BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Pasak Bumi Salah satu suku tumbuhan yang mempunyai banyak anggota dan berkhasiat obat adalah Simaroubaceae. Anggotanya yang paling terkenal adalah pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack). Suku Dayak Kenyah menggunakannya untuk obat sakit perut dan demam, dan suku Banjar menggunakannya untuk afrodisiak (perangsang) sedangkan di Thailand digunakan sebagai antimalaria. Saat ini pasak bumi sudah merupakan komoditi ekspor (Mandang dan Andianto 2007). Ciri utama kayu pasak bumi adalah berpembuluh baur dengan diameter agak kecil, rata-rata kurang dari 100 mikron, kayu pasak bumi dari bagian batang sulit dibedakan dari kayu bagian akar. Akar berbentuk lancip sedangkan batang berbentuk silindris. Kondisi habitat pasak bumi bergelombang dengan kelerengan berkisar antara 15-45%, ketinggian tempat m dari permukaan laut. Habitat pasak bumi merupakan hutan tropis dan tanah tidak pernah tergenang air, datar tetapi lebih disukai kondisi tanah yang miring, aerasi baik atau banyak mengandung pasir. Pada tingkat semai, tumbuhan ini banyak dijumpai mengelompok di bawah tajuk hutan. Tumbuhan muda tidak menyukai cahaya langsung, tetapi memerlukan cahaya langsung sejak tumbuhan memasuki tingkat pohon (Heriyanto et al. 2006). Menurut Zumrotun (2006), tumbuhan yang digolongkan dalam kelompok afrodisiaka menunjukkan adanya aktivitas hormonal yaitu hormon androgenik. Hormon androgenik adalah hormon untuk hewan jantan dan mempunyai peranan dalam aktivitas atau tingkah laku kawin hewan jantan. Peningkatan hormon androgenik akan berpengaruh terhadap peningkatan libido seksualnya. Berdasarkan hasil analisis pasak bumi yang dilakukan oleh Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM IPB, No /LPSB/1/12 (hasil analisis terlampir) bahwasanya sampel serbuk pasak bumi mengandung Alkaloid (wagner dan dragendorf), Flavonoid, dan Steroid. Teknis analisis sampel pasak bumi

2 27 yang dilakukan, yaitu teknik visualisasi warna untuk menentukan kandungan senyawa dalam serbuk. Pada umumnya alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder terbesar yang terdapat dalam tumbuhan dan mencakup senyawa bersifat basa serta mengandung atom nitrogen. Alkaloid memiliki karakteristik rasa pahit di lidah. Flavonoid berupa senyawa yang larut dalam air yang mengandung sistem aromatik yang terkonyugasi, sedangkan steroid merupakan senyawa sebagai hormon kelamin pada satwa (Harborne 1987). Fungsi steroid disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Fungsi utama senyawa steroid Tempat dihasilkan Hormon Jenis Kimia Fungsi Utama Ovarium Estrogen Steroid - Tingkah laku kawin - Sifat-sifat seksual sekunder Ovarium Progesteron Steroid - Mempertahankan kebuntingan - Pertumbuhan ambing Testis Androgen (testosteron) Steroid - Tingkah laku kawin jantan - Spermatositogenesis - Mempertahankan sistem saluran kelamin jantan - Fungsi dari kelenjer tambahan Korteks ginjal Kortisol Steroid - Kelahiran - Sintesis susu Plasenta Estrogen Steroid - Pengenalan kebuntingan oleh induk pada babi Plasenta Progestin Steroid - Mempertahankan kebuntingan Sumber : Tomaszweska et al. (1991). Berdasarkan tabel di atas, steroid sangat berperan penting dalam reproduksi. Keberadaan senyawa steroid dalam tumbuhan pasak bumi, dapat mempengaruhi perilaku seksual dan proses reproduksi rusa timor jantan. Berbeda dengan alkaloid dan flavonoid tidak berpengaruh langsung kepada perilaku seksual dan proses reproduksi. Alkaloid adalah basa organik yang mengandung amina sekunder, tersier atau siklik. Senyawa alkaloid yang berasal baik dari tanaman maupun hewan menunjukkan beragam aktivitas biologi. Di Brazil, beberapa perusahaan farmasi telah menggunakan tanaman yang mengandung alkaloid ini sebagai bahan baku fitokimia. Kebutuhannya senantiasa meningkat setiap tahun sehingga mendorong para peneliti untuk mengembangkan tanaman, terutama di bidang pertanian dan obat-obatan. Salah satu penggunaan tanaman Ageratum conyzoides terutama dibidang pertanian dan obat-obatan. Penggunaan tanaman ini secara tradisional dapat menyembuhkan berbagai jenis

3 28 penyakit, bisa menjadi sumber ekonomi yang penting bagi Indonesia (Utami dan Robara 2008). Menurut Waji dan Sugrani (2009), flavanoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau kecuali alga dan merupakan kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini berwarna merah, ungu dan biru, sedangkan dalam tumbuhan ditemukan berwarna kuning. Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktif sebagai obat. Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-glikosida, isoflavon C- dan O-glikosida dan dihidrokhalkon, proantosianidin dan antosianin, auron O-glikosida dan dihidroflavonol O- glikosida. Kuersetin adalah salah satu zat aktif kelas flavonoid yang secara biologis amat kuat. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, 2 cincin benzena (C 6 ) terikat pada suatu rantai propane (C 3 ) sehingga membentuk susunan C 6 -C 3 -C 6. Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa dan pengelompokan didasarkan pada efek fisiologis yang diberikan oleh masing-masing senyawa. Kelompok-kelompok itu adalah sterol, asam-asam empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon kardiak dan sapogenin (Lenny 2006). Menurut Pratomo et al. (2010), pemberian pasak bumi dengan dosis 40 mg/200 g bb (bb=berat badan) fraksi air yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari pada tikus dilanjutkan pengamatan melalui tingkah laku, menguap (yawning) dan meregangkan tubuh (stretching). Gerakan stretching dan yawning dianggap suatu gerakan yang mencerminkan adanya timbul nafsu libido pada tikus tua. Diperoleh hasil bahwa pasak bumi mempunyai peran sebagai afrodisiaka pada tikus putih tua. 5.2 Pengaruh Pasak Bumi terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan Perilaku istirahat rusa timor jantan Perilaku istirahat pada rusa di penangkaran yang dikelola dengan sistem ranch terjadi pada interval between feeding bout. Pada kondisi ini rusa lebih

4 29 banyak melakukan aktivitas memamah biak sambil duduk atau berbaring di bawah naungan pohon-pohon yang banyak serasahnya. Perilaku ini umumnya dilakukan pada saat tengah hari dan terik matahari mencapai maksimum (Zumrotun 2006). Hasil pengolahan data pada pengamatan penelitian ini terhadap waktu yang digunakan untuk aktivitas istirahat dapat diketahui bahwa rusa dengan dosis pasak bumi 0 mg (R0), 3000 mg (R1), 5000 mg (R2) dan 7000 mg (R3) tidak berbeda nyata (P>0,05) seperti yang terlihat Tabel 4. Hal ini karena kondisi alat kelamin sekunder (ranggah) keempat rusa timor jantan berbeda-beda. Berbeda dengan laporan Zumrotun (2006) bahwa semakin tinggi dosis yang diberikan adanya kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat. Semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan, akan semakin rendah atau singkat waktu yang digunakan untuk istirahat. Kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat, disebabkan satwa dalam kondisi birahi atau libidonya meningkat, sehingga sebagian besar waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas seksualnya. Semakin tinggi libido seksualnya maka akan semakin tinggi pula aktivitas yang digunakan untuk memperhatikan atau menarik betina untuk mendekati, mencium, menggosokkan ranggah dan agonistik, sehingga semakin kecil atau semakin rendah waktu yang tersedia untuk istirahat. Perbedaan hasil analisis ini, karena perbedaan tempat perlakuan. Penelitian ini di lakukan di dalam kandang individu sehingga pakan yang dikonsumsi rusa menjadi terbatas, sedangkan Zumrotun (2006) di penangkaran sistem ranch sehingga rusa bebas menkonsumsi pakan (merumput). Kegiatan mencari makan pada rusa dapat dilakukan secara kelompok atau secara sendiri-sendiri. Rusa memiliki apa yang disebut feeding bout atau periode makan yaitu periode dimana terjadi aktivitas gerak pindah mencari pakan dilanjutkan dengan menemukan pakan dan memakannya. Setelah berkali-kali menemukan pakan dan memakan pakan, periode makan berakhir dan satwa memasuki periode interval between feeding bout (interval antara periode makan). Interval ini banyak diisi dengan aktivitas duduk dan memamah biak (Kurniawan 1997). Rata-rata waktu istirahat pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 4,13 ± 0,25 jam, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 4,25 ± 0,5 jam,

5 30 pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 4,25 ± 0,25 jam, dan pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 4,25 ± 0,25 jam. Tabel 4 Analisis sidik ragam perilaku istirahat rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung P Nilai tengah Kolom Nilai tengah Baris Galat Total 15 Hasil analisis tersebut di atas merupakan hasil pengamatan yang dilakukan selama 4 (empat) periode dan total pengamatan 40 hari, dengan waktu pengamatan setiap hari dimulai pukul , dan pengamatan dilakukan lebih kurang selama 9 jam. Rusa melakukan perilaku istirahat setelah mengkonsumsi pakan, baik setelah mengkonsumsi pakan pagi (pukul 08.00) maupun siang (pukul 12.00). Hal ini sesuai dengan penelitian Zumrotun (2006) bahwa rusa yang berada di penangkaran BKPH Jonggol, umumnya beristirahat setelah merumput sampai pukul atau setelah merumput siang hari dan beristirahat sampai pukul Kemudian merumput kembali sampai pukul Aktivitas merumput hanya dilakukan pada siang hari, sedangkan malam hari digunakan untuk beristirahat. Semua rusa (1, 2, 3 dan 4) yang diberi perlakuan (R0, R1, R2 dan R3) rata-rata melakukan perilaku istirahat selama 4,22 ± 0,41 jam setiap hari. Adapun cara rusa melakukan perilaku istirahat yaitu, dua kaki depan ditekuk, lalu diikuti dua kaki belakang juga ditekuk (Gambar 10). Gambar 10 Rusa timor jantan yang sedang istirahat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada malam hari sampai pukul 22.00, rusa timor jantan masih tetap beristirahat. Hal ini berbeda dengan laporan Semiadi (2006), rusa timor termasuk rusa tropis dikenal paling aktif pada malam

6 31 hari (nocturnal), sedangkan siang hari digunakan untuk mencari makan dan beristirahat. Perbedaan ini karena habitat yang berbeda yaitu antara habitat asli (hutan) dan habitat bukan asli (penangkaran) Perilaku makan dan tingkat konsumsi rusa timor jantan Pakan yang diberikan pada rusa timor jantan selama perlakuan yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum) dan kaliandra (Calliandra calllothyrsus Meissn). Jumlah rumput gajah dan kaliandra yang diberikan setiap hari disesuaikan dengan bobot badan rusa. Jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan dalam berbagai perlakuan terlihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan di penangkaran (kg/individu/hari) Periode Ulangan Jumlah Rata-rata 1.A 2.B 3.C 4.D I R3/7,63 R0/7,53 R2/6,50 R1/5,31 26,97 6,74 II R1/5,67 R3/6,35 R0/5,267 R2/5,21 22,49 5,62 III R0/6,61 R2/5,06 R1/5,15 R3/5,29 22,10 5,53 IV R2/6,67 R1/5,39 R3/5,04 R0/4,56 21,67 5,42 Jumlah 26,58 24,33 21,95 20,37 93,22 23,31 Rata2 6,64 6,08 5,49 5,09 23,31 5,83 Adapun rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan pada setiap dosis pasak bumi yang diberikan terlihat pada Gambar 11, bahwasanya pada dosis pasak bumi 0 mg (R0), rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 5,99 ± 1,33 kg. Pada dosis 3000 mg (R1), rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 5,38 ± 0,22 kg, pada dosis 5000 mg (R2), rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 5,86 ± 0,84 kg sedangkan dosis 7000 mg (R3) rusa timor jantan mengkonsumsi pakan sebanyak 6,08 ± 1,18 kg. Total rata-rata rusa timor jantan mengkonsumsi pakan selama perlakuan sebanyak 5,83 kg ± 0,93 kg. Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwasanya terjadi peningkatan dan penurunan jumlah pakan yang dikonsumsi pada periode dosis tertentu. Tingkat konsumsi pakan rusa paling tinggi berada pada saat rusa diberi dosis pasak bumi 7000 mg (R3), selanjutnya 0 mg (R0), 5000 mg (R2) dan 3000 mg (R1). Hal ini berbeda dengan dugaan sebelumnya, bahwasanya semakin tinggi dosis pasak

7 32 bumi yang diberikan semakin meningkat libido seksual rusa timor jantan dan nafsu mengkonsumsi pakan akan menurun (penurunan jumlah pakan yang dikonsumsinya, sesuai dengan pernyataan Zumrotun 2006 dan Takandjandji 2009 bahwa rusa yang sedang birahi umumnya nafsu makannya akan menurun. Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi (kg) Perlakuan Gambar 11 Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan. Hal ini terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya kondisi fisiologi reproduksi usia kawin siap kawin pada rusa timor jantan, selain itu termasuk juga kondisi fisiologi organ kelamin sekunder rusa timor jantan yaitu ranggah rusa, ranggah keras keinginan untuk kawin akan tinggi dan nafsu makan berkurang dan sebaliknya ranggah lepas keinginan untuk kawin akan menurun, nafsu makan akan meningkat. Kesehatan, rusa jantan dalam kondisi sakit akan menurun konsumsi pakannya dan sebaliknya jika dalam kondisi sehat konsumsi pakan akan meningkat. Bobot badan, semakin besar bobot badan, jumlah pakan yang diberikan juga akan semakin banyak dan jumlah yang dikonsumsi rusa timor jantan juga akan semakin banyak, dan sebaliknya bobot badan yang kecil, jumlah pakan yang diberikan juga lebih kecil dan pakan yang dikonsumsi juga kecil. Sedangkan faktor eksternal diantaranya ketersediaan pakan di penangkaran atau kebun pakan, jika ketersediaan pakan banyak, maka pakan yang dikonsumsi juga akan banyak dan sebaliknya juga ketersediaan pakan sedikit, jumlah pakan yang dikonsumsi juga akan sedikit. Palatabilitas pakan (tingkat kesukaan satwa

8 33 terhadap pakan yang diberikan) semakin palatabel suatu pakan, maka konsumsi pakan satwa tersebut akan semakin meningkat, dan sebaliknya jika pakan tersebut tidak palatabel, maka pakan yang dikonsumsi juga sedikit. Musim, pada musim hujan, nafsu makan akan meningkat, dan sebaliknya musim kemarau nafsu makan akan menurun. (Zumrotun 2006). Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi rusa timor jantan, ternyata tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05). Menurut Semiadi (2006), rataan tingkat konsumsi bahan kering dengan bahan asal pelet pada rusa timor dewasa adalah 79 gr/kgbb 0,75 /hari, namun nilai ini dapat dipengaruhi oleh jenis hijauan yang diberikan. Pada pemberian rumput gajah (Pennisetum purpureum) sebesar 81 gr/kgbb 0,75 /hari. Menurut Zumrotun (2006) lamanya periode makan dipengaruhi oleh kontraksi perut. Berakhirnya periode makan berhubungan erat dengan proses pengenyangan yang pada gilirannya tergantung pada salah satunya faktor pengembangan perut. Pengembangan perut merangsang suatu reseptor yang mengaktifkan pusat pengenyangan pada hypothalamus. Lebih lanjut dikatakan bahwa lama periode makan juga tergantung juga oleh faktor-faktor oropharhyngeal meskipun bukan merupakan faktor dominan. Rusa merupakan satwa yang tahan terhadap daerah kering, dan jarang sekali terlihat turun untuk mencari minum. Air yang dibutuhkan diperoleh dari pakan yang dimakannya, air embun dan kandungan air yang terdapat pada pakan rusa yang diberikan. Ciri khas dari satwa yang minim sekali membutuhkan air adalah kotorannya yang relatif keras dan kering karena sedikit mengandung air. Berdasarkan analisis statistika, lamanya rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 melakukan perilaku makan yaitu 4,781 jam ± 0,407 jam. Melalui uji Least Significant Difference (LSD) terhadap perilaku makan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) terhadap lama perilaku makan rusa timor jantan (Tabel 6). Tabel 6 Analisis sidik ragam perilaku makan rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung P Nilai tengah Kolom Nilai tengah Baris Galat Total 15

9 34 Perilaku makan pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 4,88 ± 0,25 jam, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 4,75 ± 0,5 jam, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 4,75 ± 0,25 jam, dan pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 4,75 ± 0,25 jam. Pada saat perlakuan, rusa diberi pakan sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu waktu pagi hari, siang hari dan sore hari. Seperti halnya dengan rusa sambar di alam pada lingkungan asli subtropis seperti Nepal, mulai aktif merumput sebelum fajar dan matahari terbenam, dan terlihat paling aktif merumput (mencari pakan) pada pukul dan Sedangkan rusa sambar yang berada di dalam kandang pedok merumput selama 9,1 jam dan 6,2 jam per hari yang dilakukan pada sore hingga dini hari sedang sisanya pagi hingga sore hari (Semiadi 2006). Selama perlakuan semua rusa (1, 2, 3, dan 4) yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 mengkonsumsi pakan pagi pada pukul , siang hari pukul dan sore hari pada pukul (pengamatan selesai pada pukul 17.00). Perilaku makan dimulai dengan mencium pakan dan kemudian mengkonsumsinya. Adapun perilaku makan rusa terlihat pada Gambar 12. Pengamatan dilakukan pada musim hujan, dengan suhu rata-rata C dan kelembaban berkisar antara 40-70%. Menurut Toelihere et al. (2005) pada musim hujan, ketersediaan pakan hijauan melimpah, maka rusa yang ranggahnya dalam tahap pedicle memiliki kesempatan untuk memulihkan kondisi tubuhnya untuk memasuki tahap ranggah keras berikutnya. Hal ini terlihat pada rusa 2 dan 4 yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 yang meningkat bobot badannya sebelum dan setelah selesai perlakuan. Rusa 2 (R0, R1, R2 dan R3), awalnya memiliki bobot badan 61,00 kg menjadi 67,66 kg dan rusa 4 (R0, R1, R2 dan R3), awalnya 46,00 kg menjadi 56,81 kg. Berbeda halnya dengan rusa 1 dan 3 yang memiliki ranggah keras, dimana perilaku seksual ditandai dengan nafsu makan berkurang, sehingga terjadi penurunan bobot badan rusa. Rusa 1 (R0, R1, R2 dan R3), dimana awalnya memiliki bobot badan 66,00 kg menjadi 61,40 kg dan rusa 3 (R0, R1, R2 dan R3) awalnya 58,70 kg menjadi 57,63 kg.

10 35 (a) (b) Gambar 12a dan 12b Perilaku makan pada rusa timor jantan. 5.3 Pengaruh Pasak Bumi terhadap Perilaku Seksual Rusa Timor Jantan Perilaku seksual rusa yang muncul selama pemberian pasak bumi yaitu nyengir (flehmen), menggosok-gosokkan ranggah (rutting), berputar-putar di dalam kandang (rusa dalam keadaan gelisah), dan mengangkat leher sambil mengeluarkan suara (perilaku ini diamati di dalam kandang individu), sedangkan perilaku mendekati betina, mengendus urine rusa betina, mencium alat kelamin betina, menaiki punggung betina (mounting), diamati ketika rusa jantan digabungkan dengan rusa betina di dalam kandang individu. Menurut Zumrotun (2006) semakin tinggi libido seksualnya maka akan semakin tinggi pula aktifitas yang digunakan untuk memperhatikan atau menarik betina seperti mendekati, mencium, menggosokkan ranggahnya dan agonistik. Menurut Prawigit (2007) anatomi organ reproduksi rusa jantan terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis, orchid atau didimos, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididymis, duktus vas deferens, ampula vas deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes. Menurut Masy ud (1997), hormon reproduksi yang secara langsung berperan dalam mengatur aktivitas reproduksi rusa jantan yaitu, GnRH, FSH (Follikel Stimulating Hormone), LH (Luteinizing Hormone) dan testosteron (androgen). GnRH berperan dalam menstimulasi diskresikan FSH dan LH dari hipofisa anterior, selanjutya masing-masing FSH merangsang tabuli seminiferi

11 36 testis untuk spermatogenesis sedangkan LH merangsang sel-sel interstitial testis untuk mensekresikan testosteron yang bertanggung jawab atas aspek-aspek reproduksi rusa jantan. Salah satu tanda pada rusa jantan mulai memasuki musim kawin adalah perkembangan ranggah, sehingga ada hubungan antara perkembangn ranggah dengan musim kawin. Peningkatan panjang (ranggah) dalam satu siklus, sejalan dengan meningkatnya konsentrasi androgen serum. Hubungan pola hormonal androgen dengan siklus perkembangan (ranggah) tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat hidup rusa. Menurut Semiadi (2006), konsentrasi sperma pada rusa timor jantan dewasa mencapai 1,5 x 10 9 /ml dengan tingkat motilitas >90% dan jumlah sperma sekitar 4 x 10 9 /ejakulasi. Setelah ranggah keras luruh, ada sebagian pejantan yang tetap menghasilkan sperma, walau dengan produksi yang rendah, tetapi ada juga pejantan yang tidak memproduksi sperma sama sekali. Pertumbuhan ranggah berkaitan dengan siklus hormon testosteron. Puncak konsentrasi hormon testosteron pada rusa timor terjadi pada hari ke 112 (kisaran hari ke ) setelah proses kulit velvet mengelupas dengan konsentrasi 28,70 ng/ml. Pada fase pertumbuhan ranggah velvet konsentrasi hormon testosteron menurun drastis pada kisaran <0,2-6,7 ng/ml (Handarini 2005). Lama pertumbuhan spiker (ranggah tahun pertama tumbuh) pada rusa timor dilaporkan 90 hari. Rangsangan dapat berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Sedangkan Masy ud (1989) melaporkan bahwa rangsangan yang berasal dari dalam tubuh tersebut antara lain dapat berupa faktor fisiologis seperti sekresi hormon, faktor motivasi, dorongan dan insentif akibat dari perangsangan mekanisme syaraf. Menurut Tomaszewska et al. (1991), nyengir atau pelipatan bibir (flehmen) adalah satu diantara beberapa respon yang sering diperlihatkan selama periode perangsangan seksual. Waktu nyengir, kepala diangkat dan dijulurkan, bibir atas dilipat ke atas dengan mulut sedikit dibuka (Gambar 13). Dalam keadaan birahi rusa jantan biasanya mencium rusa betina pada daerah sekitar alat kelamin. Respon normal yang ditunjukkan oleh rusa betina adalah mengeluarkan urine. Rusa jantan kemudian melakukan perilaku nyengir sebagai tanda adanya penciuman bau badan dengan organ vumero-nasal (organ Jacobson). Organ ini adalah penerima bau yang berbentuk sepasang pada saluran buntu yang terletak

12 37 diantara rongga hidung dan dihubungkan ke atas langit-langit mulut serta terus ke pusat penglihatan ke otak. Feromon dalam urine dijadikan tanda oleh rusa jantan bahwa betina dalam keadaan birahi. Gambar 13 Perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan. Frekuensi nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 berbeda dan mengalami perubahan di setiap perlakuan yang diberikan (Tabel 7). Pada saat hewan betina mengalami berahi (estrus) diiringi dengan pengeluaran sekret (lendir) yang jernih dan berbau khas yang biasanya terlihat jelas di permukaan vulvanya. Lendir tersebut dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat dalam dinding servik, yang berguna memudahkan kopulasi dan membantu spermatozoa masuk menemui ovum. Ini yang menyebabkan urine betina berahi baunya khas dan tajam. Pada pejantan yang libido seksualnya meningkat akan semakin cepat terangsang dengan bau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku pejantan untuk mengangkat bibirnya dengan sedikit membuka (flehmen). Tabel 7 Frekuensi nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan Periode Hasil Pengacakan Jumlah Rata-rata 1.A 2.B 3.C 4.D I R3/8,2 R0/0.0 R2/10,1 R1/5,7 24,0 6,0 II R1/21,6 R3/0,1 R0/21,1 R2/5,0 47,8 11,9 III R0/15,6 R2/0,0 R1/21,5 R3/1,9 39,0 9,7 IV R2/27,1 R1/3,7 R3/27,9 R0/6,8 65,5 16,4 Jumlah 72,5 3,8 80,6 19,4 154,3 44,0 Rata2 18,1 0,95 20,15 4,85 44,0 11,0

13 38 Tabel 8 Analisis sidik ragam perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung Sig. Kolom Baris Error Total 15 Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05 (Tabel 8). Adapun frekuensi nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 10,88 ± 9,34 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 13,13 ± 9,76 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 10,55 ± 12,66 kali, dan pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 9,53 ± 12,73 kali. Secara keseluruhan frekuensi rata-rata perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan yaitu 11,02 kali. Rata-rata frekuensi perilaku nyengir (flehmen) rusa timor jantan (Gambar 14), paling rendah pada perlakuan R3 (dosis pasak bumi 7000 mg) dan paling tinggi pada perlakuan R1 (dosis pasak bumi 3000 mg). Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 14 Rata-rata frekuensi perilaku nyengir (flehmen) pada rusa timor jantan di penangkaran. Adapun frekuensi perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) rusa timor jantan pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 19,98 ± 23,94 kali, pada perlakuan

14 39 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 23,60 ± 29,66 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 28,80 ± 31,34 kali, pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 22,80 ± 40,75 kali. Secara keseluruhan frekuensi rata-rata perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting)rusa timor jantan yaitu 23,79 kali (Tabel 9). Tabel 9 Frekuensi menggosok-gosok ranggah (rutting) pada rusa timor jantan Periode Hasil Pengacakan Jumlah Rata-rata 1.A 2.B 3.C 4.D I R3/7,4 R0/0,0 R2/48,8 R1/5,3 61,5 15,4 II R1/23,7 R3/0,1 R0/32,1 R2/5,0 60,9 15,2 III R0/47,8 R2/0,0 R1/65,4 R3/0,0 113,2 28,3 IV R2/62,2 R1/0,0 R3/83,7 R0/0,0 145,9 36,5 Jumlah 141,1 0,1 230,0 10,3 381,5 95,4 Rata2 35,3 0,0 57,5 2,6 95,4 23,8 Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) pada rusa timor jantan yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05 (Tabel 10). Menurut Handarini dan Nalley (2008), pola konsentrasi hormon testosteron pada tahap ranggah keras mengalami peningkatan yang signifikan, menandakan bahwa terjadi suatu dorongan internal yang kuat pada tahap ranggah keras untuk aktivitas reproduksi didorong oleh libido yang tinggi. Selanjutnya dikemukakan Handarini dan Nalley (2008) mengemukakan bahwa konsentrasi testosteron rendah pada tahap pembentukan velvet mulai meningkat pada saat shedding dan mencapai puncak konsentrasi pada tahap ranggah keras serta konsentrasi testosteron rendah pada saat ranggah lepas (casting). Induksi GnRH menunjukkan rendahnya respon hipofisa pada sekresi LH selama ranggah lepas dan tahap awal pembentukan ranggah. Respons tertinggi diperoleh pada tahap pembentukan ranggah keras telah selesai. Respons LH yang rendah dan konsentrasi testosteron yang tinggi menunjukkan terjadinya feedback negatif dari testosteron pada LH.

15 40 Tabel 10 Analisis sidik ragam perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) rusa timor jantan yang diberi perlakuan di penangkaran rusa Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah F Hitung P Rata-rata frekuensi perilaku menggosok-gosok ranggah pada (ruttting) rusa timor jantan (Gambar 15), paling rendah pada perlakuan R0 (dosis pasak bumi 0 mg) dan paling tinggi pada perlakuan R2 (dosis pasak bumi 5000 mg). Tingginya konsentrasi hormon testosteron pada ranggah tahap keras diiringi dengan tampilan tingkah laku reproduksi. Secara visual rusa mulai menunjukkan agresivitas dan tingkah laku rutting yang merupakan karakter spesifik pada rusa jantan. Kolom Baris Error Total 15 Rusa jantan yang memasuki tahap ranggah keras akan menunjukkan dominansinya dalam kelompok dengan cara perebutan pakan, tempat berkubang dan perkelahian. Perilaku lain yang ditampilkan untuk menarik perhatian betina adalah berguling, meloncat-loncat, membuat mahkota dengan dedaunan di atas kepala dan trash urination (spray urine) untuk menandai daerah teritori. Puncak aktivitas reproduksi ditandai dengan meningkatnya frekuensi tingkah laku kawin (Handarini dan Nalley 2008). Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 15 Rata-rata frekuensi perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting) pada rusa timor jantan.

16 41 Tingginya penggunaan waktu untuk aktivitas rutting menurunkan frekuensi makan rusa selama tahap ranggah keras sehingga pada tahap ini terjadi penurunan bobot badan pada rusa jantan. Rusa yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 mengalami peningkatan dan penurunan bobot badan yaitu rusa 1 sebelum perlakuan dimulai memiliki bobot badan 66,00 kg, setelah perlakuan selesai bobot badan berkurang menjadi 61,40 kg. Terjadi penurunan bobot badan pada rusa 1 akibat aktivitas rutting selama pengamatan. Tahap casting merupakan tahap transisi dari tanggal ranggah ke tahap pertumbuhan velvet pada siklus ranggah berikutnya. Casting merupakan masa istirahat reproduksi pada rusa jantan dan dianggap sebagai masa tidak aktif reproduksi rusa timor jantan. Secara visual dapat dilihat bentuk ranggah yang belum simetris (asimetris) antara ranggah kanan dan kiri. Meskipun gambaran pola hormon rusa sub-adult ini hanya diwakili oleh satu ekor rusa yang baru memasuki pubertas, namun dari beberapa penelitian menunjukkan pola yang tidak stabil pada awal pertumbuhan ranggah (Handarini dan Nalley 2008). Begitu halnya selama perlakuan rusa 2 dan 4, ranggahnya dalam tahap casting, meskipun diberikan obat yang bersifat afrodisiak (perlakuan R0, R1, R2 dan R3) seperti pasak bumi, tetapi belum memberikan pengaruh yang nyata. Menurut Handarini dan Nalley 2008 secara visual pada tahap ranggah velvet, rusa jantan menunjukkan sifat soliter dengan tujuan untuk melindungi ranggah muda (velvet) yang sedang tumbuh. Ranggah muda merupakan jaringan lunak yang mempunyai banyak pembuluh darah dan sangat sensitif, sehingga masing-masing rusa saling menghindar persinggungan satu sama lain. Pada tahap velvet terjadi peningkatan frekuensi makan (hampir seluruh aktivitas digunakan untuk makan). Begitu halnya dengan rusa 4 dalam kondisi ranggah lepas dan tahap velvet, memiliki frekuensi aktivitas makan yang tinggi, sehingga terjadi peningkatan bobot badan. Rusa 1 selama perlakuan sangat agresif, hal ini terlihat dari frekuensi nyengir dan menggosokkan-gosokkan ranggah. Bahkan saat rusa 1 melihat rusa betina, perilaku rusa 1 sangat agresif, sehingga dapat dipastikan rusa tersebut dalam kondisi birahi saat itu. Hal ini terbukti dengan jebolnya pintu kandang akibat dorongan kepala rusa (Gambar 16a) dan rusaknya

17 42 dinding kandang akibat gosokkan ranggah (Gambar 16b). Perilaku menggosokgosokkan ranggah pada rusa terlihat pada Gambar 16c dan 16d. (a) (b) (c) (d) Gambar 16 Perilaku menggosok-gosok ranggah (rutting). (a) Pintu kandang yang jebol; (b) Dinding kandang yang rusak; (c) Menggosok-gosokkan ranggah pada pintu kandang; (d) Menggosok-gosokkan ranggah pada kawat kandang. Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku mendekati betina yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3, ternyata tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05. Adapun Frekuensi mendekati betina pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 0 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 15 ± 1,87 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 19 ± 2,75 kali, pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 23 ± 2,87 kali. Secara keseluruhan rata-rata frekuensi mendekati betina yaitu 14,25 kali (Gambar 17). Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 17 Frekuensi perilaku mendekati betina pada rusa timor jantan

18 43 Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku mencium alat kelamin betina yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05. Adapun frekuensi menciumlaat kelamin betina betina pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 0 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 28 ± 13 kali, pada perlakuan 3/dosis 5000 mg (R2) yaitu 24 ± 3 kali, pada perlakuan 4/dosis 7000 mg (R3) yaitu 46 ± 5,75 kali. Secara keseluruhan rata-rata frekuensi mendekati betina yaitu 24,5 kali (Gambar 18). Perilaku mencium alat kelamin betina yang dilakukan oleh rusa timor jantan terlihat pada Gambar 19. Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 18 Frekuensi perilaku mencium alat kelamin betina pada rusa timor jantan. Gambar 19 Perilaku mencium alat kelamin betina. Berdasarkan analisis statistik terhadap perilaku menaiki betina (mounting) yang diberi perlakuan R0, R1, R2 dan R3 tidak berbeda nyata, terlihat dari nilai P>0,05. Adapun Frekuensi menaiki betina pada perlakuan 1/dosis 0 mg (R0) yaitu 0 kali, pada perlakuan 2/dosis 3000 mg (R1) yaitu 7 ± 3,87 kali, pada perlakuan 3/ dosis 5000 mg (R2) yaitu 31 ± 4,63 kali, pada perlakuan 4/dosis

19 mg (R3) yaitu 37 ± 5,37 kali. Secara keseluruhan rata-rata frekuensi menaiki betina yaitu 18,75 kali (Gambar 20). Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 20 Frekuensi perilaku menaiki betina pada rusa timor jantan. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa antar berbagai tingkat perlakuan tidak semuanya menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini dapat terjadi karena intensitas kelamin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor hormonal saja, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor lain. Telah diketahui bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual adalah hormon dan syaraf yang keduanya bekerja dengan peran yang berbeda tetapi saling ketergantungan dan berinteraksi yang disebut neurohormonal. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual adalah adanya rangsangan luar seperti adanya betina birahi. Rangsangan dari luar tersebut dapat berupa suara, penglihatan, perabaan dan bau atau penciuman (Zumrotun 2006). Menurut Siswanto (2006) status fisiologis reproduksi rusa jantan meliputi status ranggah, lingkar leher dan lingkar testis. Siklus reproduksi rusa dikenal dengan istilah siklus ranggah (antler cycle). Siklus ranggah ini teramati dari pertumbuhan ranggah yang masih terbungkus kulit atau disebut dengan tahap velvet, selanjutnya kulit ranggah mengelupas dinamakan dengan tahap shedding, berikutnya ialah ranggah rusa dalam tahap keras dan akhirnya ranggah rusa lepas. Siklus ini berkaitan dengan kemampuan berkembangbiak. Pada saat ranggah rusa

20 45 berada pada tahap keras, maka lingkar testis maksimum dengan produksi spermatozoa juga maksimum, kadar testosteron darah tinggi dan rusa sangat agresif. Sebaliknya jika ranggah rusa lepas maka lingkar testis akan minimum, produksi spermatozoa menurun, kadar testosteron darah rendah, dan lingkar leher juga mengecil. Pada saat itu semen yang dihasilkan mengandung jumlah spermatozoa sedikit, dengan persentase abnormalitas yang tinggi. Frekuensi (kali) Perlakuan Gambar 21 Rerata frekuensi perilaku seksual pada rusa timor jantan. Berdasarkan Gambar 21 di atas terlihat bahwa frekuensi perilaku nyengir tertinggi pada pemberian pasak bumi dengan dosis 7000 mg (R3) dan terendah pada dosis 0 mg (R0). Berbeda dengan perilaku menggosok-gosok ranggah tertinggi pada dosis 5000 mg (R3) dan terendah pada dosis 0 mg (R0). Frekuensi tertinggi pada perilaku mendekati betina, mencium alat kelamin betina dan menaiki betina pada dosis 7000 mg (R3) dan terendah pada dosis 0 mg (R0). Hal ini berarti semakin tinggi dosis yang diberikan, akan terjadi peningkatan libido seksual rusa timor jantan yang terlihat pada frekuensi perilaku seksual yang semakin meningkat. Perbedaan intensitas berbagai perilaku seksual yang ditunjukkan oleh R0, R1, R2 dan R3 ini disebabkan adanya perbedaan steroid yang terkandung dalam tubuh (konsentrasi steroid dalam serum) pada rusa tersebut. Semakin tinggi dosis pasak bumi yang diberikan, akan semakin naik pula konsentrasi androgen (testosteron) serumnya. Setelah mengalami proses pencernaan, maka steroid yang

21 46 terkandung dalam pasak bumi yang bersifat sebagai androgenik, akan diserap dan masuk dalam peredaran darah. Steroid yaitu testosteron dalam darah akan memberikan reaksi pada organ-organ sasarannya atau menimbulkan perilaku seksual yang lebih jelas. Pasak bumi mengandung senyawa-senyawa bioaktif, salah satu diantaranya adalah steroid. Dalam tubuh steroid akan bekerja atau berfungsi seperti androgen (testosteron) yang dihasilkan oleh sel-sel interstitial (sel Leydig) yang terdapat diantara tubuli seminiferi testis, yang kemudian disekresikan dan masuk pada peredaran darah sehingga akan mempengaruhi kelakuan reproduksinya atau peningkatan libidonya (Zumrotun 2006).

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan Februari 2012 di penangkaran rusa dalam kawasan Hutan Penelitian (HP) Dramaga milik Pusat Penelitian

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan

PEMBAHASAN. Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan 54 PEMBAHASAN Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan Aktivitas harian adalah semua aktivitas yang biasa dilakukan satwa sehari-hari sejak ia keluar dari sarangnya atau tempat bermalam

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen 19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi terhadap kualitas semen dimaksudkan untuk menentukan kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen tersebut diproses lebih

Lebih terperinci

HORMON REPRODUKSI JANTAN

HORMON REPRODUKSI JANTAN HORMON REPRODUKSI JANTAN TIU : 1 Memahami hormon reproduksi ternak jantan TIK : 1 Mengenal beberapa hormon yang terlibat langsung dalam proses reproduksi, mekanisme umpan baliknya dan efek kerjanya dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Merak Hijau (Pavo muticus) Merak hijau (Pavo muticus) termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 34 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. HASIL Dalam penelitian ini sampel diambil dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) UGM untuk mendapatkan perawatan hewan percobaan yang sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Gizi Pakan Gizi pakan rusa yang telah dianalisis mengandung komposisi kimia yang berbeda-beda dalam unsur bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Bobot Tubuh Ikan Lele Hasil penimbangan rata-rata bobot tubuh ikan lele yang diberi perlakuan ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina molk.) pada pakan sebanyak 0;

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) JANTAN

PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) JANTAN PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) JANTAN [The Role of Sanrego (Lunasia amara Blanco) to Increasing Libido Sexual

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class:

TINJAUAN PUSTAKA. (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class: TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Rusa Sambar Rusa Sambar (Cervus unicolor) merupakan populasi rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia mencakup pulau besar dan kecil yaitu pulau Sumatera,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, ph, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS

PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan seksual sangat memengaruhi kualitas hidup seseorang dalam kaitannya untuk memperoleh keturunan. Bila kehidupan seksual terganggu, kualitas hidup juga terganggu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Texel di Indonesia telah mengalami perkawinan silang dengan domba lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan kemudian menghasilkan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family Menispermaceae yang mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat digunakan untuk mengobati

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mencapai tata kehidupan yang selaras dan seimbang dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mencapai tata kehidupan yang selaras dan seimbang dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Keterbatasan sumber daya alam dan pertambahan penduduk yang pesat merupakan masalah negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pertambahan penduduk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Batur Domba Batur merupakan salah satu domba lokal yang ada di Jawa Tengah tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba Batur sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disfungsi ereksi, dan ejakulasi dini. Pada tahun 2025, diduga terdapat 322 juta

I. PENDAHULUAN. disfungsi ereksi, dan ejakulasi dini. Pada tahun 2025, diduga terdapat 322 juta 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fungsi seksual merupakan hal serius bagi kebanyakan pria. Beberapa masalah fungsi seksual yang dialami pria, antara lain libido yang rendah, disfungsi ereksi,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 1-13 hari terhadap rata-rata bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih dapat dilihat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya satu tahun berhubungan seksual, sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi (Straight,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

Lebih terperinci

Sistem Reproduksi Pria meliputi: A. Organ-organ Reproduksi Pria B. Spermatogenesis, dan C. Hormon pada pria Organ Reproduksi Dalam Testis Saluran Pengeluaran Epididimis Vas Deferens Saluran Ejakulasi Urethra

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani

BAB I PENDAHULUAN. akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia semakin meningkat, menyebabkan kebutuhan akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani berkualitas yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Burung Puyuh Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif lebih besar dari jenis burung-burung puyuh lainnya. Burung puyuh ini memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan rumah tangga, hubungan seksual merupakan unsur penting yang dapat meningkatkan hubungan dan kualitas hidup. Pada laki-laki, fungsi seksual normal terdiri

Lebih terperinci

D. Uraian Pembahasan. Sistem Regulasi Hormonal 1. Tempat produksinya hormone

D. Uraian Pembahasan. Sistem Regulasi Hormonal 1. Tempat produksinya hormone SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP) IX A. 1. Pokok Bahasan : Sistem Regulasi Hormonal A.2. Pertemuan minggu ke : 12 (2 jam) B. Sub Pokok Bahasan: 1. Tempat produksi hormone 2. Kelenjar indokrin dan produksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkawinan Perkawinan yang baik yaitu dilakukan oleh betina yang sudah dewasa kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat melahirkan (Arif, 2015).

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) merupakan tumbuhan sejati yang hidup di kawasan mangrove. Morfologi

Lebih terperinci

Seksualitas Remaja dan Kesehatan Reproduksi Rachmah Laksmi Ambardini Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY

Seksualitas Remaja dan Kesehatan Reproduksi Rachmah Laksmi Ambardini Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY Seksualitas Remaja dan Kesehatan Reproduksi Rachmah Laksmi Ambardini Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY Pendahuluan Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung (Panjaitan, 2003). Penelitian yang dilakukan (Foa et al., 2006)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Seksualitas Lobster Air Tawar Pada umumnya lobster air tawar matang gonad pada umur 6 sampai 7 bulan. Setelah mencapai umur tersebut, induk jantan dan betina akan melakukan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR

DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) JANTAN ZUMROTUN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di Peternakan rakyat masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama induk sapi PO)

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (BPBTNR) Provinsi Jawa Tengah di Kota Surakarta.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat, Populasi ayam lokal pada tahun 2014

PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat, Populasi ayam lokal pada tahun 2014 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dalam bidang sektor peternakan di Indonesia saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, Populasi ayam lokal pada tahun 2014 mencapai 274,1 juta

Lebih terperinci

Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon)

Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon) Modul ke: Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon) Fakultas PSIKOLOGI Ellen Prima, S.Psi., M.A. Program Studi PSIKOLOGI http://www.mercubuana.ac.id Pengertian Hormon Hormon berasal dari kata hormaein yang berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa

BAB I PENDAHULUAN. oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia memiliki fase kehidupan sejak lahir di dunia yang akan dilalui oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa hingga sebelum kematiannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan I. PENDAHULUAN Infertilitas merupakan suatu masalah yang dapat mempengaruhi pria dan wanita di seluruh dunia. Kurang lebih 10% dari pasangan suami istri (pasutri) pernah mengalami masalah infertilitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di penangkaran rusa Hutan Penelitian (HP) Dramaga- Bogor yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi

Lebih terperinci

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh kelenjar endokrin dan disekresikan ke dalam aliran darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penanganan serius, bukan hanya itu tetapi begitu juga dengan infertilitas. dan rumit (Hermawanto & Hadiwijaya, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. penanganan serius, bukan hanya itu tetapi begitu juga dengan infertilitas. dan rumit (Hermawanto & Hadiwijaya, 2007) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infertilitas pada pria merupakan masalah yang perlu perhatian dan penanganan serius, bukan hanya itu tetapi begitu juga dengan infertilitas wanita dalam penatalaksanaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Senyawa Isoflavon Tepung Kedelai dan Tepung Tempe Hasil analisis tepung kedelai dan tepung tempe menunjukkan 3 macam senyawa isoflavon utama seperti yang tertera pada

Lebih terperinci

FISIOLOGI HORMON STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN

FISIOLOGI HORMON STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN FISIOLOGI HORMON Fisiologi hormon By@Ismail,S.Kep, Ns, M.Kes 1 STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN Sistem endokrin terdiri dari kelenjarkelenjar endokrin Kelenjar endokrin merupakan sekelompok susunan sel yang

Lebih terperinci

STUDI MENGENAI EFEK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L) Merr.) TERHADAP LIBIDO KELINCI JANTAN(Oryctolagus cuniculus) SEBAGAI AFRODISIAK

STUDI MENGENAI EFEK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L) Merr.) TERHADAP LIBIDO KELINCI JANTAN(Oryctolagus cuniculus) SEBAGAI AFRODISIAK STUDI MENGENAI EFEK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L) Merr.) TERHADAP LIBIDO KELINCI JANTAN(Oryctolagus cuniculus) SEBAGAI AFRODISIAK RHANUGA HARMUSYANTO Fakultas Farmasi rhanuga@gmail.com Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan. hasil tercapainya kemampuan reproduksi. Tanda pertama pubertas

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan. hasil tercapainya kemampuan reproduksi. Tanda pertama pubertas BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan Pubertas merupakan suatu periode perkembangan transisi dari anak menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan hasil tercapainya kemampuan reproduksi.

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman Jati Belanda (Guazuma ulmifolia) merupakan tanaman berupa pohon

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman Jati Belanda (Guazuma ulmifolia) merupakan tanaman berupa pohon BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman Jati Belanda (Guazuma ulmifolia) merupakan tanaman berupa pohon yang biasanya memiliki tinggi mencapai 10 m sampai 20 m. Tanaman ini merupakan tanaman dikotil

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 1. Perhatikan gambar berikut! Bagian yang disebut dengan oviduct ditunjukkan oleh huruf... A B C D Bagian yang ditunjukkan oleh gambar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan seksual merupakan suatu bentuk komunikasi yang paling dalam bagi pasangan suami istri. Banyak masalah suami istri seperti ketegangan perkawinan bahkan perceraian,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Penetasan Telur Hasil perhitungan derajat penetasan telur berkisar antara 68,67-98,57% (Gambar 1 dan Lampiran 2). Gambar 1 Derajat penetasan telur ikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba merupakan ruminansia kecil yang relatif mudah dibudidayakan oleh masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai pakan berupa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak 22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Mikro Suhu dan kelembaban udara merupakan suatu unsur lingkungan mikro yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak homeothermic,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Selama penelitian rataan suhu dan kelembaban harian kandang berturut-turut 28,3 o C dan 91,3% yang masih dalam kisaran normal untuk hidup kelinci. Adapun suhu dan kelembaban

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

Bab IV Memahami Tubuh Kita

Bab IV Memahami Tubuh Kita Bab IV Memahami Tubuh Kita Pubertas Usia reproduktif Menopause Setiap perempuan pasti berubah dari anak-anak menjadi dewasa dan perubahan dari dewasa menjadi dewasa yang lebih tua Sistem Reproduksi Perempuan

Lebih terperinci

TIU : Mahasiswa diharapkan. proses fisiologi organ. berkaitan dengan fungsi ternak jantan sebagai pemacek. TIK :

TIU : Mahasiswa diharapkan. proses fisiologi organ. berkaitan dengan fungsi ternak jantan sebagai pemacek. TIK : TIU : Mahasiswa diharapkan mampu memahami proses fisiologi organ reproduksi jantan khususnya yang berkaitan dengan fungsi ternak jantan sebagai pemacek. TIK : 1.Mahasiswa memahami proses ereksi dan ejakulasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Penangkaran Rusa Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PPPKR) yang terletak di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Lebih terperinci

Tatap mukake 6 KUANTITAS DAN KUALITAS SPERMA

Tatap mukake 6 KUANTITAS DAN KUALITAS SPERMA Tatap mukake 6 PokokBahasan: KUANTITAS DAN KUALITAS SPERMA 1. Tujuan Intruksional Umum Mengerti Kuantitas dan Kualitas Sperma pada berbagai ternak Mengerti faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik Bobot Badan Tikus Ekstrak rumput kebar yang diberikan pada tikus dapat meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan tikus normal yang diberi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Bagian Edible Ayam Kampung Super

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Bagian Edible Ayam Kampung Super 31 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Bagian Edible Ayam Kampung Super Data nilai rataan bobot bagian edible Ayam Kampung Super yang diberi perlakuan tepung pasak bumi dicantumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Population Data Sheet (2014), Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Population Data Sheet (2014), Indonesia merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepadatan penduduk di Indonesia merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah yang sampai sekarang belum dapat diatasi, hal ini disebabkan karena

Lebih terperinci