REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI"

Transkripsi

1 REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2 PENDAHULUAN Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di tengah. Angka kejadian septum yang benarbenar lurus hanya sedikit dijumpai, biasanya terdapat pembengkokan minimal atau terdapat spina pada septum. Bila kejadian ini tidak menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak dikategorikan sebagai abnormal. Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan menimbulkan gangguan estetik wajah karena tampilan hidung menjadi bengkok. 1,2 Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat, tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan anatomis. Salah satu penyebabnya dari kelainan anatomi adalah deviasi septum nasi. 1 Deviasi septum nasi memang merupakan masalah yang sering ditemukan di masyarakat. Kelainan ini ditandai dengan bengkoknya lempeng kartilago septum, yaitu struktur yang memisahkan antara kedua nostril. Deviasi septum biasanya disebabkan oleh trauma, walaupun terdapat beberapa kasus yang merupakan bawaan sejak lahir dengan deviasi septum nasi. Kelainan ini dapat menyebabkan terjadinya obstruksi nasal unilateral maupun bilateral, yang bermanifestasi sebagai gangguan pernapasan melalui hidung, tidur mendengkur, sakit kepala, infeksi sinus rekuren, ataupun perdarahan hidung yang rekuren. 3 2

3 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG Struktur Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu yang paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. 4 Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah : pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). 5 Gambar 1. Anatomi Hidung Luar 3

4 Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : Tulang hidung (os nasal), Prosesus frontalis os maksila, dan Prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu : Sepasang kartilago nasalis lateralis superior, Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, Beberapa pasang kartilago alar minor, dan Tepi anterior kartilago septum. 5 Gambar 2. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung Luar Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang bagian belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan antara kavum nasi dengan nasofaring. 4,5 4

5 Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. 4,5 Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Sedangkan bagian tulang adalah : lamina perpendikularis os etmoid, os vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os palatina. 5 Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut agger nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Gambar 3. Septum Nasi 5

6 Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, yang lebih kecil lagi ialah konka superior, dan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini bersifat rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 5 Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus, yaitu meatus inferior, medianus dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. 5 Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior merupakan ruang di antara konka superior dan kona media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 4,5 Gambar 4. Dinding Lateral Cavum Nasi 6

7 Dinding inferior rongga hidung merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubanglubang (kribrosa/saringan) sebagai tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. 5 Kompleks Ostiomeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah : prosesus unsinatus, bula etmoid, infundibulum etmoid, agger nasi, dan hiatus semilunaris, resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang berfungsi sebagai tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoidalis superior. 5 Gambar 5. Kompleks Ostiomeatal (KOM) 7

8 Perdarahan Hidung Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial. 5 Persarafan Hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabutserabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Sedangkan fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 5 8

9 Mukosa Hidung Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh cilliated pseudostratified collumnar epithellium yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seruminosa submukosa. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh pseudostratified columnar non-ciliated epithellium. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Di bawah lapisan epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria, tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar, yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastin dan otot polos. Pada bagian ujungnya, sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam, lalu ke venula. Dengan susunan demikian, mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. 4,5 9

10 Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; serta 5) refleks nasal. 5 Sebagai Jalan Napas Pada saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning) Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : a) Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. b) Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 o C. Sebagai Penyaring dan Pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh : a) Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi b) Silia 10

11 c) Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. d) Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime. Indra Penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Resonansi Suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. Proses Bicara Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m, n, ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. Refleks Nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contohnya, iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. 4,5 11

12 DEVIASI SEPTUM NASI Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung, tetapi pada orang dewasa biasanya tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat akan menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat terjadi gangguan fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi. 2 Definisi dan Klasifikasi Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu : 1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara. 2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna. 3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media). 4. Tipe IV : S septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya). 5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal. 6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga yang asimetri. 7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI. 1,6 12

13 Gambar 6. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya, yaitu : 1) Spina dan Krista Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat terjadi pada pertemuan vomer di bawah dengan kartilago septum dan atau os ethmoid di atasnya. Bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina. Tipe deformitas ini biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertikal. 2) Deviasi Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk C atau S yang dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai kartilago maupun tulang. 3) Dislokasi Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan menonjol ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai dengan kelainan pada struktur sekitarnya. 13

14 4) Sinekia Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi. 1,2 Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa : 1) Dinding Lateral Hidung Terdapat hipertrofi konka dan bula ethmoidalis. Ini merupakan kompensasi yang terjadi pada sisi konkaf septum. 2) Maksila Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri dan juga dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar, pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi palatum dan abnormalitas ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi yang sakit. 3) Piramid Hidung Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan deviasi pada piramid hidung. 4) Perubahan Mukosa Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit menyebabkan efek kering sehingga terjadi pembentukan krusta. Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Lapisan proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi terhadap infeksi. Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai akibat fenomena Bernouili yang kemudian menambah derajat obstruksi. 1 Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya keluhan : 1) Ringan Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung. 2) Sedang Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung. 3) Berat Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung. 3 14

15 Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4, yaitu : 1) Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal 2) Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir 3) Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal 4) Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar. 3 Gambar 7. Klasifikasi Deviasi Septum Menurut Jin RH dkk Etiologi Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan biasanya berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung, seperti fraktur os nasal. Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat trauma, sehingga Gray (1972) menerangkannya dengan teori birth Moulding. Posisi intrauterin yang abnormal dapat menyebabkan tekanan pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi pergeseran septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat kelahiran (partus) dapat menambah trauma pada septum. 1,2 Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara. 1,3 Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap, juga karena perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Dengan demikian terjadilah deviasi septum. 2 Gejala Klinis Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga bilateral. Hal ini terjadi karena pada sisi hidung yang mengalami deviasi terdapat konka yang hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat 15

16 mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum juga dapat menyumbat ostium sinus sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. 2 Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut ini : Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi Perdarahan hidung (epistaksis) Infeksi sinus (sinusitis) Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip. Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi dan anak. 6,7 Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan hanya menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan mencetuskan terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan menyebabkan gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah sumbatan/obstruksi yang juga terkait dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila common cold telah sembuh dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi septum nasi juga akan menghilang. 7 Diagnosis Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal. 1 Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum, karena ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk menentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga diperiksa karena struktur-struktur ini sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum. 1,2 Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Pada pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-posterior tampak septum nasi yang bengkok. Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk menilai deviasi septum 16

17 bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan pemeriksaan X-ray sinus paranasal. 1 Penatalaksanaan Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan koreksi septum. Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit. Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung. Pembedahan : o o Septoplasty (Reposisi Septum) Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii) dapat dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila terjadi dislokasi pada bagian caudal dari kartilago septum. Operasi ini juga dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum bagian tengah atau posterior. Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle nose. Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan wajah pada anak-anak. SMR (Sub-Mucous Resection) Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat. Tindakan operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak karena dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya dorsum nasi. 2,8,9 17

18 Komplikasi Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-operasi, diantaranya : 1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau berasal dari perdarahan pada membran mukosa. 2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi dilakukan. 3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama operasi. 4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat dari dalam hidung. 5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan. 7,8 Prognosis Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Prognosis pada pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam hari dapat melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus memperhatikan perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus juga menghindari trauma pada daerah hidung. 1 18

19 KESIMPULAN Deviasi septum nasi dapat berupa kelainan bawaan sejak lahir atau paling sering terjadi akibat trauma. Risiko terjadinya deviasi septum meningkat pada laki-laki karena lebih banyak terpapar dengan lingkungan dan trauma. Deviasi septum yang ringan tidak memberikan keluhan, sedangkan yang berat dapat menyebabkan kesulitan bernapas akibat obstruksi nasal. 9 Terapi konservatif untuk obstruksi nasal dapat dilakukan dengan pemberian obatobatan untuk mengatasi gejala pada pasien. Namun untuk mengkoreksi deviasi septum, tindakan pembedahan sangat penting. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien sehingga menyebabkan berbagai komplikasi. Tingkat keberhasilan tindakan pembedahan yang diharapkan tergantung pada berat ringannya deviasi septum nasi yang terjadi. 8 Secara umum, sebagian besar pasien dengan deviasi septum nasi lebih baik dilakukan tindakan septoplasty dibandingkan dengan sub-mucous resection (SMR) karena adanya komplikasi post-smr, seperti perforasi septum, perdarahan, dan saddle nose. 7,9 19

20 DAFTAR PUSTAKA 1. Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung Pada Deviasi Septum Nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas : Padang. 28 Juli 2011 : hlm 1-7. Available at : tum.pdf (Accessed : 2012 April 7) 2. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI : hlm Jin HR, Lee JY, Jung WJ. New Description Method and Classification System for Septal Deviation. Department of Otorhinolaryngology, Seoul National University, College of Medicine, Boramae Hospital : Seoul. Journal Rhinology, 2007; 14 : Available at : nd%20classification%20system%20for%20septal%20deviation_2007_06.pdf (Accesed : 2012 April 5) 4. Higler PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Cetakan Ketiga. Jakarta : EGC : hlm Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI : hlm Baumann I, Baumann H. A New Classification of Septal Deviations. Department of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, University of Heidelberg : Germany. Journal of Rhinology, 2007; 45 : Available at : (Accessed : 2012 April 7) 7. Park JK, Edward IL. Deviated Septum. The Practice of Marshfield Clinic, American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Available at : 20

21 (Accessed : 2012 April 7) 8. Bull PD. The Nasal Septum. In : Lecture Notes on Diseases of The Ear, Nose and Throat. Ninth Edition. USA : Blackwell Science Ltd : p Widjoseno-Gardjito, editor. Kepala dan Leher. Dalam : Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta : EGC : hlm

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur os nasal merupakan fraktur paling sering ditemui pada trauma muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior wajah merupakan faktor

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Epistaksis Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang

Lebih terperinci

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU 1 Andreas R. Tumbol 2 R. E. C. Tumbel 2 Ora I. Palandeng 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian/SMF

Lebih terperinci

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

PERFORASI SEPTUM NASI HARRY AGUSTAF ASROEL. Bagian Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PERFORASI SEPTUM NASI HARRY AGUSTAF ASROEL. Bagian Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara PERFORASI SEPTUM NASI HARRY AGUSTAF ASROEL Bagian Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Perforasi septum adalah timbulnya lubang pada septum yang disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

RINITIS VASOMOTOR. Dr. Andrina Yunita Murni Rambe. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Universitas Sumatera Utara

RINITIS VASOMOTOR. Dr. Andrina Yunita Murni Rambe. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN RINITIS VASOMOTOR Dr. Andrina Yunita Murni Rambe Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Universitas Sumatera Utara Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Pada bagian anterior saluran pernafasan terdapat

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. ANATOMI HIDUNG Hidung Luar Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian - bagiannya dari atas ke bawah : 1.Pangkal hidung, 2.Batang hidung (dorsum nasi), 3.Puncak hidung, 4. Ala nasi, 5. Kolumela dan 6.Lubang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

Definisi Bell s palsy

Definisi Bell s palsy Definisi Bell s palsy Bell s palsy adalah penyakit yang menyerang syaraf otak yg ketujuh (nervus fasialis) sehingga penderita tidak dapat mengontrol otot-otot wajah di sisi yg terkena. Penderita yang terkena

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA

BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA BAB 8 SISTEMA RESPIRATORIA PENDAHULUAN DESKRIPSI SINGKAT : Bab ini membicarakan tentang sistema respiratoria yang melibatkan organ-organ seperti hidung, pharynx, larynx, trachea, bronchus, bronchiale,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tujuan mencegah keadaan bertambah buruk, cacat tubuh bahkan kematian

BAB I PENDAHULUAN. tujuan mencegah keadaan bertambah buruk, cacat tubuh bahkan kematian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertolongan pertama merupakan suatu tindakan pertolongan ataupun bentuk perawatan yang diberikan secara cepat dan tepat terhadap seorang korban dengan tujuan mencegah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 1 Windy S. Ishak 2 Olivia Pelealu 2 R.E.C Tumbel 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian Telinga Hidung Tenggorok-Bedah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Hidung Gambar 2.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung (Netter, 2014) 20 Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung memiliki bentuk seperti terowongan

Lebih terperinci

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENGINDERAAN PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU BEBERAPA KESAN TIMBUL DARI LUAR YANG MENCAKUP PENGLIHATAN, PENDENGARAN,

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI

ANATOMI DAN FISIOLOGI ANATOMI DAN FISIOLOGI Yoedhi S Fakar ANATOMI Ilmu yang mempelajari Susunan dan Bentuk Tubuh FISIOLOGI Ilmu yang mempelajari faal (fungsi) dari Ilmu yang mempelajari faal (fungsi) dari alat atau jaringan

Lebih terperinci

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,

Lebih terperinci

Anatomi-Fisiologi SISTEM PERNAFASAN (Respiratory System) by : Hasty Widyastari

Anatomi-Fisiologi SISTEM PERNAFASAN (Respiratory System) by : Hasty Widyastari Anatomi-Fisiologi SISTEM PERNAFASAN (Respiratory System) by : Hasty Widyastari Fungsi Pertukaran gas O2 dengan CO2 Mengambil O2 dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan mentranspor CO2 yang dihasilkan

Lebih terperinci

ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI DEDI

ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI DEDI ANATOMI FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI DEDI Sal. Nafas Atas ANATOMI SISTEM RESPIRASI Pengaturan pernafasan Sal. Nafas bawah Proses kegiatan ventilasi difusi perfusi PENGERTIAN UMUM Pernafasan juga merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB II ANATOMI. Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata,

BAB II ANATOMI. Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata, BAB II ANATOMI Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata, sebaiknya terlebih dahulu dipahami tentang anatomi mata dan anatomi operasinya. Dibawah ini akan dijelaskan

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Epistaksis

Penatalaksanaan Epistaksis 1 Penatalaksanaan Epistaksis Dr. HARI PURNAMA, SpTHT-KL RSUD. Kabupaten Bekasi Pendahuluan Epistaksis merupakan salah satu masalah kedaruratanmedik yang paling umum dijumpai, diperkirakan 60 % dari populasi

Lebih terperinci

Kesehatan hidung masyarakat di komplek perumahan TNI LANUDAL Manado

Kesehatan hidung masyarakat di komplek perumahan TNI LANUDAL Manado Kesehatan hidung masyarakat di komplek perumahan TNI LANUDAL Manado 1 Anita R. Tangkelangi 2 Ronaldy E. C. Tumbel 2 Steward K. Mengko 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

FISIK DIAGNOSTIK THT Dody Novrial

FISIK DIAGNOSTIK THT Dody Novrial FISIK DIAGNOSTIK THT Dody Novrial A. TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah menjalani praktikum fisik diagnostik kepala leher, mahasiswa diharapkan mampu : 1. Melakukan pemeriksaan fisik telinga dengan benar 2. Melakukan

Lebih terperinci

1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan

1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan PANCA INDERA Pengelihatan 1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan (tembus cahaya) yang disebut

Lebih terperinci

BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat

BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA. Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat BAB 2 SENDI TEMPOROMANDIBULA Temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks yang dapat melakukan gerakan meluncur dan rotasi pada saat mandibula berfungsi. Sendi ini dibentuk oleh kondilus mandibula

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA A. Organ-Organ Pernapasan Bernapas merupakan proses yang sangat penting bagi manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT. yaitu, celah bibir, celah langit-langit, celah bibir dan langit-langit. Celah dari bibir dan langitlangit

BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT. yaitu, celah bibir, celah langit-langit, celah bibir dan langit-langit. Celah dari bibir dan langitlangit BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT Celah merupakan suatu ruang kongenital yang abnormal dan dapat memberikan efek psikologis berupa rendah diri pada penderita. Ada beberapa jenis celah yang sering ditemui yaitu,

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I Lukluk Purbaningrum 20070310087 FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. R Umur : 53 tahun Alamat : Jl.

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Sinus paranasalis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Rahmy Sari S.Pd PERNAPASAN/RESPIRASI Proses pengambilan oksigen, pengeluaran karbondioksida (CO 2 ), dan menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh) Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Pernapasan

Lebih terperinci

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed. Author : Edi Susanto, S.Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.tk PENDAHULUAN Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung 2.1.1 Hidung luar Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian bawah terdapat dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Foramen Mentale Foramen mentale adalah suatu saluran terbuka pada korpus mandibula. Melalui foramen mentale dapat keluar pembuluh darah dan saraf, yaitu arteri, vena

Lebih terperinci

Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book

Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book Laporan Kasus Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book Bestari Jaka Budiman, Muhammad Rusli Pulungan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala & Leher

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung 2.1.1 Nasus Ekternus Nasus ekternus mempunyai ujung yang bebas, yang dilekatkan ke dahi melalui radik nasi atau jembatan hidung. Lubang luar hidung adalah kedua

Lebih terperinci

Sistem Respirasi Manusia L/O/G/O

Sistem Respirasi Manusia L/O/G/O Sistem Respirasi Manusia L/O/G/O Apersepsi Kegiatan Siswa menarik napas kemudian menghembuskan napas Pertanyaan Melalui kegiatan bernapas yang telah kamu lakukan, dapatkah kamu memprediksikan organ apa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Referat Serumen 1

BAB I PENDAHULUAN. Referat Serumen 1 BAB I PENDAHULUAN Serumen dapat ditemukan pada kanalis akustikus eksternus. Serumen merupakan campuran dari material sebaseus dan hasil sekresi apokrin dari glandula seruminosa yang bercampur dengan epitel

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau nasal

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau nasal BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Kavum nasi dibatasi oleh vestibulum di bagian anterior sampai ke koana di bagian posterior. Bagian posterior vestibulum dibatasi oleh limen nasi atau

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Menurut Gibson et.al. kemampuan seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan, sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui latihan, pengalaman kerja maupun pendidikan,

Lebih terperinci

Pengampu : DR.Dr.Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS. Judul Mata kuliah : Sistem Trauma dan kegawatdaruratan (3 SKS)

Pengampu : DR.Dr.Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS. Judul Mata kuliah : Sistem Trauma dan kegawatdaruratan (3 SKS) 1 Pengampu : DR.Dr.Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS Judul Mata kuliah : Sistem Trauma dan kegawatdaruratan (3 SKS) Standar Kompentensi : Area kompentensi 5 : Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran Kompentetensi

Lebih terperinci

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan

Lebih terperinci

I. LATAR BELAKANG. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Page 1

I. LATAR BELAKANG. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Page 1 I. LATAR BELAKANG Supernumerary Nostril atau nasal aksesori adalah jenis yang sangat langka anomali hidung bawaan. Kelainan dapat dikaitkan dengan kelainan seperti sumbing unilateral atau bilateral. Sejarah

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

FISIOLOGI PEMBULUH DARAH DAN PENGATURAN TEKANAN DARAH

FISIOLOGI PEMBULUH DARAH DAN PENGATURAN TEKANAN DARAH FISIOLOGI PEMBULUH DARAH DAN PENGATURAN TEKANAN DARAH ARTERI Membawa darah dari jantung ke seluruh jaringan tubuh Katup (-) Arteriol : arteri terkecil Anastomosis : persatuan cabang cabang arteri END ARTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius

Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius Laporan Penelitian dengan disfungsi tuba Eustachius Sony Yudianto, Luh Made Ratnawati, Eka Putra Setiawan, Sari Wulan Dwi Sutanegara Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG OSTEOSARCOMA PADA RAHANG SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi Oleh : AFRINA ARIA NINGSIH NIM : 040600056 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Anjing Lokal Hewan yang digunakan adalah anjing lokal berjumlah 2 ekor berjenis kelamin betina dengan umur 6 bulan. Pemilihan anjing betina bukan suatu perlakuan

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan seorang dokter gigi untuk mengenali anatomi normal rongga mulut, sehingga jika ditemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinosinusitis Kronis 2.1.1. Definisi Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan EMBRIOLOGI ESOFAGUS Rongga mulut, faring, dan esophagus berasal dari foregut embrionik. Ketika mudigah berusia kurang lebih 4 minggu, sebuah divertikulum respiratorium (tunas paru) Nampak di dinding ventral

Lebih terperinci

INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN

INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam

Lebih terperinci