BAB I PENDAHULUAN. Film merupakan usaha merekam pertunjukan sandiwara. Dalam sandiwara (panggung) manusia menonton manusia, tetapi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Film merupakan usaha merekam pertunjukan sandiwara. Dalam sandiwara (panggung) manusia menonton manusia, tetapi"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Film merupakan usaha merekam pertunjukan sandiwara. Dalam sandiwara (panggung) manusia menonton manusia, tetapi dalam film, penonton atau manusia menyaksikan rekaman manusia yang bergerak atau gambar yang bergerak. Di Indonesia disebut gambar idoep, sedangkan tempat pertunjukannya dinamai bioskop, dari kata Belanda bioscoop. 1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bioskop adalah pertunjukan yang diperlihatkan dengan gambar (film) yang disorot sehingga dapat bergerak (berbicara), atau gedung tempat pertunjukan film cerita. 2 Pertunjukan yang dilakukan oleh kakak-adik Lumiere, Auguste dan Louis Lumiere di Prancis pada 28 Desember 1895 disepakati sebagai pertunjukan film untuk penonton yang membayar pertama di dunia. Apalagi kemudian Lumiere bersaudara itu menyebarkan gambar idoep-nya ke segenap 1 S.M. Ardan, Dari Gambar Idoep ke Sinepleks (Jakarta: GPBSI, 1992), hlm. 1 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 197

2 2 pelosok bumi. Lumiere mendorong lahirnya produksi film di berbagai negara. Mereka membawa gambar idoep-nya ke London, Uni Soviet, India, dan Jepang. 3 Di penghujung abad 20 sampai juga keajaiban itu di Hindia Belanda. Pada 30 November 1900, harian Bintang Betawi memuat pengumuman dari perusahaan Nederlandsche Bioskop Maatschappij, bahwa sebentar lagi akan memperlihatkan tontonan yang bagus, yaitu gambar-gambar idoep dari beberapa peristiwa yang belum lama terjadi di Eropa dan Afrika Utara. Disebutkan juga penayangan mengenai Sri Baginda Maharatu Belanda bersama Hertog Hendrick ketika memasuki ibukota Negeri Belanda, Den Haag. Pertunjukan akan berlangsung di sebuah rumah yang berada di Tanah Abang. Inilah iklan pertama mengenai pertunjukan film di Hindia Belanda. Pemutaran yang dimaksud berlangsung pada 5 Desember Pada tahuntahun permulaan ini pertunjukan bioskop belum memiliki tempat yang tetap. Pemutaran berpindah-pindah dari satu gedung ke gedung lain. 4 Pemerintah Hindia Belanda mulai melihat adanya gejala pengaruh bioskop terhadap masyarakat penontonnya, maka dari 3 S.M. Ardan, op. cit., hlm. 4 4 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film : Bikin Film Di Jawa (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 27

3 3 itu di tahun 1916 dikeluarkan undang-undang yang mengatur film dan bioskop melalui Ordonansi Bioscoope. Ordonansi ini memberi hak pemeriksaan film oleh komisi regional yang ditunjuk gubernur jendral yang lebih berkepentingan pada cukai impor dan pajak tontonan serta memberi peluang pada bioskop untuk berkembang. 5 Pada tahun itu juga sampailah gambar idoep itu di Yogyakarta. Seorang Belanda bernama End Helland Muller mendirikan sebuah gedung bioskop di Jalan Malioboro yang dinamai Al Hambra. Gedung bioskop ini terdiri dari dua bangunan, yaitu Al Hambra di gedung bagian depan dan Mascot di bagian belakang. Al Hambra adalah bioskop kelas atas. Orang yang bisa menonton di sana hanyalah orang-orang Eropa, bangsawan keraton, para pamongpraja, dan para pengusaha Tionghoa. Orang-orang pribumi biasa hanya bisa menonton di Mascot. 6 Perkembangan permukiman Kota Yogyakarta pada awal abad ke 20 cenderung menjadi semakin plural sebagai akibat dari semakin banyaknya orang-orang asing yang tinggal di Kota 5 Haris Jauhari, Layar Membentang ( ) dalam Haris Jauhari (ed.), Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm Antariksa, Ke Bioskop Yogyakarta, dalam buletin Clea, edisi 4, Mei Juni 2003, hlm. 12

4 4 Yogyakarta. Selain orang Cina, orang-orang Belanda dan orang Barat lainnya juga banyak yang tinggal di kota ini. Mereka itu adalah para pejabat pemerintah Belanda, para pengusaha perkebunan, atau pengusaha lainnya. Selain orang-orang asing, orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya juga mulai datang untuk tinggal di tempat ini. 7 Kedatangan Jepang di tahun 1942 juga memberi perubahan dalam hal perbioskopan. Dimata penjajah Belanda, pribumi adalah warga kelas tiga, dibawah Belanda dan Cina. Dimasa awal pendudukannya Jepang membalikkan semua itu. Apalagi Jepang mewajibkan semua bioskop untuk menyediakan separuh (50%) tempat duduk untuk kelas rakyat. Orang Indonesia dibolehkan nonton di bioskop yang tadinya tertutup untuk pribumi. Jepang kemudian juga menyediakan bioskopbioskop Istimewa oentoek bangsa Nippon : di Ginza (Bandung), Tokyo (Jakarta), Nippon (Semarang), Toa (Yogyakarta), Nyoei (Malang) dan Nippon (Surabaya). 8 Pada tahun 1943 di Indonesia terdapat 117 bioskop. Lewat Eiga Haikyusha Jepang mengelola langsung 35 bioskop lagi 7 Djoko Suryo, Penduduk Dan Perkembangan Kota Yogyakarta dalam Freek Colombijn (eds.). Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2005), hlm S.M. Ardan, op. cit., hlm. 34

5 5 untuk keperluan propagandanya. Tersebar di Jawa Barat (23 buah), Jawa Timur (9) dan Jawa Tengah (3). Selain itu dioperasikan layar tancep. Mulai Desember 1943 itu dioperasikan dari 5 kota: Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya dan Malang. Dari Jakarta disebarkan pula ke Bogor dan Banten. Dari Bandung ke Priangan, Cirebon dan Banyumas. Dari Yogya disebar juga ke Solo, Madiun dan Kedu. Dari Surabaya ke Bojonegoro dan Madiun; serta dari Malang ke Kediri dan Besuki. Jepang memang kurang mementingkan segi komersil. Yang penting tujuan tercapai: penerangan dan propaganda. Lebihlebih dalam film-film non-cerita. Dimana ditekankan, antara lain, bahwa militer Jepang bukanlah agresor, tetapi adalah pembebas bangsa Asia dari perbudakan bangsa-bangsa Barat. 9 Setelah kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 4 Agustus 1948 para insan perfilman saat itu membentuk sebuah organisasi yang dinamakan Pusat Peredaran Film Indonesia (PPPI) yang berpusat di Yogyakarta. Organisasi tersebut bernaung langsung di bawah organisasi Kementrian Penerangan sebagai Jawatan Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop 9 Ibid.

6 6 Indonesia (Perfebi). Organisasi ini berpusat di Bioskop Permata Yogyakarta. 10 Bisnis perbioskopan di Indonesia yang lesu selama masa pendudukan Jepang kembali menemukan jalan kebangkitannya. Kondisi ekonomi yang buruk tak menghalangi minat para pengusaha bioskop untuk kembali menjalankan usahanya. Mereka melakukan banyak upaya agar penonton yang telah jenuh dengan film-film propaganda Jepang mau kembali ke gedung bioskop. Impor film-film Amerika dan Eropa kembali digalakkan. 11 Masuknya film-film impor pada tahun 1970-an memang sangat mendukung usaha perbioskopan. Bagi bioskop di masa itu film apapun yang diputar tidak masalah. Apalagi tidak ada peraturan yang mewajibkan bioskop memutar film nasional. Yang penting bagi bioskop adalah tersedia film untuk diputar. Kebutuhan itu dipenuhi film-film impor sedangkan produksi film nasional masih sedikit jumlahnya. Jumlah bioskop secara nasional pun kembali mengalami peningkatan. Hal ini 10 Ardian Indro Yuwono, Eksistensi Bioskop Lokal Di Indonesia (Studi Kasus Tentang Eksistensi Bioskop Lokal NV. PERFEBI di Yogyakarta dan Wonosobo Dalam Perspektif Ekonomi Politik Komunikasi) Tesis S2, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik, Universitas Gadjah Mada, 2009, hlm Antariksa, op. cit., hlm. 23

7 7 dikarenakan para pengusaha bioskop melihat peluang yang cukup baik untuk mengembangkan usaha ini. 12 Memasuki tahun 1990-an bioskop mulai mengalami masa kemundurannya diakibatkan munculnya televisi swasta, video tape, laser disc, video compact disc (VCD), antena parabola dan media pemutar film lainnya. Hal ini membuat film-film yang tayang di bioskop kehilangan daya tariknya. Jumlah penonton film menurun dan bioskop mengalami bisnis yang sulit. Demikian pula dengan kehadiran televisi swasta yang menghadirkan alternatif hiburan terhadap bioskop. Televisi swasta yang bisa dikonsumsi tanpa biaya sama sekali membuat penonton enggan ke bioskop. 13 Perkembangan selanjutnya adalah mulai munculnya bioskop jaringan 21. Konsep bioskop ini memperkenalkan pengalaman menonton yang sama sekali berbeda dibanding bioskop-bioskop tunggal non-21. Menonton bioskop menjadi bagian dari gaya hidup urban yang dikaitkan dengan gengsi dan kelas sosial. Penonton melihat bioskop tak sebatas pada film yang 12 Matt Bento & Ilham Bintang, Masa-masa Sulit ( ) dalam Haris Jauhari (ed.), Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm Eric Sasono, et. al., Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia (Jakarta: Rumah Film & Yayasan Tifa, 2011), hlm. 85

8 8 ditonton, melainkan bagian dari aktivitas yang berkaitan dengan gaya hidup secara keseluruhan. Dengan segera model menonton seperti yang disajikan oleh bioskop dalam kelompok 21 menjadi dominan dan model menonton di bioskop-bioskop lama tidak lagi diminati. 14 Usaha perbioskopan di Indonesia secara umum dikelola dengan bisnis murni dimana unsur dagang jauh lebih terasa dibanding unsur lainnya seperti untuk memajukan perfilman Indonesia misalnya. Tarik menarik antara kepentingan memajukan perfilman nasional yang produksinya belum memadai dengan jumlah bioskop yang ada serta kepentingan menjaga kelangsungan usaha bioskop dengan memutar film impor menjadikan kondisi perbioskopan Indonesia bersifat fluktuatif. 15 Tak dapat dipungkiri lagi kehadiran bioskop yang paling nyata dalam perfilman nasional adalah sebagai ujung mata rantai perfilman karena bioskop merupakan tempat bertemunya konsumen atau penonton dengan komoditas jasa yang bernama film. Sebagai mata rantai terakhir dalam tata niaga film, usaha 14 Ibid., hlm Budi Irawanto, Menguak Peta Perfilman Indonesia (Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, 2004), hlm. 97

9 9 perbioskopan tentu saja tak bisa dilepaskan dari salah satu fungsi bioskop yaitu sebagai etalase film. 16 B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup Penelitian Dari hal-hal yang sudah diuraikan dalam latar belakang, tema yang akan diangkat adalah seputar sejarah, perkembangan, dan dinamika perbioskopan di Kota Yogyakarta. Perbioskopan disini mengacu pada seluk beluk usaha perbioskopan dan juga hal-hal lainnya yang masih berkaitan seperti sistem distribusi film, iklan dan promosi film, penonton film dan beberapa faktor kemunduran bioskop. Terhadap permasalahan di atas muncul berbagai macam pertanyaan penelitian yaitu: (1) Perkembangan apa saja yang terjadi pada bioskop-bioskop di Kota Yogyakarta pada periode tersebut? (2) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan usaha perbioskopan di Kota Yogyakarta kemudian menjadi lesu? (3) Bagaimana sistem distribusi film yang dijalankan oleh bioskop? Ruang lingkup spasial penelitian ini adalah Kota Yogyakarta dimana bioskop-bioskop tersebut ada dan sempat mencapai masamasa kejayaannya hingga sampai pada masa-masa kemundurannya. Kota Yogyakarta dipilih menjadi tempat 16 Ibid.

10 10 penulisan karena kota ini dikenal sebagai kota budaya dan kota pelajar. Banyaknya pelajar dan mahasiswa dari luar kota yang menuntut ilmu di kota ini menjadikan usaha bioskop menjadi ramai sebagai suatu sarana hiburan yang dibutuhkan. Ruang lingkup temporal mengambil kurun waktu antara tahun an. Tahun 1948 menjadi tahun awal penelitian ini dimana pada saat itu kondisi perbioskopan mulai bangkit setelah kemerdekaan Indonesia dan di tahun itu juga berdiri sebuah organisasi yang bernama Perfebi, sebuah organisasi perfilman yang menjadi cikal bakal berdirinya GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia). Kemunculan Perfebi yang pada saat itu diikuti pula oleh berdirinya beberapa organisasi jaringan bioskop di daerah lain. Tahun 1990-an menjadi batas akhir penelitian ini, karena pada tahun-tahun tersebut banyak bioskop-bioskop di Kota Yogyakarta yang berhenti beroperasi disebabkan oleh berbagai faktor. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan, mendokumentasikan, dan memberi gambaran umum mengenai kondisi serta perkembangan perbioskopan di Kota Yogyakarta pada periode an. Selain itu tulisan ini juga untuk melengkapi tulisan-tulisan yang sudah ada sebelumnya

11 11 mengenai sejarah dan kondisi perbioskopan dan perfilman di Indonesia. D. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dalam penelitian ini berdasar pada beberapa buku yang masih berkaitan dengan tema yang diteliti. Penulisan ini lebih banyak menggunakan buku yang terkait dengan perbioskopan dan perfilman di Indonesia. Beberapa referensi yang terkait dengan perbioskopan salah satunya adalah Dari Gambar Idoep ke Sinepleks 17, karangan S.M. Ardan. Isi pokok dari buku ini adalah sejarah dan perkembangan perbioskopan di Indonesia secara umum mulai dari tahun 1900 hingga 1990-an. Buku ini merupakan salah satu buku penting mengenai perbioskopan Indonesia dan berkaitan dengan tema penelitian yang juga membahas mengenai bioskop. Perbedaan dari buku ini dengan tema penelitian ini bisa dilihat dari ruang lingkupnya. Ruang lingkup tulisan S.M. Ardan lebih luas dibandingkan dengan tema penelitian ini yang hanya membahas mengenai sejarah dan perkembangan bioskop di Kota Yogyakarta saja. 17 S.M. Ardan, Dari Gambar Idoep ke Sinepleks (Jakarta: GPBSI, 1992)

12 12 Buku lainnya yang masih membahas seputar perbioskopan adalah Layar Perak 90 Tahun Bioskop Di Indonesia 18, yang dieditori oleh Haris Jauhari. Para penulis dalam buku ini seperti Rita Sri Hastuti, Budiarto Danujaya, dan Kardy Syaid, selain menulis mengenai perkembangan perbioskopan, juga membuat periodesasi terkait dengan perbioskopan di Indonesia. Sama seperti buku sebelumnya, buku ini merupakan salah satu buku penting mengenai perbioskopan Indonesia. Perbedaannya pun juga sama, ruang lingkup di buku ini mencakup sejarah bioskop di Indonesia secara keseluruhan, berbeda dengan ruang lingkup penelitian ini. Melalui buku ini dapat dilihat hal-hal yang berkaitan dengan tema penulisan. Kedua buku yang disebut di atas banyak digunakan dalam penelitian ini. Buku berjudul Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia 19 yang dikarang oleh Eric Sasono dkk., juga menjadi salah satu buku penting terkait penelitian ini. Di dalam bukunya ini Eric Sasono bersama penulis lainnya menjelaskan mengenai perkembangan film Indonesia dilihat dari perspektif ekonomi dan politik. Tim peneliti dari Rumah Film 18 Haris Jauhari (ed.), Layar Perak 90 Tahun Bioskop Di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992) 19 Eric Sasono, et. al., Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia (Jakarta: Rumah Film & Yayasan Tifa, 2011)

13 13 menelusuri berbagai kebijakan perfilman Indonesia dari masa ke masa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Yang menjadi perbedaan antara buku ini dengan tema penulisan adalah buku ini tidak membahas mengenai sejarah bioskop. Tetapi di dalam buku ini ada salah satu hal yang berkaitan dengan tema penelitian yaitu penjelasan mengenai sistem distribusi film dari tahun ke tahun, yang mana hal tersebut sangat berhubungan dengan usaha perbioskopan. Tidak hanya buku, terdapat juga tesis yang ditulis oleh Ardian Indro Yuwono yang berjudul Eksistensi Bioskop Lokal Di Indonesia (Studi Kasus Tentang Eksistensi Bioskop Lokal NV. PERFEBI di Yogyakarta dan Wonosobo Dalam Perspektif Ekonomi Politik Komunikasi). 20 Dalam tesisnya ini Ardian mengangkat kasus tentang bioskop lokal yang berada di bawah Perfebi di Yogyakarta dan Wonosobo yang sudah mulai punah dalam perspektif ekonomi politik komunikasi. Keterkaitan tesis tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat mengenai bioskop di Yogyakarta. Perbedaannya adalah Ardian hanya membahas mengenai bioskop di Yogyakarta yang berada di 20 Ardian Indro Yuwono, Eksistensi Bioskop Lokal Di Indonesia (Studi Kasus Tentang Eksistensi Bioskop Lokal NV. PERFEBI di Yogyakarta dan Wonosobo Dalam Perspektif Ekonomi Politik Komunikasi) Tesis S2, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik, Universitas Gadjah Mada, 2009

14 14 bawah organisasi Perfebi dan tidak melihatnya dari sudut pandang historis, sedangkan tulisan ini akan membahas mengenai sejarah bioskop di Kota Yogyakarta secara keseluruhan. Pembahasan mengenai Perfebi tersebut sangat penting kaitannya dengan penelitian ini yang juga membahas seputar Perfebi. Selanjutnya adalah artikel yang ditulis oleh Antariksa dalam buletin Clea yang berjudul Ke Bioskop Yogyakarta, membahas tentang kondisi dan sejarah bioskop di Yogyakarta. Keterkaitan tulisan ini dengan tema penelitian adalah sama-sama mengangkat mengenai sejarah bioskop di Yogyakarta. Walaupun tulisan Antariksa ini mengambil tema sejarah bioskop Yogyakarta, tetapi dia lebih banyak menjelaskan sejarah perbioskopan di Indonesia dan tidak secara detail menjelaskan tentang bioskop di Yogyakarta. Berbeda dengan penelitian ini yang hanya memfokuskan pada sejarah bioskop di Kota Yogyakarta. Salah satu bagian yang penting dalam artikel ini adalah pembahasan mengenai awal munculnya bioskop di Yogyakarta. 21 Antariksa, Ke Bioskop Yogyakarta, dalam buletin Clea, edisi 4, Mei Juni 2003

15 15 E. Metode Dan Sumber Dalam sebuah penelitian dibutuhkan sebuah metode. Metode yang akan digunakan dalam penelitian sejarah ini mempunyai lima tahap, yaitu: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi, dan penulisan. 22 Pada tahap pengumpulan sumber, penelitian ini menggunakan berbagai macam sumber seperti arsip, surat kabar, buku, karya ilmiah, majalah, artikel, foto, serta beberapa tulisan lain yang akan dijadikan sebagai sumber primer ataupun sekunder yang masih berkaitan dengan tema penelitian. Sumber primer penelitian ini adalah surat kabar lokal yang terbit di Kota Yogyakarta, seperti Kedaulatan Rakyat dan Bernas. Penelusuran surat-surat kabar ini didapat dari koleksi Jogja Library Center dan Perpustakaan Nasional. Selain itu akan digunakan juga data dari statistik-statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta. Dari surat kabar dan statistik ini akan diketahui informasi dan perkembangan bioskop-bioskop di Kota Yogyakarta. Sumber-sumber lainnya seperti buku, majalah, karya tulis, diperoleh melalui perpustakaan, baik perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, perpustakaan di lingkungan universitas di 22 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), hlm. 90

16 16 Yogyakarta, dan perpustakaan milik swasta. Selain itu sumber penulisan juga didapat dari berbagai situs internet, seperti jurnal dan artikel. Berbagai macam sumber-sumber tersebut akan dilihat berdasarkan relevansinya dengan tema penelitian ini. Selain itu juga digunakan sumber lisan dengan metode wawancara untuk mendapatkan sumber-sumber yang terkait dengan sejarah dan perkembangan bioskop di kota Yogyakarta. Menurut Kuntowijoyo sejarah lisan mempunyai banyak kegunaan. Sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter. Sejarah lisan juga dapat dipergunakan sebagai sumber sejarah. 23 Wawancara akan dilakukan terhadap para pelaku atau orangorang yang terlibat langsung dengan perbioskopan di kota Yogyakarta dan juga penyaksi perkembangan perbioskopan di kota Yogyakarta pada kurun waktu an. Setelah sumber-sumber tersebut diperoleh, tahap selanjutnya adalah verifikasi atau kritik sumber, baik sumber primer ataupun sumber sekunder. Sumber-sumber tersebut kemudian dibandingkan dan dilihat secara teliti untuk mengetahui autensitas ataupun keabsahannya. Tahap ini juga bertujuan untuk mengetahui kredibilitas suatu sumber yang 23 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 26

17 17 akan digunakan dalam penelitian ini. Tahap selanjutnya adalah interpretasi. Sumber-sumber yang sudah diverifikasi kemudian diinterpretasikan dan didapatkan fakta-fakta yang selanjutnya akan disusun secara kronologis ke dalam tahap akhir penelitian, yaitu penulisan. F. Sistematika Penulisan Diperlukan suatu sistematika penulisan agar penelitian tersusun dengan rapi dan kronologis. Pada bagian awal akan dijelaskan mengenai gambaran umum Kota Yogyakarta yang menjadi latar belakang spasial penulisan ini. Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai sejarah dan perkembangan perbioskopan di Kota Yogyakarta pada masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, yang mana pada masing-masing periode tersebut mempunyai berbagai macam kebijakan yang berbeda. Pembahasan selanjutnya dari penulisan ini adalah sejarah dan perkembangan bioskop-bioskop di Kota Yogyakarta yang mengambil periode setelah proklamasi sampai pada tahun an. Pada bagian ini akan dibagi menjadi beberapa periode dan fase secara kronologis menurut situasi dan kondisi perbioskopan. Kemunculan bioskop-bioskop baru, kebijakan seputar perfilman, fasilitas-fasilitas yang dimiliki bioskop, adalah beberapa hal yang juga dibahas dalam bagian ini.

18 18 Pembahasan terakhir adalah seputar dinamika bioskop untuk mengetahui seluk beluk usaha perbioskopan. Beberapa hal yang masih berkaitan dengan perbioskopan di Kota Yogyakarta akan dibahas di dalam bab ini. Berbeda dengan pembahasan pada bab sebelumnya, yang akan dijelaskan pada bab ini diantaranya sistem distribusi film, promosi yang dilakukan oleh bioskop, dan juga beberapa faktor yang menyebabkan tutup dan bangkrutnya suatu bioskop.

DAFTAR PUSTAKA. A. Arsip, Laporan dan Terbitan Resmi Pemerintah Kotamadya Yogyakarta Dalam Angka Kantor Statistik Kotamadya Yogyakarta, 1981.

DAFTAR PUSTAKA. A. Arsip, Laporan dan Terbitan Resmi Pemerintah Kotamadya Yogyakarta Dalam Angka Kantor Statistik Kotamadya Yogyakarta, 1981. 117 DAFTAR PUSTAKA A. Arsip, Laporan dan Terbitan Resmi Pemerintah Kotamadya Yogyakarta Dalam Angka 1980. Kantor Statistik Kotamadya Yogyakarta, 1981. Kotamadya Yogyakarta Dalam Angka 1981. Kantor Statistik

Lebih terperinci

ABSTRAK. Bisnis Perbioskopan di Kota Yogyakarta Tahun Oleh: Ilmiawati Safitri

ABSTRAK. Bisnis Perbioskopan di Kota Yogyakarta Tahun Oleh: Ilmiawati Safitri ABSTRAK Bisnis Perbioskopan di Kota Yogyakarta Tahun 1966-1998 Oleh: Ilmiawati Safitri 11407144028 Bioskop telah ada di Kota Yogyakarta sejak awal tahun 1900-an yaitu ketika masa penjajahan Belanda. Melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seni media rekam atau film merupakan cabang kesenian yang bentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seni media rekam atau film merupakan cabang kesenian yang bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni media rekam atau film merupakan cabang kesenian yang bentuk akhirnya dicapai setelah lebih dahulu mengalami proses perekaman. Adapun perekaman gambar mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum tahun 1970 sarana hiburan rakyat yang bersifat visual masih sangat

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum tahun 1970 sarana hiburan rakyat yang bersifat visual masih sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum tahun 1970 sarana hiburan rakyat yang bersifat visual masih sangat terbatas atau sederhana. Karena tempat pelaksanaan hiburan tersebut belum difokuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada 1895, para investor di Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis dalam waktu

BAB I PENDAHULUAN. Pada 1895, para investor di Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis dalam waktu BAB I PENDAHULUAN I. Latar belakang Pada 1895, para investor di Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis dalam waktu yang hampir bersamaan berhasil menemukan dan mendemonstrasikan alat yang bisa memproyeksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban yang. diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah untuk mengurus,

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban yang. diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah untuk mengurus, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah untuk mengurus, mengatur, mengembangkan, dan menyelesaikan urusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewan keamanan PBB bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan antar negara dan dalam melaksanakan tugasnya bertindak atas nama negaranegara anggota PBB.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan. hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan. hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan dijadikan milik diri manusia dengan belajar. 1

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. tertentu dapat tercapai. Dengan pendidikan itu pula mereka dapat mempergunakan

BAB I Pendahuluan. tertentu dapat tercapai. Dengan pendidikan itu pula mereka dapat mempergunakan BAB I Pendahuluan I. 1. Latar belakang Pendidikan merupakan suatu hal yang penting di dalam perkembangan sebuah masyarakat. Melalui pendidikan kemajuan individu bahkan komunitas masyarakat tertentu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam hal produksi ataupun dalam hal berakting. Film itu sendiri dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam hal produksi ataupun dalam hal berakting. Film itu sendiri dapat juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya zaman, film telah menjadi suatu media massa yang sering digunakan untuk menyampaikan sebuah pesan. Film juga merupakan media dimana

Lebih terperinci

menyatakan bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah pada perang Asia

menyatakan bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah pada perang Asia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehadiran uang 1 di suatu daerah merupakan hal yang menarik untuk dikaji, terutama di suatu negara yang baru memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Uang

Lebih terperinci

ABSTRAK Bioskop Sebagai Sarana Hiburan Masyarakat di Padang Tahun

ABSTRAK Bioskop Sebagai Sarana Hiburan Masyarakat di Padang Tahun ABSTRAK Tesis ini berjudul Bioskop Sebagai Sarana Hiburan Masyarakat di Padang Tahun 1950-2000. Penelitian ini memfokuskan perhatian pada peran bioskop dalam memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat di Padang,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai metode penelitian yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai metode penelitian yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai metode penelitian yang dipakai oleh penulis dalam mengumpulkan sumber berupa data dan fakta yang berkaitan dengan judul skripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketegangan antara Jepang dan Amerika. Jepang merupakan negara kecil yang

BAB I PENDAHULUAN. ketegangan antara Jepang dan Amerika. Jepang merupakan negara kecil yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembatasan impor minyak oleh Amerika memunculkan ketegangan antara Jepang dan Amerika. Jepang merupakan negara kecil yang sangat bergantung pada impor karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komersial, bioskop alternatif (arthouse), gerai VCD/DVD, kanal online, festival

BAB I PENDAHULUAN. komersial, bioskop alternatif (arthouse), gerai VCD/DVD, kanal online, festival BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki kebebasan dalam berekspresi dan pemikiran yang terbuka. Salah satu penyalurannya dapat melalui karya sinematografi atau film. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda antara tahun 1830 hingga akhir abad ke-19 dinamakan Culturstelsel (Tanam Paksa).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru yang mengajarkan bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru yang mengajarkan bagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru yang mengajarkan bagaimana manusia dapat

Lebih terperinci

SEJARAH KOMUNIKASI MASSA

SEJARAH KOMUNIKASI MASSA Pengajar : Nuria Astagini SEJARAH KOMUNIKASI MASSA SESI-3 KOMUNIKASI MASSA UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA 2014 Era Komunikasi Lisan Informasi dan Ilmu pengetahuan disebar luaskan melalui ucapan lisan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Dokter-Djawa diadakan di Dokter-Djawa School yang berdiri

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Dokter-Djawa diadakan di Dokter-Djawa School yang berdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Dokter-Djawa diadakan di Dokter-Djawa School yang berdiri pada 1849 di Weltevreden, Batavia. Sekolah ini selanjutnya mengalami berbagai perubahan kurikulum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Wilayah pedesaan umumnya adalah wilayah yang penduduknya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Wilayah pedesaan umumnya adalah wilayah yang penduduknya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Wilayah pedesaan umumnya adalah wilayah yang penduduknya mempunyai kegiatan utama yang bergerak dibidang pertanian, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20, kota-kota kolonial mulai memiliki makna penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20, kota-kota kolonial mulai memiliki makna penting bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20, kota-kota kolonial mulai memiliki makna penting bagi perkembangan kota-kota di Indonesia. Menurut Roosmalen setidaknya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENULISAN PERISTIWA SEJARAH

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENULISAN PERISTIWA SEJARAH SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENULISAN PERISTIWA SEJARAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari banyaknya judul film yang muncul di bioskop bioskop di Indonesia saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. dari banyaknya judul film yang muncul di bioskop bioskop di Indonesia saat ini. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan film di Indonesia bisa dikatakan cukup signifikan. Terlihat dari banyaknya judul film yang muncul di bioskop bioskop di Indonesia saat ini. Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mewadahi berbagai etnis atau suku-bangsa, baik dari lokal Indonesia sendiri maupun asing. Berbagai etnis tersebut memiliki budayanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat setiap bisnis film di bioskop tetap eksis dan mulai mampu bersaing

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat setiap bisnis film di bioskop tetap eksis dan mulai mampu bersaing BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di era global ini persaingan antar dunia perfilman yang semakin ketat membuat setiap bisnis film di bioskop tetap eksis dan mulai mampu bersaing untuk memberikan

Lebih terperinci

2014 PERKEMBANGAN PT.POS DI KOTA BANDUNG TAHUN

2014 PERKEMBANGAN PT.POS DI KOTA BANDUNG TAHUN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Pada 20 Agustus tahun 1746 oleh Gubernur Jenderal G.W.Baron Van Imhoff mendirikan Kantor Pos dengan tujuan untuk lebih menjamin keamanan surat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bab ini membahas lebih rinci metode penelitian yang digunakan dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bab ini membahas lebih rinci metode penelitian yang digunakan dalam BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini membahas lebih rinci metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, mulai dari persiapan penelitian sampai dengan pelaksanaan penelitian dan analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di era informatika yang berkembang dikalangan masyarakat pada saat ini, dunia hiburan untuk masyarakat luas dan khususnya untuk anak-anak dapat dikatakan mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan sebuah kota, merupakan topik yang selalu menarik untuk dikaji, karena memiliki berbagai permasalahan kompleks yang menjadi ciri khas dan membedakan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Angkutan kota merupakan unsur yang penting dan. mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Angkutan kota merupakan unsur yang penting dan. mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angkutan kota merupakan unsur yang penting dan mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan lingkungan kehidupan kota yang produktif dan merupakan satu aspek dari

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. yang terjadi di kawasan pelabuhan Muara Angke pada pertengahan tahun 1990an,

BAB I PENGANTAR. yang terjadi di kawasan pelabuhan Muara Angke pada pertengahan tahun 1990an, BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pendaratan ikan berlangsung selama 24 jam dan tidak ada waktu khusus kapal mendarat. Kegiatan pendaratan ikan pada pagi hari, kebanyakan orang adalah nelayan, buruh nelayan

Lebih terperinci

STUDIO PRODUKSI FILM DI JAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR MORPHOSIS

STUDIO PRODUKSI FILM DI JAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR MORPHOSIS LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR STUDIO PRODUKSI FILM DI JAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR MORPHOSIS Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 52 BAB III METODE PENELITIAN Metode Penelitian atau Metodologi Riset adalah seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah yang sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 29 BAB III METODE PENELITIAN Skripsi ini berjudul Peranan Pesantren Syamsul Ulum Dalam Revolusi Kemerdekaan di Sukabumi (1945-1946). Untuk membahas berbagai aspek mengenai judul tersebut, maka diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Kegiatan ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi kota adalah perdagangan. Sektor ini memiliki peran penting dalam mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konflik internasional antar dua negara cukup terdengar akrab di telinga kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih terganggu akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mega Destatriyana, 2015 Batavia baru di Weltevreden Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Mega Destatriyana, 2015 Batavia baru di Weltevreden Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Politik Etis membuka era baru dalam perpolitikan kolonial di. Hindia Belanda sejak tahun Pada masa ini diterapkan suatu

BAB I PENGANTAR. Politik Etis membuka era baru dalam perpolitikan kolonial di. Hindia Belanda sejak tahun Pada masa ini diterapkan suatu BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Politik Etis membuka era baru dalam perpolitikan kolonial di Hindia Belanda sejak tahun 1900. Pada masa ini diterapkan suatu politik yang bertujuan untuk melunasi hutang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Film adalah salah satu bentuk media komunikasi dengan cakupan massa yang luas. Biasanya, film digunakan sebagai sarana hiburan yang cukup digemari masyarakat.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 30 BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai metodologi penelitian yang digunakan peneliti untuk mengkaji skripsi yang berjudul Peranan K.H Mas Mansur Dalam Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada titik berjaya di sekitar tahun Pada saat itu layar tancap

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada titik berjaya di sekitar tahun Pada saat itu layar tancap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Layar tancap merupakan hiburan bagi masyarakat Indonesia di era penjajahan sampai pada titik berjaya di sekitar tahun 1970. Pada saat itu layar tancap merupakan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN BIOSKOP DI KOTA BANDA ACEH ( )

PERKEMBANGAN BIOSKOP DI KOTA BANDA ACEH ( ) PERKEMBANGAN BIOSKOP DI KOTA BANDA ACEH (1930-2004) Rizal Saivana, Mawardi Umar, Zainal Abidin AW Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala ABSTRAK Di Indonesia juga tidak lepas dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 95. hal. 11

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 95. hal. 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan komunikasi massa pandang, dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bentuk dan Strategi Penelitian Mengacu pada permasalahan yang dirumuskan, maka bentuk penelitian ini adalah deskriptif naratif. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 1942, Jepang mulai masuk dan menjajah wilayah Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 1942, Jepang mulai masuk dan menjajah wilayah Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 1942, Jepang mulai masuk dan menjajah wilayah Indonesia. 1 Berbagai upaya dikerahkan pemerintah Jepang agar mereka dapat tetap menduduki Indonesia. Beribu-ribu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas secara terperinci mengenai metode dan teknik penelitian yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan sumber berupa data dan fakta berkaitan dengan

Lebih terperinci

RechtsVinding Online Mengembalikan Kejayaan Perfilman Indonesia Melalui Penyempurnaan Undang-Undang Perfilman

RechtsVinding Online Mengembalikan Kejayaan Perfilman Indonesia Melalui Penyempurnaan Undang-Undang Perfilman Mengembalikan Kejayaan Perfilman Indonesia Melalui Penyempurnaan Undang-Undang Perfilman Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 22 Juli 2015; disetujui: 28 Juli 2015 Industri perfilman Indonesia pernah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Sejarah Korea yang pernah berada di bawah kolonial kekuasaan Jepang menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi sumber

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah di Desa Delanggu, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten. Sedangkan datanya dikumpulkan dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ingin disampaikan kepada masyarakat luas tentang sebuah gambaran, gagasan,

BAB I PENDAHULUAN. ingin disampaikan kepada masyarakat luas tentang sebuah gambaran, gagasan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film adalah media reproduksi informasi, media dari sebuah pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas tentang sebuah gambaran, gagasan, informasi, ungkapan

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

1.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Bioskop (Belanda: bioscoop dari bahasa Yunani βιος, bios (yang artinya hidup) dan σκοπος (yang artinya "melihat") adalah tempat untuk menonton pertunjukan

Lebih terperinci

SEMARANG CINEMA CENTER Dengan Penekanan Desain Eco-Architecture

SEMARANG CINEMA CENTER Dengan Penekanan Desain Eco-Architecture Laporan Perencanaan dan Perancangan Arsitektur SEMARANG CINEMA CENTER Dengan Penekanan Desain Eco-Architecture DOSEN PEMBIMBING 1: DR. Ir. ATIK SUPRAPTI, MTA. DOSEN PEMBIMBING 2 : EDWARD ENDRIANTO PANDELAKI,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Soraya Desiana, 2015

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Soraya Desiana, 2015 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi dunia semakin hari semakin berkembang pesat begitu juga perkembangan teknologi di indonesia. Sebagai salah satu negara yang berkembang di dunia indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dian Ahmad Wibowo, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dian Ahmad Wibowo, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada bulan Pebruari merupakan titik permulaan perundingan yang menuju kearah berakhirnya apartheid dan administrasi minoritas kulit putih di Afrika Selatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Deklarasi terhadap pembentukan sebuah negara yang merdeka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pembentukan struktur atau perangkatperangkat pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di tahun 1958 Pemerintah Republik Indonesia melakukan kebijaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Di tahun 1958 Pemerintah Republik Indonesia melakukan kebijaksanaan 1 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Di tahun 1958 Pemerintah Republik Indonesia melakukan kebijaksanaan ekonomi yaitu dengan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda yang berjumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang memberi pengaruh pada budaya asli. Ketertarikan komersial semua bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang memberi pengaruh pada budaya asli. Ketertarikan komersial semua bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda di kepulauan Indonesia, di Pulau Jawa telah ada pendatang yang berasal dari India, Cina, Arab, dan Portugis yang memberi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat. Pendidikan akan melahirkan orang-orang terdidik yang akan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat. Pendidikan akan melahirkan orang-orang terdidik yang akan menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki posisi yang strategis untuk mengangkat kualitas, harkat, dan martabat setiap warga negara sebagai bangsa yang berharkat dan bermartabat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi, hambatan dan keterbatasan komunikasi dapat mulai diatasi.

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi, hambatan dan keterbatasan komunikasi dapat mulai diatasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran media komunikasi sangat berjasa dalam menumbuhkan kesadaran kebangsaan, perasaan senasib sepenanggungan, dan pada akhirnya rasa nasionalisme yang mengantar bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Batik merupakan salah satu jenis kain yang memiliki corak tertentu. Corak

BAB I PENDAHULUAN. Batik merupakan salah satu jenis kain yang memiliki corak tertentu. Corak 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batik merupakan salah satu jenis kain yang memiliki corak tertentu. Corak pada batik dibuat menggunakan lilin dan digambarkan diatas kain mori. Pembuatan batik dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu

BAB I PENDAHULUAN. lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari komunikasi. Komunikasi merupakan hal yang penting untuk menjalin sebuah kerjasama atau untuk menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ludruk merupakan seni kesenian tradisional khas daerah Jawa Timur. Ludruk digolongkan sebagai kesenian rakyat setengah lisan yang diekspresikan dalam bentuk gerak dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpengaruh dalam bidang pendidikan khususnya di Sumatera Timur. perkembangan sehingga kekuasan wilayahnya semakin luas, disamping

BAB I PENDAHULUAN. berpengaruh dalam bidang pendidikan khususnya di Sumatera Timur. perkembangan sehingga kekuasan wilayahnya semakin luas, disamping BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu upaya bagi manusia untuk mencapai suatu tingkat kemajuan, sebagai sarana untuk membebaskan dirinya dari keterbelakangan, dan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketika berbicara soal makanan, bisa dipastikan hampir semua menyukai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketika berbicara soal makanan, bisa dipastikan hampir semua menyukai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika berbicara soal makanan, bisa dipastikan hampir semua menyukai topik tersebut. Makanan sebagai salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, juga merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode diartikan suatu cara atau prosedur dan tehnik penelitian.1 Sedangkan penelitian (research) merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film merupakan karya seni berupa rangkaian gambar hidup yang diputar sehingga menghasilkan sebuah ilusi gambar bergerak yang disajikan sebagai bentuk hiburan. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelompok industri kecil memiliki peran strategis dalam peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Kelompok industri kecil memiliki peran strategis dalam peningkatan 1 BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Masalah Kelompok industri kecil memiliki peran strategis dalam peningkatan pendapatan, perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha di Indonesia. Pengembangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. yang merupakan seperangkat pengetahuan tentang langkah langkah

BAB III METODE PENELITIAN. yang merupakan seperangkat pengetahuan tentang langkah langkah BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Setiap karya ilmiah yang dibuat disesuaikan dengan metodologi penelitian. Dan seorang peneliti harus memahami metodologi penelitian yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia Tengah dan Asia Tenggara yang terlingkup dalam satu kawasan, yaitu Asia Selatan. Negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kenyataan menujukan bahwa kebudayan Indonesia telah tumbuh dan. generasi sebelumnya bahkan generasi yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Kenyataan menujukan bahwa kebudayan Indonesia telah tumbuh dan. generasi sebelumnya bahkan generasi yang akan datang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kenyataan menujukan bahwa kebudayan Indonesia telah tumbuh dan berkembang sejak ribuan tahun yang lampau, ini yang dapat di lihat dari kayakarya para leluhur bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. moral dan juga nasionalisme. Hal tersebut melatarbelakangi pendirian Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. moral dan juga nasionalisme. Hal tersebut melatarbelakangi pendirian Sekolah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan salah satu faktor pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan memberikan ilmu pengetahuan serta menanamkan ajaran moral dan juga nasionalisme.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 M. Sebelum keraton

BAB I PENDAHULUAN. Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 M. Sebelum keraton 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 M. Sebelum keraton Yogyakarta selesai dibangun, Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama keluarganya untuk sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan satu dari dua pabrik gula yang saat ini dimiliki oleh PT. Perkebunan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan satu dari dua pabrik gula yang saat ini dimiliki oleh PT. Perkebunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pabrik Gula Kwala Madu atau sering disebut orang dengan istilah PGKM merupakan satu dari dua pabrik gula yang saat ini dimiliki oleh PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN

Lebih terperinci

SILABUS PEMBELAJARAN

SILABUS PEMBELAJARAN SILABUS PEMBELAJARAN Nama Sekolah : Program : Ilmu Pengetahuan Sosial Mata Pelajaran : Kelas/Semester : X1/2 Standar : 2. Menganalisis Perkembangan bangsa sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan Pendudukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Kajian yang penulis ambil dalam penelitian skripsi ini adalah mengenai Perkembangan Pendidikan Islam di Bandung Tahun 1901-1942. Untuk membahas berbagi aspek mengenai judul

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. media atau saluran tertentu. (A. Muis, 2001 : 37) Masyarakat dapat mendengarkan informasi tentang kesehatan, pendidikan,

BAB 1 PENDAHULUAN. media atau saluran tertentu. (A. Muis, 2001 : 37) Masyarakat dapat mendengarkan informasi tentang kesehatan, pendidikan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Radio merupakan media massa auditif, yakni dikonsumsi telinga atau pendengaran. Radio sebagai sarana komunikasi yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Komunikasi bukan hanya sebuah

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN PERFILMAN JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN PERFILMAN JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN PERFILMAN JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan zaman yang terus meningkat, masyarakat juga terus mengadopsi nilai-nilai seni dan budaya yang dihadirkan pada dunia industri hiburan. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan

BAB I PENDAHULUAN. pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. 1 Salah satu di antaranya adalah rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1141, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Karya Cetak. Karya Rekam. Pengelolaan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.49/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERANAN PEMOEDA ANGKATAN SAMOEDERA OEMBARAN (PAS O) DALAM PERISTIWA AGRESI MILITER BELANDA II TAHUN 1948 DI YOGYAKARTA

PERANAN PEMOEDA ANGKATAN SAMOEDERA OEMBARAN (PAS O) DALAM PERISTIWA AGRESI MILITER BELANDA II TAHUN 1948 DI YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan sebuah negara maritim karena memiliki wilayah laut yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah daratan. Hal ini menjadikan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga kebijaksanaan mengenai Pribumi (Inlandsch Politiek) sangat. besar artinya dalam menjamin kelestarian kekuasaan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga kebijaksanaan mengenai Pribumi (Inlandsch Politiek) sangat. besar artinya dalam menjamin kelestarian kekuasaan tersebut. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah Indonesia mencatat bahwa negara kita ini telah mengalami masa kolonialisasi selama tiga setengah abad yaitu baik oleh kolonial Belanda maupun kolonial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bagas Laksawicaka Gedung Bioskop di Kota Semarang 1

BAB I PENDAHULUAN. Bagas Laksawicaka Gedung Bioskop di Kota Semarang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Teknologi dan informasi di Indonesia terus berkembang dalam era modern seperti masa kini. Perkembangan dunia hiburan semakin cepat dan dianggap sebagai kebutuhan pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan

BAB I PENDAHULUAN. Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan peranan penting dan strategis. Bukan hanya dalam peningkatan spiritual umat, melainkan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Arsip merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia, tanpa disadari

BAB I PENDAHULUAN. Arsip merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia, tanpa disadari BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang dan Permasalahan Arsip merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia, tanpa disadari kegiatan yang dilakukan manusia tidak lepas dari terciptanya arsip. Arsip mempunyai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 32 3.1 Metodologi Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini diuraikan mengenai metode penelitian yang penulis gunakan untuk mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan judul skripsi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat majemuk. Ratusan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat majemuk. Ratusan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat majemuk. Ratusan suku yang berstatus penduduk asli dan pendatang mendiami pulau-pulau di Indonesia yang jumlahnya

Lebih terperinci

Referensi DOKUMENTER. dari Ide sampai ProduksI. Gerzon R. Ayawaila 2008 FFTV IKJ PRESS

Referensi DOKUMENTER. dari Ide sampai ProduksI. Gerzon R. Ayawaila 2008 FFTV IKJ PRESS Referensi DOKUMENTER dari Ide sampai ProduksI Gerzon R. Ayawaila 2008 FFTV IKJ PRESS DOKUMENTER PERTEMUAN 1 Dokumentaris Umumnya sineas dokumenter merangkap beberapa posisi : produser, sutradara, penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Komunikasi visual memiliki peran penting dalam berbagai bidang, salah satunya adalah film. Film memiliki makna dan pesan di dalamnya khususnya dari sudut pandang visual.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada peraturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. kepada peraturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan selalu ingin berkomunikasi dengan manusia lain untuk mencapai tujuannya. Sebagai makhluk sosial, manusia harus taat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan tingkatan ekonomi serta umur sudah dapat menggunakannya. Internet adalah

I. PENDAHULUAN. dan tingkatan ekonomi serta umur sudah dapat menggunakannya. Internet adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini penggunaan internet sebagai salah satu media komunikasi dan informasi tidaklah asing lagi, setiap orang dari berbagai belahan dunia, suku, ras, budaya dan tingkatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode historis. Menurut Kuntowijoyo, (1994: xii), metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Yogyakarta adalah kota yang relatif aman, stabil dan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Kota Yogyakarta adalah kota yang relatif aman, stabil dan mempunyai BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Kota Yogyakarta adalah kota yang relatif aman, stabil dan mempunyai khasanah budaya yang luas. Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pendidikan dan pariwisata yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari masyarakat yang beraneka ragam, dengan keinginan bersama menyatukan diri dalam satu bangsa Indonesia yang Bhineka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bencana bagi perekonomian global khususnya melanda negara-negara yang

BAB 1 PENDAHULUAN. bencana bagi perekonomian global khususnya melanda negara-negara yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mencermati akan iklim perekonomian global saat ini, tidak salah apabila kita mencoba mengingat kembali berbagai gejolak perekonomian dimana terjadi bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zaman sudah semakin berkembang, ditandai dengan era teknologi saat ini. Dapat

BAB I PENDAHULUAN. Zaman sudah semakin berkembang, ditandai dengan era teknologi saat ini. Dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zaman sudah semakin berkembang, ditandai dengan era teknologi saat ini. Dapat dilihat sekarang ini, betapa besar pengaruh dari gadget, internet, dan teknologi lainnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena pesantren memiliki keunikan tersendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena pesantren memiliki keunikan tersendiri untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena pesantren memiliki keunikan tersendiri untuk lebih ditelusuri. Disamping keberadaannya pesantren menjadi salah satu model pembelajaran keagamaan tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Brebes yang merupakan wilayah paling barat dari Propinsi Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Brebes yang merupakan wilayah paling barat dari Propinsi Jawa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Brebes yang merupakan wilayah paling barat dari Propinsi Jawa Tengah mempunyai potensi yang tidak kalah pentingnya dengan daerah-daerah lain di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman ini, informasi memegang peran penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman ini, informasi memegang peran penting dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di zaman ini, informasi memegang peran penting dalam kehidupan manusia.hampir tidak ada ruang dan waktu yang tersisa untuk menghindari diri dari serbuan informasi.

Lebih terperinci