BAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hidung dan Sinus Paranasal Anatomi hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian atasnya terdiri dari tulang dan tiga perlima bawahnya tulang rawan (Ballenger, 2003). Rangka hidung bagian luar dibentuk oleh dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior atau kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago septum nasi (Ballenger, 2003). Bagian lateral dari ala nasi juga dibentuk oleh beberapa kartilago berukuran kecil yang biasa disebut kartilago alar minor. Bentuk dan stabilitas dari kartilago alar yang meliputi krus medial dan lateral menentukan bentuk tip nasi dan hidung. Selain krus media, bagian inferior septum dan kolumela juga memiliki peranan pada stabilitas hidung (Probst dkk., 2006). Pada tulang tengkorak lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura piriformis. Tepi latero-superior dibentuk oleh ke dua os nasal dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan yang disebut spina nasalis anterior (Ballenger, 2003).

2 Kavum nasi dimulai di bagian anterior yang disebut vestibulum nasi dengan batas posteriornya limen nasi atau nasal valve. Nasal valve adalah daerah tersempit dari traktus respiratorius atas dan merupakan daerah yang memiliki peran utama pada aerodinamik dari aliran udara pada hidung (Probst dkk, 2006). Septum nasi adalah sekat yang membagi kavum nasi menjadi dua ruang yaitu kavum nasi kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum kuadrilateral, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posteroinferior septum nasi dibentuk oleh os vomer, krista maksila, krista palatina serta krista sphenoid (Ballenger, 2003). Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid (Ballenger, 2003). Dinding lateral hidung dibentuk oleh permukaan dalam prosessus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial (Ballenger, 2003). Fossa nasalis pada orang dewasa memiliki panjang kira-kira 7,5 cm dan tinggi 5 cm (Bull, 1987). Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus medius dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang dapat ditemukan adanya

3 konka ke empat yang disebut konka suprema. Meatus inferior adalah meatus yang paling besar dari ke tiga meatus yang ada. Meatus inferior merupakan tempat bermuaranya duktus naso lakrimalis. Meatus media adalah tempat bermuaranya sinus frontal, sinus maksila dan sel-sel anterior sinus etmoid. Meatus superior atau fisura etmoid adalah celah sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media, tempat bermuaranya sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid (Ballenger, 2003). Hidung tersusun atas otot-otot yang berukuran kecil. Otot-otot di daerah hidung terdiri dari otot proserus, otot nasalis, otot depresor septi, otot dilator nares posterior, otot dilator nares anterior dan kaput angularis otot kuadratus labii superior (Ballenger, 2003). Gambar 2. 1 Anatomi hidung (Putz dan Pabst, 2000) Pendarahan untuk hidung luar terutama berasal dari cabang-cabang arteri nasalis angularis dan nasalis lateralis arteri maksilaris eksterna dan cabang infraorbitalis arteri maksilaris interna. Rongga hidung mendapat pendarahan dari

4 cabang sfenopalatina arteri maksilaris interna dan cabang etmoidalis arteri oftalmika. Venanya bermuara di vena fasialis anterior dan vena oftalmika (Ballenger, 2003). Saraf motorik untuk hidung berasal dari saraf fasialis. Saraf sensoris termasuk cabang infratroklearis dan cabang nasalis saraf oftalmikus dari saraf trigeminus dan saraf infraorbita cabang saraf maksilaris dari saraf trigeminus (Ballenger, 2003). Mukosa sinonasal terdiri dari lapisan epitel, lamina propia, sub mukosa dan periosteum. Epitel kavum nasi adalah epitel kolumnar berlapis semu bersilia dengan sel-sel goblet di dalamnya. Tiga fungsi utama dari hidung adalah fungsi penghidu, respirasi dan proteksi. Ke tiga fungsi di atas ditunjang oleh anatomi dari kavum nasi, yang membutuhkan daerah permukaan yang luas. Aliran turbulensi udara hidung adalah fisiologi utama dari fungsi hidung. Aliran turbulensi udara ini meningkatkan kontak antara udara inspirasi dengan mukosa hidung, memberi pengaruh tidak saja pada fungsi respirasi tetapi juga fungsi penghidu dan proteksi ( Walsh dan Korn, 2006). Kondisi dari mukosa hidung, kelembaban serta permukaan dari kavum nasi yang bersilia meningkatkan kontak dengan udara inspirasi, dapat memaksimalkan fungsi penghidu, menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara yang masuk sebelum mencapai saluran nafas bagian bawah (Walsh dan Korn, 2006). Adanya vibrisae pada orifisium kavum nasi menyaring partikel besar yang masuk bersama dengan udara inspirasi sedangkan partikel yang berukuran lebih

5 kecil mencapai mukosa dan dibalut oleh mukus. Adanya bersihan mukosiliar akan membawa partikel yang telah dibalut oleh mukus termasuk di dalamnya bahan patogen keluar dari hidung dan sinus (Walsh dan Korn, 2006) Anatomi sinus paranasal Kavum nasi dikelilingi oleh ruangan yang berisi udara yang dikenal dengan nama sinus paranasal. Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada setiap sisi hidung: sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri, sinus maksilaris kanan dan kiri, serta sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostiumnya masing-masing (Ballenger, 2003). Sinus paranasal secara klinis dibagi menjadi dua yakni kelompok sinus anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila dan sel-sel anterior sinus etmoid yang bermuara di meatus media. Kelompok posterior terdiri dari sinus sphenoid dan sel- sel posterior sinus etmoid yang bermuara di meatus superior (Ballenger, 2003). Sinus maksila atau dikenal juga dengan nama antrum Highmore adalah merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila berbentuk piramid irregular dengan dasarnya menghadap fossa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila (Ballenger, 2003). Dinding anterior sinus maksila adalah permukaan fasial os maksila, sedangkan dinding posteriornya adalah fossa infratemporal. Dinding medial sinus maksila adalah dinding lateral

6 kavum nasi, Dinding superiornya adalah dasar orbita, sedangkan dasar sinus maksila adalah prosesus alveolar dari maksila. Ostium alami dari sinus maksila berada di superior dinding medial sinus dan drainasenya mengalir ke arah infundibulum etmoid dan hiatus semilunaris (Rice dan Schaefer, 2004). Sinus frontal memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Kadangkadang juga ada sinus yang rudimenter. Sinus ini berhubungan dengan meatus media melalui duktus nasofrontal, yang berjalan ke bawah dan belakang serta bermuara meatus media (Ballenger, 2003). Sel-sel atau labirin etmoid terletak di kiri-kanan kavum nasi kira-kira sebelah lateral di setengah atau sepertiga atas hidung dan di sebelah medial orbita. Ada dua kelompok sel-sel: kelompok anterior yang bermuara ke meatus media dan kelompok posterior yang bermuara ke meatus superior. Sel-sel posterior jumlahnya lebih sedikit tapi berukuran lebih besar (Ballenger, 2003). Sinus sfenoid terletak di dalam korpus os etmoid, ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis. Masing-masing sinus sfenoid berhubungan dengan meatus superior melalui celah kecil menuju ke resesus sfeno-etmoidalis (Ballenger, 2003). Untuk drainase, sinus sfenoid tergantung dari aliran mukosiliar (Rice dan Schaefer, 2004) Fungsi hidung dan sinus paranasal Tiga fungsi utama dari hidung adalah fungsi penghidu, respirasi dan proteksi. Kondisi dari mukosa hidung, kelembaban serta permukaan dari kavum

7 nasi yang bersilia meningkatkan kontak dengan udara inspirasi yang dapat memaksimalkan fungsi penghidu, menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara yang masuk sebelum mencapai saluran pernafasan bagian bawah (Walsh dan Korn, 2006). Aliran turbulensi udara pada hidung merupakan fisiologi utama dari hidung. Aliran turbulensi dari udara pada kavum nasi meningkatkan kontak antara udara inspirasi dengan mukosa hidung yang tidak hanya berperan dalam fungsi respirasi tetapi juga penghidu dan pertahanan tubuh (Walsh dan Korn, 2006). Banyak teori yang mengemukakan fungsi sinus paranasal tetapi tidak ada yang diterima secara umum. Fungsi sinus paranasal di antaranya meliputi meringankan tulang tengkorak, sebagai kotak resonansi suara, meningkatkan fungsi penghidu, melembabkan udara inspirasi dan membantu regulasi dari tekanan intranasal (Walsh dan Korn, 2006). 2.2 Sistem Mukosiliar Sinonasal Mukosa sinonasal Epitel Epitel hidung dan sinus paranasal terdiri dari tiga jenis sel yaitu sel basal, sel goblet dan sel kolumnar bersilia ataupun sel kolumnar yang tidak bersilia. Epitel merupakan barier mekanik yang utama untuk melawan infeksi. Sel silia mendominasi permukaan epitel respiratori. Setiap sel silia memiliki kira-kira 150 sampai 200 silia. Tugas dari silia adalah untuk membersihkan palut ledir yang dihasilkan oleh sel goblet dan sekresi serus dari kelenjar hidung ke nasofaring. Sel

8 basal menunjukkan adanya hubungan morfologi antara epitel kolumner dengan sel goblet dan dengan membran dasar epitel di sisi yang lain. Epitel respiratori berbeda dengan tipe epitel yang lain karena adanya peningkatan ekspresi dari beberapa molekul adhesi seperti intracellular adhesion molecule-1 dan ICAM-1 dan peningkatan sintesis sitokin seperti interleukin 1. Selain ke empat tipe sel yang telah disebutkan epitel juga mengandung sel-sel imunokompeten seperti CD8-positive T cells dengan sel mast, makrofag dan MHC-II bearing dendritic cells yang berfungsi sebagai antigen-presenting cells (Probst dkk., 2006) Palut lendir Palut lendir merupakan lapisan mukus dengan ketebalan µm, bersifat agak asam dengan ph antara 5,5-6,5. Palut lendir terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisilia yang tipis dengan viskositas rendah disebut dengan sol phase. Lapisan yang lain adalah lapisan yang lebih kental dan tebal, yang ada di atas lapisan perisilia disebut dengan gel phase yang tampak sebagai plak terputusputus. Partikel tak larut yang tertangkap di plak mukus akan bergerak bersama dengan plak tersebut akibat adanya gerakan silia (Ballenger, 2003). Materi yang mudah larut seperti droplet, formaldehid dan CO 2 akan larut di lapisan perisilia. Mukus hidung secara efektif menyaring dan mengeluarkan hampir 100% partikel yang berukuran lebih besar dari 4µm. Mukus hidung diproduksi sekitar 1-2 liter setiap hari dengan kandungan glikoprotein 2,5-3%, garam 1-2% dan air 95%. Musin adalah salah satu glikoprotein yang menyebabkan mukus bersifat protektif selain melubrikasi permukaan mukosa (Probst dkk., 2006). Palut lendir didapatkan di seluruh rongga hidung kecuali

9 vestibulum, sinus, telinga tengah, tuba Eustachius dan percabangan bronkus, mungkin terus sampai ke alveolus dalam bentuk pelembab. Gerakan silia yang ada di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini, bersama dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya secara berkesinambungan ke arah faring dan esofagus untuk kemudian ditelan atau dibatukkan. Lendir ini diproduksi oleh kelenjar mukus dan serosa, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa (Ballenger, 2003) Silia Pada manusia, silia ditemukan di sepanjang traktus respiratorius kecuali vestibulum nasi, dinding posterior orofaring, sebagian laring dan cabang terminal bronkus. Silia juga ditemukan pada tuba Eustachius, sebagian besar di telinga tengah dan sinus paranasal (Ballenger, 2003). Silia pada manusia luasnya sekitar 6 µm di atas permukaan luminal dari sel dan lebar kira-kira sekitar 0,3 µm. Kurang lebih 200 silia ditemukan pada masing-masing sel pada hidung. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat di bawah permukan sel. Setiap silia diselubungi oleh lanjutan membran sel atau membran plasma. Di dalam silia ada sehelai filamen atau fibril yang disebut aksonema. Di bawah aksonema terdapat badan basal yang silindris dan pendek, lebih ke bawah lagi fibril memanjang sampai ke sitoplasma apikal dan disini disebut sebagai tempat akar. Silia tertanam dengan kuat dan mungkin tempat akar ini meneruskan impuls saraf dari satu silia ke silia di sebelahnya sehingga dapat timbul irama yang selaras. Filamen ini adalah pasangan tubulus yang tersusun seperti roda pedati, ada 9 pasangan terletak di bagian luar sepanjang

10 perifer aksonema dan satu pasang di tengah yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Ballenger, 2003) Kesembilan pasangan luar ini masing-masing terdiri dari dua mikrotubulus juksta: subfibril A yang letaknya agak di sentral dan subfibril B yang letaknya agak ke tepi dan berukuran lebih pendek. Terdapat dua lengan yang tersusun dengan teratur yang terdiri dari ATPase yang dinamakan lengan dynein yang menghubungkan subfibril A dengan B dari pasangan sebelahnya. Selain itu, ada penghubung lain antara subfibril A dan B dari pasangan sebelahnya yang tersusun teratur seperti halnya dynein yang disebut neksin. Dari A menuju pasangan yang di tengah ada jari-jari radial. Pada dasar silia, pasangan tubulus sentral berakhir dan masing-masing pasangan perifer melanjutkan diri ke bawah untuk masuk ke badan basal sebagai tripel karena tambahan subfibril C (Ballenger, 2003). Gerakan silia terjadi karena tubulus saling meluncur di atas tubulus lainnya, sehingga timbul gerakan seperti mencukur dan mengakibatkan silia menunduk. Energi untuk itu berasal dari lengan dynein atau ATPase yang memecah adenosin trifosfat atau ATP. Pada waktu menunduk terjadi proses penembatan kembali jari-jari. Poros gerakan silia adalah garis tegak lurus pada bidang yang menghubungkan pasangan tubulus sentral. Sleigh berpendapat bahwa tekanan yang terasa oleh silia akibat kontak dengan silia di sebelahnya yang menunduk merupakan stimulus untuk menunduk mengikuti irama yang beraturan (Ballenger, 2003).

11 Gambar 2. 2 Susunan ultrastruktur tubulus silia pada berbagai tingkatan (Ballenger, 2003) Sel-sel bersilia gugur dan diganti secara teratur. Kemungkinan besar selsel basal mempunyai potensi untuk berdiferensiasi menjadi sel goblet atau sel bersilia sesuai kebutuhan. Belum diketahui dengan jelas apa yang mengontrol gerak silia. Pada manusia tidak ada saraf pengontrol. Adenosin trifosfat merupakan sumber energi utama pada aktivitas silia mamalia (Ballenger 2003). Gerak maju dan mundurnya silia disebut irama. Ada gerak maju yang kuat dan efektif, pada saat ini silia tegak sepenuhnya dan ujungnya sampai mencapai lapisan mukus superfisial yang menyelimutinya. Kemudian gerak kembali, dengan arah yang berlawanan, tidak begitu kuat, lebih lambat dan silianya melengkung sehingga tidak sampai mencapai lapisan mukus di permukaan. Arah gerak silia dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gerak silia tejadi 12 sampai 1400 kali/menit (Ballenger, 2003). Silia ini terkoordinasi dengan baik. Gerakannya dapat mengalirkan lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang disampaikan

12 oleh silia di belakangnya. Gerakan ini merupakan gerakan berkesinambungan bukan gerakan sinkron. Silia merupakan struktur yang tangguh. Aktivitasnya berlangsung terus tanpa kehilangan kekuatan meskipun selalu basah oleh sekret purulen berbulan-bulan lamanya. Kekeringan akan cepat menimbulkan kerusakan silia yang sifatnya permanen. Silia harus selalu diselimuti oleh lapisan lendir agar dapat tetap aktif (Ballenger, 2003). Gambar 2. 3 Siklus normal silia (Ballenger, 2003) Beberapa macam virus saluran pernafasan terutama virus influenza mampu menghambat gerak silia. Pada pemeriksaan silia yang terpajan oleh virus pada silia, yang menyebabkan menurunnya gerak silia (Ballenger, 2003) Transpor mukosiliar Sistem transpor mukosiliar adalah mekanisme pertahanan tubuh yang penting dari dunia luar termasuk partikel dan bakteri. Transpor mukosiliar adalah

13 sistem pembersihan yang terdiri dari dua sistem yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia mendorong gumpalan mukus. Ujung silia yang dalam posisi tegak masuk, menembus gumpalan mukus dan menggerakkannya ke arah posterior bersama-sama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah faring. Lapisan cairan perisilia di bawahnya juga turut serta dialirkan ke arah posterior oleh silia, tetapi mekanismenya belum diketahui dengan jelas (Branovan, 2004; Ballenger, 2003). Metachrony adalah koordinasi gerakan silia yang mencegah tabrakan antar silia di saat fase gerakan yang berbeda, selain menyebabkan aliran mukus yang bersifat unidireksional. Gerakan silia tersebut akan menimbulkan arus pada cairan perisilia berupa hentakan yang sangat efektif. Plak mukus yang bergerak akibat pergerakan lapisan perisilia dan gerakan ujung silia yang meregang adalah faktor utama transpor mukosiliar (Baroody, 2001). Dalam rongga hidung transpor mukosiliar menggerakkan mukus ke arah nasofaring dengan pengecualian di bagian anterior konka inferior yang mengarah ke depan. Arus ke arah depan ini menyebabkan partikel yang berada pada lokasi tersebut semakin bergerak ke rongga hidung. Partikel yang dialirkan ke belakang ke arah nasofaring tertelan secara berkala (Baroody, 2001). Produksi mukus sinus paranasal lebih sedikit dibanding dengan mukosa hidung. Penelitian transpor mukosiliar sinus maksila dilakukan dengan memasukkan tinta India ke dalam sinus dan mengamati pergerakannya. Hasilnya berupa suatu gerakan yang berbentuk bintang memancar ke dasar sinus ke berbagai arah menuju ostium sinus maksila. Pada sinus frontal transpor mukosiliar

14 berbentuk kurva besar mulai dari bagian medial ke arah atap dan melengkung ke lateral lalu ke bawah dan menuju duktus nasofrontalis. Pada sinus etmoid dan sfenoid tidak ada deskripsi yang jelas mengenai pola transpor mukosiliar (Baroody, 2001) Pemeriksaan fungsi mukosiliar Pengukuran transpor mukosiliar secara in vivo dapat dilakukan dengan beberapa cara. Kecepatan kerja mukosiliar dapat diukur dengan mengikuti suatu partikel yang larut di permukaan mukosa. Partikel ini akan bergerak bersama gumpalan mukus. Materi yang rasanya manis misal sakarin, akan bersatu dengan cairan perisilia dan akan dirasakan penderita pada saat sampai di faring (Walsh dan Korn, 2006; Ballenger, 2003; Marks, 2000). Tes sakarin adalah cara yang sederhana untuk mengetahui fungsi mukosiliar. Tes sakarin pertama kali diperkenalkan oleh Andersen dkk. pada tahun 1974 yang kemudian dimodifikasi oleh Rutland dan Cole. Tes ini memiliki kelebihan yaitu harga yang terjangkau, sederhana, mudah dikerjakan dan efektif untuk mengukur transpor mukosiliar hidung. Tes ini dilakukan dengan menempatkan 0,5 mm sakarin pada anterior konka inferior kira-kira 1 cm dari bagian akhir untuk menghindari daerah dengan metaplasia sel skuamosa. Tes dilakukan dalam posisi duduk, dengan kepala terfiksir 10 untuk menghindari partikel sakarin jatuh ke arah posterior. Subjek yang dites tidak boleh makan, minum atau menelan untuk menghindari batuk dan bersin. Subjek juga diinstruksikan sebelumnya untuk tidak menggunakan obatobatan seperti obat anestesi, analgetik, barbiturat, penenang, antidepresi, alkohol

15 dan kopi selama kurang lebih 12 jam sebelum tes dilakukan (Baby dkk., 2014; Valia dkk., 2008; Proenca dkk., 2011). Waktu kemudian diukur sampai terasa sesuatu yang manis di mulut, yang normalnya memerlukan waktu 20 menit atau kurang. Apabila waktunya lebih dari satu jam, maka perlu dilakukan tes ulang karena kemungkinan sakarinnya terjatuh dan pastikan penderita bisa mengecap rasa manis. Apabila tes sakarin menunjukkan pemanjangan waktu dari nilai normal atau ada kecurigaan abnormalitas yang spesifik dari silia dapat dilakukan pemeriksaan silia secara langsung dengan mengambil contoh silia menggunakan Rhinoprobe dan meneliti aktivitasnya menggunakan mikroskop fase kontras dengan sel fotometrik. Frekuensi dari gerak silia dapat diukur dengan real-time analyzer dan dinyatakan dengan satuan Hertz atau Hz. Nilai normal dari frekuensi gerak silia adalah 12 sampai 15 Hz. Teknik pemeriksaan ini belum banyak tersedia di sentra pelayanan kesehatan (Ballenger, 2003; Marks, 2000). Selain tes sakarin, tes serupa yang dapat dilakukan untuk mengukur transpor mukosiliar adalah tes yang menggunakan droplet biru metilen yang diteteskan di bagian depan hidung, kemudian dilakukan pengamatan orofaring untuk melihat adanya sisa warna di orofaring. Warna biasanya akan tampak dalam 20 menit. Tes ini lebih objektif dibandingkan tes sakarin karena tes ini tidak tergantung dari persepsi pasien meskipun kurang tepat karena orofaring tidak dapat diamati secara terus menerus selama 20 menit untuk mengamati munculnya warna di orofaring (Marks, 2000). Alternatif lain pemeriksaan transpor mukosiliar yang lain adalah dengan menggunakan radioisotop. Pemeriksaan ini dilakukan dengan berdasarkan

16 pergerakan radioisotop yang diamati dengan menggunakan radioisotope scanner di daerah nasofaring. Teknik pemeriksaan ini juga memungkinkan kita untuk mengukur pergerakan mukus yang dinyatakan dalam milimeter gerakan permenit. Pada orang dewasa yang sehat, rata-rata gerakan sebesar 9 mm/ menit. Kekurangan dari tes ini adalah relatif mahal dan memerlukan waktu yang relatif lama (Marks, 2000). Apabila waktu transpor mukosiliar dan frekuensi gerak silia abnormal, maka sampel dapat diteliti dengan spatula atau melalui biopsi langsung untuk diteliti dengan mikroskopi elektron, untuk menegakkan diagnosis seperti primary ciliary dyskinesia atau PCD. Selain itu, pemeriksaan kadar nitrit oksida juga penting untuk mengetahui metabolisme silia. Pada PCD, kadar nitrit oksida menjadi penanda tidak langsung metabolisme silia yang mengalami penurunan (Ballenger, 2003;Walsh dan Korn, 2006) Faktor - faktor yang mempengaruhi waktu transpor mukosiliar Beberapa faktor dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar di antaranya umur, infeksi, alergi, merokok, pemakaian obat tetes hidung, indeks massa tubuh, gangguan atau kelainan anatomi hidung dan penyakit sistemik seperti DM. Peningkatan waktu NMC yang disebabkan proses penuaan menunjukkan penurunan fungsi mukosiliar yang dapat disebabkan oleh perubahan anatomi, fisiologi dan biokimia yang secara normal terjadi pada proses penuaan (Paul dkk., 2013).

17 Infeksi hidung dan sinus paranasal kronik dilaporkan dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar. Pada infeksi terjadi gangguan viskoelastisitas mukus yang dapat menyebabkan gangguan transpor mukosiliar (Majima dkk., 1993). Pada kasus rinitis alergi yang sangat lama terjadi pemanjangan waktu transpor mukosiliar yang berkaitan dengan perubahan sifat aliran mukus hidung (Yadav dkk., 2003). Merokok dapat mempengaruhi kecepatan transpor mukosiliar. Hal ini dapat disebabkan oleh efek siliostatik dari asap tembakau. Pemanjangan NMC dapat juga disebabkan oleh penurunan jumlah silia atau perubahan viskoelastisitas mukus. Selain itu peningkatan NMC juga berhubungan dengan peningkatan lamanya durasi merokok dimana subjek yang merokok lebih dari 5 tahun memiliki waktu transpor mukosiliar lebih lambat (Baby dkk., 2014). Obat-obatan topikal pada hidung seperti dekongestan topikal penelitian yang dilakukan sebelumnya diketahui dapat mempengaruhi dari waktu transpor mukosiliar. Zhang dkk. telah melakukan penelitian mengenai pengaruh obat tetes hidung oksimetasolin terhadap waktu transpor mukosiliar. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa oksimetasolin konsentrasi 0,05% tidak menyebabkan efek inhibisi yang nyata terhadap frekuensi gerak siliar hidung secara invitro, walaupun terjadi pemanjangan transpor mukosiliar invivo tetapi masih dalam kisaran normal (Zhang dkk., 2008). Status gizi juga berpengaruh terhadap kecepatan transpor mukosiliar. Indeks massa tubuh juga berpengaruh terhadap kecepatan transpor mukosiliar. Orang dengan indeks massa tubuh abnormal cenderung mengalami pemanjangan

18 waktu transpor mukosiliar hidung. Laki-laki cenderung mempunyai waktu transpor yang lebih panjang bila dibandingkan dengan wanita (Valdez dan Cruz, 2009). Kelainan atau gangguan anatomi hidung dapat menyebabkan gangguan waktu transpor mukosiliar. Beberapa peneliti menilai hubungan transpor mukosiliar, karakteristik histologi dan struktur mukosa pasien dengan deviasi septum nasi. Dari penelitian didapatkan mukosa septum nasi sisi yang cekung mengalami gangguan transpor mukosiliar dan diduga karena hilangnya silia, inflamasi dan berkurangnya kelenjar (Jang dkk., 2002). Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus juga dapat mempengaruhi kecepatan transport mukosiliar. Pemanjangan waktu transpor mukosiliar pada penderita diabates mellitus yang mungkin disebabkan oleh menurunnya aktifitas ATP-ase, neuropati, berkurangnya kadar air dan elektrolit dan perubahan metabolisme karbohidrat (Selimoglu dkk., 1999) Debu Kayu Dalam Industri Pengolahan Kayu Debu merupakan salah satu bahan pajanan yang menimbulkan risiko pekerjaan. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Sifat debu yang disebarkan pada lingkungan kerja sangat berhubungan dengan sifat bahan dasar penghasil debu tersebut. Hasil akhir efek samping debu industri tergantung pada tipe debu yang dihirup dan tempat debu melekat pada saluran napas, hal

19 tersebut bergantung pada ukuran partikel debu tersebut, struktur saluran napas dan proses bernapas itu sendiri (Amin, 1996; Kauppinen dkk., 2006). Proses penggergajian dan pengampelasan pada perusahaan kayu menghasilkan debu atau partikel kayu yang terhambur di udara dalam jumlah yang cukup banyak sehingga udara di lingkungan tersebut tidak bersih lagi. Hal ini berpengaruh pada kesehatan terutama kesehatan saluran nafas orang-orang yang berada di lingkungan tersebut khususnya karyawan yang berada di lingkungan tersebut 9 jam per hari dan minimal 6 hari per minggu. Apabila pajanan ini berlangsung terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguan mukosa hidung. Gangguan dapat bersifat ringan seperti terganggunya fungsi silia hingga bersifat lebih berat berupa perubahan struktur seperti hiperplasia kelenjar mukus maupun gangguan yang benar-benar patologis seperti karsinoma in situ ( Watelet dkk., 2002; Irawan, 2004). Berat ringannya penyakit sangat ditentukan oleh banyaknya partikel yang tertimbun, lamanya waktu pajanan, dan kadar debu rata-rata di udara. Untuk pekerja diperhitungkan masa kerja dan kadar debu rata-rata di lingkungan kerja. Kadar itu haruslah yang benar-benar mewakili kadar debu yang memajani lingkungan kerja selama mereka bekerja sepanjang hari. Pengambilan sampel selama 8 jam kerja atau 1 shift, biasanya dalam bekerja seorang pekerja berpindah-pindah tempat yang kadar debunya berbeda (Yunus, 2003).

20 2.3.1 Debu kayu Debu kayu adalah partikel-partikel zat padat atau partikel kayu yang dihasilkan oleh kekuatan alami atau mekanik seperti pada pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan, peledakan dan lain-lain (Yunus, 2009). Debu industri yang terdapat dalam udara dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara dan partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi 2. Suspended particulate matter yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap dengan ukuran 1 mikron sampai 100 mikron (Yulaekah, 2007) Ukuran partikel debu kayu Partikel dalam udara yang terhirup tidak semua mencapai paru, partikel yang berukuran besar pada umumnya tersaring di hidung oleh vibrisae atau rambut hidung. Partikel yang terhisap dapat mencapai alveoli adalah partikel dengan ukuran 0,5-0,1 mikron disebut partikel terhisap, partikel ini dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan terjadinya pneumolinosis (Yulaekah, 2007). Partikulat adalah zat dengan diameter kurang dari 10 mikron. Berdasarkan ukurannya partikulat dibagi dua yaitu: a. Diameter kurang dari 1 mikron yakni aerosol dan fume (asap) b. Diameter lebih dari 1 mikron yakni debu dan mists (butir cairan).

21 Perjalanan debu masuk saluran pernafasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Partikulat debu yang membahayakan kesehatan ukurannya berkisar antara 0,1 mikron sampai 10 mikron. Partikel yang berukuran 5 mikron atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang memiliki ukuran kurang dari 2 mikron akan berhenti di bronkiolus dan alveolus. Sedangkan partikel yang memiliki ukuran kurang dari 0,5 mikron biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernafasan akan tetapi dikeluarkan lagi (Depkes RI, 2008). Debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernafasan. Ukuran dari debu juga sangat menentukan lokasi tertahannya debu di saluran nafas. Berdasarkan hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut: 1. Ukuran 5-10 mikron, akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian atas. 2. Ukuran 3-5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian tengah. 3. Ukuran 1-3 mikron, sampai di permukaan alveoli. 4. Ukuran 0,5-1 mikron, hinggap di permukaan alveoli atau selaput lendir sehingga dapat menyebabkan fibrosis pada paru-paru. 5. Ukuran 0,1-0,5 mikron, melayang di permukaan alveoli (Depkes RI, 1997).

22 Jenis kayu Kayu terbagi dua yaitu hardwood dan softwood, pada proses pembuatan furniture ke dua jenis kayu ini biasanya banyak digunakan. Debu kayu merupakan bahan seperti serbuk coklat muda yang dihasilkan melalui proses mekanik seperti penggergajian, penyerutan dan penghalusan atau pengamplasan. Komposisi debu kayu sangat bervariasi berdasarkan jenis pohon dan utamanya terdiri atas selulosa, polyoses dan lignin. Sifat kayu terutama dipengaruhi oleh jumlah dan variasi substansi massa berberat molekul rendah yang menyusunnya termasuk di dalamnya ekstrak organik polar seperti tannins, flavonoids, quinones dan lignans, ekstrak organik non-polar seperti asam lemak, resin acids, waxes, alkohol, terpenes, sterol, steryl ester dan gliserol dan bahan-bahan larut air seperti karbohidrat, alkaloid, protein dan material anorganik (Rowell, 2004) Konsentrasi partikel debu Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di saluran nafas khususnya paru-paru juga semakin banyak (Yunus, 2003) Lama pekerjaan Jenis pekerjaan dalam industri pengolahan kayu mempengaruhi risiko terjadinya pajanan debu kayu. Pekerja yang berisiko tinggi terpajan debu kayu adalah pekerja yang terlibat dalam proses produksi. Pekerja yang terpajan debu kayu secara terus menerus pada usia 15 tahun sampai 25 tahun akan mengalami penurunan kemampuan kerja, usia 25 tahun sampai 35 tahun mulai timbul adanya

23 keluhan batuk produktif, usia 45 tahun sampai 55 tahun sering mengeluh sesak dan hipoksemia, usia 55 tahun sampai 65 tahun timbul penyakit kor pulmonal sampai kegagalan nafas dan kematian (Triatmo dkk., 2006) Tempat dan proses pengolahan kayu Pada pabrik pengolahan kayu terdapat beberapa bagian produksi yang berpengaruh pada kadar debu kayu yang berbeda pada masing-masing bagian. Proses pengolahan kayu pada perusahaan M, di Kabupaten Badung meliputi 6 bagian : 1. Penggergajian kayu 2. Penyiapan dan penyimpanan bahan baku 3. Perakitan dan pembentukan 4. Pengeringan 5. Pengamplasan 6. Furniture component yaitu pengecatan dan penyelesaian akhir atau finishing 7. Administrasi Bagian pengeringan dan penyiapan komponen relatif tidak memiliki kadar debu yang berbahaya karena tidak menghasilkan limbah debu dalam jumlah yang banyak. Beberapa bagian yang banyak menghasilkan limbah debu adalah bagian penggergajian, pemotongan, pengamplasan kasar dan halus, perakitan. pengecatan dan penyelesaian akhir.

24 2.4 Pengukuran Debu Kayu dan Nilai Batas Ambang Pengukuran debu kayu Kuantitas pajanan terhadap debu didefinisikan menjadi beberapa istilah yaitu kadar debu total (total dust ), kadar debu terhirup (respirable dust) dan kadar debu dosis kumulatif. Debu total dihitung dengan menggunakan pengumpul debu pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap kesehatan karena ukuran debu tidak spesifik. Kadar debu terhirup adalah partikel debu dengan diameter aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-100 mikron), partikulat yang terhirup adalah partikel yang ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan kecepatan 1,7 liter/menit. Sedangkan kadar debu kumulatif adalah perkalian antar kadar debu terhirup dan lama pajanan (Lange, 2008; Anonim, 1997). Untuk mengukur kadar debu kayu di udara dapat dilakukan dengan 3 cara metode gravimetri yaitu dengan melewatkan udara dalam volume tertentu melalui glass fiber, serat gelas atau kertas saring : a. High Volume Air Sampler atau HVAS. High Volume Air Sampler memiliki prosedur kerja udara dihisap dengan pompa hisap berkecepatan 1,1-1,7 liter/menit. Partikel debu dengan diameter 0,1-100 mikron akan masuk bersamaan aliran udara dan terkumpul pada permukaan saringan serat gelas. Cara ini dapat digunakan untuk mengambil contoh udara selama 24 jam. Waktu pengukuran dapat dikurangi menjadi 6 sampai 8 jam apabila kandungan partikel debu sangat tinggi.

25 b. Low Volume Air Sampler atau LVAS. Prinsip kerja alat ini adalah dengan menangkap debu dengan ukuran yang kita inginkan dengan cara mengatur flow rate. Ukuran rate 20 liter/menit dapat menangkap partikel berukuran sebesar 10 mikron. Berat debu dapat dihitung dengan terlebih dahulu menghitung berat kertas saring sebelum dan sesudah pengukuran. c. Personal Dust Sampler atau PDS. Personal Dust Sampler adalah alat yang digunakan untuk menentukan banyaknya respirable dust di udara atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama bernafas. Metodenya adalah gravimetri atau melewatkan udara melalui kertas saring dengan cara mengatur flow rate. Untuk rate 2 liter/menit dapat menangkap partikel debu yang ukurannya kurang 10 mikron. Alat ini berukuran kecil biasanya digunakan pada lingkungan kerja dan dipasangkan pada pinggang tenaga kerja (Lange, 2008) Nilai ambang batas debu kayu Parameter yang paling penting dalam menilai pencemaran debu saat bekerja adalah konsentrasi debu kayu di lingkungan kerja tersebut. Nilai ambang tersebut harus aman bagi orang yang bekerja pada proses produksi yang menghasilkan debu kayu tersebut (Depkes RI, 1997). Di Indonesia nilai ambang batas atau NAB untuk lingkungan kerja diatur dan dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja RI. NAB adalah faktor-faktor standar

26 pada lingkungan kerja yang dianjurkan di tempat kerja yang masih dapat diterima tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan bagi para pekerja, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Depnaker dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No:SE 01/Men/1997 telah menetapkan tentang nilai ambang batas debu kayukeras seperti debu kayu mahoni di udara lingkungan kerja adalah sebesar 5 mg/m 3 (Depkes RI, 1997). Standar debu kayu di lingkungan kerja menurut The Nasional Institute for Occupational Safety and Health atau SNIOSH adalah 1 mg/m 3 untuk kayu keras dan 5 mg/m 3 untuk kayu lunak untuk pekerja yang bekerja 8 jam sehari (Wawolumaya, 2001). 2.5 Pengaruh Pajanan Debu Kayu Terhadap Kerja Mukosiliar Hidung Bekerja dalam lingkungan yang dipenuhi oleh debu kayu menyebabkan terhirupnya debu ke saluran nafas yang dapat menyebabkan masalah kesehatan apabila partikel debu tersebut mengendap dan kontak langsung dengan saluran nafas. Pada saat bernafas partikel mengendap di saluran nafas. Rute utama pernafasan adalah melalui hidung. Kemampuan mengendap dari debu kayu tergantung dari ukuran, bentuk, kelarutan dan surface chemistry (Lange, 2008). Mekanisme yang terpenting dari deposit partikel adalah impaksi, sedimentasi dan difusi. Impaksi dan filtrasi dari udara yang dihirup adalah fungsi penting dari hidung. Adanya rambut pada vestibulum hidung atau vibrisae memiliki peran untuk menyaring udara yang masuk. Pada saat bernafas melalui hidung, 75% dari partikel yang dihirup dengan ukuran diameter ~2,5 µm

27 terdeposit di sana. Ukuran partikel dari debu kayu berbeda tergantung dari tipe kayu dan pengerjaan yang dilakukan dari mana debu kayu berasal (Lange, 2008). Terdapat beberapa mekanisme traktus respiratorius untuk menjaga permukaan mukosa bebas dari benda asing seperti partikel debu kayu. Mekanisme ini dapat bersifat absortif maupun non absortif dan bervariasi di area yang berbeda dari traktus respiratorius. Pada daerah ekstra torakal seperti hidung, partikel yang daya larutnya rendah akan dibersihkan oleh transpor mukosiliar. Partikel yang terkumpul di bagian posterior dari hidung, bergerak ke arah nasofaring akibat dari gerakan silia. Rata-rata alirannya pada orang dewasa yang sehat 5 mm/menit, dengan nilai rata-rata transpor 20 menit (Lange, 2008). Transpor mukosiliar adalah proses fisiologis pada kavum nasi di mana lapisan mukus yang ada di atas sel bersilia bergerak. Transpor mukosiliar merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang penting untuk menghadapi trauma biologis dan fisik pada kavum nasi, sinus-sinus paranasal dan traktus respiratorius bagian bawah. Partikel asing dan mikroorganisme yang terhirup ditangkap oleh mukus dan dialirkan ke arah nasofaring oleh aktivitas mukosiliar hidung. Proses ini memiliki efek proteksi yang efektif pada traktus respiratorius atas dan bawah dan diyakini sebagai lini pertama pertahanan tubuh manusia. Mekanisme transport mukosiliar ini tergantung dari jumlah silia, frekuensi gerakan, koordinasi gerakan, jumlah cairan hidung dan viskoelastisitasnya. Efektivitas dari sistem mukosiliar ini dapat berkurang atau terganggu disebabkan oleh infeksi, merokok, dan trauma. Apabila terjadi gangguan fungsi, efek proteksi dari silia hidung akan berkurang atau hilang (Lange, 2008; Dostbil dkk, 2011).

28 Saat ini debu kayu juga telah diketahui sebagai bahan yang bersifat lokal iritatif dan seringkali menimbulkan keluhan pada hidung terutama hidung tersumbat (Schlunssen dkk., 2002). Gangguan transpor mukosiliar hidung dan gejala gangguan hidung pada pekerja kayu sebelumnya telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Adanya gangguan transpor mukosiliar telah dilaporkan sebagai mekanisme dari keluhan hidung pada orang yang bekerja di lingkungan dengan pajanan debu kayu. Pajanan kronis dari debu kayu dapat menyebabkan gangguan dari transpor mukosiliar pada pekerja kayu (Dostbil dkk., 2011). Mekanisme pajanan debu kayu dapat menyebabkan adenokarsinoma sinonasal belum diketahui dengan jelas. Ada 3 hipotesis utama yang dikemukakan para ahli mengenai hal tersebut yakni adanya gangguan transpor mukosiliar, efek langsung dari partikel debu kayu dan inflamasi kronis. Andersen dkk. serta Black dkk. menyatakan bahwa fraksi dari debu yang dihirup adalah debu yang diameternya lebih besar dari 5 µm, terdeposit pada epitel hidung yang menurunkan transpor mukosiliar atau bahkan menyebabkan mukostatis. Adanya gangguan transpor mukosiliar sebagai mekanisme utama pertahanan tubuh dari kontaminasi lingkungan menyebabkan waktu kontak yang lebih lama antara selsel proliferasi dengan mutagen dan mitogen adheren partikulat yang terhirup seperti bahan-bahan karsinogen. Cohen dan Ellwein pada tahun 1991 menyimpulkan bahwa hal yang terpenting adalah pajanan debu kayu dalam jangka waktu yang lama menyebabkan inflamasi kronis pada epitel sinonasal dan meningkatkan risiko kanker melalui peningkatan spesies oksigen reaktif dan dengan meningkatkan proliferasi sel (Alyson dkk., 2006; Chaboki dkk., 2008).

29 Pajanan kronis partikel debu kayu menunjukkan adanya penurunan transpor mukosiliar yang menyebabkan pemanjangan waktu pajanan mukosa sinonasal dengan kandungan bahan kimia yang berbahaya. Pajanan debu kayu pada sel epitel dan kelenjar seromukus menyebabkan overekspresi protein p53 yang kemudian berikatan dengan p53 gene mutations dan menyebabkan terjadinya transformasi ke arah keganasan (Chaboki dkk., 2008)

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debu adalah salah satu pajanan yang utama dari lingkungan pekerjaan. Bekerja di lingkungan yang berdebu menyebabkan terhirupnya partikel debu oleh saluran nafas yang

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif

Lebih terperinci

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA A. Organ-Organ Pernapasan Bernapas merupakan proses yang sangat penting bagi manusia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja.

Lebih terperinci

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Rahmy Sari S.Pd PERNAPASAN/RESPIRASI Proses pengambilan oksigen, pengeluaran karbondioksida (CO 2 ), dan menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh) Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Pernapasan

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

Sistem Pernafasan Manusia

Sistem Pernafasan Manusia Sistem Pernafasan Manusia Udara masuk kedalam sepasang rongga hidung melalui lubang hidung. Rongga hidung dilengkapi oleh rongga-rongga kecil (silia) dan selaput lendir. Dalam rongga hidung, udara dilembabkan,

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi mengandung ratusan komponen organik rantai pendek, senyawa rantai pendek volatile dan rantai panjang

Lebih terperinci

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan ANATOMI FISIOLOGI

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan ANATOMI FISIOLOGI Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan ANATOMI FISIOLOGI Conducted by: Jusuf R. Sofjan,dr,MARS 2/17/2016 1 2/17/2016 2 2/17/2016 3 2/17/2016

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGUKURAN DEBU MENGGUNAKAN PERSONAL DUST SAMPLER (PDS)

LAPORAN PRAKTIKUM PENGUKURAN DEBU MENGGUNAKAN PERSONAL DUST SAMPLER (PDS) LAPORAN PRAKTIKUM PENGUKURAN DEBU MENGGUNAKAN PERSONAL DUST SAMPLER (PDS) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Laboratorium Kesehatan Kerja Dosen Pengampu : Drs. Herry Koesyanto, MS Nama Kelompok :

Lebih terperinci

BAB VII SISTEM PERNAPASAN

BAB VII SISTEM PERNAPASAN BAB VII SISTEM PERNAPASAN PERNAPASAN / RESPIRASI PROSES PERTUKARAN GAS OKSIGEN DAN KARBON DIOKSIDA DALAM TUBUH ORGANISME FUNGSI Mensuplai oksigen ke dalam sel-sel jaringan tubuh dan mengeluarkan karbondioksida

Lebih terperinci

Sistem Respirasi Manusia L/O/G/O

Sistem Respirasi Manusia L/O/G/O Sistem Respirasi Manusia L/O/G/O Apersepsi Kegiatan Siswa menarik napas kemudian menghembuskan napas Pertanyaan Melalui kegiatan bernapas yang telah kamu lakukan, dapatkah kamu memprediksikan organ apa

Lebih terperinci

Anatomi-Fisiologi SISTEM PERNAFASAN (Respiratory System) by : Hasty Widyastari

Anatomi-Fisiologi SISTEM PERNAFASAN (Respiratory System) by : Hasty Widyastari Anatomi-Fisiologi SISTEM PERNAFASAN (Respiratory System) by : Hasty Widyastari Fungsi Pertukaran gas O2 dengan CO2 Mengambil O2 dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan mentranspor CO2 yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di bidang industri merupakan perwujudan dari komitmen politik dan pilihan pembangunan yang tepat oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi segenap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau nasal

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau nasal BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Kavum nasi dibatasi oleh vestibulum di bagian anterior sampai ke koana di bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

Bab. Peta Konsep. Gambar 4.1 Orang sedang melakukan pernapasan. Pernapasan dada. terdiri dari. - Inspirasi - Ekspirasi. Mekanisme pernapasan

Bab. Peta Konsep. Gambar 4.1 Orang sedang melakukan pernapasan. Pernapasan dada. terdiri dari. - Inspirasi - Ekspirasi. Mekanisme pernapasan Bab 4 Sistem Pernapasan Sumber: Dokumen Penerbit Gambar 4.1 Orang sedang melakukan pernapasan Hidung merupakan salah satu alat pernapasan. Melalui hidung, udara dapat keluar atau masuk ke dalam tubuh.

Lebih terperinci

ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI DEDI

ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI DEDI ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI DEDI Sal. Nafas Atas ANATOMI SISTEM RESPIRASI Pengaturan pernafasan Sal. Nafas bawah Proses kegiatan ventilasi difusi perfusi PENGERTIAN UMUM Pernafasan juga merupakan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajanan debu kayu yang lama dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem pernafasan, pengaruh pajanan debu ini sering diabaikan sehingga dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 5. SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIALATIHAN SOAL

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 5. SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIALATIHAN SOAL 1. Perhatikan gambar berikut! SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 5. SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIALATIHAN SOAL Bagian yang ditunjukan nomor 2 dan 4 adalah... Bronkiolus dan alveolus Bronkus danalveolus Bronkus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan barangkali merupakan istilah yang tepat, namun tidak populer dan tidak menarik bagi perokok. Banyak orang sakit akibat merokok, tetapi orang

Lebih terperinci

SISTEM PERNAPASAN MANUSIA

SISTEM PERNAPASAN MANUSIA SISTEM PERNAPASAN MANUSIA Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Biologi Umum Di Susun oleh : Rukayah NPM : 3061424062 Dosen Pengasuh : Taufik Rahman, S.Pd., M.Pd. KEMENTERIAN PENDIDIKAAN NASIONAL

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang telah membudaya bagi masyarakat di sekitar kita. Di berbagai wilayah perkotaan sampai pedesaan, dari anak anak sampai orang

Lebih terperinci

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENGINDERAAN PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU BEBERAPA KESAN TIMBUL DARI LUAR YANG MENCAKUP PENGLIHATAN, PENDENGARAN,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Radiografi Kedokteran Gigi Radiografi adalah alat yang digunakan dalam menegakkan diagnosis dan rencana pengobatan penyakit baik penyakit umum maupun penyakit mulut

Lebih terperinci

CREATIVE THINKING. MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN Panca Indra

CREATIVE THINKING. MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN Panca Indra CREATIVE THINKING MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN Panca Indra HIDUNG Hidung merupakan panca indera manusia yang sangat penting untuk mengenali bau dan juga untuk bernafas. Bagian-Bagian Hidung Dan Fungsinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar

BAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar di sekitarnya dan secara konstan berinteraksi dengan agen infeksi. Sistem mukosilia yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),

Lebih terperinci

Jaringan Tubuh. 1. Jaringan Epitel. 2. Jaringan Otot. 3. Jaringan ikat/penghubung. 4. Jaringan Saraf

Jaringan Tubuh. 1. Jaringan Epitel. 2. Jaringan Otot. 3. Jaringan ikat/penghubung. 4. Jaringan Saraf Jaringan Tubuh 1. Jaringan Epitel 2. Jaringan Otot 3. Jaringan ikat/penghubung 4. Jaringan Saraf Jaringan Epitel Tersusun atas lapisan-lapisan sel yang menutup permukaan saluran pencernaan, saluran pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

Sistem pernapasan adalah sistem tubuh manusia yang menghasilkan energi yang diperlukan untuk proses kehidupan.

Sistem pernapasan adalah sistem tubuh manusia yang menghasilkan energi yang diperlukan untuk proses kehidupan. Sistem pernapasan adalah sistem tubuh manusia yang menghasilkan energi yang diperlukan untuk proses kehidupan. Energi ini dihasilkan oleh dipatahkannya molekul glukosa dalam semua sel hidup tubuh manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya pendapatan masyarakat. Di sisi lain menimbulkan dampak

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya pendapatan masyarakat. Di sisi lain menimbulkan dampak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor industri saat ini makin berkembang, dari satu sisi memberi dampak positif berupa bertambah luasnya lapangan kerja yang tersedia dan meningkatnya pendapatan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA

BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA PENDAHULUAN DESKRIPSI SINGKAT : Bab ini membicarakan tentang sistema respiratoria yang melibatkan organ-organ seperti hidung, pharynx, larynx, trachea, bronchus, bronchiale,

Lebih terperinci

ALAT ALAT INDERA, ALAT PERNAPASAN MANUSIA, DAN JARINGAN TUMBUHAN

ALAT ALAT INDERA, ALAT PERNAPASAN MANUSIA, DAN JARINGAN TUMBUHAN ALAT ALAT INDERA, ALAT PERNAPASAN MANUSIA, DAN JARINGAN TUMBUHAN Kompetensi yang hendak dicapai: Siswa dapat memahami bagian tubuh manusia dan hewan, menjelaskan fungsinya, serta mampu mengidentifikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

MODUL MATA PELAJARAN IPA

MODUL MATA PELAJARAN IPA KERJASAMA DINAS PENDIDIKAN KOTA SURABAYA DENGAN FAKULTAS MIPA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA MODUL MATA PELAJARAN IPA Sistem pernapasan untuk kegiatan PELATIHAN PENINGKATAN MUTU GURU DINAS PENDIDIKAN KOTA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem

BAB II KAJIAN PUSTAKA. palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sistem Mukosilia Hidung Mekanisme pertahanan mukosa hidung yang terpenting adalah sistem mukosilia. Sistem mukosilia terdiri dari silia epitel respiratorius, sel goblet dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerjanya. Potensi bahaya menunjukkan sesuatu yang potensial untuk mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. kerjanya. Potensi bahaya menunjukkan sesuatu yang potensial untuk mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan utama dalam proses pembangunan industri. Sehingga peranan sumber daya manusia perlu mendapatkan perhatian

Lebih terperinci

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN JARINGAN DASAR HEWAN Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN Tubuh hewan terdiri atas jaringan-jaringan atau sekelompok sel yang mempunyai struktur dan fungsi

Lebih terperinci

mendeskripsikan sistem pernapasan pada manusia dan hubungannya dengan kesehatan.

mendeskripsikan sistem pernapasan pada manusia dan hubungannya dengan kesehatan. Bab 4 Sumber: www.brighamandwomans.org Sistem Pernapasan pada Manusia Hasil yang harus kamu capai: memahami berbagai sistem dalam kehidupan manusia. Setelah mempelajari bab ini, kamu harus mampu: mendeskripsikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor kehidupan seperti gangguan sosioekonomi, dampak politik dan

BAB I PENDAHULUAN. sektor kehidupan seperti gangguan sosioekonomi, dampak politik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebakaran hutan telah menjadi masalah bukan hanya di Indonesia tetapi juga berdampak regional di Asia Tenggara yang berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan design study potong lintang (crossectional study). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bronkus merupakan saluran nafas yang terbentuk dari belahan dua trakea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bronkus merupakan saluran nafas yang terbentuk dari belahan dua trakea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bronkus 2.1.1 Anatomi bronkus Bronkus merupakan saluran nafas yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

MAKALAH SISTEM RESPIRASI PADA IKAN

MAKALAH SISTEM RESPIRASI PADA IKAN MAKALAH SISTEM RESPIRASI PADA IKAN OLEH : MUSTAIN FAKULTAS BUDIDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PERIKANAN PONTIANAK 2012 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker leher kepala merupakan kanker yang terdapat pada permukaan mukosa bagian dalam hidung dan nasofaring sampai trakhea dan esophagus, juga sering melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak penyakit dapat dimulai,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung adalah organ yang terdiri dari dua bagian yaitu hidung luar dan cavum nasi. Hidung luar memiliki dua lubang yang disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh. yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh. yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2010). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan atas atau yang selanjutnya disingkat dengan ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

menjelaskan struktur dan fungsi organ manusia dan hewan tertentu, kelainan/penyakit yang mungkin terjadi serta implikasinya pada salingtemas.

menjelaskan struktur dan fungsi organ manusia dan hewan tertentu, kelainan/penyakit yang mungkin terjadi serta implikasinya pada salingtemas. Bab 6 Sumber: Biology: Sumber: Realm www.legevakten.no of Life, 2006 Pada proses inspirasi, tulang-tulang rusuk akan terangkat ke atas untuk memperbesar rongga dada. Sistem Pernapasan Hasil yang harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ATP (Adenosin Tri Phospat) dan karbon dioksida (CO 2 ) sebagai zat sisa hasil

BAB I PENDAHULUAN. ATP (Adenosin Tri Phospat) dan karbon dioksida (CO 2 ) sebagai zat sisa hasil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paru merupakan salah satu organ vital yang berfungsi sebagai tempat pertukaran gas oksigen (O 2 ) yang digunakan sebagai bahan dasar metabolisme dalam tubuh.

Lebih terperinci

11/29/2013. Paru-paru terdapat dalam rongga thoraks pada bagian kiri dan kanan. Paru-paru memilki :

11/29/2013. Paru-paru terdapat dalam rongga thoraks pada bagian kiri dan kanan. Paru-paru memilki : Saluran nafas yang dilalui udara adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan alveoli. Di dalamnya terdapat suatu sistem yang sedemikian rupa dapat menghangatkan udara sebelum sampai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIA

SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIA SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIA Pernapasan manusia meliputi proses inspirasi dan ekspirasi Inspirasi : pemasukan udara luar ke dalam tubuh melalui alat pernapasan Ekspirasi :pengeluaran udara pernapasan

Lebih terperinci

O 2 + Zat Makanan CO 2 + H 2 O + Energi

O 2 + Zat Makanan CO 2 + H 2 O + Energi ALAT PERNAFASAN PADA MANUSIA Oleh : Maulana Hudan Daromi, S.Pd Reaksi kimia pernafasan O 2 + Zat Makanan CO 2 + H 2 O + Energi Energi berfungsi untuk memberikan kekuatan manusia dalam beraktifitas Alat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. solusi alternatif penghasil energi ramah lingkungan.

BAB 1 PENDAHULUAN. solusi alternatif penghasil energi ramah lingkungan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan tingginya permintaan atas Crude Palm Oil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Pada bagian anterior saluran pernafasan terdapat

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi konsumsi bahan bakar minyak nasional pada 2012 mencapai 75,07 juta kiloliter. Volume konsumsi

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

Systema Respiratorium (Sistem Pernapasan)

Systema Respiratorium (Sistem Pernapasan) Systema Respiratorium (Sistem Pernapasan) Alat pernapasan pada Vertebrata meliputi: insang (branchia), paru-paru (pulmo). Pada dasarnya alat-alat tersebut berbeda bentuknya tetapi sama fungsinya. Masing-masing

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI

ANATOMI DAN FISIOLOGI ANATOMI DAN FISIOLOGI Yoedhi S Fakar ANATOMI Ilmu yang mempelajari Susunan dan Bentuk Tubuh FISIOLOGI Ilmu yang mempelajari faal (fungsi) dari Ilmu yang mempelajari faal (fungsi) dari alat atau jaringan

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 18. SISTEM PERNAPASANLATIHAN SOAL BAB 18

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 18. SISTEM PERNAPASANLATIHAN SOAL BAB 18 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 18. SISTEM PERNAPASANLATIHAN SOAL BAB 18 1. Perhatikan gambar berikut! Image not found http://www.primemobile.co.id/assets/uploads/materi/bio9-18-01.png Bagian yang ditunjukkan

Lebih terperinci

KISI KISI SOAL PRETEST DAN POST TEST. Ranah Kognitif Deskripsi Soal Jawaban

KISI KISI SOAL PRETEST DAN POST TEST. Ranah Kognitif Deskripsi Soal Jawaban KISI KISI SOAL PRETEST DAN POST TEST No Tujuan Pembelajaran 1 1. Menjelaskan pengertian sistem. 2. Menuliskan organ-organ 3. Menjelaskan fungsi organorgan yang terlibat dalam sistem Ranah Kognitif Deskripsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan menghadapi hal-hal darurat tak terduga (McGowan, 2001). Lutan. tahan dan fleksibilitas, berbagai unsur kebugaran jasmani saling

I. PENDAHULUAN. dan menghadapi hal-hal darurat tak terduga (McGowan, 2001). Lutan. tahan dan fleksibilitas, berbagai unsur kebugaran jasmani saling I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebugaran jasmani adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas seharihari dengan giat dan penuh kewaspadaan tanpa mengalami kelelahan yang berarti dan dengan energi yang cukup

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 5. SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIALatihan Soal 5.1

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 5. SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIALatihan Soal 5.1 SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 5. SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIALatihan Soal 5.1 1. Urutan organ pernapasan yang benar dari dalam ke luar adalah... paru-paru, tenggororkan mulut paru-paru kerongkongan, hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Mekanisma ini terbahagi kepada tarikan nafas dan hembusan nafas. B.Ia melibatkan perubahan kepada :

BAB I PENDAHULUAN. A.Mekanisma ini terbahagi kepada tarikan nafas dan hembusan nafas. B.Ia melibatkan perubahan kepada : KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan

Lebih terperinci

FISIOLOGI INDERA PENGECAP

FISIOLOGI INDERA PENGECAP FISIOLOGI INDERA PENGECAP Lidah mempunyai reseptor khusus yang berkaitan dengan rangsangan kimia. Lidah merupakan organ yang tersusun dari otot. Permukaan lidah dilapisi dengan lapisan epitelium yang banyak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Epistaksis Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang

Lebih terperinci

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan EMBRIOLOGI ESOFAGUS Rongga mulut, faring, dan esophagus berasal dari foregut embrionik. Ketika mudigah berusia kurang lebih 4 minggu, sebuah divertikulum respiratorium (tunas paru) Nampak di dinding ventral

Lebih terperinci

Task Reading: ASBES TOSIS

Task Reading: ASBES TOSIS Task Reading: ASBES TOSIS Pendahuluan Asbestosis merupakan menghirup serat asbes. gangguan pernapasan disebabkan oleh Asbes atau Asbestos adalah bentuk serat mineral silika tahan terhadap asam kuat, serta

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

Lebih terperinci

INSUFISIENSI PERNAFASAN. Ikbal Gentar Alam ( )

INSUFISIENSI PERNAFASAN. Ikbal Gentar Alam ( ) 1 INSUFISIENSI PERNAFASAN Ikbal Gentar Alam (131320090001) Pendahuluan 2 Diagnosa dan pengobatan dari penyakit penyakit respirasi tergantung pada prinsip dasar respirasi dan pertukaran gas. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf.

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. JARINGAN HEWAN Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. A. JARINGAN EPITEL Jaringan epitel merupakan jaringan penutup yang melapisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu. Kelompok 2 : INDRIANA ARIYANTI (141810401016) MITA YUNI ADITIYA (161810401011) AYU DIAH ANGGRAINI (161810401014) NURIL NUZULIA (161810401021) FITRI AZHARI (161810401024) ANDINI KURNIA DEWI (161810401063)

Lebih terperinci