PETA KEKERASAN DI INDONESIA (SEPTEMBER-DESEMBER 2013) DAN KONFLIK ANTARKELOMPOK DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PETA KEKERASAN DI INDONESIA (SEPTEMBER-DESEMBER 2013) DAN KONFLIK ANTARKELOMPOK DI INDONESIA"

Transkripsi

1 KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN THE HABIBIE CENTER Edisi 06/Maret 2014 PETA KEKERASAN DI INDONESIA (SEPTEMBER-DESEMBER 2013) DAN KONFLIK ANTARKELOMPOK DI INDONESIA

2 ACEH KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN BARAT SULAWESI TENGAH MALUKU UTARA PAPUA BARAT LAMPUNG KALIMANTAN TENGAH JABODETABEK MALUKU PAPUA NTB NTT Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini diterbitkan melalui program SNPK, yang bertujuan menyediakan data dan analisis kekerasan yang akurat dan cepat bagi pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia dalam mendukung penyusunan kebijakan dan program dalam bidang konflik yang berbasis data. Program ini didanai oleh The Korea Economic Transitions and Peacebulding Trust Fund dan diimplementasikan sejak 2012 melalui kerjasama antara The Habibie Center, Kedeputian I Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), dan Bank Dunia. Sebagai bagian dari program SNPK, saat ini sedang dibangun database untuk mencatat seluruh insiden kekerasan yang terjadi di provinsi sasaran secara reguler. Database SNPK adalah milik Kemenkokesra, yang bisa diakses pada Database ini untuk sementara mencakup tigabelas provinsi di Indonesia: Aceh, Lampung, Kalimantan Barat, kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, NTT, NTB dan Jabodetabek. Seperti ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di bidang konflik sebelumnya, surat kabar lokal di Indonesia merupakan sumber informasi yang paling tepat untuk mengumpulkan data kekerasan secara sistematis dan kontinu. Mengikuti hal itu, SNPK membangun database menggunakan 49 surat kabar lokal di tigabelas provinsi sasaran, meski sumber-sumber lain juga dipergunakan secara rutin untuk proses verifikasi. Agar analisis data dapat berjalan maksimal, database menggunakan definisi kekerasan secara luas, yaitu: sebuah tindakan yang mengakibatkan dampak fisik secara langsung. Untuk setiap insiden kekerasan, sejumlah variabel kunci dicatat dalam database, termasuk: tanggal dan lokasi kejadian; dampak fisik terhadap manusia dan harta benda; pemicu dan bentuk kekerasan; aktor yang terlibat dan senjata yang digunakan; serta upaya penghentian kekerasan dan hasilnya. Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini dipublikasikan oleh secara berkala setiap 4 bulan sekali dengan tujuan menjelaskan tren dan pola baru yang muncul di provinsi sasaran program SNPK. Isi Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini merupakan pandangan tim SNPK-.

3 Ringkasan Eksekutif Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) mengamati secara sistematis dan kontinu Provinsi Aceh, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Jakarta - Bogor - Depok - Tangerang - Bekasi (Jabodetabek). Sebagai bagian dari program SNPK, Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini bertujuan menggambarkan tren kekerasan yang dipantau dalam periode September-Desember 2013 dan mengkaji isu konflik antarkelompok di Indonesia. Pada empat bulan terakhir tahun 2013 tercatat insiden kekerasan yang menyebabkan 331 tewas, cedera, 281 korban pemerkosaan, dan 526 bangunan rusak. 1 Kekerasan pada empat bulan terakhir ini didominasi oleh Kriminalitas (58.7%), diikuti oleh Konflik Kekerasan (27.1%). Jenis kekerasan yang juga dipantau adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT (7.5%) dan Kekerasan Aparat (6.5%). Di empat bulan terakhir tahun 2013 terdapat beberapa insiden yang menjadi sorotan dan penting untuk diperhatian yaitu berlanjutnya konflik lahan antarwarga di NTT dan demonstrasi yang berlangsung selama empat bulan silih berganti terjadi di daerah Jabodetabek seperti di Bekasi dan Tanggerang yang berakhir dengan insiden-insiden kekerasan. Di samping itu kekerasan dalam Pemilukada kembali terjadi di Aceh dan di Maluku Utara. Sedangkan di hari terakhir tahun 2013, terjadi baku tembak antara pihak kepolisian dan pihak yang ditengarai sebagai teroris di daerah Tanggerang Selatan, Banten yang mengakibatkan lima orang tewas. Secara umum di periode empat bulan terakhir ini konflik lahan (54%) masih mendominasi insiden-insiden yang terjadi dalam konflik sumber daya. NTT masih merupakan wilayah yang rawan konflik lahan dengan 14 insiden dan dampak 5 tewas, 24 cedera dan 142 bangunan rusak. Pada periode ini dampak kerusakan bangunan akibat konflik lahan di NTT menyumbang peningkatan keseluruhan dampak kerusakan bangunan dalam konflik sumber daya sebesar 123% dari periode sebelumnya. Konflik lahan yang memiliki dampak mematikan di NTT terkait sengeketa lahan batas desa terjadi di antara warga Wulublolon dan Warga Lohayong di Menanga, Solor Timur, Flores Timur. SNPK mencatat dua insiden di antara kedua desa tersbut yang menewaskan tiga orang, mencederai tujuh orang dan merusak 139 bangunan. 1 Angka ini berdasarkan data yang diunduh dari pada 19 Februari 2014 dan dapat berubah karena setiap bulannya dilakukan proses pemutakhiran data. Selama empat bulan berturut-turut terjadi demonstrasi buruh terkait tuntutan kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) di daerah Jabodetabek yang berujung dengan insiden kekerasan. Insiden kekerasan akibat kekerasan demonstrasi menuntut kenaikan UPM ini menyumbang cedera sebanyak 35.7% dari keseluruhan insiden kekerasan Tata Kelola Pemerintahan sebanyak 93 insiden dengan dampak 70 cedera dan 50 bangunan rusak. Insiden demonstrasi ini sebenarnya dapat diantisipasi karena di setiap bulan September-Desember menjadi agenda tahunan untuk menentukan permasalahan UPM ini. Kekerasan terkait Pemilukada kembali muncul di daerah Aceh untuk tingkat pemilihan kabupaten dan di Maluku Utara pada tingkat pemilihan Gubernur. SNPK mencatat terjadi total 11 insiden kekerasan dengan dampak 22 orang cedera dan tiga bangunan rusak dalam pemilukada di Kabupaten Pidie Jaya dan Kota Subulussalam di provinsi Aceh. Sedangkan, Pemilihan Gubernur yang berlangsung dua putaran di Maluku Utara tercatat mengakibatkan total 18 insiden kekerasan yang berdampak satu orang tewas, 27 cedera dan lima bangunan rusak. Data SNPK sendiri mencatat 58 insiden konflik pemilihan dan jabatan yang menewaskan satu orang, mencederai 88 orang dan 88 bangunan rusak dalam periode September-Desember 2013 ini. Di hari terakhir tahun 2013 terjadi insiden kekerasan terkait terorisme yang mengakibatkan enam angota kelompok tertuga teroris tewas. Insiden baku tembak antara pihak kepolisian dan kelompok terduga teroris ini terjadi di Ciputat, Tangerang Selatan. Insiden kekerasan ini juga terkait dengan tindak kriminalitas tujuh hari sebelumnya, 24 Desember 2013, dimana terjadi perampokan bank BRI dengan hasil rampasan sebesar 570 juta rupiah. Tindak kriminal ini diduga kuat terkait dengan gerakan kelompok teroris di Ciputat untuk membiayai operasi kelompok terduga teroris tersebut. Kajian Perdamaian dan Kebijakan kali ini memfokuskan fenomena konflik antarkelompok berbasis identitas sebagai isu utama. Berdasarkan data SNPK, konflik antarkelompok yang berkepanjangan di beberapa wilayah di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan pada tahun Akan tetapi, tren kekerasan cenderung meningkat pasca tahun 2005 dengan skala yang lebih kecil, terlokalisir, dan bersifat episodik. Ini menunjukan konflik-konflik antarkelompok berbasis identitas masih cukup potensial kembali terjadi di Indonesia Data SNPK juga menunjukkan pergeseran isu yang melatarbelakangi konflik antarkelompok pada periode Kajian Perdamaian dan Kebijakan 1

4 Kekerasan pada masa konflik komunal berkepanjangan ( ) dipicu oleh masalah antaragama dan antaretnik, sedangkan pada masa setelahnya kekerasan lebih banyak terjadi karena isu antarkampung dan antaretnik. Dari penelusuran data SNPK sepanjang , kekerasan terkait konflik antarkelompok berbasis identitas tercatat sebanyak 610 insiden yang mengakibatkan 182 tewas, cedera, dan bangunan rusak. Mayoritas dampak kekerasan konflik antarkelompok terjadi akibat insiden-insiden besar. Tak hanya itu, sebagian besar kekerasan antarkelompok terjadi dengan mobilisasi massa, seperti bentrokan dan kerusuhan. Berdasarkan data SNPK kekerasan antarkelompok berbasis identitas kerap dipicu oleh beberapa persoalan, yakni aksi balasan terhadap insiden-insiden kekerasan berskala kecil (penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian) yang terjadi sebelumnya; respon atas aksi kriminalitas (seperti pencurian dan perampokan); penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap diskriminatif; persoalan harga diri, ketersinggungan, dan tindakan asusila/pelecehan; ketidakpuasan terhadap upaya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Jika dilihat persebaran wilayah, kekerasan antarkelompok berbasis identitas dominan terjadi di tiga provinsi, yakni Papua, NTB, dan Lampung. Intensitas insiden paling tinggi ada di Provinsi Papua dan NTB, sedangkan Provinsi Lampung menjadi wilayah yang rerata insiden dengan dampak tewas tertinggi jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Beberapa kasus penting terkait fenonema kekerasan antarkelompok berbasis identitas yang dibahas pada kajian ini adalah konflik antarsuku di Mimika, Papua, konflik antarkampung di Lombok Tengah, NTB, dan konflik multietnik di Lampung Selatan, Lampung. Dalam menganalisis kasus-kasus penting tersebut, tim peneliti SNPK-THC mengawali dengan analisis data SNPK tahun , kemudian didukung oleh studi pustaka, wawancara pakar dan aktivis, serta studi lapangan di Lombok Tengah dan Lampung Selatan pada awal Februari Dari beberapa kasus kekerasan di tiga wilayah (Papua, NTB, dan Lampung) tersebut, tim peneliti SNPK-THC mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada kekerasan, diantaranya Pertama, Faktor sosial-budaya, yakni adanya solidaritas mekanik yang kuat dan dendam mendalam, serta sterotype negatif di tengah kelompok masyarakat; Kedua, Faktor ekonomi, seperti persaingan akses terhadap sumber daya dan ketimpangan antarakelompok masyarakat; Ketiga, Faktor migrasi penduduk; Keempat, Faktor pola penanganan, seperti lambannya respon aparat pemerintahan dan upaya perdamaian tidak efektif. Persoalan struktural seperti kebijakan pemerintah juga turut mempengaruhi dinamika konflik antarkelompok. Tim peneliti SNPK-THC mengidentifikasikan dua kebijakan pemerintah yang penting diperhatikan terkait kebijakan pembangunan dan penanganan konflik. Pertama, dari hasil studi tim SNPK-THC terdapat kebijakan-kebijakan pembangunan yang cenderung mengesampingkan dimensi kohesi sosial di dalam kelompok-kelompok masyarakat yang membuka peluang munculnya konflik di tengah masyarakat, seperti kebijakan transmigrasi di Lampung Selatan, Lampung, kebijakan diskriminatif terhadap lapangan pekerjaan di Lombok Tengah, NTB dan ketidakpekaan pemerintah terhadap arus migrasi penduduk menuju Mimika, Papua. Kedua, terkait kebijakan penanganan konflik di tingkat lokal. Dari hasil studi tim SNPK-THC, penanganan konflik masih sangat menitikberatkan pada upaya penghentian kekerasan. Padahal jika merujuk pada UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, aspek pencegahan dan pemulihan tidak bisa dilepaskan dari upaya penyelesaian konflik sosial di masyarakat Dari hasil studi tim SNPK-THC, kekerasan terkait konflik antarkelompok berbasis identitas perlu penanganan yang tepat dan komprehensif. Aspek pencegahan dan pemulihan konflik kekerasan antarkelompok perlu dikedepankan. Hal ini harus pula diikuti dengan upaya penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku kekerasan. Di samping itu, upaya penanganan konflik juga dapat didukung oleh keberadaan forumforum kemasyarakatan (representasi setiap elemen kelompok) yang bekerja optimal untuk meredam dan menyelesaikan konflik kekerasan antarkelompok. Tokohtokoh masyarakat (adat dan agama) juga harus dilibatkan untuk mengurangi potensi terjadinya kekerasan. Penyelesaian konflik yang juga tidak bisa dilepaskan dari upaya perbaikan strategi pembangunan di tingkat daerah. Tak hanya itu, upaya menghilangkan segregasi sosial di tengah kelompok masyarakat dapat menjadi solusi dalam penyelesaikan konflik. Upaya tersebut dapat dilakukan pemerintah dengan menghilangkan permukiman-permukiman warga berdasarkan identitas kelompok etnis tertentu dan menciptakan ruang-ruang publik yang dapat membuat kelompok-kelompok masyarakat dari beragam identitas (etnis, agama, dan desa/kampung) saling berinteraksi. --- Kajian Perdamaian dan Kebijakan 2

5 Bagian 1. Pola dan Tren Kekerasan di Tigabelas Provinsi Dalam periode empat bulan terkahir di tahun 2013 terdapat insiden kekerasan dengan dampak 331 tewas, cedera, 281 korban pemerkosaan, dan 526 bangunan rusak (Gambar 1). 2 Sepanjang bulan September-Desember tersebut beberapa insiden kekerasan yang penting untuk diperhatikan adalah seperti terus berlanjutnya konflik lahan antarwarga di NTT. Pada periode ini isu perburuhan menjadi sorotan karena demonstrasi yang berlangsung selama empat bulan silih berganti terjadi di daerah Jabodetabek seperti di Bekasi dan Tanggerang yang berujung pada beberapa insiden kekerasan. Selain itu kekerasan dalam Pemilukada juga kembali terjadi di Aceh pada tingkat kabupaten dan di Maluku Utara pada pemilihan gubernur putaran kedua. Sedangkan di penghujung tahun 2013, terjadi baku tembak antara pihak kepolisian dan pihak yang ditengarai sebagai teroris di daerah Tanggerang Selatan, Banten yang mengakibatkan lima orang tewas. Bila dibandingkan dengan periode empat bulan sebelumnya, data SNPK memperlihatkan penurunan tren insiden kekerasan, sekitar 5% pada bulan September- Desember 2013 (Gambar 2). Semua dampak insiden kekerasan juga mengalami penurunan pada periode ini, kecuali dampak bangunan rusak yang melonjak 38% dari periode sebelumnya. Naiknya dampak bangunan rusak tersebut salah satunya disebabkan oleh bentrokan yang terkait sengketa lahan di NTT pada bulan November 2013 dengan dampak kerusakan 139 bangunan. Variasi peningkatan juga terjadi di beberapa isu lain seperti konflik identitas, dimana jumlah insidennya naik sekitar 22%. Kenaikan jumlah insiden ini disebabkan insiden kekerasan antarpelajar bertambah dua kali lipat lebih dari pada periode Mei-Agustus 2013 lalu. Gambar 2. Perbandingan Insiden dan Dampak Kekerasan di 13 Provinsi (Mei-Agustus dan September-Desember 2013) Terakhir, korban cedera terkait konflik pemilihan dan jabatan mengalami kenaikan sebanyak 41%. Jumlah korban cedera pada kategori ini meningkat di bulan Oktober 2013 pada pemilihan bupati di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh dan di bulan November 2013 akibat konflik pemilihan gubernur putaran kedua di Maluku Utara. Data SNPK membagi jenis kekerasan menjadi empat kategori, yaitu konflik kekerasan, kriminalitas, KDRT, dan kekerasan aparat (Tabel 1). Pada Periode September- Desember 2013 ini kategori dengan insiden terbanyak adalah kriminalitas 58.7%, Konflik Kekerasan 27.1%, KDRT 7.5% dan Kekerasan Aparat 6.5%. Secara konsisten sepanjang tahun 2013 kekerasan didominasi oleh kriminalitas dan konflik kekerasan. Gambar 1. Insiden dan Dampak Kekerasan di 13 Provinsi (Januari 2012-Desember 2013) 2 Sejak 20 Agustus 2013, database SNPK telah mencakup empat provinsi tambahan, yakni Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Kajian Perdamaian dan Kebijakan 3

6 Tabel 1. Insiden dan Dampak Kekerasan Menurut Jenis Kekerasan di 13 Provinsi (September-Desember 2013) Jenis Kekerasan Definisi Jumlah Insiden Dampak Kekerasan Tewas Cedera Pemerkosaan Bangunan Rusak Konflik Sumber Daya Tata Kelola Pemerintahan - Pemilihan dan Jabatan Identitas Main Hakim Sendiri Separatisme Lainnya Kekerasan Aparat Kriminalitas KDRT Total Mengingat luasnya cakupan insiden kekerasan maka program SNPK menggunakan beberapa definisi penting untuk membedakan jenis kekerasan, yaitu: Konflik kekerasan adalah jenis kekerasan yang terjadi karena adanya sengketa yang melatarbelakangi atau diperselisihkan dan pihak tertentu yang menjadi sasaran. Definisi konflik kekerasan tersebut mencakup insideninsiden berskala kecil yang hanya melibatkan beberapa individu dan/atau insiden besar antarkelompok. Kriminalitas dengan kekerasan adalah insiden kekerasan yang terjadi tanpa adanya sengketa yang diperselisihkan sebelumnya dan target tertentu. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah seluruh tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, di mana anggota keluarga tersebut tinggal satu atap/satu rumah, termasuk di dalamnya kekerasan yang dilakukan anggota keluarga terhadap pembantu rumah tangga. Kekerasan aparat adalah seluruh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan formal dalam merespon tindak kriminalitas. Tindakan tersebut termasuk kekerasan yang dianggap sesuai dengan atau melebihi wewenang mereka. 1.a. Konflik Kekerasan Pada periode September-Desember 2013 data SNPK mencatat 109 insiden kekerasan terkait isu sumber daya dengan dampak 13 orang tewas, 100 cedera, dan 181 bangunan rusak. Dari total insiden tersebut, 62 insiden (57%) diantaranya terjadi karena konflik lahan. Sepanjang tahun 2013, sebagian besar konflik sumberdaya terjadi akibat konflik lahan (54%). Provinsi NTT merupakan wilayah yang kerap mengalami konflik lahan dan memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya (Gambar 3). Sepanjang September-Desember ini tercatat 14 insiden konflik lahan dengan dampak lima tewas, 24 cedera dan 142 bangunan rusak. Konflik lahan di NTT ini mengakibatkan keseluruhan kerusakan bangunan dalam konflik sumber daya naik sebanyak 123% dari periode sebelumnya. Dari 14 insiden kekerasan akibat lahan di NTT, 12 diantaranya terjadi antara warga dan warga. Konflik lahan antarwarga di NTT biasanya terkait kepemilikan individu seperti lahan pertanian/garapan dan lahan domestik (tetangga, keluarga, dan warisan) serta konflik kepemilikan komunal seperti sengketa tanah ulayat dan batas wilayah desa. Faktor eksternal yang mendorong konflik kepemilikan baik individu maupun komunal adalah perubahan sosial ekonomi yang terjadi di NTT dan faktor kebijakan terkait lahan. 3 Dua insiden kekerasan akibat konflik lahan di NTT yang menjadi sorotan adalah bentrok antara warga Wulublolon dengan Warga Lohayong, di Menanga, Solor Timur, Flores Timur. Insiden di hari pertama, 4 November 2013, mengakibatkan satu orang cedera dan satu rumah terbakar. Insiden kembali terulang keesokan harinya, 5 November 2013, dengan dampak yang mematikan dimana tiga orang tewas, tujuh orang terluka dan 139 rusak akibat dibakar. Dalam bentrokan yang tejadi dua hari tersebut diketahui kedua belah pihak menggunakan senjata tajam yaitu parang, panah, dan bom rakitan. Insiden kekerasan antara warga Wulublolon dan Warga Lohayong merupakan sengketa lahan terkait kepemilikan komunal karena kedua desa saling klaim lahan di perbatasan kedua desa. Sengketa lahan antara kedua desa bertetangga tersebut sudah berlangsung semenjak 1970an dan sempat terjadi beberapa kali dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Permasalahan lahan juga pernah muncul tahun 2005 saat salah satu desa membangun gapura di batas desa yang disengketakan (Kompas, 7 November 2013). Pada tahun 2007 sengketa lahan batas desa antara warga Wulublolon dan warga Lahoyong kembali terjadi tetapi berhasil diredam. Namun demikian, menurut Matias Enay, ketua komisi B DPRD Flores Timur, redanya konflik antara kedua desa tersebut tidak dibarengi dengan penyelesaian sengketa lahan batas desa (Flores Pos, 6 November 2011). Tolan Herin, seorang 3 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 05/November 2013, hal 10. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 4

7 Gambar 3. Konflik Lahan di NTT dan Keterlibatan Aktor Warga di NTT ( ) tokoh di Solor mengatakan pada tahun 2011 nyaris pecah bentrokan antara warga Wulublolon dan Warga Lohayong namun berhasil dicegah oleh aparat Polri dan TNI (Kompas, 6 November 2013). Tidak tuntasnya penanganan masalah batas wilayah kedua desa tersebut di tahun 2005, 2007, 2011 berpengaruh pada insiden bentrokan di November Berdasarkan analisis terhadap data SNPK periode tentang sengketa perbatasan desa di NTT, tercatat 27 insiden terjadi dengan dampak sembilan tewas dan 77 cedera. Permasalahan administratif batas wilayah kerap terjadi di daerah lain di Kabupaten Flores Timur, seperti antara Desa Horowura dan Desa Lamahala. Permasalahan administratif wilayah desa ini terkait dengan tidak adanya pemetaan perbatasan desa di tingkat kecamatan dan desa, baik oleh Pemda maupun BPN Flores Timur. 4 Selama kurun waktu September-Desember 2013 SNPK mencatat 93 insiden kekerasan Tata Kelola Pemerintahan dengan 70 orang cedera dan 50 bangunan rusak. Jumlah tersebut didominasi oleh insiden sengketa penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP). Sebagai contoh, terdapat tiga insiden UMP di Jabodetabek dengan 25 orang cedera. Pada dasarnya UMP tiap tahunnya diputuskan antara bulan September-Desember oleh Gubernur melalui surat keputusan gubernur setelah mendengarkan usulan dari Dewan Pengupahan Propinsi. Karena UMP adalah agenda tahunan maka pemerintah beserta aparat keamanan pada dasarnya bisa mengantisipasi terjadinya tindakantindakan yang mengarah pada kekerasan. 5 Pada kenyataanya insiden kekerasan terkait penetapan UMP tetap terjadi setiap menjelang ataupun setelah penetapan upah. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpuasan para pihak terkait, baik pengusaha maupun 4 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 05/November 2013, hal 14 dan Anggota Dewan Pengupahan Provinsi terdiri dari pemerintah, perwakilan buruh, pengusaha dan pihak netral dari akademisi yang melakukan pengkajian atas Komponen Hidup Layak (KHL) yang terdiri atas 60 komponen sebagai dasar UMP. buruh atas penetapan nilai UMP. Pihak buruh kemudian melakukan aksi demonstrasi seperti yang terjadi pada tiga insiden di Jabodetabek. Walaupun ketidakpuasan atas penetapan nilai UMP dapat diajukan buruh maupun pengusaha melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pihak buruh masih melihat demonstrasi sebagai alat yang efektif untuk menyikapi penetapan UMP. Berbagai aksi demonstrasi buruh juga dapat diartikan sebagai kurangnya kepercayaan kepada mekanisme Dewan Pengupahan Propinsi dan upaya hukum ke PTUN. Di beberapa daerah kantong buruh terjadi demonstrasi buruh dalam bentuk aksi penutupan pintu tol Bitung, Curug, Tangerang, Banten. Massa buruh yang menolak hasil penetapan UMP melakukan aksi orasi sambil menuju jalan tol. Dalam demonstrasi tersebut massa juga melempari petugas kepolisian dengan batu. Merespon massa buruh yang mulai melakukan tindakan anarkis, petugas kepolisian menembakkan gas air mata sehingga membuat para demonstran berhamburan menghindar. Kekerasan terkait penetapan UMP juga terjadi karena aparat keamanan kurang profesional dalam merespon aksi-aksi demonstrasi serikat buruh. Aparat keamanan yang seharusnya bertanggung jawab pada pengamanan demonstrasi buruh justru digantikan oleh organisasi kemasyarakatan yang menghadang dan mencegah demonstrasi buruh, seperti yang terjadi di daerah Bekasi pada 31 Oktober Ribuan massa buruh yang menginginkan kenaikan UMP sebesar Rp 3,7 juta bentrok dengan organisasi kepemudaaan Pemuda Pancasila. Setidaknya 10 orang terluka dalam insiden bentrokan tersebut. Setelah sempat berhenti, ribuan massa buruh yang sama melanjutkan aksi pada sore hari. Demonstrasi pada sore hari tersebut kembali memicu bentrokan karena massa buruh dihadang oleh para anggota Pemuda Pancasila. Pada bentrokan kedua ini terdapat 15 orang korban cedera. Pada akhirnya ketegangan yang berujung bentrokan terjadi bukan antara buruh dengan aparat keamanan namun bentrokan horizontal antara buruh dengan anggota organisasi kemasyarakatan. Munculnya aksi tandingan dari organisasi kemasyarakatan, Pemuda Pancasila, terhadap demo buruh harusnya menjadi peringatan bagi aparat keamanan untuk lebih memaksimalkan perannya dalam pengamanan demonstrasi dan mencegah munculnya bentrokan horizontal. Data SNPK pada periode September-Desember 2013 mencatat 58 insiden konflik pemilihan dan jabatan yang mengakibatkan satu orang meninggal, 88 orang terluka, dan 13 bangunan rusak. Sebagian besar insiden kekerasan dalam kategori ini terkait dengan pemilihan kepala daerah di tingkat propinsi (24 insiden) dengan satu orang meninggal, dan pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota (22 insiden). Propinsi Aceh dan Maluku Utara adalah dua daerah yang menyumbang paling banyak insiden terkait pemilihan dan jabatan dengan masingmasing 23 dan 14 insiden. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 5

8 Di Maluku Utara, pemilihan Gubernur berjalan dua putaran. Putaran pertama dilakukan pada 1 Juli 2013 dan putaran kedua dilakukan pada 31 Oktober Peningkatan jumlah insiden terjadi dari enam insiden dengan enam orang luka dan lima bangunan rusak di putaran pertama, menjadi 12 insiden dengan satu korban tewas dan 21 korban luka-luka di putaran ke dua. Pemilihan Gubernur Maluku Utara putaran pertama diikuti oleh enam pasang kandidat. Empat kandidat di antaranya merupakan mantan bupati/walikota yang sudah dua kali menjabat Namto Hui Roba (Halmahera Barat), Ahmad Hidayat Mus (Sula), Samsir Andily (Ternate), dan Hein Namotemo (Halmahera Utara). Dua kandidat lainnya, Abdul Gani Kasuba dan Muhajir Albaar, adalah mantan wakil gubernur dan sekretaris daerah kota Ternate. Pemilihan Gubernur di Maluku Utara kali ini memberi ruang yang luas bagi pertarungan antarkandidat karena gubernur sebelumnya sudah menjabat dua periode dan tidak bisa mencalonkan diri lagi. Tidak adanya pemenang pada putaran pertama berkontribusi pada insiden kekerasan yang muncul pada putaran kedua. Hal ini terlihat jelas dari meningkatnya jumlah insiden kekerasan pada pilihan putaran kedua. Pendukung setia para kandidat pada pemilihan pertama, yang sebagian masih belum bisa menerima keputusan KPUD, harus segera memilih menjadi pendukung salah satu dari dua kandidat putaran kedua. Pertarungan yang terbagi rata antara enam kandidat pada pilihan pertama mengerucut pada dua pasang kandidat pada pemilihan putaran kedua. Hal ini menjadikan ketegangan meningkat di antara dua kubu pasangan dan terkadang berakhir dengan insiden kekerasan. Terlebih lagi pada pemilihan putaran kedua, salah satu pasangan kandidat, Abdul Gani Kasuba-Muhammad Natsir Thaib, tidak menerima keputusan KPUD yang memenangkan pasangan Ahmad Hidayat Mus Hasan Doa. Mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang kemudian memutus pemilihan ulang untuk delapan kecamatan di wilayah Kabupaten Sula yang merupakan daerah asal Ahmad Hidayat Mus. Di Aceh insiden kekerasan terkait dengan konflik pemilihan dan jabatan di tingkat kabupaten/kota berjumlah 11 kejadian dengan 22 orang cedera dan tiga bangunan rusak. Angka tersebut disumbangkan oleh insiden pemilihan bupati/walikota di Pidie Jaya dan Kota Subulussalam. Semestara itu, insiden kekerasan pemilihan dan jabatan tingkat propinsi berjumlah 10 kejadian dengan satu orang cedera. Insiden tersebut banyak terkait dengan persaingan antarkandidat dan antarpartai dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Insiden kekerasan yang terjadi berupa perusakan baliho foto kandidat, bendera, dan spanduk. Aceh adalah satu-satunya daerah yang memiliki lebih banyak partai peserta Pemilu dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Adanya partai lokal ditambah 12 partai nasional memberi peluang yang banyak pada jumlah kandidat anggota legislatif. Tingkat persaingan yang ketat antara calon legislatif memunculkan ketegangan dan gesekan antara calon dan juga partai pengusung calon. Data SNPK mencatat bahwa insiden kekerasan yang terjadi didominasi kekerasan terkait partai lokal yaitu Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA). Sebagai contoh, insiden perusakan tiang, penurunan, dan perobekan bendera PNA oleh orang yang tidak dikenal di Hotel Lido Graha Lhokseumawe, Desa Blang Kandang, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, Aceh, pada 16 September Massa yang terdiri dari 300 orang juga melakukan perusakan terhadap 50 bendera PA di Desa Batuphat Timur, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Nangroe Aceh Darussalam pada 19 Desember Di sisi lain, persaingan juga terjadi antara partai lokal dan partai nasional seperti insiden di Kecamatan Simpang Ulim, Langsa, Aceh, dimana spanduk milik calon anggota legeslatif dari Partai Nasional Demokrat dirusak oleh orang tak dikenal pada 11 September Perusakan juga terjadi dilakukan oleh orang yang tidak dikenal terhadap baliho calon leglislatif dari partai PAN dan Partai Aceh yang diduga dilakukan oleh lawan politiknya pada 19 Desember 2013 Selama periode September-Desember 2013 konflik terkait identitas terjadi sebanyak 121 insiden yang mengakibatkan 17 tewas, 106 cedera, dan 67 bangunan rusak. Peningkatan jumlah insiden selama periode ini disebabkan bertambahnya kekerasan antarpelajar, terutama di bulan September sebanyak 21 insiden dan Oktober sebanyak 11 insiden, dibandingkan dengan total 17 insiden yang terjadi di empat bulan sebelumnya. 6 Dalam pantauan SNPK selama tahun 2013, insiden kekerasan pelajar paling sering terjadi di Jabodetabek (57%). Di bulan Oktober 2013, penggunaan air keras dalam kekerasan antar pelajar menjadi fokus perhatian. Setidaknya tiga insiden penyiraman air keras tercatat dengan dampak 17 orang cedera di bulan tersebut. Di Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada 4 Oktober 2013, dua orang pelajar melemparkan air keras kepada pelajarpelajar dari sekolah lainnya yang berada di bus kota dan mengakibatkan 13 orang mengalami luka bakar. Pelaku utama yang berasal dari SMK Boedi Oetomo mengakui dendam dengan pelajar yang berasal dari SMK Karya Guna karena pernah disiram dengan air keras setahun yang lalu. Hal ini mendorong pelaku menggunakan metode yang sama untuk membalas dendam kepada para pelajar dari SMK Karya Guna tersebut (Kompas, 7 Oktober 2013). Insiden kekerasan ini sangat disayangkan karena dari ketigabelas korban yang terkena air keras tidak hanya pelajar yang menjadi target sasaran tetapi juga mengenai penumpang lain salah satunya adalah seorang wanita ( 4 Oktober 6 Tim SNPK-THC juga mengamati kasus kekerasan pelajar ini pada periode Januari-April 2013, dimana terpantau 28 insiden kekerasan dengan korban tewas 2 orang dan 30 orang cedera di daerah Jabodetabek. Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 04/Agustus 2013, hal 6. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 6

9 2013). Para penumpang yang tersiram air keras ini mengalami luka bakar pada wajah dan anggota tubuh lainnya. 7 Untuk konflik identitas lain akan dibahas di bagian kedua terutama kekerasan antarkelompok seperti konflik antarsuku di Papua, konflik antarkampung di NTB, dan konflik multi etnik di Lampung. Isu terorisme kembali menjadi sorotan penting di hari terakhir tahun Pada 31 Desember 2013 terjadi aksi baku tembak antara para anggota Densus 88 dengan terduga kelompok teroris yang mengakibatkan enam orang anggota kelompok tersebut terbunuh. Pihak kepolisian mengklaim penggerebekan yang berakhir dengan baku tembak tersebut dikembangkan dari informasi intelijen dan pelacakan terkait kasus teror sebelumnya, yaitu peledakan bom di Vihara Ekayasa dan penembakan polisi ( 1 Januari 2014). 8 Densus 88 akhirnya berhasil mengungkap kelompok teroris di Ciputat ini setelah berhasil menangkap dan mendapatkan informasi dari AN terduga teroris di di Kemrajen, Banyumas, Jawa Tengah. Tim khusus anti teror ini akhirnya berhasil menemukan kelompok terduga teroris di Gang Haji Hasan, Desa Sawah, Kec. Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten. Ada dugaan kuat bahwa kelompok teroris di Ciputat ini berada di bawah garis komando Abu Roban karena ditemukannya sejumlah besar uang yang diduga diberikan oleh jaringan Abu Roban untuk mendukung kelompok teroris Ciputat tersebut ( 1 Januari 2014). Sejumlah uang yang ditemukan tersebut juga disinyalir merupakan hasil perampokan Bank BRI di Tangerang oleh jaringan kelompok yang sama beberapa waktu sebelumnya (Lihat bagian 1.b Kriminalitas). Dalam kategori main hakim sendiri, data SNPK mencatat 358 insiden kekerasan dengan dampak 22 tewas, 440 cedera, dan 34 bangunan rusak. Bentuk kekerasan main hakim sendiri yang menonjol di periode ini adalah pengeroyokan (92%) dan bentrokan (5%). Insiden pengeroyokan akibat pencurian sebanyak 215 insiden dan mengakibatkan 13 orang tewas dan 266 orang cedera. Pengeroyokan sering terjadi sebagai respon korban terhadap pelaku penghinaan. Setidaknya terdapat 60 insiden dengan tiga korban tewas serta 73 orang cedera akibat pengeroyokan tersebut. Pada periode ini penting juga dicatat beberapa insiden bentrokan sebagai respon atas penghinaan, salah satunya terjadi di Mimika, Papua. Insiden tersebut mengakibatkan tiga cedera dan 16 bangunan rusak. Insiden ini bermula saat sekelompok 7 Kejadian serupa terjadi di Kemayoran, Jakarta Pusat dimana 12 pelajar menggunakan air keras menyerang 4 pelajar lainnya yang merupakan musuh dari sekolahnya. Akibat penyerangan ini keempat pelajar tersebut mengalami luka bakar dan satu diantaranya mendapatkan luka robek karena mencoba menghindari penyerangan. Hal ini berulang kembali pada 20 Oktober 2013, dimana tawuran antar pelajar SMK Bhara Trikora dengan lawannya mengunakan air keras dan senjata tajam. 8 Tim THC-SNPK pada periode Mei-Agustus 2013 sebelumnya telah mengidentifikasi setidaknya tiga insiden kekerasan yang dilakukan terduga kelompok teroris terhadap pihak kepolisian. Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 05/November 2013, hal 7. anak muda yang mengendarai sepeda motor dengan knalpot yang bising di Jalan Trikora, Mimika Baru, ditegur oleh kelompok anak muda lainnya. Karena tidak terima ditegur kedua kelompok pemuda tersebut bentrok dan saling lempar batu dan panah. Peristiwa ini membesar saat salah satu anggota kelompok yang berasal dari warga suku Amungme terkena panah. Akibatnya, warga Amungme mendatangi kelompok pemuda yang berada di lokasi yang merupakan wilayah suku Kei. Bentrokan tidak dapat dihindari hingga berlanjut dengan pembakaran rumah. Insiden tersebut memperlihatkan bagaimana sebuah insiden kecil dapat bereskalasi menjadi besar dan melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda secara etnik. Oleh karena itu, intervensi untuk menghentikan kekerasan berskala kecil semacam itu sangat penting dilakukan agar tidak meluas dan mengakibatkan kerugian yang lebih besar. 1.b. Kriminalitas, KDRT, dan Kekerasan Aparat Empat bulan terakhir tahun 2013 tercatat insiden kriminalitas berakibat 212 tewas, korban cedera, dan 173 bangunan rusak. Sepanjang 2013 ini terjadi penurunan insiden kriminalitas dari awal tahun sampai dengan akhir tahun. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan periode empat bulan sebelumnya, jumlah korban tewas meningkat 3,5% dan kerusakan bangunan meningkat 99%, sedangkan untuk dampak cedera menurun 9,2%. Insiden kriminalitas masih didominasi oleh penganiayaan (60%) dan perampokan (24.5%). Salah satu insiden perampokan penting terkait dengan serangkaian aksi teror terjadi di Tangerang Selatan. Pada 24 Desember 2013, enam orang terduga teroris merampok Bank BRI untuk mendanai aktivitas kelompok teroris. Aksi perampokan ini berhasil merampas uang 570 juta rupiah setelah melumpuhkan anggota satuan pengaman (Satpam) dan dua karyawan bank. Ada dugaan bahwa perampokan tersebut kemudian berkaitan dengan baku tembak antara Densus 88 dengan kelompok teroris di Ciputat pada 31 Desember Kekerasan dalam KDRT dalam empat bulan terakhir ini terjadi sebanyak 225 insiden dengan dampak kematian 32 orang dan korban cedera 172 orang. Hampir seluruh kekerasan KDRT yang terjadi pada periode ini adalah penganiayaan (99.5%). Dari 31 insiden yang menyebabkan 32 kematian, data SNPK mencatat bahwa 20 korban tewas adalah penganiayaan atau pembunuhan terhadap bayi dan anak-anak yang dilakukan oleh orang tua. Selain itu, data juga mencatat lima korban tewas akibat suami menganiaya istri, tiga korban tewas karena istri membunuh suaminya, dan masing-masing dua korban tewas akibat pertengkaran antara saudara kandung dan anak menganiaya orang tua. 9 9 Data ini sesuai dengan data dalam Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2012, dari kasus yang masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 66% atau kasus. Ranah personal artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 7

10 Pada periode ini tercatat 194 insiden dengan 25 orang tewas dan 205 orang cedera dalam kategori kekerasan aparat. Jumlah insiden tersebut meningkat 19% dibanding periode sebelumnya. Dari 25 orang yang tewas, 11 insiden dengan 13 korban tewas terjadi karena pelaku tindak kejahatan melawan aparat keamanan dalam proses penangkapan. Sedangkan 12 insiden lainnya dengan 12 korban tewas terjadi karena lari dari pencurian (tujuh tewas), kurir narkoba (dua tewas), perampokan (dua tewas), dan bentrokan dalam penggerebekan perjudian (satu tewas). Insiden kekerasan aparat kemanan paling sering terjadi di wilayah Jabodetabek (36.5%), Lampung (10.8%), NTB (10.8), dan Aceh (9.2%). Gambar 4. Jumlah Insiden Kekerasan Komunal Terkait Isu Identitas Periode Bagian 2. Kekerasan Antarkelompok di Indonesia Pengantar Di awal transisi rezim Orde Baru menuju Reformasi, konflik komunal berkepanjangan terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah. Deeskalasi kekerasan di beberapa wilayah tersebut sangat signifikan ketika serangkaian perjanjian damai yang difasilitasi pemerintah disepakati oleh para pihak yang berkonflik. Keberhasilan menghentikan kekerasan berkepanjangan tersebut tidak serta merta menghilangkan potensi munculnya kembali kekerasan. Laporan Pembangunan Dunia 2011 (The World Development Report) mengatakan bahwa negara-negara yang sebelumnya pernah mengalami kekerasan panjang akan cenderung menghadapi tantangan siklus kekerasan berulang (cycle of repeated violence). 10 Di dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa bentuk konflik dan kekerasan baru dapat mengancam jalannya pembangunan. Konflik-konflik komunal berbasis identitas masih cukup potensial kembali terjadi di Indonesia. Berdasarkan data SNPK, konflik komunal berkepanjangan di beberapa wilayah di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan pada tahun Akan tetapi, tren kekerasan cenderung meningkat pasca tahun 2005, walaupun dengan skala yang lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika konflik komunal berkepanjangan berangsurangsur menurun, konflik dengan skala yang lebih kecil, terlokalisir, dan bersifat episodik mengalami peningkatan (Gambar 4). Selain perubahan dari skala dan sifat kekerasan, data SNPK juga menunjukkan pergeseran isu yang melatarbelakangi konflik pada kedua periode tersebut. Kekerasan pada masa konflik komunal berkepanjangan dipicu oleh masalah antaragama dan antaretnik, sedangkan pada masa setelahnya kekerasan lebih banyak terjadi karena isu antarkampung dan antaretnik (Gambar 5). 11 Insiden- 10 Lihat World Development Report Jika ditelusuri lebih jauh, data SNPK sepanjang mencatat insiden-insiden kekerasan komunal berbasis agama dominan (88%) terjadi di Provinsi Maluku, khususnya di Kota Ambon. Tim SNPK-THC telah membuat kajian mendalam untuk fenomena kekerasan tersebut melalui studi tematik yang insiden konflik kekerasan yang dilatarbelakangi oleh isu masyarakat lokal dengan pendatang memang tidak banyak tercatat. Walaupun demikian, persoalan ini penting diperhatikan karena cenderung berskala besar dan bersifat mematikan. Beberapa kasus penting yang menjadi sorotan publik, seperti kerusuhan bernuansa etnis yang melibatkan etnik Bali di Balinuraga dan etnik lokal di Lampung Selatan tahun Kekerasan serupa terjadi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tahun 2013 yang melibatkan kelompok masyarakat lokal dengan etnik Bali. Selain itu, serangkaian bentrokan antarkampung terus terjadi, seperti antara masyarakat Nunu dan Tavanjuka di Palu, Sulawesi Tengah atau antara kampung Toboko dan Mangga Dua di Ternate, Maluku Utara. Gambar 5. Perbandingan Insiden Kekerasan Komunal Terkait Isu Identitas Periode dan Bagian kedua Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center kali ini akan membahas lebih mendalam fenomena kekerasan antarkelompok masyarakat (communal violence) berbasis identitas, khususnya konflik antaretnik, konflik antarkampung, dan konflik antarmasyarakat lokal dan pendatang. Beberapa kasus penting, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap munculnya kekerasan serta aspek-aspek kebijakan terkait persoalan tersebut akan diuraikan dalam bagian-bagian selanjutnya. berjudul Segregasi, Kekerasan, dan Kebijakan Rekonstruksi Pasca-Konflik di Ambon dan akan dipublikasikan pada Maret Kajian Perdamaian dan Kebijakan 8

11 Gambar 6. Insiden dan Dampak Kekerasan Antarkelompok Berbasis Identitas Periode Gambar 7. Perbandingan Insiden dan Dampak Kekerasan Antarkelompok Periode Potret Kekerasan Antarkelompok di Indonesia Data SNPK tahun menunjukan tren kekerasan antarkelompok berbasis identitas cenderung mengalami peningkatan (Gambar 6). Dalam periode tersebut, data SNPK mencatat 610 insiden kekerasan antarkelompok yang mengakibatkan 182 tewas, cedera, dan bangunan rusak. Potret konflik antarkelompok menunjukan mayoritas dampak kekerasan terjadi akibat insiden-insiden besar. 12 Dari analisis terhadap data SNPK , insideninsiden besar terjadi sebanyak 79 insiden atau sekitar 13% dari total insiden kekerasan. Insiden-insiden besar tersebut menyumbang lebih dari setengah dari total dampak kekerasan, yakni 65% tewas, 71% cedera, dan 84% bangunan rusak (Gambar 7). Gambaran data tersebut menunjukan bahwa meskipun jumlah insiden-insiden besar relatif sedikit, namun dampak yang ditimbulkan besar. Lebih lanjut, sebagian besar konflik antarkelompok terjadi dengan mobilisasi massa, seperti bentrokan dan kerusuhan (Tabel 2). Jika ditelusuri lebih jauh, rata-rata setiap satu insiden dapat mengakibatkan empat korban cedera dan bangunan rusak serta tiga insiden mengakibatkan satu orang tewas dan. Dampak tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan bentuk insiden lainnya. Di samping itu, hampir 20% insiden dengan pengerahan massa juga melibatkan penggunaan senjata api dan bom rakitan. Data SNPK menunjukan bahwa kekerasan antarkelompok berbasis identitas dominan terjadi di beberapa provinsi, seperti Papua, NTB, dan Lampung (Gambar 8). Intensitas insiden paling tinggi ada di Provinsi Papua dan NTB, sedangkan Provinsi Lampung menjadi wilayah yang rerata insiden dengan dampak tewasnya tertinggi jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. 13 Gambaran data tersebut menunjukan bahwa wilayah- 12 Data SNPK menyediakan fasilitas untuk menganalisis kekerasan-kekerasan yang terjadi dalam kategori insiden besar (large incidents). Kategori insiden besar adalah insiden yang mengakibatkan setidaknya tiga tewas dan/atau 10 cedera dan/atau 15 bangunan rusak. 13 Data SNPK mencatat nilai rerata insiden dengan dampak terbesar di Provinsi Lampung adalah 1,8. Angka tersebut menunjukan bahwa rata-rata satu insiden kekerasan antarkelompok di Provinsi Lampung mengakibatkan 1,8 orang tewas. wilayah yang kerap terjadi kekerasan antarkelompok berbasis identitas bukanlah wilayah yang dahulu pernah mengalami konflik berkepanjangan, seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah. Tabel 2. Bentuk Kekerasan Antarkelompok di Tiga Belas Provinsi Periode Bentuk Kekerasan Insiden Tewas Cedera Mobilisasi Massa (Kerusuhan dan Bentrokan Bangunan Rusak Penganiayaan Perusakan Pengeroyokan Perkelahian Serangan Teror Demonstrasi Sweeping Blokade Total Berdasarkan data SNPK kekerasan antarkelompok berbasis identitas kerap dipicu oleh beberapa persoalan. Pertama aksi balasan terhadap insiden-insiden kekerasan berskala kecil (penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian) yang terjadi sebelumnya. Tak jarang pula, insiden-insiden berskala kecil tersebut menjadi pemicu bagi kekerasan yang lebih besar, seperti bentrokan dan kerusuhan. Kedua, respon atas aksi kriminalitas, seperti pencurian dan perampokan, yang diduga dilakukan oleh orang-orang dari wilayah atau kampung lain. Hal tersebut acapkali mendorong bentrokan antara masyarakat desa/kampung yang saling bertetangga. Ketiga, penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap diskriminatif yang cenderung dilakukan dengan aksi kekerasan. 14 Keempat, 14 Seperti serangkaian aksi kekerasan sebagai respon penolakan pembangunan Patung Naga di Pusat Kota Singkawang, Kalimantan Barat yang dilakukan oleh kelompok Melayu (termasuk FPI setempat) pada tahun Bahkan di beberapa insiden, kekerasan tidak lagi melibatkan kelompok Melayu dan pemerintah setempat, melainkan meluas menjadi antara kelompok pro-pembangunan patung tersebut yang diwakili kelompok Tionghoa dan Dayak dan kelom- Kajian Perdamaian dan Kebijakan 9

12 Gambar 8. Insiden dan Dampak Kekerasan Antarkelompok di 13 Provinsi Periode Gambar 9. Insiden dan Dampak Kekerasan Antarkelompok Suku di Mimika, Papua Periode persoalan harga diri, ketersinggungan, dan tindakan asusila/pelecehan. Hal ini kerap terjadi dalam hubungan antarindividu antara masyarakat yang berbeda secara identitas, namun acapkali meluas menjadi isu komunal ketika informasi tersebut disebarluaskan ke kelompok masyarakat. Persoalan tersebut semakin pelik ketika tindakan-tindakan penghinaan atau pelecehan dilakukan oleh anggota masyarakat dari kelompok identitas (etnik atau kampung) yang memiliki riwayat konflik dengan kelompok lainnya. Kelima, ketidakpuasan terhadap upaya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Hal-hal tersebut kerap memicu aksi-aksi kekerasan dalam waktu panjang. 15 Gambaran Kasus Kekerasan Antarkelompok Beberapa kasus penting dibahas dalam kajian perdamaian dan kebijakan ini. Hal ini bertujuan untuk memperkuat analisis terhadap fenonema kekerasan antarkelompok berbasis identitas, terutama faktor-faktor yang berkontribusi terhadap munculnya kekerasan tersebut. Berdasarkan data SNPK , tiga wilayah yang penting untuk dibahas secara mendalam terkait kekerasan antarkelompok adalah Papua (konflik antarsuku), NTB (konflik antarkampung), dan Lampung (konflik multietnik). Jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah pantauan SNPK lain, ketiga wilayah tersebut menyumbang sebagian besar insiden dan dampak kekerasan antarkelompok (Gambar 9). Kajian kekerasan antarkelompok ini diawali dengan analisis data SNPK tahun , kemudian didukung oleh studi pustaka, wawancara pakar dan aktivis, serta studi lapangan di Lombok Tengah dan Lampung Selatan pada awal Februari pok kontra-pembangunan, yakni kelompok Melayu. 15 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 3/April Khusus kasus Papua, kajian dilakukan melalui studi literatur dan wawancara informan penting (seperti peneliti dan aktivis) di Jakarta karena kekerasan antarkelompok di Papua telah dikaji oleh beberapa lembaga, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Papua Center UI, dan juga Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atmajaya Jakarta. Konflik antarsuku di Papua Kekerasan antarkelompok masyarakat berbasis identitas merupakan permasalahan krusial di Papua. Data SNPK sepanjang tahun mencatat 116 insiden kekerasan yang mengakibatkan 88 tewas, cedera, dan 75 bangunan rusak. Dari jumlah tersebut, sebagian besar insiden dan dampak terkait dengan kekerasan etnik/suku, yakni 107 insiden, 74 tewas, cedera, dan 60 bangunan rusak. Jika dilihat persebaran wilayah, konsentrasi kekerasan berada di Kabupaten Mimika, khususnya Kecamatan Kuala Kencana, Mimika Baru, dan Tembagapura. Di Kabupaten tersebut tercatat 98 insiden yang mengakibatkan 70 tewas, 999 cedera, dan 58 bangunan rusak. Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, data SNPK mencatat kekerasan antarkelompok suku terus terjadi dengan intensitas yang beragam (Gambar 9). Pada tahun 2013 tujuh insiden terjadi yang mengakibatkan sembilan tewas, 11 cedera, dan enam bangunan rusak. Jika ditelusuri lebih jauh, kekerasan antarkelompok berbasis identitas di Kabupaten Mimika seringkali melibatkan masyarakat yang berasal dari suku-suku asli di Papua, seperti suku Dani, suku Amungme, suku Kamoro, suku Damal, suku Nduga, suku Moni, dan suku Mee. Kasus kekerasan terus berulang di sejumlah wilayah, seperti kekerasan antara kelompok suku Dani dari Kampung Harapan/Atas dan suku Amungme dari Kampung Amole/ Bawah di wilayah Mimika Baru; warga suku Amungme dari Kampung Banti dan suku Dani yang mendiami Kampung Kimbeli di wilayah Tembagapura; dan warga suku Dani- Nduga dan Amungme-Damal di wilayah Kuala Kencana. Keberadaan kelompok-kelompok suku asli Papua yang bermukim di Kabupaten Mimika tidak dapat dilepaskan dari adanya arus migrasi yang cukup besar. Migrasi ini dilakukan oleh orang asli Papua yang banyak berasal dari daerah pegunungan (misalnya suku Dani dari Wamena dan suku Damal dari Lembah Baliem) menuju Mimika yang mulai meningkat semenjak 1980an hingga kini Tak hanya orang asli Papua, para pendatang non-papua (seperti orang dari Pulau Kei, Maluku Tenggara) juga menjadikan Mimika sebagai tujuan migrasi mereka. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 10

13 Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan perpindahan penduduk tersebut dimana keberadaan aktivitas perusahaan pertambangan PT. Freeport Indonesia dengan segala fasilitas pendukungnya turut mendorong migrasi penduduk asli Papua ke Mimika. Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukan bahwa jumlah penduduk meningkat sekitar 4% setiap tahun dan Kecamatan Mimika Baru menjadi wilayah yang paling padat. Data BPS Kabupaten Mimika juga mencatat bahwa peningkatan jumlah penduduk di Mimika lebih dipengaruhi faktor migrasi dibandingkan angka kelahiran dan kematian. Fenomena migrasi tersebut yang mengubah komposisi kelompok suku di Mimika, tidak lagi didominasi suku-suku asli Mimika (seperti suku Amungme dan Kamoro), namun juga kelompok-kelompok suku pendatang. Secara perlahan, konflik antara kelompok-kelompok suku (lokal-pendatang atau sesama pendatang) terjadi di Mimika, bahkan kerap berujung pada munculnya kekerasan. Salah satu kasus penting konflik antarsuku, yakni rangkaian insiden kekerasan yang terjadi pada Juni 2012, dimana sembilan insiden bentrokan 18 terjadi hampir selama satu bulan yang melibatkan kelompok suku Dani dari kampung Harapan/Atas dan suku Amungme dari kampung Amole/ Bawah. Rangkaian insiden tersebut mengakibatkan lima tewas, 192 cedera, dan dua bangunan rusak. Bentrok antarwarga dua kelompok suku ini dipicu oleh tewasnya salah satu warga suku Dani dari Kampung Harapan bernama Rony Ongomang dalam kecelakaan lalu lintas pada 21 Mei Kecelakan lalu lintas tersebut diduga melibatkan warga Amungme dari Kampung Amole (tempo. co, 6 Juni 2012). Kelompok suku Dani menduga kematian Rony Ongomang bukan akibat kecelakaan lalu lintas, melainkan karena dibunuh oleh warga suku Amungme. Informasi tersebut kemudian meluas di kalangan warga suku Dani sehingga mereka mulai mempersenjatai diri dengan panah. Di pihak lain, warga suku Amungme juga sudah mempersenjatai diri ketika mendapatkan informasi bahwa warga suku Dani hendak melakukan penyerangan. Bentrokan antara dua kelompok ini pun pecah pada 2 Juni 2012 di daerah perbatasan kedua kampung yang mengakibatkan seorang warga suku Dani tewas, yakni Demianus Ongomang dan 13 cedera. Kematian Demianus Ongomang semakin membuat amarah warga suku Dani memuncak. Perdamaian lewat ritual adat (seperti patah panah) yang coba difasilitasi oleh pihak Kepolisian Resor Mimika pasca-bentrokan tersebut tidak membuahkan hasil karena warga suku Dani mengganggap dua korban tewas hanya berasal dari kampung mereka. Pasca-bentrokan tersebut, aksi provokasi (seperti saling melempar anak panah) terus dilakukan oleh kedua kelompok hingga kembali terjadi bentrokan pada 5 Juni Bentrokan kali ini mengakibatkan 14 orang cedera. Pasca-bentrokan kedua, pihak kepolisian kembali memfasilitasi perdamaian di antara kedua kelompok. Proses perdamaian pun mengalami kesulitan karena 18 Insiden bentrokan seperti ini biasa disebut dengan istilah perang suku. sebagian warga suku Dani menolak, sedangkan warga yang lain (termasuk keluarga korban tewas) telah menyetujui. Di pihak lain, kelompok warga Amungme sepakat untuk melakukan perdamaian. Akhirnya, setelah negosiasi yang cukup alot pada Rabu sore (6 Juni 2012) kedua kelompok yang bertikai bersedia berdamai dengan mediasi dari pihak kepolisian dengan melakukan ritual patah panah. 19 Namun, perdamaian tersebut tidak mampu menghentikan munculnya kembali kekerasan. Tokoh suku Amungme, Yoel Yolamal, mengatakan konflik sulit dihindari karena korban tewas hanya berasal dari pihak suku Dani (tempo. co, 18 Juni 2012). Bentrokan antarkedua kelompok kembali terjadi pada 13 Juni Insiden tersebut mengakibatkan 11 warga suku Dani dan 10 warga suku Amungme mengalami cedera. Pihak kepolisian berhasil menghentikan bentrokan dengan menembakkan gas air mata ke arah dua kelompok warga. Pasca-bentrokan tersebut kedua belah pihak warga masih berjaga-jaga di wilayah perbatasan kampung dengan tetap melakukan upaya provokasi kepada musuh mereka ketika pihak kepolisian mengendurkan pengamanan. Selang dua hari (15 Juni 2012), bentrokan kembali terjadi di lokasi yang hampir sama, yakni sekitar perbatasan kedua kampung. Insiden tersebut mengakibatkan 12 cedera dari kedua belah pihak. Pasca-bentrokan tersebut, pengerahan personil Kepolisian Resor Mimika terus dilakukan, namun tidak mampu menghentikan mobilisasi massa yang semakin massif. Bentrokan besar pun tak terelakkan pada 18 Juni Tiga orang tewas dan 11 cedera akibat insiden tersebut. Pada insiden ini, seorang warga dan anak salah satu tokoh suku Damal tewas terkena panah. 20 Bentrokan besar tersebut memicu empat insiden beruntun yang terjadi pada 20, 21, 22, 23 Juni Akhirnya, rentetan insiden kekerasan tersebut berhenti setelah dilakukan kesepakatan damai antara kedua belah pihak (terutama keluarga korban tewas) yang dijembatani oleh pemerintah daerah dan DPRD Mimika, kepolisian, berbagai tokoh adat serta para pemuka agama pada 25 Juni Kesepakatan damai tersebut diikuti oleh ritual adat, seperti belah kayu adat, patah panah, dan pemanahan terhadap babi yang dilakukan oleh perwakilan kelompok yang bertikai. Konflik Antarkampung di Nusa Tenggara Barat (NTB) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu wilayah yang cukup rentan terjadi kekerasan antarkelompok masyarakat. Sepanjang tahun , data SNPK mencatat telah terjadi 119 insiden kekerasan 19 Dalam tradisi suku-suku di Papua, prosesi patah panah merupakan bagian dari upaya perdamaian setelah perang suku. Patah panah menyimbolkan adanya penghentian kekerasan di antara pihak-pihak yang berperang. Selain patah panah, upaya perdamaian juga diikuti upacara memanah babi sebagai simbol tidak adanya dendam di antara pihak-pihak yang berperang, ritual belah kayu, dan pembayaran terhadap korban perang. Biasanya, ritual-ritual tersebut dilakukan secara bersamaan dalam upaya perdamaian. Namun, jika korban hanya berasal dari satu kelompok, maka hanya dilakukan ritual patah panah sebagai upaya penyelesaian perang suku. 20 Keterlibatan anak kepala suku Damal dalam bentrok tersebut diduga karena membela kelompok suku Amungme untuk menghadapi kelompok suku Dani ( 20 Juni 2012) Kajian Perdamaian dan Kebijakan 11

14 antarkelompok yang mengakibatkan 30 tewas, 289 cedera, dan 603 bangunan rusak. Insiden dan dampak kekerasan di NTB didominasi oleh konflik antar desa/kampung dengan 113 insiden yang mengakibatkan 28 tewas, 286 cedera, dan 116 bangunan rusak. 21 Jika dibandingkan dengan wilayah pantauan progam SNPK yang lain, NTB merupakan wilayah dengan insiden dan dampak kekerasan terkait konflik antarkampung yang paling besar. Dari catatan data SNPK, tahun 2013 merupakan periode dimana insiden-insiden kekerasan terkait konflik antarkampung mengalami intensitas tertinggi di NTB dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi tersebut menunjukan bahwa kekerasan terkait konflik antarkampung di NTB masih menjadi persoalan serius yang patut diperhatikan. Kabupaten Lombok Tengah merupakan wilayah yang memiliki intensitas insiden dan dampak kekerasan yang paling besar di NTB (Gambar 10). 22 Kekerasan antarkampung di Lombok Tengah terkonsentrasi di Kecamatan Pujut, terutama di lima desa, yakni Ketara, Sengkol, Kawo, Tana Awo, dan Batujai. Biasanya, kekerasan terjadi antara warga Desa Ketara dan warga kampungkampung lain (Sengkol, Kawo, Batujai, dan Tana Awo). 23 Rangkaian insiden kekerasan yang cukup menjadi sorotan publik adalah empat insiden kekerasan yang melibatkan warga desa/kampung Ketara dan Kawo selama Mei hingga Juni Rangkaian insiden tersebut diawali insiden pengeroyokan yang dilakukan oleh warga Desa Kawo terhadap tiga terduga pelaku pencurian hingga tewas pada 16 Mei 2012 (Lombok Post, 17 Mei 2012). 24 Aksi pengeroyokan tersebut memicu amarah warga Ketara (tetangga Desa Kawo) karena salah satu korban 21 Salah satu aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat menuturkan bahwa kekerasan antarkampung di wilayah Lombok Tengah telah terjadi sejak Orde Baru, namun semenjak era reformasi insiden-insiden kekerasan semakin sering terdengar oleh masyarakat luas karena banyak diliput media (wawancara, 20 Januari 2014). 22 Selain konflik antarkampung, persoalan pengangguran adalah masalah yang cukup serius di Lombok Tengah. Data BPS Provinsi NTB 2013 menunjukan bahwa sebanyak orang menganggur di Lombok Tengah. Angka ini cukup besar dibandingkan kabupaten/kota lain di NTB. Salah satu faktor yang mempengaruhi maraknya pengangguran di Lombok Tengah adalah ketersediaan lapangan kerja yang minim (Lombok Tengah Dalam Angka 2013). Di samping itu, sebagian besar penduduk masih menggantungkan hidup pada kegiatan pertanian tadah hujan sebagai mata pencaharian. Kegiatan pertanian tersebut tidak dapat berjalan optimal ketika musim kemarau, terlebih dengan kondisi tanah yang kering. Hal-hal tersebut yang mempengaruhi persoalan pengangguran di Lombok Tengah. 23 Berdasarkan komposisi etnis/suku dan agama, penduduk kabupaten Lombok Tengah relatif homogen. Sebagian besar penduduk berasal dari suku Sasak dan beragama Islam. Meskipun relatif homegen, demarkasi identitas cukup jelas berdasarkan desa-desa yang ada di Lombok Tengah. Biasanya, tiap-tiap warga saling mengidentifikasi identitas mereka berdasarkan asal desa. 24 Persoalan pencurian tak hanya kerap menimbulkan kekerasan (seperti penghakiman massal), namun masalah tersebut dapat melebar menjadi perang antardesa. Dalam konteks Pulau Lombok, MacDougall (2007, hal. 383) menyebutkan bahwa kematian para pelaku pencurian di tangan massa kerap menimbulkan aksi balasan dari warga desa asal pelaku tersebut. Hal ini disebabkan adanya perlakuan yang penuh respek dan juga pemberian kedudukan terhormat kepada para pelaku pencurian. Bahkan, ketika para pencuri tersebut tewas, jenazah mereka akan diperlakukan bak pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Gambar 10. Pesebaran Wilayah Terkait Kekerasan Antarkampung di NTB Periode tewas adalah warga mereka. 25 Kabar kematian warga tersebut menyebar dengan cepat ke seluruh warga Desa Ketara. Esok harinya, setelah pemakaman korban tewas, ratusan warga Ketara yang telah berkumpul melakukan penyerangan ke Desa Kawo. Di sisi lain, warga Kawo juga sudah mempersiapkan diri dengan persenjataan (seperti parang dan senapan angin) setelah mengetahui adanya rencana penyerangan warga Ketara. Pada sore hari, bentrokan antara warga kedua desa tersebut terjadi. Insiden tersebut mengakibatkan dua warga cedera dan lima bangunan rusak. Aparat Kepolisian Resor Lombok Tengah dan pasukan Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah NTB yang bersiaga di lokasi bentrokan mengalami kesulitan untuk menghentikan bentrokan karena terjadi di areal persawahan dan tersebar di sejumlah titik (Liputan6. com, 17 Mei 2012). Bentrokan mulai berhenti menjelang malam ketika aparat melakukan tindakan tegas dengan memberikan tembakan peringatan dan tembakan gas air mata pada titik-titik konsentrasi massa. Pada 18 Mei 2012, bentrokan antara dua kelompok warga desa tersebut kembali terjadi di lokasi yang hampir sama dengan insiden sebelumnya. Kali ini, ratusan warga Desa Ketara yang masih dendam kembali menyerang warga Desa Kawo sekitar puku WITA (Elshinta.com, 18 Mei 2012). Mereka mempersenjatai diri dengan senjata tajam, seperti parang, tombak, dan panah. Warga Desa Ketara berupaya untuk menerobos masuk ke dalam Desa Kawo. Sementara itu, ratusan warga Desa Kawo berkonsentrasi di jalan menuju desa mereka dengan dilengkapi senjata api rakitan (seperti senapan angin yang telah dimodifikasi), meriam rakitan, dan senjata tajam. Bentrokan antara kedua kelompok tersebut tidak dapat dihindari. Akibat bentrokan, dua orang cedera dan lima bangunan milik warga Desa Kawo rusak. Bahkan, wartawan yang tengah meliput bentrokan tersebut juga sempat menjadi sasaran serangan warga Desa Ketara yang tidak ingin adanya liputan media. Bentrokan baru mereda setelah aparat kepolisian dibantu dua peleton TNI melakukan barikade 25 Menurut warga Desa Kawo, tiga orang tersebut diduga melakukan pencurian sepeda motor di rumah salah satu warga sehingga dihakimi massa (wawancara, 5 Februari 2014). Sedangkan warga Ketara meyakini bahwa mereka tidak hendak mencuri, melainkan hendak midang atau bertemu pacar di Desa Kawo (wawancara, 4 Februari 2014). Kajian Perdamaian dan Kebijakan 12

15 dengan pagar betis di sekitar perbatasan Desa Kawo untuk memecah konsentrasi massa dari kedua kelompok. Pascabentrokan tersebut, upaya perdamaian yang dimediasi oleh pemerintah daerah Kabupaten Lombok Tengah dilakukan. Bertempat di pendopo kantor bupati, kedua kelompok warga desa bersepakat untuk tidak melakukan aksi saling serang lagi. Kedua kelompok mendorong adanya tindakan hukum bagi para pelaku kekerasan. Meskipun demikan, aparat kepolisian tetap berjaga di wilayah perbatasan kedua desa untuk mencegah adanya kekerasan susulan. Pada 7 Juni 2012, bentrokan kembali terjadi antara warga kedua desa. Insiden ini dipicu kecurigaan warga Ketara tiga hari sebelum bentrokan yang melihat warga Kawo yang hendak memanen kedelai di areal sawah (berbatasan dengan Desa Ketara) mendapat pengawalan kelompok Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pamswakarsa) yang berasal dari luar Desa Kawo. Warga Ketara menduga pengawalan tersebut merupakan upaya penggalangan kekuatan untuk menyerang desa mereka. Tak mau desa mereka diserang terlebih dahulu, ratusan warga Ketara menyerang Desa Kawo pada pagi hari. Bentrokan berlangsung hingga siang hari. Pada sore hari, aparat gabungan dari Kodim 1620 Wira Bhakti, Brimob Polda NTB, dan Kepolisian Resor Lombok Tengah berhasil menghentikan bentrokan. Akibat insiden tersebut, 15 orang mengalami luka dan sembilan bangunan rusak. Untuk menghindari bentrokan susulan, aparat TNI dan kepolisian ditempatkan di perbatasan kedua desa selama hampir satu bulan. Jika dilihat dari segi dampak, bentrokan terakhir ini lebih masif karena kedua desa sudah lebih siap dibandingkan bentrokan sebelumnya. Warga Desa Kawo sudah mempersiapkan senjata api rakitan dalam jumlah besar sedangkan warga Ketara melakukan mobilisasi massa dengan mengundang warga asal Ketara yang berdomisili di desa-desa lain, seperti Desa Prabu, Rembitan, dan Kuta. Kejadian terakhir ini menyebabkan warga Desa Kawo bersepakat kalau terjadi penyerangan lagi oleh warga Ketara ke desa mereka, mereka akan melakukan tindakan ofensif dengan menyerang Desa Katara (wawancara dengan tokoh Desa Kawo, 5 Februari 2014). Konflik multietnik antara pendatang dan warga lokal di Lampung Selatan Lampung merupakan salah satu daerah dengan beraneka ragam kelompok etnik yang terbentuk melalui proses transmigrasi. Transmigrasi terjadi dalam beberapa periode dimulai dengan periode kolonialisasi ( ), periode pra pelita zaman Orde Lama ( ), periode Pelita I-VI zaman Orde Baru (1969/ /1999) periode pacsa Orde Baru (1999/ ). 26 Dari proses transmigrasi selama lebih dari satu abad tercatat daerah 26 Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provinsi Lampung Buku Data Ketransmigrasian, hal 2-7. asal transmigran yaitu dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali. Selain kelompok etnik yang hadir melalui proses transmigrasi pemerintah, kelompok etnik juga datang dari Banten dan daerah Sumatera lainnya. Untuk di daerah Lampung Selatan sendiri kelompokkelompok etnik tersebut hidup bersama dua kelompok adat lokal besar yaitu Saibatin dan Pepadun. Transmigran Bali yang menetap di desa Balinuraga diketahui pada tahun 1958 didatangkan bersama kelompok transmigran Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat untuk dengan penempatan di daerah Seputih Banyak, Way Seputih 1, Palas dan Sidomulyo. 27 Transmigrasi yang terjadi pada periode Pra Repelita ini memobilisasi KK dan Jiwa yang berasal dari lima daerah asal transmigran tersebut. Sidomulyo merupakan kecamatan di Lampung Selatan yang menjadi daerah penempatan warga Bali dan Balinuraga merupakan desa bentukan transmigrasi didalamnya. Pemerintah dengan program transmigrasinya telah mendapatkan persetujuan masyarakat adat yang memiliki tanah di areal tersebut (wawancara kedua dengan tokoh adat Lampung Selatan, 7 Februari 2014). Beberapa tokoh masyarakat adat Lampung Selatan juga mengatakan bahwa pada masa pembentukan daerah transmigrasi warga lokal dan masyarakat adat Lampung Selatan menerima para pendatang dengan tangan terbuka. Komposisi demografis yang terbentuk dari proses pembangunan melalui transmigrasi memiliki potensi konflik yang besar bila tidak dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah. Salah satu masalah dalam proses transmigrasi seperti yang terjadi di Lampung Selatan adalah tidak diperhitungkannya aspek sosial dan budaya dalam penempatan transmigran dan pengaturan hubungan sosial di antara berbagai kelompok etnik. Hal ini dapat dilihat dari proses selama 56 tahun dimana muncul konflik di antara warga etnik Bali dengan warga lokal Lampung dan etnik lainnya yang terlibat dalam kekerasan di Balinuraga pada tahun Oktober 2012 yang lalu. 28 Kekerasan antarkelompok di Balinuraga, Lampung Selatan pada tahun 2012 merupakan kasus konflik yang penting untuk diperhatikan. Pertama, konflik antarkelompok di 27 Berdasarkan catatan buku data Ketransmigrasian tahun 2009, pada tahun 1958 transmigran didatangkan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat dan Bali untuk program transmigrasi di Lampung dengan penempatan di daerah Seputih Banyak, Way Seputih 1, Palas dan Sidomulyo (hal. 22). Sidomulyo merupakan kecamatan di Lampung Selatan dan Balinuraga merupakan desa bentukan transmigrasi didalamnya semenjak penempatan pada tahun 1958 dan penyerahan dari Pemerintah Pusat ke Pemda yang berlangsung pada tahun 1970 (hal.50). Ini menunjukan bahwa desa Balinuraga merupakan desa bentukan transmigrasi yang diperuntukan untuk warga etnik Bali. Pada tahun 2007, Kecamatan Sidomulyo dimekarkan menjadi kecamatan Way Panji dan secara administratif desa Balinuraga dengan desa Sidoharjo, desa Sidomakmur dan desa Sidoreno menjadi bagian kecamatan Way Panji (BPS Lampung Selatan, Kecamatan Way Panji Dalam Angka Tahun 2007). 28 Setidaknya tercatat sembilan kasus konflik kekerasan di antara warga etnik Bali dan warga lokal Lampung yang terjadi pada tahun 1982, 2005, 2009, 2010 (terjadi 2 kali), 2012 (tiga kali). Lihat dokumen Pernyataan Sikap Warga Masyarakat Lampung Selatan. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 13

16 Balinuraga, Lampung Selatan ini memiliki dampak yang mematikan. Dalam tiga kali insiden, 14 korban tewas, 13 cedera, dan 404 bagunan rusak. Kedua, konflik antarkelompok di Lampung Selatan ini tidak hanya terjadi atas dasar penanda identitas antara pendatang (transmigran) melawan penduduk lokal, namun mengambil bentuk penanda identitas lain yaitu etnisitas di antara transmigran warga etnik Bali dengan warga etnik lokal Lampung dan warga etnik pendatang lainnya. Ketiga, Kekerasan yang terjadi di Balinuraga memperlihatkan kompleksitas hubungan multi etnik di antara pendatang dengan penduduk lokal. Setidaknya terdapat tiga bentuk hubungan antarkelompok yang mengemuka di dalam insiden kekerasan di Balinuraga. Hubungan pertama adalah antara pendatang warga etnik Bali dengan warga etnik lokal Lampung Selatan. Hubungan kedua adalah di antara sesama para pendatang yaitu antara warga etnik Bali dengan warga etnik lainnya seperti Jawa dan Banten. Kedua hubungan antarkelompok di Lampung Selatan tersebut bermasalah serta mengalami konflik dari waktu ke waktu dan menemukan titik ledaknya dalam insiden kekerasan di Balinuraga pada Oktober Insiden kekerasan tersebut memperlihatkan adanya bentuk hubungan antarkelompok ketiga yang bersifat multi etnik dimana warga etnik lokal Lampung bersatu dengan para pendatang dari warga etnik Jawa dan Banten melawan warga etnik Bali. Data SNPK mencatat tiga insiden kekerasan antar warga Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji yang mayoritas warganya adalah etnik Bali dengan warga etnik lokal Lampung dari Desa Agom serta desa-desa yang berasal dari sekitar Kecamatan Way Panji dan dari segenap penjuru Provinsi Lampung, dipicu oleh insiden pelecehan seksual. Sepuluh pemuda Desa Balinuraga melakukan tindakan pelecehan terhadap dua gadis yang sedang melintas dengan sepeda motor. Kedua korban, yang masingmasing berasal dari Desa Agom dan Desa Negeri Pandan, terjatuh dari sepeda motor dan mengalami cedera disaat setelah salah satu pelaku memegang paha salah satu gadis tersebut ( 2 November 2012). Tidak terima atas insiden pelecehan seksual tersebut warga Desa Agom dengan bantuan warga dari desa-desa kecamatan sekitar Way Panji melakukan penyerangan ke Desa Balinuraga. Bentrokan tidak dapat dihindari di saat gabungan warga desa yang menyerang dihadang oleh warga Balinuraga di perbatasan Desa Sedoreno dan Desa Agom. Menurut salah satu pejabat Desa Agom (wawancara 4 Februari 2014) sebelum bentrokan pertama terjadi pada hari Sabtu, 27 Oktober 2012, perwakilan warga Desa Agom mendatangi Desa Balinuraga untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku. Perwakilan Desa Agom meminta biaya pengobatan untuk kedua gadis tersebut. Perwakilan Desa Balinuraga juga mengatakan bahwa perwakilan Desa Agom memang datang untuk meminta biaya pengobatan sebagai bentuk pertanggungjawaban (Wawancara perwakilan Desa Balinuraga, 4 Februari 2014). Inisiatif ini dilakukan oleh pihak warga Agom dengan datang ke Balinuraga agar keributan besar dapat dihindari dan menyelesaikan permasalahan secara informal. 29 Dalam prosesnya baik pejabat desa Agom dan perwakilan desa Balinuraga mengatakan kepada Tim SNPK-THC bahwa tanggapan pihak pemimpin desa Balinuraga kurang baik dalam proses permintaan tanggungjawab sehingga tidak ditemukan solusi bagi permasalahan yang ada. 30 Pada saat yang bersamaan massa dari berbagai desa Kecamatan Lampung Selatan berkumpul dan semakin malam bertambah banyak datang ke Desa Agom. Akhirnya, kemarahan warga lokal Lampung Selatan memuncak karena tidak ada penyelesaian atas masalah tersebut sehingga terjadilah bentrokan pertama. Bentrokan tersebut terhenti karena listrik padam sehingga lokasi bentrokan dalam keadaan gelap. Keesokan harinya, Minggu 28 Oktober 2012, kembali terjadi bentrokan di antara warga etnik Bali dari Desa Balinuraga dengan etnik lokal Lampung yang berasal dari Desa Agom dan gabungan desa-desa di Kecamatan di Lampung Selatan. Insiden bentrokan kedua mengakibatkan tiga warga etnik lokal Lampung tewas, empat korban cedera dan enam rumah warga Balinuraga mengalami kerusakan. Intensitas kekerasan mencapai titik kulminasinya pada bentrokan hari ketiga, Senin 29 Oktober 2012, dimana puluhan ribu warga etnik lokal Lampung yang berasal dari berbagai desa dan penjuru Provinsi Lampung bergabung menyerang 2000-an warga Bali yang berada di Desa Balinuraga. Mobilisasi puluhan ribu warga etnik lokal Lampung ini didorong oleh motivasi balas dendam karena bentrokan sebelumnya telah mengakibatkan tiga warga etnik lokal Lampung tewas. Pada insiden kali ini warga etnik lainnya seperti Jawa dan Banten ikut serta dalam penyerangan ke desa Balinuraga karena termotivasi oleh rasa dendam yang sama terhadap etnik Bali. Dalam bentrokan kali ini kelompok gabungan kelompok etnik lokal Lampung, Jawa dan Banten berhasil menangkap 10 orang kelompok etnik Bali yang mereka aniaya hingga tewas. Selain itu bentrokan skala besar yang tidak seimbang antara kedua kelompok telah berhasil memaksa warga etnik Bali keluar dari Desa Balinuraga dan mengungsi ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling, Bandar Lampung. Kelompok etnik lokal Lampung berhasil memasuki Desa 29 Sesuai dokumen Surat Pernyataan Perdamaian dalam insiden kekerasan di Desa Napal, langkah yang diambil oleh warga Desa Agom sudah sesuai ketentuan butir ketiga perjanjian perdamaian yang disepakati oleh kedua kelompok etnik; (butir 3) Kedua belah pihak sepakat apabila orangtua dan/atau keluarga tidak mampu menyelesaikan permasalahan seperti yang tercantum pada angka 2 (dua) maka akan diselesaikan secara kekeluargaan oleh tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan aparat pemerintah desa setempat. 30 Menurut perwakilan desa Balinuraga dalam wawancara 4 Februari 2014; Tanggapan kita yang disini (Desa Balinuraga) mungkin kurang etis, kurang pas, artinya tidak menunjukan jiwa seorang pemimpin. Kalau saya seorang pemimpin kan, waduh terima kasih atas kehadiran Pak Kades menyampaikan, saya tanggung jawab sepenuhnya kalau memang itu terjadi dengan anak-anak kami. Kan semestinya seperti itu bahasa seorang pemimpin. Artinya meredam sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu kan. Nah ini mungkin kurang bagus cara berpikirnya, mindsetnya beda dengan kita Ya kalau urusan anak muda sudah ditanya, justru sepedanya anak-anak sini (balinuraga) yang rusak, yang jadi angka 8 jadi sudah saya tanya anak-anak itu, kan begitu. Nah artinya disini, maksud disana itu (desa Agom) untuk minta pertanggung jawaban tapi dibalas dengan seperti itu otomatis kan kecewa. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 14

17 Balinuraga lalu mencederai sembilan orang, merusak 396 rumah (diantaranya 288 rumah terbakar dan 2 gedung sekolah), dan merusak 14 kendaraan umum milik warga Desa Balinuraga. Wilayah yang terdapat warga etnik Bali lainnya seperti dusun Napal di kecamatan Sidomulyo tidak diserang karena warga etnik Bali di daerah tersebut sudah menyerah dan tidak terlibat setelah selesainya kasus Napal pada bulan Januari 2012 yang lalu. Upaya pencegahan meningkatnya kekerasan sudah dilakukan oleh gabungan aparat keamanan yaitu pihak Kepolisan dan TNI sejumlah orang personil pada hari kedua dan ketiga bentrokan ( 30 Oktober 2012). Aparat keamanan menerapkan penjagaan berlapis namun berhasil ditembus oleh kurang lebih sepuluh sampai dua puluh ribu massa etnik lokal Lampung pada Senin, 29 Oktober Gabungan pihak keamanan dari Polres dan Polsek di Lampung Selatan, Brimob Polda Lampung dan TNI membentuk lapisan penjagaan di antara massa yang bergerak menuju Desa Balinuraga. Massa gabungan dari berbagai etnik pada hari ketiga melakukan pergerakan taktis dalam menghadapi penjagaan berlapis dengan membagi konsentrasi pada titik jalur masuk ke Desa Balinuraga. Beberapa cara menembus penjagaan berlapis yang dibangun oleh aparat keamanan dilakukan dengan menelusuri jalan alternatif seperti mengambil jalan tikus dan memasuki kebun-kebun jagung. Setelah melewati lapisan terkahir massa gabungan mulai membakar rumahrumah di Balinuraga. Insiden antara pendatang etnis Bali dan penduduk lokal Lampung di bulan Oktober 2012 ini masih terkait dengan insiden kekerasan sebelumnya pada bulan Januari Insiden terjadi di Kecamatan Sidomulyo pada Januari 2012, dipicu oleh pertikaian pemuda dari dusun Napal, Desa Sidowaluyo dengan tukang parkir yang berasal dari Desa Kota Dalam. Dusun Napal mayoritas warganya adalah etnik Bali sedangkan Desa Kota Dalam mayoritas warganya adalah etnik lokal Lampung. Warga dari kedua kelompok etnik tersebut saling tidak terima sehinga bentrokan tidak dapat dihindari. Pergerakan massa warga Desa Kota Dalam berlanjut pada keesokan harinya. Dua insiden kekerasan ini mengakibatkan dua orang cedera, 60 rumah hancur total, 17 rumah, empat gudang, tujuh warung rusak, enam motor hangus dibakar, dan empat traktor rusak. Kekerasan yang terjadi pada bulan Januari 2012 ini diselesaikan dengan perjanjian damai di antara kedua belah pihak ( 27 Januari 2012). Dari beberapa kasus kekerasan di tiga wilayah (Papua, NTB, dan Lampung) tersebut, tim peneliti SNPK-THC mengidentifikasi adanya faktor-faktor yang turut menyumbang terjadinya kekerasan. Beberapa faktor tersebut dapat berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung terhadap fenomena kekerasan antarkelompok. 31 Warga Lokal Lampung melalui Dokumen Pernyataan Sikap Warga Lampung Selatan mengklaim massa yang turut serta menyerang sebesar orang. Sedangkan Kabid Humas Polda Lampung menyatakan massa yang berdatangan sebesar orang (Kompas, 30 Oktober 2012). Faktor sosial-budaya: solidaritas mekanik, dendam mendalam, dan sterotype di tengah kelompok masyarakat. Dalam beberapa kasus di Mimika, Papua, ikatan solidaritas mekanik di dalam kelompok suku-suku menjadi instrumen yang memudahkan upaya mobilisasi massa dalam melakukan kekerasan. 32 Biasanya, ketika salah seorang anggota dari suku tertentu mengalami permasalahan (seperti, pencurian, penganiayaan, atau ketersinggungan) dengan anggota dari suku lainnya, maka mereka kerap meminta bantuan keluarga atau kerabat sesuku. Bantuan tersebut kerap direspon melalui aksi balasan atau penyerangan dengan memobilisasi massa. Tak hanya itu, pola kekerasan juga kerap meluas, yakni tidak hanya ditujukan kepada pelaku, melainkan juga terhadap kerabat ataupun barang dan bangunan yang dimilikinya. Anggapan bahwa ketika warga dari satu suku tertentu mengalami gangguan dari suku lain, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab bersama. Hal inilah yang masih tertambat di dalam masyarakat asli Papua, termasuk di Mimika. Solidaritas yang kuat tersebut ditambah dengan adanya dendam mendalam terhadap musuh menyebabkan kekerasan semakin rentan terjadi di Mimika. Seringkali, kelompok suku yang anggotanya tewas akibat perang suku akan menuntut balas. Biasanya, keluarga korban tersebut akan meminta kepala perang atau panglima perang dari kelompok suku untuk melakukan perang kembali. Bagi kelompok-kelompok suku asli di Mimika, penyelesaian melalui perang suku 33 lebih dipilih sebagai solusi bagi penyelesaian konflik. 34 Saat ini, tidak hanya persoalan terkait adat yang menjadi pemicu perang suku, tetapi juga persoalan sepele seperti perselisihan kecil atau cekcok. Ketika perselisihan melibatkan kelompok suku yang memiliki riwayat permusuhan (seperti antara suku Amungme dan Dani di Mimika Baru), maka dengan mudah perang suku akan terjadi. 35 Di samping itu, keyakinan 32 Faktor solidaritas mekanik tidak hanya berlaku dalam internal kelompok suku tertentu saja, melainkan dapat juga melebar kepada kelompok suku yang memiliki kesamaan kultur. Di beberapa kasus kekerasan di Mimika, seperti pada kekerasan antarkelompok entis/suku pada Oktober 2007 di wilayah Tembagapura, terdapat fenomena aliansi di antara suku Dani dan Damal dalam menghadapai suku Amungme. Pada saat itu, selain memiliki persoalan atau musuh yang dianggap sama, yakni suku Amungme, namun faktor lain yang membuat adanya aliansi suku Dani dan Damal adalah solidaritas kekerabatan sesama suku asli pegunungan. 33 Dalam perang suku di Papua (termasuk Mimika), peran kepala atau panglima perang cukup penting. Mereka merupakan pihak yang menentukan perang, termasuk yang mengakomodasi permintaan perang dari keluarga korban tewas. Bagi setiap korban tewas akibat perang, kepala atau panglima perang bertanggung jawab untuk menanggung biaya pemakaman dan santunan terhadap keluarganya. Tak hanya itu, kepala atau panglima perang akan mengundang keluarga-keluarga dalam kelompok suku untuk ikut terlibat dalam perang. Ia juga merupakan salah satu aktor yang berperan dalam proses perdamaian dengan pihak lawan, pemerintah, serta tokoh-tokoh adat dan agama setempat (Wawancara Muridan Widjojo, 1 Februari 2014). 34 Arnold Mampioper (2000) mengidentifikasi tiga hal yang kerap menjadi faktor pemicu perang suku, yakni uang harta kawin, korban perang yang tidak dibayar, dan pelanggaran batas kawasan berburu. 35 Jika perselisihan terjadi antarsesama warga di dalam satu kelompok suku, maka biasanya penyelesaian terlebih dahulu dilakukan dengan upaya membayar denda kepada pihak korban. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 15

18 kelompok suku setempat yang menganggap bahwa harus terjadi perimbangan dari segi dampak kekerasan (tewas, cedera, dan bangunan rusak) antara dua belah pihak yang berkonflik semakin mendorong berlarut-larutnya perang suku (Cendrawasih Pos, 22 Oktober 2007). Dendam antara kelompok suku juga tidak hanya akibat perang suku yang terjadi di Mimika, namun juga dapat terkait dengan perang suku di wilayah lain. Seperti perang suku yang cukup besar di wilayah Ilaga, Kabupaten Puncak akibat konflik elit politik dalam pemilukada tahun turut mendorong perang suku yang terjadi di Mimika. Salah satu tokoh adat Amungme mengatakan bahwa beberapa perang suku di tahun 2012 disebabkan karena adanya upaya pembalasan atas kematian saudara-saudara mereka yang tewas oleh kelompok suku Dani dalam perang suku di Puncak tahun 2011 lalu (wawancara, 11 Februari 2014). Hal tersebut penting diperhatikan bahwa perang suku di Mimika juga dapat terjadi akibat konflik lain di luar wilayah tersebut. Di Lombok Tengah, faktor solidaritas yang kuat juga terlihat pada kasus-kasus kekerasan antarkampung. Solidaritas yang kuat di kalangan warga desa terjadi karena masih melekatnya pemahaman terhadap prinsip tunggal wirang atau prinsip saling membantu. Menurut tokoh masyarakat Desa Batujai, prinsip tunggal wirang masih digunakan warga, termasuk ketika berperang (wawancara, 4 Februari 2014). Sepanjang masih ada hubungan keluarga atau garis keturunan, baik warga yang tinggal di desa maupun di luar desa, maka mereka harus membantu ketika desa sedang mengalami kesulitan, termasuk dalam perang. Dengan prinsip tersebut, upaya memobilisasi warga desa dengan jumlah yang masif relatif lebih mudah dan cepat. Bahkan dalam beberapa bentrokan juga terlihat bahwa massa yang terlibat tidak hanya dari warga desa yang berkonflik, namun juga berasal dari warga desa lain yang memiliki hubungan kekerabatan dengan desa-desa yang sedang berkonflik tersebut. Biasanya, sebelum terjadi bentrokan atau penyerangan, tokoh desa setempat mengundang warga desa lain yang masih mempunyai hubungan/garis keturunan keluarga untuk ikut terlibat secara langsung. Solidaritas warga desa juga bisa terwujud dalam bentuk penggalangan dana untuk pembiayaan bentrokan antardesa. Menurut tokoh pemuda Desa Kawo, saat konflik antara warga Desa Kawo dan Ketara tahun 2012, warga Desa Kawo mampu menggalang dana kurang lebih 500 juta rupiah dari saudara-saudara mereka yang bekerja sebagai TKI di luar negeri (wawancara, 5 Februari 2014). Uang itu digunakan, misalnya, untuk pembelian dan perakitan senjata serta biaya santunan bagi korban bentrokan. Selain itu, solidaritas di kalangan warga desa di Lombok Tengah juga sangat mudah terbangun ketika adanya gangguan terhadap prinsip-prinsip khas orang Sasak, seperti merang, bile raweng, dan malu kadang Lihat Catatan Kebijakan THC Edisi 01/Juli Bagi orang Sasak (termasuk warga di Lombok Tengah), prinsip-prinsip tersebut mengandung nilai pembelaan atau perlawanan ketika harga diri dan martabat mereka diganggu oleh pihak lain. Ketika harga diri mereka diganggu atau direndahkan, maka biasanya akan direspon dengan perlawanan atau pembalasan terhadap kelompok warga desa lain yang dianggap musuh. Seperti bentrokan pada Mei 2012 antara Desa Kawo dan Ketara, mantan kepala Desa Ketara menganggap bahwa kematian salah satu warga mereka akibat diduga mencuri merupakan suatu penghinaan bagi desa sehingga pembalasan harus dilakukan oleh warga Ketara (wawancara, 4 Februari 2014). Keberadaan solidaritas di kalangan warga desa juga semakin diperkuat ketika tokoh yang dianggap tetua desa menyetujui untuk melakukan perang atau penyerangan terhadap desa tertentu. 38 Biasanya tokoh-tokoh tersebut yang berperan penting untuk melarang atau menyetujui perang. Ketika para tokoh tersebut menyatakan perang, maka warga desa baik anak-anak, pemuda, dan orang tua akan secara cepat termobilisasi. Pada konflik antara Desa Kawo dan Ketara tahun 2012, para tetua Desa Kawo menetapkan warganya harus berperang ketika diserang oleh warga Desa Ketara. Pada saat itu pula, menurut penuturan tokoh pemuda Desa Kawo, semua sumber daya di desa dapat digerakan, mulai dari pengumpulan massa dan dana hingga pemanfaatan peralatan bahan bangunan dari toko-toko di Desa Kawo untuk pembuatan senjata (wawancara, 5 Februari 2014). Lebih lanjut, di Lombok Tengah terdapat norma atau aturan tidak tertulis yang menuntut setiap warga desa untuk terlibat pada saat berperang. Ada sanksi sosial yang akan diberikan kepada masyarakat yang tidak ikut terlibat, misalnya dikucilkan dalam kegiatan desa hampir selama satu tahun (wawancara, 4 Februari 2014). Tindakan concertive control 39 seperti ini secara efektif memaksa warga untuk berpartisipasi karena besarnya tekanan dari warga dan ketakutan dijatuhi sanksi sosial. Seorang pejabat keamanan menyatakan tindakan ini kadang melibatkan pihak perempuan yang meneror sebuah keluarga bila ada anggota keluarga laki-lakinya yang tidak ikut serta dalam peperangan melawan warga desa lain (wawancara, 5 Februari 2014). Di samping itu, dendam antara warga kampung/desa yang kerap berseteru menjadi pendorong konflik yang terus tetap ada. Seperti di Lombok Tengah, rasa dendam terbangun ketika warga menyaksikan kondisi korban akibat kekerasan (seperti, tewas atau luka parah). Hal ini karena banyak warga yang kerap membawa korban kekerasan ke desa mereka bukan ke rumah sakit untuk diobati. Korban tewas kerap diarak oleh warga desa sebagai bentuk penghormatan. Amarah warga menjadi semakin besar untuk melakukan aksi balasan ketika menyaksikan korban luka parah atau tewas (wawancara, 20 Januari 2014). Dendam mendalam antara warga desa yang berseteru juga 38 Tokoh yang dianggap tetua desa tidak ditetapkan secara formal, namun warga desa di Lombok Tengah menempatkan seseorang menjadi tetua karena beberapa hal, yakni dianggap keturunan bangsawan desa, memiliki pengetahuan budaya/adat yang tinggi, memiliki ilmu kanuragan yang sangat baik, dan aktif dalam kegiatan sosial-keagamaan di desa. 39 Modifikasi dari konsep awal Tompkins dan Cheney (1985) untuk kontrol organisasi. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 16

19 terinternalisasi kepada anak-anak di desa-desa di Lombok Tengah. Hal tersebut tidak terlepas dari keterlibatan anakanak dalam kekerasan (seperti mempersiapkan logistik senjata) dan juga kerap menyaksikan para korban kekerasan di desa mereka, serta mendengarkan cerita/pengalaman orang dewasa ketika melakukan kekerasan (wawancara, 20 Januari 2014). Indikasi ini terlihat bagaimana sejak kecil anak-anak di desa (seperti di Desa Ketara) sudah bisa mengatakan dengan lugas siapa musuh mereka, bahkan ketika melakukan permainan perang-perangan mereka seakan sudah bisa mempraktekkan tindakan kekerasan. Dendam mendalam ini juga melekat di kalangan pelajar di desa-desa yang kerap berseteru. Tak jarang, para pelajar dari dua desa yang mempunyai riwayat konflik (seperti Desa Ketara dan Sengkol) saling melakukan kekerasan di sekitar sekolah. Dendam yang mendalam tersebut mendorong peningkatan kewaspadaan warga desa. Ini dapat dilihat dari kasus warga Desa Kawo pascabentrokan dengan Desa Ketara 2012, dimana mereka sepakat untuk membentuk Badan Keamanan Desa (BKD) di Desa Kawo yang terdiri dari 34 orang dengan tujuan untuk mengamankan desa dari gangguan pihak lain. Saat ini, anggota BKD lebih aktif melakukan kegiatan pengamanan, seperti ronda atau kegiatan sistem keamanan lingkungan (Siskamling) pada malam hari. Di samping itu, warga desa juga sepakat untuk membentuk pasukan elit desa yang terdiri dari 25 orang perwakilan dari tiap dusun di desa Kawo. Mereka juga mendapatkan pelatihan-pelatihan dari orang-orang yang dituakan di desa, seperti pelatihan ilmu kebal supaya mereka bisa langsung diterjunkan di garis depan ketika ada penyerangan dari desa lain (wawancara, 5 Februari 2014). Menurut salah satu tokoh pemuda Desa Kawo, upaya-upaya tersebut dilakukan agar mereka selalu siap untuk berperang dan tidak ingin mengulang ketidaksiapan mereka saat diserang tahun 2012 yang mengakibatkan banyak warga Kawo menjadi korban (wawancara, 5 Februari 2014). Dari kasus Lampung Selatan, secara sosial terbentuk stereotype yang berkembang dari pengalamanpengalaman berinteraksi di antara warga etnik lokal Lampung dengan warga etnik Bali. Pengalamanpengalaman didalam hubungan antar kelompok etnik ini pada tahapan selanjutnya digeneralisir berdasarkan identifikasi identitas etnik tertentu. Generalisasi ini setidaknya memotivasi dan memobilisasi puluhan ribu warga lokal Lampung dari berbagai penjuru dan etnik lainnya untuk menyerang desa Balinuraga Dokumen Pernyataan Sikap Warga Masyarakat Lampung Selatan menyebut pada butir 7 pernyataan sikap mereka bahwa: Mulai saat ini, masyarakat Bali harus mampu bersosialisasi dengan masyarakat Lampung maupun sukusuku lainnya di Lampung Selatan dengan cara: a) Tidak lagi menonjolkan ornament-ornamen kesukuan darimana mereka berasal, b) Tidak lagi memelihara babi, karena sangat mengganggu lingkungan masyarakat yang berbeda keyakinan; c) Tidak bertindak arogan (memaksakan kehendak) dalam menyelesaikan persoalan yang muncul. Setidaknya terdapat beberapa stereotype yang muncul terhadap kehadiran warga Bali di Lampung Selatan. 41 Pertama, Sikap dan perilaku pemuda desa Balinuraga dipandang seringkali membuat resah warga lokal Lampung sehingga terbentuk stereotipe bahwa warga Bali terutama pemudanya adalah pembuat masalah. Salah satu peristiwa dalam interaksi sosial adalah kasus kekerasan di Desa Napal dimana pemuda dari etnik Bali memukul tukang parkir dari warga etnik lokal Lampung yang mencoba menegurnya di lapangan parkir pasar Sidomulyo sehingga memicu insiden kekerasan yang terjadi pada Januari Kedua, terusiknya harga diri warga etnik lokal Lampung karena ada identifikasi bahwa berulang kali warga etnik Bali dari Balinuraga membuat ulah dan terlibat dalam insiden-insiden kekerasan. 42 Bagi warga etnik lokal Lampung, warga Bali terutama yang berasal dari Balinuraga telah menyinggung Phi il atau harga diri orang Lampung sehingga masalah pelecehan terhadap dua gadis dari desa Agom berubah menjadi dendam terhadap tindakan-tindakan orang-orang Bali (wawancara pertama dengan tokoh adat lokal Lampung Selatan, 5 Februari 2014). 43 Hal ini akhirnya menggerakkan warga Lampung Timur untuk ikut serta dalam penyerangan ke Balinuraga. Menurut salah satu tokoh adat di Lampung Selatan, warga Lampung Timur memiliki pengalaman yang sama, yaitu sering mengalami perlakuan menyakitkan dalam interaksi sosial dan pernah terlibat konflik dengan warga Bali. Ketiga, Dalam insiden penyerangan ditemukan bahwa warga etnik lainnya seperti etnik Jawa dan Banten ikut bergabung dengan warga etnik lokal Lampung. Salah satu faktor penting yang menggerakkan warga etnik lainnya untuk bergabung adalah karena mereka juga pernah mengalami konflik dan bermasalah dengan warga etnik Bali dalam interaksi sehari-hari. Adanya dendam memotivasi kelompok etnik lainnya mengikuti warga etnik lokal Lampung ketika menyerang Balinuraga. Ketiga stereotype dalam kehidupan sosial yang berkembang terhadap warga etnik Bali menjadi justifikasi tindak kekerasan sebagai upaya membalas dan menghukum tanpa memperhatikan peran dan fungsi hukum. Salah satu kendala tidak berjalannya instrumen hukum formal juga diperkuat oleh stereotype yang berkembang di masyarakat Lampung Selatan bahwa ada indikasi kelompok etnik tertentu dianakemaskan. 44 Ini mendorong masyarakat untuk mengambil jalan main hakim sendiri dalam menyelesaikan masalah di Lampung Selatan. 41 Tim Peneliti SNPK menemui kesulitan untuk mendapatkan data dilapangan terutama dari pihak warga etnik Bali karena insiden kekerasan pada tahun 2012 masih menyisakan trauma mendalam bagi warga etnik Bali. Hal ini membuat data yang dimiliki tidak dapat mencakup pandangan-pandangan warga Bali terhadap warga lokal Lampung Selatan dan warga etnik lainnya didalam kehidupan sehari-hari. 42 Lihat catatan kaki Tersinggungnya harga diri Phi il menurut sebagian warga lokal Lampung Selatan karena adanya pandangan bahwa kenapa orang Lampung sudah menerima warga Bali sebagai pendatang tetapi mereka malah membuat onar. 44 Wawancara dengan salah satu pejabat Pemda Lampung Selatan, 6 Februari Kajian Perdamaian dan Kebijakan 17

20 Setidaknya ada dampak dari tindak kekerasan yang terjadi akibat stereotype yang berkembang di Lampung Selatan. Pertama, warga etnik Bali di Balinuraga yang tidak berasalah harus menanggung akibatnya. Kelompok rentan kekerasan seperti perempuan dan anak-anak harus merasakan dampaknya seperti pasangan suami istri yang harus melarikan diri selama empat jam dan membawa bayi (Lampung Post, 31 Oktober 2012). Kedua, trauma warga Bali yang tidak bersalah juga menyebar kepada warga Bali yang tinggal di luar Lampung Selatan. Pak Wayan seorang pegawai negeri dari Ibu Kota Bandar Lampung yang bertugas di Lampung Selatan tidak berani bekerja karena trauma dan takut menjadi target sasaran (Soroso,2012) 45. Padahal Pak Wayan merupakan warga etnik Bali yang mempromosikan kesenian Lampung di even-even Nasional. Ini menunjukan bahwa insiden kekerasan di Balinuraga memiliki dampak yang besar bagi warga Bali yang tidak terkait dengan perilaku oknumoknum tertentu. Apa yang dialami oleh Pak Wayan juga dikemukakan oleh tokoh masyarakat Bali Pak Made Bagiasa yang menyebutkan bahwa dia dan warga etnik Bali lainnya sebagai warga negara Indonesia yang telah menjadi bagian dari Lampung; Kami ini warga Lampung, Kartu Tanda Penduduknya juga Lampung ( co, 02 November 2012). Ini menunjukan bahwa terdapat warga etnik Bali yang sudah menyatu dan beradaptasi dengan lingkungan sosial di Lampung. Faktor ekonomi: persaingan akses terhadap sumber daya dan ketimpangan antarakelompok masyarakat. Persoalan akses terhadap kesempatan kerja dan peluang usaha turut berkontribusi terhadap perselisihan antarwarga kampung di Lombok Tengah, khususnya di sekitar lokasi Bandara Internasional Lombok (BIL). Dalam konteks Lombok Tengah, pembangunan BIL di Kabupaten Lombok Tengah turut memberikan keuntungan terhadap masyarakat setempat, seperti keberadaan infrastruktur yang baik (jalan) dan kesempatan kerja. Namun, di sisi lain, keberadaan bandara tersebut juga menjadi sumber konflik antarkampung. Selama ini ada anggapan di tengah masyarakat bahwa warga yang bisa menjadi karyawan dan membuka usaha di bandara adalah orang-orang dari desa tertentu saja, seperti Desa Tanah Awo, Ketara, dan Penujak, 46 sedangkan warga desa lainnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan (wawancara, 20 Januari 2014). Menurut penuturan warga Desa Penujak, jika ingin bekerja 45 Oyos Saroso HN I Wayan Mochoh, Promotor Musik Tradisi Lampung dalam Budisantoso Budiman dan Oyos Saroso HN (ed) Merajut Jurnalisme Damai di Lampung, Bandar Lampung, Lampung; Aji Bandar Lampung dan Indepth Publishing, hal Desa Tana Awo, Ketara, dan Penujak merupakan tiga desa yang sebagian wilayahnya menjadi areal BIL. Menurut penuturan salah satu supir travel bandara yang berasal dari desa Penujak, pada awal pembebasan lahan mereka dijanjikan untuk bisa bekerja dan menguasai peluang usaha di lokasi bandara (wawancara, 3 Februari 2014). Sebagai gantinya, mereka diharuskan untuk memberikan lahannya (lewat mekanisme jual-beli) untuk kebutuhan bandara. Oleh karena itu, ia menuturkan wajar kalau banyak warga dari tiga desa tersebut mendapatkan kesempatan lebih besar untuk bekerja dan berusaha di areal bandara. di lingkungan bandara (seperti menjadi supir travel dan pegawai urusan tiket), maka warga yang berasal dari luar tiga desa tersebut harus masuk menjadi anggota dari kelompok-kelompok Desa Tanah Awo, Ketara, dan Penujak (wawancara, 3 Februari 2014). Mereka akan dikenakan iuran/biaya untuk bisa masuk dan terlibat dalam kegiatan ekonomi di bandara. Tak hanya itu, kelompokkelompok warga dari tiga desa tersebut kerap menuntut pihak bandara agar dilibatkan dalam proses rekruitmen pegawai. Tak jarang, kekerasan terjadi akibat persoalanpersoalan tersebut. Seperti pada Desember 2012, terjadi penyerangan terhadap karyawan bandara oleh sekelompok warga Desa Penujak karena ketidakpuasan terhadap proses rekrutmen pegawai bandara yang tidak melibatkan mereka (Suara NTB, 24 Desember 2012). Permasalahan tersebut patut diperhatikan terlebih ketika wacana diskriminasi terhadap akses pekerjaan tersebut terus meluas dan berpotensi menimbulkan perselisihan yang lebih tajam antara warga desa di Lombok Tengah. Di Mimika, persoalan ekonomi terkait perebutan akses terhadap pendulangan emas juga kerap menimbulkan konflik antar-suku. Perselisihan antarkelompok suku asli di Mimika dan para pendatang juga kerap terkait perebutan sumber daya di sekitar daerah pendulangan emas ilegal di Tembagapura, khususnya di daerah Kampung Banti. Daerah tersebut merupakan salah satu wilayah tujuan utama bagi para pendulang emas ilegal di Mimika. 47 Konflik yang kerap berujung kekerasan dengan berbagai pemicu sering terjadi, seperti pencurian dan perampokan material emas hasil pendulangan, sengketa lokasi pendulangan antara pemilik tanah dan para pendulang, perebutan lokasi pendulangan, serta aksi-aksi penganiayaan yang terjadi di sekitar lokasi tersebut. Sedangkan di Balinuraga, Lampung Selatan, persoalan ekonomi seperti meningkatnya pendapatan ekonomi dan perubahan kepemilikan tanah mempengaruhi ketimpangan horizontal antara transmigran warga etnik Bali dan warga etnik lokal Lampung. Setelah kurang lebih 56 tahun keberadaan tranmigrasi di Lampung Selatan, perbedaan ekonomi di antara warga etnik Bali dengan warga etnik lokal Lampung mengemuka. Warga etnik Bali dapat mengembangkan kapasitas ekonominya sedangkan warga lokal Lampung Selatan tidak banyak mengalami perubahan. Perubahan ekonomi yang kontras di antara kedua etnik ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, etnik Bali sebagai pendatang memiliki etos kerja yang tinggi agar berhasil di Lampung Selatan. Sedangkan warga etnik lokal Lampung tidak dapat mengatasi perubahan sosial-ekonomi yang dihadapinya karena merasa berada di wilayahnya sendiri. 48 Kedua, kondisi dan posisi ekonomi yang berbeda di antara kedua etnik ini berdampak pada pergeseran kepemilikan atas tanah. Warga etnik Bali dalam waktu 56 tahun telah memiliki kemampuan 47 Wilayah tersebut masih merupakan daerah konsesi pertambangan PT. Freeport Indonesia. 48 Beberapa informan yang berasal dari etnik lokal Lampung mengakui bahwa sebagian besar orang lokal Lampung tidak memiliki motivasi untuk bekerja keras karena berada di wilayahnya sendiri. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 18

21 untuk membeli tanah yang dimiliki oleh warga etnik lokal Lampung. Di pihak lain, akibat meningkatnya keperluan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, warga etnik lokal Lampung Selatan menjual tanah yang dimilikinya (wawancara ketiga dengan pemuka adat lokal Lampung Selatan, 6 Februari 2014). Pergeseran kepemilikan tanah ini memperlihatkan selama 56 tahun telah berlangsung perubahan sosio-ekonomi yang signifikan yang disikapi dengan cara yang berbeda oleh kedua kelompok etnik tersebut. Warga Bali mampu meningkatkan status dan kemampuan ekonominya dengan bekerja keras sedangkan warga lokal Lampung mengandalkan kebutuhan ekonominya berdasarkan tanah yang dimiliki yang menyusut dari waktu ke waktu. Ketiga, masuknya perusahaan-perusahaan skala besar yang membutuhkan lahan untuk beroperasi juga berpengaruh dalam memperkecil ruang hidup dan kepemilikan atas tanah warga etnik lokal di Lampung Selatan. Perubahan sosio ekonomi di Lampung Selatan selama 56 tahun ini memiliki dampak baik secara langsung dan tidak langsung terhadap benturan-benturan yang timbul di antara kedua kelompok etnik tersebut. Pertama, meningkatnya status ekonomi warga etnik Bali di Lampung Selatan dipandang sebagian warga etnik lokal Lampung telah membuat mereka menjadi arogan dan mendominasi ruang ekonomi seperti pasar. Kedua, berkembangnya hubungan ekonomi antara warga etnik Bali dengan warga etnik lokal Lampung melalui mekanisme hutang-pinjaman uang. Warga etnik Bali dengan kemampuan ekonominya dapat memberikan pinjaman uang kepada warga etnik lokal Lampung Selatan. Masalah muncul saat warga lokal etnik Lampung merasakan ketidakadilan di dalam proses pinjam meminjam. Ketidakadilan yang dirasakan dari sudut pandang warga etnik lokal Lampung dalam proses pinjaman yang diberikan warga etnik Bali seperti a) bunga yang terlalu tinggi, b) waktu pembayaran yang singkat dan c) penyitaan rumah serta sawah apabila pinjaman tidak dikembalikan (wawancara, 4 Februari 2014). Praktek ekonomi ini akhirnya membentuk pandangan warga etnik Lampung Selatan bahwa warga Bali melakukan prilaku rentenir. Kedua hal tersebut mendorong kemarahan warga etnik lokal Lampung dan etnik lainnya yang juga mengalami nasib yang sama disaat melakukan hubungan ekonomi dengan warga Bali sehingga menjadi salah satu faktor yang memotivasi mereka menyerang Balinuraga. Bahkan salah satu target sasaran perusakan rumah di desa Balinuraga adalah mereka yang dipandang sebagai rentenir oleh warga etnik lokal Lampung dan etnik lainnya. Faktor migrasi penduduk Perselisihan antarkelompok suku kerap muncul ketika masyarakat dari suku Amungme yang menganggap diri sebagai orang asli sekaligus tuan tanah di Mimika merasa mulai tertekan dengan keberadaan para pendatang dari kelompok suku seperti Dani, Damal, Nduga, Mee, dan Moni. Secara perlahan, pendatang mulai menduduki tanah-tanah di Mimika, baik itu untuk tempat tinggal ataupun kebun. Salah satu tokoh adat Amungme (wawancara, 11 Februari 2014) mengatakan bahwa kedatangan suku-suku dari gunung (seperti suku Dani) ke Mimika yang kemudian menduduki lahan-lahan penduduk lokal kerap menjadi pemicu konflik karena mereka menempati lahan-lahan tersebut tanpa meminta izin kepada penduduk lokal. Salah satu contohnya adalah bentrokan yang melibatkan kelompok suku Amungme dan masyarakat pendatang asli Papua pada Agustus Bentrokan ini akibat masyarakat dari suku Amungme mengklaim tanah hingga irigasi di sekitar jalan Petrosea adalah miliknya (Cendrawasih Pos, 26 Agustus 2010). Di Balinuraga, Lampung Selatan, program transmigrasi turut mendorong konflik antara pendatang dan masyarakat lokal. Lebih lanjut, Iwan Nurdin mengatakan pemerintah mengakomodir transmigran untuk membawa seluruh pranata sosial suatu masyarakat agar merasa nyaman di tempat transmigrasi (www. lampungtribunnews.com, 8 Januari 2012). Dari observasi di lapangan dapat ditemukan bahwa ornamen-ornamen rumah orang Bali memiliki karakter yang berbeda dengan rumah penduduk desa lainnya. Perbedaan ini tidak dapat dilepaskan karena adanya budaya yang melekat dalam diri pendatang mengenai citra tempat tinggal dimana mereka berasal. Ini dapat mendorong tidak membaurnya warga desa transmigran dengan desa penduduk lokal. Menurut Chodidah Budi Raharjo peran pemerintah dalam menentukan kelompok etnik tertentu yang dimukimkan dengan kelompok etnik lainnya sangat penting dalam mencegah terjadinya benturan budaya (1984) 49 seperti yang terjadi di antara warga etnik Bali dan warga etnik lokal Lampung di Lampung Selatan. Akibat ketidakpekaan perbedaan nilai budaya, kebijakan transmigrasi sebelumnya telah mengakibatkan segregasi sosial dan spasial antara transmigran dan penduduk lokal. Made Mudarta melihat bahwa program transmigrasi tidak dibarengi dengan pembekalan untuk pembauran mengenai pengetahuan warga lokal saat memberangkatkan imigran ( co.id, 2 November 2012). Selain itu Murdata melihat adanya bahwa dalam pengelompokan transmigran dari suatu wilayah tertentu seperti yang terjadi di Balinuraga. Pengelompokan dengan membangun desa yang khusus untuk etnik tertentu akan memberikan dampak bagi munculnya segregasi dalam kehidupan warga sehari-hari. Kebijakan ini dapat dirunut dari awal pembentukan Desa Balinuraga dalam Kecamatan Sidomulyo pada tahun 1958 dimana pemerintah tidak memerhatikan aspek perbedaan budaya dan nilai agama di antara warga Bali yang hendak ditempatkan di tengah penduduk lokal Lampung Selatan. Ini juga diperkuat dengan pemekaran Kecamatan Way 49 Chodidah Budi Raharjo Benturan Sosial dan Budaya di Daerah Pemukiman Transmigrasi dalam Transmigrasi, Dari Daerah Asal Sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman oleh Tim Peneliti Universitas Kristen Satya Wacana; Jakarta, Rajawali Press. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 19

22 Panji pada tahun sehingga semakin menempatkan desa Balinuraga sebagai daerah yang eksklusif. Ahli Demografi Sosial Riwanto Tirtosudarmo (2007) melihat bahwa konsepsi perpindahan penduduk tidak dapat dilihat sebagai perpindahan tenaga kerja dan sumber daya manusia saja, tetapi juga sebagai perpindahan manusia dengan kebudayaannya. 51 Ini berarti kebijakan transmigrasi sebelumnya tidak memperhitungkan bahwa program transmigrasi akan menimbulkan potensi konflik akibat adanya perbedaan kebudayaan. Dalam konteks Lampung Selatan identitas budaya seperti etnisitas dapat menjadi potensi konflik yang dapat berubah menjadi tindak kekerasan. Faktor pola penanganan: lambannya respon aparat pemerintahan dan upaya perdamaian tidak efektif. Seperti di Lombok Tengah, aparat kepolisian dan pemerintah kabupaten setempat terkesan lamban dalam melokalisir rangkaian insiden kekerasan terkait konflik antarkampung. Salah satu contohnya, insiden pada Mei dan Juni 2012 antara warga Desa Kawo dan Ketara. Persoalan lokasi yang jauh dan waktu insiden bentrokan yang tidak terduga menjadi alasan pihak aparat Kepolisian Resort Lombok Tengah sulit mendeteksi rangkaian insiden yang terjadi (Antaranews.com, 19 Mei 2012). Tak hanya itu, penyerangan warga Desa Ketara terhadap warga Desa Batujai yang melalui jarak kurang lebih 10 kilometer tidak mampu dicegah oleh pihak keamanan dan pemerintah setempat. Menurut penuturan warga Batujai, penyerangan warga Ketara sebenarnya dapat dicegah karena mereka melewati jalanjalan utama di Kecamatan Pujut (wawancara, 4 Februari 2014). Hal-hal tersebut menunjukan bahwa pihak aparat kepolisian terkesan reaktif dalam merespon kasus-kasus kekerasan antarkampung di Lombok Tengah. Padahal jika dicermati lebih dalam, kekerasan antarkampung tersebut dapat dicegah sejak pemicunya terjadi, misalnya perkelahian antarpemuda dari dua desa. Pencegahan juga bisa dilakukan dengan melihat pola mobilisasi massa yang cenderung terkonsentrasi di desa yang kemudian bergerak menuju lokasi bentrokan, seperti sawah atau perbatasan desa. Lebih lanjut, berlarut-larutnya proses penyelesaian konflik antarkampung juga dipengaruhi oleh keberadaan Pamswakarsa di Lombok Tengah. 52 Pascareformasi Pamswakarsa mulai marak ketika aparat kepolisian dianggap tidak mampu mengatasi maraknya kasus 50 Daftar Kecamatan dan Kabupaten yang Pembentukannya Didorong oleh Pembangunan Transmigrasi di Propinsi Lampung, lihat Buku Data Ketransmigrasian Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Lampung tahun 2009, halaman Riwanto Tirtosudarmo Mencari Indonesia, Demografi Politik Paska Soeharto; Jakarta, Penerbit LIPI Press. 52 Tak hanya di Pulau Lombok, fenomena Pamswakarsa juga marak di Jakarta pasca Orde Baru tumbang. Fenomena ini dapat dilihat pada saat Sidang Istimewa MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat ) tahun Pada saat itu, massa Pamswakarsa (berasal dari beberapa organisasi kepemudaan dan ormas Islam) yang pro terhadap sidang istimewa terlibat bentrok dengan kelompok mahasiswa yang menolak sidang tersebut (lihat, Ryter, 1998; dan Kingsbury, 2003). pencurian (sepeda motor dan ternak) di tengah masyarakat Lombok. Pada awalnya, kehadiran Pamswakarsa bertujuan untuk memburu para pelaku pencuri. 53 Seiring berjalannya waktu, Pamswakarsa tidak hanya bertujuan mencari jejak pelaku pencurian, namun juga digunakan untuk kepentingan lain, 54 termasuk dalam perang antarkampung di Lombok Tengah. Pada kasus konflik di Desa Kawo dan Ketara, pihak aparat kepolisian (wawancara, 5 Februari 2014) mensinyalir adanya Pamswakarsa yang disewa oleh warga Desa Kawo untuk menghadapi serangan warga Ketara. Indikasi tersebut terlihat dengan banyaknya warga dari luar desa dengan atribut tertentu (seperti rompi) yang ikut membantu mempertahankan Desa Kawo dari aksi penyerangan. Aparat kepolisian menduga keberadaan Pamswakarsa tersebut berasal dari Mataram atau bagian utara Lombok Tengah yang didatangkan khusus untuk terlibat dalam perang antarkampung. Keberadaan Pamswakarsa penting untuk diperhatikan ketika terjadi kasus-kasus kekerasan antarkampung di Lombok Tengah. Lambannya penanganan juga terjadi dalam kasuskasus kekerasan antarkelompok suku di Mimika, Papua. Sejauh ini, upaya penanganan, seperti yang dilakukan pihak kepolisian dan pemerintah daerah setempat, masih sangat reaktif dengan kekerasan-kekerasan besar. Padahal, menurut tokoh adat Amungme, pihak aparat keamanan seharusnya dapat mencegah terjadinya perang kalau segera melakukan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan yang kerap menjadi pemicu bentrokan antara kelompok suku di Mimika (wawancara, 11 Februari 2014). Ketika perang telah terjadi, tindakan yang dilakukan aparat keamanan terkesan lamban, tidak secara cepat melokalisir wilayah dan menemui tokohtokoh adat setempat. Salah satu tokoh adat Kamoro mengatakan bahwa pihak kepolisian sebenarnya bisa cepat menghentikan perang yang baru terjadi jika langsung menemui tokoh-tokoh kelompok suku yang berkonflik dan memisahkan kedua kelompok tersebut dari lokasi peperangan. Upaya tersebut dianggap penting oleh tokoh adat Kamoro untuk mengurangi potensi korban dan perang yang berlarut-larut. Selama ini aparat keamanan lebih memilih upaya pengerahan personil dalam jumlah banyak yang memerlukan waktu lama untuk sampai ke lokasi perang (wawancara, 11 Februari 2014). Lebih lanjut, upaya-upaya perdamaian terhadap kasuskasus kekerasan antarkampung di Lombok Tengah masih menekankan pada aspek penghentian kekerasan. Hal 53 Bujak (Pemburu Jejak) dan Amphibi merupakan organisasi pamswakarsa yang cukup terkenal di Pulau Lombok pada era transisi Orde Baru ke Reformasi. Organisasi Pamswakarsa tersebut beranggotakan para pemuda lintas desa di Lombok. 54 Saat ini, keberadaan pamswakarsa banyak digunakan untuk kepentingan politik (seperti melakukan intimidasi untuk memilih salah satu calon bupati/walikota). Tak hanya itu, mereka juga digunakan untuk kepentingan ekonomi, seperti yang terjadi di wilayah Kuta, Lombok Tengah dimana masyarakat mendapat intimidasi dari Pamswakarsa yang diduga disewa oleh pengusaha yang hendak melakukan pembebasan tanah untuk kebutuhan pariwisata (wawancara, 5 Februari 2014). Di samping itu, partisipasi oraganisasi/kelompok Pamswakarsa dalam membantu pengamanan telah dilegitimasi sebagai bagian dari kebijakan Empat Pilar Kamtibmas, yang terdiri dari Kepolisian, TNI, Satpol PP, dan Pamswakarsa. Pernyataan Kapolda NTB dalam Harian Umum Nurani Rakyat, 24 Januari 2014, Kapolda Launching Empat Pilar Kamtibmas. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 20

23 inilah yang kemudian membuka ruang bagi kemunculan kekerasan-kekerasan lainnya. Salah seorang aktivis sosial di Lombok Tengah mengatakan bahwa selama ini pendekatan yang digunakan untuk menangani konflikkonflik antarkampung masih bersifat parsial dan tidak menyentuh akar masalah yang melatarbelakanginya, seperti contohnya trauma mendalam para korban kekerasan di desa (wawancara, 20 Januari 2014). Tak hanya itu, kebanyakan perdamaian terjadi tidak dilanutkan dengan penegakan hukum bagi para pelaku kekerasan, sehingga mengakibat dendam tetap menyala di antara warga desa yang berkonflik di Lombok Tengah. Menurut penuturan tokoh pemuda Desa Kawo, sampai saat ini pemerintah dan kepolisian tidak pernah menindak tegas pelaku kekerasan yang telah melukai dan membakar rumah warga Kawo (wawancara, 5 Februari 2014). Hal serupa juga terjadi di Mimika, serangkaian perdamaian yang biasa dimediasi oleh pihak kepolisian bekerja sama dengan para pemangku jabatan lainnya masih bersifat reaktif dan cenderung hanya efektif menghentikan beberapa insiden kekerasan antarkelompok suku. 55 Akar persoalan belum diperhatikan, misalnya persaingan antara penduduk lokal dengan pendatang, akses terhadap sumber ekonomi, dan juga maraknya aksi kriminalitas, akses terhadap kegiatan pendulangan emas yang kerap memicu kekerasan. Persoalan semakin sulit, ketika pola penanganan hanya bergantung pada upaya atau intervensi pemerintah. Kondisi ini berbeda dengan masa dimana masyarakat sipil cukup efektif menangani kasus kekerasan di Mimika. Sekitar tahun 1990-an di Mimika peran lembaga masyarakat, seperti LEMASA (Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme) cukup aktif sebagai mediator konflik serta perekat suku-suku lainnya. Sangat disayangkan, menurut Muridan Widjojo, saat ini keberadaan lembaga-lembaga masyarakat di Mimika tidak lagi fokus sebagai mediator konflik, namun lebih fokus kepada pelaksanaan kegiatan program-program kemitraan PT. Freeport dan bantuan pemerintah pusat dan daerah (wawancara, 1 Februari 2014). Upaya perdamaian yang tidak efektif menyentuh masyarakat lapisan bawah (grassroots) juga terjadi di Lampung Selatan. Kesepakatan perdamaian yang dilakukan setelah insiden kekerasan di dusun Napal Januari 2012 antara kedua kelompok etnik tidak cukup kuat menjadi pengikat agar kekerasan serupa tidak berulang kembali. Kekerasan yang lebih besar terjadi pada bulan Oktober 2012 di Desa Balinuraga. Ada beberapa penyebab penanganan dan mediasi konflik tidak cukup efektif di antara warga etnik Bali dan warga lokal Lampung. Selain itu perjanjian damai pada 4 November 2012 sebagai 55 Menurut tokoh adat Amungme, selain upaya mediasi dari aparat pemerintah, hal yang penting juga diperhatikan dalam setiap upaya perdamaian perang suku adalah kesungguhan kelompok-kelompok suku yang bertikai untuk berdamai. Jika tidak, maka perdamaian tersebut akan sia-sia karena akan terjadi perang lanjutan. Ia mencontohkan ketika dua pihak yang berkonflik saling memanah babi dalam ritual perdamaian dan babi yang dipanah tidak langsung mati, maka itu pertanda bahwa masih ada dendam. Hal inilah yang penting dilihat oleh aparat pemerintah dan para pemangku kebijakan setempat (wawancara, 11 Februari 2014). upaya penyelesaian konflik kekerasan yang terjadi pada Oktober 2012 juga mendapatkan penolakan dari sebagian masyarakat adat lokal Lampung Selatan. Perjanjian ini disepakati oleh Raja Bali I Gusti Ngurah Arya dan lembaga formal adat bentukan pemerintah daerah Lampung Selatan ( 4 November 2012). Pertama, ada indikasi konflik dipicu oleh kepentingan elit politik di tingkat atas yang saling bertikai memperebutkan pengaruh. Pembentukan institusi formal lembaga masyarakat adat oleh pemerintah dengan tujuan menjembatani dan mengakomodasi berbagai kelompok masyarakat adat di Lampung Selatan menuai kontroversi tersendiri. 56 Beberapa tokoh adat yang diwakili oleh para pangeran adat dari marga yang ada di Lampung Selatan tidak semuanya menyetujui dan menerima institusi adat bentukan pemerintah Lampung Selatan. Hal ini menunjukan adanya masalah representasi bahwa ada sebagian pihak dari masyarakat adat Lampung Selatan tidak merasa diri dan kelompoknya terwakili oleh institusi formal masyarakat adat yang dibentuk pemerintah. Ini berarti jalur mediasi melalui institusi masyarakat adat tidak sepenuhnya dapat mewakili kepentingan dan suara tuntutan kelompok-kelompok masyarakat adat yang ada di Lampung Selatan. Kedua, selain masalah keterwakilan elemen dan kelompok masyarakat di Lampung Selatan, sosialisasi perdamaian paska insiden Napal tidak dilakukan sebar ke wilayah lainnya di Lampung Selatan. Baik pihak warga etnik Bali dan warga lokal Lampung Selatan di akar rumput tidak merasakan adanya sosialisasi yang menyeluruh mengenai perjanjian perdamaian di Desa Napal. Bahkan perjanjian pada 4 November 2012 yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan menuai kontroversi karena dianggap tidak mewakili masyarakat bawah Lampung Selatan. Dalam surat pernyataan sikap, warga masyarakat Lampung Selatan menolak perjanjian tersebut. 57 Akhirnya pemerintah Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan memenuhi tuntutan tersebut dengan menyelenggarakan deklarasi damai bersama dan pernyataan permintaan maaf dari orang Bali ditempat terbuka pada tanggal 21 November Dokumen Pernyataan Sikap Warga Masyarakat Lampung Selatan menyebut pada butir 3 dan 6 pernyataan sikap mereka bahwa: Mengecam semua pihak, Pejabat, Pengamat Sosial, Akademisi, Aktivis Sosial maupun pihak-pihak yang tidak mengerti permasalahan yang terjadi sebenarnya, terkesan selalu memojokkan kami masyarakat Lampung, bahwa kami terkesan kejam, sadis dan senang tawuran, padahal mereka tidak mengerti permasalahan yang terjadi sebenarnya (butir 3). Posisi-posisi strategis organisasi-organisasi kepemudaan ataupun organisasi kemasyarakatan yang bisa mempersatukan hubungan antar etnis di Lampung Selatan, harus di pimpin oleh warga Lampung Selatan yang lebih mengerti dengan permaslahan-permasalahan sosial di Lampung Selatan. 57 Dokumen Pernyataan Sikap Warga Masyarakat Lampung Selatan menyebut pada butir 1 pernyataan sikap mereka bahwa: Kami warga masyarakat Lampung Selatan khususnya warga Lampung menolak perjanjian damai tersebut, karena terkesan dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak memperhatikan keterwakilan warga masyarakat Lampung Secara umum yang bertikai serta tidak memperhatikan permasalahan-permasalahan selama ini yang terjadi. 58 Dokumen Pernyataan Sikap Warga Masyarakat Lampung Selatan menyebut pada butir 2 pernyataan sikap mereka bahwa: Menuntut permohonan maaf warga masyarakat Balinuraga dan masyarakat Bali secara umum harus dilakukan secara terbuka di tengah-tengah masyarakat Lampung Selatan, bu- Kajian Perdamaian dan Kebijakan 21

24 Ketiga, baik perjanjian perdamaian yang terjadi di Desa Napal Januari 2012 dan di Desa Balinuraga pada November 2012, pihak-pihak tertentu di masyarakat bawah merasakan bahwa proses perdamaian itu sendiri tidak dilakukan oleh pihak-pihak yang secara langsung terlibat pertikaian dan bentrokan kekerasan. Sehingga baik pihak warga etnik Bali dan warga etnik lokal Lampung yang secara langsung bertikai dan terlibat bentrok tidak secara langsung merumuskan perdamaian sesuai kebutuhan dan aspirasi mereka. 59 Terakhir, penanganan konflik antara warga etnik Bali dan warga etnik lokal Lampung dianggap tidak menyeluruh karena penyelesaian melalui perdamaian hanya menyentuh tahap penghentian konflik sedangkan pemulihan pascakonflik belum dilakukan secara komprehensif. Dari hasil observasi interaksi antara warga etnik Bali dan warga etnik lokal Lampung diperoleh adanya trauma dan dendam yang dapat kembali muncul kepermukaan bila tidak ditangani secara serius oleh pemerintah Lampung Selatan. Tahap pemulihan pascakonflik hanya sampai bagian rekonsiliasi melalui perdamaian di antara kedua belah pihak. Pemerintah daerah Lampung Selatan perlu untuk melakukan langkah rehabilitasi yang dengan menggarisbawahi Pasal 38 UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang meliputi aspek pemulihan psikologis korban konflik dan pelindungan kelompok rentan, penguatan relasi sosial yan adil untuk kesejahteraan. Langkah ini perlu dipertimbangkan mengingat ada kelompok-kelompok di lapisan masyarakat bawah yang perlu mendapatkan bantuan pemulihan secara psikologis untuk menghilangkan trauma dan dendam mendalam. Problem Kebijakan Pembangunan dan Penanganan Konflik Antarkelompok di Indonesia Berdasarkan hasil studi tim SNPK-THC, konflik antarkelompok di Indonesia tidak hanya terkait persoalan perbedaan identitas, seperti etnik, suku, agama, dan desa/kampung. Persoalan struktural seperti kebijakan pemerintah juga turut mempengaruhi dinamika konflik antarkelompok. Tim SNPK-THC mengidentifikasikan terdapat dua kebijakan pemerintah yang penting diperhatikan dalam kekerasan antarkelompok, yakni terkait kebijakan pembangunan dan penanganan konflik. kan hanya dilakukan di depan para pejabat dan di luar Lampugn Selatan (hotel berbintang) serta dimuat oleh semua Media elektronik maupun media cetak berskala Nasional. 59 Salah satu informan misalnya mengatakan bahwa sebenarnya proses penyelesaian antar adat yang dilakukan oleh warga etnik Bali dari Balinuraga dengan warga masyarakat adat lokal Lampung di tingkat masyarakat langsung sudah berjalan tanpa perantara pemerintah dan lembaga adat lokal Lampung yang dibentuk pemerintah. Namun dalam perjalanan proses perdamaian, pihak-pihak masyarakat adat yang sebelumnya sudah terlibat proses perdamaian tidak diikutkan dalam proses perdamaian yang dilakukan oleh pemerintah lokal Lampung melalui institusi adat yang dibentuk secara formal. Lebih lanjut lagi masyarakat bawah mengatakan pendapatnya dalam proses perdamaian yang dimediasi lembaga adat bentukan pemerintah: Nah inilah yang kemudian masyarakat dibawah tidak mau menandatangani perdamaian...berontak. Siapa yang berperang, siapa yang bermasalah, siapa yang berdamai? Dalam beberapa kebijakan pembangunan pemerintah beberapa persoalan turut berkontribusi pada munculnya potensi konflik antarkelompok masyarakat. Persoalan yang cukup menonjol terkait strategi pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Dari hasil studi tim SNPK- THC terdapat kebijakan-kebijakan pembangunan yang cenderung mengesampingkan dimensi kohesi sosial di dalam kelompok-kelompok masyarakat yang membuka peluang munculnya konflik di tengah masyarakat. Dalam kasus Balinuraga, Lampung Selatan, kebijakan transmigrasi tahun 1958 yang dilakukan pemerintah pusat dengan menempatkan para kelompok-kelompok transmigran berdasarkan kesamaan identitas (seperti, etnis dan asal daerah) membuka ruang munculnya sekat-sekat di tengah masyarakat. Kondisi tersebut dipersulit dengan minimnya upaya-upaya pemerintah daerah setempat untuk menjembatani hubungan sosial antara kelompokkelompok transmigran (khususnya Bali) dan masyarakat lokal. Seiring berjalannya waktu, pengelompokan masyarakat semakin menguat akibat minimnya interaksi sosial di antara mereka. Di samping itu, terdapat pula stigma dan juga prasangka negatif yang terbangun di antara kelompok transmigran Bali dan masyarakat lokal. Dari kasus Balinuraga, Lampung Selatan, terlihat bahwa kebijakan transmigrasi dengan strategi mengelompokan para transmigran berdasarkan identitas telah menciptakan ruang-ruang konflik di tengah masyarakat. Lebih lanjut, persoalan strategi pembangunan juga mengemuka dalam kasus kekerasan antarkelompok suku di Mimika, Papua. Hasil studi tim SNPK-THC menunjukan bahwa pemerintah (nasional dan daerah) tidak mempersiapkan dengan baik strategi menghadapi adanya migrasi penduduk yang masif ke wilayah Mimika akibat keberadaan aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. Freeport. Hal tersebut menjadi penting karena migrasi para pendatang (asli dan non-papua) secara perlahan memberikan tekanan ekonomi, sosial, dan budaya bagi masyarakat asli, terutama kelompok suku Amungme dan Kamoro. Kondisi ini yang menjadi salah satu pendorong maraknya perang suku di Mimika. Dalam hal ini, pemerintah lebih merespon ledakan para pendatang dengan melakukan kebijakan pemekaran dengan alasan wilayah yang telah memenuhi syarat (seperti jumlah penduduk). Kebijakan tersebut tidak menjadi strategi yang tepat kalau tidak diikuti oleh upaya-upaya penyelesaian masalah yang lebih mendasar, seperti sengketa kepemilikan lahan. Dalam kasus kekerasan antarkelompok suku di Mimika, Papua, terlihat bahwa pemerintah tidak cukup adaptif dalam menghadapi persoalan terkait dampak pembangunan yang ada. Pada kasus kekerasan antarkampung di Lombok Tengah, NTB, strategi pembangunan yang dilakukan pemerintah setempat di satu sisi cukup berhasil untuk mengurangi angka pengangguran dengan membuka peluang kerja di area BIL. Namun demikan, strategi tersebut sangat berpotensi memunculkan konflik baru antarwarga desa Kajian Perdamaian dan Kebijakan 22

25 di Lombok Tengah karena strategi yang digunakan cukup diskriminatif, para pekerja yang bisa mengakses peluang kerja dan usaha di areal bandara adalah kelompok warga yang lahan-lahannya dibebaskan untuk keperluan pembangunan bandara. Warga di luar kelompok desa tersebut relatif sulit untuk dapat masuk atau mengakses peluang ekonomi di areal bandara. Hal inilah yang memunculkan kecemburuan-kecemburuan yang dapat menciptakan perselisihan di antara warga-warga desa di Lombok Tengah. Dalam kasus kekerasan antarkampung di Lombok Tengah, NTB, strategi pembangunan yang dilakukan pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi pengangguran justru dapat menumbuhkan benih-benih konflik baru. Persoalan struktural lain dalam fenomena kekerasan antarkelompok di Indonesia adalah kebijakan penanganan konflik di tingkat lokal. Dari hasil studi tim SNPK-THC, penanganan konflik masih sangat menitikberatkan pada upaya penghentian kekerasan. Padahal jika merujuk pada UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, aspek pencegahan dan pemulihan tidak bisa dilepaskan dari upaya penyelesaian konflik sosial di masyarakat. Dari aspek pencegahan, terdapat dua hal penting yang menjadi sorotan dalam kasus-kasus kekerasan antarkelompok, yakni terkait upaya meredam potensi konflik dan sistem peringatan dini. Berdasarkan kasus-kasus kekerasan antarkelompok, upaya pemerintah beserta pemangku jabatan lain cukup minim untuk meredam potensi konflik. Seringkali, pemerintah baru bereaksi ketika konflik pecah menjadi kekerasan. Padahal, indikasi-indikasi akan terjadi kekerasan antarkelompok (seperti perkelahian antar kelompok pemuda dua desa dan tindakan-tindakan kriminalitas) dapat dilihat, terlebih di wilayah-wilayah yang sering terjadi bentrokan. Pemerintah setempat acap kali menganggap sepele pemicu kekerasan dan lebih menjadikan persoalan tersebut sebagai masalah hukum yang merupakan ranah kepolisian. Sensitivitas pemerintah terhadap potensi konflik (pemicu dan sumber) penting diperhatikan dalam upaya membangun sistem pencegahan yang baik. Kebijakan penanganan konflik di Lampung Selatan juga dapat menjadi pelajaran berharaga. Kepentingan elit politik dalam penyelesaian konflik antarkelompok di antara warga etnik Bali dan warga lokal Lampung Selatan semakin mempertajam bentuk konflik identitas etnik. Ini dapat terlihat dari penolakan pada perjanjian damai yang dibuat pada 4 November 2012 yang disepakati oleh Raja Bali dan lembaga formal adat Lampung Selatan. Selain itu kehadiran Gubernur Bali dan bereaksinya sejumlah organisasi masyarakat Bali yang berasal dari provinsi Bali menunjukan bahwa terbangunnya identifikasi dan empati atas dasar acuan etnik di antara elit politik dan warga Bali di daerah asal. Hal ini sebaiknya dihindari dalam proses perdamaian yang hendak dilaksanakan sehingga tidak mempertegas identifikasi dan empati berdasarkan identitas tertentu. Ada dua alasan mengapa hal ini menjadi penting. Pertama, reaksi dan empati atas dasar identitas tertentu dapat menyebar dalam skala yang lebih besar. Organisasi masyarakat dari provinsi Bali misalnya hendak mengirim pasukan mendatangi Lampung bila masalah tidak diselesaikan segera ( 31 Oktober 2012). 60 Kedua, sebagai negara yang berdaulat, sudah semestinya permasalahan ini dilihat pemerintah sebagai permasalahan antar warga negara bukan antar kelompok etnik di Lampung. Ini berarti secara institusional pemerintah Lampung dan aparat penegak hukum pada tingkat provinsi dan kabupaten sebagai pihak yang mewakili negara untuk menyelesaikan konflik dan kekerasan di dalam wilayah administrasi Lampung itu sendiri. Mengingat warga Bali yang ada di Lampung sudah merupakan warga negara dan bagian yang tidak terpisahkan baik ke dalam administrasi pemerintah daerah dan masyarakat Lampung. Dengan kata lain, konflik dengan potensi identitas tertentu (suku/ agama/ras/antargolongan) seharusnya diselesaikan oleh pemerintah dengan menempatkan identitas primodial kelompok-kelompok yang bertikai dibawah identitas warga negara. Dengan cara seperti ini peran lembaga pemerintah dan institusi hukum akan lebih efektif menyelesaikan konflik. Lemahnya upaya meredam potensi konflik juga karena keberadaan forum-forum kemasyarakatan yang dibentuk secara formal (seperti FKUB atau forum adat lokal) tidak optimal dalam bekerja. Di beberapa wilayah, seperti di Lampung Selatan dan juga Lombok Tengah, keberadaan forum-forum tersebut tidak cukup efektif dalam upaya meredam konflik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni permasalahan keterwakilan dari kelompokkelompok masyarakat di dalam forum, tidak adanya pertemuan secara rutin yang membahas permasalahan terkini di masyarakat, dan tidak adanya mekanisme yang jelas terkait hak dan tanggung jawab yang melekat pada anggota forum. Akibatnya, forum-forum tersebut tidak dapat membangun mekanisme pencegahan dan penyelesaian konflik yang lebih mengutamakan musyawarah dengan menggunakan mekanisme lokal. Aspek pencegahan lain yang menjadi sorotan dalam kekerasan antarkelompok masyarakat adalah tidak terbangunnya suatu sistem peringatan/deteksi dini. Hasil studi tim SNPK-THC menunjukan keberadaan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat/FKDM (berdasarkan Permendagri Nomor 12 tahun 2006) di daerah belum dapat mengelola informasi terkait potensi konflik yang ada di tengah masyarakat. Kepala Kesbangpol Lombok Tengah mengatakan bahwa belum optimalnya FKDM di daerah karena tidak terbangunnya sistem informasi soal deteksi dini dan bahkan banyak pihak mengeluh tidak tahu harus melakukan apa atas informasi terkait potensi 60 Simpati terhadap kelompok dengan acuan identitas ini pernah terjadi di Ambon dimana Laskar Jihad berhasil memobilisasi mereka yang mengidentifikasi diri dan bersimpati dengan kelompok agama tertentu datang untuk membantu kelompok muslim dari daerah di luar Ambon. Lihat Gerry van Klinken Communal Violence and Democratization in Indonesia; Small Town Wars. New York; Routledge terutama bab 6. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 23

26 konflik yang diterima oleh anggota FKDM (wawancara, 4 Februari 2014). Hal yang patut diperhatikan adalah ketika sudah dibentuk forum-forum deteksi dini, maka sistem peringatan dini penting untuk secara linear dibangun karena jika dilakukan terpisah, maka upaya pencegahan kekerasan tidak akan berjalan optimal. Aspek lain yang kerap dikesampingkan oleh pemerintah adalah terkait upaya pemulihan pascakonflik. Upaya yang kerap dilakukan pemerintah lebih banyak pada rehabilitasi bangunan fisik yang hancur atau pemberian santunan terhadap korban konflik. Namun demikian, rehabilitasi aspek psikologi para korban konflik masih sangat minim dilakukan. Seperti pascakasus Balinuraga, Lampung Selatan, banyak warga baik dari kelompok Bali maupun masyarakat lain mengalami trauma akibat konflik tersebut. Sampai saat ini, upaya rehabilitasi, seperti trauma healing belum terlihat dilakukan oleh pemerintah dan para pemangku jabatan setempat. Pada beberapa kasus kekerasan di Lombok Tengah, upaya rehabilitasi terhadap korban konflik, khususnya anak-anak tidak menjadi perhatian oleh pemerintah (wawancara, 6 Februari 2014) meskipun anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak kekerasan. Rekomendasi Dari hasil studi tim SNPK-THC, kekerasan terkait konflik antarkelompok perlu penanganan yang tepat dan komprehensip. Hal ini untuk mengurangi potensi dan berulangnya kekerasan antarkelompok di Indonesia. Untuk itu, tim SNPK-THC merekomendasikan beberapa hal, yakni: Aspek pencegahan konflik kekerasan antarkelompok perlu dikedepankan. Aspek pencegahan ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melakukan pertemuan rutin dengan para pemangku jabatan, tokoh masyarakat untuk membahas isu atau masalah-masalah terkini di daerah. Tak hanya itu, pemerintah juga dapat mengefektifkan program-programnya untuk mengurangi potensi konflik antarkelompok di masyarakat. Pemerintah (pusat dan daerah) sebaiknya memperbaiki strategi pembangunan yang digunakan dengan mengedepankan kepekaan terhadap potensi konflik yang melekat di tengah kelomopok-kelompok masyarakat. Selain itu, strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah juga harus dapat beradaptasi dengan dinamika konflik yang ada di daerah. Pemerintah harus menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena pengangguran dan kemiskinan kerap mendorong kelompok masyarakat untuk lebih mudah tersulut dan terlibat dalam aksi-aksi kekerasan antarkelompok Pemerintah daerah harus menghilangkan permukiman-permukiman warga yang cenderung berdasarkan identitas kelompok etnis tertentu. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembauran permukiman penduduk secara bertahap. Hal ini untuk mengurangi menguatnya sentimen kelompok di kalangan masyarakat yang kerap bertikai. Pemerintah daerah harus menciptakan ruang-ruang publik yang dapat membuat kelompok-kelompok masyarakat dari beragam identitas (etnis, agama, dan desa/kampung) saling berinteraksi untuk mengurangi tensi perselisihan antara kelompokkelompok yang kerap berkonflik. Pemerintah daerah dan aparat hukum harus menempatkan setiap konflik antarkelompok dalam kerangka warga negara dan hukum. Ini artinya setiap individu atau kelompok bila melanggar aturan hukum dan tindak kekerasan akan ditindak dan diproses secara hukum tanpa mempertimbangkan latar belakang etnik/suku/ agama/ras/antargolongan. Hal ini perlu dilakukan agar hukum dan aparaturnya dihormati dan memiliki wibawa karena keadilan ditegakan tanpa melihat kategori sosial yang melekat bagi pelanggar hukum dan tindak kekerasan. Dengan meletakan identitas primodial dibawah identitas warga negara masyarakat akan lebih memilih proses hukum ketimbang melakukan tindak kekerasan dan main hakim sendiri. Pemerintah perlu menciptakan sistem peringatan dini yang baik. Pemerintah daerah diharapkan dapat membuat sistem peringatan dini yang dapat digunakan secara efektif dalam mendeteksi potensi/ gejala konflik kekerasan antarkelompok masyarakat. Hal ini dapat dimulai dengan menciptakan sistem informasi yang baik dalam merespon isu-isu konflik antarkelompok di masyarakat. Peran forum-forum kemasyarakatan untuk meredam dan menyelesaikan konflik kekekerasan antarkelompok perlu dioptimalkan. Upaya ini dapat dilakukan dengan mendorong forum-forum tersebut untuk lebih aktif dalam melakukan kampanyekampanye perdamaian dan juga merumuskan caracara penyelesaiakan konflik yang berdasarkan pada mekanisme lokal. Tokoh-tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh di kelompok-kelompok perlu dilibatkan untuk mengurangi potensi terjadinya kekerasan. Jika kekerasan telah terjadi, keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat harus didorong untuk segera menjadi mediator penyelesaian konflik antarkelompok. 10. Pemerintah dan masyarakat sebaiknya membentuk forum atau wadah musyawarah bersama yang Kajian Perdamaian dan Kebijakan 24

27 diterima hampir seluruh kelompok. Forum atau wadah ini berisi perwakilan tokoh-tokoh masyarakat, adat, agama, dan perwakilan pemerintah. Tujuan pembentukan forum atau wadah tersebut adalah sebagai ruang pertemuan kelompok-kelompok masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi sehingga dapat meminimalisir perselisihan yang kerap menjadi kekerasan. 11. Pemerintah harus melakukan upaya-upaya pemulihan terhadap korban konflik tidak hanya fisik tetapi juga psikologis. Hal ini penting untuk mengurangi trauma mendalam yang dialami oleh para korban konflik. 12. Aparat keamanan harus : Meningkatkan fungsi inteligennya untuk mendeteksi secara dini upaya mobilisasi massa dalam kasus-kasus kekerasan antarkelompok Melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku (termasuk provokator) kekerasan dalam kasus-kasus konflik antarkelompok Melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku kriminalitas di tengah masyarakat yang kerap memicu kekerasan antarkelompok Melakukan tindakan hukum yang tegas terhadap kelompok-kelompok tertentu, misalnya Pamswakarsa, yang terindikasi terlibat dalam kegiatan-kegiatan kekerasan antarkelompok. 13. Pemerintah pusat harus memperjelas mandat UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Hal ini agar pemerintah daerah dapat menerjemahkan dan mengimplementasikan mandat undang-undang tersebut. --- PENDAPAT PAKAR: Untuk memperkaya perspektif mengenai kekerasan terkait konflik antarkelompok, tim SNPK-THC menyajikan artikel dari Riwanto Tirtosudarmo (Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Arsitektur Kekerasan Antarkelompok Riwanto Tirtosudarmo 1 Kekerasan antarkelompok adalah istilah lain dari konflik komunal atau sering secara popular disebut juga sebagai konflik horizontal. Francis Stewart (2002) berpendapat bahwa konflik horizontal berhubungan dengan apa yang disebutnya sebagai ketidaksetaraan horizontal (horizontal inequality). 2 Keidaksetaraan horizontal adalah ketidaksetaraan antarkelompok dimana pengertian kelompok disini memiliki makna yang bersifat kultural (culturally defined or constructed group). Dalam konteks Indonesia, makna kultural ini sering diartikan sebagai identitas etnik dan agama. Perhatian peneliti terhadap fenomena konflik yang terjadi di Indonesia meningkat pasca lengsernya Suharto pada 21 Mei Salah satu teori mengatakan bahwa munculnya berbagai konflik setelah lengsernya Suharto adalah karena ibarat Panci yang terbuka tutupnya sehingga ketika airnya mendidih meluap keluar. Selama Suharto berkuasa seperti Panci yang tertutup, keresahan masyarakat ditekan (repressed) melalui berbagai kebijakan, antara lain dilarangnya orang membicarakan secara terbuka halhal yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). SARA adalah sebuah formula politik yang diciptakan oleh pemerintah Suharto untuk meredam kemungkinan terjadinya konflik horizontal. Begitu kekuasaan Suharto luruh, konflik horizontal tidak mungkin dibendung lagi. Konflik Sambas, Sampit, Poso dan Ambon adalah kekerasan antarkelompok atau konflik horizontal yang terjadi bersamaan dan setelah Suharto lengser. 3 Meskipun Teori Panci tidak sepenuhnya benar, fenomena konflik kekerasan memang melonjak jumlahnya bersamaan dengan lengsernya Suharto. Dalam salah satu publikasi UNSFIR (United Nations for Supporting Indonesian Recovery) yang ditulis oleh Ashutos Varsney et al. (2004) diperlihatkan secara rinci pola-pola kekerasan 1 Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2 Lihat Francis Stewart, 2002, Horizontal Inequalities: A neglected dimension of development. QEH Working Paper Series No. 81. Oxford: Queen Elizabeth House, University of Oxford. 3 Konflik Sambas terjadi antara bulan Desember 1997 sampai Februari 1998, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai konflik pasca-soeharto karena terjadi pada saat Suharto masih berkuasa. Ulasan rinci tentang hal ini lihat Riwanto Tirtosudarmo, 1997, Economic Development, Migration and Ethnic Conflict in Indonesia: A Preliminary Observation. Soujourn, Vol. 12, No. 2 (October), pp Kajian Perdamaian dan Kebijakan 25

28 antarkelompok (collective violence) di Indonesia sejak tahun 1990 hingga tahun Dengan merentang waktu sejak 1990, studi tersebut menunjukan bagaimanapola-pola kekerasan antarkelompok terjadi jauh sebelum jatuhnya Suharto hingga pasca kejatuhannya. Selama tigabelas tahun data insiden kekerasan antar kelompok UNSFIR menunjukan adanya peningkatan drastis sejak 1998 hingga 2003, dengan puncaknya pada tahun Data UNSFIR sejalan dengan data SPNK (Sistim Nasional Pemantauan Kekerasan) (THC) periode yang mencatat peningkatan insiden kekerasan komunal sejak tahun 1998 dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 (Lihat Gambar 4, hal.8). Insiden kekerasan antarkelompok ini setelah tahun 2000 kemudian mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada tahun Walaupun insiden kekerasan antarkelompok sejak 2005 hingga 2013 tidak mengalami peningkatan mencolok seperti terjadi sekitar awal tahun 2000an namun secara umum terjadi peningkatan dari waktu ke waktu, terutama sejak Bagaimana sesungguhnya arsitektur kekerasan antarkelompok dan adakah perbedaan yang signifikan dengan yang terjadi pada tahun ? Tahun berada pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah selama dua periode ( dan ). Jika melihat kecendrungan pada periode pemerintahan SBY yang pertama ( ) grafik relatif merata (lihat gambar 4, hal.8). Pada periode ini insiden kekerasan hanya sedikit mencuat pada tahun 2006 dan kemudian menurun pada tahun Sejak tahun 2009 insiden kekerasan tercatat diatas 100 insiden pertahun menandakan peningkatan dengan adanya sedikit fluktuasi tiap tahunnya. Secara umum bisa dikatakan bahwa meningkatnya insiden kekerasan antarkelompok pada masa pemerintahan Presiden SBY ke-2 sejalan dengan hasil berbagai survei yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah semakin menurun hampir di semua bidang. Ketidakpuasan masyarakat cukup mencolok dalam penegakan HAM oleh pemerintah karena dianggap gagal dalam melindungi kelompok-kelompok minoritas dari ancaman dan serangan dari kelompok-kelompok yang lebih kuat. 5 Meskipun, sebagaimana juga ditunjukkan oleh Tim Kajian Perdamamaian dan Kebijakan THC, bahwa latarbelakang terjadinya insiden kekerasan antarkelompok pada periode lebih beragam dibandingkan dengan yang terjadi sekitar tahun 2000an, namun arsitektur keduanya tidak jauh berbeda. Perbedaan secara umum terletak pada tingkat eskalasi dan intensitasnya. Arsitektur kekerasan antarkelompok pada periode memiliki enam karakteristik utama sebagai berikut: Pertama, pada tingkat makro insiden kekerasan ini terjadi 4 Lihat Ashutos Varsney et al. 2004, Patterns of Collective Violence in Indonesia ( ). UNSFIR Working Paper 04/03. 5 Tentang hal ini lihat laporan-laporan Setara Institute (2012, 2013), juga data dari Failed States Index (2012). karena kegagalan pemerintah dalam menegakkan hukum (law enforcement) secara adil dalam masyarakat. Istilah pembiaran yang dimaksudkan bahwa pemerintah dianggap membiarkan insiden kekerasan itu terjadi sesungguhnya tidak terlalu tepat dan kata pembiaran perlu mendapatkan kualifikasi. Aparat keamanan dalam banyak kasus sesungguhnya tidak sekedar membiarkan sebuah insiden kekerasan antarkelompok terjadi didepan matanya namun melalui keputusan-keputusan yang diambilnya, misalnya dengan mengulur waktu pemberian izin sebuah pertemuan atau rencana aksi unjuuk rasa, telah secara aktif terlibat dalam proses terjadinya sebuah kekerasan antarkelompok. 6 Kedua, insiden kekerasan yang terjadi antarkelompok, sesuai dengan pendapat dari Frances Stewart, merupakan dampak dari adanya ketidaksetaraan horizontal antara dua kelompok yang memiliki identitas kultural berbeda (etnis, agama, migran-non migran, juga lokalitas misalnya kampung). Ketidaksetaraan yang bersifat horizontal ini dapat menyangkut aspek demografi, ekonomi, politik maupun sosial dan biasanya telah berlangsung lama. Insiden kekerasan sesungguhnya bersifat akumulatif yang pada suatu saat mencapai klimaks seperti kasus konflik Lampung dan Sumbawa yang melibatkan migran Bali. Ketiga, insiden kekerasan tidak jarang dimulai oleh peristiwa pertengkaran yang bersifat individual dan trivial. Dari peristiwa pertengkaran yang kecil ini menjalar menjadi insiden kekerasan yang besar, biasanya karena campur tangan elit lokal yang melihat peluang untuk memobilisasi sentimen (etnis, agama, lokalitas) dari penduduk untuk tujuan-tujuan mereka yang bersifat ekonomi dan politik. Para ethnic entrepreneurs ini hampir selalu memainkan peran terpenting dalam banyak kasus insiden kekerasan antarkelompok. Keempat, tidak ada jaminan bahwa insiden kekerasan antarkelompok di suatu tempat tidak akan terulang kembali di masa depan meskipun sebuah kesepakatan damai secara formal telah dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai. Hal ini bisa terjadi karena faktor utama yang mendorong terjadinya insiden kekerasan antarkelompok, yaitu ketidaksetaraan horizontal belum dihilangkan. Kelima, insiden kekerasan yang umumnya terjadi di luar Jawa menunjukkan bahwa hubungan-hubungan antarkelompok dari penduduk yang memiliki identitas kultural yang berbeda dalam banyak hal akibat proses migrasi yang semakin meningkat jumlahnya dan semakin beragam arahnya terbukti masih sangat rentan dan belum mencapai tingkat kestabilan sosial yang cukup atau belum mencapai ekuilibrium-nya. Saat ini, Papua merupakan wilayah yang secara khusus harus mendapatkan prioritas dalam kaitan dengan kekerasan antarkelompok ini. Keenam, karakteristik arsitektur kekerasan antarkelompok yang terjadi pada perlu mendapatkan 6 Lihat juga laporan tahunan The Wahid Institute (2014) dimana ditunjukkan tingginya keterlibatan aktor negara dalam insiden kekerasan terhadap kelompok minoritas keagamaan. Kajian Perdamaian dan Kebijakan 26

29 perhatian dari semua pihak, terutama pemerintah, karena jika tidak eskalasi insiden kekerasan antarkelompok akan meningkat di tahun 2014 mengingat tingginya temperatur politik nasional maupun lokal menjelang, pada saat maupun setelah dilangsungkannya PILEG (April) dan PILPRES (Juni). Memperlakukan warganegara tanpa memandang latarbelakang etnis, agama, asal usul, migran-non migran dan lokalitasnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi sudah seharusnya menjadi PROTAP mulai dari Presiden sampai Kepala Desa, apalagi yang bertanggungjawab di bidang keamanan, di seluruh wilayah Indonesia. Apakah lesson learned yang dapat kita petik dari keenam karakteristik yang merupakan elemen-elemen pokok dari arsitektur kekerasan antarkelompok tersebut diatas? Secara umum dapat dikatakan bahwa selama ini para pengambil keputusan di negeri ini telah melupakan dua realitas utama yang menjadi penyangga utama eksistensi dari sebuah Negara-bangsa yang bernama Indonesia. Indonesia sebagai sebuah Negarabangsa berpijak pada, penyangga pertama yaitu realitas geografis yang berbentuk archipelago (nusantara) dan, penyanggakedua yaitu realitas sosio-kultural yaitu sebuah masyarakat yang memiliki keragaman identitas kebudayaan yang tinggi. Realitas geografis Indonesia sebagai Negara Kepulauan (archipelago) seharusnya mendorong pembangunan infrastruktur yang maritime based economy dan bukan land based economy. Implikasi sosial politik dari terpusatnya pembangunan di Jawa adalah terus berlangsungnya eksploitasi kekayaan alam (natural resources) dari pulaupulau di luar Jawa. Berbagai konflik komunal yang hampir seluruhnya berlangsung di berbagai lokasi di luar Jawa secara atau tidak langsung memiliki hubungan dengan extractive industries terutama mining dan logging. Bukanlah rahasia lagi jika konflik lahan yang saat ini banyak melibatkan masyarakat adat, konflik antarkelompok pada pemilukada dan pemekaran wilayah; langsung atau tidak langsung erat kaitannya dengan eksploitasi kekayaan alam oleh para pengusaha swasta, nasional maupun internasional, yang didalamnya melibatkan peran elit lokal dan pejabat pemerintah daerah? Selain realitas geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan realitas sosial-kebudayaan dari bangsa Indonesia yang bersifat majemuk juga mengandaikan sebuah konfigurasi negara-bangsa yang berbentuk An archipelagic state, Negara Maritim. Sebagai sebuah Negara Maritim yang besar, Indonesia memerlukan sebuah format hubungan antara pusat dan daerah serta antara daerah-daerah yang memungkinkan terejawantahkannya motto Negara Republik Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Dalam kaitan ini saya ingin mengutip pendapat Cliffod Geertz seorang ahli antropologi Amerika (almarhum) yang mendapatkan bintang mahaputra dari pemerintah Indonesia karena dianggap berjasa bagi Indonesia yang dalam salah satu tulisannya mengatakan sebagai berikut: Archipelagic in geography, eclectic in civilization, and heterogonous in culture, Indonesia flourishes when it accepts and capitalizes on its diversity and disintegrates when it denies and suppresses it. 7 Sejarah politik Indonesia sejak kemerdekaan hingga hari ini sesungguhnya mencerminkan apa yang telah lama diamati oleh Cliffort Geertz yaitu terus berlangsungnya ketegangan antara pusat dan daerah dan antara penekanan terhadap kesatuan yang menekankan sentralisme dan persatuan. yang menekankan desentralisme 8. Dalam konteks sejarah politik pasca 1965 sentralisme adalah paham yang dianut oleh rejim Ordebaru dan desentralisme adalah paham yang dianut oleh rejim pemerintahan pasca-orde Baru. Dugaan Clifford Geertz bahwa Indonesia akan berantakan (disintegrated) jika mengabaikan keberagaman terbukti dengan jatuhnya rejim Suharto pada tahun Pasca Suharto kita melihat pendulum bergerak kearah desentralisme dengan diterapkannya otonomi daerah. Sayangnya pemberian otonomi daerah bukan diberikan pada provinsi sebagaimana telah dirancang sebelumnya namun ke tingkat kabupaten yang justru banyak menimbulkan persoalan. 9 Salah satu persoalan yang benar-benar tidak diantisipasi oleh para perancang otonomi daerah adalah apa yang kemudian disebut sebagai pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah merupakan sebuah proses yang oleh penulis disebut sebagai disintegrasi dari dalam (disintegration from within). 10 Kekerasan antarkelompok tampaknya akan terus membayangi upaya konsolidasi demokrasi pasca reformasi. Struktur dan format negara-bangsa yang belum bertumpu pada dua penyangga utamanya, yaitu realitas geografis dan realitas kultural sebagaimana secara singkat telah diuraikan diatas, niscaya akan terus membuat bandul pendulum terus berayun sebelum equilibrium politik pasca reformasi tercapai Dikutip dari JAC Mackie (1980) Integrating and Centrifugal Factors in Indonesia s Politics since 1945, dalam Indonesia: The making of a Nation, Vol 2 of Indonesia: Australian Perspectives, pp Canberra: Research School of Pacific Studies, Australian National University. 8 Penekanan yang berlebiha terhadap kesatuan pernah disndir oleh Mohamad Hatta dalam sebuah tulisannya yang berjudul Persatuan dan bukan persatean, Daulat Rakyat, no. 22, Tahun Ryaas Rasyid sebagai arsitek otonomi daerah pada awalnya merencanakan pemberian otonomi daerah ke tingkat propinsi, namun karena kekhawatiran pihak militer akan munculnya separatism, otonomi diberikan pada tingkat kabpaten. Pembahasan tentang isu ini lihat tulisan Riwanto Tirtosudarmo (2010) Mungkinkah Indonesia Pecah jika Otonomi diberikan ke Provinsi?, makalah disampaikan pada Seminar Dinamika Politik Lokal di Percik Salatiga. 10 Lihat Riwanto Tirtosudarmo (2005) Indonesia: A disintegration from within?, paper presented at CRISE (Center for Research on Inequality, Security and Ethnicity) workshop, Oxford University, June Kajian Perdamaian dan Kebijakan 27

30 Edisi berikutnya akan menganalisis data Januari-Mei 2014 dan terbit pada bulan Juni Jika memerlukan informasi lebih lanjut silakan hubungi Kajian Perdamaian dan Kebijakan SNPK dapat diakses melalui website Kajian Perdamaian dan Kebijakan 28

31 didirikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie dan keluarga sebagai organisasi independen, non-pemerintah dan nonprofit sejak tahun Visi adalah menciptakan masyarakat demokratis secara struktural berdasarkan moralitas dan integritas nilai-nilai budaya dan agama. Misi The Habibie Center adalah pertama, untuk mendirikan masyarakat demokratis secara struktural dan kultural yang mengakui, menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia, melakukan studi dan advokasi isu-isu tentang perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia dan kedua, untuk meningkatkan manajemen sumber daya manusia yang efektif dan sosialisasi teknologi. Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) (THC) PROJECT SUPERVISOR: Rahimah Abdulrahim (Direktur Eksekutif ) Hadi Kuntjara (Deputi Operasional ) facebook.com/habibiecenter TIM PENELITI: Imron Rasyid M. Hasan Ansori Rudi Sukandar Sopar Peranto Fathun Karib Sofyan Cholid Johari Efendi Foto sampul oleh Nurochman SNPK-THC 2014 building Jl. Kemang Selatan No.98, Jakarta Selatan Telp / Fax / nvms@habibiecenter.or.id

32 RINGKASAN EKSEKUTIF NAD JABODETABEK SULAWESI TENGAH NTT MALUKU MALUKU UTARA PA P UA BAR AT PA P UA ACEH JABODETABEK SULAWESI TENGAH NTT MALUKU MALUKU UTARA PA P UA BAR AT PA P UA ACEH JABODETABEK KALIMANTAN BARAT SULAWESI TENGAH NTT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BAR AT PAPUA ACEH LAMPUNG KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN SULAWESI BARAT TENGAH KALIMANTAN TENGAH JABODETABEK NTB NTT MALUKU MALUKU UTARA PA P UA BAR AT PA P UA PUBLIKASI KAMI NAD KALIMANTAN BARAT SULAWESI TENGAH MALUKU UTARA PA P UA BARAT KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN BARAT Catatan Kebijakan JABODETABEK Kajian Perdamaian MALUKU dan Kebijakan PA P UA Kajian Perdamaian dan Kebijakan Kajian Perdamaian dan Kebijakan Kajian Perdamaian dan Kebijakan Edisi 02/November 2012 Edisi 03/April 2013 Edisi 04/Agustus 2013 Edisi 05/November 2013 NTT Pemantauan Konflik Kekerasan di Indonesia Edisi 01/Juli 2012 Peta Kekerasan di Indonesia (Mei-Agustus 2012) Peta Kekerasan di Indonesia (September-Desember Peta 2012) Kekerasan di Indonesia (Januari-April 2013) Peta Kekerasan di Indonesia (Mei-Agustus 2013) Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April Ringkasan 2012) Eksekutif Fenomena dan kekerasan Isu-isu pelajar Penting diperburuk Sepanjang oleh lemahnya Tahun 2012 dan Kekerasan dalam Pemilukada dan Konflik Lahan Antarwarga di Provinsi Nusa Tenggara Timur pemantauan/pengawasan Ringkasan Eksekutif sekolah terhadap tindakan mengakibatkan tiga tewas dan 10 cedera. Insiden Kecamatan Sinak, Kabupaten Puncak, Papua pada ini. Sepanjang Mei-Juni 2013, sebanyak 33 insiden Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) kekerasan pelajar serta tidak memadainya mekanisme berlatar Ringkasan belakang Eksekutif isu antar-agama dalam bentuk Ringkasan Eksekutif dalam menyelenggarakan melakukan pemantauan dan secara mengawasi sistematis jalannya dan kontinu di pelaporan dan Program konseling. Sistem Disamping Nasional Pemantauan itu, lemahnya Kekerasan bulan Februari. Insiden ini mengakibatkan tujuh demonstransi anarkis yang menyebabkan 43 serangan, Pemilukada Provinsi perlu Nanggroe ditingkatkan. Aceh Darussalam (NAD), Kalimantan pengawasan (SNPK) Dinas/Kementerian memantau secara Pendidikan sistematis membuat dan kontinu di Program baku Sistem tembak Nasional aparat Pemantauan dengan pelaku Kekerasan anggota Program TNI dan Sistem empat Nasional warga sipil Pemantauan tewas. Kekerasan cedera. Insiden-insiden tersebut marak terjadi di terorisme Provinsi Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku (SNPK) di Sulawesi memantau Tengah secara mengakibatkan sistematis dan kontinu (SNPK) memantau secara sistematis dan wilayah Jabodetabek, Maluku Utara, dan NTB. Pada periode Januari-April 2012 terjadi insiden Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, sekolah kurang memperhatikan kekerasan yang dilakukan delapan tewas dan 11 cedera. Di Papua Insiden Dalam Isu lain yang penting pada periode ini adalah sengketa Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, Provinsi Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku kontinu kategori Provinsi isu identitas, Aceh, perang Lampung, antar-suku Kalimantan kekerasan yang mengakibatkan 302 tewas, tanah, yang Papua tercatat Barat, Nusa menonjol Tenggara di Provinsi Timur (NTT), Maluku. dan Jakarta- oleh pelajar. Kekerasan pelajar ini juga dipengaruhi oleh terkait isu separatisme di Kabupaten Mimika, di Kabupaten Mimika, Papua mengakibatkan Kekerasan terkait Pemilukada yang cukup Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jakarta-Bogor- Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, cedera, dan 682 bangunan rusak di sembilan provinsi Sengketa Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi tanah terjadi hampir di seluruh (Jabodetabek). wilayah Pada lemahnya peran orang tua dalam mengawasi anak-anak Kabupaten Lanny Jaya (Papua) dan Kota sembilan tewas dan 11 cedera. Salah satu menonjol adalah dua insiden bentrokan antara Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Sebagai Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jakarta-Bogor- Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, yang dipantau dalam program Sistem Pemantauan Manokwari (Papua Barat) mengakibatkan tujuh insiden penting adalah perang antar-suku antara pendukung dua pasangan calon Bupati Sumba Maluku periode sejak berpuluh-puluh Mei-Agustus tahun 2012 yang tercatat lalu. Dalam insiden mereka. Kekerasan bagian dari di media program dipercaya SNPK, menciptakan Kajian Perdamaian Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Sebagai Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Kekerasan Nasional (National Violence Monitoring tewas dan 45 cedera. Kelompok Kei yang berasal dari Maluku Tenggara Barat Daya. Dua insiden tersebut mengakibatkan satu dekade kekerasan terakhir yang saja mengakibatkan telah terjadi 291 sebanyak tewas, cedera pandangan bahwa dan Kebijakan kekerasan The merupakan Habibie norma Center umum ini bertujuan bagian dari program SNPK, Kajian Perdamaian Tenggara Barat (NTB), dan Jakarta-Bogordan Suku Kamoro pada Bulan Februari yang tiga tewas, satu cedera, dan 19 bangunan System-NVMS). Dari total insiden kekerasan insiden dan kekerasan 272 bangunan yang mengakibatkan rusak. 1 Pada periode 45 tewas, ini, kekerasan dalam menghadapi menggambarkan perbedaan. tren Kekerasan kekerasan pelajar yang juga dipantau Kajian Perdamaian dan Kebijakan dan The Kebijakan Habibie THC Center menyoroti ini bertujuan Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Sebagai dipicu kematian salah satu anggota kelompok Kei. rusak. Insiden tersebut dipicu oleh penolakan tersebut, 61% berasal dari konflik kekerasan. Jenis 374 cedera, didominasi dan 388 oleh bangunan insiden konflik rusak. (65%). Terdapat Jenis kekerasan tiga lain terkait dengan pada lambatnya periode penanganan September-Desember aparat kemanan 2012 dan beberapa menggambarkan insiden kekerasan tren kekerasan berdasarkan yang isuisu utama dalam yang periode terjadi Januari-April di setiap provinsi 2013 serta yang membahas di dipantau bagian dari program SNPK, Kajian Perdamaian Di samping itu, yang penting juga diperhatikan pendukung calon bupati Kornelis Kodi Mete-Daud kekerasan lain yang dipantau adalah kriminalitas akar masalah yang dipantau sengketa adalah tanah kriminalitas yang terus (26%), berulang kekerasan dalam dan tidak tegasnya membahas sanksi terhadap isu-isu penting pelaku kekerasan. di setiap provinsi dan Kebijakan ini bertujuan adalah kekerasan terkait hak-hak minoritas, Lende Umbu Moto terhadap hasil keputusan (28%), kekerasan dalam rumah tangga/kdrt (8%) tersebut rumah yaitu batas tangga/kdrt wilayah (6%) antar-desa/negeri, dan kekerasan aparat klaim (3%). sepanjang tahun pantau isu sepanjang kekerasan tahun dalam Pemilukada Di Provinsi (local Aceh, electoral menggambarkan tren kekerasan yang dipantau seperti insiden kekerasan yang dialami Jemaah Mahkamah Konstitusi yang memutuskan dan kekerasan aparat (4%). Total insiden tahun 2012 Berdasarkan analisis mengenai fenomena kekerasan konflik kekerasan violence). terkait Pemilukada menjadi isu dalam periode Mei-Agustus 2013 serta membahas kepemilikan adat, tumpang tindihnya wilayah adat menurun sebanyak 6% dibandingkan dengan ratarata Januari-April tahun , namun korban kekerasan terkait identitas, sengketa sumber daya, dan pelajar ini harus diselesaikan secara komprehensif. Kajian naik tiga Pada periode ini, insiden yang perlu diperhatikan adalah pelajar, kajian Pada ini memandang periode September-Desember bahwa persoalan kekerasan 2012 tercatat Ahmadiyah di Kecamatan Pondok Gede, Kota pasangan calon Markus Dairo Tallu-Ndara Tanggu penting. Kekerasan dalam Pemilukada tahun 2012 isu konflik lahan antarwarga. dengan wilayah adminsitratif. Akar masalah tanah ini insiden kekerasan yang menyebabkan 284 Pada periode Januari-April 2013 tercatat Bekasi, Jawa Barat. Insiden tersebut menunjukkan Kaha memenangkan Pemilukada sesuai hasil perlu segera diselesaikan hingga tuntas karena sering tewas, cedera, dan 312 bangunan rusak. insiden belas kali kekerasan lipat dibandingkan yang menyebabkan Pemilukada 241 tewas, semakin Pada berkurangnya periode Mei-Agustus sikap toleran 2013 tercatat dalam rekapitulasi KPUD Sumba Barat Daya. tewas meningkat 13% dan kerusakan bangunan naik isu separatisme. Insiden kekerasan terkait identitas ini memberikan rekomendasi diantaranya: (1) sekolah tahun kali berujung pada kekerasan. Kemampuan lembaga Kekerasan pada periode ini didominasi oleh Pemilukada cedera, 208 tingkat korban provinsi pemerkosaan, dan dan masyarakat. insiden Data kekerasan SNPK juga yang mencatat menyebabkan tiga insiden 353 tewas, drastis 115%. Meningkatnya korban tewas tahun yang perlu dicermati adalah perang suku di Papua yang sebaiknya melakukan pemutusan rantai kekerasan dengan kabupaten/kota yang dilaksanakan pada 9 April Insiden konflik terkait isu separatisme masih kriminalitas (58%), diikuti oleh konflik (31%). 234 bangunan rusak. Kekerasan pada periode terkait tindak cedera, terorisme 274 di korban Kabupaten pemerkosaan, Poso, dan adat dan pemerintah daerah serta sinergi antara 2012 tersebut diliputi persoalan kontestasi di didominasi kontak senjata antara kelompok 2012 terutama disebabkan oleh konflik kekerasan mengakibatkan tujuh tewas dan 335 cedera, serta menciptakan Karena momen adanya orientasi perubahan yang bebas struktur kekerasan database dan SNPK ini didominasi oleh Kriminalitas (58%), diikuti Sulawesi 388 Tengah. bangunan Berdasarkan rusak. 1 Kekerasan data SNPK pada 2005-periode keduanya perlu ditingkatkan dalam mengelola konflik tingkat elit yang mempengaruhi kekerasan di bersenjata yang diduga Organisasi Papua Merdeka Pemilukada, sedangkan kerusakan bangunan bentrokan Maluku yang mengakibatkan 49 cedera. membubarkan pada kelompok/geng bulan September di dalam 2012, sekolah/kampus; jumlah insiden dan oleh Konflik Kekerasan (28%). Jenis kekerasan 2012, tren ini didominasi tindak terorisme oleh Kriminalitas di Poso cenderung (57%), diikuti dan menyelesaikan masalah tanah. Aparat keamanan tingkat akar rumput. Insiden penyerangan dan (OPM) dan aparat keamanan, seperti pada aksi sebagian besar berasal dari konflik kekerasan antaretnik. Korban cedera paling besar berasal dari insiden empat kali lipat dibandingkan periode Januari-April antar-sekolah/kampus kekerasan untuk lain meminimalisir yang turut dipantau permusuhan/ diantaranya Dalam Rumah Tangga/KDRT (9%) dan Kekerasan Untuk itu lain pemerintah yang turut (Pusat dipantau dan diantaranya Daerah) perlu Kekerasan Konflik sumber daya mengakibatkan 23 tewas, meningkat (2) sekolah/kampus dampak sebaiknya kriminalitas mewadahi menjadi dialog sangat rutin besar. Jenis lain yang turut dipantau diantaranya Kekerasan meningkat oleh pada Konflik bulan Kekerasan Juli hingga (30%). Desember. Jenis kekerasan juga harus bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan perusakan properti terjadi, baik pada Pemilukada kontak senjata di Kampung Jigonikme, Kabupaten di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/ Puncak Jaya yang mengakibatkan dua warga sebagai wujud dari penegakan hukum. kekerasan terkait demonstrasi menolak rencana Dampak tewas dalam kategori ini didominasi oleh rivalitas; (3) Kekerasan pemerintah Dalam sebaiknya Rumah membuat Tangga/KDRT peraturan (8%) dan Aparat (5%). kota. Insiden kekerasan 1 memberikan Dalam Rumah perhatian Tangga/KDRT lebih guna (8%) menjaga dan Kekerasan lain di Provinsi Aceh sipil dan satu anggota TNI tewas. Disamping itu, pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak Catatan sengketa kebijakan tambang ini bertujuan emas di menjelaskan Pulau Buru, Maluku, tren yang yang dapat Kekerasan mendorong Aparat institusi (4%). 1 perdamaian Aparat di (5%). wilayah Poso. pendidikan lebih adalah kekerasan terkait hak-hak minoritas. terjadi pula kekerasan terhadap warga sipil yang Beberapa insiden yang penting diperhatikan dalam (BBM). kekerasan mengakibatkan yang dipantau 11 tewas pada periode dan 22 cedera. Januari-April Sengketa tanah, memperhatikan Beberapa kekerasan insiden pelajar; yang penting (4) pemerintah diperhatikan juga dalam Beberapa periode insiden ini kekerasan adalah kekerasan terhadap terkait pengikut sengketa Kajian Beberapa Perdamaian insiden dan Kebijakan yang penting The Habibie diperhatikan diduga dilakukan oleh OPM. Pada periode ini juga 2012 dan baik mengulas antar-warga secara maupun detail antara kedua warga isu dan di atas. perusahaan, sebaiknya meningkatkan periode ini koordinasi adalah kekerasan antar kementerian/ terkait sengketa ajaran yang sumber dianggap daya, konflik sesat terjadi identitas, di Kabupaten dan konflik terkait Center dalam (THC) periode pada kuartal ini adalah pertama konflik lahan, 2013 kekerasan ini tercatat insiden-insiden demonstrasi anarkis yang Konflik kekerasan Pemilukada terjadi di Provinsi Catatan mengakibatkan kebijakan ini sembilan diharapkan tewas dapat dan 16 memberi cedera. Beberapa lembaga lainnya sumber untuk daya, menggali konflik identitas permasalahan dan konflik dan terkait Aceh Barat isu separatisme. dan Bireuen. Insiden penting dalam sengketa menempatkan terkait penolakan kekerasan rencana dalam pengurangan Pemilukada subsidi dilakukan oleh kelompok mahasiswa maupun Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dan Papua. Di masukan insiden bagi pengambil lain terjadi di kebijakan Papua yang di tingkat berkaitan lokal dengan isu merumuskan isu kebijakan separatisme. dalam Insiden menangani penting kekerasan dalam sengketa sumber daya adalah penyerangan 20 warga (local electoral BBM, kekerasan violence) dalam sebagai Pemilukada, isu utama. konflik Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Provinsi NAD terjadi 111 insiden dan di Provinsi Papua Jabodetabek: Insiden kekerasan yang penting maupun nasional serta lembaga masyarakat sipil terjadi 8 insiden. Sebagian besar insiden terjadi antara separatisme dan mengakibatkan 12 tewas dan 26 cedera. pelajar; (5) media sumber disarankan daya terjadi menerapkan dalam self-censorship bentuk bentrokan terhadap rumah seorang warga di Desa Langga Menjelang terkait Pemilu isu separatisme, Nasional 2014, dan isu serangkaian kekerasan teror diperhatikan adalah kekerasan pelajar dan Pada periode ini, serangkaian teror terhadap yang bergerak dalam bidang manajemen konflik. secara bijak di areal untuk tambang mengurangi emas pandangan di Gunung umum Botak, Buru, Lete, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT. dalam terhadap Pemilukada aparat yang kepolisian. terjadi di Salah beberapa satu insiden para pendukung partai politik. Eskalasi kekerasan kekerasan anggota/simpatisan Organisasi aparat kepolisian cukup menonjol, seperti dua Kajian Perdamaian dan Kebijakan bahwa kekerasan Maluku dapat mengakibatkan dipergunakan dalam sembilan menyikapi tewas dan Insiden dipicu oleh sengketa tanah antara pelaku daerah penting memicu adalah kekhawatiran kerusuhan beberapa pada bulan pihak Juni yang Masyarakat (Ormas). Kekerasan pelajar dan insiden penembakan terhadap aparat kepolisian menjelang Pemilukada di NAD sudah terjadi sejak (THC) kali ini juga mengupas fenomena kekerasan pelajar sembilan cedera. Masih dalam kategori sengketa dan korban yang mengakibatkan enam tewas terutama menyebabkan pemerintah satu pusat. tewas Kekhawatiran di wilayah Register Oktober Akar konflik tersebut diduga karena perbedaan; (6) aparat keamanan disarankan bertindak kelompok Ormas sepanjang tahun 2012 telah di Ciputat dan Pondok Aren, Kota Tangerang yang telah terjadi sejak lama. Berdasarkan data SNPK, sumber daya adalah kekerasan terkait sengketa dan sembilan cedera. Sengketa tanah di berbagai terhadap 45 Sungai kekerasan Buaya, dalam Kabupaten Pemilukada Mesuji, Lampung. ini perselisihan antara Gubernur petahana Irwandi Yusuf tegas terhadap pelaku kekerasan tetapi tetap memegang merenggut jiwa dan luka-luka. Kekerasan pelajar Selatan, Banten. Aksi penembakan tersebut pada periode Januari 2005-Agustus 2012 terjadi tanah antar-warga Porto dan Haria, di Maluku wilayah di NTT telah terjadi sejak lama. Data bersama Insiden faktor tersebut lainnya seperti merupakan biaya Pemilukada aksi balasan yang dengan Partai Aceh. Pada periode ini dampak yang peraturan yang berlaku; dan (7) pendidikan karakter penting diperhatikan karena terjadi di dunia mengakibatkan tiga polisi tewas. The Habibie insiden kekerasan Center didirikan pelajar oleh yang Bacharuddin mengakibatkan Jusuf 100 tewas Tengah, Maluku yang mengakibatkan tiga tewas SNPK mencatat 155 insiden yang mengakibatkan yang mahal dilakukan dan perambah meningkatnya dari kelompok korupsi Yadi para terhadap pendidikan yang mempersiapkan generasi tercatat adalah 48 cedera dan 14 bangunan rusak. sebaiknya diperkuat di dalam kurikulum pendidikan agar Habibie dan dan keluarga cedera. sebagai Kekerasan organisasi pelajar independen, menjadi nonpemerintah berbagai dan pihak non-profit karena sejak selalu tahun berulang dan Visi menyangkut The tercipta generasi Lewonara yang toleran di Adonara dan menghargai Timur, NTT nilai-nilai mengakibatkan sepanjang tahun pusat lahan melalui di Mesuji Kementerian telah terjadi Dalam sejak Negeri lama. Data Kebijakan ini, konflik lahan antarwarga dan sengketa antar-warga Lewobunga dan 50 tewas, 174 cedera, dan 108 bangunan rusak kepala kelompok daerah menjadi Wayan dasar Ana. Kekerasan bagi pemerintah terkait konflik Pada bagian kedua Kajian Perdamaian dan perhatian muda terdidik. Di sisi lain, berbagai kekerasan Sedangkan di Papua, konflik kekerasan Pemilukada kelompok Ormas juga memperlihatkan lemahnya mengakibatkan 19 tewas, 115 cedera dan 130 Habibie Center adalah menciptakan masyarakat demokratis kemanusiaan. dua tewas, 29 cedera, dan 21 bangunan rusak. (Kemendagri) SNPK mencatat menggulirkan 51 insiden wacana yang perubahan mengakibatkan menjadi fokus utama sebagai fenomena yang secara masalah struktural yang berdasarkan kompleks. moralitas Kekerasan dan integritas tersebut nilainilai budaya aksi balas dan agama. dendam Misi dan The Habibie ketersinggungan, Center adalah persoalan Kajian Perdamaian Dalam kategori dan Kebijakan isu identitas, ini perang bertujuan antar-suku Papua berjumlah 13 orang, sembilan di antaranya dipicu oleh penegakan Korban hukum. tewas akibat insiden separatisme di sistem 15 pemilihan tewas, kepala 38 cedera, daerah dan secara 24 bangunan langsung rusak memperlihatkan bagaimana terhalangnya bangunan rusak. Konflik kekerasan Pemilukada ini Provinsi Kalimantan Barat: Isu penting pada menjadi sepanjang pemilihan 2005-Agustus perwakilan di DPRD. Inisiatif individu atau kelompok dalam mengakses memerlukan penanganan tegas dari aparat keamanan pertama, identitas untuk mendirikan dan rivalitas masyarakat antar-sekolah/kampus, demokratis secara serta menggambarkan di Mimika tren dan kekerasan Lanny yang Jaya, Papua dipantau mengakibatkan pada anggota TNI. Ini meningkat dibanding tujuh tewas tahun 2012 adalah bentrokan antara anggota ini sudah diajukan di Komisi II DPR RI dan dibahas lahan. Berdasarkan data SNPK sepanjang tahun agar konsolidasi demokrasi dalam jangka panjang tidak struktural dan kultural yang mengakui, menghormati dan mempromosikan hubungan asimetris hak asasi antara manusia, junior-senior melakukan studi dalam dan sekolah/ periode Mei-Agustus enam tewas 2012 dan dan membahas 87 cedera. secara Disamping khusus itu, pada periode sebelumnya. Salah satu insiden Front Pembela Islam (FPI) dan masyarakat adat dalam RUU Serangkaian Pemilukada. insiden demonstransi anarkis terkait 2005-Agustus 2013, konflik lahan antarwarga terganggu. Di sisi lain, partai politik harus memperkuat advokasi kampus. isu-isu tentang perkembangan demokrasi dan hak kasus kekerasan penting pelajar. juga Kajian memperhatikan ini diharapkan kekerasan dapat terkait penting adalah penyerangan terhadap anggota penolakan rencana pemerintah mengurangi Dayak. Insiden seperti ini memang jarang terjadi, menunjukkan kecenderungan meningkat. fungsinya sebagai agregator kepentingan dan saluran asasi manusia dan kedua, untuk meningkatkan manajemen hak-hak minoritas, misalnya insiden kekerasan TNI dan warga sipil oleh kelompok bersenjata di subsidi BBM juga menjadi perhatian pada periode memberi masukan bagi pengambil kebijakan di tingkat tetapi penting diperhatikan karena pada masa Tercatat sebanyak 338 insiden kekerasan terkait komunikasi konstituen agar bisa meredam potensi sumber daya manusia yang efektif dan sosialisasi teknologi. terkait tuduhan atas aliran sesat di Aceh yang nasional maupun lokal, serta lembaga masyarakat sipil lalu 1 pernah Angka terjadi ini berdasarkan konflik besar data di yang provinsi diunduh ini. dari 1 Angka ini berdasarkan data yang diunduh dari konflik lahan antarwarga yang mengakibatkan 92 kekerasan. Kapasitas penyelenggara Pemilukada 1 Angka ini berdasarkan data SNPK yang diterima THC pada 17 Oktober 2012 dan dapat berubah karena proses pemutakhiran data. yang bergerak 1 Angka dalam ini berdasarkan bidang manajemen data yang diunduh konflik. dari indonesia.com pada 17 Mei indonesia.com pada 19 September tewas, 628 cedera, dan 614 bangunan rusak. com pada 23 Maret Kajian Perdamaian dan KebijakanThe 1 Kebijakan Kajian Perdamaian dan 1 Kajian Perdamaian dan Kebijakan Kajian Perdamaian dan Kebijakan

BAB VI PENUTUP. perusakan dan pembakaran. Wilayah persebaran aksi perkelahian terkait konflik

BAB VI PENUTUP. perusakan dan pembakaran. Wilayah persebaran aksi perkelahian terkait konflik BAB VI PENUTUP VI.1 Kesimpulan Konflik TNI-Polri selama periode pasca Reformasi, 80% merupakan aksi perkelahian dalam bentuk penganiayaan, penembakan, pengeroyokan dan bentrokan; dan 20% sisanya merupakan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 Oleh Herry Darwanto 2 I. PERMASALAHAN Sebagai negara yang masyarakatnya heterogen, potensi konflik di Indonesia cenderung akan tetap

Lebih terperinci

PETA KEKERASAN DI INDONESIA (JANUARI-APRIL 2014) DAN KEKERASAN PEMILU LEGISLATIF 2014

PETA KEKERASAN DI INDONESIA (JANUARI-APRIL 2014) DAN KEKERASAN PEMILU LEGISLATIF 2014 KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN THE HABIBIE CENTER Edisi 07/Juli 2014 PETA KEKERASAN DI INDONESIA (JANUARI-APRIL 2014) DAN KEKERASAN PEMILU LEGISLATIF 2014 ACEH KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN BARAT SULAWESI

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Tahunan 0 Laporan Tahunan 0 Daftar Isi Daftar Tabel, Grafik dan

Lebih terperinci

PETA KEKERASAN DI INDONESIA (MEI-AGUSTUS 2014) DAN KEKERASAN TERKAIT TATA KELOLA PEMERINTAHAN

PETA KEKERASAN DI INDONESIA (MEI-AGUSTUS 2014) DAN KEKERASAN TERKAIT TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN THE HABIBIE CENTER Edisi 08/November 2014 PETA KEKERASAN DI INDONESIA (MEI-AGUSTUS 2014) DAN KEKERASAN TERKAIT TATA KELOLA PEMERINTAHAN ACEH KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PRUSEDUR PENCEGAHAN KONFLIK, PENGHENTIAN KONFLIK DAN PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan DESEMBER Sambutan Pembangunan kesejahteraan rakyat merupakan salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan memiliki banyak suku yang berada diseluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Aceh sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bentrok antara kedua desa, yaitu Desa Balinuraga dengan Desa Agom, di

I. PENDAHULUAN. Bentrok antara kedua desa, yaitu Desa Balinuraga dengan Desa Agom, di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentrok antara kedua desa, yaitu Desa Balinuraga dengan Desa Agom, di sebabkan karena pelecehan seksual dimana adanya fitnah kepada warga masyarakat suku Bali

Lebih terperinci

Catatan Kebijakan. Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April 2012) Pemantauan Konflik Kekerasan di Indonesia

Catatan Kebijakan. Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April 2012) Pemantauan Konflik Kekerasan di Indonesia NAD KALIMANTAN BARAT SULAWESI TENGAH MALUKU UTARA PAPUA BARAT Catatan Kebijakan JABODETABEK Pemantauan Konflik Kekerasan di Indonesia NTT MALUKU PAPUA Edisi 01/Juli 2012 Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April

Lebih terperinci

Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center

Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center ACEH KALIMANTAN BARAT SULAWESI TENGAH MALUKU UTARA PAPUA BARAT Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center JABODETABEK NTT MALUKU PAPUA Edisi 04/Agustus 2013 Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April

Lebih terperinci

PERTANYAAN KODING DATA SISTEM NASIONAL PEMANTAUAN KEKERASAN (SNPK) KOLOM PERTANYAAN (PILIHAN) JAWABAN

PERTANYAAN KODING DATA SISTEM NASIONAL PEMANTAUAN KEKERASAN (SNPK) KOLOM PERTANYAAN (PILIHAN) JAWABAN PERTANYAAN KODING DATA SISTEM NASIONAL PEMANTAUAN KEKERASAN (SNPK) KOLOM PERTANYAAN (PILIHAN) JAWABAN 1 TANGGAL INSIDEN Tanggal berapa insiden terjadi? / / (tanggal/bulan/tahun) 2 ID INSIDEN Berapa nomor

Lebih terperinci

Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center

Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center ACEH KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN BARAT SULAWESI TENGAH MALUKU UTARA PAPUA BARAT LAMPUNG KALIMANTAN TENGAH JABODETABEK NTB NTT MALUKU PAPUA Edisi 05/November 2013 Peta Kekerasan di Indonesia (Mei-Agustus

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut, BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dari analisis yang telah dilakukan terkait resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang guna mengatasi konflik di Sampit,

Lebih terperinci

SISTEM NASIONAL PEMANTAUAN KEKERASAN

SISTEM NASIONAL PEMANTAUAN KEKERASAN SISTEM NASIONAL PEMANTAUAN KEKERASAN BAGIAN 1 1 area Nama Wilayah 2 tanggal_kejadian [ TANGGAL INSIDEN ] 3 tahun 1. Tanggal berapa insiden terjadi? Tahun 4 5 bulan quarter Bulan Quarter [ ID INSIDEN ]

Lebih terperinci

Dinamika Konflik Kekerasan Pasca Orde Baru

Dinamika Konflik Kekerasan Pasca Orde Baru Pengantar Redaksi Dinamika Konflik Kekerasan Pasca Orde Baru Erupsi konflik kekerasan pada awal kejatuhan rezim Soeharto menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kerusuhan marak terjadi di beberapa

Lebih terperinci

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH Pendahuluan ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH Konflik etnik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (Kalteng) terjadi pada Febuari 2001. Akhir dari konflik ini lebih merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara Desa

I. PENDAHULUAN. Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara Desa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentrokan massa kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan antara Desa Agom Kalianda dan sekitarnya dengan massa Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji Lampung Selatan pada

Lebih terperinci

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN NOVEMBER 2016

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN NOVEMBER 2016 LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN NOVEMBER 2016 Pendahuluan Fungsi pokok Komnas HAM yang dikenal rakyat Indonesia adalah menerima dan memeriksa kasus atau peristiwa

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan MARET 2013

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan MARET 2013 Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan MARET 203 Sambutan Pembangunan kesejahteraan rakyat merupakan salah satu

Lebih terperinci

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.116, 2012 SOSIAL. Stabilitas Nasional. Konflik. Penanganan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5315) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME A. KONDISI UMUM Keterlibatan dalam pergaulan internasional dan pengaruh dari arus globalisasi dunia, menjadikan Indonesia secara langsung maupun tidak langsung

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2 PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN 2010 2014 1 Ignatius Mulyono 2 1. Misi mewujudkan Indonesia Aman dan Damai didasarkan pada permasalahan bahwa Indonesia masih rawan dengan konflik.

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 No. 14/09/62/Th. XI, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2016 SEBESAR 74,77 IDI adalah indikator komposit yang menunjukkan

Lebih terperinci

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN SEPTEMBER 2016

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN SEPTEMBER 2016 LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN SEPTEMBER 2016 Pendahuluan Fungsi pokok Komnas HAM adalah menerima dan memeriksa kasus atau peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2015

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2015 No. 57/08/71/Th. X, 3 Agustus 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2015 SEBESAR 79,40 DALAM SKALA 0 SAMPAI 100, ANGKA INI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, 1 BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 33 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DI KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA, 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA, 2016 No. 53/09/82/Th.XVI, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA, 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA 2016 MENGALAMI PENINGKATAN DIBANDINGKAN DENGAN IDI MALUKU UTARA

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan JANUARI 2014 Sambutan Pembangunan kesejahteraan rakyat merupakan salah

Lebih terperinci

MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA

MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA Oleh: Arrista Trimaya * Naskah diterima: 30 Januari 2015; disetujui: 12 Februari 2015 Menteri

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian

Lebih terperinci

Indeks Keamanan Manusia Indonesia (IKMI) Dimensi, Variabel, dan Indikator

Indeks Keamanan Manusia Indonesia (IKMI) Dimensi, Variabel, dan Indikator Indeks Keamanan Manusia Indonesia (IKMI) Dimensi, Variabel, dan Indikator I. Dimensi Keamanan dari Bencana (Kebencanaan) Dalam UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa wilayah

Lebih terperinci

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, 1 RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME A. KONDISI UMUM Keterlibatan dalam pergaulan internasional dan pengaruh dari arus globalisasi dunia, menjadikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia seringkali menjadi sorotan karena konflik pertanahan. Hafid

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia seringkali menjadi sorotan karena konflik pertanahan. Hafid BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia seringkali menjadi sorotan karena konflik pertanahan. Hafid (2001: 1-2) mengatakan, semenjak tahun 1970an persoalan ini menjadi krusial karena Soeharto

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 pun tidak lepas dan luput dari persoalan yang berkaitan dengan ketahanan wilayah karena dalam

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2016 No. 82/9/71/Th. XI, 15 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2016 SEBESAR 76,34 DALAM SKALA 0 SAMPAI 100. IDI adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjalan lancar jika didukung oleh adanya kondisi yang aman dan tenteraman. Salah satu hal

BAB I PENDAHULUAN. berjalan lancar jika didukung oleh adanya kondisi yang aman dan tenteraman. Salah satu hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi yang aman dan kondusif merupakan salah satu syarat guna mendukung proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Karena proses penyelenggaraan pemerintahan akan

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2014

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 49/08/32/Th.XVII, 13 Agustus 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2014 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI JAWA BARAT 2014 SEBESAR 71,52 DALAM SKALA 0 SAMPAI 100, ANGKA

Lebih terperinci

Trend Pemberantasan Korupsi 2013

Trend Pemberantasan Korupsi 2013 Trend Pemberantasan Korupsi 20 Pembahasan. Sumber data dan periode pemantauan 2. Penindakan perkara korupsi 20. Pelaksanaan fungsi koordinasi dan supervisi 4. Kesimpulan 5. Rekomendasi Waktu dan Metode

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) NUSA TENGGARA BARAT 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) NUSA TENGGARA BARAT 2016 No.61/09/52/Th. IV, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) NUSA TENGGARA BARAT 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) NTB 2016 MENGALAMI KENAIKAN DIBANDINGKAN DENGAN IDI NTB 2015. IDI adalah

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2014

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2014 BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No.50/08/61/Th. XVIII, 13 Agustus 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2014 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI KALIMANTAN BARAT 2014

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2014

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2014 No. 58/08/71/Th. IX, 13 Agustus 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2014 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI UTARA TAHUN 2014 SEBESAR 83,94 DALAM SKALA 0 SAMPAI 100, ANGKA

Lebih terperinci

Pilkada Tenang, Tapi Masih Curang

Pilkada Tenang, Tapi Masih Curang Laporan Akhir Tahun Pilkada Tenang, Tapi Masih Curang Calon kepala daerah rupanya masih kurang percaya diri untuk memimpin sehingga masih mengandalkan uang untuk membeli suara rakyat. 31 Desember 2015

Lebih terperinci

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kalimantan. Barat Tahun 2016

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kalimantan. Barat Tahun 2016 Indeks Demokrasi Indonesia Provinsi Kalimantan Barat 2016 No. 56/10/61/Th. XX, 2 Oktober 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kalimantan Barat

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2015

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2015 No. 41/08/14/Th. XVII, 03 Agustus 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) DI PROVINSI RIAU TAHUN 2015 MENCAPAI ANGKA 65,83. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di Provinsi

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULTRA 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULTRA 2016 No. 51/09/Th. XX, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULTRA 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI TENGGARA 2016 TERCATAT 71,13 (SKALA 0 100), NAIK 1,69 POIN DIBANDING IDI SULAWESI

Lebih terperinci

Penanggulangan Kemiskinan & Upaya Mensinergikan Peran Multipihak

Penanggulangan Kemiskinan & Upaya Mensinergikan Peran Multipihak Penanggulangan Kemiskinan & Upaya Mensinergikan Peran Multipihak Presented by Yaury Tetanel Strategic Alliance for Poverty Alleviation Disampaikan Dalam Diskusi Publik Akuntabilitas Sosial CSR Industri

Lebih terperinci

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JULI 2016

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JULI 2016 LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JULI 2016 Pendahuluan Fungsi pokok Komnas HAM yang dikenal rakyat Indonesia adalah menerima dan memeriksa kasus atau peristiwa

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan JUNI Edisi 7, Sambutan Pembangunan kesejahteraan rakyat merupakan salah

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 53/08/12/Th. XVIII, 13 Agustus 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SUMATERA UTARA 2014 IDI SUMATERA UTARA 2014 SEBESAR 68,02 DARI SKALA 0 SAMPAI 100, ANGKA INI NAIK 9,22

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Situasi perkembangan politik yang berkembang di Indonesia dewasa ini telah membawa perubahan sistem yang mengakomodasi semakin luasnya keterlibatan masyarakat dalam

Lebih terperinci

DINAMIKA PSIKOLOGIS PERILAKU MEMBUNUH (Study Kasus pada Seorang Pelaku Pembunuhan)

DINAMIKA PSIKOLOGIS PERILAKU MEMBUNUH (Study Kasus pada Seorang Pelaku Pembunuhan) 0 DINAMIKA PSIKOLOGIS PERILAKU MEMBUNUH (Study Kasus pada Seorang Pelaku Pembunuhan) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Guna Memenuhi Persyaratan Sebagian Tugas

Lebih terperinci

BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK DAYAK MADURA DI SAMALANTAN A. Alasan Budaya. berkelompok, memiliki rasa solidaritas tinggi di antara sesama etnisnya dan

BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK DAYAK MADURA DI SAMALANTAN A. Alasan Budaya. berkelompok, memiliki rasa solidaritas tinggi di antara sesama etnisnya dan BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK DAYAK MADURA DI SAMALANTAN A. Alasan Budaya Orang Madura juga dikenal sebagai suku yang senang hidup berkelompok, memiliki rasa solidaritas tinggi di antara sesama etnisnya

Lebih terperinci

TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA

TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA Oleh: NAMA : AGUNG CHRISNA NUGROHO NIM : 11.02.7990 KELOMPOK :A PROGRAM STUDI : DIPLOMA 3 JURUSAN DOSEN : MANAJEMEN INFORMATIKA : Drs.

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 No. 52/09/15/Th. XI, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI JAMBI 2016 MENGALAMI PENURUNAN DIBANDINGKAN DENGAN IDI TAHUN 2015 IDI adalah indikator

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI BENGKULU 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI BENGKULU 2016 No. 57/09/17/IV, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI BENGKULU 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016 MENGALAMI PENINGKATAN DIBANDINGKAN TAHUN 2015. IDI

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) BANTEN 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) BANTEN 2016 No. 54/09/36/Th.XI, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) BANTEN 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) BANTEN 2016 MENGALAMI PENINGKATAN DIBANDINGKAN DENGAN TAHUN SEBELUMNYA IDI Banten 2016

Lebih terperinci

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JULI 2017

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JULI 2017 LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JULI 17 Pendahuluan Komnas HAM mau tidak mau harus diakui menjadi lembaga pertahanan terakhir bagi warga sipil untuk memperjuangkan

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL Studi ini bertujuan meneliti penyebab dan dampak konflik antara

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara berkepulauan, dilihat dari jumlah pulaupulaunya, baik pulau kecil dan juga pulau besar. Indonesia memiliki 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatera,

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016* )

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016* ) INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016* ) No. 43/09/14/Th. XVIII, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) DI PROVINSI RIAU TAHUN 2016 SEBESAR 71,89, MENGALAMI KENAIKAN DIBANDINGKAN TAHUN 2015

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI JAWA BARAT 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI JAWA BARAT 2016 BPS PROVINSI JAWA BARAT INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI JAWA BARAT 2016 No. 52/09/32/Th.XVII, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI JAWA BARAT 2016 MENGALAMI PENURUNAN DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Bali 2016

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Bali 2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI BALI Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Bali 2016 Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Bali 2016 sebesar 78,95 IDI adalah indikator komposit yang menunjukkan tingkat perkembangan

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2015

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2015 No. 14/08/62/Th. X, 3 Agustus 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2015 SEBESAR 73,46 Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran yang berarti sifat/sikap menenggang (menghargai,

Lebih terperinci

Situasi HAM di Indonesia Semakin Anjlok: Laporan Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia Periode Januari-Maret 2017

Situasi HAM di Indonesia Semakin Anjlok: Laporan Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia Periode Januari-Maret 2017 Situasi HAM di Indonesia Semakin Anjlok: Laporan Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia Periode Januari-Maret 2017 Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta, 2017 I. Pendahuluan

Lebih terperinci

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia Dipresentasikan pada The Indonesian Forum seri 3 The Indonesian Institute. Kamis, 3 Maret 2011 Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia Ir.

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULTRA 2014

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULTRA 2014 No. 75/08/Th. XVIII, 13 Agustus 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULTRA 2014 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI TENGGARA 2014 TERCATAT 70,13 (SKALA 0 100), NAIK17,52 POIN DIBANDING IDI SULAWESI

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2014

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2014 No. 15/08/53/Th. XVIII, 13 Agustus 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2014 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI NTT TAHUN 2014 SEBESAR 68,81 DALAM SKALA 0 SAMPAI 100, ANGKA INI TURUN DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

https://maluku.bps.go.id

https://maluku.bps.go.id No. 05/09/Th. XX, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU 2016 MENGALAMI CUKUP PESAT DIBANDINGKAN DENGAN 2015. 1. Perkembangan Indeks Demokrasi

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 15/09/53/Th. XX, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI NTT TAHUN 2016 MENGALAMI KE

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FASILITASI PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FASILITASI PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FASILITASI PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, :

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. berasal dari nama tumbuhan perdu Gulinging Betawi, Cassia glace, kerabat

Bab 1. Pendahuluan. berasal dari nama tumbuhan perdu Gulinging Betawi, Cassia glace, kerabat Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari beribu-ribu pulau tersebut Indonesia memiliki berbagai suku, ras, agama,

Lebih terperinci

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JUNI 2016

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JUNI 2016 LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JUNI 6 Pendahuluan Fungsi pokok Komnas HAM yang dikenal rakyat Indonesia adalah menerima dan memeriksa kasus atau peristiwa yang

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 PROVINSI ACEH

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 PROVINSI ACEH B P S P R O V I N S I A C E H No. 43/09/Th. XX, 15 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 PROVINSI ACEH INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 PROVINSI ACEH MENGALAMI KENAIKAN DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan JULI 204 Edisi 07 Juli, 204 Sambutan Pembangunan kesejahteraan rakyat

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI BARAT 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI BARAT 2016 No. 56/09/76/Th. XI, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI BARAT 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI BARAT 2016 MENGALAMI PENINGKATAN DIBANDINGKAN DENGAN IDI SULAWESI BARAT

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016 No. 53/09/72/Th. XX, 14 September 2017 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) SULAWESI TENGAH 2016 MENGALAMI PENURUNAN DIBANDINGKAN DENGAN IDI PROVINSI SULAWESI TENGAH 2015.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi. Pada tahun

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN BENCANA

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN BENCANA PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN BENCANA I. Umum Indonesia, merupakan negara kepulauan terbesar didunia, yang terletak di antara dua benua, yakni benua Asia dan benua Australia,

Lebih terperinci

Negara Punya Banyak PR untuk Atasi Labirin Kekerasan terhadap Perempuan

Negara Punya Banyak PR untuk Atasi Labirin Kekerasan terhadap Perempuan Negara Punya Banyak PR untuk Atasi Labirin Kekerasan terhadap Perempuan SOSIAL Pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah untuk mengatasi labirin kekerasan terhadap perempuan, demikian seruan Komisi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. segala bentuk dan prakteknya telah berupaya dikembangkan, namun. cacat dan kekurangan dari sistem tersebut semakin terlihat nyata.

BAB I PENGANTAR. segala bentuk dan prakteknya telah berupaya dikembangkan, namun. cacat dan kekurangan dari sistem tersebut semakin terlihat nyata. 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Setelah lebih dari satu dasawarsa reformasi dijalani bangsa Indonesia kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara cenderung mengalami kemunduran kualitas, meskipun sistem

Lebih terperinci

negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk

negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk BAB IV KESIMPULAN Sejak berakhirnya Perang Dingin isu-isu keamanan non-tradisional telah menjadi masalah utama dalam sistem politik internasional. Isu-isu keamanan tradisional memang masih menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kerangka utama yang mendasari pembentukan bangsa dan negara Republik Indonesia. Upaya kelompok atau golongan

Lebih terperinci

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Gender menjadi aspek dominan dalam politik, dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalamnya. Hubungan gender dengan politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi etnis, bangsa yang kaya dengan keanekaragaman suku bangsa

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Laporan Bulanan JANUARI 2015 Daftar Isi Sambutan Menko PMK iii Tentang SNPK

Lebih terperinci

PETA KEKERASAN DI INDONESIA (SEPTEMBER-DESEMBER 2014) DAN KEKERASAN RUTIN DAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN DI INDONESIA

PETA KEKERASAN DI INDONESIA (SEPTEMBER-DESEMBER 2014) DAN KEKERASAN RUTIN DAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN DI INDONESIA KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN THE HABIBIE CENTER Edisi 09/April 2015 PETA KEKERASAN DI INDONESIA (SEPTEMBER-DESEMBER 2014) DAN KEKERASAN RUTIN DAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN DI INDONESIA Program Sistem Nasional

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Sumatera Selatan 2016

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Sumatera Selatan 2016 No. 56/10/16/Th.XIX, 2 Oktober 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA SELATAN Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Sumatera Selatan 2016 IDI Provinsi Sumsel tahun 2016 sebesar 80,95, meningkat

Lebih terperinci

NO KASUS PERLINDUNGAN ANAK RIAU JAMBI BENGKULU

NO KASUS PERLINDUNGAN ANAK RIAU JAMBI BENGKULU NANGGROE ACEH SUMATERA SUMATERA KEPULAUAN SUMATERA BANGKA NO KASUS PERLINDUNGAN ANAK RIAU JAMBI BENGKULU DARUSSALAM UTARA BARAT RIAU SELATAN BELITUNG 1 Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat 380 110 70

Lebih terperinci

TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui, menghormati dan melindungi

Lebih terperinci

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN FEBRUARI 2018

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN FEBRUARI 2018 LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN FEBRUARI A. Laporan Data Penerimaan Pengaduan Pada sampai dengan 3 Januari, Komnas HAM melalui Subbagian Penerimaan dan Pemilahan

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA, 2014

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA, 2014 No. 49/08/82/Th.XIV, 13 Agustus 2015 INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA, 2014 TINGKAT DEMOKRASI DI MALUKU UTARA BERADA PADA KATEGORI SEDANG Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Maluku Utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam keluarga, manusia belajar

Lebih terperinci