BAB II KAJIAN PUSTAKA. bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau nasal

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau nasal"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Kavum nasi dibatasi oleh vestibulum di bagian anterior sampai ke koana di bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau nasal valve, yang terletak antara batas belakang kartilago alaris dengan batas depan kartilago lateralis. Limen nasi adalah daerah tersempit dari saluran napas atas. Batas posterior dari kavum nasi adalah koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Ballenger, 2003). Atap kavum nasi dibentuk oleh kartilago alaris, kartilago lateralis, tulang nasalis, prosesus nasalis tulang frontalis, tulang sfenoidalis, tulang etmoidalis dan lamina kribrosa. Dasar kavum nasi dibentuk oleh prosesus palatinus tulang maksila dan prosesus horisontalis tulang palatum. Dinding lateral kavum nasi dibentuk oleh permukaan dalam maksila, tulang lakrimalis dan prosesus pterigoideus tulang sfenoidalis. Pada dinding lateral kavum nasi ini terdapat struktur yang penting secara fungsional. Struktur tersebut adalah konka superior, medius, inferior dan meatus-meatusnya. Meatus-meatus yang terdapat pada konka merupakan muara dari sinus paranasalis dan duktus nasolakrimalis (Ballenger, 2003). Meatus superior merupakan muara dari sel-sel etmoidalis posterior. Resesus sfenoidalis yang merupakan muara sinus sfenoidalis terletak di bagian belakang atas konka superior (Ballenger, 2003). 6

2 7 Meatus medius yang terletak antara konka media dan konka inferior merupakan muara dari sinus frontalis, sinus maksilaris dan sel-sel etmoidalis anterior. Sinus frontalis dihubungkan dengan meatus medius melalui resesus frontalis. Sedikit di belakang batas anterior konka media terdapat tonjolan tulang dan jaringan ikat di dinding lateral kavum nasi yang disebut prosesus unsinatus. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah yang terletak di antara prosesus unsinatus dan bula etmoidalis. Ruangan yang terletak di antara prosesus unsinatus, bula etmoidalis dan lamina papirasea disebut infundibulum etmoidalis (Ballenger, 2003). Meatus inferior terletak di bawah konka inferior. Muara duktus nasolakrimalis terletak di meatus inferior yaitu sekitar 3-5 sentimeter di belakang nares (Ballenger, 2003). Prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, resesus frontalis, bula etmoidalis, infundibulum etmoidalis dan ostium sinus maksilaris membentuk suatu unit fungsional yang disebut kompleks ostiomeatal (Gambar 2.1). Karena sempitnya kompleks ostiomeatal, maka suatu perubahan kecil di tempat tersebut yang disebabkan misalnya oleh karena variasi anatomis ataupun edem mukosa sudah dapat menimbulkan gangguan ventilasi yang pada akhirnya menyebabkan kelainan patologis pada sinus paranasalis (Ballenger, 2003). Kavum nasi terbagi menjadi dua oleh septum nasi. Septum nasi terbentuk oleh segmen kartilago dan segmen tulang. Bagian superoposterior terbentuk oleh lempeng perpendikularis tulang etmoidalis, di anterior terbentuk oleh kartilago kuadrangularis, premaksila dan kolumela. Bagian inferior terbentuk oleh tulang

3 8 vomer, krista maksilaris dan krista palatina. Bagian posterior terbentuk dari krista sfenoidalis (Ballenger, 2003; Mehta dan Ralph, 2006). Dinding lateral kavum nasi mendapat vaskularisasi dari arteri sfenopalatina, arteri palatina desenden, arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Septum nasi mendapat vaskularisasi dari arteri nasalis posterior yang merupakan cabang dari arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor yang merupakan cabang dari arteri palatina desenden, arteri labialis superior yang merupakan cabang dari arteri fasialis, arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri sfenopalatina dan arteri palatina desenden merupakan cabang dari arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna. Arteri fasialis juga merupakan cabang arteri karotis eksterna. Arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna. Drainase vena mengikuti arterinya ke pleksus oftalmika dan sebagian lagi ke arah sinus kavernosus (Ballenger, 2003; Mehta dan Ralph, 2006). Persarafan hidung terutama berasal dari cabang oftalmika dan maksilaris dari nervus trigeminus. Cabang oftalmika nervus trigeminus terbagi menjadi cabang etmoidalis anterior, etmoidalis posterior dan cabang infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior terbagi menjadi cabang medial dan lateral. Cabang medial mempersarafi daerah septum nasi sedangkan cabang lateral mempersarafi dinding lateral kavum nasi. Nervus etmoidalis posterior mempersarafi septum nasi. Cabang maksilaris nervus trigeminus memberikan dua cabang yaitu nervus nasalis posterior superior yang mencapai septum nasi sebagai nervus nasopalatina dan nervus nasalis posterior inferior yang berjalan di sebelah lateral dan mempersarafi

4 9 konka superior, medius dan inferior. Dalam fungsinya sebagai organ penghidu, hidung juga dipersarafi oleh nervus olfaktorius di daerah bulbus olfaktorius (Ballenger, 2003; Mehta dan Ralph, 2006). Secara umum, gambaran anatomi hidung dan sinus paranasalis disajikan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Hidung dan sinus paranasalis (Ballenger, 2003) a. Potongan koronal hidung dan sinus paranasalis. b. Gambaran kompleks ostiomeatal. Kavum nasi dan septum dilapisi oleh mukoperiosteum dan mukoperikondrium. Mukoperiosteum dan mukoperikondrium ini tersusun atas membran mukosa, submukosa atau lamina propria dan kemudian perikondrium atau periosteum (Huizing dan Groot, 2003). Membran mukosa yang melapisi kavum nasi disebut juga sebagai mukosa Schneiderian (Balogh dan Pantanowitz, 2007). Membran mukosa tersusun atas empat jenis sel yaitu sel kolumner bersilia, sel kolumner tak bersilia, sel goblet dan sel basal. Mukosa dan submukosa dipisahkan oleh membran basalis (Huizing dan Groot, 2003). Submukosa terdiri dari tiga lapis. Lapisan luar adalah lapisan superfisial yang terdiri dari kapiler, lapisan tengah merupakan lapisan yang terdiri dari kelenjar

5 10 tubuloalveolar dan lapisan bawah yang terdiri dari pleksus venosus (Huizing dan Groot, 2003). Periosteum dan perikondrium terdiri dari jaringan ikat yang berjalan paralel terhadap kartilago dan tulang. Perikondrium dan periosteum terbagi menjadi dua lapis. Lapisan luar terdiri dari serat jaringan ikat, arteriol, venula dan serabut saraf. Lapisan dalam merupakan jaringan ikat padat yang melekat pada kartilago atau tulang yang mendasarinya (Huizing dan Groot, 2003). Hidung memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi respirasi, fungsi penghidu dan fungsi proteksi. Fungsi hidung ini ditunjang oleh anatomi permukaan dalam hidung yang berlekuk sehingga permukaannya menjadi luas. Luasnya permukaan kavum nasi akan meningkatkan kontak antara udara inspirasi dengan mukosa hidung sehingga memaksimalkan fungsi hidung dalam mengatur suhu dan kelembaban udara inspirasi serta menyaring udara inspirasi (Leung dkk., 2014). Fungsi respirasi hidung adalah mempersiapkan udara luar agar suhu dan kelembaban udara sesuai dengan saluran napas dibawahnya. Sistem vaskular dan sekretori yang terdapat dalam kavum nasi akan mengatur suhu udara inspirasi sehingga mendekati 37 C dengan kelembaban sekitar 85% (Leung dkk., 2014; Ballenger, 2003). Fungsi penghidu dilakukan oleh neuroepitel olfaktorius yang tersebar di atap kavum nasi yang terletak di antara septum dengan permukaan medial konka superior. Neuroepitel olfaktorius juga dapat meluas sampai ke konka media dan lamina kribrosa (Leung dkk., 2014).

6 11 Fungsi proteksi hidung terjadi oleh adanya aliran udara turbulen dalam kavum nasi, adanya vibrise di vestibulum nasi dan adanya sistem mukosilia (Leung dkk., 2014; Ballenger, 2003). Vibrise akan menyaring partikel berukuran besar yang masuk ke kavum nasi. Turbulensi udara yang terjadi dalam kavum nasi menyebabkan udara inspirasi bersentuhan dengan permukaan mukosa kavum nasi sehingga sekitar 80-85% partikel dengan ukuran kira-kira 5 µm atau lebih besar akan melekat pada mukus yang terdapat pada mukosa dan kemudian akan dibersihkan oleh sistem mukosilia (Leung dkk., 2014; Ballenger, 2003). Partikel yang lebih kecil dari 0,5 µm dapat melewati fungsi penyaring hidung tersebut (Leung dkk., 2014). Pada umumnya droplet yang mengandung patogen berukuran lebih besar dari 5-6 µm (Ballenger, 2003). Mukosa kavum nasi menghadapi lingkungan luar dan secara konstan berinteraksi dengan sejumlah bakteri, virus dan jamur. Pada individu normal, sistem imun mukosa akan merespon rangsangan ini dan berfungsi sebagai pertahanan lini pertama terhadap patogen (Leung dkk., 2014). Terdapat dua respon yang berbeda namun tetap terintegrasi terhadap rangsangan ini. Respon tersebut adalah imunitas bawaan dan didapat. Imunitas bawaan terdiri atas epitel saluran napas yang membentuk penghalang fisik dan enzim-enzim mukosa yang memiliki efek anti mikroba. Fagosit seperti netrofil dan makrofag akan membentuk lini pertahanan berikutnya (Leung dkk., 2014). Sistem imun didapat pada daerah sinonasal diperantarai oleh sel dendritik yang merupakan antigen-presenting cells atau APC. Antigen diproses dan dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T-helper atau sel Th. Interaksi antara sel

7 12 dendritik, sel T dan sel B terjadi di dalam kelenjar limfe mukosa. Rangsangan yang kuat dari patogen akan memicu cell-mediated response dari sel Th1. Respons sel Th1 dan sitokin akan mempermudah aktivitas fagositik dari makrofag dan cell-mediated cytotoxicity. Rangsangan yang lemah dari patogen akan menimbulkan respons dari sel Th2 untuk mengeluarkan sitokin yang merangsang sel B antigen-specific untuk memproduksi IgE dan S-IgA. S-IgA adalah imunoglobulin utama pada sekret hidung yang akan menetralisir virus dan bakteri (Leung dkk., 2014). 2.2 Sistem Mukosilia Sistem bersihan mukosilia hidung terdiri atas dua sistem berbeda yang bekerja sama dengan serasi. Ke dua sistem tersebut adalah silia yang aktif bergerak dan mukus yang membawa partikel ke posterior ke arah esofagus. Silia respiratorius pada manusia terdapat pada seluruh saluran napas kecuali di vestibulum nasi. Silia tersebut terdapat pada permukaan sel dengan panjang 6 µm dan diameter 0,3 µm. Terdapat buah silia pada tiap sel. Tiap silia dibungkus oleh membran plasma dari sel yang bersangkutan dan melekat pada suatu basal body basal yang terletak sedikit di bawah permukaan sel. Pada ujung silia terdapat semacam tutup di mana terdapat 3-7 cakar sepanjang nm menyembul di atasnya (Ballenger, 2003; Houtmeyers dkk., 1999). Dalam setiap silia terdapat aksonema yaitu satu berkas mikrotubulus atau fibril yang tersusun secara longitudinal. Aksonema ini tersusun dari sembilan pasang mikrotubulus yang tersusun membentuk suatu pola lingkaran yang menyerupai roda kereta. Sembilan pasang mikrotubulus yang membentuk pola

8 13 lingkaran mengelilingi satu pasang mikrotubulus. Pola ini disebut pola 9 plus 2. Satu pasang mikrotubulus disebut doublet. Doublet-doublet yang membentuk pola lingkaran disebut doublet perifer sedangkan sepasang mikrotubulus yang dikelilingi oleh doublet perifer tersebut disebut central pair atau mikrotubulus sentral (Ballenger, 2003). Mikrotubulus dalam doublet perifer tersebut terletak berdampingan dan disebut subfiber A bagi mikrotubulus yang terletak lebih sentral dan subfiber B bagi mikrotubulus yang terletak lebih perifer. Terdapat dua buah lengan yang menempel pada subfiber A yang mengarah ke subfiber B pada doublet di sebelahnya. Lengan tersebut terbentuk dari ATPase dan disebut sebagai dynein arms (Ballenger, 2003; Houtmeyers dkk., 1999). ATPase adalah suatu protein yang memakai energi dari ATP untuk pergerakan (Sleigh, 1988). Subfiber A dari satu doublet dihubungkan dengan subfiber B doublet di sebelahnya oleh suatu material elastik yang disebut neksin. Dari subfiber A setiap doublet perifer keluarlah suatu radial spokes ke arah central pair (Ballenger, 2003; Houtmeyers dkk., 1999). Basal body yang berbentuk silinder terdapat di bawah membran sel dan aksonema. Ke dua mikrotubulus dalam doublet perifer mendapat tambahan satu mikrotubulus lagi yang disebut subfiber C sehingga terdapat tiga mikrotubulus yang disebut triplet di bawah basal body tersebut. Mikrotubulus sentral berakhir pada basal body. Triplet memanjang ke dalam sitoplasma apikal yang disebut rootlet. Rootlet kemudian mengerucut ke arah bawah membentuk basal foot dan gambarannya bergaris-garis yang menyerupai serat kolagen. Basal foot

9 14 membengkok searah dengan arah lecutan efektif silia (Ballenger, 2003). Struktur silia, aksonema, mikrotubulus, doublet dan struktur silia lain disajikan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Struktur silia (Ballenger, 2003) Palut lendir merupakan salah satu komponen dari sistem mukosilia. Palut lendir memiliki ketebalan antara µm dan terdiri atas dua lapis atau bilayered. Lapisan atas yang disebut gel layer lebih kental dan terletak pada ujung silia sedangkan lapisan bawah yang disebut lapisan perisilia atau sol layer konsistensinya lebih encer. Gel layer dihasilkan oleh sel goblet dan sol layer dihasilkan oleh sel serosa. Lapisan atas tersebut berbentuk serpihan-serpihan sehingga seolah-olah gel layer yang lebih kental tersebut mengambang di atas sol layer. Palut lendir memiliki sifat sedikit asam dan komposisinya terdiri dari 2,5-3% glikoprotein, 1-2% garam dan 95% air. Sekitar 70% dari protein yang terdapat dalam palut lendir adalah imunoglobulin. Fungsi palut lendir adalah sebagai pelumas dan untuk menjebak partikel-partikel yang melewati kavum nasi. Gerakan silia di bawah palut lendir akan menggerakkan palut lendir beserta partikel yang terjebak di dalamnya ke arah faring. Partikel yang terletak pada palut lendir akan digerakkan oleh silia dengan kecepatan antara 3-25 mm per

10 15 menit atau rata-rata sekitar 6 mm per menit. Namun demikian ditemukan variasi dari rata-rata kecepatan gerakan ini (Ballenger, 2003; Leung dkk., 2014; Voigt dan Edelstein, 2006). Gerakan bolak-balik silia yang disebut sebagai siklus silia atau ciliary beat terjadi secara bifasik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Fase efektif adalah lecutan silia di mana silia tersebut meregang maksimal ke arah atas berupa lecutan yang kuat dan cepat. Cakar pada ujung silia akan menembus lapisan atas palut lendir sehingga menggerakkan palut lendir tersebut ke arah sesuai lecutan efektif silia tersebut. Lecutan silia pada fase pemulihan terjadi secara lebih lemah dan lambat sehingga silia tersebut melengkung kembali ke arah lapisan perisilia. Gerakan semacam ini menyebabkan dorongan ke satu arah. Siklus silia ini bersifat metakronik yaitu gerakan silia yang terkoordinasi sehingga mencegah benturan antar silia di saat fase gerakan yang berbeda (Ballenger, 2003; Voigt dan Edelstein, 2006; Houtmeyers dkk., 1999). Pada lingkungan normal siklus silia adalah sekitar kali per detik (Voigt dan Edelstein, 2006) atau sekitar 1000 kali per menit (Ballenger, 2003; Voigt dan Edelstein, 2006). Gambar 2.3 Siklus silia atau ciliary beat (Ballenger, 2003) Gerakan silia disebabkan oleh saling meluncurnya mikrotubulus yang berdekatan sehingga menimbulkan perpotongan gaya dan mengakibatkan silia

11 16 membengkok. Energi yang digunakan berasal dari ATP yang terdapat dalam dynein arms. Sumbu gerakan silia adalah pada garis yang tegak lurus terhadap bidang yang menghubungkan ke dua mikrotubulus dalam central pair (Ballenger, 2003; Houtmeyers dkk., 1999). Kadar NO mempengaruhi gerakan silia. Konsentrasi NO yang tinggi akan merangsang frekuensi irama silia sedangkan konsentrasi NO yang rendah akan menurunkan frekuensi irama silia (Leung dkk., 2014). Imada dkk. (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung akan memendek setelah pemberian donor NO dan memanjang setelah pemberian NO synthase inhibitor. 2.3 Waktu Bersihan Mukosilia Hidung Sistem mukosilia yang terdapat dalam saluran napas mampu menggerakkan partikel yang terdapat di permukaannya dengan kecepatan antara 3-25 mm per detik atau rata-rata sekitar 6 mm per menit (Voigt dan Edelstein, 2006; Ballenger, 2003). Waktu bersihan mukosilia hidung atau waktu transpor mukosilia hidung dapat diukur dengan beberapa metode, diantaranya adalah dengan uji sakarin, pemeriksaan dengan zat pewarna ataupun dengan partikel yang telah dilabel dengan isotop radioaktif Teknesium 99m (Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004; Deborah dan Prathibha, 2014). Prinsip uji sakarin dan pemeriksaan dengan zat pewarna adalah menghitung waktu yang diperlukan untuk sakarin atau zat pewarna yang diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior untuk mencapai rongga faring. Pada uji sakarin interval waktu dihitung sampai subjek telah merasakan rasa manis, sedangkan pada pemeriksaan dengan zat pewarna

12 17 interval waktu dihitung sampai terlihat zat pewarna di rongga faring. Zat pewarna yang biasanya digunakan untuk pemeriksaan ini adalah Evans blue (Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004) Uji Sakarin Uji sakarin dilakukan dengan cara meletakkan tablet sakarin berdiameter kurang lebih 1 mm, kira-kira 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior dengan menggunakan forsep aligator kecil seperti yang disajikan pada Gambar 2.4. Subjek diminta tetap bernapas biasa melalui hidung. Selama pemeriksaan ini subjek dilarang untuk bersin, mengendus, makan maupun minum. Subjek diminta untuk menelan satu kali setiap menit dan melaporkan jika merasakan suatu rasa di tenggoroknya. Rasa alamiah tersebut tidak diberitahukan kepada subjek sehingga kepada subjek dapat ditanyakan mengenai kualitas sensasi tersebut (Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004; Valía dkk., 2008). Gambar 2.4 Pemeriksaan waktu bersihan mukosilia hidung dengan uji sakarin (Scadding dan Lund, 2004) a. Forsep aligator kecil dan tablet sakarin. b. Sakarin diletakkan kira-kira 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior. Uji sakarin merupakan teknik baku dalam pengukuran waktu bersihan mukosilia hidung (Deborah dan Prathibha, 2014). Uji sakarin merupakan uji yang

13 18 sederhana, non invasif, mudah dikerjakan dan relatif tidak mahal (Valía dkk., 2008). Puchelle dkk. (1981) menyatakan bahwa pengukuran waktu bersihan mukosilia hidung dengan uji sakarin cukup valid dan berkorelasi baik dengan metode radioisotop (p < 0,001). Rutland seperti dikutip oleh Deborah dan Prathibha (2014) maupun Isern seperti dikutip oleh Valía dkk. (2008) menyatakan bahwa hasil uji sakarin juga cukup reliabel. Reliabilitas suatu pengukuran ditunjukkan oleh reprodusibilitasnya (Murti, 2011). Penelitian Corbo dkk. (1989) menunjukkan bahwa reprodusibilitas uji sakarin cukup baik yang ditunjukkan dengan konsistensinya yang baik antara pengulangan pengukuran dengan nilai interclass correlation coefficient atau Ri=0,80 dan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan antara dua pengukuran tersebut. Havas (1999) dalam penelitiannya membuktikan bahwa uji sakarin cukup reliabel yang dibuktikan dengan tidak terdapatnya perbedaan hasil yang signifikan secara statistik pada pengulangan uji sakarin. Valía dkk. (2008) menyatakan bahwa uji sakarin merupakan suatu pengukuran yang reprodusibel karena pengulangan uji sakarin pada subjek yang sama pada suatu interval waktu tertentu tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada Wilcoxon T test dengan nilai p = 0,28. Munir (2010) menyatakan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek normal adalah 9,49 ± 0,75 menit. Leung dkk. (2014) menyatakan bahwa lamanya waktu bersihan mukosilia hidung pada sebagian besar subjek normal adalah 10 menit.

14 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Waktu Bersihan Mukosilia Hidung Kelembaban Udara Salah dkk. (1988) dalam penelitiannya yang membandingkan antara bersihan mukosilia hidung antara subjek yang bernapas dalam kelembaban kamar dengan suhu C dan kelembaban relatif 40-43% dengan subjek yang bernapas dalam udara kering dengan suhu C dan kelembaban relatif di bawah 0,1%, menyebutkan bahwa terdapat pemanjangan waktu pada subjek yang bernapas dalam udara kering. Hal ini disebabkan karena kehilangan air yang berlebihan setelah bernapas cukup lama dalam udara kering akan mengubah sifat reologis mukus (Salah dkk., 1988) Deviasi Septum Nasi Jang dkk. (2002) maupun Ulusoy dkk. (2007) dalam penelitian yang terpisah menyebutkan bahwa terdapat pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan deviasi septum nasi. Pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan deviasi septum nasi diduga terjadi karena hilangnya silia, adanya inflamasi dan berkurangnya jumlah kelenjar (Jang dkk., 2002) Usia Penelitian Ho dkk. (2001) terhadap efek usia terhadap bersihan mukosilia hidung, frekuensi irama silia dan ultrastruktur silia pada relawan sehat dengan rentang umur antara tahun menunjukkan terdapat hubungan antara waktu bersihan mukosilia hidung dengan pertambahan usia. Subjek yang berumur di atas 40 tahun mengalami penurunan frekuensi irama silia dan pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung dibandingkan dengan mereka yang lebih muda. Waktu

15 20 bersihan mukosilia hidung pada subjek yang berusia lebih dari 40 tahun adalah 15,4 ± 5 menit sedangkan waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek yang berusia kurang dari 40 tahun adalah 9,3 ± 5,2 menit (Ho dkk., 2001) Paparan Asap Rokok Penelitian Stanley dkk. (1986) terhadap paparan akut dan kronik asap rokok terhadap waktu bersihan mukosilia hidung menyatakan bahwa paparan akut asap rokok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap bersihan mukosilia hidung namun paparan kronik yang mana subjek telah merokok sedikitnya selama lima tahun sebanyak 10 rokok per hari menunjukkan pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung yang bermakna dimana waktu bersihan mukosilia hidung pada perokok adalah 20,8 ± 9,3 menit dan waktu bersihan mukosilia hidung pada bukan perokok adalah 11,1 ± 3,8 menit (Stanley dkk., 1986). Özler dkk. (2014) dalam penelitiannya terhadap efek perokok pasif dan aktif yang sedikitnya terkena paparan asap rokok selama tiga tahun terhadap waktu bersihan mukosilia hidung menyatakan bahwa terdapat pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung secara signifikan pada perokok pasif dan aktif bila dibandingkan dengan kontrol. Waktu bersihan mukosilia hidung pada perokok aktif adalah 15,3 ± 2,34 menit, waktu bersihan mukosilia hidung pada perokok pasif adalah 15,08 ± 3,41 menit dan waktu bersihan mukosilia hidung pada bukan perokok adalah 11,68 ± 2,80 menit (Özler dkk., 2014) Infeksi Infeksi hidung dan sinus paranasalis akan memperpanjang waktu bersihan mukosilia hidung. Atsuta dan Majima (1998) yang meneliti tentang waktu

16 21 bersihan mukosilia hidung pada pasien sinusitis menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien sinusitis lebih panjang bila dibandingkan dengan kontrol. Munir (2010) dalam penelitiannya terhadap pasien rinosinusitis juga menyatakan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien rinosinusitis lebih panjang dibandingkan dengan kontrol. Waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien rinosinusitis adalah 20,86 ± 2,14 menit sedangkan waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek normal adalah 9,49 ± 0,75 menit. Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa, serta terlepasnya sel-sel radang. Endotoksin bakteri serta enzim proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia dan frekuensi siklus silia (Munir, 2010) Rinitis Alergi Yadav dkk. (2003) yang meneliti tentang hubungan antara rinitis alergi dengan waktu bersihan mukosilia hidung menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan rinitis alergi lebih pendek dibandingkan dengan kontrol. Ranga dkk. (2010) menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien anak-anak dengan rinitis alergi lebih panjang dibandingkan dengan anak-anak tanpa rinitis alergi. Waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan rinitis alergi adalah 12,46 ± 3,74 menit dan waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek tanpa rinitis alergi adalah 5,11 ± 1,51 menit (Ranga dkk., 2010).

17 Paparan Debu dan Polutan Waktu bersihan mukosilia hidung juga lebih panjang pada pekerja yang terpapar dengan debu kayu. Soemadi dkk. (2009) menyebutkan bahwa pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung pada karyawan mebel dipengaruhi oleh lama masa kerja. Waktu bersihan mukosilia hidung pada karyawan mebel ini mengalami perubahan yang bermakna setelah bekerja selama minimal 3 tahun. Waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek yang terpapar debu kayu adalah 18,21 ± 4,814 menit sedangkan waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek yang tidak terpapar debu kayu adalah 10,91 ± 2,482 menit (Soemadi dkk., 2009). Paparan uap bensin juga memperpanjang waktu bersihan mukosilia hidung. Suryana (2013) yang meneliti pengaruh paparan uap bensin terhadap waktu bersihan mukosilia hidung menyimpulkan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung kelompok terpapar uap bensin pada pekerja Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum lebih panjang dibandingkan kelompok tidak terpapar uap bensin Diabetes Melitus Yue (1989) dalam penelitiannya di Cina menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien diabetes melitus lebih panjang pada kelompok pasien diabetes melitus dibandingkan dengan kelompok non diabetes melitus. Waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien diabetes melitus adalah 5,95 ± 1,12 mm/menit dan waktu bersihan mukosilia hidung pada subjek non diabetes adalah 7,89 ± 1,33 mm/menit (Yue, 1989). Demikian pula Sachdeva dkk. (1998) dalam penelitiannya menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien diabetes melitus adalah 18,02 ± 5,08 menit sedangkan waktu bersihan mukosilia

18 23 hidung pada kelompok non diabetes melitus adalah 7,49 ± 1,06 menit. Memanjangnya waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien diabetes melitus diduga disebabkan oleh karena adanya penurunan aktivitas ATPase dan gangguan sintesis ATPase yang diperlukan untuk gerakan silia serta gangguan sintesis nitrogen monoksida atau NO yang diperlukan untuk merangsang gerakan silia (Selimoglu dkk., 1999; Leung dkk., 2014). Penelitian Sachdeva dkk. (1998) menemukan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan durasi menderita diabetes melitus > 10 tahun lebih panjang dibandingkan dengan yang menderita diabetes melitus dengan durasi 10 tahun. Waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan durasi menderita diabetes melitus > 10 tahun adalah 22,36 ± 4,36 menit dan waktu bersihan mukosilia hidung pada pasien dengan durasi menderita diabetes melitus 10 tahun adalah 15,97 ± 4,03 menit. Diduga bahwa hal ini disebabkan karena sudah adanya perubahan mukosa yang biasanya terjadi setelah tahun menderita diabetes melitus (Sachdeva dkk., 1998). Oliveira-Maul dkk. (2013) dalam penelitiannya di Brazil terhadap pasien diabetes melitus yang berumur lebih dari 14 tahun menyatakan bahwa waktu bersihan mukosilia hidung pada kelompok pasien diabetes melitus lebih panjang dibandingkan dengan kelompok non diabetes melitus. Selimoglu dkk. (1999) melakukan penelitian di Turki terhadap pasien diabetes melitus yang berusia antara 7-65 tahun dan menyatakan bahwa waktu bersihan mukosilia pada kelompok diabetes melitus lebih panjang bila dibandingkan dengan kontrol. Pada

19 24 penelitian itu Selimoglu dkk. (1999) tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kadar HbA1c dengan pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung. 2.4 Diabetes Melitus Epidemiologi Diabetes Melitus Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. World Health Organization atau WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes melitus yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun Senada dengan WHO, International Diabetes Federation pada tahun 2009 memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, ke dua laporan tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes melitus sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Rudianto dkk., 2011) Klasifikasi Diabetes Melitus Terdapat beberapa tipe diabetes melitus yang disebabkan interaksi yang kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan pilihan gaya hidup. Faktor yang berperan dalam terjadinya hiperglikemia pada pasien diabetes melitus tergantung dari etiologi diabetes melitus itu sendiri misalnya penurunan sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa atau peningkatan produksi glukosa. Gangguan

20 25 regulasi metabolisme yang berhubungan dengan diabetes melitus menyebabkan perubahan patofisiologi pada banyak sistem organ. Dengan adanya peningkatan prevalensi, maka diabetes melitus dapat menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas (Powers, 2005). American Diabetes Association mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi empat yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus tipe spesifik lain dan diabetes melitus gestasional. Diabetes melitus tipe 1 adalah diabetes melitus yang disebabkan oleh destruksi sel β sehingga mengakibatkan defisiensi insulin absolut. Diabetes melitus tipe 2 adalah diabetes melitus yang disebabkan karena berbagai derajat resistensi terhadap insulin, gangguan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa. Diabetes melitus tipe spesifik lain dibagi menjadi diabetes melitus karena kelainan genetik fungsi sel beta, kelainan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, drug-induced, infeksi dan sindrom genetik lain yang berhubungan dengan diabetes melitus. Diabetes melitus gestasional adalah resistensi insulin yang berhubungan dengan perubahan metabolisme pada kehamilan sehingga terjadi peningkatan kebutuhan insulin (Powers, 2005) Diagnosis Diabetes Melitus Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes melitus. Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya serta keluhan lain yang dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta

21 26 pruritus vulvae pada wanita (Rudianto dkk., 2011; Powers, 2005). Diagnosis diabetes melitus dapat dibuat bila 1) terdapat keluhan klasik dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol/l), atau 2) terdapat keluhan klasik dan pemeriksaan glukosa darah puasa 126 mg/dl (7.0 mmol/l), atau 3) pemeriksaan glukosa darah setelah 2 jam 200 mg/dl (11,1 mmol/l) pada tes toleransi glukosa oral (Rudianto dkk., 2011; Powers, 2005). Pemeriksaan penapis dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan penapis dilakukan pada mereka yang tidak menunjukkan adanya gejala diabetes melitus (Powers, 2005; Rudianto dkk., 2011). Pemeriksaan penapis pada diabetes melitus dapat juga digunakan sebagai alat diagnostik (World Health Organization, 2003). Pemeriksaan penapis kadar glukosa puasa dari darah vena memiliki sensitivitas 40-65% dan spesifitas lebih dari 90%, sedangkan pemeriksaan glukosa darah acak dari darah kapiler memiliki sensitivitas 56-75% dan spesifitas 88-96% (World Health Organization, 2003). Freckmann dkk. (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keakuratan Accu-Chek Active memenuhi standar DIN EN ISO 15197:2003 yang merupakan standar keakuratan internasional untuk mendeteksi kadar glukosa darah. Pemeriksaan terhadap hemoglobin terglikosilasi yang disebut juga sebagai glikohemoglobin atau hemoglobin glikosilasi atau HbA1c merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8 12 minggu sebelumnya. Uji ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam

22 27 setahun. Target HbA1c yang diinginkan untuk kontrol glikemik yang baik adalah < 7% (Rudianto dkk., 2011; Powers, 2005). American Diabetes Association maupun WHO sudah memasukkan pemeriksaan HbA1c yang nilainya 6,5% menjadi salah satu kriteria diagnosis diabetes melitus jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik (Rudianto dkk., 2011; World Health Organization, 2011) Komplikasi Kronik Diabetes Melitus Komplikasi kronik diabetes melitus mempengaruhi banyak sistem organ dan bertanggung jawab atas sebagian besar morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan diabetes melitus. Komplikasi kronik diabetes melitus dapat dibagi menjadi komplikasi vaskular dan non vaskular. Komplikasi vaskular dapat dibagi menjadi dua yaitu mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular terdiri atas retinopati, nefropati dan neuropati sedangkan komplikasi makrovaskular terdiri atas penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer dan penyakit serebrovaskular. Komplikasi non vaskular dari diabetes melitus contohnya adalah gastroparesis, infeksi dan kelainan dermatologis (Powers, 2005). Risiko timbulnya komplikasi kronik meningkat sesuai durasi hiperglikemia. Diabetes melitus tipe 2 seringkali memiliki periode hiperglikemia asimptomatik yang cukup lama sehingga banyak dari individu dengan diabetes melitus tipe 2 telah mengalami komplikasi pada saat terdiagnosis (Powers, 2005). Hiperglikemia kronik telah diketahui sebagai faktor penyebab timbulnya komplikasi diabetes melitus namun mekanismenya yang mendasari disfungsi

23 28 organ dan sel masih belum diketahui. Terdapat empat teori utama yang telah diusulkan untuk menjelaskan bagaimana hiperglikemia dapat menyebabkan komplikasi kronik diabetes melitus seperti digambarkan pada Gambar 2.5 (Powers, 2005; Brownlee dkk., 2008). Gambar 2.5 Mekanisme molekular yang mungkin terjadi pada komplikasi diabetes melitus (Powers, 2005) Teori pertama menjelaskan bahwa peningkatan glukosa intraseluler akan menyebabkan pembentukan advanced glycosylation end products atau AGEs melalui glikosilasi non enzimatik dari protein intra dan ekstraseluler. Glikosilasi non enzimatik disebabkan karena interaksi antara glukosa dengan gugus amino dari suatu protein. Advanced glycosylation end products telah diketahui dapat mengikat protein sehingga mempercepat aterosklerosis, menyebabkan disfungsi glomerulus, menurunkan sintesis NO, menyebabkan disfungsi endotel dan mengubah komposisi dan struktur matriks ekstraseluler (Powers, 2005; Brownlee dkk., 2008).

24 29 Teori ke dua didasarkan atas observasi bahwa hiperglikemia akan meningkatkan metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol. Glukosa intraseluler terutama dimetabolisme dengan fosforilasi dan kemudian glikolisis. Namun bila kadar glukosa meningkat maka sejumlah glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase. Peningkatan konsentrasi sorbitol akan mengubah potensial redoks, meningkatkan osmolalitas sel, menurunkan aktivitas ATPase, menghasilkan reactive oxygen species atau ROS dan selanjutnya akan menyebabkan disfungsi sel (Powers, 2005; Brownlee dkk., 2008). Teori ke tiga menyebutkan bahwa hiperglikemia akan meningkatkan pembentukan diasilgliserol yang akan menyebabkan aktivasi protein kinase C atau PKC. Protein kinase C akan mengubah transkripsi gen yang bertanggung jawab dalam sintesis fibronektin, kolagen tipe IV, protein kontraktil, matriks protein ekstraseluler endotel dan neuron (Powers, 2005). Aktivasi PKC sebagai akibat hiperglikemia akan meningkatkan aktivitas fosfolipase A yang akan meningkatkan produksi penghambat ATPase yaitu arakidonat dan prostaglandin E2 (Brownlee dkk., 2008). Teori ke empat menyebutkan bahwa hiperglikemia akan meningkatkan aliran melalui jalur heksosamin yang akan menghasilkan fruktosa-6-fosfat, yaitu suatu substrat yang berguna dalam produksi O-linked glycosylation dan proteoglikan. Jalur heksosamin dapat mempengaruhi fungsi sel dengan cara glikosilasi protein seperti NO synthase yang terdapat dalam endotel atau dengan cara mengubah ekspresi gen transforming growth factor atau TGF atau mengubah ekspresi gen plasminogen activator inhibitor-1 atau PAI-1 (Powers, 2005; Brownlee dkk.,

25 ). Terdapat suatu kemungkinan lain bahwa hiperglikemia akan menyebabkan peningkatan ROS atau superoksida dalam mitokondria sehingga terjadi aktivasi ke empat proses tersebut. (Powers, 2005) Diabetes Melitus dan Infeksi Saluran Napas Pasien dengan diabetes melitus memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya infeksi, termasuk rinosinusitis (Gleeson dan Decker, 2006) dan infeksi saluran napas lain (Oliveira-Maul dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Bettegowda dkk. (2014) menunjukkan bahwa 44,87% dari infeksi yang sering terjadi pada pasien diabetes tipe 2 adalah infeksi saluran napas. Sebanyak 29,13% adalah infeksi saluran napas atas dan 15,74% adalah infeksi saluran napas bawah (Bettegowda dkk., 2014). National Health Interview Survey pada tahun 1989 di Amerika Serikat menyebutkan bahwa terdapat 25,1% responden diabetes melitus tipe 2 yang menderita rinosinusitis dibandingkan dengan hanya 18,4% responden non diabetes yang menderita rinosinusitis (Boyko dan Lipsky, 1995).

BAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar

BAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar di sekitarnya dan secara konstan berinteraksi dengan agen infeksi. Sistem mukosilia yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes Melitus (DM) adalah merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat tidak terbentuknya insulin oleh sel-β pankreas atau

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan insulin yang tidak efektif.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA 1, HbA 2, HbF( fetus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA 1, HbA 2, HbF( fetus) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HbA 1c (hemoglobin terglikasi /glikohemoglobin/hemoglobin terglikosilasi/ Hb glikat/ghb) 2.1.1Biokimiawi dan metabolisme Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA 1, HbA 2,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus

BAB I PENDAHULUAN. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus (DM) tipe 2 yang disebabkan oleh perubahan fungsi ginjal. Perubahan fungsi ginjal diawali dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang disebabkan karena terganggunya sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin,

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung

Lebih terperinci

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 patofisiologi dasar : sekresi insulin yang terganggu, resistensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan memicu krisis kesehatan terbesar pada abad ke-21. Negara berkembang seperti Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten terhadap kerja insulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit dengan gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh orang di seluruh dunia. DM didefinisikan sebagai kumpulan penyakit metabolik kronis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengurangi kualitas dan angka harapan hidup. Menurut laporan status global

BAB 1 PENDAHULUAN. mengurangi kualitas dan angka harapan hidup. Menurut laporan status global BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok berbahaya bagi kesehatan, menyebabkan banyak penyakit dan mengurangi kualitas dan angka harapan hidup. Menurut laporan status global World Health Organization

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, diabetes melitus merupakan permasalahan yang harus diperhatikan karena jumlahnya yang terus bertambah. Di Indonesia, jumlah penduduk dengan diabetes melitus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Menurut ADA (2010) DM merupakan penyakit metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat gangguan pada sekresi

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan design study potong lintang (crossectional study). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

PERUBAHAN TEAR FILM SETELAH PEMBERIAN SERUM AUTOLOGUS TETES MATA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 TESIS

PERUBAHAN TEAR FILM SETELAH PEMBERIAN SERUM AUTOLOGUS TETES MATA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 TESIS PERUBAHAN TEAR FILM SETELAH PEMBERIAN SERUM AUTOLOGUS TETES MATA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Dokter Spesialis Mata Oleh : LINDA

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik kronik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transparansinya. Katarak merupakan penyebab terbanyak gangguan

BAB I PENDAHULUAN. transparansinya. Katarak merupakan penyebab terbanyak gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Katarak adalah keadaan dimana lensa menjadi keruh atau kehilangan transparansinya. Katarak merupakan penyebab terbanyak gangguan penglihatan, yang bisa menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari gangguan produksi insulin atau gangguan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katarak Asal kata katarak dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata yang biasanya bening

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat berkurangnya sekresi insulin, berkurangnya penggunaan glukosa,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu diantara penyakit degeneratif dan merupakan suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia (ADA,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). Diabetic foot adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Diabetes melitus didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit secara epidemiologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang telah menjadi masalah global dengan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang telah menjadi masalah global dengan jumlah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang telah menjadi masalah global dengan jumlah penderita lebih dari 240 juta jiwa di dunia. Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008).

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008). BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes merupakan penyebab kematian nomor 6 di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008). Sekitar 30%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan kerja insulin dan/atau sekresi insulin (Forbes & Cooper, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan kerja insulin dan/atau sekresi insulin (Forbes & Cooper, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus tipe 2 adalah suatu kelompok kondisi metabolik yang heterogen dan kompleks ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah akibat kerusakan kerja insulin

Lebih terperinci

Vitamin D and diabetes

Vitamin D and diabetes Vitamin D and diabetes a b s t r a t c Atas dasar bukti dari studi hewan dan manusia, vitamin D telah muncul sebagai risiko potensial pengubah untuk tipe 1 dan tipe 2 diabetes (diabetes tipe 1 dan tipe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gaya hidup modern dengan kesibukan tinggi dan serba otomatisasi menyebabkan masyarakat cenderung lebih suka mengonsumsi makanan cepat saji dan kurang aktivitas fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG. Diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG. Diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan kenaikan kadar gula darah diatas kadar normal atau disebut sebagai hiperglikemia (ADA, 2011). Kenaikan kadar gula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debu adalah salah satu pajanan yang utama dari lingkungan pekerjaan. Bekerja di lingkungan yang berdebu menyebabkan terhirupnya partikel debu oleh saluran nafas yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit Non- Communicable Disease (penyakit tidak menular) yang paling sering terjadi di dunia. DM merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan insulin, baik total ataupun sebagian. DM menunjuk pada. kumpulan gejala yang muncul pada seseorang yang dikarenakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan insulin, baik total ataupun sebagian. DM menunjuk pada. kumpulan gejala yang muncul pada seseorang yang dikarenakan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa ini Diabetes Melitus (DM) sudah menjadi penyakit yang diderita segala lapisan masyarakat. DM merupakan suatu kondisi abnormal pada proses metabolisme karbohidrat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

Diabetes Mellitus Type II

Diabetes Mellitus Type II Diabetes Mellitus Type II Etiologi Diabetes tipe 2 terjadi ketika tubuh menjadi resisten terhadap insulin atau ketika pankreas berhenti memproduksi insulin yang cukup. Persis mengapa hal ini terjadi tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif. Insulin merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif. Insulin merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak memproduksi insulin yang cukup atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health Organizaton (WHO) pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 4 juta orang, jumlah tersebut diperkirakan

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah peningkatan jumlah kasus diabetes melitus (Meetoo & Allen,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah peningkatan jumlah kasus diabetes melitus (Meetoo & Allen, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan gaya hidup berdampak terhadap perubahan pola penyakit yang terjadi di masyarakat. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan gaya hidup dan merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi mengandung ratusan komponen organik rantai pendek, senyawa rantai pendek volatile dan rantai panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah sindroma yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. DM, secara klinik dikarakterisasi oleh gejala intoleransi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang jumlahnya akan mengalami peningkatan di masa datang (Suyono, 2014). Diabetes melitus adalah penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri. digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selain kematian, Diabetes Mellitus (DM) juga menyebabkan kecacatan, yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) adalah sekelompok kondisi metabolik, dicirikan dengan kenaikan kadar glukosa darah dikarenakan ketidakmampuan tubuh untuk menghasilkan insulin

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. relatif sensitivitas sel terhadap insulin, akan memicu munculnya penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. relatif sensitivitas sel terhadap insulin, akan memicu munculnya penyakit tidak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang dapat meningkatkan dengan cepat prevalensi komplikasi kronis pada lansia. Hal ini disebabkan kondisi hiperglikemia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan umat manusia pada abad ke 21. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan umat manusia pada abad ke 21. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diabetes Mellitus atau kencing manis salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke 21. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindroma gangguan

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prevelensi Diabetes Melitus (DM) setiap tahunnya semakin. meningkat, berdasarkan data dari World Health Organization / WHO

BAB I PENDAHULUAN. Prevelensi Diabetes Melitus (DM) setiap tahunnya semakin. meningkat, berdasarkan data dari World Health Organization / WHO BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevelensi Diabetes Melitus (DM) setiap tahunnya semakin meningkat, berdasarkan data dari World Health Organization / WHO (2012) penderita DM dunia di tahun 2000 berjumlah

Lebih terperinci

BAB.I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki

BAB.I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki 14 BAB.I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki karakteristik berupa hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat menjadi 300 juta. Jumlah tertinggi penderita diabetes mellitus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. meningkat menjadi 300 juta. Jumlah tertinggi penderita diabetes mellitus terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Berdasarkan penelitian epidemiologi, Word Healty Organitation (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes mellitus di atas umur 20 tahun berjumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

Lebih terperinci

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENGINDERAAN PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU BEBERAPA KESAN TIMBUL DARI LUAR YANG MENCAKUP PENGLIHATAN, PENDENGARAN,

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan

BAB 6 PEMBAHASAN. tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan 42 BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian ini mempunyai tujuan untuk melihat pengaruh perbedaan suhu dan tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan coba post mortem. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stroke merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus dan dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 tahun ini bertambah 2 kali lipat. Penderita DM mempunyai resiko terhadap penyakit kardiovaskular 2 sampai 5

Lebih terperinci