BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20, para ahli menemukan suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku Stanley Hall mengenai remaja dipublikasikan di tahun 1904, buku ini sangat berperan dalam merestrukturisasi gagasan-gagasan mengenai remaja. Masa remaja disebut sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2007). Masa remaja, menurut Mappiare (dalam Ali & Asrori, 2012) berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya tumbuh untuk mencapai kematangan. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, dalam Ali & Asrori, 2012). WHO (World Health Organization) mendefinisikan remaja secara konseptual, dibagi menjadi tiga kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi (Sarwono, 2012). Secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: 17

2 18 a. Remaja berkembang mulai dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual. b. Remaja mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanakkanak menjadi dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju keadaan yang relatif lebih mandiri. Piaget (dalam Ali & Asrori, 2012) mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia ketika individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia saat anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah suatu usia ketika individu mulai menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual, mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju keadaan yang relatif lebih mandiri, menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, serta individu tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar (WHO, dalam Sarwono, 2012; Piaget, dalam Ali & Asrori, 2012). 2. Pembagian Usia Remaja Sa id (2015), membagi usia remaja menjadi tiga fase sesuai tingkatan umur yang dilalui oleh remaja. Menurut Sa id, setiap fase memiliki keistimewaannya tersendiri. Ketiga fase tingkatan umur remaja tersebut antara lain:

3 19 1. Remaja Awal (early adolescence) Tingkatan usia remaja yang pertama adalah remaja awal. Pada tahap ini, remaja berada pada rentang usia 12 hingga 15 tahun. Umumnya remaja tengah berada di masa sekolah menengah pertama (SMP). Keistimewaan yang terjadi pada fase ini adalah remaja tengah berubah fisiknya dalam kurun waktu yang singkat. Remaja juga mulai tertarik kepada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. 2. Remaja Pertengahan (middle adolescence) Tingkatan usia remaja selanjutnya yaitu remaja pertengahan, atau ada pula yang menyebutnya dengan remaja madya. Pada tahap ini, remaja berada pada rentang usia 15 hingga 18 tahun. Umumnya remaja tengah berada pada masa sekolah menengah atas (SMA). Keistimewaan dari fase ini adalah mulai sempurnanya perubahan fisik remaja, sehingga fisiknya sudah menyerupai orang dewasa. Remaja yang masuk pada tahap ini sangat mementingkan kehadiran teman dan remaja akan senang jika banyak teman yang menyukainya. 3. Remaja Akhir (late adolescence) Tingkatan usia terakhir pada remaja adalah remaja akhir. Pada tahap ini, remaja telah berusia sekitar 18 hingga 21 tahun. Remaja pada usia ini umumnya tengah berada pada usia pendidikan di perguruan tinggi, atau bagi remaja yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka bekerja dan mulai membantu menafkahi anggota keluarga. Keistimewaan pada fase ini adalah seorang remaja selain dari segi fisik sudah menjadi orang dewasa, dalam bersikap remaja juga sudah menganut nilai-nilai orang dewasa.

4 20 3. Tugas Perkembangan Remaja Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2012) adalah berusaha: 1. Mampu menerima keadaan fisiknya. 2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa. 3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis. 4. Mencapai kemandirian emosional. 5. Mencapai kemandirian ekonomi. 6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat. 7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orangtua. 8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa. 9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan. 10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya dengan baik.

5 21 B. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Ryan dan Deci (dalam Linley & Joseph, 2004) mendefinisikan kehidupan yang baik adalah kesejahteraan yang muncul ketika individu berfungsi secara optimal. Kesejahteraan tersebut ditandai dengan pengembangan dari pengembangan fungsi yang sederhana hingga yang kompleks atau optimal. Mengacu pada konsep Ryan dan Deci, kesejahteraan yang dimaksud mengarah pada konsep psychological well-being. Menurut Ryan dan Deci (dalam Singh, Mohan, & Anasseri, 2012) psychological well-being adalah sebuah konstruksi terkait dengan fungsi optimal dan positif seseorang. Huppert (2009) mendefinisikan psychological well-being sebagai kehidupan yang berjalan dengan baik, dan merupakan kombinasi dari perasaan baik dan keberfungsian diri secara efektif. Konsep berfungsi efektif secara psikologis melibatkan pengembangan potensi individu, memiliki kontrol terhadap kehidupannya, memiliki tujuan hidup serta memiliki hubungan positif. Huppert juga menambahkan bahwa keberfungsian individu secara efektif ini dalam kehidupan sehari-hari berkembang melalui kemampuan individu mengelola emosi negatif atau menyakitkan seperti kesedihan, kekecewaan, dan kegagalan. Carol Ryff dan rekan-rekan sejawatnya mendasari dari cakupan para ahli teori seperti Erikson sampai Maslow, telah mengembangkan sebuah model yang mencakup enam dimensi kesejahteraan untuk mengukur psychological well-being (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut Ryff, orang-orang yang sehat secara psikologis memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat

6 22 keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki tujuan hidup yang bermakna, dan berjuang menjelajahi dan mengembangkan diri selengkap mungkin (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological well-being adalah suatu keadaan kehidupan yang berjalan baik, ditunjukkan dengan kesejahteraan yang muncul ketika individu berusaha untuk mengembangkan keberfungsian diri secara optimal dan positif seperti memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki tujuan hidup yang bermakna, dan mengembangkan diri selengkap mungkin (Huppert, 2009; Ryan & Deci, dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012; Ryff, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). 2. Aspek-Aspek Psychological Well-Being Ryff (1989) mengusulkan aspek-aspek psychological well-being yang terdiri dari 6 dimensi yang berbeda, yaitu: penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Keenam dimensi psychological well-being tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut:

7 23 a. Penerimaan diri (self acceptance) Merupakan sikap memiliki perasaan positif terhadap diri sendiri, mampu menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, perasaan positif terhadap kehidupan di masa lalu, dan merupakan fitur utama dari kesehatan mental, fungsi optimal, serta kematangan. b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang hangat dan saling mempercayai dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama kesehatan mental. Psychological wellbeing seseorang dikatakan tinggi apabila mampu bersikap hangat dan percaya dalam berhubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi kepada sesama manusia, mampu memberi kasih yang lebih besar, persahabatan yang dalam, serta keintiman yang kuat dalam suatu hubungan. c. Kemandirian (autonomy) Merupakan kemampuan individu dalam mengambil keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan cara yang benar, berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri, tidak mencari penerimaan dari orang lain, mengevaluasi diri sendiri berdasarkan standar personal. d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Adalah kemampuan seseorang untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis individu, kemampuan untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan yang kompleks, mampu mengambil keuntungan

8 24 dari peluang yang ada di lingkungan, serta partisipasi yang aktif dalam penguasaan lingkungan. e. Tujuan hidup (purpose in life) Kesehatan mental didefinisikan mencakup kepercayaan-kepercayaan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki makna. Termasuk keyakinan bahwa memberikan satu perasaan ada tujuan dan arti hidup. Berbagai perubahan seperti menjadi produktif dan kreatif atau mencapai integrasi emosional di kemudian hari, memiliki tujuan, niat, dan rasa arah, yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup ini bermakna. f. Pertumbuhan pribadi (personal growth) Fungsi psikologis yang optimal membutuhkan tidak hanya untuk mencapai satu karakteristik, tetapi juga salah satu yang terus mengembangkan potensi seseorang untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan menyadari satu potensi seseorang merupakan pusat perspektif pada pertumbuhan pribadi. Keterbukaan terhadap pengalaman, merupakan karakteristik kunci dari orang yang berfungsi sepenuhnya. Memberikan penekanan untuk terus bertumbuh dan konfrontatif terhadap tantangan baru atau tugas pada periode yang berbeda dari kehidupan.

9 25 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Singh, Mohan, dan Anasseri (2012) dalam bukunya, mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological-well being seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain: a. Usia (age) Semakin tua usia seseorang, pertumbuhan pribadi yang dialami individu juga juga akan berkurang. Individu di usia tua menunjukkan bahwa penguasaan lingkungan serta otonomi justru meningkat. Penguasaan lingkungan cenderung lebih baik di usia paruh baya dan lanjut usia dari pada usia muda, tetapi tampak lebih stabil dari usia menengah ke usia yang lebih tua. Individu yang berusia muda menganggap diri mereka telah membuat kemajuan yang signifikan sejak masa remaja. Individu yang berusia muda memiliki harapan besar untuk masa depan, sehingga nilai dalam aspek tujuan hidup (purpose of life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth) lebih tinggi. Individu di usia dewasa akhir konsisten menganggap diri mereka berhubungan dengan masa lalu dan tidak berkembang menuju masa depan. Bagi individu yang bertambah usia pada dewasa akhir, pandangan antara cita-cita mereka dan persepsi mereka tentang realitas tampaknya berkurang. Dari perspektif positif, kelompok usia dewasa akhir cenderung menguasai lingkungan lebih baik daripada kelompok usia lain. b. Jenis kelamin (gender) Beberapa studi dalam meta-analisis oleh Pinquart dan Sorensen (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) peserta mulai dari remaja sampai usia tua, menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan psychological well-being antara jenis kelamin. Dalam beberapa kasus, self-esteem dan psychological well-being

10 26 ditemukan sedikit lebih tinggi di kalangan pria daripada wanita. Penjelasan lain yang mungkin untuk perbedaan antara jenis kelamin dalam sumber psychological well-being menurut Whitbourne & Power (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) adalah wanita lebih berhubungan dekat dengan peristiwa di dalam sistem sosial, sedangkan laki-laki lebih dipengaruhi oleh lingkungan profesional mereka. Penelitian lain yang dilakukan di Australia, menilai tingkat kepuasan dan variabel lainnya selama satu periode kehidupan, mereka menemukan bahwa psychological well-being perempuan meningkat ketika memasuki tahap akhir transisi menopause. c. Kelas sosial ekonomi (socioeconomic level) Penelitian oleh Ryff (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) tentang dampak tingkat ekonomi pada psychological well-being menunjukkan hubungan yang jelas antara tingkat sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological wellbeing, seperti penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, juga ditemukan secara jelas terkait dengan tujuan individu dan tujuan hidup. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan tingkat sosial ekonomi rendah, ditentukan baik oleh karakteristik pendidikan (tingkat studi) dan dengan aktivitas kerja seseorang, memiliki tingkat yang lebih rendah dalam psychological well-being. Tingkat yang lebih rendah dari segi psikologis, dikaitkan dengan status yang lebih rendah. Hasil ini juga tampak konsisten apabila dilihat dari situasi keuangan. Secara keseluruhan, ketika situasi keuangan berada dalam posisi yang lebih menguntungkan, serta diwakili oleh keseimbangan ekonomi yang positif, psychological well-being juga akan tampak meningkat. Ketika situasi keuangan menjadi lebih buruk, dan dengan itu jumlah pendapatan juga menurun,

11 27 tingkat psychological well-being juga menjadi lebih buruk. Faktor lain dengan dampak penting pada tingkat sosial ekonomi adalah rumah seseorang atau tempat tinggal. Dampak dari daerah perumahan seseorang, pada psychological well-being semakin diakui. Kepuasan daripada perumahan yang dimiliki individu, menentukan psychological well-being seseorang. Psychological wellbeing tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal akomodasi (karakteristik kamar, kelayakhunian, kenyamanan) dan juga dengan kondisi eksternal seperti lingkungan. d. Relasi sosial (social relations) Salah satu dimensi psychological well-being adalah kemampuan untuk mempertahankan hubungan positif dengan orang lain (Ryff, 1995). Individu harus memiliki hubungan sosial yang stabil dan memiliki teman-teman yang dapat mereka percayai. Kesejahteraan jelas dipengaruhi oleh kontak sosial dan hubungan interpersonal. Menurut Bianco dan Diaz (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) hal tersebut juga telah terbukti berhubungan dengan kontak di masyarakat, pola aktif persahabatan dan partisipasi sosial. Ada hubungan antara kesejahteraan, dan hubungan positif dengan orang lain. Singkatnya, kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat interaksi yang ada antara faktor sosial dan psikologis mempengaruhi psychological well-being seseorang. Demikian pula, penelitian oleh Diener (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012), menunjukkan pentingnya konteks sosial dan budaya dalam penilaian seseorang pada wellbeing nya. Tingkat individualisme dan kolektivisme masyarakat adalah variabel budaya yang dapat mempengaruhi hubungan antara kesejahteraan dan variabel sosiologis. Meskipun ada beberapa data yang jelas tentang hal ini, kemungkinan

12 28 dalam budaya kolektivis terdapat rasa yang lebih baik dalam hal kohesi kelompok dan dukungan sosial, sehingga dapat meningkatkan psychological well-being seseorang. e. Faktor kepribadian (personality factors) Secara keseluruhan, konsep psychological well-being terkait dengan persepsi subjektif seseorang yang memiliki prestasi sendiri dan sejauh mana ia puas dengan masa lalunya, masa sekarang dan masa depannya. Dalam hal ini, mengacu pada pendapat serta konstruktif pikiran positif yang dimiliki seseorang terhadap dirinya. Costa dan McCrae (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa ada bukti selama beberapa dekade terakhir bahwa variabel kepribadian berkaitan erat dengan kesejahteraan psikologis. Umumnya, orangorang dengan kecenderungan neurotik akan cenderung lebih tertekan. Sebaliknya, ekstroversi mempengaruhi emosi positif, sedangkan neurotisisme mempengaruhi emosi negatif. Oleh karena itu, individu yang sering mengungkapkan perasaan kesejahteraan akan cenderung ditandai dengan stabilitas emosional dan ekstroversi. Penjelasan umum telah diusulkan dan mengasumsikan bahwa ekstrovert lebih sensitif daripada introvert terhadap sinyal reward. Ekstrovert belajar untuk menjadi bahagia lebih cepat, tapi tidak begitu mudah menjadi sedih, sebaliknya dapat diamati pada orang dengan kecenderungan neurotik mereka akan cepat menjadi sedih tapi merasa lebih sulit untuk bahagia. Individu dengan kecerdasan emosional yang lebih tinggi memiliki penguasaan yang lebih baik akan tugas-tugas dan memiliki pengalaman hasil dengan tingkat yang lebih tinggi untuk psychological wellbeing. Kemampuan untuk mengelola emosi yang memadai, dikaitkan dengan

13 29 penyesuaian yang lebih baik secara psikologis terhadap lingkungan. Sehingga, individu dengan kemampuan mengelola emosi yang memadai, dapat berpotensi memperoleh psychological well-being yang lebih tinggi. C. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Dibandingkan dengan perilaku prososial, ilmuwan sosial telah menginvestasikan lebih banyak waktu dan usaha ke dalam studi perilaku antisosial (Bierhoff, 2002). Bierhoff juga menambahkan bahwa berdasarkan dari periode sejarah, jumlah publikasi dalam kategori antisosial adalah sekitar sepuluh kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan kategori prososial. Hal tersebut dapat digunakan sebagai indikasi bahwa topik perilaku prososial kurang diminati untuk diteliti di masa lalu, meskipun Bapak yang berpengaruh dalam ilmu sosial seperti Durkheim dan Smith sangat menyadari pentingnya perilaku prososial dalam kehidupan manusia. Menurut Watson (1984) perilaku prososial adalah perilaku yang memiliki konsekuensi positif bagi orang lain. Sejalan dengan Watson, menurut Eisenberg dan Eisenberg dan Mussen (1989) perilaku prososial didefinisikan dalam suatu hal yang mereka maksudkan memiliki konsekuensi untuk orang lain dan melakukannya secara sukarela dan bukan di bawah paksaan. Eisenberg dan Mussen juga menambahkan bahwa perilaku prososial mengacu tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau menguntungkan individu lain atau kelompok individu. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku

14 30 prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Batson (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) menjelaskan perilaku prososial dalam kategori yang lebih luas, yakni mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif penolong. Perilaku prososial bisa mulai dari tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi. Lebih tandas, Hinde dan Groebel (1991) menjelaskan bahwa perilaku prososial mungkin melibatkan dua atau lebih individu yang sebelumnya tidak kenal satu sama lain, kemudian perilaku membantu terjadi dalam interaksi dengan jangka waktu yang relatif pendek. Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menambahkan bahwa ada tiga indikator yang menjadi tindakan perilaku prososial, yaitu: 1) Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku 2) Tindakan itu dilahirkan secara sukarela 3) Tindakan itu menghasilkan kebaikan Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang dapat membantu, menguntungkan, dan memberikan konsekuensi positif bagi individu atau kelompok yang menerima bantuan, baik itu bantuan dalam bentuk materi, fisik, maupun psikologis (Watson, 1984; Mussen & Eisenberg, 1989; William, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006).

15 31 2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial Perilaku prososial yang dimiliki oleh seorang individu terdiri dari beberapa aspek. Menurut Eisenberg dan Mussen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006), aspek-aspek perilaku prososial adalah: a. Berbagi (sharing), yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka maupun duka. b. Menolong (helping),yaitu kesediaan untuk memberikan bantuan kepada orang lain, baik berupa moril maupun materiil. c. Berderma (donating), yaitu kesediaan untuk memberikan secara suka rela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan. d. Kerjasama (cooperating), yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan. e. Jujur (honesty), yaitu kesediaan untuk melakukan seperti apa adanya dan tidak berbuat curang terhadap orang lain. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial Ketika seseorang diminta untuk memberikan pertolongan, keadaan psikologis mereka memegang peranan penting dalam menentukan apakah mereka akan menolong atau tidak. Meskipun dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang sama, dua orang individu dapat memberikan respon dengan cara yang berbeda dalam suatu situasi. Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan bahwa ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku prososial. Beberapa faktor tersebut, antara lain:

16 32 1. Karakteristik Situasi, meliputi: a. Kehadiran Orang Lain Kehadiran banyak orang mungkin menyebabkan kurangnya pertolongan. Latane dan Darley (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) menyebut ini sebagai by stander effect (efek orang sekitar). Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan individu akan memberikan bantuan, dan semakin lama jeda sebelum bantuan diberikan. b. Kondisi Lingkungan Setting fisik juga mempengaruhi tindakan menolong. Studi menunjukkan bahwa ukuran kota dimana orang tinggal tidak terkait dengan tindakan membantu, yang berpengaruh adalah setting lingkungan dimana kebutuhan itu muncul. Cuaca memengaruhi tindakan seseorang untuk menolong. Ahmed (dalam Taylor, Peplau, & Sears (2009) menunjukkan bahwa orang lebih mungkin membantu pengendara motor yang jaruh pada cuaca cerah ketimbang pada cuaca hujan dan pada siang hari ketimbang pada malam hari. Tindakan menolong juga lebih sering terjadi di kota dengan kepadatan penduduk rendah (lebih sedikit orang per mil persegi) dan dengan tingkat kejahatan yang rendah. c. Tekanan Waktu Eksperimen yang dilakukan oleh Darle dan Batson (dalam Taylor, Peplau, & Sears (2009) menunjukkan bahwa terkadang orang merasa terlalu terburu-buru untuk menolong. Tampaknya subyek juga mempertimbangkan untung dan rugi dalam menolong korban sebelum mengambil keputusan.

17 33 2. Karakteristik Penolong, meliputi: a. Mood dan Menolong Perasaan positif akan menaikkan kesediaan untuk bertindak secara prososial. Kemungkinan lainnya adalah keadaan mood positif mungkin menyebabkan kita punya pikiran yang lebih positif. Robert Cialdini, dkk (dalam Taylor, Peplau, & Sears (2009) mengemukakan negative-state relief model (model peredaan keadaan negatif) untuk menjelaskan mengapa mood negatif justru meningkatkan tindakan membantu. Menurut pendapat ini, orang dalam keadaan mood buruk lebih termotivasi untuk meredakan ketidaknyamanannya. Jika ada kesempatan untuk membantu dan kita menganggap itu sebagai cara untuk memperbaiki mood kita, maka kita lebih mungkin untuk menawarkan bantuan. Meskipun demikian, mood negatif tidak selalu membuat orang mau membantu orang lain. b. Motif Pemberian Pertolongan: Empati dan Kesedihan Personal Personal distress (kesedihan personal) adalah reaksi emosional kita terhadap penderitaan orang lain. Kesedihan personal terjadi ketika seseorang yang menyaksikan suatu kejadian menjadi tenggelam dalam reaksi emosionalnya sendiri. Sebaliknya, empathy (empati) berarti perasaan simpati dan perhatian kepada orang lain, khususnya pada orang yang menderita. Empati terjadi ketika pengamat berfokus pada kebutuhan dan emosi dari korban. Kesedihan personal menyebabkan kita cemas dan prihatin, empati menyebabkan kita merasa simpati dan sayang.

18 34 c. Karakteristik Personal Tampaknya ada ciri tertentu dari personalitas orang dalam membantu pada situasi spesifik. Misalnya. satu studi menemukan bahwa orang dewasa dengan kebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial lebih mungkin untuk menyumbangkan uang ketimbang individu dengan kebutuhan persetujuan sosial yang rendah. Tetapi mereka ini menyumbang hanya jika ada orang lain yang melihatnya. Orang yang berkebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial mungkin termotivasi oleh keinginan mendapat pujian dari orang lain dan karenanya bertindak prososial hanya ketika tindakan baik itu dilihat oleh orang lain. d. Gender dan Tindakan Menolong Kekuatan fisik dan training olahraga mungkin memengaruhi perbedaan jenis kelamin ini. Dalam setting yang lebih umum, lelaki juga lebih mungkin ketimbang perempuan untuk membantu orang asing yang sedih atau tertekan. Lelaki lebih senang membantu korban perempuan, apalagi jika ada yang melihat aksinya. Tetapi dalam hal lain, pria dan wanita samasama menunjukkan keberanian luar biasa dalam membantu orang lain. Shumaker & Hill (dalam Taylor, Peplau, & Sears (2009) juga menambahkan bahwa secara umum wanita lebih mungkin ketimbang pria untuk memberikan dukungan sosial. Dengan kata lain, meski ada banyak pengecualian, pria dan wanita cenderung terspesialisasi dalam tipe pemberian bantuan yang berbeda-beda.

19 35 Watson (1984) juga menambahkan bahwa faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku prososial adalah sebagai berikut: a. Karakteristik Orang yang Terlibat Karakteristik pribadi orang yang membutuhkan bantuan memang penting, tetapi mereka juga akan berinteraksi dengan sifat situasi dan karakteristik pribadi dari penolong. b. Kesamaan Korban dan Penolong Semakin mirip orang yang membutuhkan pertolongan dengan penolong, maka pertolongan tersebut akan semakin diberikan. c. Daya Tarik Korban Orang yang menarik lebih cenderung dibantu daripada orang yang tidak menarik. Dengan demikian, kita bisa berteori bahwa kita lebih cenderung untuk membantu orang yang kita sukai. d. Orang yang Meminta Bantuan Orang tersebut hams memutuskan apakah ia harus meminta bantuan atau tidak. Beberapa variabel yang sama yang mengenai keputusan penolong juga mempengaruhi keputusan orang yang membutuhkan pertolongan apakah ia akan meminta bantuan atau tidak D. Hubungan Antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya tumbuh untuk mencapai kematangan. Kematangan disini tidak

20 36 hanya berarti kematangan fisik dan kognitif, tetapi terutama kematangan sosial dan psikologis (Ali & Asrori, 2004). WHO (World Health Organization) menetapkan batas usia tahun sebagai batasan usia remaja (Sarwono, 2012). Ada yang menyatakan masa remaja usianya berkisar antara 12 hingga 23 tahun (Hall, dalam Santrock, 2007). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia tahun sebagai usia pemuda (youth) dalam rangka keputusan untuk menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda Internasional (Sanderowitz & Paxman, dalam Sarwono, 2012). Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia tahun (Sarwono, 2012). Proses kematangan yang dialami remaja ini, merupakan wujud transisi individu dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam proses transisinya tersebut, remaja dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan yang sesuai dengan usianya. Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa (Ali & Asrori, 2012). Tugas-tugas perkembangan tersebut harus diselesaikan oleh remaja, agar remaja siap untuk menghadapi tugas-tugas serta peran barunya sebagai orang dewasa (Agustiani, 2006). Havighurst (dalam Ali & Asrori, 2012) menjelaskan bahwa jika remaja berhasil menuntaskan tugas-tugas perkembangan, maka akan menimbulkan fase bahagia dan membawa ke arah keberhasilan bagi remaja dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Remaja yang mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan di periode remaja diharapkan akan mampu mencapai kesejahteraan secara psikologis. Kesejahteraan psikologis atau yang lebih dikenal dengan istilah psychological wellbeing dapat diperoleh apabila individu berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan

21 37 hidupnya hingga dapat mengembangkan diri selengkap mungkin, serta mampu mewujudkan kebahagiaan yang disertai dengan pemaknaan hidup (Muslihati, 2014; Ryff, dalam Papalia, Olds, Feldman, 2008). Psychological well-being digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan fungsi psikologi positif (Ryff, 1995). Psychological well-being yang dapat dicapai individu juga dikaitkan dengan konteks sosial dan budaya individu itu sendiri. Diener dan Diener (dalam Singh, Mohan, & Anasseri, 2012) menunjukkan pentingnya konteks sosial dan budaya dalam penilaian seseorang terhadap well-being nya. Budaya individualisme atau kolektivisme pada masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi hubungan antara kesejahteraan dan variabel sosiologis. Remaja yang mampu mencapai psychological well-being diharapkan untuk dapat menunjukkan kemampuan-kemampuan seperti menerima keadaan diri, mengembangkan otonomi, mampu mengembangkan hubungan yang positif terhadap orang lain, dapat menguasai lingkungan sesuai dengan kebutuhan remaja, mengembangkan tujuan hidup, serta merealisasikan pertumbuhan diri. Kemampuankemampuan tersebut sesuai dengan keenam aspek-aspek dari psychological well-being yang diungkapkan oleh Ryff (1995) antara lain yaitu: penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), kemandirian (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Psychological well-being dapat dicapai oleh remaja apabila remaja mengembangkan perilaku-perilaku yang positif selama transisi menuju masa dewasa. Marheni (dalam Soetjiningsih, 2004) menegaskan bahwa di dalam perjalanan menuju kedewasaan, remaja harus berusaha untuk mengisi masa remajanya dengan hal-hal

22 38 yang positif yang dapat mengembangkan dirinya. Salah satu perilaku positif yang penting untuk dikembangkan selama masa remaja yakni perilaku prososial. Perilaku prososial lebih banyak dilakukan di masa remaja dibandingkan di masa kanak-kanak (Santrock, 2007). Perilaku prososial lebih banyak dilakukan pada remaja, karena pada masa remaja perkembangan moral pada remaja sedang terbentuk (Ali & Asrori, 2012). Perilaku prososial merupakan segala bentuk perilaku yang memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya (Dayakisni & Hudaniah, 2006). Perilaku prososial banyak melibatkan altruisme, yaitu suatu minat untuk menolong orang lain dan tidak memikirkan diri sendiri (Santrock, 2007). Menurut Eisenberg dan Mussen (dalam Hudaniah & Dayakisni, 2006) perilaku prososial memiliki lima aspek-aspek yaitu sebagai berikut: berbagi (sharing), menolong (helping), berderma (donating), kerjasama (cooperating), dan jujur (honesty). Kelima aspek perilaku prososial yang telah dijabarkan oleh Eisenberg dan Mussen tersebut, apabila dikembangkan oleh remaja diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dalam perkembangan remaja menuju kedewasaan. Lebih dari itu, dengan mengembangkan perilaku positif seperti berperilaku prososial diharapkan remaja juga akan mampu untuk mencapai psychological well-being secara lebih optimal di usianya. Berikut disajikan bagan yang menunjukkan hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being:

23 39 - berbagi (sharing) - menolong (helping) - berderma (donating), - kerjasama (cooperating) - jujur (honesty) Psychological Well-Being Perilaku Prososial - penerimaan diri (self acceptance) - hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) - kemandirian (autonomy)hhgh - penguasaan lingkungan (environmental mastery) - tujuan hidup (purpose in life) - pertumbuhan pribadi (personal growth) Gambar 1. Bagan Hubungan Antar Variabel Keterangan Gambar: : garis hubungan variabel yang akan diteliti : garis aspek variabel yang diteliti : variabel yang akan diteliti : aspek variabel yang diteliti

24 40 E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan maka hipotesis yang diajukan peneliti pada penelitian ini sebagai jawaban sementara atas permasalahan yang diajukan adalah: Ha : Ada hubungan yang signfikan dan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja. Ho : Tidak ada hubungan yang signfikan dan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. masa lalu, pengembangan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna, memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. masa lalu, pengembangan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna, memiliki BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Menurut Ryff (1989), psychological well-being adalah kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan menerima diri sendiri

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Perilaku prososial memiliki arti sebagai sosial positif atau mempunyai konsekuensi positif. Sosial positif ini didasarkan atas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial pada Remaja 1. Pengertian Perilaku Prososial pada Remaja Sears dkk. (1994: 47), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain. Makhluk sosial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Brigham (dalam Dayakisni, 2009) menerangkan bahwa perilaku prososial merupakan perilaku untuk menyokong kesejahteraan orang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di mana dapat berkembang dan diperkembangkan (Giri Wiloso dkk, 2012). Sebagai makhluk sosial, manusia

Lebih terperinci

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. Sebelum abad kedua puluh, tidak ada konsep masa remaja dan anak-anak dalam budaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. Sebelum abad kedua puluh, tidak ada konsep masa remaja dan anak-anak dalam budaya BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Sebelum abad kedua puluh, tidak ada konsep masa remaja dan anak-anak dalam budaya barat memasuki masa dewasa. Individu matang secara fisik atau ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

c. Pengalaman dan suasana hati.

c. Pengalaman dan suasana hati. PERILAKU PROSOSIAL Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (1981) membatasi perilaku prososial

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Menurut Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku prososial yang menguntungkan dimana terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu dan sesuatu yang bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sejak jaman dahulu manusia hidup bergotongroyong, sesuai dengan pepatah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

Abstrak. Abstract. Jurnal Psikologi Udayana 2016, Vol. 3 No. 1,

Abstrak. Abstract. Jurnal Psikologi Udayana 2016, Vol. 3 No. 1, Jurnal Psikologi Udayana 2016, Vol. 3 No. 1, 132-141 Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana ISSN: 2354 5607 Hubungan antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. KEMATANGAN KARIR 1. Pengertian Kematangan Karir Crites (dalam Salami, 2008) menyatakan bahwa kematangan karir sebagai sejauh mana individu dapat menguasai tugas-tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan dengan sempurna dan berbeda dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dilengkapi dengan akal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan menolong ini berarti memberikan sesuatu yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan seorang manusia berjalan secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengharapkan pengaruh orangtua dalam setiap pengambilan keputusan

BAB I PENDAHULUAN. mengharapkan pengaruh orangtua dalam setiap pengambilan keputusan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tahap perkembangan remaja, kebanyakan mereka tidak lagi mengharapkan pengaruh orangtua dalam setiap pengambilan keputusan yang akan dilakukan. Hal ini sesuai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa kehidupan yang penting dalam rentang hidup manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Istilah remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescence yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Namun saat ini adolescence memiliki arti yang lebih luas mencakup kematangan mental,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia kerja merupakan tempat sekumpulan individu melakukan suatu aktivitas kerja. Aktivitas tersebut terdapat di dalam perusahaan atau organisasi. Pada zaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan

BAB II LANDASAN TEORI. sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perilaku Prososial 2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial didefinisikan sebagai tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau memberi keuntungan pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Konsep penyesuaian perkawinan menuntut kesediaan dua individu untuk mengakomodasikan berbagai kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Marheni (dalam Soetjiningsih, 2004) masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Masing-masing individu yang berinteraksi akan memberikan respon yang berbeda atas peristiwa-peristiwa

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

M. Lutfi Hadi Wicaksono dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati Psikologi Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

M. Lutfi Hadi Wicaksono dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati Psikologi Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Jurnal Psikologi Udayana 2016, Vol. 3, No. 2, 196-208 Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana ISSN: 2354 5607 HUBUNGAN RASA SYUKUR DAN PERILAKU PROSOSIAL TERHADAP PSYCHOLOGICAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. LA TAR BELAKANG MASALAH Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Peranan bimbingan dan konseling dalam dunia pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam

Lebih terperinci

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA INDIENA SARASWATI ABSTRAK Studi yang menggunakan teori kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pada umumnya remaja didefiniskan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Subjective Well Being Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan eudaimonic dan kebahagiaan hedonis. Istilah eudaimonic berasal dari bahasa

Lebih terperinci