IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Hasil penghitungan jumlah sel darah merah setiap bulan selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 2. Pada bulan pertama kebuntingan, didapatkan jumlah sel darah merah yang beragam antarkelompok perlakuan meskipun dengan nilai yang tidak berbeda nyata secara statistik. Jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) menunjukkan nilai jumlah sel darah merah yang paling tinggi dengan jumlah 14,83±0,87 x 10 6 /mm 3. Jumlah sel darah merah terendah ada pada kelompok domba yang tidak disuperovulasi dan tidak diberi ekstrak temulawak plus (kontrol) dengan jumlah sel darah merah 11,50±1,50 x 10 6 /mm 3. Satu-satunya faktor yang secara signifikan mempengaruhi jumlah sel darah merah tersebut ialah faktor superovulasi (SO), sedangkan faktor pemberian ekstrak temulawak plus dan kombinasi pemberian ekstrak temulawak plus sekaligus superovulasi tidak mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan. Tabel 2 Jumlah sel darah merah (10 6 /mm 3 ) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan Bulan Kontrol TM Kontrol SO Kontrol SO SO TM SO*TM 1 11,50±1,50 a 13,73±0,85 a 11,71±3,20 a 14,83±0,87 a * ,73±1,73 a 14,85±0,72 ab 12,38±2,17 a 15,68±0,96 b * ,55±1,90 a 15,03±0,48 ab 13,05±1,58 ab 16,08±0,51 b * ,40±1,60 a 15,13±0,55 b 13,33±0,94 ab 15,43±0,52 b * * ,95±0,91 a 14,88±0,46 c 13,40±0,77 b 14,88±0,96 c * * * Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Pada kelompok domba yang disuperovulasi, domba induk memiliki jumlah fetus lebih banyak daripada kelompok perlakuan lainnya sehingga sangat mempengaruhi metabolisme induk domba tersebut. Perubahan metabolisme

2 23 tersebut disebabkan oleh lebih banyaknya sekresi hormon kebuntingan (Andriyanto dan Manalu 2011). Selain sekresi hormon kebuntingan yang meningkat, kondisi kebuntingan juga mempengaruhi sekresi hormon lain yang juga mempengaruhi proses metabolisme seperti hormon tiroid (Guyton dan Hall 1997). Salah satu perubahan metabolisme yang terjadi ialah adanya peningkatan jumlah sel darah merah. Walaupun kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) mendapatkan pencekokan ekstrak temulawak plus, akan tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi peningkatan jumlah sel darah merah. Berdasarkan penghitungan statistik, faktor pemberian ekstrak temulawak plus (TM) dan faktor superovulasi sekaligus pemberian ekstrak temulawak plus (SO*TM) tidak mempengaruhi jumlah sel darah merah setiap kelompok perlakuan. Pada bulan kedua, didapatkan jumlah sel darah merah tertinggi, yaitu pada kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) dengan jumlah 15,68±0,96 x 10 6 /mm 3 dan terendah pada kelompok kontrol dengan jumlah sel darah merah 11,73±1,73 x 10 6 /mm 3. Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada bulan pertama. Peningkatan jumlah sel darah merah dari bulan pertama ke bulan kedua dari kelompok domba kontrol adalah sebesar 2%. Peningkatan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi memiliki nilai peningkatan yang sama, yaitu sebesar 5,7%. Peningkatan jumlah sel darah merah terbesar ada pada kelompok domba yang disuperovulasi, yaitu sebesar 8,2%. Berdasarkan perhitungan statistik, pada bulan kedua mulai terlihat adanya nilai yang berbeda nyata pada kelompok perlakuan. Faktor yang mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah pada bulan kedua ialah faktor superovulasi. Pada bulan ketiga kebuntingan, kondisinya tidak berbeda jauh dengan bulan kedua maupun bulan pertama, yaitu kelompok domba yang disuperovulasi dan diberi ekstrak temulawak memiliki jumlah sel darah merah tertinggi, sedangkan pada kelompok domba yang tidak disuperovulasi dan tidak diberi ekstrak temulawak memiliki jumlah sel darah merah terendah. Perbedaan yang

3 24 muncul pada bulan ketiga dan bulan pertama hanya terdapat pada peningkatan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan. Namun, jika dibandingkan pada bulan kedua, hanya kelompok kontrol yang mengalami penurunan jumlah sel darah merah, yaitu sebesar 1,53%. Peningkatan jumlah sel darah merah dari kelompok perlakuan terjadi seiring dengan peningkatan umur kebuntingan. Faktor pemberian ekstrak temulawak plus mulai memberikan pengaruh pada jumlah sel darah merah pada bulan keempat. Pada bulan keempat, selain faktor pemberian ekstrak temulawak plus, faktor superovulasi juga memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah pada kelompok domba perlakuan. Akan tetapi, faktor kombinasi antara superovulasi dengan pemberian ekstrak temulawak plus (SO*TM) belum memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah kelompok domba perlakuan. Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak dan disuperovulasi memberikan jumlah tertinggi dibanding kelompok lainnya. Meskipun mempunyai nilai tertinggi dibandingkan dengan kelompok lain, kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan disuperovulasi sekaligus mengalami penurunan jumlah sel darah merah sebesar 4% dibandingkan pada bulan ketiga. Pada bulan kelima kebuntingan, faktor superovulasi, faktor pemberian ekstrak temulawak plus, dan faktor superovulasi sekaligus pemberian ekstrak temulawak plus secara signifikan telah memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan. Jika dibandingkan dengan bulan keempat, jumlah sel darah merah dari setiap kelompok pada bulan kelima mengalami penurunan kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus. Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus mengalami peningkatan jumlah sel darah merah yang tidak signifikan, yaitu sebesar 0,52%. Selama lima bulan pengamatan jumlah sel darah merah, didapatkan jumlah sel darah merah pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (TM SO) selalu memberikan jumlah sel darah merah tertinggi, sedangkan kelompok domba yang tidak diberi ekstrak temulawak plus dan tidak disuperovulasi (kontrol) selalu memberikan jumlah sel darah merah yang terendah. Selain itu, selama lima bulan pengamatan terhadap

4 25 jumlah sel darah merah didapatkan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi (SO) selalu memiliki nilai yang lebih tinggi dari kelompok kontrol maupun kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM). Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) selalu memiliki nilai yang lebih rendah dibanding kelompok SO maupun kelompok TM dan SO, namun selalu lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol selama lima bulan pengamatan jumlah sel darah merah. Pada bulan kelima kebuntingan, jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan mengalami penurunan kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) yang justru mengalami sedikit peningkatan. Jumlah sel darah merah dalam sistem sirkulasi tubuh diatur secara terbatas sehingga memadai untuk selalu menyediakan oksigen bagi jaringan (Guyton dan Hall 1997). Sel darah merah mempunyai tiga fungsi penting yaitu transportasi oksigen ke jaringan, transportasi karbon dioksida ke paru-paru, dan sebagai penyangga atau buffer ion hidrogen (Meyer dan Harvey 2004). Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan secara keseluruhan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Ginting (1987). Pada penelitian Ginting (1987) didapatkan jumlah sel darah merah domba tidak bunting sebesar 10 x 10 6 /mm 3. Nilai tersebut juga tidak berbeda jauh dari hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Kozat et al. pada tahun 2003 yang melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba tidak bunting adalah sebesar 11,72±71 x 10 6 /mm 3. Pada tahun 2006, Kozat et al. juga melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba bunting adalah sebesar 12,02±69 x 10 6 /mm 3 yang berarti bahwa jumlah sel darah merah pada domba bunting sedikit meningkat dibandingkan pada domba yang tidak bunting. Selain peningkatan, penurunan jumlah sel darah merah juga terjadi pada setiap kelompok domba perlakuan. Penurunan jumlah sel darah merah terjadi menjelang kelahiran yang juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Maheshwari et al. (2001). Penurunan jumlah sel darah merah pada bulan kelima terjadi karena peningkatan stres menjelang kelahiran. Pada masa menjelang kelahiran, terjadi peningkatan hormon-hormon stres yang mempengaruhi metabolisme tubuh (Guyton dan Hall 1997). Penurunan jumlah sel darah merah

5 26 menjelang kelahiran juga dilaporkan pada penelitian yang dilakukan Iriadam (2007). Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba pada pertengahan masa kebuntingan adalah 16,94±0,23 x 10 6 /mm 3 sedangkan pada akhir kebuntingan ialah 15,40±0,49 x 10 6 /mm 3. Pengamatan jumlah sel darah merah tiap bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Jumlah sel darah merah mengalami kenaikan sampai dengan bulan ketiga dan mengalami penurunan pada bulan keempat menuju bulan kelima. Pada kelompok kambing yang melahirkan anak kembar dan normal akan mengalami peningkatan jumlah sel darah merah sampai dengan usia kebuntingan 4,5 bulan (Maheshwari et al. 2001). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian pada kelompok domba yang disuperovulasi (SO) yang sampai pada bulan keempat kebuntingan terus mengalami peningkatan jumlah sel darah merah. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah sel darah merah akan mengalami peningkatan pada bulan-bulan awal kebuntingan. Faktor yang secara berkesinambungan mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan ialah faktor superovulasi. Perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus dan perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus sekaligus superovulasi tidak memberikan pengaruh sampai bulan ketiga. Pemberian ekstrak temulawak plus baru mempengaruhi jumlah sel darah merah pada masa menjelang kelahiran, yaitu bulan keempat dan kelima sedangkan interaksi antara faktor superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus dalam mempengaruhi jumlah sel darah merah baru terjadi pada bulan kelima. Menjelang kelahiran, terjadi peningkatan stres pada tubuh induk yang mempengaruhi level antioksidan alami tubuh. Jumlah antioksidan tersebut sangat berpengaruh pada umur sel darah merah (Kurata et al. 1993). Salah satu senyawa bermanfaat yang dimiliki temulawak ialah kurkuminoid. Kurkuminoid mampu memperbaiki level dari malonildialdehida (MDA), superoksida dismutase (SOD), dan glutation peroksidase (GSH-Px) (Kalpravidh et al. 2010). Ketiga senyawa tersebut merupakan antioksidan alami yang ada di dalam tubuh yang dapat mengurangi kerusakan sel karena stress oksidatif.

6 27 Jumlah sel darah merah akan mengalami penurunan pada masa akhir kebuntingan atau menjelang kelahiran. Penurunan jumlah sel darah merah tersebut tidak hanya terjadi pada domba namun juga pada hewan bunting lainnya, seperti pada kuda, babi, dan anjing (Jain 1993; Vihan dan Rai 1987). Penurunan jumlah sel darah merah pada masa akhir kebuntingan menimbulkan efek hemodilusi atau pengenceran darah sebagai akibat dari meningkatkanya plasma darah. Kondisi tersebut juga telah diteliti pada kambing yang sedang bunting (Azab dan Maksoud 1999). Mekanisme kenaikan dan penurunan jumlah sel darah merah selama kebuntingan sangat terkait dengan proses hormonal. Perlakuan superovulasi sebelum adanya perkawinan dapat meningkatkan jumlah korpus luteum, konsentrasi rata-rata hormon estrogen induk, konsentrasi hormon progesteron, jumlah litter size, rata-rata bobot lahir anak, dan produksi susu masing-masing sebesar 112, 67, 42, 27, 32, dan 35% (Adriani et al. 2007). Selanjutnya, profil kenaikan dan penurunan dari jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan disajikan pada Grafik 1. Grafik 1 Jumlah sel darah merah induk domba kontrol ( ), disuperovulasi ( ), diberi ekstrak temulawak plus ( ), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi ( ) selama lima bulan kebuntingan. Kenaikan kadar hormon estrogen dan progesteron memiliki hubungan yang erat dengan total bobot lahir anak. Semakin tinggi konsentrasi progesteron

7 28 dan estrogen selama kebuntingan maka bobot total lahir anak juga semakin tinggi (Sumaryadi 2004). Total bobot lahir anak menggambarkan proses pertumbuhan yang dialami fetus selama kebuntingan. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan hormon progesteron selama kebuntingan memberikan pengaruh besar pada pertumbuhan fetus (Manalu dan Sumaryadi 1998) Kelompok perlakuan yang mendapatkan pencekokan ekstrak temulawak plus (TM dan TM SO) memiliki jumlah sel darah merah yang lebih tinggi dari kontrol. Kandungan vitamin A, D, dan B kompleks yang terdapat pada ekstrak temulawak plus diduga memiliki pengaruh pada peningkatan jumlah sel darah merah. Pada manusia, suplementasi vitamin A dilaporkan dapat menurunkan tingkat kematian pada anak yang baru lahir ketika ibunya menderita defisiensi vitamin A (Rotondi dan Khobzi 2010). Pemberian piridoksin (B6) mampu meningkatkan proliferasi sel diferensiasi neuroblast pada saraf (Yoo et al. 2011). Vitamin D dan K secara sinergis memberikan manfaat pada tulang dan sistem kardiovaskular (Kidd dan Paris 2010). Pemberian suplementasi vitamin D pada induk babi selama kebuntingan dapat memberikan kecukupan kebutuhan mineralisasi tulang fetus (Witschi et al. 2011) Hematokrit Nilai hematokrit setiap kelompok perlakuan selama lima bulan dapat dilihat pada Tabel 3. Faktor yang memberikan pengaruh pada nilai hematokrit dari bulan pertama sampai dengan bulan kelima ialah faktor superovulasi. Faktor pemberian ekstrak temulawak plus dan kombinasi antara superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada perbedaan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan. Selama lima bulan pengamatan terhadap nilai hematokrit kelompok domba perlakuan selalu didapatkan nilai hematokrit tertinggi pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan disuperovulasi (TM SO), sedangkan nilai terendah ditemukan pada kelompok domba yang yang tidak diberi ekstrak temulawak plus dan tidak disuperovulasi (kontrol). Selain itu, nilai hematokrit dari kelompok domba yang disuperovulasi (SO) selalu lebih tinggi dibanding kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) dan kelompok domba kontrol. Nilai hematokrit dari

8 29 kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus selalu lebih tinggi dari kontrol namun lebih rendah dari kelompok domba yang disuperovulasi dan kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi. Perbedaan nilai hematokrit yang ada tersebut sejalan dengan perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan. Tabel 3 Nilai hematokrit (%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan Bulan Kontrol TM Kontrol SO Kontrol SO SO TM SO*TM 1 23,80±1,58 a 26,85±1,30 a 24,90±2,69 a 26,85±1,30 a * ,15±1,52 a 27,28±1,13 ab 25,13±2,47 ab 28,20±0,80 b * ,78±1,07 a 27,00±1,14 ab 24,90±1,79 ab 28,20±0,80 b * ,43±0,99 a 27,15±1,27 b 24,55±0,55 a 27,50±0,55 b * ,05±0,26 a 26,80±0,43 b 24,40±1,32 a 27,00±0,66 b * - - Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Nilai hematokrit bulan pertama dari kelompok yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus, yaitu 26,85±1,30%, memberikan nilai tertinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Hal tersebut sejalan dengan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus yang juga memiliki jumlah sel darah merah tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Nilai hematokrit pada bulan kedua dari setiap kelompok domba perlakuan mengalami kenaikan dengan pola perbandingan yang hampir sama kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi. Pada bulan kedua, nilai hematokrit tertinggi sebesar 28,20±0,80% ada pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus yang menunjukkan kenaikan nilai hematokrit sebesar 5% dibanding pada bulan pertama. Nilai hematokrit terendah pada bulan kedua sebesar 24,15±1,52% pada kelompok domba kontrol yang menunjukkan kenaikan sebesar 1,5%. Hematokrit merupakan nilai yang menunjukkan fraksi sel darah merah di dalam darah (Cunningham 1997). Kenaikan nilai hematokrit pada domba

9 30 penelitian secara nyata hanya terjadi pada bulan kedua. Kenaikan nilai hematokrit pada bulan kedua sejalan dengan kenaikan jumlah sel darah merah pada bulan kedua pada setiap kelompok domba perlakuan. Jika dibandingkan dengan nilai hematokrit yang dilaporkan Ginting (1987), secara keseluruhan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah. Nilai hematokrit yang dilaporkan oleh Ginting adalah sebesar 30%. Namun, nilai hematokrit tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan laporan pada penelitian Kozat et al. (2003) yang melaporkan nilai hematokrit pada domba yang tidak bunting adalah 34±3% sedangkan pada domba bunting ialah 28,60±1,4% (Kozat et al. 2006). Kelompok domba perlakuan yang memiliki nilai yang hampir sama dengan nilai tersebut ialah pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi. Pengamatan nilai hematokrit tiap bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Profil kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Grafik 2. Grafik 2 Nilai hematokrit induk domba kontrol ( ), disuperovulasi ( ), diberi ekstrak temulawak plus ( ), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi ( ) selama lima bulan kebuntingan. Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada setiap kelompok perlakuan sama persis dengan pola kenaikan dan penurunan jumlah sel darah

10 31 merahnya. Hal tersebut terjadi karena nilai hematokrit memiliki hubungan yang erat dengan jumlah sel darah merah. Pola kenaikan nilai hematokrit terjadi pada bulan-bulan awal kebuntingan, sedangkan pada masa menjelang kelahiran mengalami penurunan karena jumlah sel darah merah juga mengalami penurunan. Penurunan nilai hematokrit juga akan terus terjadi sampai dengan periode setelah kelahiran (Azab dan Maksoud 1999). Secara fisiologis, nilai hematokrit pada hewan bunting akan selalu lebih rendah dibandingkan dengan kondisi ketika tidak bunting. Hal tersebut dikarenakan adanya retensi cairan yang menyebabkan kenaikan volume plasma darah. Selain volume plasma darah, total air tubuh juga meningkat termasuk air ekstraseluler (Podymow et al. 2010). Kenaikan volume plasma darah pada kebuntingan kembar jauh lebih tinggi dibandingkan pada kebuntingan tunggal (Berghella 2007). Kenaikan plasma darah di dalam tubuh akan menyebabkan pengenceran darah atau dikenal dengan hemodilusi yang pada akhirnya menyebabkan turunnya nilai hematokrit. Terjadinya hemodilusi merupakan suatu proses fisiologis penting pada hewan domestik. Keadaan hemodilusi memberikan manfaat mengurangi viskositas darah yang pada akhirnya meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah kapiler (Guyton dan Hall 1997). Meskipun selama periode kebuntingan terjadi peningkatan volume plasma yang cukup besar namun tidak menunjukkan kondisi hipervolemik (Podymow et al. 2010). Kondisi hemodilusi juga memperlancar aliran darah dalam pembuluh darah kapiler plasenta. Aliran pembuluh darah yang lancar pada plasenta akan meningkatkan proses difusi oksigen dan nutrisi pada fetus (Pere et al. 1996). Kondisi hemodilusi pada akhir masa kebuntingan juga dilaporkan terjadi pada kambing Saanen (Biagi et al. 1988) dan pada kambing Danish landrace (Mbassa dan Poulsen 1991) Hemoglobin Fungsi utama hemoglobin ialah untuk pengangkutan oksigen dan karbon dioksida di dalam darah (Cunningham 1997). Kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (1987) yang melaporkan kadar hemoglobin pada

11 32 penelitiannya sebesar 11 gram%. Nilai tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar hemoglobin yang dilaporkan Kozat et al. (2003), yaitu sebesar 12,2±0,7 gram% pada domba tidak bunting dan sebesar 12,3±0,58 gram% pada domba bunting. Kadar hemoglobin pada domba yang bunting dan tidak bunting tidak begitu mengalami perubahan (Kozat et al. 2006). Perbedaan kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan secara umum dipengaruhi oleh faktor superovulasi. Pada bulan kedua, kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan hampir memiliki nilai yang sama sehingga tidak didapatkan faktor yang secara signifikan mempengaruhi kadar hemoglobin. Pada bulan kelima, faktor pemberian ekstrak temulawak plus memberikan pengaruh pada perbedaan kadar hemoglobin domba penelitian. Perbedaan kadar hemoglobin yang disebabkan oleh faktor pemberian ekstrak temulawak plus tersebut sejalan dengan perbedaan jumlah sel darah merahnya. Data kadar hemoglobin domba penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 4 Kadar hemoglobin (gram%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan Bulan Kontrol TM Kontrol SO Kontrol SO SO TM SO*TM 1 12,30±1,10 a 14,03±0,79 a 12,98±1,07 a 14,25±1,20 a * ,00±1,28 a 14,75±0,99 a 14,05±1,79 a 14,98±0,95 a ,90±1,49 a 14,70±0,90 ab 13,25±1,76 ab 15,68±0,74 b * ,45±0,65 a 14,70±0,50 b 12,43±0,99 a 15,38±0,33 b * ,55±0,42 a 14,00±0,14 b 13,58±0,53 b 15,20±0,42 c * * - Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Kadar hemoglobin dalam darah tidak mengalami perubahan yang signifikan meskipun jumlah sel darah merah mengalami perubahan selama masa kebuntingan (Jain 1993; Iriadam 2007). Kadar hemoglobin yang cenderung stabil selama proses kebuntingan memberikan banyak manfaat. Kadar hemoglobin yang stabil menjaga dan mencegah penurunan kadar oksigen dalam darah. Proses difusi oksigen dari darah induk ke darah fetus bergantung pada perbedaan tekanan

12 33 oksigen antara darah induk dan fetus. Oleh karena itu, jika terjadi penurunan kadar hemoglobin di dalam darah induk dapat menyebabkan penurunan pengangkutan oksigen ke fetus (Guyton dan Hall 1997). Kadar hemoglobin darah baru mengalami perubahan berupa penurunan pada periode setelah melahirkan (Azab dan Maksoud 1999). Pengamatan jumlah kadar hemoglobin tiap bulan selama lima bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Profil kenaikan dan penurunan kadar hemoglobin pada setiap kelompok domba perlakuan disajikan pada Gambar 3. Grafik 3 Kadar hemoglobin induk domba kontrol ( ), disuperovulasi ( ), diberi ekstrak temulawak plus ( ), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi ( ) selama lima bulan kebuntingan. Pola kenaikan dan penurunan kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan memiliki pola yang hampir sama dengan kenaikan dan penurunan pada jumlah sel darah merah dan hematokritnya kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus. Pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus justru terjadi kenaikan kadar hemoglobin dari bulan keempat sampai bulan kelima. Secara umum, pola kenaikan kadar hemoglobin sama dengan pola kenaikan jumlah sel darah merah dan hematokritnya, yaitu kenaikan terjadi pada masa-masa awal kebuntingan. Pada masa-masa akhir kebuntingan

13 34 terjadi penurunan baik kadar hemoglobin, hematokrit, ataupun jumlah sel darah merahnya. Pola kenaikan kadar hemoglobin, hematokrit, dan sel darah merah yang terjadi pada masa-masa awal kebuntingan terkait dengan proses metabolisme yang terjadi. Pola perubahan gambaran darah tersebut dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, di antaranya pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, kesehatan,siklus reproduksi, dan kebuntingan (Jain 1993). Kondisi kebuntingan menyebabkan perubahan pada proses metabolisme yang terlihat dari gambaran darahnya. Proses perubahan gambaran darah tersebut merupakan mekanisme fisiologi yang berbeda yang merupakan proses adaptasi tubuh induk selama masa kebuntingan (Azab dan Maksoud 1999). Perlakuan superovulasi secara nyata meningkatkan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin domba penelitian. Peningkatan nilai-nilai tersebut terjadi sebagai akibat dari proses adaptasi selama periode kebuntingan. Faktor superovulasi secara signifikan memberikan pengaruh kenaikan pada periode awal kebuntingan dan penurunan pada akhir masa kebuntingan. Perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus memberikan pengaruh signifikan pada gambaran sel darah merah pada akhir periode kebuntingan. Pemberian ekstrak temulawak plus memberikan pengaruh karena di dalamnya terkandung zat berkhasiat seperti kurkuminoid dan beberapa vitamin. Kurkuminoid berkhasiat sebagai antioksidan sedangkan vitamin berperan dalam proses metabolisme selama periode kebuntingan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan superovulasi, baik yang tidak diberi dan diberi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran darah berupa jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah FH umur satu sampai dua belas bulan ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Gambaran Eritrosit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Superovulasi Superovulasi merupakan suatu teknologi reproduksi yang mampu meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan (Manalu et al. 1996). Jumlah korpus luteum ini memiliki

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. peternakan. Penggunaan limbah sisa pengolahan ini dilakukan untuk menghindari

I PENDAHULUAN. peternakan. Penggunaan limbah sisa pengolahan ini dilakukan untuk menghindari I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah pangan yang berasal dari sisa-sisa pengolahan makanan merupakan salah satu sumber bahan pakan alternatif yang sering digunakan dalam dunia peternakan. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah 23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, MCV, MCH dan MCHC ayam broiler dengan perlakuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami peningkatan sehingga permintaan akan ketersediaan makanan yang memiliki nilai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Eritrosit, Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit Jumlah eritrosit dalam darah dipengaruhi jumlah darah pada saat fetus, perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, pengaruh parturisi

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang. Peningkatan cekaman panas yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang. Peningkatan cekaman panas yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan cekaman panas yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi dapat merupakan masalah serius pada pengembangan ayam broiler di daerah tropis. Suhu rata-rata

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Pertumbuhan biomassa ikan selama 40 hari pemeliharaan yang diberi pakan dengan suplementasi selenium organik berbeda dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini: 250,00

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang 26 IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi fisiologis ternak dapat diketahui melalui pengamatan nilai hematologi ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang mengandung butir-butir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Usaha peternakan broiler merupakan suatu alternatif dalam menjawab tantangan

I. PENDAHULUAN. Usaha peternakan broiler merupakan suatu alternatif dalam menjawab tantangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Usaha peternakan broiler merupakan suatu alternatif dalam menjawab tantangan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani, karena broiler

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Sel Darah Merah. dapat digunakan untuk menilai kondisi kesehatan ternak.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Sel Darah Merah. dapat digunakan untuk menilai kondisi kesehatan ternak. IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Sel Darah Merah Sel darah merah berperan membawa oksigen dalam sirkulasi darah untuk dibawa menuju sel dan jaringan. Jumlah sel darah merah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan yang sangat signifikan, banyak sekali aktivitas lingkungan yang menghasilkan radikal bebas sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada

I. PENDAHULUAN. progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring bertambahnya usia, daya fungsi makhluk hidup akan menurun secara progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada beberapa faktor yang

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perubahan pola hidup serta terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan pada persoalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah mengenal kehidupan di tempat tinggi sejak ribuan tahun lalu. Secara alami telah terjadi proses adaptasi fisiologis sebagai mekanisme kompensasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Aktivitas fisik adalah kegiatan hidup yang harus dikembangkan dengan harapan dapat memberikan nilai tambah berupa peningkatan kualitas, kesejahteraan, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hemoglobin. Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hemoglobin. Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang HASIL DAN PEMBAHASAN Hemoglobin Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang Hemoglobin burung merpati jantan dan betina sebelum dan sesudah dilatih terbang selama penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit degeneratif, seperti kardiovaskuler, tekanan darah tinggi, stroke, sirosis hati, katarak,

Lebih terperinci

BAB II FAAL KELAHIRAN

BAB II FAAL KELAHIRAN BAB II FAAL KELAHIRAN A. PENDAHULUAN Pokok bahasan kuliah Faal kelahiran ini meliputi kelahiran seperti terjadinya inisiasi partus, tahapan partus, adaptasi perinatal dan puerpurium. Pokok bahasan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Timbal merupakan logam yang secara alamiah dapat ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan molekul lain seperti PbCl 4 dan PbBr 2. Logam ini telah digunakan sejak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesehatan, bahkan pada bungkus rokok-pun sudah diberikan peringatan mengenai

I. PENDAHULUAN. kesehatan, bahkan pada bungkus rokok-pun sudah diberikan peringatan mengenai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan hal yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Bahkan menurut data WHO tahun 2011, jumlah perokok Indonesia mencapai 33% dari total jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Bobot Lahir HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Rataan dan standar deviasi bobot lahir kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein

Lebih terperinci

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

BAB V INDUKSI KELAHIRAN BAB V INDUKSI KELAHIRAN 5.1 Pendahuluan Induksi kelahiran merupakan suatu proses merangsang kelahiran dengan mengunakan preparat hormon dengan tujuan ekonomis. Beberapa alasan dilakukannya induksi kelahiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anti nyamuk merupakan benda yang sudah tak asing lagi bagi kita. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi gigitan nyamuk. Jenis formula

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Darah Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran pencernaan ke jaringan tubuh, membawa kembali produk sisa metabolisme sel ke organ eksternal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting adalah estradiol

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Isa Brown, Hysex Brown dan Hyline Lohmann (Rahayu dkk., 2011). Ayam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Isa Brown, Hysex Brown dan Hyline Lohmann (Rahayu dkk., 2011). Ayam 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Petelur Ayam petelur merupakan ternak unggas petelur yang banyak dikembangkan di Indonesia. Strain ayam petelur ras yang dikembangkan di Indonesia antara lain Isa Brown,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

HASIL DAN PEMBAHASAN. diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat pada Tabel 5. 50 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Hemoglobin Itik Cihateup Data hasil pengamatan kadar hemoglobin itik cihateup fase grower yang diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul Pengaruh tingkat energi protein dalam ransum terhadap total protein darah ayam Sentul dapat dilihat pada Tabel 6.

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

STORYBOARD SISTEM PEREDARAN DARAH

STORYBOARD SISTEM PEREDARAN DARAH STORYBOARD SISTEM PEREDARAN DARAH Mata Kuliah : Pengembangan Media Pembelajaran Pokok Bahasan : Sistem Peredaran Darah Sasaran : Pemahaman siswa akan materi sistem peredaran darah menjadi lebih baik. Kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obat adalah zat yang digunakan untuk terapi, mengurangi rasa nyeri, serta

BAB I PENDAHULUAN. Obat adalah zat yang digunakan untuk terapi, mengurangi rasa nyeri, serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat adalah zat yang digunakan untuk terapi, mengurangi rasa nyeri, serta mengobati dan mencegah penyakit pada manusia maupun hewan (Koga, 2010). Pada saat ini banyak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hemoglobin 1. Pengertian Hemoglobin merupakan pigmen yang mengandung zat besi terdapat dalam sel darah merah dan berfungsi terutama dalam pengangkutan oksigen dari paru- paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan harapan dapat memberikan nilai tambah berupa peningkatan kualitas, kesejahteraan dan martabat manusia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 14 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan perlakuan dengan pemberian jamu veteriner disajikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh Analisis terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan telur dilakukan saat puyuh berumur 14 minggu, diperlihatkan pada Tabel 5 dan

Lebih terperinci

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian 2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah untuk memperolehgambaran darah merah anak domba yang dilahirkan oleh induk domba yang disuperovulasi sebelum perkawinan, yaitu jumlahrbc, nilai PCV, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepadatan Ayam Petelur Fase Grower Ayam petelur adalah ayam yang efisien sebagai penghasil telur (Wiharto, 2002). Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laju Pertumbuhan Mutlak Nila Gift Laju pertumbuhan rata-rata panjang dan berat mutlak ikan Nila Gift yang dipelihara selama 40 hari, dengan menggunakan tiga perlakuan yakni

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Parasitemia Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan (mild reaction), tingkat sedang (severe reaction),

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 A B Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16-17 Gambar 8 Teknik penyuntian PGF 2α. (A) Penyuntikan pertama, (B) Penyuntikan kedua, (C) Pengamatan estrus yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tubuh manusia secara fisiologis memiliki sistim pertahanan utama untuk melawan radikal bebas, yaitu antioksidan yang berupa enzim dan nonenzim. Antioksidan enzimatik bekerja

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini rimpang jahe merah dan buah mengkudu yang diekstraksi menggunakan pelarut etanol menghasilkan rendemen ekstrak masing-masing 9,44 % dan 17,02 %.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 MCV (Mean Corpuscular Volume) Nilai MCV (Mean Corpuscular Volume) menunjukkan volume rata-rata dan ukuran eritrosit. Nilai normal termasuk ke dalam normositik, nilai di bawah

Lebih terperinci

GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN

GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN Jurnal llmu Pertanian Indonesia, Desember 2010, hlm. 172-177 ISSN 0853-421 7 GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN (HEMATOLOGICAL CONDITION OF SHEEP DURING TRANSPORTATION

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan jumlah penderitanya terus meningkat di seluruh dunia seiring dengan bertambahnya jumlah populasi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata Paham BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR GAMBARAN JUMLAH SEL DARAH MERAH, NILAI HEMATOKRIT, DAN KADAR HEMOGLOBIN INDUK DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN DAN DICEKOK EKSTRAK TEMULAWAK PLUS SELAMA KEBUNTINGAN RIDI ARIF SKRIPSI FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang paling mendasar manusia memerlukan oksigen, air serta sumber bahan makanan yang disediakan alam.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kelenjar tiroid fetus berasal dari endodermal foregut. Perkembangannya

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kelenjar tiroid fetus berasal dari endodermal foregut. Perkembangannya BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid fetus berasal dari endodermal foregut. Perkembangannya mulai dari dasar faring yang mengadakan profilasi dan invaginasi, kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain

BAB I PENDAHULUAN. tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini terjadi transisi epidemiologi yakni di satu sisi masih tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain mulai meningkatnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat

PENDAHULUAN. puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditi unggas yang telah lama berkembang di Indonesia salah satunya ialah puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asap dan ditelan, terserap dalam darah, dan dibawa mencapai otak, penangkap pada otak akan mengeluarkan dopamine, yang menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. asap dan ditelan, terserap dalam darah, dan dibawa mencapai otak, penangkap pada otak akan mengeluarkan dopamine, yang menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Rokok bukan sekedar asap yang ditelan, nikotin yang terkandung pada asap dan ditelan, terserap dalam darah, dan dibawa mencapai otak, penangkap pada otak akan mengeluarkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Tingkat Energi Protein Ransum Berbeda Terhadap Total Protein Darah Ayam KUB Rataan total protein darah ayam kampung unggul Balitbangnak (KUB) pada penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Abortus merupakan kejadian yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar 10-15 % dari semua tanda klinis kehamilan yang dikenali,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional terus dikembangkan dan dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neoplasma adalah suatu massa jaringan abnormal yang berproliferasi cepat, tidak terkoordinasi melebihi jaringan normal dan dapat menetap setelah hilangnya rangsang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

Mekanisme penyerapan Ca dari usus (Sumber: /16-calcium-physiology-flash-cards/)

Mekanisme penyerapan Ca dari usus (Sumber: /16-calcium-physiology-flash-cards/) 92 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan bukti empiris menunjukkan bahwa pegagan yang kaya mineral, bahan gizi dan bahan aktif telah lama digunakan untuk tujuan meningkatkan fungsi memori. Hasil analisa kandungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan analisis statistik, konsumsi bahan kering nyata dipengaruhi oleh jenis ransum, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksi antara kedua

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik Bobot Badan Tikus Ekstrak rumput kebar yang diberikan pada tikus dapat meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan tikus normal yang diberi

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI VIVIEN KUSUMA WHARDANI

GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI VIVIEN KUSUMA WHARDANI GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI VIVIEN KUSUMA WHARDANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ABSTRAK VIVIEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lahir dalam waktu yang cukup (Andriana, 2007). fisiologi, anatomi dan hormonal yang berbeda-beda. Salah satunya adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. lahir dalam waktu yang cukup (Andriana, 2007). fisiologi, anatomi dan hormonal yang berbeda-beda. Salah satunya adalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan adalah dikandungnya janin hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma (Kushartanti, 2004). Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat produksi daging domba di Jawa Barat pada tahun 2016 lebih besar 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging domba dan kambing di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semakin meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan terjadinya peningkatan

I. PENDAHULUAN. Semakin meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan terjadinya peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan protein. Kondisi ini memerlukan adanya berbagai langkah untuk mengatasinya. Salah satu

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus BAB IV HASIL PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap pertambahan bobot badan tikus betina bunting pada umur kebuntingan 0-13 hari dapat dilihat pada Tabel 2.

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan bahan alam yang ada di bumi juga telah di jelaskan dalam. firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan bahan alam yang ada di bumi juga telah di jelaskan dalam. firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban), telah lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional baik dalam bentuk bahan segar, kering maupun dalam bentuk ramuan. Tanaman ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tahap I Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian diperoleh data sintasan (Gambar 1), sedangkan rata-rata laju pertumbuhan bobot dan panjang harian benih ikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Adaptasi (kelompok AP,AIS,AIP) H H + 2 H - 14 Pengambilan darah simpan (kelompok AP) pre post Perdarahan 30% via splenektomi + autotransfusi (kelompok AP,AIS,AIP) H + 7 Panen (kelompok AP,AIS,AIP) Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa kehamilan merupakan masa yang dihitung sejak Hari Pertama

BAB I PENDAHULUAN. Masa kehamilan merupakan masa yang dihitung sejak Hari Pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa kehamilan merupakan masa yang dihitung sejak Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) hingga dimulainya persalinan sejati, yang menandai awal masa sebelum menjelang persalinan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Domba atau Ovis aries (Anonim 1999)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Domba atau Ovis aries (Anonim 1999) 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Domba memiliki nama ilmiah Ovis aries. Secara klasifikasi ilmiah, domba masuk dalam kerajaan animalia, filum chordata, kelas mamalia, dan ordo artiodactyla. Selanjutnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Darah Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik pun meningkat. Salah satu sumber gizi yang paling penting adalah protein

BAB I PENDAHULUAN. yang baik pun meningkat. Salah satu sumber gizi yang paling penting adalah protein BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari tahun ke tahun jumlah penduduk di negara Republik Indonesia semakin meningkat yang menyebabkan kebutuhan akan sumber makanan yang memiliki gizi yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Plumbum (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat. Logam berat

BAB 1 PENDAHULUAN. Plumbum (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat. Logam berat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plumbum (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat. Logam berat dibutuhkan makhluk hidup sebagai logam esensial dalam proses metabolisme dan juga sebagai co-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam masyarakat latihan fisik dipahami sebagai olahraga. Olahraga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh, serta berdampak pada kinerja fisik. Olahraga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Boerawa Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan dengan kambing Peranakan Etawa (PE) betina. Kambing hasil persilangan ini mulai berkembang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Viskositas Darah Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap resistensi aliran darah. Viskositas darah tergantung beberapa faktor, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketuban Pecah Dini (KPD) masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua kelahiran dan mengakibatkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 249 juta jiwa dan sekaligus menduduki posisi ke-5 di dunia

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 249 juta jiwa dan sekaligus menduduki posisi ke-5 di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga Berencana (KB) secara kependudukan bertujuan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Keluarga Berencana dilihat dari segi kesehatan KB merupakan suatu upaya

Lebih terperinci