BAB V. Penutup. Transformasi institusi yang terjadi di Papua merupakan konsekuensi dari

Transkripsi

1 BAB V Penutup A. Kesimpulan Transformasi institusi yang terjadi di Papua merupakan konsekuensi dari peberlakuan otonomi khusus. Otonomi khusus Papua merupakan respon dari Pemerintah Pusat untuk menjawab tuntutan masyarakat asli Papua terhadap kesenjangan pembangunan dan kesejahteraan yang pada akhirnya kembali menguatkan isu Papua merdeka. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Papua, Pemerintah Pusat memberikan kebijakan otonomi khusus yang dihasilkan lewat kesepakatan bersama masyarakat asli dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua. Papua membutuhkan cara penangan yang berbeda untuk mengatasi semua permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, otonomi khusus hadir sebagai solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah kesenjangan pembangunan, pelayanan dasar, dan peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat asli di Papua. Namun pada kenyataannya, setelah lebih dari satu dekade otonomi khusus diimplementasikan, masyarakat asli Papua merasa bahwa tidak ada dampak positif dan perubahan yang terjadi secara signifikan. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat asli Papua khususnya elit lokal yang merupakan representasi masyarakat ikut merespon implementasi otonomi khusus dengan sikap yang bervariasi. 95

2 Respon elit lokal di Papua terhadap implementasi otonomi khusus dapat dipetakan menjadi tiga sikap. Pertama, sikap elit lokal yang mendukung pelaksanaan otonomi khusus. Kelompok ini terdiri dari elit lokal yang menjadi bagian dari birokrasi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Papua. Sikap dukungan yang diperlihatkan kelompok ini yaitu dengan cara terlibat langsung sebagai aparat pemerintah dalam pelaksanaan otonomi khusus. Selain itu, birokrat asli Papua yang mendukung pelaksanaan otonomi khusus berencana melakukan revisi undang-undang otonomi khusus Papua menjadi otonomi khusus plus. Otonomi khusus plus nantinya diharapkan mampu menutupi kekurangan serta menjalankan setiap pasal yang belum diimplementasikan dalam undang-undang otonomi khusus sebelumnya. Kedua, kelompok elit lokal yang menolak otonomi khusus Papua. Mereka menilai dampak otonomi khusus sama sekali tidak mendatangkan sesuatu yang positif bagi kesejahteraan masyarakat asli Papua. Otonomi khusus yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemda Provinsi Papua terkesan hanya sebagai alat untuk meredam isu Papua merdeka melalui kucuran dana yang besar. Bagi elit lokal yang menolak, Otonomi khusus dinilai hanya menguntungkan elit-elite birokrasi di Papua. Sebagai sikap atas penolakannya terhadap implementasi otonomi khusus yang dinilai gagal, masyarakat asli Papua yang menolak telah mengembalikan Otonomi Khusus Papua secara simbolik kepada Pemerintah Pusat. Dan yang ketiga adalah elit lokal yang apatis dalam merespon otonomi khusus. Sikap kelompok ini terkesan tidak peduli terhadap implementasi otonomi khusus berikut dampaknya. 96

3 Namun, pada kenyataannya sikap elit lokal di Papua dalam merespon kebijakan otonomi khusus sangat dinamis. Pendirian elit lokal dalam bersikap selalu berubah-ubah, baik yang mendukung, menolak, maupun bersikap apatis terhadap implementasi otonomi khusus. Sikap elit lokal yang dinamis tersebut dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor pertama adalah pilihan rasional (rational choice) yang digunakan oleh masyarakat. Faktor ini lebih cenderung melihat perhitungan strategis dari elit lokal. Faktor kedua adalah faktor kesukuan dan solidaritas etnis. Jika faktor rational choice dipengaruhi oleh perhitungan strategis, maka sikap yang dipengaruhi oleh faktor kesukuan dan solidaritas etnis lebih mempertimbangkan aspek lingkungan, dimana di dalamnya telah tersedia indentitas dan nilai.. B. Refleksi Teoritik Jika merujuk pada pendekatan institusionalisme baru (new institutionalism) untuk menyoroti sikap elit lokal dalam merespon implementasi otonomi khusus, maka sikap-sikap yang muncul dapat dijelaskan dengan 2 aspek yang digunakan dalam mengkerangkai data. Aspek rational choice institutionalism digunakan untuk mendeskripsikan dukungan elit lokal terhadap pelaksanaan otonomi khusus di Papua, kelompok ini terdiri dari elit-elit birokrasi di lingkungan Pemda Provinsi Papua. Menurut penjelasan rational choice institutionalism, aktor-aktor membangun dan merubah institusi untuk mencapai kepentingan pribadi. Hal ini kemudian bisa menjelaskan fenomena yang tejadi di Papua, dimana Pemerintah Daerah Provinsi Papua merevisi undang-undang otonomi khusus menjadi 97

4 otonomi khusus plus tanpa melakukan dialog dengan masyarakat. Sekalipun terjadi perubahan, transformasi institusi di Papua berlangsung secara perlahan atau evolusioner. Perubahan institusi secara perlahan atau evolusioner disebabkan oleh kemapanan institusi sebelumnya. Institusi yang mapan sulit untuk diubah, penyebabnya adalah aktor-aktor tidak merasa yakin jika perubahan institusi nantinya masih mampu mengakomodir kepentingan mereka. Namun, Transformasi institusi masih bisa terjadi ketika aktor-aktor di dalam institusi yang lama mendapatkan jaminan bahwa kepentingannya akan tetap terakomodir di institusi yang baru. Hal ini juga yang terjadi di Papua. implementasi otonomi khusus terkesan tidak maskimal karena semua sumber daya dialokasikan demi kepentingan elit birokrasi di lokal. Sekalipun undang-undang otonomi khusus telah direvisi menjadi otonomi khusus plus, namun tidak ada jaminan bahwa perubahan konstitusi tersebut akan lebih baik dari undang-undang sebelumnya. Namun satu yang pasti, gagasan otonomi khusus plus telah menjaminan kepentingan elit birokrasi Papua pada institusi yang baru. Aspek kedua adalah sociological institutionalism. Aspek sociological institutionalism lebih menekankan pada sisi normatif ketimbang aspek kepentingan seperti yang dikemukakan oleh rational choice institutionalism. Aspek ini percaya bahwa lingkungan membentuk nilai dan identitas aktor. Oleh karena itu aktor akan bertindak sesuai dengan nilai dan identitas yang mereka miliki. Aspek sociological institutionalism dapat digunakan untuk menggambarkan sikap elit lokal di Papua yang menolak implementasi otonomi khusus. Sebagai obyek sasaran dari amanah 98

5 otonomi khusus, masyarakat Papua merasakan persis dampak otonomi khusus Papua. Bagi elit lokal dalam golongan ini, otonomi khusus sama sekali tidak berdampak positif. Kenyataan dan situasi inilah yang mendasari tindakan masyarakat asli Papua untuk menolak otonomi khusus Papua. 99