Tingkah laku berahi dan intensitas tanda-tanda berahi. yang paling menonjol adalah betina berahi sering
|
|
- Farida Johan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tinakah laku Berahi dan Intensitas Tanda-tanda Berahi Tingkah laku berahi dan intensitas tanda-tanda berahi yang paling menonjol adalah betina berahi sering mengembik, tidak tenang dan nafsu makan menurun. Bila berada dalam kelompok, akt ivitas t ingkah laku berahi meningkat dan betina berahi menaiki betina lain. Tandatanda perubahan klinis alat kelamin yang menonjol adalah a1 at kel ami n 1 uar bengkak dan merah, kadang-kadang keluar lendir berahi, mukosa bagian dalam vagina dan labia merah basah. Tanda-tanda ini sesuai dengan hasi 1 pengamat an Devendra dan Mcl eroy ( 1982), Ramachandrai ah, Narasimka Rao, Ramacharia Rao (1986), Arthur et a1.(1989). Terdapat perbedaan antara kambing-kambi ng yang di per01 eh dari UP3J yang pemel i hara-annya dengan si st em "ranch" tanpa di beri konsent rat di bandingkan dengan kambing- kambing yang diperoleh dari petani sekitar tempat penel it ian. Perbedaan ini terutama dalam ha1 lama adaptasi terhadap lingkungan kandang penelitian dan ransum. Kambing-kambing yang berasal dari UP3J-IPB lambat beradaptasi terhadap ransum t erutama pada konsent rat karena tidak biasa.
2 Kemungki nan besar perbedaan adapt asi t erhadap lingkungan dan konsentrat menyebabkan perbedaan adaptasi tingkah laku dan intensitas reproduksi. Dari hasil pengamatan selama tiga siklus berahi yang di lakukan di UP3J-IPB, diperoleh rata-rata lama periode berahi (53 + 9,9 jam) dan panjang siklus berahi (18,8 + 1,7 hari). Konsent rasi hormon progesteron post coitus dan sel ama kebuntingan dari bulan kedua sampai kelahiran masing- masing terl ihat pada Lampi ran 8 dan Lampi ran Penqaruh Kehadi ran Jant an t erhada~ Lama Per iode Berahi dan Panians Siklus Berahi Dada Kelommk Betina ada Jantan dan t idak ada Jantan Dari analisis statistika data hasil pengamatan selama tiga siklus berahi terhadap lama periode berahi dan panjang si klus berahi diperoleh ni lai rata-rata sepert i terl ihat pada Tabel 7. Lama periode berahi kelompok bet ina t i dak ada j ant an nyata (P<0,05) lebih lama dibandingkan dengan kelompok betina ada jantan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya rangsangan dari luar, yai tu t idak hadi rnya jantan, yang diterima betina melalui panca indera, penciuman,
3 Tabel 7. Nilai rata-rata lama periode berahi dan panjang si klus berahi kambing Kacang bet ina pada kelompok ada dan tidak ada Jantan Ke 1 ompok Lama periode berahi Panjang siklus berahi Bet i na (jam) (hari) Ada jantan 47,5 2 4,O a1 19,6 2 1,ob Tidak ada jantan 58,3 + 3,5b 18,4 2 1,la SE 4,2 1,o Nilai rats-rata pada lajur yang sama dengan huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata. pendengaran dan pengl i hat an (Foster et a l., 1985). Dengan tidak adanya rangsangan tersebut, maka hipotalamus tidak memperoleh rangsangan yang cukup untuk mengsekresikan Gn-RH yang akan menggertak adenohipofisis dalam rangka mengsekresikan FSH dan LH yang cukup. Dengan rendahnya konsent rasi FSH dan LH darah, maka rangsangan terhadap fol i kel pada ovarium untuk pertumbuhan fol i kel dan memproduksi estradio 7 t erut ama oest rogen rendah pu1 a, sehingga konsent rasi oestrogen darah dan LH darah yang maksimal 1 ambat dicapai. Sebagai aki bat dari lambat di capainya konsent rasi oestrogen dan LH darah yang maksimal, fol ikel lambat ovulasi atau terjadi fol i kel atretis (Foster et al.,1985), maka periode berahi menjadi lebih lama. Panjang siklus berahi dari kelompok betina tidak ada
4 jantan nyata (P c 0,05) lebih pendek dari pada panjang siklus berahi kelompok betina ada jantan (Tabel 7). Hal ini disebabkan oleh t idak adanya rangsangan dari luar terhadap hipotalamus, dalam ha1 ini jantan. Oengan tidak adanya rangsangan ini, hipotalamus memproduksi Gn- RH rendah. Konsentrasi Gn-RH rendah, rangsangan terhadap adenohipofisis rendah, maka akibatnya produksi LH dan LTH rendah pula. Rangsangan dan kontrol LH dan LTH terhadap perkembangan dan pertumbuhan sel -sel granu losa dan teca jadi sel-sel lutein rendah dan kurang intensi f. Keadaan ini menyebabkan pertumbuhan sel-sel lutein dari corpus luteum tidak sempurna dan umur CL menjadi pendek, sehingga produksi hormon progesteron berhent i. Konsent rasi hormon progesteron darah cepat menurun dan t imbul rangsangan umpan balik positif dalam produksi FSH (Peters dan McNatty, 1980; Thomson et al., 1983). Selanjutnya FSH merangsang pertumbuhan folikel baru beri kutnya dan awal fase fol i kuler mulai lagi. Cepatnya pertumbuhan fol i k el baru men jadi fol i k el de Graaf memperpendek siklus berahi sebelumnya. Selain dari itu, siklus berahi yang pendek ini mungkin disebabkan oleh kegagalan ovulasi pada waktu siklus terdahulu, sehingga tidak terdapat pertumbuhan CL, namun terjadi folikel atret i k dan selanjutnya terjadi pertumbuhan folikel baru (Ramachandraiah et a l., 1986).
5 4.3. Pensaruh Umur Induk terhadaa Lama Periode Berahi dan Panians Siklus Berahi Dada Kelom~ok Betina ada dan t i dak ada Jant an Nilai rata-rata lama periode berahi dan panjang si klus berahi dari hasi 1 pengamat an dengan per 1 akuan pengaruh umur induk dapat dilihat pada Tabel 8. Pengaruh umur induk, baik muda maupun tua, terhadap lama periode berahi dan panjang siklus berahi dalam kelompok ada jantan dan kelompok tidak ada jantan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini disebabkan oleh induk-induk yang berumur muda dan berumur tua sudah mencapai dewasa tubuh dan mengalami kelahiran, sehingga proses siklus berahi sudah teratur secara fisiologis dan periodik. Dengan kata. lain, umur induk tidak berpengaruh baik terhadap lama periode berahi maupun terhadap panjang siklus berahi. Selain dari itu kambing-kambing umur muda dan tua baik pada kelompok ada jantan maupun kelompok tidak ada jantan, masing-masing memperoleh rangsangan yang sama.
6 Tabel 8. Nilai rata-rata lama periode berahi dan panjang siklus berahi kambing umur muda dan tua pada kelompok ada dan t idak ada jantan Faktor Lama periode berahi Panjang siklus berahi (jam) (hari ) -- Ada iantan M u d a 45,00a ) T u a 50, Ooa LSD(5 %) 6,20 Tidak ada iantan M u d a T u a 59, 5oa 57,Ooa LSD(5 %) 6,10 Nilai rata-rata pada lajur yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata Keteraturan Si klus Berahi Keteraturan si klus berahi dari ternak kambing yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel tersebut memperlihatkan keadaan bahwa pada kelompok betina ada jantan, baik lama periode berahi maupun panjang siklus berahi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini disebabkan oleh adanya rangsangan yang terus-menerus sehingga produksi hormon reproduksi yang dihasilkan pada tiap siklus relatif sama. Dengan demikian siklus berahi, baik lama periode berahi maupun panjang siklus berahi
7 dalam tiap periode pengamatan relatif sama dan berlangsung tetap. Keadaan ini dikaitkan dengan tingkah laku pada saat-saat berahi dan set iap saat dari kambi ng-kambing betina lebih tenang, dibandingkan dengan kelompok betina tidak ada jantan dan ha1 ini sejalan dengan pembahasan pada sub bab 4.1. Kel ompok bet i na t i dak ada j ant an memper 1 i hat kan bahwa lama periode berahi pertama dan ketiga nyata (P < 0,05) Tabel 9. Nilai rata-rata lama periode berahi dan panjang siklus berahi dari empat kali pengamatan periode berahi kambing Kacang betina kelompok ada dan t idak ada jantan Wakt u pengamat an Lama periode Panjang siklus berahi (jam) berahi (hari ) Ada iantan P e r t a m a K e d u a K e t i g a K e e m p a t 9 5 %) Tidak ada iantan P e r t a m a K e d u a K e t i g a K e e m p a t -95 X) ) Ni lai rata-rata pada lajur yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata.
8 lebih lama daripada periode berahi kedua dan keempat. Hal ini disebabkan oleh suatu mekanisme hormonal, yai tu pada periode berahi pertama dan ketiga, produksi LH relatif rendah karena tidak adanya rangsangan dari luar, dalam ha1 ini jantan (Foster et al.,1985) seperti yang dikemukakan dalam sub bab 4.2. Periode kedua dan keempat konsentrasi LH relatif tinggi. Ini disebabkan oleh adanya akumul asi konsent rasi LH dari periode pertama dan periode ketiga sebagai akibat dari tidak terjadinya ovulasi namun terjadi folikel atretik (Ramachandraiah et al., 1986), dan LH yang dihasilkan oleh adenohipofisis pada pertumbuhan dan pematangan fol ikel baru pada fase folikuler berikutnya. Sejalan dengan tinggi rendahnya konsentrasi LH tersebut, konsentrasi hormon oestrogen dalam darah periode pert ama dan ket i ga turunnya lambat karena adanya fol i kel at ret i k, aki batnya lama periode berahi pertama dan ket iga ini berlangsung lebih lama. Sebaliknya pada periode berahi kedua dan keempat, konsentrasi hormon oestrogen maksimal cepat dicapai dan diikuti dengan produksi LH maksimal yang cepat, sel an jutnya di i kut i penurunan konsent rasi kedua hormon tersebut, akibatnya ovulasi ter jadi dan selanjutnya lama periode berahi berlangsung lebih pendek. Dari keadaan ini terl i hat adanya f luktuasi lama periode berahi selama tiga periode siklus berahi.
9 Panjang si klus berahi kelompok bet ina t idak ada j antan pada t i ap pengamatan sel ama empat periode berahi, menurun dengan bert ambahnya pengamat an. Pada pengamat an pertama panjang si klus bi rahi t idak nyata berbeda dengan pengaruh si klus berahi pengamatan kedua. Panjang si klus berahi pengamatan pertama dan kedua nyata (PC 0,05) lebih pan jang daripada si klus berahi pengamatan ket iga. Hal ini cenderung ter jadi sebagai aki bat ket idakteraturan dalam produksi hormon reproduksi yang dihasilkan odenohipofisis dan gonad. Keadaan ini terlihat dengan terjadinya penurunan panjang si klus berahi dengan waktu yang relat if lebih lama Pengaruh Kehadiran Jantan dan Umur Induk terhada~ Prof i 1 Hormon Prosesteron dari dua Si klus Berahi pada Kelom~ok ada dan tidak ada Jantan Dari hasi 1 anal i sa stat ist i k pada data yang di per01 eh t entang konsent rasi hormon progesteron selama dua siklus berahi yang dianal isis dengan metode radio immunoassay (RIA), diperoleh.ni lai rata-rata konsent rasi hormon progesteron (Tabel 10). Gambar 9, memperl i hat kan graf i k rata-rata prof i 1 hormon progestero progesteron t i ap kelompok perlakuan.
10 Pengaruh kehadiran jantan tidak menunjukkan perbedaan yang nyat a t erhadap.rat a-rat a konsent rasi hormon progesteron pada fase fol ikuler dari siklus berahi. Hal ini disebabkan karena konsentrasi hormon progesteron pada fase folikuler, baik pada kelompok betina tidak ada jantan maupun kelompok bet i na ada jantan, sama-sama berada pada konsentrasi basal. Robert son et a l., Keadaan ini sesuai dengan pendapat ( 1977) yang mengemukakan bahwa Tabel 10. Nilai rata-rata profil hormon progesteron pada fase folikuler dan fase luteal dari dua siklus berahi kelompok kambing Kacang betina ada dan t idak ada jantan Kehadi ran Konsent rasi hormon progesteron (ng/ml ) Jant an fase folikuler fase luteal Ada 0,14 + 0,05 a ' I 5,42 + 2,50 Tidak ada 0,17 + 0,07 a 4,32 + 3,OO a 'j Nilai rata-rata pada lajur yang sama dengan huruf yang berbeda menujukkan perbedaan yang nyata. domba/kambing betina dalam fase folikuler, konsentrasi hormon progesteron plasma berada pada konsentrasi basal, yai t u 0,2 ng/ml. Pada penel it ian ini hormon progesteron fase folikuler baik pada kelompok betina ada jantan maupun kelompok betina tidak ada jantan berkisar sekitar 0,117 -
11 Siklus berahi I Siklus berahi I1 hari Gambar 9. Rata-rata prof i 1 hormon progesteron dari empat kelompok kambing Kacang betina U, (umur satu tahun), U (umur tiga tahun), PI (kelompok trdak ads jantan), P2 (Eelompok ada jantan, dua siklus berahi
12 Konsent rasi rata-rata hormon progesteron fase luteal dari kelompok bet ina ada jant an berbeda nyata (P<0,05) lebi h besar daripada konset rasi rata-rata hormon progesteron kelompok bet ina t idak ada jantan. Keadaan ini se jal an dengan respon pan jang si klus berahi pada kelompok betina ada jantan nyata (P < 0,05) lebih lama dari pada panjang siklus berahi kelompok bet ina t idak ada jantan (sub bab 4.2., Tabel 7). Produksi hormon progesteron pada kelompok betina tidak ada jantan lebih kecil disebabkan karena CL yang terbentuk berumur lebih pendek atau tidak terjadi CL, karena terjadinya folikel atretik Prof i 1 Hormon Progesteron Rata-rata Fase Fol i kuler dan Fase Luteal Kambins Kacans Umur Muda dan Tua dari Kelompok ada Jantan dan tidak ada Jantan omur induk, baik muda maupun tua pada kelompok betina ada jantan dan kelornpok betina tidak ada jantan, tidak menun jukkan perbedaan yang nyat a dal am konsent rasi hormon progesteron siklus berahi pada fase folikuler (Tabel 11). Hal.ini disebabkan karena pada fase fol ikuler baik induk muda maupun induk t ua, konsent rasi hormon progesteron berada sekitar konsentrasi basal : 0,2 ng/ml (Robertson et a7.,1977).
13 Tabel 11. Ni lai rata-rata prof i 1 hormon progesteron pada fase fol i kul er dan fase luteal kambing Kacang umur muda dan tua pada kelompok ada dan t idak ada jantan Faktor Konsent rasi hormon progesteron (ng/ ml ) Fase fol i kul er Fase luteal Ada iantan M u d a 0,13 + 0,08 a 2,69 + 1,43a T u a 0,15 + 0,02 a 5,96 + 1,41b LSD(5 %) 0,05 2,18 Tidak ada jantan M u d a 0,15 + 0,07 T u a 0,19 + 0,08 a 3,99 + 2,55a a 6,89 + 1,81b 9 5 %) 0,06 1,80 ') Nilai rata-rata pada lajur dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata. Konsent rasi hormon progest eron pada f ase 1 ut eal, betina umur tua baik pada kelompok bet ina ada jantan maupun pada kelompok betina tidak ada jantan nyata (P<0,05) lebi h t inggi dari kelompok bet ina muda. Keadaan ini disebabkan oleh karena kambing-kambing betina umur tua baik pada kelompok ada jantan maupun kelompok tidak ada jantan, keadaan fisiologis reproduksi sudah stabil, sehingga produksi hormon reproduksi, dalam ha1 ini hormon
14 progesteron, sudah lebih teratur dari kambing-kambi ng betina umur muda. Kambing bet ina muda pada kelompok t idak ada jantan keadaan f isiologis reproduksi yang t idak stabi 1 ditambah dengan tidak adanya rangsangan jantan. Hal ini menyebakan tidak teraturnya produksi hormon-hormon reproduksi dan selanjutnya menyebabkan tidak teraturnya siklus berahi. Rendahnya produksi hormon progesteron pada betina muda kelompok t idak ada jantan, disebabkan oleh pertumbuhan CL yang tidak normal, atau akibat terjadinya folikel atretik sehingga t idak ada CL yang tumbuh Prof i 1 Hormon Progesteron rata-rata ~ada Satu Si klus Berahi Pasca Koitus Dari rat a-rat a konsent rasi hormon progest eron pada satu siklus birahi pasca koitus yang diperoleh (Lampiran 8), t erlihat bahwa tinggi rendahnya konsentrasi hormon progesteron secara individu berbeda-beda. Demi kian selanjutnya terlihat pada grafik rata-rata konsentrasi hormon progesteron dari tiap kelompok, tingginya pada akhir siklus pertama pasca koitus berbeda-beda (Gambar 10).
15 Masa kebunt i ngan ( hari ) - Gambar 10. Prof i 1 rat a-rat a hormon progesteron selama satu si klus berahi pasca koi tus dari empat kelompok kambing Kacang bet ina, (tidak ada jantan umur induk muda (PIU1 ), tidak ada jantan umur induk tua ' (P1U2), ada jantan umur induk rnuda (PZU1) dan ada jantan umur induk tua (P2U2).
16 Secara statist i k perbedaan antar kelompok t idak menunjuk- kan perbedaan yang'nyata sampai akhir siklus pertama pasca. koitus. Hal ini disebabkan oleh selain perbedaan individu dalam menghasilkan hormon progesteron, disebabkan pula oleh adanya individu hewan uji yang tidak mengalami kebuntingan atau gagalnya fertilisasi. Kejadian ini meng- aki bat kan mu1 ai t urunnya konsent rasi hormon progesteron sebelum akhi r si klus. Hal tersebut menyebabkan rendahnya rat a-rat a konsent rasi hormon progesteron secara kelompok Profil Rata-Rata Hormon Prosesteron tiap Individu untuk Menentukan Kebuntingan Dini Kambinn Kacang Dari hasi 1 pengamatan dan anal isa hormon se jak si klus berahi, pasca koitus, selama kebuntingan dan akhir kebuntingan dalam hubungan dengan keberhasilan kebuntingan sampai lahi r, diperoleh data rata-rata konsent rasi hormon, progesteron seperti terlihat pada Tabel 12. Dari tabel tersebut terl i hat bahwa puncak konsent rasi hormon progesteron pada sfklus berahi sangat bervariasi. Puncak ini pada kelompok betina tidak ada jantan, variasinya 1 ebi h besar di bandi ngkan dengan puncak konsent rasi hormon progesteron pada kelompok bet i na ada jant an dengan koef i - sien variasi masing-masing 0,67 dan 0,40. Variasi puncak yang besar ini disebabkan oleh tidak adanya rangsangan,
17 label 12. Nilai rata-rata profil horron progesteron tiap individu karbing Kacang betina pada saat-saat puncak siklus berahi, akhir siklus berahi pertara pasca koitus, hari ke 140 rasa kebuntingan dan raktu kelahiran Konsentrasi horron progesteron (nglrl) Noror Jurlah Kelorpok karbing anak rata-rata bkhir Kebuntingan Waktu puncak siklus siklus I hari ke 140 kelahiran berahi pasca koitus Rak-rata K.V. p2u1 P2U I kk-nk 10,471 4,224 11,166 14,415 0,597 K.V.. 0,40
18 dalam ha1 ini kehadiran jantan. Keadaan ini sejalan dengan pengaruh kehadi ran jant an terhadap pan jang si klus berahi, yang menun jukkan bahwa kelompok bet ina t idak ada jantan, panjang siklus berahinya berbeda nyata lebih pendek dari pada panjang siklus berahi kelompok betina ada jantan sebagaimana dibahas pada sub bab 4.2. Demikian pula ha1 i ni se j a1 an dengan konsent rasi hormon progesteron pada fase lutea 7, yang menun j ukkan bahwa konsent rasi hormon progesteron fase lutea7 kelompok betina tidak ada jantan nyata (P<0,05) lebih rendah dari pada konsentrasi hormon progesteron f ase lutea 1 kelompok bet ina ada jantan, sebagaimana dibahas dalam sub bab 4.5., Tabel 10. Pada Gambar 9 t ampak jel as perbedaan t inggi puncak rata-rata prof i 1 hormon progesteron pada kelompok bet i na ada j ant an dengan kelompok betina tidak ada jantan. Rat a-rat a konsent rasi puncak hormon progesteron pada kelompok betina tidak ada jantan 5,506 ng/ml sedangkan rata-rata konsent rasi puncak hormon progesteron pada kelompok betina ada jantan 10,471 ng/ml. Rata-rata konsent rasi hormon progesteron kelompok bet ina t idak ada jantan pada akhir siklus pertama pasca koitus 6,559 ng/m1, sedangkan kelompok bet i na ada jant an 11,166 ng/ml. Dari angka-angka t ersebut di at as t er 1 i hat bahwa konsent rasi hormon progesteron akhi r si kl us pert ama pasca koi tus bai k kelompok betina tidak ada jantan maupun kelompok betina
19 ada jantan lebi h t inggi dari rata-rata puncak konsent rasi hormon progesteron akhir siklus pertama pasca koitus, baik pada kelompok bet ina ada jantan maupun kelompok bet ina tidak ada jantan, lebih tinggi dari puncak konsentrasi hormon progesteron siklus berahi. Dengan demikian kita dapat menent ukan bah'wa hewan bet i na kambi ng perkawi nannya berhasil bila pada menjelang akhir siklus pertama pasca koitus mencapai konsentrasi hormon progesteron melebihi konsentrasi puncak hormon progesteron siklus berahi. Dari penel it ian ini dapat dipakai sebagai patokan penentuan kebuntingan dini bila konsentrasi hormon progesteron pasca koitus lebih besar dari 6,5 ng/ml dan lebih keci1 dari 11,O ng/ml ant ara hari ke 10 dan ke 14 pasca koi tus bai k pada kelompok betina tidak ada jantan maupun pada kelompok bet i na ada j ant an. Konsent rasi hormon progesteron pada akhi r si kl us pertama pasca koitus turun lebih kecil dari 1 ng/ml, maka betina-betina tersebut tidak bunting dan kambing berahi kembal i. Keadaan ini dapat di 1 i hat pada Gambar 11, 12 dan 13, masing-masing untuk kambing nomor 1.01, 3.12 dan Gambar 14 menunjukkan bahwa tiap kambing pada kelompok ini mengal ami kebunt i ngan dengan konsent rasi hormon progesteron re1 at i f sama.
20 Masa kebunt i ngan (hari ) j Gambar 11. Prof i 1 hormon progest eron pada sat u s i k l us berahi pasca koitus dari kambing-kambing umur muda (U1 ) pada kelompok betina tidak ada jantan (PI), nomor kambing= 1.01, 1.02 dan 1.05
21 Masa kebunt i ngan (hari ) Gambar 12. Prof i 1 hormon progesteron pada satu si klus berahi pasca koitus dari kambing-kambing umur tua (U2) pada kelompok betina tidak ada jantan (PI ), nomor kambing= 3.07, 3.09 dan 3.12
22 Masa kebuntingan (hari) Gambar 13. Profil hormon progesteron pada satu siklus berahi pasca koi t us dari kambi ng-kambi ng umur tua pada kelompok betina ada jantan (P2), nomor kambi ng= 3.01, 3.02 dan 3.10
23 Gambar 14. Prof i 1 hormon progesteron pada sat u si kl us berahi pasca koitus dari kambing-kambing umur muda pada kelompok betina ada jantan (P*), nomor kambing= 1.07, 1.08 dan 1.11
24 4.9. Profil Hormon Prosesteron dari Bulan Kedua Kebunt innan sam~ai Kel ahi ran Rat a-rat a konsent rasi hormon progest eron pada masa kebunt ingan keadaannya sama dengan keadaan rat a-rat a konsent rasi hormon pada satu si klus berahi pasca koitus. Rata-rata konsentrasi hormon tiap kelompok, tinggi rendahnya ditentukan oleh sifat-sifat individu dalam menghasi l- kan hormon. Selain dari itu, perbedaan konsentrasi hormon tiap kelompok disebabkan pula oleh adanya individu yang tidak bunting sejak bulan pertama pasca koitus (Gambar 11,12,13 dan adanya individu betina yang mengalami kemat i an embrional pada bul an kedua masa kebunt ingan (Gambar 15, kambing nomor 3.01). Kejadian-kejadian ini menyebabkan tinggi rendahnya konsentrasi hormon tiap kelompok bet ina (Lampi ran 9). Apabila hormon progesteron pada fase kebuntingan beri kutnya menurun sampai mencapai konsent rasi lebi h keci 1 dari 1 ng/ml, maka betina tersebut mengalami kematian embrional yang disebut "early embryonic mortal ity" (Gambar - 15, kambing nomor 3.01 ). Mengenai hubungan antara jumlah anak yang di lahi rkan dengan konsent rasi hormon progesteron, di per01 eh data bahwa pada bet ina-bet ina yang me1 ahi rkan anak kembar
25 terlihat konsentrasi hormon progesteron kebuntingan jauh lebih tinggi dari konsentrasi hormon progesteron kebuntingan induk beranak tunggal. Konsentrasi hormon progesteron pada waktu lahi r dari kelahi ran anak tunggal lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi hormon progesteron pada kelahiran anak kembar, yang masing-masing lebih kecil dari 1 ng/ml dan lebih besar dari 1 ng/ml (Gambar 16 dan 17). Hal ini disebabkan karena induk beranak kembar CL 1 ebi h akt i f menghasi 1 kan hormon progest eron lebi h banyak karena di butuhkan untuk mempertahankan kebunt ingan yang seimbang dengan jumlah anak yang dikandung. Hormon progesteron ini mungkin dihasilkan dari sebuah CL, bila anak yang dikandung berupa anak kembar ident i k dan dapat pula dari CL lebih dari satu bila anak yang dikandung berupa anak kembar fraternal. Dengan demikian konsentrasi hormon induk beranak kembar selama mengandung bahkan sampai pada waktu kelahiran lebih tinggi dari pada konsentrasi hormon induk beranak tunggal.
26 Masa kebunt ingan (barf 1 p - Gambar 15. Prof i 1 hormon progesteron dari awal bulan kedua masa bunt i ng sampai kel ahi ran, kambing-kambing umur tua (U2) kelompok betina ada jantan (P2), nomor kambing = 3.01 dan 3.10).
27 Gambar 16. Profit hormon progesteron dari awal bulan kedua masa bunt ing sampai kel ahi ran, kambing-kambi ng umur muda (U1) kelompok bet ina ada jantan (P ),nomor kambing 1.07, 1.18 dan 1.11; LK = laei r kembar, LT = lahi r tunggal
28 Gambar 17. Profil hormon progesteron dari awal bulan kedua masa bunt i ng sampai kel ahi ran, kambing-kambi ng umur tua (U2) kelompok betina tidak ada jantan (P2), nomor kambing 3.07 dan 3.09; LK = lahir kembar, LT = 1 ahi r tunggal
29 4.10. Pensaruh Kehadiran Jantan dan Umur Induk terhada~ Jumlah Ovulasi dan Jumlah Anak yam Lahi r Pengaruh kehadi ran jantan dan umur induk tefhadap jumlah ovulasi baik pada kelompok ada jantan maupun tidak ada jantan terdapat pada Tabel 13. Dari Tabel 13 terl i hat bahwa kehadi ran jantan dalam kelompok betina tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah ovulasi. Jumlah ovulasi pada kelompok betina ada jantan terdapat 11 buah ova dan pada kelompok bet ina tidak ada jantan 14 buah ova dari masing-masi ng kelompok terdi ri dari 12 ekor hewan u j i. Hal ini di sebabkan oleh karena induk muda atau induk tua sudah mencapai dewasa tubuh, sehingga proses ovulasi berlangsung secara f isiologis setiap siklus. Selain dari itu mungkin disebabkan pula oleh karena pelaksanaan endoscopi pada semua kelompok dilakukan pada periode pengamatan berahi keempat, pada saat ini konsentrasi hormon LH tinggi, terutama pada kelompok bet ina t idak ada jantan. Hormon LH yang t inggi ini akibat dari adanya umpan balik positif dari hormon oest rogen t erhadap adenohi pof i s i s sehi ngga konsent rasi LH darah yang cukup'tinggi ini merangsang terjadinya ovulasi.
30 Tabel 13. Nilai rata-rata jumlah ovulasi kambing Kacang pada kelompok ada dan tidak ada jantan Faktor Jumlah ovulasi (buah) Ada jantan Tidak ada jantan Ni lai rata-rata pada lajur yang sarn'a dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Jumlah anak lahir pada kelompok betina ada jantan (11 ekor) lebih banyak dari pada jumlah anak pada kelompok betina tidak ada jantan (5 ekor. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kehadiran jantan yang memberi rangsangan melalui panca indra berupa bau kelenjar, suara dan kehadi ran jantan yang nampak terl i hat oleh bet ina. Pada kelompok bet i na t i dak ada j ant an, ti dak adanya rangsangan menyebabkan konsentrasi FSH dan LH darah rendah (sesuai dengan pembahasan sub bab 4.2. ) wal aupun cukup unt uk merangsang terjadinya ovulasi, namun belum cukup untuk memberikan rangsangan terhadap perkembangan dan pertumbuhan sel-sel grounulosa dan sel-sel teca dalam pembentukan fol i kel dan sel-sel telur dengan sempurna. (Partodihardjo, 1982; Fostter et al., 1985).
31 Selanjutnya pertumbuhan CL t idak sempurna karena LH dan LTH yang terbentuk rendah, disebabkan tidak adanya rangsangan jant an, sesuai dengan pembahasan sub bab 4.2. Aki batnya CL memproduksi progesteron rendah. Hal i n i terlihat pada Tabel 10, yang menunjukkan bahwa konsentrasi hormon progesteron pada kelompok bet ina t i dak ada jantan nyata (P<0,05) lebih rendah daripada konsentrasi hormon progesteron pada kelompok bet i na ada j ant an. Dengan rendahnya konsentrasi hormon progesteron pada awal kebuntingan menyebabkan lemahnya pemeliharaan konseptus dan kebuntingan. Keadaan ini menyebabkan bila terjadi pembuahan maka zygote yang terjadi selain daya hidupnya rendah juga daya implantasinya 1 emah, sehi ngga t er jadi kemat ian embrional (early embryonic mortal ity). Selain dari itu mungkin sedikitnya anak yang lahir disebabkan oleh karena perkawinan yang dilakukan hanya satu kali. Dengan demi k i an j el as1 ah bahwa kehadi ran hewan j ant an dalam kelompok bet ina, secara t i dak 1 angsung melalui pengaruhnya terhadap peningkatan hormon progesteron, akan meningkatkan kesuburan ternak kambing betina dengan mencegah kematian embrional dini dan mencegah keguguran konsepsi.
makin meningkat, sehingga terjadi peningkatan sadar gizi. Kambing di Indonesia selain merupakan salah satu
I PENDAHULUAN Oewasa i ni permi nt aan konsumen akan bahan-bahan yang berasal dari ternak makin besar. Hal ini disebabkan oleh pendapat an per kapi t a per t ahun dan pendi di kan masyarakat makin meningkat,
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki
Lebih terperinciSexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour
Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan
30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina
Lebih terperinciI1 TINJAUAN PUSTAKA. Oman Timur, Himalaya Tengah dan India Selatan. bagaimana proses berlangsungnya domestikasi kambing tidak
I1 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kambing termasuk, fami 1 i Bovidae,. sub Orde Ruminansia. Dua genus yang dikenal adalah genus Hematrigus dan genus Capra. Genus Hematrigus terdapat di Oman Timur, Himalaya
Lebih terperinciga produksi daging dan susu dirasakan sangat lambat pening- Masalah yang dihadapi Indonesia saat ini bahwa po-
I. PENDAHULUAN 1-1. Lat ar Be1 akang Penel i t i an " Perkembangan populasi ternak ruminansia sebagai penyang- ga produksi daging dan susu dirasakan sangat lambat pening- katannya. Masalah yang dihadapi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu
Lebih terperinci5 KINERJA REPRODUKSI
5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda
3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di
Lebih terperinciHASlL DAN PEMBAHASAN
HASlL DAN PEMBAHASAN Siklus Estrus Alamiah Tanda-tanda Estrus dan lama Periode Estrus Pengamatan siklus alamiah dari temak-ternak percobaan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kambing Pada mulanya domestikasi kambing terjadi di daerah pegunungan Asia Barat sekitar 8000-7000 SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) berasal
Lebih terperinciSistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;
Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi
Lebih terperinciSiklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12
Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka
Lebih terperinci1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.
Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba merupakan ruminansia kecil yang relatif mudah dibudidayakan oleh masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai pakan berupa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kementrian Pertanian Tahun 2010-- 2014 (Anonim
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
9 A B Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16-17 Gambar 8 Teknik penyuntian PGF 2α. (A) Penyuntikan pertama, (B) Penyuntikan kedua, (C) Pengamatan estrus yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pada
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau sangat bermanfaat bagi petani di Indonesia yaitu sebagai tenaga kerja untuk mengolah sawah, penghasil daging dan susu, serta sebagai tabungan untuk keperluan dikemudian
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
9 Deteksi Estrus Pengukuran hambatan arus listrik lendir vagina dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore) selama lima hari berturut-turut. Angka estrus detektor direkapitulasi dalam bentuk tabel secara
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A.
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil
Lebih terperinciTugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif
Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Kelompok 3 Aswar Anas 111810401036 Antin Siti Anisa 121810401006 Nenny Aulia Rochman 121810401036 Selvi Okta Yusidha 121810401037 Qurrotul Qomariyah
Lebih terperinciPENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA A.
3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α Hasil penelitian didapatkan 13 dari 15 ekor domba (87,67%) menunjukan respon estrus dengan penyuntikan PGF 2α. Onset estrus berkisar
Lebih terperinciBAB IV DIAGNOSA KEBUNTINGAN
BAB IV DIAGNOSA KEBUNTINGAN 4.1 Pendahuluan Deteksi kebuntingan secara dini merupakan hal penting untuk diperhatikan selain karena besar pengaruhnya terhadap aktivitas atau siklus kehidupan ternak tersebut
Lebih terperincidrh. Herlina Pratiwi
drh. Herlina Pratiwi Fase Folikuler: Oosit primer => folikel primer => foliker sedunder => folikel tertier => folikel degraaf => ovulasi => folikel haemoraghicum Fase Luteal: corpus luteum => corpus spurium
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel
Lebih terperinciPUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33
PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan
Lebih terperinciHUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH
HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sinkronisasi Estrus dan Waktu Ovulasi Folikel Untuk sinkronisasi estrus dan induksi ovulasi dilakukan pemberian PGF 2α sebanyak 2 ml i.m dan hcg 1500 IU. Hasil seperti tertera pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan
Lebih terperinciPROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN
Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus
A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil
Lebih terperinciDAFTAR ISI 2 DAFTAR TABEL 3 1. Per ke mbangan Dat a Pel apor 4 2. Per ke mbangan Dat a Debi tur 5 3. Per ke mbangan Dat a Fasilitas 6 4.
DAFTAR ISI 2 DAFTAR TABEL 3 1. Per ke mbangan Dat a Pel apor 4 2. Per ke mbangan Dat a Debi tur 5 3. Per ke mbangan Dat a Fasilitas 6 4. Per ke mbangan Dat a Per mi nt aan I nf or masi Debi t ur I ndi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto
Lebih terperinciTatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB
Tatap muka ke 13 & 14 PokokBahasan : SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB 1. Tujuan Intruksional Umum Mengerti tujuan sinkronisasi / induksi birahi Mengerti cara- cara melakuakn sinkronisasi birahi/induksi
Lebih terperinciGAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM
1 GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM Takdir Saili 1*, Fatmawati 1, Achmad Selamet Aku 1 1
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang cukup banyak dan tersebar luas di wilayah pedesaan. Menurut Murtidjo (1993), kambing Kacang memiliki
Lebih terperinciMAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.
MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375
Lebih terperinciABSTRAK SKRIPSI. dalam. Masalah perbankan di Indonesia diatur. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
ABSTRAK SKRIPSI Masalah perbankan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disingkat UU No' 7 Tahun 1992) ' Dalam pel aksanaannya bank umum dalam memberi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family Menispermaceae yang mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat digunakan untuk mengobati
Lebih terperinciUPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK
UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK HASTONO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Salah satu upaya peningkatan sefisensi reproduksi ternak domba
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia
BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.
Lebih terperinciPENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN
PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN SKRIPSI Oleh DARUSSALAM I111 11 014 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 PENGARUH
Lebih terperinciHUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.
HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,
Lebih terperinciq* PERENCANAAN TATARUANG PERTANIAN
A3 YPy 4-63/* i i 9- q* PERENCANAAN TATARUANG PERTANIAN DAERAH TRANSMIGRASI SKP H SINUNUKAN WPP XI INATAI, SUMATERA UTARA r L..d,* i t ~$~c; i 0 A.6,',,I Oleh JURUSAM TAMAH FAKULTAS PERTANIAM, INSTiTUT
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. peristiwa ovulasi (Sophia, 2003).Berahi diawali dengan turunnya hormon
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanda tanda Berahi Masa subur ditandai dengan dilepaskannya sel telur betina matang melalui peristiwa ovulasi (Sophia, 2003).Berahi diawali dengan turunnya hormon progesteron
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menstruasi A. Pengertian Menstruasi Menstruasi merupakan keadaan fisiologis, yaitu peristiwa keluarnya darah, lendir ataupun sisa-sisa sel secara berkala. Sisa sel tersebut
Lebih terperinciLAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II
VAGINAL SMEAR Oleh : Nama : Nur Amalah NIM : B1J011135 Rombongan : IV Kelompok : 2 Asisten : Andri Prajaka Santo LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Lebih terperinciCARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).
CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Infertilitas dalam arti klinis didefinisikan sebagai Ketidakmampuan seseorang atau pasangan untuk menghasilkan konsepsi setelah satu tahun melakukan hubungan seksual
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu
I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Reproduksi Ternak Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB
Lebih terperinciRini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK
EVALUASI PRODUKTIVITAS ANAK DOMBA LOKAL MENGGUNAKAN RUMUS PRODUKTIVITAS MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI REPRODUKSI (Kasus di Peternakan Rakyat Desa Neglasari Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta) Rini
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pubertas 2.1.1. Definisi Pubertas Pubertas adalah masa dimana ciri-ciri seks sekunder mulai berkembang dan tercapainya kemampuan untuk bereproduksi. Antara usia 10 sampai
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses adaptasi terhadap lingkungan kandang penelitian telah dilakukan pada 13 ekor rusa. Enam ekor yang menunjukkan gejala estrus dan dapat diduga bahwa rusa tersebut tidak bunting.
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu. percobaan agronomis kemudian dilanjutkan dengan percobaan
BAHAN DAN METODE Tempat dan Wakt u Penel i t i an Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu percobaan agronomis kemudian dilanjutkan dengan percobaan nut risi di laboratorium, Percobaan agronomis dilakukan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Lokasi Asal Induk Domba
TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Asal Induk Domba Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) dibawah pengelola Fakultas
Lebih terperinciMATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2007 sampai dengan bulan Juli 2007. Lokasi penelitian berada pada dua kenagarian yaitu Kenagarian Sungai
Lebih terperinciMinggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran
Rencana Kegiatan dan Pembelajaran Mingguan (RKPM) a. Kuliah Minggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran Dosen Pengampu I Pendahuluan 1. Pengertian reproduksi 2. Peranan proses reproduksi dalam kehidupan
Lebih terperinciKESEHATAN REPRODUKSI* Oleh: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes**
KESEHATAN REPRODUKSI* Oleh: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes** A. Pengantar Sistem reproduksi pada manusia dapat dibedakan menjadi sistem reproduksi laki-laki dan wanita sesuai jenis kelaminnya. 1. Sistem
Lebih terperinci2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian
2 2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan akan mempermudah dalam menentukan waktu yang tepat
Lebih terperinciBAB I PENYERENTAKAN BERAHI
BAB I PENYERENTAKAN BERAHI 1.1 Pendahuluan Penyerentakan berahi (Sinkronisasi Estrus) merupakan suatu proses manipulasi berahi pada sekelompok ternak betina. Adapun alasan dilakukannya Penyerentakan berahi
Lebih terperinciAnatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang
Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus
Lebih terperinciBAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ASI Eksklusif 1. Pengertian Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik bagi bayi sampai usia 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif yaitu pemberian ASI tanpa cairan atau makanan lain,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Merak Hijau (Pavo muticus) Merak hijau (Pavo muticus) termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah
Lebih terperinciONSET DAN LAMA ESTRUS KAMBING KACANG YANG DIINJEKSIPROSTAGLANDINF2α PADA SUBMUKOSA VULVA
ONSET DAN LAMA ESTRUS KAMBING KACANG YANG DIINJEKSIPROSTAGLANDINF2α PADA SUBMUKOSA VULVA (Onset and Etrus Duration of Kacang Goat Injected with Prostaglandin F2α in Vulva Submucosal) Fahrul Ilham, Safriyanto
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari. sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini
I. PENDAHULUAN A. LatarBelakang Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini terletak berdampingan.secara geografis
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) Kambing PE pada awalnya dibudidayakan di wilayah pegunungan Menoreh seperti Girimulyo, Samigaluh, Kokap dan sebagian Pengasih (Rasminati,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Sejarah Perkembangan Kambing PE
TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Kambing PE Kambing merupakan ruminansia kecil berasal dari Asia Barat menyebar ke Timur melalui dua jalur utama. Pertama, dari Persia dan Afganistan melalui Turkestan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Hasil penghitungan jumlah sel darah merah setiap bulan selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda seperti terlihat
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Siklus Menstruasi Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2005), sedangkan
Lebih terperinciBAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama
17 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama (F1) dan Generasi Kedua (F2) Sapi Hasil Persilangan SimPO ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan
Lebih terperinciProses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh
Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh kelenjar endokrin dan disekresikan ke dalam aliran darah
Lebih terperinciPERAN KADAR PROGESTERON DALAM PLASMA DARAH UNTUK DETEKSI ESTRUS DAN AKTIVITAS OVARIUM
Seminar Nasional Peternakan dun Veteriner 1998 PERAN KADAR PROGESTERON DALAM PLASMA DARAH UNTUK DETEKSI ESTRUS DAN AKTIVITAS OVARIUM DIM BuDI WIIONO Instalasi Penelitian dart Pengkajian Teknologi Pertanian
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad lalu. Beberapa sinonim sapi Bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak lokal berperan penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa sifat unggul dibandingkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Potong Sapi potong merupakan jenis sapi yang diarahkan untuk memproduksi daging, oleh karena itu penggemukan yang dilakukan bertujuan untuk mencapai bobot badan secara maksimal
Lebih terperinci