BAB I PENDAHULUAN. feminin yaitu ciri-ciri yang diidentikkan dengan sifat keperempuanan. Feminitas

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. feminin yaitu ciri-ciri yang diidentikkan dengan sifat keperempuanan. Feminitas"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Feminitas secara umum memiliki definisi sebagai hal yang memiliki sifat feminin yaitu ciri-ciri yang diidentikkan dengan sifat keperempuanan. Feminitas merujuk pada kualitas kewanitaan menurut konstruksi sosial walaupun perbedaan fisik yang membedakan perempuan dengan laki-laki menjadi satu alasan di sisi lain. Menurut KBBI Edisi Keempat (2008:390), feminitas merupakan sesuatu yang menyangkut perihal perempuan; kefemininan. Feminitas berasal dari kata bahasa Inggris yaitu femininity yang memiliki signifikasi sebagai kualitas menjadi perempuan atau dengan kata lain kualitas keperempuanan. Pada umumnya, sosok perempuan diidentikkan dengan sifat-sifat feminin seperti keibuan, keanggunan, kelembutan, kecantikan, dan lain-lain. Atribut feminin tersebut merupakan anggapan yang berkembang dalam masyarakat tentang figur perempuan ideal. Dengan kata lain, feminitas dibentuk oleh konstruksi sosial mengenai sifat keperempuanan. Sementara itu, definisi femininitas menurut feminis gelombang kedua adalah femininitas dan maskulinitas terbentuk dari reproduksi konsep gender yang tampak dalam masyarakat. Feminisme gelombang kedua menentang apa yang mereka anggap sebagai standar kecantikan pada perempuan. Hal tersebut menghasilkan subordinasi pada perempuan, sehingga perempuan diobjektifikasi 1

2 serta berkompetisi mengenai estetika feminin yaitu apa yang dianggap cantik dalam masyarakat. Femininitas adalah satu rangkaian karakteristik yang didefinisi secara kultural, feminisme adalah posisi politik sementara femaleness (yang paling tepat diterjemahkan sebagai kebetinaan ) adalah hal biologis. Jenis kelamin dan dengan demikian juga kebetinaan adalah realitas biologis, dengan demikian segala fakta biologis; mendapat menstruasi, kemampuan untuk melahirkan, menyusui, dapat dianggap sebagai takdir - yang kurang lebih tidak dapat diubah. Sementara, femininitas dan gender adalah konstruksi sosial budaya yang diatribusikan kepada perempuan, dan karena konstruksi sosial diciptakan manusia maka femininitas dan gender tidaklah ajeg dan demikian dapat berubah (Moi via Prabasmoro, 2006:22). Menurut Kristeva (1941:203), konsep femininitas merupakan metafora bacaan dan bagian dari topografi tulisan, dan kedua hal tersebut ditampilkan sebagai alternatif dari metafora atau simbol paternal. Sama halnya dengan femininitas, bahasa juga merupakan sebuah konstruksi sosial. Pilihan kata yang sering dipakai untuk laki-laki dan perempuan berbeda. Misalnya, perempuan diasosiasikan dengan kata sifat manis, menarik, yang jarang disebutkan pada lakilaki. Peran tersebut merupakan konstruksi sosial dan budaya yang merepresentasi kondisi dan situasi masyarakat pengguna bahasa tersebut (Udasmoro, 2009:20). Femininitas dan maskulinitas adalah istilah yang terus-menerus berubah. Menurut Ballaster, Beetham, Frazer, dan Hebron dalam esai A Critical Analysis of Women s Magazines (via Prabasmoro, 2006:356) bahwa perempuan tidak dapat didefinisi semata-mata dalam ukuran yang negatif; femininitas harus diberikan suatu konteks tertentu. Femininitas yang diungkapkan bersama oleh pelbagai majalah juga berbeda-beda, dari waktu historis satu ke waktu yang lain. Yang terjadi kemudian, selain pergeseran identifikasi, menunjukkan adanya instabilitas 2

3 dan ketidakberlangsungan atas versi ke-dirian perempuan yang ditawarkan dalam pelbagai waktu historis suatu majalah (Prabasmoro, 2006: ). Karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari direpresentasikan ke dalam wujud tulisan dalam karya sastra. Dalam karya sastra Prancis pada abad ke-19, perempuan digambarkan sebagai sosok yang didominasi laki-laki. Figur perempuan kerap digambarkan sebagai yang kedua. Contoh karya sastra yang berbentuk prosa pada novel realis Madame Bovary (1856) karya Gustave Flaubert ( ), tokoh Emma Bovary digambarkan sebagai perempuan yang terampil mengurus urusan domestik untuk membantu pekerjaan Charles. Sisi feminin Emma Bovary digambarkan melalui penampilan fisik dan karakter feminin; mengenakan gaun, menata rambut, dan berdandan (Flaubert, 2010:70 83). Begitu pula dalam karya sastra yang bergenre puisi, aspek feminin digambarkan secara implisit dengan menggunakan metafora serta kata-kata kiasan. Penggambaran femininitas pada puisi karya Chairil Anwar misalnya pada puisinya yang berjudul Sajak Putih. Pada bait pertama di larik ketiga, Di hitam matamu kembang mawar dan melati dan keempat Harum rambutmu mengalun bergelut senda. Mawar yang biasanya berwarna merah mengiaskan cinta dan melati yang berwarna putih mengiaskan kesucian. Rambut si gadis yang berbau harum terurai saat ia tertawa dan bersenda gurau. Dapat disimpulkan bahwa dalam mata si gadis tampak cinta yang tulus, suasana yang pada waktu itu menyenangkan, dan penuh keindahan. Aspek femininitas pada Sajak Putih digambarkan dengan metafora bagian tubuh wanita yaitu mata dan rambut (Pradopo, 2005:189). 3

4 Pada kesusastraan Prancis, aspek femininitas pada puisi juga banyak ditulis oleh sastrawan Prancis seperti Stephane Mallarmé ( ), Arthur Rimbaud ( ), Paul Verlaine ( ), Louis Aragon ( ) hingga Charles Baudelaire ( ). Misalnya pada puisi karya Louis Aragon yang berjudul Les Yeux d Elsa yang ditulis pada tahun 1942, Elsa yang ditulis pada tahun 1959, dan Le Fou d Elsa yang ditulis pada tahun Puisi-puisi tersebut merupakan puisi yang diinspirasi sosok Elsa Triolet, yang menjadi pasangan Louis Aragon. Begitu pula pada karya Charles Baudelaire dalam kumpulan puisi yang berjudul Les Fleurs du mal yang ditulis pada tahun 1857, pada beberapa puisinya perempuan digambarkan sebagai sosok yang eksotis, bahkan erotis. Erotisme merupakan tema di sebagian tulisan Apollinaire sebagai perwujudan hasrat atau pleasure maskulin (Le frisson esthéthique N o 2, 2006:77). Guillaume Apollinaire ( ) merupakan salah satu penyair di abad ke-20 yang berpengaruh pada masanya. Apollinaire disebut sebagai penulis avantgarde karena berhasil menjadi pelopor surealis dan puisi kaligram. Pada awalnya, istilah surealisme dicetuskan pada 1917 menggantikan istilah supernaturalisme yang ia gunakan sebelumnya. Berkat Pablo Picasso, ia terinspirasi untuk menulis des poèmes-peinture atau puisi lukisan. Ia berhasil memvisualisasikan makna dalam bentuk konkret yaitu puisi kaligram. Istilah Calligrammes yang dicetuskan pada tahun 1918 berhasil menciptakan gaya baru dalam kesusastraan, khususnya sastra Prancis (Sumber,:98). Kata Calligrammes berasal dari penggabungan calligraphie dan ideogramme, dalam bahasa Yunani kallos berarti indah dan gramma yang berarti 4

5 huruf. Sebagaimana definisi Calligrammes yang disebutkan oleh Michèle Aquien dalam Dictionnaire de Poétique sebagai berikut: Apollinaire a donné le nom de Calligrammes (qu il a forgé en agglutinant calligraphie et idéogramme ; du grec kallos, beau et gramma lettre ) à un recueil de 1918 dans lequel certains poèmes dessinent, par la manière dont sont agencés lettres et mots, le sujet du poème (il a pensé d abord les appeler idéogrammes lyriques ). Il s agissait pour lui de représenter le poème selon une saisie visuelle instanée, en échappant à la linéarité et en rendant la lisibilité moins immédiate... 1 (Aquien, 1993:72 73). Apollinaire mencetuskan istilah Calligrammes (yang berasal dari gabungan kata calligraphie dan idéogramme ; berasal dari bahasa Yunani kallos, indah dan gramma huruf ) yang terdapat pada satu kumpulan puisi pada tahun 1918 dalam beberapa puisi digambarkan dengan cara menggabungkan huruf-huruf dan kata-kata, subjek puisi (sebelumnya disebut sebagai idéogrammes lyriques ). Puisi baginya berarti merepresentasi puisi menurut artian visual seketika, terlepas dari linearitas dan dapat langsung terlihat... (Aquien, 1993:72 73). Bahasa yang paling sederhana dari tulisan ialah gambar. Melalui karya sastra, Apollinaire berhasil memvisualisasikan bahasa dalam wujud gambar dengan kata-kata melalui puisi grafis. Puisi-puisinya tersebut sering dikaitkan dengan gaya kubisme pada lukisan Picasso. Apollinaire menulis sejumlah antologi puisi, diantaranya adalah Alcools ( ), Calligrammes ( ), dan Poèmes à Lou ( ). Wilhelm Albert Włodzimiers Apolinary Kostrowicki atau yang lebih dikenal dengan nama Guillaume Apollinaire, lahir di Roma, Italia dari ibu berkebangsaan Polandia (Angelica de Kostrowitzky) pada 25 Agustus Pada 1 Aquien, Michèle Dictionnaire de Poétique. Paris. Librairie Générale Française. page

6 tahun 1899 ketika berumur 19 tahun, Apollinaire tiba di Paris. Ia memakai nama samaran atau pseudonim Guillaume Apollinaire. Dalam silsilah keluarganya, Apollinaire merupakan nama depan kelima yang diwariskan dari kakeknya (Apollinaris Kostrowicki); lalu karena Apollinaire berasal dari nama Apollon yaitu dewa cahaya dan puisi dalam mitologi Yunani. Pada 3 Agustus 1914, Jerman menyatakan perang kepada Prancis. Apollinaire yang bukan orang Prancis mendaftarkan diri untuk menjadi tentara namun ditolak oleh tentara Prancis. Apollinaire meninggalkan Paris dan pindah ke Nice. Di kota Prancis Selatan itu, ia menjalin hubungan percintaan dengan Louise de Coligny-Châtillon yang ia sapa dengan sebutan mesra Lou. Apollinaire menulis pernyataan cintanya kepada Louise melalui sajak-sajak idéogrammes, yaitu istilah yang ia berikan untuk karya kreasi barunya: yang berarti teks atau puisi yang kata-katanya membentuk suatu gambar atau sebuah karya grafis. Fakta historis menurut artikel yang dimuat pada majalah sastra Prancis, Virgule yang berjudul Portrait d un poète: Guillaume APOLLINAIRE edisi N o 127 yang terbit pada Maret 2015 menyatakan bahwa pada November 1914, Apollinaire akhirnya bergabung menjadi tentara Prancis dan pergi ke medan perang. Ia ditugaskan di resimen artileri yang berada di Nîmes. Apollinaire menulis surat-surat dan sajaksajak untuk Lou di waktu luangnya di medan perang. Poèmes à Lou (Sajak-sajak untuk Lou) diterbitkan pada tahun 1969 setelah Apollinaire meninggal. Walaupun demikian, Lou sebagai sosok yang pasif, tidak membalas tulisan Apollinaire yang ditujukan kepada Lou, hanya menerimanya tanpa balasan (Virgule, 2015:28). Lou ne décourage pas Apollinaire, mais ne lui cède pas non plus : elle le fait languir, se laisse courtiser, accepte les hommages, sans rien 6

7 donner, pour l instrant, en retour....le lendemain soir, il voit, devant sa caserne, Lou qui l attend: elle l emmène à l hôtel où elle est descendue, et ils deviennent amants. C est une passion aussi folle et ardente que brève: Lou repart quelque jours plus tard, et Apollinaire ne la reverra que trois fois, brièvement. La dernière fois en mars 1915: ils mettent fin à leur liaison, mais s engagent à rester amis, et à s écrire souvent (Virgule, 2015:28). Lou tidak mendukung Apollinare, tidak pula menurutinya: ia membiarkan, menerima karya-karyanya, tanpa balasan....keesokan malamnya, Apollinaire melihat Lou menunggunya di depan asrama tentara: ia mengajak ke hotel dimana mereka saling jatuh cinta. Gairah yang menggebu-gebu yang singkat: Lou pergi beberapa hari setelahnya, dan Apollinaire tidak kembali mengunjunginya sampai tiga kali. Terakhir kali di bulan Maret 1915: mereka mengakhiri hubungan cinta mereka, tetapi tetap berteman, dan sering saling surat-menyurat (Virgule, 2015:28). Lou tidak memberi respon terhadap karya-karya Apollinaire yang menggunakan dirinya sebagai objek. Lou menerimanya tanpa memberi balasan apapun, dengan kata lain Lou menerima dirinya dijadikan objek seni karena ia pasif/tidak aktif mengomentari atau membalas karya Apollinaire terhadap dirinya. Dengan kata lain, Lou menganggap karya-karya Apollinaire yang ditujukan untuk dirinya merupakan hommage atau ungkapan kekaguman. Perang dan perasaan cintanya kepada Lou memberinya inspirasi untuk menulis Calligrammes. Beberapa sajak diantaranya betul-betul merupakan gambar kaligram yang disposisi tipografisnya sekaligus juga menunjukkan tema dan pokok bahasan sajak tersebut, dengan kata lain bentuk kaligram tertulis secara eksplisit dalam lirik puisi. Karya-karya Guillaume Apollinaire yang paling terkenal adalah konkretisasi puisi ke dalam grafis yang disebut sebagai calligramme. Calligramme merupakan puisi yang perwujudan grafisnya membentuk sebuah desain sesuai dengan citra atau makna yang dituju dalam puisi tersebut. Penelitian ini menganalisis beberapa puisi dalam bentuk calligramme karya Apollinaire yang 7

8 terdapat dalam antologi Poèmes à Lou. Puisi-puisi karya Apollinaire yang berbentuk calligramme atau puisi grafis memudahkan pembaca untuk menginterpretasikan makna puisi yang digambarkan secara visual melalui bentukbentuk tertentu. Dalam antologi Poèmes à Lou terdapat 74 puisi, diantaranya lima puisi yang berbentuk idéogrammes lyriques atau yang selanjutnya disebut dengan istilah calligrammes. Kumpulan puisi yang berjudul Poèmes à Lou terbit pada tahun Kumpulan puisi tersebut sebelumnya berjudul Ombre de Mon Amour yang diterbitkan pada Tema utama dalam antologi puisi Poèmes à Lou adalah cinta dan kekaguman seorang laki-laki kepada perempuan. Puisi-puisi tersebut ditulis pada waktu dan tempat yang berbeda. Menurut kronologis penulisan puisi-puisi pada antologi Poèmes à Lou, puisi pertama ditulis pada 8 Oktober 1914 dan puisi terakhir ditulis pada 22 September 1915 (bertepatan dengan Perang Dunia I) di beberapa tempat yang berbeda, yakni di Nice, Nîmes, Tarascon, Mourmelon-le Grand, Courmelois dan Secteur des Hurlus. Tema utama pada antologi Poèmes à Lou adalah cinta dan erotisme yang menggambarkan feminitas dalam bentuk-bentuk tertentu yang terinspirasi oleh Lou. Puisi-puisi Guillaume Apollinaire tentang femininitas dalam puisi grafis yang akan diteliti memiliki bentuk-bentuk seperti buah figue, bunga œillet, pipa opium, pohon kelapa, botol kecil (flacon), ikon croix, potret Lou, dan panah digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan aspek feminin pada perempuan. Bentuk-bentuk yang digambarkan melalui puisi grafis tersebut mencerminkan femininitas perempuan sebagaimana sifat objek yang digambarkan. 8

9 Bentuk kaligramatik pada puisi menunjukkan femininitas perempuan sebagai objek estetis, diantaranya pada puisi Le Portrait de Lou. Bentuk kaligram pada puisi tersebut menggambarkan postur torso perempuan sebagai perwujudan aspek estetik yang dianggap feminin. Pada salah satu bentuk kaligram yang berbentuk buah fig pada puisi grafis yang berjudul La mielleuse figue-c est dans cette fleur-et puis voici l engin menunjukkan bahwa buah fig sebagai representasi objek estetis yang diwujudkan dalam bentuk kaligram. Buah fig yang telah matang sebagai metafora perempuan yang telah dewasa dengan kata lain perempuan yang berusia matang. Buah fig diasosiasikan dengan bibir dan mulut. Dalam hal ini, buah fig menjadi simbol sensualitas perempuan sebagai objek estetis. Sosok perempuan digambarkan dalam bentuk kaligram yang merepresentasikan femininitas sosok Lou. Bentuk kaligram pada puisi merupakan perwujudan objek imajiner menurut perspektif maskulin untuk mendeskripsikan hasrat maskulin terhadap perempuan dengan penggambaran estetis. Pada penelitian ini, lima puisi kaligram pada antologi Poèmes à Lou akan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan teori semiotika oleh Michael Riffaterre. I.2 Rumusan Masalah Puisi grafis atau yang disebut sebagai calligrammes atau idéogrammes lyriques merupakan puisi yang berwujud grafis yang membentuk sebuah ikon yang merujuk pada makna yang dituju dalam puisi. Apollinaire menggambarkan aspek 9

10 feminin atau femininitas sosok Lou sebagai objek estetis melalui bentuk grafis dalam kaligram berupa buah figue, bunga œillet, pipa opium, pohon kelapa, botol minuman beralkohol, ikon croix, potret Lou, dan panah. Dari latar belakang yang telah disebutkan di awal, maka dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana femininitas Lou digambarkan dalam puisi grafis karya Apollinaire sebagai objek estetis? 2. Bagaimana perbedaan penggambaran pada bentuk kaligram dengan tulisan dalam puisi grafis karya Apollinaire? 3. Dalam konteks apa Apollinaire menggambarkan femininitas sebagai objek estetis dalam puisi grafis melalui bentuk kaligram? I.3 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mencari keterhubungan makna antara tulisan dan bentuk kaligram dalam puisi grafis karya Apollinaire dalam antologi Poèmes à Lou (Sajak-sajak untuk Lou) serta unsur-unsur pada bentuk kaligram yang menunjukkan femininitas yang menunjukkan sosok Lou sebagai objek estetis. Puisi kaligram dianalisis dengan metode semiotika Michael Riffaterre dan menurut perspektif feminis untuk mengungkapkan aspek femininitas menurut Apollinaire sebagai simbolik maskulin. 10

11 I.4 Tinjauan Pustaka Guillaume Apollinaire adalah salah satu sastrawan ternama Prancis, oleh karena itu penelitian mengenai Apollinaire telah banyak dilakukan. Penelusuran mengenai penelitian yang membahas sajak-sajak Apollinaire dan penelitian tentang femininitas dilakukan penulis dalam ruang lingkup Fakultas Ilmu Budaya UGM. Terdapat dua penelitian yang menggunakan karya sajak-sajak Apollinaire sebagai objek material dalam ruang lingkup jurusan sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya UGM, yaitu skripsi yang berjudul Simbol-simbol Mimesis Dalam Puisipuisi Apollinaire dan Sitor Situmorang ditulis oleh Novita Dyah P.M (2003, Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada). Skripsi yang ditulis oleh Novita Dyah (2003) merupakan penelitian mengenai kajian komparatif terhadap karya Sitor Situmorang (penyair Indonesia) dan Apollinaire (penyair Prancis). Dalam skripsi tersebut, Novita Dyah (2003) menyimpulkan bahwa kesejajaran hubungan antara sajak Apollinaire dan Sitor Situmorang terdapat pada kesamaan simbol mimesis. Perbedaannya, simbol mimesis Apollinaire terkesan negatif (bernuansa muram) sedangkan Sitor mengartikan simbol mimesis menjadi positif (cerah dan menyenangkan). Perbedaan antara skripsi Novi Dyah (2003) dan penelitian penulis terletak pada objek material dan teori yang digunakan pada penelitian. Penulis menggunakan kaligram pada antologi Poèmes à Lou dan teori semiotika Riffaterre sedangkan Novita Dyah menggunakan teks dari antologi Alcools karya Apollinaire yang dianalisis dengan teori mimetik Plato dan Aristoteles, teori imajinasi material 11

12 Gaston Bachelard dan teori perbandingan teks Pichois-Rousseau sebagai metode analisis. Selanjutnya pada skripsi Makna Bentuk Kaligramatik Sajak-sajak Dalam Antologi Calligrammes Karya Guillaume Apollinaire: Sebuah Kajian Semiotika Riffaterrian oleh Debry Agung N (2013, Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada). Dalam skripsi tersebut Debry Agung (2013) membahas tentang makna bentuk kaligramatik sajak-sajak dalam antologi Calligrammes karya Apollinaire yang dikaji dengan semiotika Riffaterian. Sejumlah puisi yang berbentuk calligramme pada antologi Calligrammes dianalisis dengan teori semiotika Riffaterre untuk diketahui makna kaligramatiknya. Lima buah puisi kaligramatik dipilih sebagai objek penelitian yang masing-masing dikaji dengan pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, penelusuran matriks, model, dan varian, dan penelusuran hipogram. Agung (2013:123) menyimpulkan bahwa kerumitan transmisi makna kaligramatik dapat teruraikan dengan pendekatan semiotika oleh Michael Riffaterre. Persamaan antara penelitian penulis dengan penelitian Agung (2013) terletak pada objek material yang dianalisis sama-sama berupa puisi yang berbentuk kaligram karya Apollinaire dan metode analisis yaitu teori semiotika Riffaterre. Penulis menggunakan objek material dari antologi Poèmes à Lou sedangkan penelitian Agung menggunakan sajak-sajak dari kumpulan Calligrammes. Pada skripsi Agung tidak disinggung mengenai aspek femininitas yang digambarkan pada puisi berbentuk kaligram, objek material pada skripsi tersebut hanya dianalisis untuk memahami makna kaligramatiknya saja. 12

13 Penelitian tentang keperempuanan terdapat pada tesis Nova Setyaningrum (2009) yang berjudul Perempuan dan Keperempuanan: Analisis Posfeminisme Terhadap Celebrity Shopper dan Confessions of A Shopaholic. Penelitian tersebut bertujuan untuk memberikan penggambaran perempuan dan sifat keperempuanan yang terkonstruksi. Tesis ini membahas tentang nilai-nilai keperempuanan atau feminitas perempuan yang digambarkan dalam novel Chick lit yang dianalisis dengan teori posfeminis oleh Hélène Cixous. Nova mengemukakan beberapa kutipan pada novel yang menunjukkan aspek-aspek keperempuanan pada tokoh perempuan. Penelitian tentang femininitas terdapat pada tesis Eka Susanti (2014) yang berjudul Femininitas, Maskulinitas, dan Peran Gender dalam Tiga Venus Karya Clara Ng. Penelitian ini membahas nilai-nilai femininitas dan maskulinitas pada tiga tokoh perempuan (Emily, Lies, dan Juli) dalam novel Tiga Venus. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori politik seksual oleh Kate Millet dalam bukunya yang berjudul Sexual Politics. Eka menyimpulkan bahwa pembentukan femininitas dan maskulinitas berkaitan erat dengan dikotomi ranah domestik dan ranah publik. Pada tesis ini Eka juga membahas tentang femininitas, maskulinitas dan peran gender dari sudut pandang Clara Ng sebagai pengarang novel yang diteliti. Pada bagian kesimpulan penelitian ini, Eka menyatakan bahwa Clara Ng mengkritisi konstruksi masyarakat tentang femininitas, maskulinitas dan peran gender yang seolah-olah dianggap sebagai kodrat yang tidak dapat diubah. Novel Tiga Venus merupakan suatu bentuk pembuktian Clara Ng bahwa perempuan mampu mandiri dengan menulis. 13

14 Berdasarkan pemaparan mengenai tinjauan kepustakaan terdahulu, yang membedakan penelitian yang berjudul Perempuan Sebagai Objek Estetis dalam Puisi Kaligram Karya Apollinaire dalam Antologi Poèmes à Lou dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah topik bahasan pada penelitian ini membahas tentang femininitas dalam puisi kaligram yang ditulis oleh laki-laki. Topik tentang gender telah banyak dibahas di sejumlah penelitian sastra, namun yang membedakan penelitian ini adalah objek material yang digunakan yaitu berupa puisi kontemporer yang memiliki bentuk kaligram. Penelitian ini layak dilakukan untuk memperkaya khasanah penelitian ilmu humaniora yang membahas topik tentang femininitas pada puisi, baik puisi konvensional yang berbentuk linear maupun puisi grafis yang memiliki bentuk kaligram sebagai objek material dalam ruang lingkup Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. I.5 Landasan Teori Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda, berasal dari kata bahasa Yunani semeiôn yang berarti tanda. Ferdinand de Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi. Semiologi menurut F. de Saussure adalah sebagai ilmu yang mempelajari tanda-tanda di dalam masyarakat, la science qui étudie la vie dessignées au sein de la vie sociale. Istilah semiotik dicetuskan oleh Charles Sander Peirce, seorang ahli filsafat Amerika. Kata semiologi dan semiotik kini berada dalam disiplin ilmu yang sama. Bentuk pertama (semiologi) digunakan di Eropa sedangkan kata semiotik dipakai pada masyarakat Anglo-Saxo/Amerika (Guiraud, 1973:5). 14

15 Pada penelitian ini digunakan teori semiotika oleh Michael Riffaterre untuk menganalisis puisi-puisi kaligram. Teori semiotika digunakan sebagai pendekatan pada analisis penelitian ini karena teori semiotika ini memiliki metode yang efektif untuk mencapai tujuan penelitian. Metode semiotika diterapkan pada puisi-puisi kontemporer yang memiliki bentuk grafis seperti puisi kaligram. Metode Riffaterrian diterapkan dalam analisis penelitian, sehingga dapat ditemukan hubungan makna dan tulisan yang terkandung di dalamnya. Berikut adalah penjelasan mengenai teori semiotika oleh Riffaterre. I.5.1 Teori Semiotika dan Pemaknaan Puisi Kaligram Buku Semiotics of Poetry oleh Michael Riffaterre merupakan karya mengenai teori sastra yang menawarkan deskripsi struktur makna pada puisi yang koheren dan sederhana. Riffaterre menyatakan bahwa ada empat hal yang berhubungan dengan analisis tanda-tanda untuk memproduksi makna. Empat hal yang menjadi prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Ketidaklangsungan Ekspresi...Indirection is produced by displacing, distorting, or creating meaning. Displacing, when the sign shifts from one meaning to another, when one word stands for another, as happens with metaphor and metonymy. Distorting, when there is ambiguity, contradiction, or nonsense. Creating, when textual space serves as a principle of organization for making signs out of linguistics items that may not be meaningful otherwise (for instance, symmetry, rhyme, or semantic equivalences between positional homologues in a stanza) (Riffaterre, 1978:2)....Ketidaklangsungan disebabkan oleh penggantian, penyimpangan, atau penciptaan arti. Penggantian, ketika tanda menggantikan satu arti ke 15

16 arti yang lain, ketika satu kata berarti yang lain, seperti metafora dan metonimia. Penyimpangan, ketika adanya ambuguitas, kontradiksi, atau non-sense. Penciptaan, ketika ruang tekstual menjadi prinsip kesatuan untuk menciptakan tanda yang secara linguistik tidak mempunyai arti tapi menimbulkan makna dalam karya sastra (seperti simetri, rima, atau ekuivalen semantik antara penempatan homolog dalam stanza) (Riffaterre, 1978:2). Pertama, Riffaterre mengemukakan bahwa ada satu hal yang tinggal tetap dalam puisi, puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung, yaitu mengatakan suatu hal dan berarti yang lain: a poem says one thing and means another. Ketidaklangsungan ekspresi puisi disebabkan oleh tiga hal: (1) displacing of meaning (penggantian arti), (2) distorting of meaning (penyimpangan arti), dan (3) creating of meaning (penciptaan arti) (Pradopo, 2005:12-13). a. Penggantian arti (displacing of meaning) Penggantian arti (displacing of meaning) menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan majas atau bahasa kiasan (figurative language) seperti pada metafora (perumpamaan) dan metonimi. Penggantian arti terjadi ketika satu tanda mengalami pergantian arti dari satu arti ke arti yang lain. Metafora dan metonimi merupakan bahasa kiasan yang memiliki makna figuratif. Metafora dan metonimi adalah bahasa kiasan pada umumnya seperti simile (perbandingan), metafora, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi. Contoh metafora pada puisi yang berjudul Sebuah Kamar karya Chairil Anwar. Pada baris pertama, Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia. Pada baris sajak tersebut terdapat personifikasi dan sinekdoki totem pro parte (keseluruhan untuk sebagian orang). Personifikasi yaitu jendela dikiaskan sebagai orang yang dapat bergerak: 16

17 menyerahkan kamar, seolah-olah kamar itu dapat diangkat diberikan kepada dunia. Sinekdoki yaitu dunia dapat melihat kamar itu (Pradopo, 2005: ). Metafora terdiri dari dua term, yaitu bentuk pokok (principal term) dan bentuk kedua (secondary term). Bentuk pokok disebut tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan bentuk kedua disebut vehicle adalah hal untuk membandingkan. Metafora implisit (implied metaphor) adalah metafora yang langsung menyebutkan vehicle tanpa menyebutkan tenor. Metafora mati (dead metaphor) adalah metafora yang sudah klise sehingga orang sudah lupa bahwa itu metafora (Pradopo, 2005:66 67). b. Penyimpangan arti (distorting of meaning) Penyimpangan arti (distorting of meaning) disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra yang berarti ganda (polyinterpretable) menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase atau kalimat. Dengan ambiguitas puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya (Pradopo, 2007:150). Kontradiksi berarti mengandung pertentangan, disebabkan oleh paradoks (berlawanan) atau ironi (menyatakan sesuatu hal secara kebalikan, biasanya untuk menyindir suatu keadaan). Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi. Akan tetapi, nonsense mempunyai makna dalam puisi karena adanya konvensi sastra. Contoh nonsense terdapat pada puisi mantra pada sajak Sutardji Calzoum Bachri (Pradopo, 17

18 2007: ). Pada puisi grafis yang akan dianalisis tidak terdapat unsur yang menyebabkan penyimpangan arti yang berupa ambiguitas, kontradiksi, maupaun nonsense. c. Penciptaan arti (creating of meaning) Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti tapi menimbulkan makna dalam karya sastra. Penciptaan arti merupakan organisasi teks di luar linguistik, di antaranya adalah pembaitan, enjambement (ekuivalensi makna (semantik) di antara persamaan posisi dalam bait), persajakan (rima), tipografi (tata huruf), dan homologues (persamaan posisi) (Pradopo, 2007:129). Pada puisi grafis yang memiliki bentuk kaligram, aspek tipografi berperan penting dalam penciptaan arti. Kata-kata dalam puisi tersusun sedemikian rupa hingga menyerupai bentuk tertentu yang menimbulkan penciptaan arti pada puisi grafis. Definisi calligramme dan atau idéogramme lyrics yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang merujuk pada bentuk kaligram pada puisi grafis yang mendukung keterhubungan makna antara bentuk visual dan tulisan sebagai unsur yang membentuk puisi menjadi kesatuan struktur yang utuh. 2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik... If we are to understand the semiotics of poetry, we must carefully distinguish two levels or stages of reading,...this first, heuristic reading is also where the first interpretation takes place, since it is during this reading that meaning is apprehended... (Riffaterre, 1978:5)....Jika kita ingin memahami semiotika puisi, kita harus teliti membedakan dua tahap pembacaan,...pertama, pembacaan heuristik juga 18

19 dimana interpretasi pertama dilakukan, selama pembacaan tersebut arti interpretasi dipahami... (Riffaterre, 1978:5). Kedua, puisi dibaca secara heuristik sesuai dengan konvensi bahasa yaitu berdasarkan sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan heuristik pada puisi menghasilkan arti bahasanya. Pada pembacaan heuristik, untuk memperjelas arti diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya ditulis dalam tanda kurung. Struktur kalimatnya juga disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), bila perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti (Pradopo, 2007:136). The second stage is that of retroactive reading. This is the time for a second interpretation, for the truly hermeneutic reading....the maximal effect of retroactive reading, the climax of its function as generator of signifiance, naturally comes at the end of the poem (Riffaterre, 1978:5 6). Tahap kedua adalah pembacaan rekroaktif. Pada tahap ini dilakukan interpretasi kedua, untuk pembacaan hermeneutik yang sebenarnya....hasil maksimal dari pembacaan retroaktif, puncak dari fungsi pembacaan tersebut sebagai pencari makna, biasanya terdapat di akhir puisi (Riffaterre, 1978:5 6). Selanjutnya, dilakukan pembacaan retroaktif atau hermeneutik untuk mencari makna (signifiance) berdasarkan konvensi sastra atau pada puisi. Puisi merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua yang menggunakan medium bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama. Konvensi sastra yang memberikan makna itu diantaranya konvensi ketidaklangsungan ekspresi menurut Riffaterre. Pada pembacaan hermeneutik terdapat proses decoding, yaitu 19

20 penerimaan pembaca untuk mengungkap makna (signifiance) pada puisi (Pradopo, 2007:137). 3. Matriks, Model, dan Varian The poem results from the transformation of the matrix, a minimal and literal sentence, into a longer, complex, and nonliteral periphrasis. The matrix is hypotetical, being only the grammatical and lexical actualization of a structure. The matrix may be epitomized in one word, in which case the word will not appear in the text. It is always actualized in successive variants; the form of these variants is governed by the first or primary actualization, the model. Matrix, model, and text are variants of the same structure (Riffaterre, 1978:19). Hasil puisi dari transformasi matriks, minimal dan kalimat harfiah, menuju yang lebih panjang, kompleks, dan... Matriks bersigat hipotetis, hanya merupakan gramatikal dan aktualisasi leksikal dari struktur. Matriks dapat di... dalam satu kata, dimana kata tersebut tidak muncul dalam teks. Hal tersebut selalu terwujud dalam varian; bentuk dari varian tersebut di... oleh aktualisasi pertama atau pokok yaitu model. Matriks, model, dan teks adalah varian dari struktur yang sama (Riffaterre, 1978:19). Ketiga, pencarian matriks (kata kunci) pada puisi untuk pemaknaan lebih lanjut. Sajak merupakan hasil transformasi dari matriks. Matriks ini adalah kata kunci (keyword) dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat sederhana. Matriks ini mengarah pada tema. Matriks tidak tertulis atau tidak dieksplisitkan dalam sajak (karya sastra). Matriks dan model ditransformasikan menjadi varian-varian. Varian ini merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda: baris atau bait. Varian-varian itu berupa masalahnya. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Dari matriks, model, dan varian tersebut dapat diabstraksikan atau disimpulkan tema sajak (Pradopo, 1999 : 77 78). 20

21 4. Hipogram In either case the production of the poetic sign is determined by hypogrammatic derivation: a word or phrase is poeticized when it refers to (and, if a phrase, patterns itself upon) apreexistent word group. The hypogram is already a system of signs comprising at least a predication, and it may be as large as text. The hypogram may be potential, therefore observable in language, or actual, therefore observable in a previous text. For the poeticity to be activated in the text, the sign referring to a hypogram must also be a variant of that text s matrix. Otherwise the poetic sign will function only as a stylistically marked lexeme or syntagm. (Riffaterre, 1978:23). Dalam hal lain, produksi tanda puitis ditentukan oleh derivasi hipogramatik: satu kata atau kalimat yang dipuitisasi ketika mengacu pada (dan jika sebuah kalimat, membentuk dirinya sendiri) sekumpulan kata yang tidak ada. Hipogram sudah merupakan sistem tanda terdiri dari paling tidak sebuah dasar, dan dapat sebesar teks. Hipogram dapat berpotensi, sebelumnya terlihat dalam bahasa, atau aktual, yang terdapat di teks sebelumnya. Agar unsur puitis terdapat dalam teks, tanda yang mengacu pada hipogram juga harus merupakan varian dari matriks teks tersebut. Jika tidak, tanda puitis hanya akan berfungsi sebagai penanda stilistik leksim atau sintagma (Riffaterre, 1978:23). Keempat, Hipogram menurut Riffaterre adalah teks tertentu yang menjadi latar penciptaan sebuah sajak atau merupakan bentuk intertekstualitas yang melatarbelakangi ditulisnya karya sastra. Karya sastra akan bermakna penuh jika dijajarkan dengan teks lain, yang menjadi latar belakang penciptaan teks sesudahnya. Dalam arti bahwa sajak baru dapat dipahami makna secara sepenuhnya setelah diketahui hubungannya dengan sajak lain yang menjadi latar penciptaannya (Pradopo, 2005:227). Hipogram menurut Riffaterre dibagi menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial adalah hipogram yang terlihat pada teks yang dianalisis, sedangkan hipogram aktual, yaitu ditemukan pada teks lain. Tanda 21

22 puitis pada teks mengacu pada hipogram yang juga berupa varian pada matriks dari teks tersebut. I.5.2 Konsep Femininitas dan Objektifikasi Perempuan dari Perspektif Feminisme Perempuan sebagai gender kerap dijadikan objek sebagai pleasure dan desire, diobjektifikasi menjadi sumber kenikmatan bagi laki-laki. Wacana kecantikan dan femininitas perempuan tidak dapat dilepaskan dari konstruksi budaya patriarki yang memberikan kuasa kepada laki-laki untuk memberikan pengakuan atas femininitas perempuan di satu sisi, dan perempuan untuk selalu mencari pengakuan atas femininitasnya dari laki-laki di sisi lain. Konstruksi femininitas dan seksualitas perempuan hadir melalui simbol-simbol maskulinitas yang direpresentasi oleh perempuan yang merupakan objek seksualnya sebagai cara penundukan perempuan dalam kuasa laki-laki (Prabasmoro, 2006: ). Dalam hal ini, puisi grafis sebagai objek material memiliki unsur femininitas Lou sebagai perempuan yang menginspirasi Apollinaire untuk menulis puisi tersebut dan merepresentasikan perempuan secara simbolis sebagai objek. Femininitas sebagai gender berkaitan pula dengan lingkup antropologi. Dalam buku yang berjudul Gender and Anthropology karya Frances E. Mascia- Lees dan Nancy Johnson Black (2000) menyatakan permasalahan mengenai objektivitas pada perempuan. Bahwa ilusi tentang objektivitas dipengaruhi oleh 22

23 budaya yang tidak dapat dijamah karena konsep tentang budaya yang problematik....culture, however, is not a thing that can be seen, touched, or bounded. We are led to believe that it is because we reify the concept. That is, we take this conceptual category and treat it as if it is real. We think of culture as an entity with a concrete or material existence that is out there and as something we can observe and objectively know if we use the right methods or assumptions... (Black, 2000:99)....Budaya bukan merupakan hal yang bisa dilihat, disentuk, atau di.... Kita digiring untuk mempercayai hal tersebut karena kita me... konsep. Dimana, kita menganggap kategori konsep tersebut dan memperlakukannya seolah hal tersebut nyata. Kita menganggap budaya sebagai sebuah entitas dengan konkret atau keberadaan material yang diluar dan sebagai sesuatu yang kita dapat teliti dan diketahui secara objektif jika kita menggunakan metode yang benar atau asumsi... (Black, 2000:99). Naomi Wolf (2004) dalam bukunya yang berjudul Mitos Kecantikan Kala Kecantikan Menindas Perempuan menyatakan bahwa sepanjang definisi kecantikan datang dari luar diri perempuan, kita akan terus dimanipulasi oleh definisi itu sendiri. Mitos kecantikan adalah sebuah fenomena ketika perempuan memiliki anxiety dan perasaan insecure mengenai bagaimana perempuan menilai tubuh mereka, perempuan yang menjadi korban ideologi langsing yang bergulat dengan rasa lapar dan gangguan makan (anorexic). Kecantikan ideal dianggap ideal karena kecantikan itu tidak pernah ada. Tindakan untuk mewujudkan yang ideal itu terletak dalam kesenjangan antara hasrat dan kepuasan (Wolf, 2004:344). Menurut Wolf (2004:346), femininitas adalah kode untuk keperempuanan, ditambah semua hal yang terjadi dalam masyarakat yang bisa dijual. Jika femininitas berarti seksualitas perempuan dan sisi-sisinya yang 23

24 menyenangkan, perempuan tidak pernah kehilangan hal tersebut dan berarti tidak perlu membelinya kembali. Wolf mendefinisi mitos kecantikan sebagai obsesi kesempurnaan fisik yang memenjarakan perempuan dalam harapan, self-hate, dan definisi masyakarat atau social-construct tentang kecantikan sempurna. Ideologi tentang kecantikan adalah ideologi penghabisan yang mengingatkan pada ideologi femininitas kuno yang menyisakan kekuatan untuk mengendalikan para perempuan generasi kedua hingga tak lagi memiliki hal-hal yang bisa dikontrol. Kita berada di tengah-tengah pertentangan melawan feminisme yang menggunakan citra kecantikan perempuan sebagai senjata politis untuk menentang kemajuan perempuan. Itulah Mitos Kecantikan. Mitos kecantikan merupakan versi mutakhir dari refleks sosial yang kuat sejak Revolusi Industri. Selepas perempuan dari mistik feminin (feminine mystique) tentang domestisitas, mitos kecantikanlah yang mengambil alih dasar yang hilang ini, dan terus memperluas kekuasaanya sebagai kontrol sosial. (Wolf, 2004:25 26). Menurut Wolf (2004:26 27), feminisme memberi kita kekuatan hukum untuk melawan diskriminasi dalam dunia kerja, yang berbasis gender. Para feminis, terinspirasi oleh Friedan, (Betty Friedan, seorang feminis Amerika terkenal yang mendirikan organisasi perempuan NOW (National Organization for Women), -- penj.), mendobrak rintangan-rintangan dari para pemasang iklan produk-produk (industri perawatan kulit dan obat diet) dalam majalah populer perempuan yang mempromosikan mistik feminin. Menurut Friedan via Wolf dalam bukunya yang berjudul The Feminine Mystique (1963), konsep femininitas berkaitan dengan relasi kekuasan patriarkal dimana sebagian besar keputusan dimiliki oleh laki-laki. 24

25 Tong (2009:30 34) dalam bukunya yang berjudul Feminist Thought membahas tentang pemikiran feminis abad ke-20, Friedan, mengenai Equal Rights atau persamaan hak. Melalui bukunya yang berjudul The Feminine Mystique, Friedan membahas tentang domestifikasi perempuan, pernikahan dan motherhood. Sebagai pendiri NOW (National Organisation for Women), Friedan memperjuangkan hak perempuan dalam hal kesetaraan gender, kemandirian, dan kualitas androgynous pada perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, kualitas feminin maupun maskulin pada pribadi manusia harus dikembangkan seiring bertambahnya usia....eventually, Friedan claimed that because human wholeness is the true promise of feminism, feminists should move beyond a focus on women s issues (issues related to women s reproductive and sexual roles, rights, and responsibilities) in order to work with men on the concrete, practical, everyday problems of living, working and loving as equal persons (Tong, 2009:33)....Friedan menyatakan hal tersebut karena keseluruhan manusia adalah janji feminisme yang sebenarnya, feminis harus bergerak melampaui isu wanita (isu yang terkait dengan reproduksi wanita dan peran seksual, hak, dan kewajiban) untuk dapat bekerja dengan laki-laki dalam konkret, praktik, masalah sehari-hari, bekerja dan mencintai layaknya orang yang setara (Tong, 2009:33). Seorang feminis eksistensialis Prancis, Simone de Beauvoir (1949) dalam bukunya yang berjudul Le Deuxième Sexe atau The Second Sex berpendapat bahwa perempuan bukanlah realitas yang ajeg, tetapi lebih merupakan sesuatu yang menjadi, dan dengan demikian harus didefinisi. Seorang perempuan tidak harus menjadi feminin atau dalam hal ini, dia juga tidak harus berjuang melawan femininitasnya. Perempuan dapat menjadi perempuan dengan cara yang 25

26 diinginkannya sesuai dengan caranya memaknai dan menubuhi tubuhnya. Beauvoir berpendapat bahwa femininitas bukan merupakan takdir seperti biologi perempuan didiktekan kepada kita (Prabasmoro, 2006:57 66). Pada puisi grafis yang menjadi objek material dalam penelitian ini terdapat bentuk kaligramatik yang memiliki keterhubungan makna dengan tulisan yang membentuknya. Puisi tersebut ditulis oleh Apollinaire pada awal abad ke-20, pada masa Perang Dunia I. Perempuan digambarkan dari sudut pandang laki-laki atau male gaze yang menunjukkan ekspresi romantis laki-laki terhadap perempuan. I.6 Metodologi Penelitian Pada penelitian ini dilakukan beberapa tahapan. Tahap pertama adalah tahap pembacaan heuristik terhadap puisi dalam antologi Poèmes à Lou sehingga dipilih lima buah puisi grafis dari antologi Poèmes à Lou karya Guillaume Apollinaire sebagai objek material, yaitu: La mielleuse figue-c est dans cette fleur-et puis voici l engin, À Lou Hommage, À Madame La Comptesse, Portrait de Lou, dan Flèche Saignante. Kedua, dilakukan proses pembacaan hermeneutik pada ketiga puisi grafis di atas, akan ditemukan bentuk-bentuk ketidaklangsungan ekspresi yang menunjukkan femininitas serta interpretasi terhadap bentuk kaligram pada ketiga puisi yang akan dianalisis. Pada pembacaan hermeneutik, dilakukan interpretasi pada puisi grafis dari aspek femininitas yang dihubungkan dengan konsep femininitas menurut pemikiran sejumlah feminis. Tahap selanjutnya adalah mencari matriks, model, dan varian pada puisi kaligram La mielleuse figue-c est 26

27 dans cette fleur-et puis voici l engin, À Lou Hommage, dan À Madame La Comptesse. Pencarian matriks, model, dan varian tersebut bertujuan untuk mencari kata kunci yang menjadi tema pada puisi. Tahap terakhir adalah penelusuran hipogram atau hubungan intertekstualitas dengan puisi lain dari masing-masing puisi kaligram tersebut. Selain penerapan metode Riffaterian pada puisi yang dianalisis, dilakukan pula analisis mengenai femininitas pada antologi Poèmes à Lou dari beberapa perspektif feminis pada puisi kaligram Portrait de Lou, dan Flèche Saignante. Aspek femininitas Lou yang terdapat pada puisipuisi kaligram dikaitkan menurut teori feminis mengenai femininitas. I.7 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari beberapa bab sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, yang terdiri atas: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II yaitu analisis atau pembahasan. Bahasan pokok meliputi aspek femininitas, eksotisme perempuan dan perempuan sebagai simbol pada puisi grafis sebagai objek material. Pada analisis puisi pertama yang berjudul La mielleuse figue-c est dans cette fleur-et puis voici l engin mengenai male gaze dan aspek femininitas. Sementara itu, pada puisi kedua yang berjudul À Lou Hommage akan dianalisis mengenai topik eksotisme perempuan, sedangkan pada puisi ketiga yang berjudul À Madame La Comptesse, topik bahasannya meliputi subordinasi 27

28 perempuan sebagai simbol. Pembahasan pada bab II menggunakan metode yang terdapat dalam teori semiotika oleh Michael Riffaterre yang mencakup pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, penelusuran matriks, model, varian dan hipogram. Bab III membahas mengenai konsep femininitas dari perspektif feminis. Terdapat beberapa sub-bab yang membahas mengenai keterhubungan makna bentuk kaligram dan puisi dengan aspek femininitas. Bahasan pada bab ini antara lain: Perempuan sebagai Objek Estetis, Eksploitasi Seksualitas Figur Perempuan, Sensualitas Feminin dan Objek Eksotis, dan Perempuan dalam Sistem Patriarkal. Puisi kaligram yang dibahas pada bab III adalah Le Portrait de Lou dan Flèche Saignante. Puisi kaligram yang telah dibahas di bab sebelumnya kembali diinterpretasikan dalam bab ini menurut beberapa perspektif feminis seperti: Rosemarie Tong, Betty Friedan, Julia Kristeva, Monique Wittig, Luce Irigaray, Simone de Beauvoir, Judith Butler, Wening Udasmoro, dan Naomi Wolf. Bab IV Kesimpulan, berisi kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, résumé dalam bahasa Prancis, dan dilanjutkan dengan daftar pustaka. 28

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Studi Terdahulu. tahun Skripsi tersebut menggunakan semiotik Michael Riffatterre sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Studi Terdahulu. tahun Skripsi tersebut menggunakan semiotik Michael Riffatterre sebagai BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Studi Terdahulu Sebelumnya, ada beberapa penelitian yang memiliki tema yang sama. Pertama, Intertekstual Lirik-Lirik Lagu Karya Ahmad Dhani: Sebuah

Lebih terperinci

banyak orang yang meneliti gaya bahasa puisi kontemporer. Gaya bahasa yang dideskripsikan melalui penelitian Gaya Bahasa dalam

banyak orang yang meneliti gaya bahasa puisi kontemporer. Gaya bahasa yang dideskripsikan melalui penelitian Gaya Bahasa dalam 12 Telepon Genggam terdapat banyak gaya bahasa yang khas dan unik serta belum banyak orang yang meneliti gaya bahasa puisi kontemporer. Gaya bahasa yang dideskripsikan melalui penelitian Gaya Bahasa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Puisi menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia terdapat dua macam

BAB I PENDAHULUAN. Puisi menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia terdapat dua macam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Puisi menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia terdapat dua macam arti, yaitu ragam sastra yang bahasanya terikat oleh rima atau pengulangan bunyi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan media bahasa (Pradopo, 2010: 121). Bahasa merupakan media

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan media bahasa (Pradopo, 2010: 121). Bahasa merupakan media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan sebuah struktur yang bermakna. Hal ini disebabkan karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang menggunakan media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Bahasa Karya Sastra

BAB I PENDAHULUAN  A. Bahasa Karya Sastra BAB I PENDAHULUAN Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan itu beraneka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan bahasa ringkas, pilihan kata yang konotatif, banyak penafsiran, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan bahasa ringkas, pilihan kata yang konotatif, banyak penafsiran, dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Puisi merupakan bentuk karya sastra yang tersaji menggunakan kata-kata yang indah dan kaya bahasa yang penuh makna (Kosasih, 2008: 31). Keindahan puisi ditentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, diberi irama dengan bunyi yang padu, dan

BAB I PENDAHULUAN. bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, diberi irama dengan bunyi yang padu, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Puisi dalam Kamus Istilah Sastra (1984) adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Hal yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah bentuk seni yang dituangkan melalui bahasa.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah bentuk seni yang dituangkan melalui bahasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah bentuk seni yang dituangkan melalui bahasa. Hal ini ditegaskan oleh Wellek dan Werren, bahwa karya sastra dipandang sebagai suatu kegiatan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. dikaguminya. Ia menyebutnya dengan panggilan mesra Lou. Sebagai karya

BAB IV KESIMPULAN. dikaguminya. Ia menyebutnya dengan panggilan mesra Lou. Sebagai karya BAB IV KESIMPULAN Poèmes à Lou merupakan karya sastra antologi atau kumpulan puisi karya Guillaume Apollinaire didedikasikan untuk seorang perempuan yang dicintai dan dikaguminya. Ia menyebutnya dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Lebih terperinci

PEMAKNAAN PUISI GADIS PEMINTA-MINTA KARYA TOTO SUDARTO BACHTIAR MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIKA DAN INTERTEKSTUALITAS

PEMAKNAAN PUISI GADIS PEMINTA-MINTA KARYA TOTO SUDARTO BACHTIAR MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIKA DAN INTERTEKSTUALITAS 73 PEMAKNAAN PUISI GADIS PEMINTA-MINTA KARYA TOTO SUDARTO BACHTIAR MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIKA DAN INTERTEKSTUALITAS wardah_hanafiah@yahoo.com Abstract As homo semioticus, humans communicate to others

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wanita merupakan topik pembicaraan yang terus dikupas di media masa

BAB I PENDAHULUAN. Wanita merupakan topik pembicaraan yang terus dikupas di media masa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan topik pembicaraan yang terus dikupas di media masa dari abad ke abad. Tulisan awal tentang wanita dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermakna. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Saussure (via Nurgiantoro,

BAB I PENDAHULUAN. bermakna. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Saussure (via Nurgiantoro, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang mempunyai sistem tanda yang bermakna. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Saussure (via Nurgiantoro, 1995:39) yaitu bahasa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP A. Simpulan Fokus kajian dalam penelitian ini adalah menemukan benang merah hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ciri khas merupakan tuntutan dalam derasnya persaingan industri media massa yang ditinjau berdasarkan tujuannya sebagai sarana untuk mempersuasi masyarakat. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra ditulis oleh

BAB I PENGANTAR. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra ditulis oleh BAB I PENGANTAR Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra ditulis oleh sastrawan yang terikat pada paham, pikiran, atau pandangan dunia masyarakat pada zamannya dan zaman sebelumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disaksikannya, gagasan hidup, hingga cita-cita. Pengungkapan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. disaksikannya, gagasan hidup, hingga cita-cita. Pengungkapan tersebut harus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seni adalah pengungkapan pengalaman dan merupakan hasil kreativitas manusia dalam menghayati dan memaknai kehidupan. Seorang seniman bermaksud menyampaikan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI x. ABSTRAK.xii

DAFTAR ISI x. ABSTRAK.xii DAFTAR ISI HALAMAN HALAMAN JUDUL....i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.ii LEMBAR PENGESAHAN iii HALAMAN PENETAPAN UJIAN...iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN......vi KATA PENGANTAR...vii DAFTAR ISI x ABSTRAK.xii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan berasal dari kata susastra. Su dan Sastra, dan kemudian kata

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan berasal dari kata susastra. Su dan Sastra, dan kemudian kata 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesusastraan berasal dari kata susastra. Su dan Sastra, dan kemudian kata tersebut diberi imbuhan konfiks ke-an. Su berarti indah atau baik, sastra berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyalakan lampu sen bagian kanan yang berarti memberikan isyarat atau tanda

BAB I PENDAHULUAN. menyalakan lampu sen bagian kanan yang berarti memberikan isyarat atau tanda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketika seorang wasit meniup peluit, para pemain sepak bola bergegas memulai pertandingan. Perbuatan meniup peluit di sini diartikan sebagai tanda untuk memulai pertandingan.

Lebih terperinci

Gambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber:

Gambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber: BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Widyokusumo (2012:613) bahwa sampul majalah merupakan ujung tombak dari daya tarik sebuah majalah. Dalam penelitian tersebut dideskripsikan anatomi sampul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. katanya. Puisi pada dasarnya merupakan sarana ekspresi seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. katanya. Puisi pada dasarnya merupakan sarana ekspresi seseorang untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puisi sebagai salah satu jenis karya sastra memiliki nilai seni kesusastraan yang tinggi melalui bahasanya yang padat dan bermakna dalam setiap pemilihan katanya. Puisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah On ne naît pas femme: on le devient seorang perempuan tidak lahir perempuan, tetapi menjadi perempuan ujar Beauvoir dalam bukunya yang terkenal Le Deuxième

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Hal

BAB I PENDAHULUAN. bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum terdapat tiga genre sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama. Puisi adalah pemadatan ide atau gagasan yang jika kadar kepadatannya diencerkan akan berwujud

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

MAKSUD DAN TUJUAN. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak.

MAKSUD DAN TUJUAN. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. ANALISIS SEMIOTIKA MAKSUD DAN TUJUAN Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Menganalisis sajak itu bertujuan memahami makna sajak SEMIOTIKA TOKOH SEMIOTIKA XXX PUISI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra adalah bentuk karya seni yang diungkapkan oleh pikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra adalah bentuk karya seni yang diungkapkan oleh pikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah bentuk karya seni yang diungkapkan oleh pikiran danperasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan.genre sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah sistem yang menghubungkan suatu karya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah sistem yang menghubungkan suatu karya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah sistem yang menghubungkan suatu karya dengan pengarang sebagai penghasil imajinasi dan kreativitas sastra secara individual dan pembaca

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad ke 18 merupakan abad pencerahan bagi Prancis dan negara-negara Eropa

BAB I PENDAHULUAN. Abad ke 18 merupakan abad pencerahan bagi Prancis dan negara-negara Eropa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Abad ke 18 merupakan abad pencerahan bagi Prancis dan negara-negara Eropa lain yang mengalami kemajuan, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. Kemajuan tersebut dibuktikan

Lebih terperinci

ANALISIS GAYA BAHASA PADA PUISI AKU KARYA CHAIRIL ANWAR

ANALISIS GAYA BAHASA PADA PUISI AKU KARYA CHAIRIL ANWAR P ISSN 2614-624X E ISSN 2614-6231 DOI: http://dx.doi.org/10.22460/p.v1i2p%25p.193 ANALISIS GAYA BAHASA PADA PUISI AKU KARYA CHAIRIL ANWAR Risma Despryanti 1, Riska Desyana 2, Amalia Siddiqa Rahayu 3, Yeni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak merepresentasikan perempuan sebagai pihak yang terpinggirkan, tereksploitasi, dan lain sebagainya. Perempuan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimulai dari adanya Restorasi Meiji. Pada masa Meiji ini banyak dihasilkan karya

BAB I PENDAHULUAN. dimulai dari adanya Restorasi Meiji. Pada masa Meiji ini banyak dihasilkan karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini menggunakan salah satu karya sastra yang berasal dari kesusastraan Jepang modern sebagai objeknya. Kesusastraan Jepang modern dimulai dari adanya

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra adalah sebuah sistem yang kompleks sehingga untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra adalah sebuah sistem yang kompleks sehingga untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah sebuah sistem yang kompleks sehingga untuk memahami karya sastra dibutuhkan analisis. Definisi karya sastra menurut KBBI (1989:76) adalah sebuah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. pembanding untuk penelitian kali ini. Beberapa penelitian tersebut dipaparkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. pembanding untuk penelitian kali ini. Beberapa penelitian tersebut dipaparkan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 1.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data yang dikumpulkan baik berupa skripsi, jurnal maupun hasil penelitian lainnya, ditemukan beberapa penelitian yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya, hidup manusia tidak bisa lepas dari bersastra. Kata sastra

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya, hidup manusia tidak bisa lepas dari bersastra. Kata sastra BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, hidup manusia tidak bisa lepas dari bersastra. Kata sastra sudah sangat erat dengan kehidupan dan kebudayaan manusia, karena dimanapun manusia

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang BAB IV KESIMPULAN Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang terjadi pada abad pertengahan, sampai saat ini masih menyisakan citra negatif yang melekat pada perempuan. Sampai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan salah satu media yang digunakan seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan salah satu media yang digunakan seseorang untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1998:

Lebih terperinci

Karya Ahmad Tohari. Heisma Arya Demokrawati dan Widowati. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

Karya Ahmad Tohari. Heisma Arya Demokrawati dan Widowati. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Tinjauan Semiotika Riffaterre pada Cerpen Bulan Kuning Sudah Tenggelam Karya Ahmad Tohari Heisma Arya Demokrawati dan Widowati Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis, puisi berasal dari kata bahasa Yunani

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis, puisi berasal dari kata bahasa Yunani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologis, puisi berasal dari kata bahasa Yunani kuno: ποιέω/ποι (poiéo/poió) atau I create, yang berarti seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS PUISI SURAT CINTA DAN MALAIKAT DI GEREJA ST. JOSEF KARYA W. S. RENDRA: PENDEKATAN SEMIOTIKA RIFFATERRE

ANALISIS PUISI SURAT CINTA DAN MALAIKAT DI GEREJA ST. JOSEF KARYA W. S. RENDRA: PENDEKATAN SEMIOTIKA RIFFATERRE ANALISIS PUISI SURAT CINTA DAN MALAIKAT DI GEREJA ST. JOSEF KARYA W. S. RENDRA: PENDEKATAN SEMIOTIKA RIFFATERRE Yohanes Vianey Ona dan Widowati Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sarjanawiyata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iklan dalam menyampaikan informasi mengenai produknya. Umumnya,

BAB I PENDAHULUAN. iklan dalam menyampaikan informasi mengenai produknya. Umumnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Iklan televisi pada dasarnya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pemasang iklan dalam menyampaikan informasi mengenai produknya. Umumnya, pengiklan juga ingin

Lebih terperinci

Semiotika, Tanda dan Makna

Semiotika, Tanda dan Makna Modul 8 Semiotika, Tanda dan Makna Tujuan Instruksional Khusus: Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami jenis-jenis semiotika. 8.1. Tiga Pendekatan Semiotika Berkenaan dengan studi semiotik pada

Lebih terperinci

PEMAKNAAN TERHADAP PUISI ПОДРАЖАНИЯ КОРАНУ TIRUAN QUR AN KARYA A.S PUSHKIN (TERAPAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE)

PEMAKNAAN TERHADAP PUISI ПОДРАЖАНИЯ КОРАНУ TIRUAN QUR AN KARYA A.S PUSHKIN (TERAPAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE) PEMAKNAAN TERHADAP PUISI ПОДРАЖАНИЯ КОРАНУ TIRUAN QUR AN KARYA A.S PUSHKIN (TERAPAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE) SKRIPSI Diajukan untuk menempuh ujian sarjana pada Program Studi Sastra Rusia Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Seiring dengan perkembangan paradigma interpretivisme dan metodologi penelitian lapangan (f ield

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, sejarah Jepang bukanlah sejarah yang

BAB I PENDAHULUAN. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, sejarah Jepang bukanlah sejarah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah kesusastraan Jepang dalam bentuk tertulis sudah ada sejak abad ke-8. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, sejarah Jepang bukanlah sejarah yang singkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Musik merupakan suatu hal yang sangat akrab dengan indera pendengaran

BAB I PENDAHULUAN. Musik merupakan suatu hal yang sangat akrab dengan indera pendengaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Musik merupakan suatu hal yang sangat akrab dengan indera pendengaran manusia. Dalam musik terdapat lirik lagu dan alunan musik yang harmonis, dapat membawa seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi yang diciptakan oleh sastrawan melalui kontemplasi dan suatu refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. materi yang akan dikaji menjadi linear (terarah) tidak melebar kepada hal-hal

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. materi yang akan dikaji menjadi linear (terarah) tidak melebar kepada hal-hal BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep dibutuhkan dalam penelitian sebab di dalamnya akan ditemui aspek-aspek yang menyangkut apa saja yang akan diteliti, sehingga ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perempuan menjadi salah satu objek pembahasan yang menarik di dalam karya sastra. Perempuan bahkan terkadang menjadi ikon nilai komersil penjualan karya sastra. Hal

Lebih terperinci

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain. TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asal mula keberadaan lagu di negara Jepang diawali pada zaman Joodai

BAB I PENDAHULUAN. Asal mula keberadaan lagu di negara Jepang diawali pada zaman Joodai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asal mula keberadaan lagu di negara Jepang diawali pada zaman Joodai yaitu dengan munculnya kayo. Kayo lahir di Jepang dari kebudayaan bercocok tanam yang mana kegiatan

Lebih terperinci

PEMALSUAN TANDA SEBAGAI FENOMENA SEMIOTIKA BUDAYA

PEMALSUAN TANDA SEBAGAI FENOMENA SEMIOTIKA BUDAYA PEMALSUAN TANDA SEBAGAI FENOMENA SEMIOTIKA BUDAYA Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni - Universitas

Lebih terperinci

13Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi

13Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi semiotika Modul ke: Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi Fakultas 13Ilmu Komunikasi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi S1 Brodcasting analisis

Lebih terperinci

Gaya dan Stilistika Citra, Metafora,Simbol, dan Mitos

Gaya dan Stilistika Citra, Metafora,Simbol, dan Mitos Gaya dan Stilistika Citra, Metafora,Simbol, dan Mitos Gaya dan Stilistika Menurut KBBI gaya adalah ragam (cara, rupa, bentuk, dsb) yang khusus (mengenai tulisan, karangan, pemakain bahasa, bangunan rumah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra tadi harus dapat dikomunikasikan kepada orang lain, karena dapat saja

BAB I PENDAHULUAN. sastra tadi harus dapat dikomunikasikan kepada orang lain, karena dapat saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain. Sastra adalah komunikasi. Bentuk rekaman atau karya sastra tadi harus dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis. Dalam analisis itu karya sastra diuraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud atau hasil dari daya imajinasi seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan pengalaman pribadi atau dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai karya sastra, novel muncul sebagai sebuah representasi atau pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan.hal tersebut berarti bahwa sebagian besar tindakan manusia adalah

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan.hal tersebut berarti bahwa sebagian besar tindakan manusia adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap hari manusia sebagai makhluk budaya terus menjalankan kebudayaan.hal tersebut berarti bahwa sebagian besar tindakan manusia adalah kebudayaan karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

ANALISIS SEMIOTIKA RIFFATERRE DALAM PUISI DONGENG MARSINAH KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

ANALISIS SEMIOTIKA RIFFATERRE DALAM PUISI DONGENG MARSINAH KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO ANALISIS SEMIOTIKA RIFFATERRE DALAM PUISI DONGENG MARSINAH KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO Ranti Maretna Huri 1, Yenni Hayati 2, M. Ismail Nst. 3 Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi 1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab 1, peneliti akan memaparkan hal-hal yang melatarbelakangi penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi operasional. 1.1 Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2012:77) menyebutkan bahwa karya sastra dan karya seni merupakan fakta

BAB I PENDAHULUAN. 2012:77) menyebutkan bahwa karya sastra dan karya seni merupakan fakta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah objek manusiawi, fakta kemanusiaan, atau fakta kultural, sebab merupakan hasil ciptaan manusia. Karya sastra merupakan satuan yang dibangun

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. kualitatif. Menurut pakar Jalaludin Rahmat penelitin deskriptif adalah

METODOLOGI PENELITIAN. kualitatif. Menurut pakar Jalaludin Rahmat penelitin deskriptif adalah BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut pakar Jalaludin Rahmat penelitin deskriptif adalah penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kodrat manusia menjadi tua seolah bisa dihindari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kodrat manusia menjadi tua seolah bisa dihindari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini, kodrat manusia menjadi tua seolah bisa dihindari dengan teknologi yang diciptakan oleh manusia. Kemunculan produkproduk kecantikan masa kini menjanjikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu sama lain, yakni sebagai media informasi, media pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Metafora dalam komik..., Fanny Fajarianti, FIB UI, 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. Metafora dalam komik..., Fanny Fajarianti, FIB UI, 2008 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sistem lambang bunyi dan atau tanda yang dimiliki oleh anggota kelompok masyarakat yang sama (Dubois-Larousse, 1994). Lambang bunyi atau tanda tersebut

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hiburan publik. Kesuksesaan film dikarenakan mewakili kebutuhan imajinatif

BAB I PENDAHULUAN. hiburan publik. Kesuksesaan film dikarenakan mewakili kebutuhan imajinatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Film merupakan bagian dari komunikasi massa yang sudah menjadi bagian dari kehidupan saat ini. Di akhir abad ke-19, film muncul sebagai hiburan publik. Kesuksesaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa pengalaman dan imajinasi

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa pengalaman dan imajinasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil ekspresi isi jiwa pengarangnya. Melalui karyanya pengarang mencurahkan isi jiwanya ke dalam tulisan yang bermediumkan bahasa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Secara etimologis feminisme berasal dari kata femme yang berarti perempuan. Secara bebas, feminisme dapat diartikan sebagai operasionalisasi upaya pembebasan diri kaum perempuan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak pantas atau tabu dibicarakan. 1. lainnya secara filosofis, sebenarnya manusia sudah kehilangan hak atas

BAB I PENDAHULUAN. tidak pantas atau tabu dibicarakan. 1. lainnya secara filosofis, sebenarnya manusia sudah kehilangan hak atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seksualitas adalah sebuah proses sosial-budaya yang mengarahkan hasrat atau berahi manusia. Seksualitas berhubungan erat dengan tatanan nilai, norma, pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1).

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar kata Cas atau sas dan tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seni lukis ini memiliki keunikan tersendiri dalam pemaknaan karyanya.

BAB I PENDAHULUAN. Seni lukis ini memiliki keunikan tersendiri dalam pemaknaan karyanya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seni lukis merupakan bagian dari seni rupa yang objek penggambarannya bisa dilakukan pada media batu atau tembok, kertas, kanvas, dan kebanyakan pelukis memilih

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Pada bagian ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran-saran, sebagai

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Pada bagian ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran-saran, sebagai BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bagian ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran-saran, sebagai bab penutup. Kesimpulan yang dimaksud adalah memberikan gambaran yang jelas dari hasil analisis data yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang memiliki arti

BAB I PENDAHULUAN. Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang memiliki arti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang memiliki arti penunjukan secara langsung (Purwo, 1984: 2). Dardjowidjojo (1988: 35) bersama beberapa ahli bahasa

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan maksud tertentu oleh seseorang kepada orang lain. Dengan kata lain, untuk berkomunikasi. Menurut Keraf

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia sehingga menimbulkan kesan yang menarik. Sastra sering kali tercipta

BAB I PENDAHULUAN. manusia sehingga menimbulkan kesan yang menarik. Sastra sering kali tercipta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sastra adalah suatu karya sastra yang terlahir dari perasaan dan imajinasi manusia sehingga menimbulkan kesan yang menarik. Sastra sering kali tercipta dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Drama hadir atas proses yang panjang dan tidak hanya terhenti sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Drama hadir atas proses yang panjang dan tidak hanya terhenti sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Drama hadir atas proses yang panjang dan tidak hanya terhenti sebagai seni pertunjukan, akan tetapi berlanjut dengan menunjukan fungsinya dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya (Semi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan ciri-ciri khas, meskipun puisi telah mengalami perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan ciri-ciri khas, meskipun puisi telah mengalami perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bentuk karya sastra yang memiliki keindahan dalam bahasanya yaitu puisi. Waluyo (1991:3) mengatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang paling tua.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan 25 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa sebagai media komunikasi telah dijadikan instrumen untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa sebagai media komunikasi telah dijadikan instrumen untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai media komunikasi telah dijadikan instrumen untuk memperkuat dan mengubah kognisi dalam menciptakan sejumlah makna-makna konotatif. Namun bahasa tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terjadi karena ditentukan oleh evolusi selera dan konsep estetika setiap

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terjadi karena ditentukan oleh evolusi selera dan konsep estetika setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puisi menampilkan perubahan cara pandang terhadap estetika. Perubahan tersebut terjadi karena ditentukan oleh evolusi selera dan konsep estetika setiap periode (Riffaterre,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Untuk memperjelas dan memantapkan ruang lingkup permasalahan, sumber data, dan kerangka teoretis penelitian ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra Indonesia telah bermula sejak abad 20 dan menjadi salah satu bagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia. Sastra Indonesia telah mengalami perjalanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Oleh karena itu, puisi selalu diciptakan

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Oleh karena itu, puisi selalu diciptakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puisi sebagai salah satu jenis karya sastra memiliki nilai seni kesusastraan yang tinggi, melalui bahasanya yang padat dan bermakna dalam setiap pemilihan katanya.

Lebih terperinci