BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior (Higler 1997; Ballenger 2004). Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya tidak terbentuk. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid (Gambar 2.1). Di antara konkakonka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum (Higler 1997; Ballenger 2004; Browning 2007). Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari 5

2 permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior (Hilger 1997; Ballenger 2004). Gambar 2.1 Penampang Koronal Hidung (McCormick 2007) Kompleks Ostiomeatal (KOM) Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus etmoidalis anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostiomeatal atau kompleks meatus media etmoidalis anterior (Gambar 2.2). KOM adalah bagian dari sinus etmoidalis anterior. Pada potongan koronal sinus paranasalis, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoidalis, hiatus semilunaris dan selsel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksilaris (Kamel 2002; Hwang & Abdalkhania 2009; Reddy & Dev 2012).

3 Gambar 2.2 Kompleks ostiomeatal (See et al. 2007) Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum (Kennedy & Bolger 2003; Reddy & Dev 2013). Bula etmoidalis terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoidalis dapat membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksilaris (Kennedy & Bolger 2003; Browning 2007). Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoidalis, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksilaris sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Browning 2007; Reddy & Dev 2013). Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontalis. Dengan

4 membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal (Walsh & Kern 2006; Reddy & Dev 2013). Resesus frontalis dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan merupakan drainase dari sinus frontalis, dapat langsung ke meatus media atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi (Browning 2007; Reddy & Dev 2013) Anatomi Sinus Paranasalis Secara embriologi, sinus paranasalis berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, yang berbentuk tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan. Resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasalis dimulai pada saat fetus yang berusia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoidalis dan sinus frontalis. Sinus maksilaris dan sinus etmoidalis telah ada saat bayi lahir dan sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar yang lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun, perkembangan sinus tersebut menjadi bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontalis berkembang dari sinus etmoidalis anterior pada saat usia 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai ukuran yang maksimal pada usia antara tahun (Hwang & Abdalkhania 2009). Sinus paranasalis adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya (Gambar 2.3). Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoidalis anterior dan posterior. Sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus etmoidalis anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di meatus superior (Walsh & Kern, 2006; Reddy & Dev, 2012).

5 Gambar 2.3 Sinus paranasalis (Dikutip dari: Conten.answers.com/main/content/imgelsevier/dental/f jpg.gambar) Sinus maksilaris Sinus maksilaris berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid (Hwang & Abdalkhania 2009; Dyngra 2010). Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris adalah: 1. Dasar sinus maksilaris sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis 2. Sinusitis maksilaris dapat menimbulkan komplikasi orbita

6 3. Ostium sinus maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit (Walsh & Kern, 2006). Identifikasi endoskopik sinus maksilaris adalah melalui ostium alami sinus maksilaris yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksilaris biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoidalis. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksilaris adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus maksilaris dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan didekat fontanel posterior (Nizar 2000; Stankiewicz & Scianna 2009). Sinus etmoidalis Dari semua sinus paranasalis, sinus etmoidalis yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoidalis seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi (Walsh & Kern 2006; Hwang & Abdalkhania 2009). Berdasarkan letaknya, sinus etmoidalis dibagi menjadi sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoidalis anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Kennedy & Bolger 2003; Walsh & Kern 2006). Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoidalis. Di daerah etmoid anterior

7 terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksilaris. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontalis dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksilaris (Walsh & Kern 2006). Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan tembus. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior dan dan daerah yang kedua adalah daerah sel etmoidalis posterior yang meluas ke belakang dan di atas rostrum sfenoid (sel Onodi). Kainz dan Stammberger menekankan daerah rawan tembus pada saat melakukan etmoidektomi di bagian medial. Pada daerah medial ini terdapat pertautan yang sangat tipis antara atap etmoid dan lamina kibrosa, yang merupakan tempat masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus frontal (Walsh & Kern 2006; Stankiewicz & Scianna 2009). Tabel 2.1 Klasifikasi konfigurasi fosa olfaktorius oleh Keros yaitu: (Kennedy & Bolger 2003; Lee & Kennedy 2006; Kaplanoglu et al. 2013) Keros I : Fosa olfaktorius datar, kedalamannya 1-3mm. Lamina lateralis dari lamina kribosa rendah bahkan hampir tidak ada Keros II : Fosa olfaktorius lebih dalam, mencapai 4-7mm. Lamina lateralis dari kribosa lebih panjang. Keros III : Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribosa, lamina lateralis panjang dan tipis serta fosa olfaktorius lebih dalam, kedalaman 8-16mm. Tipe ini yang paling berbahaya untuk tindakan operasi karena kemungkinan perforasi melalui lamina lateralis dari lamina kribosa

8 Sinus frontalis Sinus frontalis yang terletak di os frontalis mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus. Sesudah lahir, sinus frontalis mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai usia maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 % orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontalis dan kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak berkembang (Walsh & Kern 2006). Sinus frontalis biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontalis dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontalis mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontalis berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Burton 2000; Kennedy & Bolger 2003; Punagi 2008). Sinus sfenoidalis Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia tahun. Sinus sfenoidalis berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika sinus sfenoidalis telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak konfigurasi khas dari bagian dalam sinus sfenoidalis; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoidalis posterior (Nizar 2000; Ballenger 2004). 2.3 Anatomi Radiografi Secara radiografi pemeriksaan hidung dan sinus paranasalis harus difokuskan pada daerah sempit yang menghubungkan sinus etmoidalis dengan sinus-sinus sekitarnya. Perhatian pertama kali difokuskan pada

9 kelompok sel-sel udara di sekeliling resesus frontalis, di mana saluran ini menghubungkan antara sinus frontalis dan sinus etmoidalis anterior (Zeifer & Curtin 2006). Pemeriksaan tomografi komputer dilakukan setelah pasien diberi pengobatan antibiotika yang adekuat serta anti inflamasi untuk menghilangkan proses radang akut sehingga gambaran mengenai sinus akan lebih jelas. Dengan demikian kita dapat mengidentifikasi apakah ada sumbatan di kompleks ostiomeatal yang merupakan faktor penyebab rinosinusitis kronik (Zeifer & Curtin 2006). Pemeriksaan tomografi komputer yang dilakukan pada rinosinusitis kronis adalah tomografi komputer sinus paranasalis potongan koronal, posisi prone dengan kepala ekstensi maksimal. Tebal irisan 2 mm. Pemilihan window setting yang benar sangat menentukan tampilan gambar kompleks ostiomeatal. Untuk menilai mukosa kompleks ostiomeatal dipakai window with 2000 HU dengan window level/centre HU, disertai zoom/magnifikasi 4-5X. Untuk pasien rinosinusitis kronik tidak diperlukan pemakaian kontras (Lee & Kennedy 2006; Lund 2007). Tomografi komputer sinus paranasalis sebelum operasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) telah disetujui untuk mengenal anatomi sinus etmoidalis dan hubungannya ke basis tengkorak dan orbita serta memperlihatkan hubungan anatomi dan struktur penting (orbita, nervus optikus, arteri karotis) ke daerah penyakit, yang penting untuk perencanaan operasi. Di samping itu pemeriksaan ini juga dapat menentukan perluasan penyakit seperti anatomi abnormal di bawahnya yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik (Zeifer & Curtin 2006; Stankiewicz & Scianna 2009). Tomografi komputer juga mampu menunjukkan variasi anatomi yang berperan dalam terjadinya sinusitis dan kemungkinan komplikasinya termasuk ke mata dan intrakranial. Petunjuk dan lokalisasi penyakit pada Tomografi komputer potongan koronal penting untuk operasi sinus

10 endoskopi di mana pemeriksaan foto polos tak dapat digunakan sebagai penuntun pada prosedur ini (Fokkens et al. 2012). Variasi anatomi dan kelainan anatomi yang dapat diperlihatkan pada pemeriksaan tomografi komputer potongan koronal antara lain : septum nasi, konka media, hiatus semilunaris, meatus media, prosesus unsinatus, ostium sinus maksilaris, bula etmoidalis, sel agger nasi, resesus frontalis, resesus sfenoetmoidalis, sel Haller dan sel Onodi. Pada gambaran tomografi komputer potongan aksial dapat diperlihatkan ostium sinus sfenoidalis (Zeifer & Curtin 2006; Stankiewicz & Scianna 2009). Labirin etmoid Dapat dilihat pada potongan koronal, maupun aksial. Pada potongan koronal, kumpulan sel-sel udara labirin etmoid tampak vertikal dengan septa tipis seperti sarang tawon. Pada keadaan vertikal ini, sel-sel udara sempit di anterior dan melebar ke posterior. Batas dari struktur labirin adalah lamina papirasea sebelah lateral, lempeng orbita tulang frontal sebelah superior, di medial dengan lempeng perpendikular dan ke inferior dengan konka media. Labirin etmoid terdiri atas tiga kelompok sel-sel udara, yaitu anterior, media dan posterior. Kelompok anterior dan media disebut sebagai sel udara etmoid anterior yang dipisahkan oleh lamela basalis dengan sel udara etmoid posterior. Sel udara ini terbuka pada ostiumnya yang berhubungan langsung dengan kavum nasi, dimana ostium ini tidak tampak pada tomografi komputer (Kennedy & Bolger 2003). Sel udara etmoid ada ekstramural intramural. Sel udara etmoid intramural yang paling anterior adalah sel resesus frontalis, yang meluas ke tulang frontal secara antero-superior. Kelompok anterior selanjutnya adalah sel-sel etmoid infundibulum. Sel ektramural yang paling anterior, yaitu sel agger nasi. Sel-sel udara etmoid posterior ada yang mengelilingi nervus optikus, dikenal sebagai sel Onodi (Kennedy & Bolger 2003).

11 Ostium sinus maksilaris dan etmoid infundibulum Ostium sinus maksilaris dan etmoid infundibulum merupakan hubungan utama sinus maksilaris dengan kavum nasi. Keduanya dapat diperlihatkan dengan baik pada potongan koronal. Infundibulum di sebelah lateral berbatasan dengan infero-medial orbita, sebelah superior berbatasan dengan hiatus semilunaris dan bula etmoidalis, di sebelah medial dengan prosesus unsinatus dan sebelah inferior dengan sinus maksilaris, dimana sinus bermuara ke dalamnya lewat ostium sinus maksilaris. Sekitar 15-40% sinus maksilaris mempunyai ostium aksesoris. Ostium berlanjut ke supero-medial menjadi etmoid infundibulum (Kennedy & Bolger 2003; Walsh & Kern 2006). Prosesus unsinatus Prosesus unsinatus merupakan lempeng tulang tipis dan melengkung yang berasal dari sisi lateral labirin. Terletak di medial ostium sinus maksilaris dan merupakan dinding medial etmoid infundibulum. Ukurannya bervariasi, tebal 1-4 mm dan panjang mm. Prosesus unsinatus ini merupakan tahap awal tindakan bedah sinus endoskopi fungsional dengan pendekatan antero-posterior. Prosesus unsinatus tampak jelas pada potongan koronal (Kennedy & Bolger 2003). Hiatus semilunaris Berbentuk suatu saluran memanjang, yang letaknya melengkung pada dinding lateral hidung, merupakan lanjutan dari etmoid infundibulum dengan arah postero-inferior. Terletak di atas prosesus unsinatus dan di bawah bula etmoidalis. Dapat dilihat dengan baik pada potongan sagital atau rekonstruksi sagital. Celah ini memisahkan prosesus unsinatus dari bula etmoidalis dan sebagai penghubung etmoidalis infundibulum dengan meatus media (Kennedy & Bolger 2003). Konka media Terletak infero-medial dari sel etmoid anterior. Perlekatan tulangnya hampir vertikal dengan lamina kribriformis di superior dan lamina papirasea di lateral. Sering dijumpai badan konka media berisi udara yang

12 disebut sebagai konka bulosa. Anatomi konka media terlihat dengan baik pada potongan koronal dan potongan aksial (Hwang & Abdalkhania 2009). Gambar 2.4 Konka bulosa media (Shankar et al.) Bula etmoidalis Bula etmoidalis merupakan penonjolan yang berbentuk bulat dari sel udara etmoid media. Biasanya berisi sel-sel udara dengan besar dan ukuran yang bervariasi. Berbatasan ke infero-medial dengan infundibulum dan hiatus semilunaris, ke lateral dengan lamina papirasea dan ke superposterior dengan sinus lateralis. Bula etmoidalis berhubungan dengan kavum nasi, melalui ostium yang letaknya bervariasi. Bula etmoidalis dapat membengkak sangat besar, sehingga menekan etmoid infundibulum dan menghambat drainase dari sinus maksilaris. Paling baik terlihat pada potongan koronal (Kennedy & Bolger 2003). Sel agger nasi Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid anterior. Terletak agak ke anterior dari perlekatan antero-superior konka media dan anterior dari resesus frontal. Bila berpneumatisasi akan menonjol pada dinding lateral kavum nasi. Karena letaknya yang sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan landmark operasi sinus frontalis. Dengan membuka sel ini memberi jalan menuju resesus frontal. Terlihat pada potongan koronal yang paling anterior (Kennedy & Bolger 2003).

13 Gambar 2.5 Sel agger nasi (Shankar et al) Resesus frontalis Resesus frontalis merupakan drainase dari sinus frontalis, dapat langsung ke meatus media atau melalui etmoid infundibulum, menuju rongga hidung. Hubungan sinus frontalis dengan kavum nasi tidak merupakan saluran lurus, tapi berbentuk hourglass. Terlihat jelas pada potongan koronal (Kennedy & Bolger 2003). Resesus sfeno-etmoidalis Resesus sfeno-etmoid paling baik dievaluasi dengan potongan sagital atau aksial. Ostium terletak antero-superior sinus sfenoidalis. Drainase sinus sfenoidalis dan sel-sel etmoid posterior adalah ke resesus sfenoetmoid, kemudian ke meatus superior (Kennedy & Bolger 2003; Walsh & Kern 2006). Deviasi sebagian atau seluruh septum nasi, terutama deviasi yang mengenai dinding lateral konka media, akan mempersempit jalan masuk ke meatus media, sehingga menghambat drainase dari sinus. Septum nasi dapat dilihat dari potongan aksial, maupun koronal (Zeifner & Curtin 2006; Reddy & Dev 2012). Sel Haller, konka bulosa, konka media paradoksal, bula unsinatus dan bula etmoidalis yang besar, hanya dapat dilihat dengan tomografi komputer potongan koronal. Variasi anatomi ini sering menjadi faktor penghambat drainase dari sinus maksilaris, karena menekan ostium dan etmoid infundibulum, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronis (Busquets & Hwang 2006).

14 Gambar 2.6 Sel haller (Shankar et al.) Potongan koronal ke arah posterior, dapat melihat sinus sfenoidalis dan septumnya. Variasi bentuk septum sinus sfenoidalis perlu menjadi perhatian, karena septum sfenoid yang menyilang ke lateral, lokasi septum berada tepat di bawah arteri karotis, sehingga harus hati-hati dalam pembersihan sinus sfenoidalis yang dekat ke septum ini (Zeifer & Curtin 2006). Dari potongan aksial kita juga dapat melihat apakah ada sel Onodi, yaitu sel-sel udara etmoid posterior yang melingkari nervus optikus. Walaupun jarang ditemukan, namun sel Onodi ini sangat penting bagi operator agar berhati-hati dalam pembersihan daerah etmoid posterior. Apabila ada sel Onodi, operator harus melakukan tindakan lebih ke arah medial, agar tidak mencederai nervus optikus (Kennedy & Bolger 2003; Zeifer & Curtin, 2006). 2.4 Indeks Lund-Mackay Gejala yang timbul akibat rinosinusitis kronik merupakan salah satu hal penting dalam menegakkan diagnosis, di samping pemeriksaan pencitraan seperti tomografi komputer. Pembagian secara radiologis telah banyak dilakukan di antaranya menurut Lund-Mackay. Pembagian menurut sistem Lund-Mackay didasarkan pada pengukuran objektif kelainan masing-masing sinus, dengan skor 0 bila tidak ditemukan kelainan (normal), skor 1 bila ditemukan opasitas partial (termasuk polip kecil dan penebalan mukosa atau opasitas <2/3), skor 2 bila ditemukan

15 opasitas total sinus atau opasitas >2/3, dan penilaian patensi ostiomeatal kompleks. Penilaian untuk kompleks ostiomeatal 0 apabila tidak tersumbat dan 2 apabila tersumbat. Skor tomografi komputer rinosinusitis menurut indeks Lund-Mackay dari Dikatakan menderita rinosinusitis apabila indeks Lund-Mackay 1. Sistem Lund-Mackay ini sering digunakan karena mampu mengukur kelainan masing-masing sinus secara objektif, lebih sederhana dan merupakan satu-satunya sistem yang direkomendasikan oleh Task Force untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis (Neto, Baracat & Felipe 2010; Busquets & Hwang 2006). 2.5 Rinosinusitis Kronik Definisi Task Force mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai adanya dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), hidung sumbat, ingus purulen, gangguan penciuman, post nasal drip. Gejala-gejala minor antara lain: nyeri kepala, nyeri telinga, nyeri geraham, demam, halitosis dan batuk (Busquets & Hwang 2006). Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012), rinosinusitis kronik ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala di mana salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior atau posterior nasal drip), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan nasoendoskopi berupa polip dan/atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan/atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius dan/atau sekret mukopurulen di meatus media dan/atau gambaran tomografi komputer berupa kelainan mukosa di kompleks ostiomeatal dan/atau sinus; yang berlangsung lebih dari 12 minggu (Fokkens et al. 2012). The European Academy of Allergylogy and Clinical Immunology (EAACI) mendefenisikan rinosinusitis kronik sebagai kongesti hidung

16 berlangsung selama lebih dari 12 minggu disertai satu atau salah satu dari 3 gejala : nyeri wajah / tekanan, post nasal drip dan hiposmia (Schlosser & Woodworth 2009) Patofisiologi Rinosinusitis Kronik Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor yaitu patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor akan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik (Busquets et al. 2006, Hoang et al. 2010). Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema hasil proses radang di area kompleks ostiomeatal (Gambar 2.7). Blokade daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan retensi sekret serta perubahan ph sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi sinus (Busquets & Hwang 2006; Cashman, MacMohan & Smyth 2011). Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia (Fokkens et al. 2012; Busquets & Hwang 2006; Benninger 2007).

17 Gambar 2.7 Siklus rinosinusitis (Kennedy et al.1995) Etiologi Rinosinusitis Kronik Etiologi dari Rinosinusitis dapat disebabkan oleh alergi, infeksi dan dapat disebabkan oleh kelainan struktur anatomi (variasi kompleks ostiomeatal, deviasi septum, hipertrofi konka) atau penyebab lain seperti idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi, atrofi (Higler 1997 ; Lee & Kennedy 2006; Fokkens et al. 2012). Beberapa bakteri patogen yang sering dihubungkan dengan etiologi rinosinusitis kronik adalah Stafilokokus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Hemofilus influenza dan Moraxella kataralis (Fokkens et al. 2012). Munir (2006) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan variasi anatomi pada penderita rinosinusitis terbanyak adalah kelainan pada prosesus unsinatus (71,4%) dan yang paling sedikit adalah kelainan sel agger nasi (25,7%) Kekerapan Kekerapan rinosinusitis bervariasi. Di Kanada, laki-laki lebih banyak menderita rinosinusitis kronik dibandingkan perempuan, di mana

18 prevalensi rinosinusitis kronik meningkat seiring dengan pertambahan usia, di mana meningkat pada kelompok umur tahun dan kelompok umur tahun (Fokkens et al. 2012). Di RS dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun frekuensi penderita rinosinusitis kronik sekitar 2,5%-4,6% dari seluruh kunjungan poliklinik (Harowi et al. 2011). Multazar (2011) pada penelitiannya terhadap 296 penderita rinosinusitis kronik Di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan jenis kelamin terbanyak yang menderita rinosinusitis kronik adalah perempuan sebanyak 169 penderita (57,09%) diikuti laki-laki sebanyak 127 penderita (42,91%). Penelitian Dewi (2013) di RSUP H. Adam Malik Medan mendapatkan 111 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional yang terdiri dari 52 kasus dengan polip dan 59 kasus tanpa polip. Di mana kelompok umur terbanyak pada tahun Diagnosis Rinosinusitis Kronik Diagnosis rinosinusitik kronik dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang (Busquets & Hwang 2006). Anamnesis Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force, Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penciuman, post nasal drip. Gejala-gejala minor antara lain: nyeri kepala, demam, nyeri telinga, halitosis, nyeri geraham dan batuk (Busquets & Hwang 2006). Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012), gejala-gejala rinosinusitik kronik antara lain adalah hidung sumbat

19 (83,7%), nyeri wajah (64,7%), hidung berair (63,6%) dan gangguan penghidu (48,5%). Penelitian Nair (2010) di New Delhi mendapatkan gejala-gejala rinosinusitik kronik antara lain post nasal drip (95%), sakit kepala (91%), ingus purulen (90%), hidung sumbat (86%), nyeri wajah (69%) dan gangguan penghidu (56%). Nyeri kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Nyeri kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Nyeri kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan nyeri kepala yang disebabkan oleh mata (Ballenger 2004). Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksilaris atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal (Ballenger 2004). Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang (Ballenger 2004). Rinoskopi anterior Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus media. Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik (Busquets & Hwang 2006).

20 Pemeriksaan nasoendoskopi Pemeriksaan ini dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus media atau superior, polip kecil, edema prosesus unsinatus, konka media paradoksal, konka media hipertrofi, post nasal drip dan septum deviasi (Fokkens et al.; Busquets & Hwang 2006). Pemeriksaan foto polos sinus Foto polos sinus paranasalis tidak sensitif dan mempunyai nilai yang terbatas pada evaluasi rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa dilakukan adalah foto polos sinus paranasalis posisi Water s. Pada foto ini hanya tampak jelas sinus-sinus yang besar saja, sedangkan daerah kompleks ostiomeatal tidak jelas tampak. Air fluid level pada rinosinusitis kronis tidak selalu dijumpai (Busquets & Hwang 2006). Pemeriksaan Tomografi komputer Tomografi komputer yang biasa dilakukan adalah tomografi komputer sinus paranasalis potongan koronal, dimana dapat terlihat perluasan penyakit di dalam rongga sinus dan kelainan di kompleks ostiomeatal. Tomografi komputer dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus rinosinusitis berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan rinosinusitis kronik dan dipersiapkan untuk operasi. Tomografi komputer memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya pemeriksaan Tomografi komputer dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomi dapat terlihat dengan jelas (Fokkens et al. 2012; Busquets & Hwang 2006). Tomografi komputer tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal pada kasus rinosinusitis akut. Kelemahan pemeriksaan ini adalah dosis radiasi yang cukup besar (5-6 cgy) dan biaya yang relatif mahal (Benninger 2007; Lund & Jones 2007).

21 2.5.6 Komplikasi rinosinusitis kronik Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut (Giannoni & Weinberger 2006). Komplikasi rinosinusitis sudah semakin jarang setelah pengobatan antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi rendah yang kurang gizi dan tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, komplikasi rinosinusitis lebih sering terjadi dan dapat berakibat buruk misalnya sampai menjadi buta atau bahkan kematian (Giannoni & Weinberger 2006). Komplikasi yang terjadi dapat berupa : 1. Kelainan orbita. Infeksi dari sinus paranasalis dapat meluas ke orbita secara langsung atau melalui sistem vena yang tidak berkatup. Komplikasi orbita ini dapat berupa selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah (Dyngra 2010; Slack & Sim 2008; Giannoni & Weinberger 2006). 2. Kelainan intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis sinus kavernosus. Rongga sinus frontalis, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis maksilaris karena infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat

22 terlihat sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi (Dyngra 2010; Giannoni & Weinberger 2006). 3. Mukokel (kista). Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di sinus frontalis meskipun dapat juga terjadi di sinus maksilaris, etmoid atau sfenoid. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus yang terkena (Fokkens et al. 2012; Giannoni & Weinberger 2006). 4. Kelainan paru. Dapat menyebabkan bronkitis kronik sampai bronkiektasis. Sinusitis kronis juga dapat menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar hilang bila sinusitisnya belum disembuhkan (Fokkens et al. 2012) Penatalaksanaan Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid, anti histamin, dekongestan dan mukolitik (Ferguson & Orlandi 2006). Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi kompleks ostiomeatal (KOM), hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan (Fokkens et al. 2012). Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan medikamentosa yang adekuat dan optimal, serta adanya obstruksi

23 kompleks ostiomeatal merupakan indikasi tindakan bedah ( Lal, Scianna & Stankiewicz 2009). Bedah sinus endoskopik fungsional merupakan langkah maju dalam bedah sinus. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena merupakan tindakan bedah invasif minimal yang lebih efektif dan fungsional (Metson & Mardon 2006; Zeifner & Curtin 2006).

24 Gambar 2.8 PANDUAN BAKU PENATALAKSANAAN SINUSITIS (Soetjipto & Wardhani 2007)

25 2.6 KERANGKA KONSEP Etiologi : Infeksi Alergi Obat-obatan Zat iritan Jamur - Patensi ostium -Jumlah silia yang berfungsi -Kualitas sekret Faktor predisposisi (variasi anatomi): Deviasi septum Konka media bulosa Sel Haller Sel agger nasi Obstruksi Kompleks Ostiomeatal Task Force Rinosinusitis Kronik Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Gejala Nasoendoskopi Tomografi Komputer SPN EPOS : Variabel penelitian Gambar 2.9 Kerangka konsep

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinosinusitis Kronis 2.1.1. Definisi Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus 2.1.1. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Sinus paranasalis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

Lebih terperinci

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid SINUSITIS AKUT DAN KRONIS Dr. dr. Delfitri Munir Sp.THT-KL(K) Sub-devisi Rinologi Dept. Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Sinus para-nasal Nasal asessory sinuses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Laporan Penelitian Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Jeanny Bubun, Aminuddin Azis, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Rinosinusitis a. Definisi Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus, sedangkan rinitis merupakan inflamasi pada membrana mukosa hidung.

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed. Author : Edi Susanto, S.Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.tk PENDAHULUAN Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK CORRELATION OF NASAL AND SINUS ANATOMICAL VARIATIONS PARANASALIS CT IMAGE BASED

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri REFERAT SINUSITIS Oleh : KELOMPOK VI Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri KEPANITERAAN KLINIK RSUP FATMAWATI STASE THT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 BAB I PENDAHULUAN Sinusitis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung 2.1.1 Hidung luar Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian bawah terdapat dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

RINOSINUSITIS KRONIS

RINOSINUSITIS KRONIS RINOSINUSITIS KRONIS Muhammad Amir Zakwan (07/25648/KU/12239) Dokter Muda Periode 2-25 Januari 2013 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas,

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Pada bagian anterior saluran pernafasan terdapat

Lebih terperinci

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen 2.1.1. Definisi Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Foramen Mentale Foramen mentale adalah suatu saluran terbuka pada korpus mandibula. Melalui foramen mentale dapat keluar pembuluh darah dan saraf, yaitu arteri, vena

Lebih terperinci

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus Laporan Penelitian GAMBARAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 20 (SNOT-20) PADA PENDERITA RINOSINUSITIS DI DESA YEH EMBANG NEGARA, DESA TAMBLANG SINGARAJA DAN DESA TIHINGAN KLUNGKUNG Oleh: Putu Dian Ariyanti Putri,

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis 2.1.1. Defenisi Menurut Kamus Kedokteran Dorland (2002), sinusitis adalah peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau nonpurulen, akut atau

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut (Long, 1996). Sinusitis adalah peradangan pada membrane mukosa sinus. Sinusitis juga

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

LAPORAN KASUS (CASE REPORT) LAPORAN KASUS (CASE REPORT) I. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat : Amelia : 15 Tahun : Perempuan : Siswa : Bumi Jawa Baru II. Anamnesa (alloanamnesa) Keluhan Utama : - Nyeri ketika Menelan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Epistaksis Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang

Lebih terperinci

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal sel karsinoma dan skuamous sel karsinoma. Tumor ganas yang sering terjadi pada bagian bibir,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Ras India Penduduk ras India Malaysia merupakan suatu kaum yang berasal dari India selatan. Mereka telah datang ke Malaysia sejak dua ribu tahun lalu.kelompokkelompok seperti

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENGINDERAAN PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU BEBERAPA KESAN TIMBUL DARI LUAR YANG MENCAKUP PENGLIHATAN, PENDENGARAN,

Lebih terperinci

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011. Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2011. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011. Privina Arivalagan 1, Andrina Rambe 2, 1 Mahasiswa F.

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis 18 Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis Teuku Husni T.R. Divisi Rinologi, Bagian Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSU Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai satu

Lebih terperinci

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis Bestari Jaka Budiman, Rossy Rosalinda Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN

INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam

Lebih terperinci

BAB II ANATOMI. Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata,

BAB II ANATOMI. Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata, BAB II ANATOMI Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata, sebaiknya terlebih dahulu dipahami tentang anatomi mata dan anatomi operasinya. Dibawah ini akan dijelaskan

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

Gambar klasifikasi Le Fort secara sistematis

Gambar klasifikasi Le Fort secara sistematis Fraktur Le Fort terjadi pada 10-20% dari fraktur wajah. Fraktur ini terjadi karena terpajan kekuatan yang cukup. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama, penyebab lain yang mungkin yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus. BAB 2 KANINUS IMPAKSI Gigi permanen umumnya erupsi ke dalam lengkungnya, tetapi pada beberapa individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus. Salah satunya yaitu gigi kaninus

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar BAB II Kepustakaan 2.1 Anatomi telinga luar Secara anatomi, telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi mengumpulkan dan menghantarkan gelombang bunyi

Lebih terperinci

for preparing endoscopic sinus surgery, 34 males and 42

for preparing endoscopic sinus surgery, 34 males and 42 I Variasi Gambaran Tomografi Komputer Pada Pasien Rinosinusitis Kronis Setelah rerapi Medikamentosa Maksimal di RsUp. DR. M. Djamil padang Periode Januari 20l0-Desember 2012 Bestari Jaka Budiman, Dolht

Lebih terperinci

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan

Lebih terperinci

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I Lukluk Purbaningrum 20070310087 FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. R Umur : 53 tahun Alamat : Jl.

Lebih terperinci

GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA

GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA Glaukoma adalah suatu penyakit dimana tekanan di dalam bola mata meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada saraf optikus dan menyebabkan penurunan fungsi penglihatan. 1 Terdapat

Lebih terperinci

AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER. Tesis

AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER. Tesis AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER Tesis Oleh: dr. Emilda Dewi PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA

Lebih terperinci

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi Bestari j Budiman, Ade Asyari Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Abstrak Rinosinusitis merupakan masalah yang penting

Lebih terperinci

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen RSU. HAJI MAKASSAR RINITIS ALERGI PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen TUJUAN Menembalikan fungsi hidung dengan cara menghindari allergen penyebab,

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci