BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior (Ballenger, 2004; Higler, 1997). Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum (Ballenger 2004; Hilger,1997). Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen - filamen n.olfaktorius yang berasal

2 dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior (Ballenger 2004; Hilger, 1997). Gambar 1. Penampang Koronal Hidung ( McCormick, 2007) Kompleks osteomeatal (KOM) Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Hwang, 2009; Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002).

3 Gambar 2. Kompleks osteomeatal (See et al, 2007) Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum (Kennedy et al, 2003; Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993). Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila (Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993). Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993). Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari selsel etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan

4 membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal (Shankar et al, 2001; Mangunkusumo, 2000). Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi (Browning, 2007; Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993). Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa selsel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di meatus superior (Walsh et al, 2006). Sinus Maksila Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis 2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita

5 3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit (Walsh et al, 2006). Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus maksila dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan didekat fontanel posterior (Nizar, 2000). Sinus Etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi (Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecilkecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Walsh et al, 2006). Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior

6 terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Walsh et al, 2006). Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan tembus. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior dan dan daerah yang kedua adalah daerah sel etmoid posterior yang meluas ke belakang dan di atas rostrum sfenoid (sel Onodi). Kainz dan Stammberger menekankan daerah rawan tembus pada saat melakukan etmoidektomi di bagian medial. Pada daerah medial ini terdapat pertautan yang sangat tipis antara atap etmoid dan lamina kibrosa, yang merupakan tempat masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus frontal (Walsh et al, 2006). Konfigurasi fosa olfaktorius ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe oleh Keros yaitu : (Walsh et al, 2006) 1. Fosa olfaktorius datar, atap etmoid hampir vertikal dan lamina lateralis kribriformis dangkal 2. Fosa olfaktorius lebih dalam, atap etmoid lebih dalam dan lamina kribriformis lebih tinggi 3. Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribriformis, lamina lateralis panjang dan tipis serta fosa olfaktorius lebih dalam. Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai usia maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 %

7 orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang (Walsh et al, 2006). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuklekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Punagi, 2008; Kennedy et al, 2003; Burton, 2000; Amedee, 1993). Sinus Sfenoid Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika sinus sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak konfigurasi khas dari bagian dalam sinus sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior (Ballenger, 2004; Kamel, 2002; Nizar, 2000). Gambar. 3. Sinus Paranasal (Dikutip dari : Conten.answers.com/main/content/imgelsevier/dental/f jpg.gambar)

8 2.2 Rinosinusitis Kronik Definisi Rinosinusitis Task Force mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai adanya dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), hidung buntu, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk (Busquets et al, 2006). Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012), rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek ( sekret hidung anterior atau posterior ), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan nasoendoskopi berupa polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius dan atau gambaran tomografi komputer berupa penebalan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus, yang berlangsung lebih dari 12 minggu (Fokkens et al, 2012). The European Academy of Allergylogy and Clinical Immunology (EAACI) mendefenisikan rinosinusitis kronik sebagai kongesti hidung berlangsung selama lebih dari 12 minggu disertai satu atau salah satu dari 3 gejala : nyeri wajah / tekanan, post nasal drip, dan hiposmia (Schlosser et al, 2009) Patofisiologi Rinosinusitis Kronik Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor yaitu patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor akan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor

9 mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik (Pinheiro, 2001). Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema hasil proses radang di area kompleks osteomeatal (Gambar 4). Blokade daerah kompleks osteomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan retensi sekret serta perubahan ph sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks osteomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka blokade kompleks osteomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi sinus (Kennedy et al, 1995). Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya : obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konka media, hipertrofi konka inferior, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia (Busquets et al, 2006 ; Fokkens et al, 2012).

10 Gambar 4. Siklus rinosinusitis (Kennedy et al,1995) Etiologi Rinosinusitis Kronik Etiologi dari Rinosinusitis dapat disebabkan oleh alergi, infeksi dan dapat disebabkan oleh kelainan struktur anatomi (variasi KOM, deviasi septum, hipertrofi konka) atau penyebab lain seperti idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi, atrofi (Fokkens et al, 2012; Higler,1997 ; Weir et al, 1997). Beberapa bakteri patogen yang sering dihubungkan dengan etiologi rinosinusitis kronik adalah Stafilokokus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Hemofilus influenza dan Moraxella kataralis (Fokkens et al, 2012) Kekerapan Penelitian Azis et al (2006) di Arab Saudi mendapatkan 172 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional dari tahun (Azis et al, 2006). Prevalensi rinosinusitis kronik di Indonesia bervariasi. Di RS dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun frekuensi penderita rinosinusitis kronik sekitar 2,5% - 4,6% dari seluruh kunjungan poliklinik (Harowi, 2011).

11 Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani operasi tahun di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah tahun sebanyak 34,3%, sedangkan jumlah penderita perempuan sebanyak 20 penderita ( 57% ) dan laki-laki sebanyak 15 penderita ( 43%). Penelitian Firman (2011) di RSUP H Adam Malik Medan mendapatkan penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik tahun sebanyak 47 penderita, yang terdiri dari 60% perempuan dan 40% laki-laki. Multazar (2011) pada penelitiannya terhadap 296 penderita rinosinusitis kronik tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan jenis kelamin terbanyak yang menderita rinosinusitis kronik adalah perempuan sebanyak 169 penderita (57,09%) diikuti laki-laki sebanyak 127 penderita (42,91%) Diagnosis Rinosinusitis Kronik Diagnosis rinosinusitik kronik ditegakkan melalui anamnesis, rinoskopi anterior, pemeriksaan nasoendoskopi dan pemeriksaan penunjang (Fokkens et al, 2012; Busquets, 2006). Anamnesis Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force, Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk (Busquets et al, 2006). Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat

12 adanya kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan oleh mata (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004). Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal (Ballenger, 2004). Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004). Rinoskopi anterior Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus media. Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik (Pinheiro, 2001). Pemeriksaan nasoendoskopi Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus media atau superior, polip kecil, hipertrofi prosesus unsinatus, konka media bulosa, konka media polipoid, konka media hipertrofi, konka inferior hipertrofi, post nasal drip dan septum deviasi (Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006).

13 Pemeriksaan foto polos sinus Foto polos sinus paranasal tidak sensitif dan mempunyai nilai yang terbatas pada evaluasi rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa dilakukan adalah foto polos hidung dan sinus paranasal posisi Water s. Pada foto ini hanya tampak jelas sinus-sinus yang besar saja, sedangkan daerah kompleks osteomeatal tidak jelas tampak. Air fluid level pada rinosinusitis kronik tidak selalu dijumpai (Busquets et al, 2006). Pemeriksaan CT Scan CT Scan yang biasa dilakukan adalah CT Scan sinus paranasal potongan koronal, dimana dapat terlihat perluasaan penyakit di dalam rongga sinus dan kelainan di kompleks osteomeatal. CT Scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus rinosinusitis berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan rinosinusitis kronik dan dipersiapkan untuk operasi. CT Scan memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya pemeriksaan CT Scan dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomi dapat terlihat dengan jelas (Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006) Komplikasi Rinosinusitis Kronik Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut (Giannoni et al, 2006). Komplikasi rinosinusitis sudah semakin jarang setelah pengobatan antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi rendah yang kurang gizi dan tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, komplikasi rinosinusitis lebih sering terjadi dan dapat berakibat buruk misalnya sampai menjadi buta atau bahkan kematian (Giannoni et al, 2006). Komplikasi yang terjadi dapat berupa (Giannoni et al, 2006): 1. Kelainan orbita Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau melalui system vena yang tidak berkatup. Komplikasi

14 orbita ini dapat berupa selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah. 2. Kelainan intrakranial Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis sinus kavernosus. Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis maksila karena infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat terlihat sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi. 3. Mukokel (kista) Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di sinus frontal meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila, etmoid atau sfenoid. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus yang terkena.

15 2.2.7 Penatalaksanaan Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid, anti jamur, anti bakteri, anti histamin, dekongestan dan mukolitik (Ferguson et al, 2006). Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, konka bulosa, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan (Soetjipto, 2000). Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan medikamentosa yang adekuat dan optimal, serta adanya obstruksi kompleks osteomeatal merupakan indikasi tindakan bedah. Bedah sinus endoskopik fungsional merupakan langkah maju dalam bedah sinus. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena merupakan tindakan bedah invasif minimal yang lebih efektif dan fungsional ( Lal D et al, 2009; Simmer et al, 2005).

16 PANDUAN BAKU PENATALAKSANAAN SINUSITIS (Soetjipto et al, 2001) ANAMNESIS Rinore purulen > 7 hari (sumbatan hidung, nyeri muka, sakit kepala, gangguan penghidu, demam dll) RINOSKOPI ANTERIOR Polip? Tumor? Komplikasi sinusitis? TIDAK SINUSITIS AKUT / KRONIK? Lama gejala > 12 minggu? Episode serangan akut >4 x / tahun? (Konsensus Internasional Sinusitis 2004) YA Lakukan penatalaksanaan yang sesuai SINUSITIS AKUT Rinoskopi Anterior (RA) AB empirik (2 x 24 jam) Lini I : Amoksil 3x500 mg /Cotrimoxazol 2x480 mg + terapi tambahan Perbaikan? YA TIDAK Lini II AB (7 hari) Amoks. klav / Ampi. sulbaktam Cephalosporin gen. kell Makrolid + terapi tambahan Perbaikan? TIDAK Ro.polos/CT scan dan / Naso-endoskopi (NE) Kelainan? TIDAK TIDAK Terapi tambahan : Dekongest.oral + topikal Mukolitik, Analgetik Pasien Atopi : Antihist./Kortiko steroid topikal YA Evaluasi diagnosis kembali 1. Evaluasi komprehensif` alergi, LPR (refluks) 2. Kultur pungsi sinus untuk resistensi kuman, beri AB sesuai kultur Teruskan AB mencukupi 7-14 hari Kemungkinan Sinusitis Akut Berulang Lakukan terapi sinusitis kronik YA Faktor Predisposisi Deviasi septum Konka bulosa, Hipertrofi Adenoid (pada anak) Polip, Kista, Jamur, Dentogenik YA YA Tata laksana yang sesuai Terapi tambahan : Dekongest.oral,Kortikost.oral dan atau topikal, Mukolitik Antihistamin (pasien atopi) Diartemi,Proet,Irigasi sinus YA SINUSITIS KRONIK RA/Naso-endoskopi Ro polos / CT Scan Pungsi & irigasi sinus Sinuskopi Faktor Predisposisi? TIDAK Terapi sesuai pada episode akut lini II + Terapi Perbaikan? TIDAK AB alternatif 7 hari Atau buat kultur Teruskan AB mencukupi 7-14 hari Perbaikan? TIDAK Cari alur Diagnostik lain TIDAK Evaluasi kembali : NE, Sinuskopi atau CT jika belum Obstruksi KOM YA TINDAKAN BEDAH : BSEF atau Bedah Konvensional

17 2.3. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Definisi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan mucociliary clearance dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami (Lund, 2007; Mangunkusumo, 2003) Indikasi Operasi bedah sinus endoskopik fungsional pada umumnya dilakukan untuk penatalaksanaan rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang, yang seringkali disertai adanya poliposis di daerah meatus media atau adanya polip yang sudah meluas ke rongga hidung. Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia (Xu et al, 2008; Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993). Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, dekompresi orbita, kelainan kongenital (atresia koana) dan lainnya (Lund, 2007). Di bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan BSEF pada periode Januari Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi sinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai sinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi sinusitis dan septum deviasi (Setiadi, 2009).

18 2.3.3 Persiapan Pra-operasi Persiapan kondisi pasien. Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi atau edema, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan (Stankiewicz, 2009; Metson 2006). Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus media sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus media, dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi (Stankiewicz, 2009; Kennedy, 2001). CT Scan Gambar CT Scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intrakranial (Lund, 2007). Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT scan tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi (Stankiewicz, 2009).

19 2.3.4 Tahapan Operasi Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit dengan panduan endoskop dan memulihkan kembali drainase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara alami. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maka BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih rendah (Lund, 2007; Soetjipto,2000). Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu unsinektomi/infundibulektomi sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi (Soetjipto, 2000). Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan tindakan BSEF yang terbanyak dilakukan adalah unsinektomi (77,1%) dan yang paling sedikit adalah sfenoidektomi (7,1%). Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila Membuka akses ke meatus media Pertama-tama perhatikan akses ke meatus media, jika sempit akibat deviasi septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar instrumen besar bisa masuk (Soetjipto,2000). Membuka infundibulum Tahap awal operasi adalah membuka rongga indundibulum dengan mengangkat prosesus unsinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium

20 sinus maksila maka drainase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah cukup (Soetjipto, 2000; Stammberger et al, 1993). Etmoidektomi retrograd Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika disertai sinusitis frontal. Caranya adalah sebagai berikut, setelah tahap awal tadi, sebaiknya mempergunakan teleskop 0, dinding anterior bula etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior (Kennedy, 2001; Soetjipto, 2000; Stammberger et al, 1993). Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 0 dan tampak tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi. Selanjutnya diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fosa kranii anterior), batas lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 0 atau 30. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograd ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar (Stankiewicz, 2009; Soetjipto, 2000). Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi sebagai tulang keras yang letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih kecil dari pada di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal. Identifikasi

21 arteri etmoid anterior sangat penting dan dihindari trauma pada arteri ini. Arteri ini berada di atas perlekatan bula etmoid pada dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal di batas belakang atap resesus frontal. Saat diseksi pada etmoid posterior, harus diingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n. optikus an atau arteri karotis interna di sisi lateralnya (Soetjipto,2000) Perawatan Paska Operasi Perawatan paska operasi sangat penting, dimana pembersihan paska operasi dilakukan untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis. Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator yang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit iatrogenik (Stankiewicz,2009; Slack et al, 1998). Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal mungkin, tampon hidung dibuka 3 hari setelah operasi. Setelah itu hidung dibersihkan dengan larutan salin (Kennedy, 2003). Terapi medikamentosa paska operasi berupa antibiotik dapat diberikan 1 minggu atau lebih. Pemberian steroid topikal sangat berguna, diberikan 4-5 kali sehari (Kennedy, 2003; Stammberger et al, 1993) Komplikasi Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenanya para ahli segera melakukan

22 penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya. Pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi BSEF dapat berupa perdarahan, sinekia, stenosis sinus maksila, kerusakan duktus nasolakrimalis, edema kelopak mata, kerusakan nervus optikus, kebocoran cairan serebrospinal, infeksi dan sepsis (Al-Mujaini, 2009; DelGaudio, 2008; Rombout, 2001).

23 2.4 KERANGKA KONSEP Etiologi : Infeksi Alergi Obat-obatan Zat iritan Jamur - Patensi ostium -Jumlah silia yang berfungsi -Kualitas sekret Faktor predisposisi : Deviasi septum Konka inferior hipertrofi Konka media paradoksal Obstruksi Kompleks Osteomeatal Rinosinusitis Kronik Gejala Nasoendoskop CT Scan BSEF Umur Jenis Kelamin Pekerjaan : Variabel penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinosinusitis Kronis 2.1.1. Definisi Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus 2.1.1. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid SINUSITIS AKUT DAN KRONIS Dr. dr. Delfitri Munir Sp.THT-KL(K) Sub-devisi Rinologi Dept. Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Sinus para-nasal Nasal asessory sinuses

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Laporan Penelitian Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Jeanny Bubun, Aminuddin Azis, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Sinus paranasalis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

RINOSINUSITIS KRONIS

RINOSINUSITIS KRONIS RINOSINUSITIS KRONIS Muhammad Amir Zakwan (07/25648/KU/12239) Dokter Muda Periode 2-25 Januari 2013 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP

Lebih terperinci

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed. Author : Edi Susanto, S.Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.tk PENDAHULUAN Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada

Lebih terperinci

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri REFERAT SINUSITIS Oleh : KELOMPOK VI Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri KEPANITERAAN KLINIK RSUP FATMAWATI STASE THT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 BAB I PENDAHULUAN Sinusitis

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Rinosinusitis a. Definisi Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus, sedangkan rinitis merupakan inflamasi pada membrana mukosa hidung.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Epistaksis Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang

Lebih terperinci

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus Laporan Penelitian GAMBARAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 20 (SNOT-20) PADA PENDERITA RINOSINUSITIS DI DESA YEH EMBANG NEGARA, DESA TAMBLANG SINGARAJA DAN DESA TIHINGAN KLUNGKUNG Oleh: Putu Dian Ariyanti Putri,

Lebih terperinci

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen 2.1.1. Definisi Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK CORRELATION OF NASAL AND SINUS ANATOMICAL VARIATIONS PARANASALIS CT IMAGE BASED

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis 2.1.1. Defenisi Menurut Kamus Kedokteran Dorland (2002), sinusitis adalah peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau nonpurulen, akut atau

Lebih terperinci

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi Bestari j Budiman, Ade Asyari Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Abstrak Rinosinusitis merupakan masalah yang penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung 2.1.1 Hidung luar Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian bawah terdapat dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang

Lebih terperinci

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS Nama Mata Kuliah/Bobot SKS Standar Kompetensi Kompetensi Dasar : Sistem Neuropsikiatri / 8 SKS : area kompetensi 5: landasan ilmiah kedokteran : menerapkan ilmu kedokteran

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut (Long, 1996). Sinusitis adalah peradangan pada membrane mukosa sinus. Sinusitis juga

Lebih terperinci

Buku Saku European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007

Buku Saku European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007 Buku Saku European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007 PESERT Wytske Fokkens Chair epartment of Otorhinolaryngology msterdam Medical Centre PO Box 22660 1100 msterdam The Netherlands

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur

Lebih terperinci

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis Bestari Jaka Budiman, Rossy Rosalinda Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr.

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis 18 Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis Teuku Husni T.R. Divisi Rinologi, Bagian Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSU Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai satu

Lebih terperinci

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 1 Windy S. Ishak 2 Olivia Pelealu 2 R.E.C Tumbel 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian Telinga Hidung Tenggorok-Bedah

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

LAPORAN KASUS (CASE REPORT) LAPORAN KASUS (CASE REPORT) I. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat : Amelia : 15 Tahun : Perempuan : Siswa : Bumi Jawa Baru II. Anamnesa (alloanamnesa) Keluhan Utama : - Nyeri ketika Menelan

Lebih terperinci

GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA

GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA Glaukoma adalah suatu penyakit dimana tekanan di dalam bola mata meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada saraf optikus dan menyebabkan penurunan fungsi penglihatan. 1 Terdapat

Lebih terperinci

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen RSU. HAJI MAKASSAR RINITIS ALERGI PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen TUJUAN Menembalikan fungsi hidung dengan cara menghindari allergen penyebab,

Lebih terperinci

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS ARTIKEL PENELITIAN DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS Siti Masliana Siregar 1 1 Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA Al-Mujaini A, et all, 2009. Functional Endoscopic Sinus Surgery : Indications and Complications in the Ophthalmic Field. OMJ. 24, 70-80; doi :10.5001/omj.2009.18 Amaruddin dkk, 2005. Hubungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis Laporan Penelitian Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis Ade Rahmy Sujuthi, Abdul Qadar Punagi, Muhammad Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi

Lebih terperinci

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ALI HUSEIN G 0008049 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

Maksilektomi medial endoskopik

Maksilektomi medial endoskopik Laporan Kasus Abdul Qadar Punagi Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar ABSTRAK Latar belakang:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar BAB II Kepustakaan 2.1 Anatomi telinga luar Secara anatomi, telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi mengumpulkan dan menghantarkan gelombang bunyi

Lebih terperinci

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal sel karsinoma dan skuamous sel karsinoma. Tumor ganas yang sering terjadi pada bagian bibir,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4. KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap tahunnya ± 40 juta

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Foramen Mentale Foramen mentale adalah suatu saluran terbuka pada korpus mandibula. Melalui foramen mentale dapat keluar pembuluh darah dan saraf, yaitu arteri, vena

Lebih terperinci