses melanosis ini sangat dipengaruhi oleh keadaan kering, adanya oksigen, suhu tinggi dan faktor waktu (Ilyas, 1993). Menurut Bileye dkk (1960), bercak hitam itu adalah senyawa melanin, hasil keja dari enzim oksidatif tyrosinase atau Polyphenol Oxidase (PPO) yang mengkatalisis reaksi mengubah tyrosin (substrat) menjadi melanin yang berwarna hitam. Black spot tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak juga mengubah rasa maupun aroma tetapi memperburuk penampakan pada udang sehingga, produk akan ditolak oleh konsumen. Enzim PPO, yang merupakan penyebab terjadinya blackspot, 9

5 banyak terdapat pada lapisan kutikula dan hemolymph pada crustaceans dan serangga. PPO berperan penting dalam pengerasan kulit dari chitin selama siklus pertumbuhannya, sehingga banyak terjadi pada produk udang berkulit (shell-on). Penurunan mutu yang kedua adalah penurunan mutu secara bakteriologi yaitu suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir dari permukaan tubuh daging udang yang terurai dan menimbulkan bau busuk. Penurunan mutu yang ketiga adalah penurunan mutu secara oksidasi, penurunan mutu ini biasanya terjadi pada udang yang kandungan lemaknya tinggi. Lemak pada udang akan dioksidasi oleh oksigen yang berada di udara sehingga menimbulkan bau dan rasa tengik (Purwaningsih, 2000). Perubahan mutu yang sangat berisiko dalam produk udang masak adalah perubahan mutu teknologi. Salah satunya adalah terjadinya susut masak pada produk udang yang diakibatkan oleh kehilangan sejumlah air yang terdapat didalam udang yang terjadi karena pengaruh suhu pemanasan dari proses pemasakan. Nilai susut masak dipengaruhi oleh daya ikat air/water holding capacity (WHC), kelarutan protein dan nilai ph. Dari sisi ekonomi, produk yang mengalami susut masak tinggi menyebabkan kehilangan berat yang cukup besar. Hal ini tidak diinginkan oleh perusahaan karena dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi susut masak pada produk udang adalah melakukan proses perendaman menggunakan polifosfat dan garam sebelum dilakukan proses pemasakan. D. PENGARUH POLIFOSFAT TERHADAP SUSUT MASAK Polifosfat adalah komponen kimia yang berfungsi sebagai buffer, sekuestran dan sebagai polimer yang berperan meningkatkan kekuatan ionic. Pada umumnya fosfat digunakan sebagai bahan tambahan pangan pada bermacam makanan termasuk daging, unggas dan produk perikanan. Melalui reaksi kimia antar komponen makanan dengan bahan tambahan lain, fosfat akan mempengaruhi daya ikat air, warna, pengawetan dan penanganan berbagai jenis makanan (Sofos, 1986). Polifosfat merupakan salah satu jenis garam alkali fosfat yang sering digunakan oleh industri yang ditujukan untuk memperbaiki mutu produk, salah satunya adalah mengurangi susut masak. Pada daging alkali fosfat berfungsi untuk meningkatkan daya ikat air/water Holding Capacity (WHC) oleh protein daging, mereduksi pengerutan daging dan memperbaiki tekstur, sehingga dapat mengurangi susut masak. Daya ikat air oleh protein atau water holding capacity (WHC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemanasan, penggilingan, pengadukan dan tekanan. Absorpsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan. Air yang berada pada otot daging minimal ada dalam dua kondisi dan dalam setiap kondisi tersebut proporsinya terikat atau bebas. Hamm (1960) menjelaskan bahwa tidak lebih dari 5 persen total air dalam otot daging dapat secara langsung terikat pada grup hidrofilik dalam protein. Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4 5 % sebagai lapisan monomolecular pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4% dan lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air 10

6 terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan jumlah air terikat yang lebih lemah yaitu lapisan air diantara molekul protein akan menurun bila protein mengalami denaturasi (Wismer-Pedersen, 1971). Hampir semua air dalam urat daging berada dalam myofibril, dalam ruang antara filamen yang tebal dari myosin dan filamen tipis dari aktin/tropomiosin. Ruang interfilamen (menurut hasil pengamatan) berukuran antara 320 Ǻ dan 570 Ǻ; ukuran tersebut ada hubungannya dengan ph, panjang sarkomere, kekuatan ionik, tekanan osmotic dan apakah otot daging tersebut dalam keadaan pre- atau postrigor (Offer dan Trinick, 1983). Dalam penelitian yang mendetail tentang myofibril, Offer dan Trinick (1983) melaporkan suatu kenyataan dalam menunjang pandangan mereka bahwa hampir semua air yang ada dalam otot daging ditahan oleh tenaga kapiler diantara filamen-filamen tebal dan tipis. Filamen tipis mempunyai diameter kira-kira 1µm pada setiap jalur Z dan merupakan ban I-nya sarkomer. Filamen tipis terutama terdiri dari molekul-molekul protein aktin, sehingga disebut juga filamen aktin (Forrest et al., 1975; Lawrie, 1979; Swatland, 1984) (Gambar 2). Myosin adalah protein filamen tebal yang dominan dan proporsi asam-asam amino basic dan asidiknya tinggi. Myosin memiliki ph isoele ktrik kira-kira 5,4, mengandung asam amino prolin yang lebih rendah dan lebih fibrus dari aktin. Struktur molekul myosin berbentuk seperti batang korek api dengan bagian tebal pada salah satu ujungnya. Bagian tebal ini disebut kepala myosin yang berjumlah dua buah, dan bagian yang seperti batang panjang disebut ekor myosin. Bagian antara kepala dengan ekor disebut leher myosin (Gambar 3). Gambar 2. Struktur Sarkolema (Soeparno, 2005) Gambar 3. Struktur Miosin (Soeparno, 2005) WHC dipengaruhi oleh ph (Bouton et al., 1971; Wismer-Pedersen, 1971). WHC menurun dari ph tinggi sekitar 7 10 sampai pada ph titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0 5,1. Pada ph isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada ph yang lebih tinggi dari isoelektriknya protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air (Gambar 4). Demikian pula pada ph lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat ekses muatan positif yang 11

7 mengakibatkan penolakan miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekulmolekul air. Jadi pada ph lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik proteinprotein daging, WHC meningkat (Gambar 5). Hanya sangat jarang ph jatuh dibawah 5,0, karena enzim yang mempengaruhi glikolisis pascamati cenderung dinonaktifkan pada saat ph turun sampai 5,4 5,5 yaitu titik isoelektrik protein otot daging. Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan ph otot postmortem, menurunkan WHC daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelektrik protein myofibril, filamen myosin dan filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang diantara filamen-filamen ini menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP serta pembentukan ikatan diantara filamen pada saat rigormortis menyebabkan penurunan WHC. Penurunan ph yang cepat karena pemecahan ATP akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan WHC protein (Bendall, 1960). Dua pertiga penurunan WHC otot sapi adalah karena pembentukan aktomiosin dan menjadi habisnya ATP pada saat rigor, dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan ph (Hamm, 1960). Gambar 4. Pengaruh ph terhadap Struktur Protein (Warriss, 2004). Gambar 5. Pengaruh ph terhadap kelarutan protein daging (Warriss, 2004) Pemasakan menyebabkan perubahan WHC karena adanya solubilitas protein daging. Temperatur tinggi meningkatkan denaturasi protein dan menurunkan WHC (Bouton dan Harris, 1971). Pada temperatur 30 dan 40 o C, protein myofibril mulai mengalami koagulasi dan pada temperatur 55 o C, protein myofibril mengalami denaturasi sempurna (Locker, 1956). Pada temperatur 60 o C, protein sarkoplasmik hamper mengalami denaturasi sempurna (Bendall, 1960). WHC mengalami perubahan besar dengan pemanasan pada temperatur 60 o C (Hamm, 1960). Bendall dan Restall (1983) menyimpulkan bahwa sifat dari suatu potongan daging yang besar bila dibuat stew (yaitu 12

8 dimasak/dipanasi dalam media cair) dapat dijelaskan dalam 4 fase. Pertama, suatu kehilangan cairan dari zat-zat myofibril ke dalam ruang-ruang ekstraseluler pada proteinprotein sarkoplasma dan myofibril terdenaturasi pada suhu antara o C tanpa diikuti pemendekan; Kedua, kehilangan cairan yang cepat dari myofibril pada saat temperature meningkat menjadi 60 o C; pada saat itu kolagen dari membrane basal mengalami pengerutan karena panas. Ketiga, pengerutan karena panas dari kolagen endomisium, perimisium dan epimisium pada suhu antara o C semakin banyak pengerutan, penurunan diameter miofiber dan kehilangan karena pemasakan. Keempat, selama pemanasan lebih lanjut atau diperpanjang ada konversi kolagen dari epimisium, sendomisium dan perimisium menjadi gelatin diikuti oleh pengempukan. Pemanasan udara kering juga mempengaruhi WHC daging. WHC menurun dengan meningkatnya temperatur pemanasan. Penurunan WHC pada pemanasan sampai temperatur 80 o C berhubungan dengan berkurangnya grup asidik. Hilangnya grup asidik ini meningkatkan ph daging, sehingga titik isoelektrik daging berubah dan berada pada ph yang lebih tinggi (Hamm, 1960). Selama proses pemasakan atau pemanasan terjadi peningkatan ph akibat hilangnya group asidik di dalam otot (Angsupanich dan Ledward, 1998). Disamping faktor ph dan pemasakan atau pemanasan, WHC daging juga dipengaruhi oleh spesies, umur dan fungsi otot (Wismer-Pedersen, 1971). Peningkatan kapasitas WHC kelihatannya lebih banyak disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam hubungan ion-protein; ada peningkatan ion K + dan peningkatan ion Ca ++. Semakin kuat ion-ion terikat oleh protein, akan semakin kuat pula pengaruh hidrasinya (Hamm, 1960). Penurunan WHC menyebabkan terjadinya susut masak. Susut masak merupakan fungsi dari temperature dan lama pemasakan. Disamping itu susut masak juga dipengaruhi oleh ph, panjang sarkomer serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging (Bouton et al., 1971). Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Perubahan nilai WHC dan denaturasi protein dipengaruhi oleh konsentrasi dan komposisi garam didalam otot. Hanya 4 5% dari total air terikat kuat didalam otot dan tidak dipengaruhi oleh perubuahan struktur dan muatan protein. Kebanyakan air yang ada didalam otot dipengaruhi oleh perubahan struktur dan muatan yang ada pada protein otot. Phosfat dan natrium klorida memberikan pengaruh terhadap nilai WHC baik pada daging maupun ikan (Greene, 1981). Pada garam dengan konsentrasi sangat rendah (0 0,1 M) peningkatan konsentrasi garam dapat menurunkan ruang antara filamen dan menyebabkan penyusutan serat otot. Pada konsentrasi garam yang lebih tinggi dari 0,1 M, ruang antara filamen meningkat seiring dengan peningkatan muatan negatif dan meningkatnya gaya tolak menolak protein otot. Peningkatan pembekakan filamen dapat juga terjadi karena dipolimerisasi filamen tebal, yang mendorong terjadinya disosiasi dari kompleks aktomiosin (Fennema, 1990). Pada konsentrasi diatas 1 M, ruang antara filamen makin tidak mengembang, sedangkan diatas 4,5 M, otot menyusut (Offer and Knight, 1988). Pada kekuatan ionik yang tinggi, garam mempunyai pengaruh dehidrasi; hidrasi maksimum bila kekuatan ionik sekitar 0,8 0,1. Ini setara dengan 5 8 % NaCl untuk daging tanpa dan dengan penambahan 60% air (Hamm, 1960). Selama beberapa tahun terakhir, penggunaan zat aditif dalam produksi pangan telah meningkat. Penambahan polifosfat pada daging dan produk perikanan dapat 13

9 mempengaruhi nilai WHC selama proses sehingga dapat meningkatkan berat produk tersebut. Pada dasarnya protein daging dibagi menjadi tiga bagian yaitu protein sarkoplasma, protein myofibril dan kolagen, elastin dan reticulum. Protein sarkoplasma memiliki sifat mudah larut air, memiliki kemampuan yang rendah dalam menjaga WHC dan emulsi, sedangkan protein myofibril memiliki sifat larut garam, larut pada suhu rendah (-4 o C 4 o C), memiliki kemampuan yang tinggi dalam menjaga WHC dan emulsi. Kolagen, elastin dan reticulum memiliki sifat larut pada suhu tinggi dan asam. Penggunaan polifosfat mempengaruhi protein myofibril (aktin dan myosin) yang dapat meningkatkan nilai WHC. Menurut Lindsay (1996), mekanisme yang digunakan alkalin phosfat dan polifosfat dalam meningkatkan hidrasi daging tidak dipahami dengan jelas. Hal ini bisa dipengaruhi oleh efek ph dan kekuatan ionik, dan interaksi spesifik anion phosfat dengan kation divalent dan myofibril protein. Fungsi dari phosfat adalah untuk memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin dan myosin sehinggan myosin akan lebih mudah larut dan sifat fungsionalnya lebih baik daripada aktomiosin ; meningkatkan ph, kekuatan ionik dan daya ikat air (WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen pemasakan (mengurangi susut masak) ; dan sebagai antioksidan (pengkelat ion divalent seperti Fe +2, Cu +2 ) mencegah oksidasi dan pembentukan flavor tengik. Menurut Thorarinsdottir et al. (2001) penggunaan polifosfat mempengaruhi hidrasi produk perikanan karena pengaruh dari ph, kekuatan ionik dan interaksi spesifik dengan protein myofibril sehingga efektif untuk meningkatkan WHC. Phosfat dapat meningkatkan WHC daging post mortem dengan cara meningkatkan ph daging sehingga muatan negatif dalam daging meningkat. Peningkatan muatan negatif meningkatkan gaya tolak menolak elektrostatik diantara protein serat daging sehingga WHC daging meningkat. Efeknya, susut masak produk rendah, stabilitas emulsi dan daya ikat produk akan lebih baik. Efektivitas phosfat dalam mempertahankan air didalam daging tergantung dari tipe phosfat yang digunakan, jumlah yang digunakan dan produk spesifik. Phosfat memberikan efek sinergis jika diaplikasikan bersama-sama garam (NaCl). Pada jumlah phosfat terbatas, garam akan mengembangkan protein miofibril protein sehingga dan dengan bantuan gaya dari luar (misalnya pengadukan) akan menyebabkan protein terlarut kedalam larutan garam. Protein terlarut akan membentuk matriks yang bisa mengikat air. Selama pemanasan, protein yang terlarut (terekstrak) akan terkoagulasi dan memberi efek pengikatan antar setiap partikel daging, mengikat air (meminimalkan susut masak) dan membentuk matriks yang koheren yang akan memerangkap lemak yang meleleh sehingga tidak keluar. Peningkatan konsentrasi garam yang digunakan akan meningkatkan jumlah protein yang terlarut (terekstrak). Penambahan garam akan berpengaruh besar pada peningkatan kekuatan ionik (ion Cl berfungsi untuk meningkatkan gaya tolak menolak pada protein otot sehingga WHC meningkat dan susut masak rendah. Dalam hubungan ini Offer dan Trinick (1983) telah melaporkan bahwa pirofosfat banyak menurunkan konsentrasi garam yang dibutuhkan untuk menghasilkan pembengkakan maksimum bila myofibril-miofibril diletakkan dalam larutan NaCl. Offer dan Knight (1988) mendiskusikan efek dari garam dan phosfat pada myofibril dan WHC didalam daging. Mereka menjelaskan ada tiga cara phosfat mempengaruhi WHC. Pertama, phosfat merupakan buffer yang baik, yang dapat membantu terjadinya depolimerisasi dari filamen tebal dan meningkatkan penyerapan air. Kedua, dengan adanya Mg 2+, pyophosfat dan triphosfat mengikat molekul myosin. Pyrophosfat berperan sebagai analog ATP dan berikatan dengan kepala myosin, ini bisa 14

10 mendorong terjadinya disosiasi aktomiosin. Ketiga, polifosfat dapat mengikat ekor myosin dan mendorong disosiasi dari filamen myosin. Schmidt, et al (1970) juga menjelaskan pengaruh garam dan phosfat didalam otot, disosiasi dari aktin dan myosin, dan kecenderungan melubangi filamen tebal sehingga terjadi dipolimerisasi. Faktor lain seperti konsentrasi ion (Mg 2+, Ca 2+, Cl - ) dan phosfat, suhu dan ph dipercaya dapat mempengaruhi bagaimana phosfat berinteraksi dengan otot. Polifosfat memiliki potensial yang bagus sebagai buffer awal daging postmortem ketika ph akan turun karena memiliki kapasitas buffer yang sangat bagus (Ellinger, 1972). Sebagai tambahan berbagai bentuk polifosfat sering digunakan secara luas untuk industri daging, unggas dan perikanan karena polifosfat dapat meningkatkan karakteristik daging selama proses. Keuntungan ini menghasilkan empat fenomena yang berbeda: meningkatkan ph, meningkatkan kekuatan ion, menghilangkan alkali metal dan disosiasi komlpleks aktomiosin (Hamm, 1960). Kekuatan ionik berhubungan dengan jumlah ion dalam larutan phosfat yang dapat meningkatkan jumlah ion yang dapat berinteraksi dengan protein dan meningkatkan hidrasi. Interaksi phosfat-protein melibatkan beberapa hubungan antara protein dan alkali metal hancur dan memungkinkan air untuk migrasi. Kemampuan phosfat untuk meningkatkan ph tidak diragukan lagi karena phosfat telah terbukti memiliki kapastas buffer yang baik (Ellinger, 1972). Phosfat tergolong senyawa yang tergolong GRAS (generally recognize as safe) dan harus digunakan sesuai dengan proses GMP (good manufacturing practices). Senyawa polifosfat diketahui tidak memiliki sifat beracun jika dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan peraturan international yang dikeluarkan oleh CODEX (Codex Alimentarius Commission 1992) penggunaan phosfat pada produk seafood tidak boleh lebih dari 0,5 % dalam bentuk P 2 O 5. Peraturan ini juga diterapkan oleh Europian Union Council on Foods penambahan maksimum phosfat pada produk makanan laut beku sebesar 5 g/kg. Di Indonesia peraturan penggunaan batas maksimum phosfat diatur didalam MENKES RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 yang juga menyatakan pada produk udang masak kandungan phosfat dalam bentuk P 2 O 5 tidak boleh lebih dari 0,5 %. Namun penggunaan fosfat berlebihan (konsentrasi >0,5%) memberikan citarasa menyimpang (pahit) dan bisa memberikan sensasi terbakar karena fosfor bila terpapar udara akan teroksidasi secara spontan menjadi fosfor pentaoksida, yang akan mengalami hidrolisis di dalam air menjadi asam fosfat kausatik. Cedera panas langsung ditimbulkan oleh partikel-partikel fosfor yang membakar, dank arena sifat eksplosif dari pembakaran spontan, partikel fosfor sering tertanam dibawah kulit (Soeparno, 2005). 15

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Optimasi Polifosfat 1. Pengaruh Terhadap Rendemen Rendemen dihitung berdasarkan kenaikkan berat udang setelah perendaman dibandingkan dengan berat udang sebelum perendaman yang

Lebih terperinci

PENGGUNAAN POLIFOSFAT UNTUK MEREDUKSI SUSUT MASAK SELAMA PRODUKSI SKALA INDUSTRI UDANG PUTIH

PENGGUNAAN POLIFOSFAT UNTUK MEREDUKSI SUSUT MASAK SELAMA PRODUKSI SKALA INDUSTRI UDANG PUTIH PENGGUNAAN POLIFOSFAT UNTUK MEREDUKSI SUSUT MASAK SELAMA PRODUKSI SKALA INDUSTRI UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) BEKU DI PT. CENTRALPERTIWI BAHARI LAMPUNG SKRIPSI IMAN INDRAJAYA F24070121 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditi hasil perikanan yang banyak digemari oleh masyarakat karena selain rasanya enak juga merupakan sumber protein hewani. Kandungan protein

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING KUALITAS DAGING Dalam pengujian kualitas daging dipergunakan sampel-sampel : macam otot, penyiapan sampel. Uji fisik obyektif yang meliputi Keempukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena dagingnya selain rasanya enak juga merupakan bahan pangan sumber protein yang memiliki kandungan gizi lengkap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging Hasil pengujian nilai ph dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1 DAGING Theresia Puspita Titis Sari Kusuma There - 1 Pengertian daging Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat menguntungkan peternak di samping cara pemeliharaannya yang mudah dan sifatnya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh normal dan sehat, karena bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Persentase Komponen Karkas Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan

Lebih terperinci

Harryara Sitanggang

Harryara Sitanggang IV. Hasil Pengamatan & Pembahasan Penanganan pasca panen bukan hanya berlaku untuk produk pangan yang berasal dari tumbuhan atau biasa disebut produk nabati. Pemanenan dari komoditas hewani juga perlu

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan adalah udang putih (Litopenaeus vannamei), polifosfat ((NaPO 3 )n) dan garam (NaCl). Udang putih yang digunakan memiliki ukuran 31-40,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Itik afkir merupakan ternak betina yang tidak produktif bertelur lagi. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan sebagai bahan

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

DAGING. Pengertian daging

DAGING. Pengertian daging Pengertian daging DAGING Titis Sari Kusuma Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas pada bagian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kelangsungan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh nilai atau kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, karbohidrat, mineral, serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Daging itik mempunyai kualitas rendah karena bau amis, bertekstur kasar dan alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING ILMU PASCA PANEN PETERNAKAN (Kuliah TM 4; 23 Sept 2014) PROSES MENGHASILKAN DAGING TERNAK HIDUP KARKAS POTONGAN BESAR READY TO COOK Red meat White meat NAMP Meat Buyer

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang

Lebih terperinci

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN II Disusun oleh : Nur Aini Condro Wibowo Rumpoko Wicaksono UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Usaha untuk meningkatkan konsumsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) merupakan salah satu jenis ikan demersal yang mudah didapatkan di pasar Semarang. Ikan demersal adalah ikan yang hidup di dasar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami pemanasan sampai setengah matang (precooked), kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami pemanasan sampai setengah matang (precooked), kemudian TINJAUAN PUSTAKA Nugget. Nuget merupakan salah satu jenis produk beku siap saji yaitu produk yang telah mengalami pemanasan sampai setengah matang (precooked), kemudian dibekukan. Produk beku siap saji

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2012 DAFTAR ISI 1. Apa Kandungan gizi dalam Daging ayam? 2. Bagaimana ciri-ciri

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH Oleh : ROSIDA, S.TP,MP PENDINGINAN (Cooling / Refrigerasi) : Adalah penyimpanan bahan pangan (Nabati/Hewani) diatas suhu titik beku tetapi kurang dari 15oC Pendinginan merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air dan Aktivitas Air Kadar air dendeng hasil penelitian adalah 19,33%-23,82% dengan rataan 21,49±1,17%. Aktivitas air dendeng hasil penelitian sebesar 0,53-0,84 dengan nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan Pembuatan Yogurt 1. Pendahuluan Yoghurt merupakan salah satu olahan susu yang diproses melalui proses fermentasi dengan penambahan kultur organisme yang baik, salah satunya yaitu bakteri asam laktat. Melalui

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan masyarakat akan pemenuhan gizi pada masa kini. semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan masyarakat akan pemenuhan gizi pada masa kini. semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan masyarakat akan pemenuhan gizi pada masa kini semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi guna menunjang

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe II KAJIAN KEPUSTAKAAN 1.1 Kerbau Kerbau merupakan hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan pangan hewani (daging, telur, dan susu) dari waktu ke waktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan pola hidup,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7 Karakteristik fisik dan rendemen ikan nila menjadi surimi

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7 Karakteristik fisik dan rendemen ikan nila menjadi surimi 24 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Daging dan Surimi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Karakteristik daging dan surimi ikan nila meliputi fisik dan kimianya. Sifat fisik meliputi penampakan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie adalah produk pasta atau ekstruksi yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia (Teknologi Pangan

Lebih terperinci

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN Oleh : Ermi Sukasih, Sulusi Prabawati, dan Tatang Hidayat RESUME Santan adalah emulsi minyak dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea. Langkah 3 Penggunaan formalin: Pembunuh kuman sehingga dimanfaatkan untuk pembersih: lantai, kapal, gudang, pakaian. Pembasmi lalat dan berbagai serangga lain. Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna,

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR Sri Purwaningsih 1, Josephine W 2, Diana Sri Lestari 3 Abstrak Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK

PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap 2015-2016 BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jenderal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf 4.1.1 Daya Ikat Air Meatloaf Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang rawan ayam terhadap daya

Lebih terperinci

Penambahan Bahan Pengikat pada Nugget Itik Serati (The Addition of Binder Matter on Waterfowls Nugget)

Penambahan Bahan Pengikat pada Nugget Itik Serati (The Addition of Binder Matter on Waterfowls Nugget) Penambahan Bahan Pengikat pada Nugget Itik Serati (The Addition of Binder Matter on Waterfowls Nugget) Nurzainah Ginting Staf Pengajar Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging yang dicetak, dimasak dan dibekukan serta terbuat dari campuran daging giling yang diberi bahan

Lebih terperinci

9/6/2016. Hasil Pertanian. Kapang; Aspergillus sp di Jagung. Bakteri; Bentuk khas, Dapat membentuk spora

9/6/2016. Hasil Pertanian. Kapang; Aspergillus sp di Jagung. Bakteri; Bentuk khas, Dapat membentuk spora KULIAH KE 8: PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PASCA PANEN & NILAI TAMBAH TIK: Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat menjelaskan berbagai teknologi pasca panen untuk memberi nilai tambah. Agricultural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan bahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90%,

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Sosis merupakan produk olahan hewani dengan nilai g1z1 yang tinggi

BABI PENDAHULUAN. Sosis merupakan produk olahan hewani dengan nilai g1z1 yang tinggi BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sosis merupakan produk olahan hewani dengan nilai g1z1 yang tinggi ditinjau dari kandungan asam amino yang lengkap dalam protein daging, hal ini memungkinkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan

Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan 1 P a g e Menerapkan Teknik Pemanasan Tidak Langsung dalam Pengolahan KD 1: Melakukan Proses Pengasapan Ikan Pengasapan Ikan Menurut perkiraan FAO,2 % dari hasil tangkapan ikan dunia diawetkan dengan cara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang diijinkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang diijinkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakso Bakar Bakso merupakan produk daging olahan yang berasal dari daging sapi. Menurut SNI 01 3818 1995 definisi dari bakso daging yaitu produk makanan yang berbentuk bulat,

Lebih terperinci

Pendinginan dan Pembekuan. Kuliah ITP

Pendinginan dan Pembekuan. Kuliah ITP Pendinginan dan Pembekuan Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pendinginan dan pembekuan, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pendinginan dan pembekuan terhadap mutu pangan Indikator

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan salah satu komoditi pertanian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein, karena daging mengandung protein yang bermutu tinggi, yang mampu menyumbangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka pemikiran, dan (6) Hipotesis. 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Pangsa Ekspor Udang Indonesia Menurut Pasar Tujuan Utama Negara Tujuan ekspor Persentase Jumlah (kg) Nilai (US$)

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Pangsa Ekspor Udang Indonesia Menurut Pasar Tujuan Utama Negara Tujuan ekspor Persentase Jumlah (kg) Nilai (US$) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang merupakan komoditi perikanan Indonesia yang kian mengalami peningkatan permintaan ekspor udang per tahun. Potensi ekspor udang meningkat dari 251.763 ton pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

TELUR ASIN PENDAHULUAN

TELUR ASIN PENDAHULUAN TELUR ASIN PENDAHULUAN Telur asin,merupakan telur itik olahan yang berkalsium tinggi. Selain itu juga mengandung hampir semua unsur gizi dan mineral. Oleh karena itu, telur asin baik dikonsumsi oleh bayi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Analisa kadar air dilakukan untuk mengetahui pengaruh proporsi daging dada ayam dan pisang kepok putih terhadap kadar air patties ayam pisang. Kadar air ditentukan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi masyarakat, mempengaruhi meningkatnya kebutuhan akan makanan asal hewan (daging). Faktor lain

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Maksud Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, (6) Kerangka Pemikiran,

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI Oleh : Indah Asriningrum 0333010052 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dari pada daging domba dan sapi sehingga tingkat konsumsi daging itik di

TINJAUAN PUSTAKA. dari pada daging domba dan sapi sehingga tingkat konsumsi daging itik di TINJAUAN PUSTAKA Daging Itik Itik manila (entog) merupakan unggas air yang banyak tersedia dipasar setia budi. Selama ini entok masih dimanfaatkankan sebagai penghasil telur dan sebagai sarana pengeram

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK (Laporan Penelitian) Oleh RIFKY AFRIANANDA JURUSAN TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan 1 Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan Pengertian Abon Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging (sapi, kerbau,

Lebih terperinci

TEKNOLOGI TELUR. Pada umumnya telur mempunyai 3 struktur bagian, yaitu :

TEKNOLOGI TELUR. Pada umumnya telur mempunyai 3 struktur bagian, yaitu : TEKNOLOGI TELUR STRUKTUR UMUM TELUR Pada umumnya telur mempunyai 3 struktur bagian, yaitu : Kulit Telur Mengandung Ca = 98.2 % Mg = 0.9 % ( menentukan kekerasan cangkang/kulit); P = 0.9%. Ketebalan yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Berpikir, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat dan Waktu

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN SOSIS AYAM

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN SOSIS AYAM LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN SOSIS AYAM Penyusun: Haikal Atharika Zumar 5404416017 Dosen Pembimbing : Ir. Bambang Triatma, M.Si Meddiati Fajri Putri S.Pd, M.Sc JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI. Oleh : Rendra Eka A FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN MUTU IKAN SEGAR SECARA SENSORI, KIMIAWI, DAN MIKROBIOLOGI Oleh : Rendra Eka A 1. Kemunduran mutu ikan segar secara sensori umumnya diukur dengan metode sensori

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan,

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI 1 Sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk olahan Pengolahan : Menambah ragam pangan Perpanjang masa simpan bahan pangan Bahan Pangan 2 Komponen Utama Penyusun Bahan Pangan

Lebih terperinci

INOVASI PEMBUATAN SUSU KEDELE TANPA RASA LANGU

INOVASI PEMBUATAN SUSU KEDELE TANPA RASA LANGU INOVASI PEMBUATAN SUSU KEDELE TANPA RASA LANGU Oleh: Gusti Setiavani, S.TP, M.P Staff Pengajar di STPP Medan Kacang-kacangan dan biji-bijian seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji kecipir, koro, kelapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi manusia. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino essensial yang lengkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan dalam pembuatan selai adalah buah yang belum cukup matang dan

BAB I PENDAHULUAN. bahan dalam pembuatan selai adalah buah yang belum cukup matang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi pangan semakin maju seiring dengan perkembangan zaman. Berbagai inovasi pangan dilakukan oleh beberapa industry pengolahan pangan dalam menciptakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat Fisik dan Biokimia Daging sebagai Bahan Pembuat Bakso. Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat Fisik dan Biokimia Daging sebagai Bahan Pembuat Bakso. Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisik dan Biokimia Daging sebagai Bahan Pembuat Bakso Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Daging juga mempunyai kandungan asam amino esensial

Lebih terperinci