KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO (STUDI KASUS NELAYAN BAJO MOLA DAN MANTIGOLA, KABUPATEN WAKATOBI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO (STUDI KASUS NELAYAN BAJO MOLA DAN MANTIGOLA, KABUPATEN WAKATOBI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA)"

Transkripsi

1 KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO (STUDI KASUS NELAYAN BAJO MOLA DAN MANTIGOLA, KABUPATEN WAKATOBI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA) Nur Isiyana Wianti I SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya berjudul Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara) adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2011 Nur Isiyana Wianti I

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya berjudul Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara) adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2011 Nur Isiyana Wianti I

4 ABSTRACT NUR ISIYANA WIANTI. Local Capitalism of Bajonese (Case Study of Mola Bajonese and Mantigola Bajonese, Wakatobi Regency, South-East Sulawesi Province). Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN, RILUS A. KINSENG, AND WINATI WIGNA. The economic and social transformation of Bajonese indicate that local communities are able to do social mobility by mean of business expansion in the direction of capitalism way of production. Social and economic transformation by Bajonese at the present is also refers to the changes in rural society based on monetary and the capitalist market mechanism. Mola is unique community which has transformated towards capitalism. In contrast, Mantigola tend to be persistent therefore based on the research problem, the purposes of this study are : (1) to understand how is the historical development of local community with the formation of local capitalism in Mola and Mantigola; (2) To understand and analyze the differences of cultural values orientation in Bajo, where Mola is more likely to be local capitalism actor, while Mantigola still maintaining the traditional lifestyle. Research paradigm in this study is constructivism. The meaning of the basic problems of human life, and the rationality of households as well as Mantigola Mola Bajo fisherman is a social fact that is constructed and interpreted by actors. The study was conducted in the village of Mola and Mantigola, Wakatobi, South-East Sulawesi Province. Starting from February-March An influence of economic exchange through An Tje as the standardbearer of capitalism values created pioneer of local capitalism in Bajo Mola. This change is also supported by the role of people of Mandati who is a capitalist, bringing a good climate to business. Contrariwise, for Bajo of Mantigola, social change happens so slowly. The causal factors of persistency of Bajo Mantigola are adaptation Bajo Mantigola with Kaledupa people in the form of discrimination treatment, constriction of livelihood that is caused by zonation of Wakatobi National Park, restriction of Bajo in Australian Waters, and dependence economic with Bajo Mola. Futhermore, religion is an important factor in the emergence of local capitalism at Mola and Mantigola. Local Capitalism of Bajonese is also develop through by the ethics, but it isn t like the full-style capitalist Western societies that are very individualistic. So that by looking at the realm of history, Weber's theory is more able to explain the historical emergence of capitalism on the individual level. While Marx's theory used to understand the capitalism on macro system, and forms of exploitation by people Mola against his daparanakan in Mantigola. Keywords : Local Capitalism, Bajonese, Wakatobi, Weber. 54

5 RINGKASAN NUR ISIYANA WIANTI. Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Perbandingan Komunitas Suku Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing Oleh ARYA HADI DHARMAWAN, RILUS A. KINSENG, WINATI WIGNA. Transformasi ekonomi pedesaan tidak terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo. Transformasi yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah mengalami transformasi sosial dalam bentuk modernisasi. Kenyataan ini jauh berbeda Mantigola. Maka berdasarkan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah : (1)Untuk memahami bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya struktur masyarakat dengan nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola ; (2) Untuk memahami dan menganalisa faktor yang berperan di dalam membentuk etika moral kapitalisme di kedua sub etnis nelayan Bajo dan Mantigola ; (3) Untuk memahami dan menganalisa mengapa terjadi perbedaan orientasi nilai budaya pada masyarakat Bajo, dimana masyarakat nelayan Bajo Mola lebih cenderung mencirikan aktor-aktor kapitalis lokal, sementara masyarakat Bajo Mantigola tetap mempertahankan pola hidup tradisional. Paradigma penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Penelitian dilakukan di desa Mola dan Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. Dimulai dari bulan Februari- Maret Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan masyarakat Bajo kearah kapitalisme ditengarai oleh peran dari pertukaran ekonomi, dan penetrasi nilainilai yang dibawa oleh An Tje. Perubahan orientasi ekonomi ke arah kapitalisme juga disebabkan oleh peran besar dari orang Mandati yang adalah para kapitalis, yang memberikan iklim yang kondusif dalam berusaha. Sebaliknya, Bagi Bajo Mantigola, kemandekan ekonomi disebabkan adaptasi terhadap diskriminasi yang dilakukan oleh orang Kaledupa, pembatasan terhadap ruang nafkah oleh taman nasional, pelarangan untuk menangkap di perairan Australia, dan ketergantungan dari orang-orang Mola. Kemudian, agama juga menjadi factor pendorong terjadinya kapitalisme di Mola. Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis lokal tidak seperti etika yang dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme. Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Sementara teori Marx digunakan untuk memahami bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Mola terhadap saudaranya, namun bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu yang mengatur kehidupan berekonomi ala suku Bajo Kata Kunci : Kapitalisme Lokal, Bajo, Wakatobi, Weber. 55

6 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2011 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah ; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. 56

7 Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Nelayan Bajo Mola dan Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara) NUR ISIYANA WIANTI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Titik Sumarti, MS. 58

9 Judul Tesis : Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Komunitas Suku Bajo Mola dan Komunitas Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara) N a m a : Nur Isiyana Wianti NRP : I Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr MA Ketua Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, Anggota Dra. Winati Wigna, MDS Anggota Diketahui : Koordinator Program Studi Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian : 10 Agustus 2011 Tanggal Lulus : 59

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Adapun judul karya ilmiah ini adalah Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Perbandingan Komunitas Suku Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara). Karya ilmiah ini dibuat sebagai syarat guna penyelesaian studi Program Magister (S2) pada Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD). Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr, selaku ketua komisi pembimbing, sekaligus sebagai ketua Program Mayor Sosiologi Pedesaan (SPD), Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA, Dra. Winati Wigna, MDS masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan saran dan masukan guna penyempurnaan karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS selaku penguji dalam ujian tesis, yang telah memberikan kritik, dan saran untuk menyempurnakan karya ilmiah ini. 3. Kedua orang tuaku, Bapak, dan Almarhumah Ibunda tercinta, Suamiku dan anak-anakku (Nashwa dan Nayla), Sari, Hafidz, Anna, dan Kak Nini, atas cinta, canda dan tawa, doa serta dukungan yang tak terhingga untuk penulis. 4. Rektor Universitas Haluoleo dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo atas izin kepada penulis untuk melanjutkan studi di P.S. SPD IPB. 5. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Teman-teman Mahasiswa Sosiologi Pedesaan, khususnya untuk teman-teman SPD Angkatan 2009, Mahmudi Siwi, Fatriyandi NP, Pak Sumartono, dan Bambang Capicoren atas semangat, diskusi teoritis yang menggugah, dan persahabatan yang erat dibina sampai saat ini. 6. Pemerintah Kabupaten Wakatobi atas izin yang diberikan kepada penulis untuk meneliti keunikan masyarakat Bajo. Khususnya kepada Ir. Abdul Manan, MSc, selaku Kepala BAPPEDA kabupaten Wakatobi, sekaligus sebagai presiden Orang Bajo Indonesia atas segala bentuk dukungan, dan informasi. 7. Keluarga Ibu Surni di Mola dan Mantigola atas penerimaannya, dan segala bantuan selama ini kepada penulis agar bisa diterima oleh masyarakat suku Bajo. 60

11 8. Masyarakat Suku Bajo Mantigola, dan Mola, atas segala kejujuran kalian mengungkapkan makna mengenai perubahan diri, juga atas penerimaan dan kepercayaan yang penuh perjuangan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Khususnya untuk orang-orang Bajo Mantigola yang berjuang untuk memperoleh keadilan. Amien! Bogor, Agustus 2011 Nur Isiyana Wianti 61

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 21 Mei 1983 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Ir. H. Taane La Ola, MP dan Almarhumah Ibu Hj. Halis Wiati, SE, MS. Pada Tahun 2001, penulis menempuh pendidikan sarjana melalui jalur USMI pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun Pada tahun 2006, penulis menikah dengan Muslim Tadjuddah, SPi, MSi dan dikaruniai oleh dua orang putri Nashwa Noor Marlin Tadjuddah, dan Nayla Noor Ramadani Tadjuddah. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai dosen kontrak pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Universitas Haluoleo. Pada Tahun 2008, penulis diangkat sebagai dosen tetap pada Program Studi Penyuluhan dan Komunkasi pertanian, Jurusan Agribisnis, fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) diperoleh pada tahun 2009 dengan dukungan penuh dari Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional. 62

13 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN RINGKASAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Penelitian Tujuan Penelitian 17 II TINJAUAN PUSTAKA Ciri-ciri Kapitalisme Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup dan Ideologi Pengertian Lokal Kerangka Pemikiran Hipotesa Pengarah 44 III METODOLOGI PENELITIAN Paradigma Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengumpulan Data Analisa Data 50 IV KONTEKS SEJARAH DAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Gambaran Umum Kepulauan Wakatobi Gambaran Umum Bajo Mola Gambaran Umum Bajo Mantigola Gambaran Potensi Sumberdaya Alam Sejarah Kedatangan Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi dan Kronologi Perubahan Sosial di Bajo Mola dan Bajo Mantigola 62 63

14 V. WAJAH KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO Sejarah Munculnya Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Kemandekan Ekonomi di Mantigola Karakteristik Aktor-aktor Kapitalisme Lokal Agama di Dalam kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola Orientasi Nilai Budaya di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola Persepsi Manusia terhadap Alam di Dalam Bentuk Kapitalisme Lokal Hakekat Manusia dengan Manusia di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo Hakekat Hidup di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo Hakekat Karya di Dalam Bentuk Kapitalisme Lokal Suku Bajo Persepsi Manusia terhadap Waktu di dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo Rasionalitas pada Aktor Kapitalis Suku Bajo Mola dan Mantigola Karakteristik Kapitalisme Lokal Profit Maksimisasi Pola Ekspansi Ekonomi Individualisme-Profit Properti Hubungan Sosial Produksi Refleksi Teoritik Kapitalisme Lokal Suku Bajo Ikhtisar 166 VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 171 DAFTAR PUSTAKA 171 LAMPIRAN

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kepadatan Penduduk Menurut Desa Tahun Penduduk Kampung Bajo Mola berdasarkan Desa Menurut Umur dan Jenis Kelamin 3. Jenis dan Jumlah Alat Penangkapan Ikan, dan Jumlah Kendaraan Penangkapan Ikan Mola, Penduduk Desa Mantigola Makmur menurut Umur dan Jenis Kelamin, Jumlah Nelayan, Jumlah Perahu, Kapal Penangkapan Ikan, dan Jumlah Alat Penangkapan Ikan Menurut Jenisnya di Desa Mantigola, Jumlah dari Kepemilikan Lambo oleh Masyarakat Bajo Mola Utara, Mola Selatan, dan Mantigola Tahun 1994, dan Tahun

16 DAFTAR MATRIKS Halaman 1. State of The Art studi tentang Masyarakat Nelayan Sistem Ekonomi pada Masyarakat Pertanian (Suatu Perbandingan oleh Boeke) 3. Penguasaan Kesadaran dari Fragmentasi antara Realitas melalui Aturan-aturan dalam Bertindak 4. Kerangka Kluckhon mengenai Lima Masalah dasar dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian Perbandingan Kronologi Perkembangan Masyarakat Bajo Mola dan Mantigola, Perbandingan Etika Moral Ekonomi Mola dan Mantigola berdasarkan bentuk Keyakinan 8. Perbandingan Orientasi Nilai Budaya terhadap Warna Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mantigola 9. Perbandingan rasionalitas berdasarkan Parameter-parameter Kapitalisme Lokal yang Diamati pada Aktor Kapitalis Bajo Mola dan Mantigola

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Piramida Penduduk Bajo Mola, Piramida Penduduk Desa Mantigola Makmur, Gambaran Wajah Kapitalisme Lokal di Suku Bajo Mola Gambaran Wajah Kapitalisme Lokal di Suku Bajo Mantigola

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Penelitian Jadwal Penelitian Kerangka Analisa Panduan Analisa Panduan Wawancara

19 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat meso terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit potensi untuk masa depan. Sifat berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab akibat dengan fase kini dan fase kini merupakan prasyarat sebab akibat yang menetukan fase berikutnya (Sztompka, 2005). Perubahan sosial merupakan suatu proses terkait dengan keseluruhan dari aspek kehidupan masyarakat dan multidimensi. Transformasi ekonomi masyarakat sendiri diyakini sebagai bagian dari proses perubahan sosial. Transformasi ekonomi masyarakat pedesaan menuju pada cara produksi kapitalisme, dengan konteks lokal masing-masing. Banyak yang meragukan keberhasilan aktor-aktor kapitalis lokal di dalam keberhasilan mengelola kelangsungan usaha. Antara lain Geertz (1963) yang mengungkapkan bahwa para aktor pengusaha lokal kurang memiliki mentalitas pemikir, sebagaimana tercermin dari rendahnya kemampuan mereka dalam memobilisasi sumberdaya sosial ekonomi dan mengorganisasikan pekerja secara sistematis untuk meraih tujuan-tujuan bisnis. Selanjutnya, Castles (1982) dalam Sitorus (1999) menjelaskan bagaimana kegagalan golongan santri dalam industri rokok kretek di Kudus. Analisis Castles tiba pada suatu kesimpulan bahwa kegagalan tersebut terjadi karena golongan santri (a) gagal dalam menguasai saham dalam rangka persaingan dengan golongan Cina, (b) gagal dalam mekanisasi industri rokok kretek, (c) gagal memajukan organisasi usaha menuju bentuk yang lebih kompleks dari perusahaan keluarga sehingga tidak dapat memainkan peran utama di dalam pembangunan, dan (d) gagal mempertahankan hubungan fungsional dengan golongan-golongan sosial lain. Penelitian Boeke mengenai transformasi struktur ekonomi pedesaan dilakukan dengan berfokus pada pengaruh kolonialisme pada struktur ekonomi lokal terutama erat kaitannya dengan : (1) transformasi ekonomi non kapitalis 69

20 menjadi kapitalis kolonial, dan (2) implikasi atau pengaruh sistem ekonomi kolonial terhadap perkembangan ekonomi lokal pasca kolonial. Studi Boeke tersebut menunjukkan rasa pesimisnya terhadap masa depan masyarakat Jawa, bahwa perekonomian pribumi yang pra kapitalis akan sulit berkembang menjadi ekonomi kapitalis. Kemudian, perekonomian kolonial yang kapitalis akan selalu mendominasi perekonomian lokal. Transformasi ekonomi pedesaan tidak terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo. Fenomena sosial ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat lokal mampu melakukan mobilitas sosial melalui ekspansi usaha ke arah cara produksi kapitalisme. Dahulu suku Bajo masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten yang dilakukan dengan cara berburu, dan berpindahpindah, penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya (Zacot, 2002). Seiring dengan dimulainya relokasi masyarakat Bajo ke daratan, rupanya membawa implikasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya. Awalnya ketika masyarakat Bajo masih hidup berpindah-pindah dengan leppa, mereka tidak mengenal ekonomi uang, aktifitas sehari-hari hanyalah memancing, dan menangkap ikan pada suatu tempat selama sebulan kemudian pergi ke tempat lain. perdagangan hanya dilakukan dengan sistem barter. Untuk persediaan sehari-hari mereka, kelompok pengembara ini berbuat sebagai berikut : sebuah kelompok kecil pergi ke pantai pada hari-hari pasar, apakah itu pasar terapung atau pasar di darat. Mereka menukar ikan-ikan tangkapan mereka dengan kebutuhan lain atau peralatan yang mereka butuhkan. Namun, setelah proses relokasi, sendi-sendi kehidupan masyarakat Bajo mulai berubah sejalan dengan menetapnya masyarakat Bajo di pinggir pantai dengan membuat rumah-rumah terapung. Masyarakat Bajo mulai mengenal ekonomi uang (artinya mulai mengenal kemiskinan) dan pasar, generasi muda Bajo mulai diperkenalkan dengan sekolah formal, serta mau tidak mau harus mengakui dan takluk terhadap legitimasi pemerintah sebagai suatu suprasistem kehidupan mereka. Transformasi yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Transformasi yang terjadi di dalam proses produksi diarahkan untuk menghasilkan surplus. Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah mengalami transformasi sosial dalam bentuk modernisasi 70

21 (Harian Kompas, Senin 28 Juni 2010). Komunitas Bajo Mola menggeliat, perkembangan ekonomi berkembang dengan pesat, ini ditandai dengan skala usaha yang condong kearah kapitalisme. Penggunaan alat tangkap yang modern, terjadi akumulasi modal untuk ekspansi usaha, menggunakan sistem upah tenaga kerja, yang dahulu hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan ini jauh berbeda dengan kampung-kampung Bajo lainnya di Kabupaten Wakatobi, antara lain kampung Bajo Lamanggau, La Hoa, Sama Bahari maupun Mantigola. Para nelayan Bajo Mola telah banyak menjadi pengumpul besar, dan menguasai jalur perdagangan ekspor kerapu hidup ke Hongkong melalui Bali. Kemajuan-kemajuan yang dicapai di atas memang mengesankan, namun kemajuan yang dicapai juga menimbulkan konsekuensi tersendiri yakni ketidakmerataan ekonomi, antara lain pola distribusi keuntungan yang timpang. Selanjutnya, saat ini nelayan Bajo khususnya Mola tidak menjadikan laut sebagai satu-satunya sumberdaya yang digunakan untuk mencari nafkah. Nelayan Mola tidak lagi berorientasi pada upaya untuk bertahan hidup (survival) melainkan juga untuk memperbaiki status kehidupan mereka (consolidating strategy). Nafkah tidak lagi hanya diarahkan sebagai sesuatu yang harus dilakukan (necessity) melainkan juga sebagai suatu pilihan-pilihan rasional (rational choices). Strategi nafkah yang dilakukan nelayan Bajo Mola antara lain dengan melakukan diversifikasi nafkah di luar kegiatan menangkap ikan, dan melakukan migrasi ke pulau-pulau lainnya, hingga ke luar negeri. Kegiatan menangkap ikan tidak hanya dilakukan disekitar perairan Wakatobi saja melainkan juga melakukan penangkapan di laut Arafura, dan menangkap hiu di Pepela NTT. Diversifikasi nafkah selain menangkap ikan antara lain membuat perahu Lambo yang kemudian dipasarkan ke Pepela, budidaya ikan di dalam keramba, membuka usaha toko kelontongan, membuka usaha jasa penginapan kelas melati. Selanjutnya, merantau juga dilakukan oleh lelaki Bajo Mola, dengan daerah yang menjadi tujuan migrasi adalah Tawao Malaysia. Biasanya mereka bekerja sebagai ABK pada kapal-kapal ikan, status mereka adalah tenaga kerja ilegal, lama waktu perantauan kira-kira antara dua sampai tiga tahun. Merantau bagi beberapa nelayan Bajo Mola adalah upaya yang harus dilakukan ketika lahan nafkah di sektor perikanan sudah tidak menjanjikan lagi, dan merupakan sarana untuk mengumpulkan modal untuk usaha. Bagi beberapa pengusaha perintis, awal usaha dimulai ketika bekerja dengan pengusaha Cina yang datang 71

22 ke Mola. Setelah merasa paham dan mampu menyediakan sedikit modal untuk mandiri, kemudian membuka usaha hasil-hasil laut. Yang kemudian menjadi khas dalam membahas kapitalisme yang terjadi di komunitas suku Bajo adalah bahwa perempuan Mola adalah para usahawan. Sebaliknya, komunitas Bajo Mantigola yang adalah daerah asal Bajo Mola, cenderung persisten terhadap perubahan. Perputaran roda ekonomi cenderung lebih lambat tetap mempertahankan pola usaha perikanan yang tradisional. Kemudian nelayan Mantigola masih menggunakan cara-cara tradisional, jenis alat tangkap tradisional antara lain didominasi oleh alat tangkap panah, jaring, pancing, dan bubu. Daya jelajah nelayan Bajo Mantigola juga tidak terlalu jauh, wilayah penangkapan hanya sejauh wilayah karang Kaledupa. Kemandekan ekonomi yang terjadi di Mantigola disebabkan oleh hal-hal yang lebih kontekstual struktural, dan pada akhirnya memberikan dampak sistemik bagi perekonomian Bajo Mantigola Kemudian, dari segi pemukiman, Bajo Mantigola tetap mempertahankan ciri khas pemukiman tradisional Bajo dengan ciri khas bertempat tinggal di suatu rumah yang terbuat dari kayu dan bambu. Mulai dari jalan raya terlihat jembatanjembatan bambu yang menyebar ke seluruh rumah-rumah. Jembatan tersebut dipergunakan ketika air laut sedang surut, sebab ketika air laut sedang naik, nelayan Bajo Mantigola lebih senang menumpangi perahu dayung yang khusus dipergunakan untuk mengambil air minum di daratan. Sebaliknya, masyarakat Bajo Mola telah meninggalkan ciri khas tempat tinggal Bajo pada umumnya. Mola telah menjadi daratan yang bersambung dengan pulau Wanci. Rumah-rumah nelayan Bajo telah terbuat dari Batu, tidak ada lagi jalanan bambu yang menghubungkan rumah-rumah Bajo. Berdasarkan kesejarahan masyarakat Bajo di Kepulauan Wakatobi, sesungguhnya komunitas Nelayan Bajo Mola berasal dari Mantigola. Masyarakat Bajo Wakatobi awalnya menetap di pulau Kaledupa tepatnya di Lembonga. Setelah sekian lama hidup nomaden di atas laut, dari Lembonga masyarakat Bajo pindah dan membangun perumahan di atas laut di Mantigola yang masih merupakan wilayah pulau Kaledupa, atas izin Sultan Buton. Perpindahan masyarakat Bajo ke Mantigola disebabkan oleh dekatnya Mantigola dengan Karang Kaledupa (offshore reefs) yang kaya akan sumberdaya ikan jika dibandingkan ketika tinggal di Lembonga. Pada tahun 1950an terjadi 72

23 pemberontakan Kahar Muzakar, atau yang dikenal dengan istilah masa gerombolan, menyebabkan terusirnya sebagian besar nelayan Bajo Mantigola ke beberapa wilayah tukang besi, salah satunya ke Wanci. Terusirnya nelayan Bajo ke luar wilayah Mantigola karena keberpihakan mereka terhadap pihak gerombolan, sehingga oleh pemerintah Kaledupa, nelayan Bajo tersebut terusir dari Mantigola. Kemudian, kelompok Bajo Mantigola yang terkatung-katung di perairan Wanci diterima oleh masyarakat Wanci Mandati yang juga mendukung eksistensi para gerombolan. Oleh masyarakat Wanci, nelayan Bajo tersebut diizinkan untuk membangun 30 unit tempat tinggal baru yang dikenal dengan kampung Bajo Mola Utara (Stacey, 1999). Menetapnya masyarakat Bajo di Mola kemudian diikuti dengan pembauran antara masyarakat Bajo dengan orang-orang Mandati. Pertukaran ekonomi antara orang-orang Bajo dengan orang-orang Mandati memuluskan proses pembauran tersebut. Masyarakat Wanci Mandati sendiri dikenal sebagai orang Buton yang sangat pandai berniaga. Jaringan perdagangan mereka tidak hanya di dalam negeri saja (seperti pulau Buton, Buru, Ternate, Kalimantan, Flores, Papua, dan Jawa), melainkan hingga melewati batas negara antara lain Singapura, dan Malaysia. Komoditas yang diperdagangkan oleh orang-orang Mandati, beberapa jenis merupakan hasil tangkapan orang-orang Bajo seperti teripang, dan sirip ikan hiu. Tidak saja komoditas pertanian yang diperdagangkan oleh orang-orang Mandati, misalnya kopra, mete, dan cengkeh. Melainkan juga sandang dan papan, seperti pakaian dan perhiasan. Komoditas pertanian yang diperdagangkan sesungguhnya berasal dari pulau Kaledupa. Pulau Wanci sendiri tidak banyak menghasilkan komoditas pertanian karena sebagian besar tanahnya adalah lahan kritis dengan struktur tanah kapur, sehingga sangat miskin unsur hara. Kondisi ekologi seperti ini yang menyebabkan masyarakat Wanci memiliki etos kerja yang tinggi dan menciptakan keunggulan masyarakat Wanci dalam berniaga. Penetrasi kultur kapitalisme melalui pertukaran ekonomi ini selain merubah kultur masyarakat Bajo, juga menciptakan perubahan struktural. Orientasi produksi nelayan Bajo Mola kini berubah sepenuhnya dari hanya bertujuan untuk subsistensi kepada tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam rangka memperoleh keuntungan. Nelayan Mola saat ini tidak saja mencari nafkah dengan cara menangkap ikan melainkan juga melakukan diversifikasi 73

24 usaha baik di sektor perikanan tangkap maupun sektor non perikanan. Kapitalisme Bajo Mola semakin menggeliat juga didukung oleh masuknya teknologi penangkapan ikan, seperti purse seine, dan teknologi pengolahan hasil perikanan seperti meloing untuk komoditas tuna. Beberapa wirausaha Bajo Mola memiliki jenis kapal purse seine, kapal motor berbobot 30 GT 1, dan keramba apung tempat penampungan ikan-ikan kerapu hidup. Pentingnya peran kapital bagi Bajo Mola telah merubah hubungan-hubungan sosial produksi dan terjadi peralihan tenaga kerja keluarga menjadi buruh upahan. Misalnya saja di dalam sistem perniagaan ikan kerapu hidup yang dikelola nelayan Bajo Mola yang berskala ekspor dengan jaringan perdagangan yang luas ke Bali hingga ke Hong Kong menuntut penggunaan tenaga kerja upahan selain anggota keluarga. Namun, dari perubahan dramatis yang nampak dari gejala-gejala kapitalisme pada masyarakat Bajo, rupanya masih terdapat ruang-ruang bagi nilai-nilai lokal yang menyebabkan kapitalisme masyarakat Bajo dimaknai sebagai satuan sosial yang unik. Menurut Peribadi (2001) dalam memenuhi berbagai jenis kebutuhannya, etnis Bajo berpijak pada suatu etos dan pandangan hidup yang terkandung dalam falsafah tellu temmaliseng dua temmaserrang. Etos tersebut lah yang mempermasalahkan baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetik), benar dan salah (logis), serta pandangan hidup yang terintegral dengan alam sekitarnya. Yang pada akhirnya orientasi nilai tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan nafkah, basis etika nilai dan moralitas dalam ekspansi usaha, bentuk pola akusisi kapital, bentuk jejaring bisnis, dan bentuk-bentuk tindakan bisnis yang dilakukan oleh aktor kapitalis lokal Bajo. Selain itu masih kuatnya istilah sama yang menunjukkan inklusifitas kelompok masyarakat Bajo terhadap orang-orang di luar komunitas Bajo atau dikenal dalam peristilahan Bajo sebagai bagai atau orang-orang darat. Pemisahan antara sama dan bagai ini erat kaitannya dalam mekanisme perekrutan tenaga kerja upahan. Masyarakat Bajo lebih memilih orang sama sebagai buruh upahan dan pertimbangan bahwa tenaga kerja terkait erat pada ikatan kekerabatan. Kemudian, hubungan kekerabatan bagi orang Bajo merupakan unsur yang berperan dalam mempermudah akses seseorang terhadap peluang atau sumberdaya ekonomi dan sosial seperti perekrutan sawi. Perekrutan sawi dari unsur kerabat ini didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk ketenangan dan 1 Gross Tonage (ukuran besarnya perahu atau kapal) 74

25 ketentraman dalam bekerja, dan juga dapat membantu keluarga yang belum bekerja. Menurut Kasim dalam hamzah (2008) bahwa sawi lebih senang bekerja dengan kerabat/saudara sendiri daripada harus diperintah oleh orang lain. Penghargaan tinggi masyarakat Bajo terhadap ikatan kekerabatan (kinship) terkait erat dengan kelangsungan kehidupan masyarakat Bajo, kebudayaannya, dan juga kelangsungan sejarahnya. Maka berdasarkan pada fenomena unik tersebut, tulisan ini akan menunjukkan adanya perubahan orientasi ekonomi masyarakat Bajo dalam konteks lokal. Perubahan ini merupakan tanda bahwa menggeliatnya ekonomi local orang-orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola yang tetap melakukan pola-pola perikanan tradisonal, menunjukkan bahwa spirit of capitalism di setiap suku Bajo memiliki derajat perbedaan dalam hal perkembangannya. Untuk memahami mengapa terjadi perbedaan tersebut maka : pertama, tulisan ini akan mengkaji secara historis perubahan kultur masyarakat Bajo yang tradisional dan prakapitalis dengan menjawab bagaimana kultur kapitalisme mampu merembes ke dalam nilai-nilai masyarakat Bajo Mola melalui saluran (trajectory) tertentu. Dengan menggunakan analisa mengenai pemaknaan masyarakat Bajo Mola maupun Mantigola mengenai lima masalah dasar di dalam kehidupan manusia, antara lain mengenai hakekat dari hidup, hakekat dari karya manusia, hakekat ruang dan waktu, hakekat dengan alam sekitar, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Analisa perubahan nilai masyarakat Bajo kepada kultur kapitalisme juga menekankan pada pentingnya analisa perubahan rasionalitas nelayan Bajo Mola dengan berpijak pada teori rasionalitas Weber, bahwa di masyarakat Bajo terdapat perbedaan dalam hal perkembangan rasionalitas, yang kemudian juga menggambarkan perbedaan orientasi perkembangan spirit of capitalism di masyarakat Bajo. Kemudian, tulisan ini juga akan mencoba memahami bagaimana perubahan budaya sebagai hasil adaptasi dan akulturasi masyarakat Bajo Mola di Pulau Wanci. Hasil adaptasi tersebut memunculkan suatu kultur kapitalisme khas lokal. Lokal di dalam tulisan ini tidak merujuk pada bentuk-bentuk kapitalisme murni masyarakat Barat yang berangkat dari masyarakat industri, melainkan berangkat dari masyarakat pesisir yang terkait oleh kultur lokal, yang sifat sumberdayanya yang open access, serta mekanisme berburu dan meramu (food and gathering) yang merupakan cara untuk memperoleh sumberdaya. 75

26 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Telah banyak studi-studi mengenai transformasi ekonomi pedesaan, dan khususnya studi pembentukan kapitalisme lokal di Indonesia. Studi mengenai transformasi ekonomi dimulai oleh studi Boeke (1947) yang terkenal dengan tesisnya mengenai dualisme ekonomi. Dalan kajian dualisme ekonominya, Boeke memberikan tekanan pada ciri khas pedesaan Jawa yang menurutnya tidak mungkin diungkapkan melalui prinsip maupun dalil teori ekonomi klasik Barat. Oleh sebab itu menurut Boeke masyarakat pribumi tidak ada keinginan untuk mencari keuntungan maupun mengumpulkan modal dan mereka juga menjauhkan diri dari setiap tindakan yang mengandung resiko, sehingga pada akhirnya masyarakat pribumi akan berkembang ke arah dalam atau menurutnya ekspansi statis. Inti teori Boeke selanjutnya adalah sifat sosial ganda adalah pertarungan antara sistem sosial impor dari luar melawan sistem sosial lokal yang bergaya tersendiri. Menurutnya, pada akhirnya pertarungan masyarakat pribumi gagal menyesuaikan diri dan menarik manfaat dari pertarungan itu, tubuh komunitasnya akan tercerai berai dan merana, anggota-anggotanya makin melarat. Perspektif yang sama terlihat dari karya Geertz tentang moral subsistensi, yang akhirnya akan terus bermuara pada perkembangan yang semakin buruk. Retorika teoritisnya tentang involusi pertanian merupakan bukti pandangannya yang pesimis tentang sikap petani tradisional, yang sulit masuk ke dalam perspektif rasional, seperti dalam sistem masyarakat kapitalisme. Dalam sikap moral yang tradisional, diikuti oleh terbatasnya sumber alam, maka kehidupan ekonomi masyarakat tradisional bersangkutan mengalami proses involusi yang semakin buruk keadaannya dari waktu ke waktu. Tulisan Boeke mengenai dualisme ekonomi banyak menuai kritik. Tesis Boeke yang cenderung pesimis terhadap perkembangan ekonomi pribumi perlahan mulai terbantahkan. Studi Hefner (1999) adalah satu dari sekian peneliti social yang hasil penelitiannya menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap kesimpulan Boeke mengenai statis dan kehidupan kebersamaan yang membawa pada kehidupan ekonomi desa Jawa terdampar pada jalan yang buntu, tidak musnah, namun terperangkap dalam hubungan dualisme yang tidak terselesaikan sehingga kehidupan mereka seluruhnya menjadi tergantung dari kekuatan-kekuatan luar. Menurut Hefner orang Tengger tidak berubah menjadi 76

27 komersial karena gesekan dengan ekonomi kapitalis, masyarakat kecil mungkin telah melakukan interaksi dengan ekonomi luar tetapi mereka tidak terbelit oleh gambaran ekonomi kapitalis secara keseluruhan. Mereka tetap memelihara pola ritual dan status. Semua kekayaan yang masuk secara cermat disesuaikan dengan kebutuhan atau pembendaan yang berlaku. Kebebasan pribadi tetap ada, hanya akumulasi kekayaan ditentukan oleh batas-batas penggunaannya secara ketat oleh masyarakat. Selanjutnya, Husken (1988) dalam penelitiannya mengenai transformasi masyarakat desa Gondosari mengungkapkan bahwa masyarakat desa Jawa sebenarnya bukanlah masyarakat yang egaliter, subsistensi (pasca tradisional), tetapi telah berkembang melalui penguasaan teknologi dan kekuasaan atas tanah pertanian. Beberapa tulisan mengenai gejala pembentukan formasi kapitalis lokal menunjukkan bahwa masyarakat pribumi mampu membentuk formasi kapitalis khas lokal wilayah masing-masing. Tulisan Tetiani (2005) mengenai memudarnya dualisme ekonomi, studi mobilitas sosial komunitas perkebunan teh Kertamanah Pengalengan Jawa Barat menunjukkan kritik terhadap tesis Boeke. Tetiani mengungkapkan bahwa Boeke hanya membaca sebagian fakta yang terjadi di Jawa. Ada fakta lain yang semula tersortir, bahwa terjadi respon kapitalistik warga desa sejak masa kolonial akibat keberadaan perkebunan teh, kemudian munculnya serikat buruh, perolehan keuntungan buruh dalam perkembangan kebun, pola mobilitas sosial yang terstruktur, dan kekuatan elit lokal penekan penduduk desa yang merosot memudarkan pasar tenaga kerja ganda. Penelitian Nurjannah (2003) mengenai pola produksi dan gejala pembentukan kelas pedagang dalam masyarakat pengrajin di desa Banyumulek Lombok Barat menemukan bahwa sebagian mean of production dan pembagian kerja teknis cenderung dikuasai oleh pedagang, sehingga force of production pedagang meningkat. Kemudian pedagang gerabah berasal dari komunitas Banyumulek, dan muncul dari golongan elit ekonomi tradisional, yang karena kemampuannya dalam menguasai pemasaran tampil sebagai kapitalisme merkantilisme. Kemampuan pedagang melakukan mobilitas sosial, berdampak pada perubahan stratifikasi masyarakat. Selain itu terjadi pemudaran nilai-nilai pedesaan, perubahan hubungan sosial, dan perubahan tipe ekonomi. 77

28 Tulisan Purnomo (2005) mengenai transformasi pedesaan Jawa dengan judul perubahan struktur ekonomi lokal : studi dinamika moda produksi di Desa Pegunungan Jawa menyimpulkan bahwa moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang yang berasal dari luar sistem sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh oleh moda produksi kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa banyak disebabkan oleh oleh faktorfaktor eksternal daripada internal sistem sosial. Dengan demikian, formasi sosial lokal dari masa ke masa didominasi oleh moda produksi kapitalis yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi lokal berangsur-angsur memudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama sekali. Kemudian, tulisan Sitorus (1999) mengenai pembentukan golongan pengusaha tenun dalam masyarakat Batak Toba, menegaskan bahwa golongan pengusaha kapitalis lokal terutama berasal dari golongan elit sosial ekonomi tradisional yang terdapat dalam komunitas lokal yang bersangkutan. Kemunculan golongan pengusaha kapitalis lokal merupakan resultan dari dua unsur pokok yaitu, pertama, terpenuhinya prakondisi produksi kapitalis berupa pembentukan modal uang pada golongan elit ekonomi lokal dan pembentukan golongan buruh upahan dalam komunitas lokal yang bersangkutan dan kedua adanya rekayasa sosial dari negara dalam bentuk bantuan teknis dan permodalan khususnya terdapat sejumlah elit sosial ekonomi tersebut. Penelitian Khan (1974) dalam Purnomo (2005) di Minangkabau melihat kehadiran tiga moda produksi bersamaan, yakni ; (1) cara produksi subsistensi (subsistensi production) yakni usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terjadi dalam keluarga inti dan bersifat egaliter ; (2) produksi komersialis (petty commodity production) yakni usaha di pertanian dan luar pertanian yang (sudah) berorientasi pasar dimana hubungan produksi menunjukkan gejala eksploitasi surplus melalui hubungan kekerabatan, dan hubungan sosial egaliter karena (umumnya keluarga/kerabat), namun bersifat kompetitif; (3) produksi kapitalis yakni usaha padat modal yang berorientasi pasar dimana hubungan produksi mencakup hubungan struktur buruhmajikan/pemilik modal dan pemilik tenaga. 78

29 Dari beberapa studi mengenai berfokus pada komunitas masyarakat nelayan (Matriks 1), terdapat studi mengenai perubahan sosial, transformasi ekonomi pedesaan dan gejala terbentuknya kelompok kapitalis lokal. Tulisan Satria (2000) mengenai modernisasi perikanan dan mobilitas sosial nelayan di Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan, menemukan bahwa modernisasi perikanan menciptakan formasi sosial baru, dimana cara produksi lama yang tradisional harus bersaing dengan cara produksi baru yang lebih modern, yang rupanya sering diikuti dengan konflik-konflik antar pelaku dari masing-masing cara produksi. Kemudian selanjutnya yang terjadi adalah tersingkirnya cara produksi tradisional (centrang 2, payang 3, dan klitik 4 ) dalam dinamika formasi sosial usaha penangkapan ikan di Pekalongan. Kelembagaan produksi yang tercipta kemudian mengarah pada proses hubungan yang eksploitatif. Temuan Satria yang berikutnya adalah modernisasi perikanan yang berlangsung di Pekalongan telah memunculkan sejumlah elit pengusaha perikanan, munculnya gejala kompradorisasi, dan di dalam menghadapi modernisasi, nelayan melakukan tiga jenis pilihan strategi, antara lain strategi adaptasi, strategi bertahan, atau strategi keluar atau menyingkir dari persaingan. Matriks 1. State of the Art Studi tentang Masyarakat Nelayan No Penulis Fokus Kajian Temuan 1. Satria, 2000 Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan (Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan). Modernisasi perikanan menciptakan formasi sosial baru, menciptakan konflik-konflik baru antar pelaku masing-masing cara produksi. Kemudian, tercipta kelembagaan kerja modern yang eksploitatif. Modernisasi perikanan yang berlangsung di Pekalongan telah memunculkan sejumlah elit pengusaha perikanan, antara lain kelompok perintis, pengikut, dan kelompok penerus. 2 Jenis alat tangkap tradisional karena telah digunakan secara turun-temurun, berbentuk mini purseine,yang digunakan untuk menangkap jenis ikan pelagic kecil. Bobot kapal di bawah 10 GT. 3 Umumnya alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan pelagic kecil, banyak dioperasikan di wilayah perairan pantai Utara Jawa. 4 Adalah alat tangkap berbentuk jaring, digunakan untuk menangkap ikan pelagic kecil yang sifatnya sculling atau berkumpul pada titik lokasi tertentu. 79

30 2. Peribadi, 2001 Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat bajo, Sebuah Studi Komunitas di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. 3. Wulansari,2001 Kajian Gender dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Pulau Untung Jawa 4. Arnis, 2003 Jaringan Sosial Perempuan Bakul Ikan (Studi Kasus Perempuan Bakul Ikan di Desa Bandar, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati) 5. Herwening, 2003 Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik (Studi Kasus di Kelurahan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi) Keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dijalankan sesuai yang diharapkan oleh norma adat dan agama yang menjadi pegangan utama. Pengaruh tersebut nampak pada berbagai pola pengambilan keputusan, baik di bidang produksi, maupun domestik. Dominasi laki-laki dalam bidang produksi, sementara dominasi perempuan di bidang domestik atau rumahtangga. Perempuan pesisir mengalami ketimpangan gender pada beban kerja, adanya stereotipe peran perempuan dan laki-laki, subordinasi dan marginalisasi dari setiap program-program pembangunan. Ketimpangan gender ini mengakibatkan kurangnya akses maupun kontrol mereka terhadap pengelolaan sumberdaya. Jaringan sosial yang dibentuk oleh perempuan bakul ikan baik itu bakul seret maupun bakul bengkel dilandasi oleh motivasi relasi ekonomi. Karakter jaringan kegiatan produksi yang dibentuk oleh perempuan bakul ikan adalah simetris resiprokal. Konflik atau pertengkaran antar perempuan bakul ikan sering terjadi karena perebutan ikan pancingan, perebutan konsumen, persaingan harga, dan perebutan pelanggan. Pada akhirnya, jaringan sosial yang telah dibentuk oleh perempuan bakul ikan merupakan modal sosial yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga nelayan. Bahwa implikasi kegiatan modernisasi perikanan di Pelabuhanratu telah menimbulkan berbagai potensi konflik, misalnya saja terdapat potensi konflik antara armada yang karena konflik pemanfaatan wilayah antar bagan apung dengan perahu payang. Selanjutnya, potensi konflik 80

31 dalam pola hubungan produksi terlihat dalam hubungan antara pemilik modal dengan pemilik perahu, pemilik kapal dengan ABK, yang ditunjukkan dengan adanya gejala eksploitasi. Seiring dengan peningkatan teknologi, maka ketimpangan pendapatan antara pemilik alat produksi dengan ABK semakin lebar, namun hal ini tidak menyebabkan gejala polarisasi. Komunitas nelayan terdeferensiasi lebih kompleks sehingga menyebabkan perubahan pada pola stratifikasi. 6. Iqbal, 2004 Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur) 7. Shaliza, 2004 Dinamika Konflik antar Komunitas dan Transformasi Modal Sosial (Studi Kasus Konflik antara Komunitas Nelayan Parit III dan Melati di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau) Secara garis besar terdapat dua jenis strategi nafkah yang dipergunakan masyarakat lapisan bawah di dalam menghadapi tekanan hidup, yaitu strategi produksi (ekonomi) dan strategi non produksi (pemanfaatan modal sosial). Strategi ekonomi erat kaitannya dengan kondisi ekologi, ketersediaan modal finansial dan sumberdaya manusia. Sementara strategi non produksi memanfaatkan modal sosial yang ada sebagai jaminan keamanan sosial (social security), seperti memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan lokal, jaringan, unsur norma dan nilai-nilai. Konflik antar nelayan di Bengkalis telah berlangsung sejak tahun 1985, dengan lima titik ekstrim. Konflik disebabkan oleh dan berimplikasi pada perubahan pola hubungan sosial dan transformasi modal sosial. Kemudian pada komunitas nelayan Parit III, periode komersialisasi menggeser pelapisan sosial secara budaya menjadi pelapisan sosial secara ekonomi, namun sifatnya masih sederhana. Kemudian, konflik menimbulkan perubahan pada dimensi modal sosial. Serta penyebab konflik antar kedua komunitas nelayan adalah karena perbedaan tindakan pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir, 81

32 perubahan pola hubungan dan perbedaan orientasi nilai budaya. 8. Kinseng, 2007 Kelas dan Konflik Kelas pada Kaum Nelayan di Indonesia (Studi Kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur) 9. Hamzah, 2008 Respons Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) 10. Widodo, 2009 Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir (Kasus Dua Desa di Struktur kelas kaum nelayan di Balikpapan berkembang ke arah yang lebih rumit dengan munculnya kelas menengah baru atau kelas borjuis baru yang adalah nelayan pemilik, sehingga struktur kelas kaum nelayan terdiri dari emapt kelas, yakni buruh, nelayan kecil, nelayan menengah, dan nelayan besar/kapitalis. Selanjutnya, kaum buruh nelayan (sawi) masih belum mempunyai kesadaran kelas, dan formasi kelas kaum buruh nelayan belum terjadi. Sebaliknya kelas pemilik secara keseluruhan telah mempunyai kesadaran kelas, dan formasi kelas telah terjadi. Konflik kelas yang terjadi antara nelayan puse seine dengan nelayan tradisional disebabkan oleh dominasi nelayan kapitalis besar terhadap nelayan tradisional dalam proses penangkapan, dengan basis dominasi kelas tersebut adalah tingkat teknologi penangkapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap (mini purseine dan pukat cincin) gae diperkenalkan di Lagasa pada tahun , namun Bajo yang adopter cenderung lebih banyak dalam golongan pengadopsi lambat. Sejumlah kecil pengadopsi cepat memiliki umur yang lebih muda, dan tingkat pendapatan yang tinggi. Selanjutnya, terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi. Modernisasi perikanan di desa lagasa berdampak pada perubahan pola kerja, yakni daya jelajah lebih jauh, jumlah pekerja sawi lebih banyak dengan sifat semi bebas, dan perekrutan lebih selektif. Kemiskinan di kedua desa kasus disebabkan oleh rendahnya akses rumahtangga terhadap sumber- 82

33 Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bengkalan, Propinsi Jawa Timur) 11. Nuryaddin, 2010 Kapital Sosial Nelayan Suku Bajo : Studi Kasus Komunitas Suku Bajo di Pulau Baliara, Provinsi Sulawesi Tenggara 12. Susilo, 2010 Dinamika Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir : (Kapasitas Ruang dan Titik Kritis Struktur Sosial masyarakat Nelayan di Dusun Karanggoso, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur) sumber nafkah. Kenaikan harga BBM menjadi masalah tersendiri bagi rumahtangga nelayan karena meningkatkan biaya melaut, ditambah lagi dengan konflik perebutan sumberdaya diantara sesama nelayan sehingga memperparah kondisi keuangan rumahtangga. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan miskin di kedua desa dilakukan dengan mencoba mempersluas basis nafkahnya, bukan saja pada terbatas pada basis nafkah on farm, dan off farm saja namun telah meluas hingga ke non farm. Struktur sosial yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat pada skala komunitas, yakni bonding social capital dimana tingkatan kinerja integrasi dan jejaring yang ada menunjukkan indikatorindikator yang relatif tinggi karena faktor ; (1) homogenitas etnik (suku) yang penuh didasari hubungan kekeluargaan (danshitang), kekerabatan (kinship), relatif kecil (small scale), gotong-royong (sitabangan), dan menghindari konflik (orrai lesse), dan (2) homogenitas pekerjaan yaitu nelayan dimana bekerja sebagai nelayan adalah sumber atau tempat menggantungkan hidup (kalumanine). Relasi sosial nelayan suku Bajo dengan pemilik modal (punggawa tidak hanya berdimensi patron client, tetapi juga mutual simbiosis karena fungsi punggawa selain sebagai pemodal dan pengumpul, tetapi juga sebagai institusi jaminan sosial nelayan. Dinamika kapasitas ruang struktur sosial di ekosistem pesisir Karanggoso selama masa pengamatan, yaitu dalam tiga masa kehidupan (isolasi, terbuka-1, dan terbuka-2), secara umum dapat dijelaskan ada dua indikator yang penting, yakni indikator obyektif yaitu berupa ketersediaan peluang bekerja 83

34 dan berusaha dalam pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir. Kedua tingkat aksesbilitas individu di dalam pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir. Kapasitas ruang struktur sosial yang secara obyektif berkembang meluas tidak selalu diikuti oleh tingkat kemampuan akses individu atau sistem sosial yang ada dalam struktur sosial. Serta struktur sosial mendekati titik kritis di masa isolasi terjadi secara umum. Dari beberapa hasil penelitian yang ditampilkan di dalam matriks 1. Menunjukkan bahwa saat ini baik masyarakat manapun khususnya masyarakat pesisir mengalami bentuk-bentuk transformasi, dan masyarakat pesisir bereaksi dalam beragam bentuk. Keseluruhan proses transformasi pedesaan menghasilkan dampak lanjutan berupa : (1) derajat ketidakamanan sumber nafkah (degree of livelihood insecurity), serta (2) lumpuhnya struktur-struktur kelembagaan jaminan nafkah asli yang telah mapan (Dharmawan, 2007). Juga tidak bisa dipungkiri juga terdapat gejala-gejala terbentuknya masyarakat kapitalistik sebagai respon atas serangan-serangan yang mengguncang sistem ekonomi subsisten yang dahulu dipertahankan beserta nilai-nilai yang menyertainya. Sesuai dengan pemikiran dari para ahli sosiolog aliran strukturalis (aliran klasik) yang menyatakan bahwa gejala-gejala perubahan masyarakat yang awalnya subsisten (pra kapitalis) kemudian menggejala layaknya kapitalis dicirikan sebagai masyarakat yang mulai meninggalkan romatisme hubungan yang guyub gemeinschaft yang dalam pandangan Tonnies sebagai suatu masyarakat yang lebih alamiah dan organis, kemudian perlahan-lahan masyarakat semakin menghargai materi, dan pengejaran terhadap materi, berani melakukan akusisi kapital, dan karena kecenderungan mentuhankan materi maka masyarakat cenderung menjadi sangat individualistik dan egoistic. Ciri-ciri ini rupanya mulai merasuk dan dianut oleh para nelayan-nelayan Bajo baik di Mola dan Mantigola. Namun, tidak berarti kecepatan dalam perkembangan kapitalisme di setiap masyarakat Bajo akan sama, karena ada yang dengan mudah menerima, ada pula yang berupaya bertahan dengan subsistensinya. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan laju perubahan sosial yang terjadi di Mola dan Mantigola. Maka, berdasarkan kenyataan tersebut, tulisan ini 84

35 akan secara lebih mendalam membahas satu persatu gejala perubahan sosial yang terjadi di Mola maupun dan Mantigola, serta sekaligus membandingkannya, dan merefleksikannya dengan teori-teori kapitalisme dan hasil penelitian mengenai transformasi masyarakat yang telah dilakukan sebelumnya pada beberapa sistem masyarakat tertentu. Kemudian, penelitian ini juga sangat diperlukan, karena studi-studi mengenai transformasi ekonomi dan gejala kapitalisme lokal komunitas adat Bajo masih sangat langka. Misalnya saja penelitian Suyuti (1995) fokus mengenai perubahan makna sama dan bagai pada komunitas Bajo Sulaho Kolaka. Stacey (1999) dengan judul tulisan Boats To Burn, Bajo Fishing Activity in The Australian Fishing Zone yang membahas mengenai hilangnya hak perikanan tangkap tradisional nelayan Bajo Wakatobi akibat terbitnya MoU Box Kemudian, tulisan Peribadi (2000) membahas mengenai kedudukan dan peranan perempuan dalam sistem kekerabatan masyarakat Bajo Soropia, penelitian Hamzah (2008) mengenai respon komunitas nelayan Bajo Lagasa Muna terhadap modernisasi perikanan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi, serta modernisasi menyebabkan perubahan struktur sosial dengan sistem bagi hasil yang menjadi pranata nelayan, stratifikasi yang kompleks dan diferensiasi beragam dan pola hubungan semi eksploitatif, dan tulisan Nuryaddin (2010) berfokus tentang kapital sosial nelayan Bajo Baliara. Lebih lanjut, melihat telah terjadinya fenomena transformasi ekonomi masyarakat Bajo Mola sehingga muncul nelayan kapitalis lokal Bajo, dan hal ini tidak terjadi pada komunitas Bajo lainnya di Wakatobi, termasuk juga Bajo Mantigola yang adalah kampung asal Bajo Mola. Maka penelitian ini akan memfokuskan pada proses transformasi sosial masyarakat Bajo Mola dengan membandingkan transformasi immaterial dalam bentuk perubahan orientasi nilai dan rasionalitas yang pada akhirnya mengubah moda produksi nelayan Bajo Mola dan Mantigola, kemudian menguraikan perubahan moda produksi nelayan Bajo Mola bercirikan subsistensi pada awalnya hingga menjadi kapitalis seperti saat ini. Berdasarkan fakta yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa terjadi kemunculan kapitalisme dengan derajat perkembangan kapitalisme yang berbeda-beda, dan rupanya gambaran kapitalisme yang dialami orang 85

36 masyarakat Bajo Mola dan Mantigola ini berciri lokal. Maka pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola? 2. Bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola? 3. Seperti apa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk memahami bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola. 2. Untuk memahami dan menganalisa bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola 3. Untuk memahami dan menganalisa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ciri-ciri Kapitalisme Menurut Marx dalam Darsono (2007), masyarakat kapitalis adalah masyarakat penghisapan (kaum kapitalis) atas kerja kaum buruh, atau masyarakat capital yang menghisap darah manusia, dan masyarakat uang yang menimbun barang dagangan, atau masyarakat barang dagangan yang mengejar keuntungan. Dengan demikian masyarakat kapitalisme itu tujuan pokoknya ialah mencari keuntungan yang sebesar-sebesarnya untuk dijadikan kekayaan. 86

37 Dalam ekonomi masyarakat kapitalis, kapital mempunyai peranan yang sangat penting, sebab tanpa kapital, ekonomi masyarakat kapitalis tidak akan bisa hidup dan berkembang, Nilai atau bobot dan peranan seseorang atau seorang kapitalis diukur dan ditentukan oleh banyak sedikitnya capital yang dimilikinya. Makin besar kapitalnya, maka makin besar pula nilai, bobot, dan peranannya dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat kapitalis, sangat bertolak belakang terhadap sistem ekonomi komunal primitive yakni segala kegiatan ekonomi dimana alat produksi adalah milik semua anggota masyarakat. Hasil kerja dan keuntungan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama. Karena alat produksi milik bersama seluruh anggota masyarakat, tidak ada kelas-kelas dalam masyarakat seperti halnya masyarakat kapitalis. Perkembangan alat kerjanya menentukan perkembangan tenaga kerja produktifnya dan hubungan produksinya. Booke dalam Dharmawan (2001) membedakan dengan jelas mengenai ekonomi kapitalis yang padat modal dengan ekonomi pra kapitalis yang sarat dengan bentuk-bentuk kepemilikan bersama dan cenderung egalitarianism. Matriks 2 berikut akan menggambarkan perbedaan dua sistem perekonomian tersebut dengan sangat rinci. Matriks 2. Sistem Ekonomi pada Masyarakat Pertanian (Suatu Perbandingan oleh Boeke) Indikator Perbandingan Bentuk Sistem Ekonomi 1. Motivasi spiritual (nilainilai) Pra Kapitalis Kesadaran terhadap ketidaksamaan secara alamiah Dengan kelompok masyarakatnya cenderung patuh dan mengutamakan pelayanan terhadap sesama Kepuasan pada terpenuhinya kebutuhan dasar Kapitalis Kesadaran terhadap kesamaan secara alamiah, namun secara ekonomi terjadi ketidaksamaan Kesadaran yang tinggi terhadap kebebasan, demokrasi, dan tanggung jawab. Kepuasan pada kuntungan individual 87

38 2. Organisasi (Struktur Sosial) 3. Teknologi Tradisional, dan pemeliharaan status quo. Komunalisme Ekonomi disubordinasi oleh agama Tenaga kerja : sebagai sesuatu yang tidak layak dilakukan, waktu santai diutamakan. Dominasi oleh nilai-nilai pedesaan Hubungan patriarchal kepada majikan Dominasi terhadap kebutuhan-kebutuhan social. Organisasi sosial yang tradisional serta turuntemurun. Berdasarkan kekerabatan (kinship) Unit produksi adalah rumahtangga Berbasis status Solidaritas yang dipelihara secara terusmenerus Gemeinschaft Skala lokal Pemenuhan kebutuhan subsistensi Tidak ada atau sedikit sekali alur pertukaran Rasional, dan orientasinya terhadap prestasi individu Individualisme Ekonomi dan agama setara Tenaga kerja : sebagai basis usaha Dominasi oleh nilai-nilai perkotaan. Hubungan kerja bersifat kontraktual dan rasional antara bos dan buruh Dominasi terhadap Kebutuhan ekonomi individual Individualisme, dan organisasi perusahaan Berdasarkan organisasi sukarela Unit produksi adalah perusahaan Berbasis hubungan kontraktual Solidaritas sukarela yang sementara Gesellschaft Lokal terhadap skala global. Pemenuhan kebutuhan pasar Uang sebagai modal, dan merupakan 88

39 uang Tenaga manual, yakni manusia Aktivitas tertentu berdasarkan musim Industri pedesaan dan rumahtangga ekonomi moneter Terjadi mekanisasi Pekerjaan yang cenderung tetap dan aktivitas yang terusmenerus. Perusahaan Sumber : Koentjaraningrat (1975) dalam Dharmawan (2001) Bagi Marx dalam Magnis-Suseno (2005), dari segi proses, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum: hukum tawarmenawar di pasar. Jadi kapitalisme adalah ekonomi yang bebas, bebas dari berbagai pembatasan oleh siapapun (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar mana pun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya, bebas dari nilai pembatasan tenaga kerja. Yang menentukan semata-mata hanya untung yang besar. Dari segi output, bagi Marx dalam Magnis-Suseno (2005),perbedaan kapitalisme dari sistem produksi-produksi lain adalah bahwa nilai yang ingin dihasilkan oleh para peserta pasar adalah nilai tukar dan bukan nilai pakai. Karena dengan memproduksi nilai tukar tersebut menciptakan kelas proletariat yang dipercaya oleh Marx sebagai titik penghabisan kapitalisme. Marx menekankan bahwa tenaga kerja (labor) sebagai sumber dari pertukaran nilai ekonomi, juga merupakan sumber keuntungan (profit). Menurut Marx, keuntungan yang diperoleh oleh kaun borjuis sebagai pemilik modal berasal eksploitasi dari tenaga kerja. Berbanding terbalik dengan pemikiran Hegel maka, agama merupakan factor yang tergantung dari sistem ekonomi, dan bukan sebagai pendorong dari dinamika ekonomi seperti yang diungkapkan oleh Hegel. Kelas social merupakan pusat dari pemikiran Engels dan konsepsi Marx mengenai sejarah kelas social dalam konsepsi Marx berbasis pada material. Kelas didefinisikan sebagai jenis-jenis krusial dari pola-pola hubungan social 89

40 yang mana diikat berdasarkan hubungan materialism, ideology, dan politik dari setiap komunitas. Properti dalam konsepsi Marx diartikan sebagai hak yang dilegalkan, didukung oleh negara, dan kepemilikan dari barang-marang material. Setiap tipe dari setiap sistem social akan berbeda-beda dalam konsepsi Marx menurut bentuk dari property, dan kelas social. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, pola umum dari kepemilikan property adalah modal industrial. Kelas social dibagi atas kapitalis yang memiliki artikulasi cara produksi (means of production) dan pekerja atau proletariat, yang tidak memiliki property, dan kekuatan satu-satunya adalah tenaga yang dijualnya pada pasar tenaga kerja untuk tujuan bertahan hidup. Kelas ini lah yang menurut Marx sebagai aktor utama didalam perubahan sejarah suatu masyarakat. Ide-ide dan agama ditentukan oleh kelas sosial. Bagi Marx kelas merupakan actor utama didalam tahap perkembangan sejarah, dan sebagai basis dari terbentuknya ide-ide dan kepercayaan. Di dalam masyarakat kapitalis menurut Marx dan Engels, akan terdapat suatu kelas menengah di dalam sistem social masyarakat kapitalis, yakni yang merupakan kelas pedagang kecil, seniman, dan industry skala kecil. Menurut Marx dan Engels, kelas menengah ini memiliki lingkungan kultur pergaulan tersendiri, malah menjadi actor politik bagi dirinya sendiri. Marx dan Engels menyebutkan orang-orang di kelas menengah ini sebagai petit bourgeois radicals. Namun, menurut Marx dan Engels ini tidak berlaku tetap, karena persaingan di dalam sistem kapitalis itu sendiri, maka kelas ini tidak selamanya akan berbentuk radikalisme, karena kapitalisme akan menciptakan consentrasi industry yang semakin lama semakin besar maka Marx dan Engels menduga petit bourgoise akan kehilangan property skala kecilnya, dan jatuh sebagai kelas proletariat. Teori kelas dari Marx dan Engels menunjukkan analisa mengenai sebab dan akibat. Mereka menunjukkan bagaimana perjuangan-perjuangan kelas dapat dianalisa ke dalam konflik dan persekutuan diantara kelas sosial yang mengejar perbedaan minat ekonomi tertentu (Collins, 1985). Menurut marx, kelas social erat sekali hubungannya dengan ekonomi dan politik. Sistem ekonomi diorganisasikan melalui kepemilikan property, yang mendefinisikan kelas, dan property dikuatkan oleh kekuatan politik Negara. Properti tidak sendirinya dimiliki begitu saja, melainkan sesuatu dimiliki oleh seseorang hanya karena negara yang membentuk legalitas secara hukum 90

41 perundang-undangan terhadap property tersebut, dan akan berperan untuk menjalankan klaim-klaim kepemilikan bisa juga dengan cara menggunakan caracara militer. Selanjutnya bagi Marx, properti dalam beragam cara tidak akan dapat dicabut haknya oleh individu, tanpa dukungan dari sistem sosialnya itu sendiri. Misalnya, seseorang yang secara legal memiliki sebidang tanah namun tidak memiliki modal untuk membudidayakan tidak akan bermakna apapun. Karena alasan inilah, beberapa kelas ekonomi yang dominan harus sangat peduli terhadap politik. Namun, bukan berarti mereka terus-menerus bercokol di negara. Namun, peduli terhadap kondisi politik untuk memastikan bahwa negara tetap meneruskan perlindungan terhadap minat kepemilikan dari para kaum borjuis, dan sangat dibutuhkan intervensi dari kekuatan pemerintah untuk menciptakan peluang-peluang keberuntungan. Politik merupakan suatu cara perjuangan kaum borjuis untuk mengontrol keberlanjutan dukungan negara, dan kaum borjuis selalu memenangkan perjuangan ini, terkecuali situasi sejarah sebagai basis produksi berubah (Collins, 1985). Konsepsi ekonomi Marx sesungguhnya mengungkapkan bahwa masyarakat kapitalis muncul karena adanya kontradiksi secara internal sistem social yang membawa pada konsentrasi dari kepemilikan property oleh para actor kapitalis atau borjuis, di satu sisi menciptakan pertumbuhan jumlah besar kaum proletariat yang pengangguran, dan terkadang muncul suatu krisis ekonomi. Sehingga bagi Marx satu-satunya cara untuk keluar dari kondisi ini adalah dengan menghapuskan kepemilikan pribadi dari sistem social (Collins, 1985). Satu prinsip yang paling krusial bahwa kekuasaan bergantung pada kondisi mobilisasi material. Berdasarkan analisa Engels mengenai alasan mengapa petani di Jerman pada masa lampau dengan mudah dikuasai oleh kaum aristokrasi. Padahal sesungguhnya, kaum petani melakukan upaya-upaya untuk melawan kaum aristocrat di Jerman saat itu. Namun, para kaum bangsawan selalu memenangkan perlawanan kaum tani. Hal ini menurut Engels disebabkan karena kaum ningrat superior dalam hal memobilisasi. Kaum ningrat dengan mudah memecahkan para petani, membayar kelompok petani tertentu, untuk menyerang kelompok petani lainnya. Kaum ningrat mengorganisasikan dirinya dengan para proletariat melalui persekutuan, dan manuver secara militer. Petani kecil selalu kalah karena mereka tidak memiliki kepemilikan untuk 91

42 mengorganisasi mereka di dalam perlawanan secara politik. Keadaan petani di Jerman saat itu menurut Engels seperti petani-petani di Perancis: Mereka terpecah-pecah mereka mengatakan kami seperti kentang-kentang di dalam karung ( like potatoes in a sack ) yang melulu menjadi gumpalan besar nampak dari luar secara bersama-sama, namun tidak menjadi satu. Kondisi material lah yang memisahkan mereka satu sama lain, dan menghambat mereka dalam mencapai kekuasaan (Collins, 1985). Kelas pemilik secara politik selalu mendominasi karena mereka lebih dominan dalam hal mobilisasi politik. Kapitalis sendiri sebuah sistem ekonomi saling interkoneksi. Para pebisnis misalnya sangat aktif berhubungan satu sama lainnya, mengawasi pesaing, berani mengambil pinjaman, dan malah memberikan pinjaman, dan membentuk kartel. Jejaring finansial, dan pasar itu sendiri dalam arti komunikasi lah yang membawa kelas kapitalis dalam jaringan sosial ekonomi yang lebih dekat. Berdasarkan alasan ini para pebisnis, khususnya pada golongan atas pebisnis, telah sangat terorganisasi. Kelompok pebisnis ini telah memiliki sebuah jaringan yang mereka gunakan untuk memudahkan mereka menggunakan jalur politik ketika mereka ingin melakukan sesuatu. Di sisi lain, kelas pekerja, di satu sisi, tidak memiliki organisasi yang tumbuh secara alami untuk ambil bagian dari kegiatan politik, mereka tidak memiliki kekuatan-kekuatan khusus untuk menciptakan organisasi politik dan bersusah payah mencoba untuk saling berhubungan dengan kelompok kelas pekerja lainnya di tempat yang berbeda untuk memperoleh suatu kekuatan perlawanan bersama. Selanjutnya, meskipun jumlah pekerja jauh lebih banyak dibandingkan elit-elit pebisnis, namun kekuatan besar dari mobilisasi politik yang dipegang oleh kaum pebisnis memberikan keseimbangan dalam hal kekuatan politik. Hal ini sekaligus dengan kuatnya kontrol dari kaum kelas atas dalam memperoduksi kekuatan mental di dalam masyarakat modern kepemilikan dari koran, stasiun televisi, dan lain sebagainya- diartikan bahwa kelompok minoritas pebisnis akan dapat selalu dengan mudah mendefinisikan isu-isu politik dari sisi pandang mereka dan mencapai kekuatan politik keluar dari proporsi mereka di dalam sistem sosial. Sistem politik Negara yang demokrasi sangat cocok kepada berkembangnya dan menguatnya kelas social pebisnis, karena mereka adalah pihak yang paling kuat untuk memenangkan perjuangan untuk memperoleh 92

43 kekuasaan. Satu hal yang bisa dijadikan alasan karena kondisi material mendasari sistem bisnis itu sendiri telah sebelumnya menjadi dominan pada pasar. Alasan lain berikutnya yang penting juga untuk menjelaskan mengapa para kapitalis dapat dengan mudah mendominasi politik demokrasi. Ini karena pentingnya masalah financial pada setiap pemerintahan, khususnya dalam hutang luar negeri. Marx menekankan pemerintah revolusioner tahun 1848 di Perancis tidak tega menekankan pada efek dari kebijakan ekonomi yang radikal karena kesanggupan Negara saat itu membayar hutang bergantung pada kekuatan peredaran uang di Perancis, dan itu tidak pernah lepas dari peran para kapitalis (Collins, 1985). Sosiologi Weber sering dikatakan sebagai pemikiran antaginistik terhadap pendekatan Marxian. Sesungguhnya, Weber lebih sebagai penerus dari pemikiran Marx, dan dikemudian hari Ia merupakan generasi penerus dari tradisi pemikiran konflik sejarah di dalam dunia intelektual di Jerman. Weber sendiri sangat menaruh perhatiannya terhadap latarbelakang dari kemunculan kapitalisme, mengenai potongan-potongan dari bagaimana kapitalisme bisa muncul ditempatkan pada tujuan utama analisanya. Pendekatan Weber tidak pada melihat rangkaian dari tahap-tahap perubahan, namun dengan membuat analisa perbandingan: Mengapa kapitalisme modern muncul di dunia eropa dibandingkan beberapa pusat peradaban dunia seperti Cina, India, Roma, dan Islam? Sosiologi Weber menjawab pertanyaan tersebut. Teori sosiologinya berusaha untuk menciptakan alat analisa mengenai institusionalisasi dasar dari kegiatan ekonomi, untuk menunjukkan apa kekuatan-kekuatan yang melatarbelakangi sistem sosial yang berbeda-beda. Sebagai penyempurna dari pemikiran Marx, maka Weber lebih menunjukkan bahwa kapitalisme tidak dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi namun dipengaruhi ide-ide relijius, yakni didorong oleh semangat puritan untuk bekerja keluar dari keinginannya untuk mencari keselamatan, dengan meninggalkan doktrin-doktrin teologikal dari takdir(collins, 1985). Dalam berbagai cara teori Marxian berperan negative terhadap teori Weberian, akan tetapi dengan cara lain, Weber yang bekerja menurut tradisi Marxian, mencoba menyelesaikan teori Marx. Teori Weberian mendapat banyak bahan dari teori Marxian (Burger, 1976 dalam Ritzer, 2001). Weber memandang Marx dan para pengikutnya sebagai determinisme ekonomi yang mengemukakan 93

44 teori-teori berpenyebab tunggal tentang kehidupan sosialnya. Salah satu contoh determinisme ekonomi yang rupanya sangat mengganggu pikiran Weber adalah pandangan yang mangatakan bahwa ide-ide hanyalah refleksi kepentingan material (utamanya kepentingan ekonomi) dan bahwa kepentingan materi menetukan ideologi. Sebaliknya Weber lebih banyak menekankan pada gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Menurut Weber, protestanisme sebagai sebuah gagasan mempengaruhi munculnya gagasan lain yakni semangat kapitalisme dan akhirnya menjadi sistem ekonomi kapitalis. Weber juga mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan merintangi perkembangan kapitalisme di dalam masyarakatnya. Misalnya weber menemukan sistem agama yang irasional (misalnya konfusianisme, Taoisme, Hinduisme) merintangi perkembangan sistem ekonomi rasional. Pada akhirnya agama-agama itu hanya memberikan rintangan sementara, karena sistem ekonomi, dan bahkan struktur sosialnya akan menjadi rasional. Weber sangat terkenal dalam penjelasannya mengenai tiga model dimensi dari stratifikasi social yang sangat dekat dengan dengan kunci pemahaman teorinya yang sangat rumit. Tiga dimensi tersebut antara lain : (1) kelas, (2) status, (3) partai. Ketiga pihak ini saling bertarung. Tiga dimensi ini selalu saling berhubungan satu sama lainnya, dan setiap dimensi menggambarkan realitas khusus mengenai teori Weberian. Analisa kelas di dalam teori Weber, memiliki realitas yang sama dengan Marx dan Engels. Namun, Weber mengubah model teorinya mengenai kelas. Konflik kelas bagi Weber jauh lebih rumit dibandingkan yang diteorikan oleh Marx dan Engels. Weber setuju dengan temuan Marx bahwa terjadi konflik antara kapitalis dengan pekerja, dan pemilik dari kekuatan produksi versus tenaga produksi. Weber mengelaborasi teori ini dengan menambahkan konflik antara kapitalis pemberi kredit (dimana Marx menggunakan analisa ini untuk menggambarkan revolusi Perancis) melawan para debitor yang meminjam modal, juga antara penjual versus pembeli. Konflik kelas ala Weberian berbeda dari Marxian lebih dalam dan lebih krusial. Konsep kelas Marx didefinisikan sebagai kepemilikan atau ketidakpemilikan atas kekuatan produksi. Sementara konsep kelas Weber didefinisikan oleh posisi di dalam pasar. Beberapa penerus Marx, kemudian 94

45 melawan apa yang telah dikonsepsikan oleh Weber mengani kelas. Pendukung Marx mengkritisi skema ini karena menaruh stratifikasi sosial pada level pengukuran luar dari sirkulasi ekonomi, dibandingkan sebagai tingkatan dasar dari ekonomi produksi. Menurut Collins (1985), ini lah kekuatan teori dari Weber, jika Marx selalu berkutat pada perlawanan dua kelas saja, maka Weber jauh lebih melihat kenyataan yang ada bahwa kelas tidak melulu hanya terjadi pada kelas pemilik dan kelas pekerja melainkan juga fokus pada kelas menengah dengan jenis rumitisasi di dalam pergantian kelas atas : para pemberi pinjaman dengan pemilik lahan (Weber mengkonsepsikan kelas ini sebagai kelas debitor) yang ukurannya sama dengan para industrialis kecil. Weber membangun teori kelasnya kepada konflik ekonomi yang paling nyata : Suatu perjuangan untuk mengkontrol suatu tempat untuk pasar tertentu. Untuk Weber, monopoli tidak sesederhana bahwa timbul di akhir tahap dari kapitalisme. Bagi Weber monopoli merupakan proses yang mendasar di dalam sejarah pembentukan kelas. Kelas social dari konsepsi Weber didasarkan pada cara-cara yang berbeda dari upaya-upaya untuk lebih mengkontrol pasar tertentu: misalnya uang dan kredit, tanah, ragam industry manufaktur, dan ragam keterampilan tertentu. Semua ini memberikan gambaran yang realistic dari konflik kelas yang telah terjadi, dan juga menyediakan sebuah konsepsi teoritik yang umum dari proses stratifikasi. Kelas yang dominan kemudian mengelola cara-cara untuk mencapai suatu monopoli yang ketat untuk beberapa pasar yang menguntungkan. Sementara kelas yang tidak mendapatkan monopoli sepenuhnya kemudian akan berjuang pada pasar yang terbuka untuk memperoleh monopoli. Kemudian, kategori kedua dari konsep stratifikasi sosial, yakni kelompok status. Ini selalu dipahami sebagai lawan dari konsep kelas ekonomi. Ketika kelas didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi-pengelompokan dari minat-minat yang sama oleh gambaran dari posisi yang sama di pasarkelompok-kelompok, maka status diandaikan menjadi bidang dari budaya. Yang menetukan kelompok-kelompok status merupakan komunitas itu sendiri. Yang harus diingat dan dicamkan baik-baik : bahwa kelompok kelas membagi suatu derajat tertentu dari monopoli terhadap pasar tertentu. Mereka para kelas atas melakukan ini melalui pengorganisasian, melalui pembentukan suatu komunitas 95

46 tertentu, memperoleh suatu kesadaran melalui beberapa penghambat budaya diantara mereka sendiri-pendek kata melalui kelompok status. Beberapa kelompok yang berhasil dan menjadi kelas yang memiliki kekuasaan yang dominan harus terorganisasikan sebagai suatu kelas status. Marx dan Engels mengungkapkan bahwa kelas penguasa terorganisasikan secara legal dan secara budaya untuk menjaga control dari kepemilikan property usaha melalui posisi mereka. Misalnya di India, kelompok-kelompok pekerja tergolong dalam kasta-kasta tertentu, menghindari satu sama lain melalui ritualritual yang menjustifikasi mereka dari penghindaran oleh doktrin-doktrin agama Hindu melalui karma masa lalu, dan reinkarnasi. Bagi Marx, kelas menjadi jubah bagi mereka para kelas atas pemilik moda produksi di dalam ideology mereka. Bagi teori Weber, hal tersebut juga disetujuinya, namun dengan syarat : bahwa ideology atau sisi budaya tentu sangat dibutuhkan bagi kelompok kelas tertentu untuk menjadi lebih berkuasa. Selanjutnya kelompok status menyerang kembali terhadap situasi ekonomi tertentu : yang merupakan jalan bagi kelompok untuk menjadi lebih kuat untuk memonopoli. Sehingga pengorganisasian kelompok status menjadi suatu senjata ekonomi. Weber menekankan bahwa dalam analisa komparasinya, mengungkapkan bahwa kelompok social tertinggi selalu memilih melakukan puji-pujian terhadap agama, menjalankan seremoninya, tapi tidak banyak yang melakukan dengan sungguh-sungguh ajaran agama dengan penuh komitmen; kelas menengah memilih menjadi asketik, agama moralistik yang mendorong kemampuan untuk bekerja keras sekaligus memotivasinya ; dan kelas bawah memperlakukan agama sebagai bentuk dari magis, intervensi supranatural yang dipahami mampu memberikan keberuntungan baik, dan mampu mematikan lawan.memiliki jenis status ideologi membuat kelas tertentu dengan mudah memonopoli posisi ekonomi. Orang luar dari kelompok status ini kemudian bisa menjadi pengecualian dan persaingan menjadi terbatas secara otomatis, karena hanya orang-orang tertentu yang cenderung tipe ideal dapat memperoleh posisi tersebut. Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa Weber yang menyusun teorinya berdasarkan konsepsi Marx mengenai kelas social memberikan suatu kesimpulan baru, yang memperbaiki teori Marx, bahwa pejuangan untuk memperoleh kemapanan ekonomi lebih multidimensional dibandingkan yang Marx lihat. Kelas menjadi terbagi dalam tiga kelas, dan juga tergolong menjadi 96

47 ragam kelompok status dan mampu mengkontrol sector tertentu dari pasar ekonomi. Pada akhirnya partai-partai atau kelompok-kelompok yang berkuasa: disini Weber menekankan pada fakta perjuangan berikutnya, diantara faksi-faksi politik. Faksi-faksi politik juga sesungguhnya mendukung terbentuknya kelas social atas yang mendukung mereka. Negara dalam hal ini merupakan pencerminan dari faksi politik tertentu, memberikan suatu senjata khusus kepada kelas social tertentu melalui legitimasi. Menurut Weber, terdapat beberapa cara agar legitimasi dapat dihasilkan: Weber menyebutkan satu demi satu seperti kharisma dari pemimpin yang berkuasa, tradisi yang ada secara turun-temurun, dan kekuasaan yang legal rasional oleh kebijakan hokum Negara. Legitimasi tidak muncul begitu saja, melainkan diproduksi oleh produksi mental (means of emotional production). Bagi Weber dalam Giddens (1986), kapitalisme merupakan perwujudan dari adanya bentuk-bentuk rasionalisasi sekuler. Bagi Weber, Kapitalisme adalah utilitarianisme yang tiada hentinya dan secara keagamaan disistematiskan melalui agama protestan. Agama kemudian mendorong munculnya rasionalitas formal dari kebudayaan Barat. Kapitalisme rasional modern, diukur dengan batasan dari nilai-nilai inti dan efisiensi atau dari produktifitas. Weber dalam essaynya yang berjudul The Protestant Ethic and Spirit of capitalism memberikan gambaran beberapa cirri utama dari etos buruh pertanian, yang terbagi atas buruh terikat dengan buruh harian. Hasil temuan Weber mengungkapkan bahwa terdapat etos yang berbeda dari dua golongan buruh yang ditelitinya, buruh terikat etika moralitasnya terletak pada sikap menerima pola-pola tradisional tentang sikap hormat serta sikap perlindungan (patronage) di satu pihak dan suatu sikap individualisme ekonomi di lain pihak. Etika ini lah yang ditengarai membantu meruntuhkan struktur tradisional lama dari perusahaan-perusahaan pertanian besar. Bagi Weber, keretakan tradisionalisme ekonomi, menghasilkan suatu penanggalan tradisi pada umumnya, dan mengelupaskan lembaga-lembaga keagamaan dalam bentuk kekolotannya. Selanjutnya, Weber mengungkapkan bahwa protestanisme menganut suatu sikap yang sangat ketat terhadap hidup santai dan bersenang-senang. Ini merupakan suatu fenomena yang sangat ditekankan oleh calvinisme. Dan diakhir kesimpulan Weber, agama merupakan 97

48 factor kunci perangsang ekonomi kapitalisme. Weber mengidentifikasikan segisegi utama dari semangat kapitalisme modern sebagai berikut : perolehan uang sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara ketat menikmatinya sama sekali secara spontan dipandang secara murni mungkin sebagai tujuan itu sendiri, sehingga hal itu bila dihadapkan kepada kebahagiaan atau kepada kemanfaatan bagi seseorang tampak sebagai sesuatu yang berada di atas segala-galanya dan sama sekali tidak rasional. Manusia didominasi usaha untuk memperoleh sesuatu, sebagai suatu maksud dari suatu kehidupan; perolehantidak lagi merupakan sarana untuk mencapai sasaran memuaskan kebutuhan-kebutuhan materiilnya. Kebalikan dari apa yang kita sebut situasi alamiah yang sama sekali tiada artinyabila dipandang dari suatu pendirian yang tidak berpurnasangka, jelas dan pasti merupakan suatu prinsip kapitalisme, yang sebaiknya merupakan suatu yang asing bagi semua orang yang tidak terkena pengaruh kapitalisme.ekonomi kapitalis modern dirasionalisasi atas dasar perhitungan yang sangat teliti, diarahkan dengan dengan tinjauan ke masa depan dan hatihati untuk kesuksesan ekonomi (Weber dalam Giddens, 1986). Maka analisis Marx mengenai kapitalisme kesemuanya didasarkan atas pertalian yang didalilkan antara perluasan pembagian kerja. Bagi Marx suatu factor utama yang melandasi asal mulanya dari kapitalisme di Eropa Barat, adalah proses historis tentang pengambilan-alihan hak para pemproduksi atas penguasaan hak-hak sarana-sarana produksi. Dengan demikian, maka kapitalisme itu merupakan suatu kelas. Serta bagi Marx, pertentanganpertentangan mendasar, yang berada dalam dan tidak bisa dipisahkan dari ekonomi kapitalis, berasal langsung dari sifat sebagai suatu sistem yang didasarkan atas produksi nilai tukar. Sebaliknya, Weber dalam konsepsinya mengenai kapitalisme menekankan suatu konsepsi perhitungan rasional yang merupakan unsure utama dalam perusahaan kapitalistis modern, dan rasionalisasi kehidupan social pada umumnya merupakan atribut yang paling kentara dari kultur budaya Barat modern. Bagi Weber dalam Giddens (1986) hubungan kelas yang dipakai Marx sebagai paksi, poros kapitalisme, pada kenyataannya hanyalah merupakan satu unsure di dalam suatu rasionalisasi yang lebih meresap, yang memperpanjang 98

49 proses pengambilalihan hak pekerja atas sarana produksinya ke dalam kebanyakan dari lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat kontemporer. Weber menekankan analisisnya pada proses rasionalisasi dari beragam kelembagaan : membangun suatu pemaknaan, dan kalkulasi secara rasional. Weber mendeskripsikan bahwa kapitalisme modern sebagai ekonomi rasional, birokrasi sebagai organisasi rasional, Negara modern sebagai dasar dari prosedur formal dan aturan-aturan dari kewenangan legal rasional. Rasionalisasi bagi Weber seperti dua mata pisau secara bersama-sama meningkatkan prosedur formal, dan sekaligus menggangsir dari kemampuan manusia untuk dengan sadar mencapai suatu tujuan. Konflik tidak diartikan oleh Weber tidak ditimbulkan oleh satu faktor saja, namun konflik timbul sebagai bentuk ekspresi dari banyak ragam penyebab yang multidimensional, pluralitas dari kelompokkelompok yang berbeda, interest, dan sudut pandang yang berbeda dalam memandang kehidupan. Weber tidak hanya melihat konflik sebagai suatu ragam bidang, namun juga bahwa terdapat perjuangan untuk mendominasi satu sama lainnya. Ekonomi bagi Weber adalah perjuangan kelas, melalui banyak hal yang rumit, tidak sesederhana yang dilihat oleh Marx dan Engels. Politik sendiri merupakan realitas yang Weber kemukakan sebagai realitas dari perjuangan, diantara interes politik dan antara para politisi dan kelas ekonomi. Meskipun dunia terdiri atas ide-ide yang terbagi-bagi kepada beberapa kelompok masyarakat. Agama sebagai contoh, memiliki perjuangan tersendiri-berdasarkan organisasi social dari gereja itu sendiri-yang membagi para teolog professional dari perpolitikan gereja. Pada akhirnya Weber cenderung lebih melihat sebuah kejadian sejarah sebagai suatu rumitisasi, proses ragam sudut pandang. Weber juga memposisikan dirinya sebagai musuh bagi siapa pun yang memandang bahwa tahap-tahap evolusi disimpilisasikan atau memaksakan simplifisasi dari kompleksitas realitas sejarah. Di dalam sosiologi ekonominya Weber menekankan tiga hal penting : (1) mengartikan tindakan ekonomi sebagai sosial; (2) selalu mengikutsertakan makna, (3) dan ada dimensi kekuasaan. Tiga dimensi tersebut diuraikan secara lebih mendetail. Sebagai contoh Weber memasukkan dimensi hukum sebagai 99

50 suatu pertukaran yang didefinisikan secara formal sebagai sesuatu yang bebas, namun selanjutnya, kekuasaan mengikutsertakan suatu persetujuan-persetujuan dari beragam kepentingan-kepentingan (Weber, 1922). Marx pada dasarnya mengemukakan teori kapitalisme, sementara Weber pada dasarnya adalah teori tentang proses rasionalisasi (Brubaker, 1984 dalam Ritzer, 2001). Weber tertarik pada masalah umum seperti mengapa institusi sosial di dunia Barat berkembang semakin rasional sedangkan rintangan kuat mencegah perubahan serupa di belahan bumi yang lain. Weber mengungkapkan kerangka rasional sebuah tindakan sosial (secara berjenjang dari bawah ke atas) dari suatu tindakan sosial rasional atau tidak. Weber dalam Kalberg (1980) menyebutkan empat tipe rasionalitas di dalam hubungannya dengan empat tipe tindakan sosial antara lain tindakan afeksi, tindakan tradisional, tindakan berorientasi nilai, dan tindakan instrumental. Sementara tipologi dari rasionalitas antara lain rasionalitas praktikal, rasionalitas teoritikal, rasionalitas formal, dan rasionalitas substantif. Empat tipe rasionalitas kemudian dikategorikan ke dalam dua bentuk besar rasionalitas. Antara lain rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) dan dan rasionalitas berorientasi nilai (valuerational action). Rasionalitas praktikal dan rasionalitas formal adalah tipe rasionalitas instrumental, sementara rasionalitas teoritikal maupun rasionalitas substantif tergolong sebagai rasionalitas berorientasi nilai. Bilamana sebuah tindakan semata-mata ditujukan untuk memenuhi fungsinya, maka tindakan tersebut disebut sebagai tindakan dalam kerangka rasionalitas instrumental (mean-ends rationality). Kemudian, Weber mengungkapkan bahwa dalam proses rasionalisasi dipengaruhi oleh konteks kehidupan khusus (sphere of life), yang akan merubah tataran nilai daripada minat individu. Konteks kehidupan yang dimaksud antara lain konteks politik, ekonomi, dominasi (herrschaft), dan pengetahuan, dan internal individu seperti konteks agama dan etika moralitasnya. Kemudian, Weber mengungkapkan perbedaan pokok yang diberikan juga pada tindakan rasional dan non rasional. Singkatnya, tindakan rasional (menurut Weber) berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Di dalam kedua kategori utama mengenai tindakan rasional dan nonrasional itu, ada dua bagian yang berbeda satu sama lain. Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang 100

51 sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Weber menjelaskan : Tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuantujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri (zweckrational) apabila tujuan itu dijadikan alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif (Jhonson, 1988). Tindakan ekonomi dalam sistem pasar yang bersifat interpersonal mungkin merupakan bentuk dasar rasinalitas instrumental ini. Tipe tindakan ini juga tercermin dalam organisasi birokratis. Weber melihat sistem pasar yang impersonal dan organisasi birokratis sedang berkembang dalam dunia Barat modern.selanjutnya bilamana sebuah tindakan sosial ditujukan untuk mewujudkan sebuah nilai tertentu di dalam kehidupan sosialnya, maka tindakan sosial itu dikategorikan sebagai tindakan dalam kerangka rasionalitas nilai. Rasionalitas yang berorientasi nilai (wertrationalitat) diartikan bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar ; tujuantujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Tindakan religius mungkin merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai ini. Rasionalitas praktis atau rasionalitas ekonomi yang merupakan golongan dari kerangka rasional instrumental erat hubungannya dengan kerangka pemaknaan yang pragmatis dan kecenderungan egoistis. Rasional praktis ini diimplementasikan dengan individu yang secara aktif memanipulasi, mengganggap bahwa dunia sebagai sesuatu yang konkret sehingga sangat dibutuhkan perhitungan-perhitungan yang tepat. Seiring dengan menguatnya rasionalitas ini, maka individu akan cenderung mulai memisahkan dirinya atas segala bentuk mistisme, dan etika moralitas yang hadir berupaya untuk menjadikan agama dalam bentuk sekuler. Menurut Weber, individu-individu 101

52 yang cenderung dominan dalam hal rasionalitas praktis antara lain adalah para pedagang, dan orang-orang yang berprofesi sebagai artisan yang memiliki keterampilan tertentu. Rasionalitas ini cenderung menentang semua orientasi hidup yang rutin dan sifatnya transedental. Artinya bahwa segala hal yang di luar nalarnya akan tidak mudah untuk diyakini. Selanjutnya, rasionalitas theoretical, atau intelektual rasionalitas terlibat pada suatu kesadaran pada keunggulan dari kenyataan melalui bangunan pemikiran konsep-konsep yang abstrak. Rasionalitas ini erat kaitannya dengan kepercayaan individu terhadap kekuatan supranatural dan metafisik. Rasionalitas ini sangat memperhatikan pemahaman individu terhadap worldviewnya atau pemahaman dirinya terhadap alam, sebagai bagian kecil dari lingkungan cosmos yang sangat luas dan maha hebat. Pemaknaan ini identik dengan persetujuan mereka atas segala tindakan yang rutin dilakukan. Sebagai tambahan rasionalitas ini juga sangat menjunjung tinggi segala bentuk persembahyangan, metode-metode tradisional untuk permohonan akan sesuatu pada roh leluhur, bentuk-bentuk penebusan dosa melalui pengorbanan hewan-hewan tertentu, dan pantangan-pantangan dalam bentuk pamali yang harus dihindari. Misalnya ritualritual yang dilakukan dan dipertahankan oleh orang-orang Bajo Mantigola misalnya seperti ritual tamoni, atau memberi sesajen di Bungkanu wa du karena dianggap batu tersebut memberikan keberkahan, baik rezeki maupun kesembuhan penyakit, menurut Weber tindakan rutin orang-orang Mantigola tersebut dilandasi oleh rasionalitas theoritical. Karena rasionalitas ini tidak berkaitan dengan bagaimana individu menghasilkan surplus ekonomi, maka Weber mengkategorikannya sebagai rasionalitas berorientasi nilai. Bentuk rasionalitas teoritis ini juga digambarkan melalui bentuk-bentuk kearifan lokal mereka dalam mengelola sumberdaya. Misalnya walaupun masyarakat suku Bajo boleh menangkap ikan sepanjang tahun, tetapi ada waktuwaktu tertentu dimana mereka boleh dan tidak boleh menangkap ikan yang hidup di karang. Waktu penangkapan ikan di karang ditandai oleh dikibarkannya bendera Ulu-ulu Bukak yang dibawa oleh parika (pemimpin armada tangkap). Waktu pengibaran bendera ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama dalam musyawarah suku Bajo yang dipimpin dan atau diketahui oleh punggawa (pemimpin kampung). Dengan berkibarnya bendera maka semua nelayan suku Bajo diperbolehkan menangkap ikan di wilayah karang yang dimaksud. Waktu 102

53 penangkapan selama enam bulan di dalam setahun, biasanya pada bulan September atau Oktober sampai dengan bulan April, yaitu pada musim Timur. Setelah diolah selama enam bulan, karang kemudian ditutup, artinya semua nelayan dilarang menangkap ikan di karang tersebut, khususnya ikan-ikan batu (karang). Dengan demikian, karang Kapota dapat dianalogkan dengan kawasan sanctuary bagi suku Bajo. Peraturan yang ditaati oleh nelayan suku Bajo ini secara langsung maupun tidak langsung mengatur keseimbangan antara jumalah ikan yang ditangkap dengan pertambahan dan/atau perkembangan ikanikan karang. Tindakan ini didasari oleh nilai-nilai filosofi tentang kesakralan laut yang berbunyi papu manak ita lino bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, manusia memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya. Oleh karena itu, masyarakat Bajo tertentu misalnya Bajo Mantigola melestarikan sumber daya laut dengan bentuk-bentuk kearifan lokalnya dalam mengelola hutan bakau dan terumbu karang. Yang berikutnya adalah rasionalitas substantif. Rasionalitas substantif menurut Weber dikategorikan sebagai jenis rasionalitas yang berorientasi nilai. Rasionalitas ini erat sekali kaitannya dengan pemaknaan dan penerimaan terhadap nilai-nilai tertentu yang dijunjung tinggi oleh setiap individu tertentu. Rasionalitas ini cenderung bermakna ambigu, karena sangat tergantung pada konteks masyarakat (life-spheres) dari individu tersebut. Karena rasionalitas dan potensi dari proses rasionalisasi akan kembali pada postulat dari nilai-nilai yang dianut masyarakat. Misalnya, orang-orang Wanci Mandati yang tidak menyukai segala bentuk status monopoli dan menganggapnya sebagai suatu irasionalitas, karena nilai-nilai ini menghalangi ekspansi usaha pada mekanisme pasar persaingan yang bebas. Namun, misalnya konteks sosial masyarakatnya feodalisme, maka sistem monopoli dianggap paling rasional. Maka, titik kajian dari rasional substantif akan selalu berbeda disetiap konteks masyarakatnya. Selanjutnya Weber menyebutkan bentuk rasionalitas yang lainnya, yakni rasionalitas formal, yang meliputi proses berfikir aktor dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan. Dalam hal ini pilihan dibuat dengan merujuk pada kebiasaan, peraturan, dan hukum yang ditetapkan secara universal. Rasionalitas ini lah yang sangat berposisi antagonistik dengan terhadap segala bentuk rasionalitas substantif. Karena rasionalitas ini bertendensi pada kalkulasi dan 103

54 rutinitas tertentu dengan berdasarkan pada aturan legal formal, dan sangat dipengaruhi oleh beragam bentuk-bentuk perencanaan yang sangat mapan dan teratur. Menurut Weber, birokrasi formal di negara-negara Barat, dan tata kelola perusahaan industri bisa menjadi contoh konkret dari bentuk nyata rasionalitas formal. Pada matriks 3. Berikut akan dijelaskan secara ringkas bahwa Weber melalui teori rasionalitasnya bermaksud untuk menjelaskan bahwa proses mental menarik baginya karena bertujuan untuk menjelaskan bahwa dengan kondisi tertentu tindakan sosial bisa diterjemahkan. Pada beberapa kasus, misalnya rasionalitas praktis, aturan-aturan yang mengatur tindakan seseorang sangat dekat dengan perhitungan yang cermat dalam hubungannya dengan minat tertentu, meskipun proses mental tersebut jarang terlihat. Rasionalitas teoritikal, disatu sisi mengilustrasikan hal yang berlawanan dari rasionalitas praktis. Pada rasionalitas ini seringnya tidak menunjukkan pola-pola tindakan, sehingga sifatnya tidak langsung. Sementara secara umum rasionalitas formal, dan rasionalitas substantif langsung berhubungan dengan tindakan yang dilakukan. Matriks 3. Penguasaan Kesadaran dari Fragmentasi antara Realitas melalui Aturan-aturan dalam Bertindak (Weber dalam Kalberg, 1980) Tipe Rasionalitas Proses Mental Hubungannya dengan Tindakan Acuan kepada Proses Mental Rasionalitas Teoritis Ragam pada proses yang abstrak Secara tidak langsung Lebih kepada masalah nilai-nilai dan teori tertentu. Rasionalitas praktis Kalkulasi instrumental langsung Lebih kepada minat Rasionalitas formal Kalkulasi instrumental langsung Lebih kepada aturanaturan, hukum, dan kebijakan Tipe Rasionalitas Proses Mental Hubungannya dengan Tindakan Acuan kepada Proses Mental Rasionalitas substantif Subordinasi dari segala bentuk realits kepada nilai-nilai Langsung Nilai-nilai 104

55 Tindakan tradisional atau yang berorientasi nilai merupakan tipe tindakan yang sifatnya nonrasional. Jika seseorang memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan tradisional. Individu itu akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya.weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang lenyap karena meningkatnya rasionalitas instrumental. Tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Menurut Weber tindakan seperti ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologis atau kriteria rasionalitas lainnya. Keempat tipe tindakan sosial di atas harus dilihat sebagai tipe-tipe ideal. Weber mengakui bahwa tidak banyak tindakan, kalau ada, yang seluruhnya sesuai dengan salah satu tipe ideal ini. Misalnya, tindakan tradisional bisa mencerminkan suatu kepercayaan yang sadar akan nilai sakral tradisi-tradisi dalam suatu masyarakat, dan itu berarti bahwa tindakan itu mengandung rasionalitas yang berorientasi pada nilai. Membuat pembedaan antara tipe-tipe tindakan yang berbeda atas dasar ini penting untuk memahami pendekatan Weber terhadap organisasi sosial dan perubahan sosial. Selanjutnya menurut Weber tindakan sosial dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif dan polapola motivasional yang berkaitan dengan itu. Untuk tindakan rasional, arti subyektif itu dapat ditangkap dengan skema alat tujuan (mean-ends schema). Pada masyarakat Bajo Mola yang kapitalistik, rasionalitas praktis cenderung mendasari segala bentuk tindakan yang dilakukan. Sebagai pedagang yang berhubungan langsung dengan eksportir besar, maka hitunghitungan ekonomi mendasari segala bentuk tindakannya. Sementara masyarakat Bajo Mantigola yang cenderung pra kapitalistik, membangun tindakannya atas dasar rasionalitas substantive, dan juga teoritis atas pemahaman mendalamnya terhadap lingkungan laut dimana mereka 105

56 berada. Maka segala bentuk magifikasi tetap dipertahankan, dan cenderung menolak segala bentuk perusakan terhadap nilai-nilai kolektivitas. Pada kasus kapitalisme local di suku Bajo yang dibahas pada tulisan ini, Beberapa orang-orang Mola dianggap sebagai gambaran terbentuknya kapitalis Bajo. Ciri khas kapitalisme, antara lain menggunakan tenaga kerja upahan, melakukan akumulasi keuntungan, ekspansi usaha dan cenderung berani melakukan akusisi capital. Sesuatu hal yang jarang bisa dilakukan oleh orangorang bajo kebanyakan terutama Bajo Mantigola yang tetap mempertahankan sistem perekonomian yang prakapitalis Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi Sistem nilai merupakan unsur sistem sosial masyarakat bersifat sangat abstrak. Sistem sosial tersebut merupakan pedoman dari konsep-konsep ideal yang memberikan pendorong kuat terhadap arah kehidupan warga komunitasnya. Menurut Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (1990) bahwa sistem nilai budaya memberikan arah dan dorongan pada sistem nilai budaya masyarakat dalam lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Atas dasar konsepsi tersebut, ia mengembangkan suatu kerangka yang dapat dipakai ahli antropologi untuk menganalisa secara universal tiap variasi dalam sistem nilai budaya dalam semua macam kebudayaan yang terdapat di dunia (Matriks 4). Menurut C. Kluckhohn, kelima masalah dasar tersebut menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah : 1. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (disingkat MH) 2. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia (disingkat MK) 3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (disingkat MW) 4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia alam sekitarnya (disingkat MA) 5. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (disingkat MA). Menurut C. Kluckhohn setiap komunitas akan berbeda-beda di dalam mengkonsepsikan kelima unsur di atas tersebut. Misalnya berdasarkan unsur pertama mengenai hakekat dari hidup manusia, ada komunitas tertentu yang mempersepsikan hidup itu baik, maka tidak banyak usaha-usaha untuk 106

57 meningkatkan kualitas hidup, sebaliknya jika suatu masyarakat memandang kehidupan sebagai sesuatu yang buruk namun manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik, akan cenderung memiliki etos kerja tinggi dan pantang menyerah. Matriks 4. Kerangka Kluckhohn Mengenai Lima Masalah Dasar Dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia Masalah dasar dalam hidup Hakekat Hidup (MH) Orientasi Nilai Budaya Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik Hakekat karya (MK) Karya itu untuk nafkah hidup Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya. Karya itu untuk menambah karya Persepsi manusia tentang waktu (MW) Orientasi masa kini Orientasi ke masa lalu Orientasi ke masa depan Pandangan manusia terhadap alam (MA) Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam Manusia berhasrat menguasai alam Hakekat hubungan manusia antar manusia dengan sesamanya (MM) Orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong royong) Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri. Sumber : Koentjaraningrat, Pemaknaan ini sesungguhnya memberikan suatu informasi penting sampai sejauhmana perkembangan orientasi nilai yang dipegang oleh suatu komunitas tertentu. Apakah dengan kategorisasi yang dibentuk oleh Kluckhohn tersebut, masyarakat tertentu dikategorikan sebagai masyarakat yang cenderung fatalis, optimistik, atau individualis. Dan kategorisasi ini akan cenderung menggambarkan bentuk-bentuk tindakan sosialnya, karena asumsinya 107

58 pemaknaan memberikan justifikasi atau alasan terhadap tindakan tertentu yang ditampilkan Pengertian Kapitalisme Lokal Di dalam penelitian ini pumpunan penelitian yang paling krusial adalah menggambarkan munculnya kapitalisme di masyarakat suku Bajo dilihat sebagai suatu gejala sosiologis yang berlangsung di dalam suatu sistem social tertentu. Terminologi local khususnya disebut sebagai kapitalisme local diartikan sebagai suatu fenomena hibridisasi nilai-nilai local suku Bajo dengan nilai-nilai kapitalisme penuh yang kemudian memberikan warna pada perekonomian yang dikembangkan di Bajo Mola dan Bajo Mantigola. Serupa dengan penelitian Sitorus (1999) yang melihat gejala pembentukan pengusaha lokal penenun di Batak Toba yang melihat gejala ini bukan sebagai gejala social mikro lokal yang terisolir, melainkan terkait dengan sistem social di luar dari sistem social lokal masyarakat Bajo Mola dan Mantigola. Maka ekonomi local dalam bentuk kapitalisme lokal yang dimaksud adalah bagaimana pemaknaan dan pada akhirnya membentuk struktur ekonomi yang dilihat dalam konteks lokal. Lokal artinya merujuk pada satu komunitas tertentu, yang terkait dengan nilai-nilai tertentu, dan pada akhirnya mewarnai segala aspek kehidupannya termasuk sistem ekonominya. Perubahan ekonomi dimaknai sebagai perubahan pola interaksi sosial kelompok masyarakat terkait aktifitas-aktifitasnya dalam usaha pemenuhan hidup (Purnomo, 2005). Penelitian ini akan menggambarkan bagaimana posisi lokal ekonomi masyarakat suku Bajo Mola dan Mantigola dalam suatu kontinum perubahan sosial masyarakat dari sistem ekonomi pra kapitalistik, yang hasil produksi tidak dipertukarkan ke pasar komersial, namun untuk digunakan bersama secara social, dan berorientasi pada nilai pakai (use value). Sementara sistem ekonomi kapitalistik sebaliknya, hasil produksi dipertukarkan ke pasar komersial yang berorientasi pada nilai tukar (exchange value) Kerangka Pemikiran Penelitian mengenai pembentukan kapitalisme lokal nelayan suku Bajo dilatarbelakangi oleh fenomena unik dari munculnya nelayan Bajo Mola yang sangat kapitalis namun di satu sisi dalam ruang-ruang kehidupannya masih 108

59 dilandasi oleh etos-etos dan pandangan hidup yang terkandung di dalam keyakinannya dan pandangannya terhadap alam dan laut sebagai sumber kehidupan (worldview), nilai-nilai antara sama dan bagai, dan fungsi daparanakan (kinship) sebagai penopang keberhasilan usaha. Sementara ada fenomena lain dari masyarakat Bajo, khususnya Mantigola yang tetap mempertahankan kehidupan Bajo yang tradisional. Dengan pola nafkah lebih berorientasi pada subsistensi rumahtangga, anggota keluarga sebagai tenaga kerja keluarga, hubungan produksi bersifat egaliter, moral ekonomi nelayan masih berpijak pada basis sosial kolektif. Hidup menetapnya orang-orang Bajo di pulau Wanci maupun di Kaledupa rupanya merubah sendi-sendi kehidupan ekonomi masyarakat Bajo. Mekanisme pertukaran social dan posisi orang Bajo di dalam struktur social pada kelompok masyarakat tertentu dimana ia terlekati bisa jadi menguatkan nilai-nilai dan norma yang dipertahankan, atau menimbulkan pergeseran serta pemaknaan baru terhadap lima dasar dalam kehidupan manusia oleh Kluckhon, antara lain mengenai hakekat hidup manusia, hakekat karya manusia, hakekat manusia terhadap ruang dan waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hakekat manusia dengan sesamanya oleh masyarakat Bajo Mola merupakan wujud dari adaptasi yang terjadi di komunitas Bajo Mola terhadap lingkungan fisik maupun sosial di Pulau Wanci. Perubahan sikap dan etika subsistensi nelayan Bajo menyebabkan mereka melibatkan diri dalam perkembangan ekonomi kapitalisme yang bergerak atas dasar motif rasional, keuntungan individu, pengambil resiko yang tinggi, dan selalu mencoba berbagai inovasi yang baru. Pemahaman terhadap pemaknaan masyarakat Bajo terhadap lima masalah dasar kehidupan manusia sebagai landasan untuk mempertanyakan kembali pemikiran Boeke melalui konsepsi masyarakat gandanya, bahwa sikap mental masyarakat pribumi tidak atau belum sesuai dengan rasionalisasi pola pikir kehidupan kapitalisme. Analisa awal dalam melihat gejala terbentuknya kapitalisme lokal adalah untuk memahami alasan terjadinya perbedaan laju perubahan sosial antara komunitas Bajo Mola dan Bajo Mantigola, melalui pemahaman yang mendalam konteks social masing-masing yang melatarbelakanginya. Berpijak pada pandangan Weberian, bahwa sebelum terjadinya perubahan teknologi terlebih dahulu telah terjadi perubahan gagasan baru dalam pola pemikiran masyarakat 109

60 Bajo. Menurut Weber, di setiap masyarakat terdapat suatu sistem nilai yang hidup dan bertumbuh secara khusus, yang membedakan masyarakat satu dengan lainnya. Nilai yang merupakan gagasan tersebut akhirnya menjadi kekuatan yang dominan dari suatu kelompok masyarakat, sehingga menjadikan kelompok masyarakat tersebut berbeda dari kelompok masyarakat yang lainnya. Konteks sosial juga berperan dalam member warna lokal sekaligus sebagai penyebab perbedaan orientasi ekonomi lokal yang dikembangkan baik di Bajo Mola dan Mantigola. Konteks sosial dimaknai dalam tulisan ini sebagai wadah tumbuh dan berkembangnya kapitalisme di masyarakat Bajo Mola, namun di satu sisi juga berperan di dalam perlambatan perkembangan kapitalisme di Mantigola. Konteks social dianalisis melalui sejarah pembentukan kapitalisme lokal, dan agama yang mewadahi perkembangan kapitalisme di Mola dan Mantigola. Rasionalitas di sini diartikan sebagai tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan tidak dapat dijelaskan hanya dengan merujuk pada motif individu semata. Sebagai bentuk dari tindakan sosial, tindakan ekonomi terlekat (embedded) pada jaringan hubungan masing-masing individu dari pada sebagai individu yang berdiri sendiri. Merujuk Weber, maka rasionalitas yang mendasari tindakan ekonomi bias saja dalam bentuk rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) dan rasional berorientasi nilai (substantive rationality). Semua ini pada akhirnya membentuk transformasi ekonomi dengan gejala lokal yang khas. Kapitalisme lokal dalam tulisan ini seperti yang telah dibahas sebelumnya, dimaknai sebagai terintegrasinya nilai-nilai ekonomi kapitalis yang berciri dominasi nilai-nilai materialism dengan nilai-nilai lokal tradisional. Secara perlahan-lahan masyarakat Bajo menuju suatu bentuk ekonomi kapitalisme, namun ruang-ruang nilai memberikan warna lokal terhadap tahap-tahap menuju kapitalismenya. Derajat menuju orientasi ekonomi kapitalisme diukur berdasarkan kecenderungan dimensi-dimensi kapitalisme seperti profit maksimisasi, pola ekspansi ekonomi, transfer nilai-nilai keuntungan dari pasar komersial, kepemilikan properti ekonomi secara individu sehingga memberikan warna hubungan social produksi yang dapat dilihat bagaimana hubungan buruh dan majikan dalam bentuk eksploitatif, atau bisa jadi hubungan yang non eksploitatif dengan merujuk pada jejaring bisnis dalam bentuk aliansi startegis ke luar. 110

61 Profit maksimisasi dipinjam dari teorisasi Marxian dan Weberian bahwa nilai keuntungan diciptakan melalui produksi, dan juga pemeliharaan nilai-nilai tertentu. Kegiatan ekonomi kapitalisme memang bertujuan untuk mencari keuntungan. Apa yang para kapitalis miliki, termasuk keluarga bahkan dirinya sendiri diupayakan menjadi modal (kapital) untuk memperoleh keuntungan, namun disatu sisi untuk warna kapitalisme lokal suku Bajo keuntungan tidak semata-mata diciptakan untuk maksimisasi untuk diri sendiri, nilai-nilai lokal tertentu juga member warna dalam pembentukan profit, beserta tujuan maksimisasinya. Pola ekspansi ekonomi sesungguhnya erat kaitannya dengan beragam upaya yang dilakukan para aktor kapitalis untuk meningkatkan skala usaha, dan pada akhirnya mengarahkan pada maksimisasi profit. Dahulu model ekspansi usaha dengan berniaga di berbagai wilayah, memperluas pasar. Bahkan dengan bersaing keras dengan para kapitalis lainnya. Bangsa kolonial malah melakukan ekspansi melalui penjajahan. Untuk ekspansi usaha para kapitalis akan menempuh jalan seperti meningkatkan kualitas produksinya, memodernisasi alatalat kerjanya agar lebih efisien, dan dapat menurunkan biaya produksinya, kemudian mampu mengatasi persaingan harga. Tujuan produksi kapitalis ialah memperoleh nilai lebih semaksimal mungkin, untuk mengembangkan capital dan menumpuk kekayaan. Maka individualisme menjadi cirri utama sistem ekonomi ini. Keuntungan kapitalis hakikatnya ialah hasil dari pemerasan dan penghisapan atas kerja kaum buruh. Bagi Marx juga keuntungan ini bukan karena modernisasi alat-alat produksi, namun melainkan dari pemerasan atas kekuatan tenaga kerja. Hubungan antar manusia pada sistem kapitalisme berdasarkan pada fungsinya. Manusia sebagai individu berorientasi mencari keuntungan. Manusia yang memiliki kapital kemudian dapat mengeksploitasi manusia yang tidak memiliki kapital. Namun, karena masih ber cokol nya ruang-ruang nilai di diri sang aktor, dan motivasi spiritual, menciptakan hubungan produksi yang khas. Penelitian ini menekankan bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Mola dan Mantigola. Di dalam tulisan ini proses sosial yang dipahami bahwa masyarakat Bajo sekalipun tengah bertarung menuju sistem ekonomi kapitalis, bukan karena itu yang mereka inginkan, namun tekanan kehidupan membuat mereka harus bertarung dengan mengandalkan kekuatan 111

62 internal dari dirinya. Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana orang-orang Bajo menuju ekonomi kapitalisme melalui tahap-tahap yang berbeda dengan ciri khas lokal. Secara skematis dapat dilihat dalam bagan berikut ini: Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian 2.5. Hipotesa Pengarah Untuk menjawab pertanyaan pokok mengenai bagaimana kehadiran kapitalisme di dalam sistem sosial masyarakat suku Bajo. Kemudian perkembangannya yang terkait nilai etika moralitas dan hubungannya terhadap perkembangan rasionalitas, maka hipotesa pengarahnya adalah sebagai berikut : 1. Kemunculan dan perkembangan kapitalisme di suku Bajo didorong oleh penetrasi nilai-nilai kapitalisme melalui saluran (trajectory) tertentu, baik melalui konteks sejarah dan agama yang menggambarkan peran akulturasi dan bukan disebabkan oleh kontradiksi internal dalam sistem sosial di suku Bajo. Konteks sejarah ini pada akhirnya berperan dalam membentuk kapitalisme lokal, dan pembentukan nilai-nilai tertentu dalam kehidupan ekonomi baik di suku Bajo Mola dan Mantigola. 2. Akulturasi dengan golongan masyarakat tertentu berperan di dalam kemunculan nilai-nilai kapitalisme lokal suku Bajo. 3. Orientasi nilai budaya akan memberikan warna tertentu pada sistem kapitalisme yang terbentuk di Bajo Mola maupun di Bajo Mantigola. 112

63 Orientasi nilai budaya akan sangat berperan dalam pembentukan rasionalitas yang mencirikan ekonomi kapitalisme khas suku Bajo. 113

64 3 METODE PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Pemaknaan terhadap masalah dasar kehidupan manusia, dan rasionalitas rumahtangga nelayan Bajo Mola maupun Mantigola merupakan fakta sosial yang dikonstruksi dan dimaknai oleh anggota rumahtangga itu sendiri. Realitas sosial di dalam paradigma ini dianggap merupakan konstruksi mental individu, dan pengalaman yang sifatnya spesifik. Realitas sosial dari paradigma konstruktivis ini tidak dapat digeneralisasikan, karena realitas social dari penelitian ini dimaknai oleh orang dalam. Melalui paradigm konstruktivis ini realitas social yang dimaknai tineliti dapat ditafsirkan. Artinya konstruktivisme berpijak pada tafsir atas tafsir. Tafsir dan analisisnya mengenai pemaknaan dan orientasi nilai dibangun berdasarkan life history sang aktor kapitalis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan informasi yang sifatnya subyektif. Menurut Denzin dan Lincoln (1998) penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang menjadikan multi metode sebagai fokusnya, melibatkan pendekatan intrepetatif dan naturalistik terhadap pokok persoalannya. Artinya bahwa peneliti kualitatif mengkaji suatu masalah dalam situasi alami, yang tujuannya memberikan pemaknaan yang diletakkan pada fenomena yang sedang dikaji. Strategi penelitian adalah studi kasus. Studi kasus sendiri merupakan suatu bentuk eksplorasi terhadap suatu sistem yang terbatas (a bounded system) yang berupa kasus atau berbagai kasus melalui pengumpulan data yang detail dan mendalam yang melibatkan berbagai sumber informasi yang kaya dalam arti konteks. Sistem terbatas dimaksudkan terbatas dalam ruang dan waktu, dan yang dimaksud kasus dapat berupa suatu program, peristiwa, kegiatan, atau individu (Creswell, 1998 dalam Salam 2005). Penelitian studi kasus terutama sangat berguna untuk informasi latar belakang guna perencanaan penelitian yang lebih besar dalam ilmu-ilmu sosial. Karena studi yang demikian itu intensif sifatnya, studi tersebut menerangi variabel-variabel yang penting, proses-proses, dan interaksi-interaksi, yang memerlukan perhatian lebih luas. Penelitian kasus 114

65 itu merintis dasar baru dan seringkali menjadi sumber hipotesis-hipotesis untuk penelitian lebih jauh (Suryabrata, 1997). Menurut Sitorus (1999) penelitian studi kasus menggunakan pendekatan kualitatif yang memungkinkan dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubjektifitas yang lahir akibat interaksi antara peneliti dan tineliti. Mengingat studi mengenai kapitalisme lokal adalah gejala yang mengandung dimensi-dimensi struktural maupun historis, maka menurut Sitorus (1999) agar kedua gejala tersebut tertangkap maka pilihan studi kasus pada penelitian tersebut harus memadukan dua pendekatan sekaligus antara lain menggunakan metode kasus historis studi riwayat hidup tineliti yang khas, sehingga ditemukan jawaban mengenai mengapa dan bagaimana suatu peristiwa/gejala sosial terjadi. Kemudian kajian sejarah lokal, yang memungkinkan perolehan pengetahuan mengenai perubahan sosial pada masyarakat Bajo Mola. Penelitian ini kemudian akan membandingkan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat Bajo Mola dengan Mantigola, untuk memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai kapitalisme lokal masyarakat Bajo, evolusi nafkah, rasionalitas, dan worldview masyarakat Bajo. Penelitian dilakukan menjadi tiga tahap, antara lain : Matriks 5. Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian No Tahap Penelitian Kegiatan Waktu 1. Analisis Dokumen Melakukan pengumpulan dan kajian literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. 2. Pra survey Melakukan penelusuran awal tempat penelitian. Dari tahap ini dapat diperoleh gambaran umum wilayah penelitian, kondisi fisik demografi, kependudukan, dan kondisi sosial lainnya. April-Juli 2010 Agustus-September Penelitian Lapang dan analisis Memahami gambaran umum rumahtangga nelayan Bajo Mola dan Mantigola, memahami bagaimana proses perkembangan kapitalisme Februari-Maret,

66 4. Analisis dan Penyusunan Hasil Penelitian dari sisi proses perkembangan rasionalitas, perubahan pemaknaan masalah dasar kehidupan manusia, livelihood evolution sebagai hasil adaptasi dengan lingkungannya, dan perubahan moda produksi dari pra kapitalis ke kapitalis. Menganalisis fakta/temuan di lapangan April-Juli Verifikasi Hasil Penelitian Memverifikasi hasil penelitian oleh tineliti (subyek penelitian) sebelum dipublikasi. 6. Publikasi Mempublikasi hasil penelitian sebagai sumbangan ilmiah dalam pengembangan studi strategi nafkah pedesaan. Juli 2011 Agustus Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di desa Mola dan Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. Dimulai dari bulan Februari-Maret Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa : 1. Mola adalah kampung Bajo terluas di Indonesia, dengan keunikan fenomena sosial terbentuknya gejala kapitalisme lokal. Sementara Mantigola adalah kampung Bajo tertua, dan dari aspek kesejarahan, Mantigola adalah wilayah asal Bajo Mola. Mantigola merupakan gambaran Bajo tradisional, yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya asli masyarakat Bajo. 2. Berdasarkan kajian literatur ditemukan fakta bahwa nelayan Bajo Mola memiliki diversifikasi nafkah selain menggantungkan nafkahnya di laut. Serta munculnya gejala kapitalisme lokal, sesuatu hal yang sangat jarang terjadi pada masyarakat nelayan Bajo. 3. Memungkinkan secara finansial karena lokasinya mudah dijangkau. 116

67 3.3. Teknik Pengumpulan data Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kualitatif field research dimulai dengan perumusan masalah yang tidak terlalu baku dengan strategi penelitian studi kasus. Untuk memperoleh data, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi berperan serta, dan analisis dokumen. Sebagai bentuk penyimpanan data dari ketiga teknik yang digunakan, maka peneliti membuat catatan harian yang berisi hasil wawancara mendalam tineliti, dan hasil pengamatan berperan serta. Wawancara mendalam dilakukan dengan subyek kasus sebagai informan kunci yang telah ditentukan sebelumnya dengan mempertimbangan keterwakilan dari nelayan Bajo berdasarkan struktur penguasaan kapital. Untuk memahami perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat nelayan Bajo Mola maka studi riwayat hidup (life history) informan kunci dilakukan. Para informan kunci, ditentukan secara teknik snowball. Teknik snowball merupakan teknik pengumpulan kasus yang akan dijadikan sebagai sumber informasi dengan cara mengambil kasus-kasus dari kasus sebelumnya. Guna memahami fenomena sosial mengenai kapitalisme lokal masyarakat Bajo, maka peneliti mewawancarai sejumlah tokoh kunci antara lain para aktor-aktor kapitalis lokal Bajo Mola maupun Mantigola. Antara lain ponggawa besar, ponggawa menengah, ponggawa kecil, dan para pedagang-pedagang besar di Mola, dan ponggawa kecil di Mantigola Analisa Data Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini digunakan metode analisis data kualitatif. Analisa dilakukan dengan melakukan reduksi data. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan : (1) meringkas data; (2) mengkode ; (3) menelusur tema ; (4) membuat gugus-gugus; (5) membuat partisi; (6) membuat memo. Kegiatan ini berlangsung semenjak pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kesimpulan akhir (Sitorus, 1998). 117

68 4 KONTEKS SEJARAH DAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Kepulauan Wakatobi Kepulauan Wakatobi dapat dijangkau dengan kapal laut selama 9 jam, dengan pesawat terbang selama 30 menit dari Kendari ke Pulau Wangi-Wangi ibukota Kabupaten Wakatobi. Selain itu dari Kota Bau-Bau kapal pelayaran rakyat setiap hari berlayar menuju tiap pulau dengan waktu tempuh tercepat 9 jam dan terlama 16 jam atau dengan pesawat terbang selama 15 menit. Dari timur, pintu masuk dari Kota Ambon dengan kapal PELNI selama 12 jam, dengan kapal pelayaran rakyat Wakatobi selama 24 jam. Dari utara melalui Ternate dengan kapal rakyat selama 30 jam, dari arah lewat Flores dengan kapal pelayaran rakyat selama 8 jam. Dari pulau Wangi-Wangi, pulau-pulau dalam kawasan dapat ditempuh setiap hari, waktu terdekat 30 menit yakni pulau Kapota, terjauh jam untuk pulau Runduma (freqwensi tergantung cuaca dan muatan). Pulau-pulau dalam gugusan Kepulauan Wakatobi memiliki topografi datar sampai berbukit. Empat pulau utama, berpenghuni dan memiliki ukuran lebih besar memiliki variasi ketinggian : (1) Pulau Wangi-Wangi, topografi lebih rendah di sebelah selatan dibanding bagian utara. Puncak tertinggi ± 225 m dpl ; (2) Pulau Kaledupa, topografi lebih rendah di bagian utara dibanding bagian selatan, memiliki puncak tertinggi ± 200 m dpl ; (3) Pulau Tomia, topografi rendah dibagian barat, dan lebih tinggi di pantai timur, memiliki puncak tertinggi ± 250 m dpl. (3) Pulau Binongko, topografi lebih rendah dibagian timur, lebih tinggi pada bagian barat, memiliki puncak tertinggi ± 225 m dpl. Topografi laut umumnya datar di lepas pantai, dan di luar karang tepi dan daerah gosong merupakan tubir terjal. Dari hasil citra landsat dasar perairan laut merupakan gabungan jurang dan gunung-gunung bawah laut dengan variasi kedalaman meter, masuk perairan laut Banda (TNW 2008 dalam Hanan, 2010) Gambaran Umum Bajo Mola Desa Mola merupakan wilayah perkampungan Bajo terbesar di Kepulauan Wakatobi. Luas wilayah Kampung Mola sebesar 8,3 Km 2. Saat ini kampung Bajo Mola terpecah menjadi lima desa, antara lain (1) Desa Mola Selatan (3,70 Km 2 ) ; (2) Desa Mola Utara (0,76 Km 2 ) ; (3) Desa Mola Samaturu (0,74 Km 2 ) ; (4) Desa Mola Nelayan Bakti (0,80 Km 2 ) ; (5) Desa Mola Bahari 118

69 (2,30 Km 2 ). Secara administrative, Kampung Bajo Mola, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Desa Mandati. Sebelah Selatan berbatasan dengan pulau Kapota, dan laut Numana dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Banda. Selain menjadi kampung Bajo terluas di Kepulauan Wakatobi, Mola juga menjadi Kampung Bajo terpadat di Wakatobi. Misalnya saja wilayah Mola Utara dengan kepadatan penduduk 1163 jiwa/km 2.. Selanjutnya Mola Bahari 1505 jiwa/km 2. (Tabel 1). Jumlah rumahtangga nelayan di Kampung Mola sebanyak 1212 rumahtangga dengan rata-rata jumlah penduduk per rumahtangga 5-6 orang. Tabel 1. Kepadatan Penduduk Menurut Desa Tahun Luas Penduduk Kepadatan No Desa (Km) Mola Selatan 3, , Mola Utara 0, Mola Bahari 0, Mola Nelayan Bakti 2, Mola Samaturu 0, Sumber : BPS Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Merujuk data BPS Kecamatan Wangi-wangi Selatan, 2010, mengenai distribusi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin, menunjukkan bahwa komposisi penduduk Kampung Bajo Mola cenderung menunjukkan angka kelahiran yang tinggi. Angka rasio beban tanggungan cenderung tinggi. Karena jumlah penduduk usia non produktif jauh lebih besar dibandingkan penduduk usia produktif. Komposisi penduduk seperti ini memberikan indikasi bahwa daerah Mola mulai mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat sebagai akibat turunnya angka kematian bayi dan anak yang cukup berarti, sementara belum terjadi penurunan tingkat fertilitas. Rasio jenis kelamin yang dinyatakan sebagai perbandingan jumlah laki-laki per 100 perempuan (Rusli, 1995) pada Kampung Mola menunjukkan nilai sebesar 484. Artinya terdapat jumlah 484 penduduk laki-laki per 100 orang perempuan (Tabel 2 dan Gambar 2). 119

70 Gambar 2. Piramida Penduduk Kampung Bajo Mola,

71 Tabel 2. Penduduk Kampung Bajo Mola Berdasarkan Desa Menurut Umur dan Jenis Kelamin, 2010 Mola Selatan Mola Utara Mola Bahari Mola Nelayan Bakti Mola Samaturu Jumlah Kelomp ok Umur Lakilaki Pere mpua n lakilaki Pere mpua n Lakilaki Perem puan Lakilaki Pere mpu an Lakilaki Perem puan Lakilaki Pere mpu an Jumlah Sumber : BPS Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Pada umumnya, mata pencaharian utama penduduk Kampung Mola adalah sebagai nelayan. Berdasarkan data BPS Kecamatan Wangi-wangi Selatan, 2010, jumlah nelayan tangkap di Kampung Bajo Mola berjumlah 1919 orang, dan jumlah nelayan budidaya ikan maupun rumput laut sebanyak 20 orang. Jenis alat tangkap serta jenis armada penangkapan ikan nelayan-nelayan Bajo di Kampung Bajo Mola, relative bervariasi, dimulai dari jenis yang tradisional hingga modern. Sebanyak 200 buah pukat, 343 jaring, 1389 buah pancing, 5 buah lamba, 5 buah gae, dimiliki oleh nelayan di Kampung Mola. Sementara jenis armada yang dipakai oleh nelayan di Mola, antara lain 15 buah kapal motor, 165 kapal motor tempel, dan 222 perahu tanpa motor bisa dalam bentuk koli-koli, atau perahu kecil dengan layar (Tabel 3). 121

72 Jenis Alat Tabel 3. Jenis dan Jumlah Alat Penangkap Ikan, dan Jumlah Kendaraan Penangkap Ikan, Mola, Jumlah Kendaraan Tangkap dan Penangkap Ikan Jumlah Alat Penangkap Ikan Kendaraan Perahu Penangkapan Kapal Motor Tanpa Ikan Motor Tempel Motor Pukat Jarring Pancing Perangkap Lainnya Mola Selatan Mola Utara Mola Samaturu Mola Bahari Mola Nelayan Bakti Jumlah Sumber : BPS Kecamatan Wangi-wangi, Gambaran Umum Bajo Mantigola Desa Mantigola terletak di Kepulauan Wakatobi berada pada jazirah tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara umum Kepulauan Wakatobi memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda ; (2) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda (3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores ; (4) Sebelah Barat berbatasan dengan perairan Kabupaten Buton. Desa Mantigola sendiri disebelah utara berbatasan dengan Desa Sombano, disebelah selatan dengan Laut Flores, disebelah timur dengan Desa Horuo dan disebalah barat dengan Karang Kaledupa. Luas Desa Mantigola sekitar 1.50 km2, dengan persentase dari Pulau kaledupa sebesar 3.30%. Bajo Mantigola tetap mempertahankan ciri khas pemukiman tradisional Bajo dengan ciri khas bertempat tinggal di suatu rumah yang terbuat dari kayu dan bambu. Mulai dari jalan raya terlihat jembatan-jembatan bambu yang menyebar ke seluruh rumah-rumah. Jembatan tersebut dipergunakan ketika air laut sedang surut, sebab ketika air laut sedang naik, nelayan Bajo Mantigola lebih senang menumpangi perahu dayung yang khusus dipergunakan untuk mengambil air minum di daratan. 122

73 Kepadatan penduduk desa mantigola juga tergolong rendah. Berdasarkan Data BPS Kecamatan Kaledupa, 2010 diinformasikan bahwa pada tahun 2008 kepadatan penduduk Mantigola sebesar 360 jiwa/km 2. Sementara pada tahun 2009 kepadatan penduduk Mantigola sebesar 357 jiwa/km 2. Laju pertumbuhan penduduk desa Mantigola sendiri cenderung rendah. Berdasarkan Data BPS Kecamatan Kaledupa, 2010 menunjukkan bahwa pada tahun 2008 sebesar 536 jiwa. Sementara pada tahun 2009 jumlah penduduk desa Mantigola hanya sebesar 793 jiwa. Populasi penduduk yang relative lebih rendah ditunjukkan dari proporsi penduduk pulau Kaledupa, dimana Mantigola menyumbang 5% penduduk dalam jumlah populasi penduduk Pulau Kaledupa. Gambaran penduduk Desa Mantigola menurut kelompok umur dan jenis kelamin (Tabel 4 dan Gambar 3) menunjukkan proporsi jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan yang seimbang. Proporsi penduduk laki-laki sebesar 398 jiwa atau 50,2%, dan proporsi perempuan sebesar 394 jiwa atau 49,8%. Dari data juga diperoleh gambaran bahwa rasio beban tanggungan yang tinggi, karena jumlah penduduk yang non produktif lebih besar daripada jumlah penduduk produktif. 123

74 Tabel 4. Penduduk Desa Mantigola Makmur Menurut Umur dan Jenis Kelamin, 2010 Kelompok Umur Lakilaki Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki + Perempuan Sumber : Data BPS Kecamatan Kaledupa, 2010 Sumber : Data BPS Kecamatan Wangi-wangi Selatan, 2010 diolah. Gambar 3. Piramida Penduduk Desa Mantigola Makmur,

75 Jumlah armada penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Wakatobi telah mengalami penurunan dari 3129 unit pada tahun 2005 menjadi 1171 unit pada tahun Penurunan jumlah unit armada penangkapan pada dasarnya disebabkan armada penangkapan sudah banyak yang tidak beroperasi lagi dan belum dilakukan peremajaan unit armada penangkapan. Sedangkan apabila dilihat dari struktur armada yang ada, maka didominasi oleh jenis armada perahu tanpa motor dengan jumlah 698 unit pada tahun 2009, selanjutnya disusul oleh armada motor tempel dengan jumlah 413 unit dan kapal motor dengan jumlah 69 unit. Perkembangan armada selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini. Dominannya armada perahu tanpa motor ini mengindikasikan bahwa nelayan di wakatobi merupakan nelayan artisal yang jangkauan daerah beroperasinya berada di sekitar karang dekat pantai yang tidak jauh jaraknya dari pulau-pulau di perairan wakatobi. Di Desa Mantigola sendiri, Jumlah nelayan aktif sebanyak 140 orang. Jumlah alat penangkapan ikan menurut jenisnya (Tabel 5), nampak bahwa alat tangkap pancing dominan digunakan oleh nelayan Bajo Mantigola. Di Mantigola terdapat 13 buah pukat, 8 jaring, menggunakan perangkap 10, 3 buah rompong, dan 30 alat tangkap pancing. Sementara jumlah perahu, kapal penangkap ikan, hanya terdapat 1 buah kapal motor, dan 30 buah perahu tanpa motor. Tabel 5. Jumlah Nelayan, Jumlah Perahu, Kapal Penangkap Ikan, dan Jumlah Alat Penangkapan Ikan Menurut Jenisnya di Desa Mantigola Desa / Kelurahan Jumlah Nelayan Jumlah Alat Penangkapan Ikan Jumlah Perahu, Kapal Penangkapan Ikan tangkap (Orang) Puk at Jaring Pancing Perangka p Lainlain Kapal Motor Motor Tempel Perahu tanpa Motor Mantigola Sumber : BPS Kab. Wakatobi, Gambaran Potensi Sumber Daya Alam Beberapa spesies terlindungi dapat ditemukan pada kawasan ini, antara lain penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), lumbalumba (Delphi nusdelphis, Stenella longiotris, Tursiops truncatus), ikan napoleon (Cheilinus undulatus) kima (Tridacna sp), Lola (Trochus sp), ketan kenari (Birgus latro). Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) dijumpai pada daerah karang yang 125

76 kondisinya relative baik. Kepiting kenari dijumpai pada lubang-lubang batu di Pulau Oroho (Kompona One), Simpora, Kapota, Hoga, Lentea Tomia, Runduma, Wangi-Wangi, Tomia, Binongko. Kondisi tekstur tanah didominasi batu-batu cadas merupakan habitat dari hewan ini dan memiliki sumber makanan yakni kelapa. Kepiting kenari melimpah pada musim penghujan dan bulan gelap (TNW 2008). Laporan Rapid Ecological Assesment (REA) 2003, ditemukan 396 spesies karang scleractinia hermatipic, terbagi dalam 68 genus dan 15 famili, dimana rataan setiap stasiun pengamatan berkeragaman 124 spesies. Sebanyak 10 spesies karang keras non scleractinia atau ahermatipic dan 28 genera karang lunak juga berhasil dicatat. Tingkat keragaman ini termasuk relatif tinggi bila dihubungkan dengan keragaman habitat yang disurvei yang cenderung rendah keragamannya dan ini merupakan sebuah indikasi dimana Wakatobi terletak di pusat keanekaragaman hayati terumbu karang (TNW 2008). Berdasarkan penelitian The Nature Conservancy (TNC), sebanyak 590 spesies ikan dari 52 famili ditemukan di perairan TNW. Famili-famili paling beragam spesiesnya antara lain jenis-jenis wrase (Labridae), damsel (Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon (Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae), squirrel (Holocentridae), dan angel (Pomacanthidae). Kesepuluh famili ini meliputi hampir 70% dari total hewan yang tercatat REA Hampir lebih dari 80% lokasi yang disurvei selama REA berada pada peringkat yang menunjukkan satu tingkat keragaman yang tinggi dari seluruh lokasi yang disurvei dan menempatkan wilayah ini pada posisi dua tertinggi dari 33 daerah yang telah lebih dulu disurvei untuk informasi yang sama (TNW 2008). REA 2003 mencatat sebanyak 31 spesies karang fungi (mushroom) dari 29 sampai 31 lokasi sampel. Walaupun Wakatobi adalah pusat dari keanekaragaman hayati, wilayah ini tidak cukup kaya akan karang fungi. Satu faktor pembatas keragaman karang fungi di Wakatobi adalah keragaman habitat yang relatif rendah; dibandingkan dengan daerah lain seperti Kepulauan Spermonde di Sulawesi Barat Daya, setidaknya dua tipe habitat yang berbeda yang secara umum kumpulan karang fungi berkumpul (terumbu berpasir di kedalaman dan terumbu yang dipengaruhi aliran air tawar dari sungai) tidak 126

77 terlalu banyak. Spesies fungi yang ditemui di Wakatobi mencakup sebagian besar yang biasanya ditemukan di lokasi lepas pantai di area dengan suatu landas kontinen seperti Spermonde. Sebagai perbandingan kumpulan fungi ini mirip dengan yang ada di Sulawesi Utara dan Kepulauan Togian dimana keduanya jarang terdapat habitat terumbu berpasir di kedalaman. Terkait dengan jenis karang scleractinia, secara umum walaupun agak beragam, tidak menunjukkan adanya sesuatu yang unik bisa jadi karena rendahnya tingkat keragaman habitat yang ada. Meskipun begitu REA 2003 mencatat beberapa temuan yang cukup menarik, yaitu adanya suatu kumpulan karang di area hamparan padang lamun (seperti Catalaphyllia Jardineri, Fungia (Cycloseris) sinensis dan F. (C.) cyclolites- dimana pada umumnya ada di kedalaman). Ada juga, suatu perubahan warna yang tidak biasa pada Hydrocoral Distichopora Violacea (dimana cabang yang diamati mempunyai suatu pita putih di bawah ujung berwarna) ditemukan dan mungkin merupakan suatu subspesies endemik Sulawesi Tenggara (TNW 2008). Selama REA, 31 spesies dari foraminifera berhasil dikoleksi dimana 9 diantaranya belum dapat diidentifikasi atau memerlukan pengamatan lebih lanjut untuk menentukan jenis taksonomi yang tepat. Ini merupakan jumlah yang tinggi dibandingkan dengan keragaman di lain tempat di Indo-West Pacific yang pernah diamati (seperti Cebu, Kepulauan Spermonde di Sulawesi, dan Bali). Secara umum tiga kelompok foraminifera dapat diidentifikasi : hamparan terumbu (reef flat), dan bagian dalam laguna dan terumbu miring. Hamparan terumbu yang meluas di daerah ini, sebagian besar ditutupi padang lamun, merupakan habitat penting bagi foraminifera, seperti halnya di bagian dalam laguna atol keduanya merupakan rumah bagi sejumlah spesies foraminifera yang unik. Keragaman yang tinggi, pembagian habitat yang tinggi dan densitas yang tinggi (dikombinasi dengan densitas yang rendah dari foraminifera yang non simbiose) menunjukkan bahwa kondisi pertumbuhan terumbu di wilayah ini sangat baik (TNW 2008). Terdapat 34 spesies dari 8 famili dan 16 genus yang telah diobservasi REA Dua spesies yang terkumpul belum dapat diidentifikasi, dari genus Gonodactylopsis dan genus Chrosquilla yang ditemukan pada kedalaman 20 meter pada dinding vertikal. Seperti yang diharapkan, spesies-spesies yang ditemukan di Wakatobi mencerminkan spesies-spesies yang dominan di perairan jernih tipikal dari terumbu yang menghadap ke laut dalam atau laut lepas. 127

78 Koleksi yang ada menambah jumlah spesies stomatopoda terumbu yang sudah diketahui, menempatkan Wakatobi sejajar dengan Kepulauan Raja Ampat yang memiliki jumlah tertinggi untuk spesies stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu. Jelas bahwa TNW merupakan tempat yang memiliki keanekaragaman stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu yang memperkuat arti penting kawasan konservasi ini bagi pelestarian keanekaragaman hayati (TNW 2008). Ditemukan sejumlah 647 ekor Serranidae dan 29 ekor Napoleon Wrasse Chelinus undulatus. Dari kerapu yang dicatat, hanya 100 ekor (kurang dari 1/6) merupakan spesies yang memiliki nilai tinggi dalam perdagangan ikan karang hidup (umumnya spesies Epinephelus dan Plectropomus). Bahkan bila kita secara konservatif menduga hanya 50% dari species target yang ada yang tercatat, total sejumlah 260 target spesies dalam waktu observasi selama 20 jam menunjukkan bahwa densitas yang relatif rendah dan ini menunjukkan telah terjadi tekanan dari usaha perikanan yang tinggi pada spesies ini (TNW 2008). Terdapat 9 jenis lamun ditemukan di perairan Wakatobi dari 12 jenis yang ada di Indonesia. Penelitian CRITC COREMAP-LIPI (2001) menyatakan bahwa secara umum padang lamun di perairan Wakatobi didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, dengan persentase tutupan 66%, kerapatan 738,2 tegakan/m2 dan total biomassa 236,21 gram berat kering/m2 (TNW 2008). Dari monitoring bersama BTNW dan joint program TNC-WWF sampai tahun 2006 tercatat 11 jenis cetacean ditemukan antara lain paus sperma (sperm whale), paus pemandu (pilot whale), paus bongkok (humpback whale), paus biru (blue whale), lumba-lumba hidung panjang (spinner dolphin) dan lumba-lumba hidung botol (bottle-nosed dolphin) (TNW 2008). Dua jenis penyu yakni penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) ditemukan di perairan Wakatobi. Monitoring BTNW dan TNCWWF menemukan 5 lokasi dominan tempat peneluran penyu, yaitu Pulau Runduma, Anano, Kentiole, Tuwu-Tuwu (Cowo-Cowo) dan Moromaho (TNW 2008). Beberapa jenis mangrove yang ditemukan di TNW tercatat 22 jenis dari 13 famili mangrove sejati, antara lain : Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal, Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora 128

79 hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia officinalis. Monitoring BTNW dan joint program TNC-WWF tahun 2006 menjelaskan kondisi mangrove sedang sampai baik. Pulau dengan mangrove terluas adalah Pulau Kaledupa, meliputi hampir seluruh garis keliling pulau. Tekanan manusia cukup tinggi atas mangrove di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia. Sedangkan untuk Binongko kondisi mangrove relatif terjaga, karena status mangrove di Binongko kebanyakan adalah hutan adat (TNW 2008) Sejarah Kedatangan Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi dan Kronologi Perubahan Sosial di Bajo Mola dan Mantigola Asal usul masyarakat Bajo sampai sekarang belum terindentifikasi dengan jelas. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya versi yang berkembang mengenai sejarah asal usul suku bangsa tersebut. Seorang administrator Portugis yang bertempat tinggal di Malaka, Tome Pires orang Eropa pertama yang menulis tentang orang Bajo (distilahkan sama) pada tahun 1515, menyatakan bahwa orang Bajo yang tinggal di Makassar adalah bajak laut yang terbesar di dunia. Mereka berlayar dari Makassar menuju Pegu, Maluku, Banda dan pulau-pulau lain di sekitar Jawa (Spillet dalam Zada Ua, 1996 : 25-30). Sementara menurut Soesangobeng dalam Suyuti, Orang Bajo berasal dari Wajo Sulawesi Selatan, dengan melihat persamaan nama antara Bajo dengan Wajo. Sementara menurut legenda, di daerah Bone tempat tinggal orang Bajo, burung-burung bertelur sangat banyak di pohon Balingre. Pohon itu roboh dan telur-telur itu pecah membanjiri daerah tersebut. Orang Bajo kemudian pergi meninggalkan rumah-rumah mereka dan membuat perahu-perahu sebagai tempat tinggal mereka (Zacot, 2002). Sementara menurut versi sebagian orang Bajo yang ada di Sulawesi Tenggara, orang Bajo berasal dari kampung Ussu, Cerekang, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Menurut peristilahan mereka kata Bajo berasal dari bahasa Bugis ta bajo-bajo yang berarti terbayang-bayang, dimana pada saat itu orang Bugis di kampung Ussu melihat sekelompok orang-orang ditengah laut, sehingga nampak terbayang-bayang (Suyuti, 1995) Culture Contact and Language Convergence (1985) dalam Pallesen (1985) melakukan studi komprehensif mengenai asal usul suku Bajo, studi didasarkan pada fakta-fakta mengenai asal bahasa dari Suku Bajo. Studi ini menyimpulkan bahwa Suku Bajo di Indonesia khususnya Bajo Mola berasal dari 129

80 wilayah Filipina bagian Selatan. Pada awalnya suku Bajo bermukim di wilayah Basilan, di wilayah Zamboanga, Selatan pulau Mindanao, dan sepanjang pesisir pulau Basilan di bagian tenggara laut Sulu yang diperkirakan pada Abad ke sembilan. Pada Abad ke sebelas dimulailah migrasi masyarakat Bajo, sejumlah kelompok terbagi-bagi dan terpencar-pencar. Ada kelompok yang bergerak menuju Barat daya melalui Sulu, dan melewati sepanjang pesisir Timur Laut pulau Kalimantan. Kemudian ada beberapa kelompok (kelompok Kalimantan bagian Utara dan Jama Mapun) yang kemudian melanjutkan pengembaraan dan bergerak ke bawah sekitar wilayah Timur Kalimantan (melalui Tawau dan Tarakan) (Pallesen 1985:121). Sather (1993) dalam Stacey (1999) berpendapat bahwa pergerakan masyarakat Bajo menuju Selatan Sulu dan Kalimantan diakselerasi oleh ekspansi dari jalur maritim setelah menemukan pemerintahan kesultanan Sulu pada abad ke 15. dari wilayah pesisir Timur dari Kalimantan, atau langsung dari Selatan Sulu, masyarakat Bajo berpencar menuju ke selatan menuju ke selat Makassar kemudian tiba di sepanjang pesisir Sulawesi dan berpencar keluar menuju bagian lain di Indonesia, kadang-kadang juga masyarakat Bajo berpencar sampai ke wilayah Eropa. Berdasarkan mitos dan legenda masyarakat Bajo di pulau Sulawesi (dan Bajo lainnya di Sabah dan Sulu), kampung halaman mereka adalah dari Johor semenanjung Malaysia. Dari Johor kemudian masyarakat Bajo terpencar ke Sulawesi Selatan dan kemudian menjalin hubungan lebih lanjut dengan kerajaan Luwu, Gowa dan Bone (Pallesen, 1985:5). Masyarakat Bajo yang bermukim di Kepulauan Wakatobi rupanya juga memiliki versi yang sama mengenai asal usul mereka. Menurut cerita putri Bajo yang berasal dari Johor yang setelah terpisah dari keluarganya kemudian bermukim di Sulawesi Selatan selanjutnya menikah dengan raja Makassar, kemudian dianugrahi empat orang anak yang kemudian mereka terpencar dan menguasai kerajaan Gowa, Bone, Luwu dan Soppeng. Keempat anak dari wanita Bajo ini berhasil mengembangkan kekuasaannya karena didukung oleh Kerajaan Johor (sebagai kerajaan terbesar Malaysia). Sather (1997) dalam Stacey (1999) mengungkapkan bahwa mitos ini lebih berhubungan dengan ideologi politik dan subordinasi dari masyarakat maritim di dalam rangkaian jalur perdagangan maritim daripada hanya sekedar bermigrasi yang sesungguhnya. 130

81 Orang Bajo untuk pertama kali membayar pajak pada tahun 1916, pajak tersebut disebut dengan kasudia, yang merupakan sejumlah kecil uang yang tidak mau mereka bayarkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Pajak ini dikumpulkan di kapita, yaitu semacam kantor perbendaharaan negara (ada satu di setiap daerah). Kemudian pajak tersebut diserahkan seluruhnya kepada Raja Bone (Sulawesi Selatan, daerah orang Bugis). Semua Orang Bajo di Sulawesi berbuat demikian (Zacot, 2008). Penyebaran dan kemudian menetapnya masyarakat Bajo di Sulawesi Selatan memberikan hubungan yang sangat erat dengan ekspansi ekonomi maupun politik kerajaan Bugis dan Makassar, serta pengembangan jalur perdagangan di seluruh Nusantara khususnya komoditas perikanan, khususnya teripang dan kulit penyu, sampai pada pesisir utara Australia (Fox dalam Stacey, 1999). Menurut Sopher (1977) dalam Stacey (1999) perdagangan teripang dan kulit penyu di wilayah Timur Indonesia secara historis didominasi oleh masyarakat Bajo, dan lokasi pencarian komoditas ini rupanya merupakan faktor penting di dalam penyebaran masyarakat Bajo di setiap wilayah Nusantara. Di Indonesia bagian Timur, masyarakat Bajo ditemukan telah tersebar secara luas dari Kalimantan Timur, dan Sulawesi melewati Maluku dan kurang lebih sepanjang Kepulauan Sumba bagian Selatan. Bajo yang tinggal di Sulawesi Selatan bermukim di pesisir Ujung Pandang (sekarang Makassar) dan di pulau Spermonde, kemudian sepanjang pesisir teluk Bone, dan lepas pantai pulau Sembilan (Pelras, 1972 dalam Stacey, 1999), kemudian di kepulauan di laut Flores (antara lain Selayar, Tanah Jampea, Bonerate, Karompa). Di Sulawesi Tenggara pemukiman Bajo ada di Kabaena, Muna, Buton, dan Kepulauan Tukang Besi 5, Pulau Tiworo, Teluk Kendari, dan Pulau Wawonii, dan bagian Utara La Solo. Di Sulawesi Tengah pemukiman Bajo terdapat di pesisir Timur dan di pulau Salabanka, Banggai, dan Kepulauan Togian. Di Sulawesi Utara, masyarakat Bajo bermukim di Teluk Tomini, Gorontalo dan Menado (Zacot, 2002). Selanjutnya Masyarakat Bajo juga bermukim dekat kota Balikpapan di bagian Timur Kalimantan. Di Utara Maluku, Komunitas Bajo ada di kepulauan Sula (Taliabo, Senana, dan Sular), Kepulauan di bagian Selatan Halmahera, di Gala, Jo Ronga, Kubi, Katinawe, dan pulau Dowora, Kepulauan Bacam, Pulau 5 Saat ini telah menjadi Kabupaten Wakatobi, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton. Kabupaten Wakatobi terdiri dari empat kecamatan, antara lain Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. 131

82 Obit dan Kepulauan Kayoa. Di Nusa Tenggara Timur dan di Nusa Tenggara Barat, komunitas Bajo dapat ditemukan di Lombok, Sumbawa, Flores, Adonara, Lomblem, Pantar, Timor, dan Kepulauan Roti, dan pulau-pulau kecil di lepas pantai yang berlokasi dekat dengan pulau-pulau besar ini (Verheijen, 1986 dalam Stacey, 1999). Memahami keberadaan Suku Bajo adalah hal yang penting, khususnya adat istiadat yang lahir dari dinamika social suku tersebut. Secara leksikal, Suku Bajo dalam bahasa Lamaholot yang artinya mendayung perahu. Pada beberapa tempat di Flores Timur kelompok ini disebut Wajo, yakni mendayung, alat mendayung perahu. Watan artinya Pantai, keseluruhannya hidup di pesisir pantai. Besidu artinya rumah panggung di atas air, kehidupan di atas air laut, bertengger di atas air laut (Saad, 2009).Di Kepulauan Wakatobi, suku Bajo dikenal dengan sebutan Wa du yang artinya pendatang dari laut. Orang-orang Bajo sendiri, termasuk juga yang menetap di Kepulauan Wakatobi menyebut dirinya sebagai Sama. Sama diartikan sebagai setara, tidak ada yang berbedabeda, semua orang Bajo sederajat. Dari beberapa sumber penelitian menyebutkan bahwa suku Bajau diartikan juga sebagai bajak laut. Menurut antropolog, hal tersebut berawal dari sejarah bahwa kalangan perompak di zaman dahulu diyakini berasal dari suku Bajo, yang artinya suku perompak. Banyak versi yang menyebutkan mengenai asal usul kedatangan suku Bajo di Sulawesi. Menurut Saad (2009) ada versi yang cukup melegenda, konon nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Kemudian sebuah penelitian sejarah lain yang mengacu pada naskah lontara tentang asal usul suku Bajo dan ditulis oleh orang Bajo bahwa suku Bajo merupakan keturunan nabi Adam yang pertama kali bermukim di Ussu Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan. Bencana banjir di kerajaan tersebut mengakibatkan banyak orang Luwu mengungsi ke kerajaan Gowa, termasuk orang Bajo yang dipimpin oleh Ipapu (Anwar, 2006). Menurut Mbo, seorang nenek yang telah berusia hampir 90 tahun lebih, Orang Bajo di Wakatobi berasal dari negeri Johor. Konon menurut Mbo seorang putri raja yang sangat rupawan dari negeri Johor hanyut dan terdampar di negeri Gowa, Raja Johor yang kehilangan putrinya segera memerintahkan seluruh rakyatnya untuk mencari Tuan Putri sampai dapat. Maka berlayarlah rakyat Johor secara berkelompok dengan dayung-dayungnya. Akan tetapi putri yang mereka 132

83 cari belum juga ditemukan, dan enggan kembali ke Johor, dan melanjutkan perburuannya. Pada akhirnya mereka tetap hidup di lautan atau menetap di pinggir pantai untuk beristirahat dan mencari air tawar. Biasanya orang-orang Bajo memilih tempat yang teduh artinya bebas dari terjangan ombak besar. Kelompok orang-orang Bajo yang hidup berpindahpindah dengan dayung-dayungnya atau soppe-soppe akhirnya berpencar ada yang ke Gorontalo, Bone, Menui, sementara kelompok lainnya yang saat ini mendiami kepulauan Wakatobi singgah di pulau-pulau di Pasar Wajo, Kabupaten Buton. Di Perairan Pasar Wajo tersebut kelompok soppe-soppe berkumpul. Keberadaan orang-orang Bajo di Pasar Wajo tentulah atas izin Sultan Buton 6. Alkisah adalah Abdul Djaelani, lelaki Bajo dari Pasar Wajo yang diutus oleh Sultan Buton untuk membuka wilayah pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, 6 Banyak versi yang mengemukakan sejarah kedatangan suku Bajo dan menetapnya suku Bajo di Kepulauan Wakatobi. Menurut Stacey (1999) lokasi awal kedatangan dan menetapnya masyarakat Bajo di kepulauan Wakatobi adalah di Lembonga, yang lokasinya saat ini dekat dengan Bajo La Hoa tepat sebelah utara tenggara Pulau Kaledupa. Kemudian orang-orang Bajo pada akhirnya pindah ke sisi lain Pulau Kaledupa yang saat ini dikenal dengan Desa Mantigola untuk menangkap ikan saat musim Timur, dan kembali lagi ke tempat semula untuk menangkap ikan pada saat musim Barat. Dibangunnya Desa Mantigola sebagai pemukiman yang tetap masyarakat Bajo saat itu atas izin Sultan Buton sebagai pemimpin pemerintah yang diakui oleh masyarakat Bajo. Alasan masyarakat bajo memilih Mantigola sebagai lokasi pemukiman yang permanen adalah karena Mantigola sangat dekat dengan Karang Kaledupa dibandingkan jika tinggal di Lembonga. Nama Mantigola sesungguhnya berasal dari kata menanti gula. Cerita yang melatarbelakangi pemberian nama ini karena dahulu adanya hubungan perdagangan antara pulau-pulau di Wakatobi dengan masyarakat di pulau Roti. Biasanya pedagang di Binongko berlayar ke pulau Roti untuk membeli gula air (gula dari pohon lontar) kemudian dijual kembali ke Wakatobi dan sangat diminati oleh orang-orang Bajo. Kemudian menurut versi Kasmin (1993) dalam Stacey (1999) menyatakan bahwa sebelum orang-orang Bajo datang ke kepulauan Tukang Besi (saat ini Wakatobi), orangorang Bajo tinggal di Pasar Wajo (di Pesisir Pantai selatan pulau Buton). Pada tahun 1850-an, beberapa perahu bidu dan perahu soppe melakukan survey untuk melihat kondisi dari wilayah kepulauan Tukang Besi. Kemudian dari survey itu, mereka menemukan pulau-pulau yang sangat strategis untuk dijadikan pemukiman dan kaya akan hasil laut. Setelah itu mereka kembali ke Pasar wajo untuk meminta izin kepada Sultan Buton, dan gayung pun bersambut, Sang Sultan memberikan izinnya kepada orang-orang Bajo untuk pindah ke kepulauan Tukang Besi. Kepindahan orang-orang Bajo ke Kepulauan Tukang Besi dipimpin oleh dua punggawa, pertama adalah Puah Kandora, dan Puah Doba. Mereka berlayar secara berkelompok dalam beberapa perahu dengan beberapa kepala keluarga di tiap-tiap perahunya. Pemberhentian pertama di Lia di Pulau Wangi-wangi. Kemudian perjalanan di lanjutkan ke Lembonga sebelah utara tenggara Pulau Kaledupa, dan kemudian menetap sementara di perahu bidu atau soppe dan kemudian mencari kehidupan dengan berburu dan meramu hasil-hasil laut. Dan pada waktu itu, mereka tetap hidup dengan system berpindah-pindah namun dengan wilayah yang lebih sempit. Misalnya selama musim angin timur mereka berpindah ke bagian tenggara Kaledupa atau Mantigola, dan mereka kembali lagi ke Lembonga selama musim Barat. Menurut kasmin, kedatangan suku Bajo, dan dibangunnya pemukiman yang tetap di Mantigola atas izin pemerintah dan masyarakat local pada tahun

84 dan Binongko sebelum ditempati oleh orang-orang Buton. Sultan mendengar kesaktian seorang Abdul Djaelani, karena wilayah kepulauan Wakatobi adalah wilayah baru maka tidak bisa sembarang orang yang membuka wilayah tersebut sebelum ditinggali. Sesampainya di pulau Kaledupa, rupanya Abdul Djaelani tidak mampu membuka wilayah Kaledupa. Menurut Mbo, dahulu pulau Kaledupa adalah pulau keramat. Pulau Kaledupa bermedan sangat berat, terdiri dari hutan tropis yang lebat, dan dihuni oleh jin-jin penunggu yang sangat ditakuti oleh orang-orang Buton. Karena gagal menjalankan titah Sultan Buton, maka Abdul Djaelani memerintahkan adiknya yang bernama La Ode Santo untuk melanjutkan tugas dari sultan membuka jalan masuk di Pulau Kaledupa. Sesampainya di pantai La Ode Santo menyampaikan kepada anak buahnya : jika kabali (golok) ini kutancapkan pada pohon dihutan nanti, dan kabali itu tertancap dibatangnya, maka jin-jin itu mengizinkanku untuk membuka pulau ini, jika tidak maka gagal lah usahaku membuka pulau ini. Dan ketika La Ode Santo mencoba menancapkan kabalinya ke batang pohon yang besar, seketika kabali tertancap. Maka berhasil lah usaha La Ode Santo membuka jalan dan perkampungan untuk orang-orang Buton saat itu. Dikemudian hari kampung yang dibuka oleh La Ode santo dikenal dengan nama kampung Buranga dan Ambeua. La ode Santo juga membuka jalan dari wilayah La Donda hingga ke Tewali. Menurut Mbo, di wilayah ujung pulau Kaledupa yaitu Tewali terdapat Batu bermodel senjata. Menurut Mbo, jika akan ada wabah penyakit yang akan menyerang orang-orang di Pulau Kaledupa, maka batu yang ada di Tewali berbunyi seperti tembakan. Bunyi itu diartikan sebagai tanda agar rakyat waspada terhadap serangan penyakit musiman yang akan menyerang. Setelah berhasil membuka jalan dan kampung di pulau Kaledupa, La Ode Santo kemudian melaporkan keberhasilannya kepada Sultan Buton. Maka, pertama datanglah orang-orang Buton ke Pulau Kaledupa dan terbentuk lah Barata Kaledupa. Sebagai hadiah kepada La Ode Santo dan orang-orang Bajo maka Orang-orang Bajo dipersilahkan untuk tinggal di Pulau Kaledupa. Karena orang Bajo datang paling akhir di Pulau Kaledupa, maka sebagai konsekuensinya orang-orang Bajo tidak memiliki tanah di daratan Kaledupa. Tanah-tanah di Kaledupa telah dimiliki oleh orang-orang Buton yang pertama kali datang dan tinggal di pulau Kaledupa. 134

85 Akhir riwayat hidup la Ode santo sangat tragis, karena setelah berhasil membuka jalan bagi kedatangan orang-orang Buton dan Bajo di Pulau Kaledupa, ia terbunuh. Beberapa informasi menyebutkan bahwa La Ode santo terbunuh oleh orang-orang yang telah menetap di Kaledupa. Penyebabnya karena ia dicurigai telah mengambil dengan sengaja tanah-tanah milik orang-orang Buranga. Jasadnya kemudian dikuburkan di tanah milik orang-orang buranga. Kuburannya dikeramatkan oleh Bajo Mantigola, La Hoa, maupun sampela, kuburannya dikenal dengan Bungkanu Wa du. Sampai saat ini orang-orang Bajo di Wakatobi mengkeramatkan Bungkanu Wa du, dan menjadikannya sebagai bukti eksistensi masyarakat Bajo di Kepulauan Wakatobi. Menurut versi yang lainnya, Barata 7 Kaledupa sendiri adalah kerajaan kecil yang menjadi negara bagian dari Kesultanan Buton.Orang-orang Bajo bagi orang-orang Kaledupa adalah orang-orang pendatang. Pada tahun 1950 dan 1960 adalah masa dimana terjadi pemberontakan gerombolan Kahar Muzaka DI/TII. Menurut Mbo, gerombolan Kahar Muzakar berasal dari Bugis. Pemberontak dari Bugis itu disebut oleh orang-orang Bajo dan orang Kaledupa dengan sebutan gerombolan. Menurut Ibu MM gerombolan lah yang harus bertanggung jawab atas tersingkirnya masyarakat Bajo dari Mantigola dan menyebabkan terpencarnya masyarakat Bajo ke Wilayah Timur Indonesia. Menurut Mbo pada masa itu ada beberapa orang asing masuk ke kampong Bajo. Kemudian beberapa orang asing tinggal di rumah salah satu orang Bajo di Mantigola. Tingkah lakunya mencurigakan karena makin lama pendatang asing tersebut datang semakin banyak. Diakui Mbo bahwa orang Bajo Ereke ikut bersama orang asing tersebut masuk ke Mantigola. Sehingga kuat dugaan Mbo bahwa orang Bajo dari Ereke tersebut memang mendukung gerombolan. Seiring dengan makin bertambahnya orang asing di kampong Bajo 7 Barata adalah kerajaan bagian atau district besar, sementara kadie adalah kampong atau distrik kecil yang dibawahi langsung pemerintahan pusat kerajaan yaitu kesultanan Buton (Wolio). Di dalam Kesultanan Buton, terdapat 72 Kadie dan 4 Barata. Empat Barata tersebut antara lain : (1) Barata Kaedupa ; (2) Barata Kulisusu ; (3) Barata Wuna ; (4) Barata Tiworo. Dalam wilayah Barata terdapat juga Kadie yang disebut sebagai limbo (kampong) yang bertanggung jawab pada lakina (pemimpin) Barata. Barata Kaedupa memiliki lima wilayah otonom yakni Pulau Kaledupa, Hoga, Lente a, dan Darawa meliputi daratan Pulau dan Laut. Menurut Hanan (2010) Sara Kadie dan Sara Barata diberikan kewenangan oleh pemerintah Kerajaan untuk mengatur pengelolaan wilayahnya masingmasing yang tidak bertentangan dengan Sara Kesultanan (Sara Wolio). Untuk menjaga keseimbangan pemerintahan pusat kerajaan dan Kadie, sara Kesultanan menempatkan bobato dan bonto sebagai pemimpin dalam kadie sekaligus anggota sara wolio. Fungsinya adalah mengepalai pemerintahan kadie dan perwakilan sara Kesultanan. 135

86 Mantigola saat itu, rupanya juga meningkatkan jumlah penculikkan para gadis dan ibu-ibu muda di Kaledupa. Menurut Mbo : Itu gerombolan suka culik perempuan di Kaledupa. Kalo itu perempuan gadis cantik maka akan dijadikan istri dengan cara kawin lari. Tapi kalau perempuan itu jelek dipake saja sama gerombolan.(wawancara, Maret, 2011). Menurut Mbo, orang Bajo Mantigola yang menyembunyikan gerombolan adalah kaki tangan gerombolan. Pada suatu saat orang Kaledupa dari Buranga berkunjung ke Mantigola dan melihat beberapa orang asing, dan curiga kalau itu adalah gerombolan. Sepulangnya dari Mantigola, orang Buranga tersebut melaporkan ke pemerintah di Kaledupa. Akibat laporan tersebut, maka dilakukan pengintaian oleh TNI. Ketika terbukti, kampung Bajo Mantigola diserang oleh TNI dan dibantu oleh masyarakat Kaledupa. Gerombolan berhasil dipukul mundur, dan menyingkir dari Kaledupa. Sementara orang Bajo yang dicurigai telah membantu menyembunyikan gerombolan, ditangkap dan dihukum pancung. Hukum pancung dilaksanakan di depan mesjid Bente, di Buranga. Merasa terdesak, dan ketakutan orang-orang Bajo Mantigola kemudian langsung meninggalkan tembok, rumah beserta isinya. Menurut pengakuan ibu MM : Karena kita takut mau dipotong sama orang Kaledupa, kita lari mi semua, kita tinggalkan rumah, yang bisa kita bawa saja. Kita lari mi dengan soppe-soppe kita untuk menyelamatkan diri kita. (Wawancara, Maret 2011). Kemudian, dalam pelarian itu, kita saling berpencar mi, beberapa kelompok soppe-soppe terapung di perairan Wanci. Merasa kasihan dengan nasib orang Bajo, maka sara Mandati kemudian memanggil punggawa Bajo, dan mengajak untuk bergabung dengan masyarakat Wanci Mandati yang memang tinggal di wilayah pesisir Wanci 8. 8 Menurut Stacey (1999) selama tahun 1956 dan 1957 adalah tahun dimana terjadi pergerakan besar-besaran oleh gerombolan. Beberapa orang Bajo mendukung gerombolan dan menjadi bagian dari anggota gerombolan tersebut, dan hal ini berlawanan keras dengan orang-orang Kaledupa yang sangat membenci gerombolan. Akibatnya orang-orang Bajo Mantigola terusir dari kampungnya, namun berhenti dulu ke Sampela. Karena orang Kaledupa kecewa dengan sikap orang-orang Bajo tersebut, maka orang-orang Kaledupa mengawasi dengan ketat setiap pergerakan orang-orang Bajo di Sampela. Sayangnya, orang-orang Bajo yang mengungsi di sampela diam-diam tetap memberikan dukungannya terhadap gerombolan. Merasa dikhianati, orang-orang Kaledupa langsung mengusir orang-orang Bajo. Dan pada akhirnya orang-orang Bajo pergi dengan tujuan masing-masing. Misalnya saja beberapa kelompok soppe-soppe pindah ke Langara di Pulau Wawonii, dan menetap disana sampai saat ini. Kemudian, beberapa kelompok lari ke Matanga di Pulau Banggai 136

87 Menurut Ibu MM, cukup lama juga masyarakat Mantigola hidup di Mola. Masyarakat Bajo diterima oleh masyarakat Mandati. Kemudian, Ibu Mummu menambahkan bahwa orang-orang Mandati terkenal jago berdagang, dan masyarakat Bajo merupakan konsumen yang potensial. Pola hidup masyarakat Bajo yang boros jika menyangkut perut, merupakan peluang bisnis bagi masyarakat Mandati. Menurut Ibu MM : Dulu orang-orang Mandati suka jualan segala macam barang. Saya ingat pedagang Mandati, subuh-subuh ina-ina (ibu-ibu) mendayung sampan dengan menaruh gelas lilin di atas kepalanya untuk menerangi jualannya sambil teriak sanggara! (pisang Goreng). Kalo sudah begitu, langsung kita beli sanggaranya (Wawancara, Maret 2011) Pada tahun 1965, adalah puncak penderitaan yang dialami oleh orangorang Mantigola yang berada di Mola. Pada saat itu terjadi inflasi besar-besaran. Menurut Ibu MM, saat itu dia masih kecil, seingatnya pada tahun itu dia mengenalnya sebagai saat mati uang. Seperti yang diungkapkan ibu MM : Waktu zamannya mati uang, kami menderita. Meskipun kami punya uang tapi kami tidak bisa membeli apa-apa. Orang tua saya yang akan berangkat naik haji, tidak jadi melaksanakan ibadah haji. Ini sertifikatnya, disini tertulis tahun 1965 ini lah masa mati uang terjadi (Wawancara, Maret 2011). Sebagian masyarakat Bajo Mantigola yang tinggal di Mola rupanya tidak kuat menghadapi masa mati uang ini. Ditambah dengan kondisi karang Kapota yang tidak memberikan hasil laut yang melimpah seperti di Karang Kaledupa. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Mantigola. Saat itu juga pemberontakan Kahar Muzakar telah ditumpas, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan oleh masyarakat Mantigola untuk kembali ke kampung halamannya. Pada akhirnya menurut ibu MM kembalillah orang-orang Mantigola ke kampungnya yang ditinggalkan dan menetap sampai saat ini. Dan bermukimnya dan Limbo di Sulawesi Tengah. Burningham (1993) dalam Stacey (1999) mengungkapkan bahwa rombongan Bajo Mantigola juga sampai ke Wuring, Maumere, NTT. Selain itu juga rombongan Mantigola juga sampai dan menetap di Pepela Pulau Roti NTT. Karena orang-orang Wanci Mandati mendukung gerombolan, akhirnya orangorang Bajo yang terusir dari Kaledupa diterima dan diijinkan untuk tinggal di Mola. Pada awalnya mereka masih tinggal di soppe-soppe, beberapa saat kemudian mereka mulai membangun rumah panggung kecil di wilayah Mola Selatan. Ditambahkan oleh Stacey (1999) bahwa dahulu perkampungan Bajo di bagi menjadi dua wilayah. Pertama adalah Bajo Mola Utara, dan kedua Bajo Mola Selatan. Pada saat orang-orang Mantigola datang ke Wanci, orang-orang Bajo yang tinggal dari awal di Mandati sejumlah 30 rumah mendiami Mola Utara. Sementara pengungsi dari Mantigola tinggal di Mola Selatan. 137

88 kembali orang-orang Bajo di Mantigola ini juga atas izin dari orang-orang Kaledupa. Perubahan dan kesejarahan orang-orang Bajo tidak berhenti disitu saja. Karena dengan keputusan mereka hidup menetap, lambat-laun perubahan social mendera setiap relung-relung kehidupan orang-orang Bajo, baik Bajo Mantigola maupun Bajo Mola. Pada tahun 1950-an, nelayan Bajo di Wakatobi merupakan nelayan yang sangat tradisional. Mereka melakukan kegiatan penangkapan ikan secara tradisional,seperti jaring dengan bahan baku yang terbuat dari jerami, yang disimpul dan dikaitkan satu sama lain sehingga membentuk jaring perangkap ikan, pancing yang talinya diikat sendiri, perangkap ikan bubu dari bamboo, sero dari batu dan bamboo, potas dari akar-akar pohon serta menggunakan obor pada saat menyuluh (nelayan menangkap ikan-ikan di karang pada malam hari saat air laut surut) dengan membakar daun kelapa kering, dengan menggunakan sampan kecil atau disebut dengan koli-koli. Alat tangkap panah dan tombak masih mendominasi pada pertengahan tahun 1950an. Pada saat itu tombak terbuat dari akar kayu sebagai pengikat besi ujung tombak. Namun diakhir tahun 1960-an nelayan Bajo mulai mengenal nylon sebagai bahan pembuat jaring, dan mengganti obor untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan dan teripang di karang dengan menggunakan petromax, di awal 1990an, nelayan Bajo yang kemudian mengganti lampu petromax dengan senter untuk mencari teripang, dan kemudian memodifikasi senter agar bisa dipakai dikedalaman tertentu untuk menangkap lobster di karang dengan cara menyelam. Penggunaan alat peledak untuk mencari ikan sesungguhnya telah dikenal oleh orang-orang Bajo sejak lama. Beberapa informan menyebutkan, bahwa nelayan Bajo menggunakan bom diperkenalkan oleh tentara Jepang, yang saat itu menduduki Indonesia. Pak Jun, seorang pengusaha hasil-hasil laut di Sampela mengungkapkan bahwa Kemampuan orang-orang Bajo menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan didasari oleh pengalaman dalam berperang dengan suku Tobelo, atau bagi orang-orang Kaledupa dikenal dengan suku Sanggila, suku yang gemar menculik. Perang tobelo terjadi puluhhan tahun yang lalu, Pak Jun, tidak tahu pasti kapan terjadinya. Perang terjadi di selat Tobelo, 138

89 selat antara pulau raha, Buton, dan Wilayah Kendari. Bahan-bahan perang seperti meriam beserta alat peledaknya dipakai untuk menangkap ikan. Sejak saat itu suku Bajo di Sulawesi Tenggara, mampu merangkai bom untuk kegiatan penangkapan ikan. Orang Bajo itu pandai pakai bom, beberapa kapal lawan orang-orang Tobelo kami habisi dengan meriam kami, setelah itu kami coba-coba untuk tangkap ikan, dan ternyata berhasil, banyak hasilnya, lalu kita lanjutkan. Pada akhir tahun 1960an hingga awal 1970 an adalah fase permulaan dan kejayaan orang-orang Bajo baik Mola dan Mantigola melakukan kegiatan dengan wilayah penangkapan yang lebih luas, melampaui batas provinsi dan negara. Pada tahun 1969 adalah saat dimulainya penangkapan ikan hiu oleh nelayan Bajo sekaligus sebagai masa keemasan baik bagi orang-orang Bajo Mola maupun Bajo Mantigola. Wilayah penangkapan antara lain di laut Timor dan laut Arafura, dan di perairan pulau Adele (Pulau Haria) daerah Utara Tenggara Australia, dengan menggunakan lambo yang masih menggunakan layar, dan angin sebagai tenaga penggerak, alat tangkap yang digunakan adalah dengan menggunakan pancing (handlines) atau dalam bahasa Bajo disebut dengan koelangan tansi (Stacey, 1999). Saat itu pendapatan terbesar memang dari menjual sirip ikan hiu. Para toke-toke yang khusus membeli hasil-hasil laut kemudian berkumpul di Pepela, yang tadinya menunggu di Ujung Pandang (saat ini Makassar). Harga sirip ikan hiu, pada tahun 1994 saja untuk potong biasa perkilogramnya seharga Rp , sementara untuk potong full dihargai sebesar Rp Saat ini menurut TJW, seorang pengumpul sirip ikan hiu di Mola mengatakan bahwa saat ini harga untuk sirip ikan hiu potong full dihargai sebesar Rp perkilogramnya. Pada tahun 1971 hingga 1975, nelayan Bajo baik Mola maupun Mantigola mulai melakukan kegiatan penangkapan penyu di Selat Yampi, Selat King, pulau Adele, dan Cape Laveque di perairan Australia. Keuntungan yang diperoleh luar biasa besarnya. Menurut Ibu MM, seorang wanita paruh baya yang tinggal di Mantigola, mengungkapkan bahwa masa keemasan orang-orang Bajo Mantigola adalah saat maraknya perdagangan penyu. Penyu yang diperoleh sebagian besar dijual ke Bali. Di Bali penyu-penyu tersebut dijadikan simbol ritual agama hindu, selain penyu dilepas di lautan, daging penyu juga dikonsumsi sebagai bahan lauk pauk. Seekor penyu dibeli pengumpul dari nelayan berkisar Rp. 139

90 Rp Kemudian pengumpul menjual ke Bali sebesar Rp. 1 juta per ekornya. Sementara untuk penyu coret (tidak masuk dalam ukuran standart, karena oversize) dihargai hampir senilai Rp. 2 juta perekornya. Namun, semenjak MoU BOX 1974 disepakati oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah Australia, perlahan-lahan terjadi penurunan jumlah nelayan Bajo Mantigola maupun Bajo Mola yang berangkat untuk mencari hasil laut di perairan Australia, khususnya di Pulau Datuk dan Pulau Ashmore. Berkali-kali nelayan Bajo Mantigola ditangkap karena kedapatan melakukan kegiatan penangkapan tepat di wilayah perairan Australia. Tidak hanya dipenjara, lambo yang dimiliki nelayan digiring ke pesisir wilayah Australia, dan kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar. Beberapa juga mendapatkan pemukulan dari angkatan laut Australia. Seperti yang diungkapkan oleh H. DJM, seorang nelayan yang pernah berkali-kali ditangkap, dan dimusnahkan lambonya oleh pemerintah Australia : Saya memang tidak punya nasib untuk merantau ke Pepela, karena pertama saya merantau saya kerja sebagai sawi untuk mencari di Pulau Datuk dengan naik lambo, tapi nasib kami tidak beruntung, karena Australia langsung tangkap kita, karena saat itu arusnya kuat, maka kapal lambo kami terbawa ke tengah-tengah melewati perbatasan. Mereka orang Australia bilang kamu sudah melewati batas Negara kami. Padahal kapal lambo kami hanya pake layar. langsung saya ditangkap oleh Australia, kapal lambo kami disita. Sebulan kemudian kami dipulangkan setelah dipenjara. Beberapa bulan kemudian saya datang lagi ke Pepela, tapi saya bawa body mesin kira-kira harganya Rp Seingat saya saya berangkat bulan September waktu itu mau bulan puasa. Saat itu saya bukan jadi sawi lagi tapi saya jadi Punggawa. Kata sepupu saya, mari kita melaut di perbatasan, kalo kita pakai bodymu kita bisa cepat lari kalo ada Australia. Pas kami tiba kira-kira di perbatasan, mulai kami pasang rawe, setelah itu kami pasang jaring dan beri umpan ikan goro-goro. Beberapa jam kemudian, datang helikopter Australia, sesaat kemudian muncul kapal perang Australia. Tadinya kami mau lari, tapi katany sepupuku jangan lari, kalo kita lari orang Australia akan marah. Orang Australia bilang, kamu sudah melewati batas Negara kami, kalian kami tangkap. Langsung saya bilang kami tidak tahu kalo ini sudah Australia. Maka setelah itu kami di tonda, kapal kami diikat. Selama sebulan kami dipenjara dan kami dikasih kerja di Australia lalu dipulangkan ke Indonesia melalui Bali. Tapi kapalku disita dan tidak dikembalikan lagi. Setali tiga uang, penurunan jumlah produksi lambo pun terjadi, karena rendahnya permintaan lambo dari Pepela. Tabel 6 berikut menunjukkan perubahan yang sangat drastis dari jumlah kepemilikan lambo di Mantigola, 140

91 akibat pelarangan bagi nelayan-nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia. Penurunan jumlah permintaan ini, sangat menohok pengusahapengusaha yang menawarkan jasa pertukangan dan pembuatan kapal lambo. Tidak hanya pengusaha perkapalan saja yang terpukul, nelayan-nelayan yang rajin bermigrasi ke Pepela, harus rela berputar haluan dengan kembali ke kampong halaman dan hanya mencari di karang Kaledupa, satu-satunya sumber nafkah yang paling memungkinkan bagi mereka. Tabel 6. Jumlah dari Kepemilikan Lambo oleh Masyarakat Bajo Mola Utara, Mola Selatan dan Mantigola selama tahun 1994 dan Desa tempat pemilik Lambo Jumlah Lambo Tahun 1994* Jumlah lambo Tahun 2011** Mola Selatan 24 0 Mola Utara 3 0 Mantigola 7 2 Jumlah 34 2 Keterangan : * data bersumber dari Stacey, 1999 ; ** data bersumber dari data primer, Modernisasi perikanan berupa alih teknologi armada penangkapan ikan dan alat-alat tangkap mulai dikenal oleh orang Bajo Mola khususnya pada tahun Pada periode waktu tersebut nelayan Mola yang kaya telah menggunakan kapal lambo bermesin dan alat tangkap mini purse seine. Tidak bisa dipungkiri, bahwa dengan munculnya modernisasi perikanan, maka eksplotasi yang tinggi terhadap sumberdaya perikanan mulai dilakukan. Ini merupakan suatu tanda juga, bahwa terjadi perluasan skala usaha perikanan. Berkembangnya pasar sentral Mola, rupanya juga memberikan peluang bagi meluasnya perdagangan ikan oleh orang-orang Bajo Mola. Fase selanjutnya bagi kehidupan orang-orang Bajo, adalah fase terbentuknya taman nasional Wakatobi. Suatu titik nasib orang-orang Bajo dalam memperoleh penghidupan. Pada awal terbentuknya Taman Nasional Konservasi Wakatobi (TNKW) pada tahun 1994, perubahan tidak begitu nampak dalam kehidupan orang-orang Bajo, ini dikarenakan kantor taman nasional berada di kota Bau-bau, karena saat itu Wakatobi merupakan wilayah kekuasaan kabupaten Wakatobi. Menurut pengakuan beberapa pengusaha Bajo di Mantigola, pada saat itu, meskipun TNKW telah terbentuk, namun tidak secara 141

92 signifikan mengganggu pola usaha para pengusaha Bajo dan nelayan-nelayan produsen. Ini karena, pola pengkontrolan wilayah atau zonasi TNKW tidak begitu ketat. Pihak jagawana sebagai aparat dari TNKW tidak sangat intensif menjaga wilayah perairan. Sehingga beberapa pengusaha kaya yang hidup dari ikan napoleon, dan penyu, masih bebas-bebas saja memperdagangkannya. Pada tahun 1993, potassium sianida mulai mengintervensi cara tangkap nelayan-nelayan Bajo. Target dari penggunaan potassium sianida ada;ah penangkapan ikan hias, yang sangat melimpah di beberapa gugusan karang di perairan Kabupaten Wakatobi. Namun, pada fase berikutnya, yakni fase otonomi Kepulauan Wakatobi sebagai kabupaten otonomi, berpisah dengan Kabupaten Buton, rupanya menjadi dua sisi mata uang bagi orang-orang Bajo. Bagi orang Bajo yang tidak progresif dan gagal beradaptasi, maka otonomi daerah ini malah semakin memiskinkan mereka, ini terjadi kepada orang-orang Bajo Mantigola. Orang Bajo Mantigola merasa bahwa sejak berdirinya kabupaten Wakatobi, maka ruang gerak mereka dalam mencari nafkah semakin sempit. Mereka juga tidak melakukan kegiatan penangkapan di wilayah perairan yang lebih luas, karena tidak didukung oleh kelayakan alat operasional untuk melaut yakni perahu. Namun, bagi orang-orang Bajo seperti orang Mola, yang mampu beradaptasi dengan perubahan ini, mereka mampu memanfaatkan segala bentuk peluang, karena dengan menjadi kabupaten, maka akses terbuka selebar-lebarnya terhadap segala bentuk perdagangan. Meskipun, kita menyadari bahwa Wanci telah menjadi jalur perdagangan sejak dahulu, tidak dimulai saat menjadi kabupaten. Sejak tahun 2004, yakni terbentuknya Kabupaten Wakatobi, jalur perdagangan semakin intensif. Gaung TNKW sebagai wilayah wisata konservasi dengan menjual keindahan terumbu karang, sesungguhnya juga memberikan informasi akan kekayaan potensi hasil-hasil laut yang bisa diperdagangkan oleh para eksportir luar. Melalui fase ini, para eksportir mulai menjemput bola ke Wakatobi, tidak lagi menunggu seperti pada era tahun 1980an. Internasionalisasi masyarakat Bajo Mola dapat ditelusuri oleh komoditi tuna yang berkembang tahun 2000, dan komoditi ikan kerapu hidup. Komoditi ikan tuna hanya bisa diakses oleh orang-orang Bajo Mola. Karena segala bentuk industry pendukung, maupun sarana dan prasarana pendukung hanya ada di Wanci. Bentuk-bentuk 142

93 industry pendukung seperti cold storage hanya ada di Wanci, karena tuna juga rentan akan kerusakan maka, diperlukan produksi es yang terus-menerus dari pengumpul tuna, dan pasokan listrik 24 jam hanya ada di Wanci, sementara di Mantigola komoditas tuna tidak ditangkap karena listrik hanya tersedia selama 12 jam, dari jam sampai pagi. Pada tahun 2008, sejak adanya regulasi global mengenai sertifikasi produk tuna bebas bakteri salmonella khususnya di Eropa sebagai tujuan ekspor utama tuna, maka teknologi loing mulai diperkenalkan dan dilakukan oleh pengusaha tuna di Mola untuk menjamin keberlanjutan usaha tuna mereka. Kegiatan loing 9 dan pengepakan tuna, para pengumpul tuna mempekerjakan anggota keluarga, biasanya yang masih bersekolah, system pengupahan, dan jumlah upah tidak teratur, karena mengikuti banyak sedikitnya gelondongan tuna yang disetorkan oleh nelayan. Saat ini, menurut H. BA, banyak perusahaan tuna di Makassar yang gulung tikar. Misalnya eksportir tuna di Makassar, PT. Prima Bahari bangkrut karena berturut-turut 3 kontainer yang berisi daging tuna ke Eropa dikembalikan, karena terkontaminasi bakteri salmonella. Satu container saja, sudah berisi 20 ton tuna. Satu kontainer harganya bisa Rp. 2 Milyar, itu belum termasuk biaya operasional untuk 1 kilogram tuna sebesar Rp. 100 ribu per kilogramnya. Oleh sebab itu, saat ini perusahaan mengharuskan setiap pengusaha tuna yang sudah tidak mengirim dalam bentuk gelondongan, harus melakukan loing tuna sesuai SOP. Misalnya saja, ruangan harus steril, bercat putih bersih, dan lantainya harus sudah bertegel putih. Pegawai yang meloing harus memakai celemek plastik bersih, dan memakai kaus tangan karet yang steril, begitu juga dengan alat potongnya. Anak-anak kecil tidak boleh bermain-main di ruang loing. Bakteri salmonella bisa masuk ke dalam daging tuna jika pengangan tuna salah. Perkembangan selajutnya yang mengiringi perkembangan perdagangan tuna adalah masuknya teknologi perahu kecil bermesin katinting (tuna boats). Dengan alat tangkap pancing tonda 10 dan pancing layang-layang. Kemudian 9 Loing adalah merupakan proses pengolahan ikan tuna, sebelum di kemas. Loing dilakukan dengan memisahkan badan tuna dengan kepala tuna. Kemudian buang ekor, isi perut, tulang dan sirip. Kemudian daging ikan tuna dipotong memanjang menjadi empat bagian. 10 Pancing tonda adalah pancing yang cara operasinya ditarik oleh perahu, dimana ikanikan buas yang melihat ada umpan bergerak terus menyambarnya. Kata ini ditaruh dalam tanda petik, sebenarnya alat tangkap yang dimaksud adalah masih sejenis alat tangkap 143

94 saat ini nelayan tuna mengembangkan suatu metode tangkap baru, dan mulai meninggalkan metode lajang untuk meningkatkan jumlah tuna yang akan ditangkap, upaya trial and error atau kah meniru dari orang lain membuahkan hasil, karena dengan metode baru ini, jumlah tangkapan tuna semakin besar. Sehingga orientasi nilai orang Bajo yang dahulu memandang alam sebagai sesuatu yang dahsyat dan manusia harus selaras dengan alam, jika manusia melanggar maka kemurkaan alam akan memporak-porandakan kehidupan orang-orang Bajo. Saat ini, orang Bajo Mola cenderung memanipulasi alam untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari alam. Seperti apa yang diungkapkan oleh MN : Hasil tuna semakin banyak setelah metode lama menangkap ikan dengan menggunakan lajang, atau layang-layang sudah mulai tidak digunakan lagi oleh nelayan. Metode nelayan yang lama, kurang efektif, karena harus menunggu ikan tuna muncul dipermukaan, baru bisa memasang umpan dengan menggunakan layang-layang. Layang-layang berfungsi untuk menggerakkan umpan ikan agar nampak hidup dan melompat-lompat. Saat ini nelayan tuna di Mola mengembangkan teknik pancing dengan menggunakan umpan cumi sesungguhnya, agar nampak hidup, nelayan mengikat cumi-cumi tali tasi/tali pancing, kemudian tali pancing diikatkan dengan batu sebagai pemberat tali umpan. Ketika umpan dimakan oleh ikan tuna, batu akan terlepas, dan ikan langsung ditarik ke permukaan oleh nelayan. Dengan cara baru ini, hasil tangkapan nelayan semakin berlimpah. Karena dengan cara baru ini kedalaman pancing bisa lebih dalam lagi, sekitar duapuluh depa bisa dijangkau oleh cara ini, sehingga ikan lebih mudah tertangkap. Namun, untuk memperoleh umpan cumicumi asli, pagi sekitar jam 4 subuh, nelayan sudah harus melaut untuk mencari umpan. MN sendiri tidak mengetahui dengan pasti apakah metode ini memang hasil ciptaan nelayan Mola sendiri, atau kah meniru dari nelayan lain. Ikan kerapu hidup sendiri mulai diperkenalkan oleh seorang eksportir dari Tanjung Pinang bernama Pak Abu pada tahun Dahulu orang-orang Bajo menangkap ikan dengan metode panah, tombak, dan pancing. Kondisi ikan kerapu yang dijual dalam kondisi telah mati, olahan kerapu diproses oleh perempuan Bajo dalam bentuk ikan yang diasinkan. Namun, setelah datangnya perdagangan ikan kerapu hidup, nelayan-nelayan di Wakatobi, khususnya Bajo mulai memanipulasi teknologi tradisionalnya untuk melakukan kegiatan jenis pancing ulur (hand and line), yang dioperasikan dengan kapal katinting. Menurut DKP (2004) dalam Susilo (2010) pancing tonda (trolling) adalah alat tangkap yang proses menangkapnya/memancing ikan di permukaan atau subpermukaan dengan menarik pancing yang diberi umpan, pada kecepatan 2-10 knot menggunakan kapal trolling biasanya untuk menangkap ikan tuna dan sejenisnya. 144

95 penangkapan ikan kerapu dalam keadaan hidup. Antara lain panah dan tombak tidak digunakan lagi untuk kegiatan menangkap ikan, karena membuat ikan kerapu yang tertangkap dalam keadaan mati. Teknik pancing pun mulai berkembang, karena teknik yang dikembangkan diupayakan untuk tidak membuat insang ikan kerapu terluka. Demikian juga dengan sampan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan kerapu juga dimodifikasi dengan memberikan ruang khusus untuk kolam kecil di dalam sampan tempat ikan kerapu hidup setelah ditangkap. Menurut seorang pengusaha di Mantigola, semenjak diperkenalkannya ikan kerapu hidup kepada pengusaha dan nelayan Bajo Mola, masa kegemilangan kemudian direngkuh oleh orang-orang Mola, khususnya pengusaha Bajo di Mola, setelah masa paceklik yang menerpa orangorang Mola ketika penyu telah dilarang untuk diperdagangkan. Menurut para pengusaha di Mantigola, pengusaha di Mola khususnya pengumpul ikan hidup berkembang pesat karena para pengusaha Mola mendapatkan modal dari perusahaan eksportir dari Bali, Jepang, dan Hongkong. Dengan modal tersebutlah para pengusaha Mola menggeliat usahanya. Pengusaha-pengusaha Mola diberikan bantuan modal dengan tujuan agar keramba apung di Karang milik perusahaan untuk ikan-ikan hidup di urus oleh pengusaha-pengusaha Mola.Menurut Hj. Rh : Keramba yang katanya milik pengusaha ikan di Mola itu, sebenarnya milik perusahaan besar eksportir. Pengusaha-pengusaha Mola itu hanya dijadikan tenaga upahan untuk mengurus keramba perusahaan. Misalnya saja Hj. Ni, Hj. Ei, H. KM, dan SO. SO itu hanya dapat bonus-bonusnya saja, kalo untungnya tidak ada, karena diambil sama perusahaan semua. Kalo ikan akan diangkut, SO ke Karang, setelah ikan diangkut, perusahaan meminta nota pembayaran. Setelah ikan tiba di Bali misalnya, uang langsung ditransfer ke nomor rekening SO, disisipkan dengan nota pembayaran itu. Saya ini kan bosnya SO dulu, saya yang uruskan ikan hidup di kerambanya itu perusahaan, jadi saya tahu persis cara kerja mereka. Tidak gampang memiliki karamba di karang, selain harga kerambanya yang relative mahal, yang paling menguras uang adalah masalah urus-urus izin pembangunannya. Biaya pengurusan ke pemerintah bisa sampai milyaran rupiah. Karena kalo tidak ada izin berarti illegal, dan pasti akan sering diperiksa sama aparat. Ada kalanya dalam sebulan ikan dijemput dua kali sampai tiga kali, ada kalanya ikan diambil 100 kg sampai satu ton lebih, semua tergantung banyaknya hasil tangkapan nelayan, yang punya perusahaan lah yang mengambil di karang, pengumpul di Mola mengecek berapa timbangan ikan di keramba 145

96 yang akan diangkut ke kapal, lalu membuat nota. (Wawancara, Tanggal 19 Maret 2011). Gambaran perbedaan kronologi kesejarahan orang-orang Mola maupun orang-orang Mantigola akan diperlihatkan pada matriks berikut ini : Matriks 6. Perbandingan Kronologi Perkembangan Masyarakat Bajo Mola dan Mantigola, No Suku Bajo Fase Hidup Berpindahpindah (nomaden) 1 Bajo Mola Teknologi penangkapa n ikan Luasnya jaringan perdaganga n Jalinan hubungan dengan eksportir Masih menggunakan teknologi tradisional Cenderung sempit, karena transaksi dalam bentuk pertukaran barang (barter) kepada siapa pun pihak yang ditemuinya. Belum dilakukan Menetap di Mola dan Mantigola (1960an- 1970an) Masih menggunakan teknologi tradisional Cenderung sempit, karena transaksi hanya dalam bentuk pertukaran barang dengan orang Mandati Belum dilakukan Fase Hidup Menetap Menangkap di Otonomi perairan Kabupaten Arafura, Timor, Wakatobi dan Australia (1996- (pertengahan sekarang) an) Mulai menggunakan teknologi tertentu, namun mempertahankan beberapa bentuk teknologi tradisional. Mulai terbuka jaringan perdagangan ke luar dengan membangun aliansi bisnis dengan toke Belum dilakukan Berjejaring Belum Belum Belum dilakukan Telah Mulai terjadi modernisasi perikanan, melalui peningkatan teknologi armada penangkapan. Kemudian inovasi-inovasi dalam kegiatan penangkapan, budidaya dan inovasi pengolahan hasil tangkapan tuna, khususnya teknologi loing. Cenderung lebih luas, eksportir jemput Bola Telah dilakukan, dan eksportir mulai jemput bola 146

97 dengan Bank Bentuk Penggunaan tenaga kerja 2 Bajo Mantigola Teknologi Penangkapa n Ikan Luasnya jaringan perdaganga n dilakukan dilakukan dilakukan. Belum dilakukan Masih menggunakan teknologi tradisional Cenderung sempit, karena transaksi dalam bentuk pertukaran barang (barter) Tenaga kerja adalah anggota rumahtangga Masih menggunakan teknologi tradisional Cenderung sempit, karena transaksi hanya dalam bentuk pertukaran dengan orang Kaledupa Tenaga kerja adalah anggota kerabat dalam bentuk nelayan sawi Mulai menggunakan teknologi modern, misalnya menggunakan mesin untuk armada penangkapan, namun beberapa juga masih mempertahankan lambo dengan bantuan layar. Cenderung lebih terbuka karena berhubungan dengan toke-toke di Pepela Tenaga kerja upahan dengan sifat yang kontraktual Beberapa orang nelayan yang mampu mulai menggunakan mesin untuk menggerakkan perahunya, dengan bobot yang terbatas, namun sebagian besar menggunakan teknik dan teknologi penangkapan yang masih tradisional, seperti panah, pancing, dan tombak. Pada beberapa komoditas seperti rumput laut dan lobster, jaringan cenderung lebih luas, namun tidak berhubungan dengan eksportir hanya pada tangan kedua. Cenderung sempit,pada beberapa komoditas yang beresiko tinggi karena transaksi hanya dilakukan dengan orang Bajo yang terkait 147

98 Jalinan hubungan dengan Ekspor Berjejaring dengan Bank Penggunaan tenaga kerja upahan Belum dilakukan Belum dilakukan Belum dilakukan Belum dilakukan Belum Masih dilakukan menggunakan anggota rumahtangga sebagai tenaga kerja Sumber : Data Primer Diolah, Belum dilakukan Belum dilakukan Masih menggunakan anggota rumahtangga sebagai tenaga kerja hubungan daparanakan Belum dilakukan Belum dilakukan Masih menggunakan anggota rumahtangga sebagai tenaga kerja Berdasarkan data tersebut di atas, dapat terlihat kecenderungankecenderungan perubahan sosial yang terjadi antara suku Bajo Mola dan suku Bajo Mantigola dalam hal percepatan transformasi ekonomi yang berbeda ; masyarakat Mantigola cenderung lambat perputaran ekonominya, sementara Bajo Mola bergerak dengan perputaran ekonomi yang cenderung lebih cepat. Dari beberapa tahap, mulai dari tahap hidup berpindah-pindah, hingga hidup menetap, Mantigola tetap mempertahankan pola usaha yang dikelola secara tradisional. Meskipun jalur informasi dan perdagangan relative lebih terbuka sebagai konsekuensi dari otonomi daerah kepulauan Wakatobi, namun itu tidak disambut positif oleh masyarakat Bajo Mantigola. Malah bagi mereka semua perubahan yang terjadi tidak mensejahterakan mereka, namun semakin memiskinkan mereka. Sementara orang Bajo Mola menganggap beragam perubahan sebagai suatu peluang emas, karena otonomi daerah membuka segala bentuk informasi dan inovasi serta, jalur perdagangan yang semakin lancar. Pada bab berikutnya akan dibahas dengan lebih terperinci bagaimana sesungguhnya wajah kapitalisme suku Bajo Mola dan Mantigola, dari sisi konteks agama dan religinya, rasionalitasnya, dan pemaknaannya sehingga perbedaan wajah kapitalisme antara Mola dan Mantigola dapat dipahami secara lebih mendalam. 148

99 5 WAJAH KAPITALISME LOKAL 5.1. Sejarah Lahirnya Kapitalisme Lokal Suku Bajo Perubahan ekonomi adalah suatu proses moral dan sekaligus perubahan material. Dampak perubahan terasa tidak hanya pada fakta lugas berupa pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. Di dunia Barat yang modern, pertumbuhan kapitalisme industri telah menggerogoti nilai-nilai tradisional, melawan hirarkhi sosial, dan bahkan mereorganisasi aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang paling mendalam. Masyarakat tradisional dengan struktur serta kebutuhan yang lebih stabil harus member jalan kepada suatu dunia dimana identitas dan selera senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status. Sekarang tentu saja, perkembangan yang khas ini tidak hanya terbatas pada dunia Barat. Seiring dengan menjalarnya transformasi besar ekonomi dan masyarakat dari Dunia Pertama ke Dunia Ketiga, maka demikian pula dengan tantangannya terhadap nilai-nilai dan moralitas yang telah diterima. Sebagai saksi kekuatan material transformasi ini, kita baru mulai memahami konsekuensi kulturalnya (Hefner, 1999). Dahulu, baik masyarakat Bajo Mola maupun masyarakat Bajo Mantigola yang dahulu hidup nomaden, hidup di atas soppe-soppe. Hidup berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Jika angin Barat, orang Bajo Mola berkumpul ke pesisir Matahora, sementara kalo angin Timur orang Bajo tinggal di pesisir Wanci, yang saat ini menjadi Mola. Hidup nomaden tersebut dilakukan setelah masyarakat Mola yang adalah masyarakat Mantigola yang terusir dari Mantigola karena gerombolan. Sebelumnya beberapa rumahtangga Bajo telah menetap di Wanci, tidak turut serta dalam rombongan soppe-soppe ke Lembonga. Beberapa rumahtangga tersebut saat ini keturunannya menetap di Mola Utara. Kemudian, masyarakat Wanci menerima masyarakat Bajo dan pada akhirnya membentuk suatu perkampungan di Mola. Menurut Hj. EI : Dahulu, kami hidup di atas soppe-soppe, menggantungkan kita punya hidup sama laut, jadi kita hidup berhemat saja. Kita juga tidak banyak tergantung sama orang darat. Dulu kita tidak banyak tau soal jual beli, kalo ada barang-barang apa saja kayak ikan segar langsung saja kita jual. Jualnya juga hanya dengan saling tukar saja. Misalnya saja orang mandati jual sanggara (pisang goreng), kita beli dengan ikan. Belum ada dulu pikir untung, yang penting apa yang kita mau 172

100 ada itu barang, karna kita butuh. Biasanya juga karena kita mau minta air tawar di darat, bisa kita tukar dengan kita punya ikan (Wawancara dengan Hj. Ei, 9 Februari, 2011). Begitu pula dengan orang Bajo Mantigola, kesederhanaan hidup dan pola perekonomian subsistensi dijalani oleh mereka saat hidup nomaden. Misalnya saat mereka berpindah dari Lembonga pada musim Timur, dan ke Mantigola pada musim Barat. Tidak berupaya untuk mengejar keuntungan, tetapi apa yang didapat hari ini adalah yang dikonsumsi hari ini juga. Tidak ada upaya untuk mencari keuntungan. Hubungan-hubungan sosial semata-mata kooperatif tidak individualistik. Penangkapan dengan panah adalah yang paling sering dilakukan. Kekuatan fisik sangat menentukan keberhasilan mengejar ikan di bawah laut, terutama kapasitas paru-paru. Awal perkembangan orang-orang Mola sebagai usahawan ditengarai awalnya disebabkan oleh peran orang-orang Wanci Mandati. Melalui pertukaran ekonomi, penetrasi nilai-nilai kapitalisme merasuk kedalam masyarakat Mola. Semangat untuk berbisnis juga muncul ketika beberapa nelayan Bajo melihat menggeliatnya usaha dagang yang dilakukan oleh orang-orang darat, yakni orang Wanci Mandati. Sebagai manusia yang kongkrit, merembesnya nilai-nilai kapitalisme bagi orang-orang Bajo oleh orang Mandati membawa mereka ke dalam dunia tertentu, dunia yang penuh dengan persaingan, spekulasi, dan manipulasi, sekaligus juga menemukan beragam dukungan sosial dalam mengembangkan bisnisnya, dan pada akhirnya pengembangan identitas dan nilai-nilai khusus mereka. Nilai-nilai kebendaan yang ditawarkan oleh orangorang Mandati melalui barang-barang dagangannya yang ditawarkan kepada orang-orang Bajo, misalnya piring dan gelas dengan merek-merek mahal dan impor yang dibawa oleh orang-orang Wanci Mandati sepunlangnya dari merantau dari Singapura dan Tawau, amat diminati oleh perempuan-perempuan Bajo yang kaya. Meskipun mereka tahu, bahwa piranti makan yang mewah tersebut tidak sehari-hari mereka pakai, malah dipajang dalam lemari kaca di ruang tamu sebagai simbol kemewahan. Artinya konsumsi orang-orang Bajo menyediakan ruang-ruang surplus bagi orang-orang Mandati. Menurut Hj. EI dan Ibu SI: Orang Mandati jago berdagang, coba lihat bagaimana kondisi mereka saat ini, Mereka saja yang orang-orang darat bisa sukses, kenapa kita tidak bisa (Wawancara dengan Hj Ei Tanggal 9 Februari, 2011). 173

101 Orang-orang Mandati yang menawarkan piring dan gelas impor, katanya harganya murah, daripada beli di Kendari. Dan kata orangorang Mandati mereknya mahal, biasanya kami pajang di lemari, jarang juga kami pakai (Wawancara dengan ibu Surni, 9 Maret, 2011). Motivasi yang besar dari beberapa nelayan Bajo Mola, dan kemampuan dan pengetahuan pengelolaan keuangan yang cenderung jarang dimiliki oleh orang-orang Bajo pada umumnya cenderung boros, yang diistilahkan oleh orang-orang kaya Bajo sebagai bakat (manajerial talent) akhirnya mengantarkan mereka pada keberhasilan usaha. Kemudian, strategisnya wilayah Wangi-wangi untuk kegiatan perdagangan juga merupakan faktor pemicu perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Bajo yang baru menetap di Wangi-wangi. Setelah mendarat di Wanci, banyak masyarakat Bajo yang kawinmawin dengan orang Wanci, ini juga merupakan pemicu perubahan sosial di Bajo, karena kultur masyarakat Wanci yang jago berniaga terserap di Bajo Mola secara perlahan-lahan melalui saluran perkawinan tersebut. Masyarakat Wanci sendiri menganggap masyarakat Bajo sebagai konsumen potensial untuk mengembangkan usahanya. Sifat masyarakat Bajo yang konsumtif digunakan oleh masyarakat Mandati sebagai kesempatan untuk mengembangkan pasar. Dahulu, masyarakat Mandati menjual barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras, ubi kayu, kemudian peralatan memasak, misalnya tempayan air (busu-busu), dan jajanan pasar, seperti kue-kue kecil. Sesuai dengan apa yang diungkapkan Hj. RA : Waktu saya masih kecil dulu, orang-orang Mandati baik laki-laki maupun perempuan sering buat tempat air dari tanah liat kami menyebutnya busu-busu. Biasa kami pakai untuk tampung air tawar di darat. Dahulu kita tidak bayar dengan uang kita tukar dengan hoppa. Hoppa adalah pelepah kelapa yang dijadikan sebagai pengganti kayu bakar untuk mengeringkan busu-busu.(wawancara dengan Hj. RA, Tanggal 19 Maret, 2011). Saat ini pengusaha Wanci Mandati banyak menguasai perdagangan bahan-bahan bangunan, perdagangan pakaian baru maupun bekas (RB), peralatan elektronik bekas, furniture bekas, dan jasa angkutan laut, baik kapal angkutan lintas pulau dan propinsi maupun jasa muat kargo antar pulau. Semua bentuk usaha ini sangat dibutuhkan oleh orang-orang Bajo Mola. Perdagangan bahan-bahan bangunan berkembang kian pesatnya, ini seiring dengan makin maraknya orang-orang Bajo membangun rumah permanen maupun rumah- 174

102 rumah semi permanen, ini juga karena perkampungan Bajo Mola semakin hari semakin menunjukkan bentukan daratan. Sementara baju-baju bekas bagi orang-orang Bajo juga sangat diminati, karena harga yang murah, dan kualitas pakaiannya yang memang sangat baik. Sifat konsumtif yang menjadi-jadi ini didukung juga dengan kepemilikan televisi oleh orang-orang Bajo di perkampungan Bajo Mola, dengan tayangan televisi lah yang kemudian menyediakan contoh lain dari konsumerisme atau untuk menerima norma-norma konsumsi dari beragam bentuk penayangan. Kenyataan ini sesuai dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat di wilayah pegunungan Tengger, Hefner (1999) menyebutkan bahwa penyebaran televisi di daerah lereng atas pegunungan Tengger telah menyediakan contoh lain dari tantangan untuk menerima norma-norma konsumsi. Keberhasilan orang-orang Mandati tidak terlepas dari peran orang-orang Bajo, karena diawal mula usaha berdagang di Pulau Buru, Jawa, Kalimantan, Sumatera, bahkan hingga ke Singapura, peran Bajo sebagai pemasok barangbarang dagangan orang-orang Mandati, antara lain sirip ikan hiu, teripang, lola, dan sebagainya berasal dari nelayan Bajo di Mola. Selain itu juga, sebelum memiliki kapal sendiri untuk berlayar, orang-orang Mandati juga meminjam kapal orang-orang Bajo Mola untuk berangkat membawa barang dagangan ke Pulau Buru, ke Pulau Jawa, hingga ke Singapura. Menurut Hj. RA pengusaha di Mantigola menuturkan bahwa : Dahulu masih kami tinggal di Mola setelah terusir karena gerombolan, kami lah yang beli semua dagangannya orang Wanci. Karena perahu kami orang-orang Mandati bisa pergi berlayar ke Jawa, dan ke Singapura bawa barang-barang dari sana lalu dijual lagi di Wanci. Di awal-awal kami tiba di Mola setelah terusir dari Mantigola Lambo kami dipinjam orang Wanci untuk mencari barangbarang, mereka orang-orang Wanci Mandati keliling ke Pulau Buru, kemudian Ke Jawa malah sampai ke Singapura. Saat kami diusir dari Mantigola, Perahu lambo kakek saya belum rampung, langsung kami dayung saja, singgah di Sampela sedikit diperbaiki, kemudian setibanya kami di Mola baru disempurnakan. Setelah rampung lambo kami, lalu kami pinjamkan ke orang Mandati untuk berdagang.(wawancara dengan Hj. RA, Tanggal 19 Maret, 2011) Selanjutnya, selain hasil adaptasi dengan golongan pedagang Wanci Mandati yang membentuk spirit berniaga, munculnya para kapitalis lokal Bajo tidak bisa dipungkiri terbentuk karena pengaruh ketokohan seorang pengusaha Cina bernama An Tje. Sebelum datangnya seorang perantau dan sekaligus 175

103 pengusaha dari Cina yang bernama An Tje, masyarakat Mola masih mempertahankan pola hidup tradisional. Dimana pola nafkah utama masyarakat Bajo adalah hanya menggantungkan pada kegiatan penangkapan ikan. An Tje datang disaat orang-orang Bajo gemar menangkap dan memperdagangkan penyu. Tertarik dengan kekayaan hasil laut yang sangat melimpah antara lain teripang, penyu hijau, tuna, napoleon, dan kerapu macan, An Tje kemudian membeli beberapa komoditas untuk dijadikan contoh barang kepada bos di Makassar. Setelah sekembalinya dari perjalanan menuju singapura, dan singgah ke Makassar, An Tje kemudian membuka usaha perdagangan hasil-hasil laut di Mola dengan tenaga upahan yang adalah orang-orang Bajo Mola. Tenaga upahan ini juga merupakan nelayan pengumpul yang dibina menjadi pengusaha. An Tje mengupah pekerja dengan beras dan bahan pangan lainnya. Selain itu An Tje juga mengajarkan bagaimana berdagang, atau membuka usaha perdagangan hasil-hasil laut. Transfer pengetahuan (transfer of knowledge) mengenai pengelolaan usaha, merupakan warisan yang luar biasa bagi perkembangan ekonomi masyarakat Bajo ke depan. Rata-rata pekerja An Tje saat ini telah menjadi pengusaha perintis hasil-hasil laut kelas kakap yang menguasai jaringan perdagangan. Menurut Hj. Erni, An Tje akhirnya menetap di Mola, dan menikah dengan perempuan yang berasal dari Ereke dan memiliki seorang putri. An Tje kemudian kembali pulang ke Singapura, dan membawa anak dan istrinya. An Tje kemudian menutup usia di Singapura. Hj EI mengungkapkan bahwa : An Tje lah yang paling berperan di dalam keberhasilan para kapitalis Bajo. Dia yang mengajarkan bagaimana mengembangkan usaha perikanan seperti teripang dan penyu. Salah satu pesan An Tje yang selalu dipegang anak buahnya adalah jangan membuka usaha hotel.(wawancara dengan Hj. Ei, Tanggal 19 Maret 2011). Setelah cukup ilmu, dan modal yang dikumpulkan telah layak untuk membuka usaha beberapa tenaga kerja An Tje kemudian mulai berusaha hasil laut sendiri dari usaha kecil-kecilan, pertama-tama memulai dengan mengumpulkan barang-barang/komoditas perikanan antara lain penyu, teripang, dan sirip dan ekor ikan hiu dari nelayan-nelayan Bajo. Kemudian, dengan berbekal keberanian, pertama mereka mencoba menjual komoditas tersebut dalam jumlah sedikit ke Bali, Makassar, Surabaya, hingga ke Pangkal Pinang. Dari upaya menjual tersebut, mulailah pengusaha-pengusaha menemukan bos, 176

104 yang adalah pengumpul dan sekaligus merupakan eksportir di wilayah tersebut. Setelah kembali dari Bali, biasanya pengusaha membawa keuntungan hasil penjualan dalam bentuk barang-barang, antara lain barang-barang elektronik, seperti televisi, radio, kipas angin, yang tidak dijual di kampung. Barang-barang tersebut kemudian dijual kembali, atau juga bisa dijadikan barang barteran dengan komoditas laut yang akan dijual kembali ke Surabaya. Tidak mudah rupanya menjalin kerjasama dengan bos di luar wilayah Wanci, tidak jarang juga para pengusaha-pengusaha Bajo mengalami kerugian, sehingga pulang ke kampung dengan tangan hampa, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat berusaha para pengusaha Bajo tersebut. Kegagalan bukan menjadi penghalang. Komunikasi terus dibina oleh pengusaha Bajo dengan Bos /eksportir, dari komunikasi ini pengusaha akan tahu spek barang yang akan dijual, misalnya ukuran standar kerapu yang akan dijual. Sesungguhnya unik melihat pola-pola hubungan orang Bajo dengan tetangganya. Beberapa bukti menunjukkan orang-orang Bajo menggeliat perekonomiaannya, dan pergerakan ekonomi juga dipengaruhi tetangganya dalam hal pertukaran ekonomi. Simbiosis ekonomi tidak hanya ditunjukkan antara hubungan Wanci dan Bajo, melainkan juga hubungan ekonomi antara Bugis dan Bajo yang sangat mesra. Misalnya Pelras (2006) mengungkapkan bahwa suku Bajo bukan sekedar suku pengembara laut yang hanya tahu menangkap ikan. Mereka, orang-orang Bajo sangat aktif mencari komoditi laut seperti kerang mutiara, teripang, sisik penyu, mutiara, kerang-kerangan, karang, dan rumput laut. Orang Bajo juga menyediakan berbagai komoditi pantai terutama dari hutan bakau seperti akar-akaran, kulit kayu bakau yang digunakan sebagai bahan celup, serta kayu garu, dammar, madu, lilin tawon lebah, dan sarang burung, baik yang terdapat di sekitar tempat tinggal atau pun dari tempattempat yang mereka kunjungi. Aktivitas ini melibatkan mereka dalam hubungan perdagangan dan barter dengan kerajaan Bugis dan Makassar. Para aktor kapitalis Mola mengawali usahanya dengan beragam saluran. Pada beberapa aktor perintis, usaha mulai dipelajari cara pengelolaannya oleh An Tje dan modal dari usaha penangkapan hasil laut secara kecil-kecilan. Misalnya Almarhumah Hj. Sabariah, Juhada, dan H. Kasim. Pengusaha hasilhasil laut perintis menjadi tokoh-tokoh masyarakat Bajo Mola yang sangat disegani dan sangat terpandang. Selainkarena kekayaannya, juga karena ia 177

105 menafkahi hampir sebagian besar nelayan Bajo di Wakatobi. Pengusaha perintis di Mola pada umumnya adalah kelas menengah yang meraih statusnya melalui suatu pengalaman historis yang cukup panjang, dengan proses mobilitas sosial vertikal, yaitu yang dimulai dengan menjadi buruh, kemudian berkat bakat dan pengalamannya bekerja di An Tje berhasil menjadi pemilik sekaligus majikan bagi ratusan nelayan Bajo di Wakatobi. Untuk beberapa aktor pengikut lainnya, memulai usahanya dengan bekerja kepada pengusaha perintis seperti Hj. Sabariah. Misalnya seperti MN pengusaha tuna, dan H. TU pengusaha teripang. Kasus MN : Kasus TU : MN, awal mulanya tertarik untuk membuka usaha hasil laut, ketika ikut-ikut bekerja dengan pengumpul penyu yang berhasil di Mola, yakni Hj. Sabariah ibu dari Hj. Erni. Saat bekerja dengan Hj. Sabariah, Ia menjadi tangan kanan Hj. Sabariah, dari situ lah Ia belajar bagaimana mengelola usaha, dan mengatur keuangan. Hj. Sabariah pula yang mengawinkan M. Nur dengan keponakannya (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011). H. TU usaha teripang dan hasil-hasil lautnya dimulai semenjak H. Tiu masih bujang. Awal mulanya mengenal kegiatan penjualan hasil-hasil laut, ketika bekerja pada salah satu pengumpul teripang di Mola, yakni Hj. Sabariah yang masih terkait hubungan daparanakan dengannya dari pengalamannya menjadi tenaga kerja itu lah dia gunakan untuk mengelola usahanya. Setelah modal siap untuk memulai usaha, akhirnya H. Tiu memutuskan untuk mandiri, dengan membuka usahanya sendiri (Wawancara dengan H. TU, Tanggal 3 Maret 2011). Kemudian untuk beberapa aktor pengikut, usaha dimulai dengan migrasinya mereka ke wilayah-wilayah tertentu seperti Tawau, Pepela, dan Makassar. Melalui migrasi, mereka mempelajari seluk-beluk usaha hasil-hasil perikanan, dan bahkan mengumpulkan modal usaha diperantauan. Misalnya pada kasus H. BA, seorang pengusaha tuna kelas kakap, yang memulai usahanya dari perantauannya ke Makassar. Kemudian, TJW yang adalah pengusaha teripang mulai tertarik dengan penjualan hasil-hasil laut, khususnya teripang ketika merantau ke Bau-bau untuk melanjutkan pendidikan menengah atas. 178

106 Kasus H. BA Keluarga saya di Bajoe, yang mengajarkan saya cara-cara mengolah tuna, sebelumnya dia bertanya tentang bagaimana hasilhasil laut di Wakatobi, saya ceritakan kalau di Wakatobi melimpah hasil lautnya. Setelah itu dia mengajak saya untuk mengolah tuna. Katanya untungnya besar, dari situ lah saya mulai mengenal bisnis tuna. Lalu dikenalkan lah saya kepada Philips di Makassar, kemudian tidak puas dengan system kerja Philips, saya pindah ke Indo Tuna, saat ini saya kerjasama dengan perusahaan NGF di Kendari, cabangnya Cheng Hu yang di Makassar (Wawancara dengan H. BA, Tanggal 11 Maret 2011). Modal usaha H. BA berasal dari uang hasil merantaunya. Karena modal usaha tuna sangat besar, dan saat itu keuangan H. Bulla belum bisa mencukupi modal awal usaha, akhirnya Ia mengajak iparnya untuk bekerja sama. Menurut H. BA : Modal saya dulu dari hasil merantau saya di Malaysia. Kemudian uangnya saya putarkan untuk usaha tuna. Tapi waktu pertama mulai usaha tuna, uang saya tidak cukup, akhirnya saya ajak ipar saya, ibu Hj. Sabariah untuk bekerja sama. Bayangkan satu hari kita bisa dapat ikan yang masuk satu ton hingga dua ton, jadi modalnya bisa ratusan juta rupiah. Setelah kami berhasil, kami jalan masing-masing. Tapi kami saling bantu kalau kami ada kesulitan untuk usaha tuna kami (Wawancara dengan H. BA, Tanggal 11 Maret 2011). Kasus TJW : Pertama-tamanya, waktu masih bujang, saya diajak sama sepupuku bantu-bantu olah hasil laut di Bau-bau waktu sekolah. Dari pekerjaanku itu lah saya tau cara berusaha hasil laut, kenal-kenal dengan Bos di Bau-bau. Lalu setelah saya pulang, dan menikah, istri saya bantu saya mencari teripang dan mata tujuh. Waktu itu kami dapat satu kilogram. Kami bawa ke Bau-bau, kebetulan kami bertemu dengan bos yang orang Bugis. Waktu itu kami dapat sekitar Rp. 75 ribu. Semenjak itu lah, kami menjalin kerjasama dengan bos kami di Bau-bau, bos juga memberikan sedikit pinjaman modal kepada kami. Usaha kami mulai berkembang karena hasil di sini melimpah, mulailah saya berusaha, dari modal yang kecil-kecil dulu sampai sekarang, bisa menyekolahkan anak (Wawancara dengan TJW, Tanggal 9 Maret 2011). Bagi beberapa aktor kapitalis lokal di Mola, ada juga yang merupakan kapitalis penerus. Mereka mewarisi usaha yang telah dibesarkan oleh kedua orang tua mereka. Namun, bukan berarti dengan memiliki usaha warisan yang telah berhasil dengan serta merta akan membawa keberhasilan juga kepada penerusnya. Sebab, pada beberapa kasus misalnya beberapa pengusaha Bajo yang kaya raya, setelah meninggal semua harta warisannya satu per satu 179

107 digadaikan. Beberapa kasus aktor penerus yang berhasil melanjutkan usaha warisan tersebut antara lain Hj. Ei, dan Hj. NI. Kasus Hj. EI : Kasus Hj. NI : Haji Ei merupakan contoh pengusaha Bajo yang sukses. Berhasil menjalankan bisnis warisan orang tuanya Hj. Sabariah.Hj. sabariah adalah pengusaha perintis yang mengusahakan penyu dan tuna di Mola. Sepeninggal sang ibu, Hj. Ei kemudian melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka bisnis kapal pengangkutan barang, dengan line Wanci-Bau-bau. Bisnis kapal pengangkutan barang bukan saja membantu usaha yang dikelolanya, karena ongkos angkut sudah tidak dipikirkan lagi, namun juga membantu pengusahapengusaha lainnya untuk mengirimkan barang. Tidak hanya itu saja, saat ini ia membuka usaha ikan kerapu hidup, dan lobster (Wawancara dengan Hj. Ei, Tanggal 9 Februari 2011). Hj. NI adalah pengusaha ikan hidup dan rumput laut yang berhasil meneruskan usaha yang dikelola oleh kedua orangtuanya. Bukan berarti ia kemudian tanpa usaha meneruskan usaha tersebut, ia dan mantan suaminya sambil melanjutkan usaha orangtua, Hj. Ni juga berjualan hasil tangkapan suami, kemudian sedikit demi sedikit modal dikumpulkan dan diputarkan. Usaha yang diteruskannya dimulai sejak tahun Karena usaha semakin berkembang maka mulailah ibu Haji memiliki Koordinator, yang bertugas untuk mengumpulkan hasil tangkapan nelayan. Saat ini, Hj. Nurhayati memiliki lima orang koordinator. Satu Koordinator membawahi 14 hingga 15 orang nelayan.(wawancara dengan Hj. NI, Tanggal 12 Maret 2011). Sementara untuk pengusaha hasil-hasil laut di Mantigola, mereka cenderung sebagai pengusaha perintis, dan pengikut. Bagi pengusaha perintis, awal mula usaha bukan seperti pengusaha perintis di Mola, yang menjadi buruh di tempat penjualan hasil-hasil laut yang dimiliki oleh seorang Tianghoa bernama An Tje melainkan usaha dikelola dimulai ketika mereka melakukan migrasi temporer di Pepela. Pepela menjadi awal mulanya menjadi nelayan sawi, dari menjadi sawi kemudian para pengusaha kemudian mengenal bos-bos Tionghoa pengumpul hasil-hasil laut baik di Surabaya, Bali, Makassar, maupun di Pepela sendiri. Setelah cukup ilmu untuk menjadi punggawa, kemudian kembali ke Mantigola untuk mencari beberapa sawi, dan membeli perahu untuk dibawa ke Pepela. Setelah beranjak menjadi nelayan punggawa, dari posisi sebagai nelayan punggawa tersebut para bos yang dikenalnya kemudian memberi modal usaha yang sifatnya mengikat pengusaha Mantigola agar tetap menyetorkan hasil-hasil laut yang dibawa dari Mantigola. Beberapa pengusaha perempuan di 180

108 mantigola yang berstatus sebagai perintis, memulai usahanya dari ikut-ikut suami mengantarkan barang dagangannya ke bos baik di Makassar maupun di Baubau. Dari situlah mereka belajar bagaimana mengelola usaha, menghitung untung rugi, dan bagaimana memutarkan uang hasil usaha. Misalnya Pak Jun dan Hj. RA, mantan istri dari Pak Jun yang menjadi pengusaha perintis di Mantigola. Kasus Pak Jun : Junaidi (59 Tahun) adalah pengusaha yang telah malang melintang dalam dunia perdagangan hasil laut. Junaidi sempat mengalami jatuh bangun dalam mengelola usahanya. Ia sempat merasakan zaman keemasan, dan juga merasakan kebangkrutan hingga tidak memiliki uang sama sekali. Usahanya dimulai pada tahun Awalnya Pak Juna adalah seorang nelayan sawi. Pada Tahun 1970, mulai lah Pak Jun beranjak merubah statusnya menjadi nakoda sekaligus sebagai punggawa body. Awalnya Junaidi merantau dengan memakai lambo miliknya dan berlayar ke Jawa. Di awal perantauannya dia membawa satu hingga dua kilo teripang, akar bahar, sarang burung walet, ekor dan sirip hiu. Tujuannya berlayar ke Jawa adalah untuk mencari pekerjaan demi memperbaiki nasib. Menurut pak Jun: Sudah saya lah pemain di Surabaya dan Bali. Saya paham sekali bagaimana berdagang hasil laut di Surabaya dan Bali. Kami selalu mencari peluang bagaimana memasarkan hasil laut menggunakan perahu lambo. Setibanya di Surabaya, ia kemudian mencari pengumpul-pengumpul besar yang menerima hasil-hasil laut. Setelah bertemu bos yang menjual hasil laut, kemudian ditunjukkan lah hasil laut yang dibawanya dari Mantigola. Melihat barang dagangan Pak Jun, bos Cina sangat tertarik untuk bekerja sama. Setelah berkali-kali bolakbalik membawa hasil laut untuk dijual ke Surabaya, barulah Pak Jun berani menjalin kerjasama dengan satu Bos tertentu saja (Wawancara dengan Pak Jun, Tanggal 19 Maret 2011). Kasus Hj. RA : Hj. RA (56 tahun) adalah seorang pengusaha teripang yang jatuh bangun mengembangkan usaha teripangnya. Hampir 36 tahun Hj. Rutina mengusahakan rumput laut. Usaha ini dikembangkannya setelah menikah dengan Junaidi seorang lelaki Bajo yang menjadi pengusaha besar di Sampela. Dahulu ketika masih bersuamikan Junaidi, adalah masa-masa gemilang usahanya. Namun, setelah suaminya meninggalkannya dan pisah karena Hj. RA tidak ingin dimadu, Hj. RA mengelola usahanya sendiri. Hj. RA adalah pengusaha teripang di Mantigola. Teripang yang dikumpulkannya dari nelayan-nelayan kecil kemudian dijual di Mola, atau bisa juga dijual di Langge Kaledupa. Pernah juga menjual 181

109 teripang langsung ke Bau-bau, dan ke Bali ketika masih bersuamikan Junaidi. Menurut Hj. RA : Dulu waktu masih sama-sama Jun, saya antar langsung teripang itu ke Bau-bau dan Bali. Awalnya saya hanya ikut-ikut suamiku pergi bawa barang, lama kelamaan saya ikut-ikut cari uang juga (wawancara dengan Hj. RA, Tanggal 20 Maret 2011). Sementara untuk pengusaha pengikut di Mantigola, dimulai dengan ajakan sang daparanakan di Mola yang dahulu telah sangat sukses di Mola. Sedikit demi sedikit modal dikumpulkan dari hasil mengolah hasil tangkapan suami. Beberapa pengusaha malah mengaku diberi pinjaman modal dari sang daparanakan, namun dengan prasyarat bahwa mereka harus menjual hasil laut yang mereka peroleh kepada sang daparanakan di Mola. Namun, ada juga daparanakan di Mola yang telah sukses berusaha lobster di Mola yang mencarikan bos eksportir kepada pengusaha di Mantigola. Misalnya Hj. DH pemilik usaha rumput laut, usaha teripang, pemilik warung kelontongan, perbengkelan, usaha lobster, dan usaha ikan kerapu hidup, dan BR, seorang pengusaha lobster di Mantigola. Kasus Hj. DH : Hj. Dh (37 Tahun) adalah pengumpul lobster, rumput laut dan ikan hidup, maupun ikan mati. Usahanya dimulai dari keinginannya membantu suaminya dalam memasarkan hasil tangkapan suaminya, dan ajakan dari daparanakannya Hj. EI. Setelah melihat adanya peluang, kemudian ia mencoba untuk memutarkan keuntungan dari hasil penjualan hasil tangkapan suaminya untuk membeli hasil tangkapan nelayan yang nilainya relative tinggi, kemudian Hj. Dh menjualnya kembali ke pengusaha yang adalah kerabatnya (daparanakan) di Mola. Untuk lobster Hj. Dh akan menyetor kepada Hj. Ei di Mola yang juga telah memberikan bantuan modal kepadanya (Wawancara dengan Hj. DH, Tanggal 26 Maret, 2011). Kasus BR : Bapak Bahar yang kini telah berusia 45 tahun, adalah seorang nelayan sekaligus pengumpul lobster di Mantigola. Bapak Bahar sendiri memulai usahanya karena diajak kerabatnya di Soropia untuk mengirimkan lobster ke salah satu Bos di Kendari. Kerabatnya di Soropia membantu dalam hal mencarikan Bos di Kendari. Modal usaha berasal dari Bapak Bahar sendiri dan tidak ditampik modal juga sedikit banyak juga dibantu oleh kerabatnya, usahanya di mulai dengan modal yang seadanya. Bagi Bapak Bahar, usaha lobster merupakan usaha yang sangat menguntungkan. Dibandingkan komoditas laut yang lain antara lain ikan hidup, teripang, dan tuna, lobster adalah usaha yang menguntungkan dan cenderung aman 182

110 dari resiko kerugian (Wawancara dengan Pak BR, Tanggal 15 Maret, 2011). Tidak semua desa Bajo dapat berkembang dengan cepat selayaknya desa Mola di Pulau Wanci. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa strategisnya wilayah Wanci sebagai ibu kota kabupaten, dan secara historis orang-orang wanci dalam hal ini orang Mandati telah lama mengembangkan jaringan perdagangan ke Pulau Buru hingga ke Singapura mempengaruhi laju perkembangan ekonomi di Mola. Belum lagi dengan perlakuan masyarakat Mandati terhadap masyarakat Mola yang dianggap sebagai pasar potensial, menyebabkan pembauran menjadi lebih mudah, dan pada akhirnya penetrasi kapitalisme juga mampu menembus dinding orientasi nilai masyarakat Bajo Mola. Berbeda dengan Mola, Mantigola sebagai wilayah awal keberadaan dari sebagian besar orang-orang Bajo Mola sebaliknya bergerak lebih lambat. Mereka masih mempertahankan kesahajaan mereka, dengan hidup di atas laut, meskipun tidak hidup lagi di atas soppe-soppe. Mempertahankan sebagian besar cara-cara tradisional dalam kegiatan penangkapan ikan. Misalnya saja nelayan Bajo Mantigola identik dengan nelayan yang menggunakan panah untuk menangkap ikan karang jenis kerapu, ekor kuning, katambak. Sementara pancing untuk menangkap cakalang, tuna, dan ikan-ikan pelagic lainnya, bubu untuk menangkap ikan-ikan karang, dan dua buah rompong dimiliki oleh nelayan Mantigola untuk menangkap ikan-ikan pelagic kecil. Perkembangan ekonomi semakin mandek karena adaptasi dengan masyarakat darat yakni orang-orang Buton Kaledupa yang menempatkan orangorang Bajo sebagai golongan masyarakat rendahan. Jika kita menilik kembali sejarah kedatangan orang-orang Bajo di Lembonga Kaledupa pada bab sebelumnya, yakni bab 4 mengenai sejarah kedatangan suku Bajo di Kepulauan Wakatobi, dan tersingkirnya orang-orang Mantigola akibat keberpihakannya terhadap gerombolan, maka dengan posisi orang-orang Bajo dalam sistem social orang-orang Kaledupa, dan muncul ketidakpercayaan akibat pengalaman masa lalu, menyebabkan ketidakhadiran kondisi yang kondusif dalam mengembangkan ekonomi. Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang kaledupa dengan istilah amai wa du sebagai golongan masyarakat yang 183

111 terendah yakni setara dengan kelompok papara 11 atau golongan masyarakat budak. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa. Selain juga dengan pengalaman keterlibatan mereka terhadap gerombolan DI/TII, maka alasan-alasan tersebutlah yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan intimidasi terhadap masyarakat Bajo. Hinaan dan cercaan dari orangorang Kaledupa dialami oleh masyarakat Bajo. Masyarakat Bajo baik di La Hoa, Sampela, maupun Mantigola Umala juga tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun di daratan pulau Kaledupa. Orang-orang Bajo hanya menjadi buruh kebun yang bertugas untuk membersihkan dan merawat tanaman kelapa milik orang-orang Kaledupa. Tiga kampung Mola di Kaledupa identik dengan warna kemiskinan dan ekonomi yang mandek. Dari pengamatan yang dilakukan selama penelitian, dari dua pasar yang ada di Kaledupa, tidak ada pasar yang berkembang selayaknya pasar yang ada di Mola. Sungguh aneh memang, daerah yang kaya akan sumberdaya ikan seperti di Pulau Kaledupa, namun untuk membeli seikat ikan segar saja harus menunggu hingga siang hari, menunggu orang-orang Bajo dengan koli-kolinya membawa ikan hasil tangkapan. Tidak jarang juga orang-orang yang berbelanja di pasar harus kecewa karena tidak ada ikan. Warung-warung kebutuhan juga sepi peminat, mungkin juga karena harga barang yang selangit. Tidak hanya perkembangan ekonomi saja yang mandek, melainkan jauh dari hal tersebut, adaptasi yang dilakukan oleh orang-orang Bajo terhadap orang Kaledupa karena mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, juga pada akhirnya menyebabkan keengganan orang-orang Bajo ikut aktif menggeliatkan perekonomian di Pulau Kaledupa. Menurut pengakuan ibu MM, bentuk-bentuk perlakuan orang darat Kaledupa yang tidak manusiawi, misalnya orang Bajo menjual ikan di pasar Sampoawatu, kemudian orang darat yang membeli ikan menawar harganya, jika orang Bajo tidak sepakat dengan harga ikan yang 11 Sistem pelapisan social masyarakat Kaledupa, didasarkan pada landasan keturunan siapa dia berasal (ascribe status). Pelapisan social masyarakat Kaledupa terbagi atas empat strata. Antara lain strata Golongan kaomu adalah golongan masyarakat kelas atas yang memiliki status sebagai golongan masyarakat bangsawan dan penguasa yang menguasai ranah eksekutif. Pada lapisan kedua adalah kelompok bangsawan walaka yang menguasai ranah legislative. Dilapisan ketiga adalah golongan masyarakat maradika yang adalah pegawai dan pedagang. Lapisan bawah adalah golongan masyarakat papara yang merupakan golongan budak, buruh dan pekerja kasar. 184

112 ditawarkan oleh darat, ikan biasanya dirampas, kemudian orang darat akan memaki-maki orang Bajo, bahkan ada yang dipukuli dan ikan tidak dibayar oleh orang darat yang sedang mabuk. Seperti apa yang diungkapkan oleh Ibu MM : Bagaimana mau ada pasar di Kaledupa, kita kadang malas mi jual ikan ke orang darat. Coba lihat tidak ada pasar yang berkembang. Pasar Sampoawatu saja hanya ramai dalam waktu sebulan saja semenjak dibuka untuk pertama kalinya, setelah itu sepi. Bagaimana juga kita sering diambil kita punya ikan, kalo kita kasih harga, baru ada juga orang darat yang jahat tidak mau menawar katanya terlalu mahal, pernah ikan kita dirampas, baru kita dihina-hina. Pernah juga kita dipukuli sama orang darat yang mabuk habis minum-minum baru ikan kita tidak dibayar (wawancara dengan Ibu MM, Tanggal Maret, 2011). Pengakuan ibu MM dikuatkan dengan pernyataan Ibu RGH yang mengungkapkan : di Kaledupa susah beli ikan di Pasar. Padahal di sini banyak sekali ikan. Ini karena pasar di Kaledupa tidak berkembang. Sudah tiga kali pasar dibangun di Sampara, Kasawaru, dan Sampoawatu tapi tidak berkembang juga. Kami malas bawa ikan ke darat, saya pernah bawa ikan ke darat, orang-orang darat yang jahat tawar ikanku, saya tidak mau ditawar ikanku karna terlalu rendah, malah di tampar saya. Kemudian saya bawa ke orang darat yang lain. Tapi orang yang pukul saya bilang ke orang yang mau beli ikanku, jangan kamu beli ikannya dia jual mahal itu (Wawancara dengan Ibu RGH, Tanggal 25 Maret 2011). Karena perlakuan yang diskrimatif, akhirnya membentuk watak Bajo yang cenderung penakut. Sifat ini kemudian digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengintimidasi masyarakat Bajo Mantigola dalam rangka PEMILUKADA. Menurut pengakuan Ibu Mummu, ada oknum dari salah satu calon bupati yang mencoba mengintimidasi nelayan Mantigola dengan menakut-nakuti orang Bajo jika tidak mendukung calon yang diusungnya maka orang-orang Bajo tidak akan diberikan hak untuk dikuburkan di daratan Kaledupa, dan orang Bajo tidak akan diberikan lagi air tawar. Mantigola sendiri mengalami masa keemasan, ketika perdagangan penyu sisik dan penyu hijau marak diperdagangkan, dengan cara-cara tradisional tentunya. Dan tidak dapat dipungkiri juga nelayan Bajo saat itu juga marak menggunakan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan dalam kegiatan penangkapan, dan saat itu memang belum ada pelarangan seperti saat ini setelah Wakatobi berstatus Taman Nasional. Permintaan yang tinggi terhadap penyu hijau dari Bali, membuat banyak orang-orang Mantigola naik haji, suatu 185

113 lambang prestise bagi masyarakat Bajo. Barulah saat taman nasional terbentuk pada tahun 1994, pelarangan terhadap kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan, dan ketegasan tersebut semakin menguat manakala Wakatobi berotonomi menjadi Kabupaten maka kegiatan perdagangan penyu dihentikan, dan dilakukan pengawasan yang sangat ketat oleh pihak jagawana taman nasional. Masa-masa kemakmuran juga terjadi ketika nelayan-nelayan Bajo Mola Mantigola masih bisa menangkap hasil-hasil laut di wilayah perbatasan Indonesia-Australia. Di musim-musim tertentu, rombongan kapal lambo yang terdiri dari nelayan-nelayan sawi maupun punggawa berangkat ke Pepela untuk melakukan penangkapan hasil-hasil laut seperti mencari sirip ikan hiu, lola, penyu, dan tuna. Mantigola juga memasok lambo bagi nelayan-nelayan di Pepela. Mantigola sendiri adalah sentra pembuatan lambo, selain Mola Utara di pulau Wanci. Mencari nafkah dengan melaut pada daerah penangkapan yang luas, dan pada waktu yang relative cukup lama, ini sifatnya sebagai bentuk migrasi temporer disebut Lama. Menurut Stacey (1999) lama diartikan sebagai berlayar atau untuk berlayar. Tujuan lama adalah melakukan kegiatan penangkapan, pengangkutan kargo, atau kegiatan membeli barang dan menjual kembali untuk masa periode tertentu. Namun, semenjak MoU BOX 1974 disepakati oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah Australia, seperti yang telah dibahas pada bab 5 sebelumnya, menunjukkan bahwa pelarangan tersebut telah memukul mundur perkembangan orang-orang Mantigola. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa merantau ke Pepela, dan kemudian melakukan kegiatan penangkapan di perairan Australia dianggap sebagai sumber nafkah yang mengantarkan beberapa orang Mantigola dalam kelimpahan materi. Terjangan gelombang lainnya yang mulai meruntuhkan daya juang nelayan dan pengusaha di Mantigola adalah dijadikannya kepulauan Wakatobi sebagai Taman Nasional pada tahun 1996 dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW), dan otonominya Wakatobi menjadi Kabupaten. Pada tahun 2003, wilayah kepulauan Wakatobi menjadi kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton. Zonasi bagi nelayan di Mantigola menjadi momok yang menakutkan bagi nelayan di Mantigola. Bagi mereka zonasi sebagai pembunuhan secara perlahan-lahan bagi nelayan Bajo. Beberapa tineliti juga 186

114 mengungkapkan bahwa selain karang, orang-orang Bajo di mantigola juga tidak bisa lagi mengambil kayu-kayu bakau di hutan bakau. Seperti apa yang diungkapkan oleh Hj. RH : Dulu sebelum zonasi taman nasional, kami bebas menjual ikan di Karang, bos-bos di Mola tinggal ambil di karang, sekarang kami susah mencari. Yang susah yang mencari, yang menjual seperti kami juga semakin susah, apalagi kalo kami tertangkap, puluhan juta harus kami bayar biar kami bisa lolos dari kurungan, biaya yang kami keluarkan besar sekali. Sekarang hampir setiap minggu jagawana patrol di karang. Kami ditangkap oleh jagawana seperti pencuri saja, dulu kami bebas ambil apa saja, padahal jagawana itu bukan yang punya laut. Kalo kami dilarang-larang mencari di karang, dan hanya boleh ambil di pinggir-pinggir pulau atau pesisir pulau saja, darimana kami memperoleh uang untuk makan dan menyekolahkan anak kami. Di Karang saja terkecuali kami mengambil yang mahal-mahal baru bisa dapat untung lebih. Uang saya habis hampir 55 juta untuk keluarkan Pak Haji suami saya dari kurungan, itu sudah berkali-kali, jadi sudah ratusan uang saya habis. Sekarang di Mantigola cukup untuk makan saja, kalo mau dapat berlebih sekarang susah. Banyak pengusahapengusaha Bajo di Mantigola ini akhirnya mundur. Penyu saja sekarang dilarang, tapi karena kita mau hidup juga, kita diam-diam jual, kami pasrah kalo mau ditangkap, kami hanya mau hidup saja. Yang penting kami tidak mencuri di rumahnya orang. Kalo kami mengambil sesuatu di karang meskipun terlarang itu tidak apa-apa karena itu sumber kehidupan kami, dan karang itu milik kami (Wawancara dengan Hj. RH, Tanggal 16 Maret 2011). Perjuangan orang-orang Bajo di Pulau Kaledupa untuk mencari nafkah sesungguhnya menjadi berlipat-lipat dibandingkan orang-orang Bajo di Mola. Orang-orang Kaledupa tidak memberikan iklim kondusif bagi perkembangan perekonomian masyarakat Bajo. Roda perekonomian tidak bergerak dengan cepat. Padahal berdasarkan potensi ekologis, Pulau Kaledupa lebih kaya akan sumberdaya alam dibandingkan dengan pulau Wanci. Tidak jarang, orang-orang Bajo mendapatkan perlakuan kasar dari orang-orang Kaledupa. Perlakuan itu tidak terjadi saat ini, tapi terjadi sejak orang-orang Bajo hidup menetap di Pulau kaledupa. Berdasarkan konteks sosialnya, masyarakat Kaledupa pada zaman Kesultanan Buton adalah sebuah kerajaan kecil (Barata) yang mengakui kekuasaan atau takluk dengan kekuasaan kesultanan Buton. Orang-orang Kaledupa sendiri terkenal memiliki perangai yang tegas. Sebagai suatu sistem social, masyarakat kaledupa terdiri dari empat kelas social, berdasarkan keturunan (ascribe status). Golongan Kaomu adalah golongan masyarakat kelas 187

115 atas yang memiliki status sebagai golongan masyarakat bangsawan dan penguasa yang menguasai ranah eksekutif. Pada lapisan kedua adalah kelompok bangsawan Walaka yang menguasai ranah legislative. Dilapisan ketiga adalah golongan masyarakat Maradika yang adalah pegawai dan pedagang. Lapisan bawah adalah golongan masyarakat Papara yang merupakan golongan budak, buruh dan pekerja kasar. Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang kaledupa dengan istilah amai wa du yang artinya orang asing dari laut, sebagai golongan masyarakat yang terendah. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa. Ditambah dengan pola hidup masyarakat Bajo yang dinilai oleh masyarakat Kaledupa jorok atau tidak bersih semakin mempertegas garis batas antara orang-orang Bajo dan orang Kaledupa. Karena alasan tersebutlah yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan intimidasi terhadap masyarakat Bajo. Hinaan dan cercaan dari orang-orang Kaledupa dialami oleh masyarakat Bajo. Masyarakat Bajo baik di La Hoa, Sampela, maupun Mantigola Umala juga tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun di daratan pulau Kaledupa. Orang-orang Bajo hanya menjadi buruh kebun yang bertugas untuk membersihkan dan merawat tanaman kelapa milik orangorang Kaledupa. Intimidasi dan perlakuan yang diskriminatif yang diberikan oleh orangorang Kaledupa terhadap orang-orang Bajo rupanya membentuk sifat penakut dari orang-orang Bajo itu sendiri. Sifat yang terlekat pada masyarakat Bajo ini pada akhirnya dijadikan sebagai alasan bagi orang-orang Kaledupa untuk tetap melakukan tindakan diskriminatif. Bentuk perlakuan diskriminatif tersebut antara lain dalam bentuk Menurut Ibu MM : orang-orang darat di Kaledupa sana, kalo lihat kami orang Bajo yang suka pakai baju oranye dan merah siang-siang jual ikan, suka ditertawakan..mereka bilang wana iso na ana amae wa du kami ditertawakan karena pakai baju yang mencolok, dan dibilang kampungan (Wawancara dengan Ibu MM, Tanggal Maret 2011). Kemudian, menurut pengakuan ibu MM, bentuk-bentuk perlakuan orang darat misalnya orang Bajo menjual ikan di pasar Sampoawatu, kemudian orang darat yang membeli ikan menawar harganya, jika orang Bajo tidak sepakat 188

116 dengan harga ikan yang ditawarkan oleh darat, ikan biasanya dirampas, kemudian orang darat akan memaki-maki orang Bajo, bahkan ada yang dipukuli dan ikan tidak dibayar oleh orang darat yang sedang mabuk. Seperti apa yang diungkapkan oleh Ibu MM : Bagaimana mau ada pasar di Kaledupa, kita kadang malas mi jual ikan ke orang darat. Coba lihat tidak ada pasar yang berkembang. Pasar Sampoawatu saja hanya ramai dalam waktu sebulan saja semenjak dibuka untuk pertama kalinya, setelah itu sepi. Bagaimana juga kita sering diambil kita punya ikan, kalo kita kasih harga, baru ada juga orang darat yang jahat tidak mau menawar katanya terlalu mahal, pernah ikan kita dirampas, baru kita dihina-hina. Pernah juga kita dipukuli sama orang darat yang mabuk habis minum-minum baru ikan kita tidak dibayar (wawancara dengan Ibu MM, Tanggal Maret 2011). Ibu Ryh mengungkapkan : di Kaledupa susah beli ikan di Pasar. Padahal di sini banyak sekali ikan. Ini karena pasar di Kaledupa tidak berkembang. Sudah tiga kali pasar dibangun di Sampara, Kasawaru, dan Sampoawatu tapi tidak berkembang juga. Kami malas bawa ikan ke darat, saya pernah bawa ikan ke darat, orang-orang darat yang jahat tawar ikanku, saya tidak mau ditawar ikanku karna terlalu rendah, malah di tampar saya. Kemudian saya bawa ke orang darat yang lain. Tapi orang yang pukul saya bilang ke orang yang mau beli ikanku, jangan kamu beli ikannya dia jual mahal itu (Wawancara dengan ibu RGH, Tanggal 22 Maret 2011). Bentuk perlakuan diskriminatif dari orang-orang kaledupa, kepada orangorang Bajo adalah pada suatu saat ketika pemilihan legislative, ada orang Bagai Kaledupa yang mencalonkan dirinya sebagai anggota legislative. Dia menginginkan agar masyarakat Mantigola mendukung langkahnya menjadi anggota legislative, dengan memberikan beragam bentuk bantuan. Namun, setelah hasil perhitungan suara, rupanya ia kalah. Impian orang darat tersebut menjadi anggota legislative pupus sudah. Karena kecewa terhadap ketidakberpihakan orang-orang Bajo Mantigola kepadanya, dengan sengaja sumur air tawar sebagai sumber air bersih masyarakat mantigola dicemari dengan kotoran sapi dan kotoran manusia. Akibat perbuatan orang darat yang tidak bertanggung jawab tersebut, selama sebulan masyarakat Bajo Mantigola tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat Bajo mengandalkan air laut untuk mandi, kakus dan mencuci. Sementara untuk masak dan minum akhirnya mereka harus membeli air mineral. 189

117 Namun, tidak berarti semua masyarakat darat berlaku jahat terhadap orang Bajo, ada juga orang-orang darat yang berjasa kepada masyarakat bajo Mantigola dengan memberikan pengabdiannya sebagai guru sekolah dasar, dan sekolah madrasah. Beberapa orang darat juga menjalin kerjasama dengan nelayan Bajo, dengan memasarkan hasil tangkapannya ke darat. Kemudian, setelah beberapa komoditas laut yang bernilai tinggi dilarang, Perkembangan ekonomi di Mantigola perlahan-lahan melambat. Mantigola sendiri adalah cabang dari Mola. Usaha yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo Mantigola mengalami kondisi jatuh-bangun. Menurut pengakuan orangorang Mantigola, pemerintah kurang memberi sentuhan terhadap orang-orang Bajo Mantigola agar ekonomi bisa berkembang. Kemudian, penyebab kemandekan ekonomi di Mantigola berikutnya adalah, pembeli hasil-hasil laut yang tidak langsung ke Mantigola, tapi membeli hasil-hasil laut hanya sampai ke Mola. Bos-bos Cina seperti Pak Choi dan Pak Hengki yang ingin membeli ikan hidup, pada awalnya ke Mantigola, mereka menyatakan ingin membeli ikan hidup nelayan di Mantigola. Namun, ternyata Pak Choi dan Pak Hengki malah bekerjasama dengan pengumpul Di Mola. Melihat konteks sejarah yang melatarbelakangi proses lahirnya kapitalisme di suku Bajo Mola dan Bajo Mantigola, maka teori Weberian lebih tepat digunakan untuk menganalisa akar dari berkembangnya kapitalisme lokal di suku Bajo. Seperti apa yang telah diungkapkan pada bagian tinjauan pustaka yang membahas mengenai ciri kapitalisme, teorisasi Weber mengungkapkan bahwa Weberian menekankan analisa pada latar belakang kemunculan kapitalisme, nilai-nilai lah yang pertama berperan, kemudian barulah terjadi perubahan artikulasi cara produksi sebagai hasil dari perubahan nilai tersebut. Sementara Marx menjustifikasi bahwa kelas kapitalisme muncul karena ada kontradiksi internal dari kapitalisme yang menyebabkan terkonsentrasinya kepemilikan properti di tangan kelas tertentu, kemudian di sisi lain semakin meningkatnya jumlah proletariat. Yang terjadi pada suku Bajo Mola maupun Mantigola, kapitalisme masuk melalui ide-ide tentang perdagangan hasil-hasil laut melalui An Tje seorang pengusaha dari Tanjung Pinang. Penetrasi kapitalisme ini kemudian semakin berkembang juga karena peran akulturasi dari orang-orang Bajo Mola dengan 190

118 masyarakat Wanci Mandati yang memang adalah pedagang. Melalui pertukaran ekonomi, ide mengenai perdagangan hasil laut diterima dengan sangat baik oleh para aktor kapitalis. Iklim yang kondusif untuk berekonomi juga muncul, karena hubungan simbiosis mutualisme secara historis antara orang Bajo Mola dengan orang Wanci Mandati. Proses orang-orang Bajo Mantigola juga diawali melalui penetrasi nilainilai kapitalisme. Misalnya seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa para pengusaha perintis di Mantigola, bahwa proses belajar berusaha hasil-hasil laut di mulai ketika mereka merantau ke Pepela, dan bekerja bersama di lambo orang-orang Bajo di Pepela, awalnya menjadi sawi, kemudian ketika ilmu tersebut kemudian diserap dari punggawa dan toke di Pepela, sekembalinya di Mantigola, ilmu tersebut diterapkan. Sayangnya, proses akulturasi budaya dengan orang-orang Kaledupa tidak memberikan ruang yang kondusif untuk mengembangkan usaha, selain itu juga tekanan dari hadirnya taman nasional, membatasi ruang-ruang nafkah bagi orang-orang Bajo Mantigola Karakteristik Aktor Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Mantigola Agama di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola Menurut Koentjaraningrat (1985) dalam Sudana (1991) bahwa perilaku yang religious disebabkan oleh adanya sentiment kemasyarakatan, yaitu dalam batin setiap manusia ada suatu kompleks perasaan yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta, dan sebagainya, terhadap masyarakatnya sendiri yang merupakan seluruh alam dunia dimana ia hidup. Kemudian menurut Durkheim (1965) dalam Sukadana (1991) bahwa pengertianpengertian dasar yang merupakan inti daripada agama berhubungan dengan suatu dunia atau obyek yang bersifat suci (sacred), berlawanan dengan dunia atau obyek lain yang bersifat tidak suci (profane). Hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan adanya saling ketergantungan yang sangat erat. Nilai dan norma dalam bentuk etika moralitas dibentuk pula oleh agama. Sehingga agama di satu sisi dapat memperkuat ikatan-ikatan social dimana kehidupan kolektif itu bersandar, karena agama bisa mempersatukan orang dalam suatu komunitas moral. Namun di sisi lain juga terjadi perpecahan akibat segala bentuk sekularisasi agama yang mengarahkan pada individualisme yang berlebihan. 191

119 Menurut Peribadi (2000) dilihat dari segi ekologi alam, orang Bajo mengkonsepsikan alam sekitar sebagai ruang dan waktu yang didalamnya terdapat benda biotik seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan dan ikan yang terdapat di gunung, bukit, lembah, rawa-rawa, danau, sungai dan laut serta benda-benda non biotik yakni tanah, air, api, angin, dan cahaya. Menurut keyakinan orang Bajo semua unsur tersebut terdapat dalam dirinya sebagai manusia. Tanah sebagai tubuh, api sebagai nafsu amarah, air melambangkan kesabaran dan angin mencerminkan nyawa, sedangkan cahaya merupakan nur Allah dan nur Muhammad yang menjadi sumber penciptaan langit dan bumi beserta isinya, terutama anak manusia. Orang-orang Bajo sangat meyakini bahwa kalau seseorang memahami substansi atau hakekat dari benda-benda tersebut, maka tidak mungkin malapetaka akan menimpa dirinya. Atas keyakinannya terhadap keganasan alam, khususnya makna laut bagi orang-orang Bajo sesungguhnya membuat sikap orang-orang Bajo cenderung penakut. Malah cenderung berbicara bertele-tele (Zacot, 2008). Keyakinan yang berlebihan terhadap kekuatan laut baik sebagai sumber kehidupan, dan sumber kekuatan batiniah menciptakan agama tradisi seperti kepercayaan animisme yang berdampingan dengan agama Islam yang dianutnya. Sehingga bagi orang Bajo meyakini banyak takhyul, laranganlarangan yang berwujud pemali, dan guna-guna (samauda). Hingga cara-cara gaib banyak sekali dianut oleh orang-orang Bajo. Mantra pesona untuk membuat orang jatuh cinta dengan menggunakan asap rokok atau dengan pakaian merupakan ilmu takhyul yang banyak dikenal oleh orang-orang Bajo (Zacot, 2008). Menurut Stacey (1999) agama orang-orang Bajo di Wakatobi merupakan suatu sistem sinkretisme antara elemen-elemen agama Islam yang berdifusi dengan kepercayaan animisme orang-orang Bajo terhadap kosmologi dan pelaksanaan ritual-ritual. Kepercayaan animisme ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan unsure Islam. Islam sincretisme ini nampak pada beragam manifestasi dari praktek kepercayaan orang-orang Bajo, misalnya upacara kelahiran, ritual turun laut bagi perahu yang baru dibuat, ritual awal kegiatan penangkapan untuk wilayah tangkap yang sangat luas, membangun rumah, dan ritual penyembuhan. Orang Bajo menamakan Tuhan Allah SWT sebagai Papu. Papu dianggap sebagai pencipta alam semesta. Namun, karena adanya kepercayaan animisme, 192

120 maka orang Bajo juga sangat mempercayai roh leluhur yang disebutnya sebagai Mbo Mandilao sebagai penunggu lautan yang luas yang merupakan ciptaan Papu. Istilah Mbo Mandilao merujuk pada tujuh penunggu laut yang sangat ditakuti oleh orang-orang Bajo. Antara lain : Mbo Janggo, Mbo Tambirah, Mbo Baburra, Mbo Marraki, Mbo Malummu, Mbo Dugah, dan Mbo Goyah. Orang Bajo percaya bahwa yang terkuat adalah Mbo Janggo. Orang-orang Bajo secara umum adalah penganut Islam Sunni, dan keterlekatan terhadap kepercayaan tersebut berbeda-beda, baik ketika di laut dengan ketika mereka telah berada di kampung (Stacey, 1999). Pada gambaran berikutnya akan ditampilkan bentuk-bentuk perbedaan derajat pelaksanaan agama Islam dan kepercayaan animisme yang dianut oleh orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola, dan juga mewarnai etika moralitas ekonomi kedua komunitas Bajo tersebut. Sebagai penganut agama Islam sekuler, pelaksanaan syariat Islam memang tidak begitu nyata terlihat, sehingga Islam sepertinya hanya dijadikan agama identitas saja atau Islam KTP. Akan tetapi, derajat kepercayaan terhadap roh-roh leluhur juga semakin samar. Beberapa orang-orang Bajo Mola, beberapa yang berasal dari golongan menengah maupun kalangan atas menjalankan lima rukun Islam, seperti sholat di masjid di kala maghrib, dan jumatan, serta bersedekah. Namun, sebagian besar orang Bajo Mola tidak banyak menjalankan lima rukun Islam tersebut secara taat. Perilaku yang dilarang keras dalam agama Islam, seperti perjudian, main perempuan, dan minum-minuman keras yang memabukkan, masih sering ditemukan. Keanehan memang terjadi di masyarakat Bajo Mola, dimana sesungguhnya kepercayaan animisme yang dipelihara sudah mulai runtuh, namun tidak juga dengan giat menjalankan syariat agama Islam. Beberapa orang Bajo mengungkapkan bahwa ritual-ritual yang berhubungan dengan kegiatan pelayaran memang masih dipertahankan, namun upacara-upacara pengobatan seperti duata sudah sangat jarang dilakukan. Kebanyakan orang-orang Mola jika mengalami gangguan kesehatan, penyembuhan sudah lebih mempercayakan kepada pihak medis, nanti setelah jalan medis sudah tidak bisa dilakukan, barulah dilakukan upacara duata. Dan upacara duata yang penuh kemistisan tersebut malah dilakukan di masjid. 193

121 Sebaliknya, bagi masyarakat Bajo Mantigola, hakekat hidup manusia bagi masyarakat Bajo dipengaruhi oleh tradisi turun-temurun (animisme) dan agama Islam. Masyarakat Bajo memandang bahwa segala apa yang ada di dunia ini merupakan anugerah Tuhan untuk kehidupan manusia, tinggal bagaimana memanfaatkannya. Mereka, orang Bajo meyakini bahwa perilaku buruk dalam memanfaatkannya, akan berakibat buruk pula. Sebab itu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Bajo, banyak larangan yang harus dipatuhi agar terhindar dari musibah atau kesulitan dalam mencari nafkah. Larangan atau pamali (taboo) ini dalam perkembangannya menjadi semacam mekanisme budaya dalam mempertahankan keseimbangan sumber daya alam, apabila yang di-pamali-kan itu terkait demi terpeliharanya kondisi kelestarian lingkungan (Lampe, 2008 dalam Saad, 2008). Kondisi masyarakat Bajo di Mantigola saat ini, memang masih sangat kuat memegang tradisi, dan menghindari beberapa pantangan-pantangan yang diturunkan secara turun-temurun, meskipun mereka mengaku telah memeluk agama Islam. Misalnya masyarakat Bajo Mantigola sangat mempertahankan kepercayaan terhadap kehidupan magis, dan kepercayaan-kepercayaan terhadap kekuatan roh-roh leluhur yang menyerupai binatang-binatang laut. Menurut Mbo, orang yang dituakan di Mantigola, mengatakan bahwa roh-roh leluhur orang Bajo berupa ikan gurita. Menurut Mbo : Kami punya saudara adalah mahluk laut. Kata orang-orang tua kami Gurita (kuta) dan buaya (tuli) adalah leluhur kami (Wawancara dengan Mbo, Tanggal 24 Maret 2011). Bagi masyarakat Bajo Mantigola, penyakit berasal dari gangguangangguan halus, maka jika masyarakat Bajo Mantigola merasakan penyakit yang disebut tidak enak perasaan maka orang tersebut harus melakukan ritual duata. Yang melakukan ritual atau pengobat adalah orang-orang tertentu dengan keturunan Bugis-Duata juga. Orang dengan keturunan Duata harus mewariskan ilmunya kepada keturunan selanjutnya diistilahkan oleh orang-orang Bajo dengan dipelihara. Jika tidak dilakukan maka orang Bajo percaya sang Sandro yang keturunan Duata akan berpenyakit kelainan jiwa. Masing-masing penyebab baik disebabkan oleh Kuta maupun tuli punya ritual yang berbeda pula. Kalo disebabkan oleh kuta maka sajen yang disediakan adalah kutta maduai. Kalo yang menyebabkan adalah tulli maka sajennya 194

122 bernama tulli maduai. Untuk mengetahui jenis penyakit yang diderita maka dilakukan ritual sumangaha. Sementara untuk pengobatan yang sakit maka harus dilakukan kutta panyarriah. Ciri khasnya harus tersedia dua macam ayam, satu ekor ayam perangi (ayam diolah namun tidak dengan cara dimasak di atas api, namun dimasak dengan menggunakan air perasan jeruk) dan seekor lagi dilepas di lautan. Ritual tikka masangai adalah ritual untuk mengobati guna-guna syaratnya juga sama dengan ritual kutta panyarriah. Ritual duata sendiri adalah ritual pengobatan yang dilakukan oleh orang-orang bajo dengan garis keturunan tertentu. Biasanya orang Bajo menyebut Sandro sebagai orang yang pandai mengobati orang sakit karena memiliki kekuatan magis bisa membaca penyakit seseorang dan menyembuhkan. Menurut Ibu MM : Kalo orang Bajo di sini sakit, kita duata dulu. Kalo sudah di duata tapi tidak sembuh juga maka kami bawa ke puskesmas atau ke rumah sakit (Wawancara dengan Ibu MM, Tanggal Maret 2011). Menurut Ibu RSH : Di sini jarang yang operasi, kalo sakit kita kasih obat-obat kampung. Biasanya kita buat Duata. Meskipun duata mahal harganya, tapi nyawa kita itu tidak ada harganya. Kalo kami akan bersalin, biasanya suami kami akan menanggil sandro untuk membantu. Tapi pernah saudara saya sedang cari ikan di laut, melahirkan sendirian di atas koli-kolinya. Setelah melahirkan biasanya kami harus berenang di laut, pagi-pagi sekali. Begitu juga dengan bayinya harus dimandikan dengan air laut. Air laut adalah obat bagi kami (Wawancara dengan Ibu RSH, tanggal 22 maret 2011). Duata sendiri dibagi atas dua. Pertama duata bugis, dan kedua adalah duata palilligo. Untuk melakukan ritual duata orang Bajo harus menyediakan dana sebesar lima juta rupiah. Jumlah yang tidak sedikit bagi masyarakat Bajo. Namun, hal tersebut dipercaya oleh orang Bajo dapat menyembuhkan, sehingga mau tidak mau duata harus dilakukan. Duata yang dijunjung tinggi oleh orang-orang Mantigola, sebagai sumber dari berfungsi kembali sumanga dan nyawa menurut Zacot (2008), menunjukkan bagaimana hubungan antara manusia dengan setan yang tinggal dilautan. Hubungan ini selanjutnya rupanya merefleksikan bagaimana orang Bajo berhubungan dengan antar manusia. Misalnya resiprositas antara manusia dan setan dalam ritual duata yang digambarkan dengan pemberian sesajen, menunjukkan bagaimana keimbalbalikkan juga akan diaplikasikan kepada sesama orang Bajo. Orang Bajo Mantigola sangat percaya ketika duata tidak 195

123 dibarengi dengan sesajen maka setan tidak akan memberikan kesembuhan, dan akan memberikan kesulitan. Orang Bajo melihat tanda setan dari gejala dan kekuatan alam, khususnya laut. Kehidupan bermasyarakat dari orang Bajo Mantigola cenderung bermasyarakat dengan bentuk seperti ini. Setiap orang Bajo Mantigola mengakui apa yang telah dungkapkan oleh Zacot (2008) bahwa semakin sering makanan saling diberikan di dalam desa, maka nasib pun akan semakin baik, dan kematian dan bencana akan semakin dijauhkan. Agama Islam bisa juga diperhitungkan bagi kemajuan orang-orang Bajo dalam hal ekonomi. Akan tetapi nampaknya esensinya cenderung bukan pada usaha untuk menjalankan syariat Islam. Salah satu rukun Islam yang tidak mudah dilakukan oleh orang-orang Bajo adalah menunaikan ibadah Haji, karena hanya orang-orang Bajo yang mampu secara finansial, dan merasa telah mendapat panggilan untuk menunaikan ibadah haji, meskipun harus berhutang sana-sini. Maka, naik haji merupakan suatu prestise dan simbol kekayaan. Pada akhirnya kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa tesis Weber mengenai fenomena etika ekonomi karena dorongan agama, untuk kasus di Bajo bukan karena nilai-nilai agamanya seperti calvinisme menganggap bahwa dengan bekerja keras maka kehidupan surgawi bisa diperoleh, melainkan nilai-nilai menunaikan ibadah haji hanya tameng, orang-orang Bajo lebih mengganggap itu sebagai upaya mobilitas sosial vertikal. Agar mendapatkan pengakuan atas posisinya sebagai orang berpunya, yang memiliki banyak nelayan artinya banyak massa dan pada akhirnya akan memudahkannya beraliansi dengan pemerintah, dan beraliansi dengan orang Bajo di dalam komunitasnya. Berpijak pada konsepsi pemikiran teoritik weber, bahwa kemunculan etika ekonomi yang bersumber dari ajaran agama, yang mengkonsepsikan bahwa tindakan individu terhadap kehidupan dunia sebagai bentuk asketisme aktif, dan bukannya asketisme pasif seperti yang dikembangkan dalam mistisme agama. Karena asketisismeyang disebutkan pertama, memberikan dorongan yang kuat bagi penganutnya agar menjalankan kehidupan yang riel di dunia ini. Artinya, dengan dorongan asketisisme aktif yang teraplikasikan secara rasional dalam rangka mengendalikan dan menguasai berbagai tantangan kehidupan dunia. Sementara, mistisisme dengan kekuatan kontemplasi spiritual cenderung membelakangi: kehidupan dunia. Maka kecenderungan asketisisme pasif yang terjadi pada masyarakat Bajo Mantigola ditengarai bukan karena mistisme 196

124 agama islam, namun karena mistisme kepercayaan-kepercayaan animism atau kekuatan-kekuatan yang tidak berwujud dari laut disebut sebagai Sumanga dan Nyawa, yang cenderung menimbulkan asketisme pasif. Apa yang terjadi pada masyarakat Bajo Mantigola, sama dengan apa yang ditemukan Hefner (1999), bahwa kepercayaan orang-orang Tengger yakni memeluk agama-agama tradisi dengan warna hinduisme rupanya menghalanghalangi kemunculan dan berkembangnya gejala borjuasi, karena agama juga menghalang-halangi kepemilikan secara individual. Agama tradisi pada orangorang di Tengger rupanya mengekalkan kepemilikan secara komunal. Gambaran perbedaan etika moralitas yang dipengaruhi oleh agama dan keyakinan animisme akan ditampilkan pada matriks berikut ini : Matriks 7. Perbandingan Etika Moral Ekonomi Mola dan Mantigola berdasarkan Bentuk Keyakinan. No. Indikator Perbedaan 1. Pandangan terhadap kekayaan material, serta cara memperoleh kekayaan 2. Orientasi Perdagangan Mola (Menganut sekularisme agama Islam) Pengejaran atas kekayaan material cenderung dominan, sehingga timbul kecenderungan rasa individualistik. Cara pengejaran kekayaan materialism (barang-barang mewah, dan status haji adalah dengan ekspansi usaha baik pada sektor perikanan maupun non perikanan Cenderung komersialisme karena dilandasi oleh kepentingan akumulasi kekayaan. Suku Bajo Mantigola (Menganut agama Islam Sinkretisme-sufi) Pengejaran atas kekayaan material cenderung kurang menjadi perhatian, karena pengejaran atas segala bentuk materialsme didasarkan pada upaya-upaya untuk bertahan dari gejolak-gejolak yang meng hantam usahanya. Pengejaran atas kekayaan materi dikalahkan dengan perolehan status haji. Cara memperolehnya adalah dengan mengintensifkan usaha yang telah ada agar bisa bertahan di bawah tekanan-tekanan. Cenderung non komersialisme, dan hidup sesuai kebutuhan. Karena dilandasi oleh keinginan agar bisa bertahan. 3. Derajat Kosmopolitan Sumber : data primer, diolah. Cenderung sangat kosmopolit, karena gerusan nilai-nilai perkotaan, setelah tinggal didaratan. Kurang kosmopolit, nilai-nilai kolektivisme tetap dipertahankan. Dari penjelasan singkat pada matriks di atas dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Bajo saat ini terdapat perbedaan di dalam pandangan agama, 197

125 yang kemudian juga merubah etika moralitas yang terbagi menjadi dua golongan besar. Antara lain etika moralitas individualisme materialisme oleh orang-orang Bajo Mola yang sekuler, dengan orang-orang Bajo Mantigola yang mempertahankan etika kolektivisme sebagai pemeluk Islam sinkretisme. Jika kita menilik teori Steward mengenai ekologi budaya yang telah dibahas sebelumnya pada bagian dua tinjauan pustaka, maka orang-orang Bajo Mola yang telah sekuler, dan kehilangan demagifikasi dari agama Islam sinkretisme karena hubungan dengan alam lebih renggang. Jiwa kosmopolitan yang terbentuk dari terbukanya ekspansi usaha, dan segala bentuk informasi membuat hidup mereka lebih didasarkan pada landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional, sehingga pandangan agama yang dianut adalah etika agama yang rasional atau sekuler. Pada wajah Bajo Mantigola mempertahankan agama Islam sinkretismenya, karena actor-aktor pengusaha Mantigola lebih tergantung pada proses-proses organik dan kejadian-kejadian alam sebagai penentu nasib mereka Orientasi Nilai Budaya di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola Persepsi Manusia terhadap Alam di dalam Bentuk Kapitalisme Lokal Setiap kebudayaan pada sistem budayanya mengandung serangkaian konsep-konsep abstrak dan luas ruang lingkupnya dalam alam pikiran sebagian warga masyarakat mengenai apa yang dianggap penting dan bernilai dalam hidup (Koentjaraningrat, 1987 dalam Saad, 2008). Masyarakat Bajo memandang bahwa segala apa yang ada di dunia ini merupakan anugerah Tuhan untuk kehidupan manusia, tinggal bagaimana memanfaatkannya. Mereka, orang Bajo meyakini bahwa perilaku buruk dalam memanfaatkannya, akan berakibat buruk pula. Sebab itu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Bajo, banyak larangan yang harus dipatuhi agar terhindar dari musibah atau kesulitan dalam mencari nafkah. Larangan atau pamali (taboo) ini dalam perkembangannya menjadi semacam mekanisme budaya dalam mempertahankan keseimbangan sumber daya alam, apabila yang di-pamali-kan itu terkait demi terpeliharanya kondisi kelestarian lingkungan (Lampe, 2008 dalam Saad, 2008). Bagi orang Bajo Mantigola laut diibaratkan sebagian bagian dari deru nafas kehidupannya. Alam semesta merupakan sejarah yang digambarkan, visi terhadap ruang kehidupan, yakni laut juga merupakan visi tentang waktu. 198

126 Menurut Mbo, kami orang Bajo tidak bisa hidup di darat, kami tidak bisa lepas dari laut tempat kami berasal. Laut memberikan kehidupan, laut juga bisa memberi kemurkaan. Menurut Zacot (2008) orang Bajo sangat unik, karena sesungguhnya selalu menolak hidup di daratan, dan mengikuti kebiasaan makan orang daratan. Itulah sebabnya orang Bajo sedikit memakan sayur, dan buahbuahan, apalagi daging. Kemudian, sampai sekarang orang-orang Bajo Mantigola sangat percaya pertanda yang diberikan laut, misalnya tinggi rendahnya air laut yang diukur berdasarkan tiang tancap rumah, mampu memberikan isyarat kabar buruk yang akan menimpa sang pemilik rumah. Tanda penghormatan orang Bajo Mantigola yang masih sangat kuat dipegang ditunjukkan dengan penghoratan terhadap ritual tamoni adalah ritual yang dilakukan dengan maksud untuk menyimpan ari-ari anak yang baru dilahirkan. Sesungguhnya ritual tamoni ini memantapkan makna yang demikian mendalamnya terhadap laut. Bagi orang Bajo, orang-orang Bajo berasal dari laut, semangat hidup mereka berasal dari ari-ari yang dibuang ke laut dalam ritual tamoni. Makna filosofis yang terkandung dari ritual ini sesungguhnya agar melancarkan hubungan orang Bajo dengan laut, dan pada akhirnya setiap jiwa orang-orang Bajo selalu terarah ke lautan. Dengan dimulainya kehidupan orang-orang Bajo Mola di daratan Wanci, secara berangsur-angsur makna laut yang bermakna spiritual memudar. Bagi orang Mola, laut digambarkan sebagai rezeki. Dengan makna tersebut, orangorang Mola melepaskan ranah spiritualnya dengan mulai melakukan kegiatankegiatan ekonomi produksi yang mulai meninggalkan keselarasan dengan alam. Beragam bentuk modernisasi perikanan perlahan-lahan diterima, seperti yang telah dijabarkan pada bab lima konteks sejarah perkembangan kapitalisme lokal. Sehingga pemaknaan terhadap laut mempengaruhi segala bentuk strategi bisnis yang cenderung agresif dan mulai melakukan cara-cara untuk menguasai alam. Seperti apa yang diungkapkan oleh MN : laut itu mata pencaharian kita, disitulah tempat kami mencari rezeki. Cuma itu satu-satunya andalan kami bisa berkembang (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011). Misalnya bagi sebagian besar pengusaha tuna di Mola, ketergantungan terhadap teknologi citra satelit untuk meramalkan berkumpulnya tuna mulai menarik perhatian mereka. Inovasi yang diperolehnya oleh bagai di Bali menarik 199

127 perhatian mereka. Menurut para pengusaha tuna di Mola, teknik tradisional tidak mampu lagi memuaskan mereka. Ketidakpastian tidak disukai oleh para pengusaha tuna di Mola. Mereka bersedia mengeluarkan jutaan rupiah untuk memperoleh inovasi tersebut, sehingga efisiensi usaha dapat tercapai. Ini menunjukkan kemunduran orang-orang Mola terhadap kepercayaan mereka terhadap gejala-gejala alam. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola yang bertahan hidup di atas laut, memaknai lautan tidak hanya bermakna magis, akan tetapi juga dianggap orangorang Mantigola sebagai kebun tempat mencari nafkah. Seperti apa yang diungkapkan oleh ibu MM : Kalo orang darat kebunnya di darat dan di laut. Tapi, orang Bajo kebunnya hanya di laut. Jadi hidup matinya bergantung sama laut (Wawancara dengan Ibu MM, Tanggal Maret 2011). Orang Bajo Mantigola tidak peduli jika tidak memiliki tanah di daratan Kaledupa, mereka hanya meminta sedikit tanah untuk liang kubur tubuh mereka didaratan, dan air tawar sebagai bilasan setelah mandi di laut, dan untuk memasak, selebihnya air laut yang berperan. Maka dua sumberdaya yang nampaknya sedikit itu, namun bernilai sangat besar bagi orang Bajo, harus bergantung pada kebaikan hati orang-orang darat yakni orang-orang Kaledupa yang memiliki tanah di Kaledupa. Orang-orang Kaledupa yang berperangai tegas, dan cenderung otokratis, menjadikan orang-orang Bajo lebih ofensif, tertutup, dan lebih penakut. Ditambah dengan kesalahan orang-orang Bajo di masa lalu, yang mendukung gerombolan, dan menyebabkan mereka harus terusir ke Mola, maupun ke La Manggau. Semua ini pada akhirnya menciptakan rasa tidak percaya yang berlebihan dari orang Kaledupa terhadap orang-orang Bajo. Semua bentuk penghinaan, dan tindakan-tindakan kasar dari orang-orang Kaledupa diterima oleh orang-orang Bajo Mantigola begitu saja, tanpa berani untuk melakukan perlawanan kepada orang Kaledupa. Karena laut, beserta terumbu karang yang terkandung di dalamnya dimaknai sebagai kebun milik, dan sumber pendapatan utama maka orangorang Bajo Mantigola cenderung memperlakukan laut dengan cara mereka sendiri, yang diikuti dengan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Selayaknya jika kita memiliki kebun di daratan, misalnya alih fungsi lahan ke dalam bentuk apapun bisa kita lakukan menjadikannya sebagai kebun kacang, atau mendirikan 200

128 rumah adalah otoritas kita. Demikian pula halnya dengan orang-orang Bajo, malah perlakuannya kepada laut diidentikkan sebagai upaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Misalnya mengambil kayu bakau untuk dijadikan bahan bakar untuk memasak, mencungkil terumbu karang untuk mendapatkan mata tujuh (abalone) yang bersembunyi dibalik batu karang, dan mengambil kima yang duduk di atas karang, bahkan dahulu orang Bajo sering memakai bahan peledak untuk mencari ikan. Kemudian, karena kebun orang Bajo Mantigola sangat luas, dan memiliki sumberdaya yang berlimpah. Jika orang Bajo lapar, tinggal mengambil perahu dan jaring, maka ketika ikan tertangkap, masalah kelaparan bisa teratasi. Dengan sistem pengelolaan semberdaya seperti ini yaitu dengan berburu (gathering), menciptakan suatu pola tertentu pada masyarakat Bajo Mantigola dalam sifatnya mengelola keuangan rumahtangga yakni sifat boros yang berlebihan. Sehari saja nyaris enam kali orang Bajo menghabiskan makanan. Belum jajan yang merupakan keharusan untuk dinikmati oleh setiap rumahtangga Bajo Mantigola. Menurut Zacot (2008) laut adalah tempat kesayangan orang-orang Bajo. Orang Bajo membedakan tiga jenis tempat. Semua daerah karang, bukit karang, pasir tapi yang tidak terlalu dalam dan dapat dilihat pada saat air surut merupakan sappa atau nappo. Pulau pasir kecil juga termasuk di dalam sebutan ini. Di sekeliling sappa inilah dahulu perahu-perahu orang Bajo merapat. Laut di sana tenang, Sappa di dalam dunia besar orang-orang Bajo (alam basar). Dasar laut yang berbatu-batu, yang tidak dapat dilihat, dan yang tidak tampak ketika laut surut disebut lana. Semua bukit karang dan karang besar yang tidak dapat dilihat, dan menghilang di dalam kegelapan air dinamakan timpusu. Lama dan timpusu termasuk dunia dimana penglihatan kurang luas, yaitu dunia kecil (alam didikki). Ada satu hal yang harus dipahami dalam perubahan makna laut bagi orang-orang Bajo Mola. Kehidupan di daratan yang telah dialami oleh orangorang Bajo, bisa menjadi faktor yang menyebabkan bergesernya makna laut yang sedemikian dalamnya bagi orang-orang Bajo, baik bermakna magis (sebagai persemayaman leluhur, dan tempat hidup kuta dan tulli), bermakna sosial (sebagai identitas sosial), dan bermakna ekonomi (sebagai sumber nafkah). 201

129 Sebelumnya, makna magis menguasai ranah pemaknaan terhadap laut. Misalnya seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya dalam bagian agama terhadap kapitalisme lokal, bahwa berkat kepercayaan yang berlebihan mengenai laut beserta daya magis yang dapat ditimbulkannya, menyebabkan timbulnya hubungan-hubungan, pertukaran-pertukaran diantara orang Bajo dapat dilaksanakan, dan kehidupan bermasyarakat yang harmonis tanpa harus hitunghitungan untung dan rugi seperti seorang kapitalis. Kepercayaan terhadap laut juga menghilangkan ketegangan-ketegangan yang bisa ditimbulkan di antara orang-orang Bajo. Menurut Zacot (2008) orang Bajo beserta kepercayaannya yang mendalam terhadap laut beserta makna magisnya memberikan dampak pada harmonisasi di dalam kehidupan orang-orang Bajo. Amarah dianggap orang Bajo sebagai api, dan api merupakan perwujudan setan. Jika orang Bajo dapat menguasai amarahnya, berarti dapat menguasai setan, dan sekaligus dapat melindungi kelompoknya Hakekat Manusia dengan Manusia di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo Makna hubungan manusia dengan sesama manusia bagi orang-orang Bajo, dan mempengaruhi warna kapitalisme sebenarnya dapat dipahami melalui makna sama dan bagai. Makna Sama (orang-orang Bajo) dan Bagai (orangorang darat) yang menegaskan bahwa ada garis tegas antara orang sama (Bajo) dan bagai (orang-orang Daratan). Pada masyarakat Bajo, berkembang mitos bahwa Sang Dewata memperuntukkan lingkungan laut bagi orang-orang Bajo (sama). Adanya konsep sama dapu ma di laok yang berarti lautan miliki orang Bajo (sama). Yang berarti pula lingkungan darat diperuntukkan bagi orang yang tinggal di darat (bagai) (Zacot, 2002). Oleh karena itu, umumnya orang Bajo memiliki mata pencaharian utama menangkap ikan atau memanfaatkan sumberdaya alam laut, sedangkan lingkungan darat dengan segala potensinya kurang mendapat perhatian bahkan tidak dimanfaatkan dengan baik. Menurut Sayuti (2004) di dalam kehidupan sehari-hari, orang Bajo mengenal dua konsep yang berbeda di dalam interaksi sosialnya yakni sama dan bagai. Mereka menyebut dirinya sama (orang Bajo) yang membedakannya dengan orang bukan Bajo (bagai). Bagi orang Bajo, orang bagai adalah semua masyarakat lainnya. Selanjutnya Sayuti menekankan bahwa konsep sama dan bagai bukan hanya merupakan simbol Bajo dan bukan Bajo, tetapi juga merupakan simbol kehidupan di laut dan di darat. 202

130 Istilah sama mendukung gagasan untuk membuat orang-orang Bajo menjadi sebuah masyarakat, sebab istilah ini mengingatkan setiap orang bahwa ia merupakan warga dan termasuk di dalam kelompoknya. Apabila seorang Bajo menggunakan istilah sama, ia menitikberatkan pada apa yang ditunjukkannya pada kelompoknya (Zacot, 2002). Pertama kesamaan antara dua orang Bajo, dan kemudian antara semua anggota kelompoknya. Jadi, kata sama mirip sebuah kode, ini menunjukkan suatu usaha untuk menciptakan sebuah perasaan kekompakan dan juga untuk membedakan diri dari orang-orang lainnya. Munculnya kata ini tentunya terjadi bersamaan dalam sejarah masyarakat Bajo, dan merupakan hasil dan ungkapan sejarah mereka. Peringatan terhadap dunia bagai diinternalisasikan kepada anak-anak generasi penerus mereka dalam setiap kehidupan sehari-hari. Terminologi sama dan bagai bagi masyarakat Bajo, serupa dengan temuan Hefner (1999) mengenai identitas tegas orang-orang Tengger dan dan orang-orang Pasuruan, khususnya dalam perjalanan perubahan ekonomi. Orang Tengger menganggap, orang Pasuruan yang beradaptasi dengan ekologi dataran rendah sangat tidak adil, dengan banyaknya orang yang tidak punya tanah, perbedaan mencolok antara yang kaya dengan yang miskin, serta sejak dulu tidak memiliki toleransi keagamaan, sadar status, yang dihargai hanyalah pangkat, dan tidak ramah. Sementara orang Tengger yang hidup di gunung tidak prestisius dan terbuka (blater), dan orang gunung mengenggap diri mereka semua sama, sedang keturunan yang sama pula. Makna ini tidak hanya sekedar sebagai identitas etnik Bajo, karena kemudian makna ini merasuk pada pemilihan usaha yang akan dikembangkan, dan mempengaruhi bentuk-bentuk pola ekspansi usaha. Jika orang Bugis tidak mempermasalahkan ranah ekspansi usaha, misalnya orang bugis yang menguasai kegiatan penangkapan ikan dengan trawl, di Tarakan, dan Tawao, menguasai pertambakan di Delta Mahakam, menjadi petani coklat yang kaya raya di Kolaka, dan orang Bugis di Samarinda yang memonopoli impor bahan pangan hingga senjata api (Pelras, 2006). Maka tidak heran, jika ekspansi usaha orang-orang Mola bukan dengan menguasai daratan Wanci, seperti membeli tanah di daratan, kemudian membuka kios bahan bangunan sebagai usaha utama, dan kemudian usaha tersebut berdampingan, atau ikut-ikutan orang Mandati berjualan barang bekas impor dari Singapura. Ekspansi usaha orang- 203

131 orang Mola terbuka untuk segala usaha yang berbau sumberdaya laut, seperti memperkuat armada penangkapan, menambah modal untuk memperkuat basis perniagaan hasil-hasil laut, ekspansi pada jalur transportasi seperti H. BW, yang memutarkan keuntungan hasil berjualan teripang dengan membuka jasa transportasi laut. H. BA selain mengupayakan tuna, juga mengusahakan ikan sunu, dengan harapan bahwa usaha ikan sunu hasilnya dapat diputarkan untuk modal tuna yang mencapai hingga ratusan juta rupiah. Maka, bagi masyarakat Bajo Mola ekspansi kapital dalam bentuk penguasaan lahan di daratan cenderung tidak akan dilakukan oleh orang-orang Bajo, karena orang-orang Bajo memahami bahwa laut sebagai wilayah kekuasaannya, sementara segala sesuatu yang ada di daratan adalah merupakan wilayah kekuasaan orang-orang darat (Bagai). Seperti pribahasa orang-orang Bajo (Zacot, 2008) : bagai tikka ma dara (datang dari darat, hidup di darat) atau bahkan lebih lazim tikka ma diata (datang dari atas, dalam arti dari sana menuju ke darat). Makna sama dan bagai juga masih memiliki makna yang mendasar dalam hal pemilihan tenaga kerja, bahkan untuk memilih tangan kanan, yang akan membantu mereka menjalankan usaha. Misalnya bagi usaha ikan kerapu hidup, sudah menjadi harga mati nelayan yang diapai adalah nelayan pancing Bajo, dan koordinator (punggawa) pada masing-masing kelompok penangkapan juga harus orang-orang Bajo dan terkait dengan hubungan kekerabatan (daparanakan). Bagi koordinator, daparanakan sebagai institusi jaminan sosial, dalam artian kemanan posisi mereka sebagai kapitalis kecil. Meskipun Nampak sedikit menyulitkan posisi koordinator dengan mekanisme patron client ini, namun jaminan keuntungan bisa diperoleh dari pola hubungan ini. Ini juga sekaligus menemukan bahwa tidak hanya daparanakan saja yang digunakan sebagai institusi pendukung usaha, namun kelembagaan patron client harus diakui sebagai mekanisme yang menghasilkan surplus dalam pengembangan usaha ikan hidup. Bagi nelayan sawi terhadap coordinator, maupun coordinator dengan pengumpul besar yakni Hj. NI, dua kelembagaan ini memberikan jaminan sosial khususnya kepada nelayan sawi yang rentan hidup mendekati batas subsistensinya. Daparanakan dianggap sebagai perekat antara para aktor kapitalis lokal Mola. Aturan main persaingan bisnis juga diatur dalam kelembagaan ini. Menurut 204

132 Zacot (2008) Daparanakan adalah sebuah keluarga dalam arti orang yang tinggal dalam satu rumah, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup dibawah satu atap rumah, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup di bawah satu atap, apa pun tingkatan hubungan keluarga mereka. Daparanakan merujuk pada ruang geografis. Misalnya Bagi MN, persaingan bisnis antara pedagang tuna di Mola tidak begitu tinggi, malah baginya sesama pengusaha tuna saling bantu-membantu, ini dikarenakan eratnya hubungan daparanakan antara pengusaha tuna di Mola. Sehingga, tidak pernah terjadi bentuk-bentuk pencaplokan atau akusisi modal diantara pengumpul tuna. Misalnya, jika MN pengusaha tuna di Mola mengalami kekurangan stok tuna sementara Ia harus segera mengirim ke Kendari, MN akan meminta bantuan pengumpul tuna lain yang terkait hubungan daparanakan, agar menyediakan jumlah kekurangan tuna yang diperlukannya, begitu pula sebaliknya. Demikian halnya jika pengusaha nelayan kesulitan keuangan untuk membayar ongkos melaut, dan membayar hasil tangkapan nelayan, maka pengumpul meminjam uang dari pengumpul lainnya. Ada aturan yang mereka pegang antara pengusaha tuna, untuk tidak saling menggangu usaha masing-masing. Ini semua menggambarkan bentuk-bentuk strategi solidaritas horizontal, antara sesama pengumpul ikan tuna yang terkait hubungan daparanakan. Menurut MN : Biasanya saya meminjam uang kalau sudah sangat sulit, saya meninjam kepada teman pengumpul, saya bilang, saya pinjam dulu uangmu, nanti dua tiga hari baru saya bayar ke kamu. Kalau ada masalah usahanya keluarga kami yang usaha tuna, kami bantu supaya tidak mati usahanya (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011). Nilai dalam kelembagaan daparanakan, juga serupa dengan nilai pesse babua, yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, yang mengindikasikan perasaan haru (empati) terhadap tetangga, kerabat atau atau sesame anggota kelompok social. Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok social yang sedang dalam keadaan serba kekurangan. Pesse berhubungan erat dengan identitas bersama yang merupakan pengikat para anggota kelompok sosial (Pelras, 2006). Untuk beberapa kasus pengusaha hasil ikan di Mola, menunjukkan kecenderungan bahwa batas etnisitas sama dan bagai rupanya mulai samar, bukan hanya karena perubahan zaman, melainkan orang-orang darat yakni 205

133 orang-orang Mandati bisa menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Bajo. Di pasar-pasar, pedagang ikan dari Mandati duduk berdampingan dengan pedagang ikan dari Bajo Mola, semua berbaur, tanpa harus ada diskriminasi. Orang Mandati sendiri paham benar peran orang-orang Bajo bagi perkembangan usaha dagang mereka. Sebagai konsumen yang potensial bagi pasar komoditas orang-orang Mandati, Bajo diperlakukan setara. Menurut tokoh masyarakat Bajo SI : Perbedaan sama dan bagai sudah hanya di hati saja, saat ini kami sudah berbaur dengan Bagai (Wawancara dengan Ibu SI, Tanggal 9 Maret 2011). Beberapa aktor kapitalis lokal Mola seperti pengumpul tuna dan teripang saja sudah menggunakan orang-orang darat untuk menjadi mitra kerjanya. Karena hakekat orang Bajo Mola sudah mulai menganut kecenderungan ke arah individualisme, menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri, maka kecenderungan terjadinya bentuk-bentuk transfer keuntungan dalam bentuk akusisi kapital sangat besar kemungkinan terjadinya. Akusisi diartikan sebagai beberapa faktor-faktor tertentu dan alokasi pendapatan yang strategis yang bertujuan untuk memperoleh akses kepada sumberdaya eksternal dalam artian melalui pertukaran didalam sistem tersebut. Dengan kata lain, hal ini tidak menimbulkan pertukaran interaktif dengan orang lain, namun lebih pada pertukaran dengan pihak-pihak seperti perusahaan, dan kelembagaan dari aktoraktor yang terlibat, Perluasan dari pola-pola hubungan dan akses terhadap jaringan, serta ekspansi terhadap segala bentuk aktivitas-aktivitas dan bentukbentuk kemungkinan yang akan terjadi (Herbon, 1994 dalam Dharmawan, 2001). Bentuk pola-pola akusisi capital yang dilakukan oleh para pengusaha hasil laut di Mola adalah dengan mengalokasikan seluruh keuntungan yang diperolehnya, untuk memperkuat basis modal usaha yang paling menguntungkan. Sumber keuntungan bisa diperoleh dengan diversifikasi usaha tidak pada usaha perikanan tangkap dan pelayaran saja, namun usaha-usaha non penangkapan misalnya keuntungan dari hasil toko kelontongan yang dikelola oleh sang istri. Bentuk pencaplokan lainnya adalah dengan menghambat laju informasi mengenai jalur perdagangan tertentu. Namun hal ini cenderung terjadi terhadap pengumpul teripang dan ikan hidup di Mola yang cenderung tinggi persaingan. Informasi diartikan mereka sebagai peluang mendapatkan bos baru dengan harga yang lebih baik yang artinya juga peluang keuntungan semakin besar. 206

134 Selain pencaplokkan informasi, juga terjadi pencaplokan nelayan yang terikat pada salah satu pengumpul, dengan tujuan perebutan hasil-hasil laut. Maka agar tidak terjadi bentuk-bentuk pencaplokan usaha tersebut, beberapa pengumpulpengumpul besar memelihara jaringan sosial berbasis hubungan seetnis Bajo, dan terkait hubungan daparanakan dengan nelayan-nelayan produsen, dan mengikat cabang-cabang usaha dengan modal pinjaman yang berbunga rendah, dan mengikat. Sementara di Mantigola perbedaan antara sama dan bagai sangat tegas. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada konteks kesejarahan masyarakat Mantigola, yang mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang Kaledupa, menyebabkan batas tegas tersebut tetap terpelihara. Ini juga memiliki pengaruh jika dilihat dari sisi bentuk ekspansi bisnis. Maka bentuk jejaring bisnis cenderung berpola tertutup. Ini disebabkan karena resiko usaha yang sangat besar, maka untuk mencari kemanan, pola kerjasama hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait hubungan daparanakan dengannya, dan diusahakan harus orang Bajo (Sama). Dengan kondisi yang serba sulit, masyarakat Bajo Mantigola bertahan pada etika sosial kolektifisme dengan memanfaatkan sifat inklusifitas orang-orang Bajo (makna Sama), dan hubungan daparanakan untuk menghadapi segala bentuk-bentuk kesulitan hidup. Misalnya pada kasus pengumpul ikan hidup maka basis etika-nilai-moralitas yang dianut sang aktor kapitalis adalah etika sosial kolektivisme. Nilai-nilai daparanakan (kerabat) dan darumah (keluarga inti) mewarnai bentuk-bentuk transaksi bisnis antara nelayan sawi dengan koordinator atau punggawa, dan antara punggawa dengan sang pengumpul yang juga adalah istrinya. Keuntungan yang diterima oleh sang istri juga dinikmati oleh sang suami. Perlu diketahui, bahwa sesama pengumpul di Mantigola dan khusususnya untuk komoditas ikan hidup masih terkait hubungan adik kakak kandung, sehingga persaingan antara pengumpul yang satu dengan lainnya cenderung rendah. Misalnya Hj. Rh bersaudara kandung (bares tutuku) dengan Hj. DH, yang juga pengumpul ikan hidup di Mantigola. Karena persaingan antara pengumpul ikan hidup satu dengan lainnya sangat rendah, maka kemungkinan terjadinya akusisi atau pencaplokan kapital peluangnya sangat rendah. Bukannya saling mencaplok usaha, biasanya malah mereka para pengumpul ikan saling membantu jika masing-masing mendapat kesulitan di dalam 207

135 perjalanannya mengelola usaha. Pencaplokan dalam hal perebutan pengumpul ikan hidup di Mola juga cenderung tidak akan terjadi, karena baik Hj. Rh maupun H. DH memiliki pengumpul besar yang sama, yakni Hj. EI daparanakannya di Mola. Seperti komoditas tuna di Mola, maka dapparanakan juga menjadi kelembagaan penopang (supporting institution) bagi pengembangan usaha ikan hidup. Tidak hanya dapanakan, dambarisan dan bares tutuku juga memberikan peranan yang sangat besar bagi bertahannya para pengumpul ikan hidup di balik terpaan arus persaingan usaha dari pihak-pihak di luar sistem sosial mereka sendiri. Praktik hubungan patron client antara punggawa dan sawi menjalankan fungsi ekonomi sekaligus sebagai jaminan sosial bagi nelayan sawi maupun nelayan punggawa dalam mempertahankan eksistensi posisi mereka di masyarakat. Secara umum pranata patron client merupakan sebuah kelembagaan yang lahir dari rasa saling percaya antara beberapa kelompok kelas nelayan, yakni golongan pemilik kapal sebagai patron dan golongan yang tidak bermodal, dan hanya menjual tenaga. Selain kepercayaan, resiprositas atau hubungan timbale-balik antara punggawa dengan sawi melanggengkan hubungan ini yang memiliki efek ganda pada klien, karena menyelamatkan disaat sulit menguntungkan sekaligus merugikan karena sifatnya yang eksploitatif. Hakikat hubungan manusia bagi orang Bajo Mola dan Mantigola juga dimaknai dalam bagaimana orang-orang Bajo memaknai teman. Terkait dengan makna teman, bisa berarti pertemanan dengan orang lain di luar sistem sosialnya, diluar komunitas sama, dan daparanakannya, maupun secara inklusifitas di dalam kelompoknya. Bagi orang Mola segala bentuk kongsi antara dirinya dengan bagai, baik pihak eksportir, nelayan bagai, maupun orang sama dan daparanakannya merupakan asset bisnis sebagai alat maksimisasi profit. Namun, ada yang unik dari pemaknaan ini bagi orang-orang Bajo Mola. meskipun inklusifitas kelompok dalam bentuk pertemanan dengan orang-orang sama dianggapnya sebagai asset bisnis, tetapi memperlakukannya berbeda bila berhubungan dengan bagai. Tidak seperti berhubungan dengan bagai yang cenderung ingin kuat di dalam posisi tawar-menawar, para aktor kapitalis Mola lebih melunak, serta cenderung lebih longgar dengan sesama orang sama. Bentuk keunikan memandang teman bagai ini misalnya, para aktor kapitalis akan 208

136 menetapkan kesepakatan hitam di atas putih terhadap bentuk kongsi. Sementara jika mereka bermitra dengan sang daparanakan, perjanjian tersebut hanya lisan. Ini merupakan bentuk unik dari proyek bersama di antara orang-orang Bajo. Tidak ada peraturan, kelompok-kelompok terbentuk dan membubarkan diri begitu saja.seperti kasus pengumpul besar tuna di Mola, jika diteliti dengan seksama, semua pengusaha tuna terkait dengan hubungan kekerabatan yang sangat erat, paling jauh sepupu tiga kali. H. BA, seperti yang telah saya jabarkan pada bagian konteks sejarah aktor kapitalis lokal sebelumnya yang memulai usahanya dengan cara bermitra dengan daparanakannya karena kekurangan modal. Ketika masing-masing sudah merasa mapan kemudian mereka bersepakat untuk berpisah, dan tidak saling menuntut harta kemitraan bersama, semuanya terselesaikan dengan damai, tanpa menuntut ini dan itu. Dan setelah itu, mereka tetap saling bekerjasama untuk memperkuat sendi-sendi ekonomi. Namun, bagi orang Mantigola teman khususnya sesama orang sama dimaknai lebih sebagai asset sosial, atau sebagai asset kekuatan terakhir bagi orang-orang Mantigola. Kesetiakawanan yang kuat antara orang-orang sama, memungkinkan mereka membangun sebuah desa, sebagai suatu keluarga atau dambarisan. Di Mantigola, dari terbitnya matahari hingga tenggelam kembali, pertukaran tidak pernah berhenti, seperti tidak memperhatikan nilai yang saling tertukar tersebut bisa lebih menguntungkan atau merugikan. Pertukaran bisa dalam bentuk memberi ikan hasil tangkapan, meminta kayu, meminta air, meminta batang tebu, meminta ubi kayu untuk dijadikan kasoami. Misalnya Ibu MM mengungkapkan bahwa ketika seorang pengumpul ikan terbesar di Mantigola Hj. DH, panen ikan hasil rompongnya, orang-orang akan meminta bagian mereka, dan dengan mudahnya mereka peroleh ikan hasil rompong Hj. DH. Bagi Ibu MM, itu adalah kewajiban orang yang diberi nasib bisa mempunyai uang berlimpah, kepada sesama orang sama. Individualisme di dalam jiwa sang aktor di Mantigola bukanlah hanya cara untuk memperkaya diri sendiri, melainkan juga untuk memberikan perlindungan sosial kepada orang-orang sama. Maka, tidak ragu bagi siapapun yang melihat bahwa dibalik semua tekanan kehidupan yang mendera masyarakat Bajo Mantigola, makna teman sesama Bajo merupakan kekuatan terakhir yang digunakan oleh orang-orang Mantigola untuk bertahan hidup. 209

137 Bagi orang Mantigola, pertemanan yang intim dengan bagai Kaledupa, jarang terjadi. Kalaupun terjadi, biasanya itu terbentuk karena adanya ikatan yang mempersatukan mereka dalam bentuk ikatan perkawinan, baik langsung dari dirinya dengan orang Kaledupa maupun dari pihak daparanakannya. Menurut Pak Jun, orang Kaledupa, kalau mengetahui bahwa orang Bajo adalah telah terjalin hubungan keluarga melalui pernikahan akan sangat berbaik hati kepada orang-orang Bajo. Kemudian, bentuk upaya bertahan yang ditempuh oleh aktor dalam membangun aliansi bisnis strategi ke luar dengan penguasa (negara) atau aktor kekuasaan lain sebagai bentuk rasionalitas formal adalah dengan memberikan dukungan-dukungan politis kepada salah satu elit yang akan bersaing dalam PILKADA 2011, yang merupakan putra Bajo. Hampir semua masyarakat Bajo Mantigola mendukung sang putra Bajo. Menurut H. DJM : Salah satu calon 01 wakatobi adalah putra Bajo, semoga dengan mendukung putra Bajo kami orang-orang Bajo bisa diangkat derajat kehidupannya (Wawancara DJM, Tanggal 9 Maret 2011). Salah satu bentuk usaha membangun aliansi adalah dengan membiayai posko-posko sang putra Bajo di Mantigola. Dan membantu pembiayaan kampanye sang putra Bajo. Menurut H. DJM, orang-orang Mantigola saat ini seperti telur di ujung tanduk, karena mata pencaharian semakin sulit didapat, selain karena perputaran ekonomi di Kaledupa tidak berjalan, sistem zonasi sangat menyulitkan nelayan-nelayan Mantigola untuk mencari uang di Karang. Harapan orang-orang Mantigola kini hanya berada di tangan sang putra Bajo Hakikat Hidup di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo Selain kegesitannya mengelola usaha orang-orang Mola, yang juga patut diperhitungkan adalah kegigihannya dalam menghadapi gelombang cobaan yang mencoba menggoyang fondasi bisnis orang-orang Mola. Dengan mengandalkan solidaritas yang tinggi diantara daparanakannya, secarabersama-sama dilakukan upaya-upaya untuk mengamankan usahanya. Misalnya ketika Pengusaha Tionghoa, yang ingin mengupayakan usaha tuna di Mola, karena sistemnya yang sangat spekulatif, dan berupaya untuk mematikan perkembangan pengumpul-pengumpul tuna di Mola. Seperti yang diungkapkan oleh M. Nur, kelompok pengusaha tuna yang masih terkait hubungan 210

138 daparanakan melakukan upaya-upaya untuk memboikot sebagai bentuk upaya dalam menghadapi saingan bisnis mereka. Kami tidak membiarkan orang Cina masuk kemari, karena mereka mencoba merusak pasar kami. Mereka suka bermain-main harga, dan mau masuk langsung ke nelayan. Seandainya mereka masuk dari kita, tidak apa-apa, tapi orang Cina itu maunya untung sebesarbesarnya. Kita ramai-ramai keroyok orang Cina itu. Mereka pasang harga lebih tinggi dari kami, saya bilang ke teman-teman, kita kasih naik juga lebih tinggi dari dia, biar saja kita rugi. Pernah mereka mau membeli tuna sama saya, karena dia main-mainkan harga, mereka mau matikan kami pengusaha Bajo, langsung saya kasih saja tuna yang jelek, begitu juga teman-teman, tidak lama Cina itu bangkrut, dan pergi dari Mola. Coba perhatikan tidak ada penjual orang Cina di Wanci, karena orang Mandati tidak kasih celah orang Cina itu berkembang. Pernah juga ada orang Cina buka usaha bangunan, karena orang mandati bersatu untuk usir orang Cina, maka mereka pasang harga bahan bangunan serendah-rendahnya. Misalnya orang Cina itu jual Rp per lembar, ramai-ramai pengusaha bangunan yang orang mandati jual Rp per lembar. Tidak lama, orang Cina itu langsung bangkrut (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2010). Upaya-upaya perlawanan terhadap pengusaha-pengusaha Tionghoa menurut Die dalam Tan (1981) juga dilakukan oleh perkumpulan koperasi pengusahapengusaha pribumi lokal di Pekalongan dan Jepara. Menurut Die dalam Tan (1981), Di daerah-daerah orang-orang Minangkabau di Pantai Barat Sumatera, dan orang Melayu di Sumatera ; sukusuku ini terkenal karena bakat dagang mereka, peranan orang Tionghoa relative tidak menonjol. Ini menunjukkan bahwa pedagang Tionghoa hanya terdapat di tempat-tempat dimana jasa-jasanya dibutuhkan, sehingga mereka sama sekali tidak dapat menghalangi kesempatan orang Indonesia untuk maju di dalam bidang ini. Cobaan berikutnya adalah ketika usaha tuna yang dikembangkan oleh orang-orang Mola, terancam gulung tikar karena adanya kebijakan global mengenai sertifikasi produk-produk tuna yang akan diekspor ke Eropa harus bebas dari bakteri Salmonella. Maka untuk mengantisipasi kerugian yang dialami tuna dikirim bukan lagi dalam bentuk gelondongan, melainkan dalam bentuk potongan-potongan daging tuna yang telah di loing. Loing sendiri baru dilakukan oleh pengusaha tuna semenjak tahun Meloing diharuskan oleh setiap perusahaan karena adanya sertifikasi daging ikan tuna yang harus bebas dari 211

139 salmonella. Saat ini, menurut H. BA, banyak perusahaan tuna di Makassar yang gulung tikar. Misalnya eksportir tuna di Makassar, PT. Prima Bahari bangkrut karena berturut-turut 3 kontainer yang berisi daging tuna ke Eropa dikembalikan, karena terkontaminasi bakteri salmonella. Satu container saja, sudah berisi 20 ton tuna. Satu kontainer harganya bisa Rp. 2 Milyar, itu belum termasuk biaya operasional untuk 1 kilogram tuna sebesar Rp. 100 ribu per kilogramnya. Oleh sebab itu, saat ini perusahaan mengharuskan setiap pengusaha tuna yang sudah tidak mengirim dalam bentuk gelondongan, harus melakukan loing tuna sesuai SOP. Misalnya saja, ruangan harus steril, bercat putih bersih, dan lantainya harus sudah bertegel putih. Pegawai yang meloing harus memakai celemek plastik bersih, dan memakai kaus tangan karet yang steril, begitu juga dengan alat potongnya. Anak-anak kecil tidak boleh bermain-main di ruang loing. Bakteri salmonella bisa masuk ke dalam daging tuna jika salah dan pengolahan tuna. Masuknya teknologi ini, menurut pengakuan para pengusaha tuna, juga meminimalisasi kerugian, karena dengan pengiriman dalam bentuk gelondongan tuna, resiko kerusakan tuna menjadi sangat tinggi. Upaya untuk semakin memperkokoh usaha para usahawan Bajo Mola adalah juga dengan membangun suatu aliansi bisnis ke luar dengan penguasa (negara) atau aktor kekuasaan lain sebagai bentuk rasionalitas formal sang aktor. Misalnya para pengumpul tuna salah satu bentuk usaha membangun aliansi adalah dengan berkoalisi dan mendukung salah satu calon Bupati Wakatobi dalam Pilkada tahun ini adalah agar supaya usaha hasil laut yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo khususnya tuna bisa lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah. Sementara, bagi orang Bajo Mantigola hakekat hidup erat dengan keberadaan laut di dalam kehidupannya. Laut mengarahkan masyarakat Bajo untuk tunduk pada lingkungan, dan harus terus menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan air laut. Hidup bagi orang-orang Bajo harus dibina terus menerus, terpadu, dan rukun. Maka selama laut dimiliki utuh oleh mereka, maka kehidupan akan berjalan baik. Sebab laut penjamin kehidupan orang-orang Bajo sekaligus sebagai identitas mereka.menurut Ibu MM : Selama laut ada sama kita, orang Bajo pasti terus hidup, satusatunya harta kami cuma laut ini. Mangkanya kita bertahan disini, dan kami tidak bisa hidup di darat, laut yang kasih kami sumanga dan nyawa, hidup kami akan baik-baik saja kalo kami punya laut 212

140 sebagai kebun kami tidak dilarang untuk kami olah (Wawancara dengan ibu MM, Tanggal Maret 2011). Memaknai hidup erat hubungannya dengan bagaimana para aktor kapitalis Bajo memaknai usaha. Dari penjelasan sebelumnya digambarkan bahwa usaha dimaknai oleh orang-orang Bajo Mola sebagai upaya menghasilkan keuntungan atau maksimisasi profit. Keuntungan tersebut diupayakan sebagai investasi jangka panjang. Sehingga beragam bentuk individualisme yang diarahkan untuk memperkaya diri sendiri, dan dahulu berusaha dihindari oleh orang-orang Bajo, dianggap sebagai suatu bentuk kewajaran. Aktor kapitalis Mola menunjukkan masyarakat Bajo bisa menjadi orang berada, kemiskinan dan kesederhanaan bukan lagi menjadi ciri khas keberadaan orang-orang Bajo. Namun, kecenderungan ini rupanya melegalkan segala bentuk penyerapan keuntungan yang berlebih atas nama hubungan persaudaraan orang-orang Bajo. Sehingga adalah kewajaran jika orang Mola menghambat laju kemajuan Mantigola, melalui mekanisme ketergantungan yang tinggi dengan mereka. Sementara bagi para aktor di Mantigola, usaha dimaknai sebagai jalan untuk mempertahankan dirinya dari beragam bentuk guncangan-guncangan sosial. Usaha dimaknai sebagai cara untuk mencari nafkah. Berbeda dengan orang-orang Mola yang memaknai usaha sebagai jalan untuk akumulasi kapital, maka usaha sebagai upaya bertahan hidup. Usaha juga tidak serta merta untuk membeli barang-barang yang sepertinya tidak perlu, karena mereka telah terbiasa jarang memiliki harta benda. Pada akhirnya, yang cenderung nampak adalah bentuk kepasrahan orang-orang Bajo Mantigola. Bagi mereka semakin lama hidup mereka semakin sulit, dan mereka juga kebingungan dengan ketidakberpihakan pemerintah terhadap mereka. Semua ruang gerak orang-orang Bajo Mantigola semakin sempit, dan mereka tidak diberikan alternative sebagai pengganti ruang-ruang yang dipersempit tersebut. Misalnya, jika mereka tidak boleh mengambil kayu bakau untuk dijadikan kayu bakar, maka menurut orang Bajo Mantigola adalah tugas pemerintah untuk membantu mencarikan jalan keluar dari permasalahan tersebut, yang terwujud dalam sikap kepasrahannya terhadap Tuhan atas segala bentuk kesulitan hidup yang dialaminya. Seperti apa yang diungkapkan ibu MM : Kalau kami begini terus, tinggal tunggu kematian kita segera datang. Sekarang kami pasrah, sudah tidak ada apa-apa lagi, sekarang kita 213

141 hanya tinggal berjuang untuk hidup kami (wawancara dengan Ibu MM, Tanggal Maret 2011). Selain kepasrahan terhadap nasib, juga terjadi ketidakmampuan bersaing juga terjadi dengan pengusaha-pengusaha ikan di Mantigola dengan bos-bos eksportir yang datang langsung untuk bertransaksi dengan nelayan produsen tanpa melalui pedagang perantara di Mantigola. Seperti apa yang diungkapkan oleh Hj. Rh : Sekarang ini sudah susah lain dengan dulu, sekarang toke-toke dari Bali, Surabaya, Makassar, Kendari, dan bau-bau datang langsung membeli ke nelayan. Harga yang mereka berikan sama dengan harga yang mereka kasih ke kita. Tentu nelayan lebih baik menjual kepada mereka, karena lebih tinggi.(wawancara dengan Hj. Rh, Tanggal 26 Maret 2011). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika pengumpul Mola berani menjadi kaki tangan eksportir ikan Hidup, mengapa pengumpul di mantigola seperti Hj. Rh tidak melakukan hal yang sama dengan Hj. EI daparanakannya. Jawabannya adalah karena adanya sifat dasar orang-orang Mantigola yang cenderung takut untuk mengambil resiko terhadap konsekuensi yang akan mereka peroleh, jika dikemudian hari terjadi sesuatu yang berhubungan dengan pelanggaran hukum. Sikap yang penakut ini, rasanya kontras dengan pemaknaan kita terhadap suku bajo yang dahulu hidup berpindah-pindah, dan berani mengarungi lautan beserta keganasannya. Sifat penakut ini muncul diduga sebagai suatu bentuk adaptasi orang-orang Bajo Mantigola karena secara kontekstual hubungan yang diskriminatif terbentuk antara orang-orang Kaledupa (Bagai Kaledupa) dengan orang-orang Bajo (Sama) sejak awal kedatangan suku Bajo di Pulau Kaledupa. Selain itu juga, pengalaman menghadapi Jagawana, dan beberapa kali tersandung masalah hukum dan misalnya pengalaman para pengusaha penyu, dan ikan kerapu hidup yang suaminya di kurung, juga mempengaruhi agresifitas dalam berusaha. Menurut Hj. Rh : Kami pernah ditawari untuk mengurus keramba perusahaan di karang, tapi kita disini tidak mau, karena resikonya tinggi, kami tidak mau cari-cari masalah. Biar lah kami mengirim ke Mola, biar orangorang Mola saja yang mengurus.tidak seberapa juga kami dapat keuntungan dari itu, kami takut tanggung jawabnya (Wawancara dengan Hj. Rh, Tanggal 26 Maret 2011). Dan alasan terakhir, terkait dengan kepemilikan modal usaha yakni uang yang terbatas, sementara usaha penyu dan ikan napoleon yang keuntungannya akan 214

142 dijadikan investasi sudah tidak diusahakan karena terkait masalah pelarangan dalam kegiatan penangkapan maupun penjualan Hakekat Karya di Dalam Bentuk Kapitalisme Lokal Suku Bajo Beberapa kelompok masyarakat ada yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk bertahan hidup saja. Ada pula yang memandang bahwa bekerja dapat meningkatkan status. Dan ada pula yang menganggap bahwa kerja untuk menambah karya yang lainnya. Pada saat masyarakat Bajo hidup dalam kondisi berpindah-pindah, kerja bagi mereka adalah untuk bertahan hidup dari kerasnya gelombang lautan. Saat ini bagi masyarakat Bajo khususnya Mantigola pemaknaan tersebut tidak banyak berubah. Segala bentuk tekanan yang mengancam kehidupannya, antara lain perlakuan diskriminatif dari masyarakat Kaledupa, mekanisme ketergantungan yang diciptakan sendiri oleh orang-orang Bajo Mola dalam bentuk pinjaman modal usaha yang sifatnya terikat, semakin menyempitnya ruang gerak nelayan Bajo Mantigola dalam mencari nafkah, karena adanya zonasi taman nasional, dan berlakunya MoU Box 1974, memperlihatkan tidak berubahnya pemaknaan mereka mengenai hakekat kerja sebagai upaya untuk usaha bertahan hidup. Menurut Hj. Rh : Kami orang Bajo, hanya andalkan laut saja untuk hidup, kita tidak akan mati selama ada laut. Kita orang Bajo kerja-kerja mengolah hasil laut seperti ini, kalau ada untung kami simpan tapi kalau tidak ada untung yang penting untuk sehari-hari saja (Wawancara dengan Hj. Rh,tanggal 26 Maret 2011). Makna kerja terkait erat dengan bagaimana orang Bajo baik Mola dan Mantigola memandang modal. Bagi orang-orang Mola, modal merupakan suatu investasi jangka panjang, maka para aktor kapitalis lokal di Mola berupaya agar modal semakin berkembang. Untuk menyokong modal yang dibutuhkan demikian besarnya, maka tidak ada kata kekosongan usaha, segala bentuk usaha-usaha perikanan diupayakan untuk mengisi kantong-kantong modal yang akan diputarkan berikutnya. Misalnya, H. BA selain mengupayakan tuna, juga mengupayakan perdagangan ikan kerapu dan sunu sebagai antisipasi dari musim panen tuna, yang membutuhkan modal sedemikian banyaknya. Dan untuk mendukung permodalan, beragam upaya seperti berhubungan dengan bank perkreditan rakyat juga sangat giat dilakoni oleh para aktor kapitalis lokal. Meskipun banyak dari mereka mengeluh, mengenai terlalu kecilnya pinjaman modal yang mereka dapatkan dari perbankan negara. Menurut H. BA : 215

143 Semua peluang hasil-hasil laut kita upayakan selama itu memang bisa membantu kami dalam berusaha, misalnya kita upayakan keuntungan tuna yang ada bisa digunakan untuk usaha berikutnya, pokonya harus pintar kelola uang biar bisa berkembang usaha tuna kita (wawancara dengan H. BA, Tanggal 11 Maret 2011). Modal bagi aktor di Mantigola dimaknai sebagai alat untuk mempertahankan usaha yang telah ada. Hj. Rh misalnya yang mengutarakan bagaimana usahanya mengalami penciutan skala usaha. Sehingga modal yang diperolehnya hanya diputarkan untuk usaha yang dia yakin benar akan menghasilkan keuntungan yang berarti. Sementara untuk mengembangkan pada usaha lain yang menawarkan keuntungan, akan tetapi ke depan menghadapi resiko akan ditolak mentah-mentah. Bagi Hj. Rh modal juga dipandang bukan saja untuk usaha, melainkan modal juga dipersiapkan untuk menghadapi pihakpihak tertentu yang sekiranya berupaya untuk menghalangi mereka dalam mencari nafkah. Modal digunakan juga untuk membiayai pembebasan sang suami yang ditahan oleh pihak aparat kemanan, karena melanggar aturan taman nasional. Seperti pengakuan Hj. Rh, bahwa uang hingga ratusan juta hilang untuk kurun waktu lima tahun terakhir hanya untuk membebaskan suami dari kurungan. Tidak dipungkiri juga oleh orang-orang Bajo Mantigola, bahwa jika pada saat mereka melakukan kegiatan penangkapan di karang, kemudian dijaring tersangkut penyu, penyu tidak dilepas, melainkan dibawa pulang, kemudian dijual. Menurut Hj. Rh, dan nelayan DJM itu dilakukan semata-mata karena kesulitan yang dihadapi orang-orang Bajo, dan dianggap sebagai sebuah keberuntungan, karena artinya akan nada uang yang dibawa pulang untuk pulang. Dan mereka menyadari, tindakan yang dilakukannya jika diketahui oleh jagawana akan dikategorikan sebagai pencurian. Namun bagi mereka, itu bukanlah mencuri, karena laut milik mereka. Mencuri bagi orang-orang Bajo Mola dipersepsikan dengan memasuki rumah orang lain, tanpa seizing pemilik rumah, dan diam-diam mengambil harta milik orang lain. Sementara karang adalah milik orang Bajo, jadi jika penyu maupun kima yang terlarang di karang diambil oleh orang Bajo diartikan oleh orang di luar sistem social Bajo sebagai pencurian, maka artinya orang Bajo mencuri di dalam rumah sendiri. Menurut Scott (1985), apa yang dilakukan oleh nelayan Bajo Mantigola tersebut sebagai suatu bentuk 216

144 perlawanan yang sifatnya informal, perorangan, anonim, dan tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang marjinal Persepsi Manusia terhadap Waktu di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo Orang-orang Bajo dengan hidupnya yang dahulu, menganggap bahwa apa yang didapat hari ini, juga dihabiskan hari ini juga. Ini karena bagi mereka kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Bagi mereka, menyimpan sesuatu, apalagi uang, dan akan diupayakan kembali tidak dihiraukan. Orientasi mereka bukan pada masa depan melainkan pada masa kini. Saat ini orientasi nilai yang hanya memandang masa kini saja, memang cenderung masih dilakoni oleh orang-orang Bajo, namun ini dianut oleh orang-orang Bajo dari kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi, misalnya nelayan kecil, atau nelayan sawi. Orientasi ini sebenarnya dikeluhkan oleh beberapa pengusaha di Mola, keprihatinan mereka terhadap nelayan kecil yang tidak berkembang kualitas hidupnya karena sifat kekurang pandaian mereka dalam mengelola keuangan. Menurut Zacot (2008), kecepatan orang-orang Bajo menghabiskan makanan dan mencari makan tidak lah sama. Pada saat makan atau bila seseorang tiba-tiba ingin makan tetapi tidak ada makanan yang tersedia di rumah, ia akan pergi mencarinya di laut atau di desa. Jika tidak ada seekor pun ditangkap atau bila tidak ada uang ia akan menunggu. Sebaliknya, bila makanan berlimpah-limpah ia mendapat makanan (dengan daya upayanya sendiri atau dengan menjual jasa) atau seseorang memberi makanan kepadanya, maka makanan ini dengan sendirinya dihabiskan. Orang-orang Bajo seperti ini memandang segala bentuk karya hanya sebagai alat untuk menafkahi hidupnya. Pemaknaan terhadap waktu ini dipengaruhi oleh ketidakpastian orangorang Bajo untuk mendapatkan makanan, dan ketidakmungkinan untuk menyimpannya. Menurut Zacot (2008) sifat ini agaknya juga disebabkan pada kenyataan bahwa orang Bajo mendapat, menunggu dan menghabiskan makanannya secara tersendiri menurut irama yang tidak tetap. Semua dapat dijual, semua dapat dibeli. Ini merupakan proyek bebas, suatu prakarsa. Harga ikan dan bahan makanan lainnya turun naik sesuai dengan banyaknya ikan. Sehingga orang Bajo tidak mempunyai sistem ekonomi yang diterapkan pada desa atau pada sebagian penduduk. Tidak ada peraturan yang dibuat 217

145 sebelumnya, yang secara tetap mengatur berkumpulnya orang-orang dengan tujuan social dan ekonomi. Misalnya, sifat orang-orang Bajo, yang menurut MN turut mempengaruhi perkembangan skala usaha nelayan-nelayan Bajo adalah pemborosan yang sangat berlebihan. Menurut MN : Bayangkan, perputaran uang di Mola, setiap harinya nyaris mencapai ratusan juta rupiah, tetapi jatuhnya di pasar. Kalau nelayan di Mola ini menerima hasil tangkapan, bisa jutaan yang mereka peroleh. Tetapi jajan orang-orang Bajo di sini tinggi sekali. Orang-orang Mandati jualannya selalu habis setiap hari, orang-orang Bajo yang beli semua jualannya. Jutaan rupiah uang bisa habis hanya dalam hitungan hari. Orang Bajo kalau makan hampir enam kali sehari, belum uang jajan anak-anaknya. Ibaratnya bawa ikan satu sampan, pulang bawa belanjaan satu sampan juga.dalam sehari setiap anak bisa menghabiskan uang jajan sampai Rp. 15 ribu rupiah. Untuk masalah keuangan keluarga, istri lah yang mengatur. Jadi, kalau istri tidak bisa mengelola uang hasil menangkap, maka nelayan susah hidupnya. Seandainya mereka bisa menabung, mungkin hidupnya tidak susah begini (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2010). Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Bajo Mola, karena perkembangan masyarakat dan penetrasi kapitalisme dari orang-orang Mandati dan gempuran kapitalisme global memunculkan pemikiran-pemikiran rasionalitas terhadap ekonomi dan uang, dan pada akhirnya menciptakan orang-orang Bajo Mola yang berjiwa wirausaha dan yang pandai mengelola keuangan. Yang tidak berfikir pada masa kini saja melainkan juga berfikir pada masa depan. Meskipun nilai-nilai tertentu tetap mereka pertahankan. Beberapa orang-orang Bajo yang seperti ini menganggap bahwa karya yang dihasilkan akan digunakan untuk melakukan ekspansi kapital dengan menginvestasikan keuntungan untuk mengembangkan usaha lainnya. Sementara, para pengusaha Mantigola, yang kekurangan modal, lebih cenderung melihat segala bentuk peluang hanya untuk orientasi pada masa kini. Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, yang membahas mengenai bentuk-bentuk rasionalitas, maka segala bentuk keuntungan dipersiapkan oleh pengusaha di Mantigola untuk bertahan. Misalnya saja Hj. RH, harus melakukan penciutan skala usaha, karena kerugian yang bertubi-tubi harus dialaminya. Termasuk untuk membiaya para suami yang bisa jadi akan di bui ketika kedapatan oleh jagawana memperdagangkan hasil-hasil laut yang terlarang untuk diperdagangkan. 218

146 Menurut Hj. Rh, pengusaha ikan hidup di Mantigola, mengatakan bahwa usahanya yang bisa dibilang dahulu sangat sukses, saat ini sedang mengalami krisis. Hal ini dikarenakan beberapa komoditas sudah mulai dilarang perdagangannya. Misalnya saja penyu. Penyu hijau adalah komoditas andalannya. Melalui perdagangan penyu puluhan bahkan ratusan juta dikantonginya. Sekarang, semenjak ada zonasi taman nasional, dan pengawasan yang sangat ketat oleh jagawana membuat penurunan penjualan penyu. Setali tiga uang dengan ikan napoleon yang berharga di pasaran, juga sudah menurun kegiatan perdagangannya. Menurut Hj. Rh : Dulu sebelum zonasi taman nasional, kami bebas menjual ikan di Karang, bos-bos tinggal ambil di karang, sekarang kami susah mencari. Yang susah yang mencari, yang menjual seperti kami juga semakin susah, apalagi kalo kami tertangkap, puluhan juta harus kami bayar biar kami bisa lolos dari kurungan, biaya yang kami keluarkan besar sekali. Sekarang hampir setiap minggu jagawana patrol di karang. Kami ditangkap oleh jagawana seperti pencuri saja, dulu kami bebas ambil apa saja, padahal jagawana itu bukan yang punya laut. Kalo kami dilarang-larang mencari di karang, dan hanya boleh ambil di pinggir-pinggir pulau atau pesisir pulau saja, darimana kami memperoleh uang untuk makan dan menyekolahkan anak kami. Di Karang saja terkecuali kami mengambil yang mahal-mahal baru bisa dapat untung lebih. Uang saya habis hampir 55 juta untuk keluarkan Pak Haji suami saya dari kurungan, itu sudah berkali-kali, jadi sudah ratusan uang saya habis. Sekarang di Mantigola cukup untuk makan saja, kalo mau dapat berlebih sekarang susah. Banyak pengusahapengusaha Bajo di Mantigola ini akhirnya mundur. Penyu saja sekarang dilarang, tapi karena kita mau hidup juga, kita diam-diam jual, kami pasrah kalo mau ditangkap, kami hanya mau hidup saja. Yang penting kami tidak mencuri di rumahnya orang. Kalo kami mengambil sesuatu di karang meskipun terlarang itu tidak apa-apa karena itu sumber kehidupan kami, dan karang itu milik kami (Wawancara dengan Hj. RH, Tanggal 26 Maret, 2011). Gambaran perbedaan orientasi nilai budaya terhadap warna yang berbeda di dalam kapitalisme lokal diringkas dalam matriks berikut ini : Matriks 8. Perbandingan Orientasi Nilai Budaya terhadap Warna Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola No. Pemaknaan terhadap Lima Masalah Dasar di Dalam Hidup Orientasi Nilai Budaya terhadap Warna Kapitalisme Lokal Bajo Mola Bajo Mantigola 1. Hakekat Hidup Memaknai bahwa hidup itu buruk, akan tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik, sehingga menciptakan optimistik hidup. Memaknai bahwa hidup itu baik, selama laut sebagai sumber nafkah hidup masih dikuasai oleh orangorang Bajo. 219

147 No. Pemaknaan terhadap Lima Masalah Dasar di Dalam Hidup 2. Hakekat Karya Memaknai karya untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya. 3. Persepsi Manusia terhadap Waktu 4. Persepsi Manusia terhadap Alam 5. Hakekat Manusia dengan Manusia Sumber : data primer, diolah Orientasi Nilai Budaya terhadap Warna Kapitalisme Lokal Bajo Mola Bajo Mantigola Orientasi kepada masa depan. Manusia berhasrat ingin menguasai alam Mulai berorientasi pada individualisme, menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri. Hal ini didukung dengan samarnya batas tegas antara orang sama dan bagai. Meskipun nilai-nilai kolektivitas masih bertahan. Memaknai karya itu sebagai suatu nafkah hidup. Orientasi kepada masa kini. Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat. Orientasi kolateral (horizontal), dengan rasa ketergantungan kepada sesama sangat tinggi. Ini juga didukung karena nilai-nilai sama dan bagai sangat tegas. Dari gambaran orientasi nilai di atas, antara Bajo Mola dan Bajo Mantigola menunjukkan bahwa nilai (values) dari wujud pemaknaan terhadap hidup, karya, persepsi terhadap waktu, terhadap alam (worldview), dan hubungan manusia dengan manusia, memberikan warna tersendiri terhadap bentuk-bentuk kapitalisme local. Walaupun berasal dari etnis yang sama, namun karena gerusan nilai-nilai materialisme, maka warna kapitalisme sebuah perubahan social yang juga sangat berbeda. Di satu sisi Mantigola yang masih mempertahankan ekonomi pra kapitalismenya, sementara Mola yang progresif dan optimistic menerima ekonomi kapitalis, namun masih mempertahankan nilainilai social tertentu, yang rupanya memberikan warna lokal terhadap kapitalisme yang mereka bangun Rasionalitas di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola Weber bertolak dari suatu asumsi dasar bahwa rasionalitas adalah unsur pokok peradaban Barat yang mempunyai nilai dan pengaruh universal. Dalam kegiatan ekonomi, dapat dilihat bahwa banyak peradaban dalam sejarah yang mengenal untuk mencari laba. Akan tetapi, hanya di Baratlah aktivitas mencari laba tersebut diselenggarakan secara lebih terorganisasi secara rasional. Selanjutnya, inilah akar utama sistem perekonomian Kapitalisme yang mewujudkan diri dalam perilaku ekonomi tertentu. Perilaku ekonomi kapitalistis, menurut Weber, bertolak dari harapan akan keuntungan yang diperoleh dengan 220

148 mempergunakan kesempatan bagi tukar-menukar yang didasarkan pada kesempatan mendapatkan untung secara damai (Deliarnov, 1997). Namun, tesis Weber ini memang harus dipertanyakan. fenomena tumbuhnya kapitalisme pada masyarakat Bajo, para pedagang Bugis, para pedagang Minang, pengusaha tenun Batak Toba (Sitorus, 1999), dan pedagang etnis Buton Gu Lakudo (Malik, 2010), mematahkan tesis Weber mengenai rasionalitas atas laba yang hanya terbentuk di Negara-negara Barat. Akan tetapi, pernyataan Weber (1946) yang menganggap bahwa, sebuah unit, seperti kapitalisme bukanlah suatu keseluruhan tidak terdeferensiasi yang bisa dipersamakan dengan naluri serakah atau dengan masyarakat serba uangseperti yang lebih terlihat oleh Marx dan Sorel. Weber menganggap bahwa kapitalisme sebagai sebuah skala berbagai tipe, yang masing-masing memiliki cirri institusional tersendiri Artinya bahwa Weber juga mengakui bahwa konteks sosial juga mewarnai bentuk-bentuk kapitalisme, warna kapitalisme tidak bisa di universalkan. Rasionalitas bagi Weber dalam Turner (1991) ditunjukkan melalui prinsipprinsip kalkulabilitas dan control yang sistematis atas semua aspek kehidupan manusia berdasarkan peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran yang umum, yang mengesampingkan daya tarik norma-norma tradisional atau antusiasme kharismatis. Sehingga rasionalitas dianggap Weber memberikan kemungkinan pengendalian yang efektif terhadap alam dan masyarakat, membebaskannya dari kegelisahan-kegelisahan dunia yang tidak dapat diramalkan dan melepaskannya dari kekuatan gaib. Berpijak pada pemikiran Weber, maka pemahaman terhadap munculnya aktor kapitalis lokal Bajo berfokus pada penguraian sikap-sikap, motif-motif serta pandangan-pandangan yang terkenal dari aktor sosial yang saling mempengaruhi dalam situasi-situasi yang mempunyai maksud. Sebuah motif menurut tafsiran sosiologi, adalah suatu deskripsi verbal yang memberikan gambaran-gambaran, penjelasan atau dasar kebenaran tingkah laku yang dilakukan oleh aktor sosial. Motif-motif adalah jawaban-jawaban tertentu yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai alasan seseorang melakukan sesuatu. Menurut Turner (1991), untuk memahami motif-motif, kita harus menganalisa konteks-konteks sosial di dalam mana mereka berada dan 221

149 lebih lanjut kita harus mengetahui bahwa motif-motif yang subyektif dari hubungan antar manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial makro pada keadaan kultural dan ekonomi dari masyarakat-masyarakat. Menilik perbedaan strategi bisnis yang diterapkan oleh para pengusaha di Mola, dan Mantigola; Mola cenderung pada perhitungan ekonomi untuk keberhasilan usaha dan mendukung akumulasi capital, sementara Mantigola menitik beratkan pada ketergantungan terhadap hubungan-hubungan social daparanakan (kin relationship) baik sebagai tenaga kerja, dan sebagai katup penyelamat usaha menegaskan ada perbedaan rasionalitas dalam memandang usaha dan strateginya. Merujuk pada teori rasionalitas Weberian yang telah diungkapkan pada bab tinjauan pustaka sebelumnya. Bahwa menurut Weber, rasionalitas terbadi atas dua golongan besar. Antara lain rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) yang melandasi segala bentuk tindakan-tindakan ekonomi kapitalistik, dan rasionalitas berorientasi nilai (substantive rationality) yang melandasi tindakan-tindakan ekonomi pra kapitalistik. Berpijak pada teori tersebut, maka rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) yang melandasi segala bentuk strategi bisnis untuk usaha maksimisasi profit yang cenderung ekspansif, berani mengambil resiko, agresif, terbuka dengan beragam inovasi dan bentuk kemitraan dengan eksportir, dalam bentuk rasionalitas praktis pada actor kapitalistik Bajo di Mola. Rasional praktis sendiri mewajibkan hitunghitungan ekonomi, dan akumulasi kapital untuk mobilitas sosial vertikal melalui prestasi usaha (achievement). Namun, bukan berarti aktor kapitalis di Mola melupakan segala bentuk rasionalitas substantif. Rasionalitas ini juga cenderung masih bercokol pada ranah pemaknaan para aktor kapitalis tersebut. Di sinilah titik konflik rasionalitas terjadi, ini terkait erat dengan pilihan setiap aktor dalam menggunakan tenaga nelayan. Apakah menggunakan nelayan terikat yakni orang-orang darat yang menawarkan kemudahan dan keuntungan, ataukah menggunakan nelayan Bajo yang sifatnya terikat, yang malah memberikan kesulitan bagi pengusaha. Bagi beberapa pengusaha di Mola, akibat tekanan pasar, mereka mengakui yang dahulu hanya menggunakan nelayan terikat saja dan hanya merekrut nelayan-nelayan suku Bajo saja. Saat ini, pengusaha di Mola menggunakan jasa nelayan darat, namun dengan sistem yang tidak terikat, atau bebas. Beberapa pengusaha mengakui bahwa menggunakan orang-orang darat 222

150 (Bagai) sebagai nelayan jauh lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan nelayan Bajo. Namun, bagi para pengusaha Bajo menggunakan nelayan Bajo yang terikat meskipun terkadang mereka sering dicurangi. Bentuk-bentuk kecurangan nelayan Bajo terhadap pengusaha hasil laut, khususnya pengumpul ikan hidup antara lain seperti yang diungkapkan Pak Jun mengeluhkan sikap nelayan pancing yang sering menipu punggawa. Yang cenderung menipu adalah nelayan pancing yang tidak berkelompok. Nelayan pancing yang mencari sendiri meminta uang panjar dalam jumlah yang besar, namun tidak giat mencari. Menurut Pak Jun ini berakibat pada kerugian pengumpul, dan nelayan sendiri akan terjerat dengan utang. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pak Jun : Nelayan sekarang banyak kasih susah kami para juragan. Khususnya nelayan pancing yang sendiri, mereka ambil uang panjar banyak-banyak, lalu diserahkan ke istrinya untuk beli emas, atau untuk main judi, lalu lupa mencari, akhirnya mereka yang susah mengembalikkan, kami juga susah berusaha. Sekarang kembali nelayan yang tipu kita para juragan. Jadi, nelayan kecil Bajo sekarang hanya terus jadi nelayan kecil, tidak berkembang. Yang lebih menyakitkan lagi, kami juragan sudah susah-susah mencarikan panjar untuk mereka, malah mereka menjual ke orang lain, tanpa sepengetahuan bos yang memberikan panjar, karena harga yang ditawarkan lebih tinggi (Wawancara dengan Pak Jun, Tanggal 19 Maret 2011). dan jika dilihat dari sudut pandang ekonomi menggunakan nelayan terikat dari suku Bajo kurang menguntungkan, tetap harus dilakukan. Menurut H. TJW, pengusaha teripang di Mola: Saya lebih senang dengan nelayan di darat sana. Karena kita tidak kasih panjar. Cukup kami kasih rokok, gula, dan kopi saja. Sementara kalau nelayan Bajo di Mola, di Mantigola, atau Sampela harus kita biaya solarnya, perahunya, belum beras, batere buat senter, pokoknya banyak yang dibiayai. Untuk usaha seperti kami ini, kami lebih senang dengan model nelayan darat di Patuno. Biasanya nelayan darat yang mencari ikan, suka dapat teripang jadi mereka menyetor ke saya (Wawancara dengan TJW, Tanggal 19 Maret 2011). Pernyataan H. TJW, juga didukung oleh pengakuan H. BA, pengusaha tuna di Mola: Terus terang saya senang bekerjasama dengan nelayan darat, tidak banyak menyusahkan saya. Malah membantu saya, karena biasanya tidak langsung ambil uang kalau habis menyetor, biasanya mereka minta dikumpulkan saja. Nanti kalau sudah banyak baru uangnya diambil. Hanya sekali saya ongkosi nelayan darat, saya belikan mesin 223

151 perahunya. Biaya operasionalnya tidak minta. Hasilnya juga lebih banyak dari nelayan darat. Kalau nelayan di Bajo Mola, setelah menyetor langsung minta uang, dan uangnya langsung habis dibelanjakan di pasar. Kalau nelayan Patuno ditabung, banyak nelayan di Patuno yang sudah bisa beli motor, malah ada yang bisa mobil angkutan.(wawancara dengan H. BA, Tanggal 11 Maret 2011). Kewajiban-kewajiban sosial yang melekat pada orang-orang kaya Bajo, menuntut terjadinya ikatan kerjasama dengan nelayan-nelayan kecil Bajo, meskipun dalam kerangka rasionalitas ekonomi sang aktor kapitalis Bajo Mola mengatakan tindakan ini cenderung tidak menguntungkan. Ini juga membuktikan bahwa terjadi pertarungan antara rasionalitas ekonomi sang aktor yang merujuk pada akumulasi surplus secara individu, dengan rasionalitas moral sosial, yakni menjaga solidaritas diantara orang-orang Sama. Merujuk Weber (Johnson, 1998), konflik rasionalitas ini terjadi karena tuntutan efisiensi yang terus meningkat, dan harus dibayar tinggi secara psikologis oleh sang aktor. Apakah harus mengorbankan spontanistasnya, hubungan personalnya, atau kah harus mengorbankan keuntungan ekonomi yang berlimpah?. Fakta ini sebenarnya sesuai dengan temuan Schrauwers dalam Li (2002) mengenai sifat ekonomi moral masyarakat To Pamona yang hidup di daerah pinggiran dataran tinggi Sulawesi Tengah. Kalangan Patron memberikan jaminan kebutuhan hidup kepada petani kecil, ini dilakukan juga sebagai suatu bentuk kewajiban patron sebagai orang yang bernasib beruntung di komunitasnya. Strategi ekonomi moral ini dianggap sebagai upaya-upaya dalam meredakan ketegangan antar kelas; cara untuk mendapatkan jaminan subsistensi tersebut membatasi sikap berontak. Tindakan ekonomi dibentuk atas dasar etika dan moral, dan pada akhirnya akan membentuk sebuah karakter yang akan mencirikan gamabaran suatu komunitas tertentu. Kelompok substantif ekonomi moral yang dikembangkan oleh E.P. Thompson (1971) menyandarkan diri pada prinsip dasar keterlekatan (embeddedness). Aktifitas ekonomi produktif akan mempengaruhi kehidupan dan status manusia, namun demikian semua aktifitas tersebut akan dipengaruhi oleh norma-norma, harapan-harapan, dan nilai-nilai komunitas. Dengan kata lain, aktifitas ekonomi dan surplus yang dihasilkan digunakan sebagai sarana mendukung dan meningkatkan kehidupan sosial (Widiyanto, 2009). 224

152 Sementara bagi pengusaha Mantigola lebih condong kepada rasionalitas substantive (berorientasi nilai) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kolektifitas egalitarianisme yang menitikberatkan pada ketergantungan terhadap hubungan daparanakan baik sebagai pemberi modal maupun sebagai tenaga kerja meskipun sifatnya cenderung mengikat dan merugikan dari sisi ekonomi. Sehingga dengan dasar rasionalitas tersebut, strategi bisnis sebagai dasar maksimisasi profit yang dikembangkan cenderung lebih berhati-hati, menghindari bentuk-bentuk kemitraan dengan eksportir, karena takut akan segala bentuk resiko, terikat dengan pemilik modal, dan cenderung defensive atau bertahan. Untuk pola-pola ekspansi bisnis, para aktor kapitalis di Mola cenderung dilatarbelakangi oleh rasional instrumental dengan menitik beratkan pada rasionalitas praktis. Rasionalitas ini kemudian memacu sang aktor untuk semakin giat berekspansi. Meskipun ekspansi yang dilakukan cenderung untuk memperkuat usaha penangkapan, melalui strategi nafkah diversifikasi usaha baik di sector pelayaran, khususnya jasa angkutan laut, perbengkelan kapal, maupun usaha-usaha non perikanan seperti usaha warung kelontongan. Sebaliknya di Mantigola, akibat semakin menguatnya rasionalitas substantif, hingga munculnya gejala rasionalitas transedental, yang diidentikkan dengan munculnya gejala keputusasaan, dan pemasrahan akan nasib hidup kepada Yang Maha Kuasa. Selain karena kuatnya nilai-nilai kolektifitas antara sesama orang Bajo, yang telah dibahas sebelumnya pada bab lima dalam gambaran umum konteks kesejarahan orang-orang Bajo Mantigola, bahwa penguatan nilai-nilai kolektifitas tersebut merupakan hasil adaptasi dari orangorang mantigola terhadap kondisi sosial ketika menghadapi orang-orang Kaledupa, juga karena beragam bentuk tekanan-tekanan terhadap ruang-ruang nafkah, yakni laut sebagai sumber nafkah orang Bajo Mantigola. Maka bentuk akumulasi kapital diarahkan bukan untuk berekspansi seperti orang-orang Mantigola, namun segala bentuk transfer surplus atau keuntungan diarahkan mempertahankan basis usaha agar bisa bertahan diarus persaingan yang harus dihadapi manakali harus menghadapi tekanan dari taman nasional, dan serbuan dari eksportir yang langsung bertransaksi dengan nelayan produsen di Mantigola. Kemudian, berdasarkan pola maksimisasi profit melalui akusisi kapital, para aktor kapitalis Mola cenderung melakukan bentuk-bentuk akusisi kapital, ini dilakukan sebagai implementasi dari bentuk-bentuk rasionalitas praktis ekonomi. 225

153 Bentuk-bentuk pencaplokan dinyatakan dalam bentuk pencaplokan hasil-hasil laut dengan memperoleh sebanyak-banyaknya hasil tangkapan dari nelayan, dan memiliki jumlah nelayan terikat yang relatif banyak. Pola akusisi juga cenderung dilakukan oleh aktor kapitalis di Mola, karena unit usaha memang bukan sebagai pola usaha bersama seperti beberapa kejadian pengelolaan usaha di Mantigola, akan tetapi lebih condong pada kepemilikan individu dan perusahaan. Kepuasan yang dirasakan oleh para aktor kapitalis jika keuntungan diperoleh secara individual. Akusisi akan dilakukan oleh lawan bisnis yang juga orang Bajo Mola, jika Ia dan lawan bisnisnya tidak terkait dengan unsur daparanakan nya. Karena rasionalitas nilai yang terkait dengan daparanakan, membatasi keserakahan para aktor kapitalis terhadap orang lain yang juga daparanakannya. Mereka mengibaratkannya dengan ungkapan menghancurkan daparanakan, berarti menghancurkan diri sendiri. Menurut H. BA : Biasanya saya meminjam uang kalau sudah sangat sulit, saya meminjam kepada teman pengumpul, saya bilang, saya pinjam dulu uangmu, nanti dua tiga hari baru saya bayar ke kamu. Kalau ada masalah usahanya keluarga kami yang usaha tuna, kami bantu supaya tidak mati usahanya.(wawancara dengan H. BA, Tanggal 11 Maret 2011). Sementara bagi aktor-aktor di Mantigola, maksimisasi profit melalui akusisi cenderung jarang dilakukan, karena beberapa unit usaha, misalnya untuk usaha penangkapan ikan dengan menggunakan rompong, unit usaha merupakan skala usaha kolektif dengan berbasiskan hubungan daparanakan dan darumah. Model kerjasama kolektif ini juga sekali lagi sebagai bentuk adaptasi atas bentuk tekanan-tekanan pada ruang-ruang nafkah orang-orang Bajo Mantigola. Maka akusisi capital tidak difikirkan oleh orang-orang Mantigola, sebaliknya mereka menggunakan etika moralitas kolektifisme untuk bertahan, dan menghalangi segala bentuk pola akusisi capital. Karena kecenderungan orang-orang Mola dalam mengimplementasikan rasionalitas instrumental ekonomi, maka bentuk ekspansi dalam bentuk jejaring bisnis cenderung lebih terbuka. Rasionalitas instrumental ekonomi praktis mengarahkan pada nilai-nilai individualisme dan komersialisme sehingga peleburan batas-batas antara sama dan bagai mulai terjadi. Peleburan batasbatas nilai sama dan bagai tersebut akan dipaparkan secara rinci telah dibahas pada bagian pemaknaan orang Bajo terhadap sesamanya. 226

154 Orang-orang Mantigola berlaku sebaliknya, bentuk ekspansi usaha lebih tertutup, karena orang-orang Mantigola lebih nyaman jika berhubungan bisnis dengan daparanakannya dibandingkan dengan orang lain. Tindakan afeksi ini muncul karena rasionalitas substansi nilai-nilai sama dan bagai masih tegas berlaku di Mantigola. Beberapa pengalaman pahit orang-orang Mantigola saat bermitra dengan orang-orang darat Kaledupa memperkuat ketakutan atas kegagalan usaha ketika bermitra di luar daparanakannya, sehingga dengan alasan ini lah tipe jaringan bisnis bersifat tertutup. Misalnya saja pengalaman Hj. DH yang tidak melanjutkan kemitraannya dengan orang darat Kaledupa, karena telah ditipu. Dahulu sebelum Hj. Darsiah menampung di Gudang, rumput laut dijual kepada bos yang ada di Bau-bau. Rumput laut di titipkan kepada La Ilu, seorang pemilik kapal barang line Kaledupa Bau-bau yang adalah orang darat Kaledupa. Sayangnya La Ilu menipu Hj. Darsiah dengan mengurangi rumput laut yang disetorkan ke bos di Bau-bau. Pada akhirnya Hj. Darsiah merugi. Menurut Hj. DH : Dulu saya pernah di tipu dengan La Ilu, dia bawakan rumput lautku ke Bau-bau, tapi pas ditimbang di Bau-bau, kata bos hasilnya Cuma berapa kilo, sementara sebelum diangkut ke Bau-bau beratnya tidak sesuai dengan timbangan bos. Rupanya banyak dikurangi sama yang antar, jadi sekarang saya hanya mau timbang ditempat saja, supaya kurang resiko dicurangi (Wawancara dengan Hj. DH, Tanggal 26 Maret 2011). Hubungan sosial produksi dalam kegiatan ekonomi yang dibentuk oleh para aktor kapitalis lokal di Mola dilandasi oleh rasionalitas instrumental. Dengan kepemilikan profit properti secara individual. Para aktor kapitalis mulai mempekerjakan tenaga kerja upahan, terbagi atas nelayan terikat, dan tenaga kerja non produksi, seperti tenaga kerja yang bekerja dalam hal pengolahan hasil produksi. Meskipun beberapa aktor mengungkapkan tidak lagi mempermasalahkan apakah tenaga kerja harus menggunakan orang Bajo, dan sistem perekrutan tidak ketat, namun pada kenyataannya semua tenaga kerja yang dipakai para aktor, khususnya dalam kegiatan pengolahan hasil tangkapan para aktor sepenuhnya menggunakan tenaga dari orang-orang Bajo. Para actor beralasan tidak ada orang darat yang menawarkan tenaganya kepada para pengusaha Bajo. Sementara hubungan sosial produksi bagi para aktor di Mantigola dilandasi oleh rasionalitas substantif, ada beberapa kecenderungan kepemilikan 227

155 property tidak hanya dalam bentuk pribadi atau individual tetapi dalam bentuk keluarga, penggunaan tenaga kerja lebih pada penggunaan keluarga inti. Tidak seperti di Mola, di Mantigola perekrutan tenaga kerja bersifat ketat dalam artian harus menggunakan orang-orang Bajo. Derajat hubungan eksploitasi dari hubungan produksi antara sang patron dan client dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial daparanakan, darumah. Kecenderungan aktor kapitalis menikmati nilai tukar (exchange values) sesungguhnya tidak begitu besar, dibandingkan dengan nilai pakai yang dinikmati oleh nelayan produsen. Gambaran perbedaan rasionalitas antara pengumpul besar di Mola dengan pengumpul kecil di Mantigola yang pada akhirnya memberikan warna yang berbeda terhadap gambaran dari kapitalisme local, dijabarkan pada matriks berikut ini : Matriks 9. Perbandingan Rasionalitas berdasarkan Parameter-parameter Kapitalisme Lokal yang diamati pada Aktor Kapitalis Bajo di Mola dan Mantigola No. Parameter-parameter yang Perbedaan rasionalitas diamati Pengumpul Besar di Mola Pengumpul Besar di Mantigola 1. Profit Maksimisasi Didasari oleh rasionalitas instrumental dalam bentuk rasionalitas ekonomi praktis. Namun akibat masih eksis rasionalitas substantive, maka terjadi konflik rasionalitas. Upaya maksimisasi profit melalui Rasionalitas instrumental, dalam bentuk rasionalitas formal mendorong terbentuknya aliansi keluar sistem sosial dengan elit negara Dilatarbelakangi oleh rasionalitas substantive dalam bentuk nilai kolektifitas, sehingga bentuk strategi cenderung pada pola ketergantungan.. Upaya bertahan melalui Rasionalitas substantive mendorong terbentuknya aliansi keluar sistem social dengan elit Negara yang beretnis Bajo. 2. Pola Ekspansi Ekonomi Cenderung dilatarbelakangi oleh rasionalitas instrumental dalam bentuk rasionalitas ekonomi praktis. Sehingga ekspansi usaha cenderung terbuka. 3. Individualisme-Profit Properti Akusisi cenderung dapat terjadi sebagai implementasi dari bentukbentuk rasional ekonomi praktis Kuatnya rasionalitas substantive sebagai akibat dari etika moralitas kolektivisme. Munculnya rasionalitas transedental sehingga ekspansi usaha cenderung tertutup. Akusisi cenderung tidak terjadi karena etika nilai moralitas kolektivisme yang terkandung dalam rasionalitas substantive menghalangi segala bentuk akusisi capital. 228

156 6. Hubungan Sosial Produksi Cenderung lebih dilandasi oleh rasionalitas instrumental, namun rasionalitas substansi masih punya pengaruh dalam mengatur hubungan social produksi. Cenderung lebih dilandasi oleh rasionalitas substantive, sehingga hubungan social produksi lebih egaliter. Sumber : Data primer, diolah. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa orang Bajo yang menjadi pengumpul besar dan berwujud sebagai aktor kapitalis lokal di Mola mendasarkan segala bentuk tindakannya, khususnya tindakan berbisnisnya dengan didominasi oleh rasionalitas instrumental yang berisi etika moralitas individualisme-materialisme. Namun, bukan berarti mereka kemudian hanya memikirkan keegoisan diri sendiri dengan hanya melakukan segala bentuk kegiatan yang akan menghasilkan keuntungan materi semata. Masih eksisnya rasionalitas substantif, yang berisi etika moralitas kolektivisme sesama orangorang Bajo Sama membentuk suatu konflik rasionalitas, yang pada akhirnya konflik rasionalitas tersebut menghalangi pembentukan aktor dengan pemikiran kapitalisme penuh. Kemudian, untuk fenomena sosial yang terjadi pada pengumpul kecil di Mantigola yang cenderung mandek ekonominya, mendasarkan segala bentuk kegiatan bisnisnya, beserta berbagai bentuk pertimbangan bisnisnya pada rasionalitas substantive yang berisi etika moralitas kolektivisme. Karena tindakan yang cenderung hati-hati dan menghindari resiko usaha, maka etika kolektivisme dijadikan alat untuk menyelamatkan diri secara beramai-ramai, meskipun pola tersebut mengikat, dan cenderung merugikan, namun hal tersebut rasional bagi mereka karena mampu menyelamatkan mereka dari jurang kehancuran Karakteristik Sistem Kapitalis Lokal Pada pembahasan sebelumnya, khususnya pada bagian pembahasan sejarah munculnya aktor kapitalis lokal di Mola dan Mantigola, penggunaan teori Weber dibuktikan lebih tepat digunakan untuk menganalisa akar munculnya kapitalisme di suku Bajo. Kemudian, juga melalui Weber dapat dilihat bagaimana kapitalisme di Suku Bajo tumbuh dan berkembang melalui etika nilai moralitas yang berasal dari agama dan orientasi nilai budaya baik pada masyarakat Bajo 229

157 Mola dan Bajo Mantigola, pada akhirnya menyebabkan tumbuhnya rasionalitas tertentu pada aktor Bajo Mola dan Bajo Mantigola. Analisa berikut ini akan membahas analisa kapitalisme lokal secara makro dengan menganalisa sistem ekonomi dengan unsur-unsur ekonomi kapitalisme seperti profit maksimisasi, pola ekspansi usaha, individualisme-profit property, dan hubungan produksi dan dihubungkan dengan orientasi nilai yang telah dibahas sebelumnya agar warna lokal bisa dipahami lebih mendalam pada sistem ekonomi orang-orang Bajo Mola dan Mantigola. Pada fase perkembangan kapitalisme, khususnya fase setelah otonomi daerah kabupaten Wakatobi terbentuk, maka unsur teoritisasi Marx nampaknya bisa menjelaskan sistem ekonomi kapitalisme lokal, meskipun beberapa unsur teori Weberian juga masih bisa masuk untuk mewarnai analisa secara makro terhadap sistem ekonomi kapitalis lokal ala suku Bajo Profit Maksimisasi Menurut Marx dalam Darsono (2005) kaum kapitalis berpendapat bahwa keuntungan yang diperolehnya dan kekayaan yang dimilikinya adalah dari sirkulasi uang kapitalnya dalam suatu proses produksi barang dagangan, bukan dari hasil kerja kaum buruhnya. Pendapat yang demikian bermaksud untuk mengaburkan pandangan dan pengertian tentang penghisapannya atas hasil kerja kaum buruh. Selanjutnya Marx dalam Magnis-Suseno (2005) mengatakan bahwa keuntungan bagi kaum borjuis itu maha penting, karena hanya kalau laba cukup besar, seorang usahawan akan bertahan dalam persaingan ketat dengan pengusaha lainnya. Secara sederhana, tujuan kapitalis adalah uang, dan bukan barang yang diproduksi. Barang hanyalah sarana di dalam memperoleh uang. Sehingga analisis Marx secara terbuka menempatkan kepentingan egoistik, yaitu kepentingan untuk memperoleh keuntungan sendiri, sebagai nilai tertinggi. Yang terjadi pada aktor kapitalis di Mola, dalam memperoleh profit, tidaklah seserakah apa yang telah diungkapkan oleh Marx sebelumnya. Para aktor baik di Mola maupun di Mantigola mempertimbangkan serangkaian pertimbangan kritis yang menyatakan bahwa nilai komoditas tidak hanya ditentukan nilai ekonomis yang masuk ke dalam penciptaannya, melainkan juga mempertimbangkan nilai sosial. Sistem produksi kapitalisme lokal ala Bajo ini menunjukan bahwa para pekerja baik itu nelayan Bajo yang berstatus terikat, 230

158 bahkan tenaga upahan dalam proses pengolahan hasil perikanan memproduksi nilai lebih, tetapi nilai lebih itu tidak seluruhnya dinikmati oleh sang aktor kapitalis, melainkan juga keuntungan dinikmati oleh buruh, bahkan juga dinikmati oleh pengusaha lainnya yang terkait Daparanakan. Seperti yang diungkapkan oleh H. BA dan MN para pengusaha tuna, bahwa : Semua pengusaha tuna adalah daparanakan kami, paling jauh sepupu dua kali. Jadi kalau kami ada yang kesulitan modal, kami saling bantu dari keuntungan kita. Saya saudara empat orang pengusaha tuna juga. Kami dulu satu kampung di Mantigola ini satu nenek, paling jauh ya sepupu tiga kali (Wawancara dengan H. BA Tanggal 11 Maret 2011). Tenaga kerja saya, yang bantu olah tuna semua adalah daparanakan saya, upahnya saya bayar rutin, dan jumlahnya tidak tetap tergantung banyaknya gelondongan yang diolah. Semua tenaga kerjaku yang daparanakan saya sekolahkan, biar mereka berkembang, jangan hanya menjadi begini terus (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011) Dari penggalan wawancara tersebut, diperoleh informasi bahwa keuntungan yang diperoleh juga diberikan untuk membantu kegiatan pendidikan di Mola. Seperti yang dilakukan H. TU, salah satu pengusaha teripang terbesar di Mola, yang menyisihkan keuntungan perusahaannya untuk membangun yayasan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di Mola. Menurut H. TU, derma yang dilakukannya sebagai bentuk rasa kepeduliannya terhadap masa depan orangorang Bajo di Mola. Hal ini terlebih dilakukan juga oleh aktor kapitalis di Mantigola. Hasil laut misalnya juga dinikmati oleh orang-orang sekampung. Misalnya H. DG, seorang pengusaha rompong di Mantigola, setiap kali rompong diangkat, orang-orang kampung biasa meminta ikan yang diangkut, dan pasti akan diberikan oleh H. DG. Menurut Ibu MM : H. DG dan istrinya Hji. DH, kalo sekali angkat rompongnya, bisa puluhan juta. Biasa kita pergi minta ikan cakalang kecil-kecil yang dimuatnya di bodi untuk dibawa ke darat.mereka kasih, kita tidak bayar, sudah begitu lah pengusaha Bajo di sini. Kalo dia tidak memberi nanti bisa kapunuang (Wawancara dengan Ibu MM, Tanggal Maret, 2011). Pengusaha-pengusaha di Mantigola nyaris menyisikan setengah dari keuntungannya untuk membantu sesamanya di Mantigola, khususnya yang terkait erat dengan hubungan daparanakannya. Misalnya juga BHR, pengusaha 231

159 lobster di Mantigola, malah menyisihkan nyaris semua keuntungannya untuk mendukung sang putra Bajo yang adalah daparanakannya untuk maju dalam PILKADA Menurut BHR : Lihat jirigen solar di depan rumahku, puluhan jirigen ini untuk kampanye EA. Ini pake uangku semua, tidak ada bantuan dari EA. Semua ini saya lakukan karena harapan kita kalo putra Bajo yang naik dia perhatikan kita. Ini juga ucapan terima kasihku sama EA karena dulu waktu istri saya kena tumor ganas di perut EA yang bantu istri saya mendapatkan pengobatan di Baubau (Wawancara dengan BHR, Tanggal 26 Maret 2011). Model pengelolaan profit dari usaha yang terjadi di Bajo memang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial yang dianut dan dipertahankan mati-matian oleh orang Bajo dalam menjaga keluhuran nilai-nilai budayanya. Pengelolaan profit yang tidak saja dinikmati oleh sang aktor saja melainkan juga sedikit banyaknya juga dinikmati oleh orang-orang Bajo lainnya, dalam bentuk bantuan social, dan perlibatan orang-orang Bajo di dalam kegiatan usahanya. Model pengelolaan keuntungan ini sangat dipengaruhi oleh pemaknaan para aktor kepada sesamanya, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya dalam bagian karakteristik aktor kapitalis yang menyangkut orientasi nilai budaya yang melekat (embedeed) terhadap nilai-nilai sama dan bagai. Teman juga diartikan oleh para aktor tidak hanya merupakan asset bisnis saja melainkan sebagai jaringan sentimental. Seungguhnya pemaknaan terhadap laut juga mempengaruhi pengelolaan profit ini, meskipun diakui bahwa nilai-nilai ini di Bajo Mola sudah mulai tergerus, namun makna laut sebagai sumberdaya yang dihadapi dan basis nafkah satu-satunya bagi orang Bajo menciptakan kesetiakawanan diantara sesama orang Bajo, dimana pun mereka berada. Profit maksimisasi juga tidak akan sangat besar jumlahnya dinikmati oleh aktor kapitalis. Selain yang telah disebutkan di atas, fakta lain menunjukkan bahwa para aktor kapitalis di Mola tetap menggunakan nelayan produsen Bajo yang sifatnya mengikat. Padahal, dari beberapa pengakuan pengusaha di Mola, menggunakan nelayan terikat malah cenderung merugikan para pengusaha. Namun, itu tetap dilakukannya karena kewajiban sosial terhadap orang-orang Bajo yang tak berpunya, yakni nelayan-nelayan kecil. Biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha bisa mencapai dua kali lipat disbanding dengan menggunakan nelayan darat yang mandiri. Meskipun, bisa juga kita mencurigai bahwa yang diungkapkan oleh aktor, seperti kata Marx bahwa pembenaran yang dilakukan 232

160 oleh kapitalis sesungguhnya semata-mata untuk membela dirinya atas eksploitasi yang dilakukannya, karena penggunaan nelayan-nelayan yang sifatnya terikat dari suku Bajo sendiri, memang sangat diperlukan oleh actor untuk menjamin ketersediaan komoditas yang akan diperjualbelikan di pasar internasional. Pada bagian pembahasan mengenai karakteristik aktor kapitalis lokal khususnya yang membahas mengenai rasionalitas, menunjukkan bahwa nilainilai ekonomi materialisme memang sudah menggerus ranah pemikiran ekonomi, dalam hal perhitungan untung dan rugi. Namun, nilai-nilai sosial kolektivisme tetap bercokol pada ranah pemaknaan, sehingga konflik rasionalitas terjadi. Konflik rasionalitas ini membuktikan bahwa nilai-nilai sosial kolektifisme yang menjadi landasan hidup orang-orang Bajo, mampu mencegah terjadinya keserakahan yang berlebihan dari para pengusaha di Mola, tidak seperti yang diteorikan oleh Marx mengenai kaum borjuis yang selalu haus akan keuntungan Pola Ekspansi Ekonomi Terkait dengan ekspansi ekonomi, menurut Marx dalam Magnis-Suseno, 2005 ciri khas dari ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum : hukum tawar-menawar di pasar. Sehingga kapitalisme adalah ekonomi yang bebas: bebas dari berbagai pembatasan oleh raja dan penguasa lain (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar manapun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya), bebas dari pembatasan tenaga kerja (orang boleh mencari pekerjaan dimana pun, ia tidak terikat pada desa atau tempat kerjanya). Yang menentukan semata-mata keuntungan yang lebih besar. Sistem ekonomi kapitalis dibedakan oleh kepentingan utama dari produksi kapital. Produksi capital dalam bentuk uang kemudian diinvestasikan di dalam komoditas (artikulasi cara produksi dan kekuatan tenaga kerja) yang memiliki nilai lebih. Keuntunganan yang diperoleh aktor kemudian diinvestasikan kembali, seperti apa yang diungkapkan Marx sebagai expanded reproduction of capital. Weber sebaliknya, bahwa dibalik kapitalisme bukan saja didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, melainkan juga 233

161 karena etika moralitas yang mendorong timbulnya rasionalitas tertentu dalam berusaha. Deterministik ekonomi ala Marx menurut Weber belumlah cukup untuk menggambarkan sistem ekonomi kapitalistik. Sebab jauh dari kepentingan ekonomi semata-mata, ada suatu nilai-nilai yang secara filosofis mendorong dan mewarnai bentuk-bentuk kapitalisme yang berkembang dalam suatu sistem social terntentu. Jika melihat fenomena para aktor kapitalis Bajo di Mola, apa yang diteorikan Marx juga tidak sepenuhnya bisa menggambarkan sistem kapitalisme lokal di Mola. Kenyataannya, jika dibandingkan dengan ekspansi usaha yang dilakukan oleh orang-orang Mantigola. Para aktor kapitalis di Mola memang cenderung lebih terbuka terhadap bentuk peluang usaha, sejauh itu bisa memberikan peluang keuntungan akan mereka lakukan. Namun, tidak bisa semua peluang ekonomi yang datang kemudian serta-merta mereka terima. Usaha utama yang akan mereka kembangkan haruslah berbasis sumberdaya laut. Pemaknaan terhadap laut (worldview) dan nilai-nilai sama dan bagai menjadi filter pemilihan sektor usaha yang dikembangkan. Karena bagi orangorang Bajo satu-satunya lahan nafkah yang terlegitimasi untuk mereka adalah lautan, dan orang darat (bagai) berkuasa di daratan. Maka jangan berharap orang Bajo akan menjual barang-barang bekas pakai selundupan (RB) di pasar seperti orang Mandati, atau membuka lahan tambak didaratan seperti orangorang Bugis di Delta Mahakam. Di Mantigola lebih ekstrim lagi-karena transisi belum pada ekonomi kapitalisme-ekspansi usaha jauh lebih tertutup. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada bagian sejarah perkembangan kapitalisme, dan pembahasan orientasi nilai budaya, maka kecenderungan ekspansi yang tertutup karena hakikat hidup orang-orang Bajo memandang kerja dan usaha sebagai sesuatu yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan penghindaran resiko usaha. Kemudian, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tekanan struktural baik dari taman nasional yang membatasi ruang gerak masyarakat Mantigola dalam mencari nafkah, dan keterikatan dan ketergantungan yang tinggi kepada orang-orang Mola membuat pola ekspansi kapital lebih terbatas dan tertutup. Makna hubungan dengan sesama yang terkait dengan kekuasaan darat dan laut melalui nilai-nilai sama dan bagai yang sangat tegas juga menyebabkan tidak pernah sedikit pun mereka ingin berekspansi ke darat. 234

162 Individualisme-Profit Properti Membicarakan ranah individualisme berarti membahas mengenai bagaimana modal dikuasai sebagai basis dari keuntungan (profit property). Menurut Marx, kepemilikan profit property sesungguhnya juga menunjukkan kepemilikan kekuatan produksi (force of production).merujuk pada Sitorus (1999) konsep kepemilikan kekuatan produksi dilihat pada aspek alat produksi, unit produksi, dan tenaga kerja utama. Marx dalam Magnis-Suseno (2005) melihat manusia sebagai mahluk yang berhubungan dengan lingkungan secara bebas dan universal. Keterasingan berkaitan erat dengan sistem hal milik pribadi dan pembagian kerja. Sementara menurut Boeke yang telah dijabarkan teoritisasinya mengenai kapitalisme pada bagian tinjauan pustaka, menunjukkan bahwa bentuk sistem ekonomi baik kapitalis maupun pra kapitalis erat kaitannya dengan motivasi spiritual (nilai-nilai). Sehingga dalam membahas mengenai ranah hak milik pribadi yang digunakan untuk berekonomi oleh orang-orang Bajo berarti terkait dengan makna dari hakekat kerja dan karya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya mengenai hakekat karya dan kerja pada bagian orientasi nilai para aktor kapitalis lokal. Bagi para aktor kapitalis di Mola, hak milik merupakan suatu kewajaran dalam hal berekonomi. Karya dan kerja dimaknai sebagai ragam upaya bukan saja sebagai nafkah hidup, namun sebagai cara untuk mendapatkan kedudukan, dan kehormatan di masyarakat. Maka, kepemilikan kekuatan produksi baik dalam bentuk alat tangkap, penggunaan tenaga kerja upahan, dan unit usaha dengan skala individu maupun berbadan hukum (Commanditaire Vennootschap) seperti usaha yang dikelola oleh Hj. TU merupakan suatu keharusan sebagai bentuk pentingnya akumulasi dari produksi komoditi. Alat produksi utama para aktor adalah modal uang yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional bagi nelayan terikat, dan pengolahan hasil hingga sampai di tangan eksportir. Perubahan moda produksi yang dialami oleh para pengusaha di Mola seperti yang telah digambarkan pada bab gambaran konteks kesejarahan memang telah dimulai sejak tahun 1980-an. Namun, perubahan yang sangat menyolok terjadi semenjak otonomi daerah kabupaten Wakatobi. Seperti yang telah dikemukakan pada bab gambaran umum dan konteks sejarah masyarakat Bajo, fase otonomi daerah memberikan hentakan perubahan bagi orang-orang 235

163 Mola. Beberapa pihak mengungkapkan bahwa fase otonomi daerah menjadi masa kemakmuran bagi orang-orang Bajo Mola, setelah masa keemasan Mola dan Mantigola yang telah surut, khususnya saat penyu masih legal untuk diperdagangkan. Fase otonomi daerah menyebabkan terbukanya informasi pasar hasil-hasil laut di Wakatobi. Pada fase otonomi daerah inilah orang-orang Bajo mengenal usaha tuna skala ekspor, beserta teknologi meloing. Kemudian, pada fase otonomi daerah juga merupakan kali pertama orang-orang Bajo mengenal usaha ikan kerapu hidup, beserta teknologi baru di dalam pengelolaan ikan kerapu. Sebelum ikan kerapu hidup diperkenalkan dan diperdagangkan, ikan kerapu hanya dijual dalam keadaan mati dan pengolahan lebih lanjut hanya dalam bentuk ikan kerapu yang diasinkan. Setelah perdagangan ikan kerapu hidup diperkenalkan, mulailah orang-orang Bajo berinovasi dengan menggabungkan metode penangkapan dengan cara memancing, melalui teknikteknik tertentu agar tidak terjadi kematian ikan kerapu. Otonomi daerah menciptakan begitu dekatnya para aktor kapitalis lokal Bajo di Mola dengan pasar global, yang mementingkan standarisasi, dan mempercepat proses alami secepatnya, dengan eksploitasi sumberdaya yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Menurut para aktor kapitalis lokal di Mola, semenjak terbentuknya kabupaten Wakatobi, para bos-bos di Surabaya, dan eksportir di Bali banyak yang langsung datang ke Mola, jadi sistemnya jemput Bola. Tidak hanya eksportir dalam negeri, para eksportir dari Jepang dan Korea juga langsung bertransaksi ke Mola. Menurut H. TU : Semenjak jadi Kabupaten, jaringan perdagangan kami semakin lancar. Apalagi sekarang jalur transportasi makin banyak, tidak sesulit dahulu. Sekarang Bos tidak naik kapal, tapi naik pesawat kesini. Saat ini sudah banyak pembeli yang kemari, informasi sudah lancar. Tidak seperti dahulu kita yang pergi mencari Bos dan bawa contoh barang sekarang istilahnya Bos-Bos dari Surabaya dan Bali menjemput bola (Wawancara dengan H. TU, Tanggal 3 Maret, 2011). Bagi orang Bajo Mola, perebutan atau akusisi usaha wajar-wajar saja dilakukan, jika itu tidak ada kaitannya dengan hubungan daparanakannya. Perebutan dan mematikan usaha pihak-pihak tertentu akan dilakukan jika mengganggu eksistensi usaha, sekali lagi jika sang kompetitor tidak ada hubungannya daparanakan dengannya. Dapparanakan adalah kelembagaan penopang (supporting institution) bagi keberhasilan usaha, khususnya usaha tuna di Mola. Menurut Zacot (2008), dapparanakan adalah sebuah keluarga 236

164 dalam arti orang yang tinggal dalam satu rumah, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup di bawah satu atap, apa pun tingkatan hubungan keluarga mereka, dapparanakan juga menunjuk pada ruang geografis. Seperti yang diungkapkan oleh M. Nur, kekompakan daparanakan juga dibuktikan dalam menghadapi saingan bisnis mereka. Seperti yang diungkapkan oleh MN : Kami tidak membiarkan orang Cina masuk kemari, karena mereka mencoba merusak pasar kami. Mereka suka bermainmain harga, dan mau masuk langsung ke nelayan. Seandainya mereka masuk dari kita, tidak apa-apa, tapi orang Cina itu maunya untung sebesar-besarnya. Kita ramai-ramai keroyok orang Cina itu. Mereka pasang harga lebih tinggi dari kami, saya bilang ke teman-teman, kita kasih naik juga lebih tinggi dari dia, biar saja kita rugi. Pernah mereka mau membeli tuna sama saya, karena dia main-mainkan harga, mereka mau matikan kami pengusaha Bajo, langsung saya kasih saja tuna yang jelek, begitu juga teman-teman, tidak lama Cina itu bangkrut, dan pergi dari Mola. Coba perhatikan tidak ada penjual orang Cina di Wanci, karena orang Mandati tidak kasih celah orang Cina itu berkembang. Pernah juga ada orang Cina buka usaha bangunan, karena orang mandati bersatu untuk usir orang Cina, maka mereka pasang harga bahan bangunan serendah-rendahnya. Misalnya orang Cina itu jual Rp per lembar, ramai-ramai pengusaha bangunan yang orang mandati jual Rp per lembar. Tidak lama, orang Cina itu langsung bangkrut (wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011). Persaingan antara usaha orang-orang Bajo Mola yang paling menonjol adalah persaingan antara pengusaha ikan kerapu hidup. Setelah ditelisik lebih dalam persaingan tersebut memang terjadi di luar garis hubungan daparanakannya. Misalnya antara Hj. NI dengan H. KM, SRT. Menurut Hj. NI : Sekarang banyak persaingan tidak sehat antara pengusaha ikan hidup, mereka kasih naik harga setinggi-tingginya biar semua ikan lari ke dia. Tidak ada persatuan antara pengusaha ikan ini, semua saling menjatuhkan (Wawancara dengan Hj NI, Tanggal 12 Maret 2011). Namun, bagi para aktor kapitalis di Mantigola, yang nampak bukannya individualisme, melainkan kolektifisme usaha. Orang-orang Mantigola memang cenderung memaknai usaha sebagai upaya untuk bertahan hidup. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa masyarakat Mantigola pada khususnya, mengalami tekanan-tekanan struktural yang mulai menekan ruang-ruang nafkah. Laut yang dimaknai oleh orang Bajo Mantigola sebagai ranah nafkah dan 237

165 kekuasaan bagi orang Bajo sepenuhnya, setelah terbentuknya taman nasional, dan otonomi kabupaten Wakatobi, kekuasaan tersebut semakin memudar. Sistem zonasi taman nasional yang dimaknai oleh orang-orang Bajo Mantigola sebagai ketidakpedulian pemerintah terhadap keberlanjutan hidup orang-orang Bajo. Misalnya saja, dampak zonasi taman nasional di Mantigola, usaha pengumpul ikan kerapu hidup berada di jurang kehancuran. Ini dicirikan dengan penciutan skala usaha. Beberapa pengumpul besar yang sudah jatuh bangun nampaknya harus berhenti sementara terkait dengan kerugian yang mereka alami secara beruntun. Pada beberapa kasus, hak milik pribadi para aktor kapitalis lokal di Mantigola kemudian tidak menjadi atomisasi, melainkan melebur menjadi satu, karena sulitnya mereka memiliki modal usaha. Sebagai contoh usaha Pak Ei yang bergabung dengan H. DG, dalam usaha rompong. Pak Ei menyediakan armada tangkap, sementara H. DG menyiapkan modal usaha untuk membiayai kelompok nelayan untuk melaut Hubungan Sosial Produksi Menurut Marx dalam Magnis-Suseno (2005), hubungan-hubungan produksi adalah hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Untuk hubungan-hubungan produksi Marx juga memakai istilah lalu lintas. Yang dimaksud bukan hubungan antara antara orang yang kebetulan bekerja berdampingan, melainkan struktur pengorganisasian social produksi. Misalnya pemilik modal dan pekerja. Hubungan sosial produksi erat hubungannya dengan mekanisme surplus value transfer, antara pemilik modal dengan para pekerja. Menurut Marx surplus value transfer diperoleh melalui mekanisme eksploitasi para kapitalis terhadap buruh. Namun, pada kasus Mola, maupun Mantigola eksploitasi terjadi namun keuntungan dinikmati namun juga dibagi sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai orang Bajo (sama) terhadap sesamanya yang adalah orang-orang Bajo. Beberapa pengusaha mengutarakan bahwa sedapat mungkin meringankan nelayan. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, nilai-nilai moralitas masih melekat di benak sang aktor, sehingga surplus transfer yang dinikmati tidak begitu besar. Aktor tidak seegois yang diungkapkan Marx. Para aktor juga masih memikirkan kondisi nelayan terikatnya, dan tenaga kerja dalam pengolahan hasil- 238

166 hasil laut. Upah nelayan terikat misalnya tidak ditentukan berdasarkan pertimbangan ekonomis, melainkan secara sosial. Para aktor kapitalis di Mola maupun di Mantigola tidak menjalankan sistem upah terikat untuk nelayan dengan sangat ketat. Bentuk pinjaman modal yang sifatnya terikat oleh orangorang Mola kepada orang-orang Mantigola yang dipandang sebagai bentuk ketergantungan yang menghambat perkembangan saudaranya di Mantigola dengan bunga rendah, dan pengembalian yang tanpa waktu jatuh tempo. Jejaring patronase digunakan aktor di Mola maupun Mantigola terhadap nelayan untuk menjamin kelangsungan perkembangan usahanya dan kelangsungan hidup sang client di Mantigola. Meskipun disadarinya, dengan menggunakan sistem terikat mereka akan jauh lebih repot karena harus menyediakan dana operasional kepada nelayan buruh, maupun kelompok nelayan. Seperti apa yang diungkapkan oleh H. EI pengusaha ikan hidup di Mola, MN pengumpul tuna di Mola, BHR pengumpul lobster di Mantigola dan DJM pengumpul rumput laut di Mantigola : Tidak ada presentase khusus dalam mekanisme bagi hasil, tapi berdasarkan kesepakatan bersama saja. Biasanya potongan pertama dilakukan jika nelayan tersebut memiliki pinjaman, baru setelah dipotong dengan pinjaman barulah kita kasih uang rumput lautnya (wawancara DJM, Tanggal 19 Maret 2011). Terkadang saya tidak tega potong uangnya nelayan, terlalu banyak pinjaman nelayan. Jadi kalo dipotong bagaimana kehidupannya keluarganya, mau makan apa anak-anaknya. Jadi kita potong sewajarnya saja, dan saya juga berunding dengan nelayan berapa yang bisa saya potong uangnya (Wawancara dengan BHR, Tanggal 26 Maret 2011). Sekarang nelayan yang lebih banyak diuntungkan, kami para pengumpul saja kesulitan untuk menyediakan uang panjar, karena modal kami bukan hanya untuk membiaya kegiatan operasional penangkapan saja, melainkan juga untuk membayar hasil tangkapan nelayan. Bayangkan saja kalau nelayan tidak mendapatkan hasil sementara kami harus keluarkan uang terus untuk biaya nelayan melaut. Tapi mau diapa, mereka juga samasama orang Bajo, jadi sudah kewajiban kita membantu. (Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011). Saya juga memberi pinjaman kepada daparanakan saya, yang saya jadikan koordinator di Mantigola, dan Sampela.Mereka nanti yang akan kumpulkan hasil-hasil laut kepada saya, biasanya langsung mengirim ke karamba di karang.untuk pengembaliannya kita bicarakan baik-baik. Saya juga tidak banyak memaksa, saya lihat juga kondisinya. Yang penting kita saling mengerti saja dan 239

167 saling bantu-membantu. Supaya kita sama-sama jalan (Wawancara dengan Hj. EI, Tanggal 9 Februari, 2011). Semua bentuk akumulasi surplus transfer ini, merupakan implementasi atas pemaknaan para aktor kapitalis dalam memaknai saudara Bajonya. Nilai-nilai sama dan bagai, meskipun memang secara faktual mulai mengalami pengaburan, namun nilai-nilai kewajiban untuk menjaga inklusifitas kelompok Bajo dan kewajiban orang berpunya untuk membantu kehidupan saudaranya yang jatuh pada batas subsistensinya tetap dipegang oleh orang-orang Mola. Di Mantigola lebih ekstrim lagi, surplus transfer dinikmati bersama, baik oleh daparanakannya, maupun darumah sebagai tenaga kerja utama usaha. Malah yang terjadi ketika panen tiba, dambarisan sebagai simbol unit sosial juga menikmati. Nilai-nilai kapunuang, kutukan jika tidak memberi seperti yang diungkapkan sebelumnya, sangat dijunjung tinggi. Tekanan pada ruang nafkah juga mempertegas makna sama dan bagai, sehingga inklusifitas kelompok semakin tinggi. Bajo Mantigola pun mengklaim bahwa inilah senjata terakhir mereka, yakni mengandalkan inklusifitasnya untuk bertahan dari tekanantekanan kehidupan yang mendera ruang-ruang nafkah mereka. Ilustrasi singkat perbandingan kapitalisme lokal suku Bajo Mola dan Mantigola dilukiskan pada gambar berikut ini : 240

168 Melakukan ekspansi usaha yang berpeluang menghasilkan keuntungan, dengan jejaring bisnis yang terbuka Mengeksploitasi nelayan dan saudaranya di Mantigola Namun, cenderung statis dalam berekspansi di luar bidang usaha perikanan, dan oelayaran Namun, berjejaring patronase, dan berjejaring dengan kerabat, termasuk di Mantigola Kapitalisme 100% Melakukan profit maksimisasi, yang keuntungannya akan direinvestasi kembali untuk menguatkan basis usaha dan untuk ekspansi usaha Individualisme, unit usaha individu dan perusahaan. 0 Namun, melakukan pemeliharaan solidaritas dengan kerabat di naik di Mola maupun di wilayah lainnya Namun berderma, dan membantu tenaga kerja untuk meningkatkan tingkat pendidikannya Pra Kapitalisme 100% Gambar 4. Gambaran Wajah Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola Dari ilustrasi di atas,disimpulkan bahwa kapitalisme lokal yang terjadi di masyarakat Bajo Mola merupakan gambaran kapitalisme hibridisasi, dimana tidak sepenuhnya orang-orang Mola menjadi kapitalisme penuh, yang menurut Marx akan menjadi penghisap darah kaum proletar. Terlepas dari kenyataan di satu sisi bahwa nilai-nilai tersebut dipertahankan agar profit tetap bisa mengalir kepada para aktor kapitalis, namun inilah gambaran mengenai kapitalisme khas lokal Bajo. 241

169 Tetap melakukan eksploitasi namun dengan derajat yang rendah, karena kolektifitas mendominasi. Individualisme tetap hadir, namun dengan derajat yang rendah Mengandalkan jaringan patronase dengan kerabat di Mola dan jaringan usaha berbasis kekerabatan Kapitalisme 100% Profit maksimisasi dilakukan namun dengan derajat yang terbatas karena keterbatasan modal, dan besarnya resiko yang dihadapi Ekspansi usaha terjadi hanya jika itu pasti akan memberikan kepastian keuntungan, dan jika memperoleh dukungan dari mitra bisnis yang adalah daparanakannya 0 Profit yang adalah dari komoditas digunakan untuk mempertahankan usaha Memelihara basis kolektifisme melalui daparanakan sebagai senjata terakhir untuk bertahan Pra Kapitalisme 100% Usaha dikelola untuk menafkahi hidup. Gambar 5. Gambaran Wajah Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mantigola Sementara pada gambar 5 mengilustrasikan bagaimana wajah Bajo Mantigola yang cenderung bertahan pada pola-pola ekonomi pra kapitalisme, namun bukan berarti juga tidak memperdulikan ekonomi pasar. Selain karena ruang-ruang nafkah dengan basis utama nafkah yakni laut dan karang semakin sempit untuk dikelola. Namun, jauh dari hal tersebut, ini lebih disebabkan oleh kegagalan dalam proses akulturasi budaya yang tidak membawa pada perkembangan ekonomi, yakni akulturasi antara orang-orang Bajo Mantigola dengan orang Buton Kaledupa. Proses akulturasi ini seperti yang dibahas sebelumnya terkait erat dengan konteks sejarah mengenai hubungan yang kurang harmonis antara orang-orang Bajo Mantigola dengan orang-orang Kaledupa. 242

170 5.4. Refleksi Teoritik Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Mantigola Perbedaan laju perubahan sosial antara orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola yang tinggal di suatu kawasan yang sama, dalam hal wajah kapitalisme ; Bajo Mola berkembang demikian cepat, membentuk individu progresif terhadap perubahan, sementara orang-orang Bajo Mantigola cenderung lebih persisten terhadap perubahan dengan tetap bertahan pada perekonomian yang cenderung pra kapitalisme sangat menarik untuk dipahami. Analisa ini dimaksudkan untuk tidak memberikan generalisasi yang sama kepada pemahaman orang-orang Bajo tentang makna hidup. Meskipun Bajo Mola dan Bajo Mantigola sama-sama terkespos dengan kehidupan materialism, dengan derajat paparan nilai-nilai materialisme yang berbeda-beda. Karena Mola telah hidup di darat, maka paparan nilai-nilai materialism jauh lebih kuat dibandingkan Mantigola yang mempertahankan dirinya hidup di atas air. Namun, sebelum kita membahas mengenai dinamika ekonomi lokal suku Bajo dan merefleksikannya terhadap teori, dan hasil penemuan sebelumnya pada kasus yang berbeda pada belahan dunia yang berbeda, maka ketegasan mengenai status pengusaha mola Mola sebagai kapitalis local harus ditegakkan terlebih dahulu, demikian halnya dengan pengusaha Bajo Mantigola apakah benar sebagai pra kapitalis atau tidak? Merujuk pada konsepsi Booke, mengenai perbedaan ekonomi pra kapitalis, dan kapitalisme pada bab dua mengenai tinjauan pustaka. Maka berdasarkan tiga indikator, antara lain motivasi spiritual (nilai-nilai), organisasi produksi (struktur sosial), dan teknologi, maka pengusaha Bajo Mola sudah dapat dikategorikan sebagai kapitalis. Munculnya kecenderungan individualisme, dan pertimbangan-pertimbangan rasional yang mengarahkan pada akumulasi capital, melalui penggunaan tenaga upahan, dan penggunaan nelayan, yang sudah tidak tergantung pada nelayan Bajo saja, melainkan menggunakan nelayan darat yang tidak terikat, merupakan ciri pertama yang identik dengan pengusaha Mola saat ini. Kemudian, kecenderungan munculnya sekularisasi agama Islam yang sinkretis dengan agama animism Bajo, dimana agama menjadi motivasi ekonomi melalui ibadah haji, merupakan makna bahwa ekonomi telah sejajar dengan agama. Selanjutnya, karena telah hidup di daratan, maka nulai-nilai perkotaan melalui konsumerisme materi, telah menguasai dan memacu setiap pengusaha untuk mengakumulasikan segala bentuk kekayaan 243

171 khas perkotaan. Berdasarkan struktur sosialnya, maka telah munculnya pengusaha Bajo yang menjalankan bisnisnya tidak hanya dengan unit individu, unit kekerabatan, ataupun unit rumahtangga melainkan sudah dalam bentuk korporasi, dan menjalankan bisnis dengan masuk kedalam jaringan ekspor global, menunjukkan bahwa kapitalisme telah merasuk kepada para pengusaha Bajo. Berdasarkan teknologi, uang digunakan sebagai capital yang berkuasa penuh atas kepemilikan alat-alat penangkapan yang modern, dan teknologi pengolahan hasil perikanan. Meminjam pemikiran Bernstein (2010) bahwa, terdapat tiga konsep yang saling berhubungan untuk mendefinisikan karakter dari kapitalisme sebagai suatu moda produksi. Antara lain (1) produksi komoditas, (2) keharusan di dalam akumulasi kapital, (3) kekuatan komoditas tenaga kerja. Akumulasi kapital yang terjadi di Mola muncul akibat makin meningkatnya permintaan akan barangbarang, dan jasa yang diproduksi sebagai komoditas di pasar yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Persaingan ini kemudian menciptakan kompetisi yang mendorong inovasi dan produksitifitas. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada bagian wajah kapitalisme local, bahwa persaingan ini cenderung terjadi dengan para aktor yang berkonsentrasi mengelola ikan kerapu hidup, karena pola usaha yang sensitive terhadap resiko usaha dan masalah legalitas usaha, dan sangat padat modal. Sementara keharusan didalam akumulasi menjadi ciri utama dari kapitalis, khususnya untuk memperkuat basis usaha dan memperluas jaringan usaha. Produksi modal dalam bentuk uang yang dijadikan komoditas merupakan cirri utama yang membedakannya dengan sistem ekonomi lainnya. Keuntungan yang diperoleh orang-orang Bajo Mola kemudian diivestasikan kembali untuk produksi berikutnya dan untuk membuat keuntungan kembali. Menurut teoritisasi Marx, hal tersebut merupakan expanded reproduction of capital. Dan Moda produksi kapitalis sajalah yang mensyaratkan kekuatan tenaga kerja dan artikulasi cara produksi (means of production) yang secara luas tersedia sebagai komoditas. Membahas tenaga kerja membawa kita pada gambaran paling khusus dari moda produksi kapitalis, yang ditemukan di dalam relasi social antara kapitalis, pemilik moda produksi dan pekerja, tenaga kerja menukar kekuatannya, atau kapasitasnya untuk bekerja di dalam tujuannya untuk memenuhi batas subsistensinya. Kekuatan tenaga kerja merupakan basis fundamental dari 244

172 kapitalisme karena hanya komoditas inilah yang digunakan untuk menciptakan nilai lebih (exchange values) daripada nilai pakai (use values). Hal ini karena nilai tenaga kerja (seperti komoditas lainnya) mewakili tenaga kerja yang telah hilang kedalam produksi barang, diekspresikan oleh upah yang mereka pertukarkan. Kemudian, kekuatan tenaga kerja menjadi property dari kapitalis yang menjual kekuatan tenaga kerja dan berkuasa atas kekuatan tenaga kerja digunakan untuk menciptakan komoditas baru dengan nilai yang lebih tinggi. Namun yang khas dari model kapitalisme lokal suku Bajo adalah arah transformasinya tidak menjadi kapitalis penuh, seperti yang digambarkan oleh Marx, bahwa eksploitasi akan sangat berlebihan dan sangat tidak manusiawi. Nilai-nilai sosial masyarakat Bajo sesungguhnya memang mempunyai peran dalam mengurangi derajat keegoisan sang aktor. Nilai-nilai tersebut menjadi alarm bagi sang aktor untuk tidak egois dalam berekspansi dan mengakumulasikan keuntungannya, karena mereka juga mempunyai peran social membantu sesame orang-orang Bajo sebagai bentuk inklusifitas kelompok Bajo. Kelas sosial yang terbentuk juga bukan berdasarkan kepemilikan alat produksi, akan tetapi pada penguasaan pasar seperti yang diteorikan oleh Weber. Merujuk pada tulisan Collins (1985) yang telah dibahas pada bab tinjauan pustaka sebelumnya, bahwa meber merujuk tiga aspek dalam dasar kelas sosial antara lain kelas, status dan party. Kelas sosial yang terbentuk di masyarakat Bajo, selain dilihat dari kepemilikan modal usaha dan alat tangkap, juga ditentukan oleh factor adanya keterampilan (skill) dan mengelola usaha kemudian berakumulasi dengan status sosial yang disandangnya di masyarakatnya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pengelolaan usaha terkait dengan manajemen keuangan dianggap sebagai suatu bakat yang jarang dimiliki oleh orang-orang Bajo pada umumnya. Dan dengan modal dasar tersebutlah, para aktor menjadikannya sebagai modal dasar dalam berusaha keinginan yang kuat dan keterampilan mengelola keuangan. Kapitalisme lokal dimaknai sebagai hybrid capitalism ; warna kapitalisme tidak akan sepenuhnya muncul,karena nilai-nilai local masih bercokol pada ranah pemaknaan setiap aktor. Sehingga kapitalisme disini tidak teraplikasikan secara bebas seperti ungkapan Marx, karena kebebasan itu dibatasi oleh nilai-nilai yang sekuat tenaga dipertahankan oleh orang-orang Bajo. Apa yang telah digambarkan pada bab enam mengenai konflik rasionalitas yang terjadi pada 245

173 setiap aktor kapitalis Bajo Mola, menunjukkan bahwa nilai-nilai daparanakan sebagai penghambat laju kapitalisme di Bajo Mola, khususnya kecenderungan untuk memiliki kekayaan sebesar-besarnya untuk diri sendiri, dengan nilai daparanakan maka para aktor kapitalis lokal Bajo Mola dipaksa untuk tidak egois, dan kekayaan yang dimilikinya digunakan juga untuk melakukan tanggung jawabnya secara sosial dalam membantu kehidupan orang Bajo lainnya, dan daparanakannya. Kemudian, jika merujuk pada hasil temuan Howard (1978) pada komunitas petani coklat di Dharfur, menunjukkan bahwa tipe kapitalisme seperti di Mola, cenderung pada arah transformasi petani kaya (rich peasant) kepada pengusaha pertanian yang kaya (rich farmer). Howard mengungkapkan bahwa perbedaan antara rich peasant dan rich farmer terletak pada orientasi keuntungan akan diarahkan pada investasi untuk mengekspansi usaha seperti yang dilakukan oleh rich farmer, ataukah rich peasant yang menggunakan keuntungannya untuk menguatkan status quo sebagai orang terpandang, dan mengeksploitasi sesama sukunya sendiri yang tidak berdaya melalui pinjaman uang, dan hidup dari uang riba, dan menggunakan tenaga kerabat untuk mengolah lahan pertaniannya. Sebaliknya, bagi pengusaha Mantigola, merujuk pada temuan Howard adalah produsen pertama seperti peasant tribesman pada suku Darfur di Ghana, merujuk pada dominasi nilai-nilai pedesaan, yang cenderung kurang menyukai keuntungan yang berlebih di satu tangan, dominasi nilai-nilai social, kepuasan hanya pada saat basis kebutuhan dasar hidup terpenuhi, agama Islam sinkretisme masih merajai dan mendominasi ekonomi. Berdasarkan organisasi produksi penggunaan tenaga kerja non kontraktual antara lain anggota rumahtangga, maupun anggota kerabat (daparanakan) menjadi basis perekrutan tenaga kerja. Serta kemitraan yang terbatas, karena ketakutan akan resiko yang dihadapi, dan teknologi tradisional yang masih dipertahankan menggambarkan bahwa pengusaha Mantigola sekalipun sangat kaya hanya bisa diidentikkan sebagai rich peasant (jika merujuk pada temuan Howard di Darfur, yang membedakan antara rich peasant dan rich farmer, berdasarkan orientasi usaha yang digunakan, dan unsur-unsur yang dimanipulasinya untuk akumulasi capital), karena dominasi perekonomian pra kapitalisme di Mantigola. 246

174 Berdasarkan hasil temuan, mengenai penyebab perubahan sosial dari aspek kesejarahan perkembangan kapitalisme di dua komunitas suku Bajo baik Mola dan Mantigola menunjukkan bahwa penyebab dari munculnya kapitalisme sesungguhnya lebih layak digambarkan dan dianalisa dengan kacamata Weber mengenai munculnya kapitalisme sebagai merasuknya nilai-nilai etika ekonomi, khususnya pertukaran ekonomi. Melalui pertukaran ekonomi, ideologi kapitalisme merasuk kedalam pemikiran orang-orang Bajo Mola. Namun, tanpa melalui pertarungan internal formasi sosial yang berdarah-darah antara formasi sosial kapitalis, dan formasi social buruh yang proletar ala Marxian. Hasil penelitian ini memperkaya kritik terhadap pendapat banyak peneliti terdahulu bahwa kapitalisme modern muncul hanya melalui revolusi industri (Bernstein, 2010). Menurut Bernstein (2010), bahwa sejarah terbentuknya kapitalisme dari hasil perbandingannya terhadap terbentuknya kapitalisme baik di Eropa, Amerika, dan Asia- tidak sesederhana seperti apa yang diungkapkan oleh Marx, terbentuknya kapitalisme tergantung pada konteks sejarahnya. Maka menurut Bernstein analisa mengenai kemunculan kapitalisme harus terkait pada konteks social masing-masing, karena bagi Bernstein kedinamisan dari kapitalisme bergantung pada konteksnya origin capitalism is uniquely. Berbeda saluran perubahannya (trajectories), maka akan berbeda pula perwajahan dari kapitalisme itu sendiri. Apa yang terjadi pada kapitalisme lokal di Mola, berdasarkan pembahasan Bernstein (2010), cenderung mirip dengan yang terjadi di Amerika. Kapitalis di Amerika, yang awalnya melakukan petty commodity production, muncul mejadi aktor kapitalis tanpa harus mengalami transisi dari sistem feodalisme, dan kapitalisme itu muncul secara internal di dalam sistem social. Dan sangat berbeda dengan sejarah terbentuknya kapitalis di Prusia, yakni metmorfosisnya tuan tanah yang feodal, atau munculnya kapitalis di Inggris karena revolusi pertanian pada abad ke 18, atau munculnya kapitalisme di Jepang karena peran Negara, dan kapitalisme di Korea Selatan yang disebabkan karena ekonomi kolonialisme. Dikotomi etnik yang terkait dengan pemaknaan dari nilai-nilai sama dan bagai bagi masyarakat bajo Mola terdapat kecenderungan mulai berubah, dan ini merupakan konsekuensi dari mulai merasuknya ekonomi uang (material), melalui perdagangan hasil-hasil laut (merchant capitalism). Pemaknaan ini 247

175 sesungguhnya menggambarkan orang-orang Bajo dalam melihat dirinya, dan orang lain di luar sistem sosialnya yang berbeda budaya dengannya dalam hal gaya hidup, pola mencari nafkah, bahasa, bentuk rumah dan senjata, standar nilai. Pada awalnya orang-orang Bajo hidup berkelana, maka pola konsumsi terhadap barang dan jasa cenderung rendah. Namun dengan pola hidup menetap, pola konsumsi cenderung tinggi, sehingga orang-orang Bajo beradaptasi dengan melakukan perencanaan-perencanaan, termasuk dalam bentuk tabungan dan investasi. Kontak budaya dengan orang Wanci dan seorang pengusaha Tionghoa (An Tje) ditengarai memudahkan penetrasi nilainilai entrepreneurship kepada beberapa aktor kapitalis lokal Bajo Mola. Peleburan batas etnik antara orang Bajo Mola (sama) dengan orang darat (Bagai) juga dipengaruhi oleh ikatan positif yang menjalin hubungan antara beberapa kelompok etnik dalam suatu sistem budayanya yang saling melengkapi. Kondisi demikian dapat menimbulkan saling ketergantungan atau kondisi simbiosis. Misalnya orang Wanci Mandati menganggap orang-orang Bajo sebagai pemegang kunci perdagangan untuk barang-barang hasil-hasil laut yang mereka perdagangkan. Sebaliknya, orang-orang Bajo menganggap orang Mandati sebagai satu-satunya penyedia atau produsen busu-busu atau tempayan yang terbuat dari tanah liat yang digunakan untuk menampung air tawar. Menurut Lotte (2006), beberapa unsur yang menjadi bagian hidup orang Bajo setelah hidup menetap terdapat di daratan. Maka mau tidak mau orang Bajo harus beradaptasi dengan orang-orang Darat. Unsur tersebut antara lain : (1) air tawar ; (2) barang-barang ; (3) informasi dan komunikasi ; (4) alternatif nafkah di luar kegiatan penangkapan, dan pelayaran ; (5) dan pendidikan formal. Kecenderungan yang terjadi pada masyarakat Bajo Mola rupanya serupa dengan temuan Bordieu (1958) dalam Barth (1988) di Algeria, yaitu hubungan antara orang-orang Barbar dan orang Arab. Kebanyakan suku bangsa yang hidup berdekatan saling tergantung dalam hal produknya masing-masing, sehingga perlu ada pertukaran barang dan jasa. Dalam hal ini, di Algeria juga terlihat contoh kehidupan yang saling melengkapi antara bangsa kelana dan petani di sebagian besar orient. Kalaupun ada permusuhan antar kelompok, pertukaran yang paling minimal tetap dipertahankan. Pasar sebagai tempat pertemuan antara produsen, sekaligus distributor yang adalah orang Bajo, dan Produsen yang adalah orang-orang Mandati 248

176 merupakan wadah penetrasi kapitalisme yang sangat efektif. Pasar yang terbuka dan mapan rupanya menjadi wadah interaksi yang potensial bagi proses adaptasi dan akulturasi nilai-nilai Mandati kepada orang-orang Bajo. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola, identitas etnik yang terkait dengan pemaknaan sama dan bagai cenderung semakin tegas dan menonjol. Polarisasi dasar etnik semakin tajam antara suku Bajo dan suku Buton Kaledupa. Pada akhirnya hubungan ini mempengaruhi perkembangan ekonomi orang-orang Bajo di Pulau Kaledupa. Penyebab identitas ini semakin tajam adalah karena : pertama, orang-orang Bajo tidak memiliki tanah di Pulau Kaledupa, karena asumsi yang mendasari pola kepemilikan laha di Pulau Kaledupa adalah siapa yang pertama datang, dia yang menguasai sumberdaya yakni lahan. Dengan hilangnya salah satu kebutuhan dasar yakni memiliki tanah untuk digarap, berarti hilang juga salah satu kebutuhan dasar untuk beradaptasi secara ekologis dengan lingkungan darat, dan orang-orang Kaledupa ; Kedua, masyarakat Bajo diposisikan sebagai masyarakat lapisan bawah oleh orang-orang Buton Kaledupa, sehingga pembauran, dan kontak social cenderung rendah ; Ketiga, identitas etnik selalu ditampilkan melalui tatanan, adat istiadat dan simbol-simbol yang dirasakan berbeda oleh orang-orang Bajo terhadap orang-orang Buton ; Keempat, pasar yang selayaknya sebagai tempat pertemuan penjual dan pembeli yang setara, sekaligus menjadi daerah pusat tempat orang-orang asing berhubungan, tidak kondusif. Pasar-pasar di Pulau Kaledupa tidak berkembang, pada akhirnya roda ekonomi serasa jalan di tempat demikian pula halnya dengan ekonomi orang-orang Bajo. Menurut Alexander (1999) dalam Malik (2010) keberadaan pasar dikonsepsikan sebagai sebuah institusi ekonomi yang memungkinkan bagi setiap individu untuk melakukan interaksi sosial. Artinya, pasar bukan hanya sekedar berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses transaksi jual-beli barang dan jasa antara penjual dengan pembeli. Tetapi, institusi pasar merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya melibatkan para pedagang, seperti: pengecer, pedagang besar, dan pedagang perantara, yang dihubungkan oleh hubunganhubungan yang melembaga dan secara simultan lebih bersifat ekonomi dan sosial. Adapun bersifat ekonomi, karena mengaitkan hubungan mereka dengan tersedianya pasokan pasokan barang dan uang. Sedangkan secara sosial, menghubungkan anggota keluarga, pelanggan, dan klien. 249

177 Melihat peran dari orang-orang darat tertentu yang membentuk pola adaptasi yang berbeda, maka kecenderungan dari perkembangan jiwa entrepreneurship antara orang Bajo Mola dan orang Bajo Mantigola dari dengan siapa mereka beradaptasi. Menurut Izikowitz dalam Barth (1988), hubungan antar kelompok, ditinjau dari segi yang lain, identifikasi atau pengenalan pada dasarnya penting, yaitu bukan pengenalan dari kelompoknya sendiri, melainkan penilaian dari luar kelompoknya dan bagaimana penilaian itu diterima. Hubungan antaretnik diungkapkan dalam bentuk-bentuk interaksi, sehingga interaksi itu sendiri tergantung dari sikap hubungannya, nilai yang diterimanya oleh kelompok lain, dan pada akhirnya ini dapat berkembang dalam bentuk peperangan, pemberontakan, penganiayaan, penjiplakan budaya, perdagangan yang sehat, atau berbagai betuk yang lain. Selanjutnya, Izikowitz dalam Barth (1988) mengatakan bahwa hubungan antar kelompok yang berdekatan ini tergantung juga dari kontaknya dan apakah kelompok itu menganut sistem demokrasi atau autokrasi ; atau masyarakat yang bersifat hirarkhi atau tidak. Maka berpijak pada pemikiran ini, disimpulkan bahwa orang-orang Bajo Mola berhasil mengembangkan dirinya menjadi aktor kapitalis lokal, karena orang Wanci Mandati 12 cenderung berjiwa demokratis. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola persisten terhadap perubahan, dan mandek ekonominya, karena bajo menghadapi orang Buton Kaledupa yang cenderung autokrasi dan berperangai sangat tegas. Menurut Weber dalam Turner (1991) yang mengatakan bahwa kondisi masyarakat duniawi modern sebagai kekecewaan dengan mana Weber memaksudkan bahwa manusia tidak lagi terkurung dalam sebuah dunia suci dengan kekuatan-kekuatan magis dan gaib. Dari pernyataan Weber ini 12 Jika kita menarik benang merah dari dua bentuk kecenderungan-kecenderungan yang berbeda dari dua komunitas Bajo tersebut. Maka, pertanyaan yang harus dijawab adalah faktor apakah yang paling dasar dan mempengaruhi perbedaan kecenderungankecenderungan tersebut?. Menurut Steward, ada hubungan sebab akibat antara budaya dengan lingkungan. Selanjutnya, menurut Arensberg (1963) dalam Barth (1988) lingkungan alam yang berbeda menyebabkan perbedaan tingkat dan tatanan ekonomi mulai dari pola sederhana untuk keperluan nafkah, sampai ke perdagangan yang lebih spesifik. Misalnya mengapa orang Wanci Mandati mengembangkan sistem ekonomi perdagangan, karena secara ekologis bagian tanah yang subur sangat curam, dan kondisi tanah yang cenderung berbatu, dan posisi di wilayah pesisir, sehingga usaha dikembangkan pada usaha perdagangan bukan pertanian. Dengan perdagangan memaksa sudut pandang menjadi cenderung demokratis. 250

178 ditafsirkan bahwa dunia modern identik dengan sekularisasi yang melepaskan dirinya dari kehidupan ritual-ritual magis animisme yang irasional. Melihat kondisi yang terjadi pada perkembangan kapitalisme lokal atau disebut Weber sebagai sekularisasi di Bajo Mola maupun Mantigola. Maka tesis Weber mengenai agama dan spirit kapitalisme harus dicerna dengan seksama. Apakah tesis tersebut sesuai dengan penggambaran fenomena kapitalisme lokal di dua komunitas Bajo ini atau tidak?. Bagi orang-orang Bajo baik Mola dan Mantigola, kepercayaankepercayaan animisme dan ritual-ritual yang menyertainya berhubungan erat dengan batas tegas ekologi laut dan daratan. Bagi orang Bajo kepercayaan animisme muncul sebagai suatu bentuk pemaknaan yang mendalam penghormatan khusus mereka terhadap laut sebagai suatu wilayah yang keramat baik sebagai pemberi kesembuhan maupun pemberi bencana. Batas tegas antara daratan dan lautan selalu berhubungan dengan kepercayaan animisme dan agama Islam. Proses menetapnya orang-orang Bajo, hingga tinggal di daratan membawa pengaruh islamisasi orang Bajo dikemudian harinya. Bagi orang-orang Mola, kepercayaan animisme memang perlahan-lahan telah runtuh atau disebut Weber demagifikasi, akibat perkembangan arus ekonomi uang, dan proses urbanisasi pemukiman di Mola. Namun tidak serta merta juga meningkatkan domain keislaman mereka. Yang menarik adalah salah satu unsur Islam yang berubah fungsi menjadi salah satu pemacu etos kapitalisme para pengusaha-pengusaha di Mola adalah melakukan ibadah Haji, sebagai pelaksanaan rukun Islam yang kelima. Tidak berarti ibadah haji dilakukan semata-mata untuk meminta keridhoan Allah SWT, dalam bentuk rasionalitas berorientasi nilai-nilai luhur Islam, sebagai panggilan Allah SWT, melainkan juga cenderung dilakukan dalam bentuk rasionalitas instrumental, karena naik haji bagi orang-orang Bajo dianggap sebagai suatu simbol prestise, dan kemapanan ekonomi. Kenyataan yang terjadi di Mantigola, kepercayaan animisme masih kuat bercokol dalam jiwa orang-orang Bajo Mantigola. Sehingga derajat keislaman mereka masih berada dalam posisi kedua setelah kepercayaan animism. Melihat ciri khas Bajo Mantigola yang cenderung lambat perubahan ekonominya, serta kuatnya animism di dalam masyarakatnya, bisa disimpulkan bahwa kepercayaan 251

179 animism yang menggarisbawahi kepemilikan secara bersama-sama atau komunal tidak memberikan etos tersendiri bagi perkembangan usaha yang dikelola oleh orang-orang Mantigola. Meskipun naik haji juga dijadikan sebagai landasan prestise bagi orang-orang Mantigola, namun pemikiran irasional dari beberapa orang-orang Mantigola yang rela berhutang sana-sini hanya untuk naik haji, menunjukkan bahwa naik haji bagi sebagian orang-orang Mantigola tidak juga memberikan bentuk semangat untuk mempercepat laju perputaran ekonomi mereka, malah memberikan bentuk perangkap baru terhadap kemandekan ekonominya. Apa yang menjadi orientasi agama, dan kepercayaan animisme orangorang Bajo Mantigola sesuai dengan temuan Hefner (1999) mengatakan bahwa tradisi orang gunung (orang Tengger) mempunyai basis komunal yang kuat. Mereka percaya semua penduduk berasal dari cikal bakal desa, serta ketergantungan bersama para toh-roh penguasa tanah, dan air. Sebagian penduduk mengaku Islam, yang lain Hindu, atau Budha. Tetapi keduanya menyembah roh leluhur dan perlindungan desa, menekankan pentingnya upacara komunal, serta menganjurkan toleransi antara orang Islam dan orang Hindu. Progresifitas ekonomi yang terjadi pada usaha-usaha yang dikembangkan oleh pengusaha-pengusaha lokal Bajo di Mola mengisyaratkan keusangan tesis Weber yang menyatakan bahwa kapitalisme rasional hanya muncul di dunia Barat. Rasionalitas ekonomi cenderung mendominasi segala bentuk kegiatan ekonomi, dengan juga tidak dipungkiri bahwa rasionalitas moral social masih tersisa di dalam ruang pemikiran sang actor kapitalis. Malah cenderung terjadi pertarungan rasionalitas disana. Bentuk pertarungan tersebut sangat disadari oleh sang aktor sebagai konsekuensi logis dari ikut sertanya mereka dalam proses komersialisasi dan ekonomi uang. Namun di satu sisi nilai-nilai inklusifitas kelompok dan nilai-nilai daparanakan juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Realisasi dari pertarungan ini adalah mulai melemahnya batas sama dan bagai dengan merekrut orangorang darat untuk masuk ke dalam sistem usahanya, sebagai nelayan bebas. Dan mulai memperhitungkan eksistensi nelayan Bajo dengan sistem terikat yang bagi mereka itu cenderung tidak ekonomis. Tapi harus dilakukan karena para actor kapitalis Mola memang dibebani oleh kewajiban-kewajiban moral yang 252

180 terkait dengan institusi daparanakan, dan patron client sebagai mekanisme mendistribusikan kembali harta kekayaan. Inilah yang cenderung membedakannya dengan aktor kapitalis Tionghoa yang cenderung sangat spekulatif, terwujud dalam hasrat yang berlebih-lebihan untuk mencari untung (Die dalam Tan, 1981). Dengan etika individual materialism dan etika utilitarianisme, maka jaringan bisnis bersifat terbuka. Strategi bisnis yang dikembangkan difensif, dan pengambil resiko tinggi. Itu merupakan suatu bentuk adaptasi orang Bajo Mola terhadap ekonomi uang, dan tekanan pasar. Begitu pula dengan bentuk ekspansi bisnis yang sangat terbuka luas bagi investasi kepada usaha sektor perikanan, dan juga non perikanan yang hasilnya akan mendukung usaha utama perikanan. Namun, yang masih dipertahankan oleh aktor kapitalis lokal Bajo adalah tidak melakukan ekspansi usaha yang berhubungan dengan usaha yang dilakukan oleh orang-orang darat. Gambaran kapitalisme lokal di suku Bajo Mola menunjukkan bahwa tesis Boeke mengenai kemandekan ekonomi pribumi karena membenci modal, sedikit sekali pada mutu barang, tidak memiliki kecakapan usaha, tidak ada satuan ukur baku, persediaan tak kenyal, tidak ada organisasi dan disiplin, spesialisasi setempat dan kolektif sudah tidak bisa diterima lagi. Karena sifat ekonomi yang mandek pribumi tidak bersifat abadi. Kegesitan dalam berbisnis oleh orang-orang Bajo membuktikan keberhasilan orang Bajo Mola yang dahulu pra kapitalis menjadi pengusaha hasil laut yang sukses karena mampu menyesuaikan diri terhadap ekonomi pasar, bukan gagal menyesuaikan diri dan gagal menarik manfaat dari ekonomi uang, dan tercerai-berai dan merana karena gagal beradaptasi seperti apa yang diungkapkan oleh Boeke. Kesalahan Boeke memandang, bisa dimengerti karena wajah ekonomi dualistis hanya dipahami untuk kasus ekonomi pribumi di Jawa, sementara di luar jawa, di pedalaman sekalipun terdapat kecenderungan yang berbeda. Sebaliknya, kegesitan pengusaha Mola tidak diikuti dengan saudaranya di Mantigola. Pada kenyataannya ekonomi Mantigola cenderung lambat perputaran ekonominya. Dorongan bagi laba maksimal adalah kecil. Munculnya rasionalitas ekonomi individualisme, dihambat oleh kuatnya rasional moral social. Bukan berarti mereka tidak bisa berpikir rasional ekonomi, tapi karena dengan dipertahankannya etika social moralitas kolektivisme sebagai suatu bentuk 253

181 adaptasi orang-orang Bajo Mantigola terhadap segala bentuk kesulitan hidup yang dihadapi. Maka, karena standar nilai tersebut yang dianut oleh orang Bajo Mantigola, maka bentuk ekspansi capital cenderung tertutup, bukan saja karena usaha non perikanan di darat tidak mau dan tidak mampu dikuasai oleh Bajo Mantigola, juga karena segala bentuk keuntungan dikerahkan oleh orang Mantigola untuk mempertahankan eksistensi usaha yang dikelolanya. Termasuk ketidakberdayaannya terhadap ketergantungan yang sangat tinggi terhadap daparanakannya di Mola yang memberikan pinjaman untuk modal usaha yang sifatnya mengikat. Bagi orang Mantigola hubungan daparanakan adalah pertalian erat yang luar biasa, dan saling percaya-mempercayai, dan menyebabkan orang Bajo Mantigola boleh dikata mudah mendapat uang dan kredit, dengan bunga yang relative rendah, dan sangat fleksibel, yang dapat digunakan untuk usaha. Begitu pula halnya dengan bentuk jaringan usaha yang cenderung tertutup. Karena ketakutan orang Mantigola atas resiko usaha yang akan dihadapi.kerjasama cenderung dilakukan oleh daparanakan di Mola. Daparanakan yang menyediakan pasar, dan modal. Pengusaha di Mantigola. upaya ini dilakukan cenderung pada komoditas yang memiliki resiko usaha yang sangat tinggi, seperti perdagangan ikan hidup. Gejala munculnya rasionalitas transedental di dalam pemaknaan orangorang Mantigola di dalam memandang hidup terjadi karena keputusasaan orang Mantigola terhadap beragam kesulitan yang mereka hadapi, yang menghambat perkembangan ekonomi. Namun, bukan berarti orang-orang Bajo adalah orang-orang yang pemalas, menurut Lotte (2009) kulit tubuh orang-orang Bajo yang hitam legam menunjukkan etos kerja yang tinggi, dan gambaran perjuangan mereka untuk bertahan hidup dalam kondisi kemiskinan. Sedikit saja keuntungan yang diperoleh diarahkan pada upaya mempertahankan usaha. Untuk hal yang berbau resiko terkait menghadapi permasalahan hukum, orang Bajo Mantigola cenderung penakut, dan mengambil posisi menyingkir dari persaingan. Menjadi penakut itu muncul karena keadaan ekonomi dan kehidupan rumahtangga orang Bajo Mantigola selalu dihadapkan kepada ketidakpastian. Dari segi bentuk kepemilikan profit property melalui akusisi capital, para pengusaha di Mola cenderung terbuka kesempatan untuk melakukan akusisi 254

182 capital, dibandingkan dengan pengusaha di Mantigola. karena persaingan yang cenderung tinggi antara pengumpul teripang dan ikan hidup. Strategi yang digunakan oleh pengusaha Bajo di Mola adalah dengan akumulasi capital dari beragam sumber pendapatan usaha, kemudian dengan keuntungan tersebutlah yang dijadikan alat untuk merebut pasar, informasi, bos eksportir, dan nelayan produsen. Sebaliknya di Mantigola peluang akusisi capital cenderung kecil, karena upaya-upaya yang dibangun oleh pengusaha di Mantigola ditujukan untuk mempertahankan usaha yang ada. Dan tidak diarahkan untuk mencaplok kekuatan produksi orang lain. Aliansi kepada negara yang dibangun oleh pengusaha di Mola dan Mantigola juga cenderung berbeda. Pengusaha Mola giat melakukan bentukbentuk aliansi politik dengan elit pemerintah untuk memperkuat posisi mereka (status quo) sebagai pengumpul hasil-hasil laut, dan agar pemerintah lebih berpihak terhadap mereka dalam rangka pengembangan usaha yang mereka lakukan. Begitu pula halnya dengan orang-orang Mantigola. Namun aliansi yang dibangun oleh elit Negara, bukanlah elit sembarangan. Karena mereka hanya mau membangun aliansi kepada pihak-pihak yang betul-betul peduli dengan kondisi mereka, bukan terhadap pihak-pihak yang oportunis terhadap mereka. Karena sifat inklusifitas orang-orang Bajo Mantigola sangat kuat maka aliansi politik dibangun bersama elit negara yang adalah orang Bajo. Karena mereka yakin hanya sesame orang Bajo lah yang lebih mengerti kondisi mereka. Melihat gambaran perlambatan perubahan ekonomi orang-orang Mantigola, maka sekali lagi keusangan teori Boeke terjadi. Menurut Boeke, pandangan hidup yang berbeda antara orang-orang pribumi dengan orang-orang Barat akan tetap terlihat, bahwa orang Indonesia juga tidak mampu bekerja keras, atau merasa wajib bekerja keras, sesuai dengan ukuran-ukuran Barat. Fakta di Mantigola menunjukkan bahwa apa yang diungkapkan Boeke itu tidak bisa lagi diterima. Meskipun perekonomian orang Bajo Mantigola cenderung mandek, namun bukan berarti mereka malas dan tidak mampu bekerja keras, mereka bekerja keras, namun bukan dengan tujuan dan ukuran-ukuran seperti orang-orang Barat yang terpusat pada ekonomi uang, tetapi karena itu merupakan suatu pilihan hidup, dan mereka merasa nyaman dengan keguyuban mereka. Bukan dengan saling menjatuhkan satu sama lainnya 255

183 untuk memperoleh keuntungan yang berlimpah, namun meruntuhkan solidaritas antara orang-orang sama Ikhtisar Perbedaan antara orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola yang dalam hal wajah kapitalisme ; Bajo Mola berkembang demikian cepat, membentuk individu progresif terhadap perubahan, sementara orang-orang Bajo Mantigola cenderung lebih persisten terhadap perubahan ditengarai disebabkan oleh dikotomi etnik yang terkait dengan pemaknaan dari nilai-nilai Sama dan Bagai bagi masyarakat Bajo Mola terdapat kecenderungan mulai berubah. Kontak budaya dengan orang Wanci dan seorang pengusaha Tionghoa (An Tje) merupakan penyebab meleburnya batas-batas ini. Sementara, orang Bajo Mantigola, identitas etnik yang terkait dengan pemaknaan sama dan bagai cenderung semakin tegas dan menonjol. Penyebab identitas ini semakin tajam adalah karena orang-orang Bajo tidak memiliki tanah di Pulau Kaledupa, masyarakat Bajo diposisikan sebagai masyarakat lapisan bawah oleh orang-orang Buton Kaledupa, sehingga pembauran cenderung rendah, identitas etnik selalu ditampilkan melalui tatanan, adat istiadat dan simbol-simbol yang berbeda oleh orang-orang Bajo terhadap orang-orang Buton, pasar-pasar di Pulau Kaledupa tidak berkembang. Perbedaan kecepatan perubahan sosial di Mola juga cenderung disebabkan karena orang-orang Bajo Mola berhasil mengembangkan dirinya menjadi aktor kapitalis lokal, karena orang Wanci Mandati cenderung berjiwa demokratis. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola persisten terhadap perubahan, dan mandek ekonominya, karena Bajo menghadapi orang Buton Kaledupa yang cenderung autokrasi dan berperangai sangat tegas. Pengaruh kepercayaan sedikit banyak mempengaruhi perkembangan usaha orang-orang Mola dan Mantigola. Bagi orang-orang Mola, kepercayaan animisme memang perlahan-lahan telah runtuh, namun tidak serta merta juga meningkatkan domain keislaman mereka. Salah satu unsur Islam yang berubah fungsi menjadi salah satu pemacu etos kapitalisme para pengusaha-pengusaha di Mola adalah melakukan ibadah Haji.Sementara di satu sisi kenyataan yang 256

184 berbeda terjadi di Mantigola, kepercayaan animisme masih kuat bercokol dalam jiwa orang-orang Bajo Mantigola, sehingga tidak memberikan etos tersendiri bagi perkembangan usaha yang dikelola oleh orang-orang Mantigola. Dari apa yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan gambaran dikotomi masyarakat kapitalis dan pra kapitalis oleh Booke, dan dengan menggunakan hasil temuan Howard (1978) mengenai rich peasant dan rich famer, maka para pengusaha Mola telah cenderung bertransformasi menjadi aktor kapitalis, namun dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tertentu, misalnya nilai daparanakan, dan nilai inklusifitas baong Sama yang memberikan warna lokal terhadap kapitalisme ala Bajo Mola. Sebaliknya orang-orang Mantigola tetap mempertahankan diri dalam ekonomi pra kapitalis yang cenderung menekankan pada batas tegas nilai-nilai Sama dan Bagai. Dan pada akhirnya memberikan warna pada kehidupan perekonomiannya. Sumber dari munculnya kapitalisme di masyarakat suku Bajo, berasal dari diterimanya nilai-nilai usaha, baik dari An Tje, maupun dari hasil akulturasi budaya dengan masyarakat wanci Mandati. Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis local tidak seperti etika yang dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme, melainkan ada etika dari kepercayaan, nilai-nilai budaya Bajo yang mewarnai kapitalisme lokal suku Bajo. Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Ternyata pada akhirnya, orang Mola menguasai pasar, dan kemudian melakukan perubahan artikulasi cara produksi hingga berani melakukan eksplotasi terhadap saudaranya sendiri, maka teori Marx yang digunakan untuk memahami gejala tersebut. Namun sekali lagi, bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Mola terhadap saudaranya bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu di hati para aktor kapitalis lokal. 257

185 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada dua komunitas yaitu komunitas Suku Bajo Mola, dan Suku Bajo Mantigola, menunjukkan telah terjadi perubahan sosial, sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya masyarakat, dan kuatnya arus komersialisasi. Hal ini didasarkan pada perubahan orientasi nilai-nilai budaya, etika moralitas, dan rasionalitas yang dimiliki baik di Bajo Mola maupun di Mantigola. Kemunculan beberapa aktor kapitalis local Bajo di Mola merupakan suatu indikator bagaimana masyarakat Bajo tengah mengalami perubahan orientasi hidup yang semula hidup berpindah-pindah dengan pola hidup subsistensinya. Dahulu individualisme bagi orang Bajo bukan untuk cara orang Bajo untuk memperkaya diri atau mengumpulkan kekayaan. Dahulu juga orang Bajo bukan masyarakat yang berada. Orang-orang Bajo menggambarkan kesederhaan dan kemiskinan sebagai ciri khas keberadaan mereka. Saat ini, roda pergerakan ekonomi bergerak sedemikian cepatnya, Sistem penghidupan masyarakat yang semula dibangun dengan sistem kolektivitas cenderung berganti menjadi sistem ekonomi kapitalis yang bergantung pada pasar dan sifatnya komersial. Namun, falsafah hidup orang Bajo yang terkait dengan nilai-nilai daparanakan, dan falsafah sama dan bagai, serta bentuk keyakinan rupanya memberikan warna khas dalam sistem ekonomi kapitalis Bajo, khususnya Bajo Mola. Pengaruh An Tje sebagai sang pembawa nilai-nilai baru, yakni nilai kapitalisme melalui pertukaran ekonomi rupanya berhasil memunculkan golongan perintis kapitalis lokal pada masyarakat Mola. Perubahan ini juga didukung oleh peran orang-orang Mandati yang adalah seorang kapitalis, membawa iklim yang kondusif untuk mengembangkan usaha. Posisi orang-orang Bajo di dalam mekanisme pertukaran yang terjadi cenderung setara antara orang Bajo dan orang Mandati, karena orang Bajo dianggap sebagai konsumen potensial sekaligus sebagai produsen utama kegiatan perdagangannya. Dan tidak bisa dipungkiri juga bahwa rutinitas pelayaran di Wanci sangat tinggi sejak dahulu. Di Bajo Mantigola penggunaan tenaga kerja, khususnya nelayan sudah tidak harga mati bahwa harus orang Bajo. Karena tekanan permintaan pasar 258

186 yang tinggi, maka mau tidak mau hubungan kerja juga harus melibatkan nelayannelayan darat. Sistem perekrutan nelayan Bajo sendiri tetap dilandasi oleh ketentuan daparanakan sebagai basis hubungan produksi, dan masih berlakunya hubungan patron client antara nelayan dengan pengumpul. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa di Mola terjadi mekanisme pertarungan antara etika sosial kolektif dengan individual materialisme, dalam bentuk konflik rasionalitas. Yakni rasionalitas subyektif, yang menekankan pada iklusifitas kelompok Bajo, dan rasionalitas instrumental dalam bentuk rasionalitas ekonomi praktis. Bentuk konstelasi pertarungan nilai ini pada akhirnya menyebabkan kapitalisme yang terbentuk pada actor-aktor pengusaha Mola. Etika social kolektif pada actor kapitalis Mola cenderung semakin melemah, akibat gempuran kekuatan uang, sebagai contoh munculnya persaingan yang tinggi antara sesama pengumpul ikan hidup, meskipun mereka sama-sama orang Bajo (sama). Bagi aktor yang dominan pada basis etika social kolektif maka rasionalitas yang dibangun antara lain rasionalitas moral social, dan rasional ekonomi, dimana keuntungan untuk kesejahteraan social. Sebaliknya bagi actor yang dominan membangun etika sosial individual materialisme, rasionalitas yang dibangun cenderung pada rasionalitas formal, dan rasionalitas ekonomi dimana bisnis untuk keuntungan individu semata. Sebaliknya, bagi Bajo Mantigola, perubahan sosial terjadi begitu lambat. Tekanan tekanan yang dialami oleh masyarakat Bajo Mantigola oleh orangorang Kaledupa dalam bentuk perlakuan yang diskriminatif, secara kontekstual terjadi karena, posisi masyarakat Bajo di Pulau Kaledupa, berada pada lapisan terbawah dari sistem sosial. Dengan kondisi seperti ini tidak membawa pada iklim yang kondusif dalam berusaha. Kondisi seperti ini menimbulkan etos tersendiri, dan menciptakan mentalitas Bajo yang cenderung penakut, dan kurang berani mengambil resiko. Goncangan-goncangan sosial dan ekonomi semakin menjadi-jadi karena lahan nafkah semakin sempit akibat zonasi taman nasional Wakatobi. Beberapa produk-produk yang menjadi sumber keuntungan terbesar adalah komoditas yang terlarang untuk diperdagangkan. Di tengah berbagai ironi yang mendera pada akhirnya menciptakan bentuk etika social moralitas tertentu, dan akumulasi capital tersendiri dan strategi bisnis tersendiri, yang ditujukkan untuk bertahan untuk mencari nafkah untuk hidup. 259

187 Agama juga menjadi faktor penting yang berperan di dalam munculnya kapitalisme lokal di suku Bajo. Bagi orang-orang Mola, kepercayaan animisme memang perlahan-lahan telah runtuh atau disebut Weber demagifikasi, akibat perkembangan arus ekonomi uang, dan proses urbanisasi pemukiman di Mola. Analisis orientasi nilai budaya juga menunjukkan bagaimana pemaknaan memberikan warna terhadap kapitalisme masyarakat Bajo Mola maupun Mantigola. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan, bahwa nelayan Bajo Mola telah bertransformasi menjadi manusia yang optimistic dan progresif. Dimana bagi orang-orang Bajo Mola orientasi hidup tidak lagi berdasarkan masa lalu, tetapi lebih kepada orientasi masa depan, Kemudian orang-orang Bajo Mola menganggap bahwa manusia berhasrat untuk menguasai alam untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dan karya yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo Mola ditujukkan untuk akumulasi capital. Sebaliknya nelayan Mantigola cenderung fatalis. Akibat beragam bentuk tekanan pada ruang-ruang nafkah, baik oleh orang-orang Kaledupa, mekanisme ketergantungan yang diciptakan oleh orang-orang Bajo sendiri, khususnya orang Mola, serta tekanan karena semakin sempitnya lahan nafkah akibat zonasi taman nasional sehingga penghidupan relative tidak stabil, dan ketahanan nafkah relative rendah, menimbulkan orientasi nilai masyarakat yang cenderung fatalis. Pada akhirnya kita menyimpulkan bahwa gambaran mengenai perbedaan orientasi perkembangan kapitalisme lokal, baik pada Bajo Mola yang progresif dalam perkembangan kapitalismenya, dan Mantigola cenderung lebih lambat menjustifikasi bahwa orang-orang Bajo melalui beragam tahap yang berbeda dalam menuju bentuk ekonomi kapitalisme yang digambarkan melalui enam dimensi kapitalisme lokal yang telah digambarkan secara rinci dalam tulisan ini antara lain : (1) profit maksimisasi ; (2) pola ekspansi ekonomi ; (3) individualisme-profit propertu ; (4) Hubungan sosial produksi. Pemaknaan menunjukkan cirri-ciri lokal yang melekat pada bentuk ekonomi baik di Mola maupun Mantigola, yang bukan berarti menyebabkan kegagalan dalam berekonomi ekspansif, namun memberikan warna tersendiri terhadap kapitalisme yang terbentuk pada orang Bajo Mola dan Mantigola dalam bentuk gambaran rasionalitasnya. Ciri lokal, dan kaitannya dengan konteks sosial (sphere of life) juga tidak bisa ditinggalkan sebagai faktor penting pembentuk kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo. Semua temuan ini sekaligus juga membuktikan bahwa 260

188 teori Boeke tentang simbol kelambanan lekat pada ekonomi pribumi tidak sepenuhnya benar bahwa ekonomi moneter dan kapitalisasi yang secara teori semestinya mentransformasikan pedesaan menuju ekonomi modern ternyata memberikan suatu gambaran perkembangan yang berbeda, yakni di satu sisi progresif, dan di satu sisi mengalami kemandekan ekonomi pribumi. Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis lokal tidak seperti etika yang dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme. Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Sementara bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Mola bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu yang mengatur kehidupan berekonomi ala suku Bajo Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka model ekonomi lokal khas suku Bajo dapat digunakan sebagai model pemberdayaan masyarakat suku Bajo. Warna lokal yang khas sesungguhnya menjadi modal dalam keberlanjutan usaha orang-orang Bajo. Misalnya mekanisme profit maksimisasi, ekspansi usaha, dan akumulasi kapital yang sangat diwarnai dengan nilai-nilai khas lokal sehingga membentuk transfer keuntungan tidak dinikmati oleh satu pihak selayaknya kapitalis penuh, namun keuntungan dipertahankan untuk membantu sesama orang-orang Bajo, khususnya yang terkait dengan nilai-nilai daparanakan. Melihat adanya gejala khas dari orang-orang Bajo ketika berinteraksi dengan etnis tertentu, misalnya orang Bajo Mola yang berinteraksi dengan orang-orang wanci memunculkan gejala munculnya para kapitalis-kapitalis di masyarakat Bajo, sementara orang Bajo Mantigola yang berinteraksi dengan orang-orang Kaledupa memunculkan gejala persistensi terhadap bentuk-bentuk perubahan social maupun ekonomi, sehingga memunculkan gejala kemiskinan yang khas. Maka diperlukan suatu riset lanjutan yang menganalisis gejala khas lainnya pada masyarakat Bajo, khususnya Bajo La Manggau yang berinteraksi dengan masyarakat Tomia. Pada akhirnya hasil riset yang lebih komprehensif 261

189 akan menghasilkan suatu teori baru mengenai gambaran perubahan social yang terjadi pada masysrakat Bajo di sutau kawasan Taman Nasional Wakatobi. Kemudian, dengan melihat kondisi terbelenggunya proses perkembangan ekonomi masyarakat Bajo Mantigola, khususnya akibat semakin sempitnya lahan nafkah, maka diperlukan upaya-upaya untuk mencari solusi mengenai alternatif nafkah guna mencapai keadilan ekologis untuk orang-orang Bajo, khususnya orang Bajo Mantigola. 262

190 Daftar Pustaka Akram-Lodhi, A.H. et. Al Land, Poverty, and livelihoods in an Era of Globalization (Perspective from developing and Transition Countries). Routledge. London and New York. Allen, T and Thomas A Poverty and Development into 21 st Oxford University Press. Oxford. Century. Anonim Bertaruh Nyawa Demi Napoleon (diakses 1/1/2010, 11:21 am). Arnis Jaringan Sosial Perempuan bakul Ikan (Studi Kasus Perempuan bakul Ikan di Desa Bendar, Kecamatan Juwana, Kabupaten pati). Tesis IPB Bogor. Bernstein, Henry Class Dynamics of Agrarian Change. Canada.Kumarian Press. Chou, C Contesting the Tenure of territoriallity: the Orang Suku Laut. Bidjdragen Tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 153(4): Collins, Randall, Three Sociological Traditions. New York. Oxford University Press. Denzin, Norman K and Yvonna S. Lincoln (1998). The Landscape of Qualitative Research: Theory and Issues, Thousand Oak. London, new delhi, Sage Publication. Dewanto, Herpin Wajah Baru Suku Bajo Wakatobi (Harian Kompas 29 Juni 2010) Dharmawan, A.H Farm Houshold Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in Rural Indonesia. Wissenschaftverlag Vauk. Kiel Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan : Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mahzab barat dan Mahzab Bogor. Jurnal Sodality Vol. 01 No. 02, agustus Hal Ellis, F Rural Livelihoods and Diversity in Develping Countries. Oxford University Press. Oxford and New York. Geertz, Clifford Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Alihbahasa S. Supomo). Jakarta : Bharata karya Aksara. Giddens, Anthony Kapitalisme dan Teori Sosial Modern Suatu Analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Jakarta: UI Press. 263

191 Hamid Abu, dkk Pertumbuhan Pemukiman Masyarakat di Lingkungan Perairan Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Hamzah, Awaluddin Respon Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku bajo di Desa lagasa Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Bogor : IPB. Haenn, Nora and Richard Wilk The Environment in Anthropology A Reader in Ecology, Culture, and Sustainable Living. New York University Press. Herwening, Eko Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik (Studi Kasus di Kelorahan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi). Tesis IPB Bogor. Hidayati, Deny Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia (Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan wangi-wangi, Propinsi Sulawesi Tenggara) Seri Penelitian COREMAP-LIPI No.1/2002. Jakarta : Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Halaman : Howard, Rhoda Colonialism, and Underdevelopment in Ghana. London : Croom Helm. Howell, David L Capitalism from Within Economy, Society, and the State in a Japanese Fishery. University of California Press. Husken, Frans Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman : Sejarah Diferensiasi Sosialdi Jawa Jakarta : Penerbit Grasindo. Hefner, Robert W. Geger Tengger, Perubahan Sosial, dan Perkelahian Politik (Pengantar Martinvan Bruinssen). Yogyakarta : LKiS. Kalberg, Stephen Max Weber s Type of Rationality : Cornerstones for the Anaysis of Rationalization Processes in History. American Journal of Sociology (AJS) Volume 85 No. 5. Iqbal, Moch Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan tangkap kabupaten Lamongan jawa Timur). Tesis IPB Bogor. Jary, D. and Jary Collins Dictionary of Sociology. Herper Collins Publisher. Kinseng, Rilus A Kelas dan Konflik Kelas pada Kaum Nelayan di Indonesia (Studi Kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur). Disertasi. Depok : Universitas Indonesia. Koentjaraningrat Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta. Lestari, Dewi Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Nelayan Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa : Studi Kasus Komunitas Nelayan Banyuwoto, 264

192 Jawa Tengah dan Komunitas Nelayan Cipatugaran, Jawa barat. Skripsi. Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian IPB. Li, Tania Murray Proses Transformasi daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Magnis-Suseno, Frans Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia. Nuryaddin, La Ode Taufik Kapital Sosial Komunitas Suku Bajo Studi Kasus Komunitas Suku Bajo di Pulau Baliara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Disertasi. FISIP UI Depok. Nurjannah, Siti Perubahan Pola Produksi dan Gejala Pembentukan Kelas Pedagang dalam Masyarakat Pengrajin (Studi Kasus pengembangan Industri Gerabah di desa Banyumulek, Lombok Barat, NTB). Tesis Master SPS-IPB. Bogor. Pallesen, A.K Culture Contact and Convergence. Linguistic Society of The Philippines, Manila. Peribadi Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat bajo, Sebuah Studi Komunitas di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. PPS IPB, Bogor Purnomo, Mangku Perubahan Struktur Ekonomi Lokal Studi Dinamika Moda Produksi di Desa Pegunungan Jawa. Tesis Master SPS-IPB. Bogor. Rachbini, Didik J Perspektif Teori Ekonomi Politik Baru. Jurnal PRISMA No. 3 Tahun XXIII Maret Jakarta : LP3ES. Robbins, Paul Political Ecology A Critical Introduction. Blackwell Publishing. Salim, Agus Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus di Indonesia. Yogyakarta : Tiara Wacana. Satria, Arif Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan (Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan). Tesis IPB Bogor. Satria, Arif Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta. Cidesindo. Scott, James C Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES. Shaliza, Fara Dinamika Konflik antar Komunitas dan transformasi Modal Sosial (Studi Kasus Konflik antara Komunitas Nelayan Parit III dan Melati di Kabupaten bengkalis, Provinsi Riau). Tesis IPB Bogor. 265

193 Stacey, Natasha Boats to Burn : Bajo Fishing Activity in The Australian Fishing Zone. Northern Territory University Australia. Sitorus, MT, Felix Penelitian Kualitatif ; Suatu Pengenalan. Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial IPB. Bogor Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. Disertasi Doktoral SPS-IPB. Bogor. Suyuti, Nasruddin, dkk Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan pada Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka. Laporan penelitian : Kerjasama FISIP Universitas Haluoleo dengan Kanwil Depsos Propinsi Sulawesi Tenggara Bajo dan Bukan Bajo, Studi tentang Perubahan Makna Sama dan Bagai pada Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara. Disertasi PPS UNAIR, Surabaya. Suryabrata, Sumadi Metodologi Penelitian. Jakarta : Rajawali Press. Susilo, Edi Dinamika, Struktur Sosial dalam Ekosistem Masyarakat Pesisir. Malang : Universitas Brawijaya Press. Syaf, Sofyan Transmigrasi sebagai Pembentuk Formasi Sosial kapitalis di Daerah Tujuan (Studi Kasus Komunitas Transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Propinsi Kalimantan Selatan). Tesis Master SPS-IPB. Bogor. Sztompka, Piotr Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada. Tetiani, Ani Memudarnya Dualisme Ekonomi : Studi Mobilitas Sosial Komunitas Perkebunan Teh Kertamanah, Pengalengan, Jawa Barat. Tesis. Bogor : IPB. Wianti, Nur Isiyana Analisis Jaringan Komunikasi dalam Keberhasilan Perilaku Berbudidaya Keramba pada Masyarakat Bajo di Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Propinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi. IPB. Bogor. Wulansari, Wenni Kajian Gender dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Pulau Untung Jawa. Tesis IPB Bogor. Zacot, Francois Orang Bajo Suku Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog. Maisonnevue & Larose, Paris. Penerjemah. Jakarta : Fida Muljono-Larue & Ida Budi Pranoto. Terjemahan dari : Peuple nomade de la mer: Les Badjos d Indone sie. 266

194 Zada Ua, Marsianus Nelayan Bajo Lewoleba di Lembata Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur, Suatu Tinjauan Antropologi maritim. Skripsi. Yogyakarta : UGM. 267

195 L A M P I R A N 268

196 Lampiran 1. Peta Penelitian 269

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada dua komunitas yaitu komunitas Suku Bajo Mola, dan Suku Bajo Mantigola, menunjukkan telah terjadi perubahan sosial, sebagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat meso terjadi perubahan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Penelitian

Lampiran 1. Peta Penelitian Lampiran 1. Peta Penelitian 269 Lampiran 2. Jadwal Penelitian No Kegiatan Waktu Penelitian Tahun 2010 Tahun 2011 1 4 5 6 7 8 9 10 11 1 2 1 2 3 4 5 6 1. Analisis dokumen 2. Pra Penelitian 3. Sidang Komisi

Lebih terperinci

KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO

KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO ISSN : 1978-4333, Vol. 06, No. 01 Local Capitalism of Bajo Nur Isiyana Wianti *), Arya Hadi Dharmawan, Rilus A. Kinseng, Winati Wigna Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kemiskinan dan kesenjangan sosial pada kehidupan nelayan menjadi salah satu perhatian utama bagi kebijakan sektor perikanan. Menurut pemerintah bahwa kemiskinan dan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman i ii iii iv v vi

DAFTAR ISI. Halaman i ii iii iv v vi DAFTAR ISI RINGKASAN... DAFTAR TABEL.... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI... PRAKATA... PENDAHULUAN Latar Belakang... Pertanyaan dan Masalah penelitian... Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara geografis berada di pesisir

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat AGUSTINA MULTI PURNOMO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pendapatan asli daerah Sulawesi Selatan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pendapatan asli daerah Sulawesi Selatan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah yang memiliki luas perairan laut cukup besar menjadikan hasil komoditi laut sebagai salah satu andalan dalam pendapatan asli

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Moral Ekonomi Pedagang Kehidupan masyarakat akan teratur, baik, dan tertata dengan benar bila terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

Lebih terperinci

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa MANGKU PURNOMO

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa MANGKU PURNOMO PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa MANGKU PURNOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 10.1. Kesimpulan Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme terhadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya perubahan praktek

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA M A R D I N PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEKOLAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Nelayan mandiri memiliki sejumlah karakteristik khas yang membedakannya dengan nelayan lain. Karakteristik tersebut dapat diketahui dari empat komponen kemandirian, yakni

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam perekonomian Indonesia karena beberapa alasan antara lain: (1) sumberdaya perikanan, sumberdaya perairan

Lebih terperinci

SISTEM PEMASARAN HASIL PERIKANAN DAN KEMISKINAN NELAYAN (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara)

SISTEM PEMASARAN HASIL PERIKANAN DAN KEMISKINAN NELAYAN (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) SISTEM PEMASARAN HASIL PERIKANAN DAN KEMISKINAN NELAYAN (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) SKRIPSI WINDI LISTIANINGSIH PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Akhir tahun 70-an dan awal 80-an, Pemerintahan Orde Baru menggalakkan program transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi, Kalimantan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Mengkaji perilaku nelayan artisanal di Indonesia, khususnya di pantai Utara Jawa Barat penting dilakukan. Hal ini berguna untuk mengumpulkan data dasar tentang perilaku nelayan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN Perubahan lingkungan berimplikasi terhadap berbagai dimensi kehidupan termasuk pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini tentu saja sangat dirasakan oleh perempuan Kamoro yang secara budaya diberi

Lebih terperinci

Pendekatan Historis Struktural

Pendekatan Historis Struktural Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kenajuan bagi negara dunia ketiga

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN ( PERSISTENCE

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN ( PERSISTENCE PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI (Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan,

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kondisi alam dan sosial yang ditemukan pada setiap daerah yang spesifik, tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. dengan kondisi alam dan sosial yang ditemukan pada setiap daerah yang spesifik, tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem penguasaan lahan yaitu pemilikan dan organisasi pekerja kondisi teknologi dan ekonomi, tidaklah merupakan faktor yang berdiri sendiri. Bentuk konkretnya berkaitan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN Slamet Widodo Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Nelayan Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya

Lebih terperinci

TAHUN Tahun 2007) SEKOLAH

TAHUN Tahun 2007) SEKOLAH PERILAKU POLITIK ETNIS TOLAKI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA TAHUN 2007 (Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) ARYUNI SALPIANA JABAR SEKOLAH PASCASARJANAA

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH 1 PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH (Studi Di Kampung Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Batasan Analisis Batasan analisis dalam penelitian ini adalah: Pertama, Pokok persoalan yang diangkat adalah persoalan keterbatasan lahan, tingkat kerentanan produk tembakau

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN (Kasus di Kelurahan Cigadung Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung) ERNA SUSANTY SEKOLAH PASCA SARJANA

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG WALUYO

PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG WALUYO PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG WALUYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI (PREPAID CARD) LOVITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai tersebut, Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas dengan

BAB I PENDAHULUAN. pantai tersebut, Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan tidak kurang dari 17 ribu buah pulau dan 81 ribu km panjang pantai. Dengan panjang pantai tersebut,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) KATARINA RAMBU BABANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Pertanian dan Petani Pertanian memiliki arti penting dalam pembangunan perekonomian. Sektor pertanian tidak saja sebagai penyediaan kebutuhan pangan melainkan sumber kehidupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu berupa kekayaan alam maupun kekayaan budaya serta keunikan yang dimiliki penduduknya. Tak heran

Lebih terperinci

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG Oleh : Harry Priyaza C54103007 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

Mia Siscawati. *Program Studi Kajian Gender-Program Pascasarjana UI *Pusat Kajian Antropologi-FISIP UI

Mia Siscawati. *Program Studi Kajian Gender-Program Pascasarjana UI *Pusat Kajian Antropologi-FISIP UI Mia Siscawati *Program Studi Kajian Gender-Program Pascasarjana UI *Pusat Kajian Antropologi-FISIP UI Kampung tersebut memiliki tingkat kemiskinan cukup tinggi, tingkat pendidikan rendah, dan tingkat

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Nurul Hidayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada BAB I PENDAHULUAN Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada rumah di kawasan permukiman tepi laut akibat reklamasi pantai. Kawasan permukiman ini dihuni oleh masyarakat pesisir

Lebih terperinci

2015 KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN CIREBON

2015 KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN CIREBON BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi alam di sektor perikanan yang melimpah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Salah satu sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buruh adalah salah satu bagian sosial dari bangsa yang seharusnya dianggap penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. Opini masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian METODE PENELITIAN Penelitian ini akan memberikan gambaran secara menyeluruh dan mendalam terhadap fenomena strategi nafkah rumah tangga miskin dan pilihan strategi nafkah yang akan dijalankannya. Penelitian

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN TEORI DEPENDENSI Dr. Azwar, M.Si & Drs. Alfitri, MS JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ANDALAS Latar Belakang Sejarah Teori Modernisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan alam yang dimiliki oleh Negara ini sungguh sangat banyak mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI DEBBY HERRYANTO C

PERSEPSI MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI DEBBY HERRYANTO C PERSEPSI MASYARAKAT PESISIR DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI DEBBY HERRYANTO C54104067 SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam melihat ketahanan pasar nagari di Minangkabau dalam menghadapi ekonomi dunia/supra

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Manusia pada hakikatnya adalah sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial dimana manusia itu sendiri memerlukan interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR ANALISIS PERAN GENDER DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT (STUDI KASUS DI KECAMATAN PANAI HILIR KABUPATEN LABUHANBATU PROPINSI SUMATERA UTARA) MAILINA HARAHAP SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN

STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat) Oleh: ABDUL MUGNI A14202017 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Migrasi merupakan perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan dengan kedua daerah

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN

ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN NURJANNAH YUSUF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 1 KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEM TERHADAP RUMAHTANGGA PEKERJA PEREMPUAN (Kasus:Usaha Kecil Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) OLEH : CUT AYA

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II 2.1 Tinjauan Pustaka PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Perkebunan Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian non pangan yang tidak asing di Indonesia. Pengertian perkebunan 2 dalam Undang-undang

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) CHANDRA APRINOVA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 @ Hak Cipta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic state) terbesar di dunia. Jumlah Pulaunya mencapai 17.506 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Kurang lebih 60%

Lebih terperinci

PETANI MlSKlN Dl PlNGGlRAN PERKOTAAN DAN STRATEGI BERTAHAN HlDUP RUMAH TANGGA (Studi Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi) OLEH : NURMALINDA

PETANI MlSKlN Dl PlNGGlRAN PERKOTAAN DAN STRATEGI BERTAHAN HlDUP RUMAH TANGGA (Studi Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi) OLEH : NURMALINDA PETANI MlSKlN Dl PlNGGlRAN PERKOTAAN DAN STRATEGI BERTAHAN HlDUP RUMAH TANGGA (Studi Kasus Petani Lahan Tidur di Kabupaten Bekasi) OLEH : NURMALINDA PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN ENDANG SARI SIMANULLANG

ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN ENDANG SARI SIMANULLANG ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN (Studi Kasus : Rumahtangga Nelayan Tradisional di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN

BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN 89 BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN 7.1 Diversifikasi Pekerjaan Nelayan Karimunjawa telah menyadari terjadinya perubahan ekologis di kawasan Karimunjawa. Berbagai macam bentuk perubahan yang terjadi pada

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Kondisi Ekonomi Pembangunan di Indonesia. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

Kondisi Ekonomi Pembangunan di Indonesia. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Kondisi Ekonomi Pembangunan di Indonesia Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Permasalahan Pembangunan Ekonomi - Pendekatan perekonomian : Pendekatan Makro - Masalah dalam perekonomian : rendahnya pertumbuhan

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi SOSIOLOGI PERTANIAN: Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur Lambang Triyono Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email : dl@ub.ac.id Tujuan Pembelajaran

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar wiliyahnya merupakan perairan laut, selat dan teluk, sedangkan lainnya adalah daratan yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan mengelola sumber daya perikanan. Sebagai suatu masyarakat yang tinggal

I PENDAHULUAN. dengan mengelola sumber daya perikanan. Sebagai suatu masyarakat yang tinggal I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat nelayan merupakan salah satu bagian mayarakat Indonesia yang hidup dengan mengelola sumber daya perikanan. Sebagai suatu masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir,

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PENGEMBANGAN NAFKAH BERKELANJUTAN DAN BERKEADILAN * Slamet Widodo

PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PENGEMBANGAN NAFKAH BERKELANJUTAN DAN BERKEADILAN * Slamet Widodo PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PENGEMBANGAN NAFKAH BERKELANJUTAN DAN BERKEADILAN * Slamet Widodo Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Abstrak Penelitian dilaksanakan di

Lebih terperinci

RESPONS TERHADAP MODERNISASI

RESPONS TERHADAP MODERNISASI RESPONS TERHADAP MODERNISASI Karakteristik Adopter Karakteristik responden penelitian ini meliputi umur, pengalaman usaha, pendapatan, lama pendidikan, dan status sosial. Secara ringkas responden tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan 34.623,80 km², kota Bandar Lampung merupakan Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung yang memiliki

Lebih terperinci