HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. STANDARISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN KALIO DALAM KALENG 1. Pengukuran Sifat Fisik dan Penilaian Sensori Kalio Komersil Penentuan karakteristik produk optimum pada uji formulasi dilakukan dengan benchmarking terhadap karakteristik terukur kalio komersial dari beberapa rumah makan khas padang di lingkungan kampus IPB Darmaga. Karakteristik terukur yang dimaksud meliputi viskositas bumbu, warna daging, serta nilai kekerasan daging, yang disajikan dalam Tabel 3. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1,3, dan 5. Parameter Pengukuran Viskositas Bumbu (cp) Warna Daging Tabel 2. Rekapitulasi nilai sifat fisik terukur dari produk acuan Produsen RM. 1 RM. 2 RM. 3 Rataan SD SEM 1, , , , L A B Kekerasan Daging 20, Overload 21, , Secara visual, ketiga produk rendang tersebut berwarna kuning kecoklatan dan mengkilat karena kandungan minyak di dalamnya. 2. Standarisasi Resep/Formula Rendang Standarisasi formula dimulai dengan melakukan pengujian resep dengan pemasakan konvensional. Resep kalio yang digunakan disajikan dalam Tabel 4. Secara umum, kalio yang diperoleh dengan pemasakan tradisional ini memiliki karakter sensori yang baik dan layak disebut sebagai kalio. Menurut Mainofri (1990), daging has luar menghasilkan rendang dengan tekstur yang lebih baik dibanding lamusir. Pada tahap ini dilakukan pula penggantian santan alami dengan santan kental siap pakai merek Kara. Penggunaan santan komersil yang telah terstandarisasi ini memudahkan proses produksi dan standarisasi mutu produk. Dilakukan percobaan dengan basis bobot bumbu kalio mentah sebanyak 500 g, dengan penyesuaian jumlah masing-masing bumbu mengacu pada Tabel 3. Variasi jumlah santan yang digunakan yaitu 30%, 40%, 50%, dan 60%. Hasil percobaan tersebut disajikan dalam Tabel 4. 28

2 Tabel 3. Perbandingan komposisi bumbu kalio Komponen Bumbu Cabe merah Bawang merah Bawang putih Kunyit Lengkuas Jahe Sereh Daun jeruk Daun kunyit Kulit jeruk limau Kapulaga Kayumanis Cengkih Pekak Pala Jinten Merica Santan Serundeng Garam Resep Untuk 2 Kg Daging 250 g 500 g 250 g 1 ruas jari 100 g 50 g 6 lembar 10 lembar 2 lembar 4 butir 1 genggam dari 3 butir kelapa berukuran sedang 200 g Secukupnya Tabel 4. Hasil percobaan penggantian santan alami dengan santan kental siap pakai Jumlah Santan (%) Karakteristik Organoleptik 30 Rasa kurang gurih, secara keseluruhan lebih mirip dengan balado 40 Rasa kurang gurih, belum mendekati karakteristik kalio yang diinginkan 50 Rasa gurih pas, secara keseluruhan mendekati karakteristik kalio yang diinginkan 60 Rasa terlalu gurih, rasa dan aroma rempah kurang tajam Berdasarkan hasil percobaan seperti yang disajikan dalam Tabel 5, digunakan proporsi santan sebanyak 50% yang menghasilkan karakteristik sensori mendekati produk acuan. Dengan demikian, diperoleh proporsi bumbu standar sebagai berikut (Tabel 5). 3. Standarisasi Proses Pembuatan Kalio untuk Proses Pengalengan Setelah dilakukan standarisasi formula kalio, selanjutnya dilakukan standarisasi proses pembuatan rendang dalam kaleng, yang meliputi penyesuaian tingkat kematangan bumbu dan daging pada saat filling, perbandingan jumlah bumbu dan daging (filled weight), serta lama waktu blansir daging dan exhausting. Penyesuaian kondisi proses pengalengan dilakukan untuk memperoleh produk kalio dalam kaleng yang memiliki karakteristik sensori mendekati kalio dengan pemasakan konvensional. 29

3 Tabel 5. Proporsi bumbu kalio standar yang digunakan Komponen Bumbu Jumlah (%) Cabe merah 8.0 Bawang merah 16.0 Bawang putih 8.0 Kunyit 0.4 Lengkuas 3.4 Jahe 1.7 Sereh 1.7 Daun jeruk 0.4 Daun kunyit 1.2 Kulit jeruk limau 0.4 Kapulaga 0.2 Kayumanis 0.2 Cengkih 0.2 Pekak 0.2 Pala 0.2 Jinten 0.2 Merica 0.6 Santan 50.0 Serundeng 5.0 Garam 2.0 Total 100 Mula-mula dilakukan penentuan tingkat kematangan daging pada saat pengisian ke dalam kaleng. Dilakukan dua perlakuan percobaan tingkat kematangan daging, yaitu mentah dan tanpa proses blansir (a) dan dimasak setengah matang bersama bumbu selama 30 menit (b). Skema dari kedua perlakuan tersebut disajikan dalam Gambar 10 dan 11. Bumbu I meliputi rempah-rempah yang dihaluskan, yaitu cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe, kapulaga, pala, jinten, dan merica. Sedangkan bumbu II meliputi rempah-rempah yang tidak dihaluskan. Proses blansir tidak diikutsertakan pada perlakuan (a) dengan pertimbangan bahwa proses exhausting dengan suhu 80 C selama 5 menit yang dilakukan mampu menghilangkan udara yang terperangkap dalam daging. Selain itu dihawatirkan proses blansir yang dilakukan dengan suhu minimum 80 C akan menyebabkan denaturasi protein daging. Denaturasi protein ini, selain menyebabkan keluarnya sebagian cairan daging bersama komponen gizi larut air, juga dihawatirkan akan merubah struktur daging dan menghambat pentrasi bumbu ke dalam daging selama pemanasan di dalam retort. Sedangkan perlakuan (b) dilakukan dengan tujuan meresapkan bumbu ke dalam daging sebelum dilakukan proses pemanasan di dalam retort, sehingga diharapkan bumbu akan lebih meresap ke dalam daging. Selain itu juga menghindari kehilangan kehilangan komponen gizi larut air. 30

4 Santan Bumbu II Pemasakan sampai mendidih Pemasakan I Alat masak Bumbu I Blender Penghancuran dan pencampuran Serundeng Pemasakan II Daging Pengisian ke dalam kaleng Exhausting (80 o, ± 5 menit) Exhaust Box Double seaming Double seamer Sterilisasi (121 o C, t P 60 menit) Pendinginan Retort Produk rendang daging sapi dalam kaleng Gambar 10. Diagram alir pengalengan kalio langsung dari daging mentah (perlakuan a) Pemasakan bumbu bertujuan membentuk warna dan aroma rendang sebelum dimasukkan ke dalam kaleng. Lama waktu pemasakan sangat bergantung pada banyaknya bahan yang dimasak. Sebanyak 500 g bumbu mentah memerlukan waktu pendidihan santan selama 5 menit, pemasakan I selama 15 menit, dan pemasakan II selama 10 menit. Pemasakan II dihentikan saat mulai tercium aroma rendang dan fraksi minyak dari santan mulai terpisah. Demikian pula untuk pemasakan bumbu yang disertakan daging di dalamnya. Hasil pengamatan terhadap kedua perlakuan tersebut disajikan dalam Tabel 6. 31

5 Santan Pemasakan sampai mendidih Bumbu I Daging Bumbu II Pemasakan I Alat masak Blender Penghancuran dan pencampuran Serundeng Pemasakan II Pemasakan sampai daging setengah matang Pengisian ke dalam kaleng Exhausting (80 o, ± 5 menit) Exhaust Box Double seaming Double Sterilisasi (121 o C, t P 60 menit) Pendinginan Retort Produk rendang daging sapi dalam kaleng Gambar 11. Diagram alir pengalengan kalio dari daging yang dimasak terlebih dahulu bersama bumbu (perlakuan b) 32

6 No. Tabel 6. Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan (Tahap 1) Atribut Sensori 1 Tekstur daging 2 Konsistensi bumbu Perlakuan a (dari daging mentah) Keempukan tidak berbeda secara signifikan, tetapi lebih juicy Sangat encer Deskripsi Sensori 3 Rasa Lebih ringan dibanding (b) Lebih gurih 4 Warna Kuning kecoklatan, agak pucat 5 Aroma Khas kalio, tetapi terlalu ringan 6 Penyerapan bumbu Perlakuan b (dari daging setengah matang) Keempukan tidak berbeda secara signifikan, tetapi daging terkesan lebih kering Sedikit lebih kental, tetapi masih belum mendekati konsistensi bumbu kalio komersil Cukup baik, bumbu sedikit terasa di bagian dalam daging Perlakuan (a) menghasilkan konsistensi bumbu yang sangat encer, karena air dari dalam daging keluar selama sterilisasi. Hal ini juga berakibat pada pengenceran rasa bumbu, sehingga menjadi lebih ringan dibanding perlakuan (b). Berdasarkan penilaian secara subjektif, dari segi keempukan daging, warna, aroma, serta secara keseluruhan, keduanya tidak berbeda, tetapi belum diperoleh karakteristik produk yang diinginkan. Pengukuran terhadap konsistensi bumbu, warna daging, dan kekerasan daging tidak dilakukan secara objektif menggunakan instrumen karena secara visual telah tampak sangat jauh berbeda dengan produk acuan. Dengan pertimbangan bahwa proses pengalengan kalio langsung dari daging mentah akan lebih sederhana, baik dalam hal persiapan bahan sebelum filling maupun penentuan perbandingan bahan saat filling, maka digunakan prosedur tersebut untuk tahap selanjutnya. Memperhatikan konsistensi bumbu yang masih sangat encer, maka dilakukan percobaan berikutnya untuk memperoleh konsistensi bumbu yang diinginkan, yaitu dengan menyertakan proses blansir pada daging dan menyesuaian perbandingan jumlah daging dan bumbu saat filling. Proses blansir dalam hal ini terutama bertujuan untuk mengurangi air dari dalam daging yang dapat keluar saat sterilisasi dan berakibat pada pengenceran bumbu. Perlakuan selengkapnya disajikan dalam Tabel 8. Pemasakan bumbu dilakukan dengan basis seperti pada tahap pertama, yaitu 500 g bumbu mentah. Penggembungan yang mengakibatkan terjadinya buckling pada perlakuan a2 diduga akibat masih terdapatnya udara dalam daging mentah yang tidak keluar secara sempurna oleh proses exhausting, sehingga saat sterilisasi keluar dan memenuhi headspace, kemudian memuai karena panas dan mendesak volume kaleng sehingga terjadi penggembungan. Nilai viskositas bumbu produk acuan adalah 1, ± cp, dengan demikian perlakuan a1 lebih mendekati produk acuan dibanding perlakuan a2. 33

7 Tabel 7. Perlakuan dan Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan (Tahap 2) Perlakuan Hasil Keterangan Perlakuan a1 Perlakuan a2 Pemasakan I (sebelum penambahan serundeng) 100 C, 15 menit 100 C, 15 menit Pemasakan II (setelah penambahan serundeng 100 C, 10 menit 100 C, 20 menit Blansir pada daging sebelum 5 menit dengan filling medium uap jenuh Tidak dilakukan pada suhu 90 C, Perbandingan jumlah daging : bumbu saat filling 5 : 6 8 : 3 Buckling Tidak Ya Konsistensi Bumbu Lebih kental, 1, cp Karakteristik sensori (warna, aroma, dan rasa) Lebih encer, cp Khas kalio, tidak berbeda Proses blansir dengan uap jenuh pada suhu 90 C menyebabkan denaturasi protein dalam daging sehingga menyebabkan perubahan struktur dan secara tidak langsung menyebabkan perubahan tingkat kekerasan daging. Perubahan struktur daging pada kisaran suhu C terutama terkait dengan denaturasi termal protein miosin (40-60 C), aktin (66-73 C), dan penyusutan kolagen (56-62 C). Kontraksi protein ini menyebabkan pengeluaran air dari dalam daging, yang lazim disebut dengan susut masak (cooking loss) (Martens 1982 dalam Palka dan Daun 1999). Susut masak akibat proses blansir yang dilakukan pada penelitian ini berkisar antara 39.9% sampai 40.3%. Denaturasi protein daging yang semula dihawatirkan akan menghambat penetrasi bumbu ke dalam daging, ternyata tidak terlalu berpengaruh. Berdasarkan penilaian secara subjektif, tingkat peresapan bumbu ke dalam daging pada keduanya tidak berbeda. Secara keseluruhan, perlakuan a1 memberikan karakter produk yang lebih baik dibanding perlakuan a2, tidak menyebabkan penggembungan kaleng dan timbulnya buckling. Karena itu standar proses pengalengan yang diberlakukan untuk tahap berikutnya mengacu pada perlakuan a1 tersebut. Diagram alir standar proses pengalengan yang dimaksud disajikan dalam Gambar 12. Waktu yang diperlukan untuk setiap tahap pemasakan pada Gambar 12 berbeda untuk jumlah bumbu yang berbeda. Sebanyak 500 g bumbu mentah memerlukan waktu pemasakan I dan II masing-masing selama 15 dan 10 menit, sedangkan untuk 2 kg bumbu mentah memerlukan waktu pemasakan I dan II masing-masing selama 30 dan 25 menit. Selama pemasakan I dan II, rata-rata air yang menguap dari bumbu sebanyak %. Standardisasi konsistensi bumbu dilakukan dengan menambahkan air ke dalam bumbu jika air menguap terlalu banyak, dan dengan menguapkan kembali jika air masih terlalu banyak. Hal ini dilakukan karena di dalam bumbu hampir tidak terdapat komponen yang dapat mengakibatkan perubahan konsistensi bumbu akibat perubahan strukturnya selama pemanasan, seperti pati. Konsistensi bumbu hanya dipengaruhi oleh proporsi air dan padatan yang terdapat di dalamnya. 34

8 Santan Bumbu I Pendidihan Penghancuran dan pencampuran Pemasakan I Bumbu II Blender Pemasakan II Alat Masak Serundeng Pengisian ke dalam kaleng 100 g daging dan 120 g bumbu Potongan g Exhausting 80 C, 5 menit Exhaust Box Blansir 90 C, 5 menit Blancher Double seaming Double seamer Sterilisasi Retort Pendinginan Air mengalir Produk kalio daging sapi dalam kaleng siap makan (ready to eat) Gambar 12. Standar proses pembuatan kalio dalam kaleng 35

9 B. EVALUASI PENETRASI PANAS PADA PRODUK Evaluasi penetrasi panas dilakukan pada suhu 116 C (242 F) dengan waktu operator (t P ) 101 menit. Data yang diperoleh berupa plot suhu retort dan suhu produk terhadap waktu, seperti disajikan pada Gambar 13. Waktu venting diperoleh dari Darmadi (2010) yang menggunakan retort yang sama, yaitu 16 menit. Come up time pada suhu 111 C dan 116 C tercapai pada menit ke-17, sedangkan pada suhu 121 C tercapai pada menit ke ,0 250,0 200,0 T ( F) 150,0 100,0 50,0 0,0 Venting time (16 menit) CUT (17 menit) waktu pemanasan (menit) Suhu Retort (Tr) Suhu Produk (T) Gambar 13. Profil peningkatan suhu retort dan suhu coldest point produk dalam kemasan kaleng 307x113 pada suhu 116 C (241 F) Produk kalio merupakan produk semi basah dengan konsistensi cukup padat, sehingga penetrasi panas terjadi secara konduksi. Berdasarkan grafik tersebut, tampak bahwa penetrasi panas ke dalam produk terjadi cukup lambat, di mana suhu produk pada titik terdingin baru mulai mendekati suhu proses pada menit ke-100. Selain karena konsistensi produk yang cukup padat, kandungan lemak dari daging dan santan juga diduga memperlambat perambatan panas ke dalam produk. Pada suhu 100 C, konduktivitas termal minyak hanya sekitar W/(m.K), sedangkan konduktivitas termal air sebesar W/(m.K) (Toledo, 1991). Letalitas proses (Fo) dihitung dengan metode umum (grafik), yaitu dengan mengintegrasikan nilai lethal rate (Lr) terhadap waktu, seperti pada persamaan (1) dan (2). Nilai z yang digunakan adalah nilai z dari mikroba target, yaitu C. botulinum, sebesar 18 F. Gambar 14 menyajikan grafik letalitas parsial produk dengan interval waktu satu menit. Perhitungan nilai Fo dengan spreadsheet dilakukan dengan menghitung luas area di bawah Grafik pada Gambar 14 dengan metode trapesium, seperti pada persamaan (3). Perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran 8. Nilai Fo yang diperoleh dengan metode grafik ini adalah sebesar menit. Artinya, proses pemanasan yang dilakukan memberikan efek letalitas yang sama dengan pemanasan konstan pada suhu 121 C (250 F) selama menit. 36

10 Lr 0,3000 0,2500 0,2000 0,1500 0,1000 0,0500 0,0000 Lethal Rate (Lr) waktu pemanasan (menit) Gambar 14. Perubahan Lethal Rate Selama Pemanasan Nilai Fo dari metode grafik digunakan sebagai tolok ukur dalam penentuan parameter karakteristik penetrasi panas, yaitu f h dan j h, yang akan digunakan dalam perancangan jadwal proses. Penentuan kedua variabel tersebut dilakukan dengan metode formula, yaitu metode Ball. Gambar 15 menyajikan grafik (Tr-T) terhadap waktu (t). Persamaan yang diperoleh dari fase linier pada grafik tersebut yaitu y = e x. Berdasarkan perhitungan yang disajikan dalam Lampiran 9, diperoleh nilai f h dan j h masing-masing sebesar dan y = 390.9e -0.04x R² = ,0 10,0 100,0 Tr-T (F) waktu pemanasan (menit) Gambar 15. Profil Penetrasi Panas Rendang Daging Sapi dalam Kemasan Kaleng 307x113 pada Suhu 116 C (241 F) Nilai f h dan j h yang diperoleh selanjutnya digunakan dalam perancangan proses. Kedua nilai ini dapat digunakan untuk produk dan dimensi kemasan yang sama dengan suhu medium pemanas yang berbeda. Nilai f h dan J h yang tinggi menunjukkan penetrasi panas yang lambat ke dalam produk. Untuk dimensi kemasan yang berbeda, terdapat persamaan yang dapat digunakan untuk mengkonversi kedua persamaan tersebut (Sharma, S.K., et al, 2000). 37

11 C. PERANCANGAN JADWAL PROSES Jadwal proses meliputi waktu venting, waktu tercapainya suhu target (come-up-time), serta waktu sterilisasi. Waktu venting diperoleh dari Darmadi (2010) yang menggunakan retort yang sama, yaitu 16 menit. Come-up-time (t C ) diperoleh dari pengujian pada masing-masing suhu yang digunakan. Sedangkan waktu Ball diperoleh dari perhitungan dengan metode Ball, menggunakan nilai f h dan j h dari evaluasi penetrasi panas. Waktu proses (t P ) merupakan waktu Ball (t B ) dikurangi dengan 42% come up time. Tabel 8 menyajikan rekapitulasi perancangan proses untuk memperoleh nilai Fo 3, 10.7 dan 18 menit pada berbagai suhu (111 C, 116 C, dan 121 C). Perhitungan lengkap disajikan dalam Lampiran 12. Tabel 8. Rekapitulasi perancangan scheduled process Suhu 111 C (232 F) 116 C (241 F) 121 C (250 F) Fo (menit) t venting (menit) t C (menit) t B (menit) t P (menit) D. SUSUT MASAK DAN SIFAT FISIK KALIO Sifat fisik terukur yang diamati meliputi susut masak daging, kekerasan daging, warna daging, dan warna bumbu. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 sampai 16. Sampel daging yang digunakan untuk nilai Fo = 0 menit adalah sampel daging yang telah diblansir dengan medium uap jenuh pada suhu 90 C selama 5 menit, tetapi belum mengalami proses sterilisasi. Sedangkan sampel bumbu untuk nilai Fo = 0 menit merupakan bumbu yang telah ditumis dan belum mengalami proses sterilisasi. 1. Susut Masak Daging Selama Sterilisasi Grafik perubahan persentase susut masak daging disajikan dalam Gambar 16. Seperti tampak pada Gambar tersebut, umumnya susut masak semakin meningkat dengan semakin meningkatnya nilai Fo, dengan peningkatan yang sangat kecil. Sedangkan perbedaan suhu sterilisasi, dilihat dari error bar dalam grafik, tampak tidak memberikan pengaruh signifikan. Kurva tersebut memiliki pola yang sama dengan hasil pengamatan Combes et al (2003). Peningkatan suhu lebih dari 80 C dan perpanjangan waktu pemanasan (holding time) setelah 40 menit tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap susut masak daging. Menurut Laroche (1982) dalam Combes et al. (2003), susut masak terjadi secara singkat karena peningkatan suhu dan hanya bergantung pada suhu internal yang tercapai. Susut masak berkaitan erat dengan perubahan struktur daging, dengan demikian dapat menjelaskan perubahan tekstur daging selama pemasakan. Palka dan Daun (1999) 38

12 menemukan hubungan yang linier antara peningkatan susut masak dengan penyusutan sarkomer. air yang keluar dari daging (%) 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 3,0 10,7 18, Fo (menit) Gambar 16. Perubahan susut masak akibat perbedaan suhu dan nilai Fo pemanasan Akumulasi susut masak yang cukup tinggi terkait dengan nilai ph produk, yaitu sebesar Nilai ph yang semakin mendekati nilai ph isoelektrik ( ) menyebabkan daya ikat air daging menjadi rendah dan meningkatkan susut masak. Menurut Soeparno (2005), jus daging bernilai minimal saat nilai ph berada pada kisaran 6.0. Daging dengan ph tinggi akan mempunyai tingkat keempukan yang lebih tinggi dibanding daging dengan ph rendah. Kekerasan maksimal daging sapi dicapai pada ph 5.9, kemudian semakin menurun sampai kisaran ph (Soeparno, 2005). Semula diduga bahwa selama sterilisasi, daging masih dapat menyerap air dari bumbu sehingga meningkatkan bobot daging pada produk akhir. Akan tetapi, meningkatnya susut masak akibat sterilisasi menyebabkan bobot daging justru menurun, yaitu hanya 44.67±0.48%. 2. Kekerasan Daging Kekerasan merupakan atribut paling berpengaruh terhadap tekstur daging di antara beberapa atribut lain (kekenyalan, elastisitas, kekompakan, daya kunyah) (Wirakartakusumah et al., 1992), karena itu pada penelitian kali ini pengukuran tekstur daging dinyatakan dengan nilai kekerasan. Nilai tersebut diukur secara empiris menggunakan Texture Analyser TX2 dengan satuan gram force (gf). Perubahan nilai kekerasan daging disajikan dalam Gambar 17. Sampel dengan nilai Fo = 0 menit merupakan sampel yang telah mengalami proses blansir dan belum mengalami proses sterilisasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perubahan nilai kekerasan akibat peningkatan nilai Fo tidak terjadi secara linier. Memperhatikan besarnya nilai error bar, tampak bahwa suhu sterilisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai kekerasan daging pada nilai Fo yang sama. Artinya, sterilisasi dengan nilai Fo yang sama akan memberikan nilai kekerasan yang relatif sama meskipun dilakukan pada suhu yang 39

13 berbeda. Besarnya variasi hasil pengamatan merupakan akibat dari variasi biologis antar-otot dan antara otot yang berbeda (Tornberg, 2005). Kekerasan (gf) , , , , , , , , ,0 0, Fo (menit) 121 C 116 C 111 C Gambar 17. Perubahan Kekerasan Daging Akibat Perbedaan Suhu dan Fo Sebagaimana tergambar dalam grafik tersebut, nilai kekerasan daging menurun secara signifikan pada awal pemanasan sampai nilai Fo = 3 menit, kemudian cenderung meningkat sampai Fo 18 menit, meskipun peningkatannya terlihat tidak signifikan. Penurunan nilai kekerasan pada awal pemanasan sampai nilai Fo 3 menit diduga berkaitan dengan denaturasi kolagen, yang dapat terjadi pada suhu lebih dari 80 C. Sedangkan peningkatan nilai kekerasan pada pemanasan lanjut (Fo lebih dari 3 menit) diduga merupakan akibat dari penyusutan sarkomer yang terjadi secara terus menerus (Palka dan Daun, 1999). Melihat hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses pemanasan dengan nilai Fo=3 menit merupakan proses optimum untuk memperoleh nilai kekerasan daging yang baik (lembut). Berdasarkan pengamatan secara visual terhadap tekstur daging, tampak bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemanasan, serabut daging semakin besar dan rapuh, serta semakin mudah dipisahkan satu sama lain. Hal ini diduga karena selama pemasakan protein-protein sarkoplasmik juga teragregasi dan menyebabkan terbentuknya gel yang menghubungkan serabut-serabut miofibril dalam serabut otot (Tornberg, 2005), sementara jaringan ikat dalam lapisan endomisium, perimisium, dan epimisium semakin rusak sehingga menyebabkan daya ikat antar-serabut daging menjadi rapuh. 3. Warna Bumbu dan Daging Berdasarkan pengamatan secara visual, warna produk secara keseluruhan didominasi oleh warna bumbu, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 10. Nilai pengukuran warna bumbu maupun daging dinyatakan dengan skala CIE L*a*b*. Perubahan komponen warna keduanya disajikan dalam Gambar 18. Nilai L menunjukkan kecerahan, nilai a+ (positif) menunjukkan warna kromatik merah dengan kisaran 0 sampai +100, sedangkan nilai b+ menunjukkan warna kromatik kuning dengan kisaran 0 sampais +70 (Faridah et al., 2009). 40

14 Tabel 9. Penampakan Produk Secara Visual Suhu Fo = 3 menit Fo = 10.7 menit Fo = 18 menit 111 C 116 C 121 C Secara visual, seperti yang tampak pada Tabel 9, warna produk tidak terpengaruh secara signifikan baik oleh perubahan suhu maupun nilai Fo pemanasan. Sedangkan berdasarkan pengukuran secara objektif, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23, perbedaan suhu sterilisasi pada nilai Fo yang sama tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap komponen seluruh komponen warna (L, a, b) dari daging maupun warna bumbu, kecuali nilai kecerahan (L) bumbu. Untuk warna daging, nilai kecerahan (L) menurun pada awal pemanasan sampai Fo=3 menit, kemudian meningkat dengan perubahan yang tidak signifikan; sedangkan nilai a maupun b meningkat pada awal pemanasan, kemudian menurun dengan perubahan yang juga tidak signifikan. Untuk warna daging, perbedaan suhu di bawah 121 C tidak menunjukkan pengaruh signifikan, sedangkan pada suhu 121 C terlihat berpengaruh, dengan penurunan yang tidak signifikan akibat meningkatnya nilai Fo pemanasan. Dengan demikian pemanasan dengan suhu 121 C dapat meminimalisir penurunan nilai kecerahan, sehingga diharapkan kecerahan bumbu dapat terjaga lebih baik. Warna kecoklatan pada daging yang telah melalui proses pemasakan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu C (Soeparno, 2005). Warna bumbu terutama dibentuk oleh komponen rempah berpigmen, seperti kunyit (mengandung kurkumin), cabai merah (mengandung kapsanthin), serta beberapa jenis lainnya yang dapat menimbulkan komponen warna akibat pemanasan. Terdapat pula kemungkinan pengaruh warna hemoglobin daging yang tidak keluar sempurna pada saat proses blansir dan bercampur dengan bumbu saat sterilisasi. Dalam hal ini, optimasi kecerahan warna bumbu masih dapat dilakukan dalam tahap formulasi, yaitu dengan menambah atau mengurangi komponen yang paling berpengaruh terhadap warna. 41

15 Dapat juga ditambahkan gula untuk menimbulkan reaksi maillard yang akan membuat bumbu tampak lebih coklat. Nilai L daging 60,0 55,0 50,0 45,0 40,0 35,0 30, Fo (menit) 121 C 116 C 111 C Nilai L bumbu 60,0 55,0 50,0 45,0 40,0 35,0 30, Fo (menit) 121 C 116 C 111 C Nilai a daging 11,0 10,0 9,0 8,0 7,0 6,0 5, Fo (menit) C 116 C 111 C Nilai a bumbu 11,00 10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5, Fo (menit) 121 C 116 C 111 C Nilai b daging 28,0 26,0 24,0 22,0 20,0 18,0 16,0 14,0 12,0 10, Fo (menit) C 116 C 111 C Nilai b bumbu 28,00 26,00 24,00 22,00 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10, Fo (menit) 121 C 116 C 111 C Gambar 18. Perubahan Nilai Komponen-Komponen Warna Daging dan Bumbu Akibat Perbedaan Suhu dan Fo Memperhatikan hasil tersebut, optimasi proses dapat difokuskan pada perubahan tekstur daging. Berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya, nilai kekerasan dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan nilai Fo pada berbagai kombinasi suhu dan waktu. Artinya, pada rentang suhu C, hanya nilai Fo yang berpengaruh terhadap perubahan keduanya. Karena itu optimasi proses pada tahap berikutnya, yaitu uji organoleptik, dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi, yang memerlukan waktu pemanasan lebih singkat dibanding suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan nilai Fo yang sama. 42

16 E. EVALUASI ORGANOLEPTIK Evaluasi organoleptik yang dilakukan berupa uji afektif menggunakan skala kategori 7 poin. Panelis yang digunakan adalah panelis awam sebanyak 70 orang, yang merupakan representasi dari target konsumen, antara lain mahasiswa, ibu rumah tangga, wiraswasta, serta karyawan swasta. Respon panelis yang diperoleh adalah nilai kesukaan terhadap produk secara keseluruhan dan terhadap masing-masing atribut mutu sensori (warna, aroma, rasa, tekstur). Lembar kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 16. Tabulasi data uji rating hedonik secara keseluruhan dapat dilihat dalam Lampiran 17 dan 18. Dilakukan analisis ragam dengan taraf 5% terhadap nilai kesukaan panelis terhadap ketiga sampel, kemudian dilanjutkan dengan uji DMRT jika ditemukan perbedaan signifikan. Hasil analisis ragam dapat dilihat dalam Lampiran 20. Secara keseluruhan, perbedaan nilai Fo pemanasan (3, 10.7, dan 18 menit) tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan panelis terhadap atribut warna, aroma, tekstur, rasa, maupun terhadap produk secara keseluruhan, dengan skor rata-rata sekitar 5, atau agak suka, kecuali pada nilai kesukaan panelis terhadap warna produk dengan nilai Fo=18 menit, yaitu mendekati 6 atau suka. Rekapitulasi nilai-nilai tersebut disajikan dalam Tabel ,3 5,4 5,2 5,5 5,6 5,4 5,0 4,8 4,8 4,9 4,64,8 4,8 4,64,8 warna aroma tekstur rasa over all 3,0 10,7 18,0 Gambar 19. Grafik skor kesukaan panelis terhadap mutu sensori produk Selain nilai kesukaan, diperoleh pula respon panelis terhadap kelayakan produk yang dihasilkan untuk disebut sebagai kalio, serta atribut sensori yang paling mempengaruhi kesukaan panelis terhadap produk secara keseluruhan. Seperti tampak pada Gambar 19, sebanyak 97% dari 70 orang panelis menyatakan bahwa produk yang dihasilkan layak disebut sebagai rendang. Sebanyak 56% dari kelompok panelis yang menjawab ya memilih rasa sebagai atribut sensori yang paling mempengaruhi kesukaan terhadap produk secara keseluruhan. 43

17 Kelayakan Produk Disebut Sebagai Rendang Basah 3% Atribut Sensori yang Paling Mempengaruhi Kesukaan pada Produk Secara Keseluruhan 7% 18% 97% 56% 19% Ya Tidak warna aroma tekstur rasa Gambar 20. Respon panelis terhadap kelayakan produk disebut sebagai rendang dan atribut sensori yang paling mempengaruhi kesukaan pada produk secara keseluruhan Memperhatikan hasil tersebut, maka penentuan proses optimum dilakukan dengan mengambil proses yang paling efisien dalam hal waktu dan biaya, yaitu dengan suhu 121 C dan nilai Fo = 3 menit. Faktor kritis dalam hal ini hanya menyangkut level keamanan produk secara mikrobiologis. Nilai Fo = 3 menit sudah cukup untuk mereduksi 13 siklus log C. botulinum, dengan demikian sudah memenuhi standar perdagangan dunia menurut USDA-FSIS. Upaya meningkatkan nilai kesukaan konsumen masih dapat dilakukan dengan melakukan optimasi pada formulasi yang digunakan. F. ANALISIS PROKSIMAT PRODUK TERPILIH Analisis proksimat dilakukan terhadap produk terpilih, yaitu dengan proses pemanasan pada suhu 121 C dengan nilai Fo = 3 menit. Komposisi proksimat produk disajikan dalam Tabel 13. Menurut Thippareddi dan Sanchez (2006), denaturasi akibat panas selama sterilisasi tidak memberi pengaruh merugikan terhadap nilai gizi daging, kecuali pada produk daging yang diberi suhu terlalu tinggi yang mungkin dapat mengakibatkan degradasi asam amino lisin. Akan tetapi, proses blansir selama 5 menit dengan uap jenuh pada suhu 90 o C terhadap daging yang dilakukan sebelum proses sterilisasi dapat mengurangi kandungan vitamin larut air (B dan C) karena terbawa dalam cairan daging yang hilang. Menurut Lawrie (1998), keduanya juga akan mengalami kerusakan selama pemanasan dalam kaleng, sehingga nilai nutrisi daging yang diolah dengan sterilisasi komersial akan lebih rendah dibanding daging segar. Upaya untuk meminimalisir kehilangan komponen gizi dapat dilakukan dengan menghindari proses blansir, di antaranya dengan mengupayakan pemekatan bumbu lebih lanjut sebelum proses filling, sehingga konsistensi bumbu pada produk akhir tetap memenuhi nilai viskositas yang diinginkan. 44

18 Ulangan 1 2 K. Air (% BB) Tabel 10. Komposisi Kimia Produk Terpilih K. Protein (% BB) K. Lemak (% BB) K. Abu (% BB) K. KH (% BB) 62,50 17,24 17,69 2,42 0,14 62,59 16,86 18,03 2,44 0,09 60,55 17,91 18,69 2,27 0,57 62,02 16,99 17,87 2,27 0,85 Rataan 61,92 17,25 18,07 2,35 0,41 SD 0,94 0,47 0,44 0,09 0,36 SEM 0,54 0,27 0,25 0,05 0,21 45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN FORMULA SARI TEMPE TERPILIH Penentuan formula sari tempe terpilih dilakukan berdasarkan hasil uji rating hedonik. Hasil uji rating hedonik menunjukkan bahwa terdapat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Pada penelitian pendahuluan dilakukan kajian pembuatan manisan pala untuk kemudian dikalengkan. Manisan pala dibuat dengan bahan baku yang diperoleh dari

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Prosedur Penelitian

BAB III METODOLOGI. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Prosedur Penelitian BAB III METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan Agustus dan November 2011, yang berlokasi di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Mesin

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA) Cikaret, Bogor dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi. Pemotongan. Pembuangan lemak dan urat otot. Pencucian dengan air bersih (3-5x) Penirisan (5-10 menit)

TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi. Pemotongan. Pembuangan lemak dan urat otot. Pencucian dengan air bersih (3-5x) Penirisan (5-10 menit) II. TINJAUAN PUSTAKA A. KALIO Kalio merupakan salah satu produk pangan tradisional dari Sumatera Barat, umumnya dibuat dari bahan utama daging sapi yang dimasak dengan campuran bumbu dari rempah-rempah

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Setelah melakukan beberapa pengamatan dan pengujian maka peneliti menghasilkan satu produk baru dengan melakukan inovasi terhadap jajanan pasar Indonesia yaitu lemper,

Lebih terperinci

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN Oleh : Ermi Sukasih, Sulusi Prabawati, dan Tatang Hidayat RESUME Santan adalah emulsi minyak dalam

Lebih terperinci

PROSES PENGALENGAN KALIO DAGING SAPI DAN KAJIAN PENGARUH STERILITAS (Fo) PEMANASAN PADA BERBAGAI SUHU TERHADAP PERUBAHAN SIFAT FISIKNYA SKRIPSI

PROSES PENGALENGAN KALIO DAGING SAPI DAN KAJIAN PENGARUH STERILITAS (Fo) PEMANASAN PADA BERBAGAI SUHU TERHADAP PERUBAHAN SIFAT FISIKNYA SKRIPSI PROSES PENGALENGAN KALIO DAGING SAPI DAN KAJIAN PENGARUH STERILITAS (Fo) PEMANASAN PADA BERBAGAI SUHU TERHADAP PERUBAHAN SIFAT FISIKNYA SKRIPSI AWALIYATUS SHOLIHAH F4061375 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nasi Uduk Makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia adalah nasi. Menurut Kristiatuti dan Rita (2004) makanan pokok adalah makanan yang dapat dikonsumsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nasi Goreng Beras merupakan salah satu sumber makanan pokok yang biasa dikonsumsi masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Beras sebagaimana bulir serealia

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan 1 Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan Pengertian Abon Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging (sapi, kerbau,

Lebih terperinci

Berbagi Kehangatan Masakan Kambing Bango

Berbagi Kehangatan Masakan Kambing Bango Berbagi Kehangatan Masakan Kambing Bango Jelang Perayaan Idul Adha Daging Kambing Daging g kambing cukup menjadi favorit dan disukai oleh para penggemar kuliner Beberapa kendala yang ada berkaitan dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air dan Aktivitas Air Kadar air dendeng hasil penelitian adalah 19,33%-23,82% dengan rataan 21,49±1,17%. Aktivitas air dendeng hasil penelitian sebesar 0,53-0,84 dengan nilai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik Gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi rendemen, kekuatan gel dan viskositas. Pengujian fisik bertujuan untuk mengetahui nilai dari rendemen, kekuatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan Pengalengan nasi beserta lauk telah dilakukan di Filipina. Di Filipina nasi dan sosis babi kaleng diproduksi untuk kebutuhan anggota militer saat

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rempah basah (bawang putih, bawang merah, lengkuas, kunyit, dan jahe) serta rempah kering (kemiri, merica,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena dagingnya selain rasanya enak juga merupakan bahan pangan sumber protein yang memiliki kandungan gizi lengkap

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. OPTIMASI FORMULA 1. Penentuan Titik Maksimum Tahap awal dalam penelitian ini adalah penentuan titik maksimum substitusi tepung jagung dan tepung ubi jalar. Titik maksimum

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

Prinsip Kecukupan Proses Thermal

Prinsip Kecukupan Proses Thermal Prinsip Kecukupan Proses Thermal Prof., PhD Department of Food Science & Technology, and Southeast Asian Food & Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center, Bogor Agricultural University, BOGOR,

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK (Laporan Penelitian) Oleh RIFKY AFRIANANDA JURUSAN TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Persentase Komponen Karkas Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf 4.1.1 Daya Ikat Air Meatloaf Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang rawan ayam terhadap daya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas segar yang dibeli di Bogor (Pasar Gunung Batu, Jalan Perumahan Taman Yasmin, Pasar

Lebih terperinci

Prinsip Kecukupan Proses Thermal

Prinsip Kecukupan Proses Thermal Prinsip Kecukupan Proses Thermal Prof., PhD Department of Food Science & Technology, and Southeast Asian Food & Agricultural l Science & Technology (SEAFAST) Center, Bogor Agricultural University, BOGOR,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat 14 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni sampai September 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Laboratorium Percobaan Makanan, dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan,

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Daging itik mempunyai kualitas rendah karena bau amis, bertekstur kasar dan alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN SOSIS AYAM

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN SOSIS AYAM LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN SOSIS AYAM Penyusun: Haikal Atharika Zumar 5404416017 Dosen Pembimbing : Ir. Bambang Triatma, M.Si Meddiati Fajri Putri S.Pd, M.Sc JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. Menurut definisi dari Wikipedia, gulai adalah sejenis makanan berbahan

I. PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. Menurut definisi dari Wikipedia, gulai adalah sejenis makanan berbahan I. PENDAHULUAN Bab ini akan menjelaskan tentang : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian yang diteliti dalam penelitian ini mencakup analisis kualitas produk (Y 1 ) dan daya terima konsumen (Y 2 ) dan karupuak sanjai bumbu rendang

Lebih terperinci

bumbu adalah suatu bahan mempertinggi aroma makanan tanpa mengubah aroma bahan alami

bumbu adalah suatu bahan mempertinggi aroma makanan tanpa mengubah aroma bahan alami bumbu & rempah bumbu adalah suatu bahan mempertinggi aroma makanan tanpa mengubah aroma bahan alami rempah Adalah bagian tanaman yang ditambahkan pada makanan untuk menambah atau membangkitkan selera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usus sapi merupakan bagian dalam hewan (jeroan) sapi yang dapat. digunakan sebagai sumber bahan makanan hewani. Sebagian masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Usus sapi merupakan bagian dalam hewan (jeroan) sapi yang dapat. digunakan sebagai sumber bahan makanan hewani. Sebagian masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usus sapi merupakan bagian dalam hewan (jeroan) sapi yang dapat digunakan sebagai sumber bahan makanan hewani. Sebagian masyarakat menganggap usus sapi memiliki kolestrol

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena rasanya disukai dan harganya jauh lebih murah di banding harga daging lainnya. Daging

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Proses pengolahan bumbu pasta ayam goreng meliputi tahapan sortasi, penggilingan, penumisan, dan pengentalan serta pengemasan. Sortasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN FORMULA BURAS SEBAGAI PANGAN DARURAT 1. Formulasi Buras Bahan utama yang digunakan sebagai penyusun formulasi EFP buras ini yaitu beras IR-64, beras ketan putih (BK),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pasteurisasi dan Pendinginan Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pasteurisasi dan Pendinginan Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pasteurisasi dan Pendinginan Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100 o C) dengan tujuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

Mengenal Marinasi. Oleh Elvira Syamsir (Tulisan asli didalam Kulinologi Indonesia)

Mengenal Marinasi. Oleh Elvira Syamsir (Tulisan asli didalam Kulinologi Indonesia) Mengenal Marinasi Oleh Elvira Syamsir (Tulisan asli didalam Kulinologi Indonesia) Marinasi adalah proses perendaman daging didalam marinade, sebelum diolah lebih lanjut. Marinade adalah nama populer dari

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Kelinci Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci fryermerupakan karkas kelinci muda umur 2 bulan, sedangkan karkas kelinci

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Penambahan Pasta Tomat Terhadap Daya Ikat Air Naget Ayam. penambahan pasta tomat, disajikan pada Tabel 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Penambahan Pasta Tomat Terhadap Daya Ikat Air Naget Ayam. penambahan pasta tomat, disajikan pada Tabel 7. IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Penambahan Pasta Tomat Terhadap Daya Ikat Air Naget Ayam Hasil pengamatan daya ikat air naget ayam dengan tiga perlakuan penambahan pasta tomat, disajikan pada Tabel

Lebih terperinci

Pengawetan dengan garam, asam dan gula

Pengawetan dengan garam, asam dan gula Pengawetan dengan garam, asam dan gula Pengawetan dengan garam Garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Efek garam: saat aktivitas air menurun mikroorganisme terhambat.

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain talas bentul, gula pasir, gula merah, santan, garam, mentega, tepung ketan putih. Sementara itu, alat yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN NUGGET AYAM

LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN NUGGET AYAM LAPORAN PRAKTEK TEKNOLOGI MAKANAN PEMBUATAN NUGGET AYAM Penyusun: Haikal Atharika Zumar 5404416017 Dosen Pembimbing : Ir. Bambang Triatma, M.Si Meddiati Fajri Putri S.Pd, M.Sc JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Kimia,

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Konsentrasi KMnO 4 Terhadap Susut Berat Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap susut berat cabai merah berbeda nyata

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

KECUKUPAN PROSES STERILISASI KOMERSIAL: Pemahaman dan perhitungannya 2. METODA FORMULA

KECUKUPAN PROSES STERILISASI KOMERSIAL: Pemahaman dan perhitungannya 2. METODA FORMULA KECUKUPAN PROSES STERILISASI KOMERSIAL: Pemahaman dan perhitungannya 2. METODA FORMULA Guru Besar, Rekayasa Proses Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB-Bogor

Lebih terperinci

perubahan baik fisik maupun kimiawi yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki. Di samping itu, setelah melalui proses pengolahan, makanan tadi

perubahan baik fisik maupun kimiawi yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki. Di samping itu, setelah melalui proses pengolahan, makanan tadi i Tinjauan Mata Kuliah P roses pengolahan pangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak zaman dahulu kala, manusia mengenal makanan dan mengolahnya menjadi suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Gorontalo. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencegah rabun senja dan sariawan (Sunarjono, 2003). Jeruk bali bisa dikonsumsi

I. PENDAHULUAN. mencegah rabun senja dan sariawan (Sunarjono, 2003). Jeruk bali bisa dikonsumsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jeruk bali (Citrus grandis L. Osbeck) memiliki kandungan vitamin C yang cukup tinggi dalam 100 g bagian, yaitu terdapat vitamin C sebanyak 43 mg dan vitamin A sebanyak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk menyelamatkan harga jual buah jambu getas merah terutama

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk menyelamatkan harga jual buah jambu getas merah terutama 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah jambu getas merah merupakan buah-buahan tropis yang mudah sekali mengalami kerusakan dan secara nyata kerusakannya terjadi pada saat penanganan, transportasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi masyarakat, mempengaruhi meningkatnya kebutuhan akan makanan asal hewan (daging). Faktor lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat menguntungkan peternak di samping cara pemeliharaannya yang mudah dan sifatnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING KUALITAS DAGING Dalam pengujian kualitas daging dipergunakan sampel-sampel : macam otot, penyiapan sampel. Uji fisik obyektif yang meliputi Keempukan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. APLIKASI KACANG OVEN GARLIC SKALA LABORATORIUM Prosedur aplikasi yang standar mutlak diperlukan karena akan menghasilkan data dengan ulangan yang baik. Pertama, bahan yang digunakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh normal dan sehat, karena bahan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING DAN IKAN ABON

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING DAN IKAN ABON LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING DAN IKAN ABON Oleh : Nama : Siti Armilah NRP : 133020265 No. Meja : 5 (Lima) Kelompok : J Tanggal Praktikum : 19 April 2016 Asisten

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 3 No.1 ; Juni 2016 ISSN 2407-4624 PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW *RIZKI AMALIA 1, HAMDAN AULI

Lebih terperinci

CARA MEMBUAT: -Potong ayam menjadi 2 bagian atau belah membujur dadanya dan tekan hingga terbuka lebar. -Lumuri bumbu halus hingga rata

CARA MEMBUAT: -Potong ayam menjadi 2 bagian atau belah membujur dadanya dan tekan hingga terbuka lebar. -Lumuri bumbu halus hingga rata (Resep 1).. Serba Ayam Ayam Tulang Lunak 1 ekor ayam 50 g gula Jawa, sisir halus 1 sdm air asam Jawa kental 2,5 liter air kelapa 5 lembar daun salam 4 cm lengkuas, memarkan minyak goreng Bumbu, haluskan:

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Maksud Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, (6) Kerangka Pemikiran,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang

Lebih terperinci

Teti Estiasih - THP - FTP - UB

Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1 2 Merupakan proses thermal yang menggunakan suhu Blansing: perlakuan pendahuluan pada buah dan sayuran Pasteurisasi dan sterilisasi merupakan proses pengawetan pangan 3 Blansing air panas Blansing uap

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP Pengalengan buah dan sayur Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengalengan atau pembotolan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pengalengan atau pembotolan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY Ella Salamah 1), Anna C Erungan 1) dan Yuni Retnowati 2) Abstrak merupakan salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi

Lebih terperinci

LAPORAN MODIFIKASI RESEP DI INSTALASI GIZI RSU SUNAN KALIJAGA DEMAK SUP AYAM FANTASI

LAPORAN MODIFIKASI RESEP DI INSTALASI GIZI RSU SUNAN KALIJAGA DEMAK SUP AYAM FANTASI LAPORAN MODIFIKASI RESEP DI INSTALASI GIZI RSU SUNAN KALIJAGA DEMAK SUP AYAM FANTASI DISUSUN OLEH : RIRIN SURYANI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG DIPLOMA IV JURUSAN GIZI TAHUN 2013 A. GAMBARAN RESEP

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PENGOLAHAN SEREAL UNTUK PRODUK DODOL DAN BAKSO SEHAT. H. Jalil Genisa

PENGEMBANGAN PENGOLAHAN SEREAL UNTUK PRODUK DODOL DAN BAKSO SEHAT. H. Jalil Genisa PENGEMBANGAN PENGOLAHAN SEREAL UNTUK PRODUK DODOL DAN BAKSO SEHAT H. Jalil Genisa Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar ABSTRACT One attempt to reduce poverty

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Analisa kadar air dilakukan untuk mengetahui pengaruh proporsi daging dada ayam dan pisang kepok putih terhadap kadar air patties ayam pisang. Kadar air ditentukan secara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kedelai bubuk komersial, isolat protein kedelai, glucono delta lactone (GDL), sodium trpolifosfat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian dan Tempat dan Waktu Penelitian. Kg/Kap/Thn, sampai tahun 2013 mencapai angka 35 kg/kap/thn.

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian dan Tempat dan Waktu Penelitian. Kg/Kap/Thn, sampai tahun 2013 mencapai angka 35 kg/kap/thn. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Penelitian, Hipotesis Penelitian dan Tempat dan Waktu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun Analisis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditi hasil perikanan yang banyak digemari oleh masyarakat karena selain rasanya enak juga merupakan sumber protein hewani. Kandungan protein

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Bidang teknologi pangan terus mengalami perkembangan dari tahun ke

PENDAHULUAN. Bidang teknologi pangan terus mengalami perkembangan dari tahun ke I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bidang teknologi pangan terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun, karena pangan merupakan salah satu faktor utama yang dibutuhkan mahluk hidup khususnya manusia

Lebih terperinci