PEMBAHASAN. Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBAHASAN. Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan"

Transkripsi

1 54 PEMBAHASAN Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Harian Rusa Timor Jantan Aktivitas harian adalah semua aktivitas yang biasa dilakukan satwa sehari-hari sejak ia keluar dari sarangnya atau tempat bermalam pada pagi hari sampai satwa bersangkutan masuk kembali ke tempatnya bermalam (Galdileus 1984 dalam Wibowo 1985). Selanjutnya Wibowo (1985) melaporkan bahwa yang termasuk aktivitas harian adalah aktivitas mencari pakan, mencari perlindungan, aktivitas istirahat, berpindah tempat dan sebagian besar aktivitas lokomotorik lainnya. Batasan pengertian dalam perilakuan harian yang diteliti dalam penelitian ini hanya meliputi perilaku makan, perilaku istirahat dan perilaku lokomosi saja. Perilaku Makan Analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku makan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) yang selanjutnya dilakukan uji least significant different atau LSD (Tabel 4). Pada Tabel tersebut juga memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan perilaku makan baik frekuensi maupun waktu yang digunakan untuk aktivitas makan, dimana semakin tinggi dosis yang diberikan semakin rendah perilaku makannya. Kecenderungan penurunan nafsu makan ini disebabkan rusa dalam kondisi berahi atau meningkat libidonya, dimana dalam kondisi berahi salah satunya ditandai dengan kurangnya nafsu makan. Pada saat itu waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas seksual yang hanya tercurah perhatian pada betina berahi sehingga waktu yang digunakan untuk aktivitas makan menjadi berkurang. Semakin tinggi tingkat libidonya akan semakin turun nafsu makannya. Sedangkan pada rusa yang tidak berahi (kontrol) terlihat nafsu makannya cukup tinggi, karena pada saat itu tetap melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, istirahat dan berjalan. Hal ini sesuai yang dikatakan Toelihere (1985) bahwa hewan yang sedang berahi pada umumnya nafsu makannya akan menurun. Demikian juga hasil penelitian dari Wibowo (1985) yang melaporkan bahwa rusa jantan saat berahi menunjukkan

2 55 kecenderungan waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas perilaku seksualnya dan sedikit sekali waktu yang digunakan untuk merumput. Perilaku makan dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi kondisi fisiologi reproduksi, kesehatan dan bobot badan. Faktor luar meliputi ketersediaan pakan, palatabilitas pakan, musim, temperatur dan cahaya. Lack (1970) mengatakan bahwa beberapa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makan antara lain adalah kebiasaan makan, ketersediaan pakan yang dibutuhkan, bobot tubuh dan musim. Motivasi dalam perilaku makan ini antara lain timbul karena interaksi dorongan oleh rasa lapar yaitu adanya kontraksi perut dan hambatan oleh proses menjadi kenyang (Marler and Hamilton 1966). Sedangkan menurut Pollard and Littlejohn (1994) dari hasil pengamatannya pada rusa merah di padang penggembalaan bahwa aktivitas makan dipengaruhi oleh tingkat cahaya. Perilaku makan yang diamati adalah menyangkut kegiatan merumput, makan pakan tambahan, makan hijauan tambahan dan aktivitas makan pakan yang berair atau minum. Hal ini sesuai dengan pedapat Tanudimadja dan Kusumamihardjo (1985) mengatakan bahwa perilaku makan mencakup konsumsi pakan atau bahan pakan yang bermanfaat, baik yang padat maupun yang cair. Dari hasil pengamatan perilaku makan diketahui bahwa aktivitas makan dilakukan secara menggerombol (Gambar 6). Rusa mulai merumput pada pagi hari antara jam pagi sampai jam pagi, yang dilanjutkan dengan makan pakan tambahan berupa ubi dan pisang. Selanjutnya akan merumput kembali sampai jam pagi. Aktivitas selanjutnya lebih banyak digunakan untuk istirahat sampai jam siang. Perilaku istirahat ini lebih banyak diisi oleh aktivitas duduk, tidur dan memamah biak. Aktivitas makan akan dimulai lagi pada jam siang dengan makan pakan tambahan berupa dedak yang dilanjutkan dengan perilaku istirahat sampai menjelang makan hijauan tambahan yang biasanya diberikan pada jam sore. Pada jam rusarusa biasanya sudah melakukan perilaku istirahat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas merumput hanya dilakukan pada siang hari, sedangkan pada malam hari lebih banyak dilakukan untuk aktivitas istirahat saja. Hal ini berbeda dengan hasil laporan Kurniawan (1997) yang

3 56 mengatakan bahwa kegiatan mencari makan di pulau peucang tidak saja pada siang hari tetapi juga pada malam hari. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena rusa di pulau peucang merupakan habitat asli, sehingga rusa tersebut harus aktif mencari pakan sendiri tanpa bantuan manusia. Sedangkan kondisi di penangkaran tempat penelitian, disamping padang rumput telah tersedia, juga diberikan pakan tambahan. Pakan tambahan ini diberikan baik pada pada pagi, siang dan sore hari dalam jumlah yang sudah memenuhi kebutuhan yaitu 4 kg rumput tambahan dan 2 kg pakan penguat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rusa selalu dalam kondisi kenyang Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas minum jarang dilakukan. Hal ini disebabkan disamping rusa merupakan satwa yang mempunyai kecenderungan tidak banyak minum, penyebab lain adalah kondisi lingkungan penangkaran cukup rindang, sehingga mengurangi proses penguapan atau keluarnya keringat tubuh. Menurut Kurniawan (1997) bahwa konsumsi air minum rusa sebagian besar telah dipenuhi oleh air yang terdapat pada hijauan. Lebih lanjut dikatakan bahwa rusa merupakan satwa yang tahan terhadap daerah kering dan jarang sekali terlihat turun untuk mencari minum. Pernyataan terrsebut didukung juga oleh Semiadi dan Nugraha (2004) yang menyatakan bahwa rusa yang banyak bergerak dan kurang naungan pada iklim yang panas memerlukan banyak air dibandingkan dengan rusa yang hanya digembalakan biasa. Perilaku Istirahat Dari hasil pengolahan data pada pengamatan terhadap waktu yang digunakan untuk aktivitas istirahat dapat diketahui bahwa rusa dengan dosis sanrego tertinggi atau mg (T3) mempunyai waktu istirahat yang rendah atau singkat dibandingkan dengan T0, T1 atau T2. Perbedaan ini terlihat jelas terutama pada saat puncak libido (Tabel 5 dan Gambar 6). Dari Tabel 5 memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat dimana semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan semakin rendah/singkat waktu yang digunakan untuk istirahat. Kecenderungan penurunan waktu yang digunakan untuk istirahat ini,

4 57 terutama disebabkan ternak dalam kondisi birahi atau libidonya meningkat, sehingga sebagian besar waktunya lebih banyak digunakan untuk aktivitas seksualnya. Lama istirahat (jam) Ulangan I Ulangan II Ulangan III 0 Mg 6000 Mg 8000 Mg Mg Gambar 6 Perilaku istirahat rusa timor jantan berbagai perlakuan. Semakin tinggi libido seksualnya maka akan semakin tinggi pula aktifitas yang digunakan untuk memperhatikan atau menarik betina seperti mendekati, mencium, menggosokkan ranggahnya, agonistik dan sebagainya sehingga semakin kecil atau semakin rendah waktu yang tersedia untuk istirahat. Hal ini sesuai yang dinyatakan Guiness et al., (1971 ) bahwa rusa jantan berahi akan menunjukkan sifat agresif dengan sebagian besar aktivitasnya ditunjukkan untuk memperhatikan betina. Aktivitas istirahat banyak dilakukan pada interval periode makan, dimana rusa lebih banyak melakukan aktivitas memamah biak sambil duduk atau berbaring dibawah pohon yang rindang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Aktivitas istirahat ini umumnya dilakukan dibawah naungan pohon dan biasanya di mulai sekitar jam pagi. Garsetiasih dan Sutrisno (1997) menyatakan bahwa aktivitas istirahat dilakukan dibawah naungan pohon karena dirasakan dapat menimbulkan kondisi yang nyaman. Sedangkan Hoogerwerf (1970) berpendapat bahwa rusa akan melakukan aktivitas istirahat sekitar jam siang untuk berjemur dan berbaring sampai jam siang. Demikian juga hasil penelitian Kurniawan (1997) melaporkan bahwa aktivitas istirahat pada rusa terjadi pada saat tengah hari dan terik matahari mencapai maksimum. Pendapat ini juga didukung oleh

5 58 wibowo (1985) yang mengatakan bahwa pada rusa aktivitas istirahat dilakukan hampir sepanjang siang dengan cara berbaring pada daerah berbukit yang rimbun sambil bersembunyi. Perbedaan waktu ini bisa terjadi karena disamping rusa-rusa penelitian kebutuhannya makannya jauh lebih tercukupi, juga perbedaan tersebut dapat disebabkan karena habitat yang berbeda yaitu antara habitat asli (hutan) dan habitat bukan asli (penangkaran). Perilaku Lokomosi Perilaku lokomosi atau bergerak berpindah merupakan perpindahan untuk penjelajah daerah lingkungan maupun untuk untuk memilih dan mencari makan (Garsetiasih dan Sutrisno 1977). Sedangkan batasan pengertian dalam penelitian ini yang dimaksud perilaku lokomosi adalah perpindahan dari tempat mencari makan satu ke tempat lain atau perpindahan dari tempat aktifitas mencari makan ke tempat berteduh atau istirahat atau perpindahan dari tempatari berteduh atau istirahat satu berpindah ke tempat berteduh yang lain. Hasil penelitian Gersetiasih dan Sutrisno (1977) melaporkan bahwa aktivitas bergerak rusa biasanya dilakukan pada waktu pemilihan makanan atau dalam rangka mencari tempat berteduh atau beristirahat. Hasil analisa statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku lokomosi tidak berbeda nyata (P<0,05) antara rusa yang diberi dengan rusa tanpa diberi perlakuan. Rataan perilaku lokomosi yang terlihat pada Tabel 5 juga tidak menunjukkan adanya kecenderungan penurunan maupun kenaikan frekuensi perilaku lokomosi rusa timor dengan pemberian tingkat dosis yang berbeda. Hal ini disebabkan Pola perilaku lokomosi tidak dipengaruhi oleh perilaku seksual tetapi lebih banyak ditentukan oleh faktor ketersediaan rumput atau pakan yang ada, kesehatan dan lingkungan seperti cuaca, adanya predator, lawan atau musuh. Sedangkan Polland and Littlejohn (1994) mengatakan bahwa perilaku lokomosi rusa meningkat dikarenakan adanya rangsangan atau stimulus yang menyebabkan rasa takut dalam aktivitas menjelajah..

6 59 Perilaku Sosial Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada umumnya rusa timor dewasa baik jantan maupun betina jarang sekali melakukan aktivitas sosial. Sedangkan dari hasil pengamatan diketahui bahwa baik pada rusa kontrol (T0 atau tanpa perlakuan) maupun rusa-rusa perlakuan 1, 2 dan T3) tidak menunjukkan perilaku sosial. Perilaku sosial lebih banyak ditunjukkan oleh rusa muda yang berumur kurang dari satu tahun dengan aktivitas berlari-lari atau pada perilaku betina dengan anak yang baru lahir. Perilaku ini ditunjukkan dengan aktivitas betina menjilati dan menyusui anaknya. Pengaruh Sanrego Dalam Memperpendek Perubahan dari Ranggah Muda (Velvet) Ke Ranggah Keras Waktu dan Lama Terkelupasnya Velvet (Shedding) Waktu dan lama terkelupasnya velvet dari hasil pengamatan pada berbagai perlakuan terjadi perbedaan, dimana semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan semakin cepat timbul pengelupasan velvet dan semakin pendek waktu yang dibutuhkan untuk mengubah dari ranggah lunak (velvet) ke ranggah keras sehingga semakin pendek pula siklus ranggahnya. Ini dapat terjadi karena kadar testosteron darah pada perlakuan T3 lebih tinggi daripada perlakuan lain. Namun demikian dari ketiga perlakuan mengalami pengelupasan velvet dengan kondisi dan lama pengelupasan velvet yang berbeda. Dengan adanya pengelupasan velvet menunjukkan adanya peningkatan endrogen serum pada kadar yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Dradjat (2002) yang mengatakan bahwa pembuktian fungsi steroid dilakukan dengan cara pemberian hormon testosteron pada tahap ranggah velvet ternyata dapat menyebabkan ranggah muda akan mengalami osifikasi dan velvet akan mengelupas. Lebih lanjut dikatakan bahwa testosteron tersebut adalah hormon steroid yang berpengaruh untuk meningkatkan metabolisme jaringan dan nekrosis kulit selubung ranggah muda terjadi karena konstriksi pembuluh darah

7 60 yang menuju ke ranggah. Dalam satu siklus perkembangan ranggah atau peningkatan panjang ranggah sejalan dengan peningkatan konsentrasi androgen (dradjat 2002; Masyud 1989; Bartechi and Jaczewski 1983). Lebih lanjut dikatakan bahwa pertumbuhan ranggah berhubungan dengan siklus reproduksi rusa jantan. Handarini (2006) melaporkan bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi hormon testosteron yang nyata (P<0,05) antara tahap ranggah keras (16,67±7,28 ng/ml). Dan tahap ranggah velvet (2,01 ± 1,65 ng/ml). Lebih lanjut dilaporkan bahwa tingginya kualitas semen juga berkaitan dengan tahap keras. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa masa aktif reproduksi rusa timor jantan berada pada tahap pertumbuhan ranggah keras. Sedangkan Goss (1983) mengatakan bahwa tahap ranggah keras ditandai dengan tingkah laku rusa yang mengasahkan ranggahnya pada benda keras sehingga kulitnya mengelupas. Demikian juga dari hasil penelitian Handarini R (2005) yang melaporkan bahwa tingginya kualitas semen juga berkaitan dengan tahap keras. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa masa aktif reproduksi rusa timor jantan berada pada tahap pertumbuhan ranggah keras. T3 T2 Gambar 7. Perbedaan kondisi velvet yang mulai mengelupas antara T2 dan T3. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa lama pengelupasan velvet (proses ossifikasi) dari berbagai perlakuan (T3, T2 dan T1) antara 6,7 hari- 17,6 hari.

8 61 Sedangkan hasil penelitian Lincoln (1992) yang melaporkan bahwa lama proses ossifikasi pada rusa sambar belangsung selama 6 sampai 22 hari. Lebih pendeknya lama proses ossifikasi karena rusa-rusa perlakuan mendapatkan hormon tambahan dari luar sehingga proses ossifikasi atau terkelupasnya velvet dapat dipercepat. Pengaruh Sanrego Terhadap Perilaku Seksual Rusa Timor Jantan Hasil analisa statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku seksual menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Pada Tabel 7 menunjukkan adanya perbedaan perlakuan akan berpengaruh kepada perbedaan perilaku seksualnya. Dari ke tiga perlakuan tersebut maka perlakuan pada dosis mg bubuk daun sanrego (T3) memperlihatkan perilaku seksual yang paling tinggi. Ada beberapa kelebihan ditunjukkan oleh T3 (dosis mg). Hal ini terlihat pada Tabel 6, 7, 8 dan 9. Kelebihan tersebut diantaranya memperlihatkan munculnya waktu pengelupasan ranggah lunak (velvet) paling awal yaitu pada hari ke 5 semenjak diberi perlakuan, lama proses ossifikasi atau perubahan velvet ke ranggah keras paling pendek yaitu selama 6,7 hari, waktu penampakan libido paling awal (hari ke 4), penampakan perilaku seksual terpanjang (9 hari), intensitas perilaku seksual tertinggi, penampakan perilaku menaiki punggung betina paling awal ( hari ke 8) dan paling panjang (2 hari), serta menunjukkan penampakan perilaku kopulasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa T3 merupakan perlakuan pemberian dosis yang paling tepat diantara ke tiga perlakuan. Perbedaan intensitas berbagai perilaku seksual yang ditunjukkan oleh T1, T2 dan T3 ini disebabkan adanya perbedaan steroid yang terkandung dalam tubuh (konsentrasi steroid dalam serum) rusa tersebut. Semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan, semakin naik konsentrasi androgen (testosteron) serumnya. Setelah mengalami proses pencernakan, maka steroid yang terkandung dalam sanrego yang bersifat sebagai androgenik, akan diserap dan masuk dalam peredaran darah. Steroid yaitu testosteron dalam darah akan memberikan reaksi pada organ-organ sasarannya atau menimbulkan perilaku seksual yang lebih jelas. Sanrego mengandung senyawa-

9 62 senyawa bioaktif, salah satu diantaranya adalah steroid. Dalam tubuh steroid akan bekerja atau berfungsi seperti androgen (testosteron) yang dihasilkan oleh sel-sel interstitial (sel Leydig) yang terdapat diantara tubuli seminiferi testis, yang kemudian disekresikan dan masuk pada peredaran darah yang kemudian akan mempengaruhi kelakuan reproduksinya atau peningkatan libidonya. Sanrego (Lunasia amara BLANCO) merupakan salah satu tumbuhan afrodisiaka. Tumbuhan yang dikelompokkan dalam afrodisiaka mempunyai fungsi dapat membangkitkan gairah seksual. Hasil analisa laboratorium Bio Farmaka IPB pada bubuk daun sanrego menunjukkan adanya kandungan steroid yang cukup tinggi kadarnya ( +++ ). Hasil penelitian Widyatmoko ( 2000) dan Hotimah (2000) melaporkan bahwa aktivitas androgenik dari daun sanrego terhadap anak ayam jantan White Leghorn menunjukkan hasil yang positif yaitu dengan pertambahan ukuran dan berat jengger, berat testis dan berat bursa fabrisius Pendapat tersebut didukung oleh Toelihere (1985) yang mengatakan bahwa hormon steroid memegang peranan dalam aspek-aspek kelakuan reproduksi. Seperti tingkah laku berahi atau kawin, bunting, melahirkan, pemeliharaan dan perkembangan organ-organ reproduksi serta pengaturan siklus reproduksi. Toelihere (1985) dan (Partodihardjo 1987) menyatakan bahwa jenis steroid yang berperan dalam kelakuan seksual pada hewan jantan adalah testosteron. Steroid memegang peranan penting atas aspek-aspek reproduksi seperti kelakuan berahi dan kelakuan kawin (keinginan kawin atau libido), kesanggupan untuk ereksi dan ejakulasi, pemeliharaan organ-organ reproduksi dan pemeliharaan sifat-sifat sekunder. Hasil uji LSD yang terdapat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa antar berbagai tingkat perlakuan tidak semuanya menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini dapat terjadi karena intensitas kelamin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor hormonal saja, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor lain.telah diketahui bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual adalah hormon dan syaraf yang keduanya bekerja peran yang berbeda tetapi saling ketergantungan dan berinteraksi yang disebut neurohormonal. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi

10 63 perilaku seksual adalah adanya rangsangan luar seperti adanya betina birahi. Rangsangan dari luar tersebut dapat berupa suara, penglihatan, perabaan dan bau atau penciuman.. Sedangkan Frazer (1980) menyatakan bahwa meskipun telah diketahui steroid adalah hormon yang bertanggungjawab atas kelakuan reproduksinya, namun tidak jelas diketahui hubungan antara jumlah hormon tersebut dengan intensitas kelakuan kelamin yang ditampakkan. Lebih lanjut dikatakan bahwa derajat kelakuan kelamin (reproduksi) ditunjukkan tidak tergantung pada level hormon saja melainkan secara prinsipal berlangsung dibawah kendali faktor-faktor syaraf karena rangsangan. Rangsangan dapat berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Sedangkan Masyud (1989) melaporkan bahwa rangsangan yang berasal dari dalam tubuh tersebut antara lain dapat berupa faktor fisiologis seperti sekresi hormon, faktor motivasi, dorongan dan insentif akibat dari perangsangan mekanisme syaraf. Wodzicha (1991) menyatakan bahwa pakan dan sistim pemberian pakan tidak diragukan lagi memainkan peranan yang sangat penting pada reproduksi hewan. rangsangan yang berasal dari luar dapat berbentuk suara (pendengaran), penglihatan, tenaga mekanis dan kimia. Sedangkan Toelihere (1985) menyatakan bahwa pada kebanyakan mamalia, timbulnya rangsangan pertama kearah perilaku kawin datang dari tubuh betina dalam keadaan birahi. Menurut Anwar (2001) bahwa tumbuhan yang digolongkan dalam kelompok afrodisiaka menunjukkan adanya aktivitas hormonal yaitu hormon androgenik. Hormon androgenik adalah hormon untuk hewan jantan dimana androgenik mempunyai peranan dalam aktifitas atau tingkahlaku kawin hewan jantan. Peningkatan hormon androgenik akan berpengaruh terhadap peningkatan libido seksualnya. Perilaku Mendekati Betina Hasil analisa statistika melalui uji F Rancangan Acak Lengkap (RAL) terhadap perilaku mendekati betina menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) antara rusa yang diberi perlakuan dengan rusa tanpa diberi perlakuan. Pada Tabel 7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku mendekati betina yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi

11 64 mendekati tertinggi (27 kali), lama mendekati tertinggi (123,3 menit), penampakan mendekati betina yang lebih awal (4,7 hari) dan lama mendekati betina dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya Jumlah Mendekati Mg 6000 Mg 8000 Mg Mg 0 Ulangan I Ulangan II Ulangan III Gambar 8 Frekuensi mendekati betina pada berbagai perlakuan. Perbedaan intensitas perilaku mendekati betina ini disebabkan perbedaan kandungan steroid dalam darah akibat dari perlakuan yang berbeda. Perilaku mendekati betina yang merupakan salah satu wujud dari peningkatan libido akan terpengaruhi pula dengan adanya perlakuan yang berbeda. Semakin tinggi tingkat dosis sanrego yang diberikan maka akan semakin tinggi steroid yang ada dalam darah sehingga semakin tinggi pula libido seksualnya. Peningkatan libido tersebut salah satunya ditunjukkan dalam bentuk perilaku mendekati betina berahi. Masyud (1989) menyatakan bahwa perilaku kawin pada rusa dimulai dengan adanya rusa jantan mengikuti, mendekati atau mengejar betina dan dilanjutkan dengan menjilati tubuh bagian belakang betina. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Hart (1985) yang menyatakan bahwa salah satu respon pra kopulasi ditandai dengan perilaku mendekati betina.

12 65 Perilaku Mencium Alat Kelamin Luar Rusa Betina Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku mencium alat kelamin luar rusa betina adalah berbeda nyata (P<0,05). Tabel 7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku mencium betina yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi dan lama mencium yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Frekuensi mencium lebih dari 73 kali, lama mencium 127 detik. Muncul perilaku mencium paling awal (hari ke 5) dan lama perilaku mencium dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya. Intensitas perilaku mencium pada T3 lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan dosis sanrego yang dikonsumsi lebih besar dengan demikian steroid yang masuk dalam tubuh juga lebih besar akibatnya perilaku seksual yang ditimbulkan akan lebih besar pula. Perilaku mendekati pada umumnya diikuti dengan perilaku mencium betina berahi. Perilaku menciumi ini dilakukan pada rusarusa jantan yang sedang meningkat libidonya. Semakin tinggi tingkat libidonya akan semakin tinggi pula frekuensi menciuminya. Lama mencium antara satu sampai 4 detik. Dimikian juga semakin tinggi tingkat dosis sanrego yang diberikan, semakin tinggi frekuensi dan semakin lama waktu yang digunakan untuk menciuminya. Jumlah Mencium Ulangan I Ulangan II Ulangan III 0 Mg 6000 Mg 8000 Mg Mg Gambar 9 Frekuensi mencium betina pada berbagai perlakuan.

13 66 Wibowo (1985) melaporkan bahwa pada rusa jantan yang sedang meningkat libidonya, waktunya lebih banyak untuk memburu dan menciumi betina. Hal ini sesuai dengan pendapat Houpt and Hudson (1993) yang menyatakan bahwa perilaku seksual satwa dilakukan dengan komunikasi penciuman yang dikirim oleh betina dengan rangsangannya. Hewan jantan dapat merespon seekor betina ketika dalam keadaan estrus. Stimulus penciuman jantan karena mendapatkan feromon androgen dalam efek siklus seksual rusa betina. Adanya penciuman, jantan dapat membedakan kondisi berahi betina melalui urine yang dikeluarkannya. Hal ini sesuai pendapat Hart (1985) bahwa perilaku seksual jantan ditandai dengan respon pra kopulasi yaitu merespon rangsangan seksual betina dengan cara menjilati daerah alat kelamin dan membaui urine betina. Perilaku Nyengir (Flahmen) Perilaku flahmen ditunjukkan dengan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bibir atas berkerut-kerut dan sedikit membuka. Hasil analisa statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku myengir menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tabel 7 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku myengir yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi nyengir (17 kali), lama nyengir (68 detik), muncul perilaku nyengir paling awal dan lama nyengir dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya. Daripada perlakuan lainnya. Besarnya frekuensi dan lama nyengir pada T3 disebabkan rusa tersebut dalam kondisi peningkatan libido seksual yang lebih tinggi daripada T1 maupun T2, sehingga tanda-tanda perilaku seksual yang ditunjukkan lebih jelas pula. Pada saat hewan betina mengalami berahi (estrus) diiringi dengan pengeluaran sekret (lendir) yang jernih dan berbau khas. yang biasanya terlihat jelas dipermukaan vulvanya. Lendir tersebut dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat dalam dinding serviks, yang berguna memudahkan kopulasi dan membantu spermatozoa

14 67 masuk menemui ovum. Ini yang menyebabkan urine betina birahi baunya khas dan tajam. Pada pejantan yang libido seksualnya meningkat akan semakin cepat terangsang dengan bau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku pejantan untuk mengangkat bibirnya dengan sedikit membuka ( flahmen). 20 Jumlah Nyengir Mg 6000 Mg 8000 Mg Mg 0 Ulangan I Ulangan II Ulangan III Gambar 10 Frekuensi nyengir (flahmen) rusa timor jantan pada berbagai perlakuan. Pada saat hewan betina mengalami berahi (estrus) diiringi dengan pengeluaran sekret (lendir) yang jernih dan berbau khas. yang biasanya terlihat jelas dipermukaan vulvanya. Lendir tersebut dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat dalam dinding servik, yang berguna memudahkan kopulasi dan membantu spermatozoa masuk menemui ovum. Ini yang me nyebabkan urine betina berahi baunya khas dan tajam. Pada pejantan yang libido seksualnya meningkat akan semakin cepat terangsang dengan bau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku pejantan untuk mengangkat bibirnya dengan sedikit membuka ( flahmen). Masyud (1989) menyatakan pada saat rusa musim berahi rusa jantan yang libidonya sedang naik, akan mengikuti dan menjilati bagian belakang tubuh betina. Apabila betina ada respon (berahi penuh) maka betina akan mengangkat ekornya sehingga pejantan lebih leluasa untuk menjilatinya. Kejadian tersebut berlangsung berulang-ulang sampai betina memberikan reaksinya. Dikatakan lebih lanjut oleh Andijarso (1988) pada saat betina mengangkat ekornya akan disertai kencing, kemudian rusa jantan akan menaruh moncongnya dibawah tetesan air kencing tersebut. Kemudian jantan tersebut akan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan

15 68 bibir yang sedikit membuka (nyengir). Bibir atasnya berkerut-kerut dan kadangkadang keluar air liurnya. Perilaku Menggosok-Gosokkan Velvet Ke Pohon/Semak/Tanah Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku mennggosok-gosokkan velvet menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tabel 7dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku menggosok-gosokkan velvet yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi dan lama menggosok yang lebih lama daripada perlakuan lain yaitu dengan frekuensi lebih dari 14 kali dengan lama 45 menit dan lama menggosokgosokkan velvet dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya. Seperti juga pada berbagai perilaku seksual lainnya besarnya frekuensi dan lamanya menggosokkan velvet pada T3 disebabkan rusa tersebut (dosis mg) dalam kondisi libido yang lebih tinggi daripada T1 maupun T2, sehingga tanda-tanda perilaku seksual yang ditunjukkan akan lebih jelas. 20 Jumlah menggaruk Ulangan I Ulangan II Ulangan III 0 Mg 6000 Mg 8000 Mg Mg Gambar 11 Frekuensi menggosok-gosokkan velvet pada berbagai perlakuan. Hasil pengamatan diketahui ranggah yang sering digosok-gosokkan atau diasah adalah cabang ranggah bagian depan, karena bagian depan yang akan digunakan untuk beradu pada saat agonistik. Telah dijelaskan bahwa rusa yang diambil untuk penelitian adalah rusa masa pertumbuhan ranggah lunak (velvet). Dari hasil pengamatan diketahui bahwa setelah diberi perlakuan, velvet-velvet tersebut banyak

16 69 yang terkelupas dan luka. Diketahui pula, semakin tinggi dosis sanrego yang diberikan akan semakin tinggi pula baik frekuensi maupun lamanya menggarukgarukkan velvetnya. Dengan demikian maka terlihat jelas bahwa pada T3 sebagian besar velvetnya terkelupas. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tingginya kadar testosteron dalam darah maka secara eksterior akan ditunjukkan dengan semakin tinggi pula pertumbuhan ranggah. Pertumbuhan ranggah sejalan dengan kenaikan androgen dalam darah. Pertumbuhan ranggah yang dimaksud adalah semakin besar, panjang dan keras, yang akhirnya diikuti dengan pengelupasan velvet menjadi ranggah yang keras. Oleh sebab itu dapat dijelaskan bahwa pada perlakuan dengan dosis tertinggi (T3) mempunyai konsentrasi steroid yaitu androgen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga T3 lebih awal mengelupas, lebih lama dan sering melakukan aktivitas menggosokkan velvet dibandingkan T0,T1 maupun T2. Perkembangan dan peningkatan ranggah dalam siklusnya sejalan dengan meningkatnya konsentrasi androgen serum. Lebih jauh dikatakan bahwa hubungan pola hormonal androgen dengan siklus perkembangan ranggah tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat hidup rusa. (Bartecki and Jaczewski 1983; Masyud 1997; Dradjat 2002; Handarini 2006). Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa rusa jantan akan memasuki musim berahi segera setelah velvet dalam ranggahnya rontok. Dalam usaha untuk merontokkan velvet tersebut, rusa jantan sering menggosok-gosokkan ranggahnya di pohon atau tanah malah sering ranggahnya dihantam-hantamkannya. Pernyataan itu juga didukung oleh pendapat Guenness et al., 1971 dalam Masyud 1997 yang mengatakan bahwa salah satu ciri utama kelakuan berahi pada rusa adalah sifat agresif dengan menggosok-gosokkan gigi dan tanduknya. Wibowo, 1985 dari hasil penelitiannya melaporkan bahwa perilaku menggosok-gosokkan tanduknya ke pohon, semak atau tanah adalah suatu usaha untuk mengelupaskan velvetnya serta untuk menajamkan ranggahnya. Sedangkan Dradjat (2002) menyatakan ranggah berfungsi sebagai senjata dan digunakan pula untuk menanduk dan menjatuhkan pohon sehingga memudahkan rusa betina untuk

17 70 mendapatkan makanannya. Pohon yang telah digores juga sebagai tanda wilayah territori rusa yang dominan tersebut. Perilaku Berkubang Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku berkubang menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tabel 7 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku berkubang yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi berkubang (10,3 kali), lama berkubang 81 menit, muncul perilaku berkubang paling awal dan lama berkubang dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya. Tingginya perilaku berkubang ini karena adanya peningkatan libido yang lebih tinggi akibat dari mengkonsumsi jumlah daun sanrego yang lebih besar dari perlakuan lainnya. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa Perilaku berkubang biasanya terjadi pada rusa yang menunjukkan peningkatan libido, dimana semakin tinggi tingkat libido, aktivitas berkubang semakin meningkat, baik frekuensinya maupun lama berkubang. Perilaku berkubang ini dilakukan oleh rusa jantan. Sedangkan pada betina berahi jarang terlihat. Perilaku berkubang antara rusa dalam tingkat libido yang berbeda akan menunjukkan perilaku berkubang yang berbeda pula. Pada puncak libido, perilaku berkubang ditunjukkan dengan mengguling-gulingkan badan dan kepalanya di tempat kubangan sehingga seluruh tubuhnya penuh dengan lumpur. Dari hasil pengamatan diketahui semakin tinggi libidonya, perilaku berkubang semakin tinggi pula.setelah selesai berkubang dilanjutkan dengan perilaku menggosokkan ranggah di semak-semak, sehingga terlihat rusa keluar dari semak dengan kepala penuh dihiasi daun-daunan yang tampak lebih gagah dan menarik. Berbeda dengan rusa yang belum penuh libidonya, maka perilaku berkubang hanya berendam saja di tempat kubangan dengan waktu yang tidak begitu lama. Hanya bagian kaki dan sebagian badan saja yang basah atau terkena lumpur. Dari penampilan rusa setelah

18 71 berkubang dapat diketahui apakah rusa tersebut dalam kondisi puncak libido atau tidak, dapatdihat dari penampilannya. Perilaku berkubang dapat terjadi pada rusa dalam kondisi libido yang meningkat. Pada saat itu tingkahlakunya cenderung lebih agresif. Biasanya ditunjukkan dengan perilaku agonistiknya. Untuk melakukan agonistik dibutuhkan tenaga yang tinggi. Tenaga tersebut dihasilkan dari pemecahan glikogen oleh O 2 darah menjadi energi, air dan karbon dioksida. Dengan adanya energi yang meningkat tersebut maka untuk menstabilkan suhu tubuh kembali, salah satunya dilakukan dengan cara berendam atau berkubang di lumpur atau air. Wibowo (1985) menyatakan bahwa kadang-kadang rusa-rusa yang ada di hutan atau di lapangan rumput ditemukan rusa yang tubuhnya berlumuran lumpur, yang menandakan dia habis berkubang. Lebih lanjut dikatakan bahwa akibat dari menghantam-hantamkan tanduk disemak-semak maka ranggah terselimuti oleh tanaman/daun-daunan. Hal ini didukung oleh pendapat Hoogerwerf (1970) bahwa perilaku berkubang pada rusa jantan menunjukkan bahwa rusa tersebut sedang kondisi libido dan siap melayani betina yang sedang birahi. Sedangkan Semiadi dan Nugraha (2004) menyatakan pada saat puncak birahi, perilaku berkubang sering timbul, dimana apabila sumber air tidak dijumpai maka air kencingnya sendiri dipakai sebagai sumber kubangan. Perilaku Agonistik. Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku agonistik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Pada Tabel 7 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku agonistik yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi agonistik yang mencapai 24 kali, lama agonistik adalah 58,3 menit dan muncul perilaku agonistik paling awal dan lama agonistik dari munculnya penampakan sampai akhir penampakan paling panjang (lama) daripada perlakuan lainnya.besarnya frekuensi dan lamanya agonistik pada T3 disebabkan rusa tersebut

19 72 kondisi libidonya jauh lebih tinggi daripada T1 maupun T2, sehingga tanda-tanda perilaku seksual yang ditunjukkan jauh lebih jelas pula. Jumlah Ulangan I Ulangan II Ulangan III 0 Mg 6000 Mg 8000 Mg Mg Gambar 12 Frekuensi aktivitas agonistik pada berbagai perlakuan. Pola perilaku agonistik dapat diterangkan sbb: 1. Pejantan yang lebih tinggi libidonya akan mendekati lawannya yaitu jantan lain yang lebih rendah tingkat libidonya. Pejantan yang lebih kuat adalah jantan yang tingkat intensitas libidonya tinggi dan ranggahnya lebih keras. 2. Dengan langkah tegap (kaki depan diangkat lebih tinggi dari berjalan biasa dan kepala diangkat tinggi-tinggi) jantan tersebut mendekati lawannya. 3. Jantan lain atau lawan yang lebih rendah akan lari menghindar dan tidak melayani untuk beradu ranggah, tetapi apabila lawannya hampir sama tingkat libidonya maka akan terjadi adu ranggah. Adu ranggah ini terjadi dengan waktu antara satu sampai 6 menit, dengan frekuensi per hari dapat mencapai 17 sampai 20 kali pada saat puncak libidonya. Pada peristiwa agonistik, dua rusa jantan yang beradu ranggah pada umumnya mempunyai kondisi libido yang hampir sama, walau kadang-kadang ukuran ranggah maupun tubuhnya tidak sama. Apabila terjadi agonistik pada rusa dalam kondisi libido yang tidak sama, maka agonistik tidak akan berlangsung lama dan biasanya sebelum beradu, musuhnya sudah menghindar lebih dulu. Perbedaan perilaku agonistik tersebut disebabkan perbedaan tingkat libidonya dari masing-masing rusa. Telah diketahui bahwa sanrigo merupakan salah satu dari

20 73 tanaman yang berpotensi sebagai afrodisiaka yang mengandung senyawa steroid yang akan berpengaruh terhadap nafsu seksualnya. Dengan demikian semakin tinggi dosis yang diberikan akan semakin tinggi nafsu seksualnya dan berakibat frekuensi agonistik samakin tinggi pula. Menurut Masyud (1997), rusa jantan yang sedang mengalami birahi sering terjadi perkelahian antar pejantan untuk memperebutkan betina birahi. Hal yang serupa dikemukakan juga oleh Semiadi dan Nugraha (2004) bahwa semangat untuk bertarung di saat ranggah dalam keadaan keras adalah sangat tinggi dan ini berhubungan dengan sifat untuk mempertahankan daerah kekuasaan dan betina yang diinginkannya sebanyak mungkin. Gambar 20. dibawah ini menunjukkan rusa dalam perilaku agonistik. Perilaku Menaiki Punggung Betina Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku menaiki punggung betina menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Pada Tabel 7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa T3 mempunyai perilaku menaiki betina yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas perilaku menaiki terpanjang yaitu tiga hari (hari ke 9-11), frekuensi menaiki tertinggi (30,3 kali), lama menaiki betina tertinggi (34 detik) dan penampakan menaiki betina yang lebih awal ( hari ke 9) daripada perlakuan lainnya. Jumlah (kali) Ulangan I Ulangan II Ulangan III 0 Mg 6000 Mg 8000 Mg Mg Gambar 13 Frekuensi menaiki betina pada berbagai perlakuan.

21 74 Pada tingkat libido seksual mencapai puncaknya, proses mendekati dan menciumi alat kelamin betina tersebut akan diikuti dengan perilaku menaiki punggung betina. Pada saat itu kegiatan menaiki punggung betina sering dilakukan. Pada hasil pengamatan mencapai 39 kali sebelum terjadi kopulasi. Hal ini bisa terjadi karena betina masih dalam kondisi pro estrus dan belum mencapai puncak birahinya. Pada kondisi tersebut betina masih menghindar dan lari apabila ingin dinaiki pejantan. Apabila pejantan belum dapat melakukan kopulasi maka pejantan tersebut akan berusaha terus untuk mendapatkannya, sampai akhirnya si betina akan diam dan memberi respon untuk dinaiki. Selama betina masih dalam kondisi estrus, maka lama menaiki cukup singkat yaitu antara satu sampai dua detik. Hal ini terjadi karena betina selalu menghindar dan lari atau maju melangkah ke depan sehingga kopulasi tidak terjadi.wibowo (1985) dalam hasil penelitiannya dikatakan bahwa perilaku rusa jantan menaiki betina berlangsung hanya sekitar satu sampai dua detik. Demikian juga dari hasil penelitian Andijarso (1988) yang mengatakan puncak dari perilaku kawin adalah rusa jantan akan mencoba menaiki betina. Perilaku Kopulasi Hasil analisis statistika melalui uji F rancangan acak lengkap (RAL) terhadap perilaku kopulasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Pada Tabel 7,8 dan 9 memperlihatkan bahwa hanya T3 (dosis mg) saja yang sampai melakukan aktivitas kopulasi. Perilaku kopulasi terjadi setelah hari ke 9 perlakuan, dalam waktu 4 detik. Tabel 6 menunjukkan perlakuan dengan dosis mg (T3) saja yang mau menunjukkan perilaku kopulasi, yaitu pada ulangan pertama ( rusa J ). Gambar 14 dibawah ini menunjukkan bahwa intensitas perilaku seksual pada rusa J (ulangan pertama) lebih besar daripada rusa K dan rusa L (ulangan ke2 dan 3). Hal ini merupakan faktor utama mengapa rusa K dan rusa L tidak sampai menunjukkan perilaku kopulasi, disamping factor-faktor lain yang kemungkinan

22 75 menyebabkan rusa K dan L tidak ada kesempatan untuk melakukan perkawinan atau kopulasi jumlah nilai skor ulangan I (rusa J) II (rusa K) III(rusa L) hari ke Gambar 14 Intensitas perilaku seksual pada T3 (ulangan1, 2 da 3). Intensitas perilaku seksual pada rusa J (ulangan pertama) yang ditunjukkan pada Gambar 14 terlihat lebih besar daripada rusa K dan rusa L (ulangan ke2 &3). Hal ini merupakan faktor utama mengapa rusa K dan rusa L tidak sampai menunjukkan perilaku kopulasi, disamping faktor-faktor lain yang kemungkinan menyebabkan rusa K dan L tidak ada kesempatan untuk melakukan perkawinan atau kopulasi. Dalam Gambar 14 dapat dilihat bahwa intensitas perilaku seksual pada rusa J lebih tinggi dibandingkan dengan rusa K maupun L. Rusa J mempunyai intensitas perilaku seksual yang lebih tinggi daripada rusa K maupun L. Hal ini bisa dijelaskan bahwa intensitas perilaku seksual ditentukan oleh dua faktor yaiu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam terdiri atas faktor hormonal dan syaraf saling bekerjasama, berinteraksi dan saling membutuhkan dimana sistim kerja kedua faktor tersebut biasa dikenal neurohormonal. Sedangkan faktor luar yang juga berperan dalam mengendalikan perilaku seksual adalah adanya betina berahi. Rangsangan tersebut dapat melalui penglihatan, penciuman dan perabaan. Faktor lain kemungkinan tidak terjadinya kopulasi pada rusa K dan L adalah : 1. Dalam penelitian ini, antara rusa perlakuan dengan rusa yang ada di penangkaran tidak dipisahkan, sehingga kesempatan untuk mendapat betina berahi tidak sama

23 76 2. Imbangan kelamin antara jantan dengan betina dewasa tidak seimbang. (jantan: 25 ekor; betina: 20 ekor) sehingga sangat kompetitif dalam memperebutkan betina berahi. 3. Kondisi ranggah antara rusa perlakuan dengan rusa penangkaran tidak sama, sehingga bagi rusa yang mulai mengelupas akan kalah bersaing dalam mendapatkan betina yang mempunyai ranggah lebih keras. 4. Intensitas seksual selain diengaruhi oleh faktor dalam yaitu hormon dan syaraf juga dipengaruhi oleh faktor luar. Disamping itu kepekaan individu terhadap sesuatu zat (steroid) kemungkinan tidak sama. Hasil pengamatan diketahui pula bahwa lama waktu kopulasi adalah 4 detik. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Joebearden and Fuquay (1984) yang mengatakan bahwa tujuan utama dari perilaku kawin adalah kopulasi baik itu terjadi pada hewan jantan maupun hewan betina. Sedangkan Andijarso (1988) dalam penelitiannya melaporkan bahwa Puncak perilaku kawin adalah menaiki dan menusukkan penisnya dengan hentakan yang cukup kuat, dimana kejadian tersebut berlangsung antara 2 3 detik saja. Hal ini didukung oleh Siregar (1983) yang mengatakan bahwa pada tingkahlaku reproduksi pada rusa jantan lebih binal daripada rusa betina dimana perkawinan dilakukan secara alami dengan waktu koitus relatif cepat dan singkat jum lah nilai skor I (rusa J) II (rusa K) III (rusa L) 50 0 hari 9 hari 10 hari 11 hari 12 hari 13 hsri perlakuan diberhentikan Gambar 15 Intensitas perilaku seksual sejak pemberian sanrego dihentikan pada T3.

24 77 Gambar 15 memperlihatkan bahwa stelah perlakuan pemberian sanrego diberhentikan, rusa perlakuan (rusa J, K dan L) masih menunjukkan perlaku seksual. Pada Gambar 15 terlihat jelas bahwa rusa J masih menunjukkan perilaku seksual selama 2 hari, dimana pada hari ke 9 yaitu setelah terjadi kopulasi, maka perilaku seksual terlihat turun secara drastis bila dibanding dengan rusa K dan rusa L. Hal ini bisa dijelaskan bahwa diantara ketiga rusa (T3) maka hanya pada ulangan pertama (rusaj) saja yang menunjukkan perilaku kopulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Semiadi dan Nugraha 2004) yang mengatakan bahwa setelah terjadi perkawinan, maka si jantan akan memisahkan diri dan rusa pejantan akan berusaha memisahkan diri, memulihkan kembali energi dan berat badannya yang hilang selama perlakuan. Perilaku teritori sering ditunjukkan pada rusa jantan di musim kawin. Area teritori terletak di sekitar rusa betina yang akan dikawini. Daerah teritori ini ditandai dengan bau-bauan atau tanda lain pada vegetasi. Dari hasil pengamatan rusa yang ada di penangkaran rusa Jonggol, ternyata tidak memperlihatkan daerah teritorinya. Tidak adanya perilaku teritori ini kemungkinan karena jumlah betina yang cukup kecil. Dari hasil pengamatan, dalam satu hari maksimal hanya ada satu atau dua betina yang menunjukkan birahi. Dengan demikian rusa yang paling dominan tersebut dengan mudah dapat menguasai dan mengusir jantan lain yang ingin mendekat. Menurut Hoogerwerf (1970) bahwa teritori ini terletak disekitar rusa betina yang bertujuan untuk mempertahankan betina-betina yang akan dikawininya dari jantan lain yang berusaha untuk mendekatinya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku teritori ini biasanya hanya terjadi di habitat aslinya, tetapi tidak dilakukan di penangkaran. Pola Perilaku Kawin Pola Perilaku Kawin (kopulasi). Dari hasil pengamatan terhadap pola perilaku kawin yang terjadi pada salah satu dari rusa yang diberi perlakuan pemberian bubuk daun sanrego selama waktu 9 hari dapat dilihat pada Tabel 10.

25 78 Tabel 10 Tahapan proses perilaku kawin Tahapan Diskripsi Perilaku Jantan Betina - pra percumbuan - berusaha mendekati betina - vulva bengkak, kemerah - berkubang an dan mengeluarkan - menggosok-gosokkan cairan/lendir ranggah pada pohon - berjalan/ berlari kecil - velvet mengelupas - mulut agak terbuka - terjadi peningkatan libido - kondisi pro estrus - Percumbuan - memisahkan betina yang birahi - mengeluarkan suara - mengejar pejantan yang lebih khas rendah tingkat libidonya - banyak pejantan yang Lanjutan Tahapan Diskripsi Perilaku Jantan Betina - agonistik mengikutinya - mencium alat kelamin betina - melangkah/berjalan - flehmen(berdiri tegang,me- ke depan rentangkan kepalanya pada posisi horisontal)diteruskan nyengir - mengendus-endus, leluasa - menanggapi, mengmenjilati dan menciumnya angkat ekornya - menaruh moncongnya di- - kadang-kadang mebawah tetesan air kencing ngeluarkan air kencing - ereksi - pengeluaran atau penonjolan - pro estrus penis dari selubungnya - libido terus meningkat - penunggangan - menaiki punggung betina - lari/ berjalan kedepan beberapa kali - pejantan meletakkan dagunya - diam dan memberi respon pada bagian belakang dengan berdiri atau - pejantan tsb. naik, memfikser kaki memberi tekanan pada depannyanya pada pinggul betina, punggung. mendekapnya erat-erat dan mengadakan dorongan- dorongan pelvis ritmik ke depan. - Intromisi - penis dimasukkan ke dalam vagina

26 79 - Ejakulasi - kaki belakang berkontraksi - pernafasan bertambah cepat - kepala menunduk - terjadi hentakan yang cukup kuat selama 3 detik - pejantan turun - penis beretraksi ke dalam preputium - Refraktorinese -tidak menunjukkan aktivitas seksual - berjalan menyendiri (menjauhi betina tsb) Gambar 16 menunjukkan pola perilaku kawin secara lengkap dari mulai pra percumbuan, menggosok-gosokkan velvet, berkubang, mencium dan menjilati urine betina berahi, agonistik, menaiki punggung betina sampai terjadi aktivitas kopulasi yang terjadi pada T3. Pola perilaku kawin ini dalam waktu 9 hari. Gambar 16 Pola perilaku kawin rusa timur jantan.

PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) JANTAN

PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) JANTAN PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM PENINGKATAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) JANTAN [The Role of Sanrego (Lunasia amara Blanco) to Increasing Libido Sexual

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Pasak Bumi Salah satu suku tumbuhan yang mempunyai banyak anggota dan berkhasiat obat adalah Simaroubaceae. Anggotanya yang paling terkenal adalah pasak bumi (Eurycoma

Lebih terperinci

DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR

DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) JANTAN ZUMROTUN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan Februari 2012 di penangkaran rusa dalam kawasan Hutan Penelitian (HP) Dramaga milik Pusat Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class:

TINJAUAN PUSTAKA. (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class: TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Rusa Sambar Rusa Sambar (Cervus unicolor) merupakan populasi rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia mencakup pulau besar dan kecil yaitu pulau Sumatera,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen 19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi terhadap kualitas semen dimaksudkan untuk menentukan kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen tersebut diproses lebih

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Merak Hijau (Pavo muticus) Merak hijau (Pavo muticus) termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Gizi Pakan Gizi pakan rusa yang telah dianalisis mengandung komposisi kimia yang berbeda-beda dalam unsur bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar

Lebih terperinci

DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR

DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR PERANAN SANREGO (Lunasia amara Blanco) DALAM MEMPERPENDEK SIKLUS RANGGAH DAN MENINGKATKAN LIBIDO SEKSUAL RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) JANTAN ZUMROTUN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkawinan Perkawinan yang baik yaitu dilakukan oleh betina yang sudah dewasa kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat melahirkan (Arif, 2015).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

BAB II TINGKAH LAKU TERNAK RIMINANSIA

BAB II TINGKAH LAKU TERNAK RIMINANSIA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB II TINGKAH LAKU TERNAK RIMINANSIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Batur Domba Batur merupakan salah satu domba lokal yang ada di Jawa Tengah tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba Batur sangat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging)

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging) BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS Kemampuan Fisik 1. Menggali (digging) Tikus terestrial akan segera menggali tanah jika mendapat kesempatan, yang bertujuan untuk membuat sarang, yang biasanya tidak melebihi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes TINJAUAN PUSTAKA Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (BPBTNR) Provinsi Jawa Tengah di Kota Surakarta.

Lebih terperinci

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2.1 Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan 1. Mengaitkan perilaku adaptasi hewan tertentu dilingkungannya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe

Lebih terperinci

PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS

PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS PERILAKU RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville, 1822) BETINA DI PENANGKARAN AKIBAT PEMBERIAN TABAT BARITO (Ficus deltoidea Jack) ELIS DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Penelitian ini dimulai dari bulan Agustus sampai

Lebih terperinci

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*) PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*) I. PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) dalam bidang peternakan, maka pengembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO) Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di Peternakan rakyat masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama induk sapi PO)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, ph, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan dapat meningkatkan rata-rata bobot potong ayam (Gunawan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan dapat meningkatkan rata-rata bobot potong ayam (Gunawan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Super Ayam kampung super merupakan hasil dari proses pemuliaan yang bertujuan untuk peningkatan produksi daging. Dalam jangka pendek metode persilangan dapat meningkatkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kecamatan Cimalaka memiliki populasi kambing PE sebanyak 1.858 ekor. Keberadaan kambing PE di kecamatan Cimalaka diawali dengan adanya usaha pemanfaatan lahan kritis,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba Ekor Tipis (DET) merupakan domba asli Indonesia dan dikenal sebagai domba lokal atau domba kampung karena ukuran tubuhnya yang kecil, warnanya bermacam-macam,

Lebih terperinci

HORMON REPRODUKSI JANTAN

HORMON REPRODUKSI JANTAN HORMON REPRODUKSI JANTAN TIU : 1 Memahami hormon reproduksi ternak jantan TIK : 1 Mengenal beberapa hormon yang terlibat langsung dalam proses reproduksi, mekanisme umpan baliknya dan efek kerjanya dalam

Lebih terperinci

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan LAPORAN PENYULUHAN DALAM RANGKA MERESPON SERANGAN WABAH PENYAKIT NGOROK (Septicae epizootica/se) PADA TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SAMOSIR BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Test Seleksi alon Peserta International Biology Olympiad (IBO) 2014 2 8 September

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam

PENDAHULUAN. relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler merupakan ayam ras pedaging yang waktu pemeliharaannya relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam broiler perlu ditingkatkan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH PEJANTAN PERKANDANG TERHADAP TINGKAH LAKU REPRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA

PENGARUH JUMLAH PEJANTAN PERKANDANG TERHADAP TINGKAH LAKU REPRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA PENGARUH JUMLAH PEJANTAN PERKANDANG TERHADAP TINGKAH LAKU REPRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA EFFECT OF NUMBERS OF MALES ON CAGE AGAINST REPRODUCTIONS BEHAVIOR FEMALES TIMOR DEER (Rusa timorrensis)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Bangsa sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Zebu dan Banteng. Tubuh dan tanduknya relatif kecil, warna bulu pada jantan dan betina sama seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani

BAB I PENDAHULUAN. akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia semakin meningkat, menyebabkan kebutuhan akan pangan hewani berkualitas juga semakin meningkat. Salah satu pangan hewani berkualitas yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Lebih terperinci

TIU : Mahasiswa diharapkan. proses fisiologi organ. berkaitan dengan fungsi ternak jantan sebagai pemacek. TIK :

TIU : Mahasiswa diharapkan. proses fisiologi organ. berkaitan dengan fungsi ternak jantan sebagai pemacek. TIK : TIU : Mahasiswa diharapkan mampu memahami proses fisiologi organ reproduksi jantan khususnya yang berkaitan dengan fungsi ternak jantan sebagai pemacek. TIK : 1.Mahasiswa memahami proses ereksi dan ejakulasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bioekologi Rusa Timor

TINJAUAN PUSTAKA. Bioekologi Rusa Timor 7 TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Rusa Timor Klasifikasi Indonesia mempunyai empat jenis rusa yang banyak dijumpai seperti rusa sambar (Cervus unicolor), rusa timor (Cervus timorrensis), rusa bawean (Axis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Keadaan Umum

HASIL DA PEMBAHASA. Keadaan Umum Kondisi Hewan HASIL DA PEMBAHASA Keadaan Umum Kondisi kancil betina selama penelitian secara keseluruhan dapat dikatakan baik dan sehat. Kondisi yang sehat dapat dilihat dari bulunya yang mengkilat, cara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organisasi Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama dalam suatu pembagian kerja untuk mencapai tujuan bersama (Moekijat, 1990). Fungsi struktur

Lebih terperinci

Apa Obat Diabetes Untuk Komplikasi Neuropati Otonom?

Apa Obat Diabetes Untuk Komplikasi Neuropati Otonom? Apa Obat Diabetes Untuk Komplikasi Neuropati Otonom? Apa Obat Diabetes Untuk Komplikasi Neuropati Otonom? Neuropati otonom Neuropati otonom mempengaruhi saraf otonom, yang mengendalikan kandung kemih,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak 22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Mikro Suhu dan kelembaban udara merupakan suatu unsur lingkungan mikro yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak homeothermic,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Ternak Kelinci Konsumsi daging kelinci di Indonesia dimasa mendatang diprediksikan akan meningkat. Hal tersebut disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan berkurangnya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Seksualitas Lobster Air Tawar Pada umumnya lobster air tawar matang gonad pada umur 6 sampai 7 bulan. Setelah mencapai umur tersebut, induk jantan dan betina akan melakukan

Lebih terperinci

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya TERNAK KELINCI Peluang usaha ternak kelinci cukup menjanjikan karena kelinci termasuk hewan yang gampang dijinakkan, mudah beradaptasi dan cepat berkembangbiak. Secara umum terdapat dua kelompok kelinci,

Lebih terperinci

Vegetasi Alami. vegetasi alami adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami tanpa adanya pembudidayaan.

Vegetasi Alami. vegetasi alami adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami tanpa adanya pembudidayaan. Vegetasi Alami vegetasi alami adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami tanpa adanya pembudidayaan. Aspek Praktis Kajian Vegetasi Studi vegetasi merupakan ilmu pengetahuan, yang sering

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Texel di Indonesia telah mengalami perkawinan silang dengan domba lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan kemudian menghasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN Ternak kambing sudah lama diusahakan oleh petani atau masyarakat sebagai usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksi (baik daging, susu,

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN

HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN QUESTION???? STRES BIOKIMIA NUTRISI PENDAHULUAN STRES : perubahan keseimbangan biologis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dimulai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

CREATIVE THINKING. MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN Panca Indra

CREATIVE THINKING. MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN Panca Indra CREATIVE THINKING MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN Panca Indra HIDUNG Hidung merupakan panca indera manusia yang sangat penting untuk mengenali bau dan juga untuk bernafas. Bagian-Bagian Hidung Dan Fungsinya

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Usaha peternakan sapi perah di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan skala usahanya yaitu perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah rakyat (Sudono,

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja Tatap muka ke : 13 POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA Tujuan Instruksional Umum : Memberikan pengetahuan tentang penggunaan energi mekanik yang dihasilkan dari proses metabolisme

Lebih terperinci

[Tingkah laku Ternak Unggas]

[Tingkah laku Ternak Unggas] SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN [AGRIBISNIS TERNAK UNGGAS] [Tingkah laku Ternak Unggas] [Endang Sujana, S.Pt., MP.] KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 41 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

(a) Kelinci perlu makanan untuk hidup. (b) Boneka tidak memerlukan makanan.

(a) Kelinci perlu makanan untuk hidup. (b) Boneka tidak memerlukan makanan. Di kebun rumah atau sekolahmu banyak sekali makhluk hidup dan benda mati. Dapatkah kamu menyebutkan contoh makhluk hidup yang terdapat di lingkungan sekitarmu? Tahukah kamu ciri-ciri makhluk hidup? Ari

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci