3.3.4 Pengelompokkan Nilai TP Berdasarkan Musim

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3.3.4 Pengelompokkan Nilai TP Berdasarkan Musim"

Transkripsi

1 9 Dimana : VC : Kapasitas vektor m : kepadatan nyamuk hinggap (ekor / orang / jam), a : rata-rata jumlah gigitan nyamuk (perhari), p : nilai harapan hidup nyamuk (perhari), dan n : periode inkubasi ekstrinsik (hari) Pengelompokkan Nilai TP Berdasarkan Musim (JJA) 4 Peralihan 2 (SON) Tabel 1 Pengelompokkan nilai potensi transmisi (TP) musiman No Musim Bulan 1 Hujan (DJF) Desember-Januari- Februari 2 Peralihan 1 Maret-April-Mei (MAM) 3 Kemarau Juni-Juli-Agustus September-Oktober- November Identifikasi Tahun Bawah Normal (BN), Normal (N) dan Atas Normal (AN) Berdasarkan Curah Hujan Identifikasi sifat hujan tahunan dilakukan dengan klasifikasi berdasarkan kriteria BMKG. Klasifikasi tersebut terbagi menjadi tiga kelompok yaitu : tahun bawah normal; normal; dan tahun atas normal (Tabel 2). Tabel 2 Pengelompokan karakteristik curah hujan No Karakteristik Kriteria 1 BN <85% CH rata-rata 30 tahunan 2 N 85%-115% CH ratarata 30 tahunan 3 AN >115% CH rata-rata 30 tahunan memodifikasi Rumus Braak (1929) dengan stasiun acuan yang digunakan adalah Stasiun Meteorologi Ahmad Yani, Semarang yang terletak pada ketinggian 3 meter di atas permukaan laut dengan suhu tahunannya C, sehingga estimasi suhu berdasarkan ketinggiannya menjadi : Tzi = h Dimana Tzi : Suhu berdasarkan estimasi ketinggian ( 0 C) h : ketinggian (m) Melalui software Arc View peta suhu tersebut dirubah menjadi peta TP dengan menggunakan metode VC Mencari Hubungan antara Nilai VC dengan IR dan KP Keeratan hubungan antara nilai kapasitas vektor dengan IR dan KP dianalisis menggunakan uji kolerasi sederhana. BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iklim Jawa Tengah (Jateng) Jawa Tengah merupakan suatu wilayah yang berada di tengah-tengah Pulau Jawa yang dikelilingi oleh 3 provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut pola curah hujan yang ada di Jawa Tengah, Jawa Tengah merupakan wilayah yang curah hujannya mengikuti pola monsoon yang memiliki satu puncak musim hujan yang biasanya terjadi pada bulan Desember atau Januari (Gambar 5). Menurut klasifikasi Köppen Jawa Tengah bertipe iklim Am dengan curah hujan tahunan rata-rata 2000 mm, dan suhu rata-rata o C. Selanjutnya dibuat nilai TP musiman pada tahun BN, N dan AN berdsarakan curah hujan Pemetaan TP Pemetaan dilakukan dengan software Arc View dengan memasukkan nilai TP yang telah dihitung sebelumnya. Pemetaan hanya dilakukan di kecamatan pusat kabupaten/kota Jawa Tengah karena biasanya DBD hanya terjadi di pusat-pusat kota yang berpenduduk padat. Ada beberapa kabupaten/kota suhu nya merupakan estimasi berdasarkan ketinggian. Estimasi suhu tersebut dilakukan dengan Gambar 5 Pola curah hujan (mm) dan suhu ( 0 C) rata-rata Jawa Tengah.

2 10 Data Suhu Pengamatan MHD, CH dan KP Jaktim&Mataram Ada / Tidak? Ada Suhu MHD/KP f(ch) CH dan KP Jateng Tidak n FI HBI MHD Jateng DEM p a Braak 1929 Peta Isotherm a 2 VC Tahun CH BN, N dan AN IR Jateng Korelasi TP TP Musiman TP Musiman perklasifikasi tahun hujan Peta TP Gambar 6 Diagram alir penelitian.

3 Persamaan Pendugaan Man Hour Density (MHD) Berdasarkan Curah Hujan Menurut Aiken et al. (1980), peningkatan atau penurunan vektor DBD disebabkan oleh curah hujan, baik dalam hal jumlah populasi maupun ukuran tempat perindukan nyamuk. Namun curah hujan yang besar akan menyebabkan genangan air yang digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk melimpas sehingga larva atau pupa nyamuk tersebar ke tempat-tempat lain dan tidak sempat menjadi nyamuk dewasa yang bisa berpotensi menularkan penyakit (Hidayati 2008). Pada penelitian ini, didapatkan 3 persamaan antara MHD (Jaktim dan Mataram) dengan curah hujan (Jaktim dan Mataram) yang telah dibuat sebagai dasar untuk menduga MHD wilayah Jawa Tengah. Persamaan 1 dan 2, merupakan persamaan kuadratik dengan 2 periode hujan, sedangkan persamaan 3 merupakan persamaan polynomial dengan 1 periode hujan dan menyertakan faktor pembobot kepadatan nyamuk. Antara persamaan 1 dan 2, data yang digunakan sama. Persamaan 1 menyertakaan intersepsi dalam persamaan regresi, sedangkan persamaan 2 tidak. Namun, karena intersepsi tidak berpengaruh nyata maka untuk proses selanjutnya digunakan persamaan 2, dimana tidak digunakan intersepsi. Persamaan 1 (R 2 = 97.5%) MHD = CH CH CH 2 n-1 Persamaan 2 (R 2 = -) MHD = CH CH CH 2 n-1 Persamaan 3 (R 2 = 84.1%) MHD/KP = (-4x10-8 CH 2 ) + (2x10-5 CH) Pada penelitian ini persamaan yang digunakan untuk menduga MHD di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah berdasarkan data curah hujan masing-masing kabupaten/kota tersebut yaitu persamaan 3. Berdasarkan persamaan 2 dan 3, yang dianggap lebih rasional adalah persamaan 3, karena pada persamaan 3 digunakan faktor pembobot atau faktor koreksi yaitu data kepadatan penduduk (KP). Diasumsikan KP sebanding dengan kepadatan nyamuk. Nyamuk membutuhkan darah manusia untuk perkembangbiakannya, sehingga semakin banyak penduduk maka ketersediaan makan nyamuk akan semakin besar. Oleh sebab itulah kepadatan nyamuk sebanding dengan KP, sehingga persamaan 3 lebih tepat untuk menggambarkan keadaan kepadatan nyamuk di Jawa Tengah. Gambar 7 Hubungan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) / kepadatan penduduk (KP, orang/km 2) dengan curah hujan (CH, mm). Selain adanya faktor koreksi, pada persamaan 3, MHD akan mencapai nilai maksimum pada curah hujan kurang lebih mm dan kemudian akan menurun dengan bertambahnya curah hujan yang disebabkan hubungan antara MHD/KP dengan curah hujan pada persamaan 3 (MHD/KP = ((- 4x10-8 CH 2 ) + (2x10-5 CH) ) mengikuti persamaan polynomial (Gambar 7). Curah hujan akan menimbulkan tersedianya tempat perindukan nyamuk, sehingga meningkatkan kepadatan nyamuk. Namun curah hujan juga akan menghilangkan tempat perindukan nyamuk melalui limpasan permukaan apabila nilainya sangat besar atau hujan yang terjadi sangat deras. 4.3 MHD Jawa Tengah Berdasarkan rata-rata MHD bulanan, Kota Surakarta memiliki nilai MHD tertinggi. Tingginya nilai MHD tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk Kota Surakarta yang paling tinggi dibanding kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dan juga curah hujan dalam jumlah yang cukup (133.3 mm/bulan) untuk menyediakan tempat perindukan nyamuk. Suhu tidak diperhitungkan dalam persamaan MHD, sehingga nilai MHD terkecil terjadi di Kabupaten Batang. Rendahnya nilai MHD di kabupaten tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk dan curah hujan yang relatif rendah. Rata-rata MHD bulanan Jawa Tengah menunjukkan MHD terendah terjadi pada setiap musim JJA pada semua kondisi (Gambar 8). Hal tersebut sesuai dengan rata-

4 12 rata curah hujan dan jumlah hari hujan yang terendah pada musim JJA di semua tahun (Gambar 9 dan 10). Curah hujan rata-rata bulanan pada musim JJA yang digambarkan pada gambar 9, menunjukkan pada waktu tersebut curah hujan paling rendah. Selain itu, jumlah rata-rata bulanan hari hujan di Kabupaten Tegal, Cilacap, Semarang dan Kota Semarang menunjukkan pada musim JJA, hujan jarang terjadi, sehingga hujan yang diterima menguap sebelum memenuhi genangan-genangan atau tempat-tempat yang bisa menjadi tempat perindukan nyamuk. Hal tersebut menyebabkan MHD terendah terjadi pada musim JJA di setiap kondisi. MHD tertinggi, pada semua tahun terjadi pada musim yang berbeda. Pada tahun BN, MHD tertinggi terjadi pada musim DJF, karena pada bulan tersebut curah hujan berada pada kondisi yang optimum yaitu mm/bulan, sehingga dibutuhkan hujan yang sering dan optimum untuk menyediakan tempat perindukan nyamuk (Gambar 9 dan 10) agar MHD maksimum. Berbeda halnya pada tahun N dan AN, MHD tertinggi terjadi pada musim MAM. Pada tahun N dan AN dimana curah hujan diatas rata-rata, hujan yang sering dan dalam jumlah yang besar justru dinilai tidak cocok untuk perkembangbiakan nyamuk, karena pada kondisi tersebut terlalu basah sehingga sedikit tempat perindukan nyamuk akibat curah hujan yang langsung melimpas. Seperti yang terdapat pada Gambar 9 dan 10, maka MHD maksimum pada tahun N dan AN terjadi pada musim MAM dimana hujan dan jumlahnya tidak terlalu besar. Gambar 9 Curah hujan (CH, mm) rata-rata bulanan Jawa Tengah setiap kondisi. Gambar 10 Rata-rata jumlah hari hujan bulanan Kota Tegal, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Semarang pada setiap kondisi. Gambar 8 Man hour density (MHD, ekor/orang/jam) bulanan Jawa Tengah permusim setiap kondisi. Rata-rata MHD pada tahun BN lebih rendah dibanding pada tahun N dan BN. Hal tersebut juga disebabkan oleh curah hujan yang lebih tinggi dan sering pada tahun N dan AN dibanding tahun BN. Pola rata-rata MHD pada setiap kondisi tidak sama seperti pola rata-rata curah hujan dan hari hujan, karena pada perhitungan MHD, bukan hanya curah hujan yang menjadi faktor penentu melainkan ada faktor lain yaitu kepadatan penduduk. 4.4 Kapasitas Vektor (VC) Jawa Tengah Metode VC merupakan sebuah metode yang menggambarkan tingkat penularan DBD suatu wilayah melalui hubungan antara keberadaan virus Dengue, keberadaan Aedes aegypti sebagai vektor DBD, dan keberadaan

5 13 manusia sebagai inang. Suhu memainkan peranan penting dalam metode ini, yaitu mempengaruhi siklus inkubasi virus dan siklus gonotropik vektor. Selain itu curah hujan juga berpengaruh terhadap kepadatan nyamuk vektor dalam hal ketersediaan tempat perindukan. Pembahasan ini membagi Kabupaten/Kota Jawa Tengah menjadi tiga wilayah berdasarkan ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota, yaitu wilayah dataran tinggi (DT), menengah (DM) dan dataran rendah (DR). Kabupaten/ kota yang termasuk ke dalam wilayah DT merupakan kabupaten/kota yang kecamatan pusat kabupaten/kota nya berada pada ketinggian > 500 mdpl. Wilayah DM terdiri dari kabupaten/kota yang kecamatan pusat kabupaten/kota nya berada pada ketinggian mdpl, sedangkan wilayah DR terdiri dari kabupaten/kota yang kecamatan pusat kabupaten/kotanya berada pada ketinggian < 100 mdpl. Tabel 3 Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu ( 0 C), dan kapasitas vektor (VC, per ) wilayah dataran tinggi (DT) Ketinggian Suhu Kab/Kota (mdpl) ( 0 VC C) Wonosobo ,0 182 Temanggung ,1 198 Salatiga (M) ,3 215 Boyolali ,7 362 Rataan > ,8 239 Tabel 4 Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu ( 0 C), dan kapasitas vektor (VC, per ) wilayah dataran menengah (DM) Kab/Kota Ketinggian Suhu (mdpl) ( 0 C) VC Magelang (M) ,0 540 Magelang ,4 298 Semarang ,8 352 Banjarnegara ,9 240 Wonogiri ,5 188 Klaten ,5 539 Karanganyar ,9 308 Sukoharjo ,9 462 Rataan ,1 367 Tabel 5 Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu ( 0 C), dan kapasitas vektor (VC, per ) wilayah dataran rendah (DR) Kab/Kota Ketinggian Suhu (mdpl) ( 0 C) VC Surakarta (M) 96 26, Purbalingga 90 26,8 584 Blora 86 27,1 303 Sragen 85 27,1 401 Pekalongan 50 26,9 460 Banyumas 43 25,8 513 Tegal 41 27,1 434 Purworejo 41 27,1 199 Grobogan 26 27,4 209 Kebumen 21 25,4 374 Kudus 19 27,6 536 Pati 15 27,5 267 Cilacap 10 26,9 404 Demak 8 27,5 467 Pekalongan (M) 8 27, Rembang 8 27,2 161 Kendal 8 27,6 437 Pemalang 7 27,5 620 Brebes 6 27,1 459 Jepara 3 27,7 552 Semarang (M) 3 27, Batang 2 27,6 74 Tegal (M) 2 27, Rataan <100 27,1 926 Wilayah DT terdiri dari 4 kabupaten/kota. Rata-rata bulanan VC tertinggi dari ke-4 kabupaten/kota tersebut terjadi di Kabupaten Boyolali (Tabel 3). Hal tersebut disebabkan oleh ketinggian Kabupaten Boyolali yang paling rendah dibandingkan ke-3 kabupaten/kota lainnya, sehingga suhunya merupakan yang tertinggi. Suhu akan mempengaruhi siklus gonotropik nyamuk, siklus inkubasi ekstrinsik virus Dengue di dalam tubuh nyamuk dan peluang hidup nyamuk. Semakin besar suhu, siklus tersebut akan semakin cepat, sehingga akan meningkatkan kapasitas vektor menularkan DBD. Wilayah DM terdiri dari 8 kabupaten/kota. Rata-rata bulanan VC tertinggi terjadi di Kota

6 14 Magelang (Tabel 4). Hal tersebut dikarenakan kepadatan penduduk yang tinggi di kota tersebut, sehingga meskipun ketinggian kota tersebut bukan yang terendah diantara ke-7 kabupaten lainnya, nilai VC Kota Magelang mencapai yang tertinggi. Wilayah DR terdiri dari 23 kabupaten/kota. Rata-rata nilai VC tertinggi yaitu terjadi di Kota Surakarta (Tabel 5). Berdasarkan kepadatan penduduknya, Kota Surakarta merupakan kota paling padat penduduknya di Jawa Tengah, sehingga kepadatan nyamuk pun tinggi. Hal tersebut menyebabkan kapasitas vektor menularkan DBD tinggi. Rata-rata bulanan VC wilayah DT menunjukkan VC tertinggi terjadi pada Bulan Mei dengan 0,00208 atau 208/ , VC terendah terjadi pada bulan Juli (Gambar 11). Setelah itu VC mulai meningkat pada bulan Agustus hingga Desember, karena pada waktu tersebut curah hujan sudah mulai meningkat. suhu menurun dengan bertambahnya ketinggian. Sesuai dengan Tabel 6, rata-rata VC wilayah dataran rendah lebih besar dibanding dataran menegah dan dataran tinggi. Suhu, curah hujan dan ketinggian tempat dari ketiga wilayah menunjukkan nilai yang lebih besar pada dataran rendah, menengah kemudian dataran tinggi. Suhu memainkan peranan penting dalam siklus gonotropik dan inkubasi ekstirnsik, sehingga pada dataran rendah siklus gonotropik dan inkubasi ekstrinsik terjadi lebih cepat yang,menyebabkan VC lebih besar. Sama halnya dengan curah hujan, curah hujan yang besar namun tidak lebih besar dari mm, akan meningkatkan kepadatan nyamuk, sehingga pada dataran rendah, VC lebih besar. Gambar 12 Rata-rata kapasitas vektor (VC, per ) bulanan wilayah dataran menengah (DM). Gambar 11 Rata-rata kapasitas vektor (VC, per ) bulanan wilayah dataran tinggi (DT). Rata-rata bulanan VC di wilayah DM, menunjukkan rata-rata bulanan VC tertinggi terjadi pada bulan April dan terendah pada Agustus (Gambar 12). Pada wilayah DR, VC tertinggi terjadi pada bulan April dan terendah pada bulan Juli (Gambar 13). Rata-rata bulanan VC dari ketiga wilayah menunjukkan bahwa VC akan meningkat dengan memasuki musim hujan (Desember-Mei) dan akan menurun dengan memasuki musim kemarau (Juni-Agustus). Hal tersebut berkaitan dengan penerimaan curah hujan yang mendukung ketersediaan tempat perindukan nyamuk. Rata-rata VC dari wilayah DT, DM, dan DR menunjukkan bahwa semakin rendah dataran maka VC akan semakin tinggi, karena Gambar 13 Rata-rata kapasitas vektor ( VC, per ) bulanan wilayah dataran rendah (DR).

7 15 Tabel 6 Ketinggian (mdpl), rata-rata bulanan suhu ( 0 C), dan kapasitas vektor (VC, per ) tiap wilayah Dataran Rendah Menengah Tinggi Ketinggian (mdpl) < >500 Suhu 27,1 26,1 24,8 VC Persamaan vektorial capacity atau kapasitas vector (VC) pada penelitian ini menekankan hanya pada pengaruh suhu, curah hujan, dan kepadatan penduduk. Pengaruh suhu dan curah hujan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu pada siklus gonotropik, inkubasi ekstrinsik dan kepadatan nyamuk. Kepadatan penduduk juga menentukan kepadatan nyamuk, karena asumsi kepadatan nyamuk sebanding dengan kepadatan penduduk. Kapasitas vektor menularkan DBD paling tinggi diantara 35 kabupaten/kota terjadi di Kota Surakarta (Tabel 7). Apabila dilihat dari suhu dan curah hujan, suhu dan curah hujan di kota tersebut bukan yang paling tinggi, namun karena kepadatan penduduk dikota tersebut yang terpadat, maka mempengaruhi kepadatan nyamuk yang menyebabkan VC maksimum di kota tersebut. Rata-rata VC Jawa Tengah musiman tahunan menunjukkan VC terendah terjadi pada musim JJA pada semua kondisi (Gambar 14). Pada tahun BN, TP tertinggi terjadi pada musim DJF, pada tahun N dan AN, VC tertinggi terjadi pada musim MAM. Hal tersebut sama dengan pola MHD. Rata-rata suhu pada musim DJF akan menurun dengan bertambahnya curah hujan (suhu pada musim DJF BN lebih tinggi daripada musim DJF N dan DJF AN) (Tabel 8). Hal tersebut disebabkan pada saat terjadi hujan, biasanya suhu akan lebih rendah karena keadaan atmosfer yang jenuh. Curah hujan BN lebih rendah dari pada curah hujan N dan AN yang salah satunya disebabkan oleh jumlah hari hujan yang lebih banyak pada curah hujan N dan AN, sehingga atmosfer selalu berada pada keadaan jenuh yang menyebabkan suhu lebih rendah pada musim DJF tahun AN. Pola rata-rata suhu pada musim ini berbanding terbalik pada musim JJA. Musim MAM merupakan musim peralihan, biasanya pada musim ini hujan terjadi tidak lebih sering dibandingkan pada musim DJF. Hal tersebut menyebabkan suhu pada curah hujan BN lebih tinggi dibanding pada curah hujan N dan AN. Pola ini berbanding terbalik dengan musim SON. Tabel 7 10 kabupaten/kota dengan rata-rata kapasitas vektor ( VC, per ) tertinggi beserta suhu 1 ( 0 C) dan curah hujan (mm) No Kab/Kota CH Suhu VC 1 Surakarta (M) , Pekalongan (M) , Tegal (M) , Semarang (M) , Pemalang , Purbalingga , Jepara , Klaten , Magelang (M) Kudus ,6 536 Gambar 14 Rata-rata kapasitas vektor ( VC, per ) bulanan Jawa Tengah permusim setiap kondisi. Tabel 8 Rata-rata suhu ( 0 C) Jawa Tengah permusim setiap kondisi Tahun DJF MAM JJA SON BN 26,4 26,8 26,2 26,8 N 26,5 26,6 26,4 26,8 AN 26,2 26,7 26,5 26,8 1 Rata-rata untuk seluruh kabupaten/kota pada setiap wilayah dengan kecamatan tempat ibukota kabupaten/kota yang berada pada ketinggian yang terendah.

8 Pengamatan Suhu Tabel 9 Rata-rata bulanan suhu ( 0 C) dan potensi transmisi (TP, per ) Kabupaten/Kota Jawa Tengah No Kabupaten/Kota Suhu ( 0 C) TP 1 Jepara 27, Semarang (M) 27, Kudus 27, Kendal 27, Batang 27, Pekalongan (M) 27, Pemalang 27, Demak 27, Pati 27, Grobogan 27, Tegal (M) 27, Rembang 27, Brebes 27, Tegal 27, Sragen 27, Blora 27, Purworejo 27, Sukoharjo 26, Pekalongan 26, Cilacap 26, Karanganyar 26, Purbalingga 26, Surakarta (M) 26, Boyolali 26, Klaten 26, Wonogiri 26, Banjarnegara 25, Banyumas 25, Semarang 25, Kebumen 25, Magelang 25, Salatiga (M) 25, Magelang (M) 25, Temanggung 24, Wonosobo 23,0 182 Rataan 26,6 720 Rata-rata kapasitas vektor (VC) menularkan penyakit DBD terendah terjadi di Kabupaten Batang, sedangkan nilai suhu di Kabupaten tersebut tidak rendah dibandingkan kabupaten/kota lain (Tabel 9). Rendahnya VC disebabkan oleh nilai rata-rata MHD Batang merupakan yang paling rendah diantara kabupaten/kota lainnya. Nilai VC terendah berikutnya terjadi di Kabupaten Wonosobo dimana suhu udara rata-ratanya merupakan yang terendah. Nilai rata-rata VC (per ) tertinggi terjadi di Kota Surakarta, yaitu sebesar Angka tersebut berarti dari kali nyamuk menggigit manusia, maka sekitar 4378 gigitan yang akan menularkan virus Dengue, namun nilai suhu di Kota Surakarta tidak yang tertinggi ( C). Tingginya VC disebabkan karena penentuan VC ini memperhitungkan kepadatan penduduk, maka Kota Surakarta yang penduduknya sangat padat memiliki potensi penularan yang tertinggi. Kabupaten Jepara memiliki suhu yang paling tinggi, namun VC di kabupaten tersebut tidak setinggi di Kota Surakarta, karena walau memiliki suhu yang tinggi, kabupaten tersebut tidak memiliki MHD yang tinggi. Nilai VC di kabupaten tersebut menunjukkan bahwa dari kali nyamuk menggigit manusia, hanya sekitar 522 gigitan yang akan menularkan virus Dengue. 4.6 Potensi Transmisi (TP) Sebagai Gambaran Kapasitas Vektor (VC) Transmission potensial (TP) atau potensi transmisi merupakan tinggi rendahnya penularan penyakit dalam kajian kapasitas vektor, sehingga TP digambarkan dari nilai VC. Nilai kapasitas vektor (VC) yang tinggi menunjukkan potensi transmisi (TP) yang tinggi, karena diasumsikan faktor koreksi sama dengan 1, sehingga nilai VC sama dengan TP. Berdasarkan hal tersebut, maka potensi penularan yang tinggi terjadi apabila kapasitas vektor menularkan DBD tinggi, sehingga pada wilayah-wilayah yang memiliki kapasitas vektor tinggi potensi transmisinya pun tinggi. Potensi penularan yang tinggi di suatu wilayah dikarenakan kapasitas vektor menularkan penyakit tinggi di wilayah tersebut. Potensi penulan tersebut merupakan potensi penularan penyakit DBD yang dipengaruhi oleh vektor dan faktor iklim. Apabila disuatu wilayah berdasarkan iklim berpotensi tinggi tertular penyakit, maka untuk menurunkan kejadian DBD upaya yang

9 17 perlu dilakukan yaitu memberantas vektor sehingga walaupun berdasarkan iklim potensi penularan tinggi, namun karena tidak ada vektor, maka kejadian DBD dapat berkurang. Upaya pemberantasan vektor tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki sanitasi di wilayah tersebut. Sanitasi yang baik sangat mempengaruhi kepadatan nyamuk. Apabila sanitasi baik maka tempat perindukan nyamuk akan berkurang yang menyebabkan kepadatan nyamuk berkurang. Selain sanitasi, pemberantasan vektor dapat dilakukan dengan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pemberian bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk, dll yang dilakukan secara rutin. Suatu wilayah yang memiliki potensi penularan DBD rendah berdasarkan iklim rendah, namun memiliki angka kejadian DBD tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada wilayah tersebut sanitasi sangat buruk, banyak masyarakat yang membuat penampungan air yang dijadikan tempat perindukan nyamuk, sehingga kepadatan nyamuk tetap tinggi walaupun curah hujan rendah. Selain sistem sanitasi, dapat juga disebabkan oleh belum diadakannya upaya-upaya pemberantasan vektor. 4.7 Peta Sebaran TP DBD Suhu memainkan peranan penting dalam kajian potensi transmisi DBD di suatu wilayah. Seperti yang kita ketahui, perbedaan ketinggian akan menyebabkan pula adanya perubahan suhu, sehingga potensi penularan penyakit ini pun dapat berubah berdasarkan ketinggian. Selain itu DBD biasa terjadi di pusat-pusat kota seperti pusat-pusat kecamatan masing-masing kabupaten/kota. Antara suatu kecamatan pusat kabupaten/kota bisa berbeda ketinggian, maka akan sangat mungkin antara satu kecamatan pusat kabupaten/kota dengan kecamatan yang lain memiliki potensi penularan DBD yang berbeda-beda. Tabel 10 Pembagian kelas berdasarkan nilai potensi transmisi ( TP, per ) Kelas TP Rendah < 100 Sedang Tinggi >1000 Pembagaian kelas TP tersebut dilakukan berdasarkan peluang kejadian secara stastistika melalui sebaran yang dinilai paling sesuai. Belum ditemukannya pustaka mengenai klasifikasi penularan DBD, menyebabkan pembagian kelas di atas didasari oleh tingkat peluang 25% dan 75% melalui sebaran yang paling baik. Tabel 11 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data potensi transmisi (TP) bulanan P- Bentuk Sebaran N AD Value Gamma 95% CI Lognormal 95 % CI Normal 95% CI Weilbull 95% CI 3 parameter Lognormal 95% CI 3 Parameter Gamma 95% CI 3- Parameter Weilbull 95% CI Percent 99, ,01 1,0000E-09 1,0000E-08 1,0000E-07 1,0000E-06 1,0000E-05 1,0000E-04 TP - Threshold ,31 <0, ,79 <0, ,10 <0, ,99 <0, ,06 * ,88 * ,65 <0,005 Probability Plot of TP 3-Parameter Weibull - 95% CI 0,001 1,0000E-03 0,010 1,0000E-02 1,0000E-01 1,0000E Shape 0,6437 Scale 0, Thresh 0, N 3578 A D 32,648 P-Value <0,005 Gambar 15 Plot peluang potensi transmisi (TP) menggunakan sebaran 3- parameter Weilbull. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa bentuk sebaran yang paling sesuai adalah sebaran weilbull 3-parameter, karena pada sebaran tersebut nilai AD merupakan terkecil dibandingkan sebaran-sebaran lainnya, yaitu sebesar Hal tersebut menyebabkan penentuan kelas TP berdasarkan tingkat peluang dilakukan berdasarkan sebaran

10 18 weilbull 3-parameter. Nilai TP pada tingkat peluang 25% dan 75% masing masing adalah sebesar dan Kelas rendah berada pada TP < 25%, sedang berada pada TP 25%- 75%, dan kelas tinggi berada pada TP > 75%, karena TP dalam TP/ , maka nilai klasifikasi penularan DBD seperti yang tercantum pada Tabel 10. Menurut Aiken et al. (1980), peningkatan atau penurunan vektor DBD disebabkan oleh curah hujan, baik dalam hal jumlah populasi maupun ukuran tempat perindukan nyamuk, sehingga dalam penelitian ini, dihasilkan sebaran potensi penularan DBD berdasarkan musim dan tahun. Potensi sebaran penularan penyakit DBD perkasusnya, masing-masing digambarkan dalam Gambar Berdasarkan potensi penularannya, kelas Tinggi merupakan kelas yang berpotensi paling tinggi untuk menularkan penyakit DBD. Hasil penghitungan semua kasus nilai TP berdasarkan estimasi suhu menurut ketinggian menunjukkan kota-kota besar seperti Kota Tegal, Semarang, Pekalongan dan Surakarta hampir pada setiap kondisi masuk ke dalam kelas tinggi, sedangkan Kabupaten Batang hampir pada setiap kondisi masuk ke dalam kelas rendah. Hal tersebut disebabkan rata-rata curah hujan dan kepadatan penduduk Kabupaten Batang rendah, sehingga walau pun suhu di Kabupaten Batang tinggi namun karena curah hujan dan kepadatan penduduk rendah, maka TP nya pun rendah. Pada musim DJF tahun BN hanya kota Tegal, Pekalongan, Semarang, Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo yang masuk ke dalam klasifikasi kelas tinggi. Selain kota/kabupaten tersebut masuk ke dalam klasifikasi sedang. Hal tersebut juga terjadi pada musim DJF tahun N. Berbeda dengan musim DFN tahun AN, pada musim ini terdapat kabupaten yang masuk ke dalam klasifikasi rendah, yaitu Kabupaten Wonosobo yang terletak didataran tinggi. Letak kecamatan pusat kabupaten/kota diatas berada di dataran tinggi sehingga suhu rendah. Suhu yang rendah akan mempengaruhi siklus gonotropik dan siklus inkubasi ekstrinsik. Siklus gonotropik nyamuk akan menjadi lambat pada suhu rendah, sehingga penularan ringan. Pola yang hampir sama terjadi pada musim MAM, sedangkan pada musim JJA tahun BN dimana curah hujan relatif rendah menyebabkan hampir semua kabupaten/kota masuk ke dalam klasifikasi rendah kecuali kota-kota besar dan kota/kabupaten yang terletak di dataran rendah. Suhu yang tinggi di dataran rendah akan mempercepat siklus inkubasi ekstrinsik dan gonotropik, sehingga akan mempercepat nyamuk tersebut menjadi infektif. Rata-rata siklus inkubasi ektrinsik di daratan tinggi terjadi selama hari, sedangkan umur hidup nyamuk kira-kira 23 hari, karena itulah maka dataran tinggi kurang potensial untuk menularkan penyakit DBD. Pada musim JJA tahun N dan AN, tidak semua kebupaten/kota masuk ke dalam klasifikasi rendah. Ada beberapa kota yang masuk ke dalam klasifikasi tinggi yang pada umumnya merupakan kabupaten/kota berpenduduk padat seperti Kota Semarang, Kota Surakarta, dan Kota Tegal. Kabupaten/kota berpenduduk pada seperti Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Tegal dan Kota Pekalongan pada musim SON semua tahun masuk ke dalam klasifikasi kelas tinggi tertular penyakit DBD. Kabupaten/kota seperti Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Klaten, Kabuaten Purworejo, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Batang pada musim SON masuk ke dalam klasifikasi kelas rendah. Hal tersebut disebabkan curah hujan pada waktu tersebut di masing-masing wilayah rendah, sehingga MHD rendah. Curah hujan mengalami peningkatan pada tahun N dan AN, sehingga hanya Kabupaten Batang (tahun N dan AN) dan Kabupaten Wonosobo (tahun AN) yang masuk ke dalam klasifikasi rendah. Pola sebaran TP pada hampir semua kasus menunjukkan, rata-rata TP tertinggi terjadi di dataran rendah dan berpenduduk padat, walau terjadi beberapa pengecualian seperti pada Kabupaten Batang dan Rembang. 4.8 Hubungan IR dengan VC dan KP IR merupakan jumlah penduduk terkena DBD per penduduk. Dalam penelitian ini, terjadi hubungan positif kapasitas penularan (VC) dengan jumlah IR walaupun dengan nilai korelasi yang rendah. Nilai korelasi antara VC dengan IR hanya sebesar 5.7 %, meskipun berdasarkan hasil analysis of variance (ANOVA), hubungan antara IR dengan VC nyata (p-value = 0). Rendahnya nilai korelasi tersebut terjadi karena faktor yang diperhitungkan pada persamaan VC hanya faktor curah hujan, suhu dan kepadatan penduduk. Faktor-faktor lain seperti tingkat immunity penduduk, intervensi upaya pemberantasan vektor dari masing-masing kabupaten (upaya pemberantasan parasit) dan lainnya tidak diperhitungkan dalam persamaan VC.

11 19 Gambar 16 Sebaran potensi transmisi (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Desember Januari- Februari (DJF) tahun bawah normal (BN). Gambar 17 Sebaran potensi transmisi (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Desember-Januari-Februari tahun normal (N).

12 20 Gambar 18 Sebaran potensi transmisi (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Desember-Januari-Februari tahun atas normal (AN). Gambar 19 Sebaran potensi penularan (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Maret-April-Mei (MAM) tahun bawah normal (BN).

13 21 Gambar 20 Sebaran potensi transmisi (TP) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun normal (N). Gambar 21 Sebaran potensi transmisi (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Maret-April-Mei (MAM) tahun atas normal (AN).

14 22 Gambar 22 Sebaran potensi transmisi (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Juni-Juli-Agustus tahun bawah normal (BN). Gambar 23 Sebaran potensi transmisi (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Juni-Juli-Agustus tahun normal (N).

15 23 Gambar 24 Sebaran potensi transmisi (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Juni-Juli-Agustus tahun bawah atas normal (AN). Gambar 25 Sebaran potensi transmisi (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim September-Oktober-November (SON) tahun bawah normal (BN).

16 24 Gambar 26 Sebaran potensi transmisi (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim September-Oktober-November (SON) tahun normal (N). Gambar 27 Sebaran potensi transmisi (TP, per ) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim September-Oktober-November (SON) tahun atas normal (AN).

17 25 IR (per ) Scatterplot of IR vs VC VC (per ) Gambar 28 Diagram pencar antara kapasitas vektor (VC, per ) dengan incidence rate (IR, per ). Gambar 29 Hubungan antara kapasitas vektor (VC, per ) dengan kepadatan penduduk (KP, orang/km 2 ). Hubungan positif terjadi antara VC dengan KP, semakin besar kepadatan pendududuk maka akan meningkatkan VC (Gambar 29). Hal tersebut berkaitan dengan resiko penularan DBD yang tinggi dengan meningkatnya kepadatan penduduk, karena kita ketahui bahwa penyakit DBD merupakan penyakit yang menular. Nyamuk Aedes sp. apabila menggigit orang yang dalam darahnya terinfeksi virus Dengue maka sepanjang umur hidup nyamuk tersebut, nyamuk itu akan selalu menjadi infektif, sehingga besar kemungkinan semakin padat penduduk, semakin banyak penduduk yang digigit oleh nyamuk tersebut. Selain itu, kepadatan penduduk akan berpengaruh kepada kelayakan mendapatkan lingkungan bersih, sebab nyamuk Aedes sp. sangat nyaman berada pada lingkungan yang tidak bersih. Ada daerah-daerah yang secara iklim berpotensi sedang untuk terjadinya DBD seperti Kabupaten Tegal, Kabupaten Kudus dan Kabupaten Rembang, namun mempunyai angka kejadian DBD (IR) yang tinggi, hal itu mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti sanitasi dan drainase yang kurang baik, kebiasaan menampung air, kebiasaan hidup tidak sehat dan kurangnya kebijakankebijakan yang diterapkan pemerintah setempat untuk menekan angka kejadian DBD. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. MHD DBD tertinggi pada tahun BN terjadi pada musim DJF. Pada tahun N dan AN MHD tertinggi terjadi pada musim MAM, sedangkan MHD terendah terjadi pada musim JJA di semua tahun. 2. Potensi transmisi (TP) DBD yang ditunjukkan oleh kapasitas vektor, tertinggi pada tahun BN terjadi pada musim DJF. Pada tahun N dan AN potensi penularan tertinggi terjadi pada musim MAM, sedangkan potensi penularan DBD terendah terjadi pada musim JJA. 3. Berdasarkan pengamatan suhu, curah hujan dan kepadatan penduduk, TP yang ditunjukkan oleh VC tertinggi terjadi di Kota Surakarta, sedangkan terendah terjadi di Kabupaten Batang. 4. Berdasarkan hasil pemetaan, pada hampir semua kondisi, Kota Tegal, Semarang, Pekalongan dan Surakarta yang merupakan kota padat penduduk berpotensi tinggi tertular penyakit DBD. Pada hampir semua kondisi, kabupaten/kota yang terletak di dataran rendah berpotensi lebih tinggi tertular penyakit DBD dibandingkan yang di dataran tinggi. Potensi penularan DBD terendah terjadi pada musim JJA tahun BN hampir di semua kabupaten/kota. 5. Terjadi hubungan korelasi positif yang nyata antara IR dengan VC dengan nilai korelasi 5.6%. 5.2 Saran Dari penelitian ini didapatkan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu :

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH OUT LINE 1. CAPAIAN PRODUKSI 2. SASARAN LUAS TANAM DAN LUAS PANEN 3. CAPAIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH Kondisi umum Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari aspek pemerintahan, wilayah, kependudukan dan ketenagakerjaan antara lain sebagai berikut : A. Administrasi Pemerintah,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 728 112 20 1,955 2,178 2,627 1,802 9,422 57,379 16.42 2 Purbalingga 70 50 11 471

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 71 A TAHUN 201356 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH TAHUN

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan Provinsi yang termasuk ke dalam Provinsi yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015 KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 56 TAHUN 201256 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM 4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM 4.1. PENDAHULUAN 4.1.1. Latar Belakang DBD termasuk salah satu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus sebagai patogen dan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016 NO KAB./KOTA L P JUMLAH 1 KABUPATEN REMBANG 820 530 1.350 2 KOTA MAGELANG 238 292 530 3 KABUPATEN WONOGIRI 2.861

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

PENEMPATAN TENAGA KERJA

PENEMPATAN TENAGA KERJA PENEMPATAN TENAGA KERJA A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2015 NO. KAB./KOTA 2015 *) L P JUMLAH 1 KABUPATEN SEMARANG 3,999 8,817 12816 2 KABUPATEN REMBANG 1,098 803 1901 3 KOTA.

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab analisis dan pembahasan ini akan jelaskan tentang pola persebaran jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kemudian dilanjutkan dengan pemodelan

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

6. KEBUTUHAN SATUAN PANAS UNTUK FASE PERKEMBANGAN PADA NYAMUK Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) DAN PERIODE INKUBASI EKSTRINSIK VIRUS DENGUE

6. KEBUTUHAN SATUAN PANAS UNTUK FASE PERKEMBANGAN PADA NYAMUK Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) DAN PERIODE INKUBASI EKSTRINSIK VIRUS DENGUE 6. KEBUTUHAN SATUAN PANAS UNTUK FASE PERKEMBANGAN PADA NYAMUK Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) DAN PERIODE INKUBASI EKSTRINSIK VIRUS DENGUE 6.1. PENDAHULUAN Sebelum menularkan virus Dengue, nyamuk Aedes

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu hal yang penting bagi suatu negara. Dengan adanya pariwisata, suatu negara atau lebih khusus lagi pemerintah daerah tempat

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah, No.26/04/33/Th.XI, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap 15.24 6.68 22.78 1676090 2 Kab. Banyumas 18.44 5.45 21.18 1605580 3 Kab. Purbalingga 20.53 5.63 21.56 879880 4 Kab. Banjarnegara

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 9 Februari 2016 Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini disajikan deskripsi data, k-means clustering, uji stasioneritas data masing-masing cluster, orde model VAR, model VAR-GSTAR dengan pembobot normalisasi korelasi

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.1/3307/BRS/11/2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 Pembangunan manusia di Wonosobo pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG. Bab 1 Pendahuluan 1-1

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG. Bab 1 Pendahuluan 1-1 Bab 1 Pendahuluan 1-1 1.1 TINJAUAN UMUM 1 BAB I PENDAHULUAN Sumber Daya Air merupakan salah satu unsur utama untuk kelangsungan hidup manusia, disamping itu air juga mempunyai arti penting dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Komoditi TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Produksi Penyediaan Kebutuhan Konsumsi per kapita Faktor Konversi +/- (ton) (ton) (ton) (ton) (kg/kap/th) (100-angka susut)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH No Program Anggaran Sub Sasaran Lokasi 1. Program Rp. 1.000.000.000 Pelayanan dan Sosial Kesejahteraan Sosial Penyandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017 REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL 13-17 JULI 2017 NO SIMBOL JENIS STAND NOMOR STAND INSTANSI 1 1 Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah 2 2 Dinas Ketahanan Pangan Provinsi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI TRANSMISI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUHU DI JAWA TENGAH WILLY WULANSARI

KAJIAN POTENSI TRANSMISI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUHU DI JAWA TENGAH WILLY WULANSARI KAJIAN POTENSI TRANSMISI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUHU DI JAWA TENGAH WILLY WULANSARI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 32 Bab 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Implementasi Model dan Hasil Perhitungan Implementasi program merupakan langkah merealisasikan perancangan menjadi sistem yang nyata dan dapat digunakan. Sistem dibangun

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksplanasi, karena dalam penelitian ini menggunakan dua variabel. Metode eksplanasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu penyakitnya yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) yang masih menjadi

Lebih terperinci

2. Awal Musim kemarau Bilamana jumlah curah hujan selama satu dasarian (10 hari) kurang dari 50 milimeter serta diikuti oleh dasarian berikutnya.

2. Awal Musim kemarau Bilamana jumlah curah hujan selama satu dasarian (10 hari) kurang dari 50 milimeter serta diikuti oleh dasarian berikutnya. I. PENGERTIAN A. DEFINISI AWAL MUSIM 1. Awal Musim hujan Bilamana jumlah curah hujan selama satu dasarian (10 hari) sama atau lebih dari 50 milimeter serta diikuti oleh dasarian berikutnya. 2. Awal Musim

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

RAPAT TEKNIS PERENCANAAN PROGRAM, KEGIATAN DAN ANGGARAN APBN TA Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, Oktober 2015

RAPAT TEKNIS PERENCANAAN PROGRAM, KEGIATAN DAN ANGGARAN APBN TA Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, Oktober 2015 RAPAT TEKNIS PERENCANAAN PROGRAM, KEGIATAN DAN ANGGARAN APBN TA 2016 Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 29-30 Oktober 2015 1 1. 2 REALISASI ANGGARAN APBN TA 2015 SATKER PAGU ANGGARAN

Lebih terperinci

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH 1. Perkembangan Jumlah BPR Merger Sejak paket kebijakan bidang perbankan digulirkan pada bulan Oktober 1988 atau yang dikenal dengan Pakto 88, jumlah

Lebih terperinci

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961 IR. SUGIONO, MP Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961 1 BBPTU HPT BATURRADEN Berdasarkan Permentan No: 55/Permentan/OT.140/5/2013 Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Tahun

1. PENDAHULUAN Tahun IR per 100000 pddk Kab/Kota Terjangkit 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit deman berdarah (DBD) berkembang menjadi masalah kesehatan yang serius di dunia, terutama di Indonesia. Di Indonesia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit akibat virus yang ditularkan oleh vektor nyamuk dan menyebar dengan cepat. Data menunjukkan peningkatan 30 kali lipat dalam

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR : 561.4/69/2010 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun 2000-an kondisi agribisnis tembakau di dunia cenderung

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH,

GUBERNUR JAWA TENGAH, GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 wsm 2^17 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beras merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan fungsi beras sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk. Pentingnya keberadaan beras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal LP2KD Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Kendal TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL TAHUN 2012 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Provinsi Jawa Tengah Sensus Ekonomi 2016 No. 37/05/33 Th. XI, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Hasil Pendaftaran

Lebih terperinci

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun 1.1. UMUM 1.1.1. DASAR Balai Pemantapan Kawasan Hutan adalah Unit Pelaksana Teknis Badan Planologi Kehutanan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002, Tanggal 10

Lebih terperinci

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG GUBERNURJAWATENGAH PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG PERKIRAANALOKASIDANABAGI HASILCUKAIHASILTEMBAKAU BAGIANPEMERINTAHPROVINSIJAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATENjKOTADI JAWATENGAHTAHUNANGGARAN2016

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Keadaan Geografis a. Letak Geografis Provinsi Jawa Tengah secara geografis terletak antara 5 o 4 dan 8 o 3 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 GUBERNUR JAWA TENGAH, Membaca : Surat Kepala Dinas Tenaga

Lebih terperinci

FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH

FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH 1 Diah Safitri, 2 Rita Rahmawati, 3 Onny Kartika Hitasari 1,2,3 Departemen Statistika FSM Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

SINKRONISASI OPERASIONAL KEGIATAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH TA. 2017

SINKRONISASI OPERASIONAL KEGIATAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH TA. 2017 PAPARAN SEKRETARIS DINAS KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH SINKRONISASI OPERASIONAL KEGIATAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH TA. 2017 Ungaran, 19 Januari 2017 Struktur Organisasi

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA JAW A TENGAH 1996-2011 ISSN : 0854-6932 No. Publikasi : 33531.1204 Katalog BPS : 5203007.33 Ukuran Buku : 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman : 245 halaman Naskah : Bidang Statistik

Lebih terperinci

Model Potensi Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Jember Menggunakan Metode Fuzzy

Model Potensi Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Jember Menggunakan Metode Fuzzy Model Potensi Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Jember Menggunakan Metode Fuzzy Dia Bitari Mei Yuana Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Negeri Jember, Jl. Mastrip PO Box 164, Jember,

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : ; e-issn :

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : ; e-issn : Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : 2550-0384; e-issn : 2550-0392 PENGELOMPOKAN PERSENTASE PENDUDUK BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS MENURUT KABUPATEN/KOTA DAN PENDIDIKAN TERTINGGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO), juta orang di seluruh dunia terinfeksi

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO), juta orang di seluruh dunia terinfeksi 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang angka kejadiannya masih tinggi di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Pada tahun 2011, menurut World Health Organization

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TARUN 2116 PERUBAHANPERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 63 TAHUN2015 KEBUTUHAN DAN HARGAECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIANDI

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAN ASET DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Definisi kekeringan dalam Permasalahan Kekeringan dan Cara. lebih panjang akan mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air

BAB I PENDAHULUAN. Definisi kekeringan dalam Permasalahan Kekeringan dan Cara. lebih panjang akan mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Definisi kekeringan dalam Permasalahan Kekeringan dan Cara Mengatasinya (2003) adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi normal bila terjadi

Lebih terperinci

IR n = 0, ,157*CH3 n-2 0,052*CH3 n-4 + 0,066*CH3 n-5 + 0,826*TR2 n-2-0,387*tx2 n-2 0,492* n-2.

IR n = 0, ,157*CH3 n-2 0,052*CH3 n-4 + 0,066*CH3 n-5 + 0,826*TR2 n-2-0,387*tx2 n-2 0,492* n-2. 9. PEMBAHASAN UMUM Iklim merupakan komponen lingkungan yang berfluktuasi besar baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Pengamatan, pencatatan dan pengarsipan hasil pencatatan, serta prediksi unsur-unsurnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi dan seiring dengan perkembangan zaman banyak dilakukan suatu pembaharuan dalam segala hal. Salah satunya adalah di bidang pendidikan, cara

Lebih terperinci

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH TARGET INDIKATOR LKPD YANG OPINI WTP Dalam Perpres No 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019 telah ditetapkan prioritas nasional pencapaian

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan family Flaviviridae. DBD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana banjir yang terjadi di beberapa wilayah Brebes dirasakan semakin meningkat. Salah satu penyebab terjadinya banjir adalah karena tidak lancarnya aliran

Lebih terperinci

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) LAMPIRAN LAMPIRAN A 1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) NO. KOTA/KABUPATEN PAD DAU DAK BELANJA MODAL PDRB 1 Kab. Banjarnegara 71.107 562.288 65.367

Lebih terperinci