BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses penyusunan kebijakan publik pada saat ini cenderung mengalami pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih merupakan proses negosiasi dari berbagai sistem kebijakan (Bovaird, 2007: 846). Hal ini karena permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah tidak lagi dapat diatasi oleh pemerintah sendiri, diperlukan kerjasama dengan berbagai komponen yang ada serta menghilangkan batas organisasi dan sektoral (Getha-Taylor, 2007: 8). Kecenderungan tersebut juga dipengaruhi oleh berkembangnya pandangan post-positivistik yang menempatkan sistem nilai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses-proses analisis kebijakan (deleon and Vogenbeck, 2007: 12). Pendekatan konvensional dalam formulasi kebijakan melalui model teknokratis rasional tidak lagi mencukupi untuk mengatasi permasalahan sosial yang semakin kompleks (Lele, 2004; 242). Model teknokratis rasional mereduksi kebijakan publik sebagai proses dan hasil kerja teknis yang bersifat positivistik. Kebijakan publik disusun dan ditetapkan oleh para birokrat yang memiliki pengetahuan dan kemampuan tertentu. Implikasinya adalah proses formulasi kebijakan tersebut bersifat elitis dengan negara sebagai aktor utamanya. Hal ini melemahkan stakeholder lain sehingga pemerintahan akan menjadi otoriter dan represif (Pramusinto, 2006; 3). Berkembangnya masyarakat berjaringan (Haajer and Wagenaar, 2003: 1-2), berkembangnya demokrasi (Chamber, 2003: 308) dan kegagalan demokrasi 1

2 2 elit dalam mengemban amanah (O flynn, 2006: 1) turut mendorong perlunya pendekatan baru dalam proses formulasi kebijakan publik. Masyarakat berjaringan membuka ruang politis baru dimana kekuasaan tidak lagi terpusat pada negara, tetapi tersebar pada organisasi sosial yang berkembang di masyarakat dan memiliki pengaruh dalam formulasi kebijakan publik. Demikian juga praktek dan teori yang demokrasi terus berkembang menyebabkan nilai-nilai kebebasan, persamaan dan majority rule dalam demokrasi (liberal) dipertanyakan ulang. Hal ini terutama berkaitan dengan proses formulasi sebuah kebijakan lokal. Keinginan masyarakat untuk terlibat dalam proses formulasi kebijakan semakin menguat seiring berjalannya proses demokratisasi. Kegagalan para elit dalam memenuhi harapan masyarakat turut mendorong keinginan masyarakat untuk terlibat dalam proses formulasi kebijakan. Formulasi kebijakan tidak lagi cukup hanya dilakukan sendiri oleh negara, perlu melibatkan sebanyak mungkin stakeholder yang ada. Salah satu bentuk penyusunan kebijakan publik yang dapat mengakomodasi kecenderungan di atas adalah model deliberatif. Model deliberatif menawarkan sebuah formulasi kebijakan publik yang didasarkan pada proses komunikasi yang adil dan seimbang antar stakeholder. Proses komunikasi memainkan peran yang sangat penting dalam model deliberatif. Komunikasi harus dilakukan dalam kerangka dialog autentik (Innes and Booher, 2003: 37-46). Dalam dialog autentik para peserta menyadari bahwa setiap peserta memiliki kepentingan dan kepentingan tersebut dapat berbeda namun ada keterkaitan antar

3 3 kepentingan tersebut. Keterkaitan kepentingan stakeholder dapat mendorong pencarian solusi bersama yang saling menguntungkan. Kebijakan deliberatif bertujuan untuk menigkatkan legitimasi sebuah keputusan bersama, menguatkan perspektif publik dalam setiap isu publik, meningkatkan rasa saling menghargai dan pemahaman bersama dalam proses penyusunan kebijakan (Gutman and Thompson, 2004: 10-12). Kebijakan deliberatif ini merupakan turunan dari praktek demokrasi deliberatif. Menurut Hardiman (2009: 19) demokrasi deliberatif sangat sesuai dengan kondisi di Indonesia pada saat ini. Hal ini karena Indonesia sedang mengalami proses demokratisasi dan dihadapkan terhadap berbagai konflik. Demokrasi deliberatif menyediakan standar normatif dalam masa transisi dari situasi konflik ke dalam proses demokratisasi (O flynn, 2006: 4). Pendekatan konvensional yang menempatkan negara sebagai aktor utama dalam penyusunan kebijakan publik juga terjadi dalam bidang kehutanan di Indonesia. Hal ini terlihat dalam pendekatan pengelolaan sumber daya hutan yang menggunakan paradigma state-base. Kebijakan pengelolaan hutan dalam paradigma state-base disusun dan ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah sebagai perwakilan pemerintah pusat melaksanakan seluruh kebijakan pengelolaan hutan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang juga ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kebijakan yang dihasilkan sangat sentralistik, dinas kehutanan di daerah berfungsi sebagai pelaksana kebijakan tanpa bisa merubah atau menyesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat di daerah.

4 4 Menurut Awang (2003; 30) kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang sentralistik merupakan akibat dari mono-interpretasi pemerintah atas hak dan wewenang pengelolaan sumber daya alam oleh negara. Mono-interpretasi ini menafikan keberadaan stakeholder lain dalam pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya alam. Dengan demikian kebijakan yang dihasilkan sangat kental oleh kepentingan pemerintah pusat. Sebagai contoh dapat dilihat pada kebijakan pemerintah untuk memberikan hak pengelolaan hutan kepada para invenstor asing mulai tahun Kebijakan ini diambil sebagai respon terhadap permasalahan krisis ekonomi, kemiskinan, dan tingkat inflasi yang tinggi pada awal era orde baru. Investor pemegang HPH sampai dengan tahun 1989 mencapai 572 perusahaan yang mengelola kurang lebih 64 juta hektar hutan alam (Awang, 2003; 6). Sistem pengelolaan hutan state-base ini lebih berorientasi pada aspek ekonomi dari pada aspek ekosistem hutan maupun aspek kemasyarakatan. Hal ini mengakibatkan konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan pengusaha (investor) maupun antara masyarakat dan negara (Awang, 2006: 8-17; Yasmi, 2007: 23; Wibowo et al., 2009: 2; Nugraha dan Murtijo, 2005: 123). Selain itu juga mengakibatkan kerusakan sumber daya hutan. Luas hutan yang rusak akibat kebijakan HPH mencapai 48 juta hektar. Pendekatan sentralistik seperti di atas juga terjadi dalam pengelolaan cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada era orde baru cendana dikuasai oleh negara (Pemerintah Daerah Provinsi NTT). Pemerintah Daerah Provinsi NTT menetapkan peraturan daerah yang mengatur pengelolaan cendana di NTT sehingga manfaat ekonomi cendana sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah

5 5 daerah. Pengelolaan cendana lebih mengedepankan aspek ekonomi sehingga cendana mampu menyumbang Pendatan Asli Daerah (PAD) dalam jumlah yang banyak. Sumbangan cendana terhadap PAD Provinsi NTT pada kurun waktu 1990 sampai dengan tahun 1998 rata-rata mencapai 25 % per tahun (BanoEt, 2001: 471). Sumbangan cendana terhadap PAD Provinsi NTT tertinggi pada tahun 1990/1991 sebesar 40 % dari total PAD (Suripto, 1992: 15). Hal ini bisa tercapai dengan kebijakan penguasaan cendana yang dimonopoli oleh pemerintah 1. Pengelolaan cendana yang sentralistik dan menitikberatkan aspek ekonomi ini mengakibatkan eksploitasi yang mengabaikan aspek kelestarian sehingga potensi cendana terus mengalami penurunan. Hasil inventarisasi Dinas Kehutanan Provinsi NTT pada tahun 1990 terdapat pohon namun pada tahun 1998 tinggal pohon (Darmokusumo et al., 2001: 509). Selain mengakibatkan penurunan potensi cendana, kebijakan pengelolaan cendanan yang dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi NTT mengakibatkan sikap apatis masyarakat terhadap cendana (Rahayu et al., 2002: 23; Pello, 2001: 505). Masyarakat enggan untuk mengembangkan cendana karena seluruh hasil (nilai ekonomi) diambil oleh pemerintah. Meskipun cendana tersebut tumbuh di lahan milik masyarakat dan dipelihara oleh masyarakat, cendana tersebut tetap merupakan hak milik Pemerintah Daerah Provinsi NTT. 1 Salah satu Peraturan Daerah tentang Cendana yang pernah berlaku adalah Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 16 Tahun 1986 tentang Cendana. Pasal 2 ayat 1 Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 16 Tahun 1986 tentang Cendana menyatakan bahwa Pemerintah daerah provinsi menguasai semua cendana baik yang berupa tumbuhan hidup ataupun mati maupun potongan, belahan, kepingan, akar yang belum diolah baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam Daerah Provinsi NTT.

6 6 Setelah bertahun-tahun dikuasai oleh pemerintah daerah provinsi maka pasca reformasi pengelolaan cendana diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Kabupaten TTS menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana. Perubahan mendasar Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana dibandingkan dengan Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 16 Tahun 1986 adalah adanya pengakuan kepemilikan cendana oleh masyarakat. Kepemilikan cendana oleh masyarakat diakui pemerintah jika cendana tersebut tumbuh secara alami maupun ditanam di lahan milik masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi Pohon cendana yang tumbuh secara alamiah dan atau dibudidayakan di atas tanah milik perorangan, kelompok adat dan Badan Hukum lainnya menjadi milik/dikuasai perorangan kelompok adat serta Badan Hukum tersebut. Meskipun peraturan daerah telah dirubah sebagian besar masyarakat tetap merasa trauma terhadap pengelolaan cendana oleh pemerintah, inisiatif pengembangan cendana oleh masyarakat belum berkembang secara masif dan mekanisme tata usaha kayu cendana masih belum efektif dan efisien. Sepuluh tahun pasca penetapan Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana, potensi cendana di lapangan belum menampakkan perbaikan. Hasil inventarisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten TTS tahun 2010 di 23 desa di Kabupaten TTS tercatat pohon dengan diameter antara 20 cm s/d 100 cm. Masih jauh dibandingkan dengan hasil inventarisasi pada tahun 1998 yang sebesar pohon (Darmokusumo et al., 2001: 509).

7 7 Formulasi Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan trauma masyarakat terhadap pengelolaan cendana pada masa lalu, ancaman kepunahan cendana dan penurunan sumbangan cendana terhadap PAD. Selain itu formulasi peraturan daerah tersebut secara yuridis merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Kehutanan Kepada Daerah dan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 2. Lele (2004; 247) merekomendasikan transformasi kebijakan publik di Indonesia khususnya dalam praktek formulasi kebijakan. Rekomendasi tersebut adalah reorientasi dan reformulasi peran negara, otonomi daerah, dan pemahaman bahwa formulasi kebijakan merupakan proses dinamis yang disertai upaya kritis terus menerus. Selanjutnya dijelaskan bahwa negara seharusnya berperan sebagai katalisator, lebih banyak berperan sebagai pendengar bukan pembicara. Reorientasi dan reformulasi peran negara dapat dimulai dengan menghidupkan dialog yang komunikatif antar stakeholder kebijakan dan menempatkan dimensi intersubjektif secara layak dalam proses dialog tersebut. Hal ini sejalan dengan pendekatan kebijakan deliberatif yang menempatkan proses dialog autentik antar stakeholder dalam penyusunan sebuah kebijakan. Innes and Booher (2003: 37-46) menyatakan bahwa dialog autentik didasarkan pada kesadaran bahwa peserta dialog memiliki beragam kepentingan dan kepentingan tersebut saling terkait/tergantung. Peserta dialog hurus jujur 2 Pada tahun 2004 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten.

8 8 dalam menyampaikan kepentingannya dan benar-benar menggambarkan kepentingan kelompok mereka, jika peserta dialog tersebut mewakili sebuah kelompok. Hal ini harus didukung kondisi yang menjamin peserta dialog untuk bebas mengeluarkan pendapat. Keberagaman kepentingan merupakan hal yang wajar. Peserta dialog harus mau belajar untuk memahami kepentingan peserta lain dan saling belajar untuk menemukan keterkaitan antara kepentingan yang beragam yang mereka miliki. Ketika peserta dialog memahami keterkaitan kepentingan mereka maka peserta dialog akan secara sukarela mencari solusi bersama bagi permasalahan mereka. Namun jika ada dominasi salah satu peserta dialog maka dialog dalam proses formulasi kebijakan tidak akan autentik sehingga kebijakan yang dihasilkan kental dengan kepentingan peserta dialog yang dominan. Hal ini mengakibatkan kebijakan tersebut akan menghadapi perlawanan dan kegagalan dalam implementasinya. Penyusunan kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terdiri dari tahap agenda setting, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan terakhir adalah penilaian kebijakan (Dunn, 2003: 25). Secara linear setiap tahap dalam penyusunan kebijakan akan mempengaruhi tahap selanjutnya. Implementasi dan kinerja sebuah kebijakan publik dipengaruhi oleh proses formulasi kebijakan publik tersebut (Krott, 2005: 278; Nugroho, 2009: 521; Putra, 2003: 49-50). Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana merupakan kebijakan yang diambil Pemerintah Kabupaten TTS untuk mengatasi permasalahan pengelolaan cendana yang ada. Namun jika kebijakan

9 9 tersebut disusun berdasarkan mono-interpretasi pemerintah, maka menjadi wajar jika kebijakan tersebut tidak mampu mengatasi permasalahan pengelolaan cendana yang ada. Hal ini karena kepentingan dan persepsi masyarakat tidak terakomodasi dalam kebijakan yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut maka menarik untuk mengevaluasi proses formulasi kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana dalam perspektif kebijakan deliberatif terutama dalam aspek dialog autentik Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah: Apakah terjadi dominasi negara dalam proses formulasi Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana? Kajian dilaksanakan menggunakan perspektif kebijakan deliberatif, sehingga perumusan masalah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana proses formulasi Peraturan Daerah Kebutapen TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana dilaksanakan? Apakah terjadi dialog autentik dalam proses tersebut? 2. Apa kepentingan masyarakat terhadap cendana dan sejauh mana kepentingan tersebut diakomodasi dalam Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001?

10 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan dan pertanyaan penelitian di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Memperoleh data dan penjelasan evaluatif terhadap proses formulasi Peraturan Daerah Kabupaten TTS Nomor 25 Tahun 2001 tentang Cendana dalam perspektif kebijakan deliberatif. 2. Merumuskan rekomendasi kebijakan tentang cendana yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat dan mendorong peningkatan pendapatan daerah Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis maupun teknis sebagai berikut: 1. Secara teoritis penelitian ini dapat memberi sumbangan bagi demokrasi pengelolaan hutan melalui pengembangan bentuk kebijakan deliberatif dalam pengelolaan hutan di daerah. Pengembangan bentuk kebijakan didasari pemahaman pelunya peran serta dan persepsi masyarakat dalam penyusunan kebijakan yang mempengaruhi kepentingan masyarakat. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan penyempurnaan kebijakan pengelolaan cendana di daerah sehingga peranserta masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan cendana meningkat.

BAB VII PENUTUP. perekonomian yang cukup tinggi serta akan menjadikan Bali sebagai salah satu

BAB VII PENUTUP. perekonomian yang cukup tinggi serta akan menjadikan Bali sebagai salah satu BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Rencana reklamasi Teluk Benoa Bali awalnya menjanjikan peningkatan perekonomian yang cukup tinggi serta akan menjadikan Bali sebagai salah satu destinasi wisata terbaik di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Cendana (Santalum album L.) merupakan tumbuhan endemik/asli dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan terkenal sebagai komoditi yang mahal dan mewah. Cendana di NTT merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari organisasi tingkat atas kepada tingkat bawahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan atau hutan tropis yang cukup luas di dunia. Kawasan hutan di Indonesia mencapai ±137,09 Juta ha

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya penggunaan hutan dan beragamnya alih fungsi hutan di Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak gelombang reformasi bergulir wacana yang berkembang di kalangan

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak gelombang reformasi bergulir wacana yang berkembang di kalangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak gelombang reformasi bergulir wacana yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia belum c berubah secara signifikan, yaitu meliputi isu demokratisasi, disintegrasi

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Pada bagian ini diuraikan kesimpulan, implikasi dan rekomendasi berdasar hasil penelitian yang telah dilakukan. 6.1. Kesimpulan Berdasarkan temuan-temuan dan analisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah. Karena otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah. Karena otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada kenyataannya, otonomi daerah tidak bisa diserahkan begitu saja pada pemerintah daerah. Karena otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. Transformasi institusi yang terjadi di Papua merupakan konsekuensi dari

BAB V. Penutup. Transformasi institusi yang terjadi di Papua merupakan konsekuensi dari BAB V Penutup A. Kesimpulan Transformasi institusi yang terjadi di Papua merupakan konsekuensi dari peberlakuan otonomi khusus. Otonomi khusus Papua merupakan respon dari Pemerintah Pusat untuk menjawab

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN BAB VI LANGKAH KE DEPAN Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion 343 344 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion LANGKAH LANGKAH KEDEPAN Seperti yang dibahas dalam buku ini, tatkala Indonesia memasuki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak bisa dilepaskan dari peranan sekolah sebagai wadah penggemblengan generasi penerus, dan peranan pendidik sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan,yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut boleh dirasakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Laporan Kuliah Kerja Lapangan. dalam rangka mencapai sebuah kestabilan. Sehingga setiap aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Laporan Kuliah Kerja Lapangan. dalam rangka mencapai sebuah kestabilan. Sehingga setiap aktivitas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan Kuliah Kerja Lapangan Proses perencanaan merupakan sebuah proses yang dilakukan dalam rangka mencapai sebuah kestabilan. Sehingga setiap aktivitas yang ada

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk melanjutkan

Lebih terperinci

UPAYA MEMPERLUAS KAWASAN EKONOMIS CENDANA DINUSA TENGGARA TIMUR

UPAYA MEMPERLUAS KAWASAN EKONOMIS CENDANA DINUSA TENGGARA TIMUR Edisi Khusus Masalah Cendana NTT Berita Biologi, Volume 5, Nomor 5, Agustus 2001 UPAYA MEMPERLUAS KAWASAN EKONOMIS CENDANA DINUSA TENGGARA TIMUR Sundoro Darmokusumo, Alexander Armin Nugroho, Edward Umbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan Pulau Jawa yang didominasi oleh bentang lahan karst dengan keadaan tapak yang cukup bervariasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kebijakan pembangunan di Indonesia dalam menanggulangi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kebijakan pembangunan di Indonesia dalam menanggulangi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan pembangunan di Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan, mengalami pergeseran paradigma dari masa ke masa. Konsep pertumbuhan yang menjadi ujung tombak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 jo Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan desa secara yuridis formal diakui dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

Kuliah 2 Luas Lingkup dan Perkembangan Studi Implementasi

Kuliah 2 Luas Lingkup dan Perkembangan Studi Implementasi Kuliah 2 Luas Lingkup dan Perkembangan Studi Implementasi What Ever Happened to Policy Implementation? An Alternative Approach By Peter and Linda deleon Journal of Public Policy Administration Research

Lebih terperinci

PERAN PERENCANAAN TATA RUANG

PERAN PERENCANAAN TATA RUANG PERAN PERENCANAAN TATA RUANG DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDRA BUDIMAN SYAMWIL 1 Spatial Planning Specialist November, 2003 Tata Ruang di Indonesia merupakan produk Sistem Tata Ruang Nasional yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan temuan dan analisa yang ada penelitian menyimpulkan bahwa PT. INCO mengimplementasikan praktek komunikasi berdasarkan strategi dialog yang berbasis

Lebih terperinci

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011 DINAMIKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH HUBUNGANNYA DENGAN PENETAPAN KEBIJAKAN STRATEGIS Oleh: Prof. Dr. Deden Mulyana, SE.,M.Si. Disampaikan Pada Focus Group Discussion Kantor Litbang I. Pendahuluan Kabupaten

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dengan sadar memilih bentuk negara dan dirumuskan sesuai dengan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. yang dengan sadar memilih bentuk negara dan dirumuskan sesuai dengan jiwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia berdasarkan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang dengan sadar memilih bentuk negara dan dirumuskan sesuai dengan jiwa negara yang berbudaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan dan binatang yang hidup di dalamnya terancam punah. Selain itu, masih banyak manusia yang menggantungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial, dimana kehidupan manusia ditandai dengan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial, dimana kehidupan manusia ditandai dengan komunikasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial, dimana kehidupan manusia ditandai dengan komunikasi baik melalui bahasa maupun melalui simbol. Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif dalam menyelesaikan berbagai

Lebih terperinci

8.1 Temuan Penelitian

8.1 Temuan Penelitian BAB VIII PENUTUP Bab Penutup ini berisi tiga hal yaitu Temuan Penelitian, Simpulan, dan Saran. Tiap-tiap bagian diuraikan sebagai berikut. 8.1 Temuan Penelitian Penelitian tentang relasi kuasa dalam pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan bergulirnya otonomi daerah, telah merubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan di daerah dimana kekuasaan yang bersifat sentralistik berubah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka

Lebih terperinci

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang

Lebih terperinci

Grafik 1. Area Bencana

Grafik 1. Area Bencana Untuk mendapatkan gambaran awal sejauh mana masyarakat Indonesia sadar akan isuisu lingkungan dan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam jangka panjang, pada penghujung tahun 2013, WWF-Indonesia

Lebih terperinci

Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S. Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER

Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S. Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S. Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER 2014 Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved ISBN :...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian yang serius. Orientasi pembangunan lebih banyak diarahkan

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian yang serius. Orientasi pembangunan lebih banyak diarahkan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia sebelum era reformasi dapat dinilai kurang pesat. Pada waktu itu, akuntansi sektor publik kurang mendapat perhatian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pemberdayaan Masyarakat Konsep Perhutanan Sosial secara keseluruhan menempatkan posisi masyarakat sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi daerah menjadi wacana dan bahan kajian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Landasan konstitusional konsepsi keadilan sosial dalam. pengelolaan pertambangan adalah Pasal 33 UUD Secara

BAB IV PENUTUP. Landasan konstitusional konsepsi keadilan sosial dalam. pengelolaan pertambangan adalah Pasal 33 UUD Secara BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konsepsi keadilan mengenai penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keadilan sosial. Landasan konstitusional

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP NEGARA- NEGARA ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN GEORGE WALKER BUSH DAN BARACK OBAMA RESUME

PERBANDINGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP NEGARA- NEGARA ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN GEORGE WALKER BUSH DAN BARACK OBAMA RESUME PERBANDINGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP NEGARA- NEGARA ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN GEORGE WALKER BUSH DAN BARACK OBAMA RESUME Dinamika politik internasional pasca berakhirnya Perang

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA Mendorong Pengakuan, Penghormatan & Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Indonesia Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Devi Anjarsari NIM : 11.12.5833 Kelompok : Nusa Jurusan : S1 SI SEKOLAH TINGGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam menyikapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 lalu, sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan reformasi di segala

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Mandiri Pedesaan itulah proses hegemoni terjadi, pelibatan masyarakat dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Mandiri Pedesaan itulah proses hegemoni terjadi, pelibatan masyarakat dalam BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan serangkain kegiatan analisis data dari temuan di lapangan yang diperoleh melalui tahap observasi dan wawancara yang peneliti lakukan dapat ditarik beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan dampak ekologi yang sangat besar bagi Indonesia dan dunia. Indonesia memiliki 10% hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cendana (Santalum album L) dikategorikan sebagai spesies Critically

BAB I PENDAHULUAN. Cendana (Santalum album L) dikategorikan sebagai spesies Critically BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cendana (Santalum album L) dikategorikan sebagai spesies Critically Endangered atau terancam punah pada level kritis oleh International Union for Conservation of Nature

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arus reformasi telah berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Faktor keruntuhan Orde Baru selain karena kekuasaan yang otoriter juga dipicu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu periode yang akan datang (Suraji, 2011: xiii). Pengertian anggaran

I. PENDAHULUAN. suatu periode yang akan datang (Suraji, 2011: xiii). Pengertian anggaran 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum anggaran diartikan sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan suatu institusi atau lembaga tertentu untuk suatu periode yang akan datang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu unsur reformasi total adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara, peranan Negara dan pemerintah bergeser dari peran sebagai pemerintah (Government) menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang terkenal akan kemajemukan suku bangsanya, terdapat lebih dari 654 komunitas lokal atau sub suku bangsa dari 19 suku bangsa tersebar di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak. Penyebabnya adalah karena over eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan

Lebih terperinci

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung Ardhana Januar Mahardhani Mahasiswa Magister Kebijakan Publik, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya Abstract Implementasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara plural dengan segenap masyarakat heterogen yang dilatar belakangi oleh banyaknya pulau, agama, suku, bahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Daftar Isi i ii Demokrasi & Politik Desentralisasi Daftar Isi iii DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Oleh : Dede Mariana Caroline Paskarina Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis,

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

Analisa Kebijakan untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Upaya Pelestarian Kayu Cendana di Kabupaten TTS, NTT

Analisa Kebijakan untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Upaya Pelestarian Kayu Cendana di Kabupaten TTS, NTT Analisa Kebijakan untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Upaya Pelestarian Kayu Cendana di Kabupaten TTS, NTT A.Hasil Survei Cendana: elitis tetapi terlindungi kilas-balik-perda-cendana.docx

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan pemekaran kabupaten Simalungun. Adanya pergantian anggota dewan untuk 5 tahun ke depan pasca

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan pemekaran kabupaten Simalungun. Adanya pergantian anggota dewan untuk 5 tahun ke depan pasca 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemekaran kabupaten Simalungun seperti sebuah kemustahilan, hal ini jika dilihat dari pertama kali dilontarkan tanggal 22 Juni 2001 sampai sekarang belum terealisasi.

Lebih terperinci