VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI"

Transkripsi

1 VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Kesimpulan penelitian meliputi sumber konflik serta keterkaitan jejaring sosial dan konflik di pedesaan Saparua, diikuti dengan kesimpulan teoritik. Kesimpulan kemudian dilanjutkan dengan implikasi hasil penelitian secara teori dan praktis Kesimpulan Sumber Konflik di Saparua Konflik hak atas tanah antara negeri maupun batas-batas tanah antara sesama anak negeri berpeluang diarahkan menjadi konflik yang meluas dan berkepanjangan. Berbagai contoh telah diuraikan, bagaimana negeri Ulath dan Ouw mengalami konflik berkepanjangan sejak dahulu hingga saat ini akibat silang sengketa menyangkut batas tanah yang sebenarnya antara kedua negeri. Demikian pula bagaimana negeri Porto dan Haria yang juga sama-sama beragama Sarani, namun harus selalu dibayangi oleh kemungkinan konflik akibat perselisihan batas tanah. Bahkan saat konflik bernuansa agama telah berjalan dan berkepanjangan di Pulau Saparua, ternyata konflik tanah antara Porto dan Haria pun turut meramaikan suasana konflik di Saparua. Justru konflik tanah ini, lebih khas karena tidak terjadi antara negeri yang berbeda Agama, tetapi lebih sering terjadi antara negeri yang agamanya sama. Oleh karena itu, peran Lembaga Latupati sebagai Lembaga Adat di Saparua haruslah mendapat legitimasi lebih kuat apalagi dengan diterapkan Perda Nomor 128 Tahun 2006 tentang Pemerintah Negeri. Dengan demikian Lembaga Latupati diharapkan memberikan kontribusi-nya bagi upaya penyelesaian sengketa agrarian (tanah) antar negeri maupun memfasilitasi sengketa antara masing-masing anak negeri. Merujuk berbagai sumber sejarah, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di pedesaan Saparua memiliki sikap militansi yang tinggi, tetapi tetap agamis, penuh toleransi dan selalu mengedepankan hubungan kemanusiaan. Beberapa institusi adat seperti pela dan gandong misalnya, merupakan bukti betapa masyarakat Maluku sebelumnya memiliki sejumlah kearifan pengetahuan lokal untuk memelihara tertib sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Institusi yang dibentuk berdasarkan hubungan-hubungan kekerabatan baik geneologis maupun teritorial tersebut, mengandung makna aliansi yang memadukan perbedaan-perbedaan dalam suatu wadah persatuan. Maksudnya, persatuan yang terwujud secara tradisional, tidak menghilangkan identitas diri masing-masing kelompok sub-suku (yang umumnya

2 berbeda agama); sebaliknya, simbol-simbol perbedaan yang ada selalu digunakan mewarnai dan mendukung pola interaksi antar kelompok. Sikap militansi dan reaktif masyarakat asli di pedesaan Saparua, dibentuk oleh lingkungannya yang keras dengan teritorial yang terbatas, disamping adanya tradisi perang yang dimiliki. Sebagai sifat dasar, maka perkembangan baik agama Sarani maupun Salam tidak menghilangkan sikap yang militan, keras dan reaktif tersebut. Pada masa lalu, berbagai lembaga adat termasuk pela dan gandong, dapat berfungsi sesuai keinginan dan harapan warga masyarakat. Arti penting dari peranan lembaga tersebut khususnya lembaga pela dan gandong, disebabkan oleh 3 (tiga) hal: 1. Adanya potensi konflik antar kelompok yang menguasai dan bermukim pada wilayah-wilayah tertentu yang berbeda-beda. 2. Realita pola segregasi pemukiman (konsentrasi penduduk yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang sama), dan pemilahan sosial (social cleavages) yang jelas. 3. Pelestarian hubungan kekerabatan yang bersifat geneologis (gandong). Tidak berfungsinya lembaga pela dan gandong merupakan salah satu faktor yang ikut memperbesar peluang terjadinya konflik sosial secara terbuka. Jika dicermati dengan baik, pembentukan lembaga pela disamping mempunyai sejarahnya tersendiri, fungsional pula terhadap pola pengelompokan masyarakat secara teritorial (segregasi sub-etnik). Artinya, realitas social grouping di Maluku (terutama di Maluku Tengah termasuk Saparua) menunjukkan bahwa masyarakat umumnya tersegregasi menurut etnis (dan agama) dalam negeri masing-masing, yang kemudian disebut negeri Salam dan negeri Sarani (produk penjajahan Belanda). Meskipun kelompok masyarakat menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama, tetapi karena perbedaan agama yang dianut, maka salah satu kelompok memisahkan diri dan membangun pemukimannya sendiri. Contohnya Sirisori Salam dan Sirisori Sarani. Selain itu, ada pula pendatang yang menetap pada suatu negeri dan membangun pemukimannya berdasarkan segregasi agama dan membentuk dusun dalam wilayah administrasi negeri tertentu. Pola pemukiman sedemikian menunjukkan bahwa, walaupun terdapat kultur yang sama, tetapi orang Ambon terpecah kedalam dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok Salam dan kelompok Sarani. Disinilah letak pentingnya peran lembaga pela dan gandong sebagai savety valve untuk menjembatani perbedaan yang ada sekaligus meminimalkan kemungkinan

3 konflik antar kelompok sosial. Manajemen konflik yang merupakan ekspresi kearifan pengetahuan lokal ini dengan sendirinya impoten, karena: (1) panas pela sebagai lembaga mitra atau pendukung tidak berfungsi; (2) masuknya ideologi nation state; dan (3) kemerosotan kekuatan adat akibat dominasi pengaruh institusi agama sebagai institusi tandingan dalam sistem kepercayaan masyarakat. Konflik yang berawal di Ambon dapat menyebar ke Saparua, melalui jejaring sosial penyebaran informasi dibawa oleh pengungsi yang kembali ke Saparua karena kondisi ketidakamanan maupun ketidaknyamanan di lokasi pengungsian. Penyebaran informasi yang berisi penderitaan akibat konflik di Ambon, dikomunikasikan kepada kerabat dan tetangga saat mengungsi ke Saparua. Informasi tersebut kemudian menyebar melintas batas negeri namun antar komunitas seagama. Kenyataan demikian terjadi karena konflik Ambon telah bergeser menjadi konflik antar komunitas berbeda agama (antara Salam dan Sarani) yang ditunjang oleh faktor ekonomi, politik dan budaya. Penyebaran informasi antar komunitas seagama di Saparua membentuk jejaring sosial dengan persepsi yang sama, bahwa komunitass agama lain merupakan peneyebab penderitaan anggota komunitasnya masing-masing. Persepsi tersebut kemudian membentuk keinginan untuk bertindak membalaskan dendam kepada komunitas agama lain yang dianggap sebagai penyebab penderitaan. Tindakan yang diambil oleh kelompok yang saling berlawanan di Saparua, merupakan wujud dari tindakan sosial sebagai orientasi rasa kecewa dan dendam yang berkepanjangan. Dalam kondisi demikian, tindakan-tindakan sosial tersebut tidak lagi memperhitungkan rasionalitas kebersamaan sebelum konflik, tetapi rasionalitas yang ada hanyalah rasional berdasarkan kebenaran agama semata. Dengan demikian yang beragama lain, terpaksa harus menjadi korban akibat rasionalitas yang hanya mendasari pada kebenaran sendiri atas agamanya dan harus diterima oleh kelompok lain yang berbeda agama. Seperti diketahui, agama mempunyai salah satu ciri yaitu eksklusivisme. Penyebarluasan isu agama mendorong lahirnya sikap fanatik dan solider di kalangan sesama pemeluk agama. Ciri demikian memudahkan orang untuk mencari dan menyatukan diri ke dalam kelompoknya masing-masing. Penyatuan diri tersebut semakin menguat bilamana isu tersebut dipahami sebagai panggilan suci. Upaya menciptakan kesiagaan dan momentum konflik, ditunjang oleh berbagai isu operasional yang secara tidak langsung muncul dalam dakwah elit agama berupa :

4 1. Pelecehan terhadap keyakinan atau akidah salah satu agama. 2. Pelecehan terhadap simbol-simbol agama, 3. Intimidasi terhadap komunitas yang menganut salah satu agama tertentu. 4. Penyesatan informasi (dis-informasi) tentang suatu kejadian tertentu yang sebenarnya (mungkin) tidak terjadi, termasuk isu persiapan penyerangan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya pada waktu tertentu. Tentang kesan keterlibatan oknum aparat keamanan. Sesuai realitas lapangan, masalah ini paling tidak memiliki 2 (dua) versi : 1. Ada oknum aparat dari kesatuan TNI dan POLRI tertentu yang secara sadar dan sengaja terlibat atau melibatkan diri dalam membantu salah satu kelompok. Meskipun motif yang melatarbelakangi perilaku menyimpang demikian sulit diidentifikasi, tetapi yang pasti ialah cara tersebut sangat bertentangan dengan netralitas sikap dan posisi berdasarkan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. 2. Ada oknum aparat yang dengan setia dan jujur melaksanakan tugasnya secara tegas dan konsisten untuk menghalau massa dari kelompok tertentu, tetapi dinilai sebagai sikap keberpihakan Keterkaitan Jejaring Sosial dan Konflik Masalah perbedaan agama dan etnis cukup memberi peluang akan timbulnya konflik, namun kerentanan dari dalam masyarakat itu sendiri tidak mungkin sampai pada situasi yang menghancurkan diri sendiri tanpa mengalami tekanan yang cukup kuat dari luar. Selain itu, tekanan penyebaran konflik ke wilayah yang lebih luas sangat terasa melalui isu-isu yang menyesatkan juga didukung oleh informasi-informasi mutakhir dari kaum kerabat melalui jaringan komunikasi (telepon dan HP), maupun secara langsung ketika harus kembali ke negerinya di Saparua sebagai pengungsi atau sekedar mencari keamanan dari situasi keamanan yang tidak terkendali baik di Ambon maupun lokasilokasi sekitarnya. Dalam penyebaran konflik ini pula, tidak dapat dihindari terjadinya penggunaan simbol-simbol agama untuk membangkitkan sentimen agama. Kenyataan-kenyataan demikianlah yang menunjukkan keberadaan jejaring dalam konflik di Saparua. Konflik Saparua sebagai bagian konflik Ambon, sebenarnya tidak akan muncul jika ada upaya untuk menekan atau pun menghambat penyebaran konflik. Penanganan pengungsi juga menjadi sumber konflik baru di Saparua, akibat tidak tertanganinya pengungsi yang ada di kota Ambon menyebabkan mereka kembali

5 ke daerah asal di Saparua. Mereka menjadi penerus informasi yang berakibat pada keinginan untuk membalaskan dendam kepada komunitas lain yang kebetulan berbeda agama di Saparua. Faktor jejaring sosial dengan ikatan agama sebagai dampak konflik Ambon menjadi pendorong terjadinya konflik di pedesaan Saparua. Penyebaran informasi sebagai ekspresi jejaring sosial dari Ambon ke Saparua berhasil menggerakkan basis konflik bernuansa agama sehingga terjadi konflik berkepanjangan di Saparua. Ada perbedaan mendasar antara penyebab konflik di Saparua dengan Ambon, yaitu penyebab konflik Ambon tidak dapat dilihat dari satu faktor saja tetapi terutama oleh faktor ekonomi, politik, budaya dan agama sebagaimana hasil-hasil penelitian sebelumnya. Sementara di pedesaan Saparua, keberadaan jejaring sosial sebagai sumber penyebaran informasi menyebabkan masyarakat terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan agama. Penyebaran informasi dari korban konflik di luar Saparua ditambah informasi-informasi menyesatkan dari pihak yang tidak dapat diidentifikasi menjadi pendorong utama terjadinya konflik di pedesaan Saparua. Jejaring dengan ikatan ekonomi dan budaya menjadi tidak berfungsi bahkan sepertinya hilang dalam kehidupan masyarakat Saparua. Pela dan gandong serta jual beli komoditas pertanian tidak berjalan saat konflik. Jejaring sosial dengan ikatan agama, mendominasi penyebaran informasi yang mendorong terjadinya konflik terbuka dan berkepanjangan antar komunitas berbeda agama di Saparua. Ditunjang pula mengalirnya informasi secara terus menerus melalui aliran orang yang keluar masuk Saparua saat konflik terjadi di pedesaan Saparua. Kekuatan ikatan adat pela dan gandong seharusnya tetap diusung oleh Lembaga Latupati, sehingga penyebaran informasi yang menyebabkan konflik di pedesaan Saparua dapat diredam. Oleh karena itu penguatan Lembaga Latupati menjadi salah satu jalan penting untuk menguatkan kembali ikatan adat dan budaya yang pada dasarnya tidak memperhatikan perbedaan agama Kesimpulan Teoritik Akar kegagalan menjelaskan berbagai konflik yang terjadi, dikarenakan konflik lebih dilihat sebagai masalah yang berakar dari kesenjangan ekonomi, keadilan, atau pengalaman penindasan di masa orde baru. Tema-tema semacam inilah yang terusmenerus dibolak-balik. Secara umum teori-teori demikian cenderung melihat masyarakat sebagai the innocent party yang berhadapan dengan negara yang represif. Masyarakat tidak dianggap sebagai sebuah entitas yang problematik. Kalaupun ada

6 konflik atau persoalan dalam masyarakat, hal itu dipandang sebagai akibat penetrasi negara, atau cerminan dari manipulasi dan pertentangan para elite negara yang mengendalikan negara. Cara pandang demikian sering tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Misalnya, mengapa konflik konflik terjadi di Halmahera dan kepulauan Maluku umumnya termasuk di pedesaan Saparua yang justru basis ekonominya bersifat agraris, mengapa kota atau daerah yang mendapatkan tingkat represi militer justru tidak memperlihatkan gejala konflik daripada daerah-daerah yang selama ini kurang mendapatkan represi militer. Kegagalan mengemukakan masalah karena titik tolak yang tidak memadai ini haruslah diganti dengan titik tolak pada masyarakat itu sendiri. Negara menjadi sumber masalah, karena lemah dan hampir tidak berdaya untuk menjalankan perannya sebagai alat penegak hukum dan tata tertib. Dengan demikian pokok persoalan konflik sosial haruslah dilihat dalam masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, bringing the state back in haruslah digeser kepada bringing the society back in. Oleh karena itu pengungkapan fenomena demikian harus dimulai dengan mempelajari perilaku mikro, yaitu bagaimana perilaku individu bergerak menjadi perilaku kolektif (kelompok dan komunitas). Titik tolak ini diyakini bisa menjelaskan dengan lebih terinci mengapa konflik-konflik seperti terjadi di Saparua mengambil bentuk yang begitu keras dan berdarah. Kajian studi ini yang mengarah pada aras pedesaan dengan negeri sebagai basis, menunjukkan bahwa perlu disepakati keterkaitan antar aras mikro dan meso. Mengingat aktor pedesaan dengan berbagai keterbatasannya, walaupun memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri namun biasanya memiliki panutan yang dilihat sebagai dasar pengambilan keputusan tersebut. Kondisi keterpurukan masyarakat secara umum atau kelompoknya secara khusus, mampu memberikan masukan berarti bagi keputusan untuk berkonflik atau tidak. Keterlibatan individu dalam konflik, merupakan keputusan sendiri dan otonom namun tidak lepas dari pengaruh situasional sekitarnya. Keterpurukan kaum kerabatnya yang mengalami konflik dan harus mengungsi, juga meninggalnya salah satu anggota kerabat ternyata menjadi pemicu upaya pembalasan dendam sehingga menjadi konflik berkepanjangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial. Jejaring sosial berperan meredam dan menumbuhkan konflik sosial. Bahkan jejaring sosial berperan penting dalam manajemen konflik guna menyelesaikan akar permasalahan yang menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Jejaring sosial dalam konteks konflik di Saparua, diekspresikan melalui penyebaran informasi yang bergerak

7 antara kerabat dari luar Saparua yang mengalami korban konflik. Keterpurukan akibat konflik di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya, kemudian mneyebar ke daerah asal (Saparua) saat terjadi pengungsian maupun pengamanan diri. Penyebaran informasi mampu membentuk kelompok dengan berpersepsi sama, kemudian melebar menjadi komunitas berpersepsi sama. Persepsi yang terbentuk mengarah pada perbedaan idiologi, bahwa komunitas berbeda yang menjadi penyebab keterpurukan komunitas yang lain. Agama dipakai sepakai simbol untuk membedakan masing-masing komunitas. Fakta bahwa ada perbedaan ekonomi, politik, budaya dan agama tidak mampu menyebarkan konflik, jika informasi dan ditunjang isu-isu yang berkembang di Saparua tidak mengarah pada salah satu komunitas sebagai penyebab kesulitan yang dialami komunitas berbeda. Agama menjadi simbol karena lebih mudah membagi masyarakat dari aspek agama dibandingkan dengan aspek lainnya (ekonomi, politik dan budaya), sebab yang pasti hanya ada dua komunitas di Saparua yaitu Salam dan Sarani Implikasi Penelitian Kerangka teori konflik makro yang melihat kejadian konflik di pedesaan Saparua dengan hanya melihat sebagai akibat dari masalah kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, atau penindasan oleh negara ternyata tidak terlalu memadai untuk mengidentifikasi akar konflik. Oleh karena penerapan kerangka teori tersebut cenderung melihat masyarakat sebagai the innocent party yang berhadapan dengan negara yang represif. Konflik yang terjadi lebih dipandang sebagai akibat penetrasi negara, atau cerminan dari manipulasi dan pertentangan para elite negara yang mengendalikan negara. Kenyataannya, masyarakat di pedesaan Saparua bukanlah entiti sosial yang bebas dari problematik. Saparua bukan merupakan wilayah yang punya kesenjangan yang tajam sebagaimana kesenjangan yang terjadi di kota-kota besar. Pihak luar masyarakat Saparua dan negara memang tetap menjadi sumber masalah, tetapi bukan karena kuat dan dominan, tetapi justru karena lemah dan hampir tidak berdaya untuk menjalankan perannya sebagai alat penegak tertib sosial. Dengan demikian, dalam memahami konflik Pedesaan Saparua, asumsi dan kerangka dasar teori konflik makro perlu juga disempurnakan dengan teori perilaku. Artinya, persoalan konflik sosial juga perlu dilihat dari sisi masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, bringing the state back in perlu digeser kepada bringing the society back in.

8 Secara nasional, diperlukan adanya itikad baik secara politis untuk mengembangkan berbagai kebijakan publik yang konsisten dengan filosofi kebhinekaan untuk menghindar dari kemungkinan penyalahgunaan kebijakan dimaksud oleh oknum atau kelompok tertentu yang dengan sengaja mengeksploitasi paradigma mayoritasminoritas yang pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai politik aliran bagi kepentingan elit tertentu. Hal ini perlu dilakukan mengingat saat konflik terjadi di Saparua, pihakpihak yang berkompeten di bidang agama (pemimpin umat) ternyata kemudian secara tidak sengaja dapat menjadi sumber informasi saat memberikan khotbah atau dakwah di hadapan kelompok masing-masing. Fakta demikian tidak dapat dipungkiri mengingat, terbelahnya masyarakat Saparua menjadi dua kelompok Agama membuka peluang bagi upaya masing-masing kelompok Agama untuk memperkuat kelompoknya. Upaya memperkuat solidaritas anggota kelompok melalui dakwah ternyata menjadi solidaritas berlebihan dan berubah menjadi kebenaran kelompoknya sendiri, tanpa memikirkan bahwa kelompok lain juga merasakan kebenaran yang sama. Oleh karena itu, perlu diperhatikan lagi sebaiknya isi dakwah berisi cara-cara masing-masing Agama menjalankan Ibadahnya. Berkaitan dengan penyelesaian konflik, ternyata program yang dilakukan pemerintah tidak memperhatikan kehendak masyarakat yang berkonflik. Belum lagi, prosesnya cenderung bukan melakukan resolusi konflik, tetapi lebih berupa penanganan konflik yang bersifat instrumental semata. Oleh karenanya dalam resolusi konflik di pedesaan Saparua yang diperlukan adalah dua langkah yang berjalan sekaligus, yaitu penggunaan penyelesaian berasaskan penguatan budaya lokal yang sekaligus menguatkan kembali hubungan-hubungan agraris dalam konteks reforma agraria. Dengan langkah awal melakukan analisis keberadaan hak-hak atas sumberdaya alam dan lahan dari negeri dan batas-batasnya melalui pembicaraan adat Solusi konflik di tingkat lokal seharusnya tidak menyamaratakan perlakuan bagi kelompok masyarakat yang bermukim di desa dan di kota. Sebab, struktur sosial budaya, ekonomi dan politik wilayah pedesaan sangat berbeda dengan perkotaan. Bagi wilayah pedesaan Saparua, dapat dilakukan penguatan kembali lembaga-lembaga adat seperti Pela dan Gandong serta berbagai hubungan kekerabatan lainnya untuk menciptakan jejaring komunikasi dan interaksi yang intensif antar kelompok masyarakat di aras negeri. Upaya penguatan ini harus dilakukan secara menyeluruh, dalam arti menghidupkan pula berbagai lembaga pendukung lainnya seperti penyesuaian atas eksistensi sistim pemerintahan adat dan lembaga adat.

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Dasar Pemikiran : Hipotesis Pengarah Konflik menyebabkan keterpurukan dan cenderung mengarahkan masyarakat korban konflik kembali ke negeri asal sebagai bentuk jaminan keamanan

Lebih terperinci

Bab Tiga Belas Kesimpulan

Bab Tiga Belas Kesimpulan Bab Tiga Belas Kesimpulan Kehidupan manusia senantiasa terus diperhadapkan dengan integrasi, konflik dan reintegrasi. Kita tidak dapat menghindar dari hubungan dialektika tersebut. Inilah realitas dari

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA. Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria,

BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA. Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria, BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku, dalam bab I dan landasan teori pada bab II serta

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan 1 BAB VI KESIMPULAN Sebagaimana proses sosial lainnya, proselitisasi agama bukanlah sebuah proses yang berlangsung di ruang hampa. Ia tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang melingkupinya.

Lebih terperinci

Kesimpulan. Bab Sembilan

Kesimpulan. Bab Sembilan Bab Sembilan Kesimpulan Rote adalah pulau kecil yang memiliki luas 1.281,10 Km 2 dengan kondisi keterbatasan ruang dan sumberdaya. Sumberdayasumberdaya ini tersedia secara terbatas sehingga menjadi rebutan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. masih dipertahankan sampai saat ini. Bersama dangan adat yang lain, harta buang

BAB V PENUTUP. masih dipertahankan sampai saat ini. Bersama dangan adat yang lain, harta buang BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan lain: Berdasarkan analisis pada Bab IV maka yang dapat disimpulkan oleh Penulis, antara 1. Harta buang merupakan salah satu dari sekian banyak adat istiadat di Selaru yang

Lebih terperinci

Oleh: DEPUTI VI/KESBANG KEMENKO POLHUKAM RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KAB/KOTA SE INDONESIA

Oleh: DEPUTI VI/KESBANG KEMENKO POLHUKAM RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KAB/KOTA SE INDONESIA Oleh: DEPUTI VI/KESBANG KEMENKO POLHUKAM RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KAB/KOTA SE INDONESIA Jakarta, 6 Oktober 2016 VISI KABINET KERJA: TERWUJUDNYA INDONESIA YANG BERDAULAT, MANDIRI DAN BERKEPRIBADIAN BERLANDASKAN

Lebih terperinci

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran yang berarti sifat/sikap menenggang (menghargai,

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN Ir. Sunarsih, MSi Pendahuluan 1. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki struktur masyarakat majemuk dan multikultural terbesar di dunia. Keberagaman budaya tersebut memperlihatkan

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

Bab Satu Pendahuluan. Ciptaan: NN.

Bab Satu Pendahuluan. Ciptaan: NN. Bab Satu Pendahuluan Hela Rotan 1 Hela hela rotan e rotan e tifa jawa, jawa e babunyi Reff, rotan, rotan sudah putus sudah putus ujung dua, dua bakudapa e. Ciptaan: NN. Syair lagu di atas mengingatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konflik menjadi fenomena yang seakan menjadi biasa dalam masyarakat Indonesia. Kondisi Negara Indonesia dengan segala macam kemajemukan dan heterogenitas.

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kerukunan umat beragama merupakan dambaan setiap umat, manusia. Sebagian besar umat beragama di dunia, ingin hidup rukun, damai dan tenteram dalam menjalankan

Lebih terperinci

KONFLIK AGAMA. Thomas Santoso

KONFLIK AGAMA. Thomas Santoso KONFLIK AGAMA Thomas Santoso Latar Belakang : Mitos kerukunan umat beragama Percepatan perusakan tempat ibadah secara nyata Pemetaan perusakan tempat ibadah Laju pertumbuhan umat beragama Indeks heterogenitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi perpustakaan umum dalam menciptakan modal sosial di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Potensi perpustakaan umum dalam menciptakan modal sosial di seluruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perpustakaan umum dalam menciptakan modal sosial di seluruh lapisan masyarakat didukung oleh prinsip dasar yang dimilikinya, yaitu keterbukaan, tidak diskriminatif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan memiliki banyak suku yang berada diseluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Aceh sampai

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. Transformasi institusi yang terjadi di Papua merupakan konsekuensi dari

BAB V. Penutup. Transformasi institusi yang terjadi di Papua merupakan konsekuensi dari BAB V Penutup A. Kesimpulan Transformasi institusi yang terjadi di Papua merupakan konsekuensi dari peberlakuan otonomi khusus. Otonomi khusus Papua merupakan respon dari Pemerintah Pusat untuk menjawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi etnis, bangsa yang kaya dengan keanekaragaman suku bangsa

Lebih terperinci

28 Oktober 1928, yaitu sumpah pemuda. Waktu itu, sejarah mencatat betapa masingmasing

28 Oktober 1928, yaitu sumpah pemuda. Waktu itu, sejarah mencatat betapa masingmasing ==============dikirim untuk Harian Kedaulatan Rakyat============== Semangat Sumpah Pemuda, Masihkah Diperlukan? Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd HARI ini bangsa dan rakyat Indonesia memperingati

Lebih terperinci

VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK

VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK Masyarakat pedesaan Saparua melakukan pemasaran komoditas pertanian khususnya sagu sebagai makanan pokok melalui berbagai cara. Salah satu cara pemasaran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang begitu unik. Keunikan negara ini tercermin pada setiap dimensi kehidupan masyarakatnya. Negara kepulauan yang terbentang dari

Lebih terperinci

STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA MASYARAKAT MAJEMUK MEMILIKI SUB STRUKTUR DENGAN CIRI YANG SANGAT BERAGAM SEHINGGA DISEBUT MAJEMUK

STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA MASYARAKAT MAJEMUK MEMILIKI SUB STRUKTUR DENGAN CIRI YANG SANGAT BERAGAM SEHINGGA DISEBUT MAJEMUK STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA MASYARAKAT MAJEMUK MEMILIKI SUB STRUKTUR DENGAN CIRI YANG SANGAT BERAGAM SEHINGGA DISEBUT MAJEMUK MASING-MASING SUB STRUKTUR BERJALAN DENGAN SISTEMNYA MASING-MASING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan di Indonesia pluralitas agama merupakan realitas hidup yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun. Di negeri ini semua orang memiliki kebebasan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 pun tidak lepas dan luput dari persoalan yang berkaitan dengan ketahanan wilayah karena dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak bulan Juni 2005 pemilihan kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan

Lebih terperinci

IDENTITAS NASIONAL. Februl Defila Yola Sri Wahyuni Wahyu Rahma Dahlia Novita Wahyuli Windy Violita

IDENTITAS NASIONAL. Februl Defila Yola Sri Wahyuni Wahyu Rahma Dahlia Novita Wahyuli Windy Violita IDENTITAS NASIONAL Februl Defila Yola Sri Wahyuni Wahyu Rahma Dahlia Novita Wahyuli Windy Violita Kata identitas berasal dari kata identity berarti ciri-ciri, tanda, atau sesuatu yang membedakannya dengan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Bab ini merupakan penutup dari berbagai data dan pembahasan yang. telah dilakukan pada bagian sebelumnya yang pernyataannya berupa

BAB VI PENUTUP. Bab ini merupakan penutup dari berbagai data dan pembahasan yang. telah dilakukan pada bagian sebelumnya yang pernyataannya berupa 282 BAB VI PENUTUP Bab ini merupakan penutup dari berbagai data dan pembahasan yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya yang pernyataannya berupa kesimpulan dan saran yang diperlukan. A. Kesimpulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu Etnisitas adalah isu yang sangat rentan menjadi komoditi politik pada setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja dimobilisasi dan dimanipulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari gambaran demografi bahwa terdapat 726 suku bangsa dengan 116 bahasa daerah dan terdapat 6 (enam) jenis agama.(koran Tempo,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Interaksi sosial pasca konflik yang terjadi di Maluku perlu mendapat perhatian

BAB V PENUTUP. Interaksi sosial pasca konflik yang terjadi di Maluku perlu mendapat perhatian BAB V PENUTUP Interaksi sosial pasca konflik yang terjadi di Maluku perlu mendapat perhatian khusus dari semua aspek yang ada, baik itu masyarakat maupun pemerintahan, walaupun pada saat ini telah tercipta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam kehidupannya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada diri manusia juga terdapat

Lebih terperinci

Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan

Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan PERTEMUAN KE 2 1 Identitas Nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia 101 BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Fokus utama dari bab ini adalah menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini berisi jawaban yang dapat ditarik dari pembahasan dan

Lebih terperinci

V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA

V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA Konflik di pedesaan Saparua sejak awal kemerdekaan bersumber pada sengketa batas tanah antar warga satu negeri dan batas tanah antar negeri. Konflik batas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut, BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dari analisis yang telah dilakukan terkait resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang guna mengatasi konflik di Sampit,

Lebih terperinci

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160906163356-21-156465/problem-papua-dan-rapuhnya-relasi-kebangsaan/ Arie Ruhyanto, CNN Indonesia Kamis, 15/09/2016 08:24

Lebih terperinci

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH Pendahuluan ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH Konflik etnik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (Kalteng) terjadi pada Febuari 2001. Akhir dari konflik ini lebih merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era global, plural, multikultural seperti sekarang setiap saat dapat saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat terbayangkan dan tidak terduga sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang unik. Bali dipandang sebagai daerah yang multikultur dan multibudaya. Kota dari provinsi Bali adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah saat ini merupakan ruang otonom 1 dimana terdapat tarik-menarik antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PRUSEDUR PENCEGAHAN KONFLIK, PENGHENTIAN KONFLIK DAN PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kawasan Gunung Jati sebagai suatu tempat terjadinya interaksi dalam masyarakat suku Muna, memiliki karakteristik yang khas dari masing-masing masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik 1. Pengertian Konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan dalam kehidupan manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Fenomena ini misalnya terlihat pada kasus penganut ajaran Sikh yang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Fenomena ini misalnya terlihat pada kasus penganut ajaran Sikh yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengakuan terhadap 6 agama resmi di Indonesia membawa dampak tersendiri bagi penganut agama yang tidak termasuk dalam kategori agama yang diakui tersebut.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari segala dimensi. Sebagai sebuah bangsa dengan warisan budaya yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dari segala dimensi. Sebagai sebuah bangsa dengan warisan budaya yang 1 A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia yang menjadi negara kepulauan, mempunyai kemajemukan dari segala dimensi. Sebagai sebuah bangsa dengan warisan budaya yang masih mengakar dalam perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1.Latar Belakang. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah, sebab tanah

BAB I PENGANTAR. 1.1.Latar Belakang. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah, sebab tanah 1 BAB I PENGANTAR 1.1.Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah, sebab tanah mempunyai arti dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tanah tidak hanya bernilai ekonomis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat). BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1 Identifikasi Masalah Manusia entah sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dalam lingkup kehidupannya. Manusia akan selalu berhadapan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal BAB VI KESIMPULAN Pada sebuah kondisi masyarakat multikultural di mana berbagai kelom pok masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya

Lebih terperinci

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia dalam interaksi berbangsa dan bernegara terbagi atas lapisanlapisan sosial tertentu. Lapisan-lapisan tersebut terbentuk dengan sendirinya sebagai

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR KONFLIK DI INDONESIA DAN MAKNA PANCASILA

TUGAS AKHIR KONFLIK DI INDONESIA DAN MAKNA PANCASILA TUGAS AKHIR KONFLIK DI INDONESIA DAN MAKNA PANCASILA Nama : AGUNG NOLIANDHI PUTRA NIM : 11.11.5170 Kelompok : E Jurusan : 11 S1 TI 08 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 ABSTRAK Konflik adalah sesuatu yang hampir

Lebih terperinci

ANALISIS PERMASALAHAN WILAYAH

ANALISIS PERMASALAHAN WILAYAH 3 ANALISIS PERMASALAHAN WILAYAH Deskripsi Singkat Topik : Pokok Bahasan Waktu Tujuan : MASALAH DAN POTENSI WILAYAH : 3 (tiga) kali tatap muka pelatihan selama 200 menit. : Untuk menanamkan pemahaman praja

Lebih terperinci

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DR. Wahiduddin Adams, SH., MA ** Pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari bersatunya komunitas adat yang ada di seluruh

Lebih terperinci

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.116, 2012 SOSIAL. Stabilitas Nasional. Konflik. Penanganan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5315) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu hubungan persaudaraan salam-sarane di Maluku. Tak pelak

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu hubungan persaudaraan salam-sarane di Maluku. Tak pelak BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Konflik Maluku merupakan rangkaian peristiwa kelam yang telah menjadi catatan tragis dan memilukan sepanjang sejarah anak negeri Seribu Pulau. Konflik dan kerusuhan

Lebih terperinci

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI Rusuh Ambon 11 September lalu merupakan salah satu bukti gagalnya sistem sekuler kapitalisme melindungi umat Islam dan melakukan integrasi sosial. Lantas bila khilafah

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Sentralisme pemerintahan yang telah lama berlangsung di negeri ini, cenderung dianggap sebagai penghambat pembangunan daerah. Dari sekian banyak tuntutan yang diperhadapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang demikian pesat telah membawa banyak perubahan budaya manusia. Dengan memanfaatkan perkembangan IPTEKS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Thailand merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari permasalahan konflik dalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Fenomena kebudayaan selalu hadir dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Seperti halnya Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman budaya

Lebih terperinci

MEMBANGUN INTEGRASI NASIONAL DENGAN BINGKAI BHINNEKA TUNGGAL IKA

MEMBANGUN INTEGRASI NASIONAL DENGAN BINGKAI BHINNEKA TUNGGAL IKA MEMBANGUN INTEGRASI NASIONAL DENGAN BINGKAI BHINNEKA TUNGGAL IKA Disusun oleh: Nama : Tuzara Adhelia Wibowo No. Absen : 31 Kelas : X MIA 2 SMA NEGERI 1 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2014 / 2015 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. isu maupun stereotip yang datang dari berbagai arah untuk mencoba membuat

BAB V KESIMPULAN. isu maupun stereotip yang datang dari berbagai arah untuk mencoba membuat BAB V KESIMPULAN Membicarakan kerusuhan antar etnis memiliki daya tarik unik yang mempengaruhi kita untuk terus mencari akar persoalanya. Di Manokwari kehidupan antara etnis sangat diwarnai dengan berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Sintang merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Malaysia khususnya Negara Bagian Sarawak. Kondisi ini

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang

BAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Bertolak dari pemaparan hasil penelitian dan penggkajian dengan menggunakan prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan organisasi politik namun sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mudah untuk dicapai. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mudah untuk dicapai. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemerdekaan yang saat ini dinikmati oleh bangsa Indonesia bukanlah usaha mudah untuk dicapai. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Eros Rosinah, 2013 Gerakan Donghak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Eros Rosinah, 2013 Gerakan Donghak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada abad ke-19, sebagian besar negara-negara di Asia merupakan daerah kekuasan negara-negara Eropa. Pada abad tersebut khususnya di negara-negara Asia yang

Lebih terperinci

Pengorganisasian * (Berbasis Komunitas)

Pengorganisasian * (Berbasis Komunitas) Pengorganisasian * (Berbasis Komunitas) Tulisan tentang pengorganisasian ini adalah berangkat dari pengalaman Yamajo dalam melakukan kerja. Pengorganisasian adalah alat untuk mencapai tujuan. Tujuan yang

Lebih terperinci

Oleh : STENLY UANG BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. telah menganut nilai-nilai demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahannya.

Oleh : STENLY UANG BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. telah menganut nilai-nilai demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahannya. IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENCALONAN PEMILIHAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN, KEPALA DESA, PERANGKAT DESA DAN KEPALA DUSUN DI KABUPATEN HALMAHERA BARAT.( SUATU

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 105 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran dari skripsi dengan judul GEJOLAK PATANI DALAM PEMERINTAHAN THAILAND (Kajian Historis Proses Integrasi Rakyat Patani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses penyusunan kebijakan publik pada saat ini cenderung mengalami pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih merupakan proses

Lebih terperinci

VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL

VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL RETHINKING & RESHAPING VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL OLEH : DR. MUHADJIR EFFENDY, M.AP. Disampaikan dalam Acara Tanwir Muhammadiyah 2009 di Bandar Lampung, 5 8 Maret 2009 1 Lingkup

Lebih terperinci

KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA

KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA 1 KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA Pengantar Membanjirnya warga etnik Madura yang berasal dari Kalimantan ke pulau Madura hingga mencapai 128.919 orang (OCHA, 2003) menimbulkan sejumlah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang

Lebih terperinci

SOLUSI PR ONLINE MATA UJIAN: SOSIOLOGI (KODE: S05)

SOLUSI PR ONLINE MATA UJIAN: SOSIOLOGI (KODE: S05) SOLUSI PR ONLINE MATA UJIAN: SOSIOLOGI (KODE: S05) 1. Jawaban: C Fungsi sosiologi diantaranya: Penelitian/menyediakan data Pembangunan/pengembangan Solusi pemecahan masalah 2. Jawaban: C Objek kajian sosiologi

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan BAB VI PENUTUP Setelah menjelaskan berbagai hal pada bab 3, 4, dan 5, pada bab akhir ini saya akan menutup tulisan ini dengan merangkum jawaban atas beberapa pertanyaan penelitian. Untuk tujuan itu, saya

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL Studi ini bertujuan meneliti penyebab dan dampak konflik antara

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP A. Simpul-Simpul

BAB VI PENUTUP A. Simpul-Simpul BAB VI PENUTUP A. Simpul-Simpul Sejauh ini peneliti telah memberikan ulasan terinci mengenai tema penelitian ini. Ada beberapa simpul yang dapat ditarik dari uraian tersebut, khususnya dalam menjawab terhadap

Lebih terperinci

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan 2016 2019 PUSKAMUDA Isu Strategis dalam Kerangka Strategi Kebijakan 1. Penyadaran Pemuda Nasionalisme Bina Mental Spiritual Pelestarian Budaya Partisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 William Chang, Berkaitan Dengan Konflik Etnis-Agama dalam Konflik Komunal Di Indonesia Saat Ini, Jakarta, INIS, 2002, hlm 27.

BAB I PENDAHULUAN. 1 William Chang, Berkaitan Dengan Konflik Etnis-Agama dalam Konflik Komunal Di Indonesia Saat Ini, Jakarta, INIS, 2002, hlm 27. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia yang akan selalu ada sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang seseorang masih hidup hampir mustahil

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Grafik 1. Area Bencana

Grafik 1. Area Bencana Untuk mendapatkan gambaran awal sejauh mana masyarakat Indonesia sadar akan isuisu lingkungan dan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam jangka panjang, pada penghujung tahun 2013, WWF-Indonesia

Lebih terperinci

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL II. TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL A. Konflik Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Jadi, konflik dalam

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem sosial budaya harus tetap berkepribadian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. sistem sosial budaya harus tetap berkepribadian Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Republik Indonesia adalah negara yang berazazkan Pancasila dengan beragam kebudayaan yang ada. Dengan sistem sosial kebudayan Indonesia sebagai totalitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan

Lebih terperinci

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL Industrialisasi menjadi salah satu strategi pembangunan ekonomi nasional yang dipilih sebagai

Lebih terperinci

BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS

BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS 17 BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS Landasan teori pada penelitian ini menggunakan teori Ralf Dahendrof. Karena, teori Dahendrof berhubungan dengan fenomena sosial masyarakat salah satunya adalah teori

Lebih terperinci

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di BAB II : KAJIAN TEORITIK a. Solidaritas Sosial Durkheim dilahirkan di Perancis dan merupakan anak seorang laki-laki dari keluarga Yahudi. Dia mahir dalam ilmu hukum filsafat positif. Dia terakhir mengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. identitas Indonesia adalah pluralitas, kemajemukan yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. identitas Indonesia adalah pluralitas, kemajemukan yang bersifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal jika berbicara tentang identitas Indonesia adalah pluralitas, kemajemukan yang bersifat multidimensional. Kemajemukan

Lebih terperinci

Caroline Paskarina. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Caroline Paskarina. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Caroline Paskarina Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Pemilu itu Apa? Secara prosedural, pemilu adalah mekanisme untuk melakukan seleksi dan rotasi kepemimpinan politik Secara

Lebih terperinci

Mencari Format Kerangka Kebijakan yang Ramah Bagi Masyarakat Lokal : Sebuah Diskusi Awal. Indriaswati Dyah Saptaningrum

Mencari Format Kerangka Kebijakan yang Ramah Bagi Masyarakat Lokal : Sebuah Diskusi Awal. Indriaswati Dyah Saptaningrum Mencari Format Kerangka Kebijakan yang Ramah Bagi Masyarakat Lokal : Sebuah Diskusi Awal Indriaswati Dyah Saptaningrum Pendahuluan Pada jamaknya, suatu kekhasan yang menjadi bagian dari identitas individu

Lebih terperinci