BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI"

Transkripsi

1 BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Kesimpulan Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme terhadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya perubahan praktek moda produksi dari moda produksi yang menopang sistem pertanian ladang berpindah untuk menghasilkan padi ladang (produk untuk dimakan) menjadi moda produksi yang menopang sistem pertanian menetap untuk menghasilkan komoditas perkebunan (produk perdagangan atau produk untuk dijual). Setelah itu, pengaruh kapitalisme dilanjutkan dengan semakin dominannya praktek moda produksi yang menggunakan teknologi intensif pada usahatani padi sawah. Hal tersebut dilakukan para petani untuk mencapai peningkatan produksi padi per satuan luas lahan (produktivitas lahan) karena akhir-kahir ini lahan sawah menjadi satu-satunya tempat petani menghasilkan padi, terutama setelah hampir seluruh lahan kering digunakan untuk mengusahakan tanaman perkebunan (tanaman komersial). Dalam empat komunitas petani kasus, elemen-elemen moda produksi kapitalis umumnya masuk merembes melalui berbagai aktivitas baru, terutama aktivitas penjualan hasil produksi usahatani kebun (buah kakao sangat dominan) serta aktivitas penguasaan modal non lahan (bahan/alat produksi dan modal finansial) untuk mendukung proses produksi padi sawah (aktivitas di on farm). Dengan cara masuk yang merembes, maka pengaruh kapitalisme tidak menghilangkan elemen-elemen moda produksi non-kapitalis yang sudah lama dijalankan anggota komunitas petani. Oleh sebab itu, para petani di empat komunitas kasus menjalankan beberapa elemen moda produksi berbeda secara bersamaan, baik elemen-elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri nonkapitalis, elemen-elemen moda produksi yang sudah mempunyai ciri kapitalis, maupun elemen-elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya. Berlangsungnya transformasi sistem pertanian dari perladangan berpindah ke pertanian menetap juga telah memperkuat proses transformasi struktur agraria. Dalam hal ini basis penguasaan sumberdaya agraria telah beralih dari pemilikan kolektif (collective ownership) menjadi pemilikan perorangan (individual 246

2 ownership). Bahkan akhir-akhir ini status hukum pemilikan perorangan diperkuat melalui penerapan status formal (bukti tertulis) seperti akte jual beli, surat keterangan desa, surat pembayaran pajak, dan sertifikat. Bersamaan dengan menguatnya penerapan elemen-elemen moda produksi kapitalis, transformasi struktur agraria yang terjadi kemudian membangkitkan hadirnya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang semakin tertutup sehingga akses lapisan petani tunakisma miskin untuk menguasai sumberdaya agraria semakin berkurang. Hal ini terjadi baik pada mekanisme penguasaan tetap (pemilikan perorangan) maupun penguasaan sementara. Selain itu, bersamaan dengan praktek kekuatan produksi teknologi intensif yang banyak menggunakan modal produksi non lahan dari luar komunitas petani, muncul dua pola hubungan sosial produksi berikut : 1) pola hubungan sosial produksi agraria yang melibatkan semakin banyak pihak, yaitu munculnya pihak baru (non petani) yang menguasai modal non lahan, dan 2) pola hubungan sosial produksi agraria dua pihak yang semakin terakumulasi dan tersubordinasi, yaitu hubungan sosial produksi agraria antara petani pemilik lahan yang semakin kuat (karena selain menguasai modal lahan juga menguasai modal non lahan) dengan petani penggarap (pemilik sementara) yang semakin lemah (karena posisi petani penggarap hanya berlandaskan penguasaan tenaga kerja). Berbagai realitas tersebut kemudian memberi jalan bagi proses pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi. Namun demikian, masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak pada prinsip moral tradisional 126 turut mempertahankan penerapan pola hubungan penguasaan sementara, terutama melalui pola bagi hasil pada usahatani kakao dan usahatani padi sawah. Realitas struktur agraria ini kemudian memberi jalan bagi proses diferensiasi sosial masyarakat agraris sehingga struktur sosial masyarakat tersebut terstratifikasi oleh banyak lapisan, baik lapisan yang hanya mempunyai satu status (status tunggal) maupun lapisan yang mempunyai beberapa status (status kombinasi). Nampaknya hubungan sosial produksi yang sebelumnya sudah berjalan mapan (terstruktur sejak lama) dalam komunitas petani 126 terutama ikatan kekerabatan dan solidaritas lokal untuk menjaga kebutuhan minimum warga se komunitas 247

3 karena diikat oleh prinsip moral tradisional telah berperan sebagai pengaman komunitas petani dari serbuan kapitalisme. Berlangsungnya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada proses polarisasi dan stratifikasi secara bersamaan ternyata telah melahirkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang memiliki tipe stratifikasi - timpang. Struktur sosial masyarakat agraris tersebut terdiferensiasi dalam banyak lapisan, baik lapisan yang dibentuk oleh status tunggal maupun lapisan yang dibentuk oleh status kombinasi. Selain itu, struktur sosial masyarakat agraris tersebut disertai dengan semakin timpangnya luas pemilikan sumberdaya agraria. Berbasis pada penguasaan sumberdaya agraria, hasil penelitian di empat komunitas petani di Propinsi Sulawesi Tengah dan NAD menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat agraris disusun oleh beberapa lapisan, baik lapisan yang bertumpu pada satu status (status tunggal) dimana status dimaksud merupakan basis dasar pelapisan masyarakat maupun lapisan yang berbasiskan kombinasi beberapa status secara kompleks (status kombinasi). Secara rinci, lapisan-lapisan masyarakat agraris dengan status tunggal terdiri dari : 1) petani pemilik, 2) petani penggarap, dan 3) buruh tani. Sementara itu, lapisan-lapisan masyarakat agraris dengan status kombinasi terdiri dari : 1) petani pemilik + penggarap 127, 2) petani pemilik + penggarap + buruh tani, 3) petani pemilik + buruh tani, dan 4) petani penggarap + buruh tani. Lebih lanjut, lapisan petani penggarap dan petani penggarap + buruh tani dapat dikelompokkan sebagai tunakisma tidak mutlak (masih mempunyai akses untuk menguasai sumberdaya agraria meskipun hanya melalui penguasaan sementara) sedangkan lapisan buruh tani dikelompokkan sebagai tunakisma mutlak (sama-sekali tidak mempunyai akses untuk menguasai sumberdaya agraria). Pada saat penelitian berlangsung, petani tunakisma tidak mutlak maupun petani tunakisma mutlak sudah muncul di semua komunitas petani lokasi penelitian. Bahkan di komunitas petani Desa Jono Oge (Sulawesi Tengah), proporsi petani tunakisma tidak mutlak sudah mencapai 6,9 % dan proporsi tunakisma mutlak 127 Penggarap adalah petani yang mengusahakan lahan milik orang lain, umumnya melalui bagi hasil (pola penggarap lain adalah gadai dan sewa) 248

4 sudah mencapai 27,3 % sehingga jumlah seluruh tunakisma sudah mencapai 34,2 % dari total rumahtangga petani. Selain itu, berdasarkan analisa gini ratio, ternyata ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total 128 juga sudah muncul di semua komunitas kasus, meskipun tingkat ketimpangannya tidak sama. Tingkat ketimpangan Tinggi muncul dalam komunitas petani di Desa Jono Oge dan Cot Baroh/Tunong, Sedang muncul dalam komunitas petani di Desa Tondo, dan Rendah muncul dalam komunitas petani di Desa Ulee Gunong. Bahkan, bila analisa ketimpangan diterapkan pada sumberdaya agraria produktif 129 ternyata sebagian besar komunitas petani di lokasi penelitian berada pada tingkat ketimpangan Tinggi, kecuali komunitas petani di Desa Cot Baroh/Tunong (tingkat ketimpangan Rendah) 130. Setelah para petani terintegrasi dengan moda produksi yang semakin kapitalis melalui pengusaahaan kakao untuk memenuhi kebutuhan pasar dan penguasaahn padi sawah yang semakin intensif yang kemudian diikuti oleh transformasi struktur agraria dan diferensiasi sosial masyarakat agraris, ternyata perubahan tersebut berimplikasi pada meningkatnya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani. Dalam hal ini, berdasarkan status kesejahteraan, komunitas petani di seluruh lokasi penelitian terbagi dalam tiga lapisan, yaitu : petani kaya, petani sedang, dan petani miskin. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi belum mampu mensejahterakan sebagian besar petani. Beradasarkan lapisan kesejahteraan, ternyata sebagian besar petani di desa-desa kasus di NAD berada pada lapisan miskin. Kondisi yang relatif lebih baik terjadi di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah, dimana proporsi lapisan petani miskin dan lapisan petani sedang dalam komunitas petani relatif seimbang, tetapi proporsi petani kaya masih relatif sedikit. Di semua komunitas petani kasus, munculnya lapisan 128 Sumberdaya agraria total adalah seluruh sumberdaya agraria milik petani, termasuk sumberdaya agraria yang tidak diusahakan (tidak ada tanamannya) atau ada tanamannya tetapi tidak berproduksi (tidak menghasilkan) 129 Sumberdaya agraria produktif adalah hanya sumberdaya agraria yang ada tanamannya dan tanaman tersebut berproduksi 130 Nilai Gini Ratio < 0,4 = Ketimpangan Rendah, 0,4 0,5 = Ketimpangan Moderat/Sedang, dan > 0,5 = Ketimpangan Tinggi 249

5 petani miskin tidak hanya terjadi pada petani tunakisma (mutlak maupun tidak mutlak) tetapi juga pada lapisan petani pemilik, terutama lapisan petani yang luas sumberdaya agraria miliknya relatif sempit (kurang dari dua ha). Dengan menggunakan analisa gini ratio, sebenarnya ketimpangan penghasilan dan pengeluaran di empat komunitas kasus umumnya masih berada pada kategori rendah, kecuali ketimpangan penghasilan di Desa Jono Oge yang tergolong Tinggi dan ketimpangan penghasilan di Desa Tondo yang tergolong Sedang. Namun demikian rendahnya ketimpangan tersebut tidak dapat dimaknai sebagai kondisi yang baik karena sebagian besar petani belum sejahtera. Perubahan struktur agraria dan struktur sosial masyarakat agraris juga mulai mengancam keamanan sosial ekonomi petani (terutama bagi petani tunakisma miskin). Pada saat ini, tangga tempat berjalannya proses peningkatan kesejahteraan petani sudah semakin tertutup. Padahal sebelumnya banyak petani tunakisma miskin yang mampu meningkatkan status kesejahteraannya melalui tangga berikut : petani yang awalnya tunakisma mutlak (buruh tani) dapat menguasai lahan melalui tangga penggarap bagi hasil (pemilik sementara) dan/atau penggarap bagi kebun atau penggarap bagi tanaman (pemilik sempit), dan selanjutnya mereka dapat melakukan akumulasi lahan sehingga menjadi pemilik sedang dan/atau pemilik luas. Pada komunitas petani juga sedang terjadi proses pemiskinan dan mulai muncul problema 131 kesejahteraan. Beberapa situasi yang potensial mempercepat proses pemiskinan petani adalah: kenaikan harga kebutuhan pokok dan modal produksi yang lebih besar dibanding kenaikan harga-harga hasil pertanian, semakin banyaknya jumlah dan/atau ragam kebutuhan pokok sehari-hari maupun modal produksi yang harus dibeli petani, produktivitas sumberdaya agraria menurun akibat menurunnya kesuburan dan/atau ketersediaan air, hilangnya katup pengaman penghasilan minimal yang berasal dari sumberdaya agraria milik komunal, serta berkurangnya luas sumberdaya agraria per rumahtangga karena cadangan sumberdaya agraria untuk usaha pertanian tidak tersedia lagi sedangkan jumlah anggota komunitas terus bertambah. Sementara itu, beberapa situasi yang potensial mendorong terjadinya problema kesejahteraan petani adalah sumberdaya 131 Adanya warga komunitas yang jumlah pengeluarannya dibawah garis kemiskinan. 250

6 agraria yang ada dalam komunitas petani tidak dapat memberikan penghasilan minimal (setara garis kemiskinan) dan bersamaan dengan itu tidak tersedia sumber penghasilan alternatif (penghasilan dari sumber non pertanian). Realitas munculnya moda produksi amphibian, munculnya transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke perorangan, munculnya diferensiasi sosial masyarakat agraris dalam bentuk stratifikasi dengan pemilikan sumberdaya agraria yang semakin timpang, serta munculnya diferensiasi kesejahteraan petani (Gambar 10.1) ternyata terjadi di semua komunitas petani kasus. Perbedaan yang muncul di antara komunitas petani lebih nampak pada perbedaan ukuran realitas, bukan perbedaan bentuk realitas. Nampaknya, kesamaan tingkat kapitalisme yang masuk melalui jenis tanaman dan tipe sistem pertanian yang sama mendorong munculnya kesamaan bentuk transformasi struktur agraria serta diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani, meskipun mereka mempunyai latar belakang etnis berbeda. Fakta ini juga menunjukkan bahwa komunitas petani yang mempunyai latar belakang etnis berbeda ternyata mempunyai kemampuan yang relatif sama dalam hal membendung pengaruh kapitalisme. Dengan kata lain, yang terjadi dalam komunitas petani adalah commodity-driven relation of production bukan etnics-driven relation of production. Dalam hal perbedaan ukuran realitas di antara empat komunitas petani kasus, komunitas petani yang berlatar belakang etnis Bugis (di Desa Jono Oge) mempunyai perbedaan yang sangat menonjol. Perbedaan tersebut muncul pada lebih tingginya intensitas penerapan elemen moda produksi yang berciri kapitalis, intensitas mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi, tingkat ketimpangan dalam penguasaan sumberdaya agraria, dan tingkat ketimpangan dalam kesejahteraan warga komunitas. Di desa ini, meskipun sudah muncul petani sangat luas yang memiliki lahan seluas 75 ha, tetapi dalam pengelolaan usahatani (terutama usahatani padi sawah dan kebun kakao) masih memilih menerapkan pola bagi hasil bersama petani penggarap. Padahal berdasarkan perhitungan ekonomi, bilamana petani sangat luas tersebut melakukan sendiri pengelolaan usahatani miliknya dan disertai dengan penggunaan buruh tani maka petani tersebut akan memperoleh pendapatan yang lebih besar. 251

7 Dari empat komunitas petani yang dipilih sebagai lokasi penelitian, tiga di antaranya berada pada wilayah ekologi dataran rendah yang mempunyai komunitas petani kombinasi. Dalam hal ini, sebagian anggota komunitas merupakan petani yang mengusahakan padi sawah dan kakao secara bersamaan dengan sistem pertanian menetap sedangkan sebagian petani lainnya hanya mengusahakan kakao atau hanya mengusahakan padi sawah tetapi juga dengan sistem pertanian menetap. Bahkan di Desa Jono Oge (Propinsi Sulawesi Tengah) dan di Desa Cot Baroh (Propinsi NAD), petani yang mengusahakan padi sawah dan kakao secara bersamaan merupakan bagian terbesar. Potret tiga komunitas petani tersebut menunjukkan bahwa gambaran komunitas petani di Indonesia Luar (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusatenggara) tidak relevan lagi dengan kesimpulan Geertz yang dibuat dari hasil studi lapang yang dilakukannya awal tahun 50 an tentang tipe komunitas petani Indonesia Luar yang berbeda sangat kontras dengan tipe komunitas petani Indonesia Dalam (Jawa). Pada saat itu, Geertz membuat kesimpulan bahwa desa-desa di Indonesia Dalam merupakan desa pos-tradisional sedangkan desa-desa di Indonesia Luar merupakan desa tradisional Implikasi Teoritis Pada sebuah komunitas petani kecil (peasant) yang masih menerapkan hubungan sosial produksi dengan landasan prinsip moral tradisional, pengaruh kapitalisme masuk dengan cara merembes sehingga tidak melenyapkan moda produksi non-kapitalis yang sudah berjalan lama dalam komunitas petani. Oleh sebab itu, para petani dalam komunitas tersebut menjalankan beberapa elemen moda produksi berbeda secara bersamaan, baik elemen-elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri non-kapitalis, elemen-elemen moda produksi yang sudah mempunyai ciri kapitalis, maupun elemen-elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya. Proses merembesnya pengaruh kapitalisme tersebut umumnya berlangsung melalui aktivitas penguasaan modal non-lahan (bahan/alat produksi, modal finansial) serta melalui aktivitas penjualan hasil produksi para petani (terutama biji kakao). 252

8 Selain itu, pengaruh kapitalime yang berlangsung tidak membelah komunitas petani menjadi beberapa bagian (kelompok) yang terpisah akibat perbedaan praktek moda produksi yang mereka jalankan. Pengaruh kapitalisme tersebut justru menjadikan para petani harus berjalan di atas dua moda produksi berbeda secara bersamaan, yaitu moda produksi kapitalis dan moda produksi nonkapitalis. Bersamaan dengan itu, walaupun dalam komunitas petani dimaksud mulai muncul ketidaksamaan (khususnya dalam penguasaan modal produksi lahan dan non lahan) tetapi ketidaksamaan tersebut belum terlalu tajam. Oleh sebab itu, ketidaksamaan tersebut belum diikuti oleh hubungan sosial produksi yang bersifat eksploitatif. Selain itu, pada aras mikro (komunitas), hubungan sosial produksi yang eksploitatif masih tertahan oleh kuatnya ikatan moral tradisional (terutama hubungan kekerabatan dan keteanggaan) yang melandasi hubungan sosial produksi tersebut. Bertolak dari realitas hampir seluruh anggota komunitas petani menerapkan elemen-elemen moda produksi kapitalis dan pra kapitalis secara bersamaan, maka dalam komunitas petani (aras mikro) tidak terjadi artikulasi moda produksi yang diikuti formasi sosial. Dengan kata lain, dalam komunitas petani tidak terjadi dominasi moda produksi kapitalis terhadap moda produksi non-kapitalis serta tidak terjadi dominasi yang dilakukan oleh kelompok (sebagian anggota komunitas) yang menerapkan moda produksi kapitalis terhadap kelompok (sebagian anggota komunitas) yang menerapkan moda produksi non-kapitalis. Realitas terjadinya praktek moda produksi kapitalis dan non kapitalis yang dijalankan secara bersamaan oleh petani yang sama serta realitas tidak terjadinya artikulasi moda produksi dan formasi sosial dalam komunitas petani mengindikasikan bahwa dalam komunitas petani terdapat sebuah tipologi praktek moda produksi transisional tertentu yang khusus (berbeda). Dengan demikian, praktek moda produksi yang dijalankan para petani tersebut meskipun sama-sama merupakan moda produksi transisional tetapi tidak termasuk kategori artikulasi moda produksi. Oleh sebab itu, praktek moda produksi para petani tersebut diberi nama khusus, yaitu strategi amphibian. 253

9 Dalam hal perubahan struktur sosial masyarakat agraris, pengaruh kapitalisme pada sebuah komunitas petani kecil yang masih menerapkan hubungan sosial produksi dengan landasan prinsip moral tradisional telah mendorong munculnya mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada proses polarisasi dan stratifikasi struktur sosial masyarakat secara bersamaan. Walaupun demikian, masih dominannya mekanisme yang mendorong proses stratifikasi ternyata tidak melahirkan struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi tetapi hanya melahirkan struktur sosial masyarakat agraris dengan tipologi stratifikasi - timpang. Struktur sosial masyarakat agraris tersebut terdiferensiasi dalam banyak lapisan dengan status tunggal (pemilik, penggarap, buruh upahan) maupun status majemuk (kombinasi di antara tiga status tunggal). Bersamaan dengan itu, dalam struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi tersebut luas pemilikan sumberdaya agraria semakin timpang serta akses petani tunakisma dalam penguasaan sumberdaya agraria semakin berkurang akibat semakin dominannya peranan modal non lahan. Walaupun demikian, masih berjalannya hubungan sosial produksi tradisional penguasaan sementara menyebabkan jumlah warga komunitas yang secara mutlak terlepas dari penguasaan alat produksi lahan (tunakisma mutlak) masih merupakan bagian terkecil. Perubahan struktur sosial mayarakat agraris (masyarakat tani) yang terjadi dalam komunitas petani tersebut ternyata berbeda dengan hipotesa Marx yang menyebutkan bahwa pengaruh kapitalisme akan melahirkan polarisasi masyarakat tani menjadi hanya dua kelas yang terbelah, yaitu kelas borjuis yang memiliki alat produksi lawan kelas proletar yang tidak menguasai alat produksi sehingga kemudian dieksploitasi. Selain itu, para petani luas yang ada dalam komunitas petani tidak bertransformasi menjadi kapitalis kecil (a petty capitalist) yang mengeksploitasi tenaga kerja petani lain (buruh tani). Dalam hal ini, para petani luas masih menerapkan hubungan sosial produksi pemilikan sementara bagi hasil manakala mereka memerlukan kerjasama dengan petani tunakisma untuk mengusahakan lahan miliknya. Implikasi lebih lanjut dari struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi adalah tidak munculnya kesadaran kelas petani, sehingga kemudian tidak melahirkan sebuah gerakan petani. 254

10 Kebijakan Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petani berbasis usahatani kakao masih miskin dan kemiskinan tersebut berawal dari persoalan struktur penguasaan sumberdaya agraria kemudian semakin memburuk dengan adanya persoalan dalam proses produksi. Oleh sebab itu, kebijakan pembangunan pertanian yang disusun harus mempunyai komponen yang lengkap dan ditujukan untuk mengatasi kedua fokus persoalan tersebut. Dengan kata lain, program tersebut perlu diletakkan dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dimana pembukaan/penguatan akses petani dalam penguasaan sumberdaya agraria diperlukan sebagai pembuka jalan bagi petani miskin untuk menguasai lapangan berusaha. Bersamaan dengan itu, program supporting system juga diperlukan para petani miskin untuk meyempurnakan jalan agar mereka dapat menguasai modal non-lahan (teknologi, bahan/alat, modal finansial) sehingga mereka dapat mengusahakan sumberdaya agraria yang telah dikuasainya secara produktif. Dalam jangka pendek, persoalan kemiskinan petani yang terkait dengan masalah struktural dalam penguasaan sumberdaya agraria, yaitu munculnya masyarakat agraris yang terstratifikasi sehingga muncul lapisan petani pemilik sempit - miskin dan tunakisma miskin perlu diatasi melalui pengaturan penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses seluas-luasnya kepada mereka (bukan kepada petani kaya atau perusahaan besar). Para petani dimaksud harus menguasai sumberdaya agraria dengan luas yang memadai (minimal 2,2 hektar) 132. Kebijakan tersebut dapat ditempuh melalui program redistribusi sumberdaya agraria yang terlantar dan/atau tidak diusahakan secara produktif oleh perusahaan besar serta melalui program pembukaan areal-areal baru. Dalam jangka panjang, upaya mengatasi persoalan struktural tersebut harus dibarengi dengan pembukaan lapangan berusaha dan bekerja non pertanian agar dapat menyerap pertumbuhan warga komunitas petani yang selama ini terus 132 Hasil penelitian Fadjar dkk (2006) di Pidie NAD menunjukkan bahwa bila petani mengusahakan kebun kakao dengan cara tidak intensif sehingga produktivitas kebun hanya 400 kg/ha/tahun (sebagaimana umumnya yang mereka lakukan sekarang), maka untuk mencapai tingkat sejahtera secara berkelanjutan (mampu membiayai hidup sehari-hari, menyekolahkan anak minimal sampai SMA, dan merehabilitasi kebun mereka minimal harus mempunyai kebun kakao seluas 5,99 ha). Sementara itu, bila mereka mengusahakan kebun kakao secara intensif sehingga produktivitas kebun mencapai 900 kg/ha/tahun, untuk mencapai tingkat sejahtera secara berkelanjutan mereka perlu lahan seluas minimal 2,2 ha. 255

11 menerus harus ditampung di sektor pertanian. Bila tidak demikian, meskipun struktur masyarakat agraris yang terstratifikasi memiliki kemampuan untuk menampung warga komunitas yang terus bertambah tetapi realitas tersebut akan diikuti dengan meningkatnya gejala involusi. Lebih lanjut, meningkatnya gejala involusi akan meningkatkan problema kemiskinan dalam komunitas petani karena tingkat kehidupan (kesejahteraan) sebagian besar warga komunitas tersebut akan berada pada garis kemiskinan (hanya mampu bertahan hidup) atau bahkan berada di bawah garis kemiskinan (kelaparan). Sementara itu, persoalan kemiskinan petani yang terkait dengan ketidakmampuan mereka dalam melaksanakan tata cara produksi yang produktif perlu diatasi dengan peningkatan akses mereka dalam penguasaan modal produksi, baik berupa bahan/alat produksi maupun modal finansial. Dalam hal penguasaan bahan /alat produksi yang umumnya tidak diproduksi oleh para petani sendiri dan mereka harus membelinya, maka pemerintah harus mempunyai kebijakan yang mampu mengontrol penyediaan bahan/alat produksi tersebut sehingga dapat dikuasai para petani secara tepat waktu; tepat jumlah; serta dengan harga yang murah. Kemudian dalam hal peguasaan modal finansial yang diperlukan para petani untuk menguasai baha/alat produksi non-lahan, pemerintah perlu mempunyai program penyediaan kredit dengan bunga sangat ringan atau bahkan tanpa bunga. Selain itu, penyaluran kredit tersebut harus disertai dengan persyaratan yang tidak bersifat diskriminatif sehingga lapisan petani pemilik-sempit miskin dapat ikut sebagai peserta. Manakala program penyaluran kredit modal finansial hanya diterima oleh para petani pemilik kaya, maka program tersebut hanya akan menyuburkan mekanisme-mekanisme penguasaan sumberdaya agraria dan/atau hubungan sosial produksi yang semakin tertutup. Lebih lanjut, diterapkannya mekanismemekanisme tersebut akan memperkuat jalan bagi berlangsungnya proses pembentukan masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi. Selain adanya kebijakan program pembangunan perkebunan yang sungguhsungguh ditujukan bagi petani pemilik sempit - miskin dan tunakisma miskin, sebaiknya para petani dimaksud juga memperoleh kesempatan utnuk berpartisipasi penuh dalam merencanakan dan melaksanakan program yang diperuntukkan bagi mereka. Kemudian dalam mengimplementasikan program tersebut, peran 256

12 kontrol pemerintah harus kuat. Dalam menjalankan fungsinya, para penyelenggara negara harus mengedepankan kemakmuran rakyat. Dengan demikian, program tersebut sungguh-sungguh diterima oleh para petani pemilik-sempit miskin dan tunakisma miskin, sehingga. implementasi program tersebut tidak berdampak pada peningkatan ketimpangan dalam pemilikan sumberdaya agraria.. Ditinjau dari sisi perbaikan struktur penguasaan sumber daya agraria, kebijakan pembangunan perkebunan yang memberikan prioritas penguasaan akses sumberdaya agraria kepada warga komunitas petani akan lebih baik dibanding kebijakan yang memberikan prioritas akses penguasaan sumberdaya agraria kepada perusahaan besar. Kebijakan yang terlalu memberikan prioritas kepada perusahaan besar akan melapangkan jalan bagi berlangsungnya proses pengkutuban komunitas petani menjadi dua lapisan yang terbelah, yaitu: penguasa lahan yang sangat kaya dan buruh tani tunakisma - miskin. Bila realitas sosial tersebut yang terjadi, maka realitas yang akan muncul kemudian adalah konflik petani yang berlangsung terus meneurus. 257

13 Barbaric Ekonomi Primitif (Ekstraktif) Perladangan Berpindah (Shifting Cultivation) Pertanian Menetap (Sedentary Cultivation) Penguasaan Sumberdaya Agraria Kolektif Penguasaan Sumberdaya Agraria Kolektif Privatisasi Penguasaan Sumberdaya Agraria Perorangan STRUKTUR MASYARAKAT AGRARIS : Stratifikasi dengan Pemilikan Sumberdaya Agraria yang Semakin Timpang Moda Produksi Non-kapitalis Moda Produksi Transisi DIFERENSIASI KESEJAHTERAAN PETANI : Kaya, Sedang, Miskin Masa Pra Kontemporer (sebelum Indonesia merdeka) Moda Produksi Kaptalis Masa Kontemporer (sejak Indonesia merdeka) STRATEGI AMPHIBIAN DALAM PRAKTEK MODA PRODUKSI Gambar Transformasi Moda Produksi dan Struktur Agraria serta Implikasinya Terhadap Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris dan Kesejahteraan dalam Komunitas Petani. (Berdasarkan Pengalaman di Sulawesi Tengah dan NAD) 258

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan kakao di Indonesia telah menjadi tumpuan masyarakat yang tinggal di pedesaan dalam memenuhi kelangsungan hidup (survival) dan membuat kehidupan yang lebih

Lebih terperinci

BAB VII DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS

BAB VII DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS BAB VII DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS 7.1. Bertambahnya Lapisan Petani serta Meningkatnya Pemilik Sempit dan Tunakisma Sebagaimana dikemukakan Sanderson (2003), masyarakat agraris adalah masyarakat

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key words : agricultural production system, agrarian structure, social structure, peasant community, cocoa ABSTRAK

ABSTRACT. Key words : agricultural production system, agrarian structure, social structure, peasant community, cocoa ABSTRAK TRANSFORMASI SISTEM PRODUKSI PERTANIAN DAN STRUKTUR AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP DIFERENSIASI SOSIAL DALAM KOMUNITAS PETANI (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Provinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI

TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam) UNDANG FADJAR SEKOLAH

Lebih terperinci

Ringkasan. 1. Pendahuluan. Undang Fadjar 2, M.T. Felix Sitorus 3, Arya Hadi Dharmawan 4, S.M.P. Tjondronegoro 5

Ringkasan. 1. Pendahuluan. Undang Fadjar 2, M.T. Felix Sitorus 3, Arya Hadi Dharmawan 4, S.M.P. Tjondronegoro 5 ISSN : 1978-4333, Vol. 02, No. 02 1 Perubahan Sistem Pertanian dan Munculnya Strategi Amphibian dalam Praktek Moda Produksi 1 (Studi Kasus pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Akhir tahun 70-an dan awal 80-an, Pemerintahan Orde Baru menggalakkan program transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi, Kalimantan,

Lebih terperinci

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. RINGKASAN FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi

Lebih terperinci

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat) Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II 2.1 Tinjauan Pustaka PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Perkebunan Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian non pangan yang tidak asing di Indonesia. Pengertian perkebunan 2 dalam Undang-undang

Lebih terperinci

Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1

Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1 ISSN : 1978-4333, Vol. 03, No. 01 1 Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1 Martua Sihaloho, Heru

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM ARAH PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PERTANIAN Oleh : Sri H. Susilowati

Lebih terperinci

U. Fadjar 1), M.T.F Sitorus 2), A.H. Dharmawan 2), dan S.M.P. Tjondronegoro 3) Ringkasan

U. Fadjar 1), M.T.F Sitorus 2), A.H. Dharmawan 2), dan S.M.P. Tjondronegoro 3) Ringkasan Pelita Bentuk Perkebunan struktur sosial 2008, komunitas 24 (3), 219 petani 240dan implikasinya terhadap diferensiasi kesejahteraan. Studi kasus pada komunitas petani kakao di sulawesi tengah dan nangroe

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Sumaryanto PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang 302 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai rumahtangga petani, harga bayangan pupuk, tenaga kerja dalam keluarga dan

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT Oleh: Mewa Arifin dan Yuni Marisa') Abstrak Membicarakan masalah kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung, berarti membicarakan distribusi

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN Oleh: Henny Mayrowani Tri Pranadji Sumaryanto Adang Agustian Syahyuti Roosgandha Elizabeth PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT Oleh: Memed Gunawan dan Ikin Sadikin Abstrak Belakangan ini struktur perekonomian masyarakat pedesaan Jawa Barat telah

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * Oleh : Aladin Nasution DISTRIBUSI PEMILIKAN TANAH PERTANIAN Pemilikan tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat pedesaan karena merupakan

Lebih terperinci

POLA PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN DI JAWA TIMUR*

POLA PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN DI JAWA TIMUR* POLA PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN DI JAWA TIMUR* Oleh: Hermanto POLA PEMILIKAN LAHAN Pola pemilikan lahan menggambarkan keadaan pemilikan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan

Lebih terperinci

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia Kebijakan Penguasaan Lahan (Land Tenure) : Pentingnya kebijakan land tenure bagi pertanian Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember www.adamjulian.net

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Program transmigrasi di usianya kurang lebih lima puluh tahun memberikan catatan tersendiri perihal keberhasilan dan kegagalannya. Tak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan program

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORI

BAB II PENDEKATAN TEORI BAB II PENDEKATAN TEORI 2.1. Perkembangan Moda Produksi dan Petani 2.1.1. Perkembangan Moda Produksi Secara umum, moda produksi merepresentasikan cara yang ditempuh masyarakat dalam melakukan proses produksi

Lebih terperinci

BAB V PERKEMBANGAN SISTEM PERTANIAN DI EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS

BAB V PERKEMBANGAN SISTEM PERTANIAN DI EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS BAB V PERKEMBANGAN SISTEM PERTANIAN DI EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS 5.1. Perkembangan Pertanian Menetap Padi Sawah dan Tanaman Perkebunan di Empat Komunitas Petani Kasus Di semua desa kasus, baik di Sulawesi

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 51 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 6.1 Keragaman Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mereka menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam atau

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM 2007-2015 Pendahuluan 1. Target utama Kementerian Pertanian adalah mencapai swasembada

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Dari uraian dan berbagai temuan serta hasil pengkajian dari temuan lapang di Indramayu dan Pontianak tersebut, secara sederhana dapat disajikan beberapa simpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan rejim ekonomi politik di Indonesia yang terjadi satu dasawarsa terakhir dalam beberapa hal masih menyisakan beberapa permasalahan mendasar di negeri ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang sangat tinggi, namun belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan agribisnis

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi 153 V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi rumahtangga pertanian yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting. Indonesia dikenal dengan negara yang kaya akan hasil alam, kondisi

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN. peningkatan produksi pangan dan menjaga ketersediaan pangan yang cukup dan

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN. peningkatan produksi pangan dan menjaga ketersediaan pangan yang cukup dan BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN Program ketahanan pangan diarahkan pada kemandirian masyarakat/petani yang berbasis sumberdaya lokal yang secara operasional dilakukan melalui program peningkatan produksi

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERDESAAN DAN DINAMIKA PENGHIDUPAN DESA (Perspektif Sosiologi Nafkah)

PEMBANGUNAN PERDESAAN DAN DINAMIKA PENGHIDUPAN DESA (Perspektif Sosiologi Nafkah) PEMBANGUNAN PERDESAAN DAN DINAMIKA PENGHIDUPAN DESA (Perspektif Sosiologi Nafkah) Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS Ketua Program S3 Ilmu Pertanian Sekolah Pascasarjana dan peneliti pada P3KM, Unhas Seminar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki jumlah penduduk nomor empat di dunia. Saat ini penduduk Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi PUSAT PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan agraris, dimana terdiri dari banyak pulau dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya bercocok tanam atau petani. Pertanian

Lebih terperinci

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai 163 BAB IX KESIMPULAN 9.1. Kesimpulan Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai mengenai status anak laki-laki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Menurut Wiradi (2008) dalam tulisannya tentang Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, istilah land tenure dan land tenancy sebenarnya merupakan

Lebih terperinci

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi SOSIOLOGI PERTANIAN: Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur Lambang Triyono Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email : dl@ub.ac.id Tujuan Pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pembangunan Pertanian Dalam memacu pertumbuhan ekonomi sektor pertanian disebutkan sebagai prasyarat bagi pengembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan dan hutan merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilang atau berkurangnya ketersediaan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tugas-tugas pada posisinya tersebut. Apabila kita berbicara tentang tugas-tugas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tugas-tugas pada posisinya tersebut. Apabila kita berbicara tentang tugas-tugas BAB II KAJIAN PUSTAKA Sebagai sebuah mekanisme yang terus berfungsi, masyarakat harus membagi anggotanya dalam posisi sosial yang menyebabkan mereka harus melaksanakan tugas-tugas pada posisinya tersebut.

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA Oleh : Bambang Irawan Adreng Purwoto Frans B.M. Dabukke Djoko Trijono PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 69 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian ini dimulai dengan pendapat Spencer dan Spencer (1993:9-10) menyatakan bahwa setiap kompetensi tampak pada individu dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi serta perubahan struktur sosial ekonomi

Lebih terperinci

REVITALISASI PERTANIAN

REVITALISASI PERTANIAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Revitalisasi pertanian dan pedesaan, merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upayanya mewujudkan pembangunan masyarakat Indonesia,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum dan Geografis Penelitian dilakukan di Desa Lebak Muncang, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Desa Lebak Muncang ini memiliki potensi yang baik dalam

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) 58 BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) Bab ini mendeskripsikan karakteristik demografi individu petani

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Dewa K. S. Swastika Herman Supriadi Kurnia Suci Indraningsih Juni Hestina Roosgandha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik dari faktor internal ataupun eksternal (Anonim, 2006a). Terkait dengan beragamnya

Lebih terperinci

PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN PERTANIAN DI PEDESAAN INDONESIA

PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN PERTANIAN DI PEDESAAN INDONESIA PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN PERTANIAN DI PEDESAAN INDONESIA Studi Kasus:,, dan Oleh : Yusmichad Yusdja Catatan Redaksi: Tulisan ini merupakan risalah umum dari hasil penelitian pengusahaan lahan pertanian

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN BAB VI LANGKAH KE DEPAN Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion 343 344 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion LANGKAH LANGKAH KEDEPAN Seperti yang dibahas dalam buku ini, tatkala Indonesia memasuki

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI,PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI, DAN KRISIS EKONOMI

PERTUMBUHAN EKONOMI,PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI, DAN KRISIS EKONOMI PERTUMBUHAN EKONOMI,PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI, DAN KRISIS EKONOMI Pertambahan jumlah penduduk setiap tahun akan menimbulkan konsekwensi kebutuhan konsumsi juga bertambah dan dengan sendirinya dibutuhkan

Lebih terperinci

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Adi Setiyanto PENDAHULUAN Tenaga kerja merupakan motor penggerak dalam pembangunan ekonomi. Tenaga kerja sebagai sumber daya

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jenis tanah yang subur. Berdasarkan karakteristik geografisnya Indonesia selain disebut sebagai negara

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL. Oleh :

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL. Oleh : LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL Oleh : Pantjar Simatupang Agus Pakpahan Erwidodo Ketut Kariyasa M. Maulana Sudi Mardianto PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR

SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR (Kasus Satu Desa ) Oleh MARYUNAIII NRP: 82087 FAKULTAS PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV DUKUNGAN POLITIK DAN KEBIJAKAN

BAB IV DUKUNGAN POLITIK DAN KEBIJAKAN BAB IV DUKUNGAN POLITIK DAN KEBIJAKAN 173 174 DUKUNGAN POLITIK DAN KEBIJAKAN Apabila dirunut ke belakang, arah dan pola pengembangan sektor pertanian sangat ditentukan oleh kebijakan rejim yang berkuasa.

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang masih

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang masih menghadapi sejumlah permasalahan, baik di bidang ekonomi, sosial, hukum, politik, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Teori Usahatani Menurut Soeharjo dan Patong (1973), usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN Oleh : Sumaryanto Sugiarto Muhammad Suryadi PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PERMASALAHAN PENYEDIAAN TANAH MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

KEBIJAKAN DAN PERMASALAHAN PENYEDIAAN TANAH MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN KEBIJAKAN DAN PERMASALAHAN PENYEDIAAN TANAH MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Iwan Isa Direktur Penatagunaan Tanah, BPN-RI PENDAHULUAN Produksi pangan dalam negeri menjadi unsur utama dalam memperkuat ketahanan

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Citapen Lokasi penelitian tepatnya berada di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN 5.1. Usia Usia responden dikategorikan menjadi tiga kategori yang ditentukan berdasarkan teori perkembangan Hurlock (1980) yaitu dewasa awal (18-40), dewasa madya (41-60)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan pada sektor pertanian. Di Indonesia sektor pertanian memiliki peranan besar dalam menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selain itu juga Indonesia merupakan negara agraris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konstruksi budaya patriarki yang masih mengakar kuat di Indonesia hingga saat ini, mengakibatkan posisi perempuan semakin terpuruk, terutama pada kelompok miskin. Perempuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting. Indonesia dikenal dengan negara yang kaya akan hasil alam, kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian subsektor perkebunan mempunyai arti penting dan strategis terutama di negara yang sedang berkembang, yang selalu berupaya: (1) memanfaatkan kekayaan

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. masa yang akan datang. Selain sebagai sumber bahan pangan utama, sektor pertanian

BAB I PENGANTAR. masa yang akan datang. Selain sebagai sumber bahan pangan utama, sektor pertanian 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang. Pertanian menjadi sektor primer sejak dahulu sebelum manusia mengembangkan sektor ekonomi. Pertanian telah menjadi pemasok utama sumber kehidupan manusia. Kondisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam pembangunan nasional karena sektor ini menyerap sumber daya manusia yang paling besar dan merupakan sumber

Lebih terperinci