PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL. Tesis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL. Tesis"

Transkripsi

1 PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Oleh : YANTI FITRI YASA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK, BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

2 Lembaran Pengesahan Tanggal 14 Juni 2008 Disetujui untuk diajukan ke sidang ujian oleh: Pembimbing 1 Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K) NIP: Pembimbing 2 dr. Yuritna Haryono, SpTHT-KL(K) NIP: Pembimbing 3 dr. Hj. Ainul Mardhiah, SpTHT-KL(K) NIP: Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K) NIP:

3 KATA PENGANTAR Dengan mengucap Alhamdulillahirabbil'alamin, saya panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-nya, saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah, Kepala Leher di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Surnatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan. Saya menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dan sempuma baik isi maupun bahasannya, namun demikian saya berharap tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan tentang perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis dibandingkan kavum nasi orang normal. Dan saya akan menerima dengan senang hati semua saran dan kritik dari para ahli dan pembaca sekalian demi kesempurnaan tulisan ini. Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada Rektor Universitas Surnatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Surnatera Utara Medan. Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah Siregar, dr, SpPD-KGEH dan mantan dekan Prof.

4 Sutomo Kasiman, dr, SpPD, SpJP(K) dan Prof. T. Bahri Anwar, dr, SpJP(K) yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis di Fakultas ini. Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Medan yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini. Yang terhormat Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, SpTHT-KL(K), sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan petunjuk, bimbingan, pengarahan, nasehat, motivasi dan dorongan semangat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Yang terhormat Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL(K) sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis-I di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, atas petunjuk, bimbingan dan nasehat selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Yang terhormat Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K) sebagai Ketua Pembimbing tesis saya. Yang terhormat dr. Yuritna Haryono, SpTHT-Kl (K), dr. Hj. Ainul Mardhiah, SpTHT-Kl sebagai anggota pembimbing tesis saya, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian, motivasi, kemudahan serta bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

5 Yang terhormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru-guru saya dijajaran THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Ramsi Lutan, dr, SpTHT-KL(K), dr. Asroel Aboet, SpTHT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, SpTHT-KL(K), Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, SpTHT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. T. Sofia Hanum, SpTHT-KL(K), dr. Linda I Adenin, SpTHT-KL, dr. Hafni, SpTHT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati H, SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL, dr.ainul Mardhiah, SpTHT-KL, dr. Siti Nursiah, SpTHT-KL, dr. Andrina YM Rambe, SpTHT-KL, dr. Harry Agustaf A, SpTHT-KL, dr. Farhat, SpTHT-KL, dr. T.Siti Hajar Haryuna, SpTHT-KL, dr. Aliandri, SpTHT-KL dan dr. Ashri Yudhistira, SpTHT-KL yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL, baik secara teori maupun ketrampilan yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari. Tiada kata yang dapat saya ucapkan selain ucapan terima kasih atas pendidikan dan pengajaran yang telah diberikan kepada saya dengan penuh keikhlasan dan ketulusan. Semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipat ganda atas segala kebaikan dan ilmu yang diberikan kepada saya. Yang terhormat Bapak Kepala Departemen/Staf Radiologi FK USU/ RSUP H. Adam Medan, Kepala Departemen/ Staf Radiologi RS. Elisabeth Medan, Kepala Departemen/Staf Anastesiologi dan Reanimasi FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/Staf Patologi Anatomi FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani stase pendidikan di Departemen tersebut. Saya mengucapkan terima kasih.

6 Yang terhormat Direktur dan seluruh staf THT-KL di RSUD Lubuk Pakam, RS PTP 11 Tembakau Deli Medan, Rumkit DAM-I/ Bukit Barisan Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada saya untuk belajar dan menjalani stase pendidikan di rumah sakit tersebut. Yang Mulia Ayahanda H. Jachnis dan ibunda Hj. Zulhelmi, saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan segala perjuangan yang tiada henti dengan penuh kasih sayang dalarn mengasuh, membesarkan dan membimbing semenjak kecil hingga saya dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada agama,orang tua, bangsa dan negara. Doa ananda semoga Allah SWT memberi kebaikan yang berlipat ganda, mengampunkan segala dosa, serta mengasihi papa dan mama seperti papa dan mama telah mengasihi dan menyayangi ananda sejak kecil. Amin ya Rabbal Alamin. Ungkapan cinta kasih yang tulus kepada anakku tersayang Kevin Rayhan Yandika dan Nabila Jihan Yandika yang selalu menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi bunda ketika cobaan hidup terberat datang selama menjalani pendidikan ini. Anak-anakku, karena dirimu, bunda mendapatkan kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi cobaan ini. Tiada kata yang dapat bunda ucapkan selain ungkapan rasa cinta kasih yang setulus-tulusnya untuk anakku tersayang. Bunda akan selalu bersamamu. Amiin. Terima kasih juga saya tujukan kepada kakak saya, Yenni Hildayati, Riza Oktudyanalti, dan adik saya Deasy Mulyani, Heri Adisaputra, kakak ipar Suhardi Chan dan juga sanak saudara alumni FK Unand di Medan atas segala dukungan, perhatian serta rasa persaudaraan yang erat selama ini, Semoga dalam mengisi kehiclupan ini kita dapat memberi manfaat kepada orang lain sesuai dengan ajaran

7 agama kita, serta terus membina kerukunan keluarga dan rasa saling mengasihi di masa-masa mendatang. Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendiclikan keahlian Ilmu Kesehatan THT Beclah Kepala Leher yang telah bersama-sama baik dalam suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga clapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua. Kepada paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan bekerja sama selama saya menjalani pendidikan ini saya ucapkan terima kasih yang setulustulusnya. Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, bimbingan, motivasi, dan kerjasama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin Ya Rabbal Alamin. Medan, Juni 2008 Yanti Fitri Yasa

8 PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL ABSTRAK Pendahuluan : Hidung secara fisiologis berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir yang membentuk sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respiratorius yang kemudian dikenal sebagai sistem mukosiliar. Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal pada hidung dan sinus paranasal tergantung dari clearance mukosiliar. Agar tercapainya tujuan tersebut, transport mukosiliar harus baik. Untuk mengetahui sistem mukosiliar berjalan normal dapat dipergunakan uji sakarin. Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis dengan kavum nasi normal. Metode : Menggunakan metode quasi eksperimental. Sampel penelitian adalah kelompok penderita yang secara klinis didiagnosis rinosinusitis maksila kronis sebanyak 24 orang dan orang dengan kavum nasi normal sebagai kontrol sebanyak 24 orang. Semua sampel dilakukan uji sakarin. Dengan menggunakan stopwatch dilihat waktu transportasi mukosiliar. Semua data diolah dan dianalisis secara statistik dengan bantuan program window SPSS (Statistical Program for Social Science) versi 15 dan diuji statistik menggunakan t-independent. Hasil Penelitian : Terdapatnya perbedaan signifikan waktu transportasi mukosiliar antara kelompok penderita rinosinusitis kronis dengan kavum nasi orang normal.

9 Diskusi / Analisis : Nilai rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis adalah 20,86 (SD ± 2,14) menit dan kontrol adalah 9,49 (SD ± 0,75) menit. Berdasarkan hasil uji t-independent didapatkan nilai p<0,05 yang berarti terdapat perbedaan bermakna secara statistik sebanyak 12,51 menit. Kata Kunci : Waktu transportasi mukosiliar, Rinosinusitis Maksila Kronis, Uji sakarin.

10 Abstract Introduction : The physiological nasal functions are as a filter and the first line of immunological defense. The important mechanism defense are result from cilia of respiratory epithelial cells, goblet cells and mucous blanket, also known as mucociliary system. The succes of mucociliary system as a nasal and paranasal local defense mechanism depends on mucociliary clearance. The transport of mucociliar should be good for achieving a succes of mucociliary system. Saccharin test is a simple method in asessing nasal mucociliary clearance. Purpose : To compare mucociliary transport time in normal people with chronic maxillary sinusitis Method : The statistical method is using the Quasi experimental. The sample is chronic maxillary sinusitis patient (24) and normal people as control group (24). All the samples have done saccharin test. Stopwatch is using to observe the time of mucociliar transport. All the data is analyzed statistically by using SPSS (Statistical Program for Social Science) version 15 and t-independent test. Result : There is significant difference between mucociliary transport time on chronic maxillary sinusitis patients and normal people. Discussion / analysis : Mean of the transport mucociliar from the chronic maxillary sinusitis patient is (SD ± 2.14) minute and mean of control group is 9.49 (SD ± 0.75) minute. P<0.05 is result from t-independent test. It means there is a significant difference (12.51) minute. Key words : Mucociliary transport time, Chronic maxillary sinusitis, Saccharin test

11 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i ix BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian... 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sistem Mukosiliar Histologi Mukosa Epitel Palut Lendir Membrana Basalis Lamina Propria Transportasi Mukosiliar Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar Faktor Yang Mempengaruhi Transportasi Mukosiliar Sinus Maksila Embriologi dan Perkembangan Anatomi sinus maksila Pendarahan Persarafan Kompleks osteomeatal (KOM) Fungsi Sinus Paranasal Transportasi Mukosiliar sinus paranasal Rinosinusitis Definisi Kekerapan Patofisiologi Gejala Klinis dan Diagnosis BAB 3 KERANGKA KONSEP... 30

12 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Populasi, Sampel, Besar sampel Populasi Sampel Besar Sampel Variabel Penelitian Variabel Penelitian Definisi Operasional Bahan Penelitian Instrumen Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Kerangka Kerja Cara Analisis Data BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 6 PEMBAHASAN BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 56

13 DAFTAR GAMBAR GAMBAR 2.1 Penampang mukosa hidung... 5 GAMBAR 2.2 Lapisan epitel mukosa respiratorius... 6 GAMBAR 2.3 Potongan melintang silia... 7 GAMBAR 2.4 Pola gerak silia... 8 GAMBAR 2.5 Skema siklus perkembangan sinusitis kronis GAMBAR 2.6 Distribusi berdasarkan jenis kelamin GAMBAR 2.7 Distribusi berdasarkan kelompok umur GAMBAR 2.8 Distribusi keluhan utama dari kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis... 38

14 DAFTAR TABEL Tabel Hasil pemeriksaan nasoendoskopi kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis Tabel Hasil uji T independent rata-rata waktu transportasi mukosiliar antara kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis dengan kontrol Tabel Hasil uji T independent rata-rata waktu transportasi mukosiliar antara kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis berdasarkan jenis kelamin Tabel Distribusi rata-rata waktu TMS (menit) berdasarkan keadaan anatomi rongga hidung pada kelompok penderita rinosinusitis maksila kronis... 42

15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Hidung secara fisiologis berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama. Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu, bakteribakteri dan virus yang dilakukan oleh silia dan palut lendir. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir membentuk sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respiratorius dikenal sebagai sistem mukosiliar. Sistem mukosiliar merupakan barier pertama dari sistem pertahanan tubuh antara epitel dengan virus / bakteri dan benda asing lainnya (Ballenger, 1996; Mc Caffrey, 2000). Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran nafas atas selalu bersih dan sehat dengan membawa partikel debu, bakteri, virus, alergen, toksin dan lain-lain yang terperangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring. Silia memiliki gerakangerakan teratur, yang bersama palut lendir akan mendorong partikel-partikel asing dan bakteri yang terhirup ke kavum nasi menuju nasofaring, orofaring dan selanjutnya akan ditelan dan dihancurkan di lambung. Dengan demikian mukosa mempunyai kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri (Higler, 1989; Ballenger, 1996; Sun, 2002). Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal pada hidung dan sinus paranasal tergantung dari clearance mukosiliar. Klirens mukosiliar yang baik akan mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal. Untuk tercapainya tujuan tersebut, transport mukosiliar harus baik.

16 Transportasi mukosiliar ditentukan oleh keadaan silia, palut lendir dan interaksi antara keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang disebabkan oleh perubahan komposisi palut lendir, aktivitas silia yang abnormal, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan histopatologi sel hidung, hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi (Waguespack, 1995; Sakakura, 1997). Banyak kelainan atau keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi sinus paranasal, terganggunya clearance mukosiliar dan local immune defences (Ig A, Ig M, Ig G, kompleks komplement dan lekosit). Ini semua dapat merupakan faktorfaktor predisposisi terjadinya rinosinusitis. Rinosinusitis adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Penyakit ini selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi. Patofisiologinya merupakan suatu lingkaran dari suatu infeksi, pelepasan mediator, kerusakan jaringan dan hipersekresi, gangguan sistem mukosiliar dan superinfeksi kembali (Ballenger, 1996; Weir, 1997). Untuk mengetahui sistem mukosiliar berjalan normal dapat dilakukan bermacam-macam pemeriksaan seperti pemeriksaan fungsi transportasi mukosiliar, ultrastruktur silia, frekwensi denyut silia dan pemeriksaan kandungan atau konsistensi palut lendir. Untuk pemeriksaan transportasi mukosiliar dapat dipergunakan sakarin. Uji sakarin merupakan uji yang sederhana, tidak mahal, non invasif dan merupakan gold standar untuk uji perbandingan. Uji ini telah dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974 dan sampai sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik (Waguespack, 1995; Jorissen, 2000).

17 Di Departemen THT-KL RSUP HAM penelitian tentang transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila belum pernah dilaporkan dan belum pernah diteliti. Alasan-alasan diatas merupakan hal yang mendorong untuk ditelitinya transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis. 1.2 Perumusan Masalah Bagaimana perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada rinosinusitis maksila kronis dengan kavum nasi normal Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis dengan kavum nasi normal Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis. b. Untuk mengetahui rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada kavum nasi normal. c. Untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar penderita rinosinusitis maksila kronis. d. Untuk mengetahui waktu transportasi mukosiliar penderita rinosinusitis maksila kronis pada beberapa kelainan dan keadaan variasi anatomi.

18 1.4 Manfaat Penelitian a. Dapat mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis maksila kronis dibandingkan kavum nasi normal. b. Sebagai tambahan untuk memantau paska tindakan atau pengobatan rinosinusitis. c. Untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang THT-KL.

19 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Mukosiliar Histologi mukosa Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm 2 dan total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda. Pada gambar 2.1, tampak di bawah lapisan kelenjar profunda yaitu periosteum dan tulang (Mygind, 1981). Gambar 2.1.Penampang mukosa hidung Epitel (Mygind, 1981) Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skumous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius.

20 Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak sel/mm 2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm 2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia (Gambar 2.2). Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel goblet yang telah mati (Higler, 1989; Ballenger, 1996; Weir, 1997). Gambar 2.2. Lapisan epitel mukosa respiratorius (Mygind, 1981)

21 Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi (Ballenger, 1996; Higler, 1997; Weir, 1997). Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 µm dengan diameter 0,3 µm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak di dalam silia ada sehelai filamen yang disebut aksonema (Higler, 1989; Ballenger, 1996; Weir, 1997). Gambar 2.3 Potongan melintang silia (Mygind, 1981)

22 Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama. Pada gambar 2.4 menyebabkan pola gerak silia dengan frekwensi denyut (ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran per menit (Ballenger, 1996). Gambar 2.4 Pola gerak silia (Ballenger, 1996) Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin (Mygind, 1981; Waguespack, 1995; Ballenger, 1996).

23 Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 µm dan diameternya 0,1 µm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng (Waguespack, 1995; Ballenger, 1996) Palut Lendir Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya (Waguespack, 1995; Ballenger, 1996; Weir, 1997; Lindberg, 1997). Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih

24 tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger, 1996; Weir,1997). Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura,1994) Membrana basalis Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin (Mygind, 1981) Lamina Propria Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan

25 ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind, 1981; Ballenger, 1996). Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi (Waguespack, 1995; Ballenger, 1996; Lindberg, 1997) Transportasi Mukosiliar Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transport mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar (Weir, 1997). Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan

26 masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit (Amedee, 1993; Ballenger, 1996; Nizar, 2000). Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit (Higler, 1997). Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit (Higler, 1997). Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan (Mangunkusumo, 2001)

27 Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon, bismuth trioxide (Waguespack, 1995; Jorissen, 2000). Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin. Uji ini telah dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974 dan sampai sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin. Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai waktu transportasi mukosiliar atau waktu sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna dapat dilihat di orofaring (Mahakit, 1994; Waguespack, 1995; Jorissen, 2000). Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi. Mahakit (1994) mendapatkan waktu transportasi mukosiliar normal adalah 12 menit. Sedangkan pada penderita sinusitis, waktu transportasi mukosiliar adalah 16,6 ± 7 menit. Waguespack (1995) mendapatkan nilai rata-rata adalah menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian mendapatkan nilai normal pada kontrol adalah 7,61 menit

28 untuk wanita dan 9,08 menit untuk pria. Irawan (2004) dalam penelitiannya mendapatkan nilai normal 14,31 menit. Yan (2007) dalam penelitiannya mendapatkan 541,6250 detik Faktor yang mempengaruhi transportasi mukosiliar Sakakura membagi disfungsi mukosiliar hidung akibat kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoid (Sakakura, 1997) Waquespack menuliskan keadaan yang mempengaruhi transportasi mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan pengawet dan tindakan operasi (Waguespack, 1995). a. Kelainan kongenital Diskinesia silia primer dapat berupa kekurangan / ketiadaan lengan dynein, ketiadaan jari-jari radial, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia abnormal, sel-sel basal abnormal, dan aplasia silia. Kelainan ini jarang dijumpai, yaitu 1 dalam kelahiran. Tes sakarin pada pasien ini adalah lebih dari 60 menit (Al- Rawi, 1998) Sindrom Kartagener merupakan penyakit kongenital dengan kelainan bronkiektasi, sinusitis, dan sinus inversus. Penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terlihat kekurangan sebagian atau seluruh lengan dynein luar/dalam. Akibatnya terjadi gangguan yang sangat serius pada koordinasi gerakan silia serta

29 disorientasi arah pukulan/denyut. Sering juga disebut dengan sindrom silia immotil. Gangguan pada transportasi mukosiliar menyebabkan infeksi kronis dan berulang, sehingga terjadi bronkiektasi dan sinusitis (Weir, 1997) Fibrosis kistik dan sindrom Young juga merupakan kelainan kongenital yang dihubungkan dengan sinusitis kronis atau rekuren. Ultrasruktur silia pada kelainan ini terlihat normal, tetapi terdapat abnormalitas kekentalan (viskositas) dari palut lendir (Weir, 1997) b. Lingkungan Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Frekuensi denyut silia bekerja normal pada ph 7-9. Elynawati dkk dalam penelitiannya terhadap pekerja pabrik kayu mendapatkan waktu transportasi mukosiliar yang lebih tinggi secara bermakna dibanding kontrol. Rata-rata waktu transportasi mukosiliar pekerja adalah 12,16 menit (SD 4,05) dibanding kelompok kontrol adalah 6,21 menit (SD 1,26) (Elynawati, 2002) c. Alergi Pengaruh lingkungan alergi pada hidung masih diperdebatkan. Adanya pembengkakan mikroskopik pada sitoplasma pada keadaan alergi diduga dapat menyebabkan gangguan pada transportasi mukosiliar. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari hasil pengukuran transportasi mukosiliar dan frekuensi denyut silia pada pasien alergi dan kontrol. Sensitisasi pada hidung binatang percobaan dapat menyebabkan kerusakan silia, tetapi hal ini gagal dibuktikan pada manusia.

30 d. Fisiologis / Fisik Dari pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak didapat perbedaan transportasi mukosiliar berdasarkan umur, jenis kelamin atau posisi saat tes. Soedarjatni terhadap penderita DM didapatkan kecepatan transportasi mukosiliar 10,51 mm/menit yang berbeda bermakna disbanding kelompok kontrol yaitu 16,39 mm/menit (Soedarjatni, 1993). e. Obat-obatan Talbot dkk pada penelitiannya dengan menggunakan larutan garam hipertonik (NaCI 0,9 % ph 7,6) lebih dapat memperbaiki transportasi mukosiliar dibanding penggunaan larutan garam fisiologis (Talbot, 1997). Gosepath dkk melakukan penelitian tentang pengaruh larutan topikal antibiotik (ofloxacin), antiseptic (betadin, H ), dan anti jamur (amphotericin B, itraconazole,clotrimazole) terhadap frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi ofloxacin sampai 50% terlihat sedikit mempengaruhi frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi itraconazole dari 0,25% menjadi 1% dapat menurunkan aktivitas silia dari 8 jam menjadi 30 menit. Larutan Betadin lebih berefek siliotoksik dibanding H 2 O 2. Terlihat penurunan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia setengahnya pada peningkatan konsentrasi betadin dua kali lipat. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemakaian obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur khususnya pada konsentrasi tinggi dapat merusak fungsi pembersih mukosiliar (Gosepath, 2002).

31 Scadding dkk pada pasien rinosinusitis kronis yang diberikan antibiotik dalam waktu lama (2 minggu dosis penuh dan 10 minggu dosis setengah) mendapatkan perbaikan frekwensi denyut silia dari 9,3 Hz menjadi 13,7 Hz (Scadding, 1995). f. Struktur dan anatomi hidung Kelainan struktur / anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar (Rautiainen, 1994; Weir, 1997; Clerico, 2001). g. Infeksi Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa, terlepasnya sel-sel radang, dan perubahan ph. Endotoksin dari bakteri serta enzim proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia (Waquespack, 1995; Clerico, 2001). Dari pemeriksaan mikroskop elektron terlihat virus menempel pada silia. Di samping itu virus juga meningkatkan kekentalan mukus, kematian silia, dan edema pada struktur mukosa. Hipotesis banyak mengatakan bahwa edema pada ostium sinus akan menyebabkan hipoksia. Hal ini akan memicu pertumbuhan bakteri dan disfungsi silia. Penelitian pada sinus kelinci ternyata menunjukkan bahwa penurunan kadar oksigen saja tidak mempengaruhi silia, kecuali juga diikuti oleh penurunan oksigen pada aliran darah. (Rautiainen, 1994)

32 Czaja (1996) dkk pada binatang dengan sinusitis kronis ternyata terdapat peningkatan frekwensi denyut silia setelah antrostomi meatus medius dari 8,6 Hz menjadi 12,9 Hz. Sakakura (1994) melaporkan transportasi mukosiliar pada sinusitis kronis adalah 31 menit yang secara signifikan lebih lambat dibanding kontrol normal. Kecepatan transportasi mukosiliar adalah 1,8 mm/menit, sedangkan pada orang normal adalah 5,8 mm/menit. Dari analisis dengan skintigrafi didapatkan peningkatan viskoelastisitas palut lendir, sedangkan silia mukosa hidung tidak jauh berbeda dari normal. Torkkeli (1994) dkk dengan metode radioisotope mendapatkan 13 dari 19 pasien sinusitis mempunyai angka kecepatan transportasi mukosiliar kurang dari 3 mm/menit (0,7-2,7:mean 1,8 mm.menit). Kelainan ultrastruktur silia lebih banyak dijumpai pada pasien dengan kecepatan transportasi mukosiliar yang rendah, seperti lengan dynein pendek, silia kembar, anamoli tubular, dan disorientasi. Joki (1998) dkk melakukan penelitian pada 44 pasien sinusitis kronis dan rekuren. Rata-rata frekwensi denyut silia seluruh sampel adalah 9,1 Hz (SD 5,4) yang lebih rendah dibanding orang normal (11-16 Hz). Nuutinen (1993) dkk dalam penelitian terhadap 150 pasien sinusitis kronis mendapatkan 23% silia tidak bergerak Sinus Maksila Embriologi dan Perkembangan Merupakan sinus yang pertama terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Sinus maksila ini mulanya tampak

33 sebagai cekungan ektodermal yang terletak dibawah penonjolan konka inferior. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih ke arah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertikal, dan 3 mm anteroposterior pada tiap tahun. Pada usi 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian akan berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti pada saat erupsi gigi (Lund, 1997) Anatomi Sinus Maksila Merupakan sinus paranasal terbesar dan terdapat pada daerah tulang maksila pada tiap sisi kavum nasi. Bentuk sinus maksila ini adalah piramid dengan bagian puncak menghadap ke lateral dan meluas ke arah prosesus zygomattikus dari maksila atau ke arah tulang zygoma (Ballenger, 1994; Lund, 1997). Sinus ini mempunyai beberapa dinding yaitu : 1. Dinding posterior sinus maksila adalah fasies infratemporalis maksila yang tipis. Pada potongan tulang, foramen alveolaris superior posterior yang kecil tampak meluas ke dinding belakang maksila. Saluran kecil pada tulang berjalan dari foramen ke bawah, ke arah dasar sinus yang terletak di atas apeks akar molar superior. Saluran-saluran ini membawa cabang-cabang rami alveolaris superior posterior dan pembuluh darah dari dan ke molar superior.

34 2. Radiks sinus maksila adalah dinding orbita maksila yang tipis. Bidang tulang ini memisahkan sinus di bawah dari orbita dan isinya, di atas nervus infraorbitalis dalam krista tulang berjalan sepanjang atap orbita dan mengeluarkan isinya ke dinding depan. Kanalis membawa nervus dan arteri infraorbitalis dari fissura orbitalis inferior ke foramen infraorbitalis pada wajah. Pada potongan tulang kanalis kecil tampak keluar dari kanalis infraorbitalis, menuju ke dasar sinus yang terletak di atas apeks akar premolar. Kanalis ini membawa cabang-cabang nn. dan aa. alveolaris superior posterior ke gigi-gigi premolar. 3. Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila. Kanalis infraorbitalis keluar dari atap sinus ke dinding anterior, berjalan sedikit turun dan kemudian keluar ke wajah bersama isinya. Tepat sebelum keluar, kanalis sinus meninggalkan kanalis infraorbitalis, membawa nn. alveolaris superior anterior dan pembuluh darah. Saraf dan pembuluh melewati daerah apikal insisivus dan kaninus superior. 4. Dinding medial atau nasalis, adalah pemisah umum antara kavum nasi dan sinus maksila. Dinding terbentuk terutama dari maksila yang memiliki daerah cekungan besar yang disebut hiatus maksila. Menutupi bagian hiatus maksila adalah sebagian dari lamina perpendikularis ossis palatini, sepotong os. lacrimalis, dan sebagian konka inferior. Jadi, sisa orifisium ke kavum nasi adalah kecil dan akan menjadi lebih kecil karena tertutup mukosa nasalis. Oleh karena itu, ostium adalah relatif kecil, yang menuju ke hiatus semilunaris dari meatus medius hidung. 5. Dinding lateral pada dasarnya adalah bagian apeks piramid yang tumpul, yang meluas ke prosessus zigomatikus maksila.

35 6. Dasar sinus maksila terletak lebih bawah dari tinggi kavum nasi ke prosessus alveolaris. Radiks molar primer dan sekunder mungkin terletak dekat dengan dasar sinus seperti juga radiks molar tertier, premolar maupun kaninus. Kadangkadang radiks dentis molar superior menonjol ke sinus, dan dipisahkan dengan sinus hanya oleh mukosa antrum yang tipis (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001) Pendarahan Sinus maksila diperdarahi oleh arteri kecil yang langsung menembus dinding tulang, sebagian besar berasal dari cabang arteri maksila, fasial, infraorbita dan palatina. Pada daerah ostium sinus maksila terdapat arteri besar yang merupakan cabang arteri yang merupakan cabang arteri yang berasal dari konka inferior. Pembuluh vena berjalan bersama arteri dan berasal dari vena fasialis anterior dan pleksus pterigoid (Lund, 1997). Darah dari sinus maksila dialirkan ke v.infraorbita, v.supraorbita, pleksus venous lakrimalis dan juga berhubungan dengan pleksus venosus pterigoideus, vena fasialis, dan vena sinus sphenoid. Aliran darah rata-rata pada mukosa sinus maksila sebesar 125 ml/100 gr jaringan/menit yang lebih besar dari aliran pada otot, otak dan ginjal (Ballenger, 1994; Higler, 1997) Persarafan Lapisan mukosa sinus maksila dipersarafi oleh n. alveolaris superior (anterior, medial dan posterior), n.palatina anterior dan n.infraorbita, divisi ke dua (maksila) n. trigeminus. Semua cabang saraf tersebut mempersarafi sensasi pada gigi bagian atas dan sinus maksila (Lund, 1997)

36 Kompleks Osteomeatal (KOM) Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga diantara konka media dan lamina papiracea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Nizar, 2000; Soejipto dan Mangunkusumo, 2000). Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Umumnya, ostium adalah saluran yang panjangnya 3 mm atau lebih. Serabut saraf dan pembuluh-pembuluh darah biasanya masuk ke dalam sinus melalui ostium atau bagian dinding nasoantral yang terbentuk dari membran (Ballenger, 1994). a. Prosesus unsinatus Prosessus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dindig lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum. Sisi belakang prosesus unsinatus merupakan sisi yang bebas. Ke arah atas ia dapat melekat pada lamina papirasea, sinus etmoid atau konka media (Nizar, 2000). b. Bula etmoid Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Gambarannya adalah

37 seperti gelembung yang melekat pada lamina papirasea. Permukaan depan bula etmoid dan tepi bebas dari bagian posterior prosesus unsinatus membentuk hiatus semilunaris yang merupakan outlet dari infundibulum (Nizar,2000). c. Infundibulum etmoid Bentuk infundibulum seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinfero lateralnya terdapat ostium natural sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka ke arah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Nizar,2000). d. Resesus frontal Resesus frontal adalah daerah anatomi dengan batas anterior yaitu dinding depan sel agger nasi dan meluas ke belakang berbatasan dengan a.etmoid anterior atau perlekatan bula pada dasar otak. Di bagian lateral dibatasi oleh lamina papirasea dan di bagian medial oleh konka media. Perlekatan bagian superior prosesus unsinatus menentukan pola drenase sinus frontal (Nizar,2000). e. Sel agger nasi Sel agger nasi membentuk batas anterior resesus frontal. Ia berada tepat pada potongan koronal yang sama dengan duktus nasolakrimalis. Sel agger nasi yang membesar dapat meluas ke sinus frontal dan menyebabkan penyempitan

38 resesus frontal. Sel agger nasi dapat pula terdorong ke atas ke dalam dasar sinus frontal menyebabkan ostium sinus frontal (Nizar,2000). Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium natural sinus maksila yang terdapat di bagian posterior dari infundibulum. Ostium natural sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid (Nizar, 2000) Fungsi Sinus Paranasal Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain : (Amadee, 1993; Becker, Naumann, Platz, 1994). Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain : a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas sehingga diperlukan beberapa jam untuk pertyukaran udara total dalam sinus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001). b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001).

39 c. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1 % dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001). d. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001). e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001). f. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001) Transportasi Mukosiliar Sinus Paranasal Seperti bagian traktus respiratorius lainnya, sinus paranasal dilapisi epitel torak bertingkat semu bersilia dan sel-sel goblet. Sel goblet dan kelenjar

40 seromukosa di lapisan tunika propria memproduksi palut lendir yang menyelimuti seluruh mukosa. Sinus maksila normal akan memperbaharui palut lendir setiap menit. Palut lendir ini akan didorong oleh silia yang mempunyai gerakan teratur menuju ostium alami. Jalannnya mengikuti jalur tertentu yang ditentukan secara genetik. Transportasi mukosiliar di sinus maksila berawal dari dasar, aliran berbentuk bintang menuju ke semua arah di dinding sinus untuk berakhir di ostium alami di bagian posterosuperior Rinosinusitis Definisi Sinusitis merupakan suatu keadaan inflamasi pada sinus paranasal. Sebagian besar kasus inflamasi sinus berasal dari hidung dan meluas ke rongga sinus, ataupun dapat terjadi sebaliknya, inflamasi tersebut didahului di daerah sinus kemudian meluar ke rongga hidung. Beberapa ahli mengadopsi terminologi rinosinusitis adalah menggambarkan kondisi patologis pada hidung dan sinus karena sangat dekat kaitannya (Marks, 2000). Berdasarkan waktu, respons terapi dan banyaknya serangan dalam satu tahun, maka dikatakan rinosinusitis kronik apabila terjadi inflamasi sinus yang menetap lebih dari 8 minggu yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi, 4 minggu setelah pengobatan dan tidak disertai dengan serangan akut (Draf, 1995) Kekerapan Di Eropa, kekerapan rinosinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi. Insiden di Amerika dilaporkan sebesar 135 per 1000 populasi pertahun dengan 12

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem mukosiliar 2.1.1 Histologi mukosa Cavum nasi memiliki luas sekitar 150 cm 2 dan total volumenya kurang lebih 15 ml yang sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLIP NASAL DENGAN FUNGSI TELINGA TENGAH BERDASARKAN GAMBARAN TIMPANOGRAM. Tesis

HUBUNGAN POLIP NASAL DENGAN FUNGSI TELINGA TENGAH BERDASARKAN GAMBARAN TIMPANOGRAM. Tesis HUBUNGAN POLIP NASAL DENGAN FUNGSI TELINGA TENGAH BERDASARKAN GAMBARAN TIMPANOGRAM Tesis Oleh: dr. Fathma Dewi PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

Lebih terperinci

TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG PADA RINITIS ALERGI. Puji Kurniawan, Dwi Reno Pawarti

TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG PADA RINITIS ALERGI. Puji Kurniawan, Dwi Reno Pawarti Transport Mukosiliar...(Puji K, Dwi RP) TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG PADA RINITIS ALERGI Puji Kurniawan, Dwi Reno Pawarti Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UKURAN TIMPANOGRAM PADA ORANG DEWASA NORMAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Tesis

GAMBARAN UKURAN TIMPANOGRAM PADA ORANG DEWASA NORMAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Tesis GAMBARAN UKURAN TIMPANOGRAM PADA ORANG DEWASA NORMAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Tesis Oleh: Dr. Meiza Ningsih PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL. Tesis

EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL. Tesis EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang Ilmu

Lebih terperinci

AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER. Tesis

AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER. Tesis AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER Tesis Oleh: dr. Emilda Dewi PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN. Tesis

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN. Tesis HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

TRANSPOR MUKOSILIAR PADA SEPTUM DEVIASI

TRANSPOR MUKOSILIAR PADA SEPTUM DEVIASI Abstrak TRANSPOR MUKOSILIAR PADA SEPTUM DEVIASI Dolly Irfandy Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP M Djamil Padang Latar Belakang: Fisiologis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat. perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat. perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ xxi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi dan fisiologi hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi

Lebih terperinci

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN TERAPI CUCI HIDUNG CAIRAN ISOTONIK NACL 0,9% DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TUMOR GANAS TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER DI SMF THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2006 DESEMBER 2010.

KARAKTERISTIK TUMOR GANAS TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER DI SMF THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2006 DESEMBER 2010. KARAKTERISTIK TUMOR GANAS TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER DI SMF THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2006 DESEMBER 2010 Tesis Oleh: dr. Merza Maulana Muzakkir PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung adalah organ yang terdiri dari dua bagian yaitu hidung luar dan cavum nasi. Hidung luar memiliki dua lubang yang disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H

PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2011 Oleh Cut Elvira Novita PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN

Lebih terperinci

TESIS OLEH : M. TRI ANDIKA NASUTION

TESIS OLEH : M. TRI ANDIKA NASUTION FREKUENSI PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS YANG DISEBABKAN INFEKSI JAMUR DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI 090100056 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012 HUBUNGAN DIABETES

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

IZRY NAOMI A. L. TOBING NIM

IZRY NAOMI A. L. TOBING NIM GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA, PROSEDUR DAN TEMUAN OPERASI PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Tesis Oleh: IZRY NAOMI

Lebih terperinci

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll LAMPIRAN 1 Lembaran Pemeriksaan Penelitian Nama : Umur :...tahun Tempat / Tanggal Lahir : Alamat : Pekerjaan : No telf : No RM : Jenis kelamin : 1. Laki laki 2. Perempuan Tinggi badan :...cm Berat badan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

INTENSITAS KEBISINGAN HARIAN DISKOTIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PEKERJA ( STUDI KASUS DISKOTIK A DAN B DI KOTA MEDAN ) Tesis

INTENSITAS KEBISINGAN HARIAN DISKOTIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PEKERJA ( STUDI KASUS DISKOTIK A DAN B DI KOTA MEDAN ) Tesis INTENSITAS KEBISINGAN HARIAN DISKOTIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PEKERJA ( STUDI KASUS DISKOTIK A DAN B DI KOTA MEDAN ) Tesis Oleh Naek Silitonga 087109009 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE 2008-2012 Oleh : ARCHANAA SAMANTHAN NIM: 100100201 FAKULTAS

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012. HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 Oleh: DENNY SUWANTO 090100132 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung

Lebih terperinci

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN DISFUNGSI TUBA EUSTACHIUS DENGAN MENGGUNAKAN TIMPANOMETRI. Tesis. Oleh: dr. Fadhlia

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN DISFUNGSI TUBA EUSTACHIUS DENGAN MENGGUNAKAN TIMPANOMETRI. Tesis. Oleh: dr. Fadhlia HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN DISFUNGSI TUBA EUSTACHIUS DENGAN MENGGUNAKAN TIMPANOMETRI Tesis Oleh: dr. Fadhlia PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

Lebih terperinci

POLA KUMAN AEROB DAN UJI SENSITIFITAS PADA PENYAKIT OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DI RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS

POLA KUMAN AEROB DAN UJI SENSITIFITAS PADA PENYAKIT OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DI RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS POLA KUMAN AEROB DAN UJI SENSITIFITAS PADA PENYAKIT OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DI RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS Oleh: dr. Sri Novita. Br. Sembiring PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN PAPARAN ZAT DEBU BESI TERHADAP GANGGUAN TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PEKERJA PABRIK PT. GGS MEDAN TESIS

HUBUNGAN PAPARAN ZAT DEBU BESI TERHADAP GANGGUAN TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PEKERJA PABRIK PT. GGS MEDAN TESIS HUBUNGAN PAPARAN ZAT DEBU BESI TERHADAP GANGGUAN TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PEKERJA PABRIK PT. GGS MEDAN TESIS Oleh : JERRY TOBING 117041162 PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN

Lebih terperinci

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,

Lebih terperinci

PROFIL PENDERITA ASPIRASI BENDA ASING DI TRAKTUS TRAKHEOBRONKIAL DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN TESIS

PROFIL PENDERITA ASPIRASI BENDA ASING DI TRAKTUS TRAKHEOBRONKIAL DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN TESIS PROFIL PENDERITA ASPIRASI BENDA ASING DI TRAKTUS TRAKHEOBRONKIAL DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2006-2010 TESIS OLEH: dr. FADHLIA PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan design study potong lintang (crossectional study). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon : Lampiran 1 LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :. Agama : No. M R : Tanggal : II. Keluhan Utama : III. Keluhan tambahan : - Sakit

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan Kepala Leher. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

HUBUNGAN EKSPRESI BIOFILM BAKTERI DENGAN KULTUR BAKTERI DAN ANALISIS UJI KEPEKAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS

HUBUNGAN EKSPRESI BIOFILM BAKTERI DENGAN KULTUR BAKTERI DAN ANALISIS UJI KEPEKAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS HUBUNGAN EKSPRESI BIOFILM BAKTERI DENGAN KULTUR BAKTERI DAN ANALISIS UJI KEPEKAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS Oleh SILVIA NIM 117109011 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TELINGA,

Lebih terperinci

PROFIL BAKTERI YANG DIJUMPAI PADA ANAK PENDERITA GLOMERULONEFRITIS AKUT DARI ASPIRASI TONSIL DAN TONSIL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS.

PROFIL BAKTERI YANG DIJUMPAI PADA ANAK PENDERITA GLOMERULONEFRITIS AKUT DARI ASPIRASI TONSIL DAN TONSIL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS. PROFIL BAKTERI YANG DIJUMPAI PADA ANAK PENDERITA GLOMERULONEFRITIS AKUT DARI ASPIRASI TONSIL DAN SWAB TONSIL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS Oleh dr. MUHAMMAD TAUFIK PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

DETEKSI WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR PADA PEROKOK DAN NON PEROKOK DENGAN UJI SAKHARIN

DETEKSI WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR PADA PEROKOK DAN NON PEROKOK DENGAN UJI SAKHARIN DETEKSI WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR PADA PEROKOK DAN NON PEROKOK DENGAN UJI SAKHARIN Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN DISUSUN OLEH Ahmad

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan

Lebih terperinci

GAMBARAN FAKTOR RISIKO PADA PENDERITA STROKE ISKEMIK. Oleh : YULI MARLINA

GAMBARAN FAKTOR RISIKO PADA PENDERITA STROKE ISKEMIK. Oleh : YULI MARLINA GAMBARAN FAKTOR RISIKO PADA PENDERITA STROKE ISKEMIK DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010 Oleh : YULI MARLINA 080100034 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 GAMBARAN FAKTOR RISIKO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debu adalah salah satu pajanan yang utama dari lingkungan pekerjaan. Bekerja di lingkungan yang berdebu menyebabkan terhirupnya partikel debu oleh saluran nafas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

GAMBARAN FUNGSI PENCIUMAN PADA LANSIA DI PANTI JOMPO BINJAI TAHUN 2014 OLEH: PUTRA BARUNA

GAMBARAN FUNGSI PENCIUMAN PADA LANSIA DI PANTI JOMPO BINJAI TAHUN 2014 OLEH: PUTRA BARUNA GAMBARAN FUNGSI PENCIUMAN PADA LANSIA DI PANTI JOMPO BINJAI TAHUN 2014 OLEH: PUTRA BARUNA 110100037 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014 GAMBARAN FUNGSI PENCIUMAN PADA LANSIA DI PANTI

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

Tesis. Oleh: SARA YOSEPHINE ARUAN

Tesis. Oleh: SARA YOSEPHINE ARUAN HUBUNGAN EKSPRESI TUMOR NECROSIS FACTOR ALPHA (TNF-α) DENGAN DERAJAT DESTRUKSI TULANG AKIBAT KOLESTEATOMA PADA PENDERITA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS TIPE BAHAYA Tesis Oleh: SARA YOSEPHINE ARUAN PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS ARTIKEL PENELITIAN DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS Siti Masliana Siregar 1 1 Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau nasal

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau nasal BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Kavum nasi dibatasi oleh vestibulum di bagian anterior sampai ke koana di bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjanastrata-1

Lebih terperinci

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : VERA ANGRAINI

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : VERA ANGRAINI GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012-2014 Oleh : VERA ANGRAINI 120100290 FAKULTAS KEDOKTERAN UNUIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

IMUNOEKSPRESI p63 PADA INVERTED PAPILLOMA DAN KARSINOMA SEL SKUAMOSA SINONASAL TESIS

IMUNOEKSPRESI p63 PADA INVERTED PAPILLOMA DAN KARSINOMA SEL SKUAMOSA SINONASAL TESIS IMUNOEKSPRESI p63 PADA INVERTED PAPILLOMA DAN KARSINOMA SEL SKUAMOSA SINONASAL TESIS Oleh : Dr. AGUSSALIM NIM. 087109002 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat

BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat melakukan gerakan meluncur dan rotasi pada saat mandibula berfungsi. Sendi ini dibentuk oleh kondilus mandibula

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

LAJU TRANSPOR MUKOSILIAR MUKOSA NASAL PADA PETUGAS SPBU LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

LAJU TRANSPOR MUKOSILIAR MUKOSA NASAL PADA PETUGAS SPBU LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH LAJU TRANSPOR MUKOSILIAR MUKOSA NASAL PADA PETUGAS SPBU LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian proposal Karya Tulis Ilmiah mahasiswa Program Strata-1 Kedokteran

Lebih terperinci

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan

Lebih terperinci

Tesis. Oleh: dr. RIKA FEBRIYANTI

Tesis. Oleh: dr. RIKA FEBRIYANTI KORELASI ANTARA REFLUX SYMPTOM INDEX (RSI) DAN REFLUX FINDING SCORE (RFS) PADA PENDERITA DENGAN GEJALA REFLUKS LARINGOFARING DI POLIKLINIK THT- KL RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN Tesis Oleh: dr. RIKA FEBRIYANTI

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE-2 DENGAN TERJADINYA GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN. Tesis. Oleh: LILIA YARISMAN

HUBUNGAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE-2 DENGAN TERJADINYA GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN. Tesis. Oleh: LILIA YARISMAN HUBUNGAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE-2 DENGAN TERJADINYA GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN Tesis Oleh: LILIA YARISMAN PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN BEDAH ILMU KESEHATAN TELINGA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Pada bagian anterior saluran pernafasan terdapat

Lebih terperinci