TESIS OLEH : M. TRI ANDIKA NASUTION

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TESIS OLEH : M. TRI ANDIKA NASUTION"

Transkripsi

1 FREKUENSI PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS YANG DISEBABKAN INFEKSI JAMUR DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS OLEH : M. TRI ANDIKA NASUTION FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER MEDAN 2007

2 FREKUENSI PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS YANG DISEBABKAN INFEKSI JAMUR DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher OLEH : M. TRI ANDIKA NASUTION FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER MEDAN 2007

3 HALAMAN PENGESAHAN MEDAN, DESEMBER 2007 Tesis dengan judul FREKUENSI PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS YANG DISEBABKAN INFEKSI JAMUR DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Diketahui oleh Ketua Departemen Ketua Program Studi Prof.Dr.Abdul Rachman S, SpTHT-KL(K) Prof.Dr.Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K) Telah disetujui dan diterima baik oleh Pembimbing Ketua Dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL Anggota I Anggota II Dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL Dr Hafni, SpTHT-KL (K)

4 KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan Bismillahirrahmannirahim dan Alhamdulillah saya sampaikan rasa syukur keahdirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunianya, saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan Kami menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dari sempurna baik isi maupun bahasanya, dengan semua keterbatasan tersebut, kami berharap bahwa penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Sumatera Utara Medan. Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di fakultas ini. Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah mengizinkan dan memeberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja dilingkungan rumah sakit ini.

5 Yang terhormat Prof. Dr. Abdul Rachman Saragih, SpTHT (K), sebagai ketua Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan serta nasihat baik sebagai Ketua Departemen, sebagai guru bahkan orang tua salama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Yang terhormat Prof. Dr Askaroellah Aboet, Sp.THT (K), Sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan semangat sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya Yang terhormat Dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT, sebagai ketua pembimbing tesis saya, sebagai guru dan orang tua saya, yang telah banyak memberikan bantuan kepada saya, memberikan ilmu, bimbingan serta semangat kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Yang terhormat Dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT dan Dr. Hafni, Sp.THT (K), sebagai anggota pembimbing tesis dan guru saya, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Yang terhormat guru saya di jajaran Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Dr Asroel Aboet, SpTHT (K), Prof.Dr. Ramsi Lutan, SpTHT (K), Dr Yuritna Haryono, SpTHT (K), Dr. Muzakkir Zam Zam, SpTHT (K), Dr. T. Sofia Hanum, SpTHT (K), Dr Linda I Adenin, SpTHT, DR.dr.Delfitri Munir, SpTHT (K), Dr. Adlin Adnan, SpTHT, Dr. Ainul Mardhiah, SpTHT, Dr. Siti Nursiah, SpTHT, Dr.

6 Andrina YM Rambe, SpTHT, Dr. Ida Sjailendrawati H, SpTHT, Dr. Harry Agustaf A, SpTHT, Dr. Farhat, SpTHT, Dr.T. Siti Hajar Haryuna, SpTHT, yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu dan pengetahuan di Bidang THT-KL, baik secara teori maupun keterampilan yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari. Yang terhormat Bapak Ketua Departemen / Staf Radiologi FK. USU / RSUP. H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen / Staf Radiologi RS. Elizabeth Medan, Ketua Departemen / Staf Anastesiologi dan Reanimasi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Patologi Anatomi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memeberikan bimbingan kepada saya selama menjalani stase asisten di Departemen tersebut. Saya mengucapkan terimakasih. Yang terhormat Direktur / Staf RSUD Lubuk Pakam, RS Tembakau Deli Medan, Rumkit I Bukit Barisan Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan menjalani stase asisten di keempat rumah sakit tersebut. Yang terhormat Dr. Sofyan Lubis DMM dan Staf Departemen Mikrobilogi klinik FK-USU, yang telah banyak membantu, memberikan masukan, perhatian dan bimbingan di Bidang Mikrobiologi dalam penulisan tesis ini. Yang terhormat seluruh supervisor saya selama menjalani stase asisten di RSU Pirngadi Medan, RSU Lubuk Pakam dan RS Putri Hijau Medan, Dr. Zulkifli, SpTHT, Dr. Dewi F, Syahnan, SpTHT, Dr. Beresman E. Sianipar, SpTHT, Dr. Alisyahbana Siregar, SpTHT, Dr. T.Yohanita, SpTHT, Dr. Rehulina, SpTHT, Dr. Netty Harnita, SpTHT, Dr.Linda Samosir, SpTHT, Dr Ita L. Rodhertani, SpTHT, Dr. Seri Ulina, SpTHT, Dr. Olina Hulu SpTHT, Dr. Zalfina Cora, SpTHT, Dr. Magdalena, SpTHT, Dr. M.Taufik SpTHT, Dr. Sari Soeleiman, SpTHT, Dr. M. Sidik Rauf, SpTHT, Dan Dr. Farhan

7 Abdullah, SpTHT, yang telah banyak memberikan bimbingan di bidang THT secara teori dan keterampilan yang sangat bermanfaat sebagai bekal saya dimasa yang akan datang. Yang terhormat kepada seluruh pasien RSUP H Adam Malik Medan yang telah rela secara ikhlas untuk ikut serta dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat selesai dengan baik, saya ucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya, semoga peran serta saudara dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Bidang THT-KL. Yang Mulia Ayahanda Dr.H. Bachtiar NST, DTPH. Dan Ibunda Hj. Dewi Isjtar Yani dengan segala keikhlasannya dalam mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang semenjak kecil hingga saya dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan negara. Dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, ampunilah dosa kedua orang tua saya, serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi saya sewaktu kecil. Terimakasih juga saya ucapkan kepada abang dan kakak saya Ir. Eka Dystiant Aulia NST, Dr Inggrid Dwimina Vanty NST dan Adik saya M. Fierza Mucharom, NST. S,Psi Yang terhormat Dr. Kamaliah Moeis, Sp.KK dan Hj. Ulfah Hanum Moeis, serta seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya ucapkan satu persatu, yang telah memberikan dorongan dan doa hingga selesainya studi saya ini, saya ucapkan terimaksaih yang sedalam-dalamnya. Kepada Adinda-Ku, Dr Meriana Rasyid, terimakasih atas segala pengertian, bantuan, dorongan dan kesabaran selama saya menjalani pendidikan ini. Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian Ilmu Kesehatan THT-Bedah kepala dan Leher yang telah bersama-sama baik dalam suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-

8 teman dapat lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua. Kepada paramedis dan karyawan Departemen THT-Bedah Kepala dan Leher FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan bekerjasama selama saya menjalani pendidikan ini, saya ucapkan terimakasih. Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih, Maha pemurah dan Maha Penyayang. Amin, amin ya robbal alamin Medan, Desember 2006 Penulis Dr. M.Tri Andika NST

9 ABSTRAK FREKUENSI PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS YANG DISEBABKAN INFEKSI JAMUR DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK-MEDAN M.Tri Andika Nst *, Mangain Hasibuan *, Rizalina A. Asnir *, Hafni *, Sofyan Lubis ** Departemen THT-KL * dan Mikrobiologi Klinik FK. USU Medan ** Tujuan : Untuk mengetahui frekuensi penderita rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan infeksi jamur di departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik- Medan, mengetahui distribusi kelompok umur penderita rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh infeksi jamur,mengetahui distribusi keluhan utama penderita rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh infeksi jamur, mengetahui jenis jamur yang dapat menyebabkan infeksi pada rinosinusitis maksila kronis Metode : Desain penelitian ini adalah penelitian observasional yang bersifat deskriptif. Sampel terdiri dari 30 penderita rinosinusitis maksila kronis yang ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan radiologi. Pada semua sampel dilakukan irigasi sinus maksila, kemudian cairan yang berasal dari sinus maksila diperiksa dengan KOH 10 % dan kultur jamur Hasil : Pada penelitian ini dari 30 penderita rinosinusitis maksila kronis didapatkan 15 penderita dengan hasil kultur jamur positif, yang terdiri dari Aspergilus fumigatus 6 penderita (33,3%), Aspergilus flavus 1 penderita (6,7%), Aspergilus niger 2 penderita (13,3 %), Candida albicans 3 penderita (20 %), Candida parasilopsis 1 penderita (6,7 %), terdapat 2 penderita dengan 2 jenis jamur yaitu : Aspergilus fumigatus dengan Candida albicans, dan Aspergilus niger dengan Candida albicans Kesimpulan : Dari 30 penderita rinosinusitis jamur didapatkan 15 penderita dengan hasil kultur jamur positif. Aspergilus sp merupakan jenis jamur yang paling sering dijumpai Kata Kunci : Rinosinusitis maksila kronis, Infeksi jamur, Aspergilus sp

10 DAFTAR ISI KATAPENGATAR. ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR TABEL i vii viii x xi BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian.. 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Embriologi Sinus Paranasal Anatomi Sinus paranasal Sinus maksila Transport Mukosiliar Fungsi Sinus Paranasal Rinosinusitis Jamur Rinosinusitis ekstramukosa ( noninvasif) Mikosis sinus superfisial 26

11 Fungal ball Rinosinusitis jamur alergi Rinosinusitis jamur invasif Rinosinustis jamur invasif kronis Rinosinustis jamur invasif akut. 38 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Tempat Penelitian Waktu Penelitian Sampel Kerangka Konsepsional Kerangka Kerja Batasan Operasional Subyek dan Bahan Penelitian Analisa Data. 48 BAB 4 HASIL PENELITIAN. 49 BAB 5 PEMBAHASAN. 54 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran.. 62 DAFTAR PUSTAKA. 63 LAMPIRAN. 70

12 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Siklus Dari Pristiwa Yang berulang Pada Sinusitis Kronis... 7 Gambar 2.2. Perkembangan Embriologi Sinus Maksila. 9 Gambar 2.3 Sinus Paransal Potongan Axial Dan Koronal 11 Gambar 2.4 Anatomi Tulang Maksila Pandangan Lateral Dan Medial Gambar 2.5 Sinus Maksila Kiri Dengan Dinding Anterior Yang di Buka. 15 Gambar 2.6 Gerakan Mukosiliar Sinus Makasila 19

13 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Pembagian Sinusitis Menurut Konsensus International.. 6 Tabel 2.2 Sinus Maksila 17 Tabel 2.3 Beberapa Organisme Jamur Pada Rinosinsusitis Jamur.. 22 Tabel 2.4 Klasifikasi Rinosinusitis Jamur.. 23 Tabel 2.5 Spektrum Rinosinusitis Jamur.. 24 Tabel 2.6 Gejala Dan Tanda Infeksi Jamur 25 Tabel 4.1 Distribusi Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Tabel 4.2 Distribusi Keluhan Utama Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis 50 Tabel 4.3 Distribusi Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin Penderita Rinosinusitis Maksila Dengan Hasil Kultur Jamur Positif Tabel 4.4 Distribusi Keluhan Utama Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Dengan Hasil Kultur Jamur Positif. 52 Tabel 4.5 Distribusi Jenis Jamur Yang Berasal Dari Pemeriksaan Kultur Cairan Sinus Maksila Penderita Rinosinusitis MaksilaKronis... 53

14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jamur adalah organisme yang terdapat di sekitar lingkungan kita, spora jamur ini terdapat di udara terbuka dan selanjutnya dapat terhirup pada saat kita bernafas dan akhirnya spora tersebut terkumpul disaluran pernafasan atas (McCaffrey, 1997). Jamur merupakan organisme yang biasanya bersifat safrofitik, tetapi dapat menjadi patogen di dalam rongga sinus apabila terdapat perubahan kondisi seperti disebabkan adanya obstruksi muara sinus, gangguan ventilasi sinus, sistem imun tubuh yang lemah, lingkungan yang lembab, pemakaian antibiotika dan steroid yang berkepanjangan, hal-hal tersebut merupakan faktor predisposisi infeksi jamur pada sinus paranasal (Tanaviratananich, 1997) Infeksi sinus yang disebabkan oleh jamur jarang terdiagnosis kerena sering luput dari perhatian. Penyakit ini mempunyai gejala mirip dengan rinosinusitis kronis yang disebabkan bakteri. Apabila kasus rinosinusitis tidak mengalami perbaikan dengan pengobatan antibiotika dan dekongestan, perlu dipikirkan kemungkinan infeksi yang disebabkan oleh jamur (Mangunkusumo,2000) Walaupun secara luas diketahui infeksi jamur pada hidung dan sinus paranasal jarang ditemukan, beberapa ahli setuju bahwa terdapat peningkatan kejadian infeksi sinus yang disebabkan oleh jamur pada dua dekade terakhir. Pada laporan terdahulu infeksi jamur diperkirakan terdapat pada 10 % kasus rinosinusitis yang memerlukan tindakan pembedahan. Laporan terbaru dan kontroversi oleh Ponikau et al memperkirakan bahwa

15 infeksi jamur terdapat pada 96 % kasus rinosinusitis kronis ( Mc Caffrey,1993 ; Dhong, Lanza,2001). Beberapa faktor sangat berpengaruh terhadap meningkatnya kekerapan infeksi jamur pada manusia diantaranya ialah pemakaian antibiotik dan steroid yang tidak rasional dan penggunaan sitostatika secara luas. Selain faktor tersebut diatas, yang juga merupakan predisposisi rinosinusitis jamur ialah pemasangan pipa nasogaster, pemberian obat imunosupresan, diabetes melitus dan perawatan lama di rumah sakit (Mangunkusumo, 2000) Insiden sinusitis jamur mempunyai angka yang beragam di seluruh dunia, di Eropa Grigoriu et al mendapatkan 81 kasus infeksi disebabkan jamur diantara 600 kasus rinosinusitis maksila kronis, sedangkan di asia, Chakrabarti et al mendapatkan 50 kasus (42%) kasus rinosinusitis disebabkan infeksi jamur diantara 119 pasien (Tanviratananich, 1997). Sedangkan See Goh et al di Malaysia mendapatkan 16 kasus infeksi jamur pada 30 pasien sinusitis maksilaris kronis ( See Gooh et al. 2005). Jenis jamur yang sering ditemukan sebagai penyebab infeksi pada sinus paranasal ialah Aspergilus sp ( A. fumigatus, A. flavus, dan A.nigra). pada awalnya infeksi jamur pada hidung dan sinus paransal disebut sebagai aspergilosis, tetapi bersamaan dengan kemajuan di bidang mikologi diketahui infeksi jamur tidak hanya disebabkan oleh aspergilus, tetapi dapat pula disebabkan dari jamur golongan lainnya seperti : Candida, Mucorales ( Mucor, Rhizopus, Absidia), Dematiaceaous fungi yaitu golongan jamur yang pada dinding selnya terdapat pigmen melanin seperti: Bipolaris sp, Curvularia sp, Altenaria sp, Exserahillum sp, Cladosporium sp (Mangunkusumo E, 2001; Brigit, 2001 ). Rinosinusitis adalah merupakan keadaan inflamasi pada sinus paransal yang sebabkan oleh infeksi. Jamur adalah merupakan salah satu jenis mikroorganisme yang

16 dapat menyebabkan infeksi pada sinus paransal. Banyak hal yang dapat menimbulkan infeksi jamur pada sinus paranasal diantaranya adalah pemakaian obat obatan yang tidak rasional seperti penggunaan antibiotika dan steriod yang berkepanjangan, gangguan ventilasi sinus dan lingkungan yang lembab. Penulis sebelumnya telah banyak melakukan penelitian tentang infeksi sinus yang disebabkan oleh bakteri, tetapi penelitian infeksi yang disebabkan oleh jamur pada sinus masih sangat jarang terutama di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan penelitian ini belum pernah dilakukan Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengetahui frekuensi kejadian infeksi jamur yang terdapat pada penderita rinosinusitis maksila kronis di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut Berapa frekuensi penderita rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan infeksi jamur di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan

17 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum Mengetahui frekuensi penderita rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan infeksi jamur di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan Tujuan khusus Mengetahui distribusi kelompok umur penderita rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh infeksi jamur Mengetahui distribusi jenis kelamin penderita rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh infeksi jamur Mengetahui distribusi keluhan utama penderita rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh infeksi jamur Mengetahui jenis jamur yang dapat menyebabkan infeksi pada rinosinusitis maksila kronis 1.4 Manfaat Penelitian Mengetahui frekuensi kejadian rinosinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh infeksi jamur Dapat menjadi pedoman dalam pemberian terapi pada penanganan kasus rinosinusitis maksila kronis Sebagai pengembangan ke ilmuan di bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Bedah kepala dan leher

18 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sinusitis adalah merupakan suatu keadaan inflamasi pada sinus paranasal. Umumnya diketahui inflamasi pada sinus ini disebabkan oleh infeksi bakteri. Tetapi proses inflamasi ini dapat juga disebabkan faktor yang lain. Pada sinusitis kronis, peran infeksi bakteri yang menyebabkan inflamasi sinus belum diketahui secara pasti. (Marks, 2001). Sebagian besar kasus inflamasi sinus berasal dari hidung dan meluas ke rongga sinus, ataupun dapat juga terjadi sebaliknya, inflamasi tersebut didahului di daerah sinus kemudian meluas kerongga hidung. Beberapa ahli mengadopsi terminologi rinosinusitis adalah menggambarkan kondisi patologis pada hidung dan sinus karena sangat dekat kaitannya (Marks, 2001). Rinosinusitis akut dan kronis mempunyai prevalensi yang cukup tinggi di masyarakat. Pada tahun 1999 bagian ilmu kesehatan anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan prevalensi sinusitis maksila cukup tinggi pada penderita infeksi saluran pernafasan atas anak yaitu sebanyak 25 %, sedangkan pada sub bagian rinologi THT FK UI / RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo juga menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu sebanyak 248 pasien (50% ) dari 496 pasien rawat jalan yang datang pada tahun 1996 ( Soetjipto, 2000). Rinosinusitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa bentuk yaitu : berdasarkan bagaimana proses infeksinya, lamanya proses, lokasi proses, dan peranan mikrobiologi penyebab seperti virus, bakteri dan jamur. Sinusitis ini dapat disebabkan oleh faktor dari hidung (rinogen), gigi (dentogen) dan hematogen (sistemis). Rinosinusitis

19 dapat mengenai satu sinus, beberapa sinus, ataupun dapat mengenai seluruh sinus (Marks,2001) Rinosinusitis kronis di definisikan sebagai suatu proses inflamasi pada sinus yang terjadi lebih dari 12 minggu ( Marks, 2001). George dan Eugne mengelompokkan rinosinusitis berdasarkan lama infeksi menjadi tiga kategori yaitu :Rinoinusitis akut berlangsung dalam 1 hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut berlangsung dalam 4 minggu sampai 3 bulan, sedangkan rinosinusitis kronis berlangsung selama lebih dari 3 bulan. (George, Eugene 1993 ). Berdasarkan International conference on sinus disease 1993, rinosinusitis ini dibagi menjadi akut dan kronis berdasarkan perbedaan waktu dan lamanya penyakit, jumlah episode serangan akut pertahun dan reversibilitas mukosa setelah pengobatan optimal ( Soetjipto, 2000). Tabel 2.1 : Pembagian sinusitis menurut konsensus internasional ( Soetjipto, 2000) Kriteria Pembagian Sinusitis akut Sinusitis kronis 1. Lamanya Penyakit < 8 minggu > 8minggu 2. Jumlah episode serangan akut < 4 kali pertahun > 4 kali pertahun 3. Reversibilitas mukosa setelah terapi Mukosa kembali normal Tetap abnormal Rinosinusitis kronis berbeda dengan rinosinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan predisposisi. Polusi dan bahan kimia dapat menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa pada hidung. Perubahan mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh defisiensi imunologik dan alergi. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi yang akan berlanjut menjadi kronis apabila pengobatan

20 tidak sempurna. Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainase sekret terganggu, kemudian pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan silia (Mangunkusumo,rifki, 2001) Gambaran patologis rinosinusitis kronis sangat kompleks dan irreversibel. Umumnya terdapat penebalan mukosa yang membentuk lipatan atau pseudopolyp, epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasia, atau epitel besar dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologis (Higler, 1997). Lapisan mukoperiosteum sinus paranasal mempunyai kemampuan untuk memperbaiki sel yang rusak dan tahan terhadap penyakit. Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa sinus terinfeksi adalah drainase dan ventilasi sinus yang baik, jika terdapat gangguan faktor anatomi dan faali yang menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi, maka dapat tercipta suatu medium baik bagi pertumbuhan kuman kokus mikroaerofilik atau anaerobik (Higler,1997) Gambar 2.1 : Siklus dari peristiwa yang berulang pada sinusitis kronis ( Higler, 1997)

21 Gejala yang biasa ditemukan pada rinosinusitis maksila kronis meliputi sumbatan hidung kronis, sekret mukoid atau purulen, neuralgia pada daerah distribusi nervus infraorbita, gangguan penciuman, hidung berbau, konka hipertropi, sekret yang mengalir kebelakang hidung dan terkadang sering disertai adanya pertumbuhan polip (Becker, Naumann, pfaltz, 1994). 2.1 Embriologi Sinus Paranasal Embriologi pembentukan kavum nasi dan sinus adalah merupakan proses yang rumit. Proses ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, perkembangan kepala embrio ke pembentukan struktur pada kavum nasi. Kedua, dinding lateral kavum nasi mengalami invaginasi dengan membentuk kompleks lipatan, yang disebut konka, dan kemudian pembentukan rongga yang dikenal sebagai sinus. Selama kehamilan bulan ke 4 sampai ke 8, dalam perkembangannya embrio akan membelah kavum nasi sebagai frontonasal dan pertautan maksila. Prosesus frontonasal akan meluas melewati pembentukan forebrain, yang kemudian akan mempengaruhi pembentukan plakoda olfaktorius hidung. Tonjolan bagian lateral dan medial hidung berkembang dari lekukan plakoda olfaktorius hidung, kemudian proses ini berlanjut dengan pembentukan bagian atas maksila dan filtrum (Kern, walsh, 2006). Secara embriologis sinus paranasal berasal dari invaginasi rongga hidung dan perkembangannya dimulai sejak fetus berusia 3 4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada sejak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada saat anak berusia sekitar 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian

22 postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara tahun ( Soetjipto, Mangunkusumo, 2001 ). Bakal sinus paranasal pada janin timbulnya agak lambat, terutama sinus frontal. Kavum nasi mulai berdifferensiasi pada saat janin berumur 1 hingga 2 bulan. Sinus paranasal berasal dari tonjolon atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan, kemudian resesus tersebut akan menjadi ostium sinus. (Ballenger, 1994) Perubahan yang progresif pada dinding lateral hidung dengan pembentukan sinus paranasal terjadi bersamaan dengan pembentukan palatum. Pada usia janin 40 hari, celah horizontal pada dinding lateral akan membentuk meatus media dan inferior. Diantara daerah tersebut terjadi proliferasi mesenkim maxilloturbinate, yang menonjol kedalam lumen, dan kemudian akan membentuk konka inferior. Konka superior terbentuk dari etmoidturbinate. Pembentukan sinus terjadi setelah pembentukan konka, proses ini kemudian menjadi lambat sampai pembentukan tulang saat dewasa. Hanya sinus maksila dan etmoid yang terbentuk pada awal pembentukan janin ( Evans, 1987 ) Gambar 2.2 : Perkembangan embriologi sinus maksila dikutip dari atlas Sobbota

23 Selama kehamilan minggu ke 6 terjadi pembentukan jaringan mesenkim dinding lateral hidung. Kehamilan minggu ke 7, terbentuk 3 celah, yang kemudian akan membentuk konka. Pada minggu ke 10, pembentukan sinus maksila dimulai dengan invaginasi meatus media. Pada saat yang sama, prosesus unsinatus dan bula etmoid akan membentuk daerah sempit berbentuk celah yang disebut hiatus semilunaris. Pada kehamilan minggu ke 14, akan terjadi proses pembentukan sel etmoid anterior yang berasal dari meatus media dan sel etmoid posterior terbentuk dari dasar meatus superior, pada kehamilan minggu ke 36 dinding lateral kavum nasi sudah terbentuk sempurna. Semua sinus paranasal mempunyai perkembangan yang berbeda pada saat bayi, tetapi mempunyai waktu perkembangan yang jelas. Sinus etmoid adalah yang pertama terbentuk sempurna, diikuti oleh sinus maksila, sfenoid, dan frontal (Kern, Walsh, 2006) Sinus maksila marupakan sinus yang pertama terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal yang terletak dibawah penonjolan konka inferior. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih ke arah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertikal, dan 3 mm anterior posterior pada tiap tahun. Pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian akan berlanjut meluas kebawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti pada saat erupsi gigi ( Ritter, 1992 ; Lund, 1997).

24 2.2 Anatomi Sinus paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal ini merupakan hasil pneumatisasi tengkorak yang kemudian akan berkembang menjadi rongga di dalam tulang ( Soetjipto, Mangunkusumo, 2001). Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung. Sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri ( anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri ( antrum Higmore), dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan dari mukosa hidung, berisi udara, dan seluruh sinus paranasal bermuara di rongga hidung melalui ostium (Amedee, 1993; Ballenger, 1994 ). Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anterior dan posterior. Kelompok anterior, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel sel anterior sinus etmoid, sinus tersebut bermuara di meatus media. Kelompok posterior terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid sinus tersebut bermuara di meatus superior. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok sinus tersebut (Ramalinggam,1990; Amedee, 1993;

25 Ballenger, 1994). Gambar 2.3 : Sinus paranasal tampak potongan axial dan koronal Sinus maksila Sinus maksila adalah merupakan sinus paranasal terbesar dan terdapat pada daerah tulang maksila pada tiap sisi kavum nasi. Bentuk sinus maksila ini adalah seperti piramid dengan bagian puncak menghadap ke lateral dan meluas ke arah prosesus zygomatikus dari maksila atau ke arah tulang zygoma. Bagian dasar terletak medial, dan dibentuk oleh dinding lateral kavum nasi. Tulang pada dinding medial sinus maksila ini sangat tipis dan terdiri dari : dinding medial maksila, prosesus maksila konka inferior, lamina perpendikularis palatum, prosesus uncinatus os etmoid, dan bagian tulang lakrimal. Atap sinus maksila ini berbentuk landai ke bawah dari arah medial ke lateral dan dibentuk oleh permukaan orbita os maksila. Pada bagian ini terdapat penonjolan bidang sagital yang merupakan tempat saraf infra orbita. Dinding anterior dan posterior sinus secara bersama membentuk permukaan maksila, dan langsung berhubungan dengan

26 permukaan wajah pada daerah pipi dan fossa infratemporal (Ballenger, 1994; Lund, 1997) Dasar sinus maksila dibentuk oleh prosesus alveolaris dan prosesus palatina os maksila. Pada orang dewasa, dasar sinus maksila ini terletak 1 sampai 1,2 cm dibawah dasar rongga hidung sedangkan pada anak-anak dasar rongga sinus maksila ini lebih tinggi dari dasar hidung. Dinding posterior inferior atau dasar sinus maksila bagian belakang merupakan tulang yang paling tebal. (Ballenger, 1994; Lund, 1997 ) Gambar 2.4 : Anatomi tulang maksila pandangan lateral dan medial, tampak adanya prosesus frontal, zygomatik, dan palatina. Maksila terdapat kanal insisivus, foramen infraorbita, dan permukaan anterior foramen spenopalatina ( Marks, 2000) Ukuran sinus maksila pada tiap individu berbeda. Pada orang dewasa tinggi 33 mm, lebar 23 mm, dan diameter anterior posterior 34 mm, dengan volume 14,75 ml. Pada keadaan tertentu volume sinus maksila ini dapat mencapai 30 ml. Secara umum ukuran sinus maksila ini adalah sama, tetapi pada beberapa keadaan sinus maksila ini dapat kurang berkembang atau tidak berkembang sama sekali (Ballenger, 1994; Lund,1997 ).

27 Hubungan sinus maksila dengan gigi tidak hanya tergantung pada usia, dan proses pembentukan gigi saja, tetapi juga dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sinus kearah prosesus alveolaris. Gigi kaninus tumbuh pada bagian yang menonjol permukaan anterior sinus maksila. Gigi molar adalah merupakan bagian gigi yang langsung berhubungan dengan lantai sinus maksila, kadang kadang gigi premolar juga dapat langsung berhubungan dengan sinus maksila. Hubungan dasar sinus maksila dengan akar gigi dapat berupa adanya tonjolan atau tanpa tonjolan pada lantai sinus dan juga dipengaruhi arah pertumbuhan akar gigi. Secara normal akar gigi ini dilapisi oleh lapisan tulang yang padat, tetapi pada beberapa keadaan lapisan ini dapat tidak terbentuk dan akar gigi langsung berhubungan dengan lapisan mukosa sinus, sehingga proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi dapat menjalar ke mukosa sinus maksila melalui pembuluh darah atau limfe. (Ballenger, 1994; Lund, 1997 ) Sinus maksila mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus media melalui lobang kecil, yang disebut ostium. Ostium ini terletak diatas dinding posteromedial. Ostium sinus maksila selalu terbuka dan berhubungan langsung dengan meatus media melalui celah sempit yang disebut infundibulum. Diameter ostium ini adalah 3-4 mm, tetapi pada preparat tengkorak ukuran ostium lebih lebar, oleh karena secara normal ostium ini dilapisi oleh membran. Van aylea (1936) mendapatkan pada 163 spesimen yang diperiksa, 83,4 % ostium ini terletak 1/3 posterior infundibulum, atau pada daerah sekitar lekukan prosesus uncinatus. Hanya terdapat sedikit yang terletak di bagian anterior atau di 1/3 tengah infundibulum. Ostium asesoris ditemukan pada 30 % spesimen dan terletak disekitar dinding lateral rongga hidung (Evans, 1987) Adanya sumbatan ostium dapat mengganggu proses mekanisme pembersihan sinus, sehingga sekret akan menumpuk dan berubah komposisinya. Penumpukan sekret

28 ini merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme ( Becker, Naumann,Pflatz 1994 ) Gambar 2.5 : Sinus maksila kiri dengan dinding anterior yang dibuka (Marks, 2000) Seluruh rongga sinus maksila ini dilapisi oleh lapisan mukosa, yang merupakan lanjutan dari mukosa hidung berupa epitel torak bersilia. Pada lapisan ini terdapat sel-sel goblet dan pembuluh darah ( Taher, 2000). Lapisan mukosa sinus maksila dari bawah epitel, berturut-turut : 1. Membran basalis yang sangat tipis Jika terjadi penebalan akan terlihat lapisan hialin, dan pada bagiannya kadangkadang terlihat serabut elastin 2. Tunika propria Lapisan ini berupa jaringan ikat longgar, berbentuk spons dan berisi cairan, sehingga sedikit saja rangsangan pada lapisan ini akan menyebabkan pembengkakan. Pada lapisan ini juga terdapat serabut kolagen dan fibrin yang

29 tipis dan mudah ruptur bila terkena trauma. Fungsi lapisan ini sebagai jaringan penunjang, alat nutrisi dan sel fagosit jika terjadi radang. 3. Lapisan periostium Letaknya berdekatan dengan periostium tulang. Seperti halnya periostium tulang, lapisan ini berfungsi untuk reabsorbsi atau mendeposit tulang. Lapisan ini sangat padat, sehingga tahan terhadap infeksi. Sinus maksila di perdarahi oleh arteri kecil yang langsung menembus dinding tulang, sebagian basar berasal dari cabang arteri maksila, fasial, infraorbita dan palatina. Pada daerah ostium sinus maksila terdapat arteri besar yang merupakan cabang arteri yang berasal dari konka inferior. Pembuluh vena berjalan bersama arteri dan berasal dari vena fasialis anterior dan pleksus pterigoid (Lund, 1997). Darah dari sinus maksila dialirkan ke v. Infraorbita, v. Supraorbita, pleksus venous lakrimalis dan juga berhubungan dengan pleksus venosus pterigoideus, vena fasialis, dan vena sinus sphenoid. Aliran darah rata-rata pada mukosa sinus maksila sebesar 125 ml / 100 gr jaringan/menit yang lebih besar dari aliran pada otot, otak dan ginjal ( Ballenger, 1994 ; Higler, 1997; Soetjipto 2001 ) Sistem limfatis sinus maksila dialirkan langsung melalui ostium maksila kearah rongga hidung atau langsung menembus foramen infraorbita dan semua sistem limfatis sinus maksila berasal dari pembuluh limfe submandibula (Lund,1997).

30 Lapisan mukosa sinus maksila dipersarafi oleh n. alveolaris superior (anterior, medial,dan posterior), n. palatina anterior dan n. infraorbita, divisi kedua (maksilaris) n. trigeminus. Semua cabang saraf tersebut mempersarafi sensasi pada gigi bagian atas dan sinus maksila (Lund, 1997) Tabel 2.2 : Sinus maksila ( Amadee, 1993) Embriologi Ukuran Lahir Dewasa Volume Perdarahan Arteri Vena Persarafan Merupakan sinus paransal yang berkembang, dimulai dari invaginasi permukaan inferolateral etmoid kapsul nasi pada sekitar hari ke 65 kehamilan 7 x 4 x 4 mm 34 x 33 x 23 mm 14,75 mm Cabang maksila termasuk arteri infraorbital, arteri lateral nasal cabang spenopalatina, palatina, dan arteri alveolaris superior dan anterior Sebagian besar dinding sinus berasal dari vena maksila yang mempunyai hubungan dengan pleksus venosus pterigoideus Persarafan mukosa berasal dari lateroposterior hidung, dan cabang alveolaris superior n. infraorbita, semua berasal dari n. maksilaris 2.3 Transport Mukosiliar Lapisan mukosa dan epitel silia adalah merupakan kombinasi dari sistem mukosiliar. Gabungan sistem tersebut dapat mencegah timbulnya infeksi pada sinus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim ( muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G

31 (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung pada serangan akut infeksi virus. Bakteri selalu akan terperangkap dan melekat pada permukaan mukosa dan akan dibawa ke arah rongga faring, kemudian akan dihancurkan dilambung (Amedee, 1993). Sistem mukosiliar atau sistem pembersihan terdiri dari dua sistem yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya kearah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Lapisan cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transport mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit (Ballenger, 1994). Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cendrung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis kedalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tampat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakkan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm / menit (Higler,1997) Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung, pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit. Kerusakan mukosiliar baik yang diturunkan maupun didapat telah terbukti berkaitan dengan keadaan penyakit bermakna (Higler,1997)

32 Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior didekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan kearah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001) Gambar 2.6 : Gerakan mukosiliar sinus maksilaris yang menuju ostium natural (Chandler, 2000) Lapisan mukus, selain berfungsi menangkap dan mengeluarkan partikel asing, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bekteri. Akan tetapi walaupun organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit mendapat suatu biakan postnasal yang positif oleh karena lisozim yang terdapat pada lapisan mukus ini bersifat destruktif terhadap dinding sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam membran hidung merupakan bentuk proteksi dibawah permukaan. Membran sel pernafasan juga memberikan imunitas induksi seluler. (Higler, 1997)

33 2.4 Fungsi Sinus Paranasal Secara luas fungsi dari sinus paranasal masih belum jelas. Beberapa sinus telah dapat diketahui dan belum ada penelitian yang dapat memastikan fungsi dari sinus tersebut ( Amedee, 1993; Becker, Naumann, pflatz, 1994) Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasa antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu membersihkan rongga hidung (Soetjipto,Mangunkusumo,2001). Sebagai pengatur kondisi udara ( air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas sehingga diperlukan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001). Sebagai penahan suhu ( thermal insulators) Sinus berfungsi sebagai penahan (buffer) panas melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah (Soetjipto, Mangunkusumo,2001). Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1 % berat kepala, sehingga teori ini kurang bermakna (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001). Membantu resonansi suara

34 Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, bahwa posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001). Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin dan membuang ingus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001). Membantu produksi mukus Mukus dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil apabila dibandingkan dengan mukus yang dihasilkan rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus media (Soetjipto, Mangunkusumo, 2001). Fungsi penting pada sinus paranasal yang telah diketahui dan dapat diterima secara luas adalah sekresi mukus yang dapat menjaga agar saluran pernafasan tetap lembab. Jumlah mukus yang dihasilkan sinus adalah kecil apabila dibandingkan dengan volume keseluruhan sekret yang dihasilkan tubuh (Amedee, 1993 ). 2.5 Rinosinusitis Jamur Telah menjadi suatu kesepakatan bahwa infeksi jamur pada hidung dan sinus paranasal jarang, tapi dalam dua dekade terakhir ini hampir seluruh ahli setuju bahwa telah terjadi peningkatan frekuensi rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi jamur. Pada laporan terdahulu infeksi jamur diperkirakan terdapat pada 10% dari keseluruhan pasien yang memerlukan pembedahan hidung dan sinus. Ponikau et al, dalam penelitiannya menduga jamur ditemukan pada 96% pasien dengan rinosinusitis kronis. (Dhong, Lanza, 2001)

35 Infeksi sinus yang disebabkan jamur jarang terdiagnosis oleh karena sering luput dari perhatian. Penyakit ini mempunyai gejala mirip dengan rinosinusitis kronis yang disebabkan oleh bakteri. Apabila kasus sinuisitis tidak mengalami perbaikan dengan pengobatan antibiotika dan dekongestan, perlu dipikirkan kemungkinan adanya infeksi jamur pada sinus. (Mangunkusumo, 2000) Terdapat beberapa faktor penyebab meningkatnya insiden infeksi jamur pada rinosinusitis kronis, Yaitu : 1. Kemajuan di bidang mikologi, serologi, dan radiologi yang dapat membantu dalam menegakkan infeksi jamur pada hidung dan sinus paranasal. 2.terjadinya peningkatan pertumbuhan jamur pada hidung dan sinus paranasal yang disebabkan tingginya penggunaan antibiotika spektrum luas dan obat topikal hidung yang tidak proporsional. 3. terjadinya peningkatan frekuensi infeksi jamur invasif yang berhubungan dengan peningkatan jumlah penderita dengan sistem imun yang rendah, termasuk penderita diabetes melitus, penurunan sistem imun karena penggunaan radiasi atau kemoterapi, AIDS, penggunaan obat-obatan yang dapat menurunkan daya tahan tubuh setelah transplantasi organ dan penggunaan steroid yang berkepanjangan (Mc Caffrey, 1997; Dhong, lanza,2001,) Karakteristik klinis rinosinusitis jamur Beberapa jamur yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah merupakan organisme safrofit normal tetapi menjadi patogen oleh karena suatu keadaan yang tidak biasa. Netropil adalah merupakan faktor penting bagi pertahanan tubuh untuk mencegah infeksi jamur, gangguan fungsi netropil dapat menjadi faktor predisposisi infeksi jamur opurtunistik seperti yang terdapat pada penderita diabetes melitus dan keganasan (Mc Cafrey, 1997) Tabel 2.3 : Beberapa organisme jamur pada rinosinusitis jamur (Dhong, lanza2001)

36 Aspergillus fumigatus Aspergillus flavus Aspergillus niger Altenaria Bipolaris Candida Curvularia Fusarium Paelomyces Penicillium Pseudallescheria boydii Rhizopus / Mucor Scedosporium apiospermum Scopulariopsis Yeast not Candida Pada beberapa penelitian dikemukakan bahwa jamur tersebut terdapat di sekitar kita dan dapat teridentifikasi pada sampah, debu dan alat rumah tangga. Jamur adalah merupakan organisme sederhana yang mudah beradaptasi pada lingkungan yang berbeda. Beberapa jamur mempunyai kemampuan merubah jalur enzim untuk tumbuh, morfologi,dan reproduksi. Jamur ini memerlukan materi organik dan lingkungan lembab, tidak mengherankan jamur tersebut dapat ditemukan pada hidung individu normal. Infeksi jamur harus menjadi pertimbangan diagnosis banding pada semua penderita yang tidak diketahui penyebab infeksinya, penyakit berulang atau penyakit yang agresif pada hidung dan sinus paranasal (Mc Caffrey, 1997; Dhong, lanza, 2001). Secara luas sinusitis jamur didefenisikan sebagai kondisi patologi pada sinus paranasal disertai inflamasi sinus yang disebabkan oleh infeksi jamur. Berdasarkan gambaran klinis dan jaringan yang terinvasi, rinosinusitis jamur dikelompokkan menjadi dua grup : Rinosinusitis jamur non invasif dan invasif. Pada grup non invasif terdiri dari 3 bentuk : Mikosis sinus superfisial (superficial sinosal mycosis), misetoma (Fungal ball), rinosinusitis alergi jamur (allergic fungal rhinosinusitis). Pada grup invasif terdapat dua bentuk : Rinosinusitis jamur kronis invasif (indolen) dan rinosinusitis jamur akut invasif (fulminan). Tergantung daya tahan tubuh penderita, infeksi jamur non invasif ini dapat berkembang menjadi tipe invasif. Rinosinusitis jamur dapat juga dilihat sebagai suatu rangkaian penyakit berkelanjutan, diawali dengan mikosis sinus superfisial dan

37 dapat berkembang menjadi bentuk ganas berupa rinosinusitis jamur akut invasif (fulminan). Ukuran, virulensi, inokulasi dan tempat tumbuhnya jamur mempunyai hubungan dengan perluasan infeksi jamur pada sinus paranasal (Thanaviratananich, 1997; Dhong, Lanza, 2001) Tabel 2.4 : Klasifikasi Rinosinusitis Jamur (Dhong. Lanza, 2001) Rinosinusitis jamur ekstramukosa (non invasif) Mikosis sinus superfisial Misetoma (Fungal ball) Rinosinusitis alergi jamur Rinosinusitis jamur invasif Rinosinusitis jamur kronis invasif (indolen) Rinosinusitis jamur akut invasif (fulminan) Diagnosis Infeksi jamur pada sinus harus dipertimbangkan pada semua penderita rinosinusitis kronis yang tidak respon terhadap pengobatan antibiotika dan pembedahan. Rinosinusitis jamur invasif biasanya terdapat pada penderita dengan penurunan sistem imun dengan disertai gejala akut seperti demam, batuk, ulserasi pada mukosa hidung, epistaksis dan sakit kepala. Bentuk kronis invasif dapat timbul dengan gejala proptosis atau sindroma apeks orbital. (DeShazo,Chapin, Swain, 1997) Beberapa faktor yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis jamur yaitu : gejala yang kompleks, perjalanan penyakit (hari, minggu, tahun), keadaan sistem imun penderita, pemeriksaan fisik (endoskopi hidung), dan pemeriksaan radiologi, patologi, dan mikologi. Semua faktor tersebut ada sangat penting dalam menentukan penanganan penderita pada fase awal. (Dhong,Lanza, 2001)

38 Tabel 2.5 : Spektrum rinosinusitis jamur ( Manning, 1998) Adanya invasi jaringan dapat dicurigai pada pasien yang mempunyai resiko penurunan sistem imun atau secara klinis jelas tampak adanya keterlibatan jaringan di sekitar sinus. Erosi pada daerah sekitar harus dapat dibedakan dengan invasi jaringan. Bentuk noninvasif dapat ditandai dengan proses erosi tanpa adanya invasi jaringan. Pemeriksaan histopatologi selalu digunakan untuk membedakan suatu keadaan bentuk invasif atau noninvasif. (Dhong, Lanza, 2001) Infeksi jamur pada sinus mempunyai bentuk akut dan kronis. Status imun penderita sangat mempengaruhi perkembangan penyakit. Misetoma dapat timbul tanpa gejala dalam beberapa tahun atau hanya dengan gejala sumbatan hidung kronis yang disertai sekret pada hidung, sedangkan bentuk akut invasif perkembangan penyakitnya

39 sangat cepat, dengan gejala nyeri, pembengkakan pada daerah wajah, gangguan orbita dan gangguan saraf pusat yang disebabkan perluasan penyakit pada daerah sekitarnya. Diagnosis awal rinosinusitis jamur fulminan sangatlah penting oleh karena penyakit ini perjalanannya sangat singkat dan dapat terjadi kematian dalam beberapa jam. (McCaffrey, 1997) Tabel 2.6 : Gejala dan tanda infeksi jamur (Dhong, Lanza, 2001) Sumbatan Hidung Rinore Gangguan penciuman Nyeri wajah / sakit kepala Gangguan Penglihatan Defisit neurologis Kejang Proptosis Rinosinusitis ekstramukosa jamur (non invasif) Keadaan ini timbul pada saat infeksi jamur ekstramukosa yang menyebabkan inflamasi pada sinus. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, faktor pejamu, terutama pengaruh genetik yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) mediasi alergi (Dhong, Lanza, 2001) Mikosis sinus superfisial Mikosis sinus superfisial adalah merupakan suatu keadaan inflamasi mukosa sinus paranasal yang disebabakan infeksi jamur ekstramukosal. Pemeriksaan kultur sekret yang dicurigai dapat ditemukan adanya jamur. Keadaan ini jarang ditemukan dalam keadaan yang berat oleh karena patogenisitasnya rendah. (Dhong, Lanza, 2001) Manifestasi klinis Tidak ada keluhan yang khas pada penderita. Penderita hanya melaporkan adanya tercium bau tidak enak pada hidung yang disertai krusta atau debris. Bentuk rinosinusitis jamur ini paling khas diidentifikasi pada saat nasoendoskopi, tampak materi jamur yang tumbuh pada krusta hidung. Biasanya krusta tersebut terdapat pada daerah hidung yang

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLIP NASAL DENGAN FUNGSI TELINGA TENGAH BERDASARKAN GAMBARAN TIMPANOGRAM. Tesis

HUBUNGAN POLIP NASAL DENGAN FUNGSI TELINGA TENGAH BERDASARKAN GAMBARAN TIMPANOGRAM. Tesis HUBUNGAN POLIP NASAL DENGAN FUNGSI TELINGA TENGAH BERDASARKAN GAMBARAN TIMPANOGRAM Tesis Oleh: dr. Fathma Dewi PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER. Tesis

AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER. Tesis AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER Tesis Oleh: dr. Emilda Dewi PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA

Lebih terperinci

GAMBARAN UKURAN TIMPANOGRAM PADA ORANG DEWASA NORMAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Tesis

GAMBARAN UKURAN TIMPANOGRAM PADA ORANG DEWASA NORMAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Tesis GAMBARAN UKURAN TIMPANOGRAM PADA ORANG DEWASA NORMAL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Tesis Oleh: Dr. Meiza Ningsih PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL. Tesis

EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL. Tesis EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang Ilmu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN. Tesis

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN. Tesis HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL. Tesis

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL. Tesis PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu Syarat untuk Mencapai Spesialis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon : Lampiran 1 LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :. Agama : No. M R : Tanggal : II. Keluhan Utama : III. Keluhan tambahan : - Sakit

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Ras India Penduduk ras India Malaysia merupakan suatu kaum yang berasal dari India selatan. Mereka telah datang ke Malaysia sejak dua ribu tahun lalu.kelompokkelompok seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TUMOR GANAS TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER DI SMF THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2006 DESEMBER 2010.

KARAKTERISTIK TUMOR GANAS TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER DI SMF THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2006 DESEMBER 2010. KARAKTERISTIK TUMOR GANAS TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER DI SMF THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2006 DESEMBER 2010 Tesis Oleh: dr. Merza Maulana Muzakkir PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

PROFIL BAKTERI YANG DIJUMPAI PADA ANAK PENDERITA GLOMERULONEFRITIS AKUT DARI ASPIRASI TONSIL DAN TONSIL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS.

PROFIL BAKTERI YANG DIJUMPAI PADA ANAK PENDERITA GLOMERULONEFRITIS AKUT DARI ASPIRASI TONSIL DAN TONSIL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS. PROFIL BAKTERI YANG DIJUMPAI PADA ANAK PENDERITA GLOMERULONEFRITIS AKUT DARI ASPIRASI TONSIL DAN SWAB TONSIL DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS Oleh dr. MUHAMMAD TAUFIK PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG OSTEOSARCOMA PADA RAHANG SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi Oleh : AFRINA ARIA NINGSIH NIM : 040600056 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel

Lebih terperinci

PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H

PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2011 Oleh Cut Elvira Novita PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN

Lebih terperinci

INFEKSI LEHER DALAM. Penulis: Prof. Dr. dr. Sutji Pratiwi Rahardjo, Sp. THT-KL (K) Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013

INFEKSI LEHER DALAM. Penulis: Prof. Dr. dr. Sutji Pratiwi Rahardjo, Sp. THT-KL (K) Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 INFEKSI LEHER DALAM Penulis: Prof. Dr. dr. Sutji Pratiwi Rahardjo, Sp. THT-KL (K) Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung

Lebih terperinci

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.

Lebih terperinci

IZRY NAOMI A. L. TOBING NIM

IZRY NAOMI A. L. TOBING NIM GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA, PROSEDUR DAN TEMUAN OPERASI PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Tesis Oleh: IZRY NAOMI

Lebih terperinci

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN DISFUNGSI TUBA EUSTACHIUS DENGAN MENGGUNAKAN TIMPANOMETRI. Tesis. Oleh: dr. Fadhlia

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN DISFUNGSI TUBA EUSTACHIUS DENGAN MENGGUNAKAN TIMPANOMETRI. Tesis. Oleh: dr. Fadhlia HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN DISFUNGSI TUBA EUSTACHIUS DENGAN MENGGUNAKAN TIMPANOMETRI Tesis Oleh: dr. Fadhlia PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Pada bagian anterior saluran pernafasan terdapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

: PPDS THT FK-USU (Asisten Ahli) : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan. A. Nama : dr. Siti Nursiah, Sp. THT-KL NIP :

: PPDS THT FK-USU (Asisten Ahli) : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan. A. Nama : dr. Siti Nursiah, Sp. THT-KL NIP : PERSONALIA PENELITIAN 1. Peneliti Utama Nama : dr. Agus Multazar NIP : --- Gol/Pangkat : --- Jabatan Fakultas Perguruan Tinggi Bidang Keahlian Waktu Disediakan : PPDS THT FK-USU (Asisten Ahli) : Kedokteran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinosinusitis Kronis 2.1.1. Definisi Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung

Lebih terperinci

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal sel karsinoma dan skuamous sel karsinoma. Tumor ganas yang sering terjadi pada bagian bibir,

Lebih terperinci

PROFIL PENDERITA ASPIRASI BENDA ASING DI TRAKTUS TRAKHEOBRONKIAL DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN TESIS

PROFIL PENDERITA ASPIRASI BENDA ASING DI TRAKTUS TRAKHEOBRONKIAL DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN TESIS PROFIL PENDERITA ASPIRASI BENDA ASING DI TRAKTUS TRAKHEOBRONKIAL DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2006-2010 TESIS OLEH: dr. FADHLIA PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Otomikosis atau otitis eksterna jamur sering melibatkan pinna dan meatus

BAB 1 PENDAHULUAN. Otomikosis atau otitis eksterna jamur sering melibatkan pinna dan meatus BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga (Asroel, 2010). Otomikosis atau otitis eksterna jamur sering melibatkan pinna dan meatus auditori eksternal (Barati

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus 2.1.1. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dermatomikosis cukup banyak diderita penduduk Negara tropis. Salah satunya Indonesia akan tetapi angka kejadian yang tepat belum diketahui. Iklim yang panas dan lembab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Sinus paranasalis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

ASPERGILLUS FUMIGATUS

ASPERGILLUS FUMIGATUS ASPERGILLUS FUMIGATUS Taxonomy Superkingdom : Eukaryota Kingdom : Fungi Phylum : Ascomycota Subphylum : Pezizomycotina Class : Eurotiomycetes Order : Eurotiales Family : Trichocomaceae Genus : Aspergillus

Lebih terperinci

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen 2.1.1. Definisi Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan

Lebih terperinci

IMUNOEKSPRESI p63 PADA INVERTED PAPILLOMA DAN KARSINOMA SEL SKUAMOSA SINONASAL TESIS

IMUNOEKSPRESI p63 PADA INVERTED PAPILLOMA DAN KARSINOMA SEL SKUAMOSA SINONASAL TESIS IMUNOEKSPRESI p63 PADA INVERTED PAPILLOMA DAN KARSINOMA SEL SKUAMOSA SINONASAL TESIS Oleh : Dr. AGUSSALIM NIM. 087109002 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA

Lebih terperinci

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pernapasan yang membuat pasien datang berobat ke dokter. (Rab, 2010) Batuk

BAB I PENDAHULUAN. pernapasan yang membuat pasien datang berobat ke dokter. (Rab, 2010) Batuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuk merupakan salah satu keluhan utama pada kelainan saluran pernapasan yang membuat pasien datang berobat ke dokter. (Rab, 2010) Batuk merupakan mekanisme refleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif

Lebih terperinci

INTENSITAS KEBISINGAN HARIAN DISKOTIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PEKERJA ( STUDI KASUS DISKOTIK A DAN B DI KOTA MEDAN ) Tesis

INTENSITAS KEBISINGAN HARIAN DISKOTIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PEKERJA ( STUDI KASUS DISKOTIK A DAN B DI KOTA MEDAN ) Tesis INTENSITAS KEBISINGAN HARIAN DISKOTIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PEKERJA ( STUDI KASUS DISKOTIK A DAN B DI KOTA MEDAN ) Tesis Oleh Naek Silitonga 087109009 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya mikroorganisme yang normal pada konjungtiva manusia telah diketahui keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan populasi mikroorganisme

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE 2008-2012 Oleh : ARCHANAA SAMANTHAN NIM: 100100201 FAKULTAS

Lebih terperinci

Postherpetic Neuralgia Setelah Menderita Herpes Zoster Oris (Laporan Kasus)

Postherpetic Neuralgia Setelah Menderita Herpes Zoster Oris (Laporan Kasus) Postherpetic Neuralgia Setelah Menderita Herpes Zoster Oris (Laporan Kasus) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi Syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi Oleh : ANDRIANA AMNIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. Lebih dari 90% penderita karsinoma laring memiliki gambaran histopatologi karsinoma

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit peradangan kronik, hilang timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa bayi

Lebih terperinci

HUBUNGAN EKSPRESI BIOFILM BAKTERI DENGAN KULTUR BAKTERI DAN ANALISIS UJI KEPEKAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS

HUBUNGAN EKSPRESI BIOFILM BAKTERI DENGAN KULTUR BAKTERI DAN ANALISIS UJI KEPEKAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS HUBUNGAN EKSPRESI BIOFILM BAKTERI DENGAN KULTUR BAKTERI DAN ANALISIS UJI KEPEKAAN ANTIBIOTIK PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS Oleh SILVIA NIM 117109011 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TELINGA,

Lebih terperinci

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini jumlah penderita kanker di seluruh dunia semakin meningkat. Dari kasus kanker baru yang jumlahnya diperkirakan sembilan juta setiap tahun lebih dari setengahnya

Lebih terperinci

HUBUNGAN KADAR GLUKOSA DARAH PENDERITA DIABETES MELITUS YANG MENGALAMI KANDIDIASIS DENGAN PERUBAHAN JUMLAH KOLONI

HUBUNGAN KADAR GLUKOSA DARAH PENDERITA DIABETES MELITUS YANG MENGALAMI KANDIDIASIS DENGAN PERUBAHAN JUMLAH KOLONI HUBUNGAN KADAR GLUKOSA DARAH PENDERITA DIABETES MELITUS YANG MENGALAMI KANDIDIASIS DENGAN PERUBAHAN JUMLAH KOLONI Candida albicans RONGGA MULUT SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat

Lebih terperinci