1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1 PENDAHULUAN Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat meso terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit potensi untuk masa depan. Sifat berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab akibat dengan fase kini dan fase kini merupakan prasyarat sebab akibat yang menetukan fase berikutnya (Sztompka, 2005). Perubahan sosial merupakan suatu proses terkait dengan keseluruhan dari aspek kehidupan masyarakat dan multidimensi. Transformasi ekonomi masyarakat sendiri diyakini sebagai bagian dari proses perubahan sosial. Transformasi ekonomi masyarakat pedesaan menuju pada cara produksi kapitalisme, dengan konteks lokal masing-masing. Banyak yang meragukan keberhasilan aktor-aktor kapitalis lokal di dalam keberhasilan mengelola kelangsungan usaha. Antara lain Geertz (1963) yang mengungkapkan bahwa para aktor pengusaha lokal kurang memiliki mentalitas pemikir, sebagaimana tercermin dari rendahnya kemampuan mereka dalam memobilisasi sumberdaya sosial ekonomi dan mengorganisasikan pekerja secara sistematis untuk meraih tujuan-tujuan bisnis. Selanjutnya, Castles (1982) dalam Sitorus (1999) menjelaskan bagaimana kegagalan golongan santri dalam industri rokok kretek di Kudus. Analisis Castles tiba pada suatu kesimpulan bahwa kegagalan tersebut terjadi karena golongan santri (a) gagal dalam menguasai saham dalam rangka persaingan dengan golongan Cina, (b) gagal dalam mekanisasi industri rokok kretek, (c) gagal memajukan organisasi usaha menuju bentuk yang lebih kompleks dari perusahaan keluarga sehingga tidak dapat memainkan peran utama di dalam pembangunan, dan (d) gagal mempertahankan hubungan fungsional dengan golongan-golongan sosial lain. Penelitian Boeke mengenai transformasi struktur ekonomi pedesaan dilakukan dengan berfokus pada pengaruh kolonialisme pada struktur ekonomi lokal terutama erat kaitannya dengan : (1) transformasi ekonomi non kapitalis 69

2 menjadi kapitalis kolonial, dan (2) implikasi atau pengaruh sistem ekonomi kolonial terhadap perkembangan ekonomi lokal pasca kolonial. Studi Boeke tersebut menunjukkan rasa pesimisnya terhadap masa depan masyarakat Jawa, bahwa perekonomian pribumi yang pra kapitalis akan sulit berkembang menjadi ekonomi kapitalis. Kemudian, perekonomian kolonial yang kapitalis akan selalu mendominasi perekonomian lokal. Transformasi ekonomi pedesaan tidak terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo. Fenomena sosial ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat lokal mampu melakukan mobilitas sosial melalui ekspansi usaha ke arah cara produksi kapitalisme. Dahulu suku Bajo masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten yang dilakukan dengan cara berburu, dan berpindahpindah, penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya (Zacot, 2002). Seiring dengan dimulainya relokasi masyarakat Bajo ke daratan, rupanya membawa implikasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya. Awalnya ketika masyarakat Bajo masih hidup berpindah-pindah dengan leppa, mereka tidak mengenal ekonomi uang, aktifitas sehari-hari hanyalah memancing, dan menangkap ikan pada suatu tempat selama sebulan kemudian pergi ke tempat lain. perdagangan hanya dilakukan dengan sistem barter. Untuk persediaan sehari-hari mereka, kelompok pengembara ini berbuat sebagai berikut : sebuah kelompok kecil pergi ke pantai pada hari-hari pasar, apakah itu pasar terapung atau pasar di darat. Mereka menukar ikan-ikan tangkapan mereka dengan kebutuhan lain atau peralatan yang mereka butuhkan. Namun, setelah proses relokasi, sendi-sendi kehidupan masyarakat Bajo mulai berubah sejalan dengan menetapnya masyarakat Bajo di pinggir pantai dengan membuat rumah-rumah terapung. Masyarakat Bajo mulai mengenal ekonomi uang (artinya mulai mengenal kemiskinan) dan pasar, generasi muda Bajo mulai diperkenalkan dengan sekolah formal, serta mau tidak mau harus mengakui dan takluk terhadap legitimasi pemerintah sebagai suatu suprasistem kehidupan mereka. Transformasi yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Transformasi yang terjadi di dalam proses produksi diarahkan untuk menghasilkan surplus. Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah mengalami transformasi sosial dalam bentuk modernisasi 70

3 (Harian Kompas, Senin 28 Juni 2010). Komunitas Bajo Mola menggeliat, perkembangan ekonomi berkembang dengan pesat, ini ditandai dengan skala usaha yang condong kearah kapitalisme. Penggunaan alat tangkap yang modern, terjadi akumulasi modal untuk ekspansi usaha, menggunakan sistem upah tenaga kerja, yang dahulu hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan ini jauh berbeda dengan kampung-kampung Bajo lainnya di Kabupaten Wakatobi, antara lain kampung Bajo Lamanggau, La Hoa, Sama Bahari maupun Mantigola. Para nelayan Bajo Mola telah banyak menjadi pengumpul besar, dan menguasai jalur perdagangan ekspor kerapu hidup ke Hongkong melalui Bali. Kemajuan-kemajuan yang dicapai di atas memang mengesankan, namun kemajuan yang dicapai juga menimbulkan konsekuensi tersendiri yakni ketidakmerataan ekonomi, antara lain pola distribusi keuntungan yang timpang. Selanjutnya, saat ini nelayan Bajo khususnya Mola tidak menjadikan laut sebagai satu-satunya sumberdaya yang digunakan untuk mencari nafkah. Nelayan Mola tidak lagi berorientasi pada upaya untuk bertahan hidup (survival) melainkan juga untuk memperbaiki status kehidupan mereka (consolidating strategy). Nafkah tidak lagi hanya diarahkan sebagai sesuatu yang harus dilakukan (necessity) melainkan juga sebagai suatu pilihan-pilihan rasional (rational choices). Strategi nafkah yang dilakukan nelayan Bajo Mola antara lain dengan melakukan diversifikasi nafkah di luar kegiatan menangkap ikan, dan melakukan migrasi ke pulau-pulau lainnya, hingga ke luar negeri. Kegiatan menangkap ikan tidak hanya dilakukan disekitar perairan Wakatobi saja melainkan juga melakukan penangkapan di laut Arafura, dan menangkap hiu di Pepela NTT. Diversifikasi nafkah selain menangkap ikan antara lain membuat perahu Lambo yang kemudian dipasarkan ke Pepela, budidaya ikan di dalam keramba, membuka usaha toko kelontongan, membuka usaha jasa penginapan kelas melati. Selanjutnya, merantau juga dilakukan oleh lelaki Bajo Mola, dengan daerah yang menjadi tujuan migrasi adalah Tawao Malaysia. Biasanya mereka bekerja sebagai ABK pada kapal-kapal ikan, status mereka adalah tenaga kerja ilegal, lama waktu perantauan kira-kira antara dua sampai tiga tahun. Merantau bagi beberapa nelayan Bajo Mola adalah upaya yang harus dilakukan ketika lahan nafkah di sektor perikanan sudah tidak menjanjikan lagi, dan merupakan sarana untuk mengumpulkan modal untuk usaha. Bagi beberapa pengusaha perintis, awal usaha dimulai ketika bekerja dengan pengusaha Cina yang datang 71

4 ke Mola. Setelah merasa paham dan mampu menyediakan sedikit modal untuk mandiri, kemudian membuka usaha hasil-hasil laut. Yang kemudian menjadi khas dalam membahas kapitalisme yang terjadi di komunitas suku Bajo adalah bahwa perempuan Mola adalah para usahawan. Sebaliknya, komunitas Bajo Mantigola yang adalah daerah asal Bajo Mola, cenderung persisten terhadap perubahan. Perputaran roda ekonomi cenderung lebih lambat tetap mempertahankan pola usaha perikanan yang tradisional. Kemudian nelayan Mantigola masih menggunakan cara-cara tradisional, jenis alat tangkap tradisional antara lain didominasi oleh alat tangkap panah, jaring, pancing, dan bubu. Daya jelajah nelayan Bajo Mantigola juga tidak terlalu jauh, wilayah penangkapan hanya sejauh wilayah karang Kaledupa. Kemandekan ekonomi yang terjadi di Mantigola disebabkan oleh hal-hal yang lebih kontekstual struktural, dan pada akhirnya memberikan dampak sistemik bagi perekonomian Bajo Mantigola Kemudian, dari segi pemukiman, Bajo Mantigola tetap mempertahankan ciri khas pemukiman tradisional Bajo dengan ciri khas bertempat tinggal di suatu rumah yang terbuat dari kayu dan bambu. Mulai dari jalan raya terlihat jembatanjembatan bambu yang menyebar ke seluruh rumah-rumah. Jembatan tersebut dipergunakan ketika air laut sedang surut, sebab ketika air laut sedang naik, nelayan Bajo Mantigola lebih senang menumpangi perahu dayung yang khusus dipergunakan untuk mengambil air minum di daratan. Sebaliknya, masyarakat Bajo Mola telah meninggalkan ciri khas tempat tinggal Bajo pada umumnya. Mola telah menjadi daratan yang bersambung dengan pulau Wanci. Rumah-rumah nelayan Bajo telah terbuat dari Batu, tidak ada lagi jalanan bambu yang menghubungkan rumah-rumah Bajo. Berdasarkan kesejarahan masyarakat Bajo di Kepulauan Wakatobi, sesungguhnya komunitas Nelayan Bajo Mola berasal dari Mantigola. Masyarakat Bajo Wakatobi awalnya menetap di pulau Kaledupa tepatnya di Lembonga. Setelah sekian lama hidup nomaden di atas laut, dari Lembonga masyarakat Bajo pindah dan membangun perumahan di atas laut di Mantigola yang masih merupakan wilayah pulau Kaledupa, atas izin Sultan Buton. Perpindahan masyarakat Bajo ke Mantigola disebabkan oleh dekatnya Mantigola dengan Karang Kaledupa (offshore reefs) yang kaya akan sumberdaya ikan jika dibandingkan ketika tinggal di Lembonga. Pada tahun 1950an terjadi 72

5 pemberontakan Kahar Muzakar, atau yang dikenal dengan istilah masa gerombolan, menyebabkan terusirnya sebagian besar nelayan Bajo Mantigola ke beberapa wilayah tukang besi, salah satunya ke Wanci. Terusirnya nelayan Bajo ke luar wilayah Mantigola karena keberpihakan mereka terhadap pihak gerombolan, sehingga oleh pemerintah Kaledupa, nelayan Bajo tersebut terusir dari Mantigola. Kemudian, kelompok Bajo Mantigola yang terkatung-katung di perairan Wanci diterima oleh masyarakat Wanci Mandati yang juga mendukung eksistensi para gerombolan. Oleh masyarakat Wanci, nelayan Bajo tersebut diizinkan untuk membangun 30 unit tempat tinggal baru yang dikenal dengan kampung Bajo Mola Utara (Stacey, 1999). Menetapnya masyarakat Bajo di Mola kemudian diikuti dengan pembauran antara masyarakat Bajo dengan orang-orang Mandati. Pertukaran ekonomi antara orang-orang Bajo dengan orang-orang Mandati memuluskan proses pembauran tersebut. Masyarakat Wanci Mandati sendiri dikenal sebagai orang Buton yang sangat pandai berniaga. Jaringan perdagangan mereka tidak hanya di dalam negeri saja (seperti pulau Buton, Buru, Ternate, Kalimantan, Flores, Papua, dan Jawa), melainkan hingga melewati batas negara antara lain Singapura, dan Malaysia. Komoditas yang diperdagangkan oleh orang-orang Mandati, beberapa jenis merupakan hasil tangkapan orang-orang Bajo seperti teripang, dan sirip ikan hiu. Tidak saja komoditas pertanian yang diperdagangkan oleh orang-orang Mandati, misalnya kopra, mete, dan cengkeh. Melainkan juga sandang dan papan, seperti pakaian dan perhiasan. Komoditas pertanian yang diperdagangkan sesungguhnya berasal dari pulau Kaledupa. Pulau Wanci sendiri tidak banyak menghasilkan komoditas pertanian karena sebagian besar tanahnya adalah lahan kritis dengan struktur tanah kapur, sehingga sangat miskin unsur hara. Kondisi ekologi seperti ini yang menyebabkan masyarakat Wanci memiliki etos kerja yang tinggi dan menciptakan keunggulan masyarakat Wanci dalam berniaga. Penetrasi kultur kapitalisme melalui pertukaran ekonomi ini selain merubah kultur masyarakat Bajo, juga menciptakan perubahan struktural. Orientasi produksi nelayan Bajo Mola kini berubah sepenuhnya dari hanya bertujuan untuk subsistensi kepada tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam rangka memperoleh keuntungan. Nelayan Mola saat ini tidak saja mencari nafkah dengan cara menangkap ikan melainkan juga melakukan diversifikasi 73

6 usaha baik di sektor perikanan tangkap maupun sektor non perikanan. Kapitalisme Bajo Mola semakin menggeliat juga didukung oleh masuknya teknologi penangkapan ikan, seperti purse seine, dan teknologi pengolahan hasil perikanan seperti meloing untuk komoditas tuna. Beberapa wirausaha Bajo Mola memiliki jenis kapal purse seine, kapal motor berbobot 30 GT 1, dan keramba apung tempat penampungan ikan-ikan kerapu hidup. Pentingnya peran kapital bagi Bajo Mola telah merubah hubungan-hubungan sosial produksi dan terjadi peralihan tenaga kerja keluarga menjadi buruh upahan. Misalnya saja di dalam sistem perniagaan ikan kerapu hidup yang dikelola nelayan Bajo Mola yang berskala ekspor dengan jaringan perdagangan yang luas ke Bali hingga ke Hong Kong menuntut penggunaan tenaga kerja upahan selain anggota keluarga. Namun, dari perubahan dramatis yang nampak dari gejala-gejala kapitalisme pada masyarakat Bajo, rupanya masih terdapat ruang-ruang bagi nilai-nilai lokal yang menyebabkan kapitalisme masyarakat Bajo dimaknai sebagai satuan sosial yang unik. Menurut Peribadi (2001) dalam memenuhi berbagai jenis kebutuhannya, etnis Bajo berpijak pada suatu etos dan pandangan hidup yang terkandung dalam falsafah tellu temmaliseng dua temmaserrang. Etos tersebut lah yang mempermasalahkan baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetik), benar dan salah (logis), serta pandangan hidup yang terintegral dengan alam sekitarnya. Yang pada akhirnya orientasi nilai tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan nafkah, basis etika nilai dan moralitas dalam ekspansi usaha, bentuk pola akusisi kapital, bentuk jejaring bisnis, dan bentuk-bentuk tindakan bisnis yang dilakukan oleh aktor kapitalis lokal Bajo. Selain itu masih kuatnya istilah sama yang menunjukkan inklusifitas kelompok masyarakat Bajo terhadap orang-orang di luar komunitas Bajo atau dikenal dalam peristilahan Bajo sebagai bagai atau orang-orang darat. Pemisahan antara sama dan bagai ini erat kaitannya dalam mekanisme perekrutan tenaga kerja upahan. Masyarakat Bajo lebih memilih orang sama sebagai buruh upahan dan pertimbangan bahwa tenaga kerja terkait erat pada ikatan kekerabatan. Kemudian, hubungan kekerabatan bagi orang Bajo merupakan unsur yang berperan dalam mempermudah akses seseorang terhadap peluang atau sumberdaya ekonomi dan sosial seperti perekrutan sawi. Perekrutan sawi dari unsur kerabat ini didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk ketenangan dan 1 Gross Tonage (ukuran besarnya perahu atau kapal) 74

7 ketentraman dalam bekerja, dan juga dapat membantu keluarga yang belum bekerja. Menurut Kasim dalam hamzah (2008) bahwa sawi lebih senang bekerja dengan kerabat/saudara sendiri daripada harus diperintah oleh orang lain. Penghargaan tinggi masyarakat Bajo terhadap ikatan kekerabatan (kinship) terkait erat dengan kelangsungan kehidupan masyarakat Bajo, kebudayaannya, dan juga kelangsungan sejarahnya. Maka berdasarkan pada fenomena unik tersebut, tulisan ini akan menunjukkan adanya perubahan orientasi ekonomi masyarakat Bajo dalam konteks lokal. Perubahan ini merupakan tanda bahwa menggeliatnya ekonomi local orang-orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola yang tetap melakukan pola-pola perikanan tradisonal, menunjukkan bahwa spirit of capitalism di setiap suku Bajo memiliki derajat perbedaan dalam hal perkembangannya. Untuk memahami mengapa terjadi perbedaan tersebut maka : pertama, tulisan ini akan mengkaji secara historis perubahan kultur masyarakat Bajo yang tradisional dan prakapitalis dengan menjawab bagaimana kultur kapitalisme mampu merembes ke dalam nilai-nilai masyarakat Bajo Mola melalui saluran (trajectory) tertentu. Dengan menggunakan analisa mengenai pemaknaan masyarakat Bajo Mola maupun Mantigola mengenai lima masalah dasar di dalam kehidupan manusia, antara lain mengenai hakekat dari hidup, hakekat dari karya manusia, hakekat ruang dan waktu, hakekat dengan alam sekitar, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Analisa perubahan nilai masyarakat Bajo kepada kultur kapitalisme juga menekankan pada pentingnya analisa perubahan rasionalitas nelayan Bajo Mola dengan berpijak pada teori rasionalitas Weber, bahwa di masyarakat Bajo terdapat perbedaan dalam hal perkembangan rasionalitas, yang kemudian juga menggambarkan perbedaan orientasi perkembangan spirit of capitalism di masyarakat Bajo. Kemudian, tulisan ini juga akan mencoba memahami bagaimana perubahan budaya sebagai hasil adaptasi dan akulturasi masyarakat Bajo Mola di Pulau Wanci. Hasil adaptasi tersebut memunculkan suatu kultur kapitalisme khas lokal. Lokal di dalam tulisan ini tidak merujuk pada bentuk-bentuk kapitalisme murni masyarakat Barat yang berangkat dari masyarakat industri, melainkan berangkat dari masyarakat pesisir yang terkait oleh kultur lokal, yang sifat sumberdayanya yang open access, serta mekanisme berburu dan meramu (food and gathering) yang merupakan cara untuk memperoleh sumberdaya. 75

8 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Telah banyak studi-studi mengenai transformasi ekonomi pedesaan, dan khususnya studi pembentukan kapitalisme lokal di Indonesia. Studi mengenai transformasi ekonomi dimulai oleh studi Boeke (1947) yang terkenal dengan tesisnya mengenai dualisme ekonomi. Dalan kajian dualisme ekonominya, Boeke memberikan tekanan pada ciri khas pedesaan Jawa yang menurutnya tidak mungkin diungkapkan melalui prinsip maupun dalil teori ekonomi klasik Barat. Oleh sebab itu menurut Boeke masyarakat pribumi tidak ada keinginan untuk mencari keuntungan maupun mengumpulkan modal dan mereka juga menjauhkan diri dari setiap tindakan yang mengandung resiko, sehingga pada akhirnya masyarakat pribumi akan berkembang ke arah dalam atau menurutnya ekspansi statis. Inti teori Boeke selanjutnya adalah sifat sosial ganda adalah pertarungan antara sistem sosial impor dari luar melawan sistem sosial lokal yang bergaya tersendiri. Menurutnya, pada akhirnya pertarungan masyarakat pribumi gagal menyesuaikan diri dan menarik manfaat dari pertarungan itu, tubuh komunitasnya akan tercerai berai dan merana, anggota-anggotanya makin melarat. Perspektif yang sama terlihat dari karya Geertz tentang moral subsistensi, yang akhirnya akan terus bermuara pada perkembangan yang semakin buruk. Retorika teoritisnya tentang involusi pertanian merupakan bukti pandangannya yang pesimis tentang sikap petani tradisional, yang sulit masuk ke dalam perspektif rasional, seperti dalam sistem masyarakat kapitalisme. Dalam sikap moral yang tradisional, diikuti oleh terbatasnya sumber alam, maka kehidupan ekonomi masyarakat tradisional bersangkutan mengalami proses involusi yang semakin buruk keadaannya dari waktu ke waktu. Tulisan Boeke mengenai dualisme ekonomi banyak menuai kritik. Tesis Boeke yang cenderung pesimis terhadap perkembangan ekonomi pribumi perlahan mulai terbantahkan. Studi Hefner (1999) adalah satu dari sekian peneliti social yang hasil penelitiannya menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap kesimpulan Boeke mengenai statis dan kehidupan kebersamaan yang membawa pada kehidupan ekonomi desa Jawa terdampar pada jalan yang buntu, tidak musnah, namun terperangkap dalam hubungan dualisme yang tidak terselesaikan sehingga kehidupan mereka seluruhnya menjadi tergantung dari kekuatan-kekuatan luar. Menurut Hefner orang Tengger tidak berubah menjadi 76

9 komersial karena gesekan dengan ekonomi kapitalis, masyarakat kecil mungkin telah melakukan interaksi dengan ekonomi luar tetapi mereka tidak terbelit oleh gambaran ekonomi kapitalis secara keseluruhan. Mereka tetap memelihara pola ritual dan status. Semua kekayaan yang masuk secara cermat disesuaikan dengan kebutuhan atau pembendaan yang berlaku. Kebebasan pribadi tetap ada, hanya akumulasi kekayaan ditentukan oleh batas-batas penggunaannya secara ketat oleh masyarakat. Selanjutnya, Husken (1988) dalam penelitiannya mengenai transformasi masyarakat desa Gondosari mengungkapkan bahwa masyarakat desa Jawa sebenarnya bukanlah masyarakat yang egaliter, subsistensi (pasca tradisional), tetapi telah berkembang melalui penguasaan teknologi dan kekuasaan atas tanah pertanian. Beberapa tulisan mengenai gejala pembentukan formasi kapitalis lokal menunjukkan bahwa masyarakat pribumi mampu membentuk formasi kapitalis khas lokal wilayah masing-masing. Tulisan Tetiani (2005) mengenai memudarnya dualisme ekonomi, studi mobilitas sosial komunitas perkebunan teh Kertamanah Pengalengan Jawa Barat menunjukkan kritik terhadap tesis Boeke. Tetiani mengungkapkan bahwa Boeke hanya membaca sebagian fakta yang terjadi di Jawa. Ada fakta lain yang semula tersortir, bahwa terjadi respon kapitalistik warga desa sejak masa kolonial akibat keberadaan perkebunan teh, kemudian munculnya serikat buruh, perolehan keuntungan buruh dalam perkembangan kebun, pola mobilitas sosial yang terstruktur, dan kekuatan elit lokal penekan penduduk desa yang merosot memudarkan pasar tenaga kerja ganda. Penelitian Nurjannah (2003) mengenai pola produksi dan gejala pembentukan kelas pedagang dalam masyarakat pengrajin di desa Banyumulek Lombok Barat menemukan bahwa sebagian mean of production dan pembagian kerja teknis cenderung dikuasai oleh pedagang, sehingga force of production pedagang meningkat. Kemudian pedagang gerabah berasal dari komunitas Banyumulek, dan muncul dari golongan elit ekonomi tradisional, yang karena kemampuannya dalam menguasai pemasaran tampil sebagai kapitalisme merkantilisme. Kemampuan pedagang melakukan mobilitas sosial, berdampak pada perubahan stratifikasi masyarakat. Selain itu terjadi pemudaran nilai-nilai pedesaan, perubahan hubungan sosial, dan perubahan tipe ekonomi. 77

10 Tulisan Purnomo (2005) mengenai transformasi pedesaan Jawa dengan judul perubahan struktur ekonomi lokal : studi dinamika moda produksi di Desa Pegunungan Jawa menyimpulkan bahwa moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang yang berasal dari luar sistem sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh oleh moda produksi kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa banyak disebabkan oleh oleh faktorfaktor eksternal daripada internal sistem sosial. Dengan demikian, formasi sosial lokal dari masa ke masa didominasi oleh moda produksi kapitalis yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi lokal berangsur-angsur memudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama sekali. Kemudian, tulisan Sitorus (1999) mengenai pembentukan golongan pengusaha tenun dalam masyarakat Batak Toba, menegaskan bahwa golongan pengusaha kapitalis lokal terutama berasal dari golongan elit sosial ekonomi tradisional yang terdapat dalam komunitas lokal yang bersangkutan. Kemunculan golongan pengusaha kapitalis lokal merupakan resultan dari dua unsur pokok yaitu, pertama, terpenuhinya prakondisi produksi kapitalis berupa pembentukan modal uang pada golongan elit ekonomi lokal dan pembentukan golongan buruh upahan dalam komunitas lokal yang bersangkutan dan kedua adanya rekayasa sosial dari negara dalam bentuk bantuan teknis dan permodalan khususnya terdapat sejumlah elit sosial ekonomi tersebut. Penelitian Khan (1974) dalam Purnomo (2005) di Minangkabau melihat kehadiran tiga moda produksi bersamaan, yakni ; (1) cara produksi subsistensi (subsistensi production) yakni usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terjadi dalam keluarga inti dan bersifat egaliter ; (2) produksi komersialis (petty commodity production) yakni usaha di pertanian dan luar pertanian yang (sudah) berorientasi pasar dimana hubungan produksi menunjukkan gejala eksploitasi surplus melalui hubungan kekerabatan, dan hubungan sosial egaliter karena (umumnya keluarga/kerabat), namun bersifat kompetitif; (3) produksi kapitalis yakni usaha padat modal yang berorientasi pasar dimana hubungan produksi mencakup hubungan struktur buruhmajikan/pemilik modal dan pemilik tenaga. 78

11 Dari beberapa studi mengenai berfokus pada komunitas masyarakat nelayan (Matriks 1), terdapat studi mengenai perubahan sosial, transformasi ekonomi pedesaan dan gejala terbentuknya kelompok kapitalis lokal. Tulisan Satria (2000) mengenai modernisasi perikanan dan mobilitas sosial nelayan di Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan, menemukan bahwa modernisasi perikanan menciptakan formasi sosial baru, dimana cara produksi lama yang tradisional harus bersaing dengan cara produksi baru yang lebih modern, yang rupanya sering diikuti dengan konflik-konflik antar pelaku dari masing-masing cara produksi. Kemudian selanjutnya yang terjadi adalah tersingkirnya cara produksi tradisional (centrang 2, payang 3, dan klitik 4 ) dalam dinamika formasi sosial usaha penangkapan ikan di Pekalongan. Kelembagaan produksi yang tercipta kemudian mengarah pada proses hubungan yang eksploitatif. Temuan Satria yang berikutnya adalah modernisasi perikanan yang berlangsung di Pekalongan telah memunculkan sejumlah elit pengusaha perikanan, munculnya gejala kompradorisasi, dan di dalam menghadapi modernisasi, nelayan melakukan tiga jenis pilihan strategi, antara lain strategi adaptasi, strategi bertahan, atau strategi keluar atau menyingkir dari persaingan. Matriks 1. State of the Art Studi tentang Masyarakat Nelayan No Penulis Fokus Kajian Temuan 1. Satria, 2000 Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan (Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan). Modernisasi perikanan menciptakan formasi sosial baru, menciptakan konflik-konflik baru antar pelaku masing-masing cara produksi. Kemudian, tercipta kelembagaan kerja modern yang eksploitatif. Modernisasi perikanan yang berlangsung di Pekalongan telah memunculkan sejumlah elit pengusaha perikanan, antara lain kelompok perintis, pengikut, dan kelompok penerus. 2 Jenis alat tangkap tradisional karena telah digunakan secara turun-temurun, berbentuk mini purseine,yang digunakan untuk menangkap jenis ikan pelagic kecil. Bobot kapal di bawah 10 GT. 3 Umumnya alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan pelagic kecil, banyak dioperasikan di wilayah perairan pantai Utara Jawa. 4 Adalah alat tangkap berbentuk jaring, digunakan untuk menangkap ikan pelagic kecil yang sifatnya sculling atau berkumpul pada titik lokasi tertentu. 79

12 2. Peribadi, 2001 Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat bajo, Sebuah Studi Komunitas di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. 3. Wulansari,2001 Kajian Gender dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Pulau Untung Jawa 4. Arnis, 2003 Jaringan Sosial Perempuan Bakul Ikan (Studi Kasus Perempuan Bakul Ikan di Desa Bandar, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati) 5. Herwening, 2003 Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik (Studi Kasus di Kelurahan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi) Keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dijalankan sesuai yang diharapkan oleh norma adat dan agama yang menjadi pegangan utama. Pengaruh tersebut nampak pada berbagai pola pengambilan keputusan, baik di bidang produksi, maupun domestik. Dominasi laki-laki dalam bidang produksi, sementara dominasi perempuan di bidang domestik atau rumahtangga. Perempuan pesisir mengalami ketimpangan gender pada beban kerja, adanya stereotipe peran perempuan dan laki-laki, subordinasi dan marginalisasi dari setiap program-program pembangunan. Ketimpangan gender ini mengakibatkan kurangnya akses maupun kontrol mereka terhadap pengelolaan sumberdaya. Jaringan sosial yang dibentuk oleh perempuan bakul ikan baik itu bakul seret maupun bakul bengkel dilandasi oleh motivasi relasi ekonomi. Karakter jaringan kegiatan produksi yang dibentuk oleh perempuan bakul ikan adalah simetris resiprokal. Konflik atau pertengkaran antar perempuan bakul ikan sering terjadi karena perebutan ikan pancingan, perebutan konsumen, persaingan harga, dan perebutan pelanggan. Pada akhirnya, jaringan sosial yang telah dibentuk oleh perempuan bakul ikan merupakan modal sosial yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga nelayan. Bahwa implikasi kegiatan modernisasi perikanan di Pelabuhanratu telah menimbulkan berbagai potensi konflik, misalnya saja terdapat potensi konflik antara armada yang karena konflik pemanfaatan wilayah antar bagan apung dengan perahu payang. Selanjutnya, potensi konflik 80

13 dalam pola hubungan produksi terlihat dalam hubungan antara pemilik modal dengan pemilik perahu, pemilik kapal dengan ABK, yang ditunjukkan dengan adanya gejala eksploitasi. Seiring dengan peningkatan teknologi, maka ketimpangan pendapatan antara pemilik alat produksi dengan ABK semakin lebar, namun hal ini tidak menyebabkan gejala polarisasi. Komunitas nelayan terdeferensiasi lebih kompleks sehingga menyebabkan perubahan pada pola stratifikasi. 6. Iqbal, 2004 Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur) 7. Shaliza, 2004 Dinamika Konflik antar Komunitas dan Transformasi Modal Sosial (Studi Kasus Konflik antara Komunitas Nelayan Parit III dan Melati di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau) Secara garis besar terdapat dua jenis strategi nafkah yang dipergunakan masyarakat lapisan bawah di dalam menghadapi tekanan hidup, yaitu strategi produksi (ekonomi) dan strategi non produksi (pemanfaatan modal sosial). Strategi ekonomi erat kaitannya dengan kondisi ekologi, ketersediaan modal finansial dan sumberdaya manusia. Sementara strategi non produksi memanfaatkan modal sosial yang ada sebagai jaminan keamanan sosial (social security), seperti memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan lokal, jaringan, unsur norma dan nilai-nilai. Konflik antar nelayan di Bengkalis telah berlangsung sejak tahun 1985, dengan lima titik ekstrim. Konflik disebabkan oleh dan berimplikasi pada perubahan pola hubungan sosial dan transformasi modal sosial. Kemudian pada komunitas nelayan Parit III, periode komersialisasi menggeser pelapisan sosial secara budaya menjadi pelapisan sosial secara ekonomi, namun sifatnya masih sederhana. Kemudian, konflik menimbulkan perubahan pada dimensi modal sosial. Serta penyebab konflik antar kedua komunitas nelayan adalah karena perbedaan tindakan pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir, 81

14 perubahan pola hubungan dan perbedaan orientasi nilai budaya. 8. Kinseng, 2007 Kelas dan Konflik Kelas pada Kaum Nelayan di Indonesia (Studi Kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur) 9. Hamzah, 2008 Respons Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) 10. Widodo, 2009 Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir (Kasus Dua Desa di Struktur kelas kaum nelayan di Balikpapan berkembang ke arah yang lebih rumit dengan munculnya kelas menengah baru atau kelas borjuis baru yang adalah nelayan pemilik, sehingga struktur kelas kaum nelayan terdiri dari emapt kelas, yakni buruh, nelayan kecil, nelayan menengah, dan nelayan besar/kapitalis. Selanjutnya, kaum buruh nelayan (sawi) masih belum mempunyai kesadaran kelas, dan formasi kelas kaum buruh nelayan belum terjadi. Sebaliknya kelas pemilik secara keseluruhan telah mempunyai kesadaran kelas, dan formasi kelas telah terjadi. Konflik kelas yang terjadi antara nelayan puse seine dengan nelayan tradisional disebabkan oleh dominasi nelayan kapitalis besar terhadap nelayan tradisional dalam proses penangkapan, dengan basis dominasi kelas tersebut adalah tingkat teknologi penangkapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap (mini purseine dan pukat cincin) gae diperkenalkan di Lagasa pada tahun , namun Bajo yang adopter cenderung lebih banyak dalam golongan pengadopsi lambat. Sejumlah kecil pengadopsi cepat memiliki umur yang lebih muda, dan tingkat pendapatan yang tinggi. Selanjutnya, terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi. Modernisasi perikanan di desa lagasa berdampak pada perubahan pola kerja, yakni daya jelajah lebih jauh, jumlah pekerja sawi lebih banyak dengan sifat semi bebas, dan perekrutan lebih selektif. Kemiskinan di kedua desa kasus disebabkan oleh rendahnya akses rumahtangga terhadap sumber- 82

15 Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bengkalan, Propinsi Jawa Timur) 11. Nuryaddin, 2010 Kapital Sosial Nelayan Suku Bajo : Studi Kasus Komunitas Suku Bajo di Pulau Baliara, Provinsi Sulawesi Tenggara 12. Susilo, 2010 Dinamika Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir : (Kapasitas Ruang dan Titik Kritis Struktur Sosial masyarakat Nelayan di Dusun Karanggoso, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur) sumber nafkah. Kenaikan harga BBM menjadi masalah tersendiri bagi rumahtangga nelayan karena meningkatkan biaya melaut, ditambah lagi dengan konflik perebutan sumberdaya diantara sesama nelayan sehingga memperparah kondisi keuangan rumahtangga. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan miskin di kedua desa dilakukan dengan mencoba mempersluas basis nafkahnya, bukan saja pada terbatas pada basis nafkah on farm, dan off farm saja namun telah meluas hingga ke non farm. Struktur sosial yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat pada skala komunitas, yakni bonding social capital dimana tingkatan kinerja integrasi dan jejaring yang ada menunjukkan indikatorindikator yang relatif tinggi karena faktor ; (1) homogenitas etnik (suku) yang penuh didasari hubungan kekeluargaan (danshitang), kekerabatan (kinship), relatif kecil (small scale), gotong-royong (sitabangan), dan menghindari konflik (orrai lesse), dan (2) homogenitas pekerjaan yaitu nelayan dimana bekerja sebagai nelayan adalah sumber atau tempat menggantungkan hidup (kalumanine). Relasi sosial nelayan suku Bajo dengan pemilik modal (punggawa tidak hanya berdimensi patron client, tetapi juga mutual simbiosis karena fungsi punggawa selain sebagai pemodal dan pengumpul, tetapi juga sebagai institusi jaminan sosial nelayan. Dinamika kapasitas ruang struktur sosial di ekosistem pesisir Karanggoso selama masa pengamatan, yaitu dalam tiga masa kehidupan (isolasi, terbuka-1, dan terbuka-2), secara umum dapat dijelaskan ada dua indikator yang penting, yakni indikator obyektif yaitu berupa ketersediaan peluang bekerja 83

16 dan berusaha dalam pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir. Kedua tingkat aksesbilitas individu di dalam pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir. Kapasitas ruang struktur sosial yang secara obyektif berkembang meluas tidak selalu diikuti oleh tingkat kemampuan akses individu atau sistem sosial yang ada dalam struktur sosial. Serta struktur sosial mendekati titik kritis di masa isolasi terjadi secara umum. Dari beberapa hasil penelitian yang ditampilkan di dalam matriks 1. Menunjukkan bahwa saat ini baik masyarakat manapun khususnya masyarakat pesisir mengalami bentuk-bentuk transformasi, dan masyarakat pesisir bereaksi dalam beragam bentuk. Keseluruhan proses transformasi pedesaan menghasilkan dampak lanjutan berupa : (1) derajat ketidakamanan sumber nafkah (degree of livelihood insecurity), serta (2) lumpuhnya struktur-struktur kelembagaan jaminan nafkah asli yang telah mapan (Dharmawan, 2007). Juga tidak bisa dipungkiri juga terdapat gejala-gejala terbentuknya masyarakat kapitalistik sebagai respon atas serangan-serangan yang mengguncang sistem ekonomi subsisten yang dahulu dipertahankan beserta nilai-nilai yang menyertainya. Sesuai dengan pemikiran dari para ahli sosiolog aliran strukturalis (aliran klasik) yang menyatakan bahwa gejala-gejala perubahan masyarakat yang awalnya subsisten (pra kapitalis) kemudian menggejala layaknya kapitalis dicirikan sebagai masyarakat yang mulai meninggalkan romatisme hubungan yang guyub gemeinschaft yang dalam pandangan Tonnies sebagai suatu masyarakat yang lebih alamiah dan organis, kemudian perlahan-lahan masyarakat semakin menghargai materi, dan pengejaran terhadap materi, berani melakukan akusisi kapital, dan karena kecenderungan mentuhankan materi maka masyarakat cenderung menjadi sangat individualistik dan egoistic. Ciri-ciri ini rupanya mulai merasuk dan dianut oleh para nelayan-nelayan Bajo baik di Mola dan Mantigola. Namun, tidak berarti kecepatan dalam perkembangan kapitalisme di setiap masyarakat Bajo akan sama, karena ada yang dengan mudah menerima, ada pula yang berupaya bertahan dengan subsistensinya. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan laju perubahan sosial yang terjadi di Mola dan Mantigola. Maka, berdasarkan kenyataan tersebut, tulisan ini 84

17 akan secara lebih mendalam membahas satu persatu gejala perubahan sosial yang terjadi di Mola maupun dan Mantigola, serta sekaligus membandingkannya, dan merefleksikannya dengan teori-teori kapitalisme dan hasil penelitian mengenai transformasi masyarakat yang telah dilakukan sebelumnya pada beberapa sistem masyarakat tertentu. Kemudian, penelitian ini juga sangat diperlukan, karena studi-studi mengenai transformasi ekonomi dan gejala kapitalisme lokal komunitas adat Bajo masih sangat langka. Misalnya saja penelitian Suyuti (1995) fokus mengenai perubahan makna sama dan bagai pada komunitas Bajo Sulaho Kolaka. Stacey (1999) dengan judul tulisan Boats To Burn, Bajo Fishing Activity in The Australian Fishing Zone yang membahas mengenai hilangnya hak perikanan tangkap tradisional nelayan Bajo Wakatobi akibat terbitnya MoU Box Kemudian, tulisan Peribadi (2000) membahas mengenai kedudukan dan peranan perempuan dalam sistem kekerabatan masyarakat Bajo Soropia, penelitian Hamzah (2008) mengenai respon komunitas nelayan Bajo Lagasa Muna terhadap modernisasi perikanan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi, serta modernisasi menyebabkan perubahan struktur sosial dengan sistem bagi hasil yang menjadi pranata nelayan, stratifikasi yang kompleks dan diferensiasi beragam dan pola hubungan semi eksploitatif, dan tulisan Nuryaddin (2010) berfokus tentang kapital sosial nelayan Bajo Baliara. Lebih lanjut, melihat telah terjadinya fenomena transformasi ekonomi masyarakat Bajo Mola sehingga muncul nelayan kapitalis lokal Bajo, dan hal ini tidak terjadi pada komunitas Bajo lainnya di Wakatobi, termasuk juga Bajo Mantigola yang adalah kampung asal Bajo Mola. Maka penelitian ini akan memfokuskan pada proses transformasi sosial masyarakat Bajo Mola dengan membandingkan transformasi immaterial dalam bentuk perubahan orientasi nilai dan rasionalitas yang pada akhirnya mengubah moda produksi nelayan Bajo Mola dan Mantigola, kemudian menguraikan perubahan moda produksi nelayan Bajo Mola bercirikan subsistensi pada awalnya hingga menjadi kapitalis seperti saat ini. Berdasarkan fakta yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa terjadi kemunculan kapitalisme dengan derajat perkembangan kapitalisme yang berbeda-beda, dan rupanya gambaran kapitalisme yang dialami orang 85

18 masyarakat Bajo Mola dan Mantigola ini berciri lokal. Maka pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola? 2. Bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola? 3. Seperti apa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk memahami bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola. 2. Untuk memahami dan menganalisa bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola 3. Untuk memahami dan menganalisa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ciri-ciri Kapitalisme Menurut Marx dalam Darsono (2007), masyarakat kapitalis adalah masyarakat penghisapan (kaum kapitalis) atas kerja kaum buruh, atau masyarakat capital yang menghisap darah manusia, dan masyarakat uang yang menimbun barang dagangan, atau masyarakat barang dagangan yang mengejar keuntungan. Dengan demikian masyarakat kapitalisme itu tujuan pokoknya ialah mencari keuntungan yang sebesar-sebesarnya untuk dijadikan kekayaan. 86

19 Dalam ekonomi masyarakat kapitalis, kapital mempunyai peranan yang sangat penting, sebab tanpa kapital, ekonomi masyarakat kapitalis tidak akan bisa hidup dan berkembang, Nilai atau bobot dan peranan seseorang atau seorang kapitalis diukur dan ditentukan oleh banyak sedikitnya capital yang dimilikinya. Makin besar kapitalnya, maka makin besar pula nilai, bobot, dan peranannya dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat kapitalis, sangat bertolak belakang terhadap sistem ekonomi komunal primitive yakni segala kegiatan ekonomi dimana alat produksi adalah milik semua anggota masyarakat. Hasil kerja dan keuntungan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama. Karena alat produksi milik bersama seluruh anggota masyarakat, tidak ada kelas-kelas dalam masyarakat seperti halnya masyarakat kapitalis. Perkembangan alat kerjanya menentukan perkembangan tenaga kerja produktifnya dan hubungan produksinya. Booke dalam Dharmawan (2001) membedakan dengan jelas mengenai ekonomi kapitalis yang padat modal dengan ekonomi pra kapitalis yang sarat dengan bentuk-bentuk kepemilikan bersama dan cenderung egalitarianism. Matriks 2 berikut akan menggambarkan perbedaan dua sistem perekonomian tersebut dengan sangat rinci. Matriks 2. Sistem Ekonomi pada Masyarakat Pertanian (Suatu Perbandingan oleh Boeke) Indikator Perbandingan Bentuk Sistem Ekonomi 1. Motivasi spiritual (nilainilai) Pra Kapitalis Kesadaran terhadap ketidaksamaan secara alamiah Dengan kelompok masyarakatnya cenderung patuh dan mengutamakan pelayanan terhadap sesama Kepuasan pada terpenuhinya kebutuhan dasar Kapitalis Kesadaran terhadap kesamaan secara alamiah, namun secara ekonomi terjadi ketidaksamaan Kesadaran yang tinggi terhadap kebebasan, demokrasi, dan tanggung jawab. Kepuasan pada kuntungan individual 87

20 2. Organisasi (Struktur Sosial) 3. Teknologi Tradisional, dan pemeliharaan status quo. Komunalisme Ekonomi disubordinasi oleh agama Tenaga kerja : sebagai sesuatu yang tidak layak dilakukan, waktu santai diutamakan. Dominasi oleh nilai-nilai pedesaan Hubungan patriarchal kepada majikan Dominasi terhadap kebutuhan-kebutuhan social. Organisasi sosial yang tradisional serta turuntemurun. Berdasarkan kekerabatan (kinship) Unit produksi adalah rumahtangga Berbasis status Solidaritas yang dipelihara secara terusmenerus Gemeinschaft Skala lokal Pemenuhan kebutuhan subsistensi Tidak ada atau sedikit sekali alur pertukaran Rasional, dan orientasinya terhadap prestasi individu Individualisme Ekonomi dan agama setara Tenaga kerja : sebagai basis usaha Dominasi oleh nilai-nilai perkotaan. Hubungan kerja bersifat kontraktual dan rasional antara bos dan buruh Dominasi terhadap Kebutuhan ekonomi individual Individualisme, dan organisasi perusahaan Berdasarkan organisasi sukarela Unit produksi adalah perusahaan Berbasis hubungan kontraktual Solidaritas sukarela yang sementara Gesellschaft Lokal terhadap skala global. Pemenuhan kebutuhan pasar Uang sebagai modal, dan merupakan 88

21 uang Tenaga manual, yakni manusia Aktivitas tertentu berdasarkan musim Industri pedesaan dan rumahtangga ekonomi moneter Terjadi mekanisasi Pekerjaan yang cenderung tetap dan aktivitas yang terusmenerus. Perusahaan Sumber : Koentjaraningrat (1975) dalam Dharmawan (2001) Bagi Marx dalam Magnis-Suseno (2005), dari segi proses, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum: hukum tawarmenawar di pasar. Jadi kapitalisme adalah ekonomi yang bebas, bebas dari berbagai pembatasan oleh siapapun (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar mana pun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya, bebas dari nilai pembatasan tenaga kerja. Yang menentukan semata-mata hanya untung yang besar. Dari segi output, bagi Marx dalam Magnis-Suseno (2005),perbedaan kapitalisme dari sistem produksi-produksi lain adalah bahwa nilai yang ingin dihasilkan oleh para peserta pasar adalah nilai tukar dan bukan nilai pakai. Karena dengan memproduksi nilai tukar tersebut menciptakan kelas proletariat yang dipercaya oleh Marx sebagai titik penghabisan kapitalisme. Marx menekankan bahwa tenaga kerja (labor) sebagai sumber dari pertukaran nilai ekonomi, juga merupakan sumber keuntungan (profit). Menurut Marx, keuntungan yang diperoleh oleh kaun borjuis sebagai pemilik modal berasal eksploitasi dari tenaga kerja. Berbanding terbalik dengan pemikiran Hegel maka, agama merupakan factor yang tergantung dari sistem ekonomi, dan bukan sebagai pendorong dari dinamika ekonomi seperti yang diungkapkan oleh Hegel. Kelas social merupakan pusat dari pemikiran Engels dan konsepsi Marx mengenai sejarah kelas social dalam konsepsi Marx berbasis pada material. Kelas didefinisikan sebagai jenis-jenis krusial dari pola-pola hubungan social 89

22 yang mana diikat berdasarkan hubungan materialism, ideology, dan politik dari setiap komunitas. Properti dalam konsepsi Marx diartikan sebagai hak yang dilegalkan, didukung oleh negara, dan kepemilikan dari barang-marang material. Setiap tipe dari setiap sistem social akan berbeda-beda dalam konsepsi Marx menurut bentuk dari property, dan kelas social. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, pola umum dari kepemilikan property adalah modal industrial. Kelas social dibagi atas kapitalis yang memiliki artikulasi cara produksi (means of production) dan pekerja atau proletariat, yang tidak memiliki property, dan kekuatan satu-satunya adalah tenaga yang dijualnya pada pasar tenaga kerja untuk tujuan bertahan hidup. Kelas ini lah yang menurut Marx sebagai aktor utama didalam perubahan sejarah suatu masyarakat. Ide-ide dan agama ditentukan oleh kelas sosial. Bagi Marx kelas merupakan actor utama didalam tahap perkembangan sejarah, dan sebagai basis dari terbentuknya ide-ide dan kepercayaan. Di dalam masyarakat kapitalis menurut Marx dan Engels, akan terdapat suatu kelas menengah di dalam sistem social masyarakat kapitalis, yakni yang merupakan kelas pedagang kecil, seniman, dan industry skala kecil. Menurut Marx dan Engels, kelas menengah ini memiliki lingkungan kultur pergaulan tersendiri, malah menjadi actor politik bagi dirinya sendiri. Marx dan Engels menyebutkan orang-orang di kelas menengah ini sebagai petit bourgeois radicals. Namun, menurut Marx dan Engels ini tidak berlaku tetap, karena persaingan di dalam sistem kapitalis itu sendiri, maka kelas ini tidak selamanya akan berbentuk radikalisme, karena kapitalisme akan menciptakan consentrasi industry yang semakin lama semakin besar maka Marx dan Engels menduga petit bourgoise akan kehilangan property skala kecilnya, dan jatuh sebagai kelas proletariat. Teori kelas dari Marx dan Engels menunjukkan analisa mengenai sebab dan akibat. Mereka menunjukkan bagaimana perjuangan-perjuangan kelas dapat dianalisa ke dalam konflik dan persekutuan diantara kelas sosial yang mengejar perbedaan minat ekonomi tertentu (Collins, 1985). Menurut marx, kelas social erat sekali hubungannya dengan ekonomi dan politik. Sistem ekonomi diorganisasikan melalui kepemilikan property, yang mendefinisikan kelas, dan property dikuatkan oleh kekuatan politik Negara. Properti tidak sendirinya dimiliki begitu saja, melainkan sesuatu dimiliki oleh seseorang hanya karena negara yang membentuk legalitas secara hukum 90

23 perundang-undangan terhadap property tersebut, dan akan berperan untuk menjalankan klaim-klaim kepemilikan bisa juga dengan cara menggunakan caracara militer. Selanjutnya bagi Marx, properti dalam beragam cara tidak akan dapat dicabut haknya oleh individu, tanpa dukungan dari sistem sosialnya itu sendiri. Misalnya, seseorang yang secara legal memiliki sebidang tanah namun tidak memiliki modal untuk membudidayakan tidak akan bermakna apapun. Karena alasan inilah, beberapa kelas ekonomi yang dominan harus sangat peduli terhadap politik. Namun, bukan berarti mereka terus-menerus bercokol di negara. Namun, peduli terhadap kondisi politik untuk memastikan bahwa negara tetap meneruskan perlindungan terhadap minat kepemilikan dari para kaum borjuis, dan sangat dibutuhkan intervensi dari kekuatan pemerintah untuk menciptakan peluang-peluang keberuntungan. Politik merupakan suatu cara perjuangan kaum borjuis untuk mengontrol keberlanjutan dukungan negara, dan kaum borjuis selalu memenangkan perjuangan ini, terkecuali situasi sejarah sebagai basis produksi berubah (Collins, 1985). Konsepsi ekonomi Marx sesungguhnya mengungkapkan bahwa masyarakat kapitalis muncul karena adanya kontradiksi secara internal sistem social yang membawa pada konsentrasi dari kepemilikan property oleh para actor kapitalis atau borjuis, di satu sisi menciptakan pertumbuhan jumlah besar kaum proletariat yang pengangguran, dan terkadang muncul suatu krisis ekonomi. Sehingga bagi Marx satu-satunya cara untuk keluar dari kondisi ini adalah dengan menghapuskan kepemilikan pribadi dari sistem social (Collins, 1985). Satu prinsip yang paling krusial bahwa kekuasaan bergantung pada kondisi mobilisasi material. Berdasarkan analisa Engels mengenai alasan mengapa petani di Jerman pada masa lampau dengan mudah dikuasai oleh kaum aristokrasi. Padahal sesungguhnya, kaum petani melakukan upaya-upaya untuk melawan kaum aristocrat di Jerman saat itu. Namun, para kaum bangsawan selalu memenangkan perlawanan kaum tani. Hal ini menurut Engels disebabkan karena kaum ningrat superior dalam hal memobilisasi. Kaum ningrat dengan mudah memecahkan para petani, membayar kelompok petani tertentu, untuk menyerang kelompok petani lainnya. Kaum ningrat mengorganisasikan dirinya dengan para proletariat melalui persekutuan, dan manuver secara militer. Petani kecil selalu kalah karena mereka tidak memiliki kepemilikan untuk 91

24 mengorganisasi mereka di dalam perlawanan secara politik. Keadaan petani di Jerman saat itu menurut Engels seperti petani-petani di Perancis: Mereka terpecah-pecah mereka mengatakan kami seperti kentang-kentang di dalam karung ( like potatoes in a sack ) yang melulu menjadi gumpalan besar nampak dari luar secara bersama-sama, namun tidak menjadi satu. Kondisi material lah yang memisahkan mereka satu sama lain, dan menghambat mereka dalam mencapai kekuasaan (Collins, 1985). Kelas pemilik secara politik selalu mendominasi karena mereka lebih dominan dalam hal mobilisasi politik. Kapitalis sendiri sebuah sistem ekonomi saling interkoneksi. Para pebisnis misalnya sangat aktif berhubungan satu sama lainnya, mengawasi pesaing, berani mengambil pinjaman, dan malah memberikan pinjaman, dan membentuk kartel. Jejaring finansial, dan pasar itu sendiri dalam arti komunikasi lah yang membawa kelas kapitalis dalam jaringan sosial ekonomi yang lebih dekat. Berdasarkan alasan ini para pebisnis, khususnya pada golongan atas pebisnis, telah sangat terorganisasi. Kelompok pebisnis ini telah memiliki sebuah jaringan yang mereka gunakan untuk memudahkan mereka menggunakan jalur politik ketika mereka ingin melakukan sesuatu. Di sisi lain, kelas pekerja, di satu sisi, tidak memiliki organisasi yang tumbuh secara alami untuk ambil bagian dari kegiatan politik, mereka tidak memiliki kekuatan-kekuatan khusus untuk menciptakan organisasi politik dan bersusah payah mencoba untuk saling berhubungan dengan kelompok kelas pekerja lainnya di tempat yang berbeda untuk memperoleh suatu kekuatan perlawanan bersama. Selanjutnya, meskipun jumlah pekerja jauh lebih banyak dibandingkan elit-elit pebisnis, namun kekuatan besar dari mobilisasi politik yang dipegang oleh kaum pebisnis memberikan keseimbangan dalam hal kekuatan politik. Hal ini sekaligus dengan kuatnya kontrol dari kaum kelas atas dalam memperoduksi kekuatan mental di dalam masyarakat modern kepemilikan dari koran, stasiun televisi, dan lain sebagainya- diartikan bahwa kelompok minoritas pebisnis akan dapat selalu dengan mudah mendefinisikan isu-isu politik dari sisi pandang mereka dan mencapai kekuatan politik keluar dari proporsi mereka di dalam sistem sosial. Sistem politik Negara yang demokrasi sangat cocok kepada berkembangnya dan menguatnya kelas social pebisnis, karena mereka adalah pihak yang paling kuat untuk memenangkan perjuangan untuk memperoleh 92

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada dua komunitas yaitu komunitas Suku Bajo Mola, dan Suku Bajo Mantigola, menunjukkan telah terjadi perubahan sosial, sebagai

Lebih terperinci

KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO (STUDI KASUS NELAYAN BAJO MOLA DAN MANTIGOLA, KABUPATEN WAKATOBI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA)

KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO (STUDI KASUS NELAYAN BAJO MOLA DAN MANTIGOLA, KABUPATEN WAKATOBI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA) KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO (STUDI KASUS NELAYAN BAJO MOLA DAN MANTIGOLA, KABUPATEN WAKATOBI, PROVINSI SULAWESI TENGGARA) Nur Isiyana Wianti I 353090011 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Penelitian

Lampiran 1. Peta Penelitian Lampiran 1. Peta Penelitian 269 Lampiran 2. Jadwal Penelitian No Kegiatan Waktu Penelitian Tahun 2010 Tahun 2011 1 4 5 6 7 8 9 10 11 1 2 1 2 3 4 5 6 1. Analisis dokumen 2. Pra Penelitian 3. Sidang Komisi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kemiskinan dan kesenjangan sosial pada kehidupan nelayan menjadi salah satu perhatian utama bagi kebijakan sektor perikanan. Menurut pemerintah bahwa kemiskinan dan

Lebih terperinci

KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO

KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO ISSN : 1978-4333, Vol. 06, No. 01 Local Capitalism of Bajo Nur Isiyana Wianti *), Arya Hadi Dharmawan, Rilus A. Kinseng, Winati Wigna Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Moral Ekonomi Pedagang Kehidupan masyarakat akan teratur, baik, dan tertata dengan benar bila terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara geografis berada di pesisir

Lebih terperinci

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 10.1. Kesimpulan Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme terhadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya perubahan praktek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pendapatan asli daerah Sulawesi Selatan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pendapatan asli daerah Sulawesi Selatan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah yang memiliki luas perairan laut cukup besar menjadikan hasil komoditi laut sebagai salah satu andalan dalam pendapatan asli

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Akhir tahun 70-an dan awal 80-an, Pemerintahan Orde Baru menggalakkan program transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi, Kalimantan,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam perekonomian Indonesia karena beberapa alasan antara lain: (1) sumberdaya perikanan, sumberdaya perairan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. kekurangan. Di dua dusun Pagilaran dan Kemadang waktu seolah-olah sekedar berjalan di

BAB V KESIMPULAN. kekurangan. Di dua dusun Pagilaran dan Kemadang waktu seolah-olah sekedar berjalan di BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Kehidupan keluarga buruh di dua dusun pada dasarnya berada pada posisi yang sama mereka dihadapkan pada upah dan kesejahteraan hidup yang rendah, ditengah kondisi ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama

Lebih terperinci

Pendekatan Historis Struktural

Pendekatan Historis Struktural Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kenajuan bagi negara dunia ketiga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Mengkaji perilaku nelayan artisanal di Indonesia, khususnya di pantai Utara Jawa Barat penting dilakukan. Hal ini berguna untuk mengumpulkan data dasar tentang perilaku nelayan

Lebih terperinci

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN Slamet Widodo Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Nelayan mandiri memiliki sejumlah karakteristik khas yang membedakannya dengan nelayan lain. Karakteristik tersebut dapat diketahui dari empat komponen kemandirian, yakni

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian Tanah dan Fungsinya Sejak adanya kehidupan di dunia ini, tanah merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu bagian

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman i ii iii iv v vi

DAFTAR ISI. Halaman i ii iii iv v vi DAFTAR ISI RINGKASAN... DAFTAR TABEL.... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI... PRAKATA... PENDAHULUAN Latar Belakang... Pertanyaan dan Masalah penelitian... Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu berupa kekayaan alam maupun kekayaan budaya serta keunikan yang dimiliki penduduknya. Tak heran

Lebih terperinci

2015 KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN CIREBON

2015 KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN CIREBON BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi alam di sektor perikanan yang melimpah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Salah satu sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai tersebut, Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas dengan

BAB I PENDAHULUAN. pantai tersebut, Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan tidak kurang dari 17 ribu buah pulau dan 81 ribu km panjang pantai. Dengan panjang pantai tersebut,

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Pertanian dan Petani Pertanian memiliki arti penting dalam pembangunan perekonomian. Sektor pertanian tidak saja sebagai penyediaan kebutuhan pangan melainkan sumber kehidupan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Nelayan Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN TEORI DEPENDENSI Dr. Azwar, M.Si & Drs. Alfitri, MS JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ANDALAS Latar Belakang Sejarah Teori Modernisasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN Perubahan lingkungan berimplikasi terhadap berbagai dimensi kehidupan termasuk pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini tentu saja sangat dirasakan oleh perempuan Kamoro yang secara budaya diberi

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II 2.1 Tinjauan Pustaka PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Perkebunan Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian non pangan yang tidak asing di Indonesia. Pengertian perkebunan 2 dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

Mia Siscawati. *Program Studi Kajian Gender-Program Pascasarjana UI *Pusat Kajian Antropologi-FISIP UI

Mia Siscawati. *Program Studi Kajian Gender-Program Pascasarjana UI *Pusat Kajian Antropologi-FISIP UI Mia Siscawati *Program Studi Kajian Gender-Program Pascasarjana UI *Pusat Kajian Antropologi-FISIP UI Kampung tersebut memiliki tingkat kemiskinan cukup tinggi, tingkat pendidikan rendah, dan tingkat

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial BAB VIII PENUTUP Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyumas ini mengambil tiga fokus kajian yakni ekonomi politik kebijakan hutan rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang sangat tinggi, namun belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan agribisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konstruksi budaya patriarki yang masih mengakar kuat di Indonesia hingga saat ini, mengakibatkan posisi perempuan semakin terpuruk, terutama pada kelompok miskin. Perempuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi BAB 1 PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Tujuan pembangunan daerah yaitu mencari kenaikan pendapatan perkapita yang relatif cepat, ketersediaan kesempatan kerja yang luas, distribusi pendapatan yang merata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan alam yang dimiliki oleh Negara ini sungguh sangat banyak mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tugas-tugas pada posisinya tersebut. Apabila kita berbicara tentang tugas-tugas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tugas-tugas pada posisinya tersebut. Apabila kita berbicara tentang tugas-tugas BAB II KAJIAN PUSTAKA Sebagai sebuah mekanisme yang terus berfungsi, masyarakat harus membagi anggotanya dalam posisi sosial yang menyebabkan mereka harus melaksanakan tugas-tugas pada posisinya tersebut.

Lebih terperinci

POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL

POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL TUGAS AKHIR O l e h : E k o P r a s e t y o L2D 000 415 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mereka menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam atau

Lebih terperinci

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER)

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER) 1 Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER) Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang berhubungan dengan kekuasaan (power) Dalam tulisan Robert Chambers 1, kekuasaan (power) diartikan sebagai kontrol terhadap

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam melihat ketahanan pasar nagari di Minangkabau dalam menghadapi ekonomi dunia/supra

Lebih terperinci

PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PENGEMBANGAN NAFKAH BERKELANJUTAN DAN BERKEADILAN * Slamet Widodo

PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PENGEMBANGAN NAFKAH BERKELANJUTAN DAN BERKEADILAN * Slamet Widodo PENGUATAN MODAL SOSIAL UNTUK PENGEMBANGAN NAFKAH BERKELANJUTAN DAN BERKEADILAN * Slamet Widodo Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Abstrak Penelitian dilaksanakan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar wiliyahnya merupakan perairan laut, selat dan teluk, sedangkan lainnya adalah daratan yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan masih menjadi masalah yang mengancam Bangsa Indonesia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa yang berarti sebanyak 16,58

Lebih terperinci

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan sejak abad ke- 17 telah menjadi kota Bandar, karena memiliki posisi sangat strategis secara geopolitik dan geostrategis.

Lebih terperinci

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL Industrialisasi menjadi salah satu strategi pembangunan ekonomi nasional yang dipilih sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian sudah seharusnya mendapat prioritas dalam kebijaksanaan strategis pembangunan di Indonesia. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, sektor pertanian di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN

BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN 89 BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN 7.1 Diversifikasi Pekerjaan Nelayan Karimunjawa telah menyadari terjadinya perubahan ekologis di kawasan Karimunjawa. Berbagai macam bentuk perubahan yang terjadi pada

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor unggulan yang berkontribusi sebesar 15,3 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2009. Pertimbangan lain yang menguatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 pun tidak lepas dan luput dari persoalan yang berkaitan dengan ketahanan wilayah karena dalam

Lebih terperinci

BAB IV DISKUSI TEORITIK

BAB IV DISKUSI TEORITIK BAB IV DISKUSI TEORITIK Teori yang digunakan dalam analisa ini bermaksud untuk memahami apakah yang menjadi alasan para buruh petani garam luar Kecamatan Pakalmelakukan migrasi ke Kecamatan Pakal, Kota

Lebih terperinci

Sosiologi Pembangunan

Sosiologi Pembangunan Slamet Widodo Pembangunan Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terencana Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara PEMBUKAAN PSB KOTA SURABAYA Oleh: Dr. Asmara Indahingwati, S.E., S.Pd., M.M TUJUAN PROGRAM Meningkatkan pendapatan dan Kesejahteraan masyarakat Daerah. Mempertahankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan 34.623,80 km², kota Bandar Lampung merupakan Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung yang memiliki

Lebih terperinci

BAB V STRATIFIKASI SOSIAL

BAB V STRATIFIKASI SOSIAL BAB V STRATIFIKASI SOSIAL 6.1 Pengantar Stratifikasi merupakan karakteristik universal masyarakat manusia. Dalam kehidupan sosial masyarakat terdapat diferensiasi sosial dalam arti, bahwa dalam masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini persoalan buruh anak makin banyak diperhatikan berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena buruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan memiliki arti penting dalam mendukung rantai ketahanan pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya perikanan, baik dari perikanan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian METODE PENELITIAN Penelitian ini akan memberikan gambaran secara menyeluruh dan mendalam terhadap fenomena strategi nafkah rumah tangga miskin dan pilihan strategi nafkah yang akan dijalankannya. Penelitian

Lebih terperinci

5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN

5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN 5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN TUJUAN PERKULIAHAN 1. Mahasiswa memahami struktur sosial di perdesaan 2. Mahasiswa mampu menganalisa struktur sosial perdesaan KONSEP DASAR STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DAPAT

Lebih terperinci

RESPONS TERHADAP MODERNISASI

RESPONS TERHADAP MODERNISASI RESPONS TERHADAP MODERNISASI Karakteristik Adopter Karakteristik responden penelitian ini meliputi umur, pengalaman usaha, pendapatan, lama pendidikan, dan status sosial. Secara ringkas responden tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat. Perilaku ini tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (entrepreneurship) sering sekali terdengar, baik dalam bisnis, seminar, pelatihan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (entrepreneurship) sering sekali terdengar, baik dalam bisnis, seminar, pelatihan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini istilah wirausaha (entrepreneur) dan kewirausahaan (entrepreneurship) sering sekali terdengar, baik dalam bisnis, seminar, pelatihan, program pemberdayaan sampai

Lebih terperinci

penelitian ini akan diuraikan beberapa konsep yang dijadikan landasan teori penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian adalah.

penelitian ini akan diuraikan beberapa konsep yang dijadikan landasan teori penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian adalah. 8 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA 2.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk memecahkan masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini akan diuraikan beberapa konsep yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudera. Ekosistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudera. Ekosistem BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Sumberdaya Maritim Indonesia Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudera. Ekosistem perairan ini merupakan seumber dari berbagai macam produk dan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. upahan pasca panen. Peluang kerja adalah suatu keadaan dimana adanya

BAB II KERANGKA TEORI. upahan pasca panen. Peluang kerja adalah suatu keadaan dimana adanya BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Adopsi Teknologi Pertanian Dalam hal adopsi penerapan teknologi traktor, yang dilakukan oleh kelompok tani mengakibatkan sempitnya peluang kerja bagi para buruh tani/tenaga upahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan (palawija), merupakan makanan pokok bagi masyarakat. total pendapatan domestik bruto (id.wikipedia.org).

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan (palawija), merupakan makanan pokok bagi masyarakat. total pendapatan domestik bruto (id.wikipedia.org). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, artinya masyarakat banyak yang bermata pencaharian sebagai petani. Penggolongan pertanian terbagi atas dua macam, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia. Indonesia

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 2.1.1 Definisi perikanan tangkap Penangkapan ikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 didefinisikan sebagai kegiatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic state) terbesar di dunia. Jumlah Pulaunya mencapai 17.506 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Kurang lebih 60%

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Migrasi merupakan perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan dengan kedua daerah

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

BAB 9: SOSIOLOGI MODERNISASI. PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI. e. Kemakmuran masyarakat luas

BAB 9: SOSIOLOGI MODERNISASI.  PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI. e. Kemakmuran masyarakat luas 1. Makna modernisasi di bidang ekonomi a. Penggunaan sistem ekonomi liberal seperti negara-negara Eropa b. Proses industrialisasi yang dapat menggantikan sistem ekonomi pertanian c. Pelaksanaan sistem

Lebih terperinci

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Masyarakat dunia pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan

Lebih terperinci

WAWASAN SOSIAL BUDAYA. Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan

WAWASAN SOSIAL BUDAYA. Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan WAWASAN SOSIAL BUDAYA Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan Disusun Oleh : Nur Fazheera Al Gadri (D0217023) Hendra Lesmana (D0217515) Asmirah (D0217024) Abdillah Resky Amiruddin (D0217514) FAKULTAS TEKNIK PRODI

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Manusia pada hakikatnya adalah sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial dimana manusia itu sendiri memerlukan interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior BAB VII KESIMPULAN Studi ini berangkat dari dua gejala kontradiktif dari kehidupan orang Makeang. Orang Makeang di masa lalu adalah kaum subordinat dan dipandang kampungan, sedangkan orang Makeang masa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan mengelola sumber daya perikanan. Sebagai suatu masyarakat yang tinggal

I PENDAHULUAN. dengan mengelola sumber daya perikanan. Sebagai suatu masyarakat yang tinggal I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat nelayan merupakan salah satu bagian mayarakat Indonesia yang hidup dengan mengelola sumber daya perikanan. Sebagai suatu masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada BAB I PENDAHULUAN Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada rumah di kawasan permukiman tepi laut akibat reklamasi pantai. Kawasan permukiman ini dihuni oleh masyarakat pesisir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan daerah lainnya berbeda sesuai dengan taraf kemampuan penduduk dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan daerah lainnya berbeda sesuai dengan taraf kemampuan penduduk dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak penduduk dengan berbagai macam ragam mata pencaharian. Dimana mata pencaharian merupakan aktivitas manusia untuk dapat memperoleh taraf hidup

Lebih terperinci