PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS"

Transkripsi

1 PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perilaku Rusa Timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) Betina di Penangkaran Akibat Pemberian Tabat Barito (Ficus deltoidea Jack) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013 Elis NIM E

4 2 ABSTRAK ELIS. Perilaku Rusa Timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) Betina di Penangkaran Akibat Pemberian Tabat Barito (Ficus deltoidea Jack). Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASYUD dan ROZZA TRI KWATRINA. Rusa timor merupakan salah satu jenis rusa yang potensial untuk dikembangkan. Penangkaran merupakan salah satu jenis pemanfaatan yang bertujuan untuk mempertahankan populasi rusa timor sebagai jenis yang dilindungi. Namun terdapat berbagai permasalahan terkait reproduksi sehingga diperlukan teknologi reproduksi dengan cara stimulasi berahi rusa timor betina menggunakan bahan alami yang bersifat afrodisiak, yakni tabat barito. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tabat barito dengan berbagai dosis terhadap perilaku harian dan perilaku seksual rusa timor betina. Terdapat 4 dosis tabat barito yang diberikan selama 28 hari yakni 0 mg, 4000 mg, 5000 mg dan 6000 mg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan dosis tidak berpengaruh nyata terhadap perilaku harian maupun perilaku seksual. Namun pemberian dosis 6000 mg dapat menstimulasi estrus pada rusa betina sehingga terjadi kopulasi. Kata kunci: penangkaran, perilaku seksual, rusa timor betina, tabat barito. ABSTRACT ELIS. Female Timor Deer (Rusa timorensis de Blainville, 1822) Behavior in Captivity due to Giving Tabat Barito (Ficus deltoidea Jack). Supervised by BURHANUDDIN MASYUD and ROZZA TRI KWATRINA. Timor deer is one of deer species which potential to be developed. Captivity is one of timor deer utilization which aim to maintain the population of timor deer as protected species. However, there are various issues related to its reproduction so that reproductive technology is required to improve female timor deer reproduction by stimulating sexual desire of female timor deer using natural materials that are aphrodisiac, one of them is tabat barito. The aim of this research is to determine the influence of giving tabat barito with various doses against daily activity and sexual behavior of female timor deer. There are 4 tabat barito doses which are given for 28 days. The doses are 0 mg, 4000 mg, 5000 mg and 6000 mg. The result of this research indicates that different dose which given not significantly influence the daily activity and sexual behavior. However, the 6000 mg dose can stimulate female deer estrus so copulation happened. Keywords: captivity, female timor deer, sexual behavior, tabat barito.

5 3 PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

6 4

7 Judul Skripsi: Perilaku Rusa Timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) Betina di Penangkaran Akibat Pemberian Tabat Barito (Ficus deltiodea Jack) Nama : Elis NIM : E Disetujui oleh Dr Ir Burhanuddin Masy'ud, MS Pembimbing I Rozza Tri Kwatrina, SSi, MSi Pembimbing II Tanggal Lulus: S N '.

8 5 Judul Skripsi : Perilaku Rusa Timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) Betina di Penangkaran Akibat Pemberian Tabat Barito (Ficus deltiodea Jack) Nama : Elis NIM : E Disetujui oleh Dr Ir Burhanuddin Masy ud, MS Pembimbing I Rozza Tri Kwatrina, SSi, MSi Pembimbing II Diketahui oleh Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

9 6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2013 ini ialah perilaku rusa, dengan judul Perilaku Rusa Timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) Betina di Penangkaran Akibat Pemberian Tabat Barito (Ficus deltoidea Jack). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy ud, MS dan Ibu Rozza Tri Kwatrina, SSi, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran serta Ibu Dr Efi Yuliati Yovi, SHut, M Life Env Sc selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan. Penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Ir Mariana Takandjandji, MSi dan Bapak Ir Endro Subiandono dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Bogor, Bapak Zaenal, Bapak Elon serta seluruh staf di penangkaran rusa Hutan Penelitian Dramaga yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, Akbar, seluruh keluarga, Hady, Yayan, Putri, Dyah, Tri, Dita, Irma, Dewi, Intannia, Intan, saudara seperjuangan Anggrek Hitam KSHE 46 serta sahabat-sahabat di Wisma Padasuka atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, November 2013 Elis

10 7 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 2 Lokasi dan Waktu 2 Alat dan Bahan 2 Pengumpulan Data dan Informasi 2 Analisis Data 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 Kandungan Senyawa Tabat Barito 5 Pengaruh Tabat Barito terhadap Perilaku Harian 7 Pengaruh Tabat Barito terhadap Perilaku Seksual 10 SIMPULAN DAN SARAN 18 Simpulan 18 Saran 19 DAFTAR PUSTAKA 19 LAMPIRAN 22

11 8 DAFTAR TABEL 1 Skema perlakuan tabat barito terhadap rusa timor betina 4 2 Rata-rata perilaku harian rusa timor betina selama perlakuan 9 3 Rata-rata perilaku seksual rusa timor betina selama perlakuan 17 DAFTAR GAMBAR 1 Rata-rata lama waktu makan rusa timor betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda 7 2 Rata-rata konsumsi pakan rusa timor betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda 8 3 Perilaku istirahat pada rusa timor betina 8 4 Rata-rata lama waktu istirahat rusa timor betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda 9 5 Rata-rata frekuensi urinasi pada rusa timor betina akibat pemberian tabat barito dengan dosis berbeda 10 6 Rata-rata selang waktu urinasi pada rusa timor betina akibat pemberian tabat barito dengan dosis berbeda 11 7 Rata-rata frekuensi perilaku mengangkat ekor pada rusa timor betina akibat pemberian tabat barito dengan dosis berbeda 12 8 Rata-rata lama waktu perilaku mengangkat ekor pada rusa timor betina akibat pemberian tabat barito dengan dosis berbeda 12 9 Rata-rata frekuensi perilaku mengendus dan menjilati pejantan pada rusa timor betina akibat pemberian tabat barito dengan dosis berbeda Perilaku mengendus dan menjilati pejantan Rata-rata lama waktu perilaku mengendus dan menjilati pejantan pada rusa timor betina akibat pemberian tabat barito dengan dosis berbeda Rata-rata frekuensi perilaku diam didekati pejantan pada rusa betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda Rata-rata lama waktu perilaku diam didekati pejantan pada rusa betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda Rusa timor betina diam saat dinaiki pejantan Rata-rata frekuensi perilaku diam dinaiki pejantan pada rusa betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda Rata-rata lama waktu perilaku diam dinaiki pejantan pada rusa betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda 17 DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil uji fitokimia tabat barito 22 2 Tabat barito 23 3 Bahan penelitian 23 4 Perilaku harian dan perilaku seksual rusa timor betina 24 5 Hasil analisis statistik terhadap perilaku harian dan seksual 26

12 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) adalah salah satu jenis rusa yang potensial untuk dikembangkan. Semiadi dan Nugraha (2004) menyatakan rusa timor merupakan jenis rusa yang paling banyak ditangkarkan, yaitu 90% dari rusa yang ada di daerah tropik. Rusa timor memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu hidup di berbagai daerah (Takandjandji et al. 2011). Pemanfaatan rusa sebagai jenis yang dilindungi telah banyak dilakukan. Bentuk pemanfaatannya dapat berupa pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran dan pemeliharaan untuk kesenangan (PP No ). Penangkaran merupakan salah satu bentuk pemanfaatan rusa yang bertujuan untuk menjaga kelestarian populasi. Masy ud dan Taurin (2000) menyatakan bahwa keberhasilan penangkaran bergantung pada keberhasilan reproduksi satwa yang ditentukan oleh keberhasilan manajemen bibit, pakan, kesehatan serta teknologi reproduksi dan pemuliaannya. Semiadi et al. (2005) menambahkan bahwa indikator keberhasilan pengembangan suatu populasi penangkaran dapat ditinjau dari nilai produktivitas induk dan persentase anak hidup pada umur 12 bulan. Saat ini para pengusaha penangkaran rusa masih menghadapi beberapa masalah, terutama masalah reproduksi. Rusa timor seperti halnya rusa lain, mempunyai siklus reproduksi yang berhubungan dengan musim kawin sehingga mengakibatkan rusa timor tidak dapat melakukan perkawinan setiap waktu (Samsudewa & Susanti 2008). Musim kawin ini dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas rusa timor. English (1992) menyebutkan penyebab lain yang mengakibatkan rendahnya produktivitas rusa adalah permasalahan yang terjadi pasca kelahiran meliputi terbatasnya produksi air susu, lambatnya pengembalian kondisi tubuh induk setelah melahirkan dan kembali berahi yang lambat. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kegiatan pengaturan reproduksi rusa timor dengan cara stimulasi berahi melalui pemberian bahanbahan alami yang bersifat afrodisiak (perangsang), khususnya yang berasal dari tumbuhan. Salah satu jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan dalam pengaturan reproduksi adalah tabat barito (Ficus deltoidea Jack). De Padua et al. (1999) menyatakan bahwa tabat barito memiliki sifat afrodisiak bagi wanita sehingga dapat digunakan untuk merangsang berahi dan dipercaya mampu mempercepat pemulihan kondisi tubuh setelah melahirkan. Beberapa penelitian terkait pemberian tabat barito terhadap mencit (Mus muculus L) betina menunjukkan hasil yang positif dalam menstimulasi berahi. Selain itu, penelitian pendahuluan yang dilakukan mengindikasikan bahwa pemberian tabat barito dengan dosis 5000 mg selama 7 hari terhadap rusa betina menunjukkan adanya perubahan perilaku seksual berupa munculnya tanda-tanda berahi. Untuk mengetahui dosis yang lebih tepat dan pengaruhnya terhadap perilaku rusa timor maka perlu dilakukan penelitian mengenai efek pemberian tabat barito dengan beberapa dosis terhadap perilaku (harian dan seksual) rusa timor betina di penangkaran Hutan Penelitian

13 2 Dramaga milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui efek pemberian tabat barito terhadap perilaku (harian dan seksual) secara umum pada rusa timor betina di penangkaran. 2. Mengetahui efektivitas dosis tabat barito yang diberikan terhadap perilaku kawin rusa timor betina. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan teknologi bioreproduksi, khususnya rusa timor di penangkaran. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di penangkaran rusa Hutan Penelitian Dramaga milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni Juli Penelitian dibagi dalam 4 (empat) periode dan masing-masing periode selama 10 (sepuluh) hari yang terdiri atas 7 (tujuh) hari masa perlakuan dan 3 (tiga) hari masa pasca perlakuan sehingga total waktu penelitian adalah 40 hari. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas kamera, jam, kalkulator, timbangan (pakan dan digital), software SPSS versi 16.0, tally sheet dan alat tulis. Objek yang digunakan adalah 4 (empat) individu rusa betina dewasa dan rusa jantan yang sudah siap kawin sebanyak 1 (satu) individu. Bahan yang digunakan adalah kapsul kosong, pakan rusa di penangkaran, pisang (Musa paradisiaca Linn) serta penambahan tabat barito (Ficus deltoidea Jack). Daun tabat barito (Lampiran 2) yang kering digiling hingga menjadi serbuk, setelah itu dimasukkan ke dalam kapsul kosong, dengan bobot sebanyak 200 mg/kapsul. Pengumpulan Data dan Informasi Jenis Data Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi perilaku harian yang terdiri atas perilaku makan dan perilaku

14 3 istirahat, serta perilaku seksual. Data sekunder meliputi teknik pemeliharaan rusa di penangkaran. Perilaku makan adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan rusa mulai dari mengkonsumsi rumput yang telah disediakan pengelola di dalam kandang. Data yang dicatat adalah lama makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi dalam sehari. Jenis hijauan pakan yang diberikan selama perlakuan terdiri atas rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum), kaliandra (Calliandra callothyrsus Meissn), aawian (Panicum montanum Roxb), kipait (Axonopus compressus Beauv), mekania (Mikania micrantha Kunth), gewor (Comellina nudiflora L), cabean (Piper retrofractum Vahl), kacangan (Arachis hypogaea L), jagung (Zea mays L) dan kawatan (Cynodon dactylon L). Komposisi pakan yang diberikan setiap periode makan terdiri atas 1 (satu) jenis hijauan rumput yang telah dicacah. Perilaku istirahat adalah kegiatan duduk atau berdiri sambil memamah biak dan memejamkan mata. Data ini diperoleh dengan cara mencatat lama waktu yang digunakan rusa untuk melakukan istirahat dalam sehari. Perilaku seksual rusa timor betina ditunjukkan oleh tanda-tanda berahi yang muncul pada betina, yaitu sebagai berikut: 1. Perilaku urinasi. Data yang diamati dan dicatat adalah waktu pertama kali mulai terlihat perilaku urinasi setelah diberikan perlakuan, serta dihitung frekuensi dan selang waktu setiap perilaku urinasi. 2. Perilaku mengangkat ekor. Data yang diamati dan dicatat adalah waktu pertama kali mulai terlihat perilaku mengangkat ekor setelah diberikan perlakuan, serta frekuensi dan lama betina mengangkat ekor. 3. Perilaku mencium dan menjilati pejantan. Data yang diamati dan dicatat adalah waktu pertama kali mulai terlihat perilaku mengendus dan menjilati pejantan setelah diberikan perlakuan, serta frekuensi dan lama betina mengendus dan menjilati pejantan. 4. Perilaku diam saat didekati pejantan. Data yang dicatat dan diamati adalah waktu pertama kali mulai terlihat perilaku diam saat didekati pejantan setelah diberikan perlakuan, serta mencatat frekuensi dan lama betina diam saat didekati oleh pejantan. 5. Perilaku diam saat dinaiki pejantan. Data yang diamati dan dicatat adalah waktu pertama kali mulai terlihat perilaku diam saat dinaiki pejantan setelah diberikan perlakuan, serta frekuensi dan lama betina diam saat dinaiki oleh pejantan. Metode Pengumpulan Data dan Informasi Rusa betina dianggap sebagai unit percobaan yang homogen dengan menggunakan asumsi sebagai berikut: 1. Memiliki ukuran tubuh dan berat badan yang hampir sama. Sesuai dengan informasi yang diperoleh dari keeper di penangkaran, kisaran berat badan rusa betina antara kg, akan tetapi tidak dilakukan penimbangan. 2. Rusa betina sudah mencapai usia dewasa kelamin. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari keeper di penangkaran, kisaran umur rusa betina antara 2 5 tahun. 3. Selama perlakuan, rusa betina berada pada kondisi lingkungan yang sama, yakni ditempatkan di kandang individu.

15 4 Sebelum pengambilan data primer, terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan selama 7 (tujuh) hari. Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui dosis yang akan digunakan selama perlakuan. Selama penelitian pendahuluan, rusa betina diberi perlakuan tabat barito dengan beberapa dosis yang berbeda sehingga diharapkan akan didapatkan dosis yang sesuai. Dosis yang diberikan yaitu 2000 mg, 3000 mg, 4000 mg dan 5000 mg/individu/hari. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa rusa betina yang diberi perlakuan tabat barito dosis 5000 mg memperlihatkan tanda-tanda berahi yang lebih nyata dibandingkan dengan dosis lain yang lebih rendah. Oleh sebab itu, dosis 5000 mg dijadikan sebagai dosis patokan atau dosis sedang yang akan digunakan dalam penelitian, sehingga untuk perlakuan tertinggi digunakan dosis 6000 mg dan perlakuan terendah digunakan dosis 4000 mg. Penelitian dilakukan dengan metode pengamatan langsung di lapangan menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin (Latin Square Design) 4 x 4. Rusa yang digunakan sebanyak 4 (empat) individu rusa betina yang diberi 4 (empat) perlakuan. Perlakuan yang diberikan yaitu pemberian serbuk tabat barito yang telah dikemas dalam bentuk kapsul. Perlakuan yang diberikan terdiri atas: Perlakuan 1 (R0): kontrol tanpa diberi serbuk tabat barito (0 kapsul) Perlakuan 2 (R1): serbuk tabat barito dengan dosis 4000 mg (20 kapsul) Perlakuan 3 (R2): serbuk tabat barito dengan dosis 5000 mg (25 kapsul) Perlakuan 4 (R3): serbuk tabat barito dengan dosis 6000 mg (30 kapsul) Pemberian kapsul tabat barito dilakukan dengan cara memasukkan kapsul ke dalam pisang (Lampiran 3) selanjutnya diberikan pada rusa timor betina. Pemberian kapsul tabat barito dilakukan sebanyak 1 (satu) kali/hari bersamaan dengan pemberian pakan pagi (pukul WIB) selama 28 hari masa perlakuan. Skema perlakuan seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Skema perlakuan tabat barito terhadap rusa timor betina Periode Nomor rusa I R3 R0 R2 R1 II R1 R3 R0 R2 III R0 R2 R1 R3 IV R2 R1 R3 R0 Data sekunder diperoleh dengan cara wawancara. Wawancara dengan keeper di lapangan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data-data yang relevan untuk mendukung data primer yang diperoleh selama penelitian. Prosedur Pengamatan Prosedur pengamatan terhadap perilaku (harian dan seksual) rusa timor betina adalah sebagai berikut: 1. Pengamatan terhadap perilaku harian dan perilaku seksual dilakukan pada pukul WIB. 2. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu pada pagi hari pukul WIB dan sore hari pukul WIB.

16 5 3. Pengamatan terhadap jumlah konsumsi pakan dihitung berdasarkan jumlah pakan yang diberikan dikurangi jumlah sisa pakan dalam sehari. Jumlah pakan yang diberikan adalah 8 kg/individu/hari (masing-masing 4 kg pada pagi hari dan sore hari). Penimbangan sisa pakan dilakukan setiap periode makan berakhir. Penimbangan sisa pakan pagi dilakukan pada sore hari (sebelum pemberian pakan sore), sementara penimbangan sisa pakan sore dilakukan pada pagi hari (sebelum pemberian pakan pagi pada hari berikutnya). Analisis Data Jumlah Konsumsi Pakan Jumlah konsumsi pakan/individu/hari dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: c = b s Keterangan: c = jumlah konsumsi pakan rusa/individu/hari (kg) b = jumlah pakan yang diberikan/individu/hari (kg) s = jumlah sisa pakan/individu/hari (kg) Perilaku Harian dan Seksual Perilaku harian (makan dan istirahat) dan seksual dianalisis menggunakan software SPSS versi 16.0 dengan Analisis of Varian (ANOVA) melalui uji F untuk menggambarkan keseluruhan perilaku yang diamati (perilaku harian dan seksual). Apabila ditemukan perbedaan maka dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) pada taraf kepercayaan 95% (Johnson & Bhattacharyya 1992). Persamaan yang digunakan dalam Rancangan Bujur Sangkar Latin (Latin Square Design) 4 x 4 adalah sebagai berikut: Y ij(k) = μ + α i + β j + τ (k) + ε ij(k) Keterangan: Y ij(k) = nilai pengamatan dari perlakuan ke-k pada rusa ke-i dan periode ke-j μ = nilai rata-rata α i = pengaruh rusa ke-i; 1-4 β j = pengaruh periode ke-j; 1-4 τ (k) = pengaruh perlakuan ke-k; 1-4 ε ij(k) = kesalahan baku (error) HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Senyawa Tabat Barito Hasil analisis fitokimia tabat barito menggunakan teknik visualisasi warna yang dilakukan oleh Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM IPB, No /LPSB IPB/V/13 (Lampiran 1) menunjukkan bahwa sampel serbuk tabat barito mengandung 6 (enam) senyawa kimia yang terdiri atas Alkaloid, Flavonoid,

17 6 Tanin, Saponin, Hidroquinon dan Steroid. Berdasarkan hasil analisis tersebut, tabat barito diduga dapat digunakan untuk stimulasi berahi karena mengandung senyawa steroid. Kandungan senyawa steroid dalam tanaman ini diduga dapat mempengaruhi perilaku seksual dan proses reproduksi rusa timor betina. Masy ud (1995) menjelaskan bahwa hormon steroid merupakan hormon yang dihasilkan oleh gonad (testosteron dari testis, estrogen dan progesteron dari ovarium) memegang peranan penting atas aspek-aspek perilaku reproduksi (perilaku berahi, kawin, bunting dan melahirkan), perkembangan dan pemeliharaan sifat-sifat kelamin sekunder serta pemeliharaan organ-organ reproduksi dan kebuntingan. Kristina dan Syahid (2012) melaporkan bahwa tabat barito merupakan salah satu tanaman afrodisiak untuk wanita. Tanaman yang dikelompokkan dalam afrodisiak ini berfungsi untuk membangkitkan gairah seksual. Suryati et al. (2009) menyatakan penggunaan tabat barito juga bermanfaat untuk merapatkan rahim, bahkan sudah dikembangkan produksi dalam bentuk jamu yang dikenal dengan nama jamu sari rapet. Beberapa penelitian mengenai pemberian tabat barito telah dilakukan pada jenis satwa selain rusa. Penelitian Karim (2007) menunjukkan bahwa pemberian perlakuan infus tabat barito pada mencit betina dapat meningkatkan kadar progesteron namun tidak signifikan. Gard (1998) diacu dalam Karim (2007) menyatakan peningkatan tersebut berhubungan dengan fungsi dari tabat barito sebagai tanaman afrodisiak, sehingga diduga senyawa yang terkandung dalam tabat barito dapat menginduksi GnRH pada hipotalamus atau merangsang pembentukan LH dan FSH pada hipofisis. Peningkatan GnRH dapat meningkatkan sekresi LH dan FSH yang selanjutnya merangsang pembentukan progesteron. Noris (1980) menyebutkan secara tidak langsung GnRH memegang peranan penting dalam kesediaan kawin. Awal kesediaan kawin pada hewan terkait erat dengan meningkatnya aktivitas sekresi GnRH sehingga diduga dapat mempengaruhi pusat seks di hipotalamus untuk kesediaan kawin. Rohma (2003) melaporkan bahwa tabat barito mengandung senyawa yang memiliki fungsi mirip dengan progesteron. Hormon progesteron tersebut sangat penting untuk merangsang gairah seks wanita, mempertahankan kehamilan serta memelihara pertumbuhan dan perkembangan embrio dalam rahim. Hasil penelitian Sorensen (1979) menunjukkan bahwa implan hormon progesteron dengan dosis 50 mg selama 12 hari pada sapi menyebabkan berahi 93% dari 143 ekor yang diimplan. Partodiharjo (1987) menyatakan pemberian hormon progesteron menjelang berahi dapat memekakan syaraf pusat dan alat kelamin sehingga berahi lebih cepat terlihat. Saladin (1998) diacu dalam Karim (2007) menyatakan progesteron sangat diperlukan pada saat menjelang estrus karena menyebabkan pengentalan lendir pada vagina dan serviks. Tjahjanto (2001) menambahkan tabat barito yang sering digunakan sebagai jamu untuk wanita diduga mempunyai hubungan dengan hormon-hormon reproduksi wanita, khususnya estrogen. Tabat barito diduga mengandung senyawa-senyawa fitoestrogen. Kaldas dan Hughes (1989) menjelaskan fitoestrogen adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan yang memiliki fungsi dan struktur mirip dengan hormon estrogen atau memiliki efek estrogenik. Toelihere (1981) menyatakan bahwa hormon estrogen merupakan hormon kelamin betina yang bertanggung jawab atas kelakuan berahi karena hormon ini langsung mempengaruhi syaraf pusat dan dimanifestasikan dalam bentuk berahi.

18 7 Nessan dan King (1981) mengemukakan bahwa kerja hormon estrogen adalah untuk meningkatkan sensitivitas organ kelamin betina yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada vulva dan keluarnya lendir transparan dari vulva. Pengaruh Tabat Barito terhadap Perilaku Harian Perilaku Makan dan Tingkat Konsumsi Pakan Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama waktu makan rusa timor betina yang diberi perlakuan tabat barito cenderung menurun sejalan dengan kenaikan dosis yang diberikan (Gambar 1). Rusa dengan perlakuan tabat barito dosis 0 mg memiliki rata-rata lama waktu makan 5,27 ± 1,27 jam, rusa dengan perlakuan dosis 4000 mg memiliki rata-rata lama waktu makan 5,18 ± 1,17 jam, rusa dengan perlakuan dosis 5000 mg memiliki rata-rata lama waktu makan 5,14 ± 1,59 jam dan rusa dengan perlakuan dosis 6000 mg memiliki rata-rata lama waktu makan 5,02 ± 1,53 jam. Lama waktu (jam) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 1 Rata-rata lama waktu makan rusa timor betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata lama waktu makan rusa timor betina yang diberi perlakuan tabat barito dengan dosis berbeda adalah 5,15 ± 0,71 jam/hari. Berbeda dengan hasil penelitian Amiati (2013), rata-rata lama waktu makan rusa timor pada kandang individu di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah 184,18 menit/hari atau 3,07 jam/hari. Sebagai perbandingan, Febria (2012) menyatakan bahwa rusa timor jantan yang diberi perlakuan pasak bumi memiliki rata-rata lama waktu makan 4,78 ± 0,31 jam/hari. Perbedaan hasil penelitian tersebut diduga disebabkan oleh pemberian tabat barito sehingga menyebabkan rata-rata lama waktu makan rusa menjadi lebih tinggi. Artinya tabat barito dapat merangsang nafsu makan rusa betina sehingga rata-rata lama waktu makan menjadi meningkat. Dugaan tersebut didukung oleh hasil perhitungan terhadap jumlah konsumsi pakan rusa timor betina yang diberi perlakuan tabat barito. Rata-rata jumlah konsumsi pakan rusa timor betina yang diberi tabat barito cenderung meningkat sejalan dengan kenaikan dosis yang diberikan (Gambar 2). Rusa perlakuan dosis 0 mg rata-rata mengkonsumsi pakan sebanyak 7,62 ± 0,61 kg, rusa perlakuan dosis 4000 mg memiliki rata-rata jumlah konsumsi pakan sebanyak 7,63 ± 0,69 kg, rusa perlakuan dosis 5000 mg rata-rata mengkonsumsi pakan sebanyak 7,64 ± 0,96 kg dan rusa perlakuan dosis 6000 mg mengkonsumsi pakan sebanyak 7,66 ± 0,85 kg.

19 8 Konsumsi pakan (kg) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 2 Rata-rata konsumsi pakan rusa timor betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda Rata-rata tingkat konsumsi pakan rusa timor betina yang diberi perlakuan tabat barito sebesar 7,64 ± 0,39 kg/individu/hari. Angka tersebut lebih tinggi dari hasil yang diperoleh Kwatrina et al. (2011) bahwa rata-rata tingkat konsumsi pakan harian rusa timor di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga sebesar 6,4 kg/individu/hari. Sebagai perbandingan, Febria (2012) menyatakan rata-rata tingkat konsumsi pakan rusa timor jantan yang diberi perlakuan pasak bumi adalah 5,83 ± 0,93 kg/individu/hari. Tingginya tingkat konsumsi dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh pemberian tabat barito. Pemberian tabat barito dengan beberapa dosis diduga dapat meningkatkan konsumsi pakan rusa sesuai dengan rata-rata lama waktu makan yang cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Meskipun rata-rata lama waktu makan cenderung menurun sejalan dengan peningkatan dosis tabat barito yang diberikan, akan tetapi rata-rata jumlah konsumsi pakan cenderung meningkat. Artinya, lama waktu makan menjadi lebih singkat namun jumlah pakan yang dikonsumsi meningkat. Perilaku Istirahat Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas istirahat pada rusa timor betina lebih banyak diisi oleh aktivitas duduk, memejamkan mata dan memamah biak. Rusa timor betina segera melakukan aktivitas istirahat setelah aktivitas makan selesai. Rusa melakukan aktivitas istirahat dengan cara duduk (kaki depan dilipat ke belakang, kaki belakang dilipat ke depan) sambil memejamkan mata dan memamah biak (Gambar 3). Gambar 3 Perilaku istirahat pada rusa timor betina

20 9 Hasil penelitian menunjukkan rata-rata lama waktu istirahat pada rusa timor betina yang diberi perlakuan tabat barito cenderung meningkat sejalan dengan kenaikan dosis yang diberikan (Gambar 4). Hasil pengukuran waktu istirahat pada rusa timor betina yang diberi perlakuan tabat barito dengan dosis 0 mg diperoleh rata-rata lama waktu istirahat 3,45 ± 1,43 jam, rusa betina dengan perlakuan dosis 4000 mg memiliki rata-rata lama waktu istirahat 3,47 ± 1,45 jam, rusa betina dengan perlakuan dosis 5000 mg memiliki rata-rata lama waktu istirahat 3,55 ± 1,69 jam dan rusa betina dengan perlakuan dosis 6000 mg memiliki rata-rata lama waktu istirahat 3,56 ± 1,55 jam. Diperoleh rata-rata lama waktu istirahat rusa timor betina yang diberi perlakuan tabat barito dengan beberapa dosis adalah 3,51 ± 0,78 jam/hari. Angka tersebut berbeda dengan hasil penelitian Febria (2012), rata-rata lama waktu istirahat rusa timor jantan yang diberi perlakuan pasak bumi adalah 4,22 ± 0,41 jam/hari. Rendahnya rata-rata lama waktu istirahat dalam penelitian ini merupakan implikasi dari tingginya rata-rata lama waktu makan, sehingga semakin tinggi rata-rata lama waktu makan maka mengakibatkan semakin rendah rata-rata lama waktu istirahat. Gambar 4 Rata-rata lama waktu istirahat rusa timor betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda Secara keseluruhan angka aktual yang diperoleh untuk perilaku makan, perilaku istirahat serta tingkat konsumsi pakan mengindikasikan bahwa pemberian tabat barito dengan dosis 0 mg, 4000 mg, 5000 mg dan 6000 mg menunjukkan adanya perbedaan. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pemberian tabat barito dengan beberapa dosis tidak mengindikasikan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap perilaku makan, perilaku istirahat dan tingkat konsumsi pakan rusa timor betina (Tabel 2). Perlakuan (mg) Lama waktu (jam) Tabel 2 Rata-rata perilaku harian rusa timor betina selama perlakuan Lama makan/hari (jam) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Tingkat konsumsi pakan/ind/hari (kg) Lama istirahat/hari (jam) 0 5,29 a 7,63 a 3,41 a ,20 a 7,64 a 3,40 a ,17 a 7,66 a 3,54 a ,04 a 7,65 a 3,56 a Keterangan: a = tidak berbeda nyata

21 10 Pengaruh Tabat Barito terhadap Perilaku Seksual Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, rusa betina yang diberi perlakuan tabat barito menunjukkan beberapa tanda berahi antara lain perilaku urinasi, mengangkat ekor, mengendus dan menjilati pejantan, diam saat didekati pejantan serta diam saat dinaiki pejantan. Penelitian ini menggunakan rusa jantan yang dimaksudkan untuk memberikan rangsangan agar betina dapat menunjukkan tanda-tanda berahi tersebut, serta dapat diketahui berbagai respon betina terhadap rangsangan yang diberikan oleh pejantan. Pejantan yang dipilih adalah pejantan yang memiliki ranggah keras. Handarini (2006) menyatakan pada periode ini rusa jantan menghasilkan spermatozoa yang berkualitas baik dengan kesuburan tinggi. Pengamatan perilaku seksual pada rusa timor betina dideskripsikan berdasarkan tingkah laku pra-kopulasi, kopulasi dan pasca kopulasi. Pra-kopulasi Becker et al. (1992) diacu dalam Murti (2012) menyatakan bahwa tingkah laku pra-kopulasi penting untuk terjadinya kopulasi, biasanya disebut dengan tingkah laku percumbuan (courtship) dan merupakan stimulasi fisik yang menandakan betina dalam kondisi estrus. Perilaku betina yang termasuk prakopulasi dalam penelitian ini terdiri atas perilaku urinasi, perilaku mengangkat ekor, perilaku mengendus dan menjilati pejantan serta perilaku diam didekati. Perilaku Urinasi Relatif seringnya frekuensi pengeluaran urin merupakan salah satu tanda berahi yang mudah diamati (Takandjandji 2012). Berdasarkan hasil pengamatan, rusa yang tidak diberi perlakuan tabat barito (dosis 0 mg) memiliki rata-rata frekuensi urinasi lebih rendah dibandingkan dengan rusa yang diberi perlakuan tabat barito. Terlihat kenaikan rata-rata frekuensi urinasi sejalan dengan kenaikan dosis yang diberikan (Gambar 5). Frekuensi (kali) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 5 Rata-rata frekuensi perilaku urinasi pada rusa timor betina akibat pemberian tabat barito dengan dosis berbeda Semakin tinggi dosis tabat barito yang diberikan juga berpengaruh terhadap selang waktu urinasi rusa timor betina. Selang waktu urinasi pada rusa timor betina yang diberi perlakuan tabat barito terlihat fluktuatif pada masing-masing perlakuan dosis (Gambar 6).

22 11 Lama waktu (menit) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 6 Rata-rata selang waktu perilaku urinasi pada rusa timor betina akibat pemberian tabat barito dengan dosis berbeda Rusa betina dengan perlakuan tabat barito dosis 0 mg memiliki rata-rata frekuensi paling rendah dan rata-rata selang waktu urinasi paling tinggi. Sementara rusa betina yang diberi perlakuan tabat barito (dosis 4000 mg, 5000 mg dan 6000 mg) memiliki rata-rata frekuensi lebih tinggi dan rata-rata selang waktu urinasi lebih rendah. Hal tersebut menandakan bahwa pemberian tabat barito diduga dapat menyebabkan rusa betina menjadi berahi sehingga menunjukkan perilaku urinasi dengan frekuensi yang tinggi dan selang waktu yang rendah. Andijarso (1988) menyatakan bahwa perilaku urinasi merupakan suatu respon positif yang ditunjukkan oleh betina ketika pejantan mulai aktif dan agresif saat mendekati betina, terutama saat mencium dan menjilati alat kelamin betina. Hal tersebut menandakan bahwa betina dalam kondisi berahi, seperti terlihat pada rusa betina yang diberi perlakuan dosis 6000 mg memiliki rata-rata frekuensi urinasi paling tinggi dan selang waktu paling rendah. Hal tersebut menunjukkan semakin tinggi dosis tabat barito yang diberikan maka semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap perilaku urinasi. Tabat barito diduga mengandung senyawa fitoestrogen sehingga berfungsi seperti hormon estrogen. Yoles et al. (2005) diacu dalam Putra (2009) menyatakan bahwa estrogen dapat berperan sebagai kontrol umpan balik positif dengan menstimulasi sekresi LH dan FSH. Peningkatan sekresi hormon FSH dan LH ini akan mempengaruhi stimulan seksual. Timbulnya stimulan seksual tersebut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap masing-masing jenis satwa, salah satunya pada rusa adalah meningkatnya kadar diuretik. Diuretik adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu kondisi, sifat atau penyebab naiknya laju urinasi. Tingginya laju urinasi tersebut berfungsi untuk melumasi alat kelamin, serta merupakan salah satu tanda bahwa satwa betina sedang dalam kondisi terangsang. Perilaku Mengangkat Ekor Berdasarkan pengamatan, diperoleh hasil yang fluktuatif terhadap frekuensi mengangkat ekor pada betina yang diberi perlakuan tabat barito dengan beberapa dosis. Rata-rata frekuensi mengangkat ekor tertinggi terjadi pada rusa perlakuan dosis 5000 mg dan rata-rata frekuensi terendah terjadi pada rusa perlakuan dosis 0 mg (Gambar 7).

23 12 Frekuensi (kali) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 7 Rata-rata frekuensi perilaku mengangkat ekor pada rusa betina akibat pemberian tabat barito dengan dosis berbeda Perilaku mengangkat ekor merupakan salah satu tanda betina sedang dalam kondisi berahi. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi dosis tabat barito yang diberikan tidak menyebabkan semakin tingginya frekuensi mengangkat ekor. Hal tersebut terlihat pada rusa perlakuan dosis 6000 mg yang memiliki rata-rata frekuensi lebih rendah dibandingkan dengan rusa perlakuan dosis 5000 mg. Mengacu pada laporan Masy ud (1989), bahwa mengangkat ekor merupakan suatu respon positif dari betina apabila terdapat rangsangan yang sangat aktif dan agresif dari pejantan dalam menjilati vulva betina. Berdasarkan hasil pengamatan, pejantan terlihat lebih agresif dalam perilaku mencium dan menjilati vulva betina ketika digabung dengan rusa betina perlakuan dosis 5000 mg. Terhitung rata-rata frekuensi pejantan dalam mencium dan menjilati vulva betina pada perlakuan dosis 5000 mg sebanyak 16 kali. Adapun rata-rata frekuensi pejantan dalam mencium dan menjilati vulva betina dengan perlakuan dosis 6000 mg terhitung sebanyak 12 kali. Terlihat peningkatan rata-rata lama waktu yang tinggi dalam perilaku mengangkat ekor pada betina perlakuan dosis 6000 mg (Gambar 8). Rata-rata lama waktu perilaku mengangkat ekor terlihat sangat tinggi pada betina dengan perlakuan dosis 6000 mg meskipun memiliki rata-rata frekuensi yang lebih rendah dari rusa betina yang diberi perlakuan dosis 5000 mg. Hal tersebut diduga pemberian tabat barito dengan dosis 6000 mg menyebabkan rusa betina menjadi berahi sehingga memiliki rata-rata lama waktu mengangkat ekor yang jauh lebih tinggi dibandingkan rusa betina yang diberi perlakuan dosis lain. Lama waktu (detik) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 8 Rata-rata lama waktu perilaku mengangkat ekor pada rusa betina akibat pemberian tabat barito dengan dosis berbeda

24 13 Perilaku Mengendus dan Menjilati Pejantan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rusa betina dengan perlakuan tabat barito dosis 6000 mg memiliki frekuensi paling tinggi dalam perilaku mengendus dan menjilati pejantan. Semakin tinggi dosis semakin tinggi pula frekuensi mengendus dan menjilati pejantan (Gambar 9). Frekuensi (kali) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 9 Rata-rata frekuensi perilaku mengendus dan menjilati pejantan pada rusa betina yang diberi perlakuan tabat barito dengan dosis berbeda Diduga pemberian tabat barito dengan dosis 6000 mg menyebabkan rusa betina menjadi berahi sehingga tidak menolak saat didekati pejantan dan kemudian bergantian mengendus dan menjilati pejantan. Sesuai dengan pernyataan Andijarso (1988) bahwa pada betina yang sudah terangsang maka akan bergantian menjilati bagian-bagian tubuh pejantan tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rusa betina dengan perlakuan tabat barito dosis 0 mg, 4000 mg dan 5000 mg tidak memberikan respon positif, bahkan cenderung menjauh ketika didekati oleh pejantan. Artinya, perlakuan dosis tersebut belum cukup optimal dalam merangsang rusa betina menjadi berahi (estrus). Berdasarkan pengamatan, perilaku mengendus dan menjilati pejantan terlihat ketika rusa betina dan rusa jantan sedang melakukan aktivitas istirahat bersama dalam posisi duduk (Gambar 10). Betina diam ketika pejantan mulai mendekat, mencium, mengendus dan menjilati betina. Kemudian setelah pejantan diam, betina mulai bergantian mengendus bagian wajah pejantan, selanjutnya betina mulai menjilati area sekitar mata dan telinga pejantan berkali-kali. Sedikit berbeda dengan pernyataan Alexander et al. (1980) diacu dalam Murti (2012) bahwa pada rusa timor jantan tingkah laku mengendus dan menjilati betina merupakan pola perilaku mencumbu yang paling sering dilakukan. Hal ini merupakan salah satu fungsi yang sangat penting sebagai komunikasi secara kimiawi melalui indra penciuman. Adapun tingkah laku rusa timor betina pada saat bercumbu lebih bersifat pasif, dalam arti membiarkan dicumbu oleh pejantan. Sering juga terjadi sebaliknya, betina mencumbu pejantan dengan cara menggesek-gesekan kepala pada leher pejantan, kemudian menjilati bulu pejantan di sekitar perut yang menyebabkan penis pejantan menjadi ereksi. Ereksi pada pejantan ditandai dengan keluarnya gland penis dari preputium.

25 14 Gambar 10 Perilaku mengendus dan menjilati pejantan Waktu yang teramati untuk mengendus dan menjilati pejantan terlihat pada Gambar 11, rusa dengan perlakuan dosis 6000 mg memiliki rata-rata lama waktu paling tinggi. Hal ini sesuai dengan tingginya rata-rata frekuensi betina perlakuan tabat barito dosis 6000 mg. Semakin tinggi rata-rata frekuensi semakin tinggi pula rata-rata lama waktu yang digunakan betina untuk mengendus dan menjilati pejantan, sebaliknya semakin rendah rata-rata frekuensi maka semakin rendah pula rata-rata lama waktu yang digunakan dalam perilaku mengendus dan menjilati pejantan. Lama waktu (detik) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 11 Rata-rata lama waktu perilaku mengendus dan menjilati pejantan pada rusa betina yang diberi perlakuan tabat barito Perilaku Diam Didekati Rusa betina yang mendapat rangsangan dari pejantan menunjukkan respon yang berbeda pada masing-masing perlakuan dosis tabat barito yang diberikan. Rusa dengan perlakuan tabat barito dosis 6000 mg cenderung menunjukkan respon diam ketika didekati oleh pejantan. Berbeda dengan betina perlakuan tabat barito dosis 5000 mg, 4000 mg dan 0 mg yang cenderung tidak merespon. Betina dengan ketiga perlakuan dosis tersebut sering terlihat menjauh dan melakukan aktivitasnya sendiri. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Andijarso (1988), jika betina tidak bereaksi maka betina akan terus melakukan aktivitasnya sendiri, seperti berjalan, makan atau duduk beristirahat. Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh rata-rata frekuensi tertinggi pada perilaku diam didekati pejantan terjadi pada betina perlakuan tabat barito dosis 6000 mg. Rusa betina betina perlakuan dosis 4000 mg dan 5000 mg memiliki rata-rata frekuensi yang sama dan rata-rata frekuensi paling rendah terjadi pada betina perlakuan dosis 0 mg (Gambar 12).

26 15 Frekuensi (kali) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 12 Rata-rata frekuensi perilaku diam didekati pejantan pada rusa betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan terkait lama waktu perilaku diam didekati. Betina dengan perlakuan dosis 6000 mg memiliki rata-rata lama waktu tertinggi (Gambar 13). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian tabat barito dengan dosis 6000 mg diduga menyebabkan betina menjadi berahi sehingga bersikap lebih tenang dalam menghadapi pejantan, tidak menolak dan tidak menghindar. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Samsudewa dan Susanti (2008), saat rusa timor betina berahi lebih sering menyendiri, nafsu makan menurun dan relatif diam saat didekati pejantan. Berbeda dengan betina perlakuan dosis 5000 mg, 4000 mg dan 0 mg yang cenderung menghindar ketika didekati pejantan. Respon tersebut antara lain berlari menjauh, melanjutkan aktivitasnya sendiri atau duduk di lantai kandang untuk menghindar dari pejantan yang berusaha mencium dan menjilati vulva betina. Lama waktu (detik) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 13 Rata-rata lama waktu perilaku diam didekati pada rusa betina yang diberi tabat barito dengan dosis berbeda Kopulasi Hasil pengamatan menunjukkan betina dengan perlakuan dosis 0 mg, 4000 mg dan 5000 mg memberikan respon yang sama dalam perilaku diam dinaiki, yaitu selalu menghindar ketika pejantan berusaha menaiki punggung betina. Respon yang sangat berbeda ditunjukkan oleh betina dengan perlakuan dosis 6000 mg yang memberikan respon positif ketika pejantan berusaha menaiki. Berdasarkan hasil pengamatan, rusa betina dengan perlakuan dosis 6000 mg bersedia dinaiki (dikawini) oleh pejantan pada hari ke-6 perlakuan (Gambar 14). Hal tersebut dapat terjadi karena pemberian tabat barito dengan dosis 6000 mg

27 16 diduga menyebabkan rusa betina menjadi berahi sehingga tidak menolak untuk kawin. Sesuai dengan pernyataan Toelihere (1985) bahwa timbulnya rangsangan pertama ke arah perilaku kawin datang dari tubuh betina, yaitu pada saat betina dalam keadaan berahi (estrus), sehingga hanya pada saat estrus saja betina mau melakukan kawin. Lebih lanjut ditegaskan bahwa periode estrus ditetapkan sebagai periode waktu betina mau menerima pejantan dan akan berdiri diam dinaiki. Estrus merupakan suatu kejadian fisiologik pada hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan untuk kawin. Partodiharjo (1992) menambahkan bahwa estrus pada betina merupakan fase yang sangat penting yang ditandai dengan terjadinya kopulasi. Dilaporkan pula oleh Andijarso (1988) bahwa pada betina yang sudah terangsang maka akan bergantian menjilati bagian-bagian tubuh pejantan tertentu dan sebagai puncaknya akan terjadi kopulasi selama 2 3 detik. Gambar 14 Rusa timor betina diam saat dinaiki oleh pejantan Hasil penelitian menunjukkan bahwa rusa timor betina dengan perlakuan tabat barito dosis 6000 mg bersedia dikawini sebanyak 4 kali dalam waktu 2,03 jam. Hal ini sejalan dengan penelitian Wibowo (1985) bahwa selama berahi seekor rusa betina bisa dinaiki 3 4 kali selama 2 jam oleh seekor pejantan. Adapun perilaku diam dinaiki (kawin) ini hanya terjadi pada hari ke-6 perlakuan saja, sementara hari berikutnya betina tidak lagi bersedia untuk kawin. Hal tersebut berbeda dengan pernyataan Masy ud (1995) bahwa lama periode estrus bervariasi dari 12 jam sampai beberapa hari, dan lama estrus untuk rusa timor betina dapat berlangsung selama 2 3 hari. 2 Frekuensi (kali) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Gambar 15 Rata-rata frekuensi perilaku diam dinaiki pada rusa betina yang diberi perlakuan tabat barito dengan dosis berbeda

28 17 Andijarso (1988) melaporkan bahwa puncak perilaku kawin adalah ketika pejantan menaiki betina dan menusukkan penisnya dengan hentakan yang cukup kuat, dimana kejadian tersebut berlangsung antara 2 3 detik saja. Dijelaskan bahwa kopulasi (kawin) merupakan suatu puncak dari keseluruhan perilaku berahi pada rusa betina. Mengacu pada pernyataan tersebut, hanya betina perlakuan dosis 6000 mg saja yang menunjukkan perilaku berahi sampai kondisi puncak. Hal ini terlihat pada rata-rata frekuensi perilaku diam dinaiki (Gambar 15) dan rata-rata lama waktu perilaku diam dinaiki (Gambar 16), hanya betina perlakuan dosis 6000 mg saja yang menunjukkan respon positif sedangkan betina perlakuan dosis lain (0 mg, 4000 mg dan 5000 mg) cenderung menghindar ketika dinaiki oleh pejantan. Gambar 16 Rata-rata lama waktu perilaku diam dinaiki pada rusa betina yang diberi perlakuan tabat barito dengan dosis berbeda Berdasarkan angka aktual, pemberian tabat barito dengan dosis 0 mg, 4000 mg, 5000 mg dan 6000 mg menunjukkan perbedaan terhadap perilaku seksual rusa timor betina. Menurut hasil analisis statistika, pemberian tabat barito dengan beberapa dosis menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada perilaku urinasi, perilaku mengangkat ekor, perilaku diam didekati dan perilaku diam dinaiki, akan tetapi menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) pada frekuensi perilaku mengendus dan menjilati pejantan (Tabel 3). Tabel 3 Rata-rata perilaku seksual rusa timor betina selama perlakuan Perilaku seksual Lama waktu (detik) Frekuensi (kali)/ Lama (detik) Rusa dengan perlakuan dosis (mg) Perlakuan (mg/individu/hari) R0 (0) R1 (4000) R2 (5000) R3 (6000) Urinasi Frekuensi 3,33 a 7,96 a 8 a 14 a Selang waktu 6318 a 2686,80 a 3383,40 a 1671 a Mengangkat Frekuensi 0 a 0,25 a 4,88 a 4,50 a ekor Lama 0 a 1,63 a 37,88 a 814,13 a Mengendus Frekuensi 0,13 a 0,13 a 0,50 a 2,75 b dan menjilati Lama 0,25 a 0,38 a 2,25 a 14,50 a Diam didekati Frekuensi 1,25 a 2 a 2 a 5,13 a Lama 5,88 a 14,88 a 17,25 a 66,63 a Diam dinaiki Frekuensi 0 a 0 a 0 a 1,63 a Lama 0 a 0 a 0 a 11,50 a Keterangan: a = berbeda nyata, b = tidak berbeda nyata

29 18 Pasca Kopulasi Tingkah laku yang ditunjukkan oleh betina pasca kopulasi adalah cenderung menghindar saat pejantan berusaha mendekat, mengendus atau menjilati vulva betina serta menaiki punggung betina. Betina menghindari pejantan dengan cara menutup vulva menggunakan ekor serta seringkali terlihat duduk di lantai kandang untuk menghindari pejantan menaiki punggung betina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rusa betina bersedia untuk kopulasi pada hari ke-6 perlakuan, akan tetapi pada hari berikutnya betina tidak lagi menunjukkan perilaku diam dinaiki yang menandakan bahwa betina tidak memiliki kesediaan untuk kopulasi. Berdasarkan pengamatan, pada hari berikutnya setelah terjadi aktivitas kopulasi rusa betina masih menunjukkan tanda-tanda estrus namun menolak untuk aktivitas kopulasi. Hal tersebut diduga karena masa estrus betina telah berakhir (metestrus) sehingga betina tidak lagi bersedia untuk kopulasi (kawin). Dijelaskan oleh Masy ud (1995) bahwa metestrus adalah fase yang terjadi segera setelah estrus selesai, meski tanda-tanda estrus masih dapat terlihat tetapi betina telah menolak untuk aktivitas kopulasi. Demikian pula dilaporkan oleh Partodiharjo (1992) bahwa estrus pada betina merupakan fase yang sangat penting yang ditandai dengan terjadinya kopulasi. Apabila betina menolak untuk kopulasi walaupun gejala-gejala estrus terlihat dengan jelas, maka penolakan tersebut memberi pertanda bahwa betina masih dalam fase proestrus atau fase estrus telah lewat (metestrus). Masy ud (1995) melaporkan bahwa faktor yang berkaitan erat dengan aktivitas reproduksi adalah konsentrasi hormon di dalam tubuh satwa. Rusa betina tidak lagi bersedia untuk melakukan aktivitas kopulasi (kawin) diduga karena konsentrasi progesteron di dalam tubuhnya telah meningkat dan konsentrasinya tinggi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa berahi (estrus) hanya terjadi ketika konsentrasi progesteron rendah (<0,1 ng/ml), kemudian meningkat secara gradual mencapai nilai puncak (3,0 8,0 ng/ml) antara hari sesudah berahi. Pola tersebut akan berulang lagi ketika rusa betina memasuki musim kawin berikutnya. Maeda et al. (2000) menyatakan bahwa kadar progesteron tergolong rendah selama estrus dan semakin meningkat sampai masa non-estrus tercapai. Berdasarkan pernyataan tersebut, diketahui bahwa rusa betina hanya estrus dan siap kawin apabila konsentrasi progesteron di dalam tubuhnya rendah. Selama konsentrasi progesteron tinggi dan mencapai kondisi puncaknya, maka estrus tidak akan terjadi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemberian tabat barito dengan dosis 0 mg, 4000 mg, 5000 mg dan 6000 mg tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap perilaku makan, perilaku istirahat, tingkat konsumsi pakan, perilaku urinasi, perilaku mengangkat ekor, perilaku diam didekati serta perilaku diam dinaiki, akan tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap perilaku mengendus dan menjilati pejantan.

30 19 2. Rusa betina yang diberi perlakuan tabat barito dengan dosis 6000 mg menunjukkan tanda berahi (estrus) sehingga bersedia dinaiki (kopulasi) pada hari ke-6 perlakuan. Saran Beberapa hal yang dapat disarankan dalam penelitian ini adalah: 1. Pemberian tabat barito dengan dosis 6000 mg dapat digunakan dalam menstimulasi berahi rusa timor betina untuk melakukan kopulasi (kawin). 2. Untuk mengetahui efektivitas dosis diperlukan penelitian lanjutan dengan dosis >6000 mg. 3. Pemberian tabat barito sebaiknya dikaitkan dengan musim kawin rusa timor karena perlakuan akan lebih efektif apabila dilakukan pada saat menjelang musim kawin. DAFTAR PUSTAKA Amiati DA Perilaku dan pola konsumsi rusa timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) di penangkaran akibat pemberian pakan oleh pengunjung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Andijarso Beberapa pola penangkaran rusa bawean (Axis kuhlii) di daerah Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. De Padua LS, Bunyapraphatsara N, Lemmen RHMJ Plant resources of South-East Asia. Medicinal and Poisonous 12 (1): English AW Management strategies for farmed chital deer. In: Brown RD (ed) The Biology of Deer. New York (US): Springer-Verlag. Febria R Efek pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) terhadap perilaku rusa timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) jantan di penangkaran, Hutan Penelitian Dramaga, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Handarini R Dinamika aktivitas reproduksi berkaitan dengan tahap pertumbuhan ranggah rusa timor (Cervus timorensis) jantan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Johnson RA, Bhattacharyya GK Statistics Principles and Methods. New York (US): John Wiley. Kaldas RS, Hughes CL Reproductive and general metabolic effects of phytoestrogens in mammals. Reprod Toxicol (3): Karim AK Kadar progesteron mencit betina (Mus musculus L) setelah pemberian infus batang tabat barito (Ficus deltoidea Jack). Sains 7 (1): Kristina NN, Syahid SF Induksi perakaran dan aklimatisasi tanaman tabat barito setelah konservasi in vitro jangka panjang. Bul. Littro 23 (1): Kwatrina RT, Takandjandji M, Bismark M Ketersediaan tumbuhan pakan dan daya dukung habitat Rusa timorensis de Blainville, 1822 di kawasan Hutan Penelitian Dramaga. Buletin Plasma Nutfah 17 (2):

31 20 Maeda K, Ohkura S, Tsukamura H Physiology of Reproduction. In The Handbook of Experimental Animals: The Laboratory Rat. Krinke GJ (ed.). London (GB): Academic Pr. Masy ud B Mekanisme Kelakuan Reproduksi pada Rusa. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Masy ud B Pengantar Biologi Reproduksi pada Satwaliar. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Masy ud B, Taurin MB Karakteristik dan pengawetan sperma rusa timor (Cervus timorensis). Media Konservasi 6 (3): Murti S Tingkah laku reproduksi dan tingkah laku harian rusa timor (Rusa timorensis de Balinville, 1822) [skripsi]. Bengkulu (ID): Universitas Bengkulu. Nessan GK, King GJ Sexual behavior in ovariectomized cows treated with oestradion benzoate and testosterone propionate. Jurnal Reprod. Ind. Fert. 61: Noris DO Vetebrate endocrinology. Philadelphia (US): LEA and Febiger. Partodiharjo S Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta (ID): Mutiara Sumber Widya. Partodiharjo S Ilmu Reproduksi Hewan. Ed. Ke-3. Jakarta (ID): Mutiara Sumber Widya. [PP No 8] Peraturan Pemerintah Nomor Pemanfaatan Jenis Satwaliar dan Tumbuhan. Putra AP Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rohma Z Pengaruh infus batang tabat barito (Ficus deltoidea Jack) terhadap perkembangan uterus dan vagina mencit (Mus muculus L) [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Samsudewa D, Susanti S Studi tingkah laku rusa timor (Cervus timorensis) di Kepulauan Karimun Jawa. Agromedia 26 (2): Semiadi G, Adhi IGMJ, Trasodiharto A Pola kelahiran rusa sambar (Cervus unicolor) di penangkaran Kalimantan Timur. Biodiversitas 6 (1): Semiadi G, Nugraha RTP Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor (ID): Pusat Penelitian Biologi LIPI. Sorensen AM Animal Reproduction. New York (US): McGraw-Hill. Suryati, Hazli N, Dachriyanus, Nordin HL Profil fitokimia dan aktivitas antiasetikolinesterase dari daun tabat barito (Ficus deltoidea Jack). Jurnal Riset Kimia 2 (2): Takandjandji M Teknik Penangkaran Rusa Timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822). Bogor (ID): Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Takandjandji M, Setio P, Kayat Nilai Ekonomi Rusa. Pengembangan Penangkaran Rusa Timor. Sintesis Hasil-hasil Litbang. Tjahjanto P Isolasi dan identifikasi senyawa yang berpotensi sebagai fitoestrogen dari daun tabat barito [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

32 Toelihere MR Petunjuk Praktikum Inseminasi Buatan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Toelihere MR Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung (ID): Penerbit Angkasa. Wibowo C Perilaku rusa jawa di Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon dan di Gane Raunching Hutan Tri Darma Gunung Walat, Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 21

33 22 Lampiran 1 Hasil uji fitokimia tabat barito

34 23 Lampiran 2 Tabat barito Tanaman tabat barito Permukaan atas dan permukaan bawah daun tabat barito Lampiran 3 Bahan penelitian Serbuk tabat barito dan kapsul kosong

35 24 Lampiran 3 Bahan penelitian (lanjutan) Kapsul tabat barito dan pisang berisi kapsul tabat barito Lampiran 4 Perilaku harian dan perilaku seksual rusa timor betina Perilaku makan rusa timor betina Perilaku istirahat rusa timor betina

36 25 Lampiran 4 Perilaku harian dan perilaku seksual rusa timor betina (lanjutan) Perilaku urinasi pada rusa timor betina Perilaku mengangkat ekor pada rusa timor betina Perilaku rusa timor betina mengendus dan menjilati pejantan

37 26 Lampiran 4 Perilaku harian dan perilaku seksual rusa timor betina (lanjutan) Perilaku rusa timor betina diam didekati pejantan Perilaku rusa timor betina diam dinaiki pejantan Lampiran 5 Hasil analisis statistik perilaku harian dan seksual Analisis sidik ragam perilaku makan rusa timor betina Sumber keragaman Derajat bebas Kuadrat tengah F hitung P Periode 3 0,49 13,26 0,05 Rusa 3 0,02 0,63 0,62 Perlakuan 3 0,05 1,22 0,38 Galat 6 0,04 Total 15 Analisis sidik ragam perilaku istirahat rusa timor betina Sumber keragaman Derajat bebas Kuadrat tengah F hitung P Periode 3 0,87 10,17 0,01 Rusa 3 0,14 1,62 0,28 Perlakuan 3 0,03 0,34 0,80 Galat 6 0,09 Total 15

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan Februari 2012 di penangkaran rusa dalam kawasan Hutan Penelitian (HP) Dramaga milik Pusat Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di penangkaran rusa Hutan Penelitian (HP) Dramaga- Bogor yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Gizi Pakan Gizi pakan rusa yang telah dianalisis mengandung komposisi kimia yang berbeda-beda dalam unsur bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Pasak Bumi Salah satu suku tumbuhan yang mempunyai banyak anggota dan berkhasiat obat adalah Simaroubaceae. Anggotanya yang paling terkenal adalah pasak bumi (Eurycoma

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan

PEMBAHASAN. Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan 54 PEMBAHASAN Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan Aktivitas harian adalah semua aktivitas yang biasa dilakukan satwa sehari-hari sejak ia keluar dari sarangnya atau tempat bermalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Penangkaran Rusa Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PPPKR) yang terletak di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) JANTAN

PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) JANTAN PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) JANTAN [The Role of Sanrego (Lunasia amara Blanco) to Increasing Libido Sexual

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR

DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) JANTAN ZUMROTUN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Merak Hijau (Pavo muticus) Merak hijau (Pavo muticus) termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH PEJANTAN PERKANDANG TERHADAP TINGKAH LAKU REPRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA

PENGARUH JUMLAH PEJANTAN PERKANDANG TERHADAP TINGKAH LAKU REPRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA PENGARUH JUMLAH PEJANTAN PERKANDANG TERHADAP TINGKAH LAKU REPRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA EFFECT OF NUMBERS OF MALES ON CAGE AGAINST REPRODUCTIONS BEHAVIOR FEMALES TIMOR DEER (Rusa timorrensis)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

POLA PERKAWINAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DENGAN BERBAGAI RATIO BETINA SKRIPSI. Oleh: JULI MUTIARA SIHOMBING

POLA PERKAWINAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DENGAN BERBAGAI RATIO BETINA SKRIPSI. Oleh: JULI MUTIARA SIHOMBING POLA PERKAWINAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DENGAN BERBAGAI RATIO BETINA SKRIPSI Oleh: JULI MUTIARA SIHOMBING 060306020 DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010 POLA PERKAWINAN

Lebih terperinci

PROFIL LENDIR SERVIKS RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA YANG MENDAPAT SUPLEMENTASI MINERAL PADA TIAP FASE BERAHI SKRIPSI. Oleh: WIWIK PURWANINGSIH

PROFIL LENDIR SERVIKS RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA YANG MENDAPAT SUPLEMENTASI MINERAL PADA TIAP FASE BERAHI SKRIPSI. Oleh: WIWIK PURWANINGSIH PROFIL LENDIR SERVIKS RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA YANG MENDAPAT SUPLEMENTASI MINERAL PADA TIAP FASE BERAHI SKRIPSI Oleh: WIWIK PURWANINGSIH PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

PEMBERIAN LARUTAN DAUN BINAHONG DALAM MEMPERPENDEK FASE INVOLUSI UTERUS KAMBING PERANAKAN ETAWAH BERDASARKAN TIPOLOGI FERNING SERVIKS DAN SALIVA

PEMBERIAN LARUTAN DAUN BINAHONG DALAM MEMPERPENDEK FASE INVOLUSI UTERUS KAMBING PERANAKAN ETAWAH BERDASARKAN TIPOLOGI FERNING SERVIKS DAN SALIVA PEMBERIAN LARUTAN DAUN BINAHONG DALAM MEMPERPENDEK FASE INVOLUSI UTERUS KAMBING PERANAKAN ETAWAH BERDASARKAN TIPOLOGI FERNING SERVIKS DAN SALIVA SKRIPSI Oleh DWI WIJAYANTI FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan seksual sangat memengaruhi kualitas hidup seseorang dalam kaitannya untuk memperoleh keturunan. Bila kehidupan seksual terganggu, kualitas hidup juga terganggu,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja untuk tahap pemeliharaaan serta analisis sampel di Laboratorium Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau sangat bermanfaat bagi petani di Indonesia yaitu sebagai tenaga kerja untuk mengolah sawah, penghasil daging dan susu, serta sebagai tabungan untuk keperluan dikemudian

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI BURUNG CEMDRAWASIH KUNlNG KECIL ( Paradisaea minor ) SKRIPSI Oleh RlSFlANSYAH B 21.0973 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITWT PERTANIAN BOGOR 1990 RINGKASAN RISFIANSYAH.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Penelitian ini dimulai dari bulan Agustus sampai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Penangkaran UD Anugrah Kediri, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni-Juli 2012.

Lebih terperinci

TERHADAP PERILAKU RUSA TIMOR

TERHADAP PERILAKU RUSA TIMOR EFEK PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) TERHADAP PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville 1822) JANTAN DI PENANGKARAN, HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR RIMA FEBRIA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class:

TINJAUAN PUSTAKA. (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class: TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Rusa Sambar Rusa Sambar (Cervus unicolor) merupakan populasi rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia mencakup pulau besar dan kecil yaitu pulau Sumatera,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dimulai

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit 17 PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit Efek Whitten merupakan salah satu cara sinkronisasi siklus berahi secara alami tanpa menggunakan preparat hormon. Metode

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 18 hari (waktu efektif) pada bulan Maret 2015

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 18 hari (waktu efektif) pada bulan Maret 2015 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 18 hari (waktu efektif) pada bulan Maret 2015 di Taman Agro Satwa dan Wisata Bumi Kedaton, Bandar Lampung. Peta

Lebih terperinci

STUDI MENGENAI EFEK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L) Merr.) TERHADAP LIBIDO KELINCI JANTAN(Oryctolagus cuniculus) SEBAGAI AFRODISIAK

STUDI MENGENAI EFEK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L) Merr.) TERHADAP LIBIDO KELINCI JANTAN(Oryctolagus cuniculus) SEBAGAI AFRODISIAK STUDI MENGENAI EFEK DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L) Merr.) TERHADAP LIBIDO KELINCI JANTAN(Oryctolagus cuniculus) SEBAGAI AFRODISIAK RHANUGA HARMUSYANTO Fakultas Farmasi rhanuga@gmail.com Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON TESTOSTERON TUBUH DENGAN PANJANG CABANG UTAMA, DIAMETER TENGAH CABANG UTAMA DAN BERAT RANGGAH VELVET RUSA TIMOR (Rusa timorensis)

HUBUNGAN HORMON TESTOSTERON TUBUH DENGAN PANJANG CABANG UTAMA, DIAMETER TENGAH CABANG UTAMA DAN BERAT RANGGAH VELVET RUSA TIMOR (Rusa timorensis) HUBUNGAN HORMON TESTOSTERON TUBUH DENGAN PANJANG CABANG UTAMA, DIAMETER TENGAH CABANG UTAMA DAN BERAT RANGGAH VELVET RUSA TIMOR (Rusa timorensis) SKRIPSI Oleh: ARIFAH HARSILOWATI FAKULTAS PETERNAKAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan 21 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pembuatan

Lebih terperinci

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan

Lebih terperinci

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya TERNAK KELINCI Peluang usaha ternak kelinci cukup menjanjikan karena kelinci termasuk hewan yang gampang dijinakkan, mudah beradaptasi dan cepat berkembangbiak. Secara umum terdapat dua kelompok kelinci,

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA

TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA VINA SITA NRP.1508 100 033 JURUSAN BIOLOGI Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia dikenal sebagai megabiodiversity country, yaitu Negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang besar. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30.000 tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Deteksi Estrus Pengukuran hambatan arus listrik lendir vagina dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore) selama lima hari berturut-turut. Angka estrus detektor direkapitulasi dalam bentuk tabel secara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Fakultas Kedokteran

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Fakultas Kedokteran III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Lampung pada bulan November sampai Desember 2012. B. Desain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang cukup banyak dan tersebar luas di wilayah pedesaan. Menurut Murtidjo (1993), kambing Kacang memiliki

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa 22 III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa Jatimulyo, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

KADAR NaCl DAN ph LENDIR SERVIKSRUSA TIMOR (Rusatimorensis) BETINA YANG MENDAPAT SUPLEMENTASI MINERAL SELAMA SIKLUS ESTRUS SKRIPSI.

KADAR NaCl DAN ph LENDIR SERVIKSRUSA TIMOR (Rusatimorensis) BETINA YANG MENDAPAT SUPLEMENTASI MINERAL SELAMA SIKLUS ESTRUS SKRIPSI. KADAR NaCl DAN ph LENDIR SERVIKSRUSA TIMOR (Rusatimorensis) BETINA YANG MENDAPAT SUPLEMENTASI MINERAL SELAMA SIKLUS ESTRUS SKRIPSI Oleh AGUS MAKMUN PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α Hasil penelitian didapatkan 13 dari 15 ekor domba (87,67%) menunjukan respon estrus dengan penyuntikan PGF 2α. Onset estrus berkisar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rusa Jawa dengan nama latin Rusa timorensis merupakan satwa endemik di

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rusa Jawa dengan nama latin Rusa timorensis merupakan satwa endemik di PENDAHULUAN Latar Belakang Rusa Jawa dengan nama latin Rusa timorensis merupakan satwa endemik di Indonesia khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Satwa ini menurut Vié dkk., (2009), termasuk satwa yang berstatus

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

PERILAKU DAN ASPEK PAKAN RUSA TIMOR (Rusa timorensis Blainville 1822) REMAJA PADA KANDANG DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA MUHAMMAD ZIA UL HAQ

PERILAKU DAN ASPEK PAKAN RUSA TIMOR (Rusa timorensis Blainville 1822) REMAJA PADA KANDANG DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA MUHAMMAD ZIA UL HAQ PERILAKU DAN ASPEK PAKAN RUSA TIMOR (Rusa timorensis Blainville 1822) REMAJA PADA KANDANG DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA MUHAMMAD ZIA UL HAQ DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pellet dilakukan di

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SKRIPSI SRINOLA YANDIANA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disfungsi ereksi, dan ejakulasi dini. Pada tahun 2025, diduga terdapat 322 juta

I. PENDAHULUAN. disfungsi ereksi, dan ejakulasi dini. Pada tahun 2025, diduga terdapat 322 juta 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fungsi seksual merupakan hal serius bagi kebanyakan pria. Beberapa masalah fungsi seksual yang dialami pria, antara lain libido yang rendah, disfungsi ereksi,

Lebih terperinci

INFO ISSN : Edisi XVII, Nomor 2, Juni 2015

INFO ISSN : Edisi XVII, Nomor 2, Juni 2015 IPTEKS BAGI MASYARAKAT USAHA PENANGKARAN RUSA TIMOR DESA MARGOREJO, KECAMATAN DAWE, KABUPATEN KUDUS MELALUI PEMANFAATAN TEKNOLOGI REPRODUKSI D. Samsudewa, E. T. Setiatin dan Y. Supri Ondho Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di beberapa sungai di Indonesia. Usaha budidaya ikan baung, khususnya pembesaran dalam keramba telah berkembang

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

5/10/2014. Mariana Takandjandji. KEMENTERIAN KEHUTANAN Badan Litbang Kehutanan Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor,, 12 Mei 2014

5/10/2014. Mariana Takandjandji. KEMENTERIAN KEHUTANAN Badan Litbang Kehutanan Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor,, 12 Mei 2014 Mariana Takandjandji KEMENTERIAN KEHUTANAN Badan Litbang Kehutanan Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor,, 12 Mei 2014 Strategi sektor kehutanan 2015-2019: membenahi sistem pengurusan hutan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus

Lebih terperinci

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan Desember 2000 dilokasi Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi - Bogor. Kegiatannya meliputi

Lebih terperinci

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai dengan November 2012 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai dengan November 2012 di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai dengan November 2012 di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. B. Desain Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU REPRODUKSI MERAK HIJAU (Pavo muticus) PADA UMUR YANG BERBEDA DI UD. TAWANG ARUM KECAMATAN GEMARANG, KABUPATEN MADIUN SKRIPSI.

TINGKAH LAKU REPRODUKSI MERAK HIJAU (Pavo muticus) PADA UMUR YANG BERBEDA DI UD. TAWANG ARUM KECAMATAN GEMARANG, KABUPATEN MADIUN SKRIPSI. TINGKAH LAKU REPRODUKSI MERAK HIJAU (Pavo muticus) PADA UMUR YANG BERBEDA DI UD. TAWANG ARUM KECAMATAN GEMARANG, KABUPATEN MADIUN SKRIPSI Oleh : NILA DUHITA NARESWARI PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (BPBTNR) Provinsi Jawa Tengah di Kota Surakarta.

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PAKET WISATA ALAM BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SISWA SMP DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MIFTACHU FIRRIDJAL

PENYUSUNAN PAKET WISATA ALAM BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SISWA SMP DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MIFTACHU FIRRIDJAL PENYUSUNAN PAKET WISATA ALAM BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SISWA SMP DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MIFTACHU FIRRIDJAL DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT. Oleh :

PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT. Oleh : PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT Oleh : Isniatul Wahyuni 1) (E34120017), Rizki Kurnia Tohir 1) (E34120028), Yusi Widyaningrum 1) (E34120048),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,49 persen. Pada periode

BAB I PENDAHULUAN. dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,49 persen. Pada periode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam periode 10 tahun terakhir jumlah penduduk Indonesia meningkat dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,49 persen. Pada periode 10 tahun sebelumnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional terus dikembangkan dan dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family Menispermaceae yang mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat digunakan untuk mengobati

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH)

Lebih terperinci