INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANYUWANGI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANYUWANGI"

Transkripsi

1 INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANYUWANGI Kerjasama BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI Dengan FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014

2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR TABEL... iii BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Maksud dan Tujuan Manfaat Penyusunan Ruang Lingkup Sistematika Penulisan... 8 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Perananan Investasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Peranan Investasi Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah Konsep dan Pengertian Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Pengertian Kapital dan Investasi Konsep Output Pembentukan Modal Tetap Bruto BAB III. METODOLOGI Data dan Sumber Data... 27

3 3.2. Metode Estimasi Investasi Metode Penghitungan ICOR BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Perekonomian Daerah Hasil Perhitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) ICOR Menurut lag (ICOR lag-0, ICOR lag-1, ICOR lag-2) BAB V. KESIMPULAN... 54

4 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dan Nasional Tahun Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi Tahun Gambar 4.2 Pertumbuhan ICOR Kabupaten Banyuwangi Tahun DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Periode (Juta Rupiah) Tabel 4.2 Pembentukan Investasi Kabupaten Banyuwangi Tahun Tabel 4.3 Komponen Pembentuk ICOR Kabupaten Banyuwangi Periode Tabel 4.4 ICOR Kabupaten Banyuwangi (Lag-0) Tabel 4.5 ICOR Kabupaten Banyuwangi (Lag-1) Tabel 4.6 ICOR Kabupaten Banyuwangi (Lag-2) Tabel 4.7 Tambahan PDRB Setiap Tahun, Tahun (Juta Rupiah)... 47

5 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam teori ekonomi, investasi merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam proses pembangunan ekonomi suatu wilayah karena investasi berpotensi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah (Mankiw, 2007). Pertambahan investasi kemudian akan berdampak pada kenaikan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat berkembang dengan adanya pertambahan faktor-faktor produksi, terutama penambahan peralatan produksi dan perbaikan faktor-faktor produksi tersebut. Pengerahan atau mobilisasi dana tabungan guna menciptakan bekal investasi dalam jumlah yang memadai dibutuhkan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2003). Dengan kata lain, Investasi telah menjadi salah satu variabel penting dalam mendorong terciptanya pembangunan ekonomi. Upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penciptaan lapangan kerja baru, serta penanggulangan kemiskinan pada akhirnya menempatkan investasi sebagai mesin penggerak utama Incremental Capital Output Ratio Kab. Banyuwangi Tahun

6 perekonomian. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Kebijakan desentralisasi pemerintahan berupa otonomi daerah merupakan momen penting bagi pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam mengurus rumah tangga daerahnya, terutama dalam melakukan reformasi di berbagai bidang pembangunan. Mengingat kebijakan desentralisasi pemerintahan tersebut memberikan wewenang sepenuhnya kepada daerah untuk mengelola rumah tangganya, maka pemerintah Kabupaten Banyuwangi diwajibkan memformulasikan kebijakan yang menjadikan pembangunan ekonomi sebagai tujuan akhirnya. Sebagai penyelenggara utama pembangunan di daerah, pemerintah daerah berperan sebagai pelaksana dan penanggung jawab utama atas keseluruhan proses pembangunan yang dilaksanakan di daerah, yaitu dalam kerangka investasi, penyediaan barang dan pelayanan publik. Semua ini harus dilakukan secara benar, sehingga tujuan desentralisasi yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan dan akuntabilitas pemerintahan, dapat dicapai

7 secara terukur (Bappenas, 2007). Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu pusat perekonomian di Kawasan Timur Pulau Jawa. PDRB Kabupaten Banyuwangi tiap tahunnya mengalami peningkatan. PDRB Kabupaten Banyuwangi atas dasar harga konstan selama kurun waktu masing-masing sebesar Rp. 10,370 miliar pada tahun 2009, Rp. 11,015 miliar pada tahun 2010, Rp. 11,794 miliar pada tahun 2011, Rp. 12,655 miliar pada tahun 2012 dan Rp. 13,511 miliar pada tahun Berdasarkan angka-angka PDRB tersebut, PDRB Kabupaten Banyuwangi tiap tahun terus mengalami peningkatan, sejalan dengan proses membaiknya kondisi ekonomi. Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi dalam beberapa tahun terakhir cenderung masih berfluktuatif tiap tahunnya. Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Banyuwangi sebesar 5,06 persen meningkat menjadi 7,29 persen pada tahun Namun pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 6,85 persen. Penurunan perumbuhan ekonomi tidak hanya terjadi di Kabupaten Banyuwangi namun juga di tingkat Provinsi Jawa Timur, yang mengindikasikan bahwa rata rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Timur mengalami penurunan. Secara umum, capaian

8 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang mempunyai peran penting dalam aktivitas ekonomi di Provinsi Jawa Timur. Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dan Nasional Tahun ,50 7,00 6,50 6,00 5,50 5,00 5,01 5,06 7,14 7,29 7,27 6,68 6,86 6,26 6,5 6,23 6,1 5,78 6,85 6,55 4,50 4,00 4,55 Banyuwangi Jawa Timur Nasional *angka Sementara Sumber: Berbagai Sumber(diolah) Salah satu cara untuk meningkatan PDRB adalah dengan meningkatkan nilai investasi yang masuk tiap tahunnya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat investasi maka semakin tinggi pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Selain dapat memacu pertumbuhan

9 ekonomi, investasi juga memiliki multiplier effect bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Dalam jangka panjang akumulasi investasi dapat memberikan dorongan terhadap perkembangan berbagai aktivitas ekonomi terutama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Demikian pentingnya peran investasi, sehingga setiap perencanaan pembangunan ekonomi perlu memperhatikan ketersediaan dana untuk maksud investasi. Oleh karena itu, dalam upaya untuk menentukan target pembangunan, misalnya suatu tingkat pendapatan wilayah tertentu atau suatu tingkat laju pertumbuhan ekonomi tertentu, perlu diketahui besarnya dana investasi yang dibutuhkan. Ukuran kebutuhan investasi yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi suatu target pendapatan wilayah atau laju pertumbuhan ekonomi tertentu diberikan oleh suatu ukuran atau indikator ekonomi yang disebut sebagai Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Dengan ICOR, perkiraan kebutuhan investasi dapat diperkirakan untuk mencapai suatu tingkat kinerja ekonomi yang ditetapkan karena ICOR merupakan ukuran atau indikator makro yang menghubungkan antara investasi dengan pendapatan wilayah.

10 1.2. Maksud dan Tujuan Secara umum, maksud dan tujuan penyusunan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Kabupaten Banyuwangi adalah untuk mendapatkan dasar yang tepat bagi perencanaan investasi yang diperlukan oleh pemerintah daerah dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang ditetapkan. Sementara, tujuan khusus penyusunan ICOR ini adalah sebagai berikut: a. Menghitung ICOR seluruh sektor lapangan usaha menurut pengelompokan 1 digit berdasarkan International Standard Industrial Classification if All Economic Activities (ISIC). b. Menggolongkan nilai ICOR menurut kelompok lapangan usaha berdasarkan lag investasi. c. Menganalisis perbandingan nilai ICOR pada periode penelitian tahun Manfaat Penyusunan Manfaat yang diharapkan diperoleh dari penyusunan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Kabupaten Banyuwangi adalah:

11 1) ICOR dapat dijadikan sebagai masukan data dan informasi dalam penghitungan kebutuhan investasi untuk periode tertentu, guna mencapai target pertumbuhan ekonomi sebagaimana telah direncanakan. 2) ICOR dapat dijadikan sebagai masukan data dan informasi, untuk mengetahui sektor-sektor yang memiliki produktivitas investasi paling tinggi, sehingga dapat dijadikan dasar pemilihan penanaman modal yang lebih prospektif. 3) ICOR dapat dijadikan sebagai masukan data dan informasi, untuk mengetahui adanya indikasi kemungkinan terjadinya in-efisiensi dalam penggunaan investasi di masing-masing sektor ekonomi. 4) ICOR dapat dijadikan sebagai masukan data dan informasi, untuk mengetahui kecenderungan penggunaan metode produksi (padat karya atau padat modal) dalam kegiatan ekonomi produksi. 5) ICOR dapat memberi arah dan sasaran investasi yang menjamin efisiensi kegiatan ekonomi.

12 1.4. Ruang Lingkup Wilayah cakupan dalam penyusunan ICOR ini adalah Kabupaten Banyuwangi. ICOR yang akan disusun meliputi 9 sektor ekonomi sesuai dengan lapangan usaha dalam PDRB Sistematika Penulisan Sistematika penulisan di dalam penyusunan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Kabupaten Banyuwangi ini terdiri dari lima bab yakni: 1. Bab I berupa Pendahuluan. Pada bab ini mengulas mengenai latar belakang penyusunan ICOR, maksud dan tujuan, ruang lingkup dan sistemastika penyusunan. 2. Bab II berupa Tinjauan Pustaka. Pada bab ini mengulas mengenai peranan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi, peranan investasi terhadap pembangunan ekonomi daerah, konsep dan pengertian Incremental Capital Output Ratio (ICOR), pengertian Kapital dan Investasi, konsep Output, dan pembentukan modal tetap bruto. 3. Bab III berupa Metodologi. Pada bab ini membahas mengenai data dan sumber data, metode estimasi investasi, dan metode penghitungan ICOR. 4. Bab IV berupa Pembahasan. Pada bab ini menganalisis mengenai

13 gambaran perekononomian daerah Kabupaten Banyuwangi, hasil perhitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR), analisis ICOR menurut lag meliputi lag-0, ICOR lag-1, dan ICOR lag Bab V berupa Kesimpulan. Pada bab ini akan diberikan kesimpulan mengenai temuan yang diperoleh dalam analisis ICOR, termasuk juga akan diberikan saran-saran yang mungkin dapat dimanfaatkan bagi pengguna maupun pengambil kebijakan.

14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Investasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dalam bahasa makroekonomi, investasi menunjukkan pembelian barang modal baru, baik itu peralatan maupun bangunan (Mankiw, 2007). Investasi telah dianggap sebagai salat satu instrumen yang ampuh dalam menggenjot perekonomian sebuah negara atau daerah. Permintaan investasi merupakan komponen penting dalam permintaan agregat dalam teori ekonomi makro (Nicholson, 2001). Permintaan terhadap investasi ini sering diasumsikan berhubungan terbalik dengan tingkat suku bunga. Turunnya tingkat suku bunga, cateris paribus, akan mengurangi tingkat sewa modal. Karena suku bunga yang tidak diterima merupakan biaya implisit, maka turunnya tingkat bunga akan mengakibatkan turunnya tingkat sewa. Turunnya tingkat sewa ini kemudian berdampak modal telah relatif lebih murah dan ini kemudian berdampak meningkatnya penggunaan modal dibanding faktor produksi lainnya yang sekarang biayanya relatif lebih mahal. Karena suku bunga merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat sewa modal, turunnya suku bunga akan menyebabkan naiknya permintaan investasi untuk barang-barang modal.

15 Investasi adalah pengeluaran oleh produsen (swasta) untuk pembelian barang dan jasa dengan tujuan sebagai penambahan stok barang. Dalam perhitungan pendapatan nasional, pengertian investasi adalah pembentukan modal tetap domestik bruto (Boediono, 1986). Pembentukan atau pengumpulan modal dipandang sebagai salah satu faktor utama di dalam pembangunan ekonomi (Jhingan, 2003). Investasi juga diartikan sebagai upaya penanaman modal baik langsung maupun tidak langsung dengan harapan pada saatnya nanti pemilik modal akan memperoleh hasil dari penanaman modal tersebut. Dengan kata lain dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang, fungsi investasi yang meningkatkan produktivitas tidak saja berwujud pabrik dan perlengkapan lainnya, tapi juga berwujud infrastruktur sosial dan ekonomi seperti jalan, listrik, komunikasi dan sebagainya (Todaro, 2003). Perdebatan panjang untuk mendorong perbaikan kinerja perekonomian negara-negara berkembang pasca perang dunia kedua telah menyebabkan munculnya pemikiran-pemikiran baru (Todaro, 2003). Pendapat tentang pentingnya investasi dalam menunjang pembangunan khususnya di negara berkembang dimulai dengan diternukannya model pertumbuhan oleh beberapa ahli pembangunan seperti Rostow dan Harrod

16 Domar. Menurut Rostow, setiap upaya untuk tinggal landas mengharuskan adanya mobilisasi tabungan domestik dan luar negeri dengan maksud untuk menciptakan investasi yang cukup, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2003). Menurut Rostow, salah satu syarat penting tinggal landas adalah peningkatan tabungan dan rasio investasi dari 5 persen atau kurang ke 10 persen lebih dari pendapatan nasional dan mempertahankan selama dua dasawarsa atau lebih. Ini merupakan tahap peralihan yang penting menuju swadaya. Mekanisme perekonomian dengan pengertian investasi yang diarahkan kepada usaha mempercepat pertumbuhan ekonomi lebih banyak diterangkan oleh Sir Roy Harrod dan Evsey Domar yang lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar. Mereka berpendapat bahwa pertumbuhan pendapatan nasional secara positif berhubungan dengan rasio tabungan dan sebaliknya secara negatif berhubungan dengan COR atau ICOR (Capital Output Rasio atau Incremental Capital Output Rasio). Asumsi yang digunakan di sini menunjukkan adanya hubungan antara peningkatan stok kapital dan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output. Dengan demikian, maka menurut Rostow langkah-langkah untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan hanya soal meningkatkan tabungan nasional

17 dan investasi. Namun demikian, model pertumbuhan Harrod-Domar di atas, tidak terlepas dari kritik. Alasan utama berlakunya teori tersebut bukan karena tabungan dan investasi bukan merupakan suatu syarat keharusan bagi percepatan tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi karena itu saja tidak cukup (Todaro, 2003). Meskipun banyak kritik yang dilancarkan, nampaknya strategi pembangunan tidak dapat melepaskan diri dari kebutuhan menghimpun modal, sehingga kelihatannya ada hubungan yang erat antara pembentukan modal dan pertumbuhan ekonomi. Teori neoklasik dari Robert Solow, ditinjau dari sudut jumlah faktor yang dianalisisnya, lebih lengkap daripada teori Harrod-Domar karena disamping membahas mengenai peranan modal, teori ini menyatakan bahwa secara kondisional, perekonomian berbagai negara akan bertemu pada tingkat pendapatan yang sama, dengan asumsi bahwa negara- negara tersebut mempunyai tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan produktivitas yang sama (Todaro, 2003). Modifikasi penting dari model pertumbuhan Harrod-Domar adalah bahwa teori neoklasik membolehkan substitusi antara modal dan tenaga kerja. Dalam proses produksi, teori ini mengasumsikan bahwa terdapat hasil

18 yang semakin berkurang dalam penggunaan input-input ini. Sayang sekali, analisis neoklasik masih belum cukup mendalam pembahasannya terhadap peranan ketiga faktor di atas dalam pembangunan, sehingga belum cukup sempurna bagi landasan dalam penyusunan strategi pembangunan di negara berkembang. Teori Romer atau lebih dikenal dengan sebutan model pertumbuhan endogen muncul untuk melengkapi pertanyaan yang belum terjawab pada teori-teori sebelumnya bahwa dalam kondisi mapan, tingkat output tidak akan bertambah lagi meskipun input terus ditambah. Teori ini memiliki kemiripan struktural dengan model neoklasik, namun sangat berbeda dengan asumsi serta kesimpulan yang ditarik darinya. Perbedaan mendasar dari teori ini adalah adanya hasil marjinal yang semakin menurun pada investasi modal, memberikan peluang terjadinya skala hasil yang semakin meningkat (increasing return to scale) dalam produksi agregat. Dengan mengasumsikan bahwa investasi sektor publik dan swasta dalam sumber daya manusia menghasilkan ekonomi eksternal dan peningkatan produktivitas yang membalikkan kecenderungan hasil yang semakin menurun secara alamiah, teori Romer kemudian berupaya menjelaskan keberadaan skala hasil yang semakin meningkat dan pola pertumbuhan

19 jangka panjang yang berbeda-beda antar negara. Dan karena teknologi masih memainkan peranan penting dalam model ini, perubahan eksogen tidak diperlukan lagi untuk menjelaskan pertumbuhan jangka panjang. Teori ini juga menekankan terdapat dua hal penting dalam meningkatkan produktifitas modal, yaitu learning by doing dan learning by investing yang memasukkan faktor modal manusia sebagai faktor penggerak pertumbuhan ekonomi. Pada model pertama, pertumbuhan modal manusia bergantung pada bagaimana interaksi antara faktor produksi dan akumulasi modal manusia, sedangkan model kedua menekankan bahwa pertumbuhan modal manusia merupakan fungsi yang positif untuk produksi barang baru. Teori ini mengasumsikan bahwa dengan adanya peningkatan modal manusia maka tingkat investasi akan terus berkembang karena kemajuan teknologi yang menjadi salah satu faktor pendorong produktivitas modal hanya dapat digerakkan apabila terdapat sumber daya manusia yang berkualitas Peranan Investasi Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang kokoh bertumpu pada terjadinya saling pengertian antara faktor yang mempengaruhi

20 tingkat dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut (Blakely, 2010). Pertumbuhan ekonomi daerah saat ini sebagian besar bersumber dari peningkatan konsumsi baik pemerintah maupun masyarakat (Bappenas, 2007). Pertumbuhan ekonomi daerah yang didorong oleh konsumsi sulit dijaga keberlangsungan dan kestabilannya. Pertumbuhan ekonomi daerah seperti itu tidak menunjukkan struktur perekonomian daerah yang kuat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi akan kurang menciptakan nilai tambah dan memicu peningkatan inflasi. Dalam upaya menciptakan pertumbuhan yang lebih berkualitas dan berkelanjutan, perekonomian daerah perlu didukung oleh kegiatan investasi di sektor produktif dan jasa. Dampak pengganda yang diciptakan dari peningkatan investasi adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya secara optimal dalam kegiatan produksi, berkembangnya kegiatan perdagangan antar daerah, dan terciptanya nilai tambah yang lebih besar. Investasi juga mendorong percepatan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi. Percepatan ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mobilitas sumberdaya (bahan mentah, barang modal, dan tenaga kerja) secara lebih mudah dan murah. Percepatan ini juga

21 bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah. Investasi dapat menjadi pendorong roda perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan ketika semua pihak mendapat manfaat maksimal dari aktivitas tersebut. Dalam situasi ini, pengusaha mendapat keuntungan yang memadai untuk melakukan penambahan modal, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan melakukan ekspansi usaha. Bagi tenaga kerja dorongan kegiatan ekonomi melalui investasi dan perdagangan dapat mengurangi pengangguran dan memperbaiki upah yang mereka terima. Kenaikan upah diharapkan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi juga meningkatkan kemampuan menabung dan/atau berinvestasi. Bagi pemerintah, meningkatnya aktivitas produksi dan perdagangan, upah dan daya beli berarti meningkatnya penerimaan pajak, yang memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik Konsep dan Pengertian Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Incremental Capital Output Ratio (ICOR) adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan

22 untuk menaikkan/menambah satu unit output. Besaran ICOR diperoleh dengan membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output. Karena unit kapital bentuknya berbeda-beda dan beraneka ragam sementara unit output relatif tidak berbeda, maka untuk memudahkan penghitungan keduanya dinilai dalam bentuk uang (nominal). Pengkajian mengenai ICOR menjadi sangat menarik karena ICOR dapat merefleksikan besarnya produktifitas kapital yang pada akhirnya menyangkut besarnya pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Secara teoritis hubungan ICOR dengan pertumbuhan ekonomi dikembangkan pertama kali oleh R. F. Harrod dan Evsey Domar (1939 dan 1947). Namun karena kedua teori tersebut banyak kesamaannya, maka kemudian teori tersebut lebih dikenal sebagai teori Harrod-Domar. Pada dasarnya teori tentang ICOR dilandasi oleh dua macam konsep Rasio Modal-Output yaitu: (i) Rasio Modal-Output atau Capital Output Ratio (COR) atau yang sering disebut sebagai Average Capital Output Ratio (ACOR), yaitu perbandingan antara kapital yang digunakan dengan output yang dihasilkan pada suatu periode tertentu. COR atau ACOR ini bersifat statis karena hanya menunjukkan besaran yang menggambarkan

23 perbandingan modal dan output. (ii) Ratio Modal-Output Marginal atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yaitu suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output baik secara fisik maupun secara nilai (uang). Konsep ICOR ini Iebih bersifat dinamis karena menunjukkan perubahan kenaikan/ penambahan output sebagai akibat langsung dari penambahan kapital. Dari pengertian pada butir (ii), maka ICOR bisa diformulasikan sebagai berikut: ICOR = K / Y...(1) dimana K = perubahan kapital Y = perubahan output Dari rumus (1) didapatkan pengertian bahwa ICOR merupakan statistik yang menunjukkan kebutuhan perubahan stok kapital untuk menaikkan satu unit output. Dalam perkembangannya, data yang digunakan untuk menghitung ICOR bukan lagi hanya penambahan barang modal baru atau perubahan stok kapital melainkan Investasi (I) yang ditanam balk oleh swasta maupun pemerintah sehingga

24 rumusan ICOR dimodifikasi menjadi: ICOR = I / Y... ( 2 ) dimana I = Investasi Y = perubahan output Rumus (2) dapat diartikan sebagai banyaknya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mendapatkan 1 unit output. Sebagai contoh, misalnya besarnya investasi pada suatu tahun di negara A adalah sebesar Rp 300 miliar, sedangkan tambahan output yang diperoleh dari hasil penanaman investasi itu adalah sebesar Rp 60 miliar, maka nilai ICOR negara A adalah sebesar 5 (300 miliar / 60 miliar). Angka ini menunjukkan bahwa untuk menaikkan 1 unit output diperlukan investasi sebesar 5 unit. Pada kenyataannya pertambahan output bukan hanya disebabkan oleh investasi, tetapi juga oleh faktor-faktor lain di luar investasi seperti pemakaian tenaga kerja, penerapan teknologi dan kemampuan kewiraswastaan. Dengan demikian untuk melihat peranan investasi terhadap output berdasarkan konsep ICOR, maka peranan faktor-faktor selain investasi diasumsikan konstan (ceteris paribus).

25 2.4. Pengertian Kapital dan Investasi Secara umum kapital atau yang sering disebut sebagai "Gross Capital Stock merupakan akumulasi/penumpukan pembentukan modal bruto dari tahun ke tahun yang digunakan untuk menghasilkan produk baru. Kapital secara fisik adalah seluruh barang modal yang digunakan dalam proses produksi seperti mesin, bangunan, kendaraan dan lainnya. Dalam sistem pembukuan neraca perusahaan, yang dimaksud dengan kapital adalah harta tetap (fixed assests) suatu badan usaha. Sementara itu menurut konsep ekonomi nasional yang mengacu pada A System of National Account (UN, 1968) investasi adalah selisih antara stok kapital pada tahun (t) dikurangi dengan stok kapital pada tahun (t-1). Sehingga setiap terjadi penambahan atau penimbunan kapital (modal) selalu dianggap sebagai investasi. Oleh karena itu besarnya investasi secara fisik yang direalisasikan pada suatu tahun tertentu dicerminkan oleh besarnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang mencakup pengadaan, pembuatan dan pembelian barang modal baru dari dalam negeri dan pembuatan dan pembelian barang modal baru maupun bekas dari luar negeri. Termasuk dalam PMTB ini adalah perbaikan besar barang modal yang mengakibatkan menambah umur pemakaian atau

26 meningkatkan kemampuan barang modal tersebut, dikurangi dengan penjualan barang modal bekas. Konsep barang modal sendiri adalah seluruh peralatan dan prasarana fisik yang digunakan di dalam proses produksi. Ciri-ciri barang modal adalah: Umur kegunaannya lebih dari 1 tahun atau mempunyai unsur ekonomis lebih dari satu tahun, nilai belinya relatif besar, dan manfaatnya akan dirasakan dalam jangka panjang atau dapat digunakan berulangkali di dalam proses produksi. Dalam penghitungan ICOR, konsep investasi yang digunakan mengacu pada konsep ekonomi nasional. Pengertian investasi yang dimaksud di sini adalah fixed capital formation/pembentukan barang modal tetap yang terdiri dari tanah, gedung/konstruksi, mesin dan perlengkapannya, kendaraan dan barang modal lainnya. Sementara itu nilai yang diperhitungkan mencakup pembelian barang baru/bekas, pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan pihak lain, pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan sendiri, dan penjualan barang modal bekas.fixed Capital Formation/Pembentukan Barang Modal Tetap dalam hal ini adalah Pembentukan BArang Modal Tetap Bruto (PMTB). Total nilai investasi diperoleh dari penjumlahan seluruh pembelian barang modal baru/bekas,

27 pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan oleh pihak lain dan sendiri dikurangi oleh penjualan barang modal bekas Pengertian Output Output adalah hasil yang diperoleh dari pendayagunaan seluruh faktor produksi balk berbentuk barang atau jasa seperti tanah, tenaga kerja, modal dan kewiraswastaan. Dari segi ekonomi nasional, output merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor domestik dalam negeri dalam suatu periode tertentu. Dari segi perusahaan, output mencakup nilai barang (komoditi) jadi yang dihasilkan selama suatu periode tertentu ditambah nilai perubahan stok barang (komoditi) yang masih dalam proses. Output yang dimaksud adalah barang-barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, dan selisih nilai stok setengah jadi. Output ini dihitung atas dasar harga produsen, yaitu harga yang diterima oleh produsen pada tingkat transaksi pertama. Karena masih mengandung nilai penyusutan barang modal, output ini masih bersifat bruto. Untuk mendapatkan output neto atas harga pasar, output bruto atas harga pasar harus dikurangi dengan penyusutan barang modal.

28 Dalam pengertian ICOR, output adalah tambahan (flow) produk dari hasil kegiatan ekonomi dalam suatu periode atau nilai-nilai yang merupakan hasil pendayagunaan faktor produksi. Output ini merupakan seluruh nilai tambah atas dasar biaya faktor produksi yang dihasilkan dari seluruh kegiatan usaha. Untuk itu dalam penghitungan ICOR sektor industri dipakai konsep Gross Value Added (nilai tambah) bukan konsep output secara umum Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto Pembentukan Modal Tetap Bruto mencakup pengadaan, pembuatan dan pembelian barang modal dari dalam negeri/wilayah dan barang modal baru atau bekas dari luar negeri/wilayah, yang digunakan untuk berproduksi didalam negeri/wilayah tersebut. Kategori barang modal yaitu barang yang mempunyai umur pemakaian satu tahun atau lebih. Sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian adalah penggunaan barang modal sebagai alat yang tetap dalam berproduksi. Menurut wujudnya pembentukan modal tetap domestik bruto mencakup 5 (lima) hal : 1) Pembentukan modal tetap berupa bangunan/konstruksi, seperti:

29 a. bangunan tempat tinggal b. bangunan bukan tempat tinggal c. bangunan atau konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, irigasi, pembangkit tenaga listrik dan jaringannya, instalasi telekomunikasi, pemancar TV, pelabuhan terminal, jaringan pipa untuk minyak, gas & air serta monumen. d. perbaikan besar-besaran dari bangunan yang disebutkan di atas. e. pembentukan modal berupa bangunan/konstruksi dinilai sesuai dengan output bangunan, yaitu nilai seluruh pekerjaan bangunan pada satu tahun tertentu tanpa memperhatikan bangunan tersebut sudah selesai atau belum. 2) Pembentukan modal tetap berupa mesin dan alat perlengkapan, terdiri dari: a. alat-alat transportasi seperti : kapal laut, kapal terbang, kereta api, bus, truk, dan motor. b. mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan untuk pertanian, listrik, pertambangan, pembuatan jalan, jembatan, perlengkapan kantor, toko, hotel, restoran, dll. Mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan

30 yang masih dalam proses pembuatan tidak termasuk dalam pembentukan modal, melainkan merupakan Stok dari produsennya. 3) Perluasan perkebunan dan penanaman baru untuk tanaman keras. Tanaman keras yang dimaksud di sini adalah tanaman yang hasilnya baru akan diperoleh setelah berumur satu tahun atau lebih. 4) Penambahan ternak yang khusus dipelihara untuk diambil susunya atau bulunya atau untuk dipakai tenaganya dan sebagainya, kecuali ternak yang dipelihara untuk dipotong. 5) Margin pedagang atau makelar, jasa pelayanan dan ongkos pemindahan hak milik dalam transaksi jual beli tanah, sumber mineral, hak pengusaha hutan, hak paten, hak cipta dan barang modal bekas tercakup dalam pembentukan modal tetap. Secara umum barang modal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Mempunyai umur kegunaan lebih dari satu tahun, sehingga mempunyai nilai penyusutan. b. Pengeluaran untuk barang modal mempunyai manfaat/hasil pada masa yang akan datang dalam jangka waktu yang relatif panjang. c. Pengeluaran nilai per unit dari barang modal relatif besar dibandingkan dengan output sektor yang memakainya.

31 BAB III METODOLOGI 3.1. Data dan Sumber Data Dalam rangka penyusunan ICOR Kabupaten Banyuwangi, dilakukan pengumpulan data dari berbagai sumber. Data yang dimaksud berupa data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan Survey Khusus Pembentukan Modal (SKPM) langsung ke sumber data (responden). Pengumpulan data primer ini dilakukan melalui wawancara dengan cara penyebaran kuisioner kepada responden perusahaanperusahaan yang terpilih sebagai sampel. Metode pemilihan responden mengunakan purposive sampling yaitu memilih perusahaan yang menjadi sampel dengan criteria tertentu yakni perusahaan yang memiliki pengaruh (memiliki omset/aset terbesar) di sektor ekonomi masing-masing. Selain survey SKPM, data primer juga diperoleh dari survey yang rutin dilakukan oleh BPS, diantaranya survey industri besar/sedang, selain itu data juga diperoleh dari Survey Khusus Perusahaan Swasta Non Finansial (SKPS), Survey khusus pendapatan regional, Survey khusus input output serta survey lainnya. Sementara, data sekunder diproleh dari instansi terkait dan sumbersumber lainnya seperti BKPMD, Pemda, dan Bank Indonesia.

32 3.2. Metode Estimasi Investasi Ditinjau dari sudut pemilikan maka pembentukan barang modal tetap bruto dapat dihitung berdasarkan pengelauaran untuk pembelian modal oleh masing-masing lapangan usaha. Jika ditinjau dari jenis barang modal tersebut, maka pembentukan modal dapat dihitung berdasarkan arus barang. a. Metode langsung Pembentukan modal tetap bruto oleh lapangan usaha dibagi menjadi Sembilan sektor yaitu: 1) Pertanian; 2) Pertambangan dan Penggalian; 3) Industri Pengolahan; 4) Listrik dan Air Bersih; 5) Konstruksi; 6) Perdagangan, Hotel dan Restoran; 7) Angkutan; 8) Bank dan Lembaga Keuangan lain; 9) Pemerintahan dan Jasa-jasa. Estimasi pengeluaran untuk pembelian barang modal tetap bruto dapat dihitung secara langsung berdasarkan informasi atau statistic yang didapat dari hasil survey khusus atau survey yang menunjang. Selain itu juga diperlukan indicator atau data penunjang dari dinas-instansi terkait. Cara dan langkah penghitungan untuk tiap sektor berbeda tergantung pada indicator atau data penunjang yang ada.

33 b. Metode tidak langsung Metode atau pendekatan tidak langsung ini berdasarkan pada arus barang, yaitu suatu pendekatan yang memanfaatkan informasi mengenai penggunaan komoditi barang modal diseluruh sektor ekonomi. Estimasi yang dihasilkan adalah pembentukan modal tetap menurut jenis atau wujud barang yaitu dalam bentuk bangunan, mesin, alat transportasi, ternak, perlengkapan dan barang modal lainnya. Apabila pembentukan modal tetap dihitung dengan metode arus barang, maka yang harus disediakan adalah informasi mengenai: - Jumlah penyediaan semua jenis barang baik sebagian atau seluruhnya yang akan dijadikan pembentukan modal tetap bruto; - Penggunaan bermacam-macam barang yang mungkin hanya sebagian saja yang dipakai sebagai barang modal, termasuk data lainnya yang mungkin tersedia pada pembelian barang-barang modal; - Data output sektor konstruksi; - Data margin perdagangan dan pengangkutan. Estimasi pembentukan modal menrut jenis/wujud barang modal dapat dilakukan secara bertahap, yaitu:

34 1. Pembentukan modal tetap berupa bangunan/konstruksi 2. Pembentukan modal tetap berupa mesin dan alat perlengkapan Metode Perhitungan ICOR Salah satu formula untuk melihat koefisien tingkat invesatasi yaitu dengan menggunakan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang merupakan perbandingan antara pertambahan modal (investasi) dengan pertambahan output. ICOR merupakan suatu indikator yang menunjukkan investasi yang diperlukan untuk meningkatkan satu satuan output. Dengan adanya indikator ini, para perencana pembangunan ekonomi dapat memperkirakan berapa investasi yang diperlukan agar perekonomian dapat tumbuh sesuai dengan target yang diharapkan. Selain itu ICOR juga menunjukkan tingkat efisiensi perekonomian. Semakin rendah nilai koefisien ICOR suatu sektor, semakin efisien perekonomian sektor tersebut. Demikian pula halnya dengan ICOR suatu wilayah, semakin rendah nilai koefisien ICOR, semakin efisien perekonomian di wilayah tersebut. Menurut teori, ICOR dapat diukur melalui bentuk fisik atau nilai. Namun demikian untuk memudahkan, dalam praktek penghitungan ICOR selalu dilakukan dalam bentuk nilai. Secara matematis ICOR dinyatakan

35 sebagai rasio antara pertambahan modal (investasi) terhadap tambahan output, atau I t ICOR ( Y Y ) 1 t t Jika investasi yang ditanamkan pada tahun ke t menimbulkan kenaikan output setelah s tahun, maka di atas dapat dimodifikasi menjadi : I t ICOR ( Y Y ) 1 t s t s Untuk menghitung koefisien ICOR Kabupaten Banyuwangi setiap tahun digunakan rumus di atas. Tentunya nilai s (time lag) untuk setiap sektor diusahakan berbeda, karena siklus produksi antara satu sektor dengan sektor lainnya bisa berbeda.

36 BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Perekononomian Daerah Gambaran mengenai perkembangan perekonomian daerah secara umum dapat diukur dengan menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan maupun atas dasar harga berlaku. Sepanjang periode tahun , perkembangan pencapaian pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi menunjukkan kecenderungan peningkatan. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1 diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi telah meningkat dari 3.9 persen pada 2004 meningkat menjadi 6.85 pada Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah berupaya serius dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat melalui upaya-upaya pembangunan di semua sektor.

37 Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi Tahun (%) ,9 4,79 4,74 5,64 5,8 5,06 6,26 7,14 7,29 6, * 2012** 2013*** Sumber : Kab. Banyuwangi Dalam Angka 2013 Dan LJKP Tahun 2013 Ket: *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara ***) Angka Sangat Sementara Disamping indikator pertumbuhan ekonomi, kinerja ekonomi daerah juga dapat ditunjukkan oleh data PDRB, dimana pencapaian angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kabupaten Banyuwangi tidak terlepas dari keberhasilan pemerintah daerah dalam menggenjot pencapaian angka PDRB. Besaran nilai PDRB dapat memberikan gambaran nyata mengenai nilai tambah bruto yang dihasilkan unit-unit produksi dalam periode tertentu. PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB ADHB) menunjukkan peranan atau keadaan riil sektor-sektor yang mempengaruhi besar kecilnya PDRB. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan (PDRB ADHK) untuk

38 mengetahui kontribusi sektoral dan pertumbuhan ekonomi daerah dari tahun ke tahun yang tidak dipengaruhi inflasi. Tabel 4.1. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha, Periode (juta rupiah) LAPANGAN USAHA ADHB 1. Pertanian 9,842,865 10,884,186 12,010,933 13,861,466 15,417, Pertb & Penggalian 951,337 1,077,494 1,219,057 1,372,852 1,535, Industri Pengolahan 1,124,674 1,272,557 1,427,720 1,660,082 1,859, Listrik & Air Bersih 72,919 75,368 85,572 93, , Konstruksi 221, , , , , Pergag, Htl & Rest 5,607,807 6,485,329 7,726,520 9,326,154 11,044, Angkutan & Komks 599, ,577 1,203,965 1,364,391 1,542, Keuangan 946,654 1,051,862 1,185,128 1,328,509 1,495, Jasa-Jasa 1,290,951 1,445,401 1,626,694 1,835,155 2,064,559 JUMLAH 20,728,488 23,272,420 26,776,678 31,182,705 35,468,869 ADHK (2000=100) 1. Pertanian 4,924,852 5,185,828 5,454,518 5,753,427 5,993, Pertb & Penggalian 453, , , , , Industri Pengolahan 663, , , , , Listrik & Air Bersih 48,940 50,201 52,874 55,601 58, Konstruksi 86,737 93, , , , Pergag, Htl & Rest 2,550,878 2,778,110 3,077,801 3,412,285 3,798, Angkutan & Komks 460, , , , , Keuangan 621, , , , , Jasa-Jasa 559, , , , ,976 JUMLAH 10,370,286 11,015,195 11,794, ,655,586 13,511,707 Sumber: BPS, data diolah Tabel 4.1 memberikan gambaran bahwa selama lima tahun terakhir ( ), PDRB Kabupaten Banyuwangi menunjukkan perkembangan

39 untuk semua sektor dengan besaran yang cukup signifikan. Sektor pertanian masih menjadi tulang punggung perekonomian Kabupaten Banyuwangi yang diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran. Peningkatan PDRB tersebut mencerminkan kondisi peningkatan ekonomi masyarakat yang adil dan merata di Kabupaten Banyuwangi. Selain itu, peningkatan ini menggambarkan kesuksesan penerapan kebijakan oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Salah satu instrumen terbaik dalam mempercepat pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan cara mendorong investasi sebagai alat pembentukan modal dan peningkatan produksi. Investasi adalah salah satu faktor produksi yang memiliki daya dorong dan daya ungkit yang kuat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara makro. Kegiatan investasi mampu mengakumulasikan modal dan meningkatkan produktivitas. Investasi dapat meningkatkan output dan meningkatkan permintaan input. Pembangunan di bidang ekonomi melalui kegiatan investasi memiliki efek multiplier yang besar dalam mendorong pertumbuhan perekonomian daerah. Namun demikian investasi juga dapat mengalami penyusutan dan disparitas pertumbuhan sektor ekonomi apabila aktivitas investasi tertumpu pada sektor tertentu saja.

40 Tabel 4.2 menunjukkan gambaran pembentukan investasi menurut lapangan usaha di Kabupaten Banyuwangi periode Berdasarkan tabel diketahui bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang menyumbang pembentukan investasi terbesar di Kabupaten Banyuwangi, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sementara, sektor lainnya secara umum juga menunjukkan nilai yang cukup signifikan dalam pembentukan investasi di Kabupaten Banyuwangi. Tabel 4.2. Pembentukan Investasi Kabupaten Banyuwangi LAPANGAN USAHA ADHB 1. Pertanian 1,420, ,651, ,902, ,175, ,473, Pertb & Penggalian 54, , , , , Ind. Pengolahan 102, , , , , Listrik & Air Bersih 37, , , , , Konstruksi 16, , , , , Pergag, Htl & Rest 706, , ,033, ,223, ,440, Angkutan & Komks 228, , , , , Keuangan 157, , , , , Jasa-Jasa 237, , , , , JUMLAH 2,960, ,437, ,958, ,529, ,099,852.37

41 LAPANGAN USAHA ADHK (2000=100) 1. Pertanian 717, , , , , Pertb & Penggalian 31, , , , , Ind. Pengolahan 46, , , , , Listrik & Air Bersih 15, , , , , Konstruksi 7, , , , , Pergag, Htl & Rest 349, , , , , Angkutan & Komks 117, , , , , Keuangan 91, , , , , Jasa-Jasa 119, , , , , JUMLAH 1,496, ,614, ,740, ,874, ,017, Sumber: BPS, data diolah Nilai investasi yang disajikan pada Tabel 4.2 diatas tidak membedakan investasi yang tertanam dari luar maupun dari dalam daerah Kabupaten Banyuwangi. Sampai dengan tahun 2013 nilai investasi yang tertanam di Kabupaten Banyuwangi nilainya mencapai 5,1 triliun rupiah, dan Sektor Pertanian masih merupakan sektor ekonomi yang mempunyai nilai investasi terbesar dengan nilai sekitar 2,47 triliun rupiah. Kedua ada pada Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan nilai investasi sebesar 1,44 trilyun

42 rupiah serta ketiga tertanam pada Sektor Angkutan dan Komunikasi dengan nilai 356,074 milyar rupiah. Sedangkan nilai investasi yang terendah terdapat di Sektor Konstruksi dengan nilai sekitar 30,795 milyar rupiah Perkembangan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Salah satu indikator yang berkaitan dengan investasi yang bisa digunakan untuk evaluasi dan perencanaan pembangunan adalah Incremental Capital Output Ratio (ICOR). ICOR adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output. Tambahan kapital (investasi) baru yang dimaksud adalah Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Besaran ICOR dapat diperoleh dengan cara membandingkan besarnya PMTB dengan tambahan output. Pada umumnya, dikarenakan unit PMTB dapat memiliki bentuk berbeda-beda dan beraneka ragam sementara unit output relatif tidak berbeda, maka untuk memudahkan penghitungan keduanya dinilai dalam bentuk uang (nominal). Besaran koefisien ICOR merefleksikan produktivitas PMTB yang pada akhirnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Oleh karena itu besaran ICOR dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya

43 kebutuhan investasi untuk mencapai target pertumbuhan yang ditetapkan pada masa yang akan datang serta untuk melihat produktivitas dan efisiensi dari investasi yang dilakukan. Semakin kecil koefisien ICOR menunjukkan semakin efisien dan produktifitas pembentukan modal yang terjadi. Investasi yang sama pada suatu perekonomian dengan ICOR yang lebih rendah akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktifitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat tercapai apabila ada efisiensi ekonomi. Untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi tertentu, sangat diperlukan adanya perkiraan kebutuhan investasi yang benar. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yaitu melalui investasi yang juga didukung oleh produktivitas yang tinggi. Model Harrord Dommar mengaitkan adanya tambahan stock kapital terhadap output yang dikenal dengan ICOR (Incremental Capital Output Ratio). Sehingga, perhitungan ICOR sangat dibutuhkan dalam menentukan seberapa besar kebutuhan investasi pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tumbuh dan dengan ICOR dapat dilihat seberapa efisien investasi yang ditanamkan pada periode tertentu.

44 Gambar 4.2 Perkembangan ICOR Kabupaten Banyuwangi, ,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0, Sumber: BPS, data diolah Perkembangan hasil perhitungan ICOR Kabupaten Banyuwangi periode seperti ditunjukkan pada gambar 4.2 diketahui bahwa nilai ICOR Kabupaten Banyuwangi periode menunjukkan trend penurunan. Tahun 2004 nilai ICOR Kabupaten Banyuwangi sebesar 4,05 dan menurun ke tingkat 2,36 di tahun Secara umum, nilai ICOR yang menurun menandakan performa ekonomi Kabupaten Banyuwangi relatif baik, dikarenakan dengan nilai investasi yang sama dapat menghasilkan output yang lebih besar.

45 Tabel 4.3. Komponen Pembentukan ICOR Kabupaten Banyuwangi Periode PMTB PDRB Penambahan Tahun (ADHK 2000) (ADHK 2000) PDRB (1) (2) (3) (4) ,284, ,672, ,211, ,971, , ,485, ,353, , ,204, ,749, , ,248, ,243, , ,344, ,778, , ,496, ,370, , ,614, ,015, , ,740, ,804, , ,874, ,656, , ,017, ,511, , Sumber: BPS, data diolah Kinerja ekonomi Kabupaten Banyuwangi yang ditunjukkan oleh perhitungan ICOR menyatakan bahwa performa ekonomi mengalami peningkatan seiiring dengan menurunnya angka ICOR sepanjang periode Tren penurunan ICOR tersebut didukung oleh data perkembangan PMTB dan PDRB Kabupaten Banyuwangi (Tabel 4.3) yang menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai untuk kedua komponen tersebut. Pada tahun 2004 besaran nilai PMTB (ADHK 2000) sebesar

46 1,211, juta rupiah telah menghasilkan besaran PDRB (ADHK 2000) sebesar 7,971, juta rupiah. Pada tahun 2013, angka PMTB (ADHK 2000) tersebut melonjak menjadi 2,017, juta rupiah dan menghasilkan besaran PDRB (ADHK 2000) sebesar 13,511, juta rupiah Koefisien ICOR Menurut Lag di Kabupaten Banyuwangi Investasi yang ditanamkan terkadang memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menghasilkan output yang diinginkan. Lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh output dari investasi yang ditanamkan disebut lag. Dengan mempertimbangkan periode waktu ini dan karena data yang digunakan adalah time series data, maka untuk memperoleh suatu koefisien ICOR yang mewakili dilakukan penghitungan simple average (ratarata sederhana). Koefisien ICOR yang relatif besar terjadi jika investasi yang ditanamkan pada tahun tertentu (t) relatif besar, sedangkan output yang dihasilkan pada tahun (t+s) besar tetapi hampir sama dengan output pada tahun sebelumnya (t+s-1), atau tambahan output yang dihasilkan relatif kecil. Rasio ICOR yang efisien akan dipilih dari nilai yang paling minimum.

47 Hasil penghitungan koefisien ICOR Kabupaten Banyuwangi ditampilkan berdasarkan lag-0, lag-1, dan lag- 2. Lag-0 berarti bahwa investasi yang ditanam pada tahun ke-t akan mulai menghasilkan output pada tahun ke-t juga (pada tahun yang sama). Lag-1 berarti bahwa investasi yang ditanam pada tahun ke-t akan mulai menghasilkan output pada tahun ke-t+1. Lag-2 berarti bahwa investasi yang ditanam pada tahun ke-t akan mulai menghasilkan output pada tahun ke-t+2. Hasil perhitungan ICOR lag-0 menurut lapangan kerja di Kabupaten Banyuwangi ditunjukkan pada tabel 4.4. Berdasarkan tabel 4.4, keadaan ICOR pada lag-0 periode mengalami fluktuatif dimana pada beberapa titik tahun, koefisien ICOR justru naik. Di tahun 2004, nilai koefisien ICOR sebesar 4,05 kemudian di tahun 2005 hingga tahun 2008 besaran ICOR berturut-turut turun hingga menjadi sebesar 2,51 pada Kemudian mengalami sedikit kenaikan pada 2009 menjadi 2,53. Selanjutnya ICOR menurun hingga menjadi sebesar 2,20 pada tahun 2012, meskipun kemudian sempat naik kembali menjadi 2,36 pada tahun Namun demikian, secara rata-rata nilai ICOR Kabupaten Banyuwangi pada lag-0 menunjukkan angka yang relatif kecil yakni 2,78. Secara rata-rata, angka ini berarti bahwa untuk meningkatkan 1 unit output, maka dibutuhkan tambahan modal sebesar 2,78 unit.

48 Tabel 4.4. ICOR Kabupaten Banyuwangi (Lag-0) LAPANGAN USAHA Rata- Rata 1. Pertanian Pertb & Penggalian Industri Pengolahn Listrik & Air Bersih Konstruksi Pergag, Htl & Rest Angkutan & Komks Keuangan Jasa-Jasa Rata-Rata Sumber: BPS, data diolah Dilihat dari efisiensi investasi secara sektoral, sepanjang periode , sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor yang memiliki nilai ICOR lag-0 yang paling rendah yakni rata-rata sebesar 1,10. Disusul oleh sektor konstruksi (1,54), industri pengolahan (1,60), dan perdagangan, hotel dan restoran (1,76). Pada tahun sektor pertambangan dan penggalian memiliki ICOR dibawah 1, masing-masing 0.79 dan 0,36 yang berarti bahwa efisiensinya sangat tinggi. Koefisien ICOR sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0,79 berarti bahwa setiap penambahan Rp.1 milyar output hanya memerlukan PMTB sebesar Rp.790 juta. Hal ini menunjukkan bahwa produktifitas PMTB pada sektor pertambangan dan penggalian masih relatif tinggi, karena hampir sebagian

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) PROVINSI BANTEN TAHUN 2014

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) PROVINSI BANTEN TAHUN 2014 INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) PROVINSI BANTEN TAHUN 2014 Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Provinsi Banten Tahun 2014 ISBN : 978-602-0932-42-2 No. Publikasi / No. Publication : 36000.1565

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Assalamu alaikum Wr. Wb.

SAMBUTAN. Assalamu alaikum Wr. Wb. SAMBUTAN Assalamu alaikum Wr. Wb. Dengan Rahmat Allah SWT, kita bersyukur atas penerbitan Publikasi Analisis Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Kota Semarang Tahun 2010. Melalui publikasi ini dapat

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 Katalog BPS : 1119.3204 INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 Kerjasama : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung dengan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bandung BUPATI

Lebih terperinci

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013 i ANALISIS PENDAPATAN REGIONAL KABUPATEN PULAU MOROTAI 2013 ii KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terbitnya publikasi Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan kesempatan kerja. Pendekatan pertumbuhan ekonomi banyak

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Cita-cita mulia tersebut dapat diwujudkan melalui pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

A. Kapasitas Produksi Nasional 1. Pengertian Kapasitas Produksi Nasional Besar kecilnya jumlah barang dan jasa jasa yang dapat dihasilkan oleh suatu

A. Kapasitas Produksi Nasional 1. Pengertian Kapasitas Produksi Nasional Besar kecilnya jumlah barang dan jasa jasa yang dapat dihasilkan oleh suatu A. Kapasitas Produksi Nasional 1. Pengertian Kapasitas Produksi Nasional Besar kecilnya jumlah barang dan jasa jasa yang dapat dihasilkan oleh suatu perekonomian tergantung kepada besar kecilnya kapasitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya pertumbuhan ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah satu usaha daerah untuk

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang terpadu merupakan segala bentuk upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi yang ditunjang oleh kegiatan non ekonomi.

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

M E T A D A T A. INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik

M E T A D A T A. INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik : Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN BPS PROVINSI MALUKU No. 01/05/81/Th.XV, 05 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN PDRB Maluku pada triwulan IV tahun 2013 bertumbuh

Lebih terperinci

Bukuini merupakanlaporan pendahuluan dari kegiatan AnalisisMakro

Bukuini merupakanlaporan pendahuluan dari kegiatan AnalisisMakro KATA PENGANTAR Bukuini merupakanlaporan pendahuluan dari kegiatan AnalisisMakro Ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun anggaran 2014. Laporan inimenyajikananalisisdeskriptif yang meliputi analisis Perubahan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG No. 05/6474/Th.V, 28 Desember 2016 TINJAUAN PDRB KOTA BONTANG MENURUT PENGGUNAAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Penggunaan Kota Bontang dalam tahun 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

ANALISIS ICOR SEKTORAL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS ICOR SEKTORAL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANALISIS ICOR SEKTORAL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2009-2013 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KATA PENGANTAR Dalam struktur perencanaan

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 40/11/31/Th. IX, 15 November 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan III tahun 2007 yang diukur berdasarkan PDRB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

(PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN

(PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN KONTRIBUSI INVESTASI SWASTA TERHADAP PEMBENTUKAN MODAL TETAP BRUTO (PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN 2010 2014 Pendahuluan Dalam perhitungan PDRB terdapat 3 pendekatan, yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dimensi masalah ketenagakerjaan bukan hanya sekedar keterbatasan lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih serius dengan penyebab

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN No. 44/08/34/Th. XV, 2 Agustus 2013 Pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 6.1. Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Maluku Utara Kemajuan perekonomian daerah antara lain diukur dengan: pertumbuhan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pengertian pembangunan ekonomi secara essensial dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Semarang 1

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Semarang 1 BAB I PENDAHULUAN Pada Publikasi sebelumnya Pendapatan Regional Kabupaten Semarang dihitung berdasarkan pada pendekatan produksi. Lebih jauh dalam publikasi ini, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 No. 68/11/33/Th.VIII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 No. 28/05/72/Thn XVII, 05 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 Perekonomian Sulawesi Tengah triwulan I-2014 mengalami kontraksi 4,57 persen jika dibandingkan dengan triwulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT L A P O R A N K A J I A N INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT K E R J A S A M A P R O D I P E R E N C A N A A N W I L A Y A H S E K O L A H P A S C A S A R A J A N A U N I V E R S I T A S S

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai dalam UUD 1945 (Ramelan, 1997). Peran pemerintah

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 34/08/34/Th. XIII, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2011 SEBESAR -3,89 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dam masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk kerja sama antara pemerintah

Lebih terperinci

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) DAN INCREMENTAL LABOR OUTPUT RATIO (ILOR) KABUPATEN LOMBOK BARAT

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) DAN INCREMENTAL LABOR OUTPUT RATIO (ILOR) KABUPATEN LOMBOK BARAT INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) DAN INCREMENTAL LABOR OUTPUT RATIO (ILOR) KABUPATEN LOMBOK BARAT 2012-2015 Tahun Anggaran 2016 KATALOG DALAM PENERBITAN Catalogue in Publication Judul / Title :

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah dibutuhkannya investasi. Investasi merupakan salah satu pendorong untuk mendapatkan pendapatan yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH No.12/02/33/Th.VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN PDRB JAWA TENGAH TAHUN 2012 MENCAPAI 6,3 PERSEN Besaran PDRB Jawa Tengah pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan bagian dari suatu perwujudan pembangunan ekonomi nasional yang bertujuan menciptakan kemandirian suatu daerah dalam mengurus rumah

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008 BPS PROVINSI DKI JAKARTA PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008 No. 08/02/31/Th. XI, 16 Februari 2009 Secara total, perekonomian DKI Jakarta pada triwulan IV tahun 2008 yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 No.43/08/33/Th.V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 PDRB Jawa Tengah pada triwulan II tahun 2011 meningkat sebesar 1,8 persen dibandingkan triwulan I tahun 2011 (q-to-q).

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 SEBESAR 2,93 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 SEBESAR 2,93 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 25/05/34/Th. XV, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 SEBESAR 2,93 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG No. 03/14/Th.IV, 15 September 2014 TINJAUAN PDRB MENURUT KONSUMSI MENCAPAI 69,42 Triliun Rupiah, Net Ekspor 53,44 Triliun Rupiah Dari Harga Berlaku Produk Domestik Regional

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha)

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) 2005-2008 Nomor Katalog BPS : 9205.11.18 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 20 cm x 27 cm : vii + 64 Lembar Naskah : Seksi Neraca

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI UTARA No. 08/07/1205/Th. VI, 06 Oktober 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara yang diukur

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 SEBESAR 6,30 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 SEBESAR 6,30 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 16/05/34/Th. X, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 SEBESAR 6,30 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No.51/08/33/Th.VIII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) 2006 2009 Nomor Katalog BPS : 9302008.1118 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 20 cm x 27 cm : vi + 60 Lembar Naskah : Seksi Neraca

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 No. 19/05/31/Th. X, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2008 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 No. 06/02/62/Th. VI, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah tahun 2011 (kumulatif tw I s/d IV) sebesar 6,74 persen.

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,08 PERSEN No. 11/02/61/Th. XVII, 5 Februari 2014 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan Incremental Labour Output Ratio (ILOR)

Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan Incremental Labour Output Ratio (ILOR) Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan Incremental Labour Output Ratio (ILOR) KABUPATEN SITUBONDO TAHUN 2011 Kerjasama BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO DAN BADAN PUSAT STATISTIK

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN 2 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 48/08/34/Th.XVI, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN Kinerja pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi banyak dilakukan di beberapa daerah dalam

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi banyak dilakukan di beberapa daerah dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi bertujuan antara lain pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, mengentaskan kemiskinan, menjaga kestabilan harga dengan memperhatikan tingkat

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO Tahun 27 Perekonomian Indonesia pada Tahun 27 tumbuh 6,32%, mencapai pertumbuhan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Dari sisi produksi, semua sektor mengalami ekspansi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 3,41 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 3,41 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 27/05/34/Th.XVI, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 3,41 PERSEN Kinerja pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

No. 64/11/13/Th.XVII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SUMATERA BARAT TRIWULAN III 2014

No. 64/11/13/Th.XVII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SUMATERA BARAT TRIWULAN III 2014 No. 64/11/13/Th.XVII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SUMATERA BARAT TRIWULAN III 2014 Perekonomian Sumatera Barat yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 09/02/61/Th. XIII, 10 Februari 2010 PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT TAHUN 2009 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2009 meningkat 4,76 persen dibandingkan

Lebih terperinci

Daerah Istimewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta ANALISIS ICOR SEKTORAL Daerah Istimewa Yogyakarta 2011-2015 KERJA SAMA BADAN PUSAT STATISTIK DAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2016 ANALISIS ICOR SEKTORAL DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang dialami dunia hanya semenjak dua abad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui

Lebih terperinci