EKSTRAKSI, KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ENZIM KATEPSIN DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) MUHAMMAD ZAKIYUL FIKRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKSTRAKSI, KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ENZIM KATEPSIN DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) MUHAMMAD ZAKIYUL FIKRI"

Transkripsi

1 EKSTRAKSI, KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ENZIM KATEPSIN DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) MUHAMMAD ZAKIYUL FIKRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekstraksi, Karakterisasi dan Purifikasi Enzim Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Muhammad Zakiyul Fikri NRP. C

4

5 ABSTRACT MUHAMMAD ZAKIYUL FIKRI. Extraction, Characterization and Purification Enzymes Cathepsin from Catfish (Pangasius Hypophthalmus) Advised by TATI NURHAYATI and ELLA SALAMAH. This study aims to extract the enzyme cathepsin, to characterize the crude extract and to purify the cathepsin enzyme derived from catfish. the stages of this research consists of the extraction, characterization, and purification of the enzyme cathepsin. the characteristic of crude extract from cathepsin enzyme is that it has temperature, ph and substrate optimum around 50 C, 6, and 2%. The presence of Fe 3+, Cu 2+, Ca 2+,Mn 2+ metal ions can inhibit enzyme activity. Purification process using ion exchange chromatography on DEAE-sephadex A- 50 gives the best value on the activity of the fraction 18 is equal to U / ml and the specific activity of mg / ml as well as having multiple levels of purification of times. Molecular weight of cathepsin enzyme is purely the result of SDS-PAGE and the molecular weight of kda enzyme has a proteolytic activity alleged in zimogram analysis is kda. Keywords: enzyme, cathepsin, purification, catfish

6

7 RINGKASAN MUHAMMAD ZAKIYUL FIKRI. Ekstraksi, Karakterisasi dan Purifikasi Enzim Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus). Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan ELLA SALAMAH. Ikan patin (pangasius hypophthalmus) merupakan salah satu spesies di Indonesia yang memegang peranan penting dalam produksi perikanan budidaya. Ikan patin diketahui memiliki kandungan gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Kandungan gizi ikan patin menjadi tidak bernilai tinggi apabila tidak ditangani dengan baik setelah penangkapan atau pemanenan, karena ikan patin sebagai bahan pangan ikani sangat rentan terhadap kerusakan (highly perishabe food) atau cepat mengalami kemunduran mutu. Salah satu penyebab terjadinya proses kemunduran mutu ialah adanya aktivitas enzim proteolitik. Ladrat et al. (2006) menyatakan bahwa enzim katepsin merupakan kelompok dari enzim proteolitik yang berperan aktif dalam pelunakan daging ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan ezim katepsin murni dari ikan patin dan melakukan karakterisasi dari hasil enzim tersebut. Penelitian ini diawali dengan preparasi sampel, ekstraksi enzim katepsin kasar, karakterisasi enzim katepsin kasar yang meliputi penentuan suhu, ph, substrat optimum, dan ion logam penghambat dan pemurnian enzim katepsin kasar yang terdiri dari proses presipitasi dan dialisis. Karakteristik enzim katepsin kasar yang dihasilkan mempunyai suhu dan ph optimum 50 C dan 6, konsentrasi substrat optimum sebesar 2% dan keberadaan ion logam Ca 2+, Mn 2+, Cu 2+ dan Fe 3+ akan mengganggu atau menghambat aktivitas enzim. Ion logam Fe 3+ memberikan nilai hambatan tertinggi terhadap aktivitas enzim katepsin dari ikan patin. Enzim katepsin kasar yang diperoleh memiliki aktivitas enzim sebesar 0,278 U/ml dan aktivitas spesifiknya sebesar 0,907 U/mg. Enzim katepsin setelah dipresipitasi memiliki aktivitas enzim sebesar 0,425 U/mL dan aktivitas spesifiknya sebesar 0,276 U/mg dan setelah didialisis memiliki aktivitas enzim sebesar 1,550 U/mL dengan aktivitas spesifik sebesar 2,704 U/mg. Enzim katepsin kemudian dimurnikan dengan menggunakan kromatografi ion exchange DEAE sephadex A-50. Fraksi terbaik adalah fraksi ke 18 dengan tingkat kelipatan pemurnian sebesar 59,602 kali, memiliki aktivitas enzim sebesar 0,762 U/mL dan aktivitas spesifiknya 54,077 mg/ml. Berat molekul enzim katepsin murni hasil SDS-PAGE 43,18 kda dan berat molekul enzim yang diduga mempunyai aktivitas proteolitik pada analisis Zymogram adalah 49,93 kda. Kata kunci: enzim, katepsin, purifikasi, Pangasius hypophthalmus

8

9 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

10

11 EKSTRAKSI, KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ENZIM KATEPSIN DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) MUHAMMAD ZAKIYUL FIKRI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar master pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

12 Dosen Penguji Luar Komisi : Dr Dra Pipih Suptijah, MBA

13 Judul Tesis Nama NIM Ekstraksi, Karakterisasi dan PurifIkasi Enzim Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Muhammad Zakiyul Fikri C Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Tati Nurhayati, SPi MSi Ketua o a Ella Salamah MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan Dr Tati Nurhayati, SPi MSi. Tanggal Ujian: 16 Juli 2013 Tanggal Lulus: L 4 JU L ~j

14 Judul Tesis : Ekstraksi, Karakterisasi dan Purifikasi Enzim Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Nama : Muhammad Zakiyul Fikri NIM : C Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Tati Nurhayati, SPi MSi Ketua Dra Ella Salamah, MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Dr Tati Nurhayati, SPi MSi. Dr Ir Dahrul Syah MScAgr Tanggal Ujian: 16 Juli 2013 Tanggal Lulus:

15

16 PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Ekstraksi, Karakterisasi dan Purifikasi Enzim Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus). Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima kasih yang setulusnya kepada: 1. Dr Tati Nurhayati, SPi MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Dra Ella Salamah, MSi. sebagai anggota komisi pembimbing serta Dr Dra Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen penguji luar komisi atas kesediaan waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan selama penyusunan tesis ini. 2. Dr Tati Nurhayati, SPi MSi selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan. 3. Bapak dan Ibu staf pengajar, staf administrasi dan laboran Program Studi Teknologi Hasil Perairan serta laboran Mirobiologi dan Biokimia Hewan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) yang telah banyak membantu dan kerjasamanya yang baik selama penulis menempuh studi. 4. Ayahanda Muhd. Nur Anan Domo dan Ibunda Siti Kamilah dan kakanda tersayang Hilalatul Khairiyah dan Nurul Arifah beserta seluruh keluarga atas doa, motivasi dan semangat selama penulis menempuh studi. 5. Teman-teman S2 THP 2010, 2011 dan 2012 dan semua teman-teman atas kerjasama yang baik selama studi serta segala motivasi, persahabatan, sharing dan diskusi selama penulis menempuh studi, Terimakasih. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Bogor, September 2013 Muhammad Zakiyul Fikri

17

18 RIWAYAT HIDUP Muhammad Zakiyul Fikri dilahirkan pada tanggal 23 Februari 1986 di Batusangkar Provinsi Sumatera Barat, merupakan anak ketiga dari tiga orang bersaudara dari pasangan yang berbahagia Muhd. Nur Anan Domo dan Siti Kamilah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 020 Tunggul Hitam Padang pada tahun Sekolah Madrasah Tsanawiyah di MTSs Darel Hikmah Pekanbaru tahun 2002, dan Sekolah Madrasah Aliyah di MAN 2 Model Pekanbaru pada tahun Penulis diterima Universitas Riau melalui jalur PBUD pada tahun 2005 dan memilih Jurusan Teknologi Hasil Perikanan dan tamat pada tahun Selama di UNRI penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan ( ). Pada tahun 2010, penulis meneruskan pendidikan pascarsajana di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Penulis melakukan penelitian dengan judul Ekstraksi, Karakterisasi dan Purifikasi Enzim Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus). Sebagian tesis sudah di kirim ke jurnal Teknologi dan Industri Pangan dengan judul Ekstraksi dan Karakterisasi Crude Ekstrak Enzim Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus).

19

20 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman iii iv v 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Identifikasi Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Enzim Enzim Katepsin Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Enzim Pemurnian Enzim Kromatografi Elektroforesis 16 3 METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian Ekstraksi katepsin kasar Presipitasi dan dialisis Pemurnian dengan kromatografi (Ustadi et al 2005) Karakterisasi enzim katepsin Penentuan suhu optimum Penentuan ph optimum Penentuan substrat optimum Penghambatan ion logam Analisis Aktivitas katepsin (Dinu et al 2002) Pengukuran konsentrasi protein (Bradford 1976) Penentuan berat molekul dengan SDS-PAGE 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Enzim Katepsin Karakteristik Enzim Katepsin Ikan Patin Derajat keasaman (ph) optimum Suhu optimum Konsentrasi substrat optimum 31

21 4.2.4 Pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim Presipitasi Dialisis Pemurnian dengan Kromatografi Penukar Ion Penentuan Berat Molekul dengan SDS-PAGE 39 5 SIMPULAN DAN SARAN 41 DAFTAR PUSTAKA 42 LAMPIRAN 47

22 DAFTAR TABEL Halaman 1 Sifat proteinase lisosomal katepsin A-L yang ditemukan pada otot 7 2 Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan 9 3 Metode kromatografi untuk fraksinasi protein 13 4 Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,01-0,3 mg/ml 26 5 Komposisi gel penahan dan pemisah SDS-PAGE 26 6 Efek penambahan ion logam terhadap aktivitas enzim katepsin 33

23 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) 5 2 Pemurnian enzim dengan kromatografi penukar ion 15 3 Diagram alir tahapan penelitian 21 4 Pengaruh ph terhadap aktivitas enzim katepsin ikan patin 29 5 Pengaruh suhu inkubasi terhadap aktivitas enzim katepsin ikan patin 30 6 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim katepsin 31 7 Pengaruh ion logam konsentrasi 5 mm terhadap aktivitas enzim katepsin 32 8 Pengaruh kejenuhan ammonium sulfat terhadap aktivitas enzim katepsin 35 9 Kadar protein enzim katepsin ikan patin dari pellet hasil pengendapan ammonium sulfat Aktivitas enzim setelah didialisis Kadar protein enzim setelah didialisis Kadar protein ( ) dan nilai aktivitas enzim katepsin ( ) hasil pemurnian menggunakan kromatografi penukar ion Hasil elektroforesis, (M) marker, (1) ekstrak kasar katepsin, (2) presipitasi (3) dialisis, (4) fraksi 15, (5) (6) fraksi 18, (7) fraksi 42, (8) fraksi Zymogram pemurnian enzim katepsin 40

24 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pembuatan larutan 48 2 Kurva standar penentuan konsentrasi protein menurut metode Bradford (1976) 49 3 Kurva standar marker elektroforesis 50 4 Komposisi gel dan perekasi untuk elektroforesis 51 5 Tabel konversi dari g (gravity) ke rpm (rotary per minute) 52 6 Tabel presipitasi ammonium sulfat 53

25

26 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) merupakan salah satu spesies ikan budidaya di Indonesia. Ikan patin menjadi salah satu jenis ikan budidaya yang memegang peranan penting dalam produksi perikanan budidaya yang mencapai nilai produksi pada tahun 2009 sebesar ton (KKP 2011) dan mengalami peningkatan produksi pada tahun 2010 mencapai nilai produksi ton (Ditjen Perikanan Budidaya 2011). Selain nilai produksi yang cukup tinggi, ikan patin juga mempunyai kandungan gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Thammapat et al. (2010) menginformasikan bahwa kandungan protein pada fillet patin cukup tinggi, yaitu berkisar antara 12,94 17,52% (bb), sedangkan kandungan lemaknya berkisar antara 0,89 1,23% (bb). Kandungan lemak fillet patin cukup rendah bila dibandingkan produk ikan lainnya. Ikan patin memiliki kandungan lemak yang tinggi terutama berasal dari bagian perut (belly) yaitu 54,43% (bk). Kandungan gizi ikan patin menjadi tidak bernilai tinggi apabila tidak ditangani dengan baik setelah penangkapan atau pemanenan. Hal ini disebabkan ikan patin sebagai bahan pangan ikani sangat rentan terhadap kerusakan (highly perishable food). Kerusakan daging ikan yang terjadi pada fase rigor mortis hingga fase post rigor, ditandai dengan melemasnya daging ikan (softening). Pelemasan ini bukan disebabkan oleh terpecahnya protein aktomiosin yang telah terbentuk tetapi karena kerusakan jaringan daging ikan. Kerusakan ini disebabkan oleh aktivitas enzim-enzim proteolisis yang memecah protein menjadi molekul yang lebih sederhana (autolisis) (Clucas dan Ward 1996). Enzim-enzim proteolisis mampu menghidrolisis protein pada daging ikan yang menyebabkan perubahan fungsional dan sifat organoleptik dari daging. Enzim-enzim tersebut antara lain kolagenase, katepsin dan kalpain. Ladrat et al. (2006) menyatakan bahwa katepsin merupakan kelompok dari sistein protease diantaranya katepsin B dan L yang dapat menyebabkan terjadinya pelunakan daging (softening) pada ikan.

27 2 Tekstur merupakan salah satu karakteristik penting dalam penentuan kualitas ikan. Masalah yang sering diamati berhubungan dengan tekstur, yaitu pelunakan daging dan gaping (terpisahnya jaringan ikat), karena sifat alami daging ikan yang bertekstur lunak. Mekanisme penentuan tekstur lunak tidak sepenuhnya diteliti, tetapi beberapa penulis menekankan peran penting enzim endogen proteolitik dalam proses perubahan ini. Lebih khusus lagi, rincian dari struktur yang miofibrillar terutama untuk aktivitas katepsin lysosomal, katepsin B (EC ), katepsin L (EC ) dan katepsin D (EC ), yang sangat aktif dalam ikan (Ladrat et al. 2006). Penelitian mengenai enzim katepsin pada daging ikan telah banyak dilakukan. Liu et al. (2008) melaporkan enzim katepsin yang diisolasi dari daging ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) mempunyai suhu dan ph optimum 35 o C dan 5,5 dengan berat molekul 29 kda. Visessanguan et al. (2003) telah mengisolasi enzim katepsin L pada ikan Atheresthes stomias memiliki suhu dan ph optimum 60 o C dan 5,5 dengan berat molekul 27 kda. Nielsen dan Nielsen (2001) melaporkan hasil isolasi enzim katepsin dari ikan Clupea harengus memiliki ph optimum 2,5 dan berat molekul kda. Informasi mengenai enzim katepsin yang berasal dari ikan patin (Pangasius hypophthalmus) belum tersedia, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai enzim katepsin dari ikan tersebut. 1.2 Perumusan masalah Ikan patin merupakan sumber dari beberapa jenis protease dan inhibitornya. Salah satu protease yang berperan aktif dalam proses kemunduran mutu ikan patin adalah enzim katepsin. Enzim katepsin yang berasal dari ikan patin belum diketahui karakteristiknya. Penelitian tentang purifikasi dan karakterisasi enzim katepsin dari ikan patin diperlukan agar diperoleh enzim katepsin murni beserta karakteristiknya sehingga memudahkan nantinya dalam proses penanganan kemunduran mutu ikan patin.

28 3 1.3 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah mempelajari karakteristik enzim pada ikan patin, yang terdiri dari : a) Memperoleh ekstrak kasar enzim katepsin dari ikan patin (Pangasius hypophthalmus). b) Memperoleh informasi mengenai karakteristik enzim katepsin yang dihasilkan dari ekstrak kasar enzim katepsin ikan patin (Pangasius hypophthalmus). c) Memperoleh enzim katepsin murni dari ikan patin (Pangasius hypophthalmus) Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui dan memberikan informasi mengenai karakteristik enzim katepsin dari ikan patin (Pangasius hypophthalmus), sehingga dapat membantu proses penanganan kemunduran mutu ikan tersebut dan mengetahui metode terbaik dalam pemurnian enzim katepsin.

29 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Identifikasi Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan patin memiliki banyak kelebihan dalam bidang budidaya, yaitu mudah dibudidayakan jika dibandingkan dengan ikan tawar lainnya. Ikan patin sudah bisa mencapai panjang cm dalam waktu enam bulan, tempat pemeliharan ikan patin tidak memerlukan air yang mengalir, bahkan di perairan yang kandungan oksigennya rendah ikan ini masih dapat hidup dan berkembang. Ikan patin banyak ditemukan di sungai dan danau karena ikan ini merupakan ikan yang hidup di perairan umum (Khairuman dan Suhendra 2002). Ikan patin berasal dari golongan famili Pangasidae yaitu jenis ikan berkumis yang hidup di muara-muara sungai yang tersebar di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan. Ikan patin (Pangasius sp) berasal dari perairan umum dengan distribusi penyebarannya meliputi Thailand, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam dan Indonesia. Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin lokal (Pangasius sp.) dan ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus). Salah satu jenis varietas ikan patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah 2001). Klasifikasi ikan patin (Pangasius hypophthalmus) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Subkelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Famili : Pangasidea Genus : Pangasius Spesies : Pangasius hypophthalmus Ikan patin (Gambar 1) memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Pada sudut mulutnya terdapat

30 5 dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba. Karakteristik ikan patin adalah kulit halus dan memiliki dua pasang sungut yang relatif pendek sehingga sering disebut sebagai catfish serta terdapat patil di sirip punggung dan sirip dadanya (Susanto dan Amri 1997). Gambar 1 Ikan patin (Pangasius hypophthalmus). (Sumber: Ciri khas ikan patin lainnya yaitu jari-jari sirip punggung dan sirip dada sempurna dengan tujuh jari-jari bercabang, sirip dubur panjang dan bersambung dengan sirip ekor, sedangkan sirip ekor berbentuk seperti gunting. Ukuran kepala ikan patin relatif kecil, dengan mulut terletak diujung kepala agak sebelah bawah dan pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri 1997). Ikan ini memiliki warna khas pada tubuhnya kelabu kehitaman, sedangkan warna perut dan sekitarnya putih (Hernowo 2001). Ikan patin cukup potensial dibudidayakan di berbagai media pemeliharaan yang berbeda, yaitu kolam, keramba, dan jala apung. Budidaya ikan ini meliputi dua kegiatan yakni pembenihan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran tertentu. Pembesaran merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan yang siap dikonsumsi, meskipun ukuran ikan yang dikonsumsi biasanya berbeda sesuai dengan kebutuhan pasar (Susanto dan Amri 1997). 2.2 Enzim Enzim merupakan unit fungsional dalam metabolisme sel. Unit ini bekerja dengan urutan yang teratur. Enzim mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang mengurai molekul nutrisi, menyimpan dan mengubah energi kimiawi yang

31 6 membuat makromolekul sel dari prekursor sederhana (Lehninger 1993). Enzim bersifat sangat aktif. Pada reaksi-reaksi tertentu hanya diperlukan beberapa molekul enzim saja untuk mengkatalisis sejumlah substrat. Hal ini dimungkinkan karena protein enzim dapat direaksikan secara berulang-ulang. Kerja enzim dimulai saat molekul enzim berikatan dengan substrat, kemudian mengubahnya menjadi produk dalam waktu yang singkat. Enzim yang telah bebas dapat dipakai untuk mengikat molekul substrat lainnya (Suhartono 1989). 2.3 Enzim katepsin Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada jaringan hewan termasuk ikan yang dapat menghidrolisis protein menjadi polipeptida. Katepsin banyak ditemukan dalam jaringan otot ikan terutama dalam organel sub seluler atau disebut lisosom dan dibagi dalam dua tempat, yakni pada serabut otot dan matriks ekstraselluler (Shahidi dan Botta 1994). Menurut ph optimumnya, enzim proteolitik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu protease asam, basa, dan netral (Choi et al. 2005). Banyak katepsin optimal pada ph asam walaupun beberapa diantaranya aktif pada ph netral (Haard 1994). Katepsin B ditemukan secara luas pada lisosom. Katepsin B dapat diisolasi dari beberapa spesies mamalia dan berbagai jaringan meliputi limpa, liver, kelenjar paratiroid dan otak. Katepsin B ialah glikoprotein dengan jumlah manosa yang sangat rendah atau rendah. Katepsin H dan katepsin L ditemukan lebih banyak dibandingkan katepsin B. Ketiga enzim ini dipurifikasi bersama melalui beberapa tahap sampai mereka terpisah oleh kromatografi pertukaran ion. Metode baru yang lebih efisien, yakni kromatografi covalent affinity baru saja dikenalkan untuk mempurifikasi katepsin B. Ketiga katepsin ini sangat tidak stabil pada ph dibawah 7 (Polgar 1990). Katepsin C tidak mungkin untuk melakukan tindakannya secara utuh pada protein secara langsung, tetapi memiliki aktivitas spesifik tertinggi di antara semua peptidase lisosomal, ini artinya bahwa katepsin C mencerna lebih lanjut fragmen-fragmen peptida yang dihasilkan dari aktivitas katepsin D. Substrat yang paling rentan terhadap serangan dari enzim ini adalah dipeptidil amida atau ester, membawa gugus amino bebas ke posisi terminal NH3 (Park 2005).

32 7 Katepsin D pertama kali ditemukan pada jaringan otot daging oleh Siebert, kemudian diidentifikasikan oleh Mekino dan dan Ikeda. Katepsin D dipercaya berperan dalam pendegradasian secara signifikan pada tekstur selama penyimpanan dingin. Katepsin D juga dilaporkan merupakan salah satu katepsin penting dalam tenderisasi pada post mortem karena katepsin D menyerang secara langsung protein pada otot yang akan menghasilkan peptida yang dapat dipecah lebih lanjut oleh katepsin lainnya (Park 2005). Katepsin H aktif pada ph netral, stabil terhadap panas, dan menunjukkan aktivitas molekuler dengan substrat miosin. Katepsin L merupakan jenis protease lain yang sangat aktif dalam mendegradasi protein miofibril. Aktivitas molekular dari katepsin L dengan substrat miosin adalah 10 kali lebih besar dari pada katepsin B. Katepsin L dapat mendegradasi miofibril termasuk aktin, miosin, dan tropomiosin pada ph 6,5 dan secara khusus aktif untuk troponin serta dalam pemindahan Ca dari ATPase miofibril pada ph netral (Shahidi dan Botta 1994). Tabel 1 menyajikan beberapa sifat dari proteinase. Tabel 1 Sifat proteinase lisosomal, katepsin A-L yang ditemukan pada otot Enzim Berat molekul Grup fungsional ph optimal Target protein A 100 kda -OH 5,0-5,2 Dampaknya sedikit pada protein B1 25 kda -SH 5,0 Miosin, aktin dan kolagen B kda -SH 5,5-6,0 Spesifikasinya luas C 200 kda -SH 5,0-6,0 Dampaknya sedikit pada protein D 42 kda -COOH 3,0-4,5 Miosin, aktin, titin, nebulin, M- dan C- protein E Dampaknya sedikit -COOH 2,0-3,5 kda pada protein H 28 kda -SH 5,0 Aktin, miosin L 24 kda -SH 3,0-6,5 Aktin, miosin, kolagen, α-aktinin, troponin Sumber : Choi et al. (2005) Peranan katepsin dalam proses kemunduran mutu ikan secara nyata terlihat dari perubahan kondisi fisik dan perubahan cita rasa ikan. Aktivitas katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin dapat

33 8 menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak (Haard dan Simpson 2000). Daging yang melunak ini merupakan salah satu sumber masalah pada industri surimi karena katepsin dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel dalam proses pembuatan surimi dari daging ikan akibat degradasi protein miofibril yang dapat mengurangi elastisitas dan kekuatan gel surimi (Jiang 2000). Katepsin berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan selama masa post mortem. Ketika ikan mati (fase prerigor), maka kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim yang terdapat dalam tubuh ikan dengan melepaskan energi. Proses ini kemudian diikuti dengan peristiwa glikolisis yang menguraikan glikogen menjadi asam laktat. Pembentukan asam laktat menyebabkan terjadinya penurunan ph dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan fleksibilitasnya (kekenyalannya). Kondisi inilah yang dikenal dengan rigor mortis. Nilai ph yang semakin menurun mengakibatkan katepsin yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif (Afrianto dan Liviawaty 1989). Katepsin merupakan protease asam yang biasanya terletak di lisosom (DeDuve et al diacu dalam Toldra 2010) dan sel fagosit tetapi juga telah ditemukan dalam reticulum sarkoplasmik dari sel otot (Allen dan Goll 2003 diacu dalam Toldra 2010). Lisosom tidak mampu menelan struktur miofibril dan tidak ada fragmen miofibril yang diidentifikasi pada lisosom. Di sisi lain, membran lisosom sangat rapuh yang mungkin disebabkan oleh penurunan suhu dan ph otot selama penyimpanan post mortem. Katepsin B mendegradasi miosin dan aktin ke tingkat yang lebih rendah, sementara katepsin D mendegradasi baik aktin dan miosin menjadi fragmen-fragmen peptida berukuran kecil (Haard 1994). Sejumlah enzim dalam lisosom mampu mengkatalisis protein jaringan. Beberapa enzim lisosom yang telah dicatat pada jaringan ikan adalah katepsin A, B, C, D, serta protein asam, netral, dan alkali (Cowey dan Walton 1988 diacu dalam Affandi dan Tang 2002). Enzim katepsin yang terdapat pada lisosom dapat dilihat pada Tabel 2.

34 9 Tabel 2 Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan Enzim Famili Aktivitas Jenis Ikan Katepsin B Sistein Endopeptidase Dimurnikan dari otot berbagai spesies ikan, identifikasi pada berbagai spesies Katepsin H Sistein Endopeptidase Identifikasi pada otot ikan salmon Katepsin J Sistein Endopeptidase - Katepsin L Sistein Endopeptidase Identifikasi pada otot ikan salmon dan mackerel Dipeptidil peptidase I (katepsin C) Dipeptidil peptidase II Katepsin D Sistein Eksopeptidase Identifikasi dari otot berbagai spesies ikan Sistein Eksopeptidase - Aspartat Endopeptidase Dimurnikan dan diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan Aspartat Endopeptidase - γ-glutamil karboksipeptidase Karboksipeptidase Serin Eksopeptidase Dimurnikan dari berbagai A (Katepsin A spesies ikan dan diidentifikasi dan I) pada otot dari berbagai spesies Katepsin S Sistein Eksopeptidase Diidentifikasi pada otot mackerel Sumber : Goll et al diacu dalam Shahidi dan Botta 1994 Pembebasan dan pengaktifan katepsin selanjutnya akan menyebabkan terjadinya penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Hal ini menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan senyawasenyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan ph dan peningkatan jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan media yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri pembusuk (Lawrie 1985). Enzim proteolitik mempunyai peran dalam mengontrol berbagai proses biologis dalam tubuh (Almeida et al. 1983). Peningkatan panas yang semakin tinggi sampai batas tertentu akan meningkatkan aktivitas enzim dalam hidrolisis protein (Siswanto dan Soedarto 2008). 2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kerja enzim. Faktor-faktor tersebut erat kaitannya dengan sifat enzim sebagai protein. Faktor-faktor tersebut

35 10 antara lain adalah suhu, derajat keasaman (ph), zat penghambat, konsentrasi enzim, dan substrat (Abdurrahman 2008). Suhu Suhu sangat berpengaruh terhadap kerja enzim karena enzim terdiri atas protein. Semakin tinggi suhunya, reaksi kimia akan semakin cepat. Akan tetapi enzim akan mengalami denaturasi jika susu terlalu tinggi. Enzim yang mengalami denaturasi akan mengalami perubahan konformasi dari enzim sehingga enzim tersebut tidak aktif. Derajat keasaman (ph) Seperti protein, kerja enzim juga dipengaruhi oleh derajat keasaman lingkungan. Setiap enzim memiliki ph lingkungan yang khas untuk mencapai aktivitas optimumnya. Diluar ph tersebut, kerja enzim akan terganggu bahkan akan terdenaturasi. Zat penghambat Kerja enzim dapat dihambat oleh zat penghambat/inhibitor. Terdapat dua jenis inhibitor yaitu inhibitor kompetitif dan inhibitor non-kompetitif. Inhibitor kompetitif menghambat kerja enzim dengan cara berikatan dengan enzim pada sisi aktifnya. Inhibitor ini bersaing dengan substrat untuk menempati sisi aktif enzim. Hal ini terjadi karena inhibitor memiliki struktur yang mirip dengan substrat. Berbeda dengan inhibitor kompetitif, inhibitor non-kompetitif tidak bersaing dengan substrat untuk berikatan dengan enzim. Inhibitor jenis ini akan berikatan dengan enzim pada sisi yang berbeda (bukan sisi aktif enzim). Jika telah terjadi ikatan enzim-inhibitor, sisi aktif enzim aka berubah sehingga substrat tidak dapat berikatan dengan enzim. Konsentrasi enzim dan substrat Pada reaksi dengan konsentrasi enzim yang lebih sedikit dibandingkan substrat, penambahan enzim akan meningkatkan laju reaksi. Peningkatan laju reaksi ini terjadi secara linear. Jika konsentrasi substrat dan enzim sudah seimbang, laju reaksi akan relatif konstan. Penambahan konsentrasi substrat pada rekasi yang dikatalis oleh enzim awalnya akan meningkatkan laju reaksi. Akan

36 11 tetapi, setelah konsentrasi substrat dinaikkan lebih lanjut, laju reaksi akan mencapai titik jenuh dan tidak bertambah lagi. 2.5 Pemurnian Enzim Presipitasi Protein Penambahan senyawa yang hanya menggumpalkan protein dan tidak menggumpalkan bahan lain akan memisahkan dan lebih memurnikan protein yang dihasilkan. Tahap ini diistilahkan dengan presipitasi (Suhartono et al. 1992). Menurut Chaplin dan Bucke (1990), presipitasi protein merupakan metode yang berguna untuk pemekatan protein dan sering dilakukan pada tahap awal dari pemurnian enzim. Presipitasi protein dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain perubahan ph, penambahan garam, dan penambahan pelarut organik. Protein akan mengendap jika ph larutan berada pada ph isoelektrik protein. Garam yang digunakan dalam presipitasi protein dapat berupa ammonium sulfat, sodium sulfat, dan sebagainya tergantung kepada jenis protein. Konsentrasi garam yang ditambahkan adalah konsentrasi jenuhnya (Suhartono et al. 1992). Pemekatan protein dengan menambahkan ammonium sulfat ke dalam larutan enzim merupakan cara yang banyak dilakukan. Beberapa keuntungan menggunakan ammonium sulfat antara lain mudah larut, tidak toksik, murah, dan stabilitasnya terhadap enzim karena tidak mempengaruhi struktur protein (Webb dan Dixon 1979). Selain keuntungan yang diperoleh, penggunaan ammonium sulfat juga menimbulkan kerugian antara lain konsentrasi garam yang tertinggal dalam produk tinggi, kurang efisien dalam menghilangkan impuritis dan ammonium sulfat tidak bersifat bufer sehingga dapat membebaskan ammonia yang mengakibatkan kemungkinan penambahan nilai ph (Suhartono et al. 1992). Prinsip pengendapan dengan garam berdasarkan pada kelarutan protein yang berinteraksi polar dengan molekul air, interaksi ionik protein dengan garam, dan daya tolak menolak protein yang bermuatan sama. Kelarutan protein (pada ph dan suhu tertentu) meningkat pada kenaikan konsentrasi garam (salting in). Kenaikan kelarutan protein akan meningkatkan kekuatan ion larutan. Pada penambahan garam dengan konsentrasi tertentu menyebabkan kelarutan protein

37 12 menurun (salting out). Molekul air yang berikatan dengan ion-ion garam semakin banyak yang menyebabkan penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan protein. Peristiwa ini mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi, kemudian mengendap (Harris 1989; Scopes 1994). Garam berlebih yang terdapat di dalam larutan enzim setelah tahap fraksinasi dapat dihilangkan dengan cara dialisis. Pada tahap dialisis, protein ditempatkan di dalam kantung (membran) semipermeabel yang direndam di dalam larutan bufer tertentu. Molekul yang berukuran kecil akan ke luar melalui membran, dan molekul yang berukuran besar akan tertahan di dalam membran dialisis. Ukuran pori kantung dialisis yang terbuat dari bahan selulosa asetat berdiameter 1-20 nm. Ukuran ini menunjukkan berat molekul minimum yang dapat tertahan di dalam membran. Selain dengan dialisis, penghilangan garam dapat dilakukan dengan filtrasi gel. Metode ini biasanya diterapkan untuk sampel yang sedikit, yaitu tidak melampaui 25-30% volume kolom untuk mendapatkan resolusi yang memadai antara protein dan garam. Matriks filtrasi gel memiliki pori yang berukuran kecil, misalnya Sephadex G-25 buatan Phamacia. Kekurangan metode ini adalah terjadi pengenceran sampel protein (Harris 1989). 2.6 Kromatografi Kromatografi merupakan teknik pemisahan dengan mengadakan manipulasi atas dasar perbedaan sifat-sifat fisik dari zat-zat yang menyusun suatu campuran. Kromatografi juga termasuk teknik isolasi komponen dalam suatu campuran menggunakan medium yang mengalir pada liquid atau gas yang disebabkan perbedaan migrasi setiap komponen. Aliran tersebut biasanya menggunakan tekanan atau gravitasi. Teknik kromatografi secara mendasar terdiri dari empat kelompok, yaitu gel filtrasi, penukar ion, interaksi hidrofobik, dan kromatografi afinitas (Rosenberg 1996). Fraksinasi enzim merupakan suatu proses pemurnian untuk memisahkan protein enzim dengan protein lainnya yang terdapat pada ekstrak kasar enzim. Kromatografi kolom merupakan teknik yang efisien dalam pemisahan ekstrak protein hayati. Metode fraksinasi dengan kolom kromatografi berbeda-beda tergantung pada tujuan karakter fraksi protein yang difraksinasi sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

38 13 Kromatografi penukar ion (ion exchange chromatography) merupakan teknik pemisahan berdasarkan muatan dengan memanfaatkan sifat amfoter dari protein. Pengisi kolom merupakan senyawa polimer elastik dengan kerangka resin sintetik berupa polistirena yang dikaitkan dengan suatu gugus fungsional yang akan berinteraksi dengan molekul enzim. Dietilaminoetil (DEAE) selulosa merupakan penukar ion yang paling banyak digunakan untuk keperluan fraksinasi enzim dan merupakan penukar anion lemah yang bekerja pada kisaran ph 2-9. Penukar ion paling baik dipergunakan pada tahap awal kromatografi dengan kapasitas yang tinggi (Suhartono 1989; Rosenberg 1996). Tabel 3 Metode kromatografi untuk fraksinasi protein Sifat protein Teknik pemisahan Hidrofobik -Interaksi hidrofobik dan fase balik kromatografi Ukuran dan bentuk molekul -Filtrasi gel Titik isoelektrik Muatan Biospesifik terhadap ligan,inhibitor, reseptor, antibodi dll Sumber : APB (2001) -Kromatofokusing -Kromatografi penukar ion -Kromatografi afinitas Kromatografi penukar ion memanfaatkan perbedaan afinitas antara molekul bermuatan di dalam larutan dengan senyawa yang tidak reaktif yang bermuatan berlawanan sebagai pengisi kolom (Scopes 1994). Kromatografi penukar ion memisahkan protein berdasarkan muatan bersih protein dan kekuatan relatif dari muatan bersih protein tersebut. Kromatografi penukar ion memerlukan fase diam yang biasanya merupakan polimer terhidratasi yang bersifat tidak larut seperti selulosa, dekstran dan agarosa. Gugus penukar ion diimobilisasikan pada matriks. Beberapa gugus penukar anion yaitu aminoetil (AE-), kuaternari aminoetil (QAE-), dan dietilaminoetil (DEAE-). Gugus penukar kation yaitu sulfopropil (SP-), metil sulfonat dan karboksimetil (CM-). Penukar ion lemah seperti DEAE- (penukar anion lemah) dan CM- (penukar kation lemah) hanya dapat mempertahankan kondisi terionisasi pada rentang ph sempit dan kehilangan muatannya pada ph tertentu. Gugus penukar anion lemah DEAE- terionisasi sempurna di bawah ph 6

39 14 dan akan kehilangan muatannya pada ph 9, sedangkan gugus penukar kation lemah CM- akan kehilangan muatannya di bawah ph 4,5. Penukar ion kuat dapat mempertahankan kondisi terionisasi pada rentang ph yang luas. Gugus penukar ion QAE- (penukar anion kuat) dan SP- (penukar kation kuat) dapat mempertahankan kondisi terionisasi pada rentang ph 1-10 (Coligan et al. 2003). Kolom untuk kromatografi penukar ion biasanya tidak panjang dan memiliki diameter lebih besar dari pada kolom untuk filtrasi gel. Jumlah sampel yang dimasukkan umumnya sekitar 10-20% dari kapasitas kolom. Pembilasan dengan konsentrasi NaCl yang linier baik digunakan untuk memisahkan molekulmolekul yang memiliki perbedaan muatan bersih yang tidak terlalu besar sedangkan gradien NaCl bertahap baik digunakan untuk memisahkan molekulmolekul yang memiliki perbedaan muatan bersih yang besar. Pada dasarnya prinsip kromatografi penukar ion adalah ion bermuatan bebas dipertukarkan dengan ion yang memiliki tipe muatan yang sama. Protein yang bermuatan negatif dapat ditukar dengan ion klorida. Awalnya gugus fungsional matriks yang bermuatan negatif mengikat ion dari bufer (misalnya Na + ). Pada saat sampel dimasukkan ke dalam kolom, maka protein yang bermuatan positif akan menggantikan ion Na +, sedangkan protein yang bermuatan negatif atau netral tidak akan terikat. Protein yang tidak terikat dibilas dengan menggunakan bufer (biasanya dengan konsentrasi mm). Selanjutnya ikatan protein yang terikat gugus fungsional matriks akan terlepas setelah dibilas dengan bufer yang mengandung NaCl atau KCl secara linier atau bertahap sehingga protein yang memiliki ikatan lemah dengan matriks akan lepas terlebih dahulu dan diikuti oleh protein yang memiliki ikatan lebih kuat (Gambar 2). Pemilihan penukar ion tergantung pada muatan protein target. Muatan bersih protein tergantung pada ph yaitu protein akan bermuatan positif dengan menurunkan ph dan bermuatan negatif dengan menaikkan ph.

40 15 Gambar 2 Pemurnian enzim dengan kromatografi penukar ion. (Sumber: Pada saat menentukan ph untuk kromatografi, kestabilan protein target pada ph yang dipilih perlu dijaga. Apabila protein stabil pada ph di atas titik isoelektriknya (pi) maka digunakan penukar anion (positif), tetapi bila protein stabil pada ph di bawah pi nya maka digunakan penukar kation (negatif). Jika protein stabil pada rentang 1 unit di atas dan di bawah pi maka kedua penukar ion dapat digunakan. Matriks yang mengikat gugus fungsional menentukan sifat aliran, ion yang dapat diikat, kestabilan mekanik dan kimia. Ada 3 kelompok matriks yang biasanya digunakan, yaitu: 1) polistiren, poliakrilik atau polifenol; 2) selulosa; dan 3) dekstran (Sephadex) atau agarosa (Sepharose). Matriks polistiren dan polifenolik lebih sering digunakan untuk memisahkan molekulmolekul kecil misalnya asam-asam amino, peptida kecil, nukleotida, nukleotida siklik, asam-asam organik.matriks selulosa biasanya digunakan untuk memisahkan protein (termasuk enzim), polisakarida dan asam nukleat. Matriks DEAE-selulosa, CM-selulosa dan fosfoselulosa paling sering digunakan. Matriks polidekstran dan agarosa (misalnya DEAE-Sephadex, CM-Sephadex) digunakan untuk memisahkan protein, hormon, trna, dan polisakarida (Scopes 1994). Pemilihan penukar ion kuat atau lemah tergantung pada ph molekul target. Molekul yang memerlukan ph sangat rendah atau sangat tinggi untuk dapat berionisasi atau apabila molekul stabil pada ph ekstrim maka penukar ion kuat harus digunakan. Penukar ion lemah akan memberikan hasil pemisahan yang lebih baik untuk protein-protein yang memiliki muatan bersih yang berdekatan.

41 16 Keuntungan kromatografi penukar ion diantaranya adalah tidak merusak protein yang dimurnikan dan pada umumnya memiliki kapasitas pengikatan yang tinggi. Kelemahannya adalah protein-protein yang memiliki distribusi gugus bermuatan pada permukaannya atau memiliki pi yang sama atau mirip akan sulit dipisahkan dengan cara kromatografi penukar ion. Selain itu larutan enzim hasil kromatografi penukar ion mengandung kadar garam cukup tinggi yang harus dihilangkan untuk proses pemurnian selanjutnya (Scopes 1994). 2.7 Elektroforesis Elektroforesis didefinisikan sebagai migrasi molekul atau partikel bermuatan di dalam larutan atau medium melalui pengaruh medan listrik (Nielsen 2003). Migrasi partikel bermuatan tersebut dapat terjadi karena perbedaan muatan total, ukuran dan bentuk partikel (Pomeranz dan Meloan 1994). Metode analisis elektroforesis protein merupakan metode analisis yang memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulnya (Bollag dan Edelstein 1991). Teknik elektroforesis telah banyak digunakan dalam analisis protein untuk menentukan tingkat kemurnian sampel, berat molekul, maupun titik isoelektrik (Copeland 1994). Selain itu, teknik elektroforesis juga sering digunakan untuk menentukan komposisi protein dari suatu produk pangan (Nielsen 2003). Pemisahan protein berdasarkan muatannya tergantung pada karakter asam dan basa protein. Hal ini ditentukan oleh jumlah dan jenis rantai samping (gugus R) yang dapat terionisasi dalam rantai polipeptida serta ph lingkungan. Pada ph lingkungan yang lebih besar daripada ph isoelektriknya (pi), protein akan memiliki muatan negatif sehingga migrasi protein akan menuju anoda yang bermuatan positif. Sebaliknya, bila ph lingkungan di bawah pi, muatan protein menjadi positif yang membuatnya akan bermigrasi menuju katoda yang bermuatan negatif (Autran 1996). Hal inilah yang menjadi dasar pemisahan protein dengan elektroforesis. Metode elektroforesis protein yang paling umum dan banyak dilakukan adalah Sodium Dodecyl Sulfate-Poly Acrylamide Gel Electrophoresis (SDS- PAGE). SDS-PAGE merupakan teknik elektroforesis dalam sistem bufer diskontinyu yang menggunakan dua tipe gel sebagai medianya, yaitu stacking gel dan separating gel. Sistem bufer yang diskontinyu membuat sampel

42 17 terkonsentrasi dalam stacking gel sehingga menghasilkan resolusi yang lebih baik ketika pemisahan protein terjadi di separating gel (Garfin 1990). Gel poliakrilamid dibentuk dari hasil ko-polimerisasi monomer akrilamid (CH2=CH-CO-NH2) dengan bantuan senyawa yang bertindak sebagai crosslinking agent yaitu N,N -metilen-bisakrilamid (CH2=CH-CO-NH-CH2-NH-COCH=CH2). Mekanisme polimerisasi akrilamid tersebut dikatalisis oleh tetrametietilendiamin (TEMED) dan amonium persulfat (APS). TEMED akan menyebabkan pembentukan radikal bebas dari amonium persulfat yang mengakibatkan reaksi pembentukan akrilamid aktif. Akrilamid aktif ini akan bereaksi dengan akrilamid lainnya membentuk rantai polimer yang panjang. Hasil dari polimerisasi ini adalah terbentuknya gel dengan struktur jala dari rantai akrilamid. Ukuran pori dan jala gel tersebut ditentukan oleh jumlah akrilamid yang digunakan per unit volumenya dan derajat ikatan silangnya (Garfin 1990; Autran 1996). Sodium dodecyl sulfate (SDS) adalah detergen anionik yang paling umum digunakan dalam elektroforesis. SDS memiliki dua fungsi, yaitu: (1) untuk memisahkan protein-protein yang beragregasi, hidrofobik, atau memiliki kelarutan yang rendah, misalnya membran protein; dan (2) memisahkan protein berdasarkan bentuk, ukuran dan berat molekulnya. SDS menyelimuti protein dengan muatan negatif serta mengikat protein dengan rasio yang konstan, yaitu 1,4 g SDS per gram polipeptida (Garfin 1990; Autran 1996). Interaksi SDS dengan protein akan merusak seluruh ikatan non-kovalen protein sehingga struktur protein akan terbuka. Selanjutnya, penggunaan reducingagent seperti 2-merkaptoetanol atau ditiothreitol akan membantu mendenaturasi protein melalui pemutusan ikatan disulfida pada protein sehingga memecahnya menjadi subunit-subunit protein. Akibatnya, mobilitas elektroforetik dari kompleks detergen polipeptida hanya merupakan fungsi dari berat molekul protein (Garfin 1990). Elektroforesis protein dapat dilakukan dengan proses denaturasi (SDS-PAGE) dan nondenaturasi (native-page). Mekanisme pada SDS-PAGE dijelaskan bahwa protein akan bereaksi dengan SDS yang merupakan detergen anionik membentuk kompleks yang bermuatan negatif. Protein akan terdenaturasi dan terlarut membentuk kompleks berikatan dengan SDS yang berbentuk elips

43 18 atau batang yang ukurannya sebanding dengan berat molekul protein. Protein dalam bentuk kompleks yang bermuatan negatif ini akan dapat terpisahkan berdasarkan muatan dan ukurannya secara elektroforesis di dalam matriks gel poliakrilamida (Smith 1984). Berbeda dengan SDS-PAGE, pada zimogram gel pemisah disisipi substrat yang akan dihidrolisis oleh enzim selama masa inkubasi. Zimogram merupakan cara menganalisis aktivitas kitinolitik yang sederhana, sensitif, dapat dikuantisasi dan fungsional (Leber dan Balkwil 1997). Pada dasarnya terdapat 2 model teknik zimogram. Model pertama menggunakan substrat yang terikat pada bahan penahan berupa gel, kertas saring, lembaran plastik, atau lapisan substrat langsung. Pada model kedua, indikator diikatkan secara kuat pada gel pemisah dimana enzim subjek dibuat inaktif selama elektroforesis dan diaktifkan kembali setelah elektroforesis. Substrat yang digunakan untuk zimogram harus bersifat kromogenik, kromoforik, atau hasil reaksi enzim dengannya dapat diwarnai (Paech et al. 1993). Elektroforesis zimogram memisahkan protein terlarut yang tidak mengendap atau beragregasi selama elektroforesis. Pada elektroforesis gel yang terdenaturasi, seperti pada SDS-PAGE, molekul-molekul protein yang telah terpisah dengan elektroforesis dapat kehilangan aktivitas biologi dan biokimianya, tetapi pada elektroforesis zimogram aktivitas tersebut masih bertahan (Dunn 1989). Enzim dipisahkan dalam gel denaturasi (SDS), namun dalam kondisi tidak tereduksi.sds dilepaskan dengan penambahan larutan renaturasi (misalnya detergen Triton X-100) dan kembali terjadi pelipatan protein. Kemudian gel diwarnai dengan pewarna yang sesuai dengan enzim yang diujikan. Metode zimogram bersifat mudah, sensitif, dan kuantitatif dalam menganalisis aktivitas enzim (Kleiner dan Stetler-Stevenson 1994; Leber dan Balkwil 1997). Berat molekul protein dapat ditetapkan dengan menggunakan protein standar yang telah diketahui berat molekulnya dan memperbandingkan nilai Rf (mobilitas relatif) yang diperoleh. Pita pada gel dapat divisualisasi dengan pewarnaan, misalnya menggunakan pewarna coomasie blue atau pewarna perak nitrat (Suhartono 1989).

44 19 3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Januari 2013 di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Mirobiologi dan Biokimia Hewan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan baku ikan patin dalam keadaan post rigor, bahan-bahan untuk ekstraksi kasar (bufer tris HCl 0,1 M ph 7,4, akuades), presipitasi (ammonium sulfat teknis), dialisis (kantong dialisis ukuran 12 kda, bufer tris HCl ph 7,4), uji aktivitas katepsin (hemoglobin (sigma), bufer tris 0,1 ph 7,4, tirosin (Applichem), akuades, TCA 5%, folin (merck), dan HCl 1 N), dan uji kadar protein (pereaksi Bradford, bovine serum albumin (applichem)). Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain inkubator (Thermoline type 42000), sentrifuse dingin (Beckmen), spektrofotometer (Spectrophotometer UV-2500 Labomed Inc), ph meter (Thermo), tabung dialisis, kertas saring Whatman no.1, mikropipet, mikrotip, sudip, dan erlenmeyer. 3.3 Prosedur Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu preparasi sampel berupa ikan patin pada tahap post rigor yang diambil dagingnya. Tahap selanjutnya yakni pemurnian enzim katepsin semi murni yang meliputi ekstraksi kasar, presipitasi, dan dialisis. Data dianalisis secara deskriptif yaitu disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, kemudian dibahas berdasarkan literatur dan standar yang ada. Secara ringkas tahapan penelitian tersebut disajikan dalam bentuk diagram alir yang disajikan pada Gambar 3.

45 20 Ikan patin Preparasi Tulang Daging Kulit Homogenisasi daging ikan : akuades 1:1 Sentrifuse 4 o C 400 rpm Pelet Supernatan Sentrifuse 4 o C rpm Supernatan Pelet Sentrifuse 4 o C rpm Pelet Analisis aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002) Pengukuran konsentrasi protein (Bradford 1976) Supernatan Ekstrak enzim katepsin kasar Penentuan suhu optimal 40, 50, 60 dan 70 C Penentuan ph optimal 3, 4, 5, 6 dan 7 Penentuan substrat optimal 3, 4, 5, 6, 7% Pengaruh ion logam Na +, Ba 2+, Ca 2+, Al 2+

46 21 Presipitasi (ammonium sulfat 50, 60, 70, 80% kejenuhan) Uji aktivitas enzim Uji protein Hasil pengendapan terbaik Dialisis (2,4,6 dan 8 jam) cut off 12 kda Uji aktivitas enzim Uji protein Dialisis terbaik Kromatografi penukar ion (60 fraksi) Uji aktivitas enzim Uji protein Fraksi dengan aktivitas tertinggi Enzim murni SDS-PAGE Zimogram Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian Ekstraksi katepsin kasar Ekstraksi dilakukan untuk memperoleh ekstrak kasar katepsin dengan cara ikan dimatikan, kemudian daging ikan dipisahkan dari tulang dan kulit, kemudian dicuci untuk menghilangkan darah. Daging yang telah diambil disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan daging ikan dan akuades 1:1 lalu dihomogenisasi pada suhu 0 C. Ekstrak daging hasil homogenisasi disentrifugasi pada 600xg, suhu 4 o C selama 10 menit dan supernatan yang diperoleh kemudian disentrifugasi lagi pada

47 xg, suhu 4 o C selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan dari hasil sentrifugasi kemudian dilarutkan dalam bufer tris HCl 0,1 M ph 7,4 dengan jumlah akuades yang sama dan disentrifugasi pada 4.000xg, suhu 4 o C selama 10 menit. Supernatan (ekstrak kasar katepsin) yang diperoleh merupakan protein utama dari mitokondria dan lisosom yang siap diteliti aktivitasnya lebih lanjut Presipitasi dan dialisis Katepsin semi murni diperoleh dengan mengendapkan ekstrak kasar katepsin menggunakan ammonium sulfat dengan tingkat kejenuhan 50%, 60%, 70%, dan 80% (b/v). Pengendapan dilakukan dengan menambahkan garam ammonium sulfat ke dalam supernatan sedikit demi sedikit dan disentrifugasi pada xg, suhu 4 o C selama 30 menit. Pelet dilarutkan dalam bufer Tris HCl 0,1 M ph 7,4. Langkah selanjutnya adalah dialisis. Dialisis dilakukan dalam bufer tris HCl 0,1 M ph 7,4 menggunakan kantong selofan berukuran 12 kda, dengan waktu dialisis 2, 4, 6 dan 8 jam. Tahap presipitasi dan analisis ini dilakukan pada suhu 4 C. Hasil yang diperoleh dari masing-masing tahap pemurnian, diuji aktivitas enzim dan kadar protein Pemurnian dengan kromatografi (Ustadi et al. 2005) Tahap pemurnian pertama dilakukan dengan kromatografi penukar ion dengan bahan pengelusi bufer B (bufer gel pemisah, Tris-HCl 2M, ph 8,8). Sebanyak 75 ml larutan tris HCl ph 8,8 dan 4 ml larutan SDS 10% (w/v) ditambahkan dengan akuades hingga volume total 100 ml. Matriks menggunakan kolom DEAE sephadex A-50 (3,0 x 30,0 cm) dengan laju aliran 1 ml/menit. Selain itu juga digunakan NaCl bergradien 0-0,7 M. Jumlah volume tiap fraksi ditampung sebanyak 5 ml. Masing-masing fraksi diuji konsentrasi protein dengan spektrofotometer uv =280 nm dan diukur aktivitas enzimnya tiap fraksi dengan metode Dinu et al. (2002) Karakterisasi enzim katepsin Karakterisasi dilakukan terhadap hasil dialisis dengan aktivitas spesifik yang tertinggi. Karakterisasi meliputi penentuan suhu optimum, ph optimum, pengaruh ion logam, dan penentuan konsentrasi substrat optimum.

48 Penentuan suhu optimum Penentuan suhu optimum dilakukan dengan melakukan variasi suhu inkubasi pada saat pengujian aktivitas katepsin dengan suhu 40, 50, 60, dan 70 C. Pada waktu pengujian, hemoglobin sebagai substratnya dibuat dengan konsentrasi 2% ph 2. Sebanyak 0,5 ml dari larutan substrat 0,1 ml larutan bufer tris HCl 0,1 M ph 7,4 di inkubasi dengan 0,1 ml larutan enzim pada variasi suhu (40, 50, 60, 70 C) selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5% (w/v). Campuran disaring dan 1 ml filtrat hasil penyaringan ditambah 1 ml pereaksi folin. Selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 37 C selama 20 menit. Campuran kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu, dilakukan pula pengukuran absorbansi untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin Penentuan ph optimum Penentuan ph optimum dilakukan dengan menggunakan ph substrat dan ph buffer yang sama dengan variasi ph 3, 4, 5, 6,7. Substrat yang digunakan adalah hemoglobin 2%. Sebanyak 0,5 ml larutan substrat; 0,1 ml larutan bufer diinkubasikan dengan 0,1 ml larutan enzim pada suhu 37 C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5% (w/v). Campuran disaring dan 1 ml filtrat hasil penyaringan ditambah 1 ml pereksi folin. Selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 37 C selama 20 menit. Campuran kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu, dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin Penentuan substrat optimum Karakterisasi konsentrasi substrat dilakukan dengan mengubah konsentrasi substrat hemoglobin dengan variasi (0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%, 2,5%, 3%, 3,5%, dan 4% b/v)). Pada waktu pengujian, hemoglobin sebagai substratnya dibuat dengan konsentrasi 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%, 2,5%, 3%, 3,5%, dan 4%) ph 2. Sebanyak 0,5 ml dari larutan substrat 0,1 ml larutan bufer Tris HCl 0,1 M ph 7,4 diinkubasi

49 24 dengan 0,1 ml larutan enzim pada suhu 37 o C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5% (w/v). Campuran disaring dan 1 ml filtrat hasil penyaringan ditambah 1 ml pereksi folin. Selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 37 C selama 20 menit. Campuran kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu, dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin Penghambatan ion logam Karakterisasi pengaruh ion logam dilakukan dengan menambahkan ion logam monovalent (NaCl), bivalent (ZnCl2, CaCl2.2H2O, MgCl2, MnCl2.4H2O, Cu2SO4.5H2O) serta trivalent ( FeCl3). Pada waktu pengujian, hemoglobin sebagai substratnya dibuat dengan konsentrasi 2% ph 2. Sebanyak 0,5 ml dari larutan substrat, 0,1 ml larutan bufer Tris ph 7,4 dan 0,1 ml larutan logam (NaCl, ZnCl- 2, CaCl2.2H2O, MgCl2, MnCl2.4H2O, Cu2SO4.5H2O, FeCl3) diinkubasi dengan 0,1 ml larutan enzim pada 37 C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5% (w/v). Campuran disaring dan 1 ml filtrat hasil penyaringan ditambah dengan 1 ml pereaksi folin, selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 37 C selama 20 menit. Campuran kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Campuran disaring dan 1 ml filtrat hasil penyaringan ditambah 1 ml pereksi folin. Selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 37 C selama 20 menit. Campuran hasil inkubasi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu, dilakukan pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin. 3.4 Analisis Analisis yang dilakukan meliputi aktivitas katepsin, konsentrasi protein, dan penentuan berat molekul dengan SDS-PAGE Aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002) Aktivitas proteolitik dari katepin diuji menggunakan hemoglobin sebagai subtratnya dengan konsentrasi 2% ph 2. Sebanyak 0,5 ml dari larutan substrat

50 25 0,1 ml larutan bufer Tris HCl 0,1 M ph 7,4 diinkubasi dengan 0,1 ml larutan enzim pada suhu 37 C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5% (w/v). Campuran disaring dan 1 ml filtrat hasil penyaringan ditambah 1 ml pereksi folin. Campuran kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu, dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama dengan larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin. Unit aktivitas didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat mengubah substrat menjadi 1 µmol tirosin dalam 1 menit. Aktivitas enzim katepsin dapat dihitung dengan rumus berikut : UA= (Abs.sampel Abs.blanko) (Abs.standar Abs.blanko) x P x 1 T Keterangan : UA = jumlah tirosin yang dihasilkan per ml enzim permenit P = faktor pengenceran T = waktu inkubasi Pengukuran konsentrasi protein (Bradford 1976) Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan dengan cara melarutkan 5 mg coomasive brilliant blue G-250 dalam 2,5 ml etanol 95% (v/v), lalu ditambahkan dengan 5 ml asam fosfat 85% (v/v). Kemudian ditambahkan akuades hingga 250 ml dan disaring dengan kertas saring whatman no. 1 dan dilakukan pengenceran 5 kali sesaat sebelum digunakan. Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan cara sebanyak 0,1 ml enzim ditambah pereaksi bradford, selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Campuran diinkubasi selama 5 menit dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Larutan standar diukur dengan cara yang sama seperti larutan sampel. Larutan standar yang digunakan adalah 0,1-1,0 mg/ml. Tahap berikutnya adalah membuat kurva standar dengan absorbansi sebagai ordinat (sumbu y) dan konsentrasi protein sebagai absis (sumbu x). berdasarkan kurva tersebut dapat ditentukan konsentrasi protein sampel. Komposisi volume larutan dengan pembuatan larutan standar dengan konsentrasi 0,01-0,3 mg/ml dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml disajikan pada Tabel 4.

51 26 Tabel 4 Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,01-0,3 mg/ml Konsentrasi BSA (mg/ml) Volume BSA (ml) Volume akuades(ml) 0,01 0,01 1,99 0,02 0,02 1,98 0,03 0,03 1,97 0,04 0,04 1,96 0,05 0,05 1,95 0,06 0,06 1,94 0,07 0,07 1,93 0,08 0,08 1,92 0,09 0,09 1,91 0,10 0,10 1, Penentuan berat molekul dengan SDS-PAGE dan zimogram Konsentrasi gel akrilamid dalam analisis SDS-PAGE adalah 4% stacking gel dan 10% separating gel (Lampiran 2). Metode ini menggunakan matriks dari gel yang disusun oleh akrilamida dan N,N -metilen-bis-akrilamida yang berpolimerisasi melalui mekanisme radikal bebas dengan bantuan katalisator N,N,N N,- tetramethylene-diamine (TEMED) dan inisiator ammonium persulfat (APS) (Rosenberg 1996). Komposisi pembuatan gel penahan dan pemisah SDS-PAGE dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi gel penahan dan pemisah SDS-PAGE Komponen Gel pemisah (8%) Gel penahan (4%) Larutan stok akrilamida Bufer gel pemisah Bufer gel pengumpul Akuades Ammonium persulfat TEMED 2,66 ml 2,50 ml - 3,18 ml µl 5.00 µl 0,67 ml - 1,25 ml 3,00 ml µl 5.00 µl Konsentrasi akrilamida yang digunakan dalam analisis ini adalah 10% (w/v). Pewarnaan yang digunakan adalah pewarnaan perak. Deteksi SDS-PAGE dilakukan dengan melepaskan gel hasil elektroforesis dari cetakan dan diukur jarak migrasi brompenol blue. Gel tersebut dicelup dan direndam dalam larutan fiksasi (25% metanol + 12% asam asetat) selama 1 jam digoyang konstan. Kemudian direndam dalam 50% (v/v) etanol selama 2x20 menit. Larutannya diganti dengan

52 27 larutan pengembang kemudian dicuci dengan akuabidestilata. Setelah dicuci ditambahkan larutan perak nitrat selama 30 menit kemudian dicuci lagi dengan akuabidestilata 2x20 detik dan ditambahkan larutan campuran Na2CO3 dan formal dehida dan terakhir dengan larutan fiksasi. Selanjutnya, dilakukan deteksi berat molekul berdasarkan aktivitas enzim secara insitu dengan teknik analisis zimografi. Enzim diaplikasikan pada gel elektroforesis tanpa pemanasan. Analisis zimografi menggunakan metode SDS- PAGE dengan komposisi gel penahan 4%, gel pemisah 8% yang mengandung 0,4% gelatin dan penambahan 1% (b/v) hemoglobin (substrat) ke dalam campuran campuran gel poli akrilamid sebelum polymerase gel terjadi. Bufer sampel pada analisis zimografi tidak mengandung β-merkapto etanol. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 70 volt dan 35 A selama 2-3 jam. Setelah elektroforesis, gel dicuci dengan 2,5% (v/v) Triton X-100 selama 60 menit, dilanjutkan inkubasi gel dalam 50 mm Tris-HCl (ph 8.0) semalam pada suhu 55 C. Gel kemudian diwarnai menggunakan Coomassie brilliant blue R-250 dan dicuci dengan larutan pencuci. Pita protease akan tampak sebagai daerah bening yang dikelilingi oleh warna biru.

53 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ekstraksi enzim katepsin Ekstrak kasar diperoleh dari daging ikan patin yang sudah memasuki tahap post rigor. Ekstrak kasar yang dihasilkan memiliki aktivitas sebesar 0,278 U/mL dengan aktivitas spesifik 0,9073 U/mg dengan kadar protein sebesar 0,3064 mg/ml. Berdasarkan hasil penelitian Nurhayati et al. (2012) diketahui bahwa ekstrak kasar katepsin yang berasal dari ikan bandeng memiliki aktivitas spesifiknya sebesar 0,8598 U/mg dengan kadar protein sebesar 0,1163 mg/ml. Pemilihan bufer tris HCl ph 7,4 dinilai sudah sesuai. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Whitaker (1994) yang menyatakan bahwa ekstraksi enzim sebaiknya menggunakan bufer untuk mengontrol ph dekat dengan 7,5 dan kekuatan ion 0,1-0,5. Bufer diperlukan untuk melindungi enzim dari sejumlah besar asam yang dilepaskan dari vakuola pada saat sel pecah. 4.2 Karakterisasi Enzim Katepsin Ikan Patin Karakterisasi enzim katepsin ikan patin dilakukan untuk menentukan karakteristik atau sifat-sifat enzim katepsin yang telah diekstrak. Karakterisasi meliputi penentuan derajat keasaman (ph) optimum, suhu optimum, konsentrasi substrat dan pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim kasar katepsin. Menurut Suhartono (1989), faktor-faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, ph, jenis pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion, dan suhu Derajat keasaman (ph) optimum Enzim merupakan biokatalisator yang tersusun dari protein. Enzim memiliki aktivitas yang spesifik terhadap ph. Hal ini terkait dengan sifat dasar protein yang dapat mengalami denaturasi akibat adanya pengaruh nilai ph (basa ataupun asam). Hasil pengujian aktivitas enzim pada berbagai ph disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa ph optimum untuk aktivitas enzim katepsin, terdapat pada ph 6 dengan aktivitas 0,271 U/mL. Nilai aktivitas enzim katepsin meningkat dari ph 3 sampai ph 6, kemudian menurun pada ph 7. Hasil penelitian

54 29 yang dilakukan oleh Liu et al. (2008) menunjukkan bahwa enzim katepsin B1 yang diperoleh dari ekstrak silver carp menghasilkan aktivitas maksimum pada ph 5, Aktivitas enzim (U/mL) ph Gambar 4 Pengaruh ph terhadap aktivitas enzim katepsin ikan patin. Gambar 4 menunjukkan bahwa ph optimum untuk aktivitas enzim katepsin, terdapat pada ph 6 dengan aktivitas 0,271 U/mL. Nilai aktivitas enzim katepsin meningkat dari ph 3 sampai ph 6, kemudian menurun pada ph 7. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2008) menunjukkan bahwa enzim katepsin B1 yang diperoleh dari ekstrak silver carp menghasilkan aktivitas maksimum pada ph 5,5. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Cunningham et al. (2010) pada ikan salmon menunjukkan bahwa nilai ph optimum katepsin B sekitar ph 4. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa enzim katepsin yang diekstrak dari ikan patin memiliki nilai ph optimum yang sama dengan katepsin B1 ataupun katepsin B2, yaitu berkisar antara 5,5-6,0. Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh ph medium tempat reaksi terjadi. Setiap enzim memiliki ph optimum yang khas, yaitu ph yang menyebabkan aktivitas maksimal. Profil aktivitas ph enzim menggambarkan ph pada saat pemberi dan penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada pada tingkat ionisasi yang diinginkan. Namun pada ph tertentu (ekstrim) dapat menyebabkan enzim terdenaturasi yang menyebabkan enzim kehilangan aktivitas biologisnya (Lehninger 1993) Suhu optimum Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim, termasuk didalamnya adalah enzim katepsin. Hal ini disebabkan karena enzim

55 30 merupakan komponen yang tersusun atas protein. Struktur protein dapat berubah akibat adanya pengaruh suhu. Hasil pengujian suhu inkubasi terhadap enzim katepsin dapat dilihat pada Gambar 5. Aktivitas enzim (U/mL) suhu C Gambar 5 Pengaruh suhu inkubasi terhadap aktivitas enzim katepsin ikan patin. Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim katepsin sampai pada titik tertentu. Peningkatan suhu lebih lanjut akan membuat aktivitas enzim menjadi menurun. Suhu yang lebih tinggi akan membuat molekul lebih sering bertabrakan. Konsep ini berlaku juga untuk tumbukan antar molekul substrat dengan enzim. Hal ini disebabkan suhu yang tinggi akan mengkatalisis reaksi enzimatis. Namun, ketika kenaikan suhu melebihi titik tertentu akan menyebabkan gangguan terhadap struktur tersier enzim. Perubahan struktur tersier pada sisi aktif akan menghambat aktivitas katalitik enzim (Stoker 2010). Ekstrak kasar enzim katepsin ikan patin memiliki aktivitas spesifik optimum pada suhu 40 C dengan nilai aktivitas sebesar 0,213 U/mL. Berdasarkan hasil penelitian Balti et al. (2010) terhadap enzim katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong, diketahui bahwa enzim tersebut memiliki aktivitas optimum pada suhu 50 ºC. Krause et al. (2010) menyatakan bahwa enzim katepsin D yang berasal dari daging ikan ostrich memiliki aktivitas optimal pada suhu 45 ºC. Penelitian Jiang et al. (2002) terhadap katepsin D ikan tongkol dan ikan bandeng, memiliki aktivitas tertinggi pada suhu 45 C dan 50 C. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2008) menunjukkan bahwa suhu optimum untuk enzim katepsin B1 pada silver carp 35 o C sedangkan hasil

56 31 penelitian yang dilakukan oleh Cunningham et al. (2010) menunjukkan bahwa enzim katepsin B pada ikan salmon memiliki suhu optimum sebesar 45 o C Konsentrasi substrat optimum Konsentrasi substrat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap jumlah produk yang dihasilkan. Substrat dibutuhkan oleh enzim untuk berikatan dengan sisi aktif enzim sehingga akan terbentuk produk. Pada penelitian ini, substrat yang digunakan adalah hemoglobin. Hemoglobin merupakan kompleks protein-pigmen yang mengandung zat besi. Kompleks tersebut berwarna merah dan terdapat didalam eritrosit. Sebuah molekul hemoglobin memiliki empat gugus haeme yang mengandung besi fero dan empat rantai globin (Brooker 2001). Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas spesifik enzim katepsin dapat dilihat pada Gambar 6. Aktivitas enzim (U/mL) Konsentrasi subtrat % Gambar 6 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim katepsin ikan patin. Gambar 6 menunjukkan bahwa aktivitas katepsin ikan patin optimum pada konsentrasi substrat 2% dengan aktivitas sebesar 0,278 U/mL. Semakin banyak molekul substrat yang tersedia, semakin sering molekul-molekul tersebut memasuki sisi aktif molekul enzim. Akan tetapi, terdapat keterbatasan dalam memacu kecepatan reaksi dengan cara menambahkan lebih banyak lagi substrat ke suatu konsentrasi enzim yang tetap. Pada suatu titik tertentu, konsentrasi substrat itu akan menjadi cukup tinggi sehingga semua sisi aktif pada semua

57 32 molekul enzim sudah ditempati oleh substrat. Segera setelah produk meningkatkan sisi aktif, molekul substrat yang lain akan masuk. Pada konsentrasi substrat seperti ini, enzim itu dikatakan mengalami kejenuhan dan laju reaksi ditentukan oleh kecepatan sisi aktif mengubah substrat menjadi produk. Ketika suatu enzim telah jenuh, satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas ialah dengan menambahkan lebih banyak lagi enzim (Campbell 2002) Pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim Aktivitas enzim (U/mL) Aktivator dan inhibitor tidak dapat dibedakan secara kimiawi, namun dapat dibedakan setelah berinteraksi dengan enzim. Aktivator berikatan dengan enzim dan menyebabkan kenaikan kecepatan reaksi enzim, sedangkan inhibitor berikatan dengan enzim dan menyebabkan penurunan kecepatan reaksi (Suhartono 1989). Ion logam ada yang membantu pengikatan antara enzim dengan substrat, ada yang berikatan dengan enzim secara langsung sehingga konformasi aktif enzim menjadi stabil, dan ada yang berikatan dengan inhibitor enzim sehingga mempengaruhi kerja inhibitor menghambat enzim. Ion logam yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Na, Ca +2, Zn +2, Mn +2, Mg +2, Cu +2 dan Fe +3. Berdasarkan hasil pengujian, penambahan ion logam mempengaruhi aktivitas enzim katepsin yang bisa menurunkan nilai unit aktivitas atau menaikkan nilai aktivitas enzim. Hasil pengujian pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim katepsin dapat dilihat pada Gambar control Na Ca²+ Zn²+ Mn²+ Mg²+ Cu²+ Fe³+ Ion logam inhibitor Gambar 7 Pengaruh ion logam konsentrasi 5 mm terhadap aktivitas enzim katepsin.

58 33 Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa ion logam Fe 3+ memberikan nilai penghambatan yang paling besar, hal ini dapat dilihat dari nilai aktivitas enzim terkecil yaitu sebesar 0,004 U/mL, sedangkan nilai aktivitas relatif dari masing-masing ion logam terhadap kontrol dapat dilihat pada Tabel 6. Balti et al. (2010) menyatakan bahwa katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong memiliki aktivitas enzim katepsin D yang akan meningkat aktivitasnya dengan adanya ion logam Mg 2+, Ni 2+, Zn 2+, Cu 2+, Cd 2+, Sr 2+, dan Co 2+. Keberadaan ion logam Na +, K +, dan Ca 2+ tidak mempengaruhi aktivitas enzim katepsin D. Balti et al. (2010) juga melaporkan bahwa katepsin D dari hepatopankreas sotong mengalami penurunan aktivitas dengan penambahan ion logam Ba 2+, Mn 2+, Hg 2+, dan Fe 3+. Tabel 6 Efek penambahan ion logam terhadap aktivitas enzim katepsin Konsentrasi logam (5 mm) Relatif activity (%) Kontrol 100 Na + 85 Ca Zn Mn Mg Cu Fe 3+ 1 Jiang et al. (2002) yang melakukan penelitian terhadap katesin D ikan tongkol dan ikan bandeng melaporkan bahwa keberadaan ion logam Na + dan K + akan meningkatkan aktivitas katepsin D, ion logam Mg 2+, Sr 2+, Fe 2+ dan Hg 2+ menghambat aktivitas katepsin D. Sadana et al. (2003) menyebutkan bahwa logam Hg 2+, Ca 2+, Cu 2+, Li 2+, K +, Cd 2+, Ni 2+, Ba 2+, Co 2+ dan Sn 2+ dapat menghambat aktivitas enzim katepsin L yang diisolasi dari goat brain. Kerja enzim dapat dihambat oleh zat penghambat atau inhibitor. Inhibitor non-kompetitif tidak bersaing dengan substrat untuk berikatan dengan enzim. Inhibitor jenis ini akan berikatan dengan enzim pada sisi yang berbeda (bukan sisi aktif). Jika telah terjadi ikatan enzim-inhibitor, sisi aktif enzim akan berubah sehingga substrat tidak dapat berikatan dengan enzim. Banyak ion logam bekerja sebagai inhibitor non-kompetitif (Firmansyah et al. 2007). Beberapa enzim dan inhibitor memerlukan ion-ion tertentu untuk menjaga

59 34 kestabilan aktivitasnya, ion-ion tersebut dapat bertindak sebagai inhibitor pada kosentrasi tertentu, tetapi dapat juga menjadi aktivator pada kosentrasi berbeda. Ion logam dapat membentuk suatu komplek dengan substrat dan sisi aktif enzim sehingga menggabungkan keduanya dan bentuknya menjadi aktif. Ion logam juga berfungsi sebagai senyawa penarik kuat elektron pada tahap tertentu dalam siklus katalitik (Lehninger 1993). 4.3 Presipitasi Ekstrak kasar yang diperoleh selanjutnya dipresipitasi menggunakan ammonium sulfat. Metode presipitasi dibagi menjadi 2 grup utama, yakni (1) metode kelarutan protein dikurangi dan presipitasi dilakukan dengan mengubah beberapa sifat fisika-kimia solvent misalnya ph, konstanta dielektrik, kekuatan ionik, dan tersedianya air dan (2) Metode presipitasi protein yang disebabkan oleh interaksi diantara protein dan agen presipitasi (Sivasankar 2005). Tiap presipitasi protein memiliki karakteristik pada konsentrasi reagen yang berbeda, pada ammonium sulfat persen presipitasi berselang antara 20%-100%, ini dianggap cukup untuk presipitasi (Bisswanger 2004). Presipitasi dapat dilakukan dengan penambahan garam misalnya ammonium sulfat, polimer misalnya polyethylene glycol (PEG), atau larutan organik misalnya aseton atau alkohol (Scopes 1994). Pada penelitian ini ammonium sulfat dipilih sebagai agen presipitasi, ammonium sulfat dipilih karena menurut Javois (1999) presipitasi dengan ammonium sulfat dianggap cepat dan murah. Pengaruh kejenuhan ammonium sulfat terhadap aktivitas enzim pada pelet dan supernatan setelah mengalami pengendapan disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan aktivitas pelet pada beberapa tingkat konsentrasi ammonium sulfat dan mencapai aktivitas optimum pada pelet dengan konsentrasi ammonium sulfat 50%, sementara aktivitas pada supernatan menunjukkan penurunan aktivitas. Selama proses presipitasi terjadi penurunan kadar protein dalam supernatan, dan sebaliknya terjadinya peningkatan konsentrasi protein dalam pelet. Kadar protein pelet hasil pengendapan dengan ammonium sulfat disajikan pada Gambar 9.

60 35 Aktivitas enzim (U/mL) Konsentrasi amonium sulfat % pelet supernatan Gambar 8 Pengaruh kejenuhan ammonium sulfat terhadap aktivitas enzim. Kondisi ektraksi yang optimum ditunjukkan oleh aktivitas yang paling tinggi dalam endapan (pelet). Enzim yang dihasilkan dari presipitasi 50% memiliki aktivitas sebesar 0,425 U/mL dan aktivitas spesifik sebesar 0,276 mg/ml. Peningkatan aktivitas enzim pada endapan hingga penambahan ammonium sulfat 70% disebabkan berkurangnya pengotor, seperti non protein (karbohidrat), protein non enzim dan lain-lain (Suhartono 1989). Aktivitas kolagenase pada konsentrasi ammonium sulfat tingkat kejenuhan 80% menurun. Penurunan ini disebabkan karena ammonium sulfat tidak bersifat buffer dan dapat membebaskan ammonia, sehingga memungkinkan terjadinya kenaikan ph (Boyer 1993). Ammonium sulfat dipilih karena sifatnya yang mudah larut, murah dan umumnya tidak mempengaruhi struktur protein pada konsentrasi tertentu (Beynon dan Bond 2001). Akibatnya, aktivitas enzim menjadi menurun, karena aktivitasnya tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti ph. Aktivitas enzim menurun ketika ph lingkungan enzim melebihi ph optimumnya. Penelitian Toyohara et al. (1981) menyebutkan bahwa katepsin A yang berasal dari carp muscle pada hasil pengendapan sulfat didapatkan aktivitas spesifik sebesar 3,43 U/mg. Kelarutan protein (pada ph dan temperatur tertentu) akan meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi garam (salting in).

61 36 Kadar protein (mg/ml) % 20% 40% 60% 80% 100% konsentrasi ammonium sulfat Gambar 9 Kadar protein enzim katepsin ikan patin dari pelet hasil pengendapan ammonium sulfat. Liu et al. (2006) melaporkan pelet hasil presipitasi 80% kejenuhan ammonium sulfat pada enzim katepsin L daging ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) memiliki aktivitas spesifik 0,32 U/mg. Levkovitz et al. (1995) juga melaporkan pelet hasil presipitasi 70% kejenuhan ammonium sulfat katepsin D pada ikan Cyprinus carpio memiliki aktivitas spesifik 20,6 U/mg. Peningkatan kelarutan protein akan meningkatkan kekuatan ion. Penambahan garam dengan konsentrasi tertentu kelarutan protein menurun (salting out). Molekul air yang berikatan dengan ion-ion garam semakin banyak yang menyebabkan penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan protein sehingga mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi, kemudian mengendap (Harris 1989). 4.4 Dialisis Pelet yang diperoleh dari pengendapan dengan garam ammonium sulfat (NH4)2SO4, kemudian didialisis menggunakan membran selofan berukuran 12 kda. Kegunaan utama dialisis ialah untuk pemekatan, pembuangan garam, dan pemurnian bahan-bahan misalnya protein, hormon dan enzim. Zat tertahan berisi protein dengan ukuran molekul yang lebih besar dari ukuran pori Molecular Weight Cut Off (MWCO) (Sanagi 2001). Prinsip dialisis ialah aplikasi preparasi enzim ke dalam kantong dialisis yang terbuat dari membran semi-permeabel yang memungkinkan molekul berukuran kecil untuk bermigrasi (Grogan 2009).

62 37 Pengaruh lama dialisis terhadap aktivitas spesifik dan kadar protein dari sampel dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Aktifitas enzim (U/mL) lama dialisis (jam) Gambar 10 Aktivitas enzim setelah didialisis. Kadar prtein (mg/ml) Lama dialisis (jam) Gambar 11 Kadar protein enzim setelah didialisis. Gambar 10 menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas pada pelet yang didialisis. Peningkatan terjadi sampai titik optimum tertentu. Titik optimum untuk proses dialisis ialah 4 jam. Enzim yang dihasilkan dari tahap dialisis memiliki aktivitas sebesar 1,550 U/mL dengan kadar protein sebesar 0,561 mg/ml. Gambar 11 menunjukkan bahwa kadar protein pada awal dialisis mengalami kenaikan nilai protein sampai titik optimum pada lama waktu dialisis 4 jam, kemudian mengalami penurunan nilai protein sampai akhir dialisis. Hal ini disebabkan karena protein yang berukuran lebih kecil dari 12 kda sudah terbuang selama dialisis. 4.5 Pemurnian dengan Kromatografi Penukar Ion Penelitian ini menggunakan matriks DEAE Sephadex A 50. Matriks ini termasuk dalam golongan fungsional diethylaminoethyl, terbuat dari dekstran, sejenis polisakarida. Dekstran termasuk dalam golongan penukar ion yang lemah.

63 38 Kode A-50 adalah penukar ion jenis anionik dengan kapasitas 50, artinya jumlah 50 muatan dan potensi muatannya per unit berat atau miliequivalen grup ion per miligram berat kering matrik (Boyer 1993). Hasil kromatografi pertukaran ion disajikan pada Gambar 12. Unit aktivitas (U/ml) Gambar 12 Kadar protein ( ) dan nilai aktivitas enzim katepsin ( ) hasil pemurnian menggunakan kromatografi penukar ion. Gambar 12 menunjukkan bahwa aktivitas enzim katepsin yang paling tinggi terdapat pada fraksi 18 dengan nilai aktivitas 0,762 U/mL dan fraksi 42 dengan nilai aktivitas 0,925 U/mL. Sedangkan untuk nilai absorbansi protein terbaik diperoleh pada fraksi 7 dan 18 dengan nilai abosrbansi 0,094. Fraksi tersebut merupakan ekstrak murni enzim katepsin yang selanjutnya ditentukan bobot molekulnya dengan SDS-PAGE. Berdasarkan hasil pemurnian dengan menggunakan kromatografi penukar ion didapatkan aktivitas spesifik pada fraksi ke 18 sebesar 54,007 U/mg dengan kelipatan pemurnian 59,062 kali. No fraksi Penelitian yang dilakukan Visessanguan et al. (2003) pada daging ikan Atheresthes stomias dengan teknik kromatografi penukar ion berhasil mendapatkan enzim katepsin L dengan kelipatan pemurnian sampai 13,4 kali. Aranishi et al. (1997) berhasil mendapatkan enzim katepsin L yang diisolasi dari hepatopankreas ikan carp dengan kelipatan pemurnian sebesar 240 kali Absorbansi 280 nm

64 Penentuan berat molekul dengan SDS-PAGE Penentuan bobot molekul dilakukan menggunakan SDS-PAGE. Hasil analisis menggunakan SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 13, dan hasil Zimogram dapat dilihat pada Gambar 14. Hasil penentuan bobot molekul dapat dilihat pada Gambar 13, fraksi no 18 menghasilkan satu band dengan berat molekul 43,18 kda. Hasil ini menunjukkan isolasi dan purifikasi yang dilakukan sudah optimal, sehingga sudah didapatkan enzim katepsin yang murni. Balti et al. (2010) melakukan pemurnian terhadap katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong (Sepia officinalis) terestimasi memiliki bobot molekul 37,5 kda. Katepsin D yang berasal dari daging ikan ostrich memiliki bobot molekul 29,1 kda (Krause et al. 2010). Penelitian lain yang dilakukan oleh Jiang et al. (2002) terhadap katepsin D ikan tongkol dan ikan bandeng, menyatakan bahwa katepsin D pada ikan tongkol terestimasi sebesar 51 kda dan pada ikan bandeng sebesar 54 kda. Katepsin B memiliki tiga bentuk yang berbeda, yaitu prokatepsin, intermediet dan bentuk aktif. Aoki et al. (2002) menyatakan prokatepsin yang diisolasi dari ikan mackarel memiliki bobot molekul 60 kda, bentuk intemediet memiliki bobot molekul kda dan bentuk aktifnya mempunyai bobot molekul 23 kda. 97 kda 66 kda 45 kda 43,18 kda 30 kda 20,1 kda 14,4 kda M Gambar 13 Hasil elektroforesis, (M) marker, (1) ekstrak kasar katepsin, (2) presipitasi (3) dialisis, (4) fraksi 15, (5) (6) fraksi 18, (7) fraksi 42, (8) fraksi no 55.

65 40 97 kda 66 kda 45 kda 49,93 kda 30 kda 20,1 kda 14,4 kda M Gambar 14 Zimogram pemurnian enzim katepsin. Data pemurnian enzim yang diperoleh dari elektroforesis tidak selalu menunjukkan daya katalitik enzim sebenarnya karena adanya kontaminan, isoenzim, atau enzim lain dari kelas yang sama. Kekurangan ini dapat diatasi dengan meneliti aktivitas enzim sesudah elektroforesis gel. Zimogram merupakan cara menganalisis aktivitas katalitik yang sederhana, sensitif, dapat dikuantisasi dan fungsional (Leber dan Balkwil 1997). Berdasarkan hasil zimogram dapat dilihat terdapat satu band dengan berat 49,93 kda. Nilai berat molekul ini tidak berbeda jauh dengan yang dihasilkan pada proses SDS-PAGE.

66 41 5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Ekstrak kasar diperoleh dari daging ikan patin yang sudah memasuki tahap post-rigor. Ekstrak kasar yang dihasilkan memiliki aktivitas sebesar 0,278 U/mL dengan aktivitas spesifik 0,9073 U/mg. Enzim katepsin tersebut mempunyai suhu dan ph optimum 50 C dan 6, konsentrasi substrat sebesar 2%, sementara keberadaan ion logam Ca 2+, Mn 2+, Cu 2+ dan Fe 3+ menghambat aktivitas enzim. Ion logam Fe 3+ memberikan nilai hambatan tertinggi terhadap aktivitas enzim katepsin, sedangkan Mg 2+ menaikkan aktivitas enzim katepsin dari ikan patin. Pemurnian enzim katepsin dilakukan dengan menggunakan metode presipitasi ammonium sulfat 50%, kemudian didialisis menggunakan kantong dialisis cut off 12 kda selama 4 jam. Pemurnian enzim katepsin mengunakan kromatografi penukar ion DEAE sephadex A-50. Fraksi ke 18 menghasilkan aktivitas sebesar 0,762 U/mL dan aktivitas spesifiknya 54,077 mg/ml dan mempunyai tingkat kelipatan pemurnian sebesar 59,602 kali. Berat molekul enzim katepsin murni hasil SDS-PAGE 43,18 kda dan berat molekul enzim yang diduga mempunyai aktivitas proteolitik pada analisis Zimogram adalah 49,93 kda. 5.2 Saran Perlu dilakukan karakterisasi dari enzim murni yang dihasilkan, perhitungan kestabilan aktivitas enzim dan penentuan tipe enzim katepsin yang sudah didapatkan dari penelitian.

67 42 DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman D Biologi Kelompok Pertanian. Jakarta: Grafindo Media Pratama. Affandi R, Tang UM Fisiologi Hewan Air. Pekan Baru : Unri Press Afrianto E, Liviawaty E Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius. Almeida PC, Nantes IL, Chagas JR, Rizzi CCA, Alario AF, Carmona E, Juliano L, Nader HB, Tersarior ILS Cathepsin B activity regulation. J Bio Chem. 276 (2) : Aoki T, Yokono M, Ueno R A cathepsin B-like enzymefrom mackerel muscle is a precursor of cathepsin B. J Comp Biochem Physio. 133B: APB [Amersham Pharmacia Biotech] Affinity Chromatography: Principle and methods. Tokyo : Amersham Pharmacia Biotech AB. Aranishi F, Ogata H, Hara K, Osatomi K, Ishihara T Purification and Characterization of Cathepsin L from Hepatopancreas of Carp Cyprinus carpio. J Comp. Biochem. Physiol. 118B(3): Autran JC Electrophoresis di dalamlindex G (ed) Analytical Techniques for Foods and Agricultural Products. VCH Pub Inc, New York. Balti F, Noomen H, Kemel J, Naima NA, Guillochon D, and Moncef N Cathepsin D from hepatopancreas of the cuttlefish (Sepia officinalis): purification and characterization. J Agric Food Chem. 19: Beynon RJ, Bond JS Proteolisis Enzymes: a Practical Approach. New York: Oxford University Press. Bisswanger H Practical Enzymology. Germany: Wiley-VCH. Bollag DM, Edelstein SJ Protein Method. Willey-Liss Inc, New York. Boyer RF Modern Experimental Biochemistry. Edisi kedua. Redwoodcity. California: The Benjamin/Cummings Publishing Co. Inc. Bradford MM A rapid and sensitive method for quantification of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein dye binding. J Anal Biochem. 72: Brooker, C. (2001).Kamus saku keperawatan. (edisi 31). Jakarta. EGC Campbell N Biologi. Rahayu, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology. Chaplin MF, Bucke C Enzyme Technology. Cambridge Univ. Pr., NewYork. Choi, Kang, and Lanier Surimi and Surimi Seafood. USA: CRC Press.

68 43 Clucas IJ, Ward AR Post-Harvest Fisheries Development: A Guide to Handling, Preservation, Processing and Quality. Chanatam Maritime, UK: Natural Resources Institute. Coligan JE, Dunn BM, Speicher DW, Wingfield PT, editor Current Protocols in Protein Science. Washington: John Wiley & Sons, Inc. Copeland, R.A Methods for Protein Analysis: A Practical Guide Laboratory Protocol. 3rd ed. Chapman and Hall. New York, London. Cunningham E, McCarthy E, Copley L, Jackson D, Johnson D, Dalton JP, Mulcahy G Characterisation of cathepsin B-like cysteine protease of Lepeophtheirus salmonis. J Aquac. 310: Dinu D, Dumitru IF, Nechifor MT Isolation and Characterization of Two Chatepsin from Muscle of Carassius auratus gibelio. J Roum Biotecnol Lett. 7(3) : Direktorat jendral Perikanan Budidaya Peta Sentra Produksi Perikanan Budidaya Tahun Djarijah Budidaya Ikan Patin. Penerbit Kanasius. Jakarta. Dunn MJ Electrophorethic analysis methods. Di dalam ELV. Harris ELV. Angal S, editor. Protein Purification Methods. A Practical Approach. Oxford: IRL Press. Hlm Firmansyah R, Agus M, dan Umar R Mudah dan Aktif Belajar Biologi. Bandung: Setia Purna Inves. Garfin DE, One-Dimensional Gel Electrophoresis di dalamdeutscher MP (ed) Guide to Protein Purification. Academic Press Inc, London. Grogan G Practical Biotransformation. Postgraduates Chemistry Series. Chichester: John Willey & Sons Ltd. Haard NF Protein hydrolysis in seafood. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. Haard NF dan Simpson BK Seafood Enzymes. New York : Marcel Dekker, Inc. Harris ELV Purification strategy. Di dalam: Harris ELV & Angal S, editor. Protein Purification Methods: A Practical Approach. New York: IRL Press. Hernowo Pembenihan Patin. Swadaya. Jakarta. Javois JC Immunocytochemical Method and Protocols. New Jersey: Humana Press Inc. Jiang ST Enzymes and their effect on seafood texture. Haard NF dan Simpson BK, editor. Di dalam Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc.

69 44 Jiang ST, Her YH, Lee JJ, and Jeng HW Comparison of the cathepsin D from mackerel (Scomber australasicus) and milkfish (Chanos chanos) muscle. J Bioscience Biotech Biochem. 57(4): [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan Statistik Kelautan Perikanan Jakarta. Khairuman, Suhendra Budidaya Patin Secara Intensif. Jakarta: Agro Media Pustaka. Kleiner DE, Stetler-Stevenson WG Quantitative zymography: detection of picogram quantities of gelatinases. J Anal Biochem. 218: Krause J, Shonisani C. Tshidino, Tomohisa O, Yasuharu, Vaughan, Benesh S, Muramoto K, and Ryno JN Purification and partial characterization of ostrich skeletal muscle cathepsin D and its activity during meat maturation. J Meat Scie. 87(3): Ladrat DC, Cheret R, Taylor R, Bagnis VV Trends in postmortem aging in fish: understanding of proteolysis and disorganization of the myofibrillar structure. Crit Rev Food Sci Nutrit. 46 (5) : Lawrie RA Meat Science. 4th Edition. Lowa : MC Brown Comp. Publisher. Leber TM, Balkwil FR Zymogram: A Single-step Staining Method for Quantitative of Proteolytic Activity on Subtrat Gel. J Anal Biochem. 249: Lehninger AL Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta : Erlangga. Terjemah dari : The Foundation of Biochemistry. Levkovitz SG, Rimon A, Rimon S Purification properties and specificity of cathepsin D from Cyprinus carpio. J Comp Biochem Physiol. 112b(1): Liu H, Yin L, Zhang N, Li S, Ma C Purification and characterization of cathepsin L from the muscle of silver carp (Hypophthalmichthys molitrix). J Agric Food Chem. 54: Liu H, Yin L, Zhang N, Li S, Ma C Isolation of cathepsin B from the muscle of silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) and comparison of cathepsins B and L actions on surimi gel softening. J Food Chem. 110: Nielsen S.S Food Analysis. 3rd Edition. Plenum Publisher, New York. Nielsen LB, Nielsen HH Purification and characterization of cathepsin D from herring muscle (Clupea harengus). J Comp Biochem Physio. 128(b): Nurhayati T, Salamah E, Dynnar N Purifikasi parsial dan karakterisasi enzim katepsin dari ikan bandeng (Chanos chanos Forskall). Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan. 15(2). Park JW Surimi and Surimi Seafood. Second edition. CRC Press.

70 45 Paech C, Christianson T, Maurer KH Zymogram of protease made with developed film from nondenaturing polyacrylamide gels after electrophoresis. J Anal Biochem. 208: Polgar L Mechanism of Protease Action. Florida: CRC Press. Pomeranz Y dan Meloan CL Food Analysis: Theory and Practice 3rd ed. Chapman and Hall ITP an International Thompson Publ. Co., New York. Rosenberg IM Protein analysis and Purification : Benchtop technique. Boston: Birkhauser. Rusyadi S Purifikasi dan karakterisasi inhibitor katepsin dari ikan bandeng (Chanos chanos forskal) dan ikan patin (pangasius sp.) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saanin H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta. Sadana R, Mittal A, Khurana S, Singh H, Kamboj R.C Purification ang characterization of the chatepsin L-like Proteinase from goat brain. Indian J Biochem Biophys. 40: Sanagi MS Teknik Pemisahan dalam Analisis Kimia. Melaka: Percetakan Surya. Scopes, RK Protein Purification. Principles and Practice Third Edition. New York. Heidelberg Berlin: Springer-Verlag. Shahidi F dan Botta JR Seafood : Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. Siswanto HP dan Soedarto Respon kualitas bandeng (Chanos chanos) asap terhadap lama pengeringan. Berkala Ilmiah Perikanan 3 (1). Sivasankar A Biotechnology and Fermentation Process. Mumbai: Rachana Enterprises. Smith BJ SDS Polyacrilamide Gel Electrophoresis of Protein. Di dalam: Walker JM, editor. Proteins Methods in Molecular Biology. Volume ke-1. Clifton: Humana Pr. hlm Stoker HS General, Organic, and Biological Chemistry. USA: Cengage Learning. Suhartono MT Enzim dan Bioteknologi. Bogor : Pusat Antar Universitas. Suhartono MT, Suwanto A, Widjaja H Diktat Stuktur dan Biokimiawi Protein. PAU IPB, Bogor. Susanto H, Amri K Budidaya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya. Thammapat, P., Raviyan, P. and Siriamorpon, S Proximate and fatty acids composition of muscles and viscera of asian catfish (Pangasius bocourti). J Food Chem. 122(1): Toldra F Handbook of Meat Processing. Iowa: Blackwell Publishing. Toyohara H, Makinodan Y, and Ikeda S Purification and properties of carp muscle cathepsin A. Bull Jpn Soc Sci Fish. 48(8):

71 46 Ustadi, Kim KY, Kim SM Purification and Identification of a Protease Inhibitor from Glassfish (Liparis tanakai) Eggs. J Agric Food Chem. 53: Visessanguan W, Benjakul S, An H Purification and Characterization of Cathepsin L in Arrowtooth Flounder (Atheresthes stomias) Muscle. J Comp Biochem Physio. 134(B): Webb EC, Dixon M Enzymes. Academic Press, New York. Whitaker JR Principles of Enzymology for The Food Science. Second Edition. New York: Marcel Dekker, Inc.

72 LAMPIRAN 47

73 48 Lampiran 1 Pembuatan larutan 1. Bufer Tris HCl 0,1 M ph 7,4 (Mulyono 2008) Sebanyak 50 ml tris-(hidroksimetil)aminometana 0,1 M dicampurkan dengan42 ml HCl 0,1 M dan 7 ml akuades. Sebelumnya dibuat terlebih dahulu larutan tris-(hidroksimetil) aminometana dengan konsentrasi 0,1 M dengan cara menimbang 6,057 gram C 4H 11O 3N, kemudian dimasukkan ke labu takar 500 ml lalu tuangi akuades sebanyak ¼ labu dan homogenkan. Setelah homogen, tambah lagi akuades hingga tanda batas. 2. Tirosin standar Tirosin sebanyak 22,65 mg dilarutkan dalam 25 ml akuades, kemudian divorteks. Larutan ini disimpan pada suhu 0 C 4 C. 3. TCA 5% Sebanyak 15 gram TCA dilarutkan dalam akuades hingga volume akhirnya 300 ml. Penimbanngan TCA ini harus dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan sarung tangan. 4. Hemoglobin 2% ph 2 Sebanyak 0,2 gram hemoglobin dilarutkan dalam akuades hingga volumenya 10 ml. Setelah itu diukur ph-nya, setelah ph-nya terukur hemoglobin ini dibuat ph nya menjadi 2 dengan penambahan HCl 1 N sedikit demi sedikit. Larutan ini harus selalu dibuat dalam keadaan segar. 5. Folin Sebanyak 1 bagian folin ciocalteu dilarutkan dengan 2 bagian air. 6. Stok Bovine Serume Albumine (BSA) 2 mg/ml Sebanyak 300 mg BSA dilarutkan dalam akuades hingga volumenya 150 ml.

74 49 Lampiran 2 Kurva standar penentuan konsentrasi protein menurut metode Bradford (1976) KonsentrasiBSA (mg/ml) Volume BSA (ml) Volume akuades (ml) Absorbansi y = x R² = Konsentrasi BSA (mg/ml)

75 50 Lampiran 3 Kurva standar marker elektroforesis LMW ( ) BM Log BM Jarak migrasi cm Band cm Phosphorylase b Albumin Ovalbumin Carbonic anhydrase Trypsin inhibitor α-lactalbumin Rf Log BM y = x R² = Rf

76 51 Lampiran 4 Komposisi gel dan pereaksi untuk elektroforesis 1. Larutan A (30% w/v akrilamid; 0,8% w/v bis akrilamid) Sebanyak 14,6 gram akrilamid dan 0,4 gram bis akrilamid dilarutkan dalam50 ml, kemudian diaduk dengan pengaduk magnetik hingga larut homogen 2. Larutan B (bufer gel pemisah, Tris-HCl 2M, ph 8,8 Sebanyak 75 ml larutan TrisCl ph 8,8 dan 4 ml larutan SDS 10% (w/v) ditambahkan dengan akuades hingga volume total 100 ml 3. Larutan C (bufer gel penahan, TrisCl 1 M ph 6,8) Sebanyak 50 ml larutan TrisCl ph 6,8 dan 4 ml larutan SDS 10% (w/v) ditambahkan dengan akuades hingga volume total 100 ml 4. Ammonium persulfat 10 % (w/v) Sebanyak 0,1 gram ammonium persulfat dilarutkan dalam 1 ml akuades 5. Bufer elektroforesis Sebanyak 1,803 gr Trisbase ; 8,648 gr glisin dan 0,6 gr SDS dilarutkan dalam 600 ml akuades; lalu ditera hingga ph 8,3 dengan HCl. 6. Bufer sample SDS PAGE : 0,3 ml TrisCl 1 mm ph 6,8; 2,5 ml gliserol 50 % (v/v); 1,0 mlsds 10 % (w/v); 0,25 ml 2-merchaptoethanol; 0,5 ml bromfenol biru 1% (w/v) dan 0,4 ml akuades.

77 52 Lampiran 5 Tabel konversi dari g (gravity) ke rpm (rotary per minute) Konversi dari g ke rpm berdasarkan rumus: Dimana: g = gravity atau gaya sentrifugal relatif (RCF = Relative Centrifugal Force) R = jari-jari rotor (cm) S = kecepatan putaran dalam rpm (revolutions per minute) Sumber: Pierce Biotechnology, Inc Technical Resource Convert Between Times Gravity ( G) And Centrifuge Rotor Speed (Rpm). Rockford USA: Pierce Biotechnology, Inc.

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Morfologi ikan patin (Susanto dan Heru 1999).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Morfologi ikan patin (Susanto dan Heru 1999). 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius sp.) Ikan patin (Pangasius sp.) mempunyai ciri-ciri morfologi berbadan panjang, berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan.

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Januari 2009 dan selesai pada bulan November 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Bioteknologi II, Departemen

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4 LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4 Disusun oleh : Ulan Darulan - 10511046 Kelompok 1 Asisten Praktikum : R. Roro Rika Damayanti (10510065)

Lebih terperinci

PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI INHIBITOR KATEPSIN DARI IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal) DAN IKAN PATIN (Pangasius sp.

PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI INHIBITOR KATEPSIN DARI IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal) DAN IKAN PATIN (Pangasius sp. PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI INHIBITOR KATEPSIN DARI IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal) DAN IKAN PATIN (Pangasius sp.) SEFRI RUSYADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 2 PERNYATAAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolat Actinomycetes Amilolitik Terpilih 1. Isolat Actinomycetes Terpilih Peremajaan isolat actinomycetes dilakukan dengan tujuan sebagai pemeliharaan isolat actinomycetes agar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi Enzim α-amilase Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan menanam isolat bakteri dalam media inokulum selama 24 jam. Media inokulum tersebut

Lebih terperinci

I. Tujuan Menentukan berat molekul protein dengan fraksinasi (NH 4 ) 2 SO 4 Teori Dasar

I. Tujuan Menentukan berat molekul protein dengan fraksinasi (NH 4 ) 2 SO 4 Teori Dasar I. Tujuan II. Menentukan berat molekul protein dengan fraksinasi (NH 4 ) 2 SO 4 Teori Dasar Penamabahan garam pada konsentrasi rendah dapat meningkatkan kelarutan protein (salting in). tetapi protein akan

Lebih terperinci

3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3. METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2009 sampai Bulan September 2009 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perikanan, Laboratorium Bioteknologi 2 Hasil

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 Mei 2012. Bahan Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan 27 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Isolasi Enzim katalase dari kentang Enzim katalase terdapat dalam peroksisom, organel yang ditemukan pada jaringan tumbuhan di luar inti sel kentang sehingga untuk mengekstraknya

Lebih terperinci

Pengujian Inhibisi RNA Helikase Virus Hepatitis C (Utama et al. 2000) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekspresi dan Purifikasi RNA

Pengujian Inhibisi RNA Helikase Virus Hepatitis C (Utama et al. 2000) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekspresi dan Purifikasi RNA 8 kromatografi kemudian diuji aktivitas inhibisinya dengan metode kolorimetri ATPase assay. Beberapa fraksi yang memiliki aktivitas inhibisi yang tinggi digunakan untuk tahapan selanjutnya (Lampiran 3).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman terutama hasil pertanian dan rempah-rempah. Hal ini didukung oleh

BAB I PENDAHULUAN. tanaman terutama hasil pertanian dan rempah-rempah. Hal ini didukung oleh BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman tanaman terutama hasil pertanian dan rempah-rempah. Hal ini didukung oleh keadaan geografis

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokiomia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan,

Lebih terperinci

Dari uji kompetisi, persentase penghambatan dengan rasio inokulum 1:1 sudah cukup bagi Bacillus sp. Lts 40 untuk menghambat pertumbuhan V.

Dari uji kompetisi, persentase penghambatan dengan rasio inokulum 1:1 sudah cukup bagi Bacillus sp. Lts 40 untuk menghambat pertumbuhan V. 27 PEMBAHASAN Dari tiga isolat sp. penghasil antimikrob yang diseleksi, isolat sp. Lts 40 memiliki aktivitas penghambatan paling besar terhadap E. coli dan V. harveyi dengan indeks penghambatan masing-masing

Lebih terperinci

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI INHIBITOR ENZIM KATEPSIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp.)

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI INHIBITOR ENZIM KATEPSIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp.) a EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI INHIBITOR ENZIM KATEPSIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp.) SAEFUL BAHRI DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Akar Nanas Kering dan Hidroponik Akar nanas kering yang digunakan dalam penelitian ini merupakan akar nanas yang tertanam dalam tanah, berwarna coklat dan berupa suatu

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase adalah enzim menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik pada pati. α-amilase disekresikan oleh mikroorganisme, tanaman, dan organisme tingkat tinggi. α-amilase memiliki peranan

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. 1 I. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium Biokimia, Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM MIKROBIAL

TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM MIKROBIAL TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM MIKROBIAL Ani Suryani FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENDAHULUAN Sumber Enzim Tanaman dan Hewan Mikroba Enzim dari Tanaman Enzim dari Hewan Enzim dari Mikroba

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2006 sampai dengan Januari 2008. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) merupakan salah satu jenis ikan demersal yang mudah didapatkan di pasar Semarang. Ikan demersal adalah ikan yang hidup di dasar

Lebih terperinci

Analisis kadar protein

Analisis kadar protein LAMPIRAN Lampiran 1 Bagan alir penelitian Biawak air bagian duodenum, jejenum, ileum, kolon Cuci dengan akuades dan kerok lapisan atasnya (mukosa Ekstraksi enzim protease Analisis kadar protein Pencirian

Lebih terperinci

KROMATOGRAFI PENUKAR ION Ion-exchange chromatography

KROMATOGRAFI PENUKAR ION Ion-exchange chromatography KROMATOGRAFI PENUKAR ION Ion-exchange chromatography Merupakan pemisahan senyawa senyawa polar dan ion berdasarkan muatan Dapat digunakan untk hampir semua molekul bermuatan termasuk proteins, nucleotides

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Abomasum dan Rennet Ekstrak Kasar Hasil penimbangan menunjukkan berat abomasum, fundus, serta mukosa fundus dari kedua sampel bervariasi (Tabel 1). Salah satu faktor yang berpengaruh

Lebih terperinci

Asam Amino dan Protein

Asam Amino dan Protein Modul 1 Asam Amino dan Protein Dra. Susi Sulistiana, M.Si. M PENDAHULUAN odul 1 ini membahas 2 unit kegiatan praktikum, yaitu pemisahan asam amino dengan elektroforesis kertas dan uji kualitatif Buret

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tumbuhan saat ini telah menjadi sumber karbon terbarukan dan sumber energi baru yang ada di bumi. Setiap tahunnya tumbuhan dapat memproduksi sekitar 4 x

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Bekerja dengan uruturutan yang teratur, enzim mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang menguraikan molekul nutrien,

Lebih terperinci

PEMURNIAN DAN KARAKTERISASI ENZIM KATEPSIN DARI IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) NICO DYNNAR

PEMURNIAN DAN KARAKTERISASI ENZIM KATEPSIN DARI IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) NICO DYNNAR PEMURNIAN DAN KARAKTERISASI ENZIM KATEPSIN DARI IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) NICO DYNNAR DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE. Skripsi

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE. Skripsi PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG UDANG SEBAGAI MATRIKS PENYANGGA PADA IMOBILISASI ENZIM PROTEASE Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Danau Kakaban menyimpan berbagai organisme yang langka dan unik. Danau ini terbentuk dari air laut yang terperangkap oleh terumbu karang di sekelilingnya akibat adanya aktivitas

Lebih terperinci

Analisa Protein. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

Analisa Protein. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Analisa Protein Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Tujuan Pembelajaran Mahasiswa mampu memahami prinsip dasar berbagai metode analisa protein Mahasiswa mampu memilih metode yang tepat untuk mengukur

Lebih terperinci

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti yang paling utama) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan A. Protein Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

merupakan komponen terbesar dari semua sel hidup. Protein dalam tubuh pembangun, dan zat pengatur dalam tubuh (Diana, 2009). Protein sangat penting

merupakan komponen terbesar dari semua sel hidup. Protein dalam tubuh pembangun, dan zat pengatur dalam tubuh (Diana, 2009). Protein sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Protein merupakan zat yang sangat penting bagi setiap organisme serta merupakan komponen terbesar dari semua sel hidup. Protein dalam tubuh berfungsi sebagai sumber

Lebih terperinci

Lampiran 1 Rancangan penelitian

Lampiran 1 Rancangan penelitian LAMPIRAN 18 19 Lampiran 1 Rancangan penelitian Cacing tanah E. foetida dewasa Kering oven vakum (Setiawan) Tepung cacing kering Ekstraksi buffer dan sentrifugasi Ekstrak kasar protease Salting-out dengan

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN.

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN. 1 AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN Rustamaji DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu penggunaan amonium

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu penggunaan amonium 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu penggunaan amonium sulfat dalam menghasilkan enzim bromelin dan aplikasinya sebagai koagulan pada produksi keju. 3.1

Lebih terperinci

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan 4 Metode Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu, pembuatan media, pengujian aktivitas urikase secara kualitatif, pertumbuhan dan pemanenan bakteri, pengukuran aktivitas urikase, pengaruh ph,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Patin Siam Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Amilase, Zea mays L., Amonium sulfat, Fraksinasi, DNS.

ABSTRAK. Kata Kunci : Amilase, Zea mays L., Amonium sulfat, Fraksinasi, DNS. i ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenaipenentuan aktivitas enzim amilase dari kecambah biji jagung lokal Seraya (Zea maysl.). Tujuan dari penelitian ini adalahuntuk mengetahui waktu optimum dari

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase merupakan enzim yang mempunyai peranan penting dalam bioteknologi saat ini. Aplikasi teknis enzim ini sangat luas, seperti pada proses likuifaksi pati pada proses produksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath, 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur uji aktivitas protease (Walter 1984, modifikasi)

Lampiran 1 Prosedur uji aktivitas protease (Walter 1984, modifikasi) 76 Lampiran Prosedur uji aktivitas protease (Walter 984, modifikasi) Pereaksi Blanko (ml) Standard (ml) Contoh ml) Penyangga TrisHCl (.2 M) ph 7. Substrat Kasein % Enzim ekstrak kasar Akuades steril Tirosin

Lebih terperinci

ldentlflkasl ENZIM EIPOKSIGENASE DARl BEBERAPW VARlETAS KACANG TANAW (Arachis hypogaea)

ldentlflkasl ENZIM EIPOKSIGENASE DARl BEBERAPW VARlETAS KACANG TANAW (Arachis hypogaea) ldentlflkasl ENZIM EIPOKSIGENASE DARl BEBERAPW VARlETAS KACANG TANAW (Arachis hypogaea) Oleh ASWATI ELIANA 1989 FAKULTAS TEKWOLOOI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi IgY Anti Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Antibodi spesifik terhadap S. Enteritidis pada serum ayam dan telur dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green House dan Laboratorium Genetika dan Molekuler jurusan Biologi Fakultas Sains dan

Lebih terperinci

EKSTRAKSI DNA. 13 Juni 2016

EKSTRAKSI DNA. 13 Juni 2016 EKSTRAKSI DNA 13 Juni 2016 Pendahuluan DNA: polimer untai ganda yg tersusun dari deoksiribonukleotida (dari basa purin atau pirimidin, gula pentosa,dan fosfat). Basa purin: A,G Basa pirimidin: C,T DNA

Lebih terperinci

Analisis Bobot Molekul Protein Inhibitor RNA Helikase HCV (Hairany 2010 termodifikasi) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi RNA Helikase HCV

Analisis Bobot Molekul Protein Inhibitor RNA Helikase HCV (Hairany 2010 termodifikasi) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi RNA Helikase HCV 7 diinkubasi pada suhu 37ºC selama 30 menit. Absorbansi diukur menggunakan panjang gelombang 562 nm. Standar protein yang digunakan adalah albumin serum sapi (Bovine Serum Albumin (BSA)) pada kisaran 0.05

Lebih terperinci

ANALISIS PROTEIN. Free Powerpoint Templates. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih Page 1

ANALISIS PROTEIN. Free Powerpoint Templates. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih Page 1 ANALISIS PROTEIN Page 1 PENDAHULUAN Merupakan polimer yang tersusun atas asam amino Ikatan antar asam amino adalah ikatan peptida Protein tersusun atas atom C, H, O, N, dan pada protein tertentu mengandung

Lebih terperinci

ISOLASI DAN KARAKTERISASI AMILASE DARI BIJI DURIAN (DURIO

ISOLASI DAN KARAKTERISASI AMILASE DARI BIJI DURIAN (DURIO ISOLASI DAN KARAKTERISASI AMILASE DARI BIJI DURIAN (DURIO SP.) LELA SRIWAHYUNI, TINA DEWI ROSAHDI,* DAN ASEP SUPRIADIN. Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jl.

Lebih terperinci

BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA. yang teratur, mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang menyimpan dan

BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA. yang teratur, mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang menyimpan dan BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Enzim Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel, bekerja dengan urutanurutan yang teratur, mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang menyimpan dan mentransformasikan

Lebih terperinci

Fraksinasi merupakan langkah awal untuk melakukan proses purifikasi. Prinsip fraksinasi menggunakan liquid IEF BioRad Rotofor yakni memisahkan enzim

Fraksinasi merupakan langkah awal untuk melakukan proses purifikasi. Prinsip fraksinasi menggunakan liquid IEF BioRad Rotofor yakni memisahkan enzim PEMBAHASAN Abomasum merupakan bagian dari lambung ruminansia yang memiliki kemampuan metabolisme enzimatis. Abomasum dijadikan sebagai bahan baku utama penghasil rennet karena didasarkan pada sel-sel penghasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan mempunyai fungsi penting sebagai katalisator reaksi biokimia

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan mempunyai fungsi penting sebagai katalisator reaksi biokimia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Enzim Enzim adalah golongan protein yang paling banyak terdapat dalam sel hidup, dan mempunyai fungsi penting sebagai katalisator reaksi biokimia (Wirahadikusumah, 1977) yang terjadi

Lebih terperinci

PROTEIN. Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan

PROTEIN. Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan PROTEIN Yosfi Rahmi Ilmu Bahan Makanan 2-2015 Contents Definition Struktur Protein Asam amino Ikatan Peptida Klasifikasi protein Sifat fisikokimia Denaturasi protein Definition Protein adalah sumber asam-asam

Lebih terperinci

RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA

RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA OPTIMASI PEMISAHAN DAN UJI AKTIVITAS PROTEIN ANTIBAKTERI DARI CAIRAN SELOM CACING TANAH Perionyx excavatus. Oleh : Yumaihana MSi Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak,

Lebih terperinci

POTENSI INHIBITOR KATEPSIN DARI DUA SPESIES DAN SATU HIBRID KULIT IKAN PATIN DALAM MENGHAMBAT AKTIVITAS KATEPSIN IKAN PATIN SIAM

POTENSI INHIBITOR KATEPSIN DARI DUA SPESIES DAN SATU HIBRID KULIT IKAN PATIN DALAM MENGHAMBAT AKTIVITAS KATEPSIN IKAN PATIN SIAM POTENSI INHIBITOR KATEPSIN DARI DUA SPESIES DAN SATU HIBRID KULIT IKAN PATIN DALAM MENGHAMBAT AKTIVITAS KATEPSIN IKAN PATIN SIAM Potency of Cathepsin Inhibitor from Two Species and One Hybrid of Catfish

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan inroduksi yang telah lebih dulu dikenal masyarakat indonesia. Budidaya

Lebih terperinci

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. PROTEIN Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringanjaringan

Lebih terperinci

III. METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - April 2015 di Laboratorium

III. METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - April 2015 di Laboratorium 28 III. METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - April 2015 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

ISOLASI DNA BUAH I. TUJUAN. Tujuan dari praktikum ini adalah:

ISOLASI DNA BUAH I. TUJUAN. Tujuan dari praktikum ini adalah: ISOLASI DNA BUAH I. TUJUAN Tujuan dari praktikum ini adalah: Mengetahui cara/metode yang benar untuk memisahkan (mengisolasi) DNA dari buah-buahan berdaging lunak. Mengetahui pengaruh kandungan air yang

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 17 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian Produksi dan Karakterisasi Enzim Transglutaminase dari Streptoverticillium ladakanum dengan Media yang Disubstitusi Limbah Cair Surimi dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Bacillus subtilis dan Bacillus cereus yang diperoleh di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Bacillus subtilis dan Bacillus cereus yang diperoleh di Laboratorium 23 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus subtilis dan Bacillus cereus yang diperoleh di Laboratorium

Lebih terperinci

Ion Exchange Chromatography Type of Chromatography. Annisa Fillaeli

Ion Exchange Chromatography Type of Chromatography. Annisa Fillaeli Ion Exchange Chromatography Type of Chromatography Annisa Fillaeli TUJUAN Setelah pembelajaran ini selesai maka siswa dapat melakukan analisis kimia menggunakan resin penukar ion. Title R+OH- + X- ===

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari air dan sirip digunakan untuk berenang (Adrim, 2010). Tubuh ikan diselimuti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari air dan sirip digunakan untuk berenang (Adrim, 2010). Tubuh ikan diselimuti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Ikan Pengertian ikan Ikan merupakan hewan bertulang belakang (vertebrata) yang hidup dalam air dan memiliki insang yang berfungsi untuk mengambil oksigen yang terlarut

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) Ikan bandeng atau milkfish termasuk ikan yang sudah lama dikenal di Indonesia. Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Protease dari Penicillium sp.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Protease dari Penicillium sp. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Protease dari Penicillium sp. Enzim merupakan suatu protein yang memiliki aktivitas biokimia sebagai katalis suatu reaksi. Enzim sangat

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE

LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE Nama (NIM) : Debby Mirani Lubis (137008010) dan Melviana (137008011)

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Bahan Bahan penelitian

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Bahan Bahan penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Bahan 3.1.1 Bahan penelitian Cacing tanah P. excavatus diperoleh dari peternakan cacing milik Ir. Bambang Sudiarto. Substrat koagulan darah diambil dari darah milik S. Krisnawati

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

3 Metodologi Percobaan

3 Metodologi Percobaan 3 Metodologi Percobaan 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian tugas akhir ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Program Studi Kimia, FMIPA Institut Teknologi Bandung. Waktu penelitian

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK NAMA NIM KEL.PRAKTIKUM/KELAS JUDUL ASISTEN DOSEN PEMBIMBING : : : : : : HASTI RIZKY WAHYUNI 08121006019 VII / A (GANJIL) UJI PROTEIN DINDA FARRAH DIBA 1. Dr. rer.nat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian aktivitas enzim (Grossowicz et al., 1950) (a). Reagen A 1. 0,2 M bufer Tris-HCl ph 6,0 12,1 gr

Lampiran 1. Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian aktivitas enzim (Grossowicz et al., 1950) (a). Reagen A 1. 0,2 M bufer Tris-HCl ph 6,0 12,1 gr 46 47 Lampiran 1. Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian aktivitas enzim (Grossowicz et al., 1950) (a). Reagen A 1. 0,2 M bufer Tris-HCl ph 6,0 12,1 gr Tris base dilarutkan dalam 200 ml akuades, kemudian

Lebih terperinci

LAPORAN BIOKIMIA KI 3161 Percobaan 1 REAKSI UJI TERHADAP ASAM AMINO DAN PROTEIN

LAPORAN BIOKIMIA KI 3161 Percobaan 1 REAKSI UJI TERHADAP ASAM AMINO DAN PROTEIN LAPORAN BIOKIMIA KI 3161 Percobaan 1 REAKSI UJI TERHADAP ASAM AMINO DAN PROTEIN Nama : Ade Tria NIM : 10511094 Kelompok : 4 Shift : Selasa Siang Nama Asisten : Nelson Gaspersz (20512021) Tanggal Percobaan

Lebih terperinci

III. METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-April 2015 di Laboratorium

III. METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-April 2015 di Laboratorium 23 III. METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-April 2015 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng ( Chanos chanos Forskal)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng ( Chanos chanos Forskal) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang potensial dikembangkan. Jenis ikan ini mampu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Ikan Karakterisasi minyak ikan dilakukan untuk mengetahui karakter awal minyak ikan yang digunakan dalam penelitian ini. Karakter minyak ikan yang diukur

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam penelitian tugas akhir ini dibuat membran bioreaktor ekstrak kasar enzim α-amilase untuk penguraian pati menjadi oligosakarida sekaligus sebagai media pemisahan hasil penguraian

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi dan Identifikasi Ikan Bandeng ( Chanos chanos, Forskal)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi dan Identifikasi Ikan Bandeng ( Chanos chanos, Forskal) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi dan Identifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) Bandeng (Chanos chanos, Forskal) merupakan hasil utama budidaya tambak. Berwarna putih keperak-perakan. Sepintas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

laporan praktikum penentuan kadar protein metode biuret

laporan praktikum penentuan kadar protein metode biuret laporan praktikum penentuan kadar protein metode biuret V.1 HASIL PENGAMATAN 1. TELUR PUYUH BJ = 0,991 mg/ml r 2 = 0,98 VOLUME BSA ( ml) y = 0,0782x + 0,0023 KONSENTRASI ( X ) 0,1 0,125 0,010 0,2 0,25

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE

III BAHAN DAN METODE III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2006 sampai Maret 2007. Penelitian bertempat di laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Institut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM Oleh : Melly Dianti C03400066 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enzim merupakan suatu protein yang berfungsi sebagai biokatalisator. Katalisator didefinisikan sebagai percepatan reaksi kimia oleh beberapa senyawa dimana senyawanya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI ABSTRAK........ KATA PENGANTAR..... UCAPAN TERIMAKASIH........ DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... i iii iv vii x xii xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari Oktober. penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Universitas Lampung.

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari Oktober. penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Universitas Lampung. 28 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari Oktober 2015 dan tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Universitas Lampung. B. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

EKSTRAKSI DAN PEMURNIAN PROTEASE DARI Bacillus pumiiius (Y1)

EKSTRAKSI DAN PEMURNIAN PROTEASE DARI Bacillus pumiiius (Y1) EKSTRAKSI DAN PEMURNIAN PROTEASE DARI Bacillus pumiiius (Y1) 1994 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Julius. F 27. 0959. Ekstraksi dan Pemurnian Protease Dari Bacillus pumillus

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur Rotofor

Lampiran 1 Prosedur Rotofor Lampiran 1 Prosedur Rotofor Kalibrasi Membran Ion Membran ion terdiri dari membran kation yang berkorelasi dengan elektrolit H 3 PO 4 0,1 N terpasang pada elektroda anoda sebagai pembawa ion positif, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. pedaging (Budiansyah, 2004 dalam Pratiwi, 2016).

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. pedaging (Budiansyah, 2004 dalam Pratiwi, 2016). I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Teknologi

Lebih terperinci

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan bandeng

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Bab ini terdiri dari 6 bagian, yaitu optimasi pembuatan membran PMMA, uji kinerja membran terhadap air, uji kedapat-ulangan pembuatan membran menggunakan uji Q Dixon, pengujian aktivitas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan September 2010 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan September 2010 di 20 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan September 2010 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia

Lebih terperinci