BAB VII DAMPAK SERANGAN JAMUR PELAPUK TERHADAP SIFAT-SIFAT KAYU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VII DAMPAK SERANGAN JAMUR PELAPUK TERHADAP SIFAT-SIFAT KAYU"

Transkripsi

1 BAB VII DAMPAK SERANGAN JAMUR PELAPUK TERHADAP SIFAT-SIFAT KAYU Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Struktur Anatomi Kayu Kayu memiliki struktur kompleks dan dapat menyimpan air yang sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme perusak kayu. Selain itu, ronggarongganya dapat memfasilitasi aktivitas dan pergerakan organisme perusak serta hifa-hifa jamur dalam kayu. Dengan demikian kayu bukan hanya menjadi bahan makanan organisme perusak, tapi juga sebagai media yang mendukung dan melindungi organisme tersebut dalam melangsungkan kehidupannya. Gambar 23 Hifa (h) jamur pelapuk G. applanatum dalam saluran interseluler (i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh (p) kayu sengon (perbesaran 450 x). Hasil pengamatan mikroskopis pada preparat slide mikrotom kayu sengon dan pinus yang digunakan dalam uji pelapukan menujukkan keberadaan hifa-hifa jamur dalam sel jari-jari, sel pembuluh kayu sengon dan dalam saluran interseluler kayu pinus (Gambar 23 dan 24). Artinya sel jari-jari, sel pembuluh dan saluran interseluler tersebut menjadi awal akses utama serangan jamur pelapuk ke dalam kayu daun lebar maupun kayu daun jarum. Dengan demikian proporsi, ukuran,

2 72 distribusi dan orientasi sel-sel dan saluran interseluler tersebut akan menentukan tingkat kolonisasi jamur dalam kayu. Gambar 24 Hifa (h) jamur pelapuk S. commune dalam saluran interseluler (i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh (p) kayu sengon (perbesaran 450 x). Jamur G. applantum dan S. commune mampu menembus ke bagian dalam jaringan kayu dengan kecepatan invasi yang berbeda. Jamur G. applanatum sendiri bergerak relatif lebih cepat dalam mengkolonisasi jaringan kayu dibandingkan dengan jamur S. commune. Hal ini terkait dengan sifat pertumbuhan jamur yang berlainan antar jenis yang berbeda. Kemampuan hidup berbagai jenis jamur pelapuk dalam keterbatasan air dan nutrisi dalam kayu juga dapat berlainan. Mekanisme serangan jamur pelapuk pada kayu diawali ketika spora dari sumber infeksi menempel pada kayu dan berkecambah membentuk hifa-hifa jamur yang kemudian bercabang-cabang membentuk miselium yang melekat pada permukaan kayu. Hifa-hifa jamur kemudian masuk melalui sel jari-jari yang merupakan jalan paling mudah bagi hifa jamur untuk mendegradasi kayu. Selain itu, jari-jari merupakan sel-sel parenkim yang mengandung zat-zat makanan bagi

3 73 jamur, sebagaimana diungkapkan Bowyer et al. (2003) bahwa gula dan pati terdapat dalam lumen sel dan parenkim jari-jari kayu. Zat-zat tersebut merupakan nutrisi yang mudah dikonsumsi oleh jamur dalam jumlah terbatas. Sel jari-jari juga merupakan jalan yang mudah dilewati oleh hifa-hifa jamur karena secara alami sel jari-jari juga berfungsi sebagai sarana transportasi. Sel jari-jari yang tersusun seperti susunan batu bata pada bangunan, berfungsi dalam sintesis, penyimpanan, transport lateral bahan biokimia dan air (Rowell 2005). Selain itu sel parenkim jari-jari berdinding tipis sehingga relatif mudah terdegradasi dan ditembus oleh hifa jamur. Dalam kayu daun lebar, sel-sel jari-jari yang menjadi sarana pergerakan jamur ini, memiliki ukuran yang lebih bervariasi dan lebih besar daripada dalam kayu daun jarum (Butterfield 2006), bahkan proporsi sel jari-jari dalam kayu daun lebar pada umumnya 30% lebih banyak daripada dalam kayu daun jarum (Ridout 2004). Dengan demikian akses hifa-hifa jamur pada arah radial dalam kayu daun lebar secara fisik relatif lebih besar dibandingkan dengan dalam kayu daun jarum. Selain itu, sel jari jari yang berorientasi pada arah radial menjadikan bidang tangensial kayu lebih terbuka dibandingkan dengan bidang radial sebagai jalan invasi hifa-hifa jamur ke dalam kayu. Pada arah longitudinal, jalan termudah bagi jamur dalam menginvasi ke dalam kayu daun lebar adalah melalui sel pembuluh, sedangkan pada kayu daun jarum melalui saluran interseluler. Kemudahan itu terjadi karena pergerakan air dalam kayu daun lebar terjadi melalui sel-sel pembuluh yang ujungnya bersambungan satu sama lain. Pada dinding ujung sel-sel pembuluh ini terdapat bidang perforasi sehingga bisa dilewati air (Ridout 2004). Selain itu, sel pembuluh memiliki ukuran cukup besar untuk dimasuki hifa yaitu antara µm bahkan bisa lebih dari 300 µm (Rowell 2005), sementara diameter hifa pada umumnya antara 1-30 µm (Walker & White 2005). Sel pembuluh dan saluran interseluler yang berorientasi pada arah longitudinal menjadikan bidang lintang kayu pada umumnya lebih banyak terbuka bagi akses spora dan hifa jamur sehingga bisa menempel dan masuk ke dalam jaringan kayu. Bidang lintang kayu juga lebih tinggi permeabilitasnya dibandingkan dengan bidang radial dan tangensial, sehingga air dan kelembaban dapat cepat masuk ke dalam kayu pada arah longitudinal secara kapiler dan menjadikan bagian dalam kayu kondusif bagi

4 74 pertumbuhan dan pergerakan hifa-hifa jamur. Di dalam sel pembuluh, hifa-hifa jamur tidak mendapatkan cukup bahan yang bisa dikonsumsi karena saluran pembuluh memiliki dinding sel sekunder tebal dan mengalami lignifikasi serta tidak mengandung sitoplasma (Zwieniecki & Holbrook 2000), akan tetapi hifahifa jamur juga dapat bergerak ke sel-sel lainnya melewati noktah, sehingga terjalin akses pergerakan hifa dalam kayu baik pada arah longitudinal maupun arah lateral. Gambar 25 Noktah sederhana (a) menghubungkan dua sel parenkim; noktah halaman (b) menghubungkan rongga antar dua sel trakeid; dan noktah setengah halaman (c) menghubungkan sel trakeid dengan sel parenkim (Bowyer et al. 2003). Noktah merupakan celah di antara dinding sekunder sel kayu. Umumnya noktah berpasangan di antara dua sel yang berhubungan (Gambar 25). Ada dua tipe noktah, yaitu noktah halaman (bordered pits) dan noktah sederhana (simple pits). Noktah sederhana menghubungkan antar sel-sel parenkim seperti antar sel jari-jari, sedangkan noktah halaman pada umumnya terdapat pada dinding sel-sel trakeid kayu daun jarum dan sel-sel serabut kayu daun lebar. Noktah halaman yang menghubungkan antar sel-sel trakeid memiliki membran. Membran tersebut terdiri atas pasangan dinding primer dan lamela tengah. Bagian luarnya disebut margo yang terdegradasi secara alami dan memungkinkan air melewatinya. Adapun bagian tengahnya tetap utuh membentuk torus (Butterfield 2006). Selain

5 75 kedua tipe noktah tersebut ada juga noktah setengah halaman (half-bordered pits) yang menghubungkan sel trakeid dengan sel jari jari atau sel parenkim aksial (Fujita & Harada 2001). Pada dinding saluran pembuluh juga terdapat banyak noktah setengah halaman yang menghubungkannya dengan parenkim aksial dan parenkim jari-jari di sekitarnya (Bowyer et al. 2003). Kondisi struktur kayu seperti itu mempermudah bagi hifa-hifa jamur untuk menginvasi dan masuk ke bagian dalam kayu. Untuk mendapatkan sumber nutrisi yang lebih banyak terutama selulosa dalam dinding sel kayu, jamur pelapuk terhalang oleh lamela tengah dan dinding primer yang kaya lignin. Jalan yang relatif mudah bagi jamur untuk dapat masuk ke dalam sel kayu pada umumnya melewati noktah terutama pada awal serangan dengan terlebih dahulu mendegradasinya secara enzimatik dan secara fisik oleh hifa yang sangat halus (Ø 1 µm). Secara alami, noktah pada dinding sel dapat dilewati air dalam proses fisiologi pohon terutama pada bagian margo yang lebih permeabel. Bahkan dalam kayu daun jarum, pergerakan air melalui sel-sel trakeid yang memiliki banyak noktah halaman (bordered pit) (Butterfield 2006). Dengan terdegradasinya noktah pada dinding sel serabut dan trakeid maka air lebih mudah masuk ke dalam sel kayu secara kapiler. Oleh karena itu kayu-kayu yang terserang jamur pelapuk cenderung lebih tinggi kadar airnya daripada kayu yang utuh. Setelah berhasil masuk ke dalam rongga, hifa tumbuh dan menempel pada dinding sekunder. Maka terjadilah degradasi dinding sel kayu mulai dari dinding lumen sel (dari dalam rongga sel). Dinding sekunder sel kayu yang kaya selulosa terdegradasi terutama yang disekitar hifa sehingga terbentuk alur-alur erosi dan menyebabkan penipisan dinding sel kayu dari dalam (lumen) ke luar dinding sel (Schwarze et al ). Degradasi dinding sel kayu ini terjadi secara enzimatik yang spesifik bagi setiap jenis jamur sehingga laju degradasi yang terjadi juga dapat berlainan antar jenis jamur.

6 76 Scanning electron micrograph (5kV) menunjukkan bahwa torus dalam noktah halaman sel kayu Pinus insularis telah terdegradasi jamur G. applanatum dalam 4 minggu inkubasi, sedangkan jumlah tori terdegradasi semakin banyak dalam inkubasi 12 minggu (Gambar 26). Adapun noktah-noktah yang terdegradasi jamur S. commune setelah pengumpanan 4 minggu pada dinding sel kayu pinus relatif sedikit. Baru kemudian setelah 12 minggu inkubasi terjadi banyak noktah yang terdegradasi (Gambar 27). Ini membuktikan bahwa jamur S. commune lebih lambat dalam mendegradasi kayu pinus dibandingkan dengan jamur G. applanatum. Gambar 26 Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi (d) oleh jamur pelapuk G. applanatum (perbesaran 2000 x). Pada kayu sengon, kerusakan noktah juga terjadi oleh jamur G. applanatum (Gambar 28). Sementara itu studi yang dilakukan oleh Green dan Clausen (1999) selama 3 minggu inkubasi ditemukan bahwa jamur pelapuk putih menghidrolisis semua membran noktah halaman, sedangkan jamur pelapuk coklat hanya merusak torus, melemahkan dan merobek membran noktah. Kedua jenis jamur sama-sama memiliki kapasitas menghidrolisis pektin, merusak membran noktah dan meningkatkan permeabilitas kayu selama kolonisasi sehingga lebih mudah menyerap air.

7 77 Gambar 27 Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi (d) oleh jamur pelapuk S. commune (perbesaran 2000 x). Gambar 28 Bagian noktah pada dinding sel kayu sengon (t) yang terdegradasi jamur pelapuk G. applanatum (perbesaran 2000 x).

8 78 Hasil pengamatan dengan mikroskop stereo pada kayu pinus dan sengon setelah uji pelapukan terhadap jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan terbentuknya lubang dan rongga-rongga yang dapat dilihat dengan mikroskop stereo (Gambar 29 dan 30). Rongga-rongga yang tampak pada bidang radial terutama disebabkan degradasi sel jari-jari dan sel-sel kayu di sekitarnya yang semakin lama semakin luas. Pada kayu pinus, lubang-lubang besar juga terjadi karena sel-sel trakeid di sekitar saluran interseluler terdegradasi sehingga memperbesar saluran tersebut. Adapun pada kayu sengon, lubang-lubang besar terjadi karena degradasi sel-sel parenkim aksial dan sel-sel serabut di sekitar saluran pembuluh. Banyaknya rongga-rongga dan lubang yang terbentuk dapat berpengaruh pada kekuatan kayu. Gambar 29 Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk G. applanatum pada kayu sengon (a) dan pinus (b). Masa inkubasi semakin lama, proses dedgradasi semakin keras sehingga terjadi kerusakan struktur sel. Pada kayu yang diinkubasi selama 8 dan 12 minggu lebih banyak terbentuk lubang dibandingkan dengan yang diinkubasi selama 4 minggu. Kayu uji menjadi lebih berongga-rongga setelah inkubasi 8 minggu terutama yang diserang jamur G. applanatum. Pola degradasi kayu

9 sengon dan pinus oleh jamur G. applanatum dan S. commune tersebut merupakan tipe pelapukan simultan. 79 Gambar 30 Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk S. commune pada kayu sengon (a) dan pinus (b). Miselium yang tumbuh dalam lumen sel dapat membentuk lubang-lubang dan mendegradasi dinding sel secara progresif (Bowyer 2003). Levin dan Castro (1998) juga menemukan pola degradasi yang serupa pada kayu populus yang diserang oleh jamur pelapuk putih Trametes trogii, yaitu kayu menjadi beronggarongga serta porous seperti spong, sedangkan pada kayu salix meninggalkan selsel pembuluh sehingga kayu menjadi stringy (terdiri atas banyak benang). Adapun Luna et al. (2004) mengungkapkan bahwa serangan jamur G. lucidum menyebabkan kombinasi delignifikasi selektif dan pelapukan simultan. Ciri utama delignifikasi selektif adalah terjadinya pemisahan antar sel-sel kayu, sedangkan pelapukan simultan ditandai dengan erosi dan penipisan dinding sel kayu serta terbentuknya rongga-rongga pada kayu. Dengan demikian jamur penyebab pelapukan simultan dapat menurunkan masa dan kekuatan kayu lebih besar dibandingkan dengan jamur penyebab delignifikasi selektif. Schwarze et al. (2000) telah membuktikan bahwa kayu beech yang lapuk simultan oleh jamur

10 80 Fomes fomentarius mengalami penurunan nilai keteguhan pukul lebih besar daripada yang mengalami delignifikasi selektif oleh G. pfeifferi. Pada pelapukan lebih lanjut banyak dinding sel yang menipis bahkan habis terdegradasi sehingga terjadi peningkatan volume rongga dalam kayu dan kekuatannya menurun drastis. Bila kayu tersebut mengering, akan mudah mengalami collapse dan perubahan bentuk. Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Sifat Kimia Kayu Selulosa, hemiselulosa dan lignin adalah komponen kayu yang menjadi sumber nutrisi jamur pelapuk dengan terlebih dahulu diuraikan menjadi molekulmolekul sederhana dengan bantuan metabolit yang dihasilkan pada ujung dan sisi hifa (Bowyer et al. 2003). Hasil uji biodeteriorasi media serbuk kayu pinus dan sengon oleh jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan terjadinya gejala lapuk putih. Hal ini terbukti dengan perubahan warna media serbuk kayu dalam baglog dari coklat menjadi lebih pucat (coklat muda). Perubahan warna tersebut sudah tampak dalam masa inkubasi 2 minggu (Gambar 31) dan merupakan indikasi terjadinya degradasi lignin dalam kayu pinus dan sengon oleh jamur G. applanatum dan S. commune. Gambar 31 Perubahan warna media serbuk kayu setelah diinokulasi dengan jamur pelapuk G. applanatum (GS) dan S. commune (SS) selama dua minggu (S=kontrol). Penelitian ini menujukkan bahwa proporsi kandungan selulosa dalam kayu sengon lebih tinggi daripada dalam kayu pinus (Gambar 32). Walker (2006) juga

11 81 mengungkapkan bahwa kadar selulosa dalam kayu daun lebar pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan dalam kayu daun jarum. Hasil analisis kimia membuktikan bahwa telah terjadi perubahan komposisi kimia media serbuk kayu sengon dan pinus setelah uji biodeteriorasi dengan jamur G. applanatum dan S. commune. Kadar selulosa media serbuk kayu menurun cukup besar setelah uji biodeteriorasi, sedangkan proporsi kandungan ligninnya tidak banyak berubah. Hal ini menunjukkan laju degradasi selulosa oleh kedua jamur tersebut lebih tinggi daripada degradasi lignin. Penurunan kadar selulosa yang lebih tinggi daripada lignin ini merupakan ciri lapuk putih simultan. Adapun dalam lapuk putih selektif (delignifikasi selektif), lignin terdegradasi lebih banyak daripada selulosa, terutama dalam tahap awal pelapukan (Schwarze et al. 2000). (a) (b) Gambar 32 Kadar selulosa dan lignin serbuk kayu pinus (a) dan sengon (b) setelah 12 minggu uji biodeteriorasi dengan jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Penurunan kadar selulosa yang lebih besar dibandingkan dengan lignin ini menunjukkan bahwa sudah terjadi degradasi berat dalam dinding sekunder sel-sel kayu. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar selulosa dalam sel serabut kayu daun lebar atau dalam sel trakeid kayu daun jarum berada pada dinding sekunder. Selulosa, hemiselulosa dan lignin berada pada setiap lapisan dinding sel, tapi proporsi selulosa tertinggi adalah di bagian tengah lapisan S2 dinding sekunder. Adapun proporsi lignin tertinggi adalah di lamela tengah. Proporsi lignin

12 82 dibandingkan dengan komponen kimia lainnya semakin berkurang pada lapisan S1, S2, dan S3 (Bowyer et al. 2003). Pada uji biodeteriorasi ternyata jenis jamur berpengaruh nyata terhadap komposisi selulosa dan lignin dalam kayu (Lampiran 17). Total kadar selulosa dan lignin kayu sengon dalam uji dengan jamur G. applanatum relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang diumpankan terhadap jamur S. commune, sedangkan pada kayu pinus total kadar selulosa dan ligninnya lebih rendah pada media serbuk kayu yang diumpankan terhadap S. commune. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi kayu sengon oleh jamur G. applanatum lebih besar daripada oleh jamur S. commune. Hasil penelitian Dill dan Kraeplin (1986) juga membuktikan bahwa G. applanatum dapat menimbulkan delignifikasi ekstensif dan penguraian sel-sel serabut dalam kayu. Kayu yang terserang jamur pelapuk pada umumnya lebih lunak bila ditekan dengan kuku atau benda keras dan bila dicungkil dengan benda tajam serabutserabutnya mudah putus. Adapun kayu utuh bila dicungkil benda tajam serabutnya tidah mudah putus. Menurut Senese (2010) selulosa merupakan komponen utama pada dinding sel kayu yang memberikan kekuatan pada kayu. Selulosa lebih berperan dalam kekuatan tarik aksial, sedangkan hemiselulosa dan lignin lebih menentukan elastisitas dan kekuatan tekan kayu (Ridout 2004). Oleh karena itu perubahan dalam komponen utama kayu ini akan merubah kemampuan struktural kayu. Degradasi selulosa dan lignin kayu akibat serangan jamur pelapuk pada struktur bangunan sangat berbahaya. Sebagai contoh, dalam struktur balok lentur yang biasa dipakai pada bagian dasar kuda-kuda atap, apabila terjadi pelapukan, maka kondisi balok menjadi kritis, karena bagian bawah balok lentur mengalami tegangan tarik, sedangkan pada bagian atasnya mengalami tegangan tekan sejajar serat. Penurunan kadar selulosa oleh kedua jenis jamur pada kayu sengon lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi pada kayu pinus. Kandungan dan komposisi lignin berperan penting dalam ketahanan kayu dari pelapukan. Pada Gambar 32 tampak bahwa proporsi lignin dalam kayu pinus lebih tinggi daripada dalam kayu sengon. Ridout (2004) juga melaporkan bahwa jamur pelapuk putih

13 83 lebih banyak menyerang jenis kayu daun lebar, karena banyak pelapuk putih kesulitan mendegradasi lignin dalam kayu daun jarum yang jenis dan kuantitasnya berbeda dengan kayu daun lebar. Karakteristik lignin pinus yang merupakan kayu daun jarum berbeda dengan lignin pada sengon yang merupakan kayu daun lebar. Penyusun utama lignin dalam kayu daun jarum adalah unit fenilpropan dengan satu metoksil (guaiasil, G), sedangkan penyusun utama lignin dalam kayu daun lebar adalah unit fenilpropan dengan dua metoksil (siringil, S) dan guaiasil (Martinez et al. 2005). Kandungan lignin siringil berkaitan dengan kerentanan kayu dari serangan jamur pelapuk. Kayu yang tinggi kadar lignin siringilnya yaitu kayu red maple, lebih cepat terdegradasi jamur Trametes versicolor daripada kayu boxelder yang rendah kadar liginin siringilnya. Padahal kedua jenis kayu tersebut memiliki komposisi kimia dan sifat anatomi yang agak sama (John et al. 1994). Selain lignin, perlindungan alami yang dimiliki kayu dari serangan organisme perusak adalah zat ekstraktif. Sebagaimana diungkapkan oleh Rowell et al. (2005) bahwa ekstraktif dalam kayu daun lebar maupun kayu daun jarum dapat menyebabkan kayu awet. Zat ekstraktif terdiri atas lemak, asam lemak, fenol, terpena, steroid, asam resin, rosin, lilin, dan senyawa organic lainnya. Menurut Harris (2001) jenis dan kadar ekstraktif menentukan daya tahan kayu dari pelapukan. Methanol merupakan ekstraktif kayu yang dapat menahan serangan jamur dan bisa digunakan sebagai bahan pengawet. Ekstraktif penahan pelapukan lainnya adalah tanin terlarut, courmarin, alkaloid, terpenoid, dan steroid, semuanya merupakan produk metabolit sekunder. Selain itu Harju et al. (2003) melaporkan bahwa kayu Scot pine (Pinus sylvestris L) yang tahan dari serangan jamur Coniophora puteana memiliki kandungan ekstraktif fenolik lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak tahan. Begitupula Venalainen et al. (2002) melaporkan bahwa keawetan kayu Scots pine dari jamur pelapuk terutama dipengaruhi oleh konsentrasi pinosylvin dan monometil eter yang merupakan senyawa fenolik yang tergolong stilbena.

14 84 Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Kayu Jamur G. applanatum dan S. commune merupakan jamur pelapuk putih yang mampu mendegradasi dinding sel kayu yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin menjadi gula sederhana secara enzimatik yang kemudian diserapnya. Dengan demikian, semakin banyak masa kayu yang terurai mengakibatkan penurunan berat kayu yang semakin tinggi dan menujukkan kemampuan mendegradasi jamur yang semakin tinggi. (a) (b) Gambar 33 Kolonisasi jamur G. applanatum (a) dan S. commune (b) pada contoh uji kayu. Jamur G. applanatum dapat secara cepat menyelimuti ketiga jenis kayu uji (kamper, pinus dan sengon), sedangkan S. commune hanya menutup sebagian permukaan kayu uji (Gambar 33). Penurunan berat terjadi pada ketiga contoh uji kayu oleh jamur G. applanatum dan S. commune. Penurunan berat kayu uji tersebut semakin tinggi dengan semakin lamanya masa inkubasi, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 34. Dalam konstruksi kayu di lapangan kehilangan masa kayu tersebut bisa lebih lambat daripada yang terjadi dalam eksperimen ini, karena di alam banyak mikroorganisme lain yang dapat menjadi penghambat pertumbuhannnya, atau karena kondisi lingkungannya yang tidak selamanya mendukung pertumbuhannya, terutama adalah ketersediaan air pada kayunya.

15 85 (a) (b) Gambar 34 Penurunan berat kering kayu kamper (a), pinus (b), dan sengon (c) oleh jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Pada Gambar 35 juga terlihat bahwa kehilangan berat kayu sengon, kamper dan pinus yang disebabkan oleh jamur G. applanatum lebih besar dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh jamur S. commune. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan jamur G. applanatum dalam mendegradasi kayu lebih tinggi dibandingkan dengan jamur S. commune. Bahkan pada kayu sengon, G. applanatum menyebabkan kehilangan berat kayu hampir dua kali yang diakibatkan S. commune, yaitu rata-rata masing-masing 12,6% dan 6,7% selama (c)

16 86 12 minggu inkubasi. Dengan demikian kehadiran jamur G. applanatum dalam konstruksi harus lebih diwaspadai dan segera dikendalikan serangannya. Nsolomo (2000) dalam penelitiannya juga membuktikan bahwa G. australe dan S. commune merupakan jamur pelapuk putih yang mengakibatkan penurunan berat kayu Ocotea sebesar 16% dan 2% selama empat bulan inkubasi. Degradasi kayu oleh G. australe ternyata nilainya lebih besar dibandingkan dengan degradasi oleh S. commune. Di antara ketiga jenis kayu terbukti secara statistik bahwa kayu sengon paling tinggi penurunan beratnya, disusul kemudian oleh kayu kamper dan yang terkecil penurunan beratnya adalah kayu pinus (Lampiran 18). Hal ini menunjukkan bahwa kayu sengon paling tidak tahan dari serangan jamur pelapuk yang digunakan dalam penelitian ini. Sengon yang dikenal jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) sebagian besar terdiri atas kayu gubal dan tidak memiliki ekstraktif bersifat racun yang dapat melindunginya dari serangan jamur pelapuk. Lapuk berat (lebih dari 10% penurunan berat kayu) oleh G. applanatum hanya terjadi pada kayu sengon, yang sudah terjadi dalam masa inkubasi 8 minggu. Kayu kamper dan pinus mengalami lapuk sedang disebabkan oleh jamur G. applanatum pada masa inkubasi berurutan 8 dan 12 minggu. Dalam penelitian ini jamur S. commune tidak menimbulkan lapuk berat walaupun pada kayu seperti sengon yang termasuk paling tidak awet. Variasi ketahanan kayu dari serangan jamur pelapuk ini terutama dipengaruhi oleh kandungan zat ekstraktifnya sebagaimana diungkapkan oleh Butterfield (2006) bahwa akumulasi zat ekstraktif jenis polifenol dalam kayu teras menyebabkan penurunan kadar air dan dapat memperlambat pelapukan oleh jamur. Celimene et al. (1999) juga melaporkan bahwa pinosilvin yang diekstrak dari kayu Pinus banksiana dan Pinus resinosa, dapat menahan pertumbuhan jamur pelapuk putih. Ekstrak kayu kamper (Dryobalanops aromatica) banyak mengandung terpena dan asam lemak. Terpena dan polifenol merupakan senyawa antimikroba yang sering terdapat dalam kayu. Beberapa triterpen yang teridentifikasi dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatographhy)

17 87 dalam kayu kamper adalah kapurone, dryobalanone, dipterocarpol, dan terpinihidrat, dengan proporsi yang bervariasi antar daerah pertumbuhan dan umur pohon (Ali et al. 1990). Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Jenis Kayu Berat jenis (BJ) merupakan indikator kepadatan masa kayu. Kayu dengan BJ tinggi pada umumnya memiliki dinding sel yang tebal. Kayu yang telah diumpankan pada jamur pelapuk dan mengalami penurunan berat, berat jenisnya tampak tidak banyak berbeda dengan kayu kontrol (Gambar 35). Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa jamur G. applanatum maupun S. commune tidak berpengaruh nyata pada berat jenis (BJ) kayu (Lampiran 19). Gambar 35 Berat jenis kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Perubahan BJ kayu yang tidak nyata ini dapat disebabkan oleh peristiwa collapse sel-sel kayu sehingga terjadi penurunan volume kayu yang tidak normal. Dinding sel kayu yang menipis dan menurun kekuatannya dapat mengalami collapse, sehingga dinding sel melipat ke dalam. Sebagaimana dilaporkan oleh

18 88 Erwin et al. (2008) bahwa dinding sel kayu dapat mengalami penipisan akibat serangan jamur pelapuk putih khususnya S. commune. Perbedaan BJ antar jenis kayu pada umumnya merupakan sifat bawaan masing-masing jenis kayu. BJ kayu kamper yang lebih tinggi daripada BJ kayu sengon mengindikasikan bahwa dinding sel kayu kamper lebih tebal daripada dinding sel kayu sengon. Hal ini juga menentukan ketahanan relatif kayu kamper yang lebih tinggi daripada kayu sengon ketika diserang jamur pelapuk. Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Modulus Lentur dan Modulus Patah Kayu Hasil pengolahan data sifat mekanis modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu dalam uji pelapukan terhadap jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan bahwa nilai MOE dan MOR kayu menurun setelah pengumpanan pada jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Penurunan sifat mekanis kayu terjadi karena hifa-hifa jamur yang masuk ke dalam kayu dengan enzim yang dihasilkannya telah merusak sel-sel kayu sehingga terbentuk rongga-rongga dalam kayu. Dengan demikian terjadi pelemahan kekokohan struktur kayu seiring dengan semakin luasnya serangan jamur di dalam kayu. Secara statistik terbukti adanya perbedaan yang nyata pada nilai mekanis kayu yang diumpankan terhadap jamur dengan nilai kontrolnya (Lampiran 20). Pada umumnya nilai rata-rata penurunan sifat mekanis kayu oleh jamur G. applanatum cenderung lebih besar daripada oleh S. commune (Gambar 36 dan 37). Selama 12 minggu inkubasi penurunan MOE kayu kamper oleh G. applanatum dan S. commune adalah 17% dan 14%; penurunan MOR-nya berturut-turut adalah 22% dan 14%. Hal ini menujukkan bahwa daya rusak jamur G. applanatum pada kayu kamper lebih tinggi dibandingkan dengan jamur S. commune. Nilai penurunan sifat mekanis oleh kedua pelapuk putih ini cukup besar. Dalam struktur rangka bangunan, penurunan kekuatan kayu ini bisa kritis karena walaupun tidak seluruh bagian batang lapuk terserang jamur, tapi bagian

19 tersebut menjadi titik lemah sehingga dapat menjadi titik awal terjadinya kerusakan dan ketidak-stabilan struktur rangka bangunan. 89 Gambar 36 MOE (modulus lentur) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Pilihan jenis kayu menentukan berapa lama struktur kayu bisa bertahan dari serangan jamur pelapuk. Pada Gambar 36 dan 37 tampak bahwa nilai MOE dan MOR kayu sengon adalah paling rendah dibandingkan dengan kayu pinus dan kamper. Dalam penelitian ini, rata-rata penurunan kekuatan oleh jamur pelapuk selama 12 minggu inkubasi yang terjadi pada kayu sengon juga adalah yang paling besar yaitu 35% dan 46% untuk MOE dan MOR nya. Sedangkan pada kamper penurunan MOE dan MOR nya adalah 16% dan 18%. Pada kayu pinus penurunan MOE dan MOR nya adalah 22% dan 34%. Perbedaan ini terkait dengan variasi kandungan ekstraktif sesuai dengan yang diungkapkan Butterfield (2006) bahwa zat ekstraktif penting dalam memperlambat pelapukan kayu oleh jamur, contohnya resin pada kayu daun jarum yang merupakan campuran bahan organik yang kompleks.

20 90 Gambar 37 MOR (modulus patah) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Uji Lapang Pelapukan Kayu Hasil uji lapang pelapukan kayu tidak menyentuh tanah di berbagai daerah pada umumnya menunjukkan penurunan kekuatan kayu. Dalam hal ini nilai modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu yang dipaparkan terhadap lingkungan selama 12 minggu lebih rendah dibandingkan dengan kayu kontrol baik sengon maupun kamper. Hal ini menunjukkan telah terjadinya degradasi kayu selama uji lapangan tersebut. Proses pelapukan pada umumnya terjadi secara dinamis oleh berbagai organisme. Sebagaimana diungkapkan oleh Nicholas dan Crawford (2003) bahwa bakteri, Actinomycetes dan Ascomycetes sering mendahului serangan pada kayu sebelum serangan jamur pelapuk Basidiomycetes yang lebih agresif dalam mendegradasi kayu. Semakin tinggi indeks pelapukan (IP) daerah, maka nilai MOE dan MOR kayu yang diumpankan di daerah tersebut cenderung semakin rendah. Sebagai contoh di Bogor yang IP nya tinggi (157) nilai MOE dan MOR kayunya rata-rata

21 ,1 kg/cm 2 dan 1.139,0 kg/cm 2 untuk kamper, sedangkan untuk kayu sengon ,5 kg/cm 2 dan 325,6 kg/cm 2. Adapun di Bekasi yang IP-nya 65, nilai MOE dan MOR kayu kamper setelah uji lapang pelapukan adalah ,5 kg/cm 2 dan 1.321,9 kg/cm 2, sedangkan untuk kayu sengonnya ,0 kg/cm 2 dan 550,4 kg/cm 2. Secara statistik terdapat korelasi yang kuat antara indeks pelapukan (IP) daerah dan degradasi yang terjadi pada kayu yang diumpankan di daerah tersebut yang dinyatakan dengan nilai MOE dan MOR-nya. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa indeks pelapukan berpengaruh sangat nyata terhadap modulus lentur dan modulus patah kayu kamper dan sengon. Hasil uji korelasi dan analisis ragam indeks pelapukan (IP) dengan sifat mekanis kayu tersaji dalam Lampiran 21. Korelasi IP dengan sifat mekanis kayu tersebut ternyata lebih kuat dibandingkan dengan korelasi antara masing-masing faktor iklim dengan sifat mekanis kayu. Gambar 38 dan 39 mencerminkan hubungan indeks pelapukan dengan nilai MOE dan MOR kedua jenis kayu. Pada indeks pelapukan di bawah 35 yang menunjukkan kelas bahaya pelapukan sedang, nilai MOE dan MOR kayu setelah uji pelapukan tampak tidak berbeda dengan kontrolnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masa uji pelapukan tidak menyentuh tanah selama 12 minggu di daerah kelas bahaya pelapukan sedang, sifat mekanis kayu belum menurun. Dengan demikian untuk mendeteksi degradasi kayu berdasarkan sifat mekanis di daerah kelas bahaya sedang perlu waktu yang lebih lama dari 12 minggu. Faktor suhu tidak menunjukkan korelasi yang baik dengan sifat mekanis kayu sebagai indikator degradasi kayu, mungkin karena perbedaan suhu antar kota ataupun kabupaten di Jawa relatif tidak besar, yang terendah 20 o C (Lembang) yang tertinggi 28 o C (Jakarta Utara). Secara umum jamur memiliki rentang toleransi suhu yang cukup lebar untuk hidupnya, sebagaimana dijelaskan Nicholas dan Crawford (2003), bahwa jamur tumbuh pada suhu o C. Menurut Rao (2005) jamur pelapuk juga pada umumnya tumbuh dalam kondisi yang cukup lembab dan suhu yang relatif tinggi, yaitu pada kelembaban 95% dan suhu o C. Tapi menurut Bowyer et al. (2003) pertumbuhan jamur agak lambat pada suhu di atas 35 o C dan pada umumnya terhenti pada suhu lebih dari 38 o C. Di

22 92 daerah iklim sedang yang memiliki empat musim, suhu di bawah 12 o C atau di atas 40 o C bisa sering terjadi. Sehingga wajar serangan jamur pelapuk pada komponen bangunan di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara lain yang beriklim sedang. --- Kontrol Gambar 38 Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus lentur (MOE) kayu dalam uji lapang pelapukan. Kelembaban udara relatif rendah korelasinya dibandingkan dengan curah hujan dengan nilai mekanis kayu setelah uji pelapukan. Bahkan secara statistik diantara faktor-faktor cuaca yang paling kuat korelasinya dengan degradasi kayu uji adalah curah hujan. Kelembaban udara di Lembang lebih tinggi dibandingkan dengan di Bogor, sedangkan degradasi kayunya lebih tinggi yang diumpankan di Bogor. Kelembaban di Lembang adalah 84,7%, di Bogor 83,9%. Dibandingkan dengan nilai mekanis kayu yang diuji pelapukan di Bogor (tersebut di atas), kayu yang diuji pelapukan di Lembang lebih tinggi MOE dan MOR nya, yaitu ,9 kg/cm 2 dan 1.203,1 kg/cm 2 untuk kamper, sedangkan pada kayu sengon ,9 kg/cm 2 dan 397,6 kg/cm 2. Di Bogor volume curah hujan dan jumlah hari hujan bulanannya, yaitu 346 mm dan 13 hari hujan per bulan. Sedangkan di Lembang 141 mm dan 12 hari hujan per bulan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Leicester et al. (2003) bahwa laju pelapukan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis kayu,

23 indeks iklim (berdasarkan suhu dan curah hujan) serta waktu tenggang awal pelapukan Kontrol Gambar 39 Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus patah (MOR) kayu dalam uji lapang pelapukan. Nilai mekanis kayu dalam uji pelapukan ini lebih kuat berkorelasi dengan jumlah hari hujan yang lebih dari 0.25 mm per bulan dibandingkan dengan curah hujan rata-rata bulanan. Kondisi tersebut juga tampak pada grafik hubungan faktor-faktor cuaca dengan degradasi kayu yang dinyatakan dengan variasi nilai MOE dan MOR kayu (Lampiran 22). Sebagai contoh, dua daerah yang memiliki volume curah hujan bulanan yang sama bisa berbeda jumlah hari hujannya. Bila volume curah hujan hariannya tinggi, maka jumlah hari hujannya akan lebih sedikit dibandingkan dengan yang volume curah hujan hariannya relatif rendah. Dalam hal ini kontinyuitas pembasahan dan ketersediaan air bagi pertumbuhan jamur lebih terjamin pada frekwensi hujan yang tinggi.

24 94 Gambar 40 Pewarnaan pada kayu kamper (K) dan sengon (S) dalam uji lapang pelapukan. Dalam uji pelapukan tanpa menyentuh tanah ini terjadi serangan jamur pewarna terlihat dengan munculnya pewarnaan pada kayu yang diumpankan (Gambar 40). Secara visual serangan jamur pelapuk belum dapat dilihat dalam masa pengumpanan 12 minggu ini. Walau demikian tumbuhnya jamur pewarna pada kayu dapat menjadi petunjuk ke arah pelapukan kayu, karena proses pelapukan pada umumnya terjadi secara dinamis oleh sejumlah mikroorganisme. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nicholas dan Crawford (2003) bahwa kolonisasi kayu oleh mikroorganisme terjadi secara dinamis yaitu oleh bakteri, jamur pewarna dan pelapuk lunak, kemudian Basidiomycetes. Proses suksesi kolonisasi ini dalam kayu yang tidak diawetkan bisa terjadi dalam 70 hari-an. Proses biodeteriorasi dalam uji lapangan ini banyak dipengaruhi oleh faktor cuaca. Pembasahan kayu oleh air hujan menjadikan kadar air kayu naik dan dapat ditumbuhi jamur. Selain itu, radiasi ultraviolet dari sinar matahari dapat menyebabkan degradasi lignin pada permukaan kayu walaupun sangat kecil dan dalam waktu yang lama. Sebagaimana dijelaskan oleh Kutz (2005) bahwa ultraviolet dari cahaya matahari dapat mengoksidasi komponen lignin pada kayu. Kerusakan yang tampak pada kayu akibat fotodegradasi adalah perubahan warna dan retak-retak. Padahal lignin merupakan komponen kimia pelindung dalam kayu. Demikian pula halnya dengan pemanasan sinar matahari dan pembasahan air hujan yang berulang kali dalam waktu lama dapat menyebabkan perubahan dimensi dan retakan kayu. Pembasahan air hujan yang berulang kali juga dapat menyebabkan pencucian ekstraktif kayu secara bertahap. Sehingga ekstraktif dalam kayu kamper yang menjadikannya awet, lama kelamaan mengalami pencucian dan berkurang sifat proteksinya dari serangan organisme perusak.

25 95 Di Pulau Jawa banyak daerah yang memiliki curah hujan rata-rata bulanan yang tinggi, sehingga memiliki potensi pelapukan kayu yang tinggi. Pembasahan menyebabkan kayu lebih disukai jamur dan sangat mendukung untuk pertumbuhannya. Kayu pada kondisi pemakaian atau pada keadaan kering udara berkadar air sekitar 16%, sehingga jamur pelapuk akan sulit tumbuh. Hal ini sebagaimana dijelaskan Nicholas dan Crawford (2003) bahwa untuk mendukung terjadinya pelapukan kayu dibutuhkan kadar air minimal pada titik jenuh serat (28 30)%. Air sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur pelapuk, yaitu sebagai pelarut dalam proses metabolisme, pengangkutan metabolit, enzim dan organel, sebagai pengisi penting kerangka dan sebagai kekuatan pendorong pertumbuhan. Dalam uji pelapukan lapangan ini juga terbukti bahwa dibandingkan dengan kayu kamper, kayu sengon menunjukkan penurunan sifat mekanis yang lebih besar, terutama nilai modulus patahnya (MOR) karena keawetan kayu sengon lebih rendah daripada kayu kamper. Sehingga kayu sengon lebih cepat terdegradasi oleh organisme perusak dibandingkan dengan kayu kamper. Kayu kamper dan sengon digunakan dalam pengujian ini mewakili kayu awet dan kayu tidak awet yang banyak digunakan masyarakat dalam konstruksi rumah. Menurut Martawijaya et al. (1989) kayu kamper termasuk kelas awet II, sedangkan kayu sengon termasuk kelas awet IV. Walupun termasuk katagori awet, kayu kamper juga terdegradasi yang ditandai dengan nilai mekanis (MOE dan MOR) lebih rendah dari kontrolnya.

BAB VI JENIS DAN KARAKTERISTIK JAMUR PENYEBAB PELAPUKAN PADA BANGUNAN RUMAH

BAB VI JENIS DAN KARAKTERISTIK JAMUR PENYEBAB PELAPUKAN PADA BANGUNAN RUMAH BAB VI JENIS DAN KARAKTERISTIK JAMUR PENYEBAB PELAPUKAN PADA BANGUNAN RUMAH Identifikasi Jamur Pelapuk Kayu Jamur pelapuk yang banyak menyerang bangunan rumah diisolasi dan diberi kode DE, SC dan PB. Jamur

Lebih terperinci

BAB VIII PEMBAHASAN UMUM

BAB VIII PEMBAHASAN UMUM BAB VIII PEMBAHASAN UMUM Biodeteriorasi kayu mengakibatkan penurunan mutu dan tidak efisiennya penggunaan kayu. Selain itu umur pakai kayu menjadi lebih pendek dan berakibat konsumsi kayu menjadi meningkat,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB V FREKUENSI DAN INTENSITAS SERANGAN JAMUR PELAPUK PADA BANGUNAN RUMAH SERTA KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA

BAB V FREKUENSI DAN INTENSITAS SERANGAN JAMUR PELAPUK PADA BANGUNAN RUMAH SERTA KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA BAB V FREKUENSI DAN INTENSITAS SERANGAN JAMUR PELAPUK PADA BANGUNAN RUMAH SERTA KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan jamur pelapuk rata-rata terjadi pada 87% rumah di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian Empat Jenis Kayu Rakyat berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot Kayu Nilai rata-rata kehilangan bobot (weight loss) pada contoh uji kayu sengon, karet, tusam,

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung. 22 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Sifat Anatomi Bambu 4.1.1 Bentuk Batang Bambu Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Selain itu, bambu juga memiliki buku (node) yang memisahkan antara 2 ruas (internode).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Data hasil pengujian sifat fisis kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis 4.1.1 Kadar air BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata nilai kadar air (KA) kayu surian kondisi kering udara pada masing-masing bagian (pangkal, tengah dan ujung) disajikan pada Tabel 1.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian Jenis kayu yang dipakai dalam penelitian ini adalah kayu rambung dengan ukuran sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu

Lebih terperinci

CARA TUMBUHAN MEMPERTAHANKAN DIRI DARI SERANGAN PATOGEN. Mofit Eko Poerwanto

CARA TUMBUHAN MEMPERTAHANKAN DIRI DARI SERANGAN PATOGEN. Mofit Eko Poerwanto CARA TUMBUHAN MEMPERTAHANKAN DIRI DARI SERANGAN PATOGEN Mofit Eko Poerwanto mofit.eko@upnyk.ac.id Pertahanan tumbuhan Komponen pertahanan: 1. Sifat-sifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Cinnamomum burmanii. Panjangnya sekitar 9-12 cm dan lebar 3,4-5,4 cm, tergantung jenisnya. Warna

TINJAUAN PUSTAKA. : Cinnamomum burmanii. Panjangnya sekitar 9-12 cm dan lebar 3,4-5,4 cm, tergantung jenisnya. Warna TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kayu Manis berikut : Sistematika kayu manis menurut Rismunandar dan Paimin (2001), sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Sub kelas Ordo Family Genus Spesies : Plantae : Gymnospermae

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4.1. Sifat Fisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat bahan dasar kayu yang digunakan. Sifat fisis yang dibahas dalam penelitian ini diantaranya adalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Seleksi Mikrob pada A. malaccensis Populasi bakteri dan fungi diketahui dari hasil isolasi dari pohon yang sudah menghasilkan gaharu. Sampel yang diambil merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kayu-kayu dari hutan tanaman baik hutan tanaman industri (HTI) maupun hutan rakyat diperkirakan akan mendominasi pasar kayu pada masa mendatang seiring berkurangnya produktifitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tampilan Kayu Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dengan warna aslinya, dimana warnanya menjadi sedikit lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS ( 12 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 - Juni 2017. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, dan Workshop Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Dasar dan Keawetan Alami Kayu Sentang A.1. Anatomi kayu Struktur anatomi kayu mencirikan macam sel penyusun kayu berikut bentuk dan ukurannya. Sebagaimana jenis kayu daun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kayu yang harus diketahui dalam penggunaan kayu adalah berat jenis atau

TINJAUAN PUSTAKA. kayu yang harus diketahui dalam penggunaan kayu adalah berat jenis atau TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisis Kayu Sifat fisis kayu perlu diperhatikan untuk pengembangan penggunaan kayu secara optimal, baik dari segi kekuatan maupun keindahan. Beberapa sifat fisis kayu yang harus diketahui

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kehilangan Berat (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keawetan Alami Hasil perhitungan kehilangan berat ke empat jenis kayu yang diteliti disajikan pada Gambar 4. Data hasil pengukuran disajikan pada Lampiran

Lebih terperinci

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT VI. OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT Pendahuluan Penelitian pada tahapan ini didisain untuk mengevaluasi sifat-sifat papan partikel tanpa perekat yang sebelumnya diberi perlakuan oksidasi.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SUSUT BOBOT Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan mutu tomat. Perubahan terjadi bersamaan dengan lamanya waktu simpan dimana semakin lama tomat disimpan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis dari panel CLT yang diuji yaitu, kerapatan (ρ), kadar air (KA), pengembangan volume (KV) dan penyusutan volume (SV). Hasil pengujian sifat fisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jati Tectona grandis Linn. f. atau jati merupakan salah satu tumbuhan yang masuk dalam anggota famili Verbenaceae. Di Indonesia dikenal juga dengan nama deleg, dodolan, jate,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan TINJAUAN PUSTAKA A. Papan Partikel A.1. Definisi papan partikel Kayu komposit merupakan kayu yang biasa digunakan dalam penggunaan perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya kegunaan kayu sengon menyebabkan limbah kayu dalam bentuk serbuk gergaji semakin meningkat. Limbah serbuk gergaji kayu menimbulkan masalah dalam penanganannya,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Hutan Tanaman Industri setelah pinus. Ekaliptus merupakan tanaman eksotik

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Hutan Tanaman Industri setelah pinus. Ekaliptus merupakan tanaman eksotik TINJAUAN PUSTAKA Ekaliptus Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Division Sub Divisio Class Ordo Famili Genus : Spermatophyta : Angiospoermae : Dicotyledone : Myrtiflorae : Myrtaceae

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Iwan Risnasari : Kajian

Lebih terperinci

REVISI DAN PROPOSISI MIKRO TEKS DASAR

REVISI DAN PROPOSISI MIKRO TEKS DASAR REVISI DAN PROPOSISI MIKRO TEKS DASAR Ria mahardika 109016100072 No Teks Dasar Revisi Proposisi Mikro 1. Pertumbuhan Sekunder Batang Kambium Pembuluh dan Pembentukan Jaringan Pembuluh Sekunder. Kambium

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1 cm SNI JIS. 1 cm. Gambar 4 Miselium yang menempel pada kayu contoh uji sengon longitudinal.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1 cm SNI JIS. 1 cm. Gambar 4 Miselium yang menempel pada kayu contoh uji sengon longitudinal. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Visual Kayu Pengamatan visual kayu merupakan pengamatan yang dilakukan untuk melihat dampak akibat serangan jamur pelapuk P. ostreatus terhadap contoh uji kayu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. struktural seperti papan pelapis dinding (siding), partisi, plafon (celing) dan lis.

TINJAUAN PUSTAKA. struktural seperti papan pelapis dinding (siding), partisi, plafon (celing) dan lis. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kayu jabon (Anthocephalus cadamba M.) memiliki berat jenis 0,48 dan tergolong kayu kelas kuat IV. Berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki dan informasi penggunaan kayu secara lokal oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Geometri Strand Hasil pengukuran geometri strand disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan data, nilai rata-rata dimensi strand yang ditentukan dengan menggunakan 1 strand

Lebih terperinci

PENGHALUSAN TEKS DASAR

PENGHALUSAN TEKS DASAR PENGHALUSAN TEKS DASAR Ria Mahardika 109016100072 Unit Enam Bab: Bentuk dan fungsi tumbuhan Sub Bab: Struktur dan pertumbuhan tumbuhan Sub Sub Bab: Pertumbuhan tumbuhan Sub Sub Sub Bab: Pertumbuhan sekunder:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit Menurut Hadi (2004), klasifikasi botani kelapa sawit dapat diuraikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Familia Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Liliopsida

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763 16 TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa sawit Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Sub famili Genus Spesies : Plantae

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Kayu Sifat fisis kayu akan mempengaruhi kekuatan kayu dalam menerima dan menahan beban yang terjadi pada kayu itu sendiri. Pada umumnya kayu yang memiliki kadar

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN 4.1 Nilai ph dan Kadar Ekstraktif Kayu (Kelarutan Air Panas)

IV PEMBAHASAN 4.1 Nilai ph dan Kadar Ekstraktif Kayu (Kelarutan Air Panas) 17 IV PEMBAHASAN 4.1 Nilai ph dan Kadar Ekstraktif Kayu (Kelarutan Air Panas) Nilai ph merupakan ukuran konsentrasi ion-h (atau ion-oh) dalam larutan yang digunakan untuk menentukan sifat keasaman, basa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kolom lentur. Kolom merupakan elemen struktur yang menahan gaya aksial dan momen 2.1.1. Pengertian dan prinsip dasar kolom Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN A. HASIL 1. Laju pertumbuhan miselium Rata-rata Laju Perlakuan Pertumbuhan Miselium (Hari)

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN A. HASIL 1. Laju pertumbuhan miselium Rata-rata Laju Perlakuan Pertumbuhan Miselium (Hari) BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN A. HASIL Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama satu bulan penanaman jamur tiram putih terhadap produktivitas (lama penyebaran miselium, jumlah badan buah dua kali

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C 8 H 13 NO 2 ),

TINJAUAN PUSTAKA. Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C 8 H 13 NO 2 ), TINJAUAN PUSTAKA Pinang Pinang merupakan tanaman yang sekeluarga dengan kelapa. Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Secara rinci, sistematika pinang diuraikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase Abstrak Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin pada proses pelapukan kayu. Degradasi lignin melibatkan aktivitas enzim

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan, [ TINJAUAN PUSTAKA Batang Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Nigeria (Afrika Barat). Tinggi kelapa sawit dapat mencapai 24 m sedangkan diameternya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

PENENTUAN AIR DALAM RONGGA SEL KAYU

PENENTUAN AIR DALAM RONGGA SEL KAYU KARYA TULIS PENENTUAN AIR DALAM RONGGA SEL KAYU Disusun Oleh: Tito Sucipto, S.Hut., M.Si. NIP. 19790221 200312 1 001 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL IV. PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL Pendahuluan Dalam pembuatan papan partikel, secara umum diketahui bahwa terdapat selenderness rasio (perbandingan antara panjang dan tebal partikel) yang optimal untuk

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial Densifikasi parsial, baik kompresi maupun impregnasi, terbukti dapat meningkatkan sifat-sifat kayu Agatis maupun Mangium. Dari hasil

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Berat Jenis dan Kerapatan Kayu Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara 0.2-1.28 kg/cm 3. Berat jenis kayu merupakan suatu petunjuk dalam menentukan kekuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan yang sekarang ini semakin

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan yang sekarang ini semakin BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Untuk memenuhi kebutuhan industri perkayuan yang sekarang ini semakin berkurang pasokan kayunya dari hutan alam, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia melaksanakan

Lebih terperinci

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL Syahrizal & Johny Custer Teknik Perkapalan Politeknik Bengkalis Jl. Bathin Alam, Sei-Alam, Bengkalis-Riau djalls@polbeng.ac.id

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN Pilihan suatu bahan bangunan tergantung dari sifat-sifat teknis, ekonomis, dan dari keindahan. Perlu suatu bahan diketahui sifat-sifat sepenuhnya. Sifat Utama

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi herbarium yang dilakukan mempertegas bahwa ketiga jenis kayu yang diteliti adalah benar burmanii Blume, C. parthenoxylon Meissn., dan C. subavenium Miq. 4.1

Lebih terperinci

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku BABII TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku laporan tugas akhir dan makalah seminar yang digunakan sebagai inspirasi untuk menyusun konsep penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pada saat panen, lebar tudung ialah rerata lebar tudung (pileus), yaitu panjang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pada saat panen, lebar tudung ialah rerata lebar tudung (pileus), yaitu panjang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL Pada penelitian ini, indikator pertumbuhan jamur tiram putih yang diamati adalah jumlah dan lebar tudung serta waktu panen. Yang dimaksud dengan jumlah tudung ialah

Lebih terperinci

Macam Kayu Menurut Susunannya. Pengetahuan Bahan

Macam Kayu Menurut Susunannya. Pengetahuan Bahan Macam Kayu Menurut Susunannya Pengetahuan Bahan Bagian Melintang Permukaan Kayu KAYU MASAK Gambar ini menunjukkan pohon yang mempunyai kayu gubal dan kayu teras, dengan nama lain pohon kayu teras Perbedaan

Lebih terperinci

Kayu lapis untuk kapal dan perahu

Kayu lapis untuk kapal dan perahu Standar Nasional Indonesia Kayu lapis untuk kapal dan perahu ICS 79.060.10 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah, definisi,

Lebih terperinci

Representasi teks makro *teks dasar* Ria mahardika

Representasi teks makro *teks dasar* Ria mahardika 1 Representasi teks makro *teks dasar* Ria mahardika 109016100072 1 1. Kambium Pembuluh dan Pembentukan Jaringan Pembuluh Sekunder. 2 2. Pengertian kambium.(2 generalisasi) 3 4 3. Kerja kambium.(3 generalisasi)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Jamur Tiram. digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Jamur Tiram. digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Jamur Tiram Pertumbuhan jamur tiram ditentukan oleh jenis dan komposisi media yang digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan miselium,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : 1. Kayu Bangunan Struktural : Kayu Bangunan yang digunakan untuk bagian struktural Bangunan dan

Lebih terperinci

PENGANTAR TENTANG KAYU

PENGANTAR TENTANG KAYU Kelompok 9 Anggota Kelompok : 1. Sugi Suryanto 20130110121 2. Badzli Zaki Tamami 20130110123 3. Ega Arief Anggriawan 20130110110 4. M Dede Dimas Wahyu 20130110125 5. Yusli Pandi 20130110112 6. Tanaka Dynasty

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Benih Kedelai. penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Benih Kedelai. penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Benih Kedelai Salah satu faktor pembatas produksi kedelai di daerah tropis adalah cepatnya kemunduran benih selama penyimpanan hingga mengurangi penyediaan benih berkualitas tinggi.

Lebih terperinci

Bagian Bagian halus Jum. lamella Ketebalan Orientasi Kesimpulanm Fibrill/serat Lamella - 1 0,07 - Pektin

Bagian Bagian halus Jum. lamella Ketebalan Orientasi Kesimpulanm Fibrill/serat Lamella - 1 0,07 - Pektin Minggu 3 Pokok Bahasan: Sifat dan Perilaku Bahan Kayu Sub Pokok Bahasan : a. Pengantar b. Sifat kimia c. Sifat fisika d. Sifat mekanik a. Pengantar Dinding dari sel-2 yang terbentuk menggambarkan kandungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei. 19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola adalah sebagai berikut : Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumycophyta : Eumycotina

Lebih terperinci

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij 5 Pengujian Sifat Binderless MDF. Pengujian sifat fisis dan mekanis binderless MDF dilakukan mengikuti standar JIS A 5905 : 2003. Sifat-sifat tersebut meliputi kerapatan, kadar air, pengembangan tebal,

Lebih terperinci

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HMT FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KUALITAS HMT ADALAH : 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3.

Lebih terperinci

Struktur Kayu. Christin Remayanti, ST., MT. & Dr. Eng. Indradi Wijatmiko

Struktur Kayu. Christin Remayanti, ST., MT. & Dr. Eng. Indradi Wijatmiko Struktur Kayu Christin Remayanti, ST., MT. & Dr. Eng. Indradi Wijatmiko Pendahuluan! MK. Struktur Kayu! 2 SKS! Selasa 12.00 13.40 Kompetensi yang diharapkan! Mampu memahami sifat - sifat kayu sebagai BB!

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN. vii

DAFTAR ISI HALAMAN. vii DAFTAR ISI HALAMAN HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jamur tiram putih merupakan salah satu jamur kayu yang tumbuh di permukaan batang pohon yang sudah lapuk. Jamur tiram putih dapat ditemui di alam bebas sepanjang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Ikatan Pembuluh Bambu Foto makroskopis ruas bambu tali disajikan pada Gambar 7 dan bukunya disajikan pada Gambar 8. Foto makroskopis ruas bambu betung disajikan

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu dilihat dari beberapa bentuk dan karakteristik jenis tanamanya.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu dilihat dari beberapa bentuk dan karakteristik jenis tanamanya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mawar adalah salah satu tanaman bunga yang memiliki ciri khusus yaitu dilihat dari beberapa bentuk dan karakteristik jenis tanamanya. Tanaman bunga Mawar merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Microfibril Angle (MFA) Contoh uji persegi panjang diambil dari disk dan dipotong menjadi segmen dengan ukuran 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dari empulur hingga kulit dan diberi nomor mulai dari empulur

Lebih terperinci

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal 1 Ruang lingkup Spesifikasi ini memuat ketentuan mengenai jenis, ukuran, persyaratan modulus elastisitas dan keteguhan lentur mutlak

Lebih terperinci

REVISI PROPOSISI MIKRO DAN PROPOSISI MAKRO TEKS DASAR

REVISI PROPOSISI MIKRO DAN PROPOSISI MAKRO TEKS DASAR Ria Mahardika 1099016100072 REVISI PROPOSISI MIKRO DAN PROPOSISI MAKRO TEKS DASAR No Proposisi Mikro Proposisi Makro I Proposisi Makro II 1. 1. Kambium Pembuluh dan Pembentukan Jaringan Pembuluh Sekunder.

Lebih terperinci

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU BONGIN (Irvingia malayana Oliv) DARI DESA KARALI III KABUPATEN MURUNG RAYA KALIMANTAN TENGAH

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU BONGIN (Irvingia malayana Oliv) DARI DESA KARALI III KABUPATEN MURUNG RAYA KALIMANTAN TENGAH SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU BONGIN (Irvingia malayana Oliv) DARI DESA KARALI III KABUPATEN MURUNG RAYA KALIMANTAN TENGAH Oleh/By Muhammad Faisal Mahdie Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung dari bulan Pebruari hingga Juni 2009. Identifikasi herbarium dilakukan di Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, sementara pengamatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara. 9 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pra Perlakuan Pemadatan Terhadap Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan April 2017

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

BAB V. PATOLOGI DAN PATOGENESIS PENDAHULUAN

BAB V. PATOLOGI DAN PATOGENESIS PENDAHULUAN BAB V. PATOLOGI DAN PATOGENESIS PENDAHULUAN Sebagai salah satu faktor yang menentukan dalam terjadinya penyakit tumbuhan adalah adanya interaksi antara patogen dengan tanaman inangnya, yang ditunjukkan

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN PENDAHULUAN Pasokan kayu sebagai bahan mebel dan bangunan belum mencukupi kebutuhan yang ada Bambu (multiguna, cepat tumbuh, tersebar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tandan Kosong Sawit Jumlah produksi kelapa sawit di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2010 mencapai 21.958.120 ton dan pada tahun 2011 mencapai

Lebih terperinci

(trees). Terdapat perbedaan pengertian antara pohon dan tanam-tanaman

(trees). Terdapat perbedaan pengertian antara pohon dan tanam-tanaman DASAR-DASAR STRUKTUR KAYU A. MENGENAL KAYU 1. Pengertian kayu Kayu adalah bahan yang kita dapatkan dari tumbuh-tumbuhan (dalam) alam dan termasuk vegetasi hutan. Tumbuh-tumbuhan yang dimaksud disini adalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. WARNA KULIT BUAH Selama penyimpanan buah pisang cavendish mengalami perubahan warna kulit. Pada awal pengamatan, buah berwarna hijau kekuningan dominan hijau, kemudian berubah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fungi Mikoriza Arbuskular Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk kelangsungan hidupnya fungi berasosiasi dengan akar tanaman. Spora berkecambah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan pasokan bahan baku, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman. Namun, produksi kayu dari hutan alam menurun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISA. Tabel 4. 1 Rata-rata cuaca bulanan Stasiun PUSLITBANG FP UNS. Suhu Udara

BAB IV HASIL DAN ANALISA. Tabel 4. 1 Rata-rata cuaca bulanan Stasiun PUSLITBANG FP UNS. Suhu Udara BAB IV HASIL DAN ANALISA Penelitian ini dilakukan dengan beberapa pengujian untuk mengetahui pengaruh variasi jenis pelindung terhadap waktu cuaca pada plastik PP-karet. Pengujian yang dilakukan adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenis pohon, tempat tumbuh, dan iklim tempat tumbuh menghasilkan pohon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenis pohon, tempat tumbuh, dan iklim tempat tumbuh menghasilkan pohon BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 LATAR BELAKANG Kayu adalah suatu bahan yang dihasilkan oleh pohon pohonan. Perbedaan jenis pohon, tempat tumbuh, dan iklim tempat tumbuh menghasilkan pohon pohonan yang sangat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan partikel yang diuji meliputi kerapatan, kadar air, daya serap air dan pengembangan tebal. Sifat mekanis papan partikel yang diuji meliputi Modulus of Elasticity

Lebih terperinci

3. KISI-KISI INSTRUMEN SOAL JARINGAN TUMBUHAN. Jenis sekolah. Kurikulum : 2013

3. KISI-KISI INSTRUMEN SOAL JARINGAN TUMBUHAN. Jenis sekolah. Kurikulum : 2013 3. KISI-KISI INSTRUMEN SOAL JARINGAN TUMBUHAN Jenis sekolah Mata Pelajaran Kelas / Semester : SMA : Biologi : XI / 2 (dua) Kurikulum : 2013 Kompetensi Dasar : 3.3 Menerapkan konsep tentang keterkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Biakan murni merupakan tahapan awal di dalam pembuatan bibit jamur. Pembuatan biakan murni diperlukan ketelitian, kebersihan, dan keterampilan. Pertumbuhan miselium

Lebih terperinci

Studi Awal Pembuatan Komposit Papan Serat Berbahan Dasar Ampas Sagu

Studi Awal Pembuatan Komposit Papan Serat Berbahan Dasar Ampas Sagu Studi Awal Pembuatan Komposit Papan Serat Berbahan Dasar Ampas Sagu Mitra Rahayu1,a), Widayani1,b) 1 Laboratorium Biofisika, Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Biofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan industri kelapa sawit yang cukup potensial sebagai penghasil devisa negara menyebabkan luas areal dan produksi kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat. Sampai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan November 2010 di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Papan Partikel 4.1.1 Kerapatan Kerapatan merupakan perbandingan antara massa per volume yang berhubungan dengan distribusi partikel dan perekat dalam contoh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alami dan harga serat alam pun lebih murah dibandingkan serat sintetis. Selain

I. PENDAHULUAN. alami dan harga serat alam pun lebih murah dibandingkan serat sintetis. Selain 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan komposit tidak hanya komposit sintetis saja tetapi juga mengarah ke komposit natural dikarenakan keistimewaan sifatnya yang dapat didaur ulang (renewable)

Lebih terperinci

biologi agribisnis

biologi agribisnis SEL TUMBUHAN biologi agribisnis 2015 2 DINDING SEL 1. Dinding sel tumbuhan jarang terdiri dari satu macam zat, kebanyakan tersusun dari berbagai bahan 2. Zat yang biasa terdapat pada dinging sel tumbuhan:

Lebih terperinci