VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK"

Transkripsi

1 VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK Masyarakat pedesaan Saparua melakukan pemasaran komoditas pertanian khususnya sagu sebagai makanan pokok melalui berbagai cara. Salah satu cara pemasaran yang memanfaatkan ikatan kekerabatan dikenal dengan istilah papalele. Papalele berkembang melalui ikatan kekerabatan satu negeri di aras Saparua, kemudian bergeser ke kota Ambon hingga ke luar Maluku. Ikatan antar papalele membentuk jejaring ekonomi dan budaya di masyarakat pedesaan Saparua. Sejak awal ikatan papalele tidak memandang perbedaan agama, sehingga aktivitas titip menitip komoditas berlangsung antar warga yang berbeda agama. Proses ke luar Saparua dilakukan secara bersama oleh pelaku papalele berbeda agama. Sejak konflik menyebar ke Saparua, pelaku papalele berbeda agama tidak dapat melakukan aktivitasnya secara bersama. Secara perlahan hubungan antara papalele berbeda agama tidak berjalan seperti sebelumnya. Kondisi keamanan yang tidak terjamin menghambat aktvitas papalele. Seiring eskalasi konflik yang semakin menguat, membentuk pula ikatan komunitas seagama sebagai upaya mempertahankan keamanan komunitas masingmasing. Ikatan tersebut berkembang menjadi jejaring sosial yang melintasi negeri, bahkan ke luar Saparua. Jejaring tersebut tergambar melalui pengerahan bantuan tenaga untuk membantu menjaga kemanan satu komunitas di Saparua, juga ke luar Saparua jika dibutuhkan. Bab ini menggambarkan terbentuknya jejaring ekonomi dan budaya, serta jejaring yang terbentuk saat konflik menyebar ke pedesaan Saparua Jejaring Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua Sejak masa penjajahan Belanda perekonomian masyarakat Saparua berbasis pada pertanian, dengan tanaman perkebunan sebagai komoditas utama. Tanaman yang banyak diusahakan, antara lain kelapa, cengkih, pala dan cokelat. Komoditas lain didominasi oleh tanaman pangan seperti jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan Tanaman sayuran mulai diusahakan secara meluas setelah konflik, karena masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh sayuran. Jenis sayuran yang diusahakan seperti, bayam, kubis, kacang panjang, terong, ketimun, kangkung. Selain mengandalkan pertanian, usaha-usaha perikanan juga menjadi andalan masyarakat karena semua negeri di Saparua berkedudukan di pesisir pantai. Sagu sebagai makanan pokok masyarakat menjadi tanaman keseharian yang secara mudah ditemui di hampir seluruh Saparua. Sagu biasanya diolah menjadi sagu

2 mentah untuk diolah lagi menjadi berbagai jenis produk turunan, seperti bagea, sagu lempeng, sarut dan sagu gula. Perdagangan hasil pertanian semakin berkembang setelah uang dikenal sebagai alat pertukaran. Masyarakat petani semula berfungsi juga sebagai pedagang yang langsung memasarkan hasil pertaniannya ke pusat pasar yang berada di ibukota kecamatan dengan cara berjalan kaki. Perkembangan selanjutnya, tumbuh kelembagaan titip-menitip hasil pertanian yang akan dijual ke pasar tersebut. Proses ini pada akhirnya menjadi jejaring sosial yang menjadi landasan perekonomian masyarakat Saparua. Dalam konteks ini, yang menarik adalah menjelaskan aktivitas jual beli baik dalam skala besar maupun kecil yang disebut masyarakat sebagai papalele. Papalele sebagaimana disebutkan sebelumnya tentang perdagangan hasil-hasil pertanian masyarakat dapat ditempuh dengan cara menjual secara langsung hasil kebun atau produk sendiri, baik masyarakat sebagai petani maupun nelayan yang sekaligus berperan sebagai pedagang. Aktivitasnya papalele berkembang sama dengan pedagang pengumpul desa yaitu, membeli produk dari petani atau nelayan, kemudian menjualnya kembali secara eceran. Sebagian besar papalele adalah perempuan karena laki-laki setelah melakukan aktivitas usahanya kemudian beristirahat. Aktivitas penjualan yang dilakukan isteri cukup menyita waktu, karena selain menjual di pasar desa ada juga yang melakukan dengan berjalan keliling desa bahkan sampai ke desa-desa sekitar. Hal itu dilakukan terutama jika barang yang dijajakan berjumlah banyak dan sering terjadi pada komoditas perikanan. Penjualan di pasar tidak terbatas dalam pasar desa sendiri, khususnya saat hari pasar dimana aktivitas penjualan dilakukan juga di pusat kecamatan Saparua (hari Rabu dan Sabtu). Pihak laki-laki ada yang menjadi papalele, khususnya mereka yang tidak beraktivitas sebagai petani atau nelayan. Setelah itu muncul pula pedagang pengecer yang langsung berhubungan dengan petani atau nelayan untuk membeli produk mereka, kemudian menjualnya kepada konsumen di pasar. Perkembangan ini membuka jalan makin munculnya papalele. Petani atau nelayan dengan hasil pertanian/tangkapannya, serta pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer merupakan bentuk papalele awal. Keberadaan papalele yang khusus menjual produknya sendiri semakin nyata. Selain membeli produk dari sesama petani atau nelayan untuk dijual, serta orang luar desa yang memang bertujuan membeli produk di satu negeri kemudian menjualnya ke konsumen di tempat lain. Aktivitas perdagangan papalele ini sampai ke Ambon, bahkan ke Papua menggunakan kapal penumpang Pelni. Proses berjualan diawali sejak berada

3 di kapal. Biasanya produk olahan sagu, seperti sagu lempeng dijual ke penumpang saat sarapan pagi atau minum teh di sore hari. Sagu lempeng ini merupakan produk olahan sagu untuk dikonsumsi dengan cara dicelup (colo sagu) dalam kopi atau teh. Sedangkan produk olahan sagu yang lain seperti sagu mentah, bagea, sagu tumbuk dan sarut dibungkus untuk dijual sebagai buah tangan. Produk ini menjadi produk andalan bagi papalele yang berdagang ke Papua karena kesamaan makanan pokok orang Papua dan Maluku. Namun, sagu lempeng, sagu mentah, bagea, sagu tumbuk dan sarut belum diproduksi oleh petani di Papua sehingga cukup diminati. Banyak orang Maluku yang tinggal di Papua dan sudah lama meninggalkan Maluku, sehingga mengkonsumsi produk sagu seperti mengenang kembali kehidupan mereka di waktu lampau saat masih di daerah asalnya (Maluku). Papalele yang melintasi batas propinsi biasanya memiliki ikatan di tempat tujuannya. Ikatan tersebut untuk mempercepat penjualan sehingga memudahkan menyelesaikan kegiatan sebelum kembali ke Ambon. Jika ada komoditas yang belum habis terjual maka penjualan dipercayakan pada kerabatnya serta hasil penjualannya akan diambil setelah datang kembali. Kondisi ini menunjukkan adanya kekuatan jaringan kekerabatan yang oleh Granovetter (1985) dijelaskan sebagai konsep keterlekatan yaitu fenomena perilaku ekonomi dalam hubungan sosial. Konsep keterlekatan merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung antara para aktor. Tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan adalah terlekat karena diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. Cara seorang terlekat dalam jaringan hubungan sosial adalah penting dalam penentuan banyaknya tindakan sosial dan jumlah dari hasil pelembagaan sosial. Swedberg (1990) mencontohkan apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi sangat banyak dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial. Kehidupan papalele sangat keras dan penuh tantangan. Orang papalele harus memiliki tubuh yang sehat karena harus tahan duduk berjam-jam di pasar dan tahan berjalan keliling negeri sampai jualannya habis. Orang papalele juga harus rajin mencari informasi harga serta keberdaan produk di berbagai tempat, sehingga sering melakukan perjalanan dari satu desa ke negeri lain. Papalele biasanya memiliki langganan dengan harga yang disepakati bersama, sehingga tidak sulit untuk mengumpulkan produk dalam jumlah besar. Oleh karena itu, setiap perubahan harga diberitahukan pada produsen mengingat kuatnya persaingan antara sesama papalele. Perubahan harga biasanya terjadi saat bahan pokok (sagu)

4 sulit ditemui. Misalnya, kebutuhan pohon sagu di Saparua tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan akibat musim kemarau yang panjang, maka petani akan menyewa hutan sagu dari kenalannya di Pulau Seram untuk diolah menjadi sagu mentah dan produk turunannya. Jika demikian maka harga sagu mentah naik, begitu juga produk olahannya. Atau saat musim timur (ombak), dimana sulit melakukan perjalanan ke luar pulau (ke Ambon misanya) untuk menjual hasil. Kalau dilakukan maka harga sagu mentah dan produk olahannya lebih mahal, karena resiko papalele saat membawa dagangannya. Sesama papalele memiliki ikatan yang kuat. Sikap saling tolong menolong akan terlihat saat saling membantu untuk menaikkan dan menurunkan produk yang akan dijual ke dalam mobil pengangkut. Bila akan menjual produknya ke Ambon maka mereka akan berangkat bersama-sama dan ketika di dalam angkutan (motor laut) mereka duduk bersama-sama walau harus berdesak-desakan, sambil bersenda gurau untuk menghilangkan waktu dan makan bersama-sama bekal yang dibawa dari rumah. Bahkan setelah berjualan, mereka pulang bersama-sama. Apabila barang dagangannya belum habis terjual, mereka saling membantu menjual sehingga dapat pulang bersama ke Saparua. Penjelasan tersebut memberikan gambaran adanya ikatan senasib dan keberadaan dari negeri yang sama, sehingga selalu berusaha membantu satu dan lainnya dengan penuh kepercayaan dan toleransi (jika antara papalele yang berbeda agama). Ikatan-ikatan tersebut juga mengarah pada keseragaman harga produk yang dijual, sehingga menguatkan posisi papalele terhadap konsumen dan terutama pedagang pengumpul kecamatan yang ada di Saparua maupun di Kota Ambon. Bahkan tolong menolong ini nampak dalam kehidupan sehari-hari di negerinya. Bilamana ada salah seorang di antara papalele yang menikahkan anak, maka rekan-rekan papalele yang lain akan turut membantu. Misalnya mencari kayu bakar, memasak sampai terlibat langsung dalam menyelenggarakan pesta tersebut. Apalagi bila ada yang berduka, maka papalele yang lain akan datang berkunjung untuk turut berbelasungkawa dengan membawa bantuan uang atau turut membantu mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan upacara penguburan dan pengucapan syukur keluarga. Kenyataan-kenyataan demikian memperjelas adanya kekuatan ikatan antara papalele, yang telah menembus batas aktivitas pekerjaan. Kenyataan ini yang oleh Geertz (1978) disebut sebagai resiprositas sosial, yang seharusnya ada dalam proses klientisasi (ikatan antara papalele dan produsen).

5 Kenyataan-kenyataan tersebut juga berkaitan erat dengan adanya sistem kekerabatan yang berlangsung dalam masyarakat Maluku. Di Maluku dikenal istilah mata ruma sebagai sekumpulan keluarga dengan nama marga yang sama di negerinya yang sama, dan diyakini berasal dari satu keturunan yang sama, sehingga merasa adanya ikatan darah antara mereka. Dengan demikian, secara adat istiadat hal-hal demikian haruslah dilakukan. Kenyataan demikian sesuai dengan konsep resiprositas umum yang dijelaskan Swartz dan Jordan (1976) yang dikutip oleh Granovetter dan Swedberg (1992) bahwa, sistem resiprositas umum biasanya berlaku di kalangan orangorang yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Ikatan dibangun papalele dengan pemilik produk di berbagai tempat. Pemilik produk selain berada dalam negeri juga yang berasal dari negeri sekitar. Hubungan yang dibangun dengan pemilik produk menunjukkan bahwa, papalele telah membangun jaringan sehingga memudahkan dalam memperoleh produk yang diinginkan. Di sisi lain, pemilik produk juga tidak perlu menjual ke pasar (baik pasar desa maupun pasar kecamatan). Kenyataan demikian menunjukkan adanya proses kllientisasi yang menurut Geertz (1978) terjadi pada pembeli dan penjual yang telah melakukan jual beli berulangulang, sehingga hubungan tidak lagi hanya sebagai hubungan penjual dan pembeli tetapi terjalin sedemikian rupa dengan hubungan-hubungan sosial lainnya. Dalam hal ini maka, klientisasi haruslah diikuti dengan resiprositas sosial, karena kalau tidak demikian maka jaringan yang sudah dibangun akan mudah putus. Jejaring ini didasarkan pula pada kepercayaan yang dibangun oleh kedua pihak saat memulai hubungan, serta berlangsung sepanjang hubungan berjalan. Hal ini menguatkan pendapat Dalton (1968) bahwa usaha mendapatkan keuntungan yang diperoleh melalui tawar menawar, merupakan motif yang mendasari struktur pasaran. Walaupun dalam masyarakat yang masih berbasis tradisi menurut Polanyi (1968) yang terjadi adalah resiprositas dan redistribusi, yaitu orang tidak hanya mendapatkan barang tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan sosial yaitu penghargaan baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima. Keuntungan yang diperoleh oleh mereka yang terlibat titip-menitip barang didasarkan atas saling-percaya, karena harga jual diketahui ketika terjadi transaksi di pasar. Jadi ada kepercayaan yang dibangun antara mereka yang menitipkan dengan mereka yang dititipkan. Hal ini tetap dijaga karena, status penitip dan yang dititipkan boleh berganti orang, pada waktu yang berbeda mungkin saja seseorang yang dititip akan menjadi petani yang menitip. Demikian pula sebaliknya, orang pada satu saat dahulu yang menitip akan berstatus

6 sebagai yang dititipi. Hal ini dimungkinkan terus terjadi oleh karena proses ini berhimpit dengan keeratan hubungan ikatan darah. Mengingat umumnya negeri-negeri di Maluku Tengah terbentuk berdasarkan ikatan darah, sehingga walaupun masyarakat tidak mempunyai hubungan kekerabatan yang berhubungan dekat tetapi dalam masyarakat ada rasa satu keturunan. Komersialisasi yang semakin meluas di Saparua memunculkan pedagang pengumpul tingkat negeri yang memiliki cukup modal, sehingga lebih dipercaya. Perkembangan demikian memperkuat posisi pedagang pengumpul. Masyarakat sering tidak mengetahui dengan pasti harga yang terjadi di pasar, sehingga pedagangpedagang pengumpul berpeluang mendapat keuntungan lebih besar. Pedagang pengumpul kemudian memanfaatkan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat dengan membuka peluang usaha baru di aras negeri. Selain bermodal cukup besar, pedanga pengumpul biasanya memiliki kedudukan penting dalam masyarakat atau menempati posisi penting secara adat setempat. Hal yang menarik dicatat dalam hal ini, berkenaan dengan perdagangan cengkeh yang pernah menghadapi harga beli yang jatuh secara drastis (antara tahun ). Ketika itu masyarakat Saparua umumnya tidak melakukan pemanenan sama sekali karena harga begitu rendah. Namun, ada juga kelompok masyarakat yang melibatkan diri dengan kelembagaan ijon (istilahnya menggadaikan pohon cengkeh) kepada pedagang pengumpul (tingkat negeri). Sistem ini terus berkembang karena sedikit membantu masyarakat mendapat tambahan pendapatan. Pada akhirnya cara ini melibatkan juga pedagang pengumpul tingkat kecamatan karena semakin banyak masyarakat memerlukan tambahan pendapatan yang lebih cepat dan keuntungan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin hari semakin besar. Hal tersebut terutama dalam kaitan kebutuhan keluarga untuk membiaya pendidikan anakanak. Pedagang pengumpul kecamatan sendiri biasanya berasal dari orang luar Saparua, seperti dari Etnis Bugis dan Jawa. Hal ini terjadi karena mereka memiliki ikatan dengan pedagang besar di Kota Ambon, sehingga modal yang dimiliki lebih besar dibandingkan dengan pedagang pengumpul negeri. Kelebihan seperti itu, menyebabkan pedagang pengumpul kecamatan mampu membantu masyarakat di negeri-negeri Saparua yang memerlukan uang dengan cepat dan tanpa prosedur yang berbelit-belit. Posisi pedagang yang menerima gadaian sebenarnya menyerupai kedudukan tengkulak. Namun, masyarakat menyukai yang demikian karena transaksi keuangan tidak rumit sebagaimana lewat lembaga keuangan resmi. Kondisi ini mendorong

7 terbentuknya jejaring sosial yang proses-prosesnya lebih didasarkan pada struktur pasar. Bahkan, jejaring ini berkembang menjadi saluran dari aliran orang dari masyarakat pedesaan Saparua yang mengadu nasib keluar dari daerah tinggalnya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya komersialisasi menjadikan jejaring sosial tersebut makin mengenal pertimbangan keuntungan uang. Mereka yang menjadi pedagang cenderung menentukan harga dan harga barang-barang yang dibeli dan dijualnya jauh di bawah harga pasar. Lebih lagi, informasi pasar tentang harga-harga barang sangat terbatas diketahui oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat kebanyakan makin bergantung kepada kebutuhan akan uang lebih besar untuk memenuhi konsumsi. Oleh karenanya masyarakat kebanyakan makin berada dalam posisi tawar yang lemah Jejaring Sosial dan Konflik di Pedesaan Saparua Ikatan dan kepercayaan merupakan unsur utama jejaring sosial. Adanya ikatan yang kuat akan membawa suatu hubungan menjadi lebih kuat, apalagi dibarengi dengan kepercayaan yang besar antara kedua pihak yang memiliki ikatan tersebut. Biasanya ikatan antara dua pihak atau lebih, mudah dibangun karena adanya kepercayaan di antara mereka. Tabel 7 menjadi dasar sebelum mengikuti penjelasan terperinci tentang proses kemunculan konflik. Tabel tersebut menjelaskan bagaiman konflik mulai terjadi kemudian menjadi konflik yang tidak terkendali. Berdasarkan tabel tersebut terdapat empat tahap dalam proses konflik yang bermula di Ambon yaitu tahap kemunculan konflik, tahap pematangan konflik, tahap konflik terbuka dan tahap konflik yang tidak terkendali. Saat memasuki tahap pematangan, terjadi penyebaran konflik ke luar Ambon termasuk ke Saparua. Penyebaran konflik terjadi karena tahapan tersebut menunjukkan upaya pengerahan bantuan antar komunitas seagama dari berbagai wilayah di Ambon, kemudian diikuti dengan bantuan dari luar Ambon. Seballiknya juga terjadi pengerahan bantuan dari Ambon ke wilayah lain yang terdesak akibat serangan komunitas berbeda agama. Awalnya pengerahan bantuan diarahkan untuk memperkuat komunitas seagama di Ambon, namun pengalihan serangan ke luar Ambon menyebabkan terjadinya aliran bantuan ke setiap wilayah yang kondisi keamanannya tidak terjamin. Pengerahan bantuan juga dilakukan berdasarkan isu-isu yang beredar dalam masyarakat. Adanya isu penyerangan oleh satu komunitas di wilayah tertentu, maka komunitas lawan akan mengerahkan bantuan ke wilayah tersebut.

8 Tabel 7. Proses Kemunculan konflik di Saparua No Babak Ciri-Ciri Keterangan 1 Januari Maret Juli Nopember 1999 Dimulai dengan pertikaian dua individu berbeda etnis dan agama, menarik anggota kelompok masing-masing untuk terlibat, menjadi konflik terbuka antara dua komunitas berbeda etnis dan berkembang ke arah konflik antara komunitas berbeda agama, pemerintah tidak mampu mengatasi, penggunaan senjata tajam dominan, militer mulai bergerak Konflik antar agama menjadi berkepanjangan, terbentuknya kelompok-kelompok kecil pada masing-masing komunitas yang awalnya untuk mempertahankan keamanan pada komunitasnya sendiri, konflik mulai menyebar ke wilayah lain (termasuk Saparua), pemerintah belum juga mengatasi sepenuhnya, penggunaan senjata api rakitan, militer semakin bertambah Ikatan antar etnis masih kuat, ikatan komunitas seagama mulai diperkuat, kemunculan konflik Ikatan antar etnis berbeda agama memudar, ikatan agama semakin kuat, pematangan konflik 3 Desember 1999 Januari 2000 Konflik antar agama di wilayah lainnya semakin gencar, penggunaan senjata standart diikuti penambahan pasukan militer, suasana semakin tidak terkendali, kelompok-kelompok kecil pada masing-masing komunitas mulai mencari keuntungan-nya sendiri-sendiri Ikatan agama semakin menguat bahkan pihak keamanan turut masuk dalam ikatan, konflik terbuka 4 April Agustus 2000 Sumber : Data Sekunder (Diolah) Sebagian besar wilayah Maluku berdarah, kekuatan TNI dan POLRI tidak mampu meredam, bahkan makin terlibat secara nyata, aksi ambil untung oleh pengusaha, pemerintah sipil, kelompok-kelompok kecil pada masingmasing komunitas dan pihak TNI-POLRI dalam berbagai bentuk terutama pengawalan keamanan masyarakat, munculnya Laskar Jihad yang mengumpulkan kekuatan dari Jawa untuk membantu komunitas Salam, komunitas Sarani diwarnai dengan pembentukan FKM yang kemudian berubah menjadi RMS versi baru Ikatan agama membentuk jaringan akibat kepercayaan yang sama, ikatan ekonomi muncul antara berbagai pihak yang mencari keuntungan semata, konflik tidak terkendali Sebagian penduduk di kota Ambon baik yang Salam maupun Sarani berasal dari Pulau Saparua. Hal inilah yang menjadi pokok penyebaran konflik karena, setiap warga

9 negeri-negeri di Pulau Saparua yang menjadi korban konflik Ambon maupun pulaupulau lain, akan dianggap sebagai alasan untuk melakukan penyerangan warga negeri lain yang dianggap berada dalam posisi berseberangan (Gambar 3). Model penyebaran informasi membentuk lingkaran, sehingga berjalan lambat karena tidak ada pemimpin yang mengatur penyebaran informasi. Sejak Bulan Februari 1999 NL dan MS mengungsi ke Saparua, sebagai dampak rusaknya rumah tempat tinggal saat kerusuhan merebak di Ambon (Januari 1999). Ternyata hingga bulan September 1999 eskalasi konflik di Saparua mulai meningkat Gambar 3. Jejaring Penyebaran Informasi yang Memulai Konflik Saparua Keterangan : 1. NL (Pengungsi dari Ambon yang berasal dari Negeri Sirisori Sarani) 2. LL (Kerabat NL di Negeri Ulath) 3. TH (Tetangga LL di Negeri Ulath) 4. YL (Kerabat NL di Negeri Tuhaha) 5. BL (Kerabat NL di Negeri Porto) 6. MS (Pengungsi dari Ambon yang berasal dari Negeri Sirisori Salam) 7. AS (Kerabat MS di Negeri Kulor) 8. JP (Tetangga MS di Negeri Sirisori Salam) 9. RS (Kerabat di Negeri Iha) 10.BS (Kerabat di Negeri Kulor) Proses pertukaran informasi antar aktor Penyebaran informasi yang dimulai dari kedua aktor di negerinya masing-masing, membentuk pemahaman yang sama antar kerabat satu negeri. Secara perlahan penyebaran informasi ke kerabat di luar negeri, membentuk pemahaman yang sama antar komunitas seagama. Penyebaran informasi yang berisi akibat negatif yang diterima pengungsi tidak dikontrol tetapi terjadi secara alamiah. Penyebaran informasi

10 tidak berjalan cepat, namun berlangsung ketika terjadi interaksi antar kerabat dalam satu negeri maupun berbeda negeri. Oleh karena itu, penyebaran informasi tidak langsung memicu terjadinya konflik antar komunitas berbeda tetapi didahului dengan proses pembentukan persepsi yang sama yang mengarah pada justifikasi bahwa komunitas agama lain yang menyebabkan penderitaan sebagai akibat konflik di Ambon. Sejalan dengan pandangan Rubent (1992 : 337) bahwa, konflik dapat terjadi karena perbedaan sikap, persepsi dan pola orientasi nilai antara mereka yang berkonflik. Penyebaran informasi merupakan proses komunikasi informal antara individu sebagai pengungsi korban konflik dengan kerabat dan tetangga di negeri-nya (di Saparua). Proses komunikasi informal yang sering terjadi dan berulang dari waktu ke waktu, kemudian mampu merubah persepsi yang menjadi dasar individu berperilaku. Persepsi bahwa komunitas agama lain sebagai penyebab penderitaan, kemudian membentuk perilaku yang ingin membalaskan dendam. Sebagai pendapat beberapa ahli seperti bahwa komunikasi informal juga dapat memiliki pola yang dapat diperkirakan dari waktu ke waktu, karena terus berulang dan yang kemudian menjadi relatif stabil (Beebe dan Masterson, 1950; Rogers dan Rogers, 1976; Rogers dan Kincaid, 1981; Jahi, 1988). Meskipun demikian, perlu mendapat perhatian, bahwa karena bersifat informal dan seiring dengan perilaku anggota yang mungkin secara spontan berubah, maka jaringan komunikasi ini tetap dapat berubah menurut waktu. Oleh karena itu, ikatan-ikatan budaya dan agama yang sebelum konflik menjadi pembentuk jejaring antar komunitas berbeda agama bergeser menjadi jejaring antar komunitas seagama. Penyebaran informasi juga didukung dengan penyebaran isu yang provokatif. Penyebaran isu yang terjadi pada kedua komunitas setelah ditelusuri bermotif sama. Isu pembunuhan dengan berbagai cara (dipukul, dibacok sampai ditembak) salah satu anggota komunitas oleh komunitas lain merupakan bentuk provokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak teridentifikasi. Selain itu isu adanya penyerangan yang didukung oleh bunyi tembakan senjata semakin memperkuat persepsi negatif antar kedua komunitas. Aparat keamanan yang bertugas tidak mampu mempersuasif masyarakat, bahkan cenderung tidak berbuat apa untuk mengantisipasi konflik terbuka akibat isu yang tidak benar. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian terjadi konflik terbuka antara kedua komunitas. Penyebaran informasi yang tidak terkontrol menyebabkan kecermatan informasi menjadi lemah. Namun, penyimpangan informasi justru menjadi pemicu yang relevan

11 jika dikaitkan dengan penyebaran isu-isu dan selebaran yang menyesatkan saat konflik mulai muncul di pedesaan Saparua. Penggunaan isu dan selebaran menyesatkan menjadi pilihan, karena media massa (Radio) yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok yang berkonflik berada di Ambon dan tidak menjangkau wilayah Pulau Saparua. Kenyataan demikian menumbuhkan saling ketidakpercayaan antara komunitas berbeda agama. Ketidakpercayaan menyebabkan terhambatnya komunikasi antara kedua komunitas dan berakhir dengan terjadinya konflik terbuka. Samovar, Pooter dan Jain (1985) menjelaskan bahwa, terhambatnya komunikasi akibat perbedaan tujuan komunikasi, etnosentrisme, kurangnya kepercayaan kepada pihak lain dan membuat kesimpulan berdasarkan stereotip mengakibatkan terjadinya konflik. Informasi yang dibawa NL dan MS sebenarnya hanya menjelaskan kerugian yang diderita dari sisi materi. Namun dalam perkembangan konflik di Ambon, banyak korban tewas yang berasal dari negeri-negeri Sarani maupun Salam di Saparua. Fakta tersebut kemudian menjadi pemicu, sekaligus pengobar keinginan membalaskan dendam kepada pihak lain yang dianggap sebagai penyebab. Pandangan Coser (1956) memperkuat penjelasan tersebut bahwa, terjadi ketegangan dengan pihak di luar komunitas sehingga masing-masing komunitas semakin memperkuat solidaritas internal dan bersama-sama menghadapi kekuatan komunitas lain. Seharusnya kenyataan adanya korban konflik dari kerabat warga negeri-negeri Saparua di Pulau Ambon dan pulau-pulau lainnya disikapi dengan arif, sehingga tidak perlu terjadi tindakan penyerangan oleh satu komunitas yang menganggap komunitas lain sebagai penyebab. Pembalasan pihak korban hanya menjadi pemicu konflik baru antara kelompok-kelompok yang pada dasarnya tidak terlibat secara langsung dalam konflik di Ambon. Kenyataan demikian berulang kali terjadi, sehingga penyebaran konflik ke berbagai pulau di luar Ambon lebih cepat terjadi pula. Tabel 8. menjelaskan identifikasi masing-masing aktor yang terlibat dalam jaringan penyebaran informasi. Penyebaran informasi didahului dengan mengungsinya warga yang berasal dari Negeri Salam dan Sarani ke Saparua. Setelah semua harta benda milik pribadi habis terbakar, lokasi pengungsian yang tersedia dianggap tidak memadai, selain kondisi keamanan yang tidak terjamin. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata aktor berpendidikan sekolah menengah, berarti kemampuan pengetahuan cukup memadai untuk berpikir rasional. Seharusnya para aktor berpikir bahwa penderitaan kerabatnya tidak disebabkan oleh komunitas yang sama di Saparua. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, saat pertama

12 kali mendengar informasi tersebut, tidak terpikirkan bahwa komunitas berbeda agama di Saparua sebagai penyebab penderitaan kerabatnya. Namun berkembangnya isu-isu yang memprovokasi kedua komunitas kemudian membentuk persepsi bahwa, penyebab penderitaan adalah komunitas agama lain. Kenyataan ini menjadi dasar bahwasannya tingkat pendidikan tidak menjadikan seseorang berpikir secara rasional saat diperhadapkan oleh perbedaan idiologi sebagai penyebab penderitaan. Tabel 8. Identifikasi Aktor dalam Jejaring Penyebaran Informasi No Aktor Umur Pendidikan Pekerjaan Posisi Fungsi (tahun) 1 NL 49 SMA Swasta Opinion leder Memberikan informasi awal berdasarkan situasi yang dialaminya 2 LL 52 SMA Tani Cosmopolite Mengumpulkan informasi dari sumber- 3 TH 47 SMA Tukang Cosmopolite sumber lain Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain 4 YL 54 SMA Tani Liaison Berhubungan dengan kelompok lain sekaligus mencari informasi tambahan 5 BL 43 SMA Tani Cosmopolite 6 MS 49 SMA Swasta Opinion leder 7 AS 52 SMP Tani Cosmopolite 8 JP 47 SMA Tukang Cosmopolite Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Memberikan informasi awal berdasarkan situasi yang dialaminya Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain 9 RS 54 SMP Tani Liaison Berhubungan dengan kelompok lain sekaligus mencari informasi tambahan 10 BS 43 SMA Tani Cosmopolite Sumber : Data Primer (diolah) Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Pekerjaan para aktor di kedua komunitas mirip yaitu sebagai petani dan tukang. Aktivitas pekerjaan menjadi terhambat karena beredarnya isu provokatif menyebabkan rasa keamanan menjadi tidak terjamin. Terutama petani yang kebunnya berbatasan dengan komunitas berbeda tidak berani menjalankan aktivitas karena tidak ada rasa

13 aman. Terhambatnya pekerjaan juga menjadi pendorong untuk membenarkan isu-isu yang beredar, bahwa akan ada penyerangan oleh salah satu komunitas. Terhambatnya aktivitas juga menyebabkan banyak waktu luang yang dimanfaatkan untuk mencari informasi-informasi lain sehubungan dengan isu-isu yang tersebar. Semakin banyak informasi yang diperoleh, semakin bias kebenaran informasi tersebut. Bahkan aktivitas pekerjaan berganti dengan aktivitas berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil untuk mempersiapkan keamanan masing-masing komunitas. Aktivitas demikian antara lain belajar membuat senjata rakitan serta membuat bom rakitan yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri sebagai bentuk antisipasi terhadap isu yang beredar. Aktivitas kelompok berkembang menjadi tenaga bantuan ke negeri lain yang dianggap rawan kondisi keamanannya. Beberapa aktor menjelaskan bahwa, ada rasa bangga saat mereka membantu keamanan negeri kerabat sekomunitas maupun membantu negeri yang terdesak akibat serangan komunitas berbeda agama. Saat menjalankan aktivitas tidak terpikirkan lagi bahwa sebenarnya masyarakat Saparua memiliki ikatan adat yang tidak memandang perbedaan agama. Perasaan emosi dan amarah mengarahkan terbentuknya rasa dendam pada komunitas berbeda, sehingga ikatan adat seperti hilang oleh kekuatan agama. Penjelasan-penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konflik di Saparua tidak muncul serta merta, tetapi merupakan bias berkepanjangannya konflik di kota Ambon. Sehingga warga kota Ambon yang merasakan dampak negatif akibat konflik harus mengungsi ke daerah asalnya termasuk kembali ke Saparua. Mereka yang mengungsi secara tidak sengaja menjadi sumber-sumber penyebaran konflik baru. Hal ini terkadi karena setelah mengungsi ke daerah asal maka, para pengungsi ini akan menceritakan akibat buruk yang harus mereka terima sebelum mengungsi. Akibat buruk tersebut antara lain, hilangnya harta benda termasuk rumah tempat tinggal mereka. Ada yang menjadi korban sehingga cacat seumur hidup, sampai ada yang meninggal. Ceritacerita demikian menimbulkan trauma dan juga dendam dalam diri saudara-saudara mereka di negeri asal tanpa melihat ikatan adat sebagai perekat perbedaan agama di Saparua. Ikatan kekerabatan dalam masyarakat Saparua seperti pela gandong yang dianggap bertuah, ternyata kemudian tidak mampu menjadi jembatan penghubung atau sumber peredam konflik di tingkat lokal. Dahulunya ikatan kekerabatan begitu diagungagungkan sehingga, selalu menjadi acuan dasar bagi setiap anggota masyarakat dalam

14 bertingkah laku. Namun, menjadi hancur sebagaimana munculnya konflik antara komunitas Salam berhadapan dengan komunitas Sarani. Melemahnya ikatan kekerabatan sebenarnya tidak seratus persen tepat karena saat konflik ada kejadian yang berpeluang memperkuat kembali ikatan adat. Fakta berikut ini menggambarkan hal dimaksud : ketika, anak-anak negeri Ulath (beragama sarani) yang akan ke Saparua menggunakan angkutan laut mengalami kecelakaan di wilayah laut Sirisori Salam, ternyata ikatan kekerabatan masih cukup menonjol sehingga anak-anak negeri Sirisori Salam pun turut membantu menyelamatkan para korban. Padahal dalam suasana konflik yang menegangkan, seharunya apa yang dialami oleh masyarakat Ulath yang tenggelam merupakan kesempatan bagi masyarakat Sirisori Amapati untuk melakukan pembalasan. Namun, dengan berbagai pertimbangan terutama adanya ikatan dan kepercayaan sebagai dasar yang mengawali terbentuknya persekutuan masyarakat Saparua yang kemudian berkembang menjadi Latupati sekarang ini menjadi penghalang proses pembalasan dimaksud. Kenyataan demikian memberikan gambaran bahwa, walaupun terjadi proses melonggarnya ikatan adat akibat menguatnya ikatan agama ternyata ikatan adat masih memungkinkan untuk meredam berkepanjangannya konflik. Hal itu dapat dilakukan jika isu-isu menyesatkan dapat ditangkal dan diselesaikan oleh pemimpin masing-masing komunitas. Selain itu masing-masing komunitas seharusnya memiliki kemampuan menyaring setiap isu serta masukan informasi dari anggota komunitasnya di luar Saparua. Biasanya isu-isu tersebut melegalkan masuknya tenaga bantuan dari luar Saparua sebagai upaya mempertahankan kondisi keamanan masing-masing komunitas. Masuknya tenaga bantuan dari negeri lain di Saparua maupun dari luar Saparua membentuk jejaring sosial antar komunitas seagama. Jejaring yang terbentuk tidak selamanya berdampak positif tetapi justru menjadi penyebab hancurnya tempat tinggal serta penderitaan yang berkepanjangan. Fakta pembentukan jaringan dalam konflik terlihat melalui bantuan pasukan dari Ambon oleh AW sebagai pimpinan grass root dan kelompoknya. Bantuan tersebut dapat diterjemahkan sebagai ikatan yang kuat dari sisi idiologi agama, karena pihak pemberi bantuan dengan penerima bantuan memiliki keyakinan idiologi yang sama yaitu Sarani. Terbentuknya jejaring sosial seperti ini menjadi lumrah karena kesamaan keyakinan antara penerima bantuan dan pemberi bantuan (Gambar 4), serta adanya perbedaan idiologi dengan lawan mereka (kelompok penyerang).

15 Gambar 4. Jejaring Sosial Konflik di Saparua Keterangan : 1. Pemimpin Grassroot dari Ambon (AW) 2. Anggota Grassroot dari Negeri Porto (BT) 3. Anggota Grassroot dari Negeri Ulath (LP) 4. Anggota Grassroot dari Negeri Sirisori Sarani (MK) 5. Anggota Grassroot dari Negeri Haria (AL) Permintaan bantuan dilakukan oleh pimpinan Gereja Protestan Maluku (GPM) Sirisori Sarani ke Negeri-negeri lain di Saparua. Jika situasi keamanan semakin tidak dapat dijamin, maka Pimpinan Klasis Saparua menyampaikan permintaan bantuan ke Ambon melalui Posko Maranatha. Setelah itu, Posko Maranatha menugaskan pimpinan grass root yang mengkoordinir pasukan bantuan ke Saparua. Beberapa pimpinan grass root yang bernaung di Posko Maranatha antara lain, AW dan HN. Berdasarkan permintaan dari Klasis Saparua, maka AW ditugaskan Posko Maranatha untuk memimpin pasukan bantuan ke Saparua. Kalaupun situasi negeri Sarani semakin terdesak, maka pimpinan Gereja setempat dapat melakukan permintaan bantuan ke negeri Sarani yang dapat dihubungi dengan cepat kemudian dilaporkan ke Posko Maranatha. Sementara dari pihak Salam, permintaan bantuan langsung dilakukan ke Posko Al Fatah. Berdasarkan permintaan bantuan ini, maka pimpinan Posko segera mengkoordinasikan dengan kelompok bantuan yang berdiam di sekitar Pulau Saparua seperti di Masohi (Pulau Seram) maupun di Pelau (Pulau Haruku). Jika kondisi semakin tidak terkendali, maka pasukan bantuan kemudian dibawa langsung dari Ambon melalui pelabuhan Hitu (Jazirah Leihitu) juga pelabuhan Tulehu (Kecamatan Salahutu). Kedua pelabuhan tersebut termasuk wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah, namun berlokasi di Pulau Ambon. Berdasarkan gambar jejaring sosial konflik tersebut di atas

16 maka digambarkan identifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam jaringan tersebut (Tabel 9). Fakta menunjukkan bahwa, kelompok grass root Salam dan Sarani selalu menyertakan oknum anggota TNI dan POLRI dari masing-masing negeri yang mengalami situasi terdesak. Oknum TNI dan POLRI tersebut tidak berada di bawah komando pimpinan iunstitusi masing-masing, namun tergerak untuk membantu karena ikatan satu negeri serta ikatan satu agama. Kenyataan ini telah diakui oleh Pimpinan POLDA Maluku maupun KODAM Pattimura, dalam berbagai pemberitaan media massa baik media cetak maupun media elektronik. Bahkan dalam Laporan Krisis Centre Keuskupan Amboina, Panglima KODAM Pattimura memperkirakan sekitar sepuluh persen anggota TNI terlibat secara langsung dalam konflik di Maluku. Tabel 9. Identifikasi Aktor dalam Jejaring Konflik No Aktor Umur Pendidikan Pekerjaan Posisi Fungsi (tahun) 1 AW 51 PGSD PNS Gate Keepers Mengontrol penyebaran informasi ke aktor lain 2 BT 29 SMA - Cosmopolite Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain 3 LP 27 SMA - Cosmopolite Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain 4 MK 24 SMA - Cosmopolite Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain 5 AL 26 SMA - Cosmopolite Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain Bantuan dari kelompok grass root ini, menunjukkan terbentuknya jejaring sosial horizontal dimana pihak pemberi bantuan dan penerima bantuan dapat dikatakan setara karena tidak ada perbedaan posisi dalam masyarakat. Perbedaan mendasar antara keduanya yaitu, pemberi bantuan memiliki kelebihan dari segi kepemilikan peralatan berupa senjata standart, serta dilengkapi pula dengan granat standart serta bom rakitan

17 dan pelontar rakitan. Saat itu yang dipikirkan oleh masyarakat penerima bantuan hanyalah keamanan diri dan keamanan harta benda. Padahal kelompok penyerang sangat kuat dan dibekali dengan persenjataan yang memadai, seperti dijelaskan oleh Informan berikut ini : Dalam penyerangan dari Sirisori Salam, banyak terlibat pihak militer yang saat itu menjadi pasukan pengamanan yang ditugaskan secara resmi di Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Bahkan aparat keamanan yang betugas di Sirisori Sarani turut bergabung dengan dengan pihak militer dari Sirisori Salam untuk melakukan penyerangan bahkan kemudian menjarah dan membakar sarana dan prasarana di Sirisori Salam. Bukti keterlibatan pihak militer terlihat dari adanya penggunaan senjata standart TNI dari selongsong peluru, serta dari bekas mortir yang ditembakkan. Berdasarkan pada kenyataan demikian maka dapat dikatakan, ada jejaring yang dibangun kelompok grass root sebagai pemberi bantuan dengan pihak penyerang. Hal mana dibuktikan dengan fakta bahwa, setelah kelompok grass root masuk, maka serangan segera dihentikan. Jadi kelompok pemberi bantuan secara nyata, sebenarnya tidak memiliki fungsi apa-apa dalam konteks memberikan bantuan keamanan bagi negeri yang diserang. Jejaring yang terbentuk antara kelompok penyerang dengan kelompok grass root, mengarah pada ikatan ekonomi dalam arti luas yaitu masingmasing kelompok dibayar untuk mengobarkan konflik menjadi konflik berkepanjangan (Gambar 5) Gambar 5. Jejaring Kerjasama Antar Kelompok Berbeda Agama Keterangan : 1. Pemimpin Grassroot Sarani dari Ambon (AW) 2-5 Anggota Grassroot dari Negeri Sirisori Sarani,Ulath, Porto dan Haria 6. Pemimpin Kelompok Salam dari Ambon (ML) Anggota Kelompok Salam dari Negeri Sirisori Salam Bridge

18 Saat konflik terjadi di Saparua yang melibatkan bantuan dari Ambon ke masingmasing komunitas, hubungan antara kedua pemimpin grass root belum diketahui oleh penerima bantuan. Bahkan pemimpin kelompok Salam (ML), tidak diketahui dengan jelas identittasnya. Adanya hubungan antara pemimpin kedua kelompok diketahui setelah AW meninggal. Fenomena AW sebagai penyelamat bagi komunitas Sarani yang diserang ternyata tidak sesuai dengan fakta yang kemudian terungkap. Sebagai pemimpin grass root, awalnya AW mampu menjalankan fungsinya dengan baik untuk membantu mempertahankan keamanan negeri-negeri Sarani yang diserang. Perkembangan selanjutnya menunjukkan jutsru kehancuran selalu dialami oleh negeri yang menerima bantuan AW dan kelompoknya. Bahkan untuk mendapat bantuan, negeri-negeri yang akan dibantu harus membayar sejumlah biaya kepada AW dan kelompoknya. Sementara AW sendiri direkomendasikan oleh Posko Maranatha (Sarani) untuk memberikan bantuan apabila diminta oleh komunitas Sarani di Ambon dan sekitarnya (termasuk Saparua). Ternyata kelompok ini lebih mementingkan kepentingan sendiri, sehingga proses pemberian bantuan disesuaikan dengan kemampuan masingmasing negeri membayarkan sejumlah uang sesuai permintaan. Fakta-fakta tersebut mengindikasikan bahwa, dalam perjalanan konflik AW diduga disusupi oleh pihak lain yang tidak teridentifikasi dari penelitian ini. Pihak tersebut kemudian memberikan imbalan agar AW dan kelompoknya bukan menjadi penjaga keamanan justru menjadi penghancur dari dalam komunitas Sarani. Oleh karena itu, setiap gerakan bantuan AW di setiap negeri sepertinya dilindungi oleh aparat keamanan yang bertugas. Tujuan pemanfaatan AW sebagai penghancur dalam komunitas Sarani sebenarnya merupakan upaya melanggengkan konflik di Maluku dan Saparua khususnya. Setiap ada korban jiwa dan harta benda dari satu komunitas akan diikuti dengan upaya pembalasan terhadap komunitas yang dianggap sebagai penyebab. Posisi AW yang beragama Sarani sengaja dipakai untuk membakar emosi dan dendam komunitas Sarani terhadap komunitas Salam. Faktanya selama kelompok AW bermain dalam konflik ternyata eskalasi konflik semakin meluas dan meningkatkan korban jiwa dan harta benda. Justru kondisi keamanan negeri Sarani yang diserang lebih dijamin tanpa kehadiran AW dan kelompoknya. Selain itu, aktivitas AW dan kelompoknya sering meminta bantuan dana dari pedagang etnis Cina yang digunakan untuk membiaya bantuan bagi negeri Sarani yang diserang, bahkan permintaan bantuan

19 sering menggunakan cara-cara kekerasan yang tidak sesuai dengan ajaran agama seperti menodongkan senjata api. Selanjutnya terungkap pula bahwa, dana bantuan tersebut lebih sering digunakan oleh AW dan kelompoknya untuk berfoya-foya demi kepentingan pribadi. Namun, penelitian ini tidak dapat menjawab apakah aktivitas AW dan kelompoknya seperti demikian diketahui oleh pimpinan Posko Maranatha (Sarani) yang memberi rekomendasi saat permohonan bantuan dari negeri-negeri Sarani di berbagai wilayah Ambon dan sekitarnya. Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut di atas, maka kemunculan jejaring dalam konflik dapat disarikan pada tabel 10. berikut ini : Tabel 10. Jenis dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dalam Konflik NO Jenis Jejaring Yang Muncul Ciri-Ciri 1 Horizontal Kesetaraan antara pemberi bantuan dan penerima bantuan, ikatan didasarkan pada agama, pemberi bantuan memiliki senjata yang memadai dan standart TNI 2 Horizontal Ikatan yang didasarkan pada keuntungan ekonomi sehingga memunculkan kerjasama yang saling menguntungkan antara kelompok bebantuan ke pihak Sarani dengan kelompok penyerang dari pihak Salam, ikatan agama tidak mempengaruhi jaringan 3 Horizontal Bantuan untuk pemenuhan kebutuhan (makanan) baik saat mempertahankan diri dari serangan maupun saat pengungsian terpaksa harus dilakukan, ikatan agama lebih dominan karena yang terjadi yaitu saling membantu antara pemeluk agama yang sama Sumber : Data Primer (Diolah) Keterangan Bantuan grass root kelompok Sarani dari Ambon ke Saparua Bantuan grass root kelompok Sarani dari Ambon dengan kelompok penyerang dari Sirisori Salam Bantuan makanan dari negeri Sarani ke Pia dan Sirisori Sarani, bantuan makanan dari negeri Salam ke Iha Selain itu terdapat pula jejaring vertikal dan horizontal secara bersamaan. Jejaring tersebut melalui pemberian bantuan yang diperoleh dari instansi pemerintah (bersifat vertikal) maupun sesama masyarakat yang tidak mengalami dampak langsung konflik. Bantuan- bantuan yang masuk antara lain : 1. Bantuan Indomie dan Beras dari pedagang Cina di Saparua 2. Bantuan beras dan selimut dan pemuda-pemuda Masohi 3. Bantuan beras dari LSM Salawaku

20 4. Bantuan sarimie, beras dan 10 karton pakaian baru 5. Bantuan beras, selimut, kacang, indomie, sabun mandi dan odol gigi dari ACF (LSM asing yang beraktivitas di Maluku) 6. Bantuan selimut dan pakaian layak pakai dari LSM Christina M Tiahahu 7. Bantuan ember, tikar dan lentera dari Sinode GPM Maluku 8. Bantuan gula pasir, beras dan uang Rp. 5 juta dari pela-gandong 9. Bantuan uang sebesar Rp per orang dari pemerintah 10. Bantuan uang Rp per orang dari Pemerintah Pemetaan jejaring dalam konflik dimaksudkan untuk menggambarkan mekanisme pembentukan jejaring dalam kaitannya dengan berkembangnya konflik sebagai konflik yang berkepanjangan. Hal ini perlu dipahami mengingat, ada peluang bahwa jejaring yang sama juga berperan dalam menghentikan bahkan kemudian menjadi titik tolak resolusi konflik yang berkepanjangan. Merujuk pada konflik Saparua, maka pemetaan jejaring dalam konflik (tabel 11). Tabel 11. Tipe dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dalam Konflik No Tipe Jejaring Ciri-Ciri Keterangan 1 Individu Penyebaran isu dan informasi menyesatakan, penggunaan selebaran dari individu ke individu, bergerak secara individu untuk membalaskan kematian dari kerabat atau saudaranya, ikatan kekerabatan masih dominan 2 Kelompok Penyebaran informasi dari individu ke kelompoknya, pengaturan strategi secara matang, melibatkan keseluruhan anggota kelompok, memudahkan meluasnya konflik karena keterlibatan banyak orang 3 Komunitas Koordinasi dilakukan oleh elit agama karena ikatan idiologi (agama) sangat dominan, ikatan adat-istiadat antara komunitas yang berbeda agama menjadi pudar, upaya memanaskan situasi didukung oleh keterlibatan TNI- POLRI secara langsung maupun tidak langsung (jual beli amunisi peluru) Sumber : Data Primer (Diolah Sebagai titik awal terjadinya konflik, sekaligus proses pematangan konflik Proses keberlanjutan konflik dari individu ke kelompok Proses menjadi konflik terbuka dan meluas ke tingkat komunitas, sehingga konflik semakin sulilt untuk diatasi Proses penularan sosial dapat dicontohkan oleh merebaknya konflik di seantero wilayah Maluku. Secara sadar atau tidak, keputusan yang diambil individu dipengaruhi

21 oleh lingkungan sosial dan tindakan yang diambil menjalarkan dan memperkuat efek yang ada secara kolektif. Karena informasi mengalir dalam jaringan sosial, maka dalam proses pengambilan keputusan sosial, struktur jaringan penting dalam menentukan seberapa jauh efek kolektif tersebar. Sehingga bukan tidak mungkin pula, jika konflik di pedesaan Saparua muncul sebagai ungkapan keinginan membalaskan dendam dari sanak saudara dan kerabat yang meninggal saat konflik pecah di wilayah lain di luar Saparua. Dengan demikian, keputusan untuk berkonflik merupakan keputusan independen yang bebas dari pengaruh. Perkembangan konflik selanjutnya menunjukkan keputusan independen untuk berkonflik masih diragukan karena konflik kemudian melebar dan melibatkan warga Saparua di luar Saparua (di pulau Lease dan pulau Seram misalnya). Bahkan diindikasikan ada keinginan dari pihak-pihak tertentu yang tidak teridentifikasi, untuk melibatkan Saparua dalam konflik berkepanjangan. Salah satu pendorong peluang konflik berkepanjngan yaitu sifat temperamen orang Saparua yang mudah terpancing emosinya. Karakter seperti ini menjadi incaran dari pihak yang ingin memperluas konflik melalui isu-isu. Isu-isu tersebut antara lain akan ada penyerangan dari satu negeri ke negeri lain yang berbeda adama, juga memberikan informasi yang tidak benar tentang kematian warga salah satu kelompok agama di wilayah lain di luar Saparua. Oleh karena itu, keputusan untuk berkonflik bagi masyarakat Saparua bukan karena perbedaan idiologi (agama) maupun keinginan untuk merdeka. Keputusan untuk terlibat dalam konflik didorong keinginan membalaskan dendam dan amarah sematamata. Kebetulan yang menjadi korban anggota salah satu kelompok agama, sehingga walaupun kejadian berlangsung di luar Saparua (di Ambon misalnya) maka kelompok agama yang warganya menjadi korban akan membalaskan dendam kepada kelompok agama yang dianggap sebagai penyebab. Padahal, pelakunya tidak memiliki keterkaitan dengan warga di Saparua yang kebetulan beragama sama. Hal yang menarik yaitu bagaimana perselisihan antardua orang di batu Merah (Ambon) dapat bereskalasi menjadi konflik di aras mikro antara salam dan sarani di pedesaan Saparua. Pemetaan jejaring dan kerjasama, dirasa perlu untuk menunjukkan kemampuan jejaring yang bukan saja berkaitan dengan konflik (Tabel 12). Sebelum konflik hubungan Negeri Kulor dengan Pia sangatlah harmonis. Bahkan terdapat ikatan ekonomi yang saling menguntungkan. Biasanya masyarakat Kulor menanam ubi kayu yang kemudian dibeli oleh warga Dusun Pia yang mengolahnya menjadi sagu singkong. Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1994,

22 yang diawali oleh ikatan antara individu. Seorang warga Pia yang memerlukan ubi kayu sebagai bahan baku sagu kemudian membelinya dari seorang warga Kulor. Pertemuan awal antara kedua individu berlanjut menjadi ikatan ekonomi yang menguntungkan. Bahkan kemudian berkembang bukan hanya individu saja, tetapi menjadi ikatan ekonomi antara komunitas Pia yang beragama Sarani dengan komunitas Kulor yang beragama Salam. Bahkan sampai ke aras negeri, menyebabkan hubungan antara negeri Pia dengan Kulor sangatlah harmonis. Tabel 12. Tipe dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dan Kerjasama No Tipe Jejaring Ciri-Ciri Keterangan 1 Individu Ikatan lebih ke arah ekonomi juga adat istiadat, saling mengutungkan, tidak memperhatikan perbedaan agama, keputusan membentuk ikatan merupakan keputusan individu tanpa campur tangan siapa pun juga, memungkinkan untuk mengarah pada perluasan ikatan 2 Kelompok Ikatan ekonomi masih dominan, keputusan secara kolektif karena berkenan dengan proses kerja serta hasil yang harus dirasakan bersama, sulit untuk berkembang lebih luas lagi karena keterbatasan bahan baku yang mampu disiapkan oleh warga Kulor 3 Komunitas Ikatan ekonomi semakin dominan karena saling mengutungkan, seharusnya lebih tahan dari berbagai upaya pemutusan ikatan dengan alasan apa pun termasuk alasan perbedaan agama namun ternyata ikatan tersebut putus akibat konflik yang bernuansa agama Sumber : Data Primer (Diolah Ikatan jual belil hasil kebun ubi kayu antara seorang warga Pia dengan seorang warga Kulor, saling meminjam antara individu warga Iha dengan Ihamahu Ikatan jual beli dimana kelompok pembuat sagu kasbi-ubi kayu dari Pia membeli bahan baku ubi kayu dari kelompok warga Kulor yang berusahatani ubi kayu Ikatan antara komunitas Kulor sebagai penyedia ubi kayu dengan Pia sebagai pembeli yang mengolahnya menjadi sagu kasbi Jejaring sosial yang ditemukan saat konflik terbentuk karena masyarakat menginginkan rasa aman serta untuk memenuhi kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jejaring social tersebut berupa jejaring sosial horizontal dan vertikal. Dalam jejaring sosial horizontal, anggota-anggotanya memiliki status sosial ekonomi yang

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Dasar Pemikiran : Hipotesis Pengarah Konflik menyebabkan keterpurukan dan cenderung mengarahkan masyarakat korban konflik kembali ke negeri asal sebagai bentuk jaminan keamanan

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Kesimpulan penelitian meliputi sumber konflik serta keterkaitan jejaring sosial dan konflik di pedesaan Saparua, diikuti dengan kesimpulan teoritik. Kesimpulan kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA

V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA Konflik di pedesaan Saparua sejak awal kemerdekaan bersumber pada sengketa batas tanah antar warga satu negeri dan batas tanah antar negeri. Konflik batas

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. perusakan dan pembakaran. Wilayah persebaran aksi perkelahian terkait konflik

BAB VI PENUTUP. perusakan dan pembakaran. Wilayah persebaran aksi perkelahian terkait konflik BAB VI PENUTUP VI.1 Kesimpulan Konflik TNI-Polri selama periode pasca Reformasi, 80% merupakan aksi perkelahian dalam bentuk penganiayaan, penembakan, pengeroyokan dan bentrokan; dan 20% sisanya merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang sangat tinggi, namun belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan agribisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah provinsi kepulauan dengan ciri khas sekumpulan gugusan pulau-pulau kecil di bagian timur wilayah

Lebih terperinci

Bab Tiga Belas Kesimpulan

Bab Tiga Belas Kesimpulan Bab Tiga Belas Kesimpulan Kehidupan manusia senantiasa terus diperhadapkan dengan integrasi, konflik dan reintegrasi. Kita tidak dapat menghindar dari hubungan dialektika tersebut. Inilah realitas dari

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut, BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dari analisis yang telah dilakukan terkait resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang guna mengatasi konflik di Sampit,

Lebih terperinci

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong di Pulau Saparua

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong di Pulau Saparua Bab Enam Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong di Pulau Saparua Pengantar Untuk memperoleh pengetahuan secara utuh dan menyeluruh tentang konflik yang terjadi antar warga

Lebih terperinci

BAB II. Gambaran Umum. A. Konflik Multikulturalisme di Maluku Pasca karya Rustam Kastor (2000:54) menjelaskan bahwa desa-desa di Maluku sebelum

BAB II. Gambaran Umum. A. Konflik Multikulturalisme di Maluku Pasca karya Rustam Kastor (2000:54) menjelaskan bahwa desa-desa di Maluku sebelum BAB II Gambaran Umum A. Konflik Multikulturalisme di Maluku Pasca 1998 Menurut buku Badai Pembalasan Laskar Mujahidin Ambon dan Maluku karya Rustam Kastor (2000:54) menjelaskan bahwa desa-desa di Maluku

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian

Lebih terperinci

Bab Satu Pendahuluan. Ciptaan: NN.

Bab Satu Pendahuluan. Ciptaan: NN. Bab Satu Pendahuluan Hela Rotan 1 Hela hela rotan e rotan e tifa jawa, jawa e babunyi Reff, rotan, rotan sudah putus sudah putus ujung dua, dua bakudapa e. Ciptaan: NN. Syair lagu di atas mengingatkan

Lebih terperinci

BAB IV DAMPAK DARI KONFLIK DAYAK DAN MADURA DI SAMALANTAN. hubungan yang pada awalnya baik-baik saja akan menjadi tidak baik, hal

BAB IV DAMPAK DARI KONFLIK DAYAK DAN MADURA DI SAMALANTAN. hubungan yang pada awalnya baik-baik saja akan menjadi tidak baik, hal BAB IV DAMPAK DARI KONFLIK DAYAK DAN MADURA DI SAMALANTAN A. Dampak Negatif Dampak negatif antara kedua suku yang bertikai tentu membuat hubungan yang pada awalnya baik-baik saja akan menjadi tidak baik,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maluku merupakan bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Indonesia yang memiliki nilai-nilai adat dan budaya yang beragam dan kaya. Situasi ini telah memberikan gambaran

Lebih terperinci

TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH

TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH A. Pendahuluan Maluku merupakan propinsi dengan sebaran tinggalan arkeologis yang cukup beragam. Tinggalan budaya ini meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan di Indonesia pluralitas agama merupakan realitas hidup yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun. Di negeri ini semua orang memiliki kebebasan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA. Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria,

BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA. Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria, BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku, dalam bab I dan landasan teori pada bab II serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan sejarah diketahui bahwa masyarakat Indonesia sudah menegenal ekonomi yang disebut pasar. Pasar merupakan kegiatan jual-beli itu, biasanya (1) berlokasi yang mudah didatangi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis Desa wukirsari merupakan salah satu Desa dari total 4 Desa yang berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Desa Wukirsari yang berada sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

PROSES MIGRASI ORANG MADURA

PROSES MIGRASI ORANG MADURA 29 PROSES MIGRASI ORANG MADURA Migrasi Berantai Migran Madura Etnis Madura dikenal sebagai salah satu etnis yang memiliki budaya migrasi, selain etnis Bugis, Batak dan Minangkabau (Mantra 1992). Terdapat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meski belum ada SMP dan SMA tidak mematahkan semangat anak-anak yang

BAB I PENDAHULUAN. meski belum ada SMP dan SMA tidak mematahkan semangat anak-anak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Nek Sawak terdapat satu sekolah dasar bernama SD N 11 Nek Sawak, meski belum ada SMP dan SMA tidak mematahkan semangat anak-anak yang ingin melanjutkan ke

Lebih terperinci

penjajahan sudah dirasakan bangsa Indonesia, ketika kemerdekaan telah diraih, maka akan tetap dipertahankan meskipun nyawa menjadi taruhannya.

penjajahan sudah dirasakan bangsa Indonesia, ketika kemerdekaan telah diraih, maka akan tetap dipertahankan meskipun nyawa menjadi taruhannya. BAB V KESIMPULAN Keadaan umum Kebumen pada masa kemerdekaan tidak jauh berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Konflik atau pertempuran yang terjadi selama masa Perang Kemerdekaan, terjadi juga di Kebumen.

Lebih terperinci

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih 1.1. Latar Belakang Pembangunan secara umum dan khususnya program pembangunan bidang pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melihat tentang penguatan modal sosial untuk pengembangan mafkah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melihat tentang penguatan modal sosial untuk pengembangan mafkah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan berhubungan dengan modal sosial antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Slamet Widodo (2012) yang melihat tentang penguatan modal

Lebih terperinci

KAJIAN TERMINOLOGI TERHADAP PEMBERITAAN PERANG GAZA: TINJAUAN SEMANTIK SKRIPSI. Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

KAJIAN TERMINOLOGI TERHADAP PEMBERITAAN PERANG GAZA: TINJAUAN SEMANTIK SKRIPSI. Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah KAJIAN TERMINOLOGI TERHADAP PEMBERITAAN PERANG GAZA: TINJAUAN SEMANTIK SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana S-I Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metodologi merupakan jalan yang ditempuh untuk mencapai pemahaman. Jalan untuk mencapai pemahaman tersebut ditetapkan secara bertanggungjawab secara ilmiah dan data yang dicari

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN 23 Gambaran penelitian yang dimuat dalam bab ini merupakan karakteristik dari sistem pertanian yang ada di Desa Cipeuteuy. Informasi mengenai pemerintahan

Lebih terperinci

Keseluruhan lingkungan X merupakan wilayah pemukiman yang padat penduduk. Pada

Keseluruhan lingkungan X merupakan wilayah pemukiman yang padat penduduk. Pada BAB II GAMBARAN UMUM PENGRAJIN ROTAN DI LINGKUNGAN X KELURAHAN SEI SIKAMBING D MEDAN 2.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 2.1.1 Letak Geografis Kelurahan Sei Sikambing D merupakan salah satu kelurahan dari

Lebih terperinci

Sepenggal kalimat Jania Hasan, seorang

Sepenggal kalimat Jania Hasan, seorang Pala, Penjaga Hutan Patani Oleh: Amalya Reza (FWI) Jania Hasan sedang toki pala atau mengupas biji pala dari kulitnya. Tong hidup dari ini toh, pala ini. Kalau tong tara punya beras, tinggal bawa tong

Lebih terperinci

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia dalam interaksi berbangsa dan bernegara terbagi atas lapisanlapisan sosial tertentu. Lapisan-lapisan tersebut terbentuk dengan sendirinya sebagai

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 Oleh Herry Darwanto 2 I. PERMASALAHAN Sebagai negara yang masyarakatnya heterogen, potensi konflik di Indonesia cenderung akan tetap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada IV. LOKASI PENELITIAN A. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada dinaungan Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara Berdasarkan Perda

Lebih terperinci

5 Jaring Dampar 4. 7 Tambak Ikan Rumpun 5. 6 Jaring Lingkar 20

5 Jaring Dampar 4. 7 Tambak Ikan Rumpun 5. 6 Jaring Lingkar 20 V. PETA SOSAL MASYARAKAT TUADA 4.1. Mata Pencarian Masyarakat Pasca Konflik. Desa Tuada merupakan salah satu desa dari 27 desa yang berada di wilayah kecamatan Jailolo dan secara geografis berada di wilayah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka pada bagian ini peneliti akan menarik beberapa kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN 56 5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN 5.1 Bentuk Keterlibatan Tengkulak Bentuk-bentuk keterlibatan tengkulak merupakan cara atau metode yang dilakukan oleh tengkulak untuk melibatkan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ADAT SAMBATAN BAHAN BANGUNAN DI DESA KEPUDIBENER KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN

BAB III DESKRIPSI ADAT SAMBATAN BAHAN BANGUNAN DI DESA KEPUDIBENER KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN BAB III DESKRIPSI ADAT SAMBATAN BAHAN BANGUNAN DI DESA KEPUDIBENER KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN A. Deskripsi Umum tentang Desa Kepudibener 1. Letak Geografis Desa Kepudibener merupakan satu desa yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO A. Keadaan Umum Desa Sukapura 1. Keadaan Geografis Desa

Lebih terperinci

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI Rusuh Ambon 11 September lalu merupakan salah satu bukti gagalnya sistem sekuler kapitalisme melindungi umat Islam dan melakukan integrasi sosial. Lantas bila khilafah

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Hasil identifikasi kerentanan

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN FAKTOR EKSTERNAL DENGAN EFEK KOMUNIKASI DALAM PEMASARAN LANTING UBI KAYU

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN FAKTOR EKSTERNAL DENGAN EFEK KOMUNIKASI DALAM PEMASARAN LANTING UBI KAYU 68 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN FAKTOR EKSTERNAL DENGAN EFEK KOMUNIKASI DALAM PEMASARAN LANTING UBI KAYU 6.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Efek Komunikasi dalam Pemasaran Lanting Ubi Kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam sejarah masyarakat Maluku, budaya sasi merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah ada sejak dahulu kala dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat, tokoh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Setiap suku

I. PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Setiap suku 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Wilayah Kota Bogor Kota Bogor terletak diantara 16 48 BT dan 6 26 LS serta mempunyai ketinggian minimal rata-rata 19 meter, maksimal 35 meter dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PERCEPATAN PEMULIHAN PEMBANGUNAN PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PASCAKONFLIK PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa saat ini masih terdapat permasalahan

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 7 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERCEPATAN PEMULIHAN PEMBANGUNAN PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PASCAKONFLIK

RGS Mitra 1 of 7 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERCEPATAN PEMULIHAN PEMBANGUNAN PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PASCAKONFLIK RGS Mitra 1 of 7 INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PERCEPATAN PEMULIHAN PEMBANGUNAN PROPINSI MALUKU DAN PROPINSI MALUKU UTARA PASCAKONFLIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Industri kuliner memiliki fungsi penting dalam pembangunan ekonomi terutama bagi perempuan di pedesaan. Studi dari Desa Ngawu menunjukkan bahwa usaha ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 A Sopaheluwakan, Tjeritera tentang Perdjandjian Persaudaraan Pela (Bongso-bongso) antara negeri

BAB I PENDAHULUAN. 1 A Sopaheluwakan, Tjeritera tentang Perdjandjian Persaudaraan Pela (Bongso-bongso) antara negeri BAB I PENDAHULUAN Di Ambon salah satu bentuk kekerabatan bisa dilihat dalam tradisi Pela Gandong. Tradisi Pela Gandong merupakan budaya orang Ambon yang menggambarkan suatu hubungan kekerabatan atau persaudaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan pertanian di Indonesia selama ini telah dititikberatkan pada peningkatan produksi pertanian. Namun dalam upaya peningkatan ini, terlihat tidak

Lebih terperinci

Adakah Ukuran Kemiskinan Buat Masyarakat Di Kabupaten Buru?

Adakah Ukuran Kemiskinan Buat Masyarakat Di Kabupaten Buru? Adakah Ukuran Kemiskinan Buat Masyarakat Di Kabupaten Buru? Ukuran kemiskinan adalah relatif, ketika seseorang masuk dalam kategori miskin namun baginya bukan suatu kesulitan maka pemaknaan miskin yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, maka Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, maka Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, maka Indonesia yang sebelumnya dijajah oleh Jepang selama 3,5 tahun berhasil mendapatkan kemerdekaannya setelah di bacakannya

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. xxx/05/21/th. V, 10 Mei 2010 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN FEBRUARI 2010 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI TERENDAH DALAM EMPAT TAHUN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 1. Keberadaan industri gula merah di Kecamatan Bojong yang masih bertahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 1. Keberadaan industri gula merah di Kecamatan Bojong yang masih bertahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Keberadaan industri gula merah di Kecamatan Bojong yang masih bertahan hingga saat

Lebih terperinci

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH Pendahuluan ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH Konflik etnik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (Kalteng) terjadi pada Febuari 2001. Akhir dari konflik ini lebih merupakan

Lebih terperinci

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA Sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, tujuan bangsa Indonesia adalah menciptakan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN 5.1. Gambaran Umum Desa Purwasari Desa Purwasari merupakan salah satu Desa pengembangan ubi jalar di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Usahatani ubi jalar menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai mahluk sosial, manusia akan senantiasa berinteraksi dengan mahluk lain sehingga aktivitas-aktivitas sosial mereka dapat terpenuhi. Interaksi sosial yang menjadi

Lebih terperinci

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL A. KONDISI UMUM Pelaksanaan pembangunan bidang kesejahteraan sosial selama periode 2001-2004

Lebih terperinci

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong di Pulau Ambon

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong di Pulau Ambon Bab Tujuh Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong di Pulau Ambon Pengantar Negeri Tulehu [Islam] dan negeri Waai [Kristen] di pulau Ambon adalah dua negeri adat di antara sejumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suku Bangsa Gayo menurut daerah kediaman dan tempat tinggalnya dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut Tawar, Gayo Linge yang

Lebih terperinci

PROSES KLIENTISASI PETANI DAN PEDAGANG DI DUSUN AROA DESA KATALOKA KECAMATAN PULAU GOROM KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR

PROSES KLIENTISASI PETANI DAN PEDAGANG DI DUSUN AROA DESA KATALOKA KECAMATAN PULAU GOROM KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR VOLUME 2 No.3 Oktober 2014 21 PROSES KLIENTISASI PETANI DAN PEDAGANG DI DUSUN AROA DESA KATALOKA KECAMATAN PULAU GOROM KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR THE CLIENTISATION PROCESS BETWEEN FARMERS AND TRADERS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat lereng Gunung Merapi. Banyaknya korban jiwa, harta benda dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat lereng Gunung Merapi. Banyaknya korban jiwa, harta benda dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Erupsi Merapi yang terjadi dua tahun lalu masih terngiang di telinga masyarakat lereng Gunung Merapi. Banyaknya korban jiwa, harta benda dan kehilangan mata

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan andal sebagai usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi etnis, bangsa yang kaya dengan keanekaragaman suku bangsa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah Pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes terbentuk dari beberapa komponen lembaga pemasaran, yaitu pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar jumlah penduduk Indonesia yang rata-rata berpendidikan rendah

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar jumlah penduduk Indonesia yang rata-rata berpendidikan rendah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, Usaha Kecil Menengah (UKM) digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting. Hal ini dapat dilihat karena Usaha Kecil

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA 36 BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA 5.1 Gambaran Sosial-Budaya Masyarakat Lokal Masyarakat Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat yang identik dengan agama Islam dikarenakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam data pemilih pada pemilihan Peratin Pekon Rawas Kecamatan Pesisir

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam data pemilih pada pemilihan Peratin Pekon Rawas Kecamatan Pesisir 59 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Responden Responden dalam penelitian ini adalah para pemilih pemula yang tercatat dalam data pemilih pada pemilihan Peratin Pekon Rawas Kecamatan Pesisir Tengah

Lebih terperinci

KECAMATAN TEHORU BERSAMA MEMBANGUN KECAMATAN TEHORU YANG LEBIH BERKUALITAS, SEJAHTERA, DAMAI DAN BEKEADILAN

KECAMATAN TEHORU BERSAMA MEMBANGUN KECAMATAN TEHORU YANG LEBIH BERKUALITAS, SEJAHTERA, DAMAI DAN BEKEADILAN KECAMATAN. MISI : BERSAMA MEMBANGUN KECAMATAN YANG LEBIH BERKUALITAS, SEJAHTERA, DAMAI DAN BEKEADILAN. MISI :. MEMBANGUN MASYARAKAT KECAMATAN YANG LEBIH SEHAT, CERDAS, DAN PROPESIONAL. MEMPERKUAT PEREKONOMIAN

Lebih terperinci

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA Pada bab ini penulis akan bercerita tentang bagaimana sejarah konflik antara Palestina dan Israel dan dampak yang terjadi pada warga Palestina akibat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL A. KONDISI UMUM Pelaksanaan pembangunan bidang kesejahteraan sosial selama periode 2001-2004 memperlihatkan kondisi yang menggembirakan, terutama

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM

BAB II GAMBARAN UMUM BAB II GAMBARAN UMUM 2.I Identifikasi Wilayah 2.1.1 Lokasi Desa Sukanalu Desa Sukanalu termasuk dalam wilayah kecamatan Barus Jahe, kabupaten Karo, propinsi Sumatera Utara. Luas wilayah Sukanalu adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga

Lebih terperinci

Ini Dia Kronologis Kebakaran Hutan Yang Habiskan Lahan Riau

Ini Dia Kronologis Kebakaran Hutan Yang Habiskan Lahan Riau Ini Dia Kronologis Kebakaran Hutan Yang Habiskan Lahan Riau Nusantarapos,- Kebakaran hutan di Propinsi Riau yang terjadi beberapa waktu yang lalu ternyata menjadikan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup,

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PRUSEDUR PENCEGAHAN KONFLIK, PENGHENTIAN KONFLIK DAN PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan menjadi tolak ukur kemajuan Negara. Secara umum, Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bahkan menjadi tolak ukur kemajuan Negara. Secara umum, Indonesia merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan aspek yang penting dalam kehidupan suatu negara dan bahkan menjadi tolak ukur kemajuan Negara. Secara umum, Indonesia merupakan negara yang mutu

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Kelompok 5. 1.Alma Choirunnisa (02) 2.Anjar Kumala Rani (03) 3.Sesario Agung Bagaskara (31) 4.Umi Milati Chanifa (35) XI MIPA 5

Disusun Oleh : Kelompok 5. 1.Alma Choirunnisa (02) 2.Anjar Kumala Rani (03) 3.Sesario Agung Bagaskara (31) 4.Umi Milati Chanifa (35) XI MIPA 5 Disusun Oleh : Kelompok 5 1.Alma Choirunnisa (02) 2.Anjar Kumala Rani (03) 3.Sesario Agung Bagaskara (31) 4.Umi Milati Chanifa (35) XI MIPA 5 LATAR BELAKANG TOKOH PEMIMPIN KRONOLOGIS PETA KONSEP PERLAWANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan elemen utama organisasi dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan elemen utama organisasi dibandingkan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sumber daya manusia merupakan elemen utama organisasi dibandingkan dengan elemen lain seperti modal, teknologi, dan uang sebab manusia itu sendiri yang mengendalikan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 8

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 8 SP MDF FSPMI Klari Karawang LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 8 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH UMUM Pengaturan pengupahan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 pun tidak lepas dan luput dari persoalan yang berkaitan dengan ketahanan wilayah karena dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini telah dijumpai beberapa warga etnis seperti Arab, India, Melayu apalagi warga etnis Tionghoa, mereka sebagian besar telah menjadi warga Indonesia,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Hargomuylo adalah Kota Jakarta. Jakarta sebagai pusat kota di Indonesia memang

BAB V PENUTUP. Hargomuylo adalah Kota Jakarta. Jakarta sebagai pusat kota di Indonesia memang BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Migrasi merupakan salah satu alternatif yang dipilih oleh mayoritas masyarakat Desa Hargomulyo sebagai sarana mobilitas status sosial. Adapun salah satu daerah tujuan migrasi

Lebih terperinci