4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 30 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rantai Distribusi Ikan Tuna Rantai produksi perikanan khususnya untuk ikan hasil tangkapan bisa sangat panjang dan melibatkan banyak pihak. Secara umum, rantai distribusi ikan hasil tangkapan melibatkan berbagai aktor (pihak) antara lain kapal penangkap ikan, tempat pendaratan ikan (vessel landing businesses) dan tempat pelelangan ikan, unit pengolah, perusahaan pengangkutan, grosir (wholesalers), dan retailer (CEN 14660:2003). Dalam suatu rantai distribusi ikan beberapa pihak atau seluruh pihak dalam standar tersebut dapat terlibat. Rantai distribusi tuna (tuna supply chain) di PT X di mulai dari hasil tangkapan tuna oleh nelayan didistribusikan untuk dibongkar muat di pelabuhan (transit). Pada bagian transit ikan tuna yang masuk disortir secara organoleptik oleh checker untuk dibedakan berdasarkan mutunya, yaitu: ikan tuna dengan mutu A, B, C, dan D. Hasil sortir mutu ikan tuna sebagian akan diekspor langsung ke Jepang, sedangkan bagian lainnya akan dijual kepada Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan pasar lokal. Rantai distribusi tuna ini dapat dilihat pada Gambar 12. Transportasi Distributor Retailer Kapal Transit UPI Transportasi Distributor Retailer Pasar Lokal Gambar 12 Rantai distribusi ikan tuna. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12. Kapal penangkap ikan melakukan penangkapan ikan tuna yang kemudian didaratkan dan dijual ke pihak transit. Pihak transit melakukan penjualan ikan tuna yang masuk ke berbagai pihak mulai dari melakukan kegiatan ekspor secara langsung maupun melakukan penjualan kepada pihak UPI (PT X) dan pasar lokal. Ikan tuna segar dengan mutu A dan B di ekspor utuh (whole) ke Jepang menggunakan pesawat terbang sebagai alat transportasinya, ikan tuna ini nantinya akan digunakan sebagai bahan baku

2 31 untuk pembuatan sushi dan sashimi. Untuk ikan tuna dengan mutu C dan D, dijual kepada pihak UPI yang tersebar di muara baru dengan spesifikasi ukuran (size) 16 up (16-19 kg), 20 up (20-29 kg) dan 30 up (lebih dari 30 kg) untuk diolah menjadi produk diversifikasi tuna. Produk hasil diversifikasi tuna kemudian di transportasikan menggunakan kapal untuk di ekspor ke pihak importir (grosir), untuk selanjutnya didistribusikan kepada konsumen akhir oleh pihak retailer. Selanjutnya, ikan tuna yang tidak masuk spesifikasi untuk ekspor maupun spesifikasi UPI, akan dijual oleh pihak transit ke pasar lokal. 4.2 Analisis Praktek Implementasi Sistem Traceability Analisis traceability dilakukan pada aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna loin beku yang berkaitan dengan PT X meliputi analisis prosedur perekaman, analisis manajemen perekaman dan analisis sistem pengkodean. Aktor yang terlibat antara lain Kapal Penangkap Tuna, Transit, PT X, dan Wholesaler (Distributor) dan Retailer. Namun untuk tahap analisis ini hanya dibatasi hingga pihak wholesaler saja Analisis prosedur perekaman Analisis prosedur perekaman dilakukan pada tiap-tiap aktor (pihak) yang terlibat dan bertujuan untuk memastikan semua informasi yang berkaitan dengan produk sepanjang penanganan dan proses produksi dipastikan telah didokumentasikan. 1) Kapal penangkap tuna dan transit Analisis prosedur perekaman proses penangkapan ikan tuna diawali dari penangkapan hingga bongkar muat dan penanganan ikan di darat. Tahap analisis dapat dilihat pada Tabel 3.

3 32 Tabel 3 Tahapan aktivitas penangkapan tuna di kapal dan penanganan di transit. No Nama tahapan kegiatan Aktivitas meliputi 1 Penangkapan* Kegiatan penangkapan 2 Penanganan di kapal* Teknik mematikan tuna Pembuangan darah Pembuangan insang dan isi perut Pencucian Penyimpanan (on-board storage) 3 Bongkar muat dan penanganan di darat** Pembongkaran Pengangkutan atau pemindahan Penanganan: - Pemeriksaan dan sortasi - Pembersihan - Pengemasan - Pengangkutan dan pengiriman Sumber: * Blanc et al. (2005) ** SNI Tabel 3 menunjukkan aktivitas-aktivitas yang secara umum terjadi selama kegiatan penangkapan hingga penanganan di darat pada kapal penangkap ikan dan tempat transit ikan. Kegiatan perekaman juga sebaiknya meliputi aktivitasaktivitas tersebut. Secara umum rekaman selama penangkapan dapat dilihat pada log book penangkapan ikan tuna menggunakan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur (Lampiran 1), sedangkan rekaman untuk pihak transit disesuaikan dengan aktivitas selama bongkar muat dan penanganan hingga ikan didistribusikan ke aktor selanjutnya. Deskripsi detail dari informasi yang dibutuhkan dapat dilihat pada standar tracefish CEN (2003). 2) PT X Analisis prosedur perekanan proses produksi tuna loin beku dilakukan pada setiap tahap proses produksi di PT X. Tahap analisis dimulai dari tahap pembelian hingga tahap pengisian (stuffing) dimana aktivitas yang dilakukan selama proses produksi dapat dilihat pada Lampiran 2 sedangkan rekaman dapat dilihat pada Tabel 4.

4 33 Tabel 4 Proses produksi tuna loin beku dan formulir rekaman yang digunakan. No Nama tahapan kegiatan Rekaman 1 Pembelian (purchasing) Tally sheet of purchasing, Record of harvest vessel 2 Penerimaan bahan baku Report of raw material receiving 3 Pencucian I Record of daily temperature 4 Penyimpanan sementara Record of daily temperature 5 Pencucian II Record of daily temperature 6 Penimbangan I Record of daily temperature 7 Pemotongan kepala Record of daily temperature 8 Pembentukan loin (loining) Record of daily temperature 9 Pembuangan kulit, daging gelap Record of daily temperature dan duri 10 Penimbangan II Record of daily temperature 11 Pembungkusan sementara Record of daily temperature 12 Pemberian gas CO - 13 Pendinginan (chilling) Chilling temperature report 14 Sortasi mutu Record of daily temperature 15 Perapihan (retouching) Report of inspection product after trimming before freezing 16 Penimbangan III Record of daily temperature 17 Pembungkusan Record of daily temperature 18 Pemvakuman Record of daily temperature 19 Penyusunan Record of daily temperature 20 Pembekuan Freezing monitoring report 21 Penimbangan IV Record of daily temperature 22 Pengemasan dalam master carton dan pelabelan Daily report of packing and labelling 23 Penyimpanan Cold storage temperature report 24 Pengisian (stuffing) Report of stuffing Pembelian (purchasing) Selama proses pembelian staf bagian produksi PT X mencatat pembelian dalam tally sheet tentang no batch, size, tanggal pembelian, nama kapal, nomor transit, dan nama supplier. Pada proses pembelian juga didapat informasiinformasi tentang penangkapan dan penanganan ikan tuna selama di kapal maupun di transit yang dicatat oleh staf produksi PT X dalam record of harvest vessel (Lampiran 3) yang meliputi tanggal pembelian, berangkat dan berlabuh kapal, area penangkapan, metode penangkapan, pendinginan dan penanganan, uji organoleptik, penyortiran, nama penyortir dan pengirim.

5 34 Penerimaan bahan baku Pada tahap penerimaan ikan tuna didapatkan rekaman yang berisi informasi mengenai suhu pusat ikan, berat ikan, tanggal penerimaan, kode pemasok, nomor batch, uji organoleptik (bau, tekstur dan warna) yang dicatat dalam record of raw material receiving oleh quality control (QC). Record of raw material receiving dapat dilihat pada Lampiran 4. Pencucian I Selama proses pencucian I dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Penyimpanan sementara Selama proses penyimpanan sementara dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pencucian II Selama proses pencucian II dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Penimbangan I Selama proses penimbangan I dilakukan pencatatanhasil penimbangan yang dicatat dalam telly sheet of weighting. Pemotongan kepala Selama proses pemotongan kepala dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pembentukan loin (loining) Selama proses pembentukan loin dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pembuangan kulit, daging gelap dan duri Selama proses pembuangan kulit, daging gelap dan duri dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Penimbangan II Selama proses penimbangan II dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

6 35 Pembungkusan sementara Selama proses pembungkusan sementara dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pemberian gas CO Pada proses pemberian gas CO, pencatatan baik suhu ruang maupun suhu ikan tidak dilakukan. Pendinginan (chilling) Selama proses pendinginan dilakukan pencatatan suhu chilling (sekitar -4 o C hingga 0 o C) yang dicatat dalam chilling temperature report (Lampiran 6). Sortasi mutu Selama proses sortasi mutu dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Perapihan (retouching) Selama proses perapihan dilakukan pencatatan terhadaphasil pemeriksaan loin terhadap benda asing, misalkan tulang, kulit, daging merah atau pengotor lain, yang dicatat dalam report of inspection product after trimming before freezing (Lampiran 7). Sedangkan suhu ruang selama perapihan sekitar 20 o C dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Penimbangan III Selama proses penimbangan III dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pembungkusan Selama proses pembungkusan dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pemvakuman Selama proses pemvakuman dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Penyusunan Selama proses penyusunan dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).

7 36 Pembekuan Selama proses pembekuan dilakukan pencatatan alat Air Blast Freezer (ABF) (-40 o C) yang dicatat dalam freezing monitoring report (Lampiran 8). Penimbangan IV Selama proses penimbangan IV dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20 o C) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5). Pengemasan dalam master carton dan pelabelan Selama proses pengemasan dan pelabelan dilakukan perekaman yang meliputi jenis produk, no batch, kualitas kemasan vakum, berat bersih, kualitas pengemasan dan label. Perekaman ini dicatat dalam daily report of packing and labelling (Lampiran 9). Penyimpanan Selama proses penyimpanan dilakukan pencatatan suhu cold storage yaitu sekitar -20 o C dipantau oleh staf QC 1 jam sekali dalam cold storage temperature report (Lampiran 10). Pengisian (stuffing) Selama proses pengisian dilakukan pencatatan suhu dalam kontainer yaitu sekitar -20 o C dipantau setiap jam oleh staf QC, kode produksi, jenis dan jumlah produk dalam report of stuffing (Lampiran 11). 3) Wholesaler Analisis prosedur perekaman bagi aktor wholesaler dilakukan berdasarkan standar tracefish (CEN 14460:2003). Prosedur perekaman meliputi identitas wholesaler, kemudian identitas, sumber dan control suhu dari tiap unit produk yang diterima, sejarah proses produksi unit produk dan tujuan dari unit produk dipasarkan Analisis manajemen perekaman Menurut Notermans dan Beumer (2003) dalam Derrick dan Dillon (2004) perekaman dilakukan pada semua ruang lingkup traceability, yaitu Supplier traceability, Process traceability dan Customer traceability. Kajian Larsen (2003) memperlihatkan bahwa terdapat beberapa metode untuk melakukan perekaman

8 37 yaitu mulai dari media dokumen kertas hingga yang lebih kompleks berbasis teknologi informasi. Sistem perekaman produk tuna loin yang dihasilkan oleh PT X berdasarkan ruang lingkup telah terbagi menjadi tiga, yaitu Supplier traceability yang dilakukan oleh pihak transit PT Samudra Agung Permai, Process traceability oleh PT X dan Customer traceability oleh importir dari Amerika. Perekaman di tahap supplier berisi informasi-informasi tentang metode penangkapan dan penanganan ikan selama di kapal dan transit. Rekaman tersebut dicatat dalam record of harvest vessel (Lampiran 3) oleh staf produksi PT X, yang meliputi tanggal pembelian, berangkat dan berlabuh kapal, area penangkapan, metode penangkapan, pendinginan dan penanganan, uji organoleptik, penyortiran, nama penyortir dan pengirim. Informasi suhu setiap ikan dalam satuan derajat celcius ketika pendaratan ikan dari kapal tertera dalam record of harvest vessel, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dilakukan perekaman suhu ketika di transit karena asumsi supplier ikan masih dalam keadaan setengah beku dengan suhu sekitar 0 o C akibat pendinginan RSW (Refrigerated Sea Water) di dalam palka kapal dan waktu penanganan di transit tidak memakan waktu lama (30-45 menit) serta suhu ruang transit yang rendah (sekitar 20 o C). Suhu yang tertera dalam record of harvest vessel dalam kenyataannya adalah suhu pusat ikan ketika sampai di perusahaan. Meskipun pendaratan ikan dari kapal tidak membutuhkan waktu yang lama dan kondisi ikan relatif dalam keadaan setengah beku akan tetapi rekaman suhu ikan selama di transit dan selama di palka kapal tetap dibutuhkan untuk menjamin kualitas ikan tuna mulai dari proses penangkapan sampai pendaratan di transit. Sistem perekaman produksi tuna loin beku di PT X dilakukan secara berurutan pada setiap tahapan proses, mulai dari pembelian sampai dengan pengisian produk akhir untuk di ekspor. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terdapat tahapan produksi penting yang tidak dilakukan perekaman oleh pihak perusahaan, yaitu pemberian gas CO (karbon monoksida). Hal ini dapat dilihat dari asesmen sistem traceability tuna loin pada Lampiran 12. Pada tahap pemberian gas CO bahan baku tuna loin tidak ada perekaman dari staf quality control maupun dari staf lainnya. Pemberian gas CO dilakukan

9 38 pada daging dalam kemasan plastik dengan penanda batch di suatu ruang khusus yang terpisah dengan ruang lainnya. Gas CO yang diberikan hanya diatur tekanan gas saja tanpa memperhitungkan volume atau kuantitasnya, selain itu juga tidak memperhatikan mutu daging yang akan diberi gas CO atau antara mutu daging yang berbeda-beda cenderung mendapat pemberian gas dengan volume yang sama. Akibat proses yang kurang tepat tersebut, setelah pemberian gas CO dan pendinginan terkadang masih ditemukan beberapa produk yang tidak memenuhi standar kriteria warna daging yang ditetapkan sehingga harus dilakukan pemberian ulang gas CO. Adanya ruang proses khusus, perlakuan gas CO dan terkadang waktu tunggu proses yang lama dari tahapan ini serta potensi kegagalan proses akibat standard operational procedur (SOP) yang kurang lengkap maka diperlukan rekaman tersendiri yang berbeda dengan rekaman dari tahap proses sebelumnya atau sesudahnya. Rekaman yang lengkap pada proses pemberian gas CO akan memudahkan dalam melakukan penelusuran (traceback) apabila suatu saat dilakukan penarikan produk (withdrawl atau recall). Rekaman proses pemberian gas CO seharusnya meliputi waktu proses, kode batch loin, suhu ruang, tekanan gas dan volume gas yang dipakai, jenis, ukuran dan kualitas loin. Tahapan terakhir untuk melakukan perekaman secara internal oleh perusahaan adalah ketika produk telah siap untuk di ekspor yaitu dilakukan pada proses stuffing atau pengisian kontainer. Perekaman ini dicatat di report of stuffing (Lampiran 11), yang meliputi suhu kontainer, kode produksi, jenis dan jumlah produk. Perekaman selanjutnya adalah customer traceability yang dilakukan oleh pihak pengimpor, yaitu pada waktu produk telah sampai di port of entry negara pengimpor. Pihak pengimpor menginformasikan tentang kondisi produk kepada pengekspor setelah dilakukan proses pengiriman produk melalui jalur laut dengan estimasi waktu pengiriman selama 1-2 bulan Analisis sistem pengkodean Salah satu kunci sukses dalam penerapan sistem traceability adalah pemberian kode identifikasi (batch) pada suatu produk dan menjaga keutuhan kode bersama dengan informasi yang terkandung di dalamnya sepanjang proses produksi (Derrick dan Dillon 2004). Sistem pengkodean untuk traceability produksi tuna pada pihak Transit menggunakan plastik warna-warni yang

10 39 diikatkan pada ekor ikan tuna. Masing-masing warna pada plastik mewakili tingkat mutu, dimana tingkat mutu telah disortir terlebih dahulu oleh checker. Ikan tuna dengan mutu A diberi plastik berwarna merah, mutu B diberi plastik berwarna biru, mutu C plastik berwarna kuning dan terakhir mutu D diberi plastik berwarna hitam. Sistem pengkodean untuk traceability produksi tuna loin beku di PT X menggunakan dokumen kertas (paper based) dimana kode bacth diikutsertakan bersama produk sepanjang proses produksi. Cara ini lebih praktis digunakan karena perusahaan dapat mengubah kode setiap hari atau setiap shift (Morrison 2003) Pengkodean di PT X dibagi menjadi dua, yaitu pengkodean tahap pembelian sampai tahap penimbangan akhir (penimbangan IV) dan pengkodean tahap pengemasan sampai pemuatan (stuffing). Pengkodean pada tahap pembelian-penimbangan akhir menggunakan selembar kertas atau plastik pembungkus produk yang dituliskan kode produk. Kode produk terdiri dari 2 huruf dan 3 angka dimana kode ini akan berubah menjadi kode produksi pada pengkodean tahap pengemasan sampai stuffing. Digit pertama merupakan kode tempat perusahaan produksi, digit ke-2 sampai ke-4 merupakan nomor urut penerimaan bahan baku yang dimulai dari 001 sampai 999, digit ke-5 merupakan kode asal supplier bahan baku. Contoh kode produksi tahap pembelian-penimbangan akhir dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Contoh kode produksi tahap pembelian-penimbangan akhir. Pada tahap pengemasan-stuffing kode produksi dari tahap pembelianpenimbangan diterjemahkan menjadi kode produksi. Kombinasi huruf dan angka sebanyak 5 digit diubah menjadi huruf seluruhnya. Digit ke-2, ke-3 dan ke-4 yang semula angka diubah menjadi huruf dengan metode penyandian yaitu SEA PRODUCT dimana S=0, E=1, A=2, P=3, R=4, O=5, D=6, U=7, C=8, dan T=9. Kode produksi dicetak pada kedua sisi master carton sebagai kode identifikasi proses tuna loin. Contoh kode produksi tahap pengemasan-stuffing dapat dilihat pada Gambar 14.

11 40 Gambar 14 Contoh kode produksi pengemasan-stuffing pada master carton. Kode yang diterapkan di PT X cukup singkat, mudah dibaca dan mempunyai ciri khusus akan tetapi kode tersebut tidak dapat menunjukkan jenis produk yang lebih spesifik. Satu kode yang sama dipakai untuk beberapa macam produk hasil perikanan yang dihasilkan oleh perusahaan. Sehingga tidak ada perbedaan antara kode tuna loin dengan kode produk lain, misalnya tuna steak. Hal ini dapat menyulitkan pihak tim traceability apabila suatu saat dilakukan proses recall product. Apabila dalam suatu proses dengan sumber bahan baku yang sama dihasilkan bermacam-macam produk maka seharusnya dilakukan pengkodean khusus ketika proses bahan baku mengalami pemisahan (splitting). Kode yang sama pada produk yang berbeda mengakibatkan perusahaan tidak dapat mengidentifikasi atau menelusuri rekaman produksi dengan tepat. Hal ini terjadi karena masing-masing produk mempunyai tahap proses dan waktu produksi berbeda. Kode baru yang lebih spesifik atau tambahan pada kode sebelumnya (kode bahan baku) seharusnya diberikan pada masing-masing produk yang dihasilkan perusahaan. Pengkodean pada pihak wholesaler dilakukan menggunakan label kertas dengan barcode yang ditempelkan pada kotak pengemas produk. Pengemasan ulang dilakukan di pihak ini dimana barcode ditempelkan pada produk yang dikemas ulang setelah dibeli dari PT X. Sistem pengkodean hanya diketahui oleh pihak wholesaler dimana pengkodean dimaksudkan untuk memudahkan penjualan produk. Pengkodean yang lebih spesifik untuk mengidentifikasi produk dapat dilakukan menggunakan EAN.UCC sistem (Europan Article Numbering system) yaitu GS1 identification number yang telah digunakan di seluruh dunia sebagai standar sistem pengkodean. Sistem ini dapat menggunakan berbagai macam

12 41 media seperti barcode maupun RFID (Radio Frequency Identification) (GS1 2011). Perbedaan antara paper based system dengan barcode system atau RFID adalah ketepatan dan kemudahan manajemen data. Paper based system memindahkan kode bacth bersamaan dengan produk sepanjang proses produksi sedangkan barcode dan RFID dapat menghubungkan masing-masing kode bacth (dalam suatu basis data) pada tiap proses, tempat ikan atau rekaman dengan cara mengidentifikasi barcode atau RFID (Derrick dan Dillon 2004). 4.3 Analisis dan Desain Sistem Informasi pada Rantai Distribusi Tuna Tahapan analisis dan desain sistem informasi dilakukan untuk memberikan gambaran tentang Unit Pengolahan Ikan yaitu PT X dan kaitannya dengan supplier (pemasok) maupun konsumennya (buyer) yang terdiri dari empat tahap Identifikasi kebutuhan sistem Identifikasi kebutuhan sistem dilakukan untuk menganalisis kebutuhan informasi pengguna terhadap sistem yang akan dikembangkan yang kemudian menentukan informasi apa saja yang yang akan disampaikan pada sistem (O Brien dan Marakas 2006). Regattieri et al. (2007) juga mengatakan bahwa syarat dasar melakukan desain sistem traceability adalah menentukan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan suatu penelusuran. Kategori informasi yang sebaiknya disimpan oleh tiap-tiap aktor yang terlibat dalam suatu rantai distribusi meliputi; informasi tentang produk, informasi proses dan informasi mengenai kualitas produk (Thakur dan Donnelley 2010). Identifikasi kebutuhan sistem dilakukan menggunakan use case diagram untuk menggambarkan fungsionalitas yang diharapkan dari sebuah sistem dalam hal ini adalah sistem traceability. Hal yang ditekankan adalah apa yang diperbuat sistem, dan bukan bagaimana. Sebuah use case merepresentasikan sebuah interaksi antara aktor dengan sistem (Dharwiyanti dan Wahono 2003). Use case diagram rantai distribusi tuna dapat dilihat pada Gambar 15.

13 42 Sistem traceability rantai distribusi tuna beku Dokumen Cara Penanganan Ikan Sertifikat Hasil Tangkapan Kapal Pemenuhan Regulasi Keamanan Pangan Dokumen proses produksi (Processing Practices) Transit Ikan UPI/PT X Sertifikasi HACCP Sertifikasi Produk (Health Certificate) Retailer Dokumen Jalur Distribusi Produk Wholesaler Gambar 15 Use case diagram untuk sistem traceability pada rantai distribusi tuna loin beku (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009). Gambar 15. Menunjukkan use case diagram untuk sistem traceability pada rantai distribusi tuna yang terlibat dengan PT X. Berdasarkan gambar tersebut didefinisikan beberapa aktor seperti kapal penangkap ikan, transit ikan, UPI (PT X), grosir (wholesaler) dan retailer yang terlibat pada system traceability rantai distribusi tuna beku. Informasi apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan suatu penelusuran digambarkan dalam sebuah use case (dilambangkan dengan bentuk elips), diantaranya: Dokumen Cara Penanganan Ikan : Para pihak yang terlibat dalam sistem (aktor) harus mendokumentasikan segala sesuatu kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas penanganan ikan, baik sejak penangkapan, penyimpanan maupun proses produksi. Persayaratan-persyaratan dalam penanganan ikan di bagian produksi perikanan tangkap, produksi kapal penangkap dan

14 43 pengangkut ikan, tempat pendaratan ikan, unit pengolahan ikan dan lain-lain terkait dengan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan tertera dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Contoh: informasi mengenai apakah ikan tuna segera disiangi setelah ikan ditangkap, bagaimana suhu ikan dan suhu ruangan selama penyimpanan, metode penyimpanan ikan, dan lainlain. Sertifikat Hasil Tangkapan : Sertifikat hasil tangkapan merupakan persyaratan bagi produk perikanan hasil tangkapan dari laut (termasuk produk olahan) yang dapat masuk pasar Uni Eropa (UE). Sertifikat ini merupakan landasan awal untuk melakukan traceability dan juga merupakan upaya menegakkan peraturan/ketentuan penanggulangan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU Fishing) yang diatur oleh Komisi Eropa bagi negara-negara yang akan melakukan ekspor hasil tangkapan laut (termasuk produk olahan) ke pasar Uni Eropa dan diterapkan oleh Indonesia. Sertifikat ini membuktikan bahwa produk perikanan yang akan diekspor merupakan hasil tangkapan dari kegiatan yang memenuhi ketentuan pengelolaan/konservasi perikanan (KKP 2009). Aturan mengenai sertifikat hasil tangkapan tertera dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009. Contoh: informasi/data yang diperlukan untuk mengisi/melengkapi sertifikat, diisi pada log book yang diwajibkan Kementrian Kelautan dan Perikanan yang tertera dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.18/MEN/2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan. Memenuhi Regulasi Keamanan Pangan : Adalah menjadi hak importir untuk menetapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor ke negaranya untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kepuasan konsumen (Purnomo 2007). Mengaplikasikan sistem traceability berarti mengharuskan para aktor yang terlibat dalam sistem untuk menunjukkan bahwa produk atau proses yang dikenakan pada produk tuna telah memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan regulasi yang berlaku terutama regulasi mengenai masalah keamanan pangan. Contoh: Pihak transit harus memenuhi persyaratan mutu

15 44 UPI (PT X) sebelum dapat menjual ikan tuna, sedangkan suatu UPI harus mampu menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan mutu dan keamanan pangan yang berlaku di negara tujuan ekspor, dan menunjukkan bahwa kondisi saat melakukan proses produksi (GMP, SSOP) telah memenuhi regulasi yang berlaku. Dokumen Proses Produksi (Processing Practice) : Unit Pengolahan Ikan (UPI) khususnya PT X harus mendokumentasikan segala proses yang dikenakan kepada tuna, mulai dari penerimaan bahan baku hingga pemuatan untuk ekspor. Proses yang dilalui suatu produk berbeda-beda tergantung pada jenis produk akhirnya (end product). Contoh: tahapan proses tuna saku, tahapan proses pembuatan tuna loin, suhu pembekuan tuna, jenis kemasan, bahan tambahan yang digunakan pada tuna seperti CO (carbon monoxide), dan lain-lain. Sertifikasi HACCP : Unit Pengolahan Ikan (UPI) khususnya PT X dengan menerapkan sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) maka telah menerapkan sistem perekaman (record keeping) yang merupakan salah satu dasar dari sistem traceability sebenarnya telah ada dalam konsep HACCP yaitu pada prinsip ketujuh : penyimpanan catatan dan dokumentasi. Sertifikat penerapan HACCP berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 dapat diberikan kepada UPI apabila telah terdapat Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang diperoleh dengan menerapkan Cara Pengolahan yang Baik (Good Manufacturing Practices/GMP) dan memenuhi persyaratan Prosedur Operasi Sanitasi Standar (Standard Sanitation Operating Procedure/SSOP) dan telah menerapkan konsepsi HACCP yang terdiri dari tujuh prinsip. Sertifikasi Produk (Health Certificate) : Sebelum dapat melakukan ekspor, pihak UPI harus mempunyai sertifikat mengenai produk yang akan diekspor yaituhealth certificate. Health certificate merupakan surat keterangan yang dikeluarkan oleh LPPMHP (Lembaga Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perairan) yang menerangkan bahwa suatu hasil perikanan telah ditangani dan diolah sejak pra-panen hingga siap didistribusikan dengan caracara yang memenuhi persyaratan sanitasi sehingga aman dikonsumsi manusia.

16 45 Health certificate dapat diberikan apabila UPI konsisten dalam memenuhi persyaratan penerapan HACCP. Dokumen Jalur Distribusi Produk : ketika diperlukan, suatu sistem traceability harus mampu menyediakan informasi mengenai jalur distribusi mana saja yang dilalui oleh suatu produk sebelum sampai ke tangan konsumen akhir minimal satu langkah ke belakang dan satu langkah ke depan (one step backward, one step forward). Raspor (2005) menyatakan suatu sistem traceability mampu memberikan informasi mengenai posisi suatu produk dan jalur distribusi yang ditempuh yang dapat memudahkan upaya pelacakan produk. Sebagai contoh adalah ketika suatu produk tuna terdeteksi mempunyai potensi gangguan keamanan pangan, maka sangat penting untuk mengetahui berada dimanakah produk yang diduga mempunyai gangguan keamanan pangan tersebut langsung pada saat dibutuhkan Traceability internal Traceability internal mempunyai peran yang sangat penting dalam mendukung traceability tuna secara keseluruhan (chain traceability) (Thakur dan Hurburgh 2009). Oleh karena itu pengembangan traceability internal pada industri pengolahan tuna penting karena jika terjadi masalah pangan selama jalur distribusinya maka traceability internal dapat digunakan untuk mencari penyebabnya. Traceability internal disini dikembangkan secara teoritis untuk memberikan suatu acuan yang baku dalam pengembangan traceability internal pada dalam suatu organisasi khususnya pada industri pengolahan tuna loin beku menggunakan teknik yang disebut Integrated Definition Modelling (IDEF0). Berdasarkan standar ISO 22005:2007, suatu sistem traceability dipengaruhi oleh regulasi, karakterisasi produk, dan harapan konsumen. Di Indonesia produk hukum yang mengatur tentang traceability produk perikanan yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yaitu pada Bab II pasal 3 huruf C. Lebih lanjut ISO 22000:2005 yang merupakan sistem manajemen keamanan pangan bagi organisasi dalam rantai produksi pangan pada klausul 7.9 juga mempersyaratkan adanya sistem mampu telusur (traceability system).

17 46 Ikan tuna sebagaimana ikan pada umumnya merupakan bahan pangan yang dikategorikan highly perishable yaitu bahan pangan yang sangat mudah busuk dan membutuhkan penanganan yang baik dalam rantai distribusinya (Venugopal 2006). Teknik penanganan bahan baku tuna segar dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 o C, sedangkan penanganan bahan baku tuna beku sama seperti halnya tuna segar namun dilakukan dengan menjaga suhu pusat produk maksimal -18 o C (SNI ). Hal lain yang mempengaruhi sistem traceability adalah harapan konsumen terhadap suatu produk. Sebagai contoh jika konsumen mengharapkan adanya jaminan terhadap produk tuna yang dikonsumsi merupakan ikan yang bebas dari bahaya keamanan pangan, maka produsen akan berusaha untuk mencapai harapan konsumen tersebut. Dari berbagai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa regulasi, karakterisasi produk, dan harapan konsumen merupakan masukan bagi teknik IDEF0 pengembangan sistem traceability pada tuna. Suatu sistem traceability dikembangkan untuk memenuhi regulasi yang berlaku (Thakur dan Hurburgh 2009). Sistem traceability produk perikanan Indonesia dilakukan untuk memenuhi PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan, sedangkan dalam penerapannya dibutuhkan suatu standar yang digunakan sebagai batasan untuk menghasilkan keluaran yang tepat yaitu standar Codex Alimentarius Commission (CAC/RPC , Rev ) mengenai prinsip umum untuk higiene pangan (General Principles of Food Hygiene). Standar ini dipilih karena merupakan standar internasional dari negara Amerika yang menjadi tujuan ekspor PT X dimana pemilihan standar sebaiknya disesuaikan dengan negara tujuan ekspor atau menggunakan standar yang lebih ketat persyaratannya untuk alasan kesehatan. Oleh karena itu, standar CAC/RPC , Rev dikategorikan sebagai kontrol (control) bagi model ini. Berbagai mekanisme (mechanism) diperlukan untuk mengembangkan sistem traceability, diantaranya standar industri, personal (pihak yang terlibat), dan prosedur-prosedur yang ada. Keluaran (output) dari model ini akan tergantung dari jenis produk akhir tuna yang dihasilkan dan aktor yang terlibat didalamnya. Secara umum, output yang dapat dihasilkan dalam

18 47 sistem traceability internal ini adalah adanya berbagai macam dokumentasi seperti dokumentasi proses produksi, sertifikat-sertifikat yang telah divalidasi, dan pemenuhan terhadap regulasi sebagai jaminan kualitas dan keamanan pangan. Model pada sistem ini harus dapat membuktikan klaim terhadap suatu produk, misalnya klaim terhadap ikan tuna yang digunakan dalam proses produksi ditangkap dari daerah penangkapan yang tidak melanggar undang-undang illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Selain itu sistem traceability yang dibuat juga harus menyediakan suatu tolak ukur untuk kepuasan konsumen. Teknik IDEF0 (Integrated Definition Modelling) untuk pengembangan sistem internal traceability pada suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI) dapat dilihat pada Gambar 16. Pemenuhan Regulasi Kebutuhan Regulasi Karakteristik Produk Harapan Konsumen PENGEMBANGAN SISTEM TRACEABILITY INTERNAL TUNA A0 Dokumentasi Proses Produksi Sertifikat yang divalidasi Jaminan Kualitas dan Keamanan Pangan Kepuasan Konsumen Standar Industri Personal Prosedur Gambar 16 Teknik IDEF0 untuk pengembangan traceability internal pada Unit Pengolahan Ikan (UPI). Berdasarkan Gambar 16. maka dibuatlah detail dari teknik tersebut untuk menunjukkan langkah-langkah yang dilakukan terkait dengan pengembangan traceability internal pada UPI dalam hal ini PT X yang melakukan pengolahan ikan tuna beku. Model ini digambarkan lebih detail (didekomposisi) untuk memudahkan pemahaman mengenai rangkaian pengembangan traceability internal pada UPI dan ditujukan untuk mendapatkan sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan (food safety management system certificate) seperti ISO oleh Thakur dan Humburgh (2009) dengan tahapan sebagai berikut : 1) Menentukan rencana sistem traceability : langkah pertama untuk pengembangan sistem traceability internal adalah menentukan rencana traceability. Masukan (input) bagi tahapan ini adalah kebutuhan akan regulasi,

19 48 karakteristik produk dan harapan konsumen. Kebutuhan akan regulasi ditujukan untuk memenuhi CAC/RPC , Rev yang merupakan regulasi Amerika Serikat karena negara tujuan ekspor PT X. Karakteristik hasil perikanan yang highly perishable mempengaruhi rencana traceability dimana penggunaan bahan-bahan seperti air atau es harus ada jaminan bahwa air berasal dari air dengan kualitas air minum sehingga ikan tidak mudah rusak. Penggunaan kemasan yang khusus bagi produk pangan (food grade) dan peralatan yang digunakan juga perlu diperhatikan mengingat ikan merupakan bahan pangan yang mudah busuk. Hal terakhir yang mempengaruhi suatu sistem traceability adalah harapan konsumen dimana produsen akan senantiasa berusaha memenuhi harapan dari konsumennya. Rencana sistem traceability ditentukan berdasarkan keperluan-keperluan tersebut. Selain masukan, diperlukan juga suatu standar bagi sistem ini dimana standar CAC/RPC , Rev dapat digunakan sebagai kontrol (control). Berbagai mekanisme (mechanism) diperlukan untuk menentukan sistem traceability, diantaranya standar industri, personal (pihak yang terlibat), dan prosedur-prosedur yang ada. Personal yang terlibat dalam sistem ini harus merupakan tim yang memiliki pengetahuan dan pengalaman multi disiplin, dan merupakan orang-orang yang berasal dari berbagai departemen yang ada pada suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI). Selain itu, menurut Derrick dan Dillon (2004) penting bagi suatu UPI menunjuk seseorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin tim, memiliki pengetahuan mengenai traceability, dan memiliki posisi penting dalam kegiatan produksi. Rencana sistem traceability harus didefinisikan secara jelas dalam format yang tetap dan termasuk di dalamnya mengenai informasi yang dibutuhkan untuk dicatat dan informasi yang akan dibagi kepada aktor lain yang terlibat (dalam rantai distribusi produk). Selain itu dalam sistem ini juga perlu didefinisikan parameter yang tepat untuk mengukur kesuksesan sistem. Keluaran (output) pada tahapan ini adalah terbentuknya manual sistem traceability yang mendefinisikan prosedur untuk penerapan rencana sistem traceability dimana secara umum prosedur meliputi dokumentasi proses produksi dan informasi

20 49 terkait proses produksi, termasuk perawatan dokumen dan verifikasi (ISO 22005:2007). 2) Penerapan rencana traceability : Keluaran pada tahapan 1 merupakan masukan bagi tahapan ini. Manual sistem traceability yang telah dibuat digunakan untuk diterapkan pada tahapan ini. Tahapan ini memiliki kontrol dan mekanisme yang sama dengan yang ada pada tahap 1. Pada sistem informasi yang dikembangkan, dilakukan desain basis data traceability perusahaan yang direpresentasikan menggunakan entity relationship diagram (ERD). ERD merupakan suatu diagram yang dapat menunjukkan bagaimana data dan informasi akan disimpan di dalam basis data beserta hubungan antar data. Bagian yang digunakan untuk membangun suatu entity relationship diagram adalah entitas (entity), atribut, dan hubungan (relationship). Pengguna (user) dalam hal ini pihak UPI dapat mendesain entitas yang berkaitan dengan aktifitas ikan tuna (per batch) baik kualitas maupun proses yang dikenakan. Entity relationship diagram ini menghubungkan berbagai macam data mulai dari kedatangan bahan baku tuna, proses produksi per batch, dan hasil akhir dari tiap batch yang keluar dari ruang penyimpanan (storage) UPI. Setelah selesai membuat ERD dilanjutkan dengan penerjemahan desain basis data (database) pada sistem yang telah dibuat kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk perintah-perintah yang dimengerti komputer dengan mempergunakan suatu bahasa pemrograman dan penyimpanan ke dalam database tergantung dari keperluan pengguna. Hanya terdapat satu basis data terpusat untuk menyimpan semua informasi yang dibutuhkan. Salah satu bahasa yang dapat digunakan untuk merepresentasikan data adalah XML (Extensible Markup Language). XML dipilih karena dalam industri perikanan terdapat suatu standar yang disebut tracefish yang dapat digunakan untuk mencapai sistem traceability secara menyeluruh pada suatu rantai distribusi dimana standar ini menurut Larsen (2003) merupakan suatu konsep yang menggunakan sistem elektronik untuk mencapai penelusuran rantai distribusi (chain traceability). Selanjutnya Folinas et al. (2007) menyatakan bahwa tracefish menggunakan XML (extensible markup language) untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic

21 50 exchange) antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi. Setelah tahap ini selesai, sebuah laporan penerapan traceability akan dihasilkan. Laporan ini akan terdiri dari deskripsi detail sistem database dan penggunaannya. 3) Evaluasi pelaksanaan sistem : pelaksanaan sistem traceability akan dievaluasi pada tahap ini. Evaluasi yang dilakukan mencakup evaluasi efisiensi penggunaan database untuk kecepatan reaksi terhadap kasus keamanan pangan. Laporan pelaksanaan sistem manajemen keamanan pangan seperti HACCP atau ISO dan laporan hasil audit merupakan keluaran dari tahapan ini. Tahapan ini memiliki kontrol dan mekanisme yang sama dengan tahap sebelumnya. 4) Validasi sistem: validasi dibutuhkan untuk memastikan bahwa pelaksanaan sistem sesuai dengan rencana traceability yang telah dibentuk. Laporan pelaksanaan dan laporan hasil audit dari tahap 3 digunakan sebagai dasar untuk pemvalidasian sistem traceability menggunakan standar CAC/RPC , Rev sebagai kontrol dan mekanisme yang sama dengan tahapantahapan sebelumnya. Setelah sistem traceability divalidasi, pemenuhan CAC/RPC , Rev dapat dicapai. Dokumentasi lainnya seperti dokumentasi proses produksi, sistem manajemen keamanan pangan, dan validasi sistem (sertifikat) dapat dicapai. Bukti dari kepuasan konsumen juga merupakan keluaran yang diharapkan dari proses pengembangan sistem traceability internal ini. 5) Perawatan sistem: Perawatan dari sistem traceability merupakan tahapan yang sangat penting dari keseluruhan proses. Perawatan dibutuhkan untuk menjaga agar sistem tetap berjalan dan juga untuk melakukan perbaikan terus-menerus. Tahapan ini merupakan proses yang terus-menerus dilakukan (siklus berulang) dan rencana sistem traceability sebaiknya dimodifikasi berdasarkan perubahan regulasi yang ada, permintaan konsumen dan faktor lainnya yang dapat menyebabkan perubahan pada proses bisnis. Tahapan selanjutnya akan dimodifikasi ulang setiap adanya perubahan rencana sistem traceability. Keseluruhan tahapan pengembangan traceability internal ini dapat dilihat pada Gambar 17.

22 32 Pemenuhan Regulasi (CAC/RCP ,Rev ) CAC/RCP ,Rev (Kebutuhan Regulasi) Highly Perishable (Karakterisasi Produk) Jenis Produk Akhir (Harapan Konsumen) Menentukan Rencana Sistem Traceability 1 Manual Traceability Penerapan Traceability 2 Laporan Penerapan traceability Evaluasi Pelaksanaan Sistem 3 Laporan Penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Laporan Audit Dokumentasi Proses Produksi Validasi Sistem 4 Sertifikat yang divalidasi Jaminan kualitas dan keamanan pangan Kepuasan Konsumen Perawatan Sistem 5 Standar Industri Personal Prosedur Gambar 17 Teknik IDEF0 untuk pengembangan dan penerapan sistem traceability internal pada UPI (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009). 51

23 Pertukaran informasi traceability pada rantai distribusi tuna Peraturan pangan Uni Eropa yaitu General Food Law (EC No. 178, artikel 18) menyebutkan perlunya sistem traceability pada rantai distribusi pangan (food supply chain) untuk mencapai kemampuan pelacakan secara utuh (Official Journal of the Europan Communities 2002). Setiap aktor yang terlibat di dalamnya harus menyimpan dan memelihara informasi yang berkaitan dengan dari mana suatu bahan pangan berasal dan tetap menelusuri (mengikuti) jalur dan perubahan bentuk yang dialami suatu produk sepanjang proses produksi dan kemudian mentransfer informasi tersebut ke aktor selanjutnya dalam rantai distribusinya (Thakur dan Humburgh 2009). Berbagi informasi (share) antar aktor dalam rantai distribusi produk penting dilakukan untuk mencapai sistem traceability yang efektif (Derrick dan Dillon 2004). Untuk memahami hal tersebut maka dibuatlah suatu gambaran yang menunjukkan bagaimana suatu produk diidentifikasi, struktur datanya, data carrier yang digunakan, dimana saja lokasi pengumpulan data (data capture point) dan bagaimana data/informasi dipertukarkan antar aktor dalam rantai distribusi tuna loin beku. Sebelum mencapai traceability pada keseluruhan rantai distribusi (chain traceability) penting untuk memahami lokasi-lokasi pengidentifikasian unit produk pada traceability internal dan hubungannya dengan chain traceability. Lokasi pengidentifikasian produk pada chain traceability mengacu pada Senneset et al. (2007) dan dapat dilihat pada Gambar 18. Lokasi pengidentifikasian produk pada chain traceability Lokasi pengidentifikasian produk pada chain traceability Aliran Produk (tuna loin beku) TRANSIT UPI (PT X) Penerimaan Proses Stuffing IMPORTIR Aliran Informasi Lokasi pengidentifikasian produk pada traceability internal Gambar 18 Lokasi pengidentifikasian produk sistem traceability (Modifikasi Senneset et al. 2007).

24 53 Tahapan yang penting untuk dilakukan pengidentifikasian produk dan perekaman secara internal di PT X adalah pada tahap penerimaan bahan baku dan pengisian (stuffing) karena kedua tahapan ini merupakan tahapan yang menjadi penghubung informasi antara supplier (transit)dengan perusahaan dan perusahaan dengan pihak importir. Pada tahap penerimaan bahan baku merupakan awal dari pengumpulan informasi dari supplier mengenai bahan baku atau bahan tambahan yang digunakan, sedangkan pada tahap stuffing merupakan tahapan dimana informasi baru ditambahkan setelah proses produksi selesai dilaksanakan. Senneset et al. (2007) menyatakan penting bagi suatu organisasi menetapkan identitas untuk melakukan penelusuran dimana identitas tersebut direkam pada tahapan penerimaan dan pada saat suatu produk akan didistribusikan ke pihak selanjutnya setelah proses produksi selesai dilaksanakan. Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen (2003) memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan seperti distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang (repacking) beberapa kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku atau organisasi yang berbeda. Praktek pendistribusian ikan tuna beku (frozen tuna) dari satu aktor ke aktor lainnya juga mengalami berbagai macam aktivitas termasuk pengemasan ulang diantaranya: Pergerakan: Ikan tuna bergerak dari satu pihak ke pihak lain dalam rantai distribusi sebelum akhirnya sampai ke konsumen akhir. Sebagai contoh adalah nelayan menjual tuna ke pihak transit dan kemudian pihak transit menjualnya ke PT X. Penyortiran: Ikan selama distribusi mengalami aktivitas penyortiran untuk pembedaan berdasarkan mutu. Contohnya ketika ikan yang disortir secara organoleptik di transit oleh checker menjadi 4 tingkat grade (mutu), yaitu: ikan tuna dengan grade A, B, C, dan D. Penyimpanan (storage): Ikan tuna sejak penangkapan disimpan dalam periode tertentu oleh tiap-tiap aktor sebelum akhirnya sampai ke tangan konsumen akhir. Ikan yang disimpan dalam periode tertentu sebelum dikonsumsi dapat mempengaruhi kondisi fisik, kimia maupun biologinya. Sebagai contoh menurut Keer et al. (2002) ikan tuna yang disimpan pada suhu rendah oleh

25 54 retailer yaitu hanya menutup ikan menggunakan es atau secara sederhana ikan hanya diletakkan di atas es untuk mencegah kebusukan, dalam jangga waktu yang lama hal ini akan menyebabkan pertumbuhan bakteri yang memicu terbentuknya histamin pada tuna. Perubahan bentuk: Sepanjang rantai distribusi, ikan tuna tidak hanya di ekspor dalam bentuk utuh segar melainkan juga di ekspor dalam bentuk yang bermacam-macam seperti loin, steak, cubes dan ground meat. Pengemasan ulang: Ikan tuna beku hasil diversifikasi pihak UPI (PT X) diekspor ke Amerika tidak langsung ditujukan ke konsumen akhir melainkan dijual ke pihak wholesaler (grosir) yang akan melakukan pengemasan ulang sebelum didistribusikan kembali ke pihak retailer yang meneruskan ke konsumen akhir. Aktivitas-aktivitas yang terjadi pada ikan tuna sepanjang rantai distribusi tersebut penting untuk direkam. Thakur dan Humburgh (2009) juga menyatakan mendokumentasikan aktivitas yang terjadi pada suatu produk dan transfer informasi kepada pihak selanjutnya pada rantai distribusi penting dilakukan. Untuk memahami hal tersebut maka dibuatlah suatu gambaran yang menunjukkan informasi apa saja yang harus didokumentasikan dan dibagi (transfer informasi) kepada pihak-pihak (aktor) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna (tuna supply chain) yang dapat dilihat pada Gambar 19.

26 56 Nama kapal 1 ID kapal 1 ID produk 1 No registrasi kapal Metode penangkapan Spesies & berat ikan Cara penanganan diatas kapal Area dan tanggal penangkapan 1 Tanggal dan waktu pengiriman Identitas transit 1 ID produk 1 Nama kapal 1 Id kapal 1 Control check Area dan tanggal penangkapan 1 Tanggal dan waktu penerimaan Identitas transit 2 Jumlah, spesies dan berat ikan Waktu dan tanggal pengiriman Identitas UPI 3 Bukti pembelian Identitas UPI 3 Identitas transit 2 Tanggal dan waktu penerimaan ID berkaitan dengan produk Quality control check Metode pendinginan Jenis, jumlah dan berat ikan Suhu ikan selama pengangkutan Nama produk Berat bersih Tahapan proses Tipe kemasan Suhu selama pengolahan dan penyimpanan Hasil uji mutu produk Berat bersih produk Tanggal produksi Kode produksi No registrasiupi Waktu dan tanggal pengiriman Suhu selama penyimpanan dan transportasi Identitas tujuan ekspo (distributor) 4 Transportasi Distributor Retailer Identitas UPI 3 Identitas distributor 4 Nama produk 3 ID berkaitan dengan produk Identitas pengiriman Spesies ikan Jenis pengolahan Jenis dan jumlah kemasan Berat bersih Pengecekaan suhu Tanggal kadaluarsa Kapal Transit UPI Transportasi Distributor Retailer Pasar Lokal Gambar 19 Pertukaran informasi antar aktor yang terlibat pada rantai distribusi tuna (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009). 55

27 56 Gambar 19. menunjukkan bahwa tidak semua informasi pada tiap-tiap aktor dibagi kepada aktor selanjutnya dalam jalur distribusi. Angka-angka 1, 2, dan 3 (superscript) menunjukkan informasi apa saja yang dibagi oleh tiap-tiap aktor dalam rantai distribusi tuna. Ketika suatu informasi mengenai bacth tuna didapatkan, informasi tersebut dapat digunakan untuk melacak ke belakang hingga asal ikan. Sebaliknya setelah ikan tuna selesai di proses, informasi kepada siapa bacth dari ikan tersebut dikirim dapat digunakan untuk mengikuti jalur distribusinya bahkan hingga ke pihak retailer. Informasi-informasi pada Gambar 19. untuk pihak Kapal Penangkap berasal dari log book penangkapan ikan tuna menggunakan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur (Lampiran 1). Untuk pihak Transit dan Distributor (wholesaler) informasi berasal dari standar Tracefish (CEN 14660:2003), sedangkan informasi pada pihak UPI berasal dari PT X sebagai perusahaan pengolah ikan tuna loin beku. Informasi-informasi yang sebaiknya didokumentasikan oleh tiap-tiap aktor dalam rantai distribusi untuk mencapai ketertelusuran (traceability) produk perikanan dapat dilihat dalam standar Tracefish (CEN 14660:2003) dimana pada standar ini terdapat tiga kategori informasi yaitu kategori Shall, Should dan May. Kategori shall merupakan kategori informasi yang berkaitan dengan data pokok untuk sistem traceability. Data pada kategori ini dibutuhkan untuk melakukan penelusuran mengenai sejarah, aplikasi maupun lokasi dari suatu produk dalam prinsip satu langkah ke belakang dan satu langkah ke depan sehingga mampu untuk memfasilitasi penarikan produk. Kategori should dan may merupakan kategori informasi pendukung untuk mendeskripsikan dan menyediakan informasi pendukung mengenai produk yang akan dilacak. Perbedaannya adalah kategori should merupakan kategori informasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan suatu sertifikasi (misal sertifikasi GMP) sedangkan kategori may tidak. Selain gambaran mengenai informasi yang harus didokumentasikan dan dibagi oleh tiap aktor dalam rantai distribusi tuna loin, sebuah sequence diagram dikembangkan untuk menggambarkan pertukaran informasi ketika salah satu aktor meminta informasi tambahan terhadap suatu produk olahan tuna pada aktor sebelumnya. Menurut Thakur dan Humburgh (2009) tujuan utama dari sequence

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Tahapan Penelitian 3.2.1

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Tahapan Penelitian 3.2.1 20 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di perusahaan pengolahan ikan tuna PT X, yang terletak pada kawasan Pelabuhan Perikanan Samudra Muara Baru, Jakarta Utara.

Lebih terperinci

Lampiran 1 Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur.

Lampiran 1 Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur. LAMPIRAN 74 59 Lampiran 1 Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur. 74 75 Lampiran 2 Tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku (data verivikasi) Nama tahapan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2013 sampai dengan 5 Juni 2013 di PT. Awindo Internasional Jakarta. PT. Awindo Internasional terletak

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG PENGENDALIAN SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM TRACEABILITY DALAM PENANGANAN DAN PENGOLAHAN KOMODITAS PRODUK PERIKANAN INDONESIA UNTUK EKSPOR

KAJIAN SISTEM TRACEABILITY DALAM PENANGANAN DAN PENGOLAHAN KOMODITAS PRODUK PERIKANAN INDONESIA UNTUK EKSPOR KAJIAN SISTEM TRACEABILITY DALAM PENANGANAN DAN PENGOLAHAN KOMODITAS PRODUK PERIKANAN INDONESIA UNTUK EKSPOR Tim Penyusun : Annisa Galuh D (13494) Kusumo Prasetyo A (13495) Nadia Aulia Putri (13496) Puji

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. peraturan..

BAB I KETENTUAN UMUM. peraturan.. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.19/MEN/2010 TENTANG PENGENDALIAN SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna mendapatkan perhatian internasional. Hal ini terkait dengan maraknya kegiatan penangkapan ikan tuna

Lebih terperinci

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 181). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan Standar Nasional Indonesia Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2015 LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5726). PERATURAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL. Oleh: TIMOR MAHENDRA N C

EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL. Oleh: TIMOR MAHENDRA N C EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL Oleh: TIMOR MAHENDRA N C 34101055 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan Standar Nasional Indonesia Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di PT. Graha Insan Sejahtera yang berlokasi di salah satu Perusahaan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jalan Muara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengolahan hasil perikanan memegang peranan penting dalam kegiatan pascapanen, sebab ikan merupakan komoditi yang sifatnya mudah rusak dan membusuk, di samping itu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan 1. Jaminan Mutu Mutu didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembuatan, dan pemeliharaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PENERAPAN SISTEM KETERTELUSURAN (TRACEABILITY) PADA PRODUK PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN PERATURAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SELAKU OTORITAS

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 - 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENERBITAN SERTIFIKAT PENERAPAN PROGRAM MANAJEMEN MUTU TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2015, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH P

2015, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2015 LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5726). PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan layur (Trichiurus sp.) adalah salah satu jenis ikan demersal ekonomis penting yang banyak tersebar dan tertangkap di perairan Indonesia terutama di perairan Palabuhanratu.

Lebih terperinci

Gambaran pentingnya HACCP dapat disimak pada video berikut

Gambaran pentingnya HACCP dapat disimak pada video berikut A. Penerapan Cara Peoduksi Perikanan laut yang Baik (GMP/SSOP/HACCP) HACCP merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap risiko bahaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SISTEM PENELUSURAN DAGING SAPI DI PT.X

RANCANG BANGUN SISTEM PENELUSURAN DAGING SAPI DI PT.X 1 RANCANG BANGUN SISTEM PENELUSURAN DAGING SAPI DI PT.X Harwiyani, Anissa dan Vanany, Iwan Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Kampus ITS Sukolilo,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.28/MEN/2009 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.28/MEN/2009 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.28/MEN/2009 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

SNI Standar Nasional Indonesia. Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan Standar Nasional Indonesia Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 di PT. AGB Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS Analisis SCOR (Supply Chain Operation Reference)

BAB V ANALISIS Analisis SCOR (Supply Chain Operation Reference) BAB V ANALISIS Bab ini berisi tentang analisis yang dilakukan pada pengolahan data yang telah diolah. Pada bab ini berisi mengenai analisis SCOR (Supply Chain Operation Reference) dan analisis desain traceability.

Lebih terperinci

Sosis ikan SNI 7755:2013

Sosis ikan SNI 7755:2013 Standar Nasional Indonesia Sosis ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan Standar Nasional Indonesia Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: 1-5 ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: 1-5 ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: 1-5 ISSN : 2088-3137 ANALISIS BAHAYA DAN PENENTUAN TITIK PENGENDALIAN KRITIS PADA PENANGANAN TUNA SEGAR UTUH DI PT. BALI OCEAN ANUGRAH LINGER

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sertifikat HACCP Frozen Cooked Tuna

Lampiran 1. Sertifikat HACCP Frozen Cooked Tuna LAMPIRAN Lampiran 1. Sertifikat HA Frozen Cooked Tuna 52 Lampiran 2. Sertifikat Keterangan Pengolahan Frozen Cooked Tuna 53 Lampiran 3. Tata Letak Bangunan PT. Gabungan Era Mandiri 54 55 Lampiran 4.Pohon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan maupun pengolahan merupakan suatu cara ataupun tindakan untuk mempertahankan mutu dan kualitas bahan pangan, termasuk di sektor perikanan. Menurut data Dirjen

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2154, 2016 KEMEN-KP. Sertifikat Kelayakan Pengolahan. Penerbitan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72/PERMEN-KP/2016 TENTANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.669,2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2012 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran 3.2 Metode Pengumpulan Data

METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran 3.2 Metode Pengumpulan Data 30 3 METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Tunamerupakan komoditas komersial tinggi dalam perdagangan internasional. Salah satu bentuk olahan tuna adalah tuna loin, tuna steak, dan tuna saku. Tuna loin merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, dan asumsi yang digunakan dalam penelitian ini. 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT 1 MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT Disampaikan pada Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia, Kamis, 21 November 2007 Oleh Direktur Jenderal Pengolahan dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penilaian Program Kelayakan Dasar (PreRequisite Program) PT Makmur Jaya Sejahtera merupakan perusahaan yang bergerak dibidang perikanan. Produk unggulannya adalah tuna loin

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2012 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2012 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2012 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis pada Penanganan Tuna Loin Beku di PT. Awindo International

KATA PENGANTAR Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis pada Penanganan Tuna Loin Beku di PT. Awindo International KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Analisis Bahaya dan Titik

Lebih terperinci

SISTEM INSPEKSI DAN SERTIFIKASI PRODUK PERIKANAN TUJUAN EKSPOR. Sentul, 12 April 2017

SISTEM INSPEKSI DAN SERTIFIKASI PRODUK PERIKANAN TUJUAN EKSPOR. Sentul, 12 April 2017 SISTEM INSPEKSI DAN SERTIFIKASI PRODUK PERIKANAN TUJUAN EKSPOR Sentul, 12 April 2017 RUANG LINGKUP I. Definisi Internasional (Based on Codex Alimentarius Commission/CAC) II. Sistem Inspeksi dan Sertifikasi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 28 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Perusahaan Perusahaan X merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perikanan. Perusahaan ini berdiri sekitar 10 tahun yang lalu. Perusahaan X ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia berada pada posisi yang strategis antara dua benua dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia berada pada posisi yang strategis antara dua benua dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia berada pada posisi yang strategis antara dua benua dan dua samudra yaitu benua Asia dan Australia sehingga memiliki potensi perikanan yang sangat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.15/MEN/2011 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. H.Yusdin Abdullah dan sebagai pimpinan perusahaan adalah Bapak Azmar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. H.Yusdin Abdullah dan sebagai pimpinan perusahaan adalah Bapak Azmar BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Wilayah PT. Cipta Frima Jaya adalah salah satu perusahaan yang bergerak dibidang proses dan pembekuan untuk hasil perikanan laut, yang merupakan milik Bapak H.Yusdin

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52A/KEPMEN-KP/2013 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52A/KEPMEN-KP/2013 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52A/KEPMEN-KP/2013 TENTANG PERSYARATAN JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN PADA PROSES PRODUKSI, PENGOLAHAN DAN DISTRIBUSI Menimbang

Lebih terperinci

BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK

BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK Good Manufacturing Practice (GMP) adalah cara berproduksi yang baik dan benar untuk menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan. Telah dijelaskan sebelumnya

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN PERIKANAN TANGKAP

BAB VI STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN PERIKANAN TANGKAP BAB VI STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN PERIKANAN TANGKAP 6.1 Strategi Untuk Meningkatkan Sektor Perikanan Tangkap Di Kabupaten Indramayu Kebijakan pembangunan sektor kelautan perikanan Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 27 TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 27 TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 27 TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN Aktivitas pendistribusian hasil tangkapan dilakukan untuk memberikan nilai pada hasil tangkapan. Nilai hasil tangkapan yang didistribusikan sangat bergantung kualitas

Lebih terperinci

SISTEM-SISTEM TERKAIT MANAJEMEN MUTU PADA INDUSTRI PANGAN

SISTEM-SISTEM TERKAIT MANAJEMEN MUTU PADA INDUSTRI PANGAN SISTEM-SISTEM TERKAIT MANAJEMEN MUTU PADA INDUSTRI PANGAN ISO 22000 ISO 14001 ISO 17025 OHSAS Budaya Kerja 5S/5R Budaya Kerja K3 Sistem Manajemen Halal ISO 9001 Konsumen/Masyarakat IMPLEMENTASI ISO 9001:

Lebih terperinci

Sosialisasi PENYUSUNAN SOP SAYURAN dan TANAMAN OBAT. oleh: Tim Fakultas Pertanian UNPAD, Bandung, 14 Maret 2012

Sosialisasi PENYUSUNAN SOP SAYURAN dan TANAMAN OBAT. oleh: Tim Fakultas Pertanian UNPAD, Bandung, 14 Maret 2012 Sosialisasi PENYUSUNAN SOP SAYURAN dan TANAMAN OBAT oleh: Tim Fakultas Pertanian UNPAD, Bandung, 14 Maret 2012 Issue : Kemampuan petani didalam menjamin mutu dan keamanan pangan segar yg dihasilkan relatif

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 5.1. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT Tridaya Eramina Bahari berdiri pada tahun 1994 di Cirebon. Perusahaan ini didirikan oleh Bapak H. Danuri sebagai komisaris dan Bapak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sanitasi Dan Higiene Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sanitasi Dan Higiene Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sanitasi Dan Higiene Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku. Penerapan sanitasi dan higiene diruang penerimaan lebih dititik beratkan pada penggunaan alat dan bahan sanitasi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Deskripsi Produk Tuna Loin Beku di PT. Awindo Internasional

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Deskripsi Produk Tuna Loin Beku di PT. Awindo Internasional BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Produk Tuna loin beku merupakan salah satu hasil penanganan ikan tuna yang diproduksi oleh PT. Awindo Internasional. Jenis bahan baku yang digunakan yaitu yellowfin

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Nama Produk Nama Spesies. Asal Ikan. Alur Proses. Kemasan Produk. Daya Tahan Produk. Penggunaan Produk Negara Tujuan Ekspor

BAB IV PEMBAHASAN. Nama Produk Nama Spesies. Asal Ikan. Alur Proses. Kemasan Produk. Daya Tahan Produk. Penggunaan Produk Negara Tujuan Ekspor BAB IV PEMBAHASAN 4. Deskripsi Produk Tuna saku beku adalah loin tuna yang telah dipotong menyerupai bentuk saku yang hasil akhirnya dalam kondisi beku. Di PT. X tuna saku beku merupakan salah satu produk

Lebih terperinci

LAMPIRAN NOMOR 78 TAHUN 2016 TENTANG BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN NOMOR 78 TAHUN 2016 TENTANG BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2016 TENTANG PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA KATEGORI INDUSTRI PENGOLAHAN GOLONGAN POKOK INDUSTRI MAKANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2010 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE DALAM WILAYAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.15/MEN/2011 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1532, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KKP. Hasil Perikanan. Wilayah Negara RI. Keamanan. Mutu. Pengendalian. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN OTORITAS KOMPETEN KEAMANAN PANGAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb No.1618, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KKP. Penangkapan. Ikan. Log Book. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/PERMEN-KP/2014 TENTANG LOG BOOK PENANGKAPAN

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3 Istilah dan

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR3 TAHUN2017 TENTANG PEMBENTUKAN OTORITAS KOMPETENSI KEAMANAN PANGAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Produk Ikan Layur Beku Menurut SNI 6940.1:2011 (BSN 2011), ikan layur beku merupakan produk hasil perikanan dengan bahan baku layur segar utuh yang mengalami perlakuan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 23 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Definisi mengenai Kualitas Saat kata kualitas digunakan, kita mengartikannya sebagai suatu produk atau jasa yang baik yang dapat memenuhi keinginan kita. Menurut ANSI/ASQC Standard

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Food Industries yang akan dibahas antara lain adalah: a) Tahapan audit yang dilakukan (survei pendahuluan dan evaluasi sistem

BAB IV PEMBAHASAN. Food Industries yang akan dibahas antara lain adalah: a) Tahapan audit yang dilakukan (survei pendahuluan dan evaluasi sistem BAB IV PEMBAHASAN Dalam bab ini, audit operasional atas fungsi produksi pada PT Dunia Daging Food Industries yang akan dibahas antara lain adalah: a) Tahapan audit yang dilakukan (survei pendahuluan dan

Lebih terperinci

Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi

Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46/PERMEN-KP/2014 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Bakso ikan SNI 7266:2014

Bakso ikan SNI 7266:2014 Standar Nasional Indonesia Bakso ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.1629, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KKP. Hasil Perikanan. Pengendalian. Mutu dan Keamanan. Perubahan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN-KP/2015 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Siomay ikan SNI 7756:2013

Siomay ikan SNI 7756:2013 Standar Nasional Indonesia Siomay ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan. No.81, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP

KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP Tujuan Kajian Risiko Mikrobiologi Mengkaji secara sistematis tingkat risiko dari

Lebih terperinci

Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi

Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3 Istilah dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengharapkan produk pangan yang lebih mudah disiapkan, mengandung nilai

I. PENDAHULUAN. mengharapkan produk pangan yang lebih mudah disiapkan, mengandung nilai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumen masa kini lebih cerdas dan lebih menuntut, mereka mengharapkan produk pangan yang lebih mudah disiapkan, mengandung nilai gizi yang tinggi, harga terjangkau, rasa

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah

Lebih terperinci

INSTRUKSI KERJA PENANGANAN PASCAPANEN MANGGA GEDONG GINCU

INSTRUKSI KERJA PENANGANAN PASCAPANEN MANGGA GEDONG GINCU PENANGANAN PENDAHULUAN Instruksi kerja merupakan dokumen pengendali yang menyediakan perintah-perintah untuk pekerjaan atau tugas tertentu dalam penanganan pascapanen mangga Gedong Gincu. 1. Struktur kerja

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Deskripsi Produk Tuna Steak Beku di PT. Garaha Insan Sejahtera

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Deskripsi Produk Tuna Steak Beku di PT. Garaha Insan Sejahtera BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Produk Tuna Steak Beku PT. Graha Insan Sejahtera ialah salah satu perusahaan perikanan di Muara Baru-Jakarta Utara yang menangani tuna menjadi produk akhir tuna

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN NOMOR 66/KEP-BKIPM/2017 TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN NOMOR 66/KEP-BKIPM/2017 TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN NOMOR 66/KEP-BKIPM/2017 TENTANG SKEMA SERTIFIKASI LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI PENGENDALI HAMA PENYAKIT DAN MUTU IKAN

Lebih terperinci

Sarden dan makerel dalam kemasan kaleng

Sarden dan makerel dalam kemasan kaleng Standar Nasional Indonesia Sarden dan makerel dalam kemasan kaleng ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2016 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

5 KONDISI AKTUAL PENDARATAN DAN PENDISTRIBUSIAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE

5 KONDISI AKTUAL PENDARATAN DAN PENDISTRIBUSIAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE 50 5 KONDISI AKTUAL PENDARATAN DAN PENDISTRIBUSIAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE Pelabuhan Perikanan, termasuk Pangkalan Pendaratan Ikan (PP/PPI) dibangun untuk mengakomodir berbagai kegiatan para

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

I. PENDAHULUAN. Salah satu dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, globalisasi bisnis serta pertumbuhan ekonomi dunia adalah makin meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN PADA PROSES PRODUKSI, PENGOLAHAN DAN DISTRIBUSI

Lebih terperinci

2016, No tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);

2016, No tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073); No.2156, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KP. Hasil Perikanan. Pengendalian Mutu dan Keamanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74/PERMEN-KP/2016

Lebih terperinci

Tuna dalam kemasan kaleng

Tuna dalam kemasan kaleng Standar Nasional Indonesia Tuna dalam kemasan kaleng ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2016 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR HISTAMIN PADA YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacore) ABSTRAK

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR HISTAMIN PADA YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacore) ABSTRAK 1 PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR HISTAMIN PADA YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacore) Replin Amrin Saidi 1, Abdul Hafidz Olii 2, Yuniarti Koniyo 2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang mempunyai potensi dan peranan penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan sektor perikanan dalam pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar yang ada di wilayah Asia Tenggara.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar yang ada di wilayah Asia Tenggara. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor kelautan Indonesia yang cukup signifikan dan Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas yang dikelilingi oleh perairan dan Indonesia

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP MANAJEMEN MUTU TITIS SARI KUSUMA

RUANG LINGKUP MANAJEMEN MUTU TITIS SARI KUSUMA RUANG LINGKUP MANAJEMEN MUTU TITIS SARI KUSUMA 1 TUJUAN PEMBELAJARAN MAHASISWA MEMAHAMI LATAR BELAKANG KONSEP MUTU MAHASISWA MEMAHAMI MASALAH YANG TERJADI DI MASYARAKAT MAHASISWA MEMAHAMI PENGERTIAN MUTU

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Deskripsi Produk cakalang precooked loin beku di PT.GEM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Deskripsi Produk cakalang precooked loin beku di PT.GEM BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Produk Cakalang precooked loin beku adalah produk yang dihasilkan oleh PT..Gabungan Era Mandiri (GEM). Produk diekspor sebagai bahan baku pengalengan karena perusahaan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 Uraian Jumlah (Rp) Total Ekspor (Xt) 1,211,049,484,895,820.00 Total Impor (Mt) 1,006,479,967,445,610.00 Penerimaan

Lebih terperinci