INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) PROVINSI BANTEN TAHUN 2014

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) PROVINSI BANTEN TAHUN 2014"

Transkripsi

1

2

3 INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) PROVINSI BANTEN TAHUN 2014

4 Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Provinsi Banten Tahun 2014 ISBN : No. Publikasi / No. Publication : Katalog BPS / BPS Catalogue : Ukuran Buku / Book Size : 18,2 cm x 25,7 cm Jumlah Halaman / Number of Pages : 86 + ix halaman / pages Naskah / Manuscript : BPS Provinsi Banten / BPS - Statistics of Banten Province Gambar / Figures : BPS Provinsi Banten / BPS - Statistics of Banten Province Diterbitkan oleh / Published by : BPS Provinsi Banten / BPS - Statistics of Banten Province Dicetak oleh / Printed by : CV. Dharmaputra Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik Forbidden to announce, distribute, communicate, and / or duplicate some or all of the contents of this book for commercial purposes without written permission from the BPS- Statistics Of Indonesia

5 iii KATA PENGANTAR Pembangunan ekonomi memerlukan peningkatan investasi sebagai pendorong peningkatan kapasitas produksi serta memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Untuk memperkirakan besaran investasi yang diperlukan dalam mencapai suatu target pertumbuhan ekonomi tersebut diperlukan suatu indikator Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang menggambarkan besaran investasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan satu unit moneter output. Dalam rangka mendukung penyediaan data dan informasi bagi perencanaan investasi di Provinsi Banten tersebut, publikasi Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di Provinsi Banten Tahun 2014 ini disusun. Kami sadari publikasi ini masih jauh dari sempurna terutama dari ketersediaan data. Oleh karena itu, masukan dan saran yang bersifat konstruktif dari pengguna dan sumber data sangat kami harapkan bagi penyempurnaan pada penerbitan berikutnya. Kepada semua pihak yang turut berpartisipasi hingga publikasi ini terwujud, kami sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih. Semoga bermanfaat. Serang, Desember 2015 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, Dr. Syech Suhaimi Incremetal Capital Output Ratio Banten 2014

6

7 Daftar Isi v DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Sumber Data Sistematika Penulisan... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Incremental Capital Output Ratio Pengertian Kapital dan Investasi Pengertian Output Pengertian Nilai Tambah Bruto Penelitian yang Pernah Dilakukan BAB III METODOLOGI PENELITIAN Data dan Keterbatasannya Rumus dan Asumsi yang Digunakan Rumus Standar Rumus Akumulasi Investasi Incremental Capital Output Ratio Banten 2014

8 vi Daftar Isi Asumsi Dasar Tahapan Penyusunan ICOR Penyesuaian Output Penyesuaian Data Investasi Penyesuaian Nilai Harga Konstan Penghitungan Nilai ICOR Penyesuaian Tahap Akhir Incremental Capital Output Ratio Banten Pemilihan Lag Investasi Perubahan Tahun Dasar BAB IV PEMBAHASAN Tinjauan Ekonomi Banten Menurut Sisi Pengeluaran Koefisien ICOR Akumulasi Tahun Rata-rata Nilai ICOR Lag 0 Tahun Perbandingan ICOR Kategori Utama Menurut Lag Nilai Koefisien ICOR pada Sub Kategori Penggunaan Indikator ICOR Provinsi Banten BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran LAMPIRAN 67 DAFTAR PUSTAKA 85

9 Daftar Isi vii DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Perkembangan dan Struktur PMTB Provinsi Banten, Koefisien ICOR Akumulasi Tahun di Provinsi Banten Menurut Kategori Nilai Koefisien ICOR Lag 0 Menurut Kategori Provinsi Banten Tahun Incremental Capital Output Ratio Banten 2014

10 viii Daftar Isi DAFTAR GAMBAR Halaman Incremental Capital Output Ratio Banten 2014 Gambar 4.1 Nilai ICOR Akumulasi Provinsi Banten Gambar 4.2 Rata-rata Nilai ICOR Lag 0 Tahun Gambar 4.3 Perbandingan ICOR Kategori Utama Menurut Lag... 55

11 Daftar Isi ix DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Nilai ICOR Lag 1 Tahun Menurut Sub Kategori Industri di Provinsi Banten Nilai ICOR Lag 3 Tahun Menurut Sub Kategori Industri di Provinsi Banten Nilai ICOR Lag 4 Tahun Menurut Kategori Industri di Provinsi Banten Nilai ICOR Lag 0 Tahun Menurut Sub Kategori Industri di Provinsi Banten Nilai ICOR Lag 5 Tahun Menurut Sub Kategori Industri di Provinsi Banten Nilai ICOR Lag 0 Tahun Menurut Kategori di Provinsi Banten Nilai ICOR Lag 1 Tahun Menurut Kategori di Provinsi Banten Nilai ICOR Lag 3 Tahun Menurut Kategori Industri di Provinsi Banten Nilai ICOR Lag 4 Tahun Menurut Kategori Industri di Provinsi Banten Nilai ICOR Lag 5 Tahun Menurut Kategori Industri di Provinsi Banten Incremental Capital Output Ratio Banten 2014

12

13 1 PENDAHULUAN

14

15 Pendahuluan 3 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Oleh karenanya memperbaiki iklim investasi merupakan suatu tugas yang penting bagi setiap pemerintah, terutama pemerintah daerah yang memiliki daya saing investasi masih rendah. Dalam lima tahun terakhir iklim investasi di Provinsi Banten dinilai masih menarik, terutama bagi investor asing. Hasil rilis BKPM , memperlihatkan bahwa realisasi nilai investasi PMA dan PMDN di Provinsi Banten cenderung mengalami peningkatan. Kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2001 telah mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk turut berperan besar dalam upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerahnya. Proses pengambilan kebijakan pembangunan yang sebelumnya lebih banyak dikendalikan oleh pemerintah pusat, selanjutnya menjadi lebih dekat dengan masyarakat di daerah. Kesiapan dan

16 4 Pendahuluan kemampuan daerah dalam berkreasi, merupakan salah satu penentu keberhasilan pembangunan di daerah termasuk dalam menjaga dan meningkatkan iklim investasi yang kondusif. Investasi yang akan masuk ke suatu daerah bergantung kepada daya saing investasi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Beruntung, Provinsi Banten memiliki posisi strategis dalam dua koridor pengembangan ekonomi dengan potensi ekonomi yang cukup besar. Namun demikian daya saing investasi suatu daerah tidak terjadi dengan serta merta. Pembentukan daya saing investasi berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Pelaku utama kegiatan investasi adalah kalangan dunia usaha. Dengan demikian untuk mengetahui faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi daya saing investasi suatu daerah, penelitian ini mempertimbangkan persepsi dunia usaha dalam mengambil keputusan untuk melakukan investasi di suatu daerah. Persepsi ini juga perlu dipahami oleh pemerintah daerah. Sama halnya ketika pemerintah daerah perlu mengetahui bagaimana kerangka berfikir investor dalam menentukan pilihan lokasi untuk investasi. Dari berbagai literatur dan pendapat para pelaku usaha, faktor ekonomi, infrastruktur, politik dan kelembagaan, sosial dan budaya diyakini merupakan beberapa faktor pembentuk daya saing investasi suatu negara atau daerah. Secara umum investasi atau penanaman modal, baik dalam bentuk penanaman modala

17 Pendahuluan 5 dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) membutuhkan adanya iklim yang sehat, kemudahan serta kejelasan prosedur penanaman modal. Iklim investasi daerah juga dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi daerah yang bersangkutan. Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya saing terhadap investasi salah satunya bergantung kepada kemampuan daerah dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan dunia usaha, serta peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam upaya menarik investor, selain makroekonomi yang kondusif juga adanya pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur dalam arti luas. Kondisi inilah yang mampu menggerakan sektor swasta untuk ikut serta dalam menggerakkan roda ekonomi. Bagi investor, informasi mengenai potensi investasi dan iklim investasi daerah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan lokasi untuk investasi. Tetapi hal ini tidak cukup sampai sebatas ketersediaan informasi saja. Diperlukan rangkaian upaya untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai iklim investasi di berbagai daerah, untuk membantu para investor dalam membuat keputusan investasinya. Pemerintah Provinsi Banten perlu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk mengetahui data dan informasi

18 6 Pendahuluan tentang potensi investasi di wilayah Banten. Hasil dari kerjasama ini dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan pemerintah daerah maupun investor dalam kegiatan investasi Tujuan Penelitian Tujuan penulisan publikasi ini antara lain untuk: a. Menghitung ICOR seluruh kategori industri atau lapangan usaha menurut pengelompokan 1 digit berdasarkan International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC). b. Menggolongkan nilai ICOR menurut kategori dan sub kategori berdasarkan lag investasi. c. Menganalisis perbandingan nilai ICOR pada periode penelitian di Provinsi Banten tahun Sumber Data Sumber data utama untuk memperoleh gambaran atau rasio invesatsi menurut lapangan usaha diperoleh melalui pendekatan survei khusus dan kompilasi data sekunder sebagai berikut: a. Penelitian mendalam (Indepth Study) terhadap perusahaan, lembaga, dan institusi terpilih yang melakukan kegiatan usaha di Provinsi Banten. b. Kompilasi data sekunder yang diperoleh dari laporan keuangan perusahaan terbuka yang melakukan kegiatan

19 Pendahuluan 7 usaha di Provinsi Banten. c. Data dan informasi hasil survei khusus rutin BPS yang terkait dengan kegiatan investasi baik yang dilakukan badan usaha, pemerintah, maupun swasta Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan di dalam publikasi ini adalah sebagai berikut; Bab I Pendahuluan Bab II Tinjauan Pustaka Bab III Metodologi Penelitian Bab IV Pembahasan Bab V Kesimpulan.

20

21 2 TINJAUAN PUSTAKA

22

23 Tinjauan Pustaka 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Incremental Capital Output Ratio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output. Besaran ICOR diperoleh dengan membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output. Karena unit kapital bentuknya berbeda-beda dan beraneka ragam sementara unit output relatif tidak berbeda, maka untuk memudahkan penghitungan keduanya dinilai dalam bentuk uang (nominal). Pengkajian mengenai ICOR menjadi sangat menarik karena ICOR dapat merefleksikan besarnya produktifitas kapital yang pada akhirnya menyangkut besarnya pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Secara teoritis hubungan ICOR dengan pertumbuhan ekonomi dikembangkan pertama kali oleh R. F. Harrod dan Evsey Domar (1939 dan 1947). Namun karena kedua teori tersebut memiliki banyak kesamaan, maka kemudian teori tersebut lebih dikenal sebagai teori Harrod-Domar. Pada dasarnya teori tentang ICOR dilandasi oleh dua macam konsep Rasio Modal-Output yaitu:

24 12 Tinjauan Pustaka (i) Rasio Modal-Output atau Capital Output Ratio (COR) atau yang sering disebut sebagai Average Capital Output Ratio (ACOR), yaitu perbandingan antara kapital yang digunakan dengan output yang dihasilkan pada suatu periode tertentu. COR atau ACOR ini bersifat statis karena hanya menunjukkan besaran yang menggambarkan perbandingan modal dan output. (ii) Ratio Modal Output Marginal atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yaitu suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan /menambah satu unit output baik secara fisik maupun secara nilai (uang). Konsep ICOR ini Iebih bersifat dinamis karena menunjukkan perubahan kenaikan/ penambahan output sebagai akibat langsung dari penambahan kapital. Dari pengertian pada butir (ii), maka ICOR bisa diformulasikan sebagai berikut: ICOR = K/ Y (2.1) dimana, K = perubahan kapital; Y = perubahan output. dari formula (2.1) didapatkan pengertian bahwa ICOR merupakan statistik yang menunjukkan kebutuhan perubahan stok kapital untuk menaikkan satu unit output.

25 Tinjauan Pustaka 13 Dalam perkembangannya, data yang digunakan untuk menghitung ICOR bukan lagi hanya penambahan barang modal baru atau perubahan stok kapital melainkan Investasi (I) yang ditanam balk oleh swasta maupun pemerintah sehingga rumusan ICOR dimodifikasi menjadi: ICOR = I / Y (2.2) dimana, I = Investasi; Y = perubahan output. rumus (2.2) dapat diartikan sebagai banyaknya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mendapatkan 1 unit output. Sebagai contoh, misalnya besarnya investasi pada suatu tahun di provinsi A adalah sebesar Rp 300 miliar, sedangkan tambahan output dari hasil penanaman investasi tersebut adalah sebesar Rp 60 miliar, maka nilai ICOR provinsi A adalah sebesar 5, (= 300/60 miliar). Angka ini menunjukkan bahwa untuk menaikkan 1 unit output diperlukan investasi sebesar 5 unit. Pada kenyataannya pertambahan output bukan hanya disebabkan oleh investasi, tetapi juga oleh faktor-faktor lain di luar investasi seperti pemakaian tenaga kerja, penerapan teknologi, dan kemampuan kewiraswastaan. Dengan demikian untuk melihat peranan investasi terhadap output berdasarkan konsep ICOR,

26 14 Tinjauan Pustaka maka peranan faktor-faktor selain investasi diasumsikan konstan (cateris paribus) Pengertian Kapital dan Investasi Secara umum kapital atau yang sering disebut sebagai "Gross Capital Stock merupakan akumulasi/penumpukan pembentukan modal bruto dari tahun ke tahun yang digunakan untuk menghasilkan produk baru. Kapital secara fisik adalah seluruh barang modal yang digunakan dalam proses produksi seperti mesin, bangunan, kendaraan dan lainnya. Dalam sistem pembukuan neraca perusahaan, yang dimaksud dengan kapital adalah harta tetap (fixed assests) suatu badan usaha. Sementara itu menurut konsep ekonomi nasional yang mengacu pada A System of National Account 2008 (UN, 2009) investasi adalah selisih antara stok kapital pada tahun (t) dikurangi dengan stok kapital pada tahun (t-1). Sehingga setiap terjadi penambahan atau penimbunan kapital (modal) selalu dianggap sebagai investasi. Oleh karena itu besarnya investasi secara fisik yang direalisasikan pada suatu tahun tertentu dicerminkan oleh besarnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang mencakup pengadaan, pembuatan dan pembelian barang modal baru dari dalam negeri serta pembuatan dan pembelian barang modal baru maupun bekas dari luar negeri. Termasuk dalam

27 Tinjauan Pustaka 15 PMTB ini adalah perbaikan besar barang modal yang mengakibatkan menambah umur pemakaian atau meningkatkan kemampuan barang modal tersebut, dikurangi dengan penjualan barang modal bekas. Konsep barang modal sendiri adalah seluruh peralatan dan prasarana fisik yang digunakan di dalam proses produksi. Ciri-ciri barang modal adalah: 1) Umur kegunaannya lebih dari 1 tahun atau mempunyai unsur ekonomis lebih dari satu tahun. 2) Nilai belinya relatif besar. 3) Manfaatnya akan dirasakan dalam jangka panjang atau dapat digunakan berulangkali di dalam proses produksi. Dalam penghitungan ICOR, konsep investasi yang digunakan mengacu pada konsep ekonomi nasional. Pengertian investasi yang dimaksud di sini adalah fixed capital formation/pembentukan barang modal tetap yang terdiri dari tanah, gedung/konstruksi, mesin dan perlengkapannya, kendaraan dan barang modal lainnya. Sementara itu nilai yang diperhitungkan mencakup: a) Pembelian barang baru/bekas. b) Pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan pihak lain c) Pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan sendiri.

28 16 Tinjauan Pustaka d) Penjualan barang modal bekas Fixed Capital Formation/Pembentukan Barang Modal Tetap dalam hal ini adalah Pembentukan Barang Modal Tetap Bruto (PMTB). Total nilai investasi diperoleh dari penjumlahan seluruh pembelian barang modal baru/bekas, pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan oleh pihak lain dan sendiri dikurangi oleh penjualan barang modal bekas Pengertian Output Output adalah hasil yang diperoleh dari pendayagunaan seluruh faktor produksi balk berbentuk barang atau jasa seperti tanah, tenaga kerja, modal dan kewiraswastaan. Dari segi ekonomi nasional, output merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor domestik dalam negeri dalam suatu periode tertentu. Dari segi perusahaan, output mencakup nilai barang (komoditi) jadi yang dihasilkan selama suatu periode tertentu ditambah nilai perubahan stok barang (komoditi) yang masih dalam proses. Output yang dimaksud adalah: Barang-barang yang dihasilkan. Tenagalistrikyangdijual. Selisih nilai stok setengah jadi. Output ini dihitung atas dasar harga produsen, yaitu harga

29 Tinjauan Pustaka 17 yang diterima oleh produsen pada tingkat transaksi pertama. Karena masih mengandung nilai penyusutan barang modal, output ini masih bersifat bruto. Untuk mendapatkan output neto atas harga pasar, output bruto atas harga pasar harus dikurangi dengan penyusutan barang modal. Dalam pengertian ICOR, output adalah tambahan (flow) produk dari hasil kegiatan ekonomi dalam suatu periode atau nilainilai yang merupakan hasil pendayagunaan faktor produksi. Output ini merupakan seluruh nilai tambah atas dasar biaya faktor produksi yang dihasilkan dari seluruh kegiatan usaha. Untuk itu dalam penghitungan ICOR sektor industri dipakai konsep Gross Value Added (nilai tambah) bukan konsep output secara umum Pengertian Nilai Tambah Bruto Nilai tambah bruto adalah suatu tambahan nilai input antara yang digunakan dalam proses menghasilkan barang/jasa. Penambahan nilai input antara ini terjadi karena input antara tersebut telah mengalami proses produksi yang mengubahnya menjadi barang yang nilainya lebih tinggi. Input antara sendiri mencakup nilai seluruh komoditi yang habis atau dianggap habis dalam suatu proses produksi, seperti: bahan baku, bahan bakar, pemakaian listrik dan sebagainya. Barang yang digunakan sebagai alat dalam suatu proses produksi dan umurnya kurang dari

30 18 Tinjauan Pustaka setahun dan habis dipakai dimasukkan sebagai input antara bukan barang modal. Nilai tambah bisa berupa nilai tambah bruto maupun nilai tambah neto. Nilai tambah bruto dari suatu unit produksi dihitung dari output bruto atas harga produsen dikurangi input antara atas dasar harga pasar. Sedangkan nilai tambah neto atas harga pasar dihitung dari nilai tambah bruto atas harga pasar dikurangi pajak tak langsung dan penyusutan. Karena keterbatasan data penyusutan dan pajak tak langsung, maka konsep nilai tambah yang digunakan dalam penghitungan ICOR dalam publikasi ini adalah nilai tambah bruto atas dasar harga pasar Penelitian yang Pernah Dilakukan Studi empiris mengenai efisiensi dan kebutuhan investasi di daerah sudah pernah dilakukan. Lucky et.al (2011) di Provinsi Jawa Timur menggunakan pendekatan ICOR dalam menganalisis kebutuhan investasi sektoral Provinsi Jawa Timur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penelitiannya menyimpulkan bahwa sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas, dan air menjadi sektor paling tidak efisien dengan nilai ICOR sebesar 31,18 dan 36,43. Sedangkan sektor yang paling efisien adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor angkutan dan

31 Tinjauan Pustaka 19 komunikasi. Badan Pusat Statistik Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur, melakukan penghitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang dikombinasikan dengan Incremental Labour Output Ratio (ILOR) pada periode tahun Pada penghitungan ICOR, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, dan sektor perdagangan, hotel, restoran menjadi sektor yang paling efisien selama periode tahun Sedangkan sekto listrik, gas, air, serta sektor angkutan dan komunikasi menjadi sektor yang paling tidak efisien (BPS, 2012) Journal terbaru mengenai penghitungan dan aplikasi indikator ICOR disajikan oleh Janvier D. Nkurunziza yang dimuat dalam Capital Flight & Poverty Reduction in Aprica pada Political Economy Research Institute (PERI, 2014). Janvier meneliti dampak peningkatan investasi terhadap pengurangan kemiskinan di Aprika, dengan menghitung indikator ICOR, pertumbuhan ekonomi, dan level kemiskinan. Selama periode penelitian pada , dengan metode ICOR diperoleh rata-rata pengurangan kemiskinan 1,9 persen lebih tinggi, sedangkan dengan metode kapital stok diperoleh tambahan 2,5 persen per tahun di atas rasio pengurangan kemiskinan.

32

33 3 METODOLOGI PENELITIAN

34

35 Metodologi Penelitian 23 METODOLOGI PENELITIAN Pada Bab II telah dijelaskan beberapa konsep yang dipakai dalam penyusunan ICOR sektor industri pengolahan. Penjelasan tersebut masih sangat teoritis dengan anggapan bahwa data yang tersedia sesuai dengan kebutuhan untuk penghitungan. Namun pada kenyataannya tidak semua asumsi terpenuhi sehingga perlu dilakukan adjustment atau penyesuaian terhadap data yang digunakan. Pada bab III ini dijelaskan tentang data dan keterbatasannya, rumus-rumus yang digunakan dan metode penghitungannya Data dan Keterbatasannya Sumber data utama yang digunakan dalam penyusunan angka ICOR Provinsi Banten 2014 berasal dari hasil Survei Tahunan Industri Besar dan Sedang, Laporan Keuangan Pemerintah dan Badan Usaha yang diperkaya dengan Indepth Study ke beberapa lembaga dan perusahaan besar. Selain data tersebut, digunakan juga Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sektor industri pengolahan menurut subsektor dan IHPB barang modal.

36 24 Metodologi Penelitian Dalam penghitungan ICOR terdapat keterbatasan cakupan data. Sebagian besar data yang diperoleh merupakan data sampel perusahaan besar dan sedang diluar data usaha mikro kecil dan kerajinan rumah tangga. Di samping itu beberapa penyesuaian juga dilakukan terhadap data output, nilai tambah dan investasi. Penyesuaian yang dilakukan antara lain adalah dengan men-deflate nilai investasi dan output/nilai tambah menjadi harga konstan. Beberapa karakteristik data yang disertakan dalam penghitungan ICOR ini adalah: a) Nilai Tambah Bruto (Value Added) merupakan selisih antara nilai output dan nilai input antara. b) Nilai Investasi yang digunakan dalam penghitungan ICOR ini adalah data Fixed Capital Formation/Pembentukan Modal Tetap Bruto berupa: gedung, mesin dan perlengkapannya, kendaraan, dan barang modal tetap lainnya. Karakteristik data yang dikumpulkan berkaitan dengan masing-masing komponen barang modal tetap ini mencakup: 1) Pembelian/penambahan, 2) Pembuatan/perbaikan besar barang modal yang dilakukan sendiri, 3) Pembuatan/perbaikan besar barang modal yang dilakukan pihak lain,

37 Metodologi Penelitian 25 4) Penjualan/pengurangan barang modal tetap. Total investasi yang dipakai dalam penghitungan ICOR ini meliputi penjumlahan butir (1), (2) dan (3) dikurangi butir (4). Konsep investasi yang dipakai di sini didasarkan pada pendekatan mikro dimana perusahaan diasumsikan tidak melakukan penimbunan atau akumulasi stok baik bahan baku, barang setengah jadi maupun bahan jadi. c) Nilai selisih stok yang dicakup meliputi nilai selisih stok bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi. Nilai selisih stok ini akan ditambahkan pada nilai investasi pada penghitungan ICOR yang telah mempertimbangkan kondisi ekonomi makro Rumus dan Asumsi yang Digunakan Secara matematis rumus yang digunakan untuk menghitung ICOR adalah: ICOR = K/ Y dimana: K = Penambahan barang modal baru/kapasitas terpasang Y = Perubahan/penambahan output Dalam praktek, data yang diperoleh bukan merupakan

38 26 Metodologi Penelitian penambahan barang modal baru atau kapasitas terpasang melainkan besarnya investasi yang ditanamkan. Sehingga dengan mengasumsikan K = Investasi, maka rumus (1) dapat dimodifikasi menjadi. ICOR = I/ Y dimana: I = Investasi, Y = Perubahan output. Rumus ke (2) sebagai Gross ICOR yaitu suatu rasio yang menunjukkan besarnya tambahan unit kapital yang diperlukan untuk memperoleh tambahan satu unit output pada suatu periode tertentu. Karena ketersediaan data yang diperlukan untuk rumus ini lebih lengkap maka rumus ini lebih sering dipakai dalam penghitungan ICOR Rumus Standar Pada kenyatannya, investasi yang ditanamkan kadangkadang memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menghasilkan output yang diinginkan. Lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh output dari investasi yang ditanamkan disebut lag. Dengan mempertimbangkan periode waktu ini dan karena data yang digunakan adalah time series data,

39 Metodologi Penelitian 27 maka untuk memperoleh suatu nilai ICOR yang mewakili dilakukan penghitungan simple average (rata-rata sederhana). Rumus penghitungan ICOR menurut kategori lapangan usaha dapat diperluas menjadi 15 persamaan standar yang dibuat berdasarkan prinsip rata-rata sederhana. Kelima belas rumus standar tersebut adalah sebagai berikut: a. Rumus dalam persamaan 1 sampai 5 mengasumsikan bahwa penambahan output pada tahun tertentu terjadi karena adanya investasi yang ditanamkan selama satu tahun. Persamaan 1 (3.1) dimana: n = t2-(t1-1) Arti dari rumus ini adalah investasi yang ditanamkan pada tahun ke-t (It) akan menghasilkan output pada tahun ke-t juga. Dengan demikian tidak diperlukan waktu (time lag) sampai investasi dapat memberikan tambahan output. Persamaan 2 (3.2) dimana: n = t2-(t1-1)

40 28 Metodologi Penelitian Rumus ini berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke-t (It) baru akan menghasilkan tambahan output pada tahun ke-(t+1). Dengan demikian terdapat lag satu tahun sampai investasi yang ditanamkan menghasilkan tambahan output. Persamaan 3 (3.3) dimana: n = t2-(t1-1) Arti dari rumus ini adalah investasi yang ditanamkan pada tahun t (It) akan menghasilkan tambahan output pada tahun ke t+2. Hal ini berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke t baru akan menghasilkan tambahan output setelah 2 tahun kemudian (t+2). Persamaan 4 (3.4) dimana: n = t2-(t1-1) Arti dari rumus ini adalah investasi yang ditanamkan pada tahun ke t (It) akan menghasilkan output pada tahun ke t+3. Dengan demikian diperlukan waktu 3 tahun sampai investasi yang ditanamkan bisa menghasilkan tambahan output.

41 Metodologi Penelitian 29 Persamaan 5 (3.5) dimana: n = t2-(t1-1) Arti dari rumus ini adalah investasi yang ditanamkan pada tahun t (It) akan menghasilkan output pada tahun ke t+4. Hal ini berarti bahwa investasi tahun ke t baru akan menghasilkan tambahan output pada tahun t+4. b. Rumus lain yang digunakan dalam penghitungan ICOR adalah dengan memodifikasi investasi (It ) menjadi bagian bagian investasi tahun ke (t-1) dan tahun ke (t). Modifikasi ini dapat dilihat dalam persamaan 6 sampai 10. Dalam hal ini diasumsikan bahwa tambahan output pada tahun tertentu merupakan hasil penanaman investasi tahun ke t dan tahun ke t-1 dengan proporsi 0,1 untuk tahun ke t-1 dan 0,9 untuk tahun ke t. Hal ini terjadi bila investasi yang ditanamkan pada tahun ke t-1 belum dimanfaatkan secara optimal, maka investasi itu bisa dimanfaatkan untuk tahun berikutnya atau bahwa investasi pada tahun ke t-1 belum full capacity sehingga masih bisa dimanfaatkan untuk tahun berikutnya. Persamaan 6 (3.6)

42 30 Metodologi Penelitian dimana: n = t2-(t1-1) Rumus ini berarti bahwa selain investasi yang ditanamkan pada tahun ke t, investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t. Hal ini terjadi karena investasi tahun t-1 (It-1) pada tahun t-1 tidak full capacity, sehingga ketika pada tahun t mencapai full capacity It-i tersebut masih bisa menambah output tahun t. Persamaan 7 (3.7) dimana: n = t2-(t1-1) Rumus ini berarti bahwa tambahan output pada tahun tertentu ditentukan oleh investasi yang ditanamkan dua tahun sebelumnya secara berturut-turut. Hal ini terjadi karena investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 dan t belum mencapai kapasitas penuh sehingga masih memberikan kontribusi pada output tahun t+1. Persamaan 8 (3.8) dimana: n = t2-(t1-1) Rumus ini berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada

43 Metodologi Penelitian 31 tahun ke t dan tahun t-1 (It-1) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+2. Hal ini terjadi karena investasi tahun t- 1 (It-1) pada tahun t-1 tidak full capacity, sehingga ketika pada tahun t mencapai full capacity It-1 tersebut masih bisa menambah output tahun t. Persamaan 9 (3.9) dimana: n = t2-(t1-1) Rumus ini berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke t dan tahun t-1 (It-1) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+3. Hal ini terjadi karena investasi tahun t- 1 (It-1) pada tahun t-1 tidak full capacity, sehingga ketika pada tahun t mencapai full capacity It-1 tersebut masih bisa menambah output tahun t. Persamaan 10 (3.10) dimana: n = t2-(t1-1) Rumus ini berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke t dan tahun t1 (It-1) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+4. Hal ini terjadi karena investasi tahun t-

44 32 Metodologi Penelitian 1 (It-1) pada tahun t-1 tidak full capacity, sehingga ketika pada tahun t mencapai full capacity tersebut masih bisa menambah output tahun t. c. Modifikasi Rumus ICOR berikutnya adalah memodifikasi investasi menjadi bagian-bagian investasi tahun ke t-2, t-1 dan t. Rumus-rumus ini dapat dilihat dalam persamaan 11 sampai 15. Dalam rumus ini diasumsikan bahwa pertambahan output tahun tertentu merupakan hasil dari penanaman investasi tiga tahun berturut-turut (tahun ke t-2, tahun t-1 dan tahun t). Besarnya proporsi investasi tahun t-2, t-1 dan t berturut-turut diasumsikan sebesar 0,1, 0,2 dan 0,7. Persamaan 11 (3.11) dimana: n = t2-(t1-1) Rumus ini berarti bahwa tidak ada lag sampai suatu investasi bisa menghasilkan karena sebagian investasi yang ditanamkan pada tahun t akan menghasilkan tambahan output pada tahun t juga. Selain itu tambahan output pada tahun ke t juga dipengaruhi oleh investasi yang ditanamkan pada tahun ke t-1 (It-1) dan ke t-2 (It-2).

45 Metodologi Penelitian 33 Persamaan 12 (3.12) dimana: n = t2-(t1-1) Rumus ini berarti bahwa sebagian investasi yang ditanamkan tahun ke t baru bisa menghasilkan tambahan output pada tahun t+1. Selain itu tambahan output pada tahun t+1 juga merupakan hasil dari investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 dan t-2. Persamaan 13 (3.13) dimana: n = t2-(t1-1) Rumus ini berarti bahwa selain investasi yang ditanamkan pada tahun t (It), investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 (It-1) dan t-2 (It-2) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+2. Dengan demikian diperlukan waktu sedikitnya dua tahun sampai suatu investasi bisa menambah output, karena tidak semua investasi yang ditanamkan dapat dimanfaatkan secara penuh pada tahun itu juga. Persamaan 14 (3.14)

46 34 Metodologi Penelitian dimana: n = t2-(t1-1) Rumus ini berarti bahwa selain investasi yang ditanamkan pada tahun t, investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 (It-1) dan t- 2 (It 2) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+3. Persamaan 15 (3.15) dimana: n = t2-(t1-1) Rumus ini berarti bahwa selain investasi yang ditanamkan pada tahun t, investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 (It-1) dan t- 2 (It-2) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t Rumus Akumulasi Investasi Penghitungan dengan kelima belas rumus di atas menerapkan prinsip rata-rata sederhana sehingga dimungkinkan terjadinya bias yang disebabkan karena fluktuasi yang cukup ekstrim pada tahun tertentu. Untuk itu sebagai pembanding dilakukan juga penghitungan ICOR menggunakan metode akumulasi investasi yang menerapkan prinsip rata-rata tertimbang untuk periode dan periode Untuk periode

47 Metodologi Penelitian 35 digunakan Iag 1 sehingga rumus yang digunakan untuk kedua periode tersebut adalah: a. Periode dimana: I = investasi Y = nilai tambah t = 2009, 2010,..., 2014 b. Periode dimana: I = investasi Y = nilai tambah t = 2010, 2011,..., 2014 Melalui rumus ini dapat dilihat sejauh mana investasi yang ditanamkan sejak tahun 2010 sampai tahun 2013 dapat berpengaruh terhadap penambahan output sejak tahun 2011 sampai 2014.

48 36 Metodologi Penelitian Asumsi dasar Dalam penghitungan ICOR dengan metode standar maupun akumulasi investasi terdapat asumsi bahwa perubahan output semata-mata hanya disebabkan oleh perubahan kapital/adanya investasi. Faktor-faktor lain di luar investasi seperti pemakaian tenaga kerja, penerapan teknologi dan kemampuan kewiraswastaan diasumsikan konstan Tahapan Penyusunan ICOR Penyusunan nilai ICOR dilakukan dalam beberapa tahap meliputi penyesuaian output dan investasi, penyesuaian harga konstan dan penghitungan dengan komputer Penyesuaian Output Dalam kegiatan ekonomi output suatu kegiatan bisa menjadi input untuk kegiatan ekonomi lainnya (input antara). Sehingga untuk menghindari double counting, dalam penghitungan ICOR ini tidak digunakan nilai output melainkan nilai tambah. Nilai tambah yang dihitung di sini adalah nilai output dikurangi biaya antara atau sering juga disebut nilai tambah bruto. Namun karena ICOR hanya memperhitungkan komponen nilai tambah yang dihasilkan dari pendayagunaan barang modal maka dilakukan

49 Metodologi Penelitian 37 beberapa penyesuaian yaitu komponen nilai tambah yang bukan merupakan pendayagunaan barang modal dikeluarkan dari seluruh nilai tambah. Dalam hal ini nilai pendapatan dari jasa industri, keuntungan barang yang tidak diproses, penerimaan jasa angkutan dan jasa-jasa non industri lainnya dan penerimaan dari penjualan limbah atau sampah produksi akan dikeluarkan dari nilai tambah bruto. Dengan demikian komponen nilai tambah yang dicakup hanya meliputi barang/jasa yang dihasilkan, listrik yang dijual dan selisih stok barang setengah jadi Penyesuaian Data Investasi. Dalam konsep ICOR, investasi yang dimaksud adalah fixed capital formation atau pembentukan barang modal tetap. Nilai total investasi diperoleh dari penjumlahan seluruh pembelian barang modal/perbaikan besar dikurangi penjualan barang modal bekas. Sebenarnya nilai investasi ini masih merupakan investasi bruto karena belum dikurangi nilai penyusutan. Namun karena adanya beberapa keterbatasan mengenai data penyusutan, maka data penyusutan tidak digunakan. Keterbatasan pertama adalah pada umumnya perusahaan cenderung melebihkan nilai penyusutan dengan alasan pajak. Sementara yang perlu kita perhitungkan disini adalah nilai penyusutan riil atas barang modal. Disamping itu data penyusutan yang ada merupakan nilai akumulasi, sementara data investasi yang digunakan adalah tambahan

50 38 Metodologi Penelitian investasi yang terjadi pada tahun yang bersangkutan. Akibatnya, apabila nilai penyusutan diperhitungkan, maka nilainya bisa jauh lebih besar dari investasi itu sendiri Penyesuaian Nilai Harga Konstan Nilai output dan investasi dalam butir dan di atas masih merupakan nilai yang berdasarkan pada harga berlaku. Untuk mendapatkan nilai output dan nilai investasi (pembentukan modal tetap bruto) yang terlepas dari pengaruh harga (menurut harga konstan), maka digunakan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sebagai deflator. Perkembangan riil dari nilai tambah pada masing-masing kode lapangan usaha antar waktu (series data) dapat dilihat dari nilai tambah menurut harga konstan. Untuk mendapatkan nilat tambah menurut harga konstan dilakukan dengan men-deflate nilai tambah harga berlaku dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) masing-masing kategori. Sementara itu untuk mendapatkan nilai investasi menurut harga konstan dihitung dengan men-deflate nilai investasi menurut harga berlaku dengan menggunakan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) untuk barang modal. Berhubung data IHPB untuk barang modal tidak tersedia, maka sebagai deflator nilai investasi digunakan rata-rata tertimbang IHPB dari kode ISIC 382 (industri mesin bukan mesin listrik), 383

51 Metodologi Penelitian 39 (industri mesin listrik dan perlengkapannya), 384 (industri alat angkutan), dan 390 (industri lainnya) dengan penimbang output dari masing-masing kode di atas Penghitungan Nilai ICOR Penghitungan nilai ICOR ini dilakukan dengan menggunakan kelima belas rumus standar dan rumus akumulasi investasi lag=1 a. Nilai ICOR 3 digit ISIC Data nilai tambah untuk 3 digit ISIC diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai tambah harga konstan untuk 5 digit ISIC yang mempunyai 3 angka depan yang sama untuk masing masing tahun. Metode ini juga dilakukan untuk data investasi untuk masing-masing tahun. Dari penjumlahan 5 digit ISIC ini didapatkan 31 jenis ISIC 3 digit. Selanjutnya penghitungan ICOR 3 digit ISIC dilakukan dengan selisih maupun tanpa selisih stok bahan baku, bahan mentah dan bahan setengah jadi.. b. Nilai ICOR 2 digit ISIC. Untuk mendapatkan nilai ICOR 2 digit ISIC digunakan cara yang sama dengan cara yang terdapat pada butir a.

52 40 Metodologi Penelitian Penyesuaian Tahap Akhir Dalam penghitungan ICOR masih ditemukan beberapa nilai ICOR yang bernilai negatif. Hal ini terjadi karena ada series data nilai tambah untuk beberapa ISIC yang masih berfluktuasi. Oleh karena itu untuk beberapa ISIC yang memiliki nilai tambah berfluktuasi dilakukan perapihan dengan cara menghitung rata rata pertumbuhan nilai tambah per tahun untuk masingmasing ISIC. Selanjutnya angka pertumbuhan ini diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang memiliki kecenderungan nilai tambah menurun. Dengan demikian didapatkan suatu series nilai tambah yang lebih balk. Selain itu dilakukan juga perapihan nilai investasi yang ekstrim dengan menghitung rata-rata pertumbuhannya atau tidak mengikutsertakannya dalam penghitungan. Selanjutnya nilai ICOR untuk masing-masing ISIC bersangkutan dihitung kembali Pemilihan Lag Investasi Data yang digunakan dalam penghitungan ICOR adalah data series waktu. Dalam penentuan lag investasi digunakan analisis Cross Correlation Function (CCF). Analisis CCF dapat digunakan untuk melihat hubungan antara satu observasi dengan observasi yang lain untuk variabel yang berbeda. Dengan menggunakati analisis CCF dapat dilihat hubungan antara investasi yang

53 Metodologi Penelitian 41 ditanamkan pada kategori lapangan usaha dengan tambahan output untuk masing masing tahun untuk setiap kategori. Atau dengan kata lain dengan CCF dapat diketahui kapan waktu pengembalian investasi yang tepat untuk masing-masing kategori Perubahan Tahun Dasar Dampak perubahan ekonomi selama sepuluh tahun terakhir baik di dunia, nasional, maupun daerah, telah mengakibatkan terjadinya perubahan struktur ekonomi di suatu wilayah, baik yang disebabkan karena perubahan harga maupun jenis komoditi yang dihasilkan. Struktur perekonomian suatu wilayah menjadi penting dalam penghitungan ICOR, hal ini terkait dengan penghitungan nilai ICOR yang dilakukan atas dasar harga konstan. Berdasarkan hal tersebut, harga satuan maupun produksi yang digunakan dalam penghitungan PDRB dan investasi akan mengalami perubahan setiap tahun. Akibatnya struktur PDRB dan investasi juga berubah, jika perubahannya terjadi secara proporsional maka sumbangan terhadap PDRB atau total investasi akan relatif sama setiap tahun. Akan tetapi, perkembangan setiap kategori industri tentunya berbeda-beda, sehingga sumbangan setiap kategori industri dalam jangka panjang akan berubah secara signifikan. Untuk mengakomodasi perkembangan ekonomi tersebut,

54 42 Metodologi Penelitian proses rebasing atau perubahan tahun dasar PDRB menjadi penting. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah merekomendasikan kepada seluruh negara untuk memperbaharui penghitungan PDB/PDRB dengan memakai tahun dasar yang dianggap paling up to date terhadap perkembangan yang terjadi. Bersamaan dengan hal tersebut, penghitungan investasi, PMTB, ICOR, dan lainnya juga akan mengalami penyesuaian. Publikasi ICOR Provinsi Banten 2014 ini, akan menggunakan penghitungan tahun dasar yang baru yaitu tahun dasar Adapun alasan pemilihan tahun 2010 sebagai tahun dasar adalah sebagai berikut: a. Merupakan tahun dasar yang telah digunakan pada penghitungan PDB/PDRB, sesuai SNA 2008 dan rekomendasi PBB. b. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi Indonesia pada tahun 2010 dianggap yang paling stabil dibanding tahun lainnya. c. Indonesia telah lama menggunakan tahun dasar 2000, dimana situasi dan perkembangan ekonominya sudah berbeda jauh dengan kondisi tahun 2010.

55 4 PEMBAHASAN

56

57 Pembahasan 45 PEMBAHASAN 4.1. Tinjauan Ekonomi Banten Menurut Sisi Pengeluaran Kondisi perekonomian Banten mulai menunjukkan tanda pemulihan, setelah berlalunya masa krisis yang melanda ekonomi dunia sejak tahun Hal ini terlihat dari nilai PDRB yang terus meningkat dan pertumbuhan ekonomi yang terus menunjukan arah positif. Pertumbuhan ekonomi Banten selama periode tahun rata-rata sebesar 6,60 persen, dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 7,13 persen, sebaliknya yang terendah terjadi pada tahun 2014 sebesar 5,47 persen. Sedangkan nilai PDRB Banten (adh Berlaku) selama periode tahun menunjukkan peningkatan signifikan dari ,28 milyar rupiah menjadi ,96 milyar rupiah. Sebagian besar nilai PDRB Banten digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akhir rumah tangga dengan ratarata sebesar 58,26 persen. Kenaikan jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga, masa pemulihan ekonomi, serta melimpahnya penawaran dan persediaan berbagai jenis barang dan jasa di pasar domestik (termasuk yang berasal dari impor) turut menjadi pemicu

58 46 Pembahasan meningkatnya belanja konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2010, secara umum setiap rumah tangga di Banten menghabiskan dana sekitar ,76 ribu rupiah setahun untuk membiayai konsumsi baik dalam bentuk makanan maupun bukan makanan (sandang, perumahan, pendidikan, dsb). Pengeluaran ini terus meningkat menjadi ,94 ribu rupiah (2011); ,61 ribu rupiah (2012); ,98 ribu rupiah (2013); dan menjadi ,43 ribu rupiah (2014). Proporsi konsumsi akhir pemerintah relatif stagnan pada kisaran rata-rata sebesar 4,73 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam menyerap produk domestik tidak terlalu besar. Di sisi lain, pada tahun perdagangan internasional Banten yang direpresentasikan oleh transaksi ekspor impor luar negeri, menunjukkan bahwa nilai ekspor luar negeri cenderung lebih rendah dari nilai impor luar negeri. Kecenderungan perdagangan internasional Banten dalam periode tersebut selalu menunjukkan posisi defisit. Adapun pengeluaran untuk kapital (PMTB) selama periode tahun memberikan kontribusi cukup besar yaitu sekitar persen, dengan nilai rata-rata sebesar ,51 milyar rupiah. Data pada tabel 1 menjelaskan bahwa secara keseluruhan pertumbuhan PMTB dalam kurun waktu cenderung melambat dari 8,93 persen (2011) menjadi 3,27 persen (2014).

59 Pembahasan 47 Tabel 4.1 Perkembangan dan Struktur PMTB Provinsi Banten, U r a i a n (1) (2) (3) (4) (5) (6) Total PMTB a. ADHB (Miliar Rp) b. ADHK 2010 (Miliar Rp) , , , , , , , , , ,73 Proporsi terhadap PDRB (% - ADHB) Struktur PMTB 1 a. Bangunan (Miliar Rp) (%) b. Non Bangunan (Miliar Rp) (%) Total PMTB (Miliar Rp) (%) Pertumbuhan 2 (%) a. Bangunan b. Non Banguan Total PMTB Sumber: BPS Banten 30,02 30,45 31,49 28,17 28, , , , , ,59 (59,94) (60,53) (63,74) (63,88) (65,40) , , , , ,59 (40,06) (39,47) (36,26) (36,12) (34,60) , , , , ,18 (100,00) (100,00) (100,00) (100,00) (100,00) - 12,69 13,95 6,73 4,77-3,31 0,49-1,96 0,24-8,93 8,84 3,68 3,27 Proporsi non bangunan terhadap total PMTB relatif berfluktuasi selama periode Perubahan yang terjadi pada proporsi tersebut tidak lepas dari pengaruh pertumbuhan yang terjadi pada masing-masing sub komponen PMTB tersebut. Pertumbuhan riil sub komponen bangunan pada tahun 2011 sebesar 12,69 persen. Keadaan ini melambat cukup drastis di tahun 2014 yaitu menjadi 4,77 persen, meskipun pada tahun 2012 sempat pulih hingga mencapai pertumbuhan sebesar 13,95 persen. Pada tahun 2013, bangunan kembali melambat menjadi 6,73 persen. Sub 1 Diturunkan dari perhitungan PDRB (atas dasar harga berlaku /ADHB ) 2 Diturunkan dari perhitungan PDRB (atas dasar harga konstan/adhk 2010)

60 48 Pembahasan komponen non bangunan menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda dengan bangunan. Pada tahun 2011 sub komponen non bangunan tumbuh sebesar 3,31 persen. Akan tetapi pada tahuntahun berikutnya mulai melambat menjadi sebesar 0,49 persen (2012), menurun hingga 1,96 persen di tahun 2013, dan kembali tumbuh sebesar 0,24 persen tahun Secara umum, selama kurun waktu tahun pertumbuhan PMTB terus mengalami perlambatan di mana pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang mencapai besaran 8,93 persen dan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2014 yaitu hanya sebesar 3,27 persen Koefisien ICOR Akumulasi Tahun Sebagaimana diketahui koefisien ICOR (Incremental Capital Output Ratio) adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output. Dalam pembahasan ini tambahan kapital (investasi) baru adalaha Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Besaran ICOR diperoleh dengan membandingkan besarnya PMTB dengan tambahan output. Karena unit PMTB bentuknya berbeda-beda dan beraneka ragam sementara unit output relatif tidak berbeda, maka untuk memudahkan penghitungan keduanya dinilai dalam bentuk uang (nominal).

61 Pembahasan 49 Koefisien ICOR secara akumulasi periode tahun di Provinsi Banten secara total sebesar 4,55. hal ini menggambarkan untuk memperoleh penambahan satu unit output dalam rentang periode tersebut dibutuhkan investasi fisik (PMTB) sebanyak 4,55 unit. Besaran koefisien ICOR merefleksikan produktivitas PMTB yang pada akhirnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Semakin kecil koefisien ICOR menunjukkan semakin efisien pembentukan modal yang terjadi. Tabel 4.1 menunjukkan besaran koefisien ICOR akumulasi periode di Provinsi Banten menurut kategori industri. Kategori yang mempunyai koefisien ICOR paling kecil adalah Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan dengan koefisien ICOR hanya 0,87. Artinya setiap penambahan Rp.1 milyar output hanya memerlukan PMTB sebesar Rp.870 juta. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan investasi pada Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sangat efisien, karena untuk meningkatkan ouputnya memerlukan investasi fisik (PMTB) yang lebih sedikit. Berikutnya kategori dengan koefisien ICOR kurang dari 2 adalah kategori Perdagangan besar dan eceran, dan reparasi kendaraan (1.17), Jasa keuangan (1.53), dan Kategori Konstruksi (1,84). Kategori industri dengan koefisien ICOR antara 2 dan 3 berikutnya adalah kategori Real Estate (2,18), Jasa Lainnya (2.73), serta Kategori Jasa Perusahaan (2,78).

62 50 Pembahasan Tabel 4.2 Koefisien ICOR Akumulasi Tahun di Provinsi Banten Menurut Kategori. ICOR lag 5 tahun menurut Kategori (1) (2) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,87 2. Pertambangan dan Penggalian 4,20 3. Industri Pengolahan 7,06 4. Pengadaan Listrik, Gas 8,74 5. Pengadaan Air 6,80 6. Konstruksi 1,84 7. Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Kendaraan 1,17 8. Transportasi dan Pergudangan 10,58 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 5, Informasi dan Komunikasi 5, Jasa Keuangan 1, Real Estate 2, Jasa Perusahaan 2, Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 13, Jasa Pendidikan 3, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 9, Jasa lainnya 2,73 Total 4,55 Sumber : BPS Banten Kategori industri yang lainnya mempunyai koefisien ICOR lebih besar dari 3. Dapat dikatakan bahwa kegiatan investasi/pmtb pada kategori industri tersebut kurang efisien jika dibandingkan dengan kategori industri yang tersebut di atas. Kategori industri Transportasi dan Pergudangan, serta Kategori

63 Pertanian Pertambangan Industri Listrik, Gas Incremental Capital Output Ratio Banten 2014 Air Konstruksi Perdagangan Transportasi Akomodasi, Resto Infokom Keuangan Real estate Jasa Perusahaan Pemerintah Pendidikan Kesehatan, Sosial Jasa Lain Total Pembahasan 51 Administrasi Pemerintahan Umum dan Jaminan Sosial wajib mempunyai koefisien ICOR yang besar yaitu 10,58 dan 13,18. Artinya PMTB pada kedua sektor tersebut tidak efisien. Khusus untuk Kategori Administrasi Pemerintah ketidakefisienan investasi pada kategori ini menyangkut investasi besar pada sektor layanan dan fasilitas umum dimana nilai outputnya dijual dibawah harga pasar, seperti pembangunan jalan, jembatan, gedung, serta konstruksi publik lainnya. Gambar 4.1 Nilai ICOR Akumulasi Provinsi Banten ,87 4,20 8,74 7,06 6,80 1,84 1,17 10,58 5,66 5,01 1,53 2,18 2,78 13,18 3,92 9,69 4,55 2,73 Sumber: BPS Banten Berdasarkan nilai ICOR akumulasi periode tersebut juga terlihat bahwa investasi pada kategori industri berbasis padat modal cenderung tidak efisien (ICOR > 4), sebaliknya kategori industri berbasis padat karya memiliki efisiensi investasi yang

64 52 Pembahasan lebih baik (ICOR < 4). Kondisi ini mencerminkan besarnya beban belanja modal yang diperlukan dalam membangun industri padat modal, terutama untuk belanja barang modal yang berasal dari impor Rata-rata Nilai ICOR Lag 0 Tahun ICOR lag 0 mengandung makna bahwa investasi yang ditanam pada tahun ke-t akan mulai meningkatkan output pada tahun yang sama (tahun ke-t). Gambar 4.2 Rata-rata Nilai ICOR lag 0 Tahun ,88 4,65 4,87 4,53 5, Sumber: BPS Banten Gambar 4.2 memperlihatkan perkembangan ICOR lag 0 dari tahun 2010 hingga tahun 2014 di Provinsi Banten. Koefisien ICOR yang terbentuk mengalami fluktuasi pada beberapa tahun, dimana penurunan ICOR terjadi pada tahun 2011 dari 4,88 menjadi 4,65,

65 Pembahasan 53 serta tahun 2013 dari 4,87 menjadi 4,53. Sementara kenaikan tertinggi koefisien ICOR terjadi pada tahun 2014 dari 4,53 tahun sebelumnya menjadi 5,69, Hal ini kemungkinan terjadi karena situasi ekonomi global yang mempengaruhi proses produksi domestik ditambah situasi politik dalam negeri yang sedang melaksanakan pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Tabel 4.3. Nilai Koefisien ICOR Lag 0 Menurut Kategori Provinsi Banten Tahun ICOR Lag 0 Menurut Kategori Ratarata (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,41 1,18 1,09 0,80 1,82 1,06 2. Pertambangan dan Penggalian 7,59 0,37 (27,31) (0,57) 0,24 2,73 3. Industri Pengolahan 9,08 6,49 8,16 3,79 123,72 6,88 4. Pengadaan Listrik, Gas 1,08 43,78 8,80 (29,29) 10,57 6,82 5. Pengadaan Air 5,92 2,90 36,64 9,33 7,39 12,44 6. Konstruksi 3,61 2,42 2,06 1,71 1,29 2,22 7. Perdagangan Besar Eceran, Reparasi Kendaraan 1,34 0,83 1,07 1,78 1,72 1,35 8. Transportasi dan Pergudangan 10,91 9,37 7,72 17,70 14,41 12,02 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 5,72 5,60 9,63 10,25 4,45 7, Informasi dan Komunikasi 5,07 7,45 5,24 8,91 4,20 6, Jasa Keuangan 2,54 1,22 1,29 1,52 1,52 1, Real Estate 1,78 2,55 2,69 3,10 2,13 2, Jasa Perusahaan 3,27 3,11 3,40 4,13 2,04 3, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, Jaminan Sosial Wajib 15,82 25,33 16,59 92,11 7,10 31, Jasa Pendidikan 3,43 4,71 5,21 7,53 4,72 5, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 18,39 11,07 5,52 31,02 11,25 15, Jasa lainnya 3,22 3,80 7,13 3,91 1,59 3,93 Sumber : BPS Banten Total 4,88 4,65 4,87 4,53 5,69 4,92

66 54 Pembahasan Berdasarkan koefisien ICOR lag 0, investasi di Banten selama 2014 cenderung tidak efisien. Para investor seperti menunggu kepastian situasi politik yang dapat mendukung iklim usaha mereka. Kondisi ini terkonfirmasi dari penurunan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 2014 yang menurun dari 38,9 trilyun (tahun 2013) menjadi sebesar 24,1 trilyun, sementara realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) terfokus pada kategori industri publik seperti proyek penyediaan listrik, gas, dan air bersih yang memiliki koefisien ICOR besar. Selain itu, secara total nilai realisasi investasi PMA/PMDN selama 2014 masih lebih besar dibanding nilai realisasi tahun 2013, sehingga koefisien ICOR pada tahun 2014 kembali naik dibanding tahun Pada ICOR log 0, kategori Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan menjadi kategori industri yang memiliki efisiensi investasi yang paling efisien dengan rata-rata koefisien ICOR sebesar 1,06, disusul kemudian oleh kategori Perdagangan Besar dan Eceran, serta Reparasi Kendaraan dengan rata-rata ICOR sebesar 1,35, serta kategori Jasa Keuangan dengan rata-rata ICOR sebesar 1,62. Sementara kategori dengan rata-rata ICOR besar, terdapat pada kategori Administrasi Pemerintahan Umum (31,39), Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (15,45), serta kategori Pengadaan Air Bersih (12,44).

67 Pembahasan Perbandingan ICOR Kategori Utama Menurut Lag Perekonomian Banten selama periode tahun didominasi oleh aktifitas kategori manufaktur, konstruksi, perdagangan, transportasi, dan real estate hingga sebesar 71 persen dari total PDRB Banten. Dari kelima kategori industri utama tersebut kategori Perdagangan Besar Eceran, dan Reparasi Kendaraan serta merupakan kategori paling efisiensi dalam investasi dibandingkan kategori utama lainnya pada berbagai lag ICOR yang diamati. Sedangkan kategori industri manufaktur atau industri pengolahan sebagai kategori terbesar dalam pembentukan PDRB Banten ternyata kurang efisien dilihat dari koefisien ICOR baik di lag 0, lag 3, maupun lag 5. Gambar 4.3. Perbandingan ICOR Kategori Utama Menurut Lag lag 0 lag 1 lag 3 lag 4 lag Industri Konstruksi Perdagangan Transportasi Real Estate Sumber : BPS Banten

68 56 Pembahasan Terdapat pola yang hampir serupa dalam ICOR menurut lag pada kelima kategori utama tersebut, dimana semua kategori mengalami penurunan efisiensi investasi pada lag ke 3 atau koefisien ICOR lag 3 terbesar dibanding ICO lag lainnya. Kecenderungannya semakin panjang lag, semakin efisien investasi yg dilakukan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Banten mulai melambat dari 7,03 persen di tahun 2011 menjadi 6,83 persen, padahal arus investasi masih tinggi di tahun terutama investasi pada industri padat modal seperti industri logam dasar, dan barang dari logam. Akibatnya nilai koefisien ICOR naik pada lag 3 dan turun kembali pada lag 4 dan lag Nilai Koefisien ICOR pada Sub Kategori Hasil penghitungan koefisien ICOR menurut kategori pada beberapa kondisi dan lag ICOR, kadangkala menimbulkan kerancuan dalam memahami tingkat efisiensi investasi pada setiap kategori karena beragamnya sub kategori dan adanya perbedaan pada hasil investasi untuk setiap komoditi yang dihasilkan dari kategori tersebut. Kerancuan ini yang meningkatkan kebutuhan akan data ICOR menurut komoditi output barang dan jasa yang

69 Pembahasan 57 dihasilkan, sehingga keputusan dalam menentukan besaran investasi yang akan dilakukan lebih spesifik tertuju pada peningkatan output komoditi tersebut. Namun ketersediaan data investasi dan output untuk setiap komoditi sulit dikumpulkan, sehingga penyusunan ICOR pada kajian ini dibatasi sampai pada sub kategori. Jika pengamatan ICOR dilakukan hingga sub kategori industri, ditemukan nilai ICOR negatif karena perubahan nilai tambah bruto sub kategori yang lebih rendah dari tahun sebelumnya, atau juga nilai ICOR yang ekstrim tinggi karena perubahan PMTB yang jauh lebih besar dari perubahan nilai tambahnya. Pada keadaan tersebut di atas, secara teoritis dapat diabaikan dalam penghitungan atau analisis, karena ICOR negatif tidak memiliki makna secara ekonomi. Walaupun demikian, penelusuran penyebab terjadinya kondisi tersebut masih dapat diidentifikasi dan disertakan dalam analisis sebagai informasi tambahan dan catatan untuk kajian selanjutnya. Berdasarkan tabel lampiran ICOR menurut sub kategori, sub kategori tanaman pangan memiliki ICOR negatif pada lag 0 dan lag 1. Meningkatnya konversi lahan pertanian, dan jumlah petani yang menurun ikut mempercepat perlambatan nilai PDRB tanaman pangan pada tahun berikutnya, begitupun dengan perlambatan PDRB pada sub kategori industri kayu, Industri Karet, dan Industri Kulit, Alas Kaki, memiliki rata-rata ICOR negatif karena nilai PDRB

70 58 Pembahasan melambat akibat situasi ekonomi global yang mempengaruhi permintaan terhadap produk industri tersebut. ICOR negatif juga terjadi pada sub kategori pertambangan minyak dan gas bumi yang disebabkan karena pada sub kategori ini investasi yang dilakukan baru tahap eksplorasi mineral dan belum menghasilkan output atau nilai tambah yang melebihi biaya eksplorasinya Penggunaan Indikator ICOR Provinsi Banten 2014 Sesuai makna yang terkandung dalam rumusan indikator ICOR, penggunaan ICOR lebih banyak dalam kegiatan perencanaan untuk memperkirakan kebutuhan investasi yang dibutuhkan untuk mencapai suatu target pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Berdasarkan formulanya maka indikator ICOR dapat mengestimasi beberapa hal sebagai berikut: a. Memperkirakan nilai investasi (PMTB) yg diperlukan untuk mencapai target laju pertumbuhan ekonomi kategori tertentu. Sebagai contoh, jika target LPE tanaman pangan ditetapkan sebesar 4 persen di Berapa kebutuhan investasi di tanaman pangan untuk mencapai target pertumbuhan tersebut?

71 Pembahasan 59 Jika diketahui ICOR tanaman pangan 2014 sebesar 0,07; NTB (PDRB) tanaman pangan (adhk) tahun 2014 sebesar 7.335,6 milyar; tingkat inflasi 2014 sebesar 7,2 persen dan Indeks Implisit tanaman pangan 2014 sebesar 130,28. Maka dengan menggunakan rumusan I = ICOR Y, langkah untuk memperkirakan kebutuhan investasi tanaman pangan adalah sebagai berikut: - Estimasi PDRB tanaman pangan adhk 2015 = 104% x 7.335,6 = 7.629,02 milyar. - Estimasi PDRB atau Y 7.629, ,6 = 293,42 milyar - Estimasi I atau PMTB ,07 x 293,42 = 20,54 milyar (adhk) - Estimasi Indeks implisit ,28 x 107,2% = 139,66. - Estimasi PMTB 2015 (adhb) 139,66% x = 28,69 milyar. Maka besarnya kebutuhan investasi atau PMTB tanaman pangan di 2015 adalah sebesar 28,69 milyar rupiah. b. Menentukan target pertumbuhan suatu kategori. Penggunaan ICOR juga dapat digunakan untuk memperkirakan target laju pertumbuhan yang optimal dari suatu kategori, jika besaran

72 60 Pembahasan investasi yang akan dilakukan telah diketahui. Sebagai ilustrasi, Jika ICOR tanaman pangan 2014 = 0,07; NTB (PDRB) tanaman pangan 2014 sebesar 7.335,6 milyar; dan rencana PMTB tanaman pangan 2015 sebear 16,33 milyar. Dengan menggunakan rumusan Y = I/ICOR, maka langkahlangkah untuk memperkirakan pertumbuhan ekonomi optimum yang dapat diraih atau dijadikan target capaian adalah sebagai berikut: - Estimasi Y atau PDRB tanaman pangan atas dasar harga konstan (adhk) 2015 adalah sebesar: 16,33/0,07 = 238,12 milyar. - Estimasi laju pertumbuhan ekonomi (LPE) tanaman pangan tahun ,12/7.335,6 = 3,24 % Maka LPE optimal untuk sub kategori tanaman pangan yang dapat diraih tahun 2015 sebesar 3,24 persen.

73 5 KESIMPULAN DAN SARAN

74

75 Kesimpulan 63 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis ICOR Provinsi Banten 2014, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: a. Indikator ICOR (Incremental Capital Output Ratio) digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh investasi terhadap peningkatan output atau nilai tambah bruto perekonomian. dalam b. ICOR menjelaskan besarnya investasi (satuan unit moneter) yang dibutuhkan jika ingin meningkatkan 1 unit moneter output. Makin panjang periode waktu pengamatan yang digunakan dalam penghitungan ICOR (time lag), makin kecil ICOR yang dihasilkan. c. Perkembangan realisasi investasi di Provinsi Banten selama periode terus mengalami peningkatan, dengan kategori industri terbesar dalam investasi adalah Industri Logam Dasar, Barang dari logam, Mesin dan Elektronik, Industri Kimia, Industri Makanan dan Minuman, serta Penyediaan Listrik, Gas, dan Air.

76 64 Kesimpulan d. Investasi terbesar diluar kategori industri manufaktur, terdapat pada kategori Konstruksi dan Real Estate. e. Perkembangan ICOR di Provinsi Banten selama tahun berjalan fluktuatif, yang menunjukkan bahwa situasi investasi kurang stabil karena pengaruh situasi ekonomi global, fluktuasi harga energi dan BBM, serta situasi politik dan keamanan domestik selama Pemilu. f. Secara umum nilai ICOR Banten semakin menunjukan trend produktifitas investasi yang semakin efisien dan baik, dengan nilai rata-rata ICOR lag 5 sebesar 4,55, rata-rata ICOR lag 4 sebesar 6,49, rata-rata ICOR lag 3 sebesar 7,12, rata-rata ICOR lag 1 sebesar 4,66, dan rata-rata ICOR lag 0 sebesar 4,92, dengan koefisien ICOR pada tahun 2014 sebesar 5,69. Kategori yang paling efisien dalam produktifitas investasi adalah Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, Kategori Perdagangan Besar Eceran dan Reparasi Kendaraan, serta Kategori Jasa Keuangan. g. Kategori Pengadaan Listrik, dan Gas menjadi kategori industri yang paling tidak efisien pada ICOR lag 4. Hal ini terjelaskan karena kategori tersebut merupakan industri padat modal yang membutuhkan investasi besar dengan time lag yang panjang.

77 Kesimpulan Saran Untuk meningkatkan produktifitas investasi atau menurunkan nilai ICOR di masa datang dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, perlu sekiranya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Prioritas target dan arah pembangunan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi diutamakan pada kategori industri yang memiliki ICOR rendah serta memiliki kontribusi besar dalam struktur perekonomian Provinsi Banten. b. Memperkuat faktor kelembagaan, terutama terkait kepastian hukum atau aturan berinvestasi di Provinsi Banten, sistem ketenagakerjaan, perbaikan infrastruktur dan pasokan energi. c. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan sistem pendidikan terpadu, terutama dalam penguasaan teknologi maju, penciptaan substitusi barang modal impor, serta membangun keterkaitan industri hulu hilir atau kawasan industri yang terintegrasi dengan UMKM, guna menimbulkan efek investasi yang lebih luas ke segala sektor ekonomi.

78

79 Lampiran 1 L LAMPIRAN

80

81 Lampiran 69 LAMPIRAN TABEL Lampiran 1. Nilai ICOR Lag 1 Tahun Menurut Sub Kategori Industri di Provinsi Banten Kategori Industri Rata-rata tertimbang (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1,06 1,08 0,50 1,92 1,14 1. Tanaman Pangan (0,53) (4,73) 0,02 (0,36) 0,02 2. Tanaman Hortikultura Semusim 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3. Tanaman Perkebunan Semusim 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4. Tanaman Hortikultura Tahunan dan Lainnya 0,07 0,10 0,19 (0,31) 0,12 5. Perkebunan Tahunan 1,50 1,67 0,87 1,03 1,27 6. Peternakan 1,47 1,69 1,00 1,77 1,48 7. Jasa Pertanian, dan Perburuan 0,42 0,33 1,05 1,27 0,76 8. Kehutanan dan Penebangan Kayu 0,52 0,69 0,68 1,06 0,74 9. Perikanan 1,74 1,78 1,33 1,07 1,48 2. Pertambangan dan Penggalian 3,92 (39,75) (0,20) 0,37 2,14 1. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (2,74) (0,39) (0,24) (2,62) (1,50) 2. Pertambangan Batubara dan Lignit (9,31) 0,52 4,38 (28,08) 2,45 3. Pertambangan Bijih Logam 3,22 0,43 (0,08) 0,09 1,25 4. Pertambangan dan Penggalian Lainnya 1,61 0,61 1,08 3,10 1,60 3. Industri Pengolahan 5,66 6,82 4,12 138,42 5,53 1. Industri Batubara dan Pengilangan Migas 53,62 (20,03) 36,02 14,55 34,73 2. Industri Makanan dan Minuman 2,10 2,19 3,32 2,23 2,46 3. Pengolahan Tembakau 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 3,95 5,40 3,99 3,59 4,23 5. Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 2,67 (1,84) 4,29 4,59 3,85 6. Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya (3,17) (1,47) 3,93 (4,17) 3,93 7. Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 7,56 9,99 4,37 2,36 6,07 8. Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional 6,38 5,31 12,38 7,88 7,98 9. Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik (1,89) (7,97) 10,58 (0,09) 10, Industri Barang Galian bukan Logam 6,10 2,41 6,67 (17,53) 5, Industri Logam Dasar 3,62 (9,48) 3,78 (17,23) 3, Industri Barang dari Logam, Komputer, Barang Elektronik, Optik dan Peralatan Listrik (8,69) 0,90 2,16 (2,15) 1, Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL 2,63 (0,91) 6,41 (4,88) 4,52 14 Industri Alat Angkutan 2,79 5,87 3,82 3,50 3,99 15 Industri Furnitur 8,30 (0,94) 6,00 5,47 6, Industri pengolahan lainnya, jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 3,55 (6,71) 7,68 0,83 4,02

82 70 Lampiran Lampiran 1. Lanjutan... Kategori Industri Rata-rata tertimbang (1) (2) (3) (4) (5) (6) 4. Pengadaan Listrik, Gas 35,89 6,95 (8,71) 15,57 19,47 1 Ketenagalistrikan 8,58 6,62 11,98 102,21 9,06 2. Gas (2,60) 11,44 (0,41) 3,23 7,34 5. Pengadaan Air 14,31 18,25 5,62 4,33 10,63 6. Konstruksi 3,40 1,54 2,02 1,19 2,04 1. Konstruksi Gedung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2. Konstruksi Bangunan Sipil 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3. Konstruksi Khusus 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 0,95 0,98 1,69 1,63 1,31 1. Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2. Perdagangan Besar dan Eceran 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8. Transportasi dan Pergudangan 9,38 10,65 16,12 11,24 11,85 1. Angkutan Rel (47,30) 63,00 1,30 24,28 29,52 2. Angkutan Darat 5,15 6,74 6,17 4,56 5,66 3. Angkutan Laut 65,26 48,24 26,40 11,15 37,76 4. Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan 11,77 23,01 (13,13) 21,40 18,73 5. Angkutan Udara 6,04 6,15 7,90 8,20 7,07 6. Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan, Pos dan Kurir 45,29 42,79 42,67 40,46 42,80 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 4,53 7,90 12,98 3,25 7,17 1. Penyediaan Akomodasi 6,17 5,25 5,21 5,89 5,63 2. Penyediaan Makan Minum 4,48 8,05 13,67 3,19 7, Informasi dan Komunikasi 6,79 4,58 8,25 3,54 5, Jasa Keuangan 1,09 1,16 1,40 2,78 1,61 1. Bank 0,87 0,95 1,21 5,42 2,11 2. Asuransi dan Dana Pensiun 2,05 2,10 2,14 1,40 1,92 3. Jasa Keuangan Lainnya 1,60 1,43 1,56 0,95 1,39 4. Jasa Penunjang Keuangan 2,30 2,87 3,57 4,70 3, Real Estate 1,94 2,13 2,76 2,33 2, Jasa Perusahaan 2,88 3,17 2,99 2,33 2, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 13,81 12,76 94,35 6,55 31, Jasa Pendidikan 4,52 4,46 5,29 3,20 4, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7,23 8,71 16,87 7,93 10, Jasa lainnya 2,72 8,02 2,57 1,82 3,78 PDRB 4,27 4,48 4,37 5,51 4,66

83 Lampiran 71 Lampiran 2. Nilai ICOR Lag 3 Tahun Menurut Sub Kategori Industri di Provinsi Banten Kategori Industri Rata rata Tertimbang (1) (2) (3) (4) (5) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1,64 2,04 1,41 1,70 1. Tanaman Pangan (0,91) (0,72) 0,10 0,10 2. Tanaman Hortikultura Semusim 0,00 0,00 0,00 0,00 3. Tanaman Perkebunan Semusim 0,00 0,00 0,00 0,00 4. Tanaman Hortikultura Tahunan dan Lainnya 0,13 0,13 0,17 0,14 5. Perkebunan Tahunan 2,65 3,26 2,06 2,65 6. Peternakan 2,47 3,41 2,82 2,90 7. Jasa Pertanian, dan Perburuan 1,29 2,22 1,78 1,76 8. Kehutanan dan Penebangan Kayu 0,84 0,54 0,38 0,59 9. Perikanan 2,50 2,56 3,06 2,71 2. Pertambangan dan Penggalian 4,58 1,36 (1,13) 2,97 1. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (1,08) (1,12) (0,70) (0,97) 2. Pertambangan Batubara dan Lignit 2,51 2,36 2,10 2,32 3. Pertambangan Bijih Logam 2,76 0,28 (0,61) 1,52 4. Pertambangan dan Penggalian Lainnya 1,29 1,28 2,02 1,53 3. Industri Pengolahan 10,21 10,97 7,51 9,56 1. Industri Batubara dan Pengilangan Migas (94,24) (78,40) (98,93) (90,52) 2. Industri Makanan dan Minuman 2,84 2,52 3,39 2,91 3. Pengolahan Tembakau 0,00 0,00 0,00 0,00 4. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 7,24 7,72 6,72 7,23 5. Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki (105,19) (69,63) (2,97) (59,26) 6. Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya (2,18) (1,58) (1,31) (1,69) 7. Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 18,68 34,04 18,15 23,62 8. Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional 8,70 8,68 8,58 8,65 9. Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik (2,43) (0,81) (15,16) (6,13) 10. Industri Barang Galian bukan Logam 5,74 7,04 6,37 6, Industri Logam Dasar 56,30 71,81 15,68 47, Industri Barang dari Logam, Komputer, Barang Elektronik, Optik dan Peralatan Listrik 6,53 8,38 3,50 6, Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL 17,28 7,86 (3,05) 12,57 14 Industri Alat Angkutan 7,53 5,84 3,03 5,47 15 Industri Furnitur (5,10) (9,18) (9,73) (8,00) 16. Industri pengolahan lainnya, jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 6,34 3,43 (28,12) 4,89

84 72 Lampiran Lampiran 2. Lanjutan... Kategori Industri Rata rata Tertimbang (1) (2) (3) (4) (5) 4. Pengadaan Listrik, Gas 18,52 39,14 (5.613,26) 28,83 1 Ketenagalistrikan 12,83 26,05 29,61 22,83 2. Gas (7,88) (21,61) (6,74) (12,08) 5. Pengadaan Air 19,87 15,86 26,77 20,83 6. Konstruksi 3,52 3,27 2,83 3,21 1. Konstruksi Gedung 0,00 0,00 0,00 0,00 2. Konstruksi Bangunan Sipil 0,00 0,00 0,00 0,00 3. Konstruksi Khusus 0,00 0,00 0,00 0,00 7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 1,46 1,46 2,08 1,66 1. Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya 0,00 0,00 0,00 0,00 2. Perdagangan Besar dan Eceran 0,00 0,00 0,00 0,00 8. Transportasi dan Pergudangan 13,59 12,57 18,30 14,82 1. Angkutan Rel (57,26) (136,88) 89,66 89,66 2. Angkutan Darat 8,10 8,97 15,48 10,85 3. Angkutan Laut 84,34 87,72 56,54 76,20 4. Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan 16,16 12,94 330,24 14,55 5. Angkutan Udara 6,72 3,53 1,17 3,81 6. Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan, Pos dan Kurir 68,80 72,58 67,32 69,57 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 9,92 10,42 15,86 12,07 1. Penyediaan Akomodasi 8,82 9,51 8,81 9,05 2. Penyediaan Makan Minum 9,97 10,46 16,36 12, Informasi dan Komunikasi 8,66 9,58 10,77 9, Jasa Keuangan 1,79 1,97 1,80 1,85 1. Bank 1,46 1,65 1,44 1,52 2. Asuransi dan Dana Pensiun 3,21 3,39 3,28 3,29 3. Jasa Keuangan Lainnya 2,37 2,58 2,60 2,52 4. Jasa Penunjang Keuangan 3,94 4,12 5,07 4, Real Estate 3,51 4,27 4,29 4, Jasa Perusahaan 4,71 5,58 5,71 5, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 24,15 30,30 42,84 32, Jasa Pendidikan 7,16 8,76 11,86 9, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 11,15 13,64 22,65 15, Jasa lainnya 6,72 8,35 7,28 7,45 PDRB 6,86 7,34 7,15 7,12

85 Lampiran 73 Lampiran 3. Nilai ICOR Lag 4 Tahun Menurut Kategori Industri di Provinsi Banten Kategori Industri Rata rata Tertimbang (1) (2) (3) (4) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1,14 1,36 1,25 1. Tanaman Pangan 0,25 0,18 0,21 2. Tanaman Hortikultura Semusim 0,00 0,00 0,00 3. Tanaman Perkebunan Semusim 0,00 0,00 0,00 4. Tanaman Hortikultura Tahunan dan Lainnya 0,15 0,12 0,14 5. Perkebunan Tahunan 1,97 2,04 2,01 6. Peternakan 1,95 2,59 2,27 7. Jasa Pertanian, dan Perburuan 1,43 1,66 1,54 8. Kehutanan dan Penebangan Kayu 0,74 0,41 0,57 9. Perikanan 2,06 2,50 2,28 2. Pertambangan dan Penggalian 3,50 (6,23) 3,50 1. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (2,18) (0,79) (1,48) 2. Pertambangan Batubara dan Lignit 3,22 2,80 3,01 3. Pertambangan Bijih Logam 2,33 1,88 2,10 4. Pertambangan dan Penggalian Lainnya 1,37 1,61 1,49 3. Industri Pengolahan 10,52 7,25 8,88 1. Industri Batubara dan Pengilangan Migas 619,35 (739,75) (60,20) 2. Industri Makanan dan Minuman 3,08 2,99 3,04 3. Pengolahan Tembakau 0,00 0,00 0,00 4. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 5,84 6,26 6,05 5. Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 5,96 26,88 16,42 6. Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya (2,19) (2,02) (2,11) 7. Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman (45,15) 16,31 16,31 8. Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional 7,74 8,45 8,09 9. Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik (1,89) (1,71) (1,80) 10. Industri Barang Galian bukan Logam 7,33 6,55 6, Industri Logam Dasar 50,28 11,90 31, Industri Barang dari Logam, Komputer, Barang Elektronik, Optik dan Peralatan Listrik 30,24 4,02 17, Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL 5,04 4,34 4,69 14 Industri Alat Angkutan 4,18 3,04 3,61 15 Industri Furnitur (25,64) (15,16) (20,40) 16. Industri pengolahan lainnya, jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 3,26 8,35 5,80

86 74 Lampiran Lampiran 3. Lanjutan... Kategori Industri Rata rata Tertimbang (1) (2) (3) (4) 4. Pengadaan Listrik, Gas 7,93 440,86 7,93 1 Ketenagalistrikan 26,14 24,95 25,55 2. Gas 1,65 (5,84) 1,65 5. Pengadaan Air 9,14 15,89 12,52 6. Konstruksi 3,36 2,73 3,05 1. Konstruksi Gedung 0,00 0,00 0,00 2. Konstruksi Bangunan Sipil 0,00 0,00 0,00 3. Konstruksi Khusus 0,00 0,00 0,00 7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 1,43 1,55 1,49 1. Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya 0,00 0,00 0,00 2. Perdagangan Besar dan Eceran 0,00 0,00 0,00 8. Transportasi dan Pergudangan 12,05 14,42 13,23 1. Angkutan Rel 191,12 139,51 165,31 2. Angkutan Darat 8,20 11,65 9,92 3. Angkutan Laut 180,85 58,60 119,73 4. Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan 16,70 18,52 17,61 5. Angkutan Udara 4,38 3,28 3,83 6. Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan, Pos dan Kurir 82,56 62,00 72,28 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 8,94 11,27 10,10 1. Penyediaan Akomodasi 8,59 8,20 8,39 2. Penyediaan Makan Minum 8,95 11,43 10, Informasi dan Komunikasi 8,06 9,87 8, Jasa Keuangan 2,07 1,61 1,84 1. Bank 1,79 1,29 1,54 2. Asuransi dan Dana Pensiun 3,10 2,92 3,01 3. Jasa Keuangan Lainnya 2,33 2,35 2,34 4. Jasa Penunjang Keuangan 3,86 4,04 3, Real Estate 3,45 3,77 3, Jasa Perusahaan 4,87 4,87 4, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 27,02 37,59 32, Jasa Pendidikan 6,68 9,55 8, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 14,34 18,34 16, Jasa lainnya 6,48 6,03 6,25 PDRB 6,60 6,37 6,49

87 Lampiran 75 Lampiran 4. Nilai ICOR Lag 0 Tahun Menurut Sub Kategori Industri di Provinsi Banten Kategori Industri Rata-rata Tertimbang (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,41 1,18 1,09 0,80 1,82 1,06 1. Tanaman Pangan 0,08 (0,29) (2,34) 0,05 (0,19) 0,07 2. Tanaman Hortikultura Semusim 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3. Tanaman Perkebunan Semusim 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4. Tanaman Hortikultura Tahunan dan Lainnya 0,27 0,07 0,11 0,19 (0,13) 0,16 5. Perkebunan Tahunan 0,69 1,99 1,94 1,07 1,01 1,34 6. Peternakan 0,63 1,88 1,68 1,84 1,60 1,53 7. Jasa Pertanian, dan Perburuan 0,18 0,90 1,28 1,15 1,13 0,93 8. Kehutanan dan Penebangan Kayu 1,99 0,43 0,65 0,06 0,77 0,78 9. Perikanan 1,35 1,48 1,64 1,81 1,43 1,54 2. Pertambangan dan Penggalian 7,59 0,37 (27,31) (0,57) 0,24 2,73 1. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 3,19 (1,31) (0,20) (1,05) (0,65) 3,19 2. Pertambangan Batubara dan Lignit 13,33 (4,84) 0,72 5,31 (27,42) 6,45 3. Pertambangan Bijih Logam 10,57 0,10 0,31 (0,19) 0,09 2,77 4. Pertambangan dan Penggalian Lainnya 1,58 0,81 0,45 2,81 3,29 1,79 3. Industri Pengolahan 9,08 6,49 8,16 3,79 123,72 6,88 1. Industri Batubara dan Pengilangan Migas 26,74 54,13 (19,51) 18,19 23,58 30,66 2. Industri Makanan dan Minuman 7,03 2,40 1,32 3,29 3,59 3,53 3. Pengolahan Tembakau 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 3,01 5,23 5,24 3,85 3,72 4,21 5. Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 2,39 1,93 (0,88) 3,69 4,31 3,08 6. Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya (6,56) (3,63) (0,31) 5,69 (4,27) 5,69 7. Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman (2,34) 7,49 23,51 8,54 2,39 10,48 8. Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional 5,62 8,16 4,90 10,43 5,64 6,95 9. Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik (4,98) (0,67) (0,92) 17,39 (0,67) 17, Industri Barang Galian bukan Logam 9,09 7,32 3,21 7,76 (11,71) 6, Industri Logam Dasar 17,29 6,44 (11,81) 4,06 (12,01) 9, Industri Barang dari Logam, Komputer, Barang Elektronik, Optik dan Peralatan Listrik (1,91) (6,88) 3,65 1,62 (2,36) 2, Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL 3,89 0,66 (2,01) 0,17 (2,26) 2,28 14 Industri Alat Angkutan 2,19 3,08 10,71 0,13 3,85 3,99 15 Industri Furnitur 4,79 3,96 (0,97) 31,47 2,27 10, Industri pengolahan lainnya, jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 3,14 1,38 (0,53) 88,09 2,68 23,82

88 76 Lampiran Lampiran 4. Lanjutan... Kategori Industri Rata-rata Tertimbang (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 4. Pengadaan Listrik, Gas 1,08 43,78 8,80 (29,29) 10,57 6,82 1 Ketenagalistrikan 26,83 11,26 8,71 35,81 64,37 29,40 2. Gas 0,20 (2,06) 10,04 (3,19) 2,90 4,38 5. Pengadaan Air 5,92 2,90 36,64 9,33 7,39 12,44 6. Konstruksi 3,61 2,42 2,06 1,71 1,29 2,22 1. Konstruksi Gedung 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2. Konstruksi Bangunan Sipil 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3. Konstruksi Khusus 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 1,34 0,83 1,07 1,78 1,72 1,35 1. Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2. Perdagangan Besar dan Eceran 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8. Transportasi dan Pergudangan 10,91 9,37 7,72 17,70 14,41 12,02 1. Angkutan Rel 25,25 (3,31) 69,38 43,64 25,82 41,02 2. Angkutan Darat 6,42 5,79 4,80 10,14 8,61 7,15 3. Angkutan Laut (75,18) 66,87 49,86 28,01 12,76 39,37 4. Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan 27,71 5,67 10,93 (37,84) 8,67 13,25 5. Angkutan Udara 5,95 5,45 1,33 0,16 2,71 3,12 6. Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan, Pos dan Kurir 156,93 49,21 46,46 42,67 41,55 67,36 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 5,72 5,60 9,63 10,25 4,45 7,13 1. Penyediaan Akomodasi 6,42 6,60 5,68 5,64 6,31 6,13 2. Penyediaan Makan Minum 5,70 5,57 9,86 10,66 4,40 7, Informasi dan Komunikasi 5,07 7,45 5,24 8,91 4,20 6, Jasa Keuangan 2,54 1,22 1,29 1,52 1,52 1,62 1. Bank 2,66 1,00 1,08 1,33 2,04 1,62 2. Asuransi dan Dana Pensiun 2,41 2,17 2,22 2,26 1,26 2,06 3. Jasa Keuangan Lainnya 1,74 1,74 1,57 1,69 1,08 1,56 4. Jasa Penunjang Keuangan 3,20 2,43 3,00 3,71 4,83 3, Real Estate 1,78 2,55 2,69 3,10 2,13 2, Jasa Perusahaan 3,27 3,11 3,40 4,13 2,04 3, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 15,82 25,33 16,59 92,11 7,10 31, Jasa Pendidikan 3,43 4,71 5,21 7,53 4,72 5, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 18,39 11,07 5,52 31,02 11,25 15, Jasa lainnya 3,22 3,80 7,13 3,91 1,59 3,93 PDRB 4,88 4,65 4,87 4,53 5,69 4,92

89 Lampiran 77 Lampiran 5. Nilai ICOR Lag 5 Tahun Menurut Sub Kategori Industri di Provinsi Banten Kategori Industri (1) (2) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,87 1. Tanaman Pangan 0,17 2. Tanaman Hortikultura Semusim 0,00 3. Tanaman Perkebunan Semusim 0,00 4. Tanaman Hortikultura Tahunan dan Lainnya 0,17 5. Perkebunan Tahunan 1,11 6. Peternakan 1,38 7. Jasa Pertanian, dan Perburuan 0,96 8. Kehutanan dan Penebangan Kayu 0,76 9. Perikanan 1,44 2. Pertambangan dan Penggalian 4,20 1. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (1,81) 2. Pertambangan Batubara dan Lignit 3,76 3. Pertambangan Bijih Logam 2,53 4. Pertambangan dan Penggalian Lainnya 1,40 3. Industri Pengolahan 7,06 1. Industri Batubara dan Pengilangan Migas 66,79 2. Industri Makanan dan Minuman 2,43 3. Pengolahan Tembakau 0,00 4. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 3,91 5. Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 5,47 6. Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya (2,70) 7. Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 4,50 8. Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional 6,90 9. Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik (1,57) 10. Industri Barang Galian bukan Logam 7, Industri Logam Dasar 13, Industri Barang dari Logam, Komputer, Barang Elektronik, Optik dan Peralatan Listrik 13, Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL 6,00 14 Industri Alat Angkutan 3,28 15 Industri Furnitur 13, Industri pengolahan lainnya, jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 2,38

90 78 Lampiran Lampiran 5. Lanjutan... Kategori Industri (1) (2) 4. Pengadaan Listrik, Gas 8,74 1 Ketenagalistrikan 21,40 2. Gas 1,93 5. Pengadaan Air 6,80 6. Konstruksi 1,84 1. Konstruksi Gedung 0,00 2. Konstruksi Bangunan Sipil 0,00 3. Konstruksi Khusus 0,00 7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 1,17 1. Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya 0,00 2. Perdagangan Besar dan Eceran 0,00 8. Transportasi dan Pergudangan 10,58 1. Angkutan Rel 25,68 2. Angkutan Darat 5,18 3. Angkutan Laut 31,38 4. Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan 16,28 5. Angkutan Udara 5,54 6. Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan, Pos dan Kurir 49,45 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 5,66 1. Penyediaan Akomodasi 5,66 2. Penyediaan Makan Minum 5, Informasi dan Komunikasi 5, Jasa Keuangan 1,53 1. Bank 1,41 2. Asuransi dan Dana Pensiun 1,91 3. Jasa Keuangan Lainnya 1,34 4. Jasa Penunjang Keuangan 3, Real Estate 2, Jasa Perusahaan 2, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 13, Jasa Pendidikan 3, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 9, Jasa lainnya 2,73 PDRB 4,55

91 Lampiran 79 Kategori Industri Rata-rata Tertimbang (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,41 1,18 1,09 0,80 1,82 1,06 2. Pertambangan dan Penggalian 7,59 0,37 (27,31) (0,57) 0,24 2,73 3. Industri Pengolahan 9,08 6,49 8,16 3,79 123,72 6,88 4. Pengadaan Listrik, Gas 1,08 43,78 8,80 (29,29) 10,57 16,06 5. Pengadaan Air 5,92 2,90 36,64 9,33 7,39 12,44 6. Konstruksi 3,61 2,42 2,06 1,71 1,29 2,22 7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 1,34 0,83 1,07 1,78 1,72 1,35 8. Transportasi dan Pergudangan 10,91 9,37 7,72 17,70 14,41 12,02 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 5,72 5,60 9,63 10,25 4,45 7, Informasi dan Komunikasi 5,07 7,45 5,24 8,91 4,20 6, Jasa Keuangan 2,54 1,22 1,29 1,52 1,52 1, Real Estate 1,78 2,55 2,69 3,10 2,13 2, Jasa Perusahaan 3,27 3,11 3,40 4,13 2,04 3, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 15,82 25,33 16,59 92,11 7,10 31, Jasa Pendidikan 3,43 4,71 5,21 7,53 4,72 5, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 18,39 11,07 5,52 31,02 11,25 15, Jasa lainnya 3,22 3,80 7,13 3,91 1,59 3,93 Total 4,88 4,65 4,87 4,53 5,69 4,92 Lampiran 6. Nilai ICOR Lag 0 Tahun Menurut Kategori di Provinsi Banten

92 80 Lampiran Kategori Industri Rata-rata Tertimbang (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1,06 1,08 0,50 1,92 1,14 2. Pertambangan dan Penggalian 3,92 (39,75) (0,20) 0,37 2,14 3. Industri Pengolahan 5,66 6,82 4,12 138,42 5,53 4. Pengadaan Listrik, Gas 35,89 6,95 (8,71) 15,57 19,47 5. Pengadaan Air 14,31 18,25 5,62 4,33 10,63 6. Konstruksi 3,40 1,54 2,02 1,19 2,04 7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 0,95 0,98 1,69 1,63 1,31 8. Transportasi dan Pergudangan 9,38 10,65 16,12 11,24 11,85 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 4,53 7,90 12,98 3,25 7, Informasi dan Komunikasi 6,79 4,58 8,25 3,54 5, Jasa Keuangan 1,09 1,16 1,40 2,78 1, Real Estate 1,94 2,13 2,76 2,33 2, Jasa Perusahaan 2,88 3,17 2,99 2,33 2, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 13,81 12,76 94,35 6,55 31, Jasa Pendidikan 4,52 4,46 5,29 3,20 4, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7,23 8,71 16,87 7,93 10, Jasa lainnya 2,72 8,02 2,57 1,82 3,78 Total 4,27 4,48 4,37 5,51 4,66 Lampiran 7. Nilai ICOR Lag 1 Tahun Menurut Kategori di Provinsi Banten

93 Lampiran 81 Kategori Industri Rata-rata Tertimbang (1) (2) (3) (4) (5) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1,64 2,04 1,41 1,70 2. Pertambangan dan Penggalian 4,58 1,36 (1,13) 2,97 3. Industri Pengolahan 10,21 10,97 7,51 9,56 4. Pengadaan Listrik, Gas 18,52 39,14 (5.613,26) 28,83 5. Pengadaan Air 19,87 15,86 26,77 20,83 6. Konstruksi 3,52 3,27 2,83 3,21 7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 1,46 1,46 2,08 1,66 8. Transportasi dan Pergudangan 13,59 12,57 18,30 14,82 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 9,92 10,42 15,86 12, Informasi dan Komunikasi 8,66 9,58 10,77 9, Jasa Keuangan 1,79 1,97 1,80 1, Real Estate 3,51 4,27 4,29 4, Jasa Perusahaan 4,71 5,58 5,71 5, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 24,15 30,30 42,84 32, Jasa Pendidikan 7,16 8,76 11,86 9, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 11,15 13,64 22,65 15, Jasa lainnya 6,72 8,35 7,28 7,45 Total 6,86 7,34 7,15 7,12 Lampiran 8. Nilai ICOR Lag 3 Tahun Menurut Kategori Industri di Provinsi Banten

94 82 Lampiran Lampiran 9. Nilai ICOR Lag 4 Tahun Menurut Kategori Industri di Provinsi Banten Kategori Industri Rata-rata Tertimbang (1) (2) (3) (4) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1,14 1,36 1,25 2. Pertambangan dan Penggalian 3,50 (6,23) 3,50 3. Industri Pengolahan 10,52 7,25 8,88 4. Pengadaan Listrik, Gas 7,93 440,86 224,39 5. Pengadaan Air 9,14 15,89 12,52 6. Konstruksi 3,36 2,73 3,05 7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 1,43 1,55 1,49 8. Transportasi dan Pergudangan 12,05 14,42 13,23 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 8,94 11,27 10, Informasi dan Komunikasi 8,06 9,87 8, Jasa Keuangan 2,07 1,61 1, Real Estate 3,45 3,77 3, Jasa Perusahaan 4,87 4,87 4, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 27,02 37,59 32, Jasa Pendidikan 6,68 9,55 8, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 14,34 18,34 16, Jasa lainnya 6,48 6,03 6,25 Total 6,60 6,37 6,49

95 Lampiran 83 Kategori Industri (1) (2) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,87 2. Pertambangan dan Penggalian 4,20 3. Industri Pengolahan 7,06 4. Pengadaan Listrik, Gas 8,74 5. Pengadaan Air 6,80 6. Konstruksi 1,84 7. Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 1,17 8. Transportasi dan Pergudangan 10,58 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 5, Informasi dan Komunikasi 5, Jasa Keuangan 1, Real Estate 2, Jasa Perusahaan 2, Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 13, Jasa Pendidikan 3, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 9, Jasa lainnya 2,73 Total 4,55 Lampiran 10. Nilai ICOR Lag 5 Tahun Menurut Kategori Industri di Provinsi Banten

96

97 Daftar Pustaka 85 DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. (2015). Produk Domestik Regional Bruto Menurut Pengeluaran Provinsi Banten BPS Banten. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. (2015). Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Provinsi Banten BPS Banten. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten (2015).Analisis Tabel Input- Output Provinsi Banten Tahun BPS Provinsi Banten, Serang Badan Pusat Statistik Kabupaten Situbondo. (2012). Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan Incremental Labour Output Ratio (ILOR) Kabupaten Situbondo Tahun BPS Kabupaten Situbondo. Badan Pusat Statistik. (2012). Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLUI). Jakarta Badan Pusat Statistik. (2012). Klasifikasi Baku Komoditas Indonesia (KBKI). Jakarta Nkurunziza, Janvier. D. (2014). Political Economy Research Institute: Capital Flight and Poverty Reduction in Aprica. University of Massachusetts Amherst. Working Paper Series, Number 365. Rachmawati, L. Cahyono, H.Kurniawan, R. (2011). Analisis Kebutuhan Investasi Sektoral Jawa Timur Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi.Jurnal ISEI. Jember Volume I.

98 86 Daftar Pustaka Sutomo, Slamet. (2015). Sistem Data dan Perangkat Analisis Ekonomi Makro. Corleone Books-Publishing House of Litera Media, Bandung. Todaro, Michael P & Smith, Stephen C, (2003). Economic Development. 8 th Edition, Pearson Addision-Willey. United Nations. (2009). System of National Accounts New York

99

100

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 Katalog BPS : 1119.3204 INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 Kerjasama : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung dengan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bandung BUPATI

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Assalamu alaikum Wr. Wb.

SAMBUTAN. Assalamu alaikum Wr. Wb. SAMBUTAN Assalamu alaikum Wr. Wb. Dengan Rahmat Allah SWT, kita bersyukur atas penerbitan Publikasi Analisis Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Kota Semarang Tahun 2010. Melalui publikasi ini dapat

Lebih terperinci

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANYUWANGI

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANYUWANGI INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANYUWANGI Kerjasama BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI Dengan FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014 DAFTAR

Lebih terperinci

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) DAN INCREMENTAL LABOR OUTPUT RATIO (ILOR) KABUPATEN LOMBOK BARAT

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) DAN INCREMENTAL LABOR OUTPUT RATIO (ILOR) KABUPATEN LOMBOK BARAT INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) DAN INCREMENTAL LABOR OUTPUT RATIO (ILOR) KABUPATEN LOMBOK BARAT 2012-2015 Tahun Anggaran 2016 KATALOG DALAM PENERBITAN Catalogue in Publication Judul / Title :

Lebih terperinci

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013 i ANALISIS PENDAPATAN REGIONAL KABUPATEN PULAU MOROTAI 2013 ii KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terbitnya publikasi Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai

Lebih terperinci

(PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN

(PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN KONTRIBUSI INVESTASI SWASTA TERHADAP PEMBENTUKAN MODAL TETAP BRUTO (PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN 2010 2014 Pendahuluan Dalam perhitungan PDRB terdapat 3 pendekatan, yaitu

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta

Lebih terperinci

ANALISIS ICOR SEKTORAL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS ICOR SEKTORAL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANALISIS ICOR SEKTORAL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2009-2013 KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK DAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KATA PENGANTAR Dalam struktur perencanaan

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

id o..g ps.b w w w :// tp ht Produk Domestik Bruto menurut Penggunaan 2008-2013 ISSN: 1979-8776 No. Publikasi: 07240.1401 Katalog BPS: 9302004 Ukuran Buku: 21 cm x 29 cm Jumlah Halaman: viii + 98 halaman

Lebih terperinci

M E T A D A T A. INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik

M E T A D A T A. INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik : Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No.

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO Triwulan II-29 Perekonomian Indonesia secara tahunan (yoy) pada triwulan II- 29 tumbuh 4,%, lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya (4,4%). Sementara itu, perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 47/11/34/Th. XIII, 7 November 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2011 SEBESAR 7,96 PERSEN ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 SEBESAR 6,30 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 SEBESAR 6,30 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 16/05/34/Th. X, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 SEBESAR 6,30 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 34/08/34/Th. XIII, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2011 SEBESAR -3,89 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

/w :/ tp ht w w o. id s. g.b p PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA MENURUT PENGELUARAN TAHUN 2011-2015 ISBN : 978-979-064-978-1 Katalog : 9301005 Nomor Publikasi : 07240.1601 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2014 2 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA Release PDRB tahun dan selanjutnya menggunakan tahun dasar 2010 berbasis SNA 2008 No. 11/02/34/Th.XVII, 5 Februari 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN EKONOMI DAERAH

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2014 EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2014 TUMBUH 5,4 PERSEN MENGUAT SETELAH MENGALAMI PERLAMBATAN SEJAK EMPAT TAHUN SEBELUMNYA No. 13/02/33/Th.IX, 5 Februari 2015 Release

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Ini sesuai dengan pembagian yang digunakan dalam penghitungan Produk

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Ini sesuai dengan pembagian yang digunakan dalam penghitungan Produk 17 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS Seperti diketahui PDRB adalah penjumlahan dari seluruh Nilai Tambah Bruto (NTB) yang dihasilkan oleh setiap kegiatan/lapangan usaha. Dalam penghitungan PDRB, seluruh lapangan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH No.12/02/33/Th.VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN PDRB JAWA TENGAH TAHUN 2012 MENCAPAI 6,3 PERSEN Besaran PDRB Jawa Tengah pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 SEBESAR 2,93 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 SEBESAR 2,93 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 25/05/34/Th. XV, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013 SEBESAR 2,93 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT L A P O R A N K A J I A N INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT K E R J A S A M A P R O D I P E R E N C A N A A N W I L A Y A H S E K O L A H P A S C A S A R A J A N A U N I V E R S I T A S S

Lebih terperinci

Daerah Istimewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta ANALISIS ICOR SEKTORAL Daerah Istimewa Yogyakarta 2011-2015 KERJA SAMA BADAN PUSAT STATISTIK DAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2016 ANALISIS ICOR SEKTORAL DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 No. 68/11/33/Th.VIII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No.51/08/33/Th.VIII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG No. 05/6474/Th.V, 28 Desember 2016 TINJAUAN PDRB KOTA BONTANG MENURUT PENGGUNAAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Penggunaan Kota Bontang dalam tahun 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang terpadu merupakan segala bentuk upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi yang ditunjang oleh kegiatan non ekonomi.

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN No. 44/08/34/Th. XV, 2 Agustus 2013 Pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada

Lebih terperinci

Bukuini merupakanlaporan pendahuluan dari kegiatan AnalisisMakro

Bukuini merupakanlaporan pendahuluan dari kegiatan AnalisisMakro KATA PENGANTAR Bukuini merupakanlaporan pendahuluan dari kegiatan AnalisisMakro Ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun anggaran 2014. Laporan inimenyajikananalisisdeskriptif yang meliputi analisis Perubahan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tenggara Triwulan III-2017

Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tenggara Triwulan III-2017 Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tenggara N o. 61/11/Th.IX, 6 November 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI TENGGARA Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tenggara Triwulan III-2017 Provinsi Sulawesi Tenggara

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014 No. 40/08/36/Th.VIII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014 PDRB Banten triwulan II tahun 2014, secara quarter to quarter (q to q) mengalami pertumbuhan sebesar 2,17 persen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dikatakan baik apabila terjadi peningkatan pada laju pertumbuhan di

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dikatakan baik apabila terjadi peningkatan pada laju pertumbuhan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 No.43/08/33/Th.V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 PDRB Jawa Tengah pada triwulan II tahun 2011 meningkat sebesar 1,8 persen dibandingkan triwulan I tahun 2011 (q-to-q).

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN 2 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 48/08/34/Th.XVI, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN Kinerja pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. : 1. Metha Herwulan Ningrum 2. Ir. Wieta B. Komalasari, Msi 3. Sri Wahyuningsih, S.Si 4. Rinawati, SE 5. Yani Supriyati, SE. 2.

DAFTAR ISI. : 1. Metha Herwulan Ningrum 2. Ir. Wieta B. Komalasari, Msi 3. Sri Wahyuningsih, S.Si 4. Rinawati, SE 5. Yani Supriyati, SE. 2. DAFTAR ISI Halaman Penjelasan Umum...1 Perkembangan PDB Indonesia dan PDB Sektor Pertanian, Triwulan IV Tahun 2013 2014...5 Kontribusi Setiap Lapangan Usaha Terhadap PDB Indonesia, Triwulan IV Tahun 2013

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

Laporan Finalisasi PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA TANGERANG. Triwulan IV Kategori

Laporan Finalisasi PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA TANGERANG. Triwulan IV Kategori Laporan Finalisasi PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA TANGERANG Triwulan IV 17 Kategori DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KOTA TANGERANG PENJELASAN UMUM Terdapat perubahan tahun dasar dan cakupan lapangan

Lebih terperinci

PENDAPATAN NASIONAL. Andri Wijanarko,SE,ME. 1

PENDAPATAN NASIONAL. Andri Wijanarko,SE,ME. 1 PENDAPATAN NASIONAL Andri Wijanarko,SE,ME andri_wijanarko@yahoo.com 1 Output Nasional 2 Output Nasional (#1) Merupakan gambaran awal tentang seberapa efisien sumber daya yang ada dalam perekonomian untuk

Lebih terperinci

w tp :// w ht.b p w s. go.id PERKEMBANGAN INDEKS PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR DAN SEDANG 2011 2013 ISSN : 1978-9602 No. Publikasi : 05310.1306 Katalog BPS : 6102002 Ukuran Buku : 16 x 21 cm Jumlah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008 SEBESAR -3,94 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008 SEBESAR -3,94 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 29/08/34/Th. X, 14 Agustus 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008 SEBESAR -3,94 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 09/02/61/Th. XIII, 10 Februari 2010 PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT TAHUN 2009 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2009 meningkat 4,76 persen dibandingkan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha)

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) 2005-2008 Nomor Katalog BPS : 9205.11.18 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 20 cm x 27 cm : vii + 64 Lembar Naskah : Seksi Neraca

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No. 47/08/72/Thn XVII, 05 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan

Lebih terperinci

Katalog BPS 9207. PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA MENURUT PENGGUNAAN (DAN AGREGAT-AGREGATNYA) TAHUN 2000 2005:Triwulan III Badan Pusat Statistik, Jakarta - Indonesia PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA MENURUT

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN

PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN Kinerja perekonomian Indonesia masih terus menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa triwulan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 No. 28/05/72/Thn XVII, 05 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 Perekonomian Sulawesi Tengah triwulan I-2014 mengalami kontraksi 4,57 persen jika dibandingkan dengan triwulan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah dibutuhkannya investasi. Investasi merupakan salah satu pendorong untuk mendapatkan pendapatan yang

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SERDANG BEDAGAI TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI SERDANG BEDAGAI TAHUN 2015 BPS KABUPATEN SERDANG BEDAGAI No. 01/10/1218/Th.VII, 10 Oktober 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI SERDANG BEDAGAI TAHUN 2015 Pertumbuhan Ekonomi Serdang Bedagai tahun 2015 yang diukur berdasarkan kenaikan Produk

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 3,41 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 3,41 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 27/05/34/Th.XVI, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 3,41 PERSEN Kinerja pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB Lapangan Usaha TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB Lapangan Usaha TAHUN 2015 BPS KABUPATEN TAPANULI UTARA No. 01/08/1205/Th. VIII, 16 Agustus 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB Lapangan Usaha TAHUN 2015 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara

Lebih terperinci

A. Kapasitas Produksi Nasional 1. Pengertian Kapasitas Produksi Nasional Besar kecilnya jumlah barang dan jasa jasa yang dapat dihasilkan oleh suatu

A. Kapasitas Produksi Nasional 1. Pengertian Kapasitas Produksi Nasional Besar kecilnya jumlah barang dan jasa jasa yang dapat dihasilkan oleh suatu A. Kapasitas Produksi Nasional 1. Pengertian Kapasitas Produksi Nasional Besar kecilnya jumlah barang dan jasa jasa yang dapat dihasilkan oleh suatu perekonomian tergantung kepada besar kecilnya kapasitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri APRIL 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi April 2017 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I 2017 Pada triwulan 1 2017 perekonomian Indonesia, tumbuh sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN BPS PROVINSI MALUKU No. 01/05/81/Th.XV, 05 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN PDRB Maluku pada triwulan IV tahun 2013 bertumbuh

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN I-2014 No.22/05/36/Th.VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN I-2014 PDRB Banten triwulan I tahun 2014, secara quarter to quarter (q to q) tumbuh positif 0.87 persen, setelah triwulan sebelumnya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO. PDRB Gorontalo Triwulan III-2013 Naik 2,91 Persen

PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO. PDRB Gorontalo Triwulan III-2013 Naik 2,91 Persen No. 62/11/75/Th. VII, 6 November 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO PDRB Gorontalo Triwulan III-2013 Naik 2,91 Persen PDRB Provinsi Gorontalo triwulan III-2013 naik 2,91 persen dibandingkan triwulan sebelumnya.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 30/08/31/Th.IX, 15 AGUSTUS 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan II tahun 2007 yang diukur berdasarkan PDRB atas

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 20/05/Th.XVII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN I TAHUN 2014 Pertumbuhan ekonomi Aceh dengan migas pada triwulan I-2014 secara triwulanan (q-to-q) terjadi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013 No. 027/05/63/Th XVII, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013 Perekonomian Kalimantan Selatan triwulan 1-2013 dibandingkan triwulan 1- (yoy) tumbuh sebesar 5,56 persen, dengan

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bengkulu Tengah Tahun 2010 BAB I PENDAHULUAN

Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bengkulu Tengah Tahun 2010 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya. Pembangunan manusia seutuhnya selama ini, telah diimplementasikan pemerintah melalui pelaksanaan program pembangunan

Lebih terperinci

PERUBAHAN TAHUN DASAR PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) BERBASIS SNA2008. H. Nevi Hendri, S.Si Soreang, 1 Oktober 2015

PERUBAHAN TAHUN DASAR PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) BERBASIS SNA2008. H. Nevi Hendri, S.Si Soreang, 1 Oktober 2015 PERUBAHAN TAHUN DASAR PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) BERBASIS SNA2008 H. Nevi Hendri, S.Si Soreang, 1 Oktober 2015 I. PENTINGNYA PERUBAHAN TAHUN DASAR PDRB 1. Latar Belakang 2. Manfaat 3. Implikasi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2015 KABUPATEN BANGKA SELATAN

PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2015 KABUPATEN BANGKA SELATAN 7 Desember 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2015 KABUPATEN BANGKA SELATAN EKONOMI TAHUN 2015 TUMBUH 4,06 PERSEN MELAMBAT SEJAK EMPAT TAHUN TERAKHIR Perekonomian Kabupaten Bangka Selatan tahun 2015 yang diukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang bahwa industri dipandang sebagai jalan pintas untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang bahwa industri dipandang sebagai jalan pintas untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Belajar dari pembangunan negara maju, muncul keyakinan banyaknegara berkembang bahwa industri dipandang sebagai jalan pintas untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan kesempatan kerja. Pendekatan pertumbuhan ekonomi banyak

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Bengkulu Triwulan III-2017 No. 70/11/17/XI, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI BENGKULU Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Bengkulu Triwulan III-2017 Ekonomi Bengkulu

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2016

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2016 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 72/11/35/Th.XIV, 7 November 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2016 EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III 2016 TUMBUH 5,61 PERSEN MENINGKAT DIBANDING TRIWULAN III-2015

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) 2006 2009 Nomor Katalog BPS : 9302008.1118 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 20 cm x 27 cm : vi + 60 Lembar Naskah : Seksi Neraca

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II 2013 No. 45/08/72/Th. XVI, 02 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II 2013 Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah Triwulan III

Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah Triwulan III Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah Triwulan III - No. 77/11/33/Th.XI, 6 November BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah Triwulan III - EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No.11/02/34/Th.XIX, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2016 TUMBUH 5,05 PERSEN LEBIH TINGGI DIBANDING TAHUN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2009 SEBESAR 3,88 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2009 SEBESAR 3,88 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 19/05/34/Th.XI, 15 Mei 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2009 SEBESAR 3,88 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA SELATAN TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA SELATAN TAHUN 2014 No. 17/05/31/Th.IX, 15 MEI 2010 No. 7/10/3171/Th.VII, 1 Oktober 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA SELATAN TAHUN 2014 Release PDRB tahun 2014 dan selanjutnya menggunakan tahun dasar 2010 berbasis SNA 2008

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2017

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2017 No. 06/05/62/Th.XI, 5 Mei 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2017 EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2017 TUMBUH 9,49 PERSEN Perekonomian Kalimantan Tengah triwulan I-2017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA YOGYAKARTA No. 32/08/34/Th. XI, 10 Agustus 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2009 SEBESAR -4,91 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah

Lebih terperinci

BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR No. 01/10/3172/Th.VII, 1 Oktober 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA TIMUR TAHUN 2014 EKONOMI JAKARTA TIMUR TAHUN 2014 TUMBUH 5,98 PERSEN Release PDRB tahun 2014 dan selanjutnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 08/02/34/Th. XI, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO Tahun 27 Perekonomian Indonesia pada Tahun 27 tumbuh 6,32%, mencapai pertumbuhan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Dari sisi produksi, semua sektor mengalami ekspansi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 No.05/02/33/Th.III, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 PDRB Jawa Tengah triwulan IV/2008 menurun 3,7 persen dibandingkan dengan triwulan III/2007 (q-to-q), dan bila dibandingkan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Pertumbuhan Ekonomi Maluku Utara November 2017 No. 63/11/82/Th.XVI, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI MALUKU UTARA Pertumbuhan Ekonomi Maluku Utara Triwulan III-2017 EKONOMI MALUKU UTARA

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013 No. 09/02/36/Th. VIII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013 Secara total, perekonomian Banten pada triwulan IV-2013 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci