KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 28, Maret 2017

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 28, Maret 2017"

Transkripsi

1 KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 28, Maret 2017 Mitigasi Risiko Sistemik Melalui Penguatan Koordinasi Antar Institusi di Tengah Konsolidasi Perekonomian Domestik

2 Penerbit : Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta Indonesia Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaan kewenangan di bidang pengaturan dan pengawasan Makroprudensial sebagaimana tercantum pada Undang-undang No. 21 Tahun KSK diterbitkan secara semesteran dengan tujuan untuk: Meningkatkan wawasan publik dalam memahami stabilitas sistem keuangan Mengkaji risiko-risiko potensial terhadap stabilitas sistem keuangan Menganalisa perkembangan dan permasalahan dalam sistem keuangan Merekomendasikan kebijakan untuk mendorong dan memelihara sistem keuangan yang stabil Informasi dan Order: KSK ini terbit pada bulan Maret 2017 dan didasarkan pada data dan informasi per Desember 2016, kecuali dinyatakan lain. Dokumen KSK lengkap dalam format pdf tersedia pada web site : Sumber data adalah dari, kecuali jika dinyatakan lain. Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada: Departemen Kebijakan Makroprudensial Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia BI-DKMP@bi.go.id

3 Mitigasi Risiko Sistemik Melalui Penguatan Koordinasi Antar Institusi di Tengah Konsolidasi Perekonomian Domestik DEPARTEMEN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

4 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Daftar Isi Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif xiii xvii 1. Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan 1.1 Perkembangan Risiko di Pasar Keuangan Global dan Regional 1.2 Perkembangan Risiko pada Perekonomian Domestik 1.3 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan 1.4 Ketidakseimbangan Keuangan Domestik Boks 1.1. Analisis Perkembangan Indikator Financial Imbalances Berdasarkan National Financial Account & Balance Sheet (NFA & BS) Triwulan III-2016 Boks 1.2. Perkembangan Reformasi Keuangan Global di Indonesia Pasar Keuangan 2.1. Peran Pasar Keuangan Sebagai Sumber Pembiayaan Perekonomian 2.2. Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan 2.3. Asesmen Pasar Keuangan Syariah Boks 2.1. Pengaturan Surat Berharga Komersial Boks 2.2. Local Currency Settlement Framework Boks 2.2. Perkembangan Pasar Modal Sebagai Alternatif sumber Pendanaan dan Investasi Selain Perbankan Asesmen Kondisi dan Risiko Rumah Tangga dan Korporasi 3.1. Asesmen Risiko Sektor Rumah Tangga 3.2. Asesmen Risiko Sektor Korporasi Boks 3.1. Kerangka Asesmen dan Surveillance Sistem Keuangan: Sektor Korporasi, Rumah Tangga, Dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Perbankan dan IKNB 4.1. Asesmen Kondisi dan Risiko Perbankan 4.2. Asesmen Industri Keuangan Non Bank Boks 4.1. Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dalam Mendorong Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Infrastruktur Sistem Keuangan 5.1. Kinerja Sistem Pembayaran 5.2. Perkembangan Transaksi Sistem Pembayaran 5.3. Indikator Sistem Pembayaran 5.4. Risiko Sistem Pembayaran dan Upaya Mitigasi Risiko 5.5. Perkembangan Data Keuangan Inklusif dan Layanan Keuangan Digital Boks National Standard Indonesia Chip Card Specification (NSICCS) ii

5 6. Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan 6.1. Penyempurnaan Ketentuan Mengenai Rasio Loan To Value Atau Rasio Financing To Value Untuk Kredit Atau Pembiayaan Properti Dan Uang Muka Untuk Kredit Atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor 6.2. Evaluasi Kebijakan Countercyclical Buffer (CCB) 6.3. Kebijakan Giro Wajib Minimum Terkait Loan to Funding Ratio (GWM LFR) 6.4. Pengawasan Makroprudensial 6.5. Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan Sinergi Koordinasi dengan Otoritas Lainnya Boks 6.1. Center of Excellence Pengawasan Boks 6.2. Protokol Manajemen Krisis (PMK) Tantangan, Outlook dan Arah Kebijakan SSK Ke Depan 7.1. Tantangan Stabilitas Sistem Keuangan 7.2. Prospek Ketahanan Perbankan dan Stabilitas Sistem Keuangan 7.3. Arah Kebijakan Boks 7.1. Survei Risiko Sistemik Sistem Keuangan Indonesia Boks 7.2. Fungsi Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan Artikel Artikel 1 Artikel 2 Penggunaan Macroprudential Tools dalam Kerangka Protokol Manajemen Krisis Analisis Kerentanan Rumah Tangga Menggunakan Balance Sheet Approach (BSA) dan Financial Margin Approach (FMA) iii

6 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Daftar TABEL 1. Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Tabel 1.1 Outlook Perekonomian Dunia 5 Tabel Pasar Keuangan Tabel 2.1. Tabel 2.2. Jumlah Lindung Nilai ULN yang Dilakukan dan Pemenuhannya Triwulan III 2016 Pembiayaan Perbankan dan Non- Bank (Rp Triliun) Sumber Penghimpunan dan Penyaluran Dana berdasarkan Jumlah Bank Tabel 2.3. Sumber Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bank berdasarkan Volume Tabel 2.4. Perbandingan rata-rata Spread NDF Negara Kawasan Tabel 2.5. Komposisi Kepemilikan SBN Tabel 3.4. Indikator Kinerja Keuangan Korporasi Non Keuangan Tabel 3.5. Indikator Kinerja Keuangan Korporasi Komoditas Utama Tabel 3.6. Kredit Korporasi menurut Sektor Ekonomi Tabel 3.7. Kredit Berdasarkan Komoditas Utama Ekspor Tabel 3.8 ULN Restru Menurut Sektor Ekonomi Tabel 3.9. Jenis ULN Restrukturisasi Tone Positif dan Negatif Tabel Boks Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Tabel Boks Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Tabel Boks Batasan harga minimal properti yang dapat dibeli pihak asing Tabel 2.6. Yield SBN 10 Tahun Kawasan (%) 48 Tabel 2.7. Volatilitas Yield SBN 10 Tahun di Negara Kawasan (%) Tabel 2.8. Kepepemilikan Obligasi Korporasi 48 Tabel 2.9. Kepemilikan Saham oleh Asing per Unit Saham (Miliar Unit) Tabel Volatilitas Indeks Sektoral (rata-rata semesteran) Tabel Distribusi Daftar Efek Syariah 56 Tabel Boks Tabel Boks Ekspor dan Impor Indonesia Berdasarkan Negara Ekspor dan Impor Indonesia Berdasarkan Valuta Tabel Boks Lembaga Penerbit Obligasi Korporasi 76 Tabel Boks Kepemilikan Obligasi Korporasi Rumah Tangga dan Korporasi Tabel 3.1. Komposisi DSR Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan Tabel 3.2. Komposisi Tabungan Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan Tabel 3.3 Kredit Sektor Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Penggunaannya Perbankan dan IKNB Tabel 4.1 AL/NCD per BUKU 119 Tabel 4.2 Penambahan AL Triwulan II 119 Tabel 4.3 Perkembangan LDR per Kelompok BUKU Tabel 4.4 Pertumbuhan DPK per BUKU (%, yoy) Tabel 4.5 Penerimaan Dana Tax Amnesty per BUKU Tabel 4.6 Pangsa DPK berdasarkan Jangka Waktu Tabel 4.7 Pangsa DPK per Pulau 124 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Pertumbuhan PDB Sektoral per Sektor Ekonomi Pangsa Kredit Berdasarkan Lokasi Proyek Tabel 4.10 Pertumbuhan Kredit per BUKU (% yoy) Tabel Pertumbuhan dan Pangsa Kredit UMKM berdasarkan BUKU Tabel 4.12 NPL Gross per Wilayah (%) 131 Tabel 4.13 Rasio NPL gross per BUKU (%) 132 iv

7 Tabel 4.14 Jumlah Obligasi Yang Mengalami Downgrade (Rating Pefindo) 132 Tabel 5.3. Perkembangan Agen LKD Individu dan Agen LKD Badan Hukum 199 Tabel Perbandingan Penyaluran Kredit UMKM dan KUR 137 Tabel 4.16 Subsidi Suku Bunga 138 Tabel 4.17 Suku Bunga DPK per BUKU Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan Tabel 4.18 Suku Bunga Kredit per BUKU 140 Tabel 4.19 Tabel 4.20 Tabel Tabel Nilai Kepemilikan SBN oleh Perbankan per BUKU Pangsa Kepemilikan SBN oleh Perbankan per BUKU Perkembangan Laba/Rugi Industri Perbankan (Triliun Rp) Tabel Rincian Pos Pendapatan (Trilliun Rp) 147 Tabel 6.1. Tabel 6.2. Tabel 6.3. Tabel 6.4. Rasio dan Tiering LTV untuk Kredit Properti dan Pembiayaan Properti Rasio LTV/FTV berdasarkan tiper property Mekanisme Pencairan kredit/ pembiayaan property Perkembangan harga Properti Residensial Tabel 4.23.Rincian Pos Biaya (Trilliun Rp) 147 Tabel 4.24 Perkembangan CAR berdasarkan BUKU Tabel 4.25 Keterkaitan Perbankan dengan Perusahaan Pembiayaan Tabel 4.26 Rasio Investasi per Jenis Asuransi Tantangan, Outlook dan Arah Kebijakan SSK Ke Depan Tabel 7.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia 237 Tabel 7.2 Proyeksi PDB AS dan Tiongkok 237 Tabel 4.27 Tabel 4.28 Tabel 4.29 Keterkaitan Industri Perbankan dan Industri Asuransi Perkembangan Aset dan Kinerja Keuangan Asuransi Kecukupan Modal Minimum Asuransi Go Public (Rp Miliar) Tabel Boks Investasi dan Aset BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan Tabel Boks Portofolio Investasi BPJS Ketenagakerjaan Tabel Boks Porsi Kepemilikan SBN oleh IKNB 178 Tabel Boks Rasio Likuiditas per Kelompok Bank Infrastruktur Sistem Keuangan Tabel 5.1. Tabel 5.2. Perkembangan Sistem BIrtGS, BI-SSSS, SKNBI, Transaksi menggunakan APMK dan Uang Elektronik Bank yang menjadi Core dalam Sistem BI-RTGS v

8 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Daftar GRAFIK DAN GAMBAR 1. Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Grafik 1.1. Perkembangan Harga Minyak Brent 6 Grafik 1.2. Perkembangan Harga Logam 6 Grafik 1.3. CDS Negara Maju dan Kawasan 7 Grafik 1.4. IHSG dan Indeks Bursa Global 7 Grafik 1.5. Perkembangan VIX 7 Grafik 1.6. Inflasi dan Pertumbuhan PDB 9 Tahunan Grafik 1.7. Neraca Pembayaran Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 9 Grafik 1.9. Apresiasi dan Depresiasi terhadap 9 Dolar AS Grafik Indeks Harga Saham Gabungan 9 Beberapa Negara Grafik Aliran Dana Nonresiden 9 Grafik Indeks Stabilitas Sistem Keuangan 11 (ISSK) Grafik Indeks Stabilitas Institusi Keuangan 11 (ISIK) Grafik Indeks Stabilitas Pasar Keuangan 11 (ISPK) Grafik Indeks Risiko Sistemik Perbankan 11 (IRSP) Grafik Indeks Harga Saham Gabungan 12 Beberapa Negara Kawasan Grafik Pangsa Aset Lembaga Keuangan 12 Grafik Siklus Keuangan 13 Grafik Prosiklikalitas Pertumbuhan Kredit 13 Perbankan Grafik Perkembangan Komponen Penerimaan Semester I Grafik Kontribusi Pertumbuhan Komponen 15 Penerimaan Semester II Grafik Perkembangan Komponen Belanja 15 Semester II Grafik Perkembangan Defisit dan 15 Keseimbangan Primer Grafik Rasio Hutang Pemerintah terhadap 16 Penerimaan Negara Grafik Keseimbangan Primer Indonesia dan 16 Negara Grafik Komposisi ULN berdasarkan kelompok peminjam dan komposisi ULN terhadap PDB 17 Grafik Perkembangan ULN Swasta Nonbank 18 Grafik Grafik Grafik Berdasarkan Perkembangan Debt Service Ratio 18 (DSR) Jangka Waktu Asal Kepemilikan SBN Investor 19 Nonresiden Kepemilikan Saham Investor 19 NonResiden Grafik Kepemilikan SBI Asing dan Domestik 20 Grafik Perkembangan Harga dan Volume 20 Transaksi Saham Grafik Perkembangan Harga dan Volume Transaksi SBN Grafik Boks 1.1. Net Transaksi Antar Sektor (Rp T) 22 Grafik Boks 1.1. Net Transaksi Antar Sektor (Rp T) Pasar Keuangan Grafik 2.1. Grafik Volume IPO dan Right Issue di Pasar 34 Saham Perbandingan Yield Curve Obligasi 34 Korporasi dan Rata-rata Suku Bunga KI & KMK Grafik 2.3. Nominal Emisi Obligasi 35 Grafik 2.4. Nominal Outstanding MTN dan NCD 35 Grafik 2.5. Grafik MTN dan NCD Jatuh Tempo 35 Grafik 2.6. Nominal Issuance MTN dan NCD 36 Grafik 2.7. Volatilitas Pasar Keuangan 39 Grafik 2.8. Aliran Dana Asing di Saham, SBN, 39 dan SBI Grafik 2.9. Suku Bunga PUAB Rupiah Overnight 40 Grafik Volatilitas Suku Bunga PUAB 40 Overnight Grafik Perkembangan PUAB Rupiah 40 Grafik Pola Transaksi PUAB Rupiah 40 Grafik Perkembangan PUAB Valas 41 Grafik Suku Bunga PUAB Valas O/N 41 Grafik Volatilitas Suku Bunga PUAB Valas 42 Grafik Perilaku Transaksi PUAB Valas 42 Grafik Transaksi Repo Antar Bank 43 Grafik Transaksi Lending Facility 43 Grafik Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 43 Grafik Premi Risiko Pasar Valas 44 Grafik Volatilitas Rupiah 44 vi

9 Grafik Komposisi Pasar Valas Domestik 44 Grafik Komposisi Kepemilikan SBN 46 Grafik Net Flow Asing di SBN dan IDMA 46 Grafik Yield curve SBN 46 Grafik Rebased Yield SBN per Tenor 46 Grafik Volatilitas Yield SBN per Tenor 47 Grafik Turnover Transaksi SBN dan Obligasi 47 Korporasi (data msh s.d. Okt 16 Grafik Rasio SBN per GDP (data GDP 4 47 negara s.d. Tw.III 2016) Grafik Rebased Yield SBN 10 th Emerging 47 Market Grafik Net Flow Asing di Obligasi Korporasi 49 dan Outstanding Kepemilikannya Grafik Yield Curve Obligasi Korporasi 49 Grafik Volatilitas Yield Obligasi 49 Grafik Emisi Obligasi Korporasi per Sektor 49 Grafik Perkembangan Indeks Harga Saham 50 Grafik Perkembangan Volatilitas Harga 50 Saham Grafik Arus Masuk Dana Asing di Pasar 50 Saham Kawasan Grafik Net Beli/Jual Asing di Pasar Saham 50 & Level IHSG Grafik Turnover Pasar Saham 51 Grafik Kapitalisasi IHSG dan LQ45 52 Grafik Share Frekuensi Perdagangan IHSG 52 Grafik Perkembangan Reksadana 53 Grafik NAB Reksadana Berdasarkan Jenis 53 Grafik Volatilitas NAB Reksadana per Jenis 53 Grafik Growth Reksadana (yoy) 53 Grafik Profil Risiko Produk Reksadana 54 Grafik NAB Reksadana Close End dan Open 54 End Grafik Akumulasi Dana Pada Pasar Modal 55 Syariah Grafik Rata-rata Pertumbuhan Pasar Modal 55 Syariah Grafik Perkembangan Pasar Modal Syariah 55 Grafik Pangsa Pasar Modal Syariah 56 Desember 2016 Grafik Perkembangan Jumlah Daftar Efek Syariah Grafik Perbandingan IHSG dan ISSI 57 Grafik Pertumbuhan Kapitalisasi Pasar 57 (yoy) Grafik Perkembangan Indeks Saham 57 Syariah Grafik Volatilitas Indeks Saham 57 Grafik Nilai Aktiva Bersih Reksadana Syariah 58 Grafik Pertumbuhan NAB Syariah 58 Grafik NAB Reksadana Syariah berdasarkanjenis Reksadana 58 Grafik Penerbitan Surat Berharga Negara 59 Grafik Penerbitan Sukuk Berdasarkan Jenis 59 Grafik Outstanding Sukuk Negara 60 Grafik Pertumbuhan Outstanding SBN 60 Grafik Komposisi Sukuk Berdasarkan Seri SBSN 60 Grafik Komposisi Sukuk berdasarkan Jangka Waktu Grafik Kepemilikan SBSN (Tradable) 61 Grafik Pertumbuhan Sukuk dan Obligasi 61 Korporasi Grafik Perkembangan Market Share dari Sukuk Korporasi Grafik Sukuk Korporasi Berdasarkan Pemilik 62 Grafik Obligasi Korporasi Berdasarkan 62 Pemilik Grafik Grafik Gambar Boks Pengumpulan dan Penyaluran Dana Zakat Proporsi Penghimpunan dan Penyaluran dana ZIS berdasarkan provinsi Contoh Skema Local Currency Settlement Gambar Boks Alur Pelaksanaan Mekanisme LCS 71 Grafik Boks Grafik Boks Grafik Boks Grafik Boks Perkembangan Penerbitan Instrumen Pasar Modal Perkembangan Kepemilikan Saham oleh Investor Domestik Rasio jumlah Investor terhadap Tenaga Kerja Indonesia Perbandingan Perkembangan Jumlah akun investor Pasar Saham vii

10 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Daftar GRAFIK DAN GAMBAR Grafik Boks Grafik Boks Perbandingan Persentase Jumlah Akun Investor Pasar Saham terhadap Tenaga Kerja Kinerja Pasar Saham Indonesia dan 12 Negara lain pada Akhir Tahun 2016 Grafik Boks Jangka Waktu SBN yang Diterbitkan 75 Grafik Boks Kepemilikan SBN Rumah Tangga dan Korporasi Grafik 3.1. Kontribusi Konsumsi RT Terhadap PDB Grafik 3.2. Pertumbuhan Penjualan Riil 81 Grafik 3.3. Indeks Keyakinan Konsumen, Indeks 82 Kondisi Ekonomi Saat Ini, Indeks Ekspektasi Konsumen Grafik 3.4. Indeks Ekspektasi Harga pada 3 82 Bulan Mendatang Grafik 3.5. Indeks Ekspektasi Harga pada 6 83 Bulan Mendatang Grafik 3.6. Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga 83 Grafik 3.7. Komposisi dan Pertumbuhan Dana 85 Pihak Ketiga Grafik 3.8. Komposisi dan Pertumbuhan Dana 86 Pihak Ketiga Rumah Tangga Grafik 3.9. Komposisi Kredit Perbankan 86 Grafik Perkembangan Kredit Konsumsi 87 Rumah Tangga Berdasarkan Komponen Grafik Nominal dan NPL Kredit Konsumsi 88 Rumah Tangga Grafik Perkembangan NPL Kredit Konsumsi 88 Rumah Tangga per Komponen Grafik Komposisi Kredit Konsumsi Rumah 88 Tangga per Jenis Grafik Perkembangan Harga Beberapa 89 Komoditas Grafik Perkembangan Ekspor dan Impor 90 Indonesia Grafik Perkembangan Realisasi dan 90 Perkiraan Dunia Usaha Grafik Kapasitas Produksi Terpakai 91 Grafik Indikator Kinerja Keuangan Korporasi 91 Non Keuangan Grafik Perkembangan Kinerja Keuangan Korporasi Publik Non Keuangan Grafik Perkembangan Kemampuan 93 Membayar Korporasi Non Keuangan Grafik Perkembangan Kinerja Keuangan 94 Korporasi Komoditas Grafik Kinerja Korporasi Berdasarkan 95 Altman Grafik Pergerakan Korporasi Berisiko dan 95 GDP Grafik Kredit Korporasi per BUKU 95 Grafik Perkembangan DPK Korporasi 97 Grafik DPK Korporasi per BUKU 97 Grafik 3.27 ULN Indonesia 98 Grafik Pertumbuhan dan Nominal ULN 98 Swasta Grafik 3.29 ULN Restru Korporasi Non Keuangan 99 Grafik 3.30 Perkembangan Outstanding ULN 100 Restru (Miliar Dolar AS) Grafik 3.31 Perkembangan Pangsa Outstanding 100 ULN Restru terhadap total ULN Restru (%) Grafik 3.32 Pembayaran Bunga dan Pokok ULN 101 Restru Tone Positif dan Negatif Grafik 3.33 Rencana Pembayaran Bunga dan 102 Pokok ULN Restru Tone Positif dan Negatif Grafik Boks Pekerjaan Utama Kepala Rumah 105 Tangga Grafik Boks Aset Rumah Tangga Grafik Boks Aset Tetap Rumah Tangga Grafik Boks Aset Lancar Rumah Tangga Grafik Boks Investasi Rumah Tangga Grafik Boks Utang Rumah Tangga Berdasarkan Jangka Waktu Grafik Boks Utang Rumah Tangga Berdasarkan Sumber Grafik Boks Distribusi Rumah Tangga Yang Berutang ke Bank Berdasarkan Tujuan Pinjaman (%) Perbankan dan IKNB Grafik 4.1 Rasio Likuiditas Perbankan 118 Grafik 4.2 Perkembangan Alat Likuid Perbankan 118 Grafik 4.3 Pertumbuhan Likuiditas Perekonomian dan Rasio Likuiditas Perbankan 119 viii

11 Grafik 4.4 Net Ekspansi Pemerintah 119 Grafik 4.5 Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit 120 (yoy) Grafik 4.6 Perkembangan Lending Standard 120 Grafik 4.7 Pertumbuhan DPK (yoy) 121 Grafik 4.8 Pangsa DPK berdasarkan Deposan 122 Inti/Non-Deposan Inti Grafik 4.9 Pangsa DPK berdasarkan Nilai 122 Penjaminan Grafik 4.10 Pertumbuhan DPK Berdasarkan Jenis 122 Simpanan Grafik 4.11 Rata-rata Suku Bunga Deposito 123 Rupiah 1 bulan per BUKU Grafik 4.12 Pangsa Komposisi DPK Perbankan 123 Grafik 4.13 Perkembangan DPK Berdasarkan 124 Golongan Pemilik Grafik 4.14 Pertumbuhan Kredit Perbankan 125 Grafik 4.15 Pertumbuhan Kredit per Jenis 125 Penggunaan Grafik 4.16 Pangsa Kredit per Jenis Pengunaan 125 Grafik 4.17 Pertumbuhan Kredit per Sektor 126 Ekonomi (% yoy) Grafik 4.18 Pertumbuhan Kredit per Sektor 126 Ekonomi (Rp T) Grafik 4.19 Suku Bunga Kredit Rupiah Per BUKU 127 Grafik Perkembangan Kredit UMKM 128 Grafik Pertumbuhan Kredit UMKM pada Sektor Ekonomi Grafik Perkembangan Rasio NPL 130 Grafik Rasio NPL gross per Jenis Penggunaan 130 Grafik Rasio NPL gross per Sektor Ekonomi 130 (% yoy) Grafik Rasio NPL gross per Sektor Ekonomi 130 (Rp T) Grafik Rasio NPL Gross Kredit UMKM per 132 Tahun Grafik NPL Gross Kredit UMKM 133 Berdasarkan Jenis Penggunaan Grafik NPL Gross Kredit UMKM 133 Berdasarkan Klasifikasi Usaha Grafik Perkembangan NPL Gross Kredit 133 UMKM Berdasarkan Sektor Ekonomi Gambar 4.1. Pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank Umum tahun Grafik Realisasi KUR tahun Grafik Grafik Grafik Penyaluran KUR Berdasarkan Skema 136 tahun 2016 Baki Debet KUR Berdasarkan 136 Sektoral 2016 Baki Debet KUR Berdasarkan 136 Sektoral 2016 Grafik NPG dan NPL KUR 137 Gambar 4.2. Skema Subsidi Resi Gudang 138 Grafik 4.35 Grafik 4.35 Perkembangan Suku Bunga Kredit 139 dan DPK Perkembangan Suku Bunga Kredit 141 dan DPK Grafik 4.36 Total dan Rasio PDN per BUKU 142 Grafik 4.37 Volatilitas Yield SBN 144 Grafik 4.38 Perkembangan ULN Indonesia 144 Grafik 4.39 ULN per Kelompok Bank 144 Grafik 4.40 ULN Swasta 144 Grafik 4.41 Pertumbuhan ULN Bank 145 Grafik 4.42 Grafik 4.43 Grafik 4.44 Jangka Waktu Utang Luar Negeri 145 Bank Profil Jatuh Tempo ULN Jk. Panjang 146 Bank (Desember 2016) Komposisi Jatuh Tempo ULN 146 Jk.Panjang (Desember 2016 Grafik 4.45 ROA per BUKU 146 Grafik 4.46 NIM Per BUKU 148 Grafik 4.47 Rasio BOPO per BUKU (%) 148 Grafik 4.48 Rasio CIR per BUKU (%) 149 Grafik 4.49 Perkembangan CAR Perbankan (%) 149 Grafik 4.50 Rasio Tier I Perbankan (%) 151 Grafik 4.51 Skenario Risiko Kredit (NPL) 151 Grafik 4.51 Skenario Risiko Kredit (NPL) 152 Grafik 4.53 Skenario Risiko Nilai Tukar 152 Grafik 4.54 Skenario Risiko Suku Bunga 153 Grafik 4.55 Hasil Stress Test Aggregat 153 Grafik 4.56 Hasil Stress Test per BUKU (Skenario 153 Severe I) Grafik 4.57 Hasil Stress Test per BUKU (Skenario 154 Severe II) Grafik 4.58 Aset & Pembiayaan PP 155 Grafik 4.59 Pembiayaan PP per Jenis Usaha 155 Grafik 4.60 Pembiayaan berdasarkan Jenis Valuta 156 ix

12 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Daftar GRAFIK DAN GAMBAR Grafik 4.61 Rasio NPF PP (%) 156 Grafik 4.62 Growth Pembiayaan & Pendanaan 157 Grafik 4.63 Sumber Dana 157 Grafik 4.64 Suku Bunga Pinjaman Bank Kepada 157 PP Grafik 4.65 Perkembangan Utang Luar Negeri PP 158 Grafik 4.66 Perkembangan ROA, ROE dan BOPO 158 PP Grafik Pangsa Aset Asuransi per Jenis 160 Grafik Aset dan Investasi Asuransi 160 Grafik 4.69 Rasio Premi/ Klaim Bruto 161 Grafik 4.70 Rasio Current Asset/Current 161 Liabilities Grafik 4.71 Perkembangan Indikator Asuransi 162 Grafik 4.72 Perkembangan ULN Industri 162 Asuransi Grafik 4.73 Perkembangan Rata-Rata Tertimbang 163 Suku Bunga DPK Rupiah BUKU 1 Grafik 4.74 Komposisi Aset Investasi Perusahaan 164 Asuransi Grafik 4.75 Perkembangan Industri Perbankan 165 Syariah Grafik 4.76 Pertumbuhan Aset, DPK, dan 166 Pembiayaan Grafik Perkembangan Aset 166 Grafik Market Share Aset 166 Grafik Perkembangan DPK 167 Grafik Komposisi DPK per Desember Grafik Market Share DPK 167 Grafik Perkembangan Komposisi DPK 167 Grafik 4.83 Komposisi Penyaluran Dana 168 Perbankan Syariah Grafik 4.84 FDR Perbankan Syariah 168 Grafik 4.85 Perkembangan Pembiayaan 168 Grafik 4.86 Perkembangan Pembiayaan 168 Grafik Pembiayaan Berdasarkan Jenis 169 Penggunaan (Desember 2016) Grafik Pembiayaan Berdasarkan Akad (Desember) 169 Grafik Pembiayaan Berdasarkan Sektor 169 Ekonomi Desember Grafik Tingkat Return Giro, Tabungan dan 170 Deposito Syariah Grafik 4.92 Struktur Imbal Hasil DPK Syariah Posisi November Grafik Pembiayaan Berdasarkan Akad (Desember 2016) 171 Grafik Perkembangan NPF 171 Grafik Perkembangan NPF 171 Grafik Komposisi NPF berdasarkan Sektor 171 Ekonomi Grafik Return on Asset 172 Grafik Return on Equity 172 Grafik Capital Adequacy Rati 172 Gambar Boks Crowdfunding dan Peer-to-peer 173 lending Gambar Boks Direct Balance Sheet 173 Gambar Boks Risiko Fintech: Deposits, Lending and Capital Raising 174 Grafik Boks Rasio Likuiditas Industri Perbankan 180 Grafik Boks rrt SB PUAB Pinjam BPD per Tenor 180 Grafik Boks Perkembangan DPK BPD 181 Berdasarkan Pemilik Grafik Boks Pertumbuhan DPK BPD (% Yoy) 182 Grafik Boks Rasio Likuiditas BPD 182 Gambar Boks Gambaran Umum Mekanisme 184 Persetujuan PKLN 5. Infrastruktur Sistem Keuangan Grafik 5.1. Perkembangan Turn Over Ratio 194 Grafik 5.2. Perkembangan Turn Over Ratio per 194 Kelompok BUKU Grafik 5.3. Queue Transaction 195 Grafik 5.4. Gambar 5.1. Grafik 5.5. Grafik 5.6 Grafik 5.7. Indeks Komposit Keuangan Inklusif 197 Indonesia Penyelenggara Agen LKD di 198 Indonesia Perkembangan Agen LKD Tahun Persentase Jenis Transaksi Uang 199 Elektronik pada Agen LKD Semester II Perkembangan Jumlah Pemegang 199 Uang Elektronik Pada Agen LKD (Juta) Gambar Boks Roadmap Implementasi NSICCS 203 x

13 6. Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan Grafik 6.1. Perkembangan Kredit Properti 211 Grafik 6.2 Perkembangan Penjualan Properti 212 Tabel 6.4. Perkembangan harga Properti Residensial Grafik 6.4. Indikator Utama Gap Kredit 213 terhadap PDB Grafik 6.5. Besaran CCB sesuai Indikator Utama 213 Grafik 6.6. Siklus Keuangan dan Siklus Bisnis 213 Grafik 6.7. Pertumbuhan PDB Riil (yoy) 214 Grafik 6.8. Inflasi (yoy) 214 Grafik 6.9. Nilai Tukar (Rp/USD) 214 Grafik ULN Swasta Rp (yoy) 214 Grafik Pertumbuhan Kredit (yoy) 215 Grafik Pertumbuhan DPK (yoy) 215 Grafik Rasio NPL (%) 215 Grafik Rasio ROA (%) 215 Grafik Rasio CAR (%) 215 Grafik Volatilitas IHSG 216 Grafik Intermediasi Perbankan 217 Grafik Perkembangan Batas Atas dan Batas 218 Bawah Ketentuan GWM-LDR/LFR Grafik Perkembangan Jumlah Bank Yang 218 Memenuhi Ketentuan GWM LFR Gambar Boks Interaksi Kebijakan 227 di Bidang Makroprudensial, Moneter dan Pasar Uang, serta Sistem Pembayaran Gambar Boks Siklus Pengawasan Tantangan, Outlook dan Arah Kebijakan SSK Ke Depan Grafik 7.2 Pertumbuhan Kredit (yoy) 240 Grafik 7.3 Pertumbuhan DPK (yoy) 240 Grafik Boks Kontribusi UMKM Terhadap Jumlah 245 Unit Usaha, PDB, dan Penyerapan Tenaga Kerja Grafik Boks Pembiayaan UMKM dibandingkan 245 Negara Lain Grafik Boks Komposisi Kredit Perbankan 245 xi

14

15 KATA PENGANTAR

16 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Berbagai peristiwa penting di pasar keuangan global dan domestik telah memberikan warna pada sistem keuangan Indonesia diparuh kedua tahun 2016 ini. Kejadian demi kejadian yang menjadi peluang maupun tantangan dalam siklus keuangan dan perekonomian Indonesia, dapat diarahkan dan dikendalikan dengan baik. Tentu hal ini merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dengan perkenan-nya melapangkan ikhtiar bagi untuk bersama-sama dengan otoritas lainnya di sektor keuangan menjaga stabilitas sistem keuangan. Untuk merefleksikan berbagai dinamika serta capaian yang diperoleh dalam menjaga stabilitas sistem keuangan pada semester II tahun 2016 tersebut, Bank Indonesia menerbitkan Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) Nomor 28, Edisi Maret Penerbitan KSK bersifat periodik setiap semester dan dilakukan secara berkelanjutan sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam pelaksanaan tugasnya, terutama dalam menjalankan tugas dan wewenang di bidang pengaturan dan pengawasan makroprudensial. keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Sebagai salah satu pilar untuk mewujudkan tujuan tunggal dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, kebijakan makroprudensial akan melengkapi implementasi kebijakan moneter dalam mengatasi gejolak perekonomian yang semakin beragam dengan intensitas yang meningkat sebagai dampak negatif globalisasi dan integrasi pasar keuangan. Dalam merumuskan kebijakan makroprudensial ini, melaksanakan asesmen terhadap komponen komponen dalam sistem keuangan yang meliputi pasar keuangan, korporasi, rumah tangga, perbankan dan industri keuangan nonbank untuk memetakan keterkaitan dan interaksi antar komponen, serta pengukuran risikonya terhadap stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh. Asesmen juga mencakup penilaian terhadap kinerja sistem pembayaran yang dapat menjadi salah satu pemicu timbulnya risiko sistemik. Secara prinsip, KSK mengulas kondisi dan risiko di sistem keuangan serta faktor faktor yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh dan komprehensif. Dalam KSK dijelaskan berbagai respon kebijakan sebagai otoritas makroprudensial untuk memitigasi risiko sistemik yang berpotensi muncul, yang pada intinya ditujukan untuk mengendalikan potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), dan keterkaitan antar institusi dan/ atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari institusi Asesmen dan pemetaan ini akan memberikan indikasi sumber-sumber kerentanan dan potensi risiko sistem keuangan yang selanjutnya direspon secara komprehensif oleh melalui kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah. Dari hasil asesmen dan pemetaan ini pula akan diketahui tantangan dan prospek stabilitas sistem keuangan ke depan, serta bagaimana arah kebijakan yang akan dtempuh Bank Indonesia dalam menyikapi hal tersebut. Berdasarkan kerangka tersebut, menilai kondisi stabilitas sistem keuangan pada semester II 2016 terjaga dengan baik, sejalan dengan xiv

17 berkurangnya risiko perekonomian Indonesia. Pencapaian tersebut didukung oleh kontribusi positif dari komponen komponen sistem keuangan, diantaranya penurunan risiko di pasar keuangan domestik, kinerja sektor rumah tangga yang relatif stabil, peningkatan kinerja keuangan korporasi, perbaikan kondisi perbankan, dan penurunan eksposur risiko industri keuangan nonbank, serta tersedianya sistem pembayaran yang aman, lancar, efisien dan handal. Namun demikian, masih terdapat berbagai risiko yang membayangi stabilitas sistem keuangan, antara lain masih lambatnya intermediasi perbankan dan risiko kredit yang masih cukup tinggi. Merespon hasil asesmen stabilitas sistem keuangan, menempuh beberapa kebijakan makroprudensial meliputi penyempurnaan ketentuan mengenai Rasio Loan To Value (LTV) atau Rasio Financing To Value (FTV) untuk kredit atau pembiayaan properti dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor, penerapan kebijakan Countercyclical Buffer (CCB) sebesar 0%, dan penyesuaian batas bawah rasio Loan to Funding Ratio (LFR) yang dikaitkan dengan Giro Wajib Minimum (GWM-LFR) menjadi 80% untuk bank umum konvensional dengan batas atas tetap dipertahankan sebesar 92%. Kebijakan makroprudensial tersebut dilaksanakan secara sinergis melalui koordinasi dengan otoritas lainnya di sektor keuangan, yaitu Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan, baik secara bilateral maupun dalam kerangka koordinasi dibawah Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagai perwujudan amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Implementasi kebijakan yang disertai proses koordinasi tersebut membawa hasil yang positif. Kebijakan LTV telah membawa perbaikan pada angka pertumbuhan KPR dengan disertai adanya perbaikan risiko kredit. Demikian pula dengan penetapan CCB sebesar 0% dan peningkatan batas bawah rasio GWM LFR, dapat memberikan ruang gerak yang cukup bagi peningkatan intermediasi ke perekonomian. Kami berharap uraian mengenai hasil asesmen stabilitas sistem keuangan dan kebijakan yang telah dilakukan dalam KSK Nomor 28 ini dapat memberikan pemahaman mengenai fungsi makroprudensial yang dijalankan dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan. Namun demikian, kami menyadari bahwa ruang untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas pelaksanaan fungsi makroprudensial yang diamanatkan kepada masih terbuka. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat kami harapkan untuk penyempurnaan analisis dan kajian dimasa datang. Jakarta, Maret 2017 Gubernur Agus D. W. Martowardojo xv

18

19 RINGKASAN EKSEKUTIF

20 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Sistem keuangan pada paruh kedua 2016 relatif stabil bahkan membaik sejalan dengan menurunnya risiko perekonomian domestik. Meningkatnya stabilitas sistem keuangan didukung oleh tingginya permodalan dan likuiditas perbankan serta terjaganya stabilitas pasar keuangan. Kondisi tersebut tercermin dari penurunan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) dan Indeks Risiko Sistemik Perbankan (IRSP) pada semester II 2016 dibandingkan periode sebelumnya. Namun demikian, perlambatan pertumbuhan kredit perbankan dan masih tingginya risiko kredit perlu tetap diwaspadai. Membaiknya stabilitas sistem keuangan tidak terlepas dari pengaruh menurunnya risiko sistem keuangan global dan regional. Penurunan risiko global dan regional tercermin dari perbaikan perekonomian yang disertai dengan menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan. Perbaikan pertumbuhan ekonomi global dimotori oleh pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi AS disumbang oleh konsumsi dan investasi non residensial sebagaimana tercermin dari penjualan eceran yang meningkat. Data tenaga kerja AS juga menunjukkan perbaikan. Sementara ekonomi Tiongkok tumbuh meningkat diatas perkiraan ditopang konsumsi dan investasi swasta. Di sisi lain, perekonomian Jepang tumbuh terbatas dan sentimen negatif referendum Inggris (Brexit) sempat menyebabkan investor menunda kegiatan investasi hingga ketidakpastian mereda. Seiring dengan perbaikan ekonomi global, harga beberapa komoditas dunia terutama minyak, batubara dan logam mulai menunjukkan peningkatan. Harga minyak dunia naik seiring dengan rencana penurunan produksi Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Harga batubara meningkat sejak triwulan III terutama karena langkah Tiongkok dalam mengatasi overcapacity sehingga terjadi penurunan supply. Sementara kenaikan harga logam dipengaruhi oleh spekulasi di pasar future sebagai antisipasi pasar terhadap rencana pembangunan infrastruktur di AS pasca hasil pemilihan presiden. Ketidakpastian di pasar keuangan global menurun seiring membaiknya perkembangan ekonomi dan adanya kepastian kebijakan moneter AS. Meskipun sempat meningkat akibat sentimen negatif Hard Brexit dan Trump Effects, namun hal tersebut bersifat temporer dan persepsi investor global kembali positif menjelang akhir Perkembangan ini menyebabkan membaiknya risiko dan kinerja di pasar keuangan domestik. Risiko perekonomian domestik relatif membaik pada semester II Perbaikan tersebut didukung oleh stabilitas makroekonomi yang baik sejalan dengan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang terjaga. Tekanan global terhadap keseimbangan eksternal perekonomian Indonesia cenderung mereda. Neraca pembayaran tercatat surplus dengan defisit transaksi berjalan yang tercatat lebih rendah. Di sisi lain, nilai tukar Rupiah berada dalam tren menguat meskipun sempat sedikit tertekan menjelang akhir tahun. Di tengah membaiknya stabilitas sistem keuangan dan risiko perekonomian domestik yang menurun, masih terdapat beberapa faktor kerentanan yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan keuangan domestik sehingga perlu dicermati. Hal ini terlihat dari berlanjutnya kontraksi pada siklus keuangan sebagai akibat kredit perbankan yang bersifat prosiklikal xviii

21 sehingga intermediasi perbankan semakin melambat. Keterbatasan ruang fiskal akibat penerimaan pemerintah yang masih rendah meskipun terdapat penerimaan tambahan dari amnesti pajak namun tidak banyak membantu menopang pengeluaran yang sebenarnya diharapkan menjadi stimulus ditengah masih terbatasnya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, posisi Utang Luar Negeri (ULN) korporasi nonbank yang cukup tinggi meskipun dengan volume yang menurun serta kepemilikan investor nonresiden terhadap aset domestik yang cukup dominan dapat menyebabkan perekonomian domestik rentan terhadap risiko dari faktor eksternal terutama apabila terjadi gejolak nilai tukar. Sejalan dengan menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan global dan terjaganya makroekonomi Indonesia, stabilitas di pasar keuangan domestik relatif terjaga. Hal ini diindikasikan oleh relatif stabilnya pasar uang baik Pasar Uang Antar Bank (PUAB) Rupiah dan valas, pasar Repo antar bank maupun pasar valas. Sentimen negatif hasil pemilu AS yang memicu keluarnya modal asing dari pasar keuangan domestik menjelang akhir tahun sempat menekan pasar obligasi negara dan obligasi korporasi. Sementara pasar saham dan reksadana masih tetap terjaga dan tumbuh dengan baik. Risiko di pasar uang terjaga dengan baik dengan likuiditas yang meningkat meskipun volatilitas sedikit naik akibat kebijakan penurunan suku bunga acuan. Suku bunga harian PUAB Rupiah turun untuk semua tenor karena terjaganya likuiditas di pasar dan penurunan suku bunga kebijakan Bank Indonesia 7 Days Reverse Repo Rate. Penurunan suku bunga kebijakan ini menyebabkan volatilitas suku bunga PUAB meningkat baik untuk tenor O/N maupun tenor lainnya. Pasar repo antar bank menunjukkan kondisi yang likuid, tercermin dari menurunnya suku bunga repo, meningkatnya volume transaksi dan meningkatnya jumlah bank yang melakukan transaksi. Penerapan Global Master Repo Agreement (GMRA) dalam transaksi repo merupakan salah satu faktor yang menyebabkan semakin likuidnya pasar tersebut. Sementara itu, meningkatnya kebutuhan valas menjelang akhir tahun dan naiknya suku bunga Operasi Moneter (OM) valas menyebabkan suku bunga PUAB valas meningkat. Namun demikian volatilitas dan spread suku bunga tertinggi terendah di pasar mengalami penurunan yang mengindikasikan bahwa risiko di PUAB valas masih terjaga. Sementara itu risiko di pasar valas mengalami penurunan, tercermin dari menguatnya nilai tukar Rupiah dan turunnya volatilitas serta relatif stabilnya premi risiko. Sentimen negatif global menjelang akhir tahun menyebabkan tekanan pada pasar modal namun dalam level yang relatif terbatas. Terbatasnya tekanan di pasar modal tercermin dari masih meningkatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan masih masuknya arus modal asing baik di pasar Surat Berharga Negara (SBN), obligasi korporasi maupun saham. Yield SBN posisi akhir tahun untuk semua tenor mengalami kenaikan dibandingkan akhir semester I 2017 dan diikuti dengan kenaikan volatilitas namun masih jauh lebih rendah dibandingkan posisi akhir tahun lalu. Sejalan dengan SBN, yield dan volatilitas obligasi korporasi juga mengalami peningkatan namun posisi investor asing justru mengalami peningkatan dibandingkan semester sebelumnya. Berbeda dengan pasar obligasi, meskipun menghadapi sentimen yang sama, namun pasar saham masih tumbuh positif sehingga IHSG masih mengalami peningkatan meskipun volatilitas sedikit meningkat, investor asing xix

22 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 juga masih mencatatkan net inflow meskipun dalam jumlah yang lebih terbatas. Pasar reksadana juga menunjukkan perkembangan yang positif, ditandai dengan nilai aktiva bersih (NAB) yang tumbuh meskipun dengan volatilitas yang meningkat sejalan dengan peningkatan volatilitas aset yang menjadi underlying-nya. Terjaganya risiko di pasar keuangan domestik menyebabkan pasar keuangan menjadi alternatif pembiayaan yang menarik ditengah terbatasnya pertumbuhan kredit perbankan. Pada semester II 2017, meskipun terdapat sentimen negatif global hasil pemilihan presiden AS yang memberikan tekanan di pasar keuangan domestik, namun sumber pembiayaan yang berasal dari pasar modal utamanya obligasi korporasi masih mengalami peningkatan. Selain itu, penerbitan instrumen keuangan seperti Negotiable Certificate Deposit dan Medium Term Note juga mengalami peningkatan karena cost of fund yang lebih rendah dan persyaratan penerbitan yang lebih longgar. Sejalan dengan terjaganya perkembangan pasar keuangan, di pasar keuangan syariah, kinerja sektor keuangan syariah kembali menunjukkan tren yang meningkat meskipun dampak sentimen negatif global menjelang akhir tahun juga menyebabkan volatilitas pasar keuangan syariah meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh indeks saham syariah yang bergerak naik dengan kapitalisasi yang meningkat signifikan dan sukuk pemerintah yang juga meningkat ditengah konsolidasi fiskal pemerintah. Selain itu, pertumbuhan nilai aktiva bersih reksadana syariah juga mencatatkan peningkatan bahkan melebihi reksadana konvensional. Sektor keuangan sosial juga mencatatkan perkembangan yang positif. Dana kumpulan zakat dan wakaf uang semakin meningkat sejalan dengan semakin baiknya governance dan transparansi pengelolaan dan penyaluran dana oleh lembaga amil zakat dan nazhir. Kinerja sektor rumah tangga pada semester II 2016 relatif stabil dengan risiko yang masih terjaga seiring dengan membaiknya perekonomian. Kenaikan pertumbuhan ekonomi di semester ini mendorong optimisme rumah tangga, tercermin dari survei mengenai Indeks Penjualan Riil dan Indeks Keyakinan Konsumen yang menunjukkan perbaikan. Optimisme rumah tangga juga terkonfirmasi dari survei neraca rumah tangga (SNRT) yang menunjukkan pertumbuhan positif aset, utang dan networth rumah tangga. Optimisme rumah tangga tersebut berpengaruh terhadap peningkatan pengeluaran rumah tangga. Alokasi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi dan cicilan pinjaman cenderung meningkat pada semester II 2016, sedangkan alokasi pengeluaran untuk tabungan relatif tetap. Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan yang berasal dari sektor rumah tangga mengalami kenaikan dengan porsi yang masih mendominasi DPK perbankan. Kenaikan tersebut utamanya dipengaruhi oleh peningkatan giro dan deposito. Dari sisi kredit, pertumbuhan kredit perbankan kepada sektor rumah tangga juga mulai menunjukkan kenaikan dengan kualitas kredit yang membaik jika dibandingkan semester I Namun demikian, meningkatnya debt service ratio (DSR) rumah tangga terutama kelompok berpendapat menengah perlu dicermati meskipun peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan. Secara umum, kinerja korporasi non keuangan triwulan III 2016 mulai membaik ditandai oleh indikator profitabilitas, solvabilitas, likuiditas, dan debt to equity ratio (DER) yang cenderung menunjukkan perbaikan walaupun indikator xx

23 produktivitas mengalami penurunan. Kenaikan profitabilitas terutama disebabkan oleh peningkatan net income karena korporasi melakukan upaya-upaya efisiensi, baik berupa penurunan biaya maupun utang. Selain itu juga dipengaruhi oleh mulai membaiknya harga beberapa komoditas dan kuatnya konsumsi rumah tangga. Perbaikan profitabilitas tersebut meningkatkan kemampuan korporasi nonkeuangan dalam membayar hutang yang tercermin dari membaiknya DSR dan Interest Coverage Ratio. Membaiknya kinerja korporasi, dikonfirmasi oleh hasil perhitungan Altman Z-Score yang menunjukkan bahwa pangsa korporasi yang berada di area berisiko pada triwulan III 2016 menurun dibandingkan dengan triwulan III Membaiknya kinerja keuangan sektor korporasi belum mampu mendorong pertumbuhan kredit. Hal tersebut antara lain karena korporasi masih menahan ekspansi usahanya di tengah kondisi ketidakpastian perekonomian global dan domestik. Perilaku korporasi yang masih menahan ekspansinya ini terkonfirmasi dari hasil survei kegiatan dunia usaha (SKDU) yang dilakukan pada akhir semester II yang mengindikasikan kegiatan usaha tumbuh melambat sehingga menyebabkan rata-rata kapasitas produksi terpakai juga mengalami sedikit penurunan. Perilaku korporasi yang masih menahan ekspansi kegiatan usaha juga berpengaruh terhadap penurunan utang luar negerinya. Dari sisi kualitas kredit, rasio NPL gross kredit korporasi mengalami peningkatan pada periode laporan dibandingkan semester I Namun demikian, DPK perbankan yang bersumber dari sektor korporasi justru tumbuh meningkat karena proses konsolidasi korporasi sehingga kelebihan dananya ditempatkan di perbankan. Di tengah perilaku korporasi yang masih menahan ekspansi usahanya, kondisi industri perbankan relatif membaik selama semester II 2016 dibandingkan semester sebelumnya. Perbaikan kondisi perbankan tercermin dari peningkatan pertumbuhan DPK, peningkatan likuiditas dan permodalan perbankan. Namun demikian, masih melambatnya pertumbuhan kredit dan relatif tingginya risiko kredit meskipun menurun di akhir tahun tetap perlu diwaspadai. Pertumbuhan kredit perbankan masih melambat, selain dipengaruhi oleh rendahnya permintaan korporasi juga dipengaruhi oleh kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit. Namun, penyaluran kredit terbantu oleh peningkatan permintaan kredit untuk pembiayaan proyek infrastruktur pemerintah. Sementara itu, penyaluran kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mengalami peningkatan pada semester II 2016 walaupun mayoritas merupakan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Risiko kredit masih menunjukkan peningkatan pada periode laporan walaupun pertumbuhan kredit bermasalah mulai menunjukkan perlambatan. Rasio NPL gross turun menjadi 2,93% pada periode laporan dibandingkan dengan 3,05% pada semester I Berbeda dengan kredit yang masih tumbuh melambat, pertumbuhan DPK perbankan pada semester II mulai meningkat dibandingkan semester I dan bahkan sudah lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Peningkatan DPK tersebut terutama disebabkan oleh masuknya dana tebusan dan repatriasi program amnesti pajak. Selain itu ekspansi rekening pemerintah di akhir tahun juga mempengaruhi peningkatan DPK. Dari sisi kinerja keuangan, profitabilitas perbankan sedikit menurun yang tercermin dari penurunan xxi

24 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 angka Return on Asset (ROA). Penurunan profitabilitas ini dipengaruhi oleh penurunan kredit ditengah cukup tingginya biaya pencadangan yang harus dialokasikan perbankan akibat tingginya risiko kredit. Namun, Net Interest Margin (NIM) tercatat relatif stabil pada semester II 2016 disebabkan oleh relatif terjaganya spread antara suku bunga kredit dan DPK sehingga dapat menahan penurunan profitabilitas perbankan. Sementara itu, efisiensi industri perbankan mengalami penurunan yang terlihat dari kenaikan rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). Kenaikan rasio BOPO dipengaruhi oleh kenaikan biaya overhead yaitu biaya pencadangan akibat peningkatan risiko kredit dan beban tenaga kerja. Likuiditas industri perbankan meningkat baik dari aspek ketahanan maupun penambahan alat likuid. Peningkatan likuiditas perbankan tidak terlepas dari masuknya dana tebusan amnesti pajak dan meningkatnya ekspansi rekening pemerintah serta masih lambatnya pertumbuhan kredit. Sementara peningkatan ketahanan likuiditas perbankan dapat dilihat dari naiknya kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban penarikan DPK dan ekspansi kredit sebagaimana tercermin dari naiknya risiko alat likuid terhadap non core deposit dan rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga perbankan. Permodalan perbankan membaik dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang berada diatas threshold dan naik dari 21,39% pada semester II 2015 menjadi 22,56% pada semester II Kenaikan permodalan ini seiring dengan perlambatan pertumbuhan kredit sehingga menurunkan pertumbuhan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) perbankan. Tingginya permodalan tersebut menunjukkan ketahanan perbankan dalam menghadapi risiko kredit maupun risiko pasar yang disimulasikan melalui stress test yang secara reguler dilakukan. Selain itu, permodalan yang tinggi tersebut dapat memenuhi aturan Basel III mengenai permodalan yang berlaku mulai tahun 2016, khususnya capital conservation buffer, countercyclical buffer dan capital surcharge untuk bank yang tergolong sistemik. Sejalan dengan membaiknya kondisi perbankan konvensional, perbankan syariah turut mengalami perbaikan kinerja pada semester II 2016 yang ditunjukkan oleh peningkatan aset perbankan syariah terutama paska konversi Bank Pembangungan Daerah (BPD) Aceh menjadi bank syariah pada bulan September Secara umum, aset perbankan syariah menunjukkan tren positif sepanjang dengan selalu berada di atas angka pertumbuhan aset perbankan konvensional. Pola yang sama terjadi pada DPK perbankan syariah yang mayoritas didominasi oleh deposito, dengan diikuti oleh tabungan dan giro pada posisi ketiga. Sementara itu, risiko pembiayaan perbankan syariah tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan perbankan konvensional. Namun dengan peningkatan permodalan perbankan syariah, ketahanan perbankan syariah diperkirakan masih relatif memadai dalam menghadapi potensi risiko yang dihadapi. Kinerja positif juga ditunjukkan oleh Industri Keuangan Non Bank (IKNB) utamanya perusahaan pembiayaan pada semester II Kinerja perusahaan pembiayaan mengalami perbaikan baik dari sisi pembiayaan maupun pendanaan seiring dengan penurunan eksposur risiko yang berasal dari pergerakan nilai tukar seiring dengan penurunan posisi ULN. Pada perkembangannya, perbaikan kinerja tersebut juga meningkatkan profitabilitas perusahaan pembiayaan yang tercermin dari peningkatan ROA pada periode xxii

25 laporan. Namun demikian, risiko pembiayaan PP (NPF) meningkat yang terutama terjadi pada sektor pengangkutan/transportasi dan dipengaruhi pula oleh proses re-klasisifikasi kolektibilitas pembiayaan sesuai ketentuan OJK. Selain perusahaan pembiayaan, asuransi juga menunjukkan kinerja yang positif. Perbaikan kinerja asuransi tersebut tercermin dari pertumbuhan aset dan investasi industri asuransi yang mengalami peningkatan sehingga meningkatkan rasio investasi asuransi pada periode laporan. Kinerja positif tersebut didukung oleh penurunan risiko usaha asuransi yang diukur melalui peningkatan rasio kecukupan premi terhadap pembayaran klaim. Namun dari sisi profitabilitas, ROA dan Return on Equity (ROE) industri asuransi sedikit mengalami penurunan pada periode laporan dibandingkan dengan semester I Interconnectedness antara IKNB dengan perbankan secara umum meningkat. Keterkaitan antara Bank dengan perusahaan pembiayaan mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan kredit perbankan kepada perusahaan pembiayaan. Namun, keterkaitan antara Bank dengan industri asuransi cenderung turun seiring dengan penurunan penempatan dana asuransi di bank. Sistem pembayaran sebagai salah satu infrastruktur sistem keuangan memegang peranan yang penting dalam mendukung aktivitas perekonomian domestik dan stabilitas sistem keuangan. Penyelenggaraan sistem pembayaran yang diselenggarakan BI yang meliputi Sistem Kliring Nasional (SKNBI), Real Time Gross Settlement System (BI-RTGS), dan Scriptless Securities Settlement System (BI-SSSS) berjalan aman, lancar, efisien dan handal. Hal tersebut ditunjukkan oleh rendahnya risiko setelmen dan kondisi likuiditas yang memadai untuk penyelesaian transaksi pada periode laporan, kehandalan dan ketersediaan sistem yang sesuai dengan tingkat layanan yang telah ditetapkan serta lebih cepatnya proses setelmen baik untuk transaksi ritel maupun transaksi besar. Sementara itu, kinerja sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh industri juga terjaga dengan baik, tercermin dari tidak terdapatnya gangguan yang signifikan dalam penyelenggaraan sistem pembayaran dan peningkatan volume dan nilai transaki pada semester II Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan untuk senantiasa mendorong penggunaan instrumen pembayaran nontunai dengan tetap memperhatikan dan aspek perlindungan konsumen. Risiko sistem pembayaran relatif terjaga baik risiko setelmen, likuiditas, risiko operasional maupun risiko sistemik. Dari sisi risiko setelmen dan likuiditas tercatat relatif rendah pada semester II 2016 yang ditunjukkan oleh rendahnya volume dan nilai unsettled transaction serta tidak adanya penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) maupun FLI Syariah oleh bank peserta Sistem Pembayaran BI Nontunai. Sementara itu, risiko operasional dan risiko sistemik juga terjaga dengan baik. Dari sisi risiko operasional, telah melakukan mitigasi risiko dengan mempersiapkan prosedur Business Continuity Plan yang dapat diaktifkan setiap saat apabila terjadi gangguan pada sistem utama. Dari sisi risiko sistemik, melakukan pemantauan secara reguler dan intensif terhadap indikator indikator sistem pembayaran yang berpotensi menangkap gangguan sistemik. Penguatan infrastruktur sistem keuangan juga didukung oleh penguatan akses keuangan dari xxiii

26 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 masyarakat melalui layanan keuangan inklusif. Indeks Komposit Keuangan Inklusif Indonesia (IKKI) tercatat mengalami peningkatan pada periode laporan. Hal tersebut menunjukkan bahwa akses masyarakat Indonesia untuk menggunakan layanan keuangan cenderung meningkat. Layanan Keuangan Digital di Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang meningkat tercermin dari pertambahan jumlah bank penyelenggara, agen, jumlah nasabah serta transaksi elektronik yang dilakukan di agen. Dalam rangka meningkatkan kepercayaan, memperkuat aspek perlindungan konsumen dan akseptasi masyarakat atas instrumen pembayaran nontunai, telah menyesuaikan ketentuan terhadap batas maksimum suku bunga Kartu Kredit serta kewajiban Penerbit Kartu Kredit untuk penyampaian pernyataan penutupan (closing statement) Kartu Kredit. Selain itu adanya ketentuan terkait penggunaan Personal Identification Number (PIN) online 6 (enam) digit serta Standar Nasional Teknologi Chip untuk kartu ATM dan/ atau Kartu Debet diharapkan dapat meningkatkan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi. Sebagai upaya untuk merespon kondisi sistem keuangan dan memitigasi risiko-risiko utama, Bank Indonesia menerapkan kebijakan makroprudensial yang masih bersifat akomodatif dan bersifat countercyclical. Selama semester II 2016, kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan meliputi penetapan rasio loan to value/financing to value (LTV/FTV) dan penyesuaian Giro Wajib Minimum (GWM) yang dikaitkan dengan besaran Loan to Funding Ratio (GWM LFR). Selain itu kebijakan untuk mengurangi perilaku prosikilikalitas perbankan yang berlebihan dilakukan melalui kebijakan countercyclical buffer (CCB). Pada semester II 2016, melakukan penyempurnaan ketentuan LTV/FTV dengan tujuan untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Berdasarkan hasil evaluasi, kebijakan LTV/FTV mampu menahan perlambatan pertumbuhan kredit/pembiayaan pemilikan rumah oleh bank yang tercermin dari pertumbuhan KPR yang membaik dibandingkan semester sebelumnya. Selain itu, penyempurnaan kebijakan GWM LFR dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan pertumbuhan kredit serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini dilakukan dengan menaikkan batas bawah LFR dari 78% menjadi 80% untuk bank umum konvensional, sedangkan batas atas tetap dipertahankan sebesar 92% sehingga kisaran LFR yang diberlakukan menjadi 80% - 92%. Kebijakan makroprudensial lainnya yang diberlakukan di semester II 2016 adalah kebijakan yang bertujuan untuk mencegah peningkatan risiko sistemik yang bersumber dari pertumbuhan kredit yang berlebihan dan untuk menyerap kerugian yang dihadapi perbankan melalui pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer). Kebijakan CCB ini mewajibkan bank untuk membentuk tambahan modal pada periode ekspansi yang berdampak pada pengurangan percepatan kredit. Sebaliknya pada periode kontraksi, penurunan/pelepasan tambahan modal CCB yang telah dibentuk bank akan mendorong penyaluran kredit perbankan serta menutupi kerugian yang mungkin timbul. Adapun hasil evaluasi kebijakan CCB yang kembali menetapkan besaran CCB 0% didasarkan xxiv

27 pada pertimbangan bahwa belum ada potensi risiko sistemik yang bersumber dari pertumbuhan kredit yang berlebihan. Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia selalu berkoordinasi dan bekerjasama dengan otoritas lainnya. Selama semester II 2016, secara intens melakukan koordinasi bilateral dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kerjasama dan koordinasi antara dan OJK terus dilakukan dengan prinsip dasar bersifat kolaboratif, meningkatkan efisiensi dan efektitifas, menghindari duplikasi, melengkapi pengaturan sektor keuangan dan memastikan kelancaran pelaksanaan tugas BI dan OJK. Sementara itu kerjasama dan koordinasi dengan LPS juga diperkuat. Penguatan dilakukan melalui antara lain dengan penandatanganan nota kesepahaman tentang Koordinasi dan Kerjasama Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas dan Wewenang. Selain itu dalam level operasional, telah dilakukan penandatangan perjanjian kerjasama (PKS) BI-LPS mengenai Penjualan SBN oleh LPS kepada. Transaksi SBN antara LPS dan Bank Indonesia tersebut dapat dilakukan dalam rangka penanganan bank sistemik atau bank sistemik dan bank selain sistemik dalam kondisi krisis. Selain koordinasi yang bersifat bilateral, Bank Indonesia juga memperkuat koordinasi dengan Kementrian Keuangan (Kemenkeu), OJK dan LPS dalam kerangka Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Koordinasi diantara empat lembaga terkait SSK ini pada akhirnya berhasil meletakkan payung hukum bagi manajemen krisis dengan disahkannya Undang- Undang No 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) pada tanggal 15 April Cakupan utama UU PPKSK adalah (i) pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan (SSK); (ii) penanganan krisis sistem keuangan dan (iii) penanganan permasalahan bank sistemik dalam kondisi normal dan kondisi krisis. Dengan keluarnya UU PPKSK, payung hukum tindakan pencegahan dan penanganan krisis menjadi semakin kuat dan jelas sehingga akan meningkatkan langkah pencegahan dan penanganan krisis. Pada akhirnya hal ini akan berdampak positif terhadap stabilitas sistem keuangan. Mencermati perkembangan perekonomian dan potensi risiko domestik dan global, kondisi SSK di 2017 diperkirakan terkendali. Hal ini didukung oleh meningkatnya ketahanan dan kinerja industri perbankan di tengah membaiknya kondisi perekonomian. Tantangan eksternal antara lain pemulihan ekonomi global yang meskipun membaik namun belum stabil, tekanan inflasi di negara maju yang diperkiraakan akan meningkat, risiko geopolitik di Eropa serta masih adanya ketidapastian kebijakan pemerintah AS termasuk rencana kenaikan suku bunga The Fed yang dapat meningkatkan nilai tukar dolar AS. Sementara itu dari sisi internal, sistem keuangan menghadapi beberapa tantangan antara lain adanya potensi kenaikan inflasi dari administered price serta upaya peningkatan penerimaan negara terutama yang berasal dari pajak untuk mengendalikan defisit. Tantangan eksternal dan internal yang dihadapi tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap prospek perekonomian Indonesia ke depan. Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tumbuh pada kisaran 5,0 5,4% dengan sasaran inflasi 4% ± 1%. Seiring dengan proyeksi perekonomian, pertumbuhan kredit dan DPK diperkirakan akan lebih xxv

28 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 baik dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan kredit diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 10-12% sejalan dengan kinerja korporasi yang cenderung meningkat. Risiko kredit diperkirakan mulai stabil dan akan turun sejalan dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pertumbuhan kredit perbankan dan terjaganya kinerja korporasi non keuangan dengan beberapa sektor ekonomi yang akan mengalami pertumbuhan. Dari sisi DPK, pertumbuhan simpanan industri perbankan diperkirakan mencapai kisaran 9-11% atau lebih tinggi dibandingkan Lebih lanjut, berdasarkan kemampuan perbankan dalam mempertahankan pertumbuhan laba dan ketahanan permodalan, serta mengelola risiko kredit dengan cukup baik, maka SSK dan ketahanan perbankan diperkirakan akan tetap terjaga di Kondisi likuiditas perbankan diperkirakan juga membaik seiring dengan operasi keuangan pemerintah dan aliran masuk uang kartal, serta meningkatnya perekonomian. Namun demikian, dengan perkiraan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan DPK tersebut maka akan berpotensi menimbulkan risiko funding gap terutama di triwulan IV Menghadapi kompleksitas tantangan dari domestik maupun global yang akan berpengaruh terhadap stabilitas sistem keuangan, akan memperkuat kebijakan makroprudensial secara terukur, terintegrasi dan bersinergi dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran. Kebijakan makroprudensial akan diarahkan untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan dan menjaga resiliensi sistem keuangan dengan rumusan : (i) memperkuat dan memperluas cakupan surveilans makroprudensial untuk mengidentifikasi lebih dini sumber tekanan; (ii) identifikasi dan pemantauan risiko sistemik dengan menggunakan Balance Set of Systemic Risk; (iii) penguatan kerangka manajemen krisis melalui penyelarasan indikator stabilitas sistem keuangan dan hasil surveilans dengan PMK Nasional; (iv) mendukung upaya-upaya pendalaman pasar keuangan untuk memperkuat ketahanan pasar keuangan terhadap guncangan, serta (v) penguatan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah, OJK dan LPS untuk mendukung bauran kebijakan yang ditempuh. xxvi

29 xxvii

30 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 baik dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan kredit diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 10-12% sejalan dengan kinerja korporasi yang cenderung meningkat. Risiko kredit diperkirakan mulai stabil dan akan turun sejalan dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pertumbuhan kredit perbankan dan terjaganya kinerja korporasi non keuangan dengan beberapa sektor ekonomi yang akan mengalami pertumbuhan. Dari sisi DPK, pertumbuhan simpanan industri perbankan diperkirakan mencapai kisaran 9-11% atau lebih tinggi dibandingkan Lebih lanjut, berdasarkan kemampuan perbankan dalam mempertahankan pertumbuhan laba dan ketahanan permodalan, serta mengelola risiko kredit dengan cukup baik, maka SSK dan ketahanan perbankan diperkirakan akan tetap terjaga di Kondisi likuiditas perbankan diperkirakan juga membaik seiring dengan operasi keuangan pemerintah dan aliran masuk uang kartal, serta meningkatnya perekonomian. Namun demikian, dengan perkiraan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan DPK tersebut maka akan berpotensi menimbulkan risiko funding gap terutama di triwulan IV Menghadapi kompleksitas tantangan dari domestik maupun global yang akan berpengaruh terhadap stabilitas sistem keuangan, akan memperkuat kebijakan makroprudensial secara terukur, terintegrasi dan bersinergi dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran. Kebijakan makroprudensial akan diarahkan untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan dan menjaga resiliensi sistem keuangan dengan rumusan : (i) memperkuat dan memperluas cakupan surveilans makroprudensial untuk mengidentifikasi lebih dini sumber tekanan; (ii) identifikasi dan pemantauan risiko sistemik dengan menggunakan Balance Set of Systemic Risk; (iii) penguatan kerangka manajemen krisis melalui penyelarasan indikator stabilitas sistem keuangan dan hasil surveilans dengan PMK Nasional; (iv) mendukung upaya-upaya pendalaman pasar keuangan untuk memperkuat ketahanan pasar keuangan terhadap guncangan, serta (v) penguatan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah, OJK dan LPS untuk mendukung bauran kebijakan yang ditempuh. xxviii

31 xxix

32 Egrang, permainan tradisional yang dimainkan di berbagai daerah di Indonesia merupakan permainan yang membutuhkan keseimbangan yang tinggi agar dapat berjalan cepat untuk mencapai garis akhir. Dalam permainan engrang, kemampuan koordinasi yang baik antara otak kanan dan kiri, tangan dan kaki, konsentrasi, fokus serta keberanian dalam mengambil risiko adalah hal yang wajib dimiliki. Kemampuan bermain egrang yang baik dapat diibaratkan dengan kemampuan menjaga stabilitas sistem keuangan yang memerlukan identifikasi risiko, keterkaitan antar komponen dalam sistem keuangan, takaran dan keseimbangan kebijakan yang tepat serta koordinasi yang baik antar institusi.

33 01 Risiko perekonomian Indonesia berkurang pada semester II 2016 sehingga stabilitas sistem keuangan membaik. Walaupun pada triwulan IV sempat terjadi peningkatan risiko sebagai imbas dinamika pasar keuangan global yang bersifat temporer. Di penghujung tahun, stabilitas sistem keuangan kembali membaik seiring menurunnya ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate pasca pemilihan Presiden AS. Perekonomian domestik menunjukkan stabilitas dan ketahanan yang baik. Hal ini didukung oleh konsumsi rumah tangga yang cukup tinggi, perbaikan harga komoditas yang mendukung kinerja korporasi, moderasi risiko di pasar keuangan, dan lembaga keuangan terutama perbankan yang memiliki permodalan yang tinggi serta likuiditas yang mencukupi. Terjaganya stabilitas sistem keuangan tersebut terindikasi dengan turunnya Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) yang didukung oleh penurunan Indeks Risiko Sistemik Perbankan (IRSP). Di tengah terjaganya stabilitas sistem keuangan, masih terdapat ketidakseimbangan keuangan domestik yang dapat menjadi faktor pemicu kerentanan sistem keuangan. Namun demikian, besaran ketidakseimbangan keuangan tersebut relatif menurun dibandingkan semester sebelumnya. Faktor ketidakseimbangan keuangan tersebut meliputi prosiklikalitas penyaluran kredit perbankan di tengah kontraksi siklus keuangan dan keterbatasan ruang fiskal yang masih terjadi meskipun Pemerintah telah menerapkan kebijakan amnesti pajak untuk menggenjot penerimaan. Selain itu, masih cukup tingginya Utang Luar Negeri (ULN) korporasi nonbank terutama yang tidak dihedging dan tingginya kepemilikan investor asing di pasar keuangan domestik juga menjadi faktor pemicu ketidakseimbangan keuangan domestik karena memiliki risiko pembalikan arus modal masih besar. Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan

34 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 STABILITAS SISTEM KEUANGAN TERCATAT MEMBAIK SEJALAN DENGAN MENURUNNYA RISIKO PEREKONOMIAN DOMESTIK Kondisi Global Pertumbuhan global dan regional membaik Harga komoditas dunia meningkat Ketidakpastian di pasar keuangan global menurun Volatilitas meningkat temporer pasca Brexit dan pemilihan presiden AS Pasar saham global membaik Kondisi Perekonomian Domestik Risiko perekonomian domestik mulai membaik Pertumbuhan ekonomi terjaga di kisaran 5% Inflasi tercatat rendah Neraca pembayaran surplus Nilai tukar Rupiah menguat Kinerja pasar keuangan tetap positif Konsolidasi di sisi fiskal Ketidakseimbangan Keuangan Domestik Rp Rp Prosiklikalitas Penyaluran Keterbatasan ULN Korporasi Nonbank Tingginya Kepemilikan Kredit Perbankan dan Ruang Fiskal yang Masih Berada pada Nonresiden di Pasar Kontraksi Siklus Keuangan Level yang Cukup Tinggi Keuangan Domestik Stabilitas sistem keuangan membaik Krisis ,0 Krisis , ISSK Krisis 4

35 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan 1.1. Perkembangan Risiko di Pasar Keuangan Global dan Regional Risiko sistem keuangan global dan regional pada semester II 2016 relatif mereda. Hal itu tercermin pada perbaikan perekonomian disertai ketidakpastian di pasar keuangan yang menurun. Perekonomian global dan regional yang membaik didukung oleh ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Sementara itu, meredanya ketidakpastian di pasar keuangan tercermin dari indeks volatilitas yang membaik meskipun sedikit meningkat di penghujung tahun. Di tengah perkembangan tersebut, harga minyak dunia dan komoditas utama ekspor Indonesia yang membaik memberikan optimisme terhadap kinerja ekonomi Indonesia. tercermin dari penjualan eceran yang meningkat. Data tenaga kerja AS juga menunjukkan perbaikan. Ekonomi Tiongkok tumbuh meningkat ditopang konsumsi dan investasi swasta. Di sisi lain, sentimen negatif dari Brexit mempengaruhi keputusan investor yang menyebabkan terjadinya penundaan investasi. Sementara itu, ekonomi Jepang tumbuh terbatas sejalan dengan kinerja konsumsi dan investasi. Harga komoditas dunia meningkat pada semester II 2016 sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global yang mulai membaik. Harga minyak dunia meningkat, meskipun masih berada pada level yang rendah. Harga Brent pada akhir semester II 2016 naik menjadi 55,41 Dolar AS per barel, naik dari 48,6 Dolar AS per barel. Kenaikan ini sejalan dengan rencana penurunan produksi Organization of the Petroleum Exporting Tabel 1.1. Outlook Perekonomian Dunia Outlook Perekonomian Dunia IMF Consensus Forecast BI IMF Consensus Forecast BI Realisasi Okt Des Des Jan Jan Feb Dunia 3,1 3,1 3,0 3,1 3,4 3,6 3,4 Amerika Serikat 1,6 1,6 1,6 1,6 2,3 2,3 2,3 Eropa 1,7 1,6 1,6 1,6 1,6 1,5 1,5 Jepang 0,6 0,7 0,5 1,0 1,0 1,0 0,8 Tiongkok 6,6 6,7 6,6 6,7 6,5 6,4 6,5 India 7,6 7,0 7,4 7,3 7,2 7,5 7,4 Sumber: IMF, Bloomberg, dan Pertumbuhan ekonomi global pada semester II 2016 membaik, dimotori oleh pertumbuhan AS dan Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi AS disumbang oleh konsumsi dan investasi nonresidensial, sebagaimana Countries (OPEC) yang disepakati pada akhir September 2016 (Grafik 1.1) dan berlaku pada 10 Desember Penurunan tersebut dilakukan melalui pemotongan produksi sebesar 1,8 mbpd (1,2 mbpd OPEC dan 0,56 5

36 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 mbpd non-opec termasuk Rusia). Sementara itu, harga batubara dan logam meningkat secara gradual sejak triwulan III 2016 (Grafik 1.2). Kenaikan tersebut disebabkan oleh langkah pemerintah Tiongkok dalam mengatasi overcapacity sehingga terjadi penurunan supply. Kenaikan harga logam kemudian dieskalasi oleh adanya spekulasi di pasar future sebagai antisipasi pasar terhadap rencana pembangunan infrastruktur di AS pasca hasil pemilihan presiden. Ketidakpastian di pasar keuangan global menurun seiring perkembangan kinerja perekonomian global dan adanya kepastian terkait kebijakan moneter AS. Setelah mengalami penurunan pada semester I 2016, indikator VIX 1 sebagai cerminan ketidakpastian bergerak pada kisaran yang lebih rendah (Grafik 1.5). Gejolak politik pasca European Union (EU) referendum yang memenangkan kubu Brexit sempat meningkatkan volatilitas di triwulan III Namun, dampak dari keputusan Brexit tersebut cenderung temporer. Di sisi lain, volatilitas mulai mengalami peningkatan pada akhir tahun 2016 dipengaruhi oleh sentimen negatif hasil pemilihan presiden AS. Meredanya risiko global juga terlihat dari persepsi risiko investor terhadap aset negara maju dan negara berkembang yang secara umum menurun. Persepsi investor global tersebut diilustrasikan oleh pergerakan premi CDS (Credit Default Swap) tenor 5 tahun yang tercatat turun pada akhir semester II 2016 dibandingkan dengan posisi di akhir semester I Mayoritas negara maju dan berkembang mencatatkan angka CDS yang lebih rendah pada posisi tanggal 31 Desember 2016 kecuali negara negara tertentu karena faktor internal, seperti Turki yang premi risikonya cenderung meningkat akibat faktor instabilitas politik dalam negerinya. Sejalan dengan ketidakpastian yang relatif mereda, pasar saham global membaik pada semester II Pasar saham di AS, Jepang dan Hongkong tumbuh positif (Grafik 1.4). Namun, kinerja pasar saham negara berkembang tercatat beragam. Bursa Thailand dan India tercatat meningkat, sementara Vietnam dan Indonesia tetap positif meskipun lebih rendah dari semester I Grafik 1.1. Perkembangan Harga Minyak Brent Grafik 1.2. Perkembangan Harga Logam 60 55,5 USD/MT USD/MT Jan 14 Feb 14 Mar 14 Apr 14 Mei 14 Jun 14 Jul 14 Agt 14 Sep 14 Okt 14 Nov 14 Des 14 Jan 15 Feb 15 Mar 15 Apr 15 Mei 15 Jun 15 Jul 15 Agt 15 Sep 15 Okt 15 Nov 15 Des 15 Jan 16 Feb 16 Mar 16 Apr 16 Mei 16 Jun 16 Jul 16 Agt 16 Sep 16 Okt 16 Nov 16 Des 16 Jan 16 Feb 16 Mar 16 Apr 16 Mei 16 Jun 16 Jul 16 Agt 16 Sep 16 Okt 16 Nov 16 Des 16 Nikel Timah Tembaga (skala kanan ) Sumber: Bloomberg Sumber: Bloomberg 1 VIX Index adalah indeks yang digunakan untuk mengukur volatilitas indikator pasar keuangan global. VIX Index tersebut diestimasi dari implied volatilities indeks saham SNP

37 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Grafik 1.3. CDS Negara Maju dan Kawasan Germany China Malaysia Thailand Des-16 Jun-16 Philippines Indonesia Brazil Turkey Sumber: Bloomberg Grafik 1.4. IHSG dan Indeks Bursa Global Grafik 1.5. Perkembangan VIX World Kenaikan FFR 25 bps menjadi 0,25%-0,5% EM Asia US (Dow Jones) 35 BREXIT Kenaikan FFR 25 bps menjadi0,5%-0,75% Japan (Nikkei) India (SENSEX) Hong Kong (Hang Seng) Hasil pemilihan presiden AS Strait Times (STI) Kuala Lumpur (KLCI) 20 Thailand (SET) Vietnam 15 Indonesia (IHSG) % , VIX Harga minyak WTI Oil Price mencapai level terendah 26 Dolar AS /barel Semester I 2016 Semester II 2016 Jan 15 Feb 15 Mar 15 Apr 15 Mei 15 Jun 15 Jul 15 Agt 15 Sep 15 Okt 15 Nov 15 Des 15 Jan 16 Feb 16 Mar 16 Apr 16 Mei 16 Jun 16 Jul 16 Agt 16 Sep 16 Okt 16 Nov 16 Des 16 Sumber: Bloomberg Sumber: Bloomberg 7

38 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Perkembangan Risiko pada Perekonomian Domestik perkiraan, meskipun telah memperhitungkan tebusan amnesti pajak. Risiko perekonomian domestik relatif membaik pada semester II Perbaikan ini didukung oleh stabilitas makroekonomi yang kuat sejalan dengan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang terjaga. Tekanan global terhadap keseimbangan eksternal perekonomian Indonesia cenderung mereda. Neraca pembayaran tercatat surplus dengan defisit transaksi berjalan yang tercatat lebih rendah. Di sisi lain, nilai tukar Rupiah berada dalam tren menguat, meskipun sedikit tertekan menjelang akhir tahun. Inflasi tercatat rendah yaitu 3,02% di akhir 2016, dan berada di batas bawah kisaran inflasi sasaran 4±1%. Kinerja inflasi didukung oleh inflasi inti yang cukup rendah sejalan dengan terkendalinya ekspektasi inflasi, nilai tukar yang terjaga dan minimnya tekanan dari permintaan domestik. Inflasi yang rendah juga didukung oleh relatif terbatasnya tekanan dari sisi inflasi administered prices sejalan dengan berlanjutnya reformasi subsidi di bidang energi di tengah apresiasi nilai tukar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada paruh kedua 2016 relatif terjaga di kisaran 5%. PDB pada triwulan III dan IV 2016 tumbuh masing-masing sebesar 5,01% dan 4,94% (yoy) ditopang oleh tetap tingginya investasi dan konsumsi rumah tangga serta membaiknya ekspor (Grafik 1.6). Namun demikian, pertumbuhan tertahan oleh konsolidasi operasi keuangan pemerintah. Konsumsi pemerintah pada dua triwulan terakhir mengalami kontraksi masing-masing sebesar 2,95% dan 4,05% (yoy). Konsolidasi di sisi fiskal dipandang positif karena bertujuan untuk menjaga sustainabilitas fiskal di tengah realisasi anggaran yang tidak sesuai Neraca pembayaran pada semester II 2016 membaik sejalan dengan perbaikan harga komoditas di tengah terjaganya momentum pertumbuhan ekonomi domestik. Perbaikan neraca pembayaran bersumber dari defisit transaksi berjalan (TB) yang lebih rendah dan surplus transaksi modal dan finansial (TMF) yang lebih tinggi (Grafik 1.7). Kinerja TB ditopang oleh perbaikan ekspor sejalan dengan peningkatan harga komoditas utama ekspor. Selain itu, mulai meningkatnya harga minyak dunia dan perbaikan lifting minyak berkontribusi terhadap perbaikan kinerja TB. Sementara itu, surplus TMF 2016 meningkat signifikan sejalan dengan stabilitas ekonomi domestik dan prospek perekonomian yang tetap positif sehingga menarik aliran dana asing masuk ke Indonesia. Nilai tukar Rupiah pada semester II 2016 dalam tren meningkat. Penguatan terutama terjadi pada triwulan III 2016, didukung sentimen positif terhadap perekonomian domestik meskipun masih terdapat tekanan dari sektor eksternal. Tekanan tersebut bersumber dari dinamika ketidakpastian kenaikan Fed Funds Rate (FFR), hasil referendum Inggris di luar ekspektasi pasar, penguatan indeks Dolar AS, serta berlangsungnya pemilu AS. Tekanan eksternal tersebut dapat dinetralisir oleh sentimen positif kestabilan makroekonomi domestik dan persepsi positif terhadap reformasi struktural serta kebijakan fiskal pemerintah. Secara point to point (ptp), Rupiah pada akhir tahun ditutup pada level Rp per Dolar AS, atau menguat 2,32% dibandingkan tahun sebelumnya (Grafik 1.8). Dari sisi volatilitas, Rupiah terjaga sepanjang tahun dengan volatilitas Rupiah berada di bawah rata-rata volatilitas negara peers (Grafik 1.9). 8

39 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Grafik 1.6. Inflasi dan Pertumbuhan PDB Tahunan 7 % % Jul Sep Sep Sep Nov Nov Nov Jan Jan Jan Jan Mar Mar Mar Mar Jul Jul Jun Mei Mei Mei Mei Sep Nov Pertumbuhan PDB Sumber: Inflasi (skala kanan) Grafik 1.7. Neraca Pembayaran Miliar Dolar AS % , , , ,5 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q Transaksi Modal dan Finansial Transaksi Berjalan Transaksi Berjalan (%PDB) (skala kanan) Sumber: Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Grafik 1.9. Apresiasi dan Depresiasi terhadap Dolar AS YTD 2016* VS 2015 point to point average Jan 11-Jan 22-Jan 2-Feb 12-Feb 23-Feb 3-Mar 15-Mar 24-Mar 5-Apr 14-Apr 25-Apr 4-Mei 17-Mei 26-Mei 6-Jun Jun 24-Jun 12-Jul 21-Jul 1-Agt 10-Agt 22-Agt 31-Agt 9-Sep 21-Sep 30-Sep 11-Okt 20-Okt 31-Okt 9-Nov 18-Nov 29-Nov 8-Des 20-Des 30-Des TRY PHP inr MYR IDR BRL ZAR THB EUR -17,21-13,06-9,94-5,43-4,15-2,61-4,55-4,28-5,75-4,21-2,92-3,28-0,27 2,32 0,66 0,57 12,58 21,68 IDR/USD Rata-rata Bulanan Rata-rata Triwulanan KRW -2,55-2,51-20,00-10, ,00 20,00 30,00 Sumber: Bloomberg Sumber: Bloomberg Grafik Indeks Harga Saham Gabungan Beberapa Negara Kawasan Grafik Aliran Dana Nonresiden % Rata-rata 12,5 USD juta Saham SUN SBI IDR/USD (Skala Kanan) IDR/USD BRL ZAR try MYR KRW IDR SGD THB INR PHP Jan 14 Mar 14 Mei 14 Jul 14 Sep 14 Nov 14 Jan 15 Mar 15 Mei 15 Jul 15 Sep 15 Nov 15 Jan 16 Mar 16 Mei 16 Jul 16 Sep 16 Nov 16 Sumber: Bloomberg Sumber: Bloomberg 9

40 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan masih terbatas dan perbaikan harga yang lebih dipicu oleh penurunan sisi penawaran. Stabilitas sistem keuangan membaik, didukung oleh tingginya permodalan dan likuiditas perbankan, serta terjaganya stabilitas pasar keuangan domestik. Hal ini tercermin dari penurunan ISSK dari 0,95 menjadi 0,88. Penurunan ISSK ini didukung baik oleh penurunan Indeks Stabilitas Institusi Keuangan (ISIK 2 ) maupun komponen Indeks Stabilitas Pasar Keuangan (ISPK 3 ) masing-masing dari 0,66 menjadi 0,63 dan 1,14 menjadi 1,04. Terjaganya stabilitas sistem keuangan pada paruh kedua 2016 juga dikonfirmasi dengan penurunan IRSP 4 menjadi sebesar 1,40 dari sebesar 1,67 pada akhir semester I IRSP mengukur kontribusi perbankan terhadap potensi risiko sistemik dalam sistem keuangan. Penurunan IRSP merupakan kontribusi dari penurunan risiko likuiditas dan risiko permodalan di tengah peningkatan risiko kredit. Sementara itu, risiko SBN dan risiko nilai tukar pada semester II 2016 masih relatif stabil. Dinamika perekonomian global masih diwarnai dengan isu lambatnya pemulihan ekonomi yang memberikan dampak langsung kepada perekonomian domestik dan kondisi keuangan Pemerintah melalui jalur perdagangan. Perbaikan harga komoditas dunia antara lain minyak bumi, batubara dan logam yang mulai berlangsung pada semester II 2016 belum memberikan dampak signifikan kepada perbaikan kinerja korporasi terkait komoditas maupun keuangan Pemerintah. Hal ini seiring dengan permintaan yang Transmisi dari perekonomian global melalui pasar keuangan berdampak lebih cepat dalam mempengaruhi perekonomian domestik. Arus modal masuk ke pasar keuangan domestik cukup besar pada triwulan III. Meskipun pada triwulan IV sempat terjadi arus modal keluar karena sentiment negatif pemilihan Presiden AS dan ekspektasi kenaikan FFR, namun secara keseluruhan selama semester II masih terjadi net arus masuk di pasar keuangan domestik. IHSG mencatatkan peningkatan 5,58% ke level 5.296,7 pada akhir semester II 2016 dibandingkan semester sebelumnya. Di sisi lain, Inter-dealer Market Association (IDMA) indeks mengalami penurunan tipis ke level 99,09 dari 101,77 pada akhir semester I Nilai tukar Rupiah terdepresiasi ke level Rp per Dolar AS pada akhir semester II 2016, atau melemah tipis sebesar 1,99% dari Rp pada akhir semester I Di tengah stabilitas sistem keuangan yang terjaga, masih terdapat risiko yang membayangi sektor perbankan terutama akibat menurunnya intermediasi perbankan dan risiko kredit yang masih tinggi. Risiko tersebut masih dapat diserap perbankan sejalan dengan tingginya permodalan. Rasio permodalan (CAR) meningkat dipicu oleh perlambatan pertumbuhan kredit sehingga menyebabkan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) tumbuh melambat. Sementara itu, likuiditas perbankan (AL/ DPK) mengalami peningkatan khususnya menjelang akhir tahun karena peningkatan ekspansi keuangan 2 ISIK dibentuk oleh indikator tekanan, indikator intermediasi dan indikator efisiensi dari institusi keuangan terutama perbankan. 3 Komponen pembentuk ISPK adalah berbagai indikator pasar keuangan meliputi pasar uang, pasar obligasi, pasar saham, pasar valas, Credit Default Swap (CDS) dan utang luar negeri. 4 IRSP merupakan komposit dari indeks risiko kredit, indeks risiko likuiditas, indeks risiko nilai tukar, indeks risiko SBN dan indeks risiko permodalan. 10

41 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Pemerintah dan dampak dari perlambatan kredit pada periode laporan. dengan ekspansi keuangan Pemerintah dan masuknya dana repatriasi dan amnesti pajak. Perlambatan intermediasi perbankan yang masih berlanjut sejalan dengan perlambatan ekonomi dan kinerja korporasi. Berbeda dengan berlanjutnya perlambatan pertumbuhan kredit, risiko kredit industri perbankan mengalami perbaikan yang ditunjukkan oleh penurunan NPL pada semester II dibandingkan semester I 2016 walaupun risiko kredit tersebut masih meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, pertumbuhan DPK menunjukkan perbaikan walaupun sempat melambat hingga 3,15% pada bulan September Peningkatan DPK yang cukup signifikan terjadi menjelang akhir tahun sejalan Efisiensi perbankan mengalami penurunan diindikasikan oleh peningkatan rasio biaya terhadap pendapatan operasional (BOPO) industri perbankan terutama karena penambahan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) seiring dengan NPL yang masih cukup tinggi. Sementara itu, profitabilitas hanya mengalami penurunan sedikit sebagaiman tercermin dari turunnya Return On Asset (ROA). Relatif kecilnya penurunan profitabilitas perbankan disebabkan oleh upaya untuk mempertahankan Net Interest Margin (NIM) yang tinggi dengan menjaga spread yang lebar antara pendapatan dan beban bunga. Grafik Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) Grafik Indeks Stabilitas Institusi Keuangan (ISIK) 2,00 2,00 0,00 0, ISSK Krisis Normal ISSK Krisis Normal Sumber: Sumber: Grafik Indeks Stabilitas Pasar Keuangan (ISPK) Grafik Indeks Risiko Sistemik Perbankan (IRSP) 3,50 2,00 0,00 0, ISSK Krisis Normal ISSK Krisis Normal Sumber: Sumber: 11

42 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik Indeks Harga Saham Gabungan Beberapa Negara Kawasan Jan-13 Apr-13 Jul-13 Okt-13 Jan-14 Apr-14 Jul-14 Okt-14 Jan-15 Apr-15 Jul-15 Okt-15 Jan-16 Apr-16 Jul-16 Okt-16 Jan-13 Apr-13 Jul-13 Okt-13 Jan-14 Apr-14 Jul-14 Okt-14 Jan-15 Apr-15 Jul-15 Okt-15 Jan-16 Apr-16 Jul-16 Okt-16 Hong Kong Tiongkong Korea Selatan Indonesia Singapura Malaysia Sumber: Bloomberg, diolah Grafik Pangsa Aset Lembaga Keuangan 0,13% 0,17% 3,69% 0,51% 5,19% 2,59% Perbankan Lembaga Penjaminan 10,50% 1,21% 2,77% Bank Syariah Perusahaan Pembiayaan BPR Dana Pensiun Pegadaian NAB Reksadana Perusahaan Asuransi Perusahaan Modal Ventura 73,23% Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, diolah 1.4. Ketidakseimbangan Keuangan Domestik Faktor faktor kerentanan yang mempengaruhi ketidakseimbangan keuangan domestik pada semester II 2016 masih sama dengan semester sebelumnya namun dengan magnitude yang mulai menurun. Faktor utama yang memicu ketidakseimbangan keuangan domestik adalah kondisi prosiklikalitas perbankan dimana bank cenderung mengurangi ekspansi kredit di tengah kondisi ekonomi yang mengalami perlambatan sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan kredit lebih lanjut. Perlambatan pertumbuhan kredit perbankan tersebut memicu semakin dalamnya kontraksi pada siklus keuangan. Selanjutnya, faktor keterbatasan ruang fiskal masih menjadi penyebab terjadinya ketidakseimbangan keuangan domestik. Kebijakan amnesti pajak, yang dinilai cukup berhasil dibandingkan kebijakan sejenis yang dilakukan di negara lain, memberikan tambahan penerimaan terutama menjelang akhir semester II Namun, penerapan kebijakan amnesti pajak belum secara signifikan mengurangi keterbatasan ruang fiskal. Ketidakseimbangan keuangan domestik lainnya berasal dari posisi ULN korporasi nonbank yang 12

43 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan masih berada pada level yang cukup tinggi meskipun volume menurun. Kondisi tersebut menyebabkan tingginya kerentanan sektor swasta terhadap gejolak perekonomian global, khususnya yang berpengaruh terhadap nilai tukar. Selain itu, tingginya kepemilikan investor nonresiden terhadap aset keuangan domestik terutama SBN dan saham juga menjadi faktor pemicu ketidakseimbangan keuangan domestik. Posisi kepemilikan nonresiden terus meningkat pada periode laporan. Hal ini meningkatkan risiko pasar dan risiko likuiditas ketika terdapat sentimen negatif yang menyebabkan terjadinya pembalikan arus modal dari pasar keuangan domestik Prosiklikalitas Penyaluran Kredit Perbankan dan Kontraksi Siklus Keuangan Siklus Keuangan Indonesia (SKI) masih berada pada fase kontraksi di akhir 2016 (Grafik 1.18), terutama disebabkan oleh tren perlambatan kredit. Pertumbuhan kredit pada akhir 2016 tercatat sebesar 7,85%, atau lebih rendah dibandingkan dengan semester I 2016 (8,89%, yoy). Perlambatan kredit tersebut terutama dipengaruhi oleh masih rendahnya permintaan agregat yang tercermin dari perlambatan ekonomi pada triwulan IV 2016 (4,94%) dibandingkan triwulan II 2016 sebesar 5,18% (yoy). Prosiklikalitas penyaluran kredit dan pertumbuhan ekonomi tersebut antara lain menyebabkan meningkatnya rasio NPL net menjadi 2,93% pada akhir semester II 2016 dibandingkan dengan akhir semester I 2016 (1,52%). Hal ini mendorong perilaku perbankan lebih berhati-hati dalam penyaluran kreditnya sehingga semakin memperlambat pertumbuhan kredit. Oleh karena itu perilaku prosiklikalitas kredit perlu dicermati mengingat pada saat ekonomi melambat sebagian pelaku ekonomi tetap membutuhkan dukungan kredit perbankan dan juga agar perlambatan ekonomi tidak semakin dalam. Grafik Siklus Keuangan Grafik Prosiklikalitas Pertumbuhan Kredit Perbankan 0,10 0,08 0, Q2 1995Q2Q 2007Q2 2005Q2Q ,04 0, Q (0,02) (0,04) (0,06) 1994Q2 1995Q1 1995Q4 1996Q3 1997Q2 1998Q1 1998Q4 1999Q3 2000Q2 2001Q1 2001Q4 2002Q3 2003Q2 2004Q1 2004Q4 2005Q3 2006Q2 2007Q1 2007Q4 2008Q3 2009Q2 2010Q1 2009Q3Q2 2010Q4 2011Q3 2012Q2 2013Q1 2013Q4 2014Q3 2015Q2 2016Q1 2016Q (0,08) (0,10) 2000Q2Q 1999Q2 2009Q Q2 2001Q4 2002Q2 2002Q4 2003Q2 2003Q4 2004Q2 2004Q4 2005Q2 2005Q4 2006Q2 2006Q4 2007Q2 2007Q4 2008Q2 2008Q4 2009Q2 2009Q4 2010Q2 2010Q4 2011Q2 2011Q4 2012Q2 2012Q4 2013Q2 2013Q4 2014Q2 2014Q4 2015Q2 2015Q4 2016Q2 2016Q4 0 Siklus Keuangan (BPF/Skala kiri) Trough SK (TP) Krisis Peak SK PDB Riil (%yoy) - skala kanan Kredit (%yoy) Sumber: Sumber: 13

44 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Keterbatasan Ruang Fiskal Pemerintah masih menghadapi kendala keterbatasan ruang fiskal pada semester II 2016, terkait dengan rendahnya penerimaan negara. Terbatasnya penerimaan negara terjadi sejak semester I 2016, dimana penerimaan hanya mencapai Rp635 triliun, lebih rendah dari historis dua tahun sebelumnya (Grafik 1.20.). Hal tersebut disebabkan oleh masih lemahnya perekonomian domestik dan harga-harga komoditas. Penerimaan yang rendah berlanjut ke semester kedua. Tambahan penerimaan dari tebusan amnesti pajak yang mencapai Rp107 triliun belum dapat membantu kinerja penerimaan. Untuk keseluruhan tahun, penerimaan perpajakan tercatat hanya tumbuh 3,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini tercermin dari rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang turun dari 10,7% menjadi 10,3% (Grafik 1.23.). Mempertimbangkan ruang fiskal yang terbatas, pemerintah melakukan kebijakan fiskal konsolidatif pada semester II 2016 dengan tetap melakukan perbaikan kualitas belanja. Perbaikan kualitas belanja terlihat dari realisasi belanja produktif dalam bentuk belanja barang dan belanja modal yang tetap tinggi (Grafik 1.22.). Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan kontribusi fiskal daerah kepada pertumbuhan ekonomi khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Perkembangan ini terlihat dari Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik) yang meningkat tajam di tengah penurunan belanja pemerintah pusat. Keterbatasan ruang fiskal memiliki implikasi risiko ke sistem keuangan, dengan magnitude terbatas. Risiko tersebut antara lain terkait dampak pemilihan instrumen pembiayaan anggaran yang akan berdampak terhadap kondisi likuiditas. Sebagai inovasi di sisi penerimaan negara, pemerintah melakukan prefunding sejak akhir tahun 2015, untuk mempercepat realisasi belanja pada awal tahun Namun, pemilihan instrumen dalam bentuk SBN domestik berdampak terhadap likuiditas perbankan. Sebagai mitigasi terhadap risiko likuidas tersebut, pemerintah kemudian mengganti instrumen prefunding pada akhir tahun 2016 menjadi global bonds dengan nilai 3,5 miliar Dolar AS atau setara dengan 46 triliun Rupiah. Risiko keterbatasan ruang fiskal yang berdampak pada tekanan likuiditas di akhir tahun 2016 bersifat temporer. Hal ini terindikasi dari prefunding pemerintah di akhir 2016 lebih rendah dibandingkan akhir 2015 sehingga memiliki implikasi yang lebih terbatas terhadap sistem keuangan. Dari sisi nominal, prefunding pada akhir 2016 yang setara 46 triliun Rupiah lebih kecil daripada akhir 2015 senilai 63 triliun Rupiah. Kedua, peningkatan suku bunga PUAB pada akhir tahun meskipun masih sempat terjadi namun bersifat terbatas. Pada akhir 2016 peningkatan hanya terjadi di PUAB jangka menengah, sementara di akhir 2015 peningkatan terjadi di PUAB jangka pendek dan menengah. Kondisi likuiditas akhir tahun 2016 terbantu oleh adanya dropping dana dari pemerintah pada tanggal 30 dan 31 Desember Risiko sustainabilitas fiskal tahun 2016 masih terkendali sebagai hasil dari kebijakan fiskal konsolidatif. Defisit fiskal tahun 2016 turun menjadi 2,5% dari 2,6% terhadap PDB di tahun Selain itu, rasio utang pemerintah terhadap PDB juga masih berada di koridor aman 5. Ratio hutang Indonesia juga lebih rendah dibandingkan dengan negara kawasan seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. 5 Berdasarkan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12, Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. 14

45 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Kondisi makroekonomi Indonesia yang kondusif tersebut mendukung perbaikan rating obligasi pemerintah. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings (Fitch) meningkatkan outlook Sovereign Credit Rating Republik Indonesia dari stable menjadi positive, sekaligus mengafirmasi rating pada BBB- (Investment Grade) pada 21 Desember Perbaikan rating tersebut didukung oleh stabilitas makroekonomi yang dapat dijaga dengan baik oleh otoritas moneter dan fiskal. Reformasi struktural yang terus digulirkan memperkuat iklim investasi secara bertahap dan berdampak positif ke perekonomian ekonomi jangka lebih panjang. Perbaikan rating ini juga mengkonfirmasi bahwa keterbatasan ruang fiskal memiliki tekanan yang terbatas ke sektor keuangan. Perkembangan beberapa indikator di sisi fiskal perlu menjadi perhatian. Indikator tersebut antara lain adalah keseimbangan primer 6 yang masih negatif (Grafik 1.25.). Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan belanja pada tahun berjalan tidak dapat dipenuhi dari penerimaan pada tahun tersebut. Ke depan, rasio pajak terhadap GDP perlu ditingkatkan untuk memperbaiki keseimbangan primer. Hal lain yang perlu dicermati adalah indikator rasio hutang pemerintah terhadap penerimaan negara yang terus meningkat (Grafik 1.24). Grafik Perkembangan Komponen Penerimaan Semester I Grafik Kontribusi Pertumbuhan Komponen Penerimaan Semester II Rp T ,7 497,0 593,3 623,2 712,7 667,8 634,7 Rp T , Penerimaan dan Hibah PNPB PNBP Cukai PPh Non Migas PNPB Cukai PPh Non Migas Pajak LN PPN PPh Migas Pajak LN PPN PPh Migas Sumber: Kementrian Keuangan, Laporan Semester Sumber: Kementrian Keuangan, Laporan Semester Grafik Perkembangan Komponen Belanja Semester II Rp T , % PDB 3,0 2,0 1,0 Grafik Perkembangan Defisit dan Keseimbangan Primer 200 0, ,0-2,0 PNPB Belanja Modal Pajak LN Belanja Pegawai Belanja Barang Sumber: Kementrian Keuangan, Laporan Semester Pembayaran Utang Transfer ke Daerah & Dana Desa -3, Keseimbangan Primer Defisit Fiskal Sumber: LKPP, *) Konferensi Pers APBN-P 2016 tanggal 3 Januari Menurut IMF, keseimbangan primer (primary balance) adalah total penerimaan dikurangi dengan total belanja dengan mengeluarkan komponen pembayaran bunga. 15

46 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik Rasio Hutang Pemerintah terhadap Penerimaan Negara Grafik Keseimbangan Primer Indonesia dan Negara Kawasan Rasio Hutang terhadap Pendapatan 4,0 3,0 2,0 1,0 Indonesia Filipina Malaysia India Brazil Thailand Sumber: Kementrian Keuangan, Laporan Semester %PDB 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0-1,0-2,0-3,0-4,0-5,0-6,0 Indonesia Filipina Malaysia India Sumber: Kementrian Keuangan, Laporan Semester Brazil Thailand Risiko ULN Korporasi Nonbank yang masih berada pada level yang cukup tinggi Sejalan dengan perlambatan ekonomi, pertumbuhan Utang Luar Negeri (ULN) mulai melambat pada semester II Secara total, ULN menurun menjadi sebesar 316,97 miliar Dolar AS pada periode laporan dibandingkan dengan sebesar 325,54 miliar Dolar AS pada semester I Sejalan dengan hal tersebut, pertumbuhan ULN mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 1,98% (yoy) dibandingkan periode sebelumnya sebesar 6,28% (yoy). Rasio ULN terhadap GDP menurun dari sebesar 36,82% menjadi sebesar 33,89% pada periode laporan. Kondisi tersebut menurunkan tingkat sensitivitas ULN terhadap risiko pelemahan nilai tukar. Dari sisi Pemerintah dan Bank Sentral, posisi ULN Pemerintah pada bulan Desember 2016 meningkat sebesar 1,05% menjadi sebesar 154,88 miliar Dolar AS pada periode laporan dibandingkan sebesar 153,26 miliar Dolar AS pada semester sebelumnya. Sementara itu, ULN Bank Sentral menurun menjadi sebesar 3,41 miliar Dolar AS, atau lebih rendah sebesar 37,27%, dari sebesar 5,43 miliar Dolar AS pada akhir semester I Dari sektor swasta, komposisi ULN berasal dari kelompok Bank dan Nonbank dimana untuk kelompok Nonbank terbagi menjadi Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan (NonLKBB). Adapun ULN swasta-bank mengalami penurunan sebesar 0,88%, ULN swasta-lkbb menurun sebesar 9,27%, sedangkan ULN swasta-nonlkbb turun sebesar 5,46% pada akhir semester II Dari sisi risiko, ULN swasta nonbank cenderung lebih prudent mengingat komposisi tenor jangka panjangnya kurang lebih 80% dari total ULN. Pertumbuhan ULN swasta nonbank jangka panjang masih terus mengalami penurunan dari sebesar -2,75% menjadi sebesar -9,16% pada akhir periode laporan. Di sisi lain, pertumbuhan ULN swasta nonbank jangka pendek mengalami peningkatan sebesar 10,13% pada akhir semester II 2016 dibandingkan sebesar 7,98% pada periode sebelumnya. Namun demikian, komposisi ULN jangka panjang yang lebih besar disertai dengan penurunan outstanding ULN belum dapat menghilangkan faktor kerentanan. Dari sisi kemampuan korporasi nonbank untuk membayar 16 Sumber: Kementrian Keuangan, Laporan Semester Sumber: Kementrian Keuangan, Laporan Semester

47 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan ULN, tingkat risiko masih cukup tinggi mengingat aktivitas korporasi masih mengalami konsolidasi sejalan dengan perekonomian yang masih moderat. Hal tersebut tercermin pula dari Debt to Service Ratio (DSR) Tier-1 yang masih cukup tinggi berada pada level 19,63% pada akhir semester II Korporasi Nonbank cenderung mengurangi ULN-nya pada periode laporan sejalan dengan penurunan aktivitas korporasi. Hal tersebut mendorong penurunan ULN yang direstrukturisasi pada semester II Namun demikian, sebagian besar ULN restrukturisasi korporasi nonbank merupakan restrukturisasi dengan tone negatif melalui reconditioning, bunga dikapitalisasi, debt to equity swap, debt reduction, rescheduling, dan lain lain. Kondisi tersebut menegaskan bahwa pergerakan ULN korporasi nonbank masih perlu dicermati sebagai faktor pemicu ketidakseimbangan di pasar keuangan domestik. Upaya untuk memitigasi risiko ULN korporasi nonbank tersebut adalah dengan penerapan Rasio Lindung Nilai terhadap seluruh korporasi nonbank yang memiliki ULN dalam valuta asing. Upaya tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi ULN tetapi justru untuk memperkuat manajemen risiko. Data Laporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati hatian (KPPK) menunjukkan bahwa aktivitas lindung nilai (hedging) belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan ketentuan. Pada triwulan III 2016, terdapat Net Kewajiban Valas (NKV) hedging 0 3 bulan Grafik Komposisi ULN berdasarkan kelompok peminjam dan komposisi ULN terhadap PDB Pemerintah Pemerintah Swasta USD Miliar dan Bank Sentral USD Miliar USD Miliar + BS dan Swasta Bank 160 Bank Sentral Pemerintah (skala kanan) Pemerintah + BS Korporasi Non Bank Jan 08 Jun 08 Nov 08 Apr 09 Sep 09 Feb 10 Jul 10 Des 10 Mei 11 Okt 11 Mar 12 Agt 12 Jan 13 Jun 13 Nov 13 Apr 14 Sep 14 Feb 15 Jul 15 Des 15 Mei 16 Okt 16 Jan 08 Jun 08 Nov 08 Apr 09 Sep 09 Feb 10 Jul 10 Des 10 Mei 11 Okt 11 Mar 12 Agt 12 Jan 13 Jun 13 Nov 13 Apr 14 Sep 14 Feb 15 Jul 15 Des 15 Mei 16 Okt 16 Swasta Jan 08 Jun 08 Nov 08 Apr 09 Sep 09 Feb 10 Jul 10 Des 10 Mei 11 Okt 11 Mar 12 Agt 12 Jan 13 Jun 13 Nov 13 Apr 14 Sep 14 Feb 15 Jul 15 Des 15 Mei 16 Okt 16 Sumber: Statistik ULN, 60 % % ,89 4, Mar 04 Jun 04 Sep 04 Des 04 Mar 05 Jun 05 Sep 05 Des 05 Mar 06 Jun 06 Sep 06 Des 06 Mar 07 Jun 07 Sep 07 Des 07 Mar 08 Jun 08 Sep 08 Des 08 Mar 09 Jun 09 Sep 09 Des 09 Mar 10 Jun 10 Sep 10 Des 10 Mar 11 Jun 11 Sep 11 Des 11 Mar 12 Jun 12 Sep 12 Des 12 Mar 13 Jun 13 Sep 13 Des 13 Mar 14 Jun 14 Sep 14 Des 14 1,98 Mar 15 Jun 15 Sep 15 Des 15 Mar 16 Jun 16 Sep 15 Des ULN / PDB (%) Pertumbuhan. ULN (oy) Pertumbuhan. PDB (skala kanan, yoy) Sumber: CEIC dan Statistik ULN, 17

48 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik Perkembangan ULN Swasta Nonbank Berdasarkan Jangka Waktu Asal Grafik Perkembangan Debt Service Ratio (DSR) % USD Miliar 160 % 40, , , ,0 20,0 19,63% 80 15,0 13,45% 10,0 60 5,0 6,18% 40 0,0 20 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des DSR Tier-1 Total DSR Tier-1 Publik DSR Tier-1 Swasta ULN JK Pendek (skala kanan) ULN JK Panjang (skala kanan) Pertumbuhan ULN Jk. Pendek Pertumbuhan ULN Jk. Panjang Sumber: Statistik ULN, Tabel 1.2. Jumlah Lindung Nilai ULN yang Dilakukan dan Pemenuhannya Triwulan III 2016 Pemenuhan Ketentuan Lindung Nilai (Hedging) KPPK Q Jumlah Pelapor Net Kewajiban Valas (NKV) Lindung Nilai Min Lindung Nilai Selisih dari NKV Selisih dari Lindung Nilai Min Lindung Nilai 0-3 Bulan (dalam Dolar AS) Lindung Nilai (Memenuhi) ( ) Lembaga Keuangan Bukan Bank Bukan Lembaga Keuangan ( ) Lindung Nilai (Tidak Memenuhi) ( ) ( ) Tidak Lindung Nilai (Tidak Memenuhi) ( ) ( ) TOTAL ( ) Lindung Nilai 0-3 Bulan (dalam Dolar AS) Lindung Nilai (Memenuhi) Lembaga Keuangan Bukan Bank Bukan Lembaga Keuangan ( ) Lindung Nilai (Tidak Memenuhi) ( ) ( ) Tidak Lindung Nilai (Tidak Memenuhi) ( ) ( ) Sumber: sebesar juta Dolar AS dengan jumlah lindung nilai minimal yang dipersyaratkan oleh ketentuan sebesar juta Dolar AS. Berdasarkan hasil pelaporan, terdapat sejumlah 277 pelapor dari total 637 pelapor yang tidak melakukan lindung nilai. Sementara itu, NKV hedging 3 6 bulan adalah sebesar juta Dolar AS dengan jumlah lindung nilai minimal sebesar 499 juta Dolar AS. Data pelaporan menunjukkan bahwa terdapat 153 pelapor dari total 308 pelapor yang tidak melakukan lindung nilai. Jumlah transaksi naked yang tercatat masih cukup besar tersebut merupakan salah satu potensi sumber kerentanan yang perlu diwaspadai. Namun demikian, jumlah pelapor yang melakukan lindung nilai dengan memenuhi semua ketentuan yang berlaku mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. 18

49 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Tingginya Kepemilikan Nonresiden di Pasar Keuangan Domestik Di tengah ketidakpastian global, tingkat kepercayaan investor asing terhadap aset domestik masih terjaga dengan indikator tingginya porsi kepemilikan investor nonresiden di pasar keuangan domestik. Kepemilikan nonresiden sempat menurun pada bulan Oktober dan November 2016 akibat tingginya kekhawatiran investor global terhadap ekspektasi peningkatan FFR dan dibarengi tingginya ketidakpastian politik terkait pemilu di Amerika Serikat. Menjelang akhir bulan Desember 2016, risk appetite investor global terhadap aset domestik kembali meningkat dipicu oleh sentimen positif domestik. Struktur kepemilikan asing yang tinggi tersebut menjadikan perekonomian Indonesia rentan terhadap perkembangan pasar keuangan global dan potensi capital reversal. Porsi kepemilikan investor nonresiden di pasar SBN tercatat sebesar 36,65% dari total SBN yang beredar pada bulan Desember Meskipun prosentase kepemilikan asing menurun dari periode sebelumnya, jumlah SBN nonresiden masih tercatat meningkat pada periode laporan. Net outflow sebesar Rp23,63 triliun terjadi di pasar SBN pada bulan Oktober dan November 2016 yang menyebabkan peningkatan yield SBN. Kondisi tersebut membaik pada bulan Desember 2016 sehingga yield turun dan net inflow sebesar Rp9,44 triliun pada bulan Desember Secara total, investor asing melakukan net beli sebesar Rp26,52 triliun di pasar SBN selama semester II Di pasar saham, porsi kepemilikan investor nonresiden mencapai angka 54,49% pada bulan Desember Angka tersebut menurun dari semester I 2016 seiring dengan peningkatan penjualan saham domestik oleh investor nonresiden. Namun demikian, investor asing tercatat masih melakukan net beli saham domestik sebesar Rp3,17 triliun sehingga indeks saham domestik masih tercatat meningkat sebesar 5,58% ke level 5296,711 pada akhir bulan Desember Di sisi lain, porsi kepemilikan investor nonresiden di pasar SBI cenderung terbatas. Investor domestik mencatatkan porsi kepemilikan aset sebesar 98,5%, sedangkan porsi kepemilikan investor nonresiden di pasar SBI hanya sebesar 1,5%. Terbatasnya porsi kepemilikan nonresiden di pasar SBI tersebut terkait kebijakan minimum holding period yang ditetapkan oleh. Kebijakan tersebut pada awalnya ditetapkan dengan jangka waktu 1 bulan (one month holding period). Pada perkembangannya, melonggarkan kebijakan menjadi one week holding period pada 30 September 2015 dengan tujuan untuk menarik minat investor asing. Grafik Kepemilikan SBN Investor Nonresiden Triliun Rupiah 2000 Kepemilikan Domestik 1800 Kepemilikan Asing Des-12 Jun-13 Des-13 Jun-13 Des-14 Jun-14 Des-15 Jun-16 Des Grafik Kepemilikan Saham Investor NonResiden % , , Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Residen Non Residen 2016Q2 Sumber: DJPPR, Kementrian Keuangan Sumber: CEIC 19

50 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik Kepemilikan SBI Asing dan Domestik % ,5% ,5% Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Asing Domestik Sumber: Grafik Perkembangan Harga dan Volume Transaksi Saham Grafik Perkembangan Harga dan Volume Transaksi SBN Rp T Rp T % 10, (5) 4800 (10) 4600 (15) (20) (25) Net Beli/Jual Asing di Saham IHSG (skala kanan) (10) (20) (30) Net Beli/Jual Asing di SBN Yield SBN 10 Tahun (skala kanan) 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Sumber:, BEI, Bloomberg Sumber:, BEI, Bloomberg 20

51 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Boks 1.1 Analisis Perkembangan Indikator Financial Imbalances Berdasarkan National Financial Account & Balance Sheet (NFA & BS) Triwulan III-2016 Melalui National Financial Account and Balance Sheet (NFA & BS), perekonomian merupakan sebuah sistem yang terintegrasi dari neraca sektoral, yang terdiri atas sektor perbankan, industri keuangan nonbank (IKNB), korporasi, rumah tangga, pemerintah pusat (Pempus), pemerintah daerah (Pemda), bank sentral dan sektor eksternal. Data NFA & BS yang terintegrasi dapat digunakan untuk menganalisis ketidakseimbangan keuangan (financial imbalances) antar sektor yang dapat dipicu karena adanya ketidaksesuaian (mismatch), baik dalam ukuran maupun komposisi aset dan kewajiban yang dimiliki oleh sektor-sektor ekonomi. Informasi ketidakseimbangan keuangan tersebut dapat diketahui dari indikator imbalances yang menunjukkan indikasi peningkatan risiko pada suatu sektor, maupun risiko yang timbul akibat keterkaitan antar sektor dalam sistem keuangan. Terdapat 3 metode analisis 7 ketidakseimbangan keuangan dalam NFA & BS, yaitu Analisis Profil Risiko, Analisis Jaringan (Network Analysis), dan Analisis Sensitivitas. Analisis profil risiko menunjukan bahwa stabilitas sistem keuangan nasional relatif terjaga yang tercermin dari penurunan indikator risiko likuiditas, risiko nilai tukar, risiko kredit dan risiko solvabilitas. Nilai indikator risiko eksternal yang relatif meningkat terutama didorong oleh peningkatan ULN pada Pempus dan perbankan. Sementara eksposur risiko nilai tukar dan eksternal masih cukup tinggi pada sektor korporasi dan Pempus dibandingkan dengan risiko lainnya. Rasio kewajiban valas terhadap aset keuangan korporasi mencapai 45,82%, Pempus 44,73% dan IKNB 18,99%. Pangsa ULN nasional terhadap total kewajiban mencapai 28,14% yang didominasi oleh Pempus (54,77%), korporasi (38,97%), dan IKNB (16,67%). Selain itu, nilai net kewajiban nasional terhadap ekternal masih relatif tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa aset finansial domestik belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan sektor ekonomi (funding gap), sehingga kebutuhan pembiayaan dari eksternal masih cenderung tinggi. Pada komposisi aset nasional, pangsa aset finansial (53,72%) lebih besar dan relatif meningkat dibandingkan aset non finansial (46,28%). Analisis jaringan berdasarkan transaksi maupun posisi menunjukan terdapat ketergantungan pembiayaan eksternal yang besar, terutama pada korporasi dan Pempus. Berdasarkan rasio terhadap PDB, utang korporasi yang berasal dari eksternal mencapai 38,27%, sehingga korporasi cenderung terekspos oleh withdrawal risk dan risiko nilai tukar. Secara transaksi, terdapat aliran dana eksternal untuk pembiayaan domestik yang cenderung lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini menunjukkan persepsi positif investor pada perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian perekonomian global masih positif. 7 Analisis Profil Risiko mencakup risiko likuiditas, risiko nilai tukar, risiko eksternal, rasio leverage dan solvabilitas. Analisis jaringan menilai interkoneksi dan transmisi risiko antar sektor dengan menggunakan intersectoral financial claim matrix yang memuat informasi mengenai posisi bilateral exposure antar sektor ekonomi. Analisis Sensitivitas mengukur sensitivas suatu sektor terhadap guncangan makro seperti fluktuasi nilai tukar, capital flow reversal, perubahan suku bunga dsb. 21

52 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Sektor yang mengalami net inflow diantaranya adalah korporasi, bank sentral dan Pempus. Net inflow pada korporasi terutama karena pembiayaan dari rumah tangga dan eksternal melalui penyertaan dalam bentuk ekuitas. Sementara pada Pempus, terdapat aliran dana yang besar kepada bank sentral berupa simpanan dari hasil penerbitan SBN untuk menutup defisit fiskal. Aliran yang diterima Pempus melalui SBN tersebut sebesar 40,60% berasal dari eksternal, 31,54% pembelian SBN ritel oleh rumah tangga dan 30,67% berasal dari IKNB. Besarnya aliran dana dari IKNB merupakan bentuk pemenuhan peraturan investasi SBN bagi IKNB. Grafik Boks 1.1. Net Transaksi Antar Sektor (Rp T) Net Inflow Net Outflow Net Transaksi = Aset Finansial - Kewajiban Finansial (Transaksi) Aset finansial > Kewajiban Finansial : Net Outflow Aset finansial < Kewajiban Finansial : Net Inflow NFC=Korporasi, HH=rumah tangga, ODC =Bank, OFC=IKNB, CG=Pempus, CB=Bank sentral, LG=Pemda, RoW=Eksternal Analisis interkoneksi dengan data posisi menunjukan bahwa risiko interkoneksi tertinggi terjadi antara korporasi dengan eskternal, serta perbankan dengan korporasi dan rumah tangga. Tingginya interkoneksi tersebut membuat perlunya monitoring terhadap korporasi dan rumah tangga, terutama kemungkinan terjadinya kebangkrutan korporasi karena perlambatan ekonomi dan pelemahan nilai tukar. Sektor domestik yang mengalami surplus keuangan terbesar adalah rumah tangga dengan nilai net aset sebesar 38,74% (terhadap PDB). Kepemilikan aset keuangan rumah tangga mencapai 29,96% dari total aset keuangan nasional, yang mayoritas disalurkan kepada korporasi dalam bentuk ekuitas dan simpanan ke perbankan. Korporasi merupakan sektor yang memiliki nilai net kewajiban tertinggi selama periode 2015Q3 sampai dengan 2016Q3, dengan peningkatan terbesar pada 2016Q2 karena aliran dana asing terutama pada instrumen ekuitas. Nilai net kewajiban korporasi kembali mengalami penurunan pada 2016Q3 sebagai 22

53 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan 2015 Q , ,24 Grafik Boks 1.2. Net Posisi Antar Sektor (Rp T) 2016 Q , , Q , ,48 NFC HH NFC HH NFC HH 4.454,04 122, ,42 96, ,11 159,39 ROW ODC ROW ODC ROW ODC LG OFC LG OFC LG OFC 467,33 84,17 408,27 89,30 415,92 124,26 CG 1.661,02 CB 226,25 CG 1.907,83 CB 97,72 CG 1.971,70 CB 95,17 Net Kewajiban Finansial Net Aset finansial Net Posisi = Aset Finansial Kewajiban Finansial (Posisi) Aset finansial > Kewajiban Finansial : Net Aset Finansial Aset finansial < Kewajiban Finansial : Net Kewajiban Finansial NFC=Korporasi, HH=Rumah tangga, ODC =Bank, OFC=IKNB, CG=Pempus, CB=Bank sentral, LG=Pemda, RoW=Eksternal implikasi kebijakan amnesti pajak berupa klaim dana repatriasi. Hal ini menyebabkan aset valas korporasi meningkat signifikan (96,49%) dibandingkan periode sebelumnya. Korporasi memiliki ULN yang relatif tinggi yaitu 38,97% terhadap total pembiayaan. Selain itu, korporasi juga memiliki utang valas 8 yang cenderung besar sehingga relatif rentan terhadap capital flow reversal serta depresiasi nilai tukar. Risiko pada korporasi ini dapat ditransmisikan kepada perbankan melalui peningkatan NPL sehingga diperlukan analisis mendalam terhadap kerentanan korporasi, terutama dampak guncangan makro terhadap korporasi dan pengaruhnya terhadap sektor lain. capital flow reversal sebesar 10%, dengan asumsi korporasi harus mengganti 10% pembiayaan eksternal dengan pembiayaan domestik. Pembiayaan domestik diperoleh dari penarikan aset keuangan maupun kredit baru dari perbankan. Hasil skenario 1 menunjukan bahwa depresiasi nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap korporasi, yang ditunjukan oleh penurunan nilai net kewajiban eksternal korporasi sebesar 1,75% (terhadap PDB). Hal ini disebabkan oleh dominasi instrumen ekuitas sebagai sumber pembiayaan utama korporasi yang mayoritas berdenominasi rupiah (63,50%), serta kepemilikan aset valas (57,86%) yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kewajiban valas (17,93%) sehingga dapat meredam dampak depresiasi nilai tukar. Analisis sensitivitas pada korporasi menggunakan 2 skenario yaitu (1) depresiasi nilai tukar 25% dan (2) depresiasi nilai tukar 25% yang diikuti oleh Sementara hasil skenario 2 menunjukkan bahwa kepemilikan aset valas yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kewajiban valas 8 Sumber pembiayaan korporasi dalam bentuk pinjaman berdenominasi rupiah dan valas adalah sebesar 50,42% dan 49,58%. Sedangkan dalam bentuk surat berharga berdenominasi rupiah dan valas adalah sebesar 21,53% dan 78,47%. 23

54 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 menyebabkan korporasi mengalami penurunan net kewajiban eksternal hingga 6,02% (terhadap PDB) saat terjadi penarikan dana oleh eksternal. Hal ini mengindikasikan bahwa korporasi relatif solvent dalam menghadapi guncangan baik berupa depresiasi nilai tukar maupun penarikan dana oleh eksternal. Namun, di sisi lain terjadi peningkatan net aset perbankan terhadap korporasi sebesar 4,59% (terhadap PDB) sebagai implikasi dari penarikan aset keuangan korporasi atau penambahan pinjaman korporasi untuk menggantikan penarikan pembiayaan asing sebesar 10%. 24

55 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Boks 1.2 Perkembangan Reformasi Keuangan Global di Indonesia Krisis keuangan global yang terjadi pada 2008/2009 menimbulkan konsekuensi berupa kerugian, tidak hanya berupa biaya bail out institusi keuangan yang ditanggung oleh pembayar pajak, namun juga loss of output dan unemployment, serta biaya recovery berupa stimulus fiskal dan moneter yang masih berlangsung hingga saat ini. Krisis keuangan global tersebut meng-highlight kelemahan dalam kerangka pengaturan sebelumnya serta kebutuhan untuk meningkatkan ketahan sistem keuangan global yang semakin terinterkoneksi. Paska krisis keuangan global, pada 2008 Pemimpin G20 sepakat menginisiasi reformasi keuangan global. Fokus utama dari reformasi keuangan tersebut mencakup: 1) Memperkuat ketahanan sektor perbankan; 2) Mengurangi moral hazard lembaga keuangan yang toobig-to-fail ; 3) Mengurangi risiko sistemik dan meningkatkan transparansi di pasar OTC derivatif; dan 4) Memperluas parameter pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan. Adapun mandat koordinasi dari implementasi berbagai inisiatif reformasi diturunkan kepada Financial Stability Board (FSB). Sebagai fora yang didirikan pada G-2O London Summit April 2009, FSB bertugas untuk mengkoordinasikan dan memonitor implementasi reformasi keuangan global oleh otoritas nasional dan melaporkan hasilnya kepada G20. Sebagai anggota G20 dan FSB, serta berbagai fora internasional lainnya, Indonesia diharapkan untuk dapat turut berpartisipasi dalam reformasi keuangan global dan menerapkan lead-byexample. Pada akhirnya, peran aktif dan partisipasi Indonesia dalam berbagai fora, implementasi berbagai inisiatif reformasi keuangan global, serta monitoring dan asesmen terhadap kesesuaian standar internasional, maupun penilaian kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dilakukan oleh lembaga internasional, secara langsung dan tidak langsung diharapkan dapat mendukung dan memperkuat ketahanan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Indonesia. Progres Implementasi Indonesia 1. Memperkuat ketahanan sektor perbankan Elemen reformasi global ini memiliki fokus pada implementasi Basel III, yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan sektor perbankan terhadap krisis dengan memperkuat kerangka permodalan dan likuiditas serta mitigasi prosiklikalitas. Kerangka permodalan secara garis besar mengintegrasikan kebijakan kehatihatian makro dan mikro yang mencakup: 1) kualitas dan tingkat permodalan yang lebih tinggi; 2) standar modal untuk meredam siklusi ekspansi dan kontraksi kredit yang berlebihan; dan 3) standar modal untuk mengurangi risiko sistemik. Di samping memperkuat kerangka permodalan, Basel III menerapkan standar baru untuk memperkuat likuiditas perbankan melalui penerapan Liquidity Coverage Ratio (LCR). Kerangka ini bertujuan mendorong ketahanan bank terhadap tekanan likuiditas jangka pendek (30 hari) dengan memastikan bahwa 25

56 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 bank memiliki High Quality Liquid Asset (HQLA). Penguatan likuditas juga dilakukan melalui penerapan aturan Net Stable Funding Ratio (NSFR). Standar ini mensyaratkan bank memiliki sumber dana stabil (stable funding) yang memadai untuk mendukung pembiayaan jangka panjang. Buffer. Penetapan CCyB memperhatikan siklus keuangan untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan. Kedua buffer bertujuan untuk mengantisipasi kerugian pada periode krisis yang dapat mendorong terjadinya prosiklikalitas dan mengganggu stabilitas sistem keuangan. Dalam rangka memenuhi standar Basel III, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan POJK No.11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum pada akhir Januari Berdasarkan ketentuan tersebut, bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko paling rendah sebesar 8%. Selain itu, bank juga wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) sesuai kriteria yang diatur dalam POJK tersebut yang mencakup: 1) Capital Conservation Buffer; 2) Countercyclical Capital Buffer dan 3) Capital Surcharge untuk Systemically Important Bank (SIB). Capital Conservation Buffer ditetapkan OJK sebesar 2,5% dari ATMR untuk Bank yang digolongkan dalam bank BUKU 3 dan BUKU 4. Kewajiban pembentukan tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 1 Januari Sementara itu, Countercyclical Capital Buffer (CCyB) besarnya ditetapkan, berdasarkan PBI No. 17/22/PBI/2015 tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan bank yang dapat berdampak sistemik, OJK mengenakan persyaratan modal tambahan (capital surcharge) yang besarnya bervariasi antara 1% - 2,5% berdasarkan ukuran bank, keterkaitan dengan sistem keuangan dan kompleksitas kegiatan usaha. Dalam menetapkan SIB dan capital surcharge, OJK berkoordinasi dengan BI. Di samping kerangka permodalan Basel III, OJK juga telah mengimplementasikan LCR pada semester I 2017 untuk bank BUKU 3 dan BUKU 4. Selain itu, OJK juga telah menerbitkan consultative paper mengenai proposal pengaturan leverage ratio serta Net Stable Funding Ratio (NSFR). Meskipun secara global, kedua rasio tersebut baru akan diimplementasikan tahun Mengurangi moral hazard lembaga keuangan yang too-big-to-fail Kegagalan Lehman Brothers, serta penggunaan dana talangan pemerintah untuk mencegah spill-over dampak kegagalan di pasar keuangan menjadikan ending-too-big-to-fail sebagai salah 26

57 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan satu fokus dari reformasi keuangan global. Sejumlah measures atau kebijakan terkait kerangka Systemically Important Financial Institutions (SIFI) diperkenalkan dalam rangka upaya mengatasi permasalahan too-big-tofail. Measures tersebut di antaranya yaitu persyaratan tambahan kapasitas penyerapan kerugian (Total Loss-Absorbing Capacity/ TLAC), yang bertujuan untuk memastikan bank dapat tetap menjalankan fungsi kritikal tanpa mengandalkan bantuan dana pemerintah pada saat terjadi krisis. Di samping itu, FSB telah menerbitkan Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions ( Key Attributes ) sebagai panduan elemen yang harus ada dalam kerangka resolusi di suatu yurisdiksi. Berkenaan dengan hal ini, Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) pada April Undang-undang ini menjadi dasar hukum koordinasi dan pengambilan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang terdiri dari Kemenkeu, BI, OJK dan LPS, dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis keuangan. Di samping itu, undang-undang tersebut memperkuat kewenangan otoritas di dalam menerapkan kerangka pengawasan dan pengaturan perbankan yang lebih ketat untuk SIB, termasuk kewajiban menyusun recovery plan guna mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di bank. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar hukum perangkat resolusi tambahan, termasuk mekanisme bailin. 3. Mengurangi risiko sistemik dan meningkatkan transparansi di pasar OTC derivatif Kurangnya transparansi dan kelemahan di dalam pengelolaan risiko kredit pihak lawan di pasar derivatif yang umumnya dilakukan secara over-the-counter (OTC) juga memiliki andil dalam krisis keuangan global. Guna mengatasi permasalahan tersebut, Pimpinan G20 di pertemuan Pittsburgh September 2009 menyepakati reformasi pasar OTC derivatif yang mencakup 5 (lima) area yaitu: a. Standardisasi kontrak derivatif; b. Perdagangan kontrak derivatif melalui platform trading; c. Sentralisasi kliring melalui Central Counterparty (CCP); d. Ketentuan margin dan permodalan untuk transaksi derivatif yang tidak dikliringkan menggunakan CCP; dan e. Kewajiban pelaporan untuk seluruh transaksi. Berkenaan dengan reformasi pasar OTC derivatif, Indonesia telah menerapkan kewajiban pelaporan transaksi untuk bank yang melakukan transaksi OTC derivatif nilai tukar dan suku bunga. Selain itu, Indonesia mensyaratkan transaksi melalui platform trading untuk transaksi derivatif ekuitas serta 27

58 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 komoditas. Ketentuan derivatif tersebut telah diadopsi sebelum penerapan reformasi global pada tahun berbagai upaya untuk menyempurnakan dan menutup kesenjangan kerangka asesmen risiko antara IKNB dan perbankan terus berlangsung. 4. Memperluas parameter pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan Dengan memperkuat regulasi perbankan melalui Basel III, terdapat risiko meningkatnya insentif bagi pelaku pasar untuk memindahkan aktivitas perbankan ke sektor keuangan yang regulasinya lebih longgar atau dikenal dengan istilah shadow banking system. Untuk itu, dipandang perlu adanya langkah-langkah untuk memperkuat pemantauan dan pengaturan aktvitas intermediasi kredit yang dilakukan entitas shadow banking. Dibandingkan elemen reformasi lainnya, implementasi reformasi terkait shadow banking masih berada dalam tahap awal. FSB bersama dengan yurisdiksi berencana untuk melakukan asesmen untuk dapat merespon potensi risiko stabilitas keuangan di area shadow banking. Berkenaan dengan monitoring dan pengaturan institusi keuangan non bank (IKNB), OJK melakukan pengawasan dan market surveillance dalam rangka mengases risiko stabilitas keuangan yang berasal dari aktivitas institusi yang bersangkutan. OJK juga memiliki kewenangan mengatur aktivitas IKNB, baik aktivitas saat ini maupun aktivitas yang baru. Selain itu, juga melakukan asesmen secara periodik atas IKNB dilihat dari sudut pandang makroprudensial. Saat ini Monitoring Implementasi Indonesia I. Regulatory Consistency Assessment Program (RCAP) Sebagai konsekuensi dari keanggotaan di beberapa fora internasional, Indonesia terikat komitmen untuk mengadopsi berbagai rekomendasi reformasi sektor keuangan global, yang akan direview/dimonitor pelaksanaannya. Salah satu proses review/monitoring yang telah dilaksanakan oleh Indonesia adalah Regulatory Consistency Assessment Program (RCAP). RCAP merupakan proses monitoring yang dilakukan Komite Basel untuk Pengawasan Perbankan (Basel Committe on Banking Supervision/BCBS) guna menilai kesesuaian regulasi perbankan yang berlaku dengan standar Basel. RCAP diawali dengan pelaksanaan self-assessment yang bertujuan untuk mengidentifikasi celah antara kerangka Basel dengan ketentuan yang berlaku. Pada pertemuan BCBS di bulan November 2016, berdasarkan hasil penilaian rcap, Indonesia ditetapkan memperoleh predikat Compliant atas penilaian terhadap ketentuan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Largely Compliant untuk ketentuan kerangka permodalan. Grading Compliant (C) merupakan grading tertinggi dalam RCAP, sementara grading Largely Complaint (LC) merupakan grading 28

59 Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan tertinggi kedua di bawah grading C. Hasil penilaian tersebut merupakan hasil optimal yang dapat diraih oleh Indonesia saat ini, karena terkait aspek kerangka permodalan Indonesia memilih untuk mengutamakan kepentingan nasional yang lebih besar, yaitu salah satunya dengan mempertahankan pengenaan bobot risiko 0% untuk SUN (Surat Utang Negara) dalam denominasi mata uang asing. Sementara sesuai kerangka Basel, eksposur tersebut dikenakan bobot risiko berdasarkan country rating Indonesia yaitu 50%. Hasil RCAP tersebut menunjukan regulasi perbankan Indonesia secara umum telah sesuai dengan standar perbankan internasional yang berlaku. Regulasi perbankan Indonesia dinilai sejajar dengan regulasi di negara-negara anggota BCBS lainnya, termasuk Amerika Serikat, dan bahkan lebih tinggi dibandingkan hasil penilaian kerangka permodalan Uni Eropa. Diharapkan dengan hasil tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap operasional perbankan di Indonesia dapat meningkat serta meningkatkan kepercayaan stakeholders termasuk investor dalam bertransaksi dengan perbankan Indonesia. II. Financial Sector Assessment Program (FSAP) Selain RCAP, Indonesia juga menjalani asesmen sektor keuangan melalui Financial Sector Assessment Program (FSAP). FSAP merupakan joint program dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) yang dilakukan setiap periode 5 tahun, untuk menilai stabilitas dan tingkat kesehatan, serta aspek pengembangan sektor keuangan suatu negara. Di area stabilitas sektor keuangan, Tim FSAP akan mereview ketahanan dari sektor perbankan dan sektor keuangan non-bank, termasuk melakukan stress test dan menganalisa risiko sistemik termasuk keterkaitan antara bank dan non-bank. Selain itu, Tim FSAP juga akan mengevaluasi kerangka mikroprudensial dan makroprudensial, kualitas dari pengawasan bank dan nonbank, maupun mengevaluasi kemampuan otoritas dalam mengimplementasikan jaring pengaman keuangan. Di area pengembangan sektor keuangan, Tim FSAP akan mengevaluasi kebutuhan pengembangan terkait institusi, pasar, infrastruktur, dan inklusifitas sektor keuangan domestik. Asesmen fsap Indonesia periode 2016/2017 ini merupakan asesmen kedua setelah sebelumnya dilaksanakan pada tahun 2009/2010 dan melibatkan, OJK, Kementerian Keuangan dan LPS. Pelaksanaan FSAP 2016/2017 dilakukan dalam dua tahap yaitu pada first mission (19 September s.d. 5 Oktober 2016) dan main mission (1 s.d. 16 Februari 2017). Melalui fsap, otoritas Indonesia berharap dapat memperoleh masukan terkait berbagai aspek perbaikan dan pengembangan yang diperlukan guna meningkatkan stabilitas dan resiliensi sektor keuangan. 29

60 Ular Naga, permainan tradisional yang dilakukan oleh anak-anak dengan cara memegang pundak untuk membentuk barisan dan berjalan melewati penjaga sambil bernyanyi, membutuhkan dialog dan negosiasi untuk menentukan pilihan tempat bagi anak yang berada dalam barisan tersebut. Mengalirnya barisan serta dialog dan negosiasi untuk menentukan tempat bagi anak-anak dalam permainan ular naga tersebut dapat menggambarkan bagaimana aliran dana masuk ke pasar keuangan termasuk aliran dana asing yang pada akhirnya berpengaruh signifikan terhadap pasar keuangan Indonesia.

61 02 Stabilitas di pasar keuangan domestik pada semester II 2016 relatif terjaga seiring dengan terjaganya kondisi makroekonomi Indonesia di tengah dinamika perekonomian dan pasar keuangan global. Persepsi positif investor terhadap kondisi makroekonomi domestik menjadi sentimen positif bagi pertumbuhan pembiayaan dari pasar modal di tengah terbatasnya pertumbuhan kredit perbankan terutama didorong oleh pembiayaan yang bersumber dari pasar obligasi. Risiko di pasar keuangan domestik relatif terjaga meskipun volatilitas meningkat dipicu salah satunya oleh ketidakpastian perekonomian global. Namun, hal tersebut dapat diimbangi oleh sentimen positif perekonomian domestik serta baiknya kinerja sejumlah indikator pasar keuangan antara lain masih menguatnya IHSG, berlanjutnya capital inflows, membaiknya kinerja reksadana dan menurunnya volatilitas nilai tukar Rupiah. Peningkatan risiko utamanya terjadi di pasar obligasi, terlihat dari kenaikan volatilitas dan penurunan harga aset. Volatilitas pasar saham juga sedikit meningkat pada akhir tahun 2016, namun harga aset tetap tumbuh. Dari sisi pasar valas itu, peningkatan volatilitas suku bunga Pasar Uang Antar Bank lebih dipengaruhi oleh penurunan suku bunga acuan. Sementara, risiko di pasar valas tetap terjaga, tercermin dari turunnya volatilitas dan stabilnya premi risiko. Selanjutnya, di tengah peningkatan volatilitas aset reksadana saham dan pendapatan tetap, nilai aktiva bersih (NAB) tetap mencatat pertumbuhan positif. Kinerja positif juga tercatat di sektor keuangan syariah baik pasar saham, sukuk, maupun reksadana. Dalam rangka mendukung pengembangan pasar keuangan, kebijakan yang ditempuh oleh adalah pengaturan surat berharga komersial. Selain itu, bersama otoritas regional terkait telah menyepakati penggunaan kerangka Local Currency Settlement. Sementara itu, sektor keuangan sosial juga menunjukkan peningkatan dana kumpulan zakat dan wakaf uang, seiring dengan semakin meningkatnya governance dan transparansi pengelolaan dan penyaluran dana oleh lembagalembaga amil zakat dan lembaga nazhir. Pasar Keuangan

62 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 DI TENGAH DINAMIKA PEREKONOMIAN DAN PASAR KEUANGAN GLOBAL, RISIKO DI PASAR KEUANGAN DOMESTIK RELATIF TERJAGA Pasar Uang Risiko di pasar uang terjaga dengan baik dengan likuiditas yang terjaga meningkat meskipun volatilitas sedikit naik. PUAB O/N Rp Suku Bunga menjadi 4,54 % Rata2 Volatilitas menjadi 190,94 % Rata2 Harian Volume Transaksi menjadi Rp13,3 triliun Pasar Repo Suku Bunga menjadi 4,96 % -5,69 % Rata2 Harian Volume Transaksi menjadi Rp1.064 triliun Pasar Valas Risiko di pasar valas mengalami penurunan, tercermin dari turunnya volatilitas serta relatif stabilnya premi risiko. Pasar Obligasi Risiko di pasar obligasi baik obligasi negara maupun korporasi relatif meningkat Rp $ Nilai Tukar Rupiah menjadi Rp13.473/USD Rata-rata Volatilitas menjadi 6,81 % Spread NDF menjadi 9,33poin Surat Berharga Negara IDMA Indeks menjadi 99,09 Yield SBN 10 tahun menjadi 7,91 % Volatilitas SBN 10 Tahun menjadi 15,33 % Net Inflow Investor Asing Rp21,82 triliun Pasar IHSG Rp Risiko di pasar saham mengalami peningkatan meski relatif terbatas. IHSG menjadi 5295,7 Volatilitas menjadi 13,84 % Net Inflow Investor Asing Rp2,69 triliun Obligasi Korporasi Yield 10 tahun (A) menjadi 11,41 % Volatilitas menjadi 7,89 % Net Inflow Investor Asing Rp1,13 triliun Pasar Keuangan Syariah Indeks Saham Syariah (JII) menjadi Volatilitas Saham Syariah (JII) menjadi 694,1 21,1 % Rp Pertumbuhan Kapitalisasi Saham Syariah (JII ) Market Share Reksadana Syariah terhadap menjadi Reksadana Konvensional menjadi 17,15 % (YoY) 4,41 % 32

63 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan 2.1. Peran Pasar Keuangan Sebagai Sumber Pembiayaan Perekonomian Pasar keuangan memiliki posisi strategis dalam perekonomian suatu negara terutama jika melihat perannya sebagai alternatif sumber pembiayaan selain kredit yang berasal dari perbankan. Saat ini sumber utama pembiayaan ekonomi di Indonesia masih berasal dari kredit perbankan, namun seiring dengan semakin terintegrasinya pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan global, serta meningkatnya kebutuhan pembiayaan pelaku ekonomi, peran pasar keuangan di masa mendatang diperkirakan akan semakin meningkat. Selain sebagai alternatif sumber pembiayaan, keberadaan pasar keuangan juga dapat bersifat complementary bagi perbankan terutama untuk mendukung pengelolaan likuiditas dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pengelolaan likuiditas jangka pendek melalui penempatan di pasar keuangan merupakan bagian dari manajemen likuiditas bank dengan mengoptimalkan imbal hasil dari penempatan di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), pasar obligasi, dan pasar uang lainnya. Sementara itu, dalam jangka panjang, keberadaan pasar keuangan dapat dimanfaatkan oleh perbankan untuk memperbaiki struktur likuiditas maupun meningkatkan kapasitas permodalan melalui penerbitan obligasi atau saham. Selama semester II 2016, sumber pembiayaan yang berasal dari pasar modal dan perusahaan pembiayaan (PP) sedikit meningkat jika dibandingkan dengan semester sebelumnya. Meskipun peningkatan pembiayaan melalui pasar modal selama semester II 2016 relatif terbatas dibandingkan dengan semester I 2016, namun pembiayaan pasar modal sepanjang 2016 meningkat cukup besar dibandingkan perkembangan di tahun Peningkatan ini terutama didorong oleh penerbitan obligasi korporasi dan sukuk. Hal tersebut tidak lepas dari upaya para pelaku ekonomi, terutama Perusahaan Pembiayaan, yang mencari alternatif pembiayaan jangka panjang untuk menggantikan pinjaman yang berasal dari luar negeri. Perubahan perilaku para pelaku ekonomi dalam memperoleh sumber pembiayaan akan dijelaskan di dalam Boks 2.3. Tabel 2.1. Pembiayaan Perbankan dan Non-Bank (Rp Triliun) Keterangan Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II A. Kredit Perbankan 175,29 206,15 153,74 230,08 110,17 208,89 B. Pembiayaan Non Bank 64,78 50,06 67,64 45,96 106,42 112,20 B1. Pasar Modal 51,88 44,78 63,95 52,58 97,78 97,60 - IPO & Right Issue Pasar Saham 26,35 21,67 18,59 34,94 41,28 37,92 - Obligasi Korporasi & Sukuk 25,53 23,11 45,36 17,65 56,51 59,68 B2. Perusahaan Pembiayaan 12,90 5,27 3,69-6,63 8,64 14,61 total 240,07 256,20 221,38 276,04 216,59 321,10 240,07 256,20 221,38 276,04 216,59 321,10 Sumber : Laporan OJK dan KSEI Keterangan: Merupakan data kredit bank dan pembiayaan dari non bank yang disalurkan hanya pada periode tersebut, dan bukan data posisi. 33

64 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Sepanjang semester II 2016, pembiayaan di pasar saham melalui Initial Public Offering (IPO) dan right issue mengalami penurunan sebesar 8,13%, dari Rp41,28 triliun selama semester I 2016 menjadi Rp37,92 triliun selama semester II Meskipun jumlah emiten yang melakukan right issue mengalami peningkatan dari 14 perusahaan pada semester I 2016 menjadi 20 emiten pada semester II 2016, secara nominal jumlah right issue turun sebesar Rp6,83 triliun dibandingkan periode sebelumnya. Menurunnya penerbitan saham dan right issue tersebut antara lain dipengaruhi oleh proses pemilihan presiden Amerika Serikat khususnya programprogram ekonomi yang diusung oleh Trump. Dalam kampanyenya, Trump mengangkat isu proteksionisme dan perdagangan internasional termasuk renegosiasi perjanjian perdagangan dengan negara-negara mitra dagang utama Amerika Serikat. Sentimen tersebut memicu spekulasi terhadap prospek perekonomian global sehingga emiten cenderung wait and see. Berbeda dengan kondisi di pasar saham, penerbitan obligasi korporasi dan sukuk pada periode yang sama tercatat sebesar Rp59,68 triliun, meningkat sebesar 5,61% dibandingkan semester sebelumnya, diikuti dengan peningkatan jumlah emiten dari 39 emiten menjadi 41 emiten. Peningkatan emisi dan jumlah emiten obligasi tersebut tidak terlepas dari perbedaan pricing antara obligasi dengan kredit perbankan. Secara rata-rata, kupon obligasi korporasi masih lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga kredit perbankan. Meningkatnya ketidakpastian perekonomian global pasca terpilihnya Trump serta kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dipenghujung semester II 2016 meningkatkan tekanan terhadap pasar obligasi di dalam negeri. Pada periode tersebut, yield obligasi korporasi mengalami kenaikan sehingga cost of fund penerbitan obligasi mengalami peningkatan. Namun demikian, tekanan dari perekonomian global tersebut tidak terlalu mempengaruhi korporasi dengan rating AAA yang masih bisa mendapatkan pembiayaan yang lebih murah dari penerbitan obligasi dibandingkan dengan meminjam ke perbankan. Grafik 2.1. Volume IPO dan Right Issue di Pasar Saham Grafik 2.2. Perbandingan Yield Curve Obligasi Korporasi dan Rata-rata Suku Bunga KI & KMK Rp Triliun Rights Issue Obligasi IPO Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec % Rating BBB (Des 16) Average Sk. Bunga KI & KMK (Desember 16) 11,31% Rating A (Des 16) Rating AAA (Des 16) Tenor Sumber: OJK, BEI, diolah Sumber: OJK, BI, Bloomberg, diolah 34

65 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Grafik 2.3. Nominal Emisi Obligasi Berbeda dengan emiten penerbit NCD yang hanya dapat dilakukan oleh perbankan, emiten penerbit MTN didominasi oleh korporasi yang bergerak di sektor properti, konstruksi, serta pertambangan. Tujuan utama penerbitan MTN oleh korporasi-korporasi tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan modal kerja (pengembangan usaha) dan refinancing. Jul-14 Agu-14 Sep-14 Okt-14 Nov-14 Des-14 Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 Mei-15 Jun-15 Obligasi Korporasi (Rp T) Suku Bunga Kredit KI (%) Jul-15 Agu-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Sumber: OJK, BI, Bloomberg, diolah Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Average Yield Obl. Korporasi 5 thn (%) Sementara itu, selama semester II 2016, Negotiable Certificate Deposit (NCD) menjadi instrumen keuangan yang diminati oleh perbankan sebagai alternatif sumber pendanaan jangka pendek dibawah 1 (satu) tahun menggantikan DPK. Pada periode tersebut, outstanding NCD mengalami peningkatan dari Rp12,96 triliun pada semester I 2016 menjadi Rp19,9 triliun, atau meningkat 53,57%. Sama halnya dengan NCD, instrumen Medium Term Notes (MTN) juga menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Outstanding MTN tercatat mengalami peningkatan sebesar 43,59% menjadi sebesar Rp25,69 triliun. Meningkatnya pendanaan melalui penerbitan NCD dan MTN selain dipengaruhi oleh biaya yang lebih murah juga dipengaruhi oleh persyaratan penerbitan instrumen yang lebih longgar dengan tidak mewajibkan pemenuhan peringkat (rating) tertentu. Dengan kelonggaran tersebut, proses penerbitan kedua instrumen menjadi lebih singkat. Hal lain yang turut berpengaruh adalah persepsi investor, meskipun menyadari tetap terdapat risiko dalam investasi ke NCD dan MTN, namun investor melihat kedua instrumen pendanaan jangka pendek tersebut merupakan investasi yang relatif aman mempertimbangkan kinerja MTN dan NCD dalam beberapa tahun terakhir belum ada yang mengalami default. Rp Triliun 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 - Des-14 Jan-15 Grafik 2.4. Nominal Outstanding MTN dan NCD MTN Feb-15 Mar-15 Apr-15 Mei-15 Jun-15 NCD Jul-15 Agt-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Sumber: CEIC Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Rp Triliun 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 Grafik 2.5. Grafik MTN dan NCD Jatuh Tempo Sumber: OJK, KSEI, diolah MTN NCD 35

66 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik 2.6. Nominal Issuance MTN dan NCD Rp Triliun 7 6 MTN NCD Sumber: OJK, KSEI, diolah Dari sisi pemanfaatan pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perbankan, selama semester II 2016 terdapat 10 bank yang menerbitkan obligasi dengan total emisi mencapai Rp19,3 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan semester I 2016 yaitu sebanyak 9 bank dengan nilai emisi sebesar Rp17,7 triliun. Jika dilihat secara keseluruhan, porsi penerbitan obligasi perbankan dibandingkan dengan total penerbitan obligasi korporasi mencapai sebesar 32,37%, lebih tinggi dibandingkan dengan semester sebelumnya sebesar 31,24%. Sebaliknya, pendanaan dalam bentuk IPO dan right issue oleh emiten perbankan dalam periode yang sama hanya sebesar Rp3,5 triliun, lebih rendah dibandingkan semester sebelumnya yang mencapai Rp8,01 triliun. Selain memanfaatkan pasar modal, perbankan juga memanfaatkan Pasar Uang Antarbank (PUAB) sebagai bagian dari strategi optimalisasi pengelolaan likuiditas, baik sebagai sumber pendanaan maupun sebagai outlet penempatan dana terutama untuk jangka pendek. Selama semester II 2016, terdapat 96 bank yang memperoleh tambahan likuiditas dari PUAB, sementara bank yang menempatkan dananya di PUAB mencapai 103 bank dengan volume rata-rata harian mencapai Rp11,13 triliun, menurun dari semester sebelumnya Rp12,38 triliun. Penurunan transaksi bank di PUAB sejalan dengan masih memadainya kondisi likuiditas perbankan sehingga mengurangi kebutuhan pendanaan jangka pendek perbankan. Menurunnya kebutuhan likuiditas jangka pendek juga menyebabkan turunnya permintaan di PUAB valas. Selama semester II 2016, nominal transaksi di PUAB valas mengalami penurunan meskipun jumlah bank yang melakukan transaksi menunjukkan peningkatan. Penurunan aktivitas di PUAB valas antara lain dipengaruhi oleh semakin bervariasinya transaksi operasi moneter valas seperti dalam bentuk term deposit (TD) valas sehingga menambah outlet penempatan valas perbankan. Sementara dari sisi jumlah bank, bank yang melakukan pinjaman di pasar PUAB valas mengalami peningkatan dari 31 bank pada semester sebelumnya menjadi sebanyak 38 bank. Peningkatan juga terjadi pada bank pemberi pinjaman dari sebanyak 37 bank pada semester sebelumnya menjadi 45 bank pada periode laporan. 36

67 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Tabel 2.2. Sumber Penghimpunan dan Penyaluran Dana berdasarkan Jumlah Bank Keterangan Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Penghimpunan Dana I. Domestik PUAB Pinjam Rp PUAB Pinjam Vls Repo ke BI / LF RRH Repo oleh Bank Pasar Obligasi Obligasi Obligasi Berkelanjutan Obligasi Sukuk Pasar Saham IPO Right/HMETD II. Luar Negeri Obligasi (USD) Penyaluran Dana I. Domestik PUAB Beri Rp PUAB Beri Vls Deposit Facility Term Deposit SDBI SBI + SBIS Reverse Repo SUN SBN Tabel 2.3. Sumber Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bank berdasarkan Volume RP Triliun Keterangan Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Penghimpunan Dana I. Domestik PUAB - Volume Pinjam 1,076 1,234 1,375 1,280 1,325 1,388 1,426 1,439 1,537 1,370 - Vol. RRH Pinjam Rp 8,6 10,2 11,2 10,3 11,1 11,1 11,6 11,7 12,4 11,1 - Vol. RRH Pinjam Vls (US Jt) 683,1 409,3 429,4 396,2 359,4 533,7 429,2 240,2 386,1 274,1 Repo ke BI / LF 0,4 1,1 0,5 5,5 0,1 2,4 11,0 5,8 2,6 2,7 RRH Repo oleh Bank 0,5 0,6 0,7 0,6 0,4 1,1 Pasar Obligasi 6,8 7,1 8,5 3,7 5,0 2,0 11,4 0,5 17,7 19,3 - Obligasi 0,5 0,3 1,2 1,0 1,3 1,5 0,5-1,0 - Obligasi Berkelanjutan 5,5 6,8 6,6 3,7 4,0 0,7 9,4 16,4 17,3 - Obligasi Sukuk 0,8 0,7 0,5 1,3 1,0 Pasar Saham 1,9 4,7 4,2 9,4 1,5 2,1 0,6 1,0 8,0 3,5 - IPO 1,7 0,6 0,1 0,1-0,1 0,6 - - Right/HMETD 1,9 4,7 2,4 8,8 1,5 2,0 0,6 0,9 7,5 3,5 II. Luar Negeri Obligasi (USD Juta) Penyaluran Dana I. Domestik PUAB - Vol. RRH Beri Rp 8,6 10,2 11,2 10,3 11,1 11,1 11,6 11,7 12,4 11,1 - Vol. RRH Beri Vls (US Jt) 683,1 409,3 429,4 396,2 359,4 533,7 429,2 240,2 386,1 274,1 Deposit Facility 118,3 81,6 121,1 123,5 125,3 98,5 127,2 112,3 134,6 104,5 Term Deposit 88,7 180,9 51, ,2 SDBI ,5 23,3 102,3 62,4 39,9 66,5 47,0 SBI + SBIS 89,9 79,4 82,1 89,6 98,6 87,0 72,7 31,1 78,8 103,9 Reverse Repo SUN 60,3 81,4 73,5 74,6 74,4 88,6 64,1 5,7 11,0 23,6 SBN 286,0 282,0 298,0 316,0 338,0 374,0 346,7 350,0 361,5 399,5 Sumber:, OJK 37

68 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Risiko di pasar keuangan domestik pada semester II 2016 mengalami peningkatan meski relatif terbatas jika dibandingkan dengan semester sebelumnya. Peningkatan volatilitas yang diikuti dengan penurunan harga aset selama semester II 2016 hanya terjadi di pasar obligasi negara dan obligasi korporasi. Dari sisi pasar saham, ditengah peningkatan volatilitas pada akhir tahun 2016 atau pasca terpilihnya Trump sebagai presiden AS, harga aset masih tumbuh meskipun dengan peningkatan yang terbatas. Harga aset di pasar saham dan obligasi sempat mencapai titik tertinggi pada November 2016, namun tertahan menjelang akhir Sementara itu, peningkatan volatilitas di PUAB lebih disebabkan penurunan suku bunga acuan. Selanjutnya, meskipun tekanan di pasar obligasi dan saham berpengaruh terhadap kinerja pasar reksadana, namun demikian pasar reksadana masih menunjukkan peningkatan NAB sejalan dengan naiknya net pembelian unit reksadana. Tetap meningkatnya sejumlah harga aset ditengah peningkatan risiko tidak terlepas dari sentimen positif perekonomian domestik seperti penerimaan tax amnesty, kebijakan pemerintah/otoritas yang pro-growth, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara di kawasan, inflasi dan nilai tukar yang stabil, serta tren menurunnya 7 days repo rate. Disisi lain, meningkatnya ketidakpastian perekonomian global yang dipicu oleh sentimen negatif hasil pemilihan presiden Amerika ditambah dengan spekulasi mengenai kenaikan FFR pada akhir semester II 2016, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi tiga negara besar yaitu Amerika Serikat, Tiongkok dan Jepang, menjadi sentimen negatif yang menahan laju peningkatan harga aset pada akhir Meski menghadapi tekanan yang berasal dari sentimen global, secara keseluruhan pasar keuangan domestik masih mencatatkan aliran masuk dana asing (capital inflow). Selama paruh pertama semester II 2016, nilai tukar rupiah bergerak menguat terhadap USD yang mencapai puncaknya pada akhir September 2016 hingga menyentuh level di bawah Rp per dolar AS. Rupiah kembali melemah menjelang akhir semester II 2016, namun pelemahan tersebut tidak diiringi dengan peningkatan volatilitas. Sementara itu, pasar saham dan obligasi negara mencatatkan capital inflow masing-masing sebesar Rp2,69 triliun dan Rp21,87 triliun. Mencermati perkembangan sepanjang 2016 terutama diparuh kedua, pada tahun 2017, pasar keuangan diperkirakan akan menghadapi beberapa tantangan terutama yang berasal dari sisi eksternal. Tantangan eksternal dari sisi sektor keuangan adalah akan segera berakhirnya kebijakan suku bunga rendah yang diterapkan The Fed sejak krisis global 2008 yang selama beberapa tahun terakhir telah mendorong tren dana murah. Perubahan tersebut seiring kebijakan The Fed yang akan lebih agresif dalam menaikan suku bunga sebagai respon program pembangunan infrastruktur yang menjadi fokus kebijakan pemerintahan Amerika yang baru. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan rebalancing portfolio di pasar global yang akan juga berdampak terhadap pasar keuangan Indonesia. Tantangan eksternal dari sisi sektor riil akan datang dari rencana penerapan kebijakan proteksi oleh pemerintah Amerika khususnya di bidang perdagangan. Kebijakan 38

69 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan tersebut diperkirakan akan berdampak terhadap permintaan komoditas ekspor Indonesia. Menyikapi perkembangan tersebut, Pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan yang diharapkan dapat memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Beberapa kebijakan tersebut antara lain berupa program Sejuta Rumah Untuk Rakyat, penyaluran dana repatriasi dari tax amnesty ke sektor properti, serta penurunan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan menjadi 2,5%. Selain itu, Pemerintah juga meluncurkan Paket Ekonomi Jilid XII dengan fokus pada peningkatan ease of doing business untuk UKM Pasar Uang Risiko di pasar uang, baik di uncollateral market maupun collateral market pada semester II 2016 masih terjaga. Penurunan terbatas volume transaksi PUAB dan bertambahnya volume transaksi Repo mengindikasikan masih memadainya kondisi likuiditas perbankan. Meskipun volatilitas suku bunga PUAB mengalami kenaikan, hal ini lebih disebabkan faktor penurunan suku bunga acuan BI dan bukan disebabkan memburuknya kondisi likuiditas perbankan. Sejalan dengan turunnya suku bunga di PUAB, suku bunga transaksi Repo juga terpantau turun Pasar Uang Antar Bank (PUAB) Meskipun volatilitas suku bunga PUAB mengalami peningkatan, risiko di PUAB rupiah cenderung menurun sebagaimana tercermin dari penurunan rata-rata tertimbang (RRT) harian suku bunga PUAB rupiah overnight menjadi sebesar 4,54%, menurun jika dibandingkan semester I 2016 sebesar 5,08%. Seiring dengan penurunan tersebut, RRT harian suku bunga semua tenor juga menurun dari 5,30% menjadi 4,87%. Demikian pula jika dibandingkan dengan semester II 2015 yang mencatatkan rata-rata tertimbang suku bunga overnight sebesar 6,02% dan untuk semua tenor sebesar 6,21%. Kenaikan volatilitas suku bunga yang terjadi pada akhir triwulan III 2016 dan awal triwulan IV 2016 lebih disebabkan dampak penurunan suku bunga kebijakan yang dilakukan. Grafik 2.7. Volatilitas Pasar Keuangan PUAB Rp Rp Triliun 150 Grafik 2.8. Aliran Dana Asing di Saham, SBN, dan SBI Reksadana Nilai Tukar Obligasi Kompromi SBN -50 SBI SBN Saham *) Semakin jauh dari titik pusat, semakin berisiko Saham Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sumber: Bloomberg, diolah Sumber: Bloomberg dan 39

70 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik 2.9. Suku Bunga PUAB Rupiah Overnight Grafik Volatilitas Suku Bunga PUAB Overnight % % Des 10 Apr 11 Agt 11 Des 11 Apr 12 Agt 12 Des 12 Apr 13 Agt 13 Des 13 Apr 14 Agt 14 Des 14 Apr 15 Agt 15 Des 15 Apr 16 Agt 16 Des 16 Suku Bunga Rata rata Tertimbang Suku Bunga Pinjam Tertinggi (%) Spread min max (skala kanan) Sumber: % % 600 7, Feb 15 Mar 15 Apr 15 Mei 15 Jun 15 Jul 15 Agu 15 Sep 15 Okt 15 Nov 15 Des 15 Jan 16 Feb 16 Mar 16 Apr 16 Sumber: Mei 16 Jun 16 Jul 16 Agu 16 Volatilitas PUAB Rupiah Rata-rata Tertimbang Pinjam (skala kanan) Sep 16 Okt 16 Nov 16 Des 16 7,0 6,5 6,0 5,5 5,0 4,5 4,0 3,5 3,0 Dari sisi volume transaksi, volume transaksi PUAB selama semester II 2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan semester I Rata-rata harian volume transaksi PUAB rupiah overnight turun dari Rp15,15 triliun menjadi Rp13,33 triliun. Demikian juga rata-rata harian volume PUAB non overnight juga mengalami penurunan dari Rp9,62 triliun menjadi Rp8,68 triliun. Volume transaksi PUAB pada semester I yang tercatat lebih tinggi dibandingkan semester II 2016 lebih dipengaruhi oleh pola musiman yaitu aktivitas ekonomi masyarakat yang cenderung lebih tinggi di semester I dikarenakan perayaan hari besar keagamaan (Lebaran) dan libur sekolah. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan likuiditas jangka pendek bank dipenuhi melalui PUAB. Berdasarkan pola transaksi, terjadi sedikit perubahan pola transaksi yang dilakukan oleh pelaku di PUAB rupiah khususnya pada kelompok bank BUKU 2. Jika sebelumnya kelompok bank BUKU 2 adalah pihak pemberi (net lender), maka pada semester II 2016 menjadi pihak peminjam (net borrower). Sementara itu, pola transaksi kelompok bank BUKU lainnya tidak mengalami perubahan. Kelompok bank BUKU 4 dan BUKU 1 cenderung berperan sebagai pemberi dana dan kelompok bank BUKU 3 sebagai peminjam dana. Dari Grafik Perkembangan PUAB Rupiah % Rp Triliun 8,0 35 7,0 30 6,0 25 5,0 20 4,0 15 3,0 10 2,0 1,0 5 - Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Vol. Rata-rata Harian O/N (skala kanan) Vol. Rata-rata Harian Non O/N (skala kanan) Rata-rata Tertimbang Bunga All Rata-rata Tertimbang Bunga O/N Sumber: - Grafik Pola Transaksi PUAB Rupiah Rp T Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec BUKU 4 BUKU 3 BUKU 2 BUKU 1 Sumber: 40

71 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan sisi pangsa pasar, kelompok bank BUKU 3 merupakan kelompok bank yang mendominasi transaksi di PUAB dengan pangsa mencapai 48,12% dari total volume transaksi dan total frekuensi transaksi mencapai 43,56%. Berbeda dengan perkembangan suku bunga di PUAB rupiah, penurunan suku bunga tidak terjadi di PUAB valas. RRT harian suku bunga PUAB valas overnight dan rata-rata harian suku bunga PUAB valas semua tenor pada semester II 2016 mengalami kenaikan masing-masing menjadi sebesar 0,37% dan 0,39%, dibandingkan dengan semester I 2016 yang sebesar 0,28% dan 0,30%. Kenaikan suku bunga PUAB valas selain karena kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan valas menjelang akhir tahun, juga dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga operasi moneter (OM) valas. Meskipun suku bunga PUAB valas meningkat, spread antara suku bunga maksimum dan minimum maupun volatilitas suku bunga PUAB menurun, hal tersebut mengindikasikan bahwa risiko di PUAB valas masih terjaga. Rata-rata spread tercatat sebesar 16,57 bps, turun dibandingkan dengan semester sebelumnya 19,65 bps. Sementara itu, ratarata volatilitas suku bunga PUAB valas tercatat sebesar 91,28%, lebih rendah dibandingkan dengan semester sebelumnya 120,78%. Grafik Perkembangan PUAB Valas % Rp Triliun 0, , , , % 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 Grafik Suku Bunga PUAB Valas O/N Spread min max (skala kanan) Sk. Bunga Pinjam Tertinggi Sk. Bunga RRT 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0, , Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Vol. Rata-rata Harian O/N (skala kanan) Vol. Rata-rata Harian Non O/N (skala kanan) Rata-rata Tertimbang Bunga All Rata-rata Tertimbang Bunga O/N Sumber: 0,30 0,15 0,20 0,1 0,10 0,05 0,00 0 Des-10 Apr-11 Agt-11 Des-11 Apr-12 Agt-12 Des-12 Apr-13 Agt-13 Des-13 Apr-14 Agt-14 Des-14 Apr-15 Agt-15 Des-15 Apr-16 Agt-16 Des-16 Sumber: Dari sisi volume, transaksi PUAB valas tenor overnight mengalami penurunan namun transaksi pada tenor lainnya mengalami kenaikan. Selama semester II 2016, rata-rata harian volume transaksi PUAB valas overnight tercatat sebesar USD491,39 juta, menurun dibandingkan dengan semester sebelumnya USD537,38 juta. Adapun rata-rata harian volume transaksi PUAB valas selain overnight naik dari USD40,88 juta menjadi USD59,22 juta. Dari sisi perilaku kelompok bank, sejak dua tahun terakhir kelompok bank BUKU 4 masih menjadi bank peminjam setelah pada tahun-tahun sebelumnya cenderung sebagai bank pemberi. Sebaliknya, dalam kurun waktu yang sama, perilaku bank BUKU 3 berubah dari bank peminjam menjadi bank pemberi. 41

72 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 % Feb 15 Grafik Volatilitas Suku Bunga PUAB Valas Apr 15 Jun 15 Agu 15 Okt 15 Des 15 Feb 16 Apr 16 Jun 16 Agu 16 Okt 16 Des 16 Volatilitas PUAB USD RRT Pinjam (skala kanan) % 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 Grafik Perilaku Transaksi PUAB Valas USD Triliun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Dec BUKU 4 BUKU 3 BUKU 2 BUKU 1 Sumber: Sumber: Pasar Repo Antar Bank 1 Transaksi Repurchase Agreement (Repo) adalah bentuk transaksi pinjam meminjam dana yang memiliki fungsi yang sama dengan transaksi PUAB. Repo didefinisikan sebagai kontrak jual atau beli surat berharga dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang disepakati para pihak. Berbeda dengan PUAB yang bersifat uncollateralized, transaksi Repo bersifat collaterlized, karena menggunakan surat berharga sebagai jaminan underlying transaksi. Karenanya, transaksi Repo lebih resilien terhadap dampak gejolak perekonomian (shock), dibandingkan transaksi PUAB karena pihak yang meminjamkan dana memperoleh jaminan surat berharga sebagai underlying asset transaksi Repo. Sifat Repo yang memiliki jaminan underlying asset (collateralized) tersebut menjadikan risiko counterpart transaksi ini menjadi minimal, sekalipun dalam masa krisis atau volatilitas yang tinggi. Selain lebih resilien terhadap volatilitas perekonomian, pengembangan transaksi Repo antar bank juga sejalan dengan kebijakan yang menggunakan 7days reverse repo sebagai suku bunga acuan. Pasca kewajiban penggunaan GMRA sebagai perjanjian standar transaksi repo domestik sebagaimana diatur dalam POJK No. 09/POJK.04/2015 tentang Pedoman Transaksi Repurchase Agreement, transaksi Repo antar bank sempat turun. Hal ini dikarenakan perbankan memerlukan waktu untuk penyesuaian dan perlu menegosiasikan kembali materi perjanjian dengan bank counterpart yang tertuang dalam lampiran (Annex-1) perjanjian GMRA tersebut. Untuk memitigasi kondisi turunnya volume pasar Repo tersebut, bersama dengan OJK melakukan berbagai upaya edukasi dan sosialisasi penggunaan standar perjanjian GMRA kepada perbankan. Melalui kegiatan yang intensif dan berkelanjutan, bank yang mengadopsi perjanjian GMRA terus bertambah. Dibandingkan dengan awal tahun 2016, bank yang telah mengadopsi dan memiliki counterpart Repo GMRA meningkat dari 4 bank menjadi 74 bank, sementara bank yang telah bertransaksi Repo meningkat dari 4 bank menjadi 44 bank. Dengan perkembangan pelaku 1 Repurchase Agreement (Repo) adalah perjanjian untuk menjual dan membeli kembali surat berharga pada tanggal dan harga yang telah ditetapkan. Secara umum pasar Repo terdiri dari Repo antar bank dan Repo kepada melalui Lending Facility. 42

73 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan pasar tersebut, rata-rata harian volume transaksi Repo semua tenor meningkat lebih dari dua kali lipat, yaitu dari Rp412 miliar pada semester I 2016 menjadi Rp1.064 miliar pada semester II Grafik Transaksi Lending Facility Rp Triliun % 12,0 8,5 8,0 10,0 7,5 8,0 7,0 Sejalan dengan penurunan suku bunga PUAB pada semester II 2016, suku bunga Repo antarbank juga mengalami penurunan dibandingkan semester sebelumnya. Rata-rata harian suku bunga Repo antarbank untuk semua tenor menurun dari kisaran 5,28% - 6,50% menjadi 4,96% - 5,69%. 6,0 4,0 2, Volume Total Bunga LF (skala kanan) Sumber: 6,5 6,0 5,5 5,0 4,5 4,0 Grafik Transaksi Repo Antar Bank Rp miliar % , , , , , , , ,0 Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des PRH (Semua Tenor) Repo Rate (Skala Kanan) Sumber: Selain pengelolaan likuiditas melalui pasar Repo antarbank, perbankan juga dapat melakukan transaksi Repo dengan. Pada semester laporan, transaksi Repo antara bank dengan menunjukkan peningkatan yang tercermin dari peningkatan total volume transaksi Lending Facility (LF) dari Rp2,6 triliun pada semester I 2016 menjadi Rp2,69 triliun pada semester II Lebih tingginya volume LF di semester II 2016 dibanding semester I 2016 dipengaruhi oleh adanya mismatch kebutuhan likuiditas jangka pendek Pasar Valas Risiko di pasar valas pada semester II 2016 cenderung turun yang tercermin dari menurunnya rata-rata volatilitas nilai tukar Rupiah terhadap USD dari 9,54% pada semester I 2016 menjadi 6,81% pada semester II 2016 dan relatif stabilnya premi risiko. Sementara itu, pelemahan kurs rupiah dari Rp per Dolar AS di akhir semester I 2016 menjadi Rp per Dolar AS di akhir semester II 2016 dipengaruhi oleh faktor seasonal adanya peningkatan permintaan terhadap Dolar AS pada akhir tahun disamping pengaruh sentimen hasil pemilihan presiden Amerika Serikat dan spekulasi terhadap kenaikan FFR. Grafik Perkembangan Nilai Tukar Rupiah % 90 Apr-11 Jun-11 Aug-11 Oct-11 Dec-11 Feb-12 Apr-12 Jun-12 Aug-12 Oct-12 Dec-12 Feb-13 Apr-13 Jun-13 Aug-13 Oct-13 Dec-13 Feb-14 Apr-14 Jun-14 Aug-14 Oct-14 Dec-14 Feb-15 Apr-15 Jun-15 Aug-15 Oct-15 Dec-15 Feb-16 Apr-16 Jun-16 Aug-16 Oct-16 Dec-16 Volatilitas Kurs (skala kanan) Sumber: Bloomberg, diolah

74 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik Premi Risiko Pasar Valas Grafik Volatilitas Rupiah Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 Mei-15 Jun-15 Jul-15 Agt-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des % Jun-08 Sep-08 Des-08 Mar-09 Jun-09 Sep-09 Des-09 Mar-10 Jun-10 Sep-10 Des-10 Mar-11 Jun-11 Sep-11 Des-11 Mar-12 Jun-12 Sep-12 Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des Jan 26-Jan 20-Feb 16-Mar 10-Apr 5-Mei 30-Mei 24-Jun 19-Jul 13-Agt 7-Sep 2-Okt 27-Okt 21-Nov 16-Des NDF 1B (skala kanan) Spread NDF-FWD RRH 20D Spread Sumber: Sumber: Bloomberg, diolah Berbeda dengan cenderung turunnya rata-rata volatilitas nilai tukar Rupiah, spread transaksi NDF terhadap forward domestik cenderung meningkat. Peningkatan spread ini bersifat sementara yang dipicu oleh sentimen terpilihnya Trump, namun spread kembali turun pada akhir tahun Pada semester II 2016, rata-rata spread transaksi NDF terhadap forward domestik 1 bulan tercatat sebesar 9,33 poin, naik dibandingkan semester sebelumnya minus 10,09 poin. Sementara itu, di sejumlah negara kawasan spread transaksi NDF terhadap forward domestik bervariasi, hal tersebut menunjukkan persepsi investor asing yang beragam terhadap nilai tukar negara kawasan. Transaksi di pasar valas domestik masih di dominasi oleh transaksi spot yang mencapai 63,42% dari total transaksi. Sementara itu, pangsa transaksi derivatif dalam bentuk swap dan forward masing-masing tercatat sebesar 30,63% dan 5,95%. Porsi transaksi swap dan forward tersebut menurun dibandingkan dengan semester sebelumnya yakni sebesar 31,52% dan 5,58%. Masih rendahnya komposisi transaksi swap dan forward disebabkan oleh rendahnya permintaan dari pelaku bisnis dan relatif tingginya biaya premi transaksi derivatif. Tabel 2.4. Perbandingan rata-rata Spread NDF Negara Kawasan Grafik Komposisi Pasar Valas Domestik Poin Negara Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Thailand 0,01 0,02 0,04 0,06 (0,00) (0,01) Malaysia (0,00) 0,00 (0,00) (0,00) (0,01) 0,00 Filipina (0,01) 0,01 (0,02) 0,05 0,04 0,09 India (0,12) (0,11) (0,08) (0,05) (0,04) (0,05) Indonesia (54,18) 14,20 25,77 41,45 (10,09) 9,33 USD Miliar Spot Swap Forward Option Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Sumber: Bloomberg Sumber: 44

75 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Pasar Obligasi Pasar Surat Berharga Negara (SBN) Pada semester II 2016, kondisi di pasar SBN relatif tertekan dipengaruhi oleh sejumlah sentimen negatif dari eksternal terutama kekhawatiran terhadap kebijakan ekonomi yang akan dikeluarkan pemerintahan baru Amerika Serikat seperti proteksi perdagangan, pemangkasan pajak, repatriasi pajak korporasi, serta kenaikan FFR menjelang akhir semester II Tekanan di pasar SBN, yang terefleksi dari penurunan harga dan meningkatnya yield SBN, berdampak pada posisi investor asing di pasar SBN. Kepemilikan SBN oleh investor asing selama semester II 2016 tercatat sebesar Rp21,87 triliun atau secara persentase porsi kepemilikan SBN oleh investor asing sedikit turun dari 39,10% menjadi 37,55% dari total volume SBN yang beredar. Namun demikian, penurunan ini lebih rendah dibandingkan penurunan pada semester sebelumnya yang sebesar Rp85,47 triliun atau turun mencapai 15,30% dari nilai nominal semester II Imbal hasil SBN pemerintah Indonesia yang relatif tinggi dibandingkan imbal hasil instrumen sejenis dari negara berkembang lainnya menjadi faktor penyeimbang bagi investor asing untuk mempertahankan kepemilikan SBN Indonesia. Sementara itu, kepemilikan SBN oleh investor domestik khususnya bank, asuransi, dan dana pensiun meningkat. Peningkatan kepemilikan oleh asuransi dan dana pensiun dipengaruhi salah satunya oleh penerapan ketentuan OJK 2 yang mewajibkan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) untuk memenuhi sejumlah persentase tertentu dari total investasinya dalam bentuk SBN. Meskipun kepemilikan SBN oleh LKBB cenderung meningkat, kepemilikan SBN oleh investor domestik masih didominasi oleh perbankan. Pada akhir semester II 2016, perbankan menguasai 22,53% dari total SBN yang beredar, meningkat dari 21,95% pada semester sebelumnya. Begitu juga dengan kepemilikan SBN oleh investor LKBB seperti asuransi dan dana pensiun yang mengalami peningkatan baik secara nominal maupun persentase. Dibandingkan semester sebelumnya, persentase kepemilikan SBN oleh asuransi dan dana pensiun meningkat menjadi 13,44% dan 4,92%. Pemillik Tabel 2.5. Komposisi Kepemilikan SBN Sem II-I Sem - I Sem - II Sem - I Sem - II Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Nominal (Rp T) Pangsa Pangsa Pangsa Pangsa (Rp T) (Rp T) (Rp T) (Rp T) Bank 369,11 27,21% 350,07 23,95% 361,54 21,95% 399,46 22,53% 37,92 9,49% Bank Sentral 80,58 5,94% 148,91 10,19% 150,13 9,12% 134,25 7,57% (15,88) -11,83% Reksadana 56,28 4,15% 61,60 4,21% 76,44 4,64% 85,66 4,83% 9,22 10,77% Asuransi 161,81 11,93% 171,62 11,74% 214,47 13,02% 238,24 13,44% 23,77 9,98% Asing 537,53 39,63% 558,52 38,21% 643,99 39,10% 665,81 37,55% 21,82 3,28% Dapen 46,32 3,42% 49,83 3,41% 64,67 3,93% 87,28 4,92% 22,61 25,91% Individu 0,03 0,00% 42,53 2,91% 48,90 2,97% 57,75 3,26% 8,85 15,33% Lainnya 104,02 7,67% 78,50 5,37% 86,72 5,27% 104,80 5,91% 18,08 17,25% Pangsa Sumber: CEIC 2 POJK No.1/POJK.05/2016 tanggal 11 Januari 2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank 45

76 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik Komposisi Kepemilikan SBN Grafik Net Flow Asing di SBN dan IDMA Rp T 1800 Bank Bank Sentral Reksadana 1600 Asuransi Asing Dapen Individu Des-12 Jun-13 Des-13 Jun-14 Des-14 Jun-15 Des-15 Jun-16 Des-16 Rp T SBN IDMA (skala kanan) Sem 1 Sem 2 Sem 1 Sem 2 Sem 1 Sem Sumber: CEIC Sumber: Selama semester II 2016, harga SBN mengalami penurunan tercermin dari penurunan Indeks Inter Dealer Market Association (IDMA) dari 101,77 menjadi 99,09 atau turun sebesar 2,63% dibandingkan semester I Penurunan harga SBN tersebut diikuti dengan kenaikan yield SBN terutama untuk tenor 10 tahun yang meningkat sebesar 50 bps menjadi 7,91%. Peningkatan yield juga diikuti dengan peningkatan rata-rata volatilitas menjadi sebesar 15,33% dari periode sebelumnya yang sebesar 9,81%. Secara keseluruhan, yield untuk semua tenor SBN mengalami kenaikan dengan peningkatan terbesar terjadi pada tenor pendek. Hal ini mengindikasikan persepsi investor yang memandang bahwa sentimen terpilihnya Trump dan kenaikan FFR masih akan mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia dalam jangka pendek. Selain itu, kenaikan yield dan volatilitas SBN juga sejalan dengan kenaikan yield obligasi negara di beberapa negara tetangga yang terdampak oleh sentimen eksternal. Meningkatnya risiko di pasar SBN menyebabkan volume perdagangan di pasar SBN juga mengalami penurunan tercermin dari penurunan rasio turnover perdagangan dari 19,91% pada semester I 2016 menjadi 14,30% pada posisi Oktober Grafik Yield curve SBN Grafik Rebased Yield SBN per Tenor % Des-15 Jun-15 Des rebased 1/1/2013 Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang Jk. Pendek : 1-5 tahun Jk. Menengah : 6-10 tahun Jk. Panjang : tahun Jan-14 Feb-14 Mar-14 Apr-14 Mei-14 Jun-14 Jul-14 Agt-14 Sep-14 Okt-14 Nov-14 Des-14 Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 Mei-15 Jun-15 Jul-15 Agt-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Sumber: Bloomberg, diolah Sumber: Bloomberg, diolah 46

77 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Grafik Volatilitas Yield SBN Per Tenor % Jangka Pendek Jangka Panjang Jangka Menengah Rata Rata 3 Bulan Feb-13 Apr-13 Jun-13 Agt-13 Okt-13 Des-13 Feb-14 Apr-14 Jun-14 Agt-14 Okt-14 Des-14 Feb-15 Apr-15 Jun-15 Agt-15 Okt-15 Des-15 Feb-16 Apr-16 Jun-16 Agt-16 Okt-16 Des-16 Sumber: Bloomberg, diolah Seiring dengan peningkatan penerbitan SBN yang dilakukan pemerintah, rasio SBN terhadap PDB Indonesia juga mengalami peningkatan yaitu pada September 2016 tercatat sebesar 54,4%, lebih tinggi dibandingkan semester sebelumnya yang sebesar 52%. Namun demikian, rasio SBN terhadap PDB Indonesia masih menjadi yang terendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga dimana Thailand memiliki rasio tertinggi diikuti oleh Filipina dan Malaysia. Grafik Turnover Transaksi SBN dan Obligasi Korporasi (data msh s.d. Okt 16) Grafik Rasio SBN per GDP (data GDP 4 negara s.d. Tw.III 2016) % turnover SBN turnover Corp. Bond Jul-09 Okt-09 Jan-10 Apr-10 Jul-10 Okt-10 Jan-11 Apr-11 Jul-11 Okt-11 Jan-12 Apr-12 Jul-12 Okt-12 Jan-13 Apr-13 Jul-13 Okt-13 Jan-14 Apr-14 Jul-14 Okt-14 Jan-15 Apr-15 Jul-15 Okt-15 Jan-16 Apr-16 Jul-16 Okt-16 Turnover = volume Obligasi diperdagangkan/outstanding Obligasi 20 Indonesia Malaysia Thailand Filipina 0 Sep-11 Des-11 Mar-12 Jun-12 Sep-12 Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des-16 Sumber: CEIC, diolah Sumber: CEIC, diolah Grafik Rebased Yield SBN 10 th Emerging Market 150 rebased 1/1/ Indonesia Malaysia India Philippines Thailand Jul-14 Agt-14 Sep-14 Okt-14 Nov-14 Des-14 Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 Mei-15 Jun-15 Jul-15 Agt-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Sumber: Bloomberg 47

78 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Tabel 2.6. Yield SBN 10 Tahun Kawasan (%) Tabel 2.7. Volatilitas Yield SBN 10 Tahun di Negara Kawasan (%) INDO INDI THAI MALY FILIP Jun-15 8,26 8,09 2,62 3,82 3,68 Jul-15 8,42 8,06 2,50 3,88 3,76 Agt-15 8,50 8,02 2,52 4,32 3,67 Sep-15 9,51 7,82 2,53 4,10 3,76 Oct-15 8,67 7,80 2,46 4,05 3,80 Nov-15 8,43 7,89 2,39 4,00 4,16 Dec-15 8,75 7,86 2,25 3,89 4,27 Jan-16 8,18 7,74 1,99 3,62 3,96 Feb-16 7,91 7,85 1,75 3,63 3,84 Mar-16 7,37 7,76 1,46 3,56 3,70 Apr-16 7,37 7,57 1,59 3,65 3,54 May-16 7,51 7,58 2,08 3,66 3,48 Jun-16 7,26 7,49 1,74 3,43 3,33 Jul-16 6,72 7,15 1,73 3,26 2,87 Aug-16 6,77 7,06 1,83 3,20 3,01 Sep-16 6,79 6,88 1,79 3,28 3,16 Oct-16 6,93 6,77 1,87 3,37 3,56 Nov-16 7,92 6,24 2,02 4,33 4,22 Dec-16 7,50 6,62 2,14 3,72 4,27 Sumber: Bloomberg, diolah INDO INDI THAI MALY FILIP Jun-15 18,11 6,56 25,71 27,06 29,16 Jul-15 10,76 4,36 13,12 21,74 33,09 Aug-15 13,43 5,55 21,62 27,22 31,42 Sep-15 13,61 6,73 23,26 22,64 137,68 Oct-15 22,25 4,51 20,11 13,37 24,42 Nov-15 7,81 3,66 19,32 20,36 14,63 Dec-15 15,45 3,47 8,57 13,14 44,29 Jan-16 12,20 2,57 24,13 12,62 20,61 Feb-16 7,56 5,66 41,71 11,86 31,95 Mar-16 14,42 4,57 21,01 8,37 26,02 Apr-16 6,76 6,62 31,36 10,86 20,09 May-16 8,13 1,81 45,47 28,62 11,25 Jun-16 9,79 2,69 46,81 7,38 22,05 Jul-16 12,50 6,49 21,88 25,72 65,48 Aug-16 10,21 3,20 16,27 10,27 32,05 Sep-16 9,24 6,43 23,47 11,97 13,50 Oct-16 9,00 2,54 23,89 14,82 17,27 Nov-16 29,95 14,95 22,90 46,69 18,69 Dec-16 21,04 14,98 20,98 33,67 21,26 Sumber: Bloomberg, diolah Pasar Obligasi Korporasi Sejalan dengan perkembangan risiko di pasar SBN, risiko di pasar obligasi korporasi juga meningkat sebagaimana tercermin dari kenaikan yield dan volatilitas obligasi korporasi. Selain terdampak oleh koreksi harga SBN, pelemahan kinerja korporasi domestik juga menyebabkan investor meminta yield yang lebih tinggi. Selama semester II 2016, yield obligasi korporasi untuk semua peringkat mengalami kenaikan dibandingkan semester sebelumnya. Ratarata volatilitas yield obligasi korporasi semua tenor juga meningkat dari 6,10% menjadi 7,89%. Sementara itu, outstanding obligasi korporasi pada akhir semester II 2016 naik sebesar Rp34,79 triliun dari posisi semester sebelumnya menjadi sebesar Tabel 2.8. Kepemilikan Obligasi Korporasi Rp Trliun Jenis Pemilik Sem I Sem II Sem I Sem II Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Korporasi 10,57 4,55% 9,37 3,86% 9,39 3,60% 7,89 3,25% Individu 6,28 2,71% 6,32 2,61% 6,54 2,51% 8,96 3,69% Reksadana 48,49 20,89% 54,38 22,43% 63,82 24,45% 78,72 32,47% Sekuritas 0,92 0,40% 0,68 0,28% 0,84 0,32% 0,42 0,17% Asuransi 34,22 14,75% 36,66 15,12% 41,58 15,93% 55,22 22,78% Dana Pensiun 65,17 28,08% 68,92 28,43% 68,80 26,36% 71,16 29,35% Perusahaan Finansial 49,11 21,16% 54,07 22,30% 56,68 21,72% 65,38 26,97% Yayasan 1,38 0,59% 3,06 1,26% 3,55 1,36% 3,76 1,55% Lainnya 10,34 4,46% 8,98 3,70% 9,80 3,76% 11,42 4,71% TOTAL 232,07 242,44 261,00 302,92 Sumber: Laporan OJK, diolah 48

79 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Rp302,09 triliun. Dari jumlah tersebut, nilai obligasi korporasi yang dimiliki pihak asing meningkat sebesar Rp1,13 triliun menjadi Rp19,34 triliun, atau tumbuh 6,22%. Meski secara nominal meningkat, namun porsi kepemilikan obligasi korporasi oleh investor asing mengalami penurunan dari 6,81% menjadi 6,40%. Jika dilihat berdasarkan kelompok pemilik, tidak terdapat perubahan pangsa kepemilikan obligasi korporasi yang signifikan untuk masing-masing kelompok. Kepemilikan terbesar masih dikuasai oleh reksadana, dana pensiun, dan perusahaan finansial. Selama periode laporan, kepemilikan obligasi korporasi oleh ketiga kelompok tersebut mengalami peningkatan dengan kepemilikan oleh reksadana dan dana pensiun masing-masing sebesar 32,47% dan 29,35%. Grafik Net Flow Asing di Obligasi Korporasi dan Outstanding Kepemilikannya Grafik Yield Curve Obligasi Korporasi Rp T Rp T % (2) (4) (6) Net Flow Outstanding Kepemilikan Asing (skala kanan) Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II AAA Jun 16 A Jun 16 BBB Jun 16 AAA Des 16 A Des 16 BBB Des Sumber: CEIC, diolah Sumber: CEIC % Jun-15 Jul-15 Agt-15 Sep-15 Grafik Volatilitas Yield Obligasi Korporasi per Tenor Okt-15 Nov-15 Jangka Pendek Jangka Panjang Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jangka Menengah Rata-rata 3 Bulan Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Grafik Emisi Obligasi Korporasi per Sektor Rp Triliun 70 Properti Pertambangan Perdagangan 60 Konsumsi Aneka Industri Infrastruktur Financial Ind. Dasar Agrikultur Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sumber: Bloomberg, diolah Sumber: Laporan OJK, diolah Pasar Saham Risiko di pasar saham selama semester II 2016 mengalami peningkatan meski relatif terbatas. Volatilitas di pasar saham mengalami peningkatan dibandingkan periode sebelumnya, baik secara agregat maupun sektoral. Namun demikian, IHSG masih mencatatkan pertumbuhan meskipun lebih rendah dibandingkan semester sebelumnya. Di penghujung 2016, IHSG menguat sebesar 5,58% menjadi 5.296,7, namun penguatan tersebut masih lebih rendah dibandingkan penguatan yang terjadi selama semester I 2016 yaitu sebesar 9,22%. 49

80 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Pelemahan bursa saham juga dialami oleh beberapa negara di kawasan sebagaimana dialami oleh India, Malaysia, dan Filipina. Pelemahan bursa saham di kawasan tersebut terutama dipengaruhi oleh sentimen pemilihan presiden Amerika. Kekhawatiran terhadap prospek perekonomian global menyusul potensi perubahan platform ekonomi pemerintahan baru Amerika Serikat mendorong investor melakukan penyesuaian portofolio yang menyebabkan naiknya rata-rata volatilitas pasar saham pada semester II Selama periode laporan, investor asing masih melakukan pembelian saham sehingga aliran masuk dana asing tercatat mencapai Rp2,69 triliun. Sementara itu, jika dilihat per unit saham secara neto, terjadi penurunan kepemilikan investor asing sebanyak 20,65 miliar unit. Penurunan kepemilikan terbesar terjadi di sektor pertambangan sebesar 38,16 miliar unit. Dari sisi sektoral, volatilitas harga saham di sektor Aneka Industri dan sektor Pertambangan cenderung lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Tingginya volatilitas di sektor Aneka Industri disebabkan pergerakan harga saham Astra yang menguasai hampir 85% kapitalisasi sektor Aneka Industri. Sementara itu, tingginya volatilitas sektor Pertambangan dipengaruhi oleh naiknya harga komoditas terutama batubara sehingga memicu harga saham sejumlah emiten sektor pertambangan mengalami kenaikan harga saham yang signifikan. Grafik Perkembangan Indeks Harga Saham Grafik Perkembangan Volatilitas Harga Saham 140 Rebased Indonesia Thailand Malaysia Filipina 80 Agt-13 Okt-13 Des-13 Feb-14 Apr-14 Jun-14 Agt-14 Okt-14 Des-14 Feb-15 Apr-15 Jun-15 Agt-15 Okt-15 Des-15 Feb-16 Apr-16 Jun-16 Agt-16 Okt-16 Des-16 % 45 Down Jones MSCI Euro MSCI Asia Indonesia Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Sumber: Bloomberg, diolah Sumber: Bloomberg, diolah Grafik Arus Masuk Dana Asing di Pasar Saham Kawasan Grafik Net Beli/Jual Asing di Pasar Saham & Level IHSG India Indonesia Filipina Thailand Feb Apr Jun Agt Okt Des Feb Apr Jun Agt Okt Des Feb Apr Jun Agt Okt Des Feb Apr Jun Agt Okt Des Feb Apr Jun Agt Okt Des Feb Apr Jun Agt Okt Des Sumber: Bloomberg, diolah Rp Triliun Sem I Sem II Sumber: Bloomberg, diolah Sem I Sem II Sem I Sem II

81 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Tabel 2.9. Kepemilikan Saham oleh Asing per Unit Saham (Miliar Unit) Sektor Jun-15 Dec-15 Jun-16 Dec-16 Sem II'15 Sem I'16 Sem II'16 Finansial 240,20 241,78 245,91 234,46 1,58 4,13 (11,45) Konsumsi 38,54 38,55 72,75 73,43 0,01 34,20 0,68 Perdagangan 243,00 255,11 249,18 266,86 12,11 (5,94) 17,68 Infrastruktur 117,33 128,57 131,74 131,63 11,24 3,17 (0,11) Properti 159,48 158,19 170,29 184,52 (1,29) 12,09 14,24 Aneka Industri 36,02 36,39 35,68 34,71 0,37 (0,71) (0,97) Ind. Dasar 79,09 75,01 76,32 76,18 (4,07) 1,30 (0,14) Pertambangan 160,78 163,27 179,24 141,07 2,49 15,96 (38,16) Pertanian 42,25 43,97 43,55 41,14 1,72 (0,42) (2,41) Kepemilikan asing 1.116, , , ,00 24,15 63,79 (20,65) Sumber: Laporan OJK Tabel Volatilitas Indeks Sektoral (rata-rata semesteran) Sektor Sem 1 Sem 2 Sem 1 Sem 2 Sem 1 Sem 2 IHSG 14,56 10,79 11,41 19,53 11,84 13,84 Keuangan 19,51 13,52 14,00 25,38 15,76 15,16 Pertanian 18,50 16,38 21,78 24,57 19,82 14,42 Industri Dasar 21,21 16,17 16,22 31,85 16,79 17,65 Konsumsi 15,13 11,82 17,76 22,71 18,33 20,26 Properti 21,55 17,75 17,13 21,71 13,66 16,23 Pertambangan 15,95 15,49 13,25 18,09 18,95 21,92 Infrastruktur 16,72 12,33 12,20 19,55 16,60 18,19 Perdagangan 11,94 11,90 12,51 16,01 11,28 12,87 Aneka Industri 24,02 19,42 22,73 36,11 27,93 27,64 Sumber: Bloomberg, diolah Rata-rata harian volume transaksi saham selama semester II 2016 tercatat sebesar Rp7,7 triliun, meningkat dibandingkan dengan semester I 2016 sebesar Rp5,86 triliun. Turnover rasio transaksi di pasar saham juga menunjukkan peningkatan yang mengindikasikan kondisi pasar saham selama periode laporan lebih likuid dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari IHSG yang dipandang cukup prospektif seiring dengan sentimen positif kenaikan pendapatan mayoritas emiten. Baiknya kinerja emiten pasar saham tersebut sejalan pula dengan membaiknya fundamental ekonomi dalam negeri sehingga berpengaruh positif dalam meningkatkan volume transaksi pasar saham. 0.25% 0.20% 0.15% 0.10% 0.05% 0.00% Grafik Turnover Pasar Saham Jun-10 Sep-10 Des-10 Mar-11 Jun-11 Sep-11 Des-11 Mar-12 Jun-12 Sep-12 Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Rp T Sep-16 Des Transaction Turnover Daily Transaction Volume (skala kanan) Turnover = nilai transaksi harian/kapitalisasi pasar saham Sumber: Bloomberg, diolah 51

82 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Secara teknikal, pergerakan saham selama keseluruhan paruh kedua 2016 masih positif meskipun pergerakan saham sempat mengalami pelemahan dari November ke Desember. Pergerakan positif IHSG dipicu oleh peningkatan saham-saham blue chip yang tercermin dari penguatan indeks LQ45 sebesar 2,78% dari 860,72 selama semester I 2016 menjadi 884,62 selama semester II Naiknya indeks LQ45 antara lain dipengaruhi oleh menguatnya indeks sektor Aneka Industri, Konsumsi, dan Infrastruktur dimana penguatan indeks masing-masing sektor dipengaruhi utamanya oleh pergerakan saham Astra International, HM Sampoerna, dan Telkom. Saham ketiga emiten ini menguasai 31,7% dari kapitalisasi LQ45 dan 21,7% dari kapitalisasi IHSG. Grafik Kapitalisasi IHSG dan LQ45 Grafik Share Frekuensi Perdagangan IHSG Rp Triliun % % 70% % % % 50% % 0 40% Kap. IHSG Kap. LQ45 Share LQ45( skala Kanan) 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Jan-09 Jun-09 Nov-09 Apr-10 Sep-10 Feb-11 Jul-11 Des-11 LQ45 Mei-12 Okt-12 Mar-13 Agt-13 Jan-14 Jun-14 Non LQ45 Nov-14 Apr-15 Sep-15 Feb-16 Jul-16 Des-16 Sumber: Bloomberg, diolah Sumber: Bloomberg, diolah Reksadana 3 Selama semester II 2016, kinerja reksadana masih tumbuh positif ditengah pelemahan yang dialami oleh pasar SBN dan penguatan terbatas pada pasar saham. Masih meningkatnya net pembelian unit reksadana menjadikan Nilai Aktiva Bersih (NAB) di semester II 2016 masih tumbuh 6,97% meski lebih rendah dibandingkan dengan semester I 2016 yang tumbuh sebesar 13,78%. Perlambatan pertumbuhan NAB tersebut disebabkan oleh melemahnya harga underlying assets. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh dominasi reksadana berbasis saham yang menguasi 32,02% pangsa pasar reksadana ditengah kenaikan terbatas kinerja bursa saham sebagai dampak dari pengaruh tekanan isu eksternal. Secara nominal, jenis reksadana yang mengalami peningkatan NAB terbesar adalah reksadana pendapatan tetap dan reksadana terproteksi. Selama periode laporan, volatilitas NAB reksadana pendapatan tetap, reksadana campuran, dan reksadana saham mengalami peningkatan dimana peningkatan volatilitas NAB tertinggi terjadi pada reksadana campuran dan saham. 3 Reksadana adalah media dan pola pengelolaan dana/modal bagi sekumpulan investor untuk berinvestasi dalam instrumen-instrumen investasi yang tersedia di pasar dengan cara membeli unit penyertaan reksadana. 52

83 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Grafik Perkembangan Reksadana Grafik NAB Reksadana Berdasarkan Jenis Apr Jul Okt Jumlah RD (skala kanan) NAB (Rp T) UP beredar (jt) Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Rp T Jan Mar Mei Juli Sep Nov Jan Mar Mei Juli Sep Nov Jan Mar Mei Juli Sep Nov Jan Mar Mei Juli Sep Nov Des SAHAM PS UANG MIX FIX TEPROTEKSI lainnya Sumber: Laporan OJK Sumber: Laporan OJK Grafik Volatilitas NAB Reksadana per Jenis Grafik Growth Reksadana (yoy) Feb-15 Rd. Fix Income Rd. Campuran Rd. Saham Apr-15 Jun-15 Agt-15 Okt-15 Des-15 Feb-16 Apr-16 Jun-16 Agt-16 Okt-16 Des % Jan Mar NAB UP Beredar Jml RD Mei Juli Sep Nov Jan Mar Mei Juli Sep Nov Jan Mar Mei Juli Sep JCI IDMA Nov Des Sumber: Laporan OJK, berbagai periode Sumber: Laporan OJK, berbagai periode Dilihat dari jenis produk, mayoritas kinerja reksadana selama semester II 2016 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan semester I Hal ini dapat dilihat dari kuadran profil risiko yang menunjukkan bahwa mayoritas posisi excess return pada Desember 2016 (titik merah) lebih rendah dibandingkan dengan posisi Juni 2016 (titik hijau). Dari sisi risiko, volatilitas reksadana saham dan pendapatan tetap mengalami peningkatan selama semester II 2016 sejalan dengan peningkatan risiko underlying assets dari jenis reksadana tersebut. 53

84 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik Profil Risiko Produk Reksadana Reksa Dana Saham Reksa Dana Pendapatan Tetap Excess Return Jun 16 Des 15 Des 16 Excess Return Jun 16 Des 15 Des ,0-0,5-0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 Beta -15-2,5-1,5-0,5 0,5 1,5 2,5 Beta Reksa Dana Campuran Jun 16 Des 15 Des 16 2,0 1,0 0,0 Reksa Dana Pasar Uang Jun 16 Des 15 Des 16 Excess Return 5 - (5) (10) Excess Return -1,0-2,0-3,0 (15) (20) (25) ,0-5,0-0,5-0,3-0,1 0,1 0,3 0,5 Beta Beta Sumber: Bloomberg, diolah Pada semester II 2016, pertumbuhan reksadana open end dan close end tumbuh masing-masing sebesar 5,45% dan 20,60%, pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan semester I 2016 dimana reksadana open end tumbuh sebesar 9,26% dan reksadana close end sebesar 20,96%. Grafik NAB Reksadana Close End dan Open End Rp T Rp T Open End Close End (skala kanan) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Sumber: OJK *) NAB Reksadana Close End menggunakan proxy NAB Reksadana Terproteksi 54

85 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan 2.3. Asesmen Kondisi dan Risiko Pasar Keuangan Syariah Pasar Modal Syariah Sepanjang semester II 2016 kinerja pasar modal syariah membaik, tercermin dari pertumbuhan nilai kapitalisasi pasar dari Indeks Saham Syariah (ISSI), nilai outstanding sukuk negara dan korporasi, serta reksadana syariah. Kinerja positif tersebut merefleksikan perkembangan instrumen serta penetrasi sektor keuangan syariah terhadap sektor keuangan secara nasional. Sampai dengan Desember 2016, nilai kapitalisasi saham syariah telah mencapai Rp3.170 triliun. Sementara itu, outstanding sukuk negara dan sukuk korporasi masing-masing tercatat sebesar Rp413 triliun dan Rp12,3 triliun. Sementara, NAB reksadana syariah mencapai Rp14,9 triliun. Diantara instrumen pasar keuangan syariah, sukuk negara mencatat pertumbuhan tertinggi pada semester II 2016 yaitu sebesar 40,8% seiring dengan semakin meningkatnya volume transaksi instrumen dan lembaga keuangan syariah. Outstanding sukuk korporasi pada Desember 2016 tercatat sebesar Rp11,82 triliun meningkat dibandingkan posisi Juni 2016 sebesar Rp11,11 triliun. Namun demikian, dibandingkan dengan pertumbuhan outstanding sukuk korporasi Juni 2016 yang tercatat sebesar 31,58% (YoY), pertumbuhan pada Desember 2016 turun yaitu hanya sebesar 20,62% (YoY). Grafik Akumulasi Dana Pada Pasar Modal Syariah Grafik Rata-rata Pertumbuhan Pasar Modal Syariah Rp Triliun Rp Triliun Des-16 (YoY) Jun-16 (YoY) Kapitalisasi Pasar ISSI 413 Outstanding Sukuk Negara Outstanding Sukuk Korporasi NAB Reksadana Syariah Des-16 Jun Kapitalisasi Pasar ISSI Outstanding Outstanding Sukuk Korporasi Sukuk Korporasi NAB Reksadana Syariah Sumber: Bloomberg dan Statistik Saham OJK, diolah Grafik Perkembangan Pasar Modal Syariah Rp T Rp T Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des 2015 Kapitalisasi Pasar Indeks ISSI Outstanding Sukuk Korporasi 2016 Outstanding Sukuk Negara NAB Reksadana Syariah Sumber: loomberg dan Statistik Pasar Modal OJK 55

86 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Peningkatan kinerja pasar modal syariah yang cukup tinggi telah meningkatkan pangsa pasar modal syariah terhadap pasar modal nasional. Kontribusi atau pangsa pasar modal syariah dibandingkan dengan total kapitalisasi pasar modal nasional tercermin dari besarnya kapitalisasi pasar saham syariah (55,11%), outstanding sukuk negara syariah dibandingkan sukuk negara dan obligasi negara (14,84%), outstanding sukuk korporasi syariah dibandingkan outstanding sukuk korporasi nasional (3,78%), dan NAB reksadana syariah dibandingkan NAB raksadana nasional sekitar (4,41%). Dari sisi emiten, daftar emiten yang sahamnya memenuhi kriteria efek syariah serta menjadi pembentuk indeks syariah termuat di dalam daftar efek syariah, yang diterbitkan secara reguler oleh Otoritas Jasa Keuangan. Sampai dengan Desember 2016, jumlah korporasi yang terdaftar dalam daftar efek syariah telah mencapai 345 perusahaan atau bertambah 24 perusahaan dari posisi Juni Grafik Perkembangan Jumlah Daftar Efek Syariah Grafik Pangsa Pasar Modal Syariah Desember % Indeks ISSI Sukuk Negara Sukuk Korporasi Reksadana Syariah Sem I Sem II Sem I Periode Sem I Sem II Sem II Sem I Sem I Sem II Sem I Tabel Distribusi Daftar Efek Syariah Listing Publik Efek Sem II Tidak Listing IPO Sem II Jumlah Efek Sem I Sem II 2014 Sem I Kinerja Saham Syariah Kinerja pasar saham syariah pada semester II 2016 meningkat terefleksi dari pertumbuhan kapitalisasi pasar Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) yang mencapai 21,89% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kapitalisasi pasar ISSI posisi bulan Juni 2016 sebesar 5,24% (yoy) dan pertumbuhan kapitalisasi pasar IHSG posisi bulan Desember 2016 yang sebesar 17,96% (yoy). Kinerja saham-saham syariah cukup berkontribusi terhadap kinerja IHSG mengingat saham-saham syariah cukup mendominasi IHSG terlihat dari besarnya porsi saham-saham syariah yang mencapai 55,11% dibandingkan keseluruhan saham yang menjadi pembentuk IHSG. Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sumber: Daftar Efek Syariah, OJK Perusahaan yang mencatatkan diri di bursa dan sahamnya memenuhi kriteria syariah cenderung bertambah setiap tahun. Meskipun pada 2016 tidak terdapat IPO dari perusahaan yang memenuhi kriteria syariah, namun kapitalisasi pasar saham syariah yang tercermin dalam kapitalisasi pasar ISSI cenderung meningkat mencapai Rp3.170 triliun pada akhir semester II 2016, lebih tinggi dari semester sebelumnya yang sebesar Rp3.030 triliun. 56

87 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Grafik Perbandingan IHSG dan ISSI Rp Triliun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des 6.000, , , , , , Kapitalisasi Pasar ISSI Kapitalisasi Pasar IHSG Indeks IHSG (skala kanan) Indeks ISSI (skala kanan) Sumber: Bloomberg, diolah Grafik Pertumbuhan Kapitalisasi Pasar (YoY) Rp Triliun 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 - (5,00) (10,00) (15,00) 20,00) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 - (5,00) (10,00) (15,00) Jun-15 Des-15 Jun-16 Des-16 Indeks ISSI Indeks IHSG Indeks ISSI Indeks IHSG Sumber: Bloomberg, diolah Pergerakan indeks syariah (ISSI) selaras dengan pergerakan IHSG. Pada akhir semester II 2016, ISSI tercatat sebesar 172,08, yaitu meningkat 6,14 poin dibandingkan posisi Juni 2016 atau meningkat sebesar 27,02 poin dari posisi akhir tahun 2015, dimana volatilitas ISSI pada akhir tahun 2016 tercatat sebesar 16,44 poin. Sementara itu, Jakarta Islamic Index (JII), yang dibentuk dari 30 saham-saham syariah yang memiliki likuditas tinggi, menunjukkan volatilittas yang lebih tinggi dibandingkan ISSI dan IHSG mencapai 21,1 poin pada Desember JII mengalami peningkatan indeks hanya sebesar 90,78 poin dibandingkan posisi Desember 2016 namun turun 0,22 poin dibandingkan posisi Juni Grafik Perkembangan Indeks Saham Syariah Grafik Volatilitas Indeks Saham Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des 21,10 16,44 14, Index JII Index ISSI (skala kanan) Volatilitas IHSG Volatilitas ISSI Volatilitas JII Index IHSG Index LQ45 Sumber: Bloomberg, diolah 57

88 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Reksadana Syariah Sepanjang semester II 2016 pertumbuhan nilai aktiva bersih (NAB) reksadana syariah cenderung meningkat. Pertumbuhan NAB reksadana syariah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan NAB reksadana konvensional. Namun demikian market share reksadana syariah terhadap total reksadana masih relatif kecil yaitu tercatat sebesar 4,41% pada akhir semester II 2016, sedikit meningkat dibandingkan market share reksadana syariah pada akhir semester I 2016 dan akhir semester II 2015 yang masing-masing tercatat sebesar 3,2% dan 4,05%. Berdasarkan jenisnya, pada akhir semester II 2016 NAB reksadana saham syariah tetap mendominasi jenis reksadana syariah dengan nilai NAB sebesar Rp8,01 triliun atau 53,65% dari total NAB reksadana syariah, diikuti oleh reksadana syariah terproteksi dan reksadana syariah pendapatan tetap yang masingmasing menguasai 14,47% dan 12,46%. Sementara itu, proporsi reksadana indeks terhadap total reksadana syariah merupakan yang paling kecil, dengan nilai NAB Rp450 miliar atau 3,01% dari total NAB reksadana syariah. Grafik Nilai Aktiva Bersih Reksadana Syariah Rp Triliun % 16 5, ,5 13 4, , ,0 8 2, ,0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des 2015 NAB Rd Syariah 2016 Share NAB RDS (skala kanan) % 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 - (10,00) (20,00) (30,00) Grafik Pertumbuhan NAB Syariah Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Reksadana Syariah Reksadana Konven Sumber: Statistik Pasar Modal OJK diolah Grafik NAB Reksadana Syariah berdasarkan Jenis Reksadana 450,3% 1.860, 12% 1.310, 9% 1.160, 12% 1.140, 8% 8.010, 54% RDS Saham RDS Pasar Uang RDS Campuran RDS Pendapatan Tetap RDS Terproteksi RDS Indeks Sumber: Statistik Pasar Modal OJK diolah 58

89 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Sukuk Negara Sepanjang semester II 2016, penerbitan sukuk negara tercatat sebesar Rp56 triliun atau lebih kecil dibandingkan penerbitan sukuk negara pada semester I 2016 sebesar Rp934,98 triliun. Nilai penerbitan sukuk negara pada semester II 2016 tersebut juga lebih kecil dibandingkan dengan nilai penerbitan surat hutang negara konvensional (obligasi negara) pada periode yang sama yang tercatat sebesar Rp222,97 triliun. Secara total penerbitan sepanjang 2016, nilai penerbitan sukuk negara tercatat sebesar Rp 991 triliun atau lebih tinggi dari nilai penerbitan obligasi negara sebesar Rp878 triliun. Hal ini berbeda dengan penerbitan pada dua tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2014 dan 2015 penerbitan obligasi negara mencapai dua kali lipat dari penerbitan sukuk negara. Selain itu, sejak tahun 2014, proporsi sukuk negara terhadap obligasi negara terus meningkat. Hingga akhir semester II 2016 pangsa dari sukuk negara mencapai 14,8% dari total obligasi negara. Hal tersebut menunjukkan minat masyarakat cukup tinggi terhadap sukuk negara. Jenis sukuk terbesar yang diterbitkan pemerintah pada semester II 2016 adalah Sukuk Negara Indonesia (SNI) dengan total sebesar Rp331 triliun. SNI merupakan sukuk yang diterbitkan di pasar internasional dalam mata uang USD dengan jangka waktu 5-10 tahun dan underlying asset berupa Barang Milik Negara (BMN). Pada akhir semester II 2016, outstanding sukuk terbesar adalah jenis Project Based Sukuk (PBS) atau sukuk yang diterbitkan dengan jangka waktu menengah-panjang dengan underlying asset berupa proyek-proyek yang didanai oleh Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Outstanding sukuk jenis PBS tercatat mencapai Rp154 triliun, atau tumbuh sebesar 86,14% (yoy). Pertumbuhan yang tinggi tersebut mencerminkan adanya potensi sumber pendanaan proyek pemerintah selain berasal dari APBN. Berdasarkan jangka waktunya, sejak tahun 2015, penerbitan sukuk negara didominasi oleh sukuk dengan jangka waktu lebih dari 10 tahun. Outstanding sukuk dengan jangka waktu lebih dari 10 tahun pada akhir semester II 2016 mencapai Rp163,2 triliun, lebih tinggi dibandingkan akhir semester I 2016 yang sebesar Rp155,50 triliun. Rp Triliun Grafik Penerbitan Surat Berharga Negara Rp Triliun Grafik Penerbitan Sukuk Berdasarkan Jenis Sukuk SUN FR ORI RI RIEUR RIJPY SBR SPN SPNNT SPNNTD USDFR Reksadana Syariah Reksadana Konven 59

90 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Rp Milyar Grafik Outstanding Sukuk Negara Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des % 17,5 15,0 12,5 10,0 7,5 5,0 2,5 0,0 Grafik Pertumbuhan Outstanding SBN Rp Triliun % 5,0 70,00 4,5 60,00 50,00 4,0 40,00 3,5 30,00 3,0 20,00 10,00 2,5-2,0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Nilai Outstanding Surat Berharga Syariah Negara Share Nilai Outstanding Surat Berharga Syariah Negara (skala kanan) Nilai Outstanding Surat Berharga Syariah Negara Nilai Outstanding Surat Utang Negara Sumber: DJPPR, Kemenkeu diolah Grafik Komposisi Sukuk Berdasarkan Seri SBSN Grafik Komposisi Sukuk berdasarkan Jangka Waktu % Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des IFR PBS SDHI SNI SPNS SPNSNT SR st % Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des <1 Tahun >10 Tahun 1-5 Tahun 5-10 Tahun Sumber: DJPPR, Kemenkeu diolah Sukuk negara kecuali Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) merupakan instrumen yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder, dimana outstanding SDHI pada akhir Desember 2016 tercatat sebesar 8,89% dari keseluruhan outstanding sukuk negara. Hingga akhir semester II 2016, kepemilikan sukuk negara yang dapat diperdagangkan di pasar domestik masih didominasi oleh perbankan konvensional dengan porsi kepemilikan mencapai 41%. Sementara itu, kepemilikan oleh asuransi dan perbankan syariah tercatat masing-masing sebesar 20,3%dan 9,1%. Dari total kepemilikan sukuk negara, baik yang dapat diperdagangkan maupun tidak dapat diperdagangkan, kepemilikan oleh perbankan terus meningkat. Pada akhir semester II 2016, kepemilikan sukuk negara oleh perbankan tercatat sebesar 50,28% atau mencapai Rp123,54 triliun dimana perbankan konvensional mendominasi kepemilikan yaitu sebesar Rp101 triliun, sedangkan sisanya sebesar Rp22 triliun dimiliki oleh perbankan syariah. Kepemilikan oleh non bank antara lain perorangan juga meningkat yaitu mencapai 19,06 triliun atau 7,8% dari total sukuk negara. 60

91 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Grafik Kepemilikan SBSN (Tradable) % Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Bank Konvensional Bank Syariah Asuransi Dana Pensiun Perorangan Reksadana Asing Lain-lain Sumber: DJPPR, Kemenkeu diolah Sukuk Dan Obligasi Korporasi Pada semester II 2016, jumlah maupun nilai outstanding sukuk korporasi meningkat, yaitu terdapat 53 sukuk korporasi dengan total outstanding Rp12,25 triliun atau tumbuh 23,74% (yoy). Namun demikian, pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan semester I 2016 yang mencapai sebesar 31,58% (yoy). Selain itu, pertumbuhan sukuk korporasi pada semester II 2016 juga lebih lambat dibandingkan obligasi korporasi yang tumbuh sebesar 24,73% mencapai Rp311,67 triliun. Pangsa pasar sukuk korporasi relatif stabil sebesar 3,8%. Hingga akhir semester II 2016, kepemilikan sukuk korporasi terbesar adalah oleh reksadana yaitu sebesar 32,21%. Selain itu, di semester II juga mulai tercatat adanya adanya kepemilikan sukuk korporasi oleh perorangan seiring dengan meningkatnya penawaran alternatif produk investasi ritel berbasis syariah oleh pemerintah kepada individu Warga Negara Indonesia. Kepemilikan sukuk korporasi oleh perorangan pada akhir semester II 2016 tercatat sebesar Rp 104 miliar atau sebesar 0,85% dari total sukuk korporasi. Grafik Pertumbuhan Sukuk dan Obligasi Korporasi % 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 - Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Growth Sukuk Negara Growth Obligasi Korporasi Grafik Perkembangan Market Share dari Sukuk Korporasi Rp Triliun % Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Share Outs. Sukuk Korporasi (skala kanan) Outstanding Sukuk Korporasi Sumber: Statistik Pasar Modal OJK diolah 61

92 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik Sukuk Korporasi Berdasarkan Pemilik ,60 367,50 104, ,00 Grafik Obligasi Korporasi Berdasarkan Pemilik , , , , , , , , ,81 33, , ,30 305,78 Corporate Individual Mutual Fund Securities Company Insurance Pension Fund Financial Institution Foundation Others Sumber: Statistik Pasar Modal OJK diolah Sektor Ekonomi Sosial Pengumpulan dan penyaluran zakat, infak, dan sedekah (ZIS) tahunan mengalami peningkatan. Namun, peningkatan pada sisi pengumpulan lebih tinggi daripada penyalurannya. Hal ini pada akhirnya menyebabkan penurunan efisiensi pengelolaan dana ZIS oleh organisasi pengelola zakat pada semester II Peningkatan pengumpulan ZIS tersebut tidak lepas dari semakin meningkatnya governance dan transparansi pengelolaan dan penyaluran dana oleh lembaga-lembaga amil zakat dan lembaga nazhir. Grafik Pengumpulan dan Penyaluran Dana Zakat Rp Miliar % % 61% % % 58% 57% % 55% Total Penghimpunan Total Penyaluran ACR (skala kanan) Sumber: Zakat Outlook Baznas

93 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Pertumbuhan pengumpulan ZIS meningkat 11% pada semester II 2016 sementara penyalurannya tumbuh sebesar 9,5%. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen masyarakat masih cukup tinggi untuk berzakat dan berinfak, namun hal tersebut belum diimbangi dengan kemampuan organisasi pengelola zakat dalam menyalurkan dana ZIS tersebut. Pengumpulan dan penyaluran zakat pada semester II 2016 didominasi oleh provinsi pada wilayah Indonesia Barat. Lebih dari 50% penghimpunan berasal dari provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Riau. Sementara penyaluran dana ZIS terbesar dilakukan oleh provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Aceh, Riau,dan Sumatera Barat. Allocation to Collection Ratio (ACR) sebagai ukuran efisiensi pengelolaan dana ZIS mengalami sedikit penurunan dari tahun sebelumnya, dari 61,6% menjadi 60,6%. Namun demikian, rasio ACR tersebut tetap mengindikasikan bahwa pengelolaan dana ZIS oleh organisasi pengelola zakat dikategorikan cukup efisien. Kedepan, sektor keuangan sosial memiliki prospek yang positif dengan semakin terkonsolidasinya lembaga-lembaga yang akan mengelola zakat sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat sebagaimana di atur dalam Undang-Undang No.23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Grafik Proporsi Penghimpunan dan Penyaluran dana ZIS berdasarkan provinsi % % 44,35% % 46,38% % 10,60% 8,67% % % % % Sumbar Aceh Jabar Jatim Jabar Jatim Sumbar Jateng Riau Other Riau Other Sumber: Sistem Informasi Mustahik BAZNAS (SIMBA) 63

94 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Boks 2.1 Pengaturan Surat Berharga Komersial Kondisi pasar uang yang dalam dan likuid menjadi salah satu prasyarat untuk mendukung peningkatan efektivitas transmisi kebijakan moneter. Salah satu strategi dalam upaya pendalaman pasar uang adalah melalui pengembangan instrumen pasar uang, yang saat ini sangat didominasi oleh instrumen operasi moneter. Instrumen pasar uang yang sekarang sedang diupayakan untuk berkembang adalah instrumen commercial paper atau yang di Indonesia dikenal dengan nama Surat Berharga Komersial. Surat Berharga Komersial mempunyai fungsi yang sangat strategis dibandingkan dengan instrumen pasar uang lainnya. Saat ini korporasi sangat tergantung pada pendanaan dari perbankan guna memenuhi kebutuhan dana jangka pendek untuk modal kerja atau pendanaan penunjang. Ketergantungan pendanaan korporasi yang sangat tinggi kepada perbankan memiliki kelemahan yaitu tingginya biaya dana yang harus ditanggung korporasi yang pada akhirnya akan diteruskan pada konsumen akhir yang tercermin pada lebih tingginya harga jual suatu produk atau jasa. Disisi lain, perbankan juga menghadapi keterbatasan dalam menghimpun dana karena semakin tingginya tingkat kompetisi industri. Dengan adanya instrumen Surat Berharga Komersial sebagai alternatif pendanaan jangka pendek, korporasi yang memenuhi persyaratan tertentu dapat menghimpun dana jangka pendek melalui pasar uang dengan biaya yang relatif lebih murah dan dengan jumlah yang relatif besar dibandingkan dengan pendanaan dari perbankan. Biaya pendanaan yang rendah memungkinkan biaya produksi korporasi semakin efisien, sehingga harga jual diharapkan akan semakin bersaing. Selain itu, kehadiran instrumen Surat Berharga Komersial diharapkan akan meningkatkan kompetisi yang sehat antara pendanaan dari perbankan dan pendanaan dari pasar uang, sehingga pada gilirannya diharapkan akan mendorong penurunan biaya pendanaan dari sektor perbankan. Surat Berharga Komersial merupakan salah satu instrumen pasar uang yang dapat didefinisikan sebagai surat sanggup tanpa jaminan (unsecured), diterbitkan oleh korporasi yang memiliki kualitas kredit yang bagus, dan memiliki jangka waktu di bawah 1 tahun (short term). Sebelum krisis 1998, penerbitan Surat Berharga Komersial oleh korporasi dengan menggunakan warkat sempat mengalami masa booming. Namun, pasca krisis 1998, tidak ada lagi penerbitan dan perdagangan Surat Berharga Komersial di pasar domestik, kecuali penerbitan oleh korporasi yang sempat muncul kembali pada tahun 2005, motivasi dari penerbitan tersebut lebih disebabkan perlunya alternatif instrumen menyusul gagalnya rencana penerbitan obligasi oleh korporasi tersebut karena pasar yang kurang mendukung. Di Indonesia saat ini, tingkat kepercayaan investor terhadap Surat Berharga Komersial masih tergolong rendah. Hal tersebut dikarenakan masih ada kekhawatiran investor terhadap potensi kembali terulangnya kejadian gagal bayar (default) 64

95 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Surat Berharga Komersial sebagaimana yang terjadi pada saat krisis tahun Kekhawatiran tersebut turut mempengaruhi keputusan investasi dari investor sehingga mempengaruhi likuiditas pasar Surat Berharga Komersial domestik. Pengaturan mengenai Surat Berharga Komersial di Indonesia diatur dalam Surat Keputusan Direksi No. 28/52/KEP/DIR/1995 tentang Persyaratan Penerbitan dan Perdagangan Surat Berharga Komersial (Commercial Paper) Melalui Bank Umum di Indonesia, dimana ketentuan tersebut hanya mengatur penerbitan dan perdagangan Surat Berharga Komersial yang dilakukan melalui bank umum di Indonesia. Karenanya saat ini belum terdapat ketentuan yang mengatur penerbitan dan perdagangan Surat Berharga Komersial bagi korporasi dan lembaga keuangan non bank yang tidak melalui bank umum. Bagi korporasi sendiri, instrumen Surat Berharga Komersial masih jarang digunakan sebagai alternatif dari pendanaan jangka pendek perbankan. Dengan mempertimbangkan perjalanan perkembangan pasar Surat Berharga Komersial, diperlukan penyempurnaan pengaturan penerbitan dan perdagangan Surat Berharga Komersial yang prudent dan kredibel. Dalam hal ini, berencana untuk menerbitkan Peraturan (PBI) mengenai Penerbitan dan Perdagangan Surat Berharga Komersial. Penerbitan PBI dimaksud bertujuan untuk menciptakan pasar Surat Berharga Komersial yang kredibel, efektif, dan efisien sehingga dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan jangka pendek bagi korporasi non bank serta sebgai alternatif instrumen investasi bagi investor. Hal tersebut pada gilirannya diharapkan dapat mempercepat proses pendalaman pasar keuangan dan mendukung transmisi kebijakan moneter. Sejumlah hal yang akan diatur dalam PBI tersebut adalah terkait dengan: i) kriteria instrumen; ii) kriteria pelaku; iii) perizinan; iv) transaksi dan penatausahaan; serta v) aspek lainnya. Definisi kriteria instrumen yang akan digunakan dalam PBI ini merujuk pada definisi yang diatur di dalam KUHD 4, yaitu surat sanggup tanpa jaminan (unsecured), diterbitkan oleh korporasi yang memiliki kualitas kredit yang bagus, dan memiliki jangka waktu di bawah 1 tahun (short term). Dari sisi penerbit, PBI akan mengatur sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh Penerbit dari Surat Berharga Komersial. Kriteria tersebut diantaranya adalah: i) badan hukum berbentuk perseroan terbatas (PT) yang memenuhi persyaratan antara lain terdaftar sebagai emiten pada Bursa Efek Indonesia (BEI); ii) korporasi yang tidak terdaftar sebagai Emiten atau Perusahaan Publik dengan memenuhi persyaratan telah beroperasi sekurangkurangnya 3 (tiga) tahun; iii) memiliki ekuitas 4 Kitab Undang-undang Hukum Dagang 65

96 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 sekurang-kurangnya Rp ,00 (lima puluh miliar Rupiah); dan iv) menghasilkan laba usaha untuk 1 (satu) tahun terakhir. PBI juga akan mengatur bahwa pihak yang menerbitkan Surat Berharga Komersial wajib memperoleh izin penerbitan dari Bank Indonesia. Perizinan yang diberikan oleh Bank Indonesia adalah izin untuk mendaftarkan dan menatausahakan surat berharga komersial pada lembaga yang ditunjuk oleh. Dalam memberikan izin, akan mempertimbangkan berbagai aspek seperti pemenuhan kriteria/persyaratan sebagai penerbit Surat Berharga Komersial dan kriteria instrumen Surat Berharga Komersial yang akan diterbitkan. Hal lain yang akan diatur oleh PBI adalah kriteria instrumen Surat Berharga Komersial. Kriteria tersebut antara lain: i) diterbitkan oleh korporasi non bank dalam bentuk tanpa warkat (scripless); ii) bunga dibayarkan secara diskonto; iii) dapat diterbitkan dalam denominasi Rupiah dan Valuta Asing; iv) memiliki tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, 12 bulan; v) peringkat instrumen minimal investment grade yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu, PBI juga akan mengatur persyaratan keterbukaan informasi Penerbitan Surat Berharga Komersial. Dalam hal ini penerbit harus menyampaikan informasi penerbitan Surat Berharga Komersial kepada pihak yang akan membeli melalui memorandum informasi yang diperlukan oleh calon investor dalam membuat keputusan investasi. Terkait dengan transaksi di pasar sekunder, akan diatur bahwa transaksi Surat Berharga Komersial oleh Bank dan Perusahaan Efek dapat dilakukan secara langsung maupun melalui perantaraan lembaga pendukung transaksi. Sementara itu, transaksi Surat Berharga Komersial di pasar sekunder oleh Korporasi, orang perseorangan, dan bukan penduduk harus dilakukan melalui perantaraan lembaga pendukung transaksi. PBI juga akan mengatur diantaranya perhitungan harga transaksi menggunakan konvensi perhitungan hari (day-count convention) yaitu Actual/360, penentuan harga dalam perdagangan dapat mengacu pada suku bunga acuan antara lain JIBOR, jangka waktu maksimal setelmen transaksi di pasar uang (pasar sekunder) yaitu wajib dilakukan maksimal 3 hari kerja setelah transaksi (T+3). Selain itu, untuk dapat mewujudkan pasar Surat Berharga Komersial yang kredibel, juga akan melakukan pengawasan yang mencakup: i) pengawasan terhadap pemenuhan ketentuan serta ii) pengawasan terhadap pelaporan atas penerbitan dan transaksi di pasar sekunder. 66

97 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Berbagai persyaratan yang akan diatur dalam PBI mengenai Penerbitan dan Perdagangan Surat Berharga Komersial relatif lebih ketat dibandingkan dengan pengaturan sebelumnya, seperti diaturnya kriteria penerbit, kriteria instrumen, kriteria lembaga pendukung pasar uang khususnya diaspek penerbitan, keterbukaan informasi, pengaturan transaksi di pasar sekunder, penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, perlindungan investor, maupun pelaporan transaksi dan pengawasan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan pasar Surat Berharga Komersial lebih prudent serta dapat memberikan informasi yang lebih memadai dan lebih transparan kepada investor. Kesemuanya itu pada gilirannya akan mendukung terjaganya stabilitas sistem keuangan. 67

98 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Boks 2.2 Local Currency Settlement Framework Mata uang yang mendominasi perdagangan internasional di dunia saat ini adalah dollar Amerika Serikat (USD) dan euro (EUR) didorong oleh likuiditas yang sangat besar, serta daya tahan kedua mata uang tersebut yang relatif lebih tinggi dibandingkan mata uang negara lain (Auboin, 2012) 5. Penggunaan kedua mata uang tersebut juga mendominasi dalam perdagangan antara eksportir dan importir di Negara Asia (intra-asia). Dengan skala ekonomi dan volume perdagangan internasional negara-negara Asia, termasuk Indonesia, yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, penggunaan USD sudah menjadi hal yang wajar. Porsi perdagangan intra-asia meningkat dari 49% di tahun 2000 menjadi 53% di tahun 2010 terhadap total perdagangan dunia. Namun demikian, penggunaan mata uang regional kawasan Asia dalam perdagangan internasional masih relatif rendah. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana tagihan transaksi perdagangan dan keuangan internasional mayoritas menggunakan USD. Angka Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia menunjukkan USD mendominasi hingga mencapai rata-rata 78% dari seluruh mata uang yang digunakan dalam perdagangan internasional Indonesia. Memperhatikan kondisi tersebut, dipandang perlu terdapat upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan USD dan meminimalisir risiko kurs terkait pergerakan nilai tukar IDR-USD. Salah satu alternatif adalah penggunaan mata uang lokal untuk setelmen transaksi perdagangan internasional (Local Currency Settlement LCS). Dengan penggunaan mata uang lokal untuk setelmen perdagangan internasional diharapkan dapat mendiversifikasi eksposur mata uang, mengurangi biaya transaksi, mengembangkan pasar mata uang regional, serta membuka akses bagi para pelaku usaha. Terkait upaya untuk memitigasi risiko kurs, Auboin juga menjelaskan bahwa dengan penggunaan kerangka LCS manfaat yang didapatkan antara lain adalah eksportir dan importir bisa menetapkan harga dalam mata uang lokal sehingga relatif kurang terekspos terhadap pergerakan mata uang utama, terutama apabila terjadi gejolak di USD dan EUR. Upaya Meningkatkan Kerjasama Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Diawali dengan diskusi bilateral (bilateral meeting) antara BI dengan Bank of Thailand dan BI dengan Bank Negara Malaysia, terdapat kesamaan pandang terhadap dominasi mata uang tertentu dalam perdagangan ketiga negara. Selain itu terdapat keinginan yang sama untuk mengurangi dominasi tersebut melalui peningkatan penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan internasional antara ketiga negara. Dari sisi perdagangan, Malaysia dan Thailand merupakan negara di kawasan ASEAN yang termasuk dalam 10 besar mitra dagang utama Indonesia. Total volume perdagangan rata- 5 Auboin, Marc, Use of Currencies in International Trade: Any Changes in The Picture?, WTO, May

99 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan rata mencapai USD20 miliar per tahun untuk perdagangan Indonesia-Malaysia, serta USD15 miliar per tahun untuk perdagangan Indonesia- Thailand, sebagaimana terlihat dalam tabel Di lain pihak, penggunaan mata uang lokal baik Rupiah (IDR), Bath (THB), dan Ringgit (MYR) dalam kegiatan ekspor impor Indonesia terhadap Malaysia dan Thailand masih relatif terbatas. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya untuk mendorong penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan antara ketiga negara. Salah satu upaya untuk meningkatkan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan internasional adalah dengan menggunakan kerangka Local Currency Settlement (LCS). Terkait hal tersebut, pada 23 Desember 2016, Bank Indonesia telah menandatangani Memorandum of Understanding dengan Bank of Thailand serta dengan Bank Negara Malaysia, terkait kerjasama bilateral dalam kerangka LCS antara Indonesia Thailand dan Indonesia Malaysia. Tabel Boks Ekspor dan Impor Indonesia Berdasarkan Negara Ekspor dan Impor Indonesia Berdasarkan Negara (Rata-rata ) Impor Expor No Negara Asal Nilai (USD Bio) % No Negara Asal Nilai (USD Bio) % 1 Tiongkok 29,17 17,53% 1 Jepang 23,64 13,78% 2 Singapura 22,38 13,45% 2 Tiongkok 19,28 11,24% 3 Jepang 17,26 10,37% 3 AS 15,84 9,24% 4 Korea Selatan 10,66 6,41% 4 Singapura 13,78 8,03% 5 Malaysia 10,53 6,33% 5 India 12,11 7,06% 6 Thailand 9,81 5,90% 6 Korea Selatan 10,65 6,21% 7 AS 8,49 5,10% 7 Malaysia 9,30 5,42% 8 Australia 5,17 3,10% 8 Taiwan 6,00 3,50% 9 Saudi Arabia 5,09 3,06% 9 Thailand 5,67 3,31% 10 Taiwan 3,85 2,32% 10 Australia 4,30 2,51% 11 Jerman 3,71 2,23% 11 Philipina 4,03 2,35% 12 India 3,67 2,21% 12 Belanda 4,02 2,34% 13 Other 36,60 22,00% 13 Other 42,94 25,03% Total 166,39 100,00% Total 171,57 100,00% Tabel Boks Ekspor dan Impor Indonesia Berdasarkan Valuta Ekspor dan Impor Indonesia Berdasarkan Valuta (Rata-rata ) Impor Expor No. Valuta Nilai (USD Bio) % No. Valuta Nilai (USD Bio) % 1 USD 129,77 77,99% 1 USD 160,92 93,79% 2 EUR 5,98 3,60% 2 JPY 1,92 1,12% 3 JPY 5,54 3,33% 3 EUR 1,86 1,08% 4 IDR 3,98 2,39% 4 SGD 1,65 0,96% 5 SGD 3,03 1,82% 5 IDR 1,51 0,88% 6 AUD 0,66 0,39% 6 CNY 0,92 0,53% 7 MYR 0,42 0,25% 7 HKD 0,20 0,12% 8 THB 0,33 0,20% 8 AUD 0,17 0,10% 9 GBP 0,30 0,18% 9 MYR 0,13 0,07% 10 CNY 0,29 0,17% 10 GBP 0,09 0,05% 11 CHF 0,22 0,13% 11 THB 0,07 0,04% 12 HKD 0,10 0,06% 12 AED 0,06 0,03% 13 Other 15,79 9,49% 13 Other 2,08 1,21% Total 166,39 100,00% Total 171,57 100,00% Sumber: Statistik Pasar Modal OJK diolah 69

100 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Kerangka Local Currency Settlement (LCS) merupakan kerangka kerjasama internasional yang memperkenankan bank yang ditunjuk - Appointed Cross Currency Dealer (ACCD) di setiap negara untuk melakukan aktivitas perbankan menggunakan mata uang negara counterpart. Aktivitas perbankan dan transaksi keuangan yang disepakati antara lain meliputi: (i) Pembukaan rekening di bank accd setempat dalam mata uang negara counterpart. (ii) Transfer dana (overbooking) atas pembelian barang (impor) dalam mata uang lokal, dimana eksportir akan menerima pembayaran dalam mata uang masing-masing Negara asal. (iii) Pemberian fasilitas trade financing dalam mata uang Ringgit (MYR) atau Bath (THB) bagi importir Indonesia, (iv) Melakukan transaksi jual beli valas THB/IDR dan MYR/IDR berupa transaksi Spot, Forward dan Swap. (v) Penerbitan direct quotation THB/IDR dan MYR/IDR. Contoh dari penggunaan skema lcs dapat digambarkan sebagaimana Gambar Dalam hal importir Indonesia melakukan transaksi dengan eksportir asal Malaysia, maka importir Indonesia dapat membuka rekening MYR di Indonesia pada bank yang ditunjuk, untuk dapat melakukan pembayaran dalam MYR. Pada skema non LCS, umumnya diperlukan rekening USD, mengingat pembayaran dilakukan dalam USD maka hal ini akan menambah tekanan pada kurs USD/IDR. Melalui mekanisme LCS, importir Indonesia dapat melakukan forward beli MYR/jual IDR, dan tidak lagi harus membeli USD. Ketika kewajiban bayar telah jatuh waktu, maka transfer MYR dapat dilakukan melalui Bank ACCD dari rekening MYR di Indonesia ke rekening MYR eksportir Malaysia pada bank ACCD di negara Malaysia. Sebaliknya, dalam hal terdapat eksportir Indonesia hendak menggunakan mekanisme lcs, maka importir Malaysia akan membuka rekening rupiah (IDR) di bank ACCD Malaysia, untuk melakukan pembayaran dalam mata uang IDR. Gambar Boks Contoh Skema Local Currency Settlement 2 Forward beli MYR/ Jual IDR Bank ACCD Indonesia Perintah Pembayaran dalam MYR 4 Bank ACCD Malaysia Forward beli MYR/ Jual IDR 3 bulan kemudian, MYR di transfer ke eksportir Kredit MYR ke Rek MYR Eksporter Indonesia Importers Malaysia Exporters 70

101 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Untuk dapat menggunakan skema LCS, aktivitas perbankan dan transaksi keuangan tersebut harus dilakukan dengan didasari underlying berupa kegiatan perdagangan barang dan jasa. Pada kerangka kerjasama ini, bank yang ditunjuk yaitu Appointed Cross Currency Dealer (ACCD) di Indonesia, Thailand dan Malaysia, dapat menyediakan jasa keuangan berupa fasilitas setelmen perdagangan barang dan jasa dengan menggunakan mata uang lokal, dan beberapa fleksibilitas dalam memfasilitasi perdagangan barang dan jasa di ketiga negara. Mekanisme surveillance dan sharing informasi antar bank sentral akan dilakukan untuk memastikan kepatuhan bank ACCD terhadap persyaratan yang ditetapkan bank sentral. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh Malaysia dan Thailand, para eksportir dan importir di kedua negara merasa terbantu dengan adanya kerangka LCS. Hal ini karena LCS memberikan pilihan bagi para eksportir dan importir di kedua negara dalam melakukan penyelesaian transaksinya. Dengan adanya kerjasama Local Currency Settlement antara Indonesia, Malaysia dan Thailand maka penyelesaian perdagangan internasional antara ketiga negara tersebut dapat menggunakan mata uang lokal, dalam hal ini Rupiah, Ringgit dan Baht. Mekanisme ini diharapkan dapat mengurangi penggunaan USD, yang pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap peningkatan kestabilan nilai tukar rupiah. Gambar Boks Alur Pelaksanaan Mekanisme LCS Bank ACCD Malaysia MEKANISME UMUM LCS Bank ACCD Indonesia Pembukaan rek MYR SNA, THB SNA dan IDR SNA Transaksi Spot, Forward, atau Swap MYR/IDR atau THB/IDR dengan eligible underlying Transfer IDR, MYR atau THB (overbooking), termasuk dalam rangka investasi Trade financing dalam mata uang IDR, MYR atau THB Bank ACCD Thailand 71

102 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Boks 2.3 Perkembangan Pasar Modal Sebagai Alternatif Sumber Pendanaan dan Investasi Selain Perbankan Keberadaan sektor keuangan yang tumbuh dan berkembang dengan baik dan sehat, khususnya perbankan dan pasar modal, akan memberikan keunggulan komparatif bagi suatu perekonomian. Hal ini tidak lepas dari fungsi intermediasi yang dilakukan oleh perbankan dan pasar modal. Fungsi intermediasi dari keduanya berperan dalam menjembatani antara kebutuhan pendanaan untuk kegiatan ekonomi dengan minat investor yang mencari instrumen investasi (investment outlets) guna mendapatkan optimal return dengan risiko yang terukur. Peran strategis tersebut tidak hanya menjadikan perbankan dan pasar modal sebagai produk dari suatu perekonomian namun juga keduanya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain peran strategis secara individual, peran intermediasi keuangan yang dilakukan oleh perbankan dan pasar modal juga bersifat saling melengkapi (complementary) satu sama lain terutama dalam hal penyediaan pembiayaan untuk perekonomian. Fleksibilitas yang dimiliki oleh pasar modal menjadi penyeimbang ketika industri perbankan menghadapi kendala dalam menyediakan pembiayaan kepada pelaku ekonomi. Demikian sebaliknya, ketika pasar modal dihadapkan pada memburuknya persepsi risiko para investor, maka perbankan dapat berperan sebagai alternatif penyedia kredit bagi korporasi ataupun rumah tangga. Kondisi sebagaimana tersebut di atas juga terjadi pada sistem keuangan Indonesia. Lazimnya, pasar modal di Indonesia lebih berperan sebagai alternatif pendanaan para pelaku usaha domestik maupun sarana investasi bagi pemodal. Seiring dengan semakin berkembang dan terbukanya perekonomian Indonesia, terjadi peningkatan peran pasar modal sebagai sumber pendanaan dan pembiayaan bagi pelaku kegiatan usaha. Sejalan dengan itu, sejumlah kebijakan dan peraturan telah dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang untuk mendorong perkembangan pasar modal baik dari aspek infrastruktur, kemudahan, maupun efisiensi dalam mekanisme pendanaan/ pembiayaan. Melengkapi upaya tersebut, otoritas juga memperketat aspek pengawasan untuk memastikan bahwa perkembangan pasar modal berjalan pada koridor yang sesuai dengan perkembangan ekonomi, tumbuh secara sehat, dengan tetap meletakkan perlindungan terhadap investor sebagai prioritas utama. Upaya-upaya tersebut menunjukkan hasil sebagaimana terlihat dari perkembangan pasar modal yang positif selama beberapa periode terakhir. Selama tiga tahun terakhir, pembiayaan melalui pasar modal menunjukkan tren yang positif terlihat dari peningkatan Right Issue (RI), Initial Public Offering (IPO), penerbitan obligasi korporasi, Medium Term Notes (MTN), dan Negotiable Certificate Deposit (NCD). Selama tahun 2016 tercatat total penerbitan instrumen-instrumen 72

103 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan dimaksud sebesar Rp230,8 triliun yang dilakukan oleh bank, Institusi Keuangan Non Bank (IKNB) maupun korporasi non keuangan. Pasar Saham Kepemilikan saham oleh investor domestik selama selama tiga tahun terakhir sejak tahun 2014 cenderung mengalami peningkatan. Selama tahun 2016 kepemilikan saham investor domestik mencapai 45,51%, meningkat pesat jika dibandingkan pangsa kepemilikan pada tahun 2014 dan tahun 2015 masing-masing sebesar 35,7% dan 36,21%. Peningkatan tersebut mengindikasikan bahwa minat investor domestik untuk mendiversifikasi portofolio investasinya ke pasar saham domestik semakin meningkat. Meski demikian, jika dilihat dari rasio jumlah investor yang terdaftar di pasar modal terhadap jumlah tenaga kerja yang hanya sebesar 0,38% pada tahun 2016 menunjukkan bahwa jumlah investor domestik di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan dua negara ASEAN lainnya yaitu Thailand dan Filipina yang mencapai 3,18% dan 1,69%, sebagaimana tergambar pada Grafik Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa potensi peningkatan kepemilikan saham oleh investor domestik masih cukup tinggi. Grafik Boks Perkembangan Penerbitan Instrumen Pasar Modal Rp T Bank IKNB Korporasi IPO RI Obligasi MTN NCD IPO RI Obligasi MTN NCD IPO RI Obligasi MTN NCD % Jan Grafik Boks Perkembangan Kepemilikan Saham oleh Investor Domestik Mar Mei IHSG (skala kanan) Porsi Domestik Jul Sep Nov 37,5% Jan Mar Mei Jul Sep Nov 36,2% Jan Mar Mei Jul Sep 45,5% Nov Grafik Boks Rasio jumlah Investor terhadap Tenaga Kerja Indonesia ribu akun % Jml Investor Jml Investor/Tenaga Kerja skala kanan 0,40 0,38 0,36 0,34 0,32 0,30 0,28 0,25 0,24 0,22 0,20 Feb Mei Agt Nov Feb Mei Agt Nov Feb Mei Agt Nov Feb Mei Agt Nov

104 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 ribu akun Grafik Boks Perbandingan Perkembangan Jumlah akun investor Pasar Saham 2014 % 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 Grafik Boks Perbandingan Persentase Jumlah Akun Investor Pasar Saham terhadap Tenaga Kerja Thailand Filipina Indonesia Thailand Filipina Indonesia Cenderung meningkatnya minat investor domestik serta potensi peningkatan yang masih cukup tinggi juga tidak lepas dari strategi investor domestik untuk mendapatkan return yang optimal dari portofolio investasinya. Hal ini ditunjang salah satunya oleh kinerja pasar saham Indonesia yang cukup baik. Di akhir tahun 2016, pasar saham Indonesia mencatatkan kinerja positif jika dibandingkan dengan kinerja tahun sebelumnya, serta mencatat pertumbuhan yang relatif lebih baik dibandingkan sejumlah negara lain di kawasan ataupun global. Grafik Boks Kinerja Pasar Saham Indonesia dan 12 Negara lain pada Akhir Tahun 2016 Indonesia Korsel Thailand Malaysia Singapore Jepang Hong Kong China Filipina India AS Inggris Australia (19,6) (14,0) (12,1) (10,2) (14,3) (7,2) (4,8) (0,1) (3,9) (1,6) (5,0) (2,2) (2,7) (4,9) (0,8) 0,2 0,7 2,4 3,3 0,4 1,3 0,4 1,9 6,2 7,1 9,1 7,5 7,0 15,3 15,3 12,7 15,0 13,4 14,4 19,8 22,3 22,2 29,9 35,6 Dec-14 Dec-15 Dec-16 Sumber: Bloomberg 74

105 Asesmen Kondisi dan Risiko di Pasar Keuangan Pasar Surat Utang Selama 2016, volume transaksi perdagangan surat utang meningkat yang dipengaruhi oleh peningkatan kepemilikan SBN oleh IKNB yang cukup signifikan yaitu sebesar Rp127 triliun, dari Rp284 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp411 triliun di akhir tahun Hal tersebut seiring dengan pemenuhan terhadap ketentuan OJK yang mewajibkan investasi SBN oleh Lembaga Jasa Keuangan Non Bank 6. Dari semua IKNB, dana pensiun dan asuransi mencatatkan peningkatan porsi kepemilikan SBN terbesar. Selain untuk memenuhi ketentuan POJK, peningkatan kepemilikan SBN oleh dana pensiun dan asuransi juga sebagai bagian dari strategi hedging dan pengelolaan likuiditas mengingat SBN umumnya memiliki jangka waktu panjang sesuai dengan maturity profile kewajiban dana pensiun dan asuransi. Meski total kepemilikan investor domestik cenderung meningkat, pangsa kepemilikan SBN oleh asing masih cukup besar yaitu mencapai 37%, hal ini salah satunya dipengaruhi oleh imbal hasil SBN yang relatif lebih tinggi dibandingkan negaranegara lainnya. Sejalan dengan meningkatnya penerbitan SBN, penerbitan obligasi korporasi juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Selama tahun 2016, penerbitan obligasi korporasi mencapai sebesar Rp114,9 triliun didominasi penerbitan oleh IKNB khususnya Perusahaan Pembiayaan (PP). Penerbitan obligasi IKNB selama tahun 2016 meningkat sebesar 82% bila dibandingkan penerbitan pada tahun 2015, dari jumlah tersebut 46% merupakan penerbitan obligasi oleh PP. Meningkatnya penerbitan obligasi oleh PP dipengaruhi oleh upaya PP untuk mendiversifikasi sumber pendanaannya selain yang berasal dari utang bank dan utang luar negeri, serta untuk pengelolaan biaya modal. Grafik Boks Jangka Waktu SBN yang Diterbitkan Grafik Boks Kepemilikan SBN Dec-12 Dec-13 Dec-14 Dec-15 Dec Rp T Asing, 665,86 IKNB, 410,73 Bank, 396,97, 137,02 Lainnya, 104,91 Indovidu, 57,79 6 POJK No.1/POJK.05/2016 tgl 11 Januari 2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank 75

106 Permainan balap karung dilakukan dengan cara berjalan, melompat dan berlari dengan sebagian badan berada dalam karung demi menjadi yang tercepat dalam mencapai garis akhir yang telah ditentukan. Diperlukan kerja keras, stamina dan strategi yang baik untuk menjadi pemenang. Kerja keras, stamina dan strategi dalam balap karung tersebut mengibaratkan kinerja korporasi non keuangan di Indonesia yang mulai membaik dan tumbuh sejalan dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi.

107 03 Pada semester II 2016, kinerja sektor rumah tangga relatif stabil dengan risiko yang masih terjaga seiring dengan membaiknya perekonomian. Kenaikan pertumbuhan ekonomi di triwulan IV 2016 menyebabkan sektor rumah tangga relatif resilience serta mendorong optimisme rumah tangga terhadap kondisi perekonomian ke depan. Hal ini antara lain tercermin dari membaiknya Indeks Penjualan Riil (IPR) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Kondisi sektor rumah tangga yang diperkirakan akan membaik tersebut diharapkan dapat mendorong penghimpunan DPK dan penyaluran kredit perbankan, sekaligus terjaganya kualitas kredit ke sektor rumah tangga. Sebagaimana sektor rumah tangga, kinerja sektor korporasi dipengaruhi oleh perkembangan di eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, faktor yang mempengaruhi antara lain belum kuatnya pemulihan ekonomi global, walaupun harga beberapa komoditas mulai meningkat namun pertumbuhan ekspor masih relatif terbatas. Sementara itu, dari sisi internal, dipengaruhi oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi nasional yang ditopang oleh relatif kuatnya konsumsi rumah tangga. Secara umum, kinerja korporasi non keuangan mulai membaik tercermin dari indikator profitabilitas, solvabilitas, likuiditas, dan debt to equity ratio (DER) yang menunjukkan perbaikan, walaupun indikator produktivitas mengalami penurunan. Namun demikian membaiknya kinerja tersebut belum mampu mendorong pertumbuhan kredit perbankan karena korporasi masih cenderung menahan ekspansi usahanya. Hal ini antara lain tercermin dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang mengindikasikan kegiatan usaha pada akhir semester II 2016 tumbuh melambat dibandingkan dengan akhir semester I 2016, namun prospek kegiatan dunia usaha pada triwulan I 2017 diperkirakan akan meningkat. Rumah Tangga dan Korporasi

108 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Kinerja Rumah Tangga dan Korporasi mulai menunjukkan Perbaikan Perbaikan peretumbuhan ekonomi pada 2016 memberikan dampak positif terhadap perilaku rumah tangga Rp Rp Konsumsi RT Kuat Porsi Konsumsi RT menjadi Rp 70,44 % 78,92 % Kemampuan Menabung Naik Kelompok RT yang Menabung menjadi Pertumbuhan DPK Individual menjadi 8,92 % (yoy) Pertumbuhan Kredit Perorangan menjadi 8,32 % (yoy) NPL Perorangan menjadi 1,59 % Kinerja Korporasi Non Keuangan Melambat Dengan Risiko Yang Masih Terjaga Rp Profitabilitas ROA menjadi 4,85 % ROE menjadi 10,08 % Rp Rp Rp Likuiditas dan Kemampuan Solvabilitas Membayar Utang Current Ratio menjadi Rp DSR menjadi 74,23 % 1,47 % DER menjadi TA/TL menjadi 1,00 % 2,00 % Pertumbuhan DPK Pertumbuhan Kredit NPL Gross menjadi Rp menjadi Rp menjadi 16,60 % (yoy) 9,43 % 3,62 % 80

109 Rumah Tangga dan Korporasi 3.1. Asesmen Kondisi dan Risiko Sektor Rumah Tangga Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga Sumber kerentanan sektor rumah tangga antara lain dapat berasal dari perkembangan kondisi perekonomian nasional. Ekonomi Indonesia pada 2016 mengalami peningkatan dibandingkan 2015 yakni dari 4,88% menjadi 5,02% yang menyebabkan sektor rumah tangga relatif tahan (resilience). Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga, perbaikan kinerja investasi, dan peningkatan ekspor. Pada triwulan IV 2016, konsumsi rumah tangga tumbuh sedikit lebih tinggi (4,99%) dari pertumbuhan ekonomi (4,94%). Penguatan konsumsi rumah tangga tersebut antara lain disebabkan meningkatnya pengeluaran transportasi dan komunikasi, kesehatan dan pendidikan, serta makanan dan minuman. Seiring dengan kenaikan tersebut, proporsi pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap PDB menunjukkan sedikit peningkatan yakni dari 54,77% (triwulan IV 2015) menjadi 54,80% (triwulan IV 2016) (Grafik 3.1.). Grafik 3.1. Kontribusi Konsumsi RT Terhadap PDB 105% 90% (yoy) 6,0% 5,6% 75% 60% 4,99% 5,2% 45% 4,94% 4,8% 30% 15% 0% 4,4% 4,0% I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Proporsi Konsumsi RT thd PDB Proporsi Konsumsi Non RT thd PDB Pertumbuhan Konsumsi RT (skala kanan) Pertumbuhan PDB (skala kanan) Peningkatan optimisme rumah tangga terhadap kondisi perekonomian antara lain tercermin dari membaiknya Indeks Penjualan Riil (IPR) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) pada akhir semester I 2016 menunjukkan IPR sebesar 218,0, sedangkan akhir semester II 2016 sedikit meningkat menjadi 218,7 1. Namun jika dilihat dari pertumbuhannya, terdapat perlambatan dibandingkan semester I 2016 yaitu dari 16,3% menjadi 10,5% (yoy) pada semester II 2016 (Grafik 3.2.). Grafik 3.2. Pertumbuhan Penjualan Riil (%) ,4 12,9 11,4 9,7 9,9 10, ,9 9,5 7,5 8,1 3,8 0 0,2 1,9-0,7-2,1-2,6-1, *1** Bulan Puasa Pertumbuhan (%, rotm) Pertumbuhan (%, yoy) Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Sementara Sumber : Survei Penjualan Eceran,. Desember 2016 Sementara itu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 2, menggambarkan keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian saat ini, juga mengalami peningkatan menjadi sebesar 115,4 dibandingkan akhir semester I 2016 (113,7). Kenaikan IKK didorong oleh peningkatan dua komponen pembentuknya yaitu Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). IKE, menggambarkan persepsi konsumen mengenai kondisi ekonomi saat ini, menunjukkan peningkatan Sumber : Badan Pusat Statistik, Indeks Riil Penjualan Eceran merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui sumber tekanan inflasi dari sisi permintaan dan memperoleh gambaran mengenai kecenderungan perkembangan penjualan eceran serta konsumsi masyarakat umumnya. Hasil survei dapat dilihat di website ( 2 Indeks Keyakinan Konsumen merupakan rata-rata sederhana dari indeks Kondisi Ekonomi Saat ini dan Indeks Ekspektasi Konsumen. Hasil survei dapat dilihat di website ( 81

110 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 dari 99,9 pada akhir semester I 2016 menjadi 102,9 pada akhir semester II 2016 (Grafik 3.3.). Peningkatan tersebut didorong oleh kenaikan di seluruh komponen pembentuknya yaitu optimisme terhadap ketersediaan lapangan kerja, penghasilan saat ini, dan ketepatan waktu pembelian barang tahan lama. Demikian juga IEK, menggambarkan ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi 6 bulan mendatang, mengalami peningkatan. Kenaikan IEK disebabkan oleh meningkatnya ekspektasi ketersediaan lapangan kerja 6 bulan mendatang dan ekspektasi kegiatan usaha. Grafik 3.3. Indeks Keyakinan Konsumen, Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini, Indeks Ekspektasi Konsumen (Indeks, rata-rata tertimbang 18 kota) 140,0 130,0 120,0 115,9 115,4 110,0 100,0 90,0 80,0 70,0 Optimis Pesimis 106,7 103,5 Kenaikan Harga BBM Penurunan Harga BBM gas dan tarif listrik Penurunan Harga BBM Penurunan Harga BBM ,5 116, Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) IKK Triwulanan Sumber : Survei Konsumen (18 Kota),. Desember 2016 Pada 3 bulan ke depan, rumah tangga memperkirakan adanya perlambatan tekanan harga yang disebabkan melemahnya tekanan harga pada kelompok sandang dan kelompok bahan makanan (Grafik 3.4). Sedangkan tekanan harga 6 bulan yang akan datang diperkirakan meningkat seiring dengan kenaikan permintaan menjelang Hari Raya Idul Fitri pada akhir Juni 2017 (Grafik 3.5.). Kondisi sektor rumah tangga juga dapat dicermati dari Survei Neraca Rumah Tangga (SNRT). Berdasarkan hasil SNRT 2016, secara umum, komponen neraca responden rumah tangga (yang dikelompokkan berdasarkan pendapatan rendah, menengah dan tinggi) mengalami peningkatan dibandingkan 2015 yaitu aset tumbuh 1,7%, utang 33,6% dan networth 1,0%. Walaupun jika dilihat per kelompok, maka Grafik 3.4. Indeks Ekspektasi Harga pada 3 Bulan Mendatang (Indeks, rata-rata tertimbang 18 kota) % 8,0 6, , ,6 164,9 162,8 2,0 0,0-2, ,0 Inflasi Triwulanan - BPS (skala kanan) Bulan terjadinya Hari Raya Idul Fitri Indeks Ekspektasi Harga 3 Bulan yad (skala kiri) Sumber : Survei Konsumen (18 Kota),. Desember

111 Rumah Tangga dan Korporasi Grafik 3.5. Indeks Ekspektasi Harga pada 6 Bulan Mendatang (Indeks, rata-rata tertimbang 18 kota) 200 (%) 8, ,6 6,0 4, ,5 158, ,0 0,0 Inflasi Semesteran - BPS (skala kanan) Bulan terjadinya Hari Raya Idul Fitri Indeks Ekspektasi Harga 6 Bulan yad (skala kiri) Sumber : Survei Konsumen (18 Kota),. Desember 2016 kelompok responden rumah tangga pendapatan rendah mengalami penurunan pada aset dan networth. Penjelasan rinci mengenai hasil SNRT 2016 terdapat pada Boks Kinerja Keuangan Rumah Tangga Perbaikan pertumbuhan ekonomi domestik pada 2016 memberikan dampak positif terhadap perilaku rumah tangga yang dapat diindikasikan dari hasil survei konsumen Desember Alokasi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi mengalami peningkatan dibandingkan 2015 yaitu dari 69,46% menjadi sebesar 70,44%, namun jika dibandingkan dengan semester I 2016 terdapat sedikit penurunan (Grafik 3.6.). Sementara itu, alokasi pengeluaran rumah tangga untuk pembayaran cicilan pinjaman juga meningkat menjadi 12,33%, sedangkan alokasi pengeluaran untuk tabungan relatif tetap yakni sebesar 17,23% pada 2016 (Grafik 3.6). Kenaikan alokasi cicilan pinjaman tersebut antara lain disebabkan pembayaran cicilan hutang rumah tangga yang cenderung meningkat pada akhir tahun. Kenaikan alokasi pengeluaran rumah tangga untuk cicilan pinjaman terjadi karena adanya peningkatan jumlah rumah tangga yang memiliki DSR>30% yakni semula 7,32% dari total responden (semester I 2016) menjadi 8,97% (semester II 2016). Peningkatan Grafik 3.6. Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga Desember 2015 Juni 2016 Desember ,36% 17,76% 17,23% 13,18% 11,61% 12,33% 69,46% 70,63% 70,44% Konsumsi Cicilan Pinjaman Tabungan Sumber: Survei Konsumen (30 Kota),. Desember Diolah 83

112 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 terutama terjadi pada kelompok rumah tangga dengan pendapatan menengah ke atas. Sementara itu kelompok rumah tangga berpendapatan rendah cenderung mengurangi hutangnya (Tabel 3.1). Di sisi lain, peningkatan alokasi cicilan pinjaman menyebabkan jumlah rumah tangga yang dapat menabung lebih dari 30% dari pendapatannya mengalami penurunan menjadi 13,29% dibandingkan dengan semester sebelumnya sebesar 20,34%. Namun demikian rumah tangga masih berusaha untuk menabung tercermin dari peningkatan jumlah rumah tangga yang mengalokasikan 0-10% dan 10%-20% dari pendapatannya untuk menabung yaitu masing-masing dari 22,80% dan 15,96% menjadi 27,41% dan 24,34% (Tabel 3.2). Tabel 3.1. Komposisi DSR Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan Semester I 2016 Semester II 2016 Pendapatan Total DSR 0-10% 10%-20% 20%-30% >30% Pendapatan Total DSR 0-10% 10%-20% 20%-30% >30% Rp 1,34-2,69 juta 25,54% 17,52% 3,52% 2,60% 1,90% Rp 2,93-4,19 juta 34,51% 21,84% 6,10% 4,41% 2,16% Rp 4,55-5,87 juta 21,69% 12,56% 4,38% 3,44% 1,30% Rp 6,05-7,70 juta 9,41% 5,45% 1,89% 1,34% 0,72% > Rp 7,70 juta 8,86% 4,55% 1,56% 1,53% 1,24% Total 100,00% 61,91% 17,44% 13,32% 7,32% Rp 1,40-2,79 juta 8,78% 4,51% 1,71% 1,33% 1,23% Rp 2,88-4,11 juta 25,45% 16,25% 4,27% 2,89% 2,04% Rp 4,50-5,80 juta 34,14% 21,57% 6,02% 3,90% 2,64% Rp 6,20-7,61 juta 21,57% 12,11% 4,51% 2,95% 2,01% > Rp 7,61 juta 10,06% 5,34% 2,11% 1,56% 1,05% Total 100,00% 59,78% 18,63% 12,62% 8,97% Tabel 3.2. Komposisi Tabungan Berdasarkan Tingkat Pendapatan per Bulan Semester I 2016 Pendapatan Total Tabungan 0-10% 10%-20% 20%-30% >30% Tidak bisa menabung Rp 1,34-2,69 juta 25,54% 5,10% 3,34% 3,26% 7,76% 5,96% Rp 2,93-4,19 juta 34,51% 7,63% 5,56% 4,55% 7,13% 9,65% Rp 4,55-5,87 juta 21,69% 5,84% 3,71% 3,38% 3,19% 5,56% Rp 6,05-7,70 juta 9,41% 2,25% 1,66% 1,57% 1,36% 2,57% > Rp 7,70 juta 8,86% 1,98% 1,59% 1,31% 0,91% 3,08% Total 100,00% 22,80% 15,96% 14,07% 20,34% 26,82% Semester II 2016 Pendapatan Total Tabungan 0-10% 10%-20% 20%-30% >30% Tidak bisa menabung Rp 1,40-2,79 juta 8,78% 3,01% 1,84% 1,17% 1,50% 1,27% Rp 2,88-4,11 juta 25,45% 6,36% 5,71% 3,49% 3,47% 6,42% Rp 4,50-5,80 juta 34,14% 9,55% 8,41% 4,43% 3,78% 7,96% Rp 6,20-7,61 juta 21,57% 5,63% 5,74% 3,13% 2,98% 4,09% > Rp 7,61 juta 10,06% 2,85% 2,64% 1,67% 1,56% 1,34% Total 100,00% 27,41% 24,34% 13,89% 13,29% 21,08% Sumber: Survei Konsumen (30 Kota),. Desember 2015 dan Desember Diolah 84

113 Rumah Tangga dan Korporasi Dana Pihak Ketiga Rumah Tangga 3 di Perbankan Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) rumah tangga pada akhir 2016 mengalami kenaikan. Pada akhir semester II 2016, DPK rumah tangga tumbuh 8,92% (yoy) atau meningkat dibandingkan semester II 2015 (6,35%) maupun semester I 2016 (7,18%). Pertumbuhan DPK rumah tangga tersebut lebih rendah dari pertumbuhan total DPK perbankan (9,60%) dan juga pertumbuhan DPK bukan rumah tangga (10,47%) (Grafik 3.7). Walaupun mengalami perlambatan, porsi DPK rumah tangga masih mendominasi DPK perbankan dan terdapat peningkatan pada semester II 2016 dibandingkan semester I 2016 yaitu dari 54,65% menjadi sebesar 55,81%. Grafik 3.7. Komposisi dan Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pangsa (%) 45,47 54,53 43,36 46,00 43,84 45,35 44,19 56,64 54,00 56,16 54,65 55,81 Sem-I 2014 Sem-II 2014 Sem-I 2015 Sem-II 2015 Sem-I 2016 Sem-II 2016 RT Non RT (yoy) % ,63 14,51 12,61 Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II RT ,06 12,29 11,31 Non-RT 13,97 12,65 11,56 8,45 7,26 6, Total 7,18 5,90 4,40 10,47 9,60 8,92 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pangsa (%) 6,21 41,24 52,55 44,86 51,23 5,94 42,57 51,48 42,10 53,15 6,27 44,76 48,97 45,82 50,28 3,91 4,74 3,90 5,19 4,63 5,45 RT Non-RT RT Non-RT RT Non-RT RT Non-RT RT Non-RT RT Non-RT 5,78 41,94 52,27 43,64 51,17 5,32 6,54 41,77 52,92 45,28 40,29 50,09 44,35 53,17 50,21 Sem-I 2014 Sem-II 2014 Sem-I 2015 Sem-II 2015 Sem-I 2016 Sem-II 2016 Tabungan Deposito Giro Sumber: Laporan Bank Umum,. Desember Diolah Keterangan : DPK RT diproksikan dari DPK perseorangan 3 Dana Pihak Ketiga rumah tangga dihitung dengan menggunakan proksi Dana Pihak Ketiga milik perseorangan 85

114 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Berdasarkan komponennya, peningkatan DPK rumah tangga terutama dipengaruhi oleh kenaikan giro dan deposito, yaitu dari semula giro turun -9,07% dan deposito relatif stagnan menjadi tumbuh 23,10% dan 4,63% (yoy) pada semester II Sementara itu, tabungan mengalami perlambatan menjadi 10,79% dari sebelumnya sebesar 15,82% (yoy). Namun demikian, porsi tabungan terhadap total DPK rumah tangga tetap yang tertinggi bahkan meningkat yakni dari 52,92% menjadi 53,17% pada semester II 2016 (Grafik 3.8.). Grafik 3.8. Komposisi dan Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga Rumah Tangga Pangsa (%) ,79 6,43 6,21 5,49 6,27 5,78 5,32 6, ,46 38,62 41,24 42,57 44,76 41,94 41,77 40, ,75 54,95 52,55 51,48 48,97 52,27 52,92 53, Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Tabungan Deposito Giro yoy (%) , ,79 8,92 5 4, Sem-I 13 Sem-II 13 Sem-I 14 Sem-II 14 Sem-I 15 Sem-II 15 Sem-I 16 Sem-II 16 Tabungan Deposito Giro Total Sumber: Laporan Bank Umum,. Desember Diolah Kredit Perbankan pada Sektor Rumah Tangga 4 Pertumbuhan kredit perbankan kepada sektor rumah tangga sudah mulai menunjukkan kenaikan setelah sempat mengalami perlambatan. Hal ini tercermin dari kredit ke sektor rumah tangga pada semester II 2016 tumbuh lebih tinggi yakni menjadi 8,32% (yoy) dibandingkan semester I 2016 (7,92%). Kredit ke sektor rumah tangga tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan Grafik 3.9 Komposisi Kredit Perbankan 100% 14% 80% 55,06% 55,02% 55,12% 56,00% 55,51% 55,82% 12% 60% 8,32 10% 8% 40% 44,94% 44,98% 44,88% 44,00% 44,49% 44,18% 6% 4% 20% 2% 0% Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Perseorangan Bukan Perseorangan Pertumbuhan Kredit Sektor RT Sumber: Laporan Bank Umum,. Desember Diolah 0% 4 Yang dimaksud kredit sektor rumah tangga pada sub bab ini adalah kredit perseorangan baik untuk tujuan produktif maupun konsumtif 86

115 Rumah Tangga dan Korporasi total kredit industri perbankan (7,86%). Pangsa kredit sektor rumah tangga terhadap total kredit perbankan pada semester II 2016 tercatat sebesar 44,18%, sedikit menurun dibandingkan semester sebelumnya yaitu 44,49% (Grafik 3.9). Sebagian besar kredit ke sektor rumah tangga digunakan untuk konsumsi (61,55%), diikuti modal kerja (27,22%) dan investasi (11,23%) (Tabel 3.3.). Tabel 3.3 Kredit Sektor Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Penggunaannya Jenis Penggunaan Kredit (Rp. T) Des-15 Jun-16 Des-16 Pangsa (%) NPL (%) Kredit (Rp. T) Pangsa (%) NPL (%) Kredit (Rp. T) Pangsa (%) NPL (%) 1. Modal Kerja 498,67 27,93 3,75 512,87 27,66 4,21 526,43 27,22 3,54 2. Investasi 200,25 11,22 4,53 211,13 11,39 5,01 217,24 11,23 4,21 3. Konsumsi 1.086,46 60,85 1, ,28 60,95 1, ,27 61,55 1,53 TOTAL 1.785,38 100,00 2, ,28 100,00 2, ,93 100,00 2,38 Sumber: Laporan Bank Umum,. Desember Diolah Kredit ke sektor rumah tangga untuk keperluan konsumsi (selanjutnya disebut dengan kredit konsumsi rumah tangga) tumbuh melambat dari 8,89% pada semester I 2016 menjadi 6,99% (yoy) pada semester II Perlambatan tersebut terutama disebabkan menurunnya penyaluran kredit untuk kepemilikan kendaraan bermotor (KKB) yakni sebesar -2,01%, walaupun sedikit membaik dibandingkan semester I 2016 (-5,38%, yoy). Kondisi perekonomian domestik dan daya beli masyarakat yang belum begitu membaik mempengaruhi keputusan pembelian barang kebutuhan sekunder tahan lama oleh rumah tangga, seperti kendaraan bermotor. Pertumbuhan kredit konsumsi rumah tangga ditopang oleh pertumbuhan kredit untuk keperluan multiguna dan pemilikan rumah (KPR) yang masing-masing tumbuh sebesar 8,24% dan 7,67% (yoy) pada akhir Grafik Perkembangan Kredit Konsumsi Rumah Tangga Berdasarkan Komponen (yoy) % ,24 6,99 7, (2,01) Sep-12 Dec-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Dec-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Dec-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Dec-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Dec-16 KPR KKB Multiguna Total RT Sumber: Laporan Bank Umum,. Desember Diolah 87

116 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Dari sisi kualitas kredit, perkembangan rasio NPL kredit konsumsi rumah tangga pada 2016 cenderung mengikuti siklus tahunan yakni lebih rendah pada akhir semester II dibandingkan semester I. Pada akhir 2016, rasio NPL kredit konsumsi rumah tangga meningkat menjadi sebesar 1,59% dibandingkan 2015 (1,55%), namun cenderung membaik dibandingkan semester I 2016 yaitu sebesar 1,75% (Grafik 3.11.). Peningkatan NPL tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan NPL KPR yakni dari 2,34% (2015) menjadi 2,54% (2016). Sebaliknya, NPL KKB dan NPL kredit untuk keperluan multiguna sedikit membaik yakni dari 1,40% dan 0,88% (2015) menjadi 1,32% dan 0,83% (2016). Meskipun NPL kredit konsumsi rumah tangga masih berada di bawah threshold (5%), namun perkembangannya tetap perlu dicermati di tengah pertumbuhan kredit yang melambat, terutama NPL KPR yang menyumbang sebagian besar NPL kredit konsumsi rumah tangga. Sementara itu, porsi kredit konsumsi rumah tangga pada tahun 2016 didominasi oleh kredit multiguna yakni mencapai 41,78%, diikuti KPR (40,19%) dan KKB (12,05%), atau sama dengan tahun sebelumnya. Grafik Nominal dan NPL Kredit Konsumsi Rumah Tangga Rp (Triliun) NPL % 980 2,00 1,59 1,60 1,20 0,80 0,40 0,00 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Dec-16 Kredit RT NPL RT (skala kanan) Grafik Perkembangan NPL Kredit Konsumsi Rumah Tangga per Komponen Grafik Komposisi Kredit Konsumsi Rumah Tangga per Jenis NPL (%) 3,5 3,0 5,57% 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5-2,54 1,59 1,32 0,83 41,78% 41,30% 5,31% Des ,30% 13,16% 39,94% 40,19% Perumahan Kendaraan Peralatan RT Multiguna RT Lainnya Mar-12 Jun-12 Sep-12 Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 KPR KKB Multiguna Total RT Dec-16 0,40% 12,05% Des 2016 Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum,. Desember Diolah 88

117 Rumah Tangga dan Korporasi 3.2. Asesmen Kondisi dan Risiko Sektor Korporasi Sumber Kerentanan Sektor Korporasi Perkembangan di internal dan eksternal mempengaruhi kinerja keuangan sektor korporasi pada semester II Dari sisi internal, dipengaruhi oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan IV 2016 yang ditopang oleh kuatnya konsumsi rumah tangga. Sementara itu, dari sisi eksternal, faktor yang mempengaruhi antara lain adalah belum kuatnya pemulihan ekonomi global, walaupun harga beberapa komoditas mulai meningkat namun pertumbuhan ekspor masih relatif terbatas. Beberapa komoditas utama menunjukkan kenaikan harga meskipun masih jauh di bawah harga tertingginya pada 2011 (Grafik 3.15). Peningkatan harga terjadi pada beberapa komoditas seperti minyak mentah, minyak sawit mentah (crude palm oil/cpo), karet, serta komoditas logam seperti timah dan tembaga yang didorong oleh naiknya permintaan dari luar negeri. Kenaikan tersebut dapat mendorong peningkatan kinerja ekspor terutama pada triwulan IV Saat ini, walaupun perekonomian Tiongkok dan Amerika Serikat sebagai negara utama tujuan ekspor Indonesia relatif masih belum pulih, namun sudah mulai terjadi peningkatan permintaan dari kedua negara tersebut. Kenaikan ekspor tidak hanya terjadi pada barang komoditas tetapi juga terjadi pada barang-barang nonkomoditas lainnya. Selain tumbuhnya ekspor, kinerja korporasi juga ditopang oleh permintaan domestik seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional pada Grafik Perkembangan Harga Beberapa Komoditas USD USD ,7 USD/kg USD/metric ton Jan-07 Agt-07 Mar-08 Okt-08 Mei-09 Batu Bara Des-09 Des-10 Feb-11 Sep-11 Apr-12 Nov-12 Jun-13 Jan-14 Agt-14 Minyak Mentah 47,92 USD /short ton 53,71 USD/bbl 8,03 USD/mmbtu Mar-15 Okt-15 Mei-16 Des-16 Gas (skala kanan) ,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 Jan-07 Agt-07 Mar-08 Karet Okt-08 Mei-09 Des-09 Des-10 Feb-11 Sep-11 Apr-12 Nov-12 Jun-13 Jan-14 Agt ,37 USD/metric ton 2,48 USD/kg Mar-15 Okt-15 Minyak Kelapa Sawit (Skala Kanan) Mei-16 Des USD/metric ton USD/metric ton 12,000 35,000 10,000 8,000 6,000 4, ,21 USD /metric ton ,06 USD/metric ton 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 2, ,42 USD/metric ton 5,000 0 Jan-07 Agt-07 Mar-08 Oct-08 Mei-09 Des-09 Jan-10 Feb-11 Sep-11 Apr-12 Nov-12 Jun-13 Jun-14 Agt-14 Mar-15 Okt-15 Mei-16 Des-16 Tembaga (skala kanan) Aluminium Timah Sumber: Bloomberg. Diolah 89

118 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Secara sektoral, kinerja komoditas kelapa sawit mengalami kenaikan permintaan domestik disebabkan adanya program mandatori biodiesel B20 oleh pemerintah, meskipun produksinya sempat dipengaruhi oleh dampak La Nina. Sementara itu, realisasi proyek-proyek pemerintah pada akhir 2016 turut mendorong membaiknya profitabilitas korporasi walaupun dampaknya terhadap kinerja korporasi secara menyeluruh di triwulan IV 2016 masih relatif terbatas. Grafik Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia 55 USD Miliar Rp Ribu , , , Mar-11 Jun-11 Sep-11 Des-11 Mar-12 Jun-12 Ekspor Sep-12 Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des-16 Kurs Rupiah (sisi kiri) Sumber:, diolah. Impor Kinerja Korporasi Secara umum, kinerja korporasi dipengaruhi oleh kegiatan usaha. Perkembangan kegiatan usaha tersebut antara lain dapat dilihat dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) pada akhir semester II 2016 yang mengindikasikan kegiatan usaha tumbuh melambat dibandingkan dengan kondisi pada akhir semester I Perlambatan tersebut tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kegiatan usaha pada semester II 2016 tercatat sebesar 3,13%, lebih rendah dibandingkan SBT semester I 2016 sebesar 18,40% (Grafik 3.16). Pertumbuhan kegiatan usaha yang melambat pada semester II 2016 terjadi hampir di seluruh sektor, terutama di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan yang turun menjadi -4,07%, serta sektor pertambangan dan penggalian yang turun menjadi -1,82%. Penurunan SBT pada kedua sektor tersebut antara lain disebabkan oleh faktor musiman (cuaca) dan melambatnya permintaan. Namun demikian prospek kegiatan dunia usaha pada triwulan I 2017 diperkirakan akan meningkat tercermin dari kenaikan SBT menjadi 6,73%. Peningkatan tersebut diperkirakan terutama didorong oleh membaiknya sektor industri pengolahan dengan indikasi SBT sebesar 2,98%, meningkat dari sebelumnya -0,77% (semester I 2016). %qtq 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0-1,0-2,0-3,0 Grafik Perkembangan Realisasi dan Perkiraan Dunia Usaha %SBT 25,0 20,0 13,20 15,0-0,35 1,83 6,73 10,0 5,80 3,13 5,0 I II III IV I II III IV I II 3,02 III IV I II III IV I* 0,0 *) Perkiraan Nilai SBT SKDU (skala kanan) Pertumbuhan PDB (skala kiri) Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha,, semester II 2016 Sehubungan dengan kegiatan usaha yang tumbuh melambat, rata-rata kapasitas produksi terpakai juga sedikit menurun yakni dari 77,01% (semester I 2016) menjadi 76,28% (semester II 2016). Penggunaan kapasitas produksi paling tinggi terjadi pada sektor listrik, gas dan air bersih yakni secara rata-rata tercatat sebesar 81,81% pada periode laporan. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian memiliki tingkat penggunaan kapasitas produksi terendah, rata-rata sebesar 73,06%. 90

119 Rumah Tangga dan Korporasi % I Total II Grafik Kapasitas Produksi Terpakai III IV I II Pertanian, Perternakan, Kehutanan dan Perikanan Listrik, Gas dan Air Bersih Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha,, semester II 2016 Meskipun survei kegiatan dunia usaha tumbuh melambat, kinerja korporasi nonkeuangan yang tercermin dari indikator profitabilitas, solvabilitas, likuiditas, dan debt to equity ratio (DER) cenderung menunjukkan perbaikan, walaupun indikator produktivitas mengalami penurunan. Produktivitas korporasi nonkeuangan sebagaimana terlihat dari rasio perputaran aset dan perputaran inventori menunjukkan penurunan pada triwulan III Dibandingkan dengan triwulan III 2015, indikator asset turnover turun dari 0,71 menjadi 0,66 dan indikator inventory turnover turun dari 6,03 menjadi 5,89 pada triwulan III III IV 81,81 75,65 74,59 73,06 Sementara itu profitabilitas korporasi nonkeuangan secara agregat mengalami peningkatan. Rasio ROA dan ROE pada triwulan III 2016 masing-masing tercatat sebesar 4,85% dan 10,08%, atau meningkat dibandingkan triwulan III 2015 sebesar 3,81% dan 8,21%. Kenaikan ROA dan ROE tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan net income karena korporasi melakukan upaya-upaya efisiensi, baik berupa penurunan biaya maupun utang. Hal ini tercermin dari penurunan proporsi utang korporasi pada triwulan III 2016 dibandingkan periode yang sama di 2015 yang terjadi hampir di semua sektor, kecuali sektor pertambangan dengan proporsi utang yang tetap. Secara agregat, indikator rasio utang terhadap ekuitas (DER) menurun dari 1,16 (triwulan III 2015) menjadi 1,00 (triwulan III 2016). Penurunan DER tersebut mendorong naiknya indikator solvabilitas (Total Aset/ Total Liabilitas) dan likuiditas (current ratio) korporasi yakni masing-masing menjadi 2,00 dan 1,47 (triwulan III 2016) dibandingkan 1,87 dan 1,40 pada triwulan III Grafik Indikator Kinerja Keuangan Korporasi Non Keuangan Current Ratio 10,00 8,00 6,00 Inventory Turnover 4,00 2,00 0,00 ROA 2015Q3 2015Q4 2016Q3 TA/TL ROE Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg. Diolah Keterangan: Semakin besar rasio (semakin luas bidang grafik) mengindikasikan kinerja yang relatif lebih baik. 91

120 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Tabel 3.4. Indikator Kinerja Keuangan Korporasi Non Keuangan No, Sektor ROA (%) ROE (%) DER Current Ratio TA/TL Asset TO Inventory TO Pertanian 0,47% 3,28% 1,01% 7,01% 1,26 1,03 0,76 0,91 1,80 1,97 0,61 0,47 8,10 6,66 2 Industri Dasar dan Kimia 2,16% 4,25% 4,48% 8,59% 1,08 0,97 1,36 1,43 1,93 2,03 0,71 0,67 4,97 5,08 3 Industri Barang Konsumsi 11,00% 12,28% 22,28% 22,86% 1,07 0,71 1,61 1,98 1,94 2,42 1,31 1,31 4,62 4,82 4 Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi 2,52% 5,09% 6,72% 12,58% 1,67 1,30 1,04 0,98 1,60 1,77 0,53 0,52 70,86 66,21 5 Aneka Industri 4,33% 4,39% 9,88% 9,82% 1,29 1,18 1,20 1,25 1,77 1,85 0,79 0,73 7,38 7,55 6 Pertambangan 1,06% 0,87% 2,06% 1,64% 0,88 0,88 1,63 2,06 2,14 2,13 0,53 0,45 9,81 9,53 7 Properti dan Real Estate 5,47% 4,61% 11,54% 9,56% 1,09 1,06 1,79 1,70 1,92 1,94 0,36 0,32 1,88 1,70 8 Perdagangan, jasa dan investasi 3,72% 4,23% 7,16% 7,99% 0,93 0,85 1,58 1,58 2,08 2,18 0,92 0,88 7,27 7,29 Agregat 3,81% 4,85% 8,21% 10,08% 1,16 1,00 1,40 1,47 1,87 2,00 0,71 0,66 6,03 5,89 Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg, diolah. Keterangan: Posisi data triwulan III-2015 & triwulan III-2016 (Jumlah korporasi non keuangan yang diobservasi sebanyak 379). Grafik Perkembangan Kinerja Keuangan Korporasi Publik Non Keuangan 10% ROA (%) ROE (skala kanan) 20% 1.8 DER Current Ratio TA/TL (skala kanan) 2.2 8% 6% 4% 15% 10% % 5% % Mar-11 Des-11 Sep-12 Jun-13 Jun-14 Jun-14 Sep-15 Jun-15 Jun-11 Mar-12 Des-12 Sep-13 Jun-14 Jun-15 Des-15 Sep Mar-10 Des-11 Sep-12 Jun-13 Mar-14 Des-14 Sep-15 Jun-16 Jun-11 Mar-12 Des-12 Sep-13 Jun-14 Mar-15 Des-15 Sep-16 Sep-11 Jun-12 Mar-13 Des-13 Sep-14 Jun-15 Mar Mar-11 Des-11 Asset Turnover Sep-12 Jun-13 Mar-14 Des-14 Sep-15 Jun-16 Jun-11 Mar-12 Des-12 Inventory Turnover (skala kanan) Sep-13 Jun-14 Mar-15 Des-15 Sep Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg, diolah. Keterangan: Posisi data triwulan III 2015 & triwulan III 2016 (jumlah korporasi non keuangan yang diobservasi sebanyak 379). 92

121 Rumah Tangga dan Korporasi Profitabilitas yang membaik menyebabkan kemampuan korporasi nonkeuangan dalam membayar utang mengalami perbaikan pada triwulan III Debt Service Ratio (DSR) di triwulan III 2016 tercatat sebesar 74,23% (median) atau menurun tipis dibandingkan dengan posisi triwulan IV 2015 sebesar 74,73% (median). Penurunan DSR tersebut diikuti oleh turunnya pangsa korporasi yang memiliki DSR>100% dan DSR negatif yakni dari 59,21% menjadi 57,31% untuk periode yang sama. Selain itu, kemampuan korporasi dalam membayar bunga juga mengalami peningkatan, tercermin dari nilai Interest Coverage Ratio (ICR) pada triwulan III 2016 sebesar 2,21, atau mengalami sedikit kenaikan dibandingkan triwulan IV 2015 (2,18). Hal ini sejalan dengan penurunan pangsa korporasi yang memiliki nilai ICR<1,5 yang mengindikasikan semakin kecilnya utang korporasi yang berisiko (debt at risk 5 ). Grafik 3.20.Perkembangan Kemampuan Membayar Korporasi Non Keuangan 100 % % ,21 57, ,49 46,71 47, , ,97 47,17 58,26 67,69 74,73 74, Sep % Korporasi DSR>100 dan DSR negatif (skala kanan) DSR Median % % 8, ,38 38, ,0 40,90 32,89 32, ,0 5,0 26,14 27,18 33, ,32 26,32 31,58 31, ,0 20 3,0 15 2,0 10 1,0 4,34 4,73 3,68 3,16 2,18 2,21 5 0, Sep-16 ICR (Median) % Korporasi ICR<1.5 (skala kanan) Debt at risk Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg, diolah. Keterangan: Posisi data triwulan IV tahun dan triwulan III tahun 2016 (379 korporasi) 5 Debt at risk: Total utang korporasi dengan ICR <1,5 / Total utang seluruh korporasi 93

122 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Sementara itu, kinerja korporasi di sektor komoditas utama cukup bervariasi. Dari 5 komoditas yakni batubara, kelapa sawit, karet, minyak dan gas, serta logam, hanya 2 yang menunjukkan perbaikan kinerja yaitu kelapa sawit dan karet. Perbaikan kinerja ini disebabkan oleh kenaikan harga sepanjang Rendahnya nilai ROA dan ROE korporasi di sektor batubara, minyak dan gas serta logam diiringi dengan kenaikan nilai DER menyebabkan tingkat kerentanan korporasi di ketiga sektor tersebut meningkat terutama dalam jangka panjang (Tabel 3.5). Oleh karena itu, peningkatan DER tersebut perlu dimonitor di tengah penurunan profitabilitas dan produktivitas korporasi karena dapat berdampak pada kemampuan membayar kewajibannya. Tabel 3.5. Indikator Kinerja Keuangan Korporasi Komoditas Utama Sektor ROA (%) ROE (%) DER TA/TL Current Ratio Asset Turnover Inventory TO Batubara -3,39% -4,51% -10,17% -14,59% 2,02 2,53 0,63 0,67 1,49 1,40 0,44 0,43 12,86 15,75 Kelapa Sawit 0,71% 3,35% 1,52% 7,34% 1,27 1,11 0,77 0,87 1,79 1,90 0,61 0,47 8,56 7,04 Karet -0,08% 1,24% -0,17% 2,66% 1,16 1,13 0,55 0,58 1,86 1,89 0,36 0,33 7,17 6,79 Minyak dan Gas -1,51% -5,09% -4,34% -16,78% 1,97 2,74 0,88 1,07 1,51 1,37 0,26 0,22 12,95 11,75 Logam -1,80% -2,31% -3,34% -4,11% 0,77 0,78 1,13 1,37 2,30 2,28 0,57 0,42 4,03 3,47 Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg, diolah. Posisi data triwulan III 2015 & triwulan III 2016 (jumlah korporasi komoditas yang diobservasi sebanyak 73) Grafik Perkembangan Kinerja Keuangan Korporasi Komoditas Utama 15% ROA 3.0 DER 10% 2.5 5% 2.0 0% -5% % I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III I II III IV 2012 I II III IV I II III IV I II III IV I II III Current Ratio Inventory Turnover I II III IV 2012 I II III IV I II III IV I II III IV I II III I II III IV 2012 I II III IV I II III IV I II III IV I II III Batu bara Kelapa Sawit Logam Karet Minyak dan Gas Sumber: Laporan Keuangan Korporasi di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg, diolah. 94

123 Rumah Tangga dan Korporasi Selanjutnya, dari sisi risiko, potensi risiko kegagalan sektor korporasi menunjukkan penurunan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini tercermin dari hasil perhitungan Altman Z-Score 6 dengan menggunakan data 212 korporasi publik nonkeuangan yang tersebar di seluruh sektor ekonomi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pangsa korporasi yang berada di area berisiko pada triwulan III 2016 menurun dibandingkan dengan triwulan III 2015, yaitu dari 45,45% menjadi 40,57%. Selain itu, tren pangsa korporasi yang berisiko cenderung menurun sejak triwulan I Angka tersebut juga relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan periode krisis Sementara itu, hasil plotting Altman Z-Score dengan pertumbuhan PDB menunjukan bahwa perkembangan kondisi perekonomian dapat berpengaruh terhadap kinerja korporasi Grafik Kinerja Korporasi Berdasarkan Altman Z-Score Pangsa % Des-07 Mar-08 Jun-08 Sep-08 44,89 40,63 Des-08 Mar-09 Jun-09 Sep-09 Des-09 Mar-10 Jun-10 Sep-10 Des-10 Mar-11 Jun-11 Sep-11 Des-11 Mar-12 Jun-12 Sep-12 Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Aman Beresiko Moderat Sumber: Bloomberg, CEIC, September Diolah Mar-16 Jun-16 Jun-16 41,04 40,57 18, Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Peningkatan kinerja keuangan korporasi nonkeuangan belum sejalan dengan eksposur kredit korporasi perbankan yang menunjukkan perlambatan. Hal ini antara lain disebabkan korporasi cenderung menahan ekspansi usahanya di tengah kondisi Sep Mar-11 Jun-11 Grafik Pergerakan Korporasi Berisiko dan GDP Pangsa % Sep-11 Des-11 Mar-12 Jun-12 Sep-12 PDB (skala kanan) Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Pangsa Korporasi Berisiko Sumber: Bloomberg, CEIC, September Diolah ketidakpastian perekonomian global dan domestik, sehingga berpengaruh terhadap permintaan kredit. Pada semester II 2016, porsi kredit perbankan yang disalurkan ke sektor korporasi sedikit meningkat yakni dari 48,39% di semester I 2016 menjadi 48,43%. Porsi penyaluran kredit korporasi terhadap total kredit terbesar terdapat pada bank BUKU 4 dan BUKU 3, masing-masing sebesar 45,69% dan 37,36%. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa penyaluran kredit bank BUKU 4 dan BUKU 3 lebih berorientasi pada korporasi, sedangkan bank BUKU 2 dan BUKU 1 lebih berorientasi pada pembiayaan kredit ritel (Grafik 3.24) Grafik Kredit Korporasi per BUKU Sumber: Laporan Bank Umum, Desember Diolah PDB % (yoy) Sep-15 Des-15 Mar-16 40,57 Pangsa (%) (%) Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des 5,01 Jun-16 Sep-16 Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des ,43 3,62 BUKU 1 BUKU 3 Pertumbuhan Kredit (yoy, skala kanan) BUKU 2 BUKU 4 NPL Gross (skala kanan) 7,0 6,5 6,0 5,5 5,0 4,5 4, Altman Zscore, metode kuantitatif untuk mengukur kesehatan dan probabilitas kebangkrutan korporasi. Perhitungan Altman s Z-score dimana Z> 2,99 Zona aman, 1,81 < Z < 2,99 Zona moderat, Z < 1,81 Zona berisiko ; menggunakan data 212 korporasi publik non keuangan yang tersebar pada seluruh sektor ekonomi 95

124 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Kredit perbankan ke sektor korporasi pada semester II 2016 tumbuh melambat yakni tercatat sebesar 9,43% (yoy), dibandingkan dengan semester I 2016 (12,13%). Perlambatan tersebut terutama dipengaruhi oleh perlambatan di sektor jasa-jasa sosial serta sektor pengangkutan, pergudangan dan komunikasi (Tabel 3.6). Bahkan secara nominal, sektor pengangkutan, pergudangan dan komunikasi merupakan satu-satunya sektor yang mengalami penurunan nilai kredit. Selain itu, sektor industri pengolahan yang merupakan pangsa kredit terbesar, pertumbuhan kreditnya juga melambat. Sedangkan sektor pertambangan yang mengalami penurunan kredit sejak tahun lalu mulai menunjukkan perbaikan di semester II Meskipun tumbuh melambat, pertumbuhan kredit korporasi masih lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit industri perbankan secara keseluruhan. Sementara itu, kualitas kredit korporasi mengalami sedikit pemburukan, tercermin dari rasio NPL gross yang meningkat dari 3,56% (semester I 2016) menjadi 3,62% (semester II 2016), sedangkan sebagian sektor yang lain menunjukkan perbaikan. NPL gross tertinggi terjadi di sektor pertambangan yang meningkat dari 6,13% menjadi 7,13% di semester II Hal ini antara lain disebabkan kinerja industri pertambangan sepanjang semester II 2016 yang masih belum membaik di tengah perlambatan pemulihan ekonomi global yang mengakibatkan rendahnya permintaan global terhadap produk pertambangan. Tabel 3.6. Kredit Korporasi menurut Sektor Ekonomi No Sektor Ekonomi Baki Debet (Rp T) Pangsa (%) Des-15 Juni-16 Des-16 Pertmb. Kredit, yoy (%) NPL Gross (%) 1 Industri pengolahan 652,68 33,69 15,11 2,39 655,16 32,48 9,46 3,78 680,71 32,11 4,29 3,60 2 Perdagangan, restoran, dan hotel 411,90 21,26 16,29 2,95 430,01 21,32 13,14 3,61 447,05 21,09 8,53 4,47 3 Jasa-jasa dunia usaha 173,53 8,96 14,21 2,01 190,20 9,43 24,52 2,15 204,43 9,64 17,81 2,20 4 Pertanian 157,89 8,15 14,76 1,30 179,82 8,92 23,68 1,01 193,65 9,14 22,65 1,68 5 Pengangkutan, pergudangan dan 136,55 7,05 18,76 4,14 157,59 7,81 21,17 4,63 165,68 7,82 21,33 3,63 komunikasi 6 Konstruksi 152,13 7,85 2,52 3,65 151,21 7,50 1,31 5,61 143,69 6,78 (5,55) 5,07 7 Pertambangan 92,79 4,79 22,54 2,38 104,87 5,20 27,78 1,73 128,06 6,04 38,01 1,65 8 Listrik, gas, dan air 122,95 6,35 (5,88) 3,73 109,85 5,45 (14,92) 6,13 116,44 5,49 (5,29) 7,13 9 Jasa-jasa sosial/masyarakat 29,04 1,50 2,25 3,40 31,66 1,57 32,86 3,17 33,33 1,57 14,77 1,92 10 Lain-lain 7,64 0,39 (22,92) 2,29 6,52 0,32 (14,28) 4,99 6,63 0,31 (13,13) 0,61 Total 1.937,09 100,00 12,70 2, ,89 100,00 12,13 3, ,68 100,00 9,43 3,62 Baki Debet (Rp T) Pangsa (%) Pertmb. Kredit, yoy (%) NPL Gross (%) Baki Debet (Rp T) Pangsa (%) Pertmb. Kredit, yoy (%) NPL Gross (%) Sumber: Laporan Bank Umum Desember Diolah Risiko kredit pada korporasi yang bergerak di lima komoditas utama juga meningkat seiring dengan masih lemahnya kinerja korporasi di sektor tersebut. Beberapa komoditas, khususnya batubara dan migas, memiliki rasio NPL di atas threshold 5%. Sementara itu, meskipun harga beberapa komoditas sudah mulai membaik, namun NPL debitur terutama yang bergerak di sektor batubara masih menunjukkan kenaikan yakni 96

125 Rumah Tangga dan Korporasi dari 6,51% (Desember 2015) menjadi 8,31% (Juni 2016) dan naik lagi menjadi 10,30% (Desember 2016). Tren kenaikan NPL tersebut dapat menyebabkan perbankan menjadi lebih selektif dalam menyalurkan kredit ke sektor komoditas sebagai bagian dari proses konsolidasi dan juga untuk menghindari NPL yang lebih tinggi. Di tengah melambatnya pertumbuhan kredit, DPK perbankan yang berasal korporasi pada semester II 2016 tumbuh lebih tinggi yaitu sebesar 16,60% (yoy), dibandingkan dengan pertumbuhan di semester I 2016 (9,95%). Kenaikan DPK tersebut antara lain karena perlambatan nilai investasi dibandingkan tahun lalu sehingga terdapat idle money untuk ditempatkan di perbankan. Pada akhir semester II 2016, bank BUKU 4 dan BUKU 3 merupakan pilihan utama korporasi untuk menempatkan dananya. Hal ini terlihat dari porsi DPK korporasi terhadap total DPK pada bank BUKU 4 sebesar 44,20% dan BUKU 3 sebesar 39,82%. Faktorfaktor yang menyebabkan antara lain kemudahan administrasi, keamanan dan kenyamanan dalam bertransaksi, serta produk dan jasa yang ditawarkan (Grafik 3.26). Tabel 3.7. Kredit Berdasarkan Komoditas Utama Ekspor No. Komoditas Baki Debet per Jun 16 (Rp T) Pangsa thd Total Kredit (%) Pertumbuhan yoy (%) Rasio NPL Gross (%) Des'15 Jun'16 Des'16 Des'15 Jun'16 Des'16 Des'15 Jun'16 Des'16 1. Kelapa Sawit 267,84 5,84 5,84 6,12 24,61 20,82 13,11 1,11 1,10 1,40 2. Migas 102,23 2,19 2,20 2,34 12,01 10,14 15,21 1,42 2,38 2,58 3. Produk Logam 98,52 2,64 2,25 2,25 1,59 (6,71) (8,05) 4,63 5,93 6,04 4. Batubara 39,77 1,14 1,00 0,91 0,66 (17,18) (14,38) 6,51 8,31 10,30 5. Karet 20,28 0,45 0,46 0,46 (5,43) (2,10) 11,89 4,51 4,24 4,13 Total 528,65 12,25 11,75 12,08 13,00 7,60 6,31 2,55 3,00 3,27 Sumber: Laporan Bank Umum Desember Diolah Grafik Perkembangan DPK Korporasi Grafik DPK Korporasi per BUKU DPK Korporasi (Rp T) yoy % , Mar-11 Jun-11 Sep-11 Des-11 Mar-12 Jun-12 Sep-12 DPK Korporasi Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Pertumbuhan DPK Korporasi (skala kanan) Des % 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% pangsa (%) Mar-11 Jun-11 Sep-11 Des-11 Mar-11 Mar-11 Sep-12 Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-13 Jun-14 Sep-14 Des-14 Des-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des-16 BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 44,20% 39,82% 13,76% 2,21% Sumber: Laporan Bank Umum Desember Diolah Sumber: Laporan Bank Umum Desember Diolah 97

126 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Utang Luar Negeri (ULN) Swasta Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Desember 2016 tercatat sebesar 316,97 miliar Dolar AS dengan komposisi yang relatif berimbang antara sektor publik dan swasta. Namun demikian perkembangan ULN sektor swasta khususnya di sektor keuangan cenderung melambat sejak akhir Kondisi ini antara lain dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi dan pergerakan nilai tukar Rupiah. Berdasarkan komponen ULN Swasta, per Desember 2016, ULN lembaga keuangan bukan bank (LKBB) tercatat turun sebesar -12,04% (yoy), diikuti bank (-7,56%), BUMN nonkeuangan (-7,37%), dan korporasi nonkeuangan (-4,55%). Penurunan ULN pada korporasi nonkeuangan sejalan dengan ekspansi usaha yang masih terbatas sehingga kebutuhan dana menurun. Sementara itu penurunan ULN di sektor keuangan (Bank dan IKNB) terkait dengan masih lemahnya permintaan kredit/ pembiayaan sehingga lembaga keuangan (Bank dan IKNB) mengurangi pinjaman dari luar negeri sebagai salah satu sumber dana untuk penyaluran kredit/ pembiayaan tersebut. Menurunnya ULN korporasi nonkeuangan berdampak terhadap penurunan jumlah ULN yang direstrukturisasi. Nilai ULN korporasi non keuangan pada Desember 2016 mencapai 119,4 miliar Dolar AS. Berdasarkan Grafik 3.27 ULN Indonesia Pangsa % 3,47 1,97 2,19 2,45 1,95 3,64 3,48 5,45 5,86 7,82 8,53 7,95 7,22 37,57 38,42 40,65 40,45 42,21 38,93 37,91 41,91 44,16 45,75 47,24 46,16 42,84 58,96 59,61 57,17 57,10 55,84 57,42 58,60 52,64 49,97 46,43 44,23 45,89 49, Pemerintah dan Otoritas Moneter Swasta Lainnya BUMN Non Keuangan Grafik Pertumbuhan dan Nominal ULN Swasta 120% 100% 80% 60% 40% 20% 0-20% -40% -60% 2005 Pertumbuhan, yoy (%) LKBB Total ULN Swasta BUMN Non Keuangan Bank Korporasi Non Keuangan ,56% -7,37% -4,55% -5,61% -12,04% USD Milliar USD Milliar , , , , , LKBB Swasta Skala Kanan BUMN Non Keuangan Bank Korporasi Non Keuangan Sumber: Statistik ULN,, Posisi Desember 2016, diolah 98

127 Rumah Tangga dan Korporasi karakteristiknya, ULN korporasi nonkeuangan yang direstrukturisasi (restru) dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ULN restru dengan tone positif dan ULN restru dengan tone negatif 7. Pada ULN restru tone positif, kegiatan restrukturisasi ditujukan untuk meningkatkan kinerja dan bisnis korporasi yang meliputi: (i) penambahan plafon, (ii) refinancing, (iii) rollover, dan (iv) pengalihan kreditur. Sementara itu, ULN restru dengan tone negatif dilakukan karena memburuknya kinerja koporasi, antara lain disebabkan kesulitan pembayaran, memburuknya prospek usaha, dan likuiditas. ULN restru dengan tone negatif tersebut dapat berupa: (i) reconditioning, (ii) bunga dikapitalisasi, (iii) debt to equity swap, (iv) debt reduction, (v) rescheduling, dan (vi) ULN restru lainnya. Tindakan restru ULN tone negatif dapat menjadi indikasi memburuknya kinerja perusahaan yang dapat mempengaruhi kinerja pembayaran utangnya baik pada perbankan domestik maupun luar negeri. Berdasarkan sektoral, nominal ULN restru tertinggi terdapat pada sektor industri pengolahan (13,3 Miliar Dolar AS per Desember 2016). Hal ini antara lain disebabkan sektor industri pengolahan memiliki bahan baku dengan impor konten tinggi yang sebagian besar biayanya dalam valuta asing. Sebaliknya penjualan produk dominan dilakukan di pasar domestik sehingga pendapatan mayoritas dalam Rupiah yang menyebabkan terekspos risiko nilai tukar. Grafik 3.29 ULN Restru Korporasi Non Keuangan 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 Miliar USD 38,10 31,34 - Des-14 Feb-15 Apr-15 Jun-15 Agt-15 Okt-15 Des-15 Feb-16 Apr-16 Jun-16 Agt-16 Okt-16 Des-16 Tabel 3.8 ULN Restru Menurut Sektor Ekonomi ULN Mei 16, (USD Jt) *) Restru No. Sektor Ekonomi Non Total Restruk Tone Tone Total ULN Positif Negatif Restruk 1. Industri Pengolahan Pertambangan & Penggalian Listrik, Gas & Air Bersih Pengangkutan & Komunikasi Perdagangan, Hotel & Restoran Keuangan, Persewaan & Jasa Keuangan Pertanian, Perternakan, Kehutanan & Perikanan Sektor Lain Bangunan Jasa-Jasa Total Sumber: Statistik ULN,, Posisi Desember 2016, diolah 7 Penentuan ULN restru dengan tone positif dan negatif merupakan hasil FGD dengan korporasi yang memiliki ULN yang di restrukturisasi 99

128 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 ULN restru korporasi nonkeuangan mengalami penurunan sejak Januari 2015 dan mencapai nilai 31,34 miliar Dolar AS pada Desember Terdapat sekitar 704 perusahaan yang melakukan restru tone negatif dengan nilai sebesar 26,8 milliar Dolar AS, yang tujuannya untuk mengefisienkan pembayaran pokok dan bunga ULN seiring dengan perlambatan ekonomi domestik dan global. Secara umum, perkembangan ULN korporasi nonkeuangan yang di restru cenderung menurun, baik restru dengan tone negatif maupun positif jika dibandingkan dengan posisi awal Desember Apabila dilihat dari pangsanya, pada Desember 2016, porsi ULN dengan tone negatif meningkat, sebaliknya pangsa ULN tone positif turun jika dibandingkan dengan Desember Grafik 3.30 Perkembangan Outstanding ULN Restru (Miliar Dolar AS) Grafik 3.31 Perkembangan Pangsa Outstanding ULN Restru terhadap total ULN Restru (%) (USD M) 35 30, ,15 Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 Mei-15 Jun-15 Tone Negatif Jul-15 Agt-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Tone Positif Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 26,77 4,57 Des-16 Des-16 Okt-16 Agt-16 Jun-16 Apr-16 Feb-16 Des-15 Okt-15 Agt-15 Jun-15 Apr-15 Jan-15 14,6% 85,4% 18,5% Tone Positif 81,5% Tone Negatif 0% 20% 40% 60% 80% 100% Sumber: Statistik ULN,, Posisi Desember 2016, diolah Berdasarkan outstanding ULN korporasi nonkeuangan, ULN restru tone negatif didominasi oleh jenis reconditioning dengan jumlah fasilitas yang di restrukturisasi sebanyak 519 fasilitas per Desember Jenis restrukturisasi tone negatif berupa reconditioning tersebut dilakukan melalui perubahan terms and condition dari ULN antara lain perubahan jumlah utang, suku bunga dan pengalihan kreditor. Pada beberapa kasus, reconditioning dilakukan apabila ada penawaran utang baru dengan persyaratan yang lebih menarik, misalnya suku bunga yang lebih rendah dengan jangka waktu yang lebih panjang. Sementara itu untuk ULN restru tone positif paling banyak berupa pengalihan kreditur dengan jumlah fasilitas yang direstrukturisasi sebanyak 121 fasilitas per Desember

129 Rumah Tangga dan Korporasi Tabel 3.9 Jenis ULN Restrukturisasi Tone Positif dan Negatif Tone Restru Jenis Restru Posisi ULN, Mei 16 (USD Jt) Jumlah Fasilitas Reconditioning Rescheduling Tone Negatif Bunga Dikapitalisasi Lainnya Debt Reduction Debt to Equity Swap Tambah Plafond Tone Positif Pengalihan Kreditur Rollover Refinancing Total Sumber: Statistik ULN,, Posisi Desember 2016, diolah Pada Desember 2016, perkembangan pembayaran bunga ULN restru tone positif dan negatif mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, masing-masing menjadi 10 Juta Dolar AS dan 106 Juta Dolar AS. Sementara itu pembayaran pokok ULN restru tone positif mengalami kenaikan menjadi 3 miliar Dolar AS, sedangkan restru tone negatif turun menjadi 2,4 miliar Dolar AS. Grafik 3.32 Pembayaran Bunga dan Pokok ULN Restru Tone Positif dan Negatif Pembayaran Bunga (USD Jt) Tone Negatif Tone Positif (skala kanan) Pembayaran Pokok (USD M) 04 3, ,4 Tone Negatif Tone Positif (Skala Kanan) Feb-15 Apr-15 Jun-15 Agt-15 Okt-15 Des-15 Feb-16 Apr-16 Jun-16 Agt-16 Okt-16 Des-16 Feb-15 Apr-15 Jun-15 Agt-15 Okt-15 Des-15 Feb-15 Apr-15 Jun-15 Agt-15 Okt-15 Des-15 Sumber: Statistik ULN,, Posisi Desember 2016, diolah 101

130 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Selama 6 (enam) bulan kedepan, rencana bayar dan ULN jatuh tempo korporasi untuk ULN restru tone negatif dan positif tercatat lebih besar pada Januari dan Februari Rencana bayar dan ULN jatuh tempo restru tone positif diperkirakan paling tinggi pada Februari 2017 yakni sekitar 250 Juta Dolar AS. Adapun pada Maret, April, dan Juni 2017 tidak terdapat utang jatuh tempo untuk ULN restru tone positif, sedangkan untuk rencana bayar diperkirakan pada kisaran 50 Juta Dolar AS setiap bulannya (Maret- Juni 2017). Sementara itu, perlu dilakukan monitoring yang intensif terutama terhadap pembayaran ULN restru tone negatif mengingat pangsa outstanding yang cukup besar. Pada Januari 2017, rencana bayar ULN tone negatif diprediksi mencapai 2 miliar Dolar AS dan ULN jatuh tempo sebesar 1,4 miliar Dolar AS. Sedangkan untuk periode Februari April 2017 rencana bayar ULN dan ULN jatuh tempo nilainya berkisar antara 100 Juta 1,2 Miliar Dolar AS. Dalam rangka mitigasi risiko, telah menerbitkan ketentuan tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi NonBank (PBI No.16/21/PBI/2014). Ketentuan tersebut dikeluarkan untuk mendorong kehati-hatian korporasi nonbank dalam mengelola berbagai risiko yang dapat timbul dari ULN. Korporasi nonbank diwajibkan untuk memenuhi rasio lindung nilai minimum sebesar 25% berdasarkan selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing yang akan jatuh tempo sampai dengan 3 bulan ke depan dan yang akan jatuh tempo lebih dari 3 bulan sampai dengan 6 bulan ke depan. Selain itu, koporasi nonbank juga harus memenuhi rasio likuiditas valas minimum tertentu, paling rendah sebesar 70%. Berdasarkan laporan yang bersumber dari Kepatuhan Pelaporan Prinsip Kehati-hatian (KPPK), dapat menghitung likuiditas valas dari seluruh korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri. Berdasarkan laporan tersebut 8, dari korporasi nonbank Grafik 3.33 Rencana Pembayaran Bunga dan Pokok ULN Restru Tone Positif dan Negatif (USD Juta) Tone Negatif 300 (USD Juta) Tone Positif Jan 17 Feb 17 Mar 17 Apr 17 Mei 17 Jun 17 0 Jan 17 Feb 17 Mar 17 Apr 17 Mei 17 Jun 17 ULN Jatuh Tempo Rencana Bayar Sumber:, Februari Posisi triwulan II

131 Rumah Tangga dan Korporasi yang memiliki ULN yang telah melaporkan likuiditas valasnya kepada, sampai dengan 3 bulan ke depan terdapat 12,4% korporasi nonbank yang belum memenuhi rasio minimum untuk likuiditas valas maupun lindung nilai. Sedangkan untuk likuditas valas lebih dari 3 bulan sampai dengan 6 bulan ke depan, terdapat 8,06% korporasi nonbank yang belum memenuhi ketentuan. Sebagai salah satu upaya untuk mengukur risiko yang dapat timbul dari korporasi yang memiliki ULN, Bank Indonesia telah melakukan simulasi untuk mengetahui ketahanan perbankan terhadap penurunan kemampuan membayar korporasi yang memiliki ULN restru tone negatif. Simulasi dilakukan terhadap bank yang menyalurkan kredit pada korporasi yang memiliki ULN dengan restru tone negatif, dengan menggunakan skenario default 20%, 30% dan 50%. Hasil stress test menunjukkan bahwa tingkat NPL industri perbankan masih relatif aman (dibawah 5%) dan tidak berdampak signifikan terhadap permodalan bank. 103

132 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Boks 3.1 Survei Neraca Rumah Tangga Rumah tangga merupakan salah satu unit ekonomi yang memiliki peran penting di dalam perekonomian dan juga terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, surveilans terhadap sektor rumah tangga perlu dilakukan secara reguler. Salah satu bentuk surveilans terhadap sektor rumah tangga adalah melalui penyelenggaraan Survei Neraca Rumah Tangga (SNRT). SNRT bertujuan untuk : (i) memperoleh informasi mengenai struktur neraca rumah tangga di Indonesia, (ii) membangun data yang berguna untuk mendesain surveilans, (iii) memperoleh data aset dan kewajiban sektor rumah tangga dalam rangka penyusunan National and Regional Balance Sheets dan indikator financial imbalances. SNRT 2016 dilaksanakan di 14 provinsi di Indonesia dengan total responden sebanyak rumah tangga. Berdasarkan data Susenas , total populasi di 14 provinsi tersebut mewakili 73% penduduk Indonesia. Provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Maluku. Untuk dapat memberikan gambaran mengenai karakteristik ekonomi masyarakat Indonesia secara lengkap, responden SNRT 2016 dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan pendapatan yaitu pendapatan rendah, menengah, dan tinggi (Tabel Boks 3.1.1). Dari total responden, 88,6% rumah tangga memiliki kepala rumah tangga yang bekerja dan 11,4% kepala rumah tangga lainnya tidak memiliki pekerjaan selama satu tahun terakhir. Mayoritas kepala rumah tangga yang bekerja tersebut memiliki status kedudukan pekerjaan utama sebagai pegawai (59,9%) 10, Grafik Boks Sementara itu berdasarkan sektor lapangan usaha, mayoritas kepala rumah tangga yang bekerja memiliki pekerjaan utama pada sektor tersier (56,5%), diikuti sektor primer (31,0%) dan sektor sekunder (12,5%) 11. Tabel Boks Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Kelompok Pendapatan Range Pendapatan (ribu Rupiah) Jumlah Responden Distribusi (%) Rendah < 2.792, ,0 Menengah 2.792, ,0 Tinggi > ,0 9 Kerangka sampel SNRT 2016 disusun berdasarkan data SUSENAS 2013 Triwulan I. 10 Pekerjaan utama adalah pekerjaan dengan alokasi waktu terbesar atau menghasilkan penghasilan terbesar. Status kedudukan pekerjaan: 1). Berusaha sendiri atau memiliki status berusaha sendiri, 2). Pegawai terdiri dari (a) buruh/karyawan/pegawai, (b) pekerja bebas di pertanian, dan (c) pekerja bebas di non pertanian, 3). Pengusaha terdiri dari (a) berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, dan (b) berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar, 4). Pekerja keluarga atau memiliki status pekerja keluarga/tidak dibayar. 11 Sektor primer terdiri dari (1) sektor pertanian, kehutanan, & perikanan, dan (2) sektor pertambangan & penggalian. Sektor sekunder terdiri dari sektor (1) industri pengolahan, (2) pengadaan listrik & gas, (3) pengadaaan air, dan (4) konstruksi. Sektor tersier terdiri dari (1) perdagangan besar & eceran, dan reparasi mobil & sepeda motor; (2) transportasi & pergudangan; (3) penyediaan akomodasi & makanan minuman; (4) informasi & komunikasi; (5) jasa keuangan; (6) real estate; (7) jasa perusahaan; (8) administrasi pemerintah & jaminan sosial wajib; (9) jasa pendidikan; (10) jasa kesehatan & kegiatan sosial; dan (11) lainnya. 104

133 Rumah Tangga dan Korporasi Grafik Boks Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga 0,2% 30,9% Berusaha Sendiri Pengusaha 59,9% 9,0% Pegawai Pekerja Keluarga Gambaran Umum Neraca Rumah Tangga Indonesia Dibandingkan dengan kondisi 2015, secara umum nilai rata-rata total aset rumah tangga pada 2016 meningkat sebesar 1,7% menjadi Rp ribu per rumah tangga. Peningkatan juga terdapat pada nilai rata-rata total utang dan kekayaan bersih (networth) rumah tangga (Tabel Boks 3.1.2). Berdasarkan kelompok pendapatan, semakin tinggi pendapatan responden maka peningkatan networth semakin besar. Tabel Boks Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Kelompok Responden Keterangan Perubahan (ribu Rupiah) (ribu Rupiah) (%, yoy) Total Aset , ,8 1,7 Utang , ,9 33,6 Networth , ,9 1,0 Pendapatan Rendah Aset , ,9 (3,1) Utang 2.864, ,5 46,8 Networth , ,4 (3,6) Pendapatan Menengah Aset , ,0 1,2 Utang , ,4 24,7 Networth , ,6 0,6 Pendapatan Tinggi Aset , ,8 3,7 Utang , ,4 36,2 Networth , ,4 2,8 105

134 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Aset Rumah Tangga Pada 2016, aset rumah tangga Indonesia didominasi oleh aset nonkeuangan (non financial asset), yaitu aset tetap (89,1%). Rumah dan bangunan merupakan jenis aset tetap terbesar yang dimiliki oleh rumah tangga (66,2%). Di dalam kelompok aset lancar, tabungan tercatat memiliki persentase kepemilikan terbesar (29,5%). Sementara itu, kepemilikan rumah tangga pada investasi relatif kecil yaitu hanya sebesar 0,2% dari total aset yang dimiliki. Investasi tersebut didominasi oleh kepemilikan usaha (63,4%). Grafik Boks Aset Rumah Tangga Grafik Boks Aset Tetap Rumah Tangga % ,0 89,1 Peralatan Rumah Tangga Tahan Lama 4,1 4,1 80 Kendaraan 7,3 6, Rumah dan Bangunan 66,2 67, ,0 8,0 Aset Lancar 0,8 0,9 Aset Dibatasi Penggunaannya 0,2 0,2 1,9 1,9 Investasi Aset Tetap Aset Lainnya Tanah dan Lahan 0 22,3 22,2 % Grafik Boks Aset Lancar Rumah Tangga Grafik Boks Investasi Rumah Tangga Piutang Hewan Ternak & Binatang Peliharaan Emas Perhiasan & Logam Mulia Persediaan Barang Produktif 4,6 5,3 3,3 3,4 16,5 17,1 26,9 27,4 Kepemilikan Usaha Reksadana 27,1 20,9 63,4 74,0 Deposito Giro Tabungan Uang Tunai 2,5 2,5 3,7 6,9 13,1 12,5 29,5 24,9 % Obligasi Saham 3,5 1,1 6,0 4,0 %

135 Rumah Tangga dan Korporasi Sebanyak 38% rumah tangga menyatakan memiliki utang. Berdasarkan kelompok pendapatan, rumah tangga pemilik utang terbesar berasal dari kelompok pendapatan menengah (44%), diikuti pendapatan rendah (31%) dan pendapatan tinggi (25%). Secara rata-rata, utang per rumah tangga pada 2016 tercatat sebesar Rp ribu, atau meningkat 33,6% dibandingkan 2015 (Rp ribu). Berdasarkan jangka waktu, sebagian besar utang rumah tangga 2016 berupa utang jangka panjang dengan porsi 64,1%, kondisi ini relatif sama dengan kondisi 2015 (64,0%). Berdasarkan sumbernya, mayoritas utang rumah tangga pada 2016 berasal dari Bank (73,9% dari total utang). Secara rata-rata, utang per rumah tangga yang berasal dari Bank dan Non Lembaga Keuangan (NLK) meningkat masing-masing sebesar 49,1% dan 109,7% (yoy). Meskipun utang dari NLK meningkat cukup signifikan, namun porsi utang dari NLK terhadap total utang masih relatif rendah (7,1%). Sementara itu, porsi utang dari Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) menurun menjadi 19% pada 2016 dibandingkan 2015 (29,3%). Grafik Boks Utang Rumah Tangga Berdasarkan Jangka Waktu % 64,0 36,0 35,9 64, Jangka Pendek Jangka Panjang Grafik Boks Utang Rumah Tangga Berdasarkan Sumber Dana Lembaga Non Keuangan 7,1 4,5 Lembaga Keuangan Non Bank 19,0 29,3 Bank 73,9 66,2 %

136 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Berdasarkan tujuan peminjaman utang, secara umum responden menyatakan utang dipergunakan antara lain untuk modal usaha dan membeli aset baik tanah, rumah, maupun kendaraan. Sementara itu, responden yang memiliki utang dari NLK menyatakan bahwa utang dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Grafik Boks Distribusi Rumah Tangga Yang Berutang ke Bank Berdasarkan Tujuan Pinjaman (%) 1,0 2,0 0,5 0,5 2,0 2,0 6,0 8,0 28,0% Modal Usaha Membeli tanah/rumah/aset Membangun/renovasi rumah Bangunan untuk usaha Membangun/renovasi rumah Kesehatan 8,0 Kebutuhan khusus (pesta)/hari Mesin untuk usaha Pendidikan Tanah untuk usaha 15,0% 27,0% Kebutuhan Sehari hari Kendaraan untuk usaha 3,0% 2,0% 1,0% 3,0% 2,0% 1,0% 4,0% 4,0% 5,0% 7,0% 14,0% 58,0% 8,0% 51,0% 14,0% 23,0% Pembelian Aset Membangun/merenovasi rumah Pembelian Aset Pendidikan Modal Usaha Pesta dan kebutuhan khusus lainnya Kebutuhan Sehari-hari Tidak Bersedia Menjawab Kebutuhan Sehari-hari Tidak Bersedia menjawab Pesta dan kebutuhan Khusus Lainnya Kesehatan Pendidikan Kesehatan Modal Usaga Membeli tanah/rumah/aset lainnya 108

137 Rumah Tangga dan Korporasi Networth Rumah Tangga Berdasarkan neraca rumah tangga 2016, terlihat bahwa sumber dana utama rumah tangga yang berasal dari penghasilan sendiri (networth) mencapai 97,0%. Networth rata-rata per rumah tangga pada 2016 tercatat sebesar Rp ,9 ribu, meningkat dibandingkan 2015 sebesar Rp ,6 ribu (Tabel Boks 3.1.2). Analisis Keuangan Rumah Tangga Indonesia 2016 Analisis keuangan rumah tangga 2016 bertujuan untuk melihat performa/kinerja keuangan rumah tangga secara umum, yang terdiri dari aspek likuiditas dan solvensi rumah tangga. Kondisi Likuiditas Rumah Tangga 2016 Analisa likuiditas rumah tangga menggambarkan kemampuan rumah tangga untuk melunasi kewajiban (utang) jangka pendeknya yang dilakukan dengan menggunakan rasio keuangan, terdiri dari current ratio dan cash ratio. a. Current ratio Current ratio atau rasio aset lancar terhadap utang lancar rumah tangga 2016 tercatat sebesar 7,4 kali. Hal ini menunjukkan kondisi rumah tangga Indonesia cukup likuid atau kemungkinan rumah tangga tidak dapat melunasi utang jangka pendeknya relatif rendah. b. Cash ratio Cash ratio mengindikasikan kemampuan rumah tangga untuk melunasi utang jangka pendek dengan menggunakan kas dan setara kas terdiri dari uang tunai, tabungan, giro, dan deposito. Cash ratio SNRT 2016 tercatat sebesar 3,6 kali yang mencerminkan potensi kegagalan rumah tangga dalam memenuhi kewajiban (utang) jangka pendek relatif kecil. Kondisi Solvensi Rumah Tangga 2016 Solvensi didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk memenuhi pembayaran utang jangka panjang. Hasil survei menunjukkan bahwa kemampuan aset rumah tangga Indonesia cukup baik tercermin dari household gearing ratio (rasio total utang terhadap total aset) maupun debt to equity ratio/der (rasio total utang terhadap networth) yang relatif rendah, yaitu masing masing hanya sebesar 3,0% dan 3,1%. Nilai household gearing ratio yang kecil tersebut juga merupakan salah satu indikasi bahwa rumah tangga masih mempunyai kemampuan yang cukup untuk mendapatkan tambahan pembiayaan dari bank. Analisis Kerentanan Keuangan Rumah Tangga 2016 Analisis kerentanan keuangan rumah tangga dilakukan untuk mengetahui seberapa kuat rumah tangga responden SNRT 2016 dalam menghadapi permasalahan finansial yang mungkin terjadi tanpa dapat diduga sebelumnya. Analisa tersebut dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan kepada responden sebagai berikut: a. Seberapa lama rumah tangga dapat bertahan ketika kehilangan sumber pendapatan utama? Sebanyak 35,5% responden menyatakan bahwa apabila kehilangan sumber 109

138 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 pendapatan utama, maka simpanan dan uang tunai yang dimiliki dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama seminggu sampai kurang dari satu bulan, diikuti kurang dari seminggu (25,0%) dan antara satu bulan hingga kurang dari tiga bulan (22,0%). b. Seberapa besar pengeluaran tidak terduga yang dapat dibayarkan tanpa harus menimbulkan kesulitan keuangan? mayoritas responden menjawab maksimal Rp500 ribu (72,3%) sebagai besaran pengeluaran tidak terduga yang dapat dibayarkan seketika tanpa menimbulkan kesulitan keuangan. Sementara itu sekitar 17,4% responden menjawab maksimal Rp1 juta. c. Apakah pernah mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup? Secara umum mayoritas responden SNRT 2016 (66,7%) tidak pernah mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup selama satu tahun terakhir. Hanya 33,3% responden yang menyatakan bahwa pernah mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup selama satu tahun terakhir. Dari seluruh responden yang menyatakan pernah mengalami kesulitan tersebut, mayoritas (54,4%) berasal dari kelompok pendapatan rendah. d. Apakah pernah mengalami kesulitan dalam membayar utang? Secara umum, mayoritas responden (81,4%) menyatakan tidak pernah mengalami kesulitan dalam membayar utang selama satu tahun terakhir. Responden yang mengaku pernah mengalami kesulitan dalam membayar utang selama satu tahun terakhir hanya sekitar 18,6%, yang mana sebanyak 51,5% diantaranya merupakan responden dari kelompok pendapatan rendah. e. Hal apa saja yang dilakukan ketika mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup atau membayar utang? Secara umum, tiga langkah utama yang paling banyak dipilih oleh responden ketika mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup atau membayar utang adalah mengurangi pengeluaran (23,8% responden), meminjam makanan atau uang dari keluarga atau teman (15,7% responden), dan menarik uang dari tabungan (12,5% responden). Upaya untuk mengurangi pengeluaran tersebut menjadi prioritas pertama yang dipilih oleh responden dari seluruh kelompok pendapatan. Sementara itu alternatif pilihan yang paling jarang dipilih sebagai upaya untuk mengatasi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup dan utang adalah mengalihkan kredit (0,1% responden), dan menggunakan kartu kredit untuk menarik uang atau membayar tagihan atau membeli makanan (0,1% responden). 110

139 Rumah Tangga dan Korporasi Boks 3.2 Kepemilikan Properti oleh Pihak Asing Dalam rangka meningkatkan investasi di sektor properti, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan I pada 9 September 2015 yang membuka kesempatan bagi asing untuk memiliki rumah susun mewah dengan harga lebih dari Rp10 miliar. Menindaklanjuti paket kebijakan tersebut, Pemerintah menerbitkan PP No.103 tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia. Berdasarkan PP tersebut, orang asing pemegang izin tinggal di Indonesia dapat membeli rumah tempat tinggal atau hunian dengan pengaturan sebagai berikut: 1. Membeli rumah tunggal yang didirikan di atas tanah Hak Pakai (HP), HP diatas Hak Milik (HM) berdasarkan perjanjian atau HP yg berasal dari perubahan HM atau Hak Guna Bangunan (HGB). 2. Membeli satuan rumah susun (sarusun) yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atau yang berasal dari perubahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 3. Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu tidak lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, yang dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan selanjutnya dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. 4. Orang asing yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak karena meninggalkan Indonesia atau tidak lagi mempunyai izin tinggal, wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat dalam jangka waktu 1 tahun. 5. Persyaratan rumah tinggal yang dapat dibeli oleh orang asing: a. Hanya 1 bidang tanah per orang/ keluarga. b. Luas tanah maksimal meter 2. c. Orang Asing pemegang izin tinggal di Indonesia yang dapat membeli rumah tinggal dapat memiliki izin tinggal berupa: Izin tinggal dinas (diberikan oleh Kementerian Luar Negeri). Izin tinggal diplomatik (diberikan oleh Kementerian Luar Negeri). Izin tinggal kunjungan (berupa visa kunjungan, bebas visa kunjungan maupun Visa on arrival). Izin tinggal terbatas, bisa diberikan dalam jangka waktu 1 atau 2 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 6 tahun. Izin tinggal tetap yaitu izin yang diberikan kepada Orang Asing tertentu untuk bertempat tinggal dan menetap di wilayah Indonesia sebagai penduduk Indonesia. Izin ini diberikan dengan jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang secara tidak terbatas. 111

140 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Selain itu, Pemerintah menetapkan batasan harga minimal properti yang dapat dibeli asing yang dibedakan berdasarkan lokasi properti tersebut, sebagai berikut: Tabel Boks Batasan harga minimal properti yang dapat dibeli pihak asing No Lokasi/Provinsi Harga Minimal Rumah Tunggal (Rupiah) Harga Minimal Rumah Susun (Rupiah) 1 DKI Jakarta 10 Miliar 3 Miliar 2 Banten 5 Miliar 2 Miliar 3 Jawa Barat 5 Miliar 1 Miliar 4 Jawa Tengah 3 Miliar 1 Miliar 5 DI Yogyakarta 5 Miliar 1 Miliar 6 Jawa Timur 5 Miliar 1,5 Miliar 7 Bali 5 Miliar 2 Miliar 8 NTB 3 Miliar 1 Miliar 9 Sumatera Utara 3 Miliar 1 Miliar 10 Kalimantan Timur 2 Miliar 1 Miliar 11 Sulawesi Selatan 2 Miliar 1 Miliar 12 Daerah/Provinsi Lainnya 1 Miliar 750 Juta Sumber: Lampiran Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 Sehubungan dengan adanya batasan harga nominal properti yang cukup tinggi dan juga untuk membeli suatu properti konsumen dapat menggunakan pembiayaan dari bank, tidak mengatur larangan bagi bank untuk menyalurkan kredit kepada orang asing. Sesuai PBI No.18/19/ PBI/2016 tanggal 5 September 2016 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing, pihak asing dapat memperoleh Kredit atau Pembiayaan Konsumsi dalam Rupiah dan/atau valuta asing sepanjang digunakan di dalam negeri. Selain itu, Bank Indonesia tidak membedakan pengaturan Loan to Value Ratio (LTV) terhadap Kredit Pemilikan Rumah bagi penduduk maupun orang asing. Dengan dibukanya kesempatan bagi orang asing dapat membeli properti di Indonesia, maka manfaat yang dapat diperoleh antara lain: 1. Meningkatnya permintaan properti sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan peningkatan serapan produk lokal yang selanjutnya diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. 112

141 Rumah Tangga dan Korporasi 2. Peningkatan penerimaan Pemerintah Pusat dan Daerah melalui pajak yang harus dibayarkan oleh pihak pengembang dan pembeli properti seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPn) atas bangunan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Biaya Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 3. Menghilangkan transaksi pembelian tanah oleh pihak asing yang menggunakan penduduk lokal sebagai perantara (nominee agreement), sehingga terdapat potensi penambahan pendapatan negara yang diperoleh dari transaksi langsung pembeli properti (pihak asing). 4. Mendukung peningkatan cadangan devisa negara karena adanya foreign direct investment (FDI) dengan adanya pembelian properti oleh pihak asing. 5. Dengan pertimbangan bahwa pihak asing adalah smart investor yang selalu melihat data untuk melakukan investasi di bidang properti, maka kualitas data sektor properti di Indonesia dapat menjadi lebih transparan dan akuntabel. Namun demikian, di sisi lain terdapat beberapa risiko yang perlu diperhatikan dan dicermati terkait dengan kepemilikan properti oleh asing, yaitu: 1. Meningkatnya permintaan properti akibat pembelian pihak asing dapat menyebabkan harga properti meningkat sehingga kemampuan penduduk domestik/lokal untuk membeli properti (affordability) menjadi turun. 2. Perkiraan meningkatnya permintaan dari orang asing akan mendorong pengembang untuk selalu berupaya menambah persediaan properti, sedangkan kapasitas pengembang juga terbatas termasuk di dalam penyediaan lahan. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan aksi yang bersifat spekulasi. 3. Terdapat kemungkinan meningkatnya properti yang tidak produktif karena dibiarkan kosong oleh pemiliknya (WNA). 4. Dapat dijadikan sarana bagi orang asing untuk menghindari pajak dan melakukan pencucian uang dari negara asalnya. 5. Dapat menciptakan distribusi kemakmuran yang tidak merata. Hal lain yang perlu dicermati adalah kemungkinan adanya potensi permintaan properti oleh asing, yakni: 1. Dengan masih terbatasnya jumlah pekerja asing (expatriates) di Indonesia (yang memiliki KITAS dan KITAP), permintaan properti dari orang asing diperkirakan belum akan meningkat secara signifikan. 2. Daya tarik properti Indonesia biasanya terletak di daerah yang merupakan pusat ekonomi atau pariwisata seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Batam, dan Medan. 113

142 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Permainan congklak merupakan permainan tradisional yang membutuhkan strategi penempatan buah congklak ke dalam masing-masing ceruk pada papan congklak agar habis lebih dulu. Dalam sistem keuangan, serupa dengan distribusi buah congklak dari satu ceruk ke ceruk lainnya, perbankan menjalankan fungsi intermediasinya dengan menyalurkan dana yang dihimpun melalui pertimbangan berbagai risiko, tidak hanya untuk mencapai keuntungan dan efisiensi namun juga untuk mendukung pembiayaan perekonomian.

143 Perbankan dan IKNB 04 Selama semester II 2016, perkembangan industri perbankan secara umum membaik dibanding semester sebelumnya, tercermin dari peningkatan pertumbuhan intermediasi dengan risiko kredit yang terkendali, didukung permodalan dan likuiditas yang terus membaik. Total aset industri perbankan tercatat sebesar Rp6.729,8Triliun, dengan pertumbuhan yang meningkat dibandingkan semester sebelumnya. Permodalan perbankan yang masih terjaga di level tinggi dan didominasi oleh modal inti menunjukkan ketahanan perbankan dalam menghadapi risiko. Dari sisi intermediasi, pertumbuhan DPK meningkat signifikan, ditopang oleh masuknya dana tax amnesty dan meningkatnya ekspansi rekening pemerintah. Sedangkan pertumbuhan kredit masih dalam tren perlambatan, dipengaruhi oleh masih terbatasnya permintaan kredit dari korporasi dan perilaku bank yang cenderung hatihati dalam penyaluran kredit. Risiko kredit perbankan masih perlu dicermati, meskipun rasio NPL gross tercatat membaik pada semester II Sementara itu profitabilitas dan efisiensi perbankan sedikit menurun sebagai dampak penurunan kredit dan meningkatnya biaya pencadangan akibat tingginya risiko kredit. Sejalan dengan perkembangan perbankan konvensional, kinerja perbankan syariah membaik di paruh kedua 2016, didorong semakin menguatnya konsolidasi. Pertumbuhan aset dan pembiayaan perbankan syariah meningkat seiring dengan peningkatan market share sebagai dampak positif dari konversi BPD Aceh menjadi bank syariah pada September Tingkat pembiayaan bermasalah perbankan syariah relatif cukup tinggi, namun rasio profitabilitas masih meningkat. Disisi lain, ketahanan risiko perbankan syariah masih cukup memadai dengan meningkatnya permodalan. Kinerja Industri Keuangan Nonbank (IKNB) selama semester II 2016 mengalami perbaikan baik dari sisi pembiayaan maupun pendanaan, meski NPF Perusahaan Pembiayaan (PP) masih meningkat. Profitabilitas PP membaik, didukung peningkatan pembiayaan, sementara itu eksposur risiko dari sisi valuta asing berkurang seiring dengan turunnya ULN. Industri asuransi juga menunjukkan perbaikan kinerja, sebagaimana tercermin pada peningkatan total aset dan volume investasi serta penurunan risiko usaha industri asuransi. Perbankan dan IKNB

144 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Kinerja Institusi Keuangan dan Syariah melambat namun risiko masih terjaga dengan baik Risiko Perbankan Meningkat Namun Ketahanan Masih Terjaga Permodalan Masih Kuat CAR menjadi 22,69 % Rp Rp Rp Likuiditas Terjaga dengan Baik AL/NCD menjadi 99,36 % Rp Risiko Kredit Membaik NPL Gross menjadi 2,93 % Rp Efisiensi Menurun BOPO menjadi 82,85 % CIR menjadi 55,53 % Profitabilitas Terjaga ROA menjadi 2,17 % NIM menjadi 5,47 % Intermediasi Masih Melambat Pertumbuhan Kredit menjadi 7,86 % Pertumbuhan DPK menjadi 9,60 % LDR menjadi 90,50 % Rp Rp Risiko Pasar Relatif Terjaga Risiko Suku Bunga Relatif Terjaga Perbankan Short Valas Sebesar Rp5,09 triliun Risiko Perubahan Harga SBN Sedikit Meningkat Kredit UMKM Penyaluran Kredit UMKM NPL Kredit UMKM menjadi menjadi 8,4 % 4,15 % Kinerja Industri Keuangan Nonbank (IKNB) selama semester II 2016 mengalami perbaikan namun Risiko Pembiayaan Masih Cukup Tinggi. Perusahaan Pembiayaan Asuransi Rp Rp Rp Rp Rp Aset menjadi Rp 443 triliun Profitabilitas Meningkat ROA menjadi 3,87 % ROE menjadi 12,01 % Pertumbuhan Sumber Pendanaan PP menjadi 4,29 % Pertumbuhan Volume Pembiayaan menjadi 6,67% (yoy) Efisiensi Sedikit Menurun BOPO menjadi 82,71 % Risiko Kredit Meningkat NPF 3,26 % Rp Rp Rp Rp Rp Aset menjadi Rp932 triliun Likuiditas MasihTerjaga Current Ratio sebesar 1,66 Rp Pertumbuhan Volume Investasi menjadi 21,70 % Profitabilitas Sedikit Menurun ROA menjadi Risiko Menurun 3,29 % Rasio kecukupan ROE menjadi Premi terhadap 12,16 % Pembayaran Klaim menjadi 157,99 % 116

145 Perbankan dan IKNB Rp Kinerja Perbankan Syariah Masih Cukup Baik namun Risiko Pembiayaan Masih Cukup Tinggi Rp Rp Likuiditas meningkat AL/NCD menjadi 121,27 % AL/DPK menjadi 22,04 % Rp Profitabilitas ROE menjadi 4,59 % ROA menjadi 0,63 % CAR menjadi 15,95 % Intermediasi Risiko Kredit DPK menjadi 20,83 % Pembiayaan menjadi 16,44 % FDR menjadi 88,78 % NPF Gross menjadi 4,68 % 117

146 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Asesmen Kondisi dan Risiko Sektor Perbankan Asesmen Kondisi dan Risiko Likuiditas Likuiditas industri perbankan meningkat baik dari aspek ketahanan maupun penambahan alat likuid apabila dibandingkan dengan semester sebelumnya, meski sedikit mengalami tekanan pada triwulan III 2016 akibat outflow setoran tax amnesty dan outflow kartal lebaran. Terjaganya kondisi likuiditas perbankan pada akhir 2016 sejalan dengan inflow dana tebusan tax amnesty pada Triwulan IV 2016, meningkatnya ekspansi rekening pemerintah di akhir tahun, dan melambatnya pertumbuhan kredit. Tingginya likuiditas perbankan diperkirakan akan mampu menjaga kondisi likuiditas perbankan tetap di atas threshold karena ditunjang pola pengelolaan likuiditas bank yang lebih antisipatif (posisi short penempatan OM) terutama pada periode tekanan. Ketahanan likuiditas perbankan terindikasi dari rasio Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) yang mencerminkan kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya terkait potensi penarikan DPK serta untuk mendukung ekspansi kredit. Pada semester II 2016 AL/NCD meningkat ke level 99,36% dibandingkan dengan semester I 2016 di level 97,40%. Meningkatnya rasio AL/NCD juga sejalan dengan rasio AL/DPK yang masih jauh di atas thresholdnya. Grafik 4.1 Rasio Likuiditas Perbankan 110% 105% 100% 95% 90% 85% 80% 75% 99,36% 20,93% 24% 23% 22% 21% 20% 19% 18% 17% 16% Jan-13 Apr-13 Jul-13 Oct-13 Jan-14 Apr-14 Jul-14 Oct-14 Jun-15 Apr-15 Jul-15 Oct-15 Jan-16 Apr-16 Jul-16 Des-16 AL/ NCD AL/DPK (Skala Kanan) Grafik 4.2 Perkembangan Alat Likuid Perbankan % Rp T Des 12 Jun 13 Des 13 Jun 14 Des 14 Jun 15 Des 15 Jun 16 Des 16 AL/NCD Alat Likuid (Skala Kanan) AL = Kas + Penempatan pada BI + Excess Reserve - GWM NCD = 30% Giro + 30% Tabungan + 10% Deposito Sumber: 118

147 Perbankan dan IKNB Berdasarkan kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU), rasio AL/NCD kelompok BUKU 2, 3 dan 4 mengalami kenaikan dibandingkan dengan semester sebelumnya, sedangkan kelompok BUKU 1 mengalami penurunan. Peningkatan AL/NCD pada BUKU 2, 3 dan 4 tersebut didorong oleh kenaikan alat likuid terutama penempatan di yang sebagian dananya berasal dari perpindahan DPK dari BUKU 1 ke BUKU 3 dan 4 sehingga AL/NCD BUKU 1 mengalami penurunan akibat penurunan Depocit Facility. Adapun secara industri, posisi AL/NCD masih baik karena berada jauh diatas threshold sebesar 50%. Tabel 4.1 AL/NCD per BUKU Tabel 4.2 Penambahan AL Triwulan II Rasio AL/NCD (%) Des Jun Des Jun Des BUKU 1 102,88 87,15 86,38 104,90 100,95 Penambahan AL (Rp T) Tw IV Pola Semester Ytd ,16 149, ,06 13, ,56 154,62 BUKU 2 109,44 101,88 113,07 109,13 110,34 BUKU 3 82,33 91,72 89,15 99,43 105,20 BUKU 4 107,17 90,20 90,69 92,63 93,28 INDUSTRI 99,83 92,50 93,44 97,40 99,36 Sumber: Dari sisi likuiditas perekonomian, M2 tumbuh meningkat ke 10,02% dari 8,39% pada semester I 2016 sejalan dengan peningkatan DPK perbankan dan dipengaruhi oleh ekspansi operasi keuangan pemerintah. Sementara M1 pada semester II 2016 tumbuh menjadi 17,27% dibanding 13,94% pada semester I 2016 karena ditopang peningkatan aliran uang kartal sejalan dengan ekspansi pemerintah. Grafik 4.3 Pertumbuhan Likuiditas Perekonomian dan Rasio Likuiditas Perbankan Grafik 4.4 Net Ekspansi Pemerintah 25% 20% 15% 10% 5% 0% Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des M2 (%yoy) M1 (%yoy) AL/NCD (%) - rhs 140% 120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% Trilliun Rp, Ytd (50) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Sumber: 119

148 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Asesmen Kondisi dan Risiko Intermediasi Intermediasi perbankan pada semester II 2016 ditandai dengan perlambatan pertumbuhan kredit, namun terdapat peningkatan pertumbuhan DPK. Peningkatan DPK tersebut disebabkan penerimaan dana tax amnesty oleh bank yang ditunjuk. Sehingga Loan-to-Deposit Ratio (LDR) perbankan menurun. Perlambatan kredit yang terjadi masih berlanjut dibanding tahun sebelumnya namun telah membaik dibanding semester I Meningkatnya permintaan pembiayaan proyek infrastruktur pemerintah telah meng-offset lemahnya permintaan kredit baru dari korporasi. Pelaksanaan konsolidasi kredit bermasalah oleh perbankan juga telah berkurang seiring melambatnya pertumbuhan NPL bank. Perbaikan pertumbuhan kredit terkonfirmasi dengan penurunan tipis indeks lending standard 1 pada triwulan IV 2016, meskipun masih pada level yang cukup tinggi. Penyaluran kredit perbankan di triwulan I 2017 diperkirakan tidak seketat di triwulan sebelumnya. Selain dari perbankan, korporasi mendapatkan pendanaan dari pasar modal berupa pendanaan dari penerbitan obligasi korporasi dan sukuk serta dari IPO, serta dari perusahaan pembiayaan. Pembiayaan dari pasar modal dan perusahaan pembiayaan menunjukkan tren peningkatan, mencapai Rp111,0 triliun sedikit meningkat dibanding semester sebelumnya sebesar Rp106,8 triliun (Informasi lebih detail terkait sumber pembiayaan nonbank dapat dilihat pada Bab 2). Pembiayaan secara total mengalami peningkatan dibanding semester sebelumnya dikontribusikan peningkatan yang signifikan pada pembiayaan oleh bank. Pembiayaan oleh bank meningkat sebesar Rp208,9 triliun pada semester II 2016, lebih tinggi dibanding peningkatan pada semester I 2016 sebesar Rp110,2 triliun. 15% 10% 5% 0% Lebih Ketat Tidak Berubah Lebih -10 Longgar Grafik 4.5 Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit (yoy) Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 DPK Kredit Grafik 4.6 Perkembangan Lending Standard Kredit Investasi Kredit Modal Kerja Kredit Konsumsi Tabel 4.3 Perkembangan LDR per Kelompok BUKU Sumber: 8,89% 5,90% Total 9,60% 7,86% Survey Q Survey Q Survey Q Ekspektasi Q Keterangan Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 BUKU 1 Kredit (Rp T) 71,46 74,75 78,24 83,01 DPK (Rp T) 95,71 81,15 95,38 88,02 LDR (%) 74,65 92,12 82,03 94,31 BUKU 2 Kredit (Rp T) 602,08 636,36 658,22 685,36 DPK (Rp T) 700,95 660,67 728,41 710,28 LDR (%) 85,89 96,32 90,36 96,49 BUKU 3 Kredit (Rp T) 1.543, , , ,10 DPK (Rp T) 1.589, , , ,32 LDR (%) 97,12 98,40 98,08 95,24 BUKU 4 Kredit (Rp T) 1.610, , , ,72 DPK (Rp T) 1.933, , , ,14 LDR (%) 83,30 85,63 86,55 85,16 Industri Kredit (Rp T) 3.828, , , ,19 DPK (Rp T) 4.319, , , ,76 LDR (%) 88,62 91,95 91,12 90,50 1 Lending Standard adalah kebijakan yang ditetapkan sebagai pedoman umum pemberian kredit kepada calon debitur dalam suatu institusi keuangan. Lending standard dapat berbeda antar satu institusi keuangan dengan institusi keuangan lainnya dan antar wilayah. Indeks Lending Standard mengukur pelonggaran atau pengetatan pedoman dalam pemberian pinjaman kepada debitur secara industri perbankan. 120

149 Perbankan dan IKNB Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) Pada semester II 2016, pertumbuhan DPK industri perbankan meningkat menjadi 9,60% (yoy) dari sebelumnya 5,90% di semester I Peningkatan pertumbuhan DPK terjadi pada akhir semester II 2016 disebabkan antara lain oleh masuknya dana tebusan dan repatriasi program tax amnesty. Selain itu juga terdapat kontribusi base effect 2 akibat terjadinya perlambatan pertumbuhan yang cukup signifikan di akhir 2015 yang turut disebabkan penurunan pertumbuhan dana Pemerintah Daerah di perbankan. Apabila dilihat berdasarkan BUKU, pertumbuhan paling tinggi terjadi di BUKU 4. Berdasarkan valuta, mulai terjadi peningkatan pertumbuhan DPK Rupiah menjadi 11,62% dari sebelumnya sebesar 9,83% pada semester I Sementara itu, pertumbuhan DPK valas yang mulai mencatatkan angka negatif sejak Maret 2016, per Oktober 2016 sudah mengalami titik balik. DPK valas tumbuh -0,33% di semester II 2016, lebih tinggi dibanding semester I 2016 yang tumbuh -12,12%. Dilihat dari jenis simpanan, hanya tabungan yang pertumbuhannya melambat, yaitu dari 16,33% pada semester I 2016 menjadi 11,16% di semester II Sebaliknya, giro dan deposito mengalami peningkatan pertumbuhan, yaitu masing-masing menjadi 13,84% dan 6,46% pada semester II 2016, dari 1,47% dan 1,97% pada semester I Tabel 4.4 Pertumbuhan DPK per BUKU (%, yoy) BUKU Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Pangsa Pasar Posisi Semester II 2016 (%) BUKU 1 15,69 4,08 (0,35) 8,47 1,82 BUKU 2 18,36 6,66 3,92 7,51 14,68 BUKU 3 10,03 6,51 1,25 5,90 34,82 BUKU 4 12,75 8,17 10,76 13,13 48,67 Industri 12,65 7,26 5,90 9,60 100,00 Sumber: Tabel 4.5 Penerimaan Dana Tax amnesty per BUKU Grafik 4.7 Pertumbuhan DPK (yoy) Dana Tax Amnesty (Rp M) BUKU Tebusan Repatriasi Total BUKU BUKU 2 4,521 7,985 12,506 BUKU 3 22,675 40,321 62,996 BUKU 4 68,154 50, ,335 40% 30% 20% 10% 0% -10% -20% 11,62% 9,60% -0,33% Industri 95,350 98, ,836 Sumber: OJK Sem I Sem I Sem I Sem I Sem II Sem II Sem II Sem II Pertumbuhan DPK (yoy) Pertumbuhan DPK Valas (yoy) Pertumbuhan DPK Rupiah (yoy) Sumber: 2 Yang dimaksud dampak base effect adalah pertumbuhan tahunan (yoy) yang lebih tinggi karena pertumbuhan tahunan (yoy) pada periode yang sama tahun sebelumnya lebih rendah daripada kondisi pada umumnya. 121

150 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Peningkatan pertumbuhan deposito terutama terjadi pada deposito di atas Rp2 miliar, yaitu menjadi 8,53% di semester II 2016, lebih tinggi dibanding 0,35% di semester I Sedangkan deposito Rp2 miliar melambat menjadi 2,35% dari 5,37% di semester I Peningkatan pertumbuhan deposito ini ditengarai merupakan dampak dari masuknya dana tax amnesty ke perbankan. DPK Perbankan masih didominasi oleh DPK jangka pendek, sehingga terjadi mismatch dengan pembiayaan yang dilakukan perbankan yang sebagian besar berjangka panjang. Selain itu, meskipun pangsanya cenderung menurun seiring usaha perbankan untuk menambah sumber pendanaannya dan mengalihkan ke CASA, namun ketergantungan perbankan pada deposan inti dan sumber dana mahal masih cukup besar. Hal ini dapat menjadi sumber kerentanan dan risiko perbankan terutama bank-bank kecil yang harus berkompetisi untuk memperoleh pendanaan. Namun tentunya terdapat trade off antara semakin panjangnya sumber pendanaan yang meningkatkan kestabilan perbankan, mengurangi mismatch namun meningkatkan pula biaya bunga. Tabel 4.6 Pangsa DPK berdasarkan Jangka Waktu Grafik 4.8 Pangsa DPK berdasarkan Deposan Inti/Non-Deposan Inti Jangka Waktu Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 JW <= 1 Bulan 72,3% 74,1% 72,1% 73,7% JW > 12 Bulan 2,8% 2,5% 2,4% 2,3% JW 1-3 Bulan 14,5% 14,5% 15,9% 14,4% 72,85% 76,07% 74,73% 77,00% JW 3-6 Bulan 5,9% 5,3% 5,8% 5,4% JW 6-12 Bulan 4,5% 3,6% 3,8% 4,2% Grand Total 100% 100% 100% 100% 27,15% 23,03% 25,27 23,00% Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Deposan Inti Non-Deposan Inti Grafik 4.9 Pangsa DPK berdasarkan Nilai Penjaminan Grafik 4.10 Pertumbuhan DPK Berdasarkan Jenis Simpanan 56,81% 54,03% 54,94% 55,80% 43,19% 45,97% 45,06% 44,20% 50% 40% 30% 20% 10% 0% -10% -20% 13,84% 11,16% 8,53% 2,35% Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Giro Tabungan Deposito <= 2M Deposito >2M DPK s.d 2M DPK di atas 2M Sumber: 122

151 Perbankan dan IKNB Dari sisi komposisi DPK, tabungan mengalami kenaikan pangsa dibanding semester I 2016, menjadi 32,08% pada semester II Sebaliknya, giro dan deposito mengalami penurunan pangsa. Penurunan pangsa deposito terjadi baik pada deposito >Rp2 miliar maupun deposito Rp2 miliar. Penurunan pangsa deposito merupakan hasil dari upaya bank untuk mengurangi ketergantungannya pada dana mahal dalam rangka efisiensi. Berdasarkan golongan pemilik dana, peningkatan DPK terutama dikontribusikan oleh meningkatnya pertumbuhan DPK pada golongan perseorangan seiring dengan masuknya dana tax amnesty ke perbankan. Di samping perseorangan, peningkatan DPK milik swasta perusahaan non keuangan juga turut berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan DPK. Grafik 4.11 Rata-rata Suku Bunga Deposito Rupiah 1 bulan per BUKU 8,0% 7,5% 7,0% 6,5% 7,62 6,0% 6,82 5,5% 5,0% Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Buku 1 Buku 2 Buku 3 Buku 4 Industri Grafik 4.12 Pangsa Komposisi DPK Perbankan 32,06% 30,54% 30,38% 30,25% 15,24% 15,45% 15,16% 14,42% 28,24% 31,63% 31,02% 32,08% 24,46% 22,38% 23,44% 23,24% Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Giro Tabungan Deposito <=2M Deposito >2M Sumber: 123

152 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Secara spasial, peningkatan pertumbuhan DPK terjadi pada tiga pulau dengan pangsa DPK terbesar, yaitu, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, sementara pulaupulau lainnya mencatatkan perlambatan pertumbuhan dibandingkan semester I Di semester II 2016, penghimpunan DPK masih terpusat di Jawa sejalan dengan kegiatan bisnis dan perputaran uang yang berpusat di Jawa, khususnya di DKI Jakarta sebagai pusat ekonomi. DKI Jakarta mencatatkan pangsa DPK sebesar 50,62% dari total DPK perbankan. Grafik 4.13 Perkembangan DPK Berdasarkan Golongan Pemilik Rp T % Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Swasta - Perseorangan Swasta - IKNB Swasta - Perusahaan non Lembaga Keuangan Swasta - Lainnya Non Residen Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Tabel 4.7 Pangsa DPK per Pulau Pulau Pertumbuhan YOY DPK (%) Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Pangsa DPK (%) Sem II 2016 Jawa 13,40 7,48 6,27 10,70 78,09 Sumatera 10,68 4,79 3,05 7,81 10,99 Kalimantan 6,46 0,81 0,58 4,06 3,98 Sulawesi 12,08 17,87 14,07 3,32 2,96 Bali & Nusa Tenggara 12,23 10,09 7,87 5,02 2,54 Papua & Kepulauan Maluku 13,22 8,38 6,13 3,32 1,44 Sumber: 124

153 Perbankan dan IKNB Perkembangan Kredit Pertumbuhan kredit masih berada dalam tren perlambatan sampai dengan semester II Kredit tumbuh 7,86% (yoy), lebih rendah dibanding semester I 2016 yang sebesar 8,89% (yoy). Perpaduan antara rendahnya permintaan terhadap kredit baru dengan tingginya tingkat kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit menjadi penyebab perlambatan pertumbuhan kredit. Korporasi berupaya meningkatkan efisiensi dalam pengaturan arus kas dan manajemen persediaannya untuk mengurangi kebutuhan terhadap kredit baru, serta menahan investasi baru. Sedangkan perbankan fokus melaksanakan konsolidasi terhadap kredit bermasalahnya dan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit baru. KK perlambatan pertumbuhan dikontribusikan melambatnya pertumbuhan kredit multiguna. Apabila dilihat pangsanya, penyaluran kredit perbankan masih didominasi kredit bersifat produktif yakni KMK. 40% 30% 20% 10% 0% -10% -20% Sem I Grafik 4.14 Pertumbuhan Kredit Perbankan Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Pertumbuhan Kredit (yoy) Pertumbuhan Kredit Valas (yoy) Pertumbuhan Kredit Rupiah (yoy) 9,15% 7,86% 0,92% Berdasarkan valuta, terjadi perlambatan kredit rupiah dari 12,25% (yoy) pada semester I 2016 menjadi 9,15% (yoy) pada semester II Sebaliknya kredit valas mengalami peningkatan dari -7,76% menjadi 0,92%. Peningkatan penyaluran kredit valas ini disumbang oleh peningkatan kredit valas pada perusahaan leasing dan untuk pembiayaan impor. Perusahaan leasing terindikasi menggunakan kredit dalam valas untuk membiayai ekspansi usaha mendanai peningkatan leasing kendaraan bermotor roda empat serta untuk membayar utang luar negerinya yang jatuh tempo. Berdasarkan jenis penggunaan, perlambatan kredit terjadi pada semua jenis penggunaan baik Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK). Penyumbang perlambatan terutama berasal dari KI, dikontribusikan oleh sektor industri pengolahan dan perdagangan. Perlambatan ini seiring peningkatan risiko kredit di kedua sektor tersebut sehingga korporasi menahan investasinya. Perlambatan KMK terutama disebabkan melambatnya kredit di sektor pertanian dan perdagangan. Sementara itu, untuk Grafik 4.15 Pertumbuhan Kredit per Jenis Penggunaan 12,03% 9,04% 9,09% 8,84% 7,30% 8,64% 8,76% 6,93% KMK KI Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II ,47% Grafik 4.16 Pangsa Kredit per Jenis Pengunaan 25,71% 14,70% 46,81% Sumber: KMK KI KK KK 125

154 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Dari sisi sektor ekonomi, penyumbang utama perlambatan pertumbuhan kredit pada semester II 2016 terutama berasal dari sektor industri pengolahan dan pertanian. Perlambatan penyaluran kredit pada sektor industri pengolahan terutama terjadi pada industri pupuk, logam dasar dan rokok. Sementara perlambatan kredit pada sektor pertanian terutama disumbang subsektor perkebunan kelapa sawit, meskipun terjadi peningkatan PDB sektor pertanian yang cukup signifikan pada semester II Perlambatan kredit di sektor industri pengolahan sejalan dengan penurunan pertumbuhan PDB secara semesteran pada sektor tersebut. Sedangkan perlambatan pertumbuhan kredit pada sektor pertanian, terutama disumbang subsektor perkebunan sawit yang disebabkan sikap wait and see terhadap stabilitas peningkatan harga sawit dari perkebunan sawit sebelum melakukan perluasan lahan. Sikap wait and see tersebut karena harga sawit yang baru kembali meningkat pada semester II 2016 setelah berada pada level yang cukup rendah selama beberapa semester sebelumnya. PDB sektor pertanian mengalami pertumbuhan cukup signifikan pada semester II 2016 sebagian besar disebabkan peningkatan harga sawit, namun dipengaruhi juga oleh base effect karena harganya yang sangat rendah pada semester I Dari sisi spasial, penurunan pertumbuhan kredit paling Tabel 4.8 Pertumbuhan PDB Sektoral per Sektor Ekonomi Sektor Jun Des Jun Des Jun Des PERtanian 5,02 3,48 5,20 2,34 2,50 4,03 PERtambangan (0,25) 1,10 (1,53) (5,23) 1,18 0,95 INDUSTRI PENGOLAHAN 4,66 4,63 4,14 4,52 4,65 3,94 PENGADAAN LISTRIK 4,89 6,89 1,24 0,58 6,86 3,99 PENGADAAN AIR 4,81 5,66 6,20 7,92 4,75 2,51 KONSTRUKSI 6,83 7,11 5,68 6,98 5,93 4,57 PERDagangan 5,57 4,81 2,64 2,53 4,12 3,75 TRANSPORtaSI DAN PERGUDANGAN 7,28 7,45 5,85 7,47 7,40 8,06 hotel DAN REStoRAN 6,40 5,17 3,51 5,09 5,32 4,57 INFORMASI DAN KOMUNIKASI 10,31 9,94 9,45 9,92 8,47 9,26 jasa KEUANGAN 4,54 4,83 5,54 11,58 11,44 6,56 REAL EStat 4,80 5,19 4,43 3,80 4,81 3,81 jasa PERUSAHAAN 10,13 9,50 7,50 7,88 7,85 6,89 ADMINISTRASI PEMERINTAHAN 0,03 4,62 5,50 3,84 4,53 1,95 jasa PENDIDIKAN 4,46 6,39 8,26 6,50 5,24 2,56 jasa KESEHATAN 8,20 7,75 8,43 5,09 5,76 4,29 jasa LAINNYA 8,92 8,93 8,02 8,13 7,89 7,70 Grafik 4.17 Pertumbuhan Kredit per Sektor Ekonomi (% yoy) Grafik 4.18 Pertumbuhan Kredit per Sektor Ekonomi (Rp T) 40% 30% 20% 10% 0% 8,27% 2,85% 6,40% 24,18% 11,18% 15,59% 1,27% 36,21% 7,86% Triliun Rp 56,3 92,7 21,7 41,8 29,5 54,5 1,3 36,0-10% -20% Perdagangan Lain-lain Industri Pengangkutan -3,24% Konstruksi Pertanian Jasa Dunia Usaha Jasa Sosial Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Pertambangan (6,61%) Listrik Total Perdagangan Lain-lain Industri Pengangkutan (5,8) Konstruksi Pertanian Jasa Dunia Usaha Jasa Sosial Pertambangan (8,9) Listrik Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Sumber: 126

155 Perbankan dan IKNB dalam terjadi di Sulawesi dan Sumatera. Secara pangsa penyaluran kredit perbankan pada semester II 2016 masih terpusat di Pulau Jawa, diikuti oleh Sumatera, dan Kalimantan. Pulau Jawa sebagai pulau dengan pangsa penyaluran kredit terbesar juga mengalami perlambatan kredit, meskipun perlambatan pertumbuhan kredit di Jawa relatif kecil, perlambatan tersebut menyumbang paling besar pada perlambatan kredit keseluruhan. Selanjutnya apabila dilihat dari kelompok BUKU, BUKU Tabel 4.9 Pangsa Kredit Berdasarkan Lokasi Proyek Pulau Pertumbuhan YOY Kredit (%) Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Pangsa Kredit (%) Sem II 2016 Jawa 10,54 10,76 8,66 8,16 69,90 Sumatera 8,54 9,72 8,13 6,32 14,66 Kalimantan 7,44 3,16 5,19 4,48 5,91 Sulawesi 12,54 14,55 15,05 8,95 4,98 Bali & Nusa Tenggara 14,96 10,72 10,88 10,96 3,26 Papua & Kepulauan Maluku 13,02 11,77 12,74 14,99 1,29 Sumber: 4 dan BUKU 2 mencatatkan perlambatan pertumbuhan dibanding semester sebelumnya. Penyaluran kredit BUKU 4 tumbuh 12,51% (yoy) di semester II 2016, melambat dibanding 15,07% di semester I. Sementara kredit BUKU 2 tumbuh 7,70%, melambat dari 9,32% di semester I Perlambatan ini disebabkan melemahnya permintaan terhadap kredit baru dan sikap perbankan yang berhati-hati dalam menyalurkan kredit baru akibat upaya konsolidasi yang dilakukan menghadapi peningkatan risiko kredit. Perlambatan pertumbuhan kredit perbankan diikuti oleh penurunan suku bunga kredit pada semua BUKU kecuali pada BUKU 1. Selain karena permintaan kredit yang melemah, penurunan suku bunga tersebut juga seiring dengan penurunan suku bunga DPK. Tabel 4.10 Pertumbuhan Kredit per BUKU (% yoy) Grafik 4.19 Suku Bunga Kredit Rupiah Per BUKU BUKU Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Pangsa Posisi Sem II 2016 (%) BUKU 1 6,91 7,19 9,50 11,05 1,90 BUKU 2 14,12 12,54 9,32 7,70 15,66 BUKU 3 8,08 5,32 2,24 2,49 36,65 BUKU 4 11,42 14,73 15,07 12,51 45,80 Industri 10,37 10,45 8,89 7,86 100,00 (%) Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 Sumber: 127

156 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Perkembangan Kredit UMKM Penyaluran kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada semester II 2016 mencapai Rp857 Triliun atau 19,4% dari total penyaluran kredit perbankan. Penyaluran kredit UMKM tersebut tumbuh 8,4% (yoy), meningkat dibandingkan dengan semester sebelumnya sebesar 8,3% (yoy) dan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (semester II 2015) yaitu 8% (yoy). Meningkatnya pertumbuhan kredit UMKM menjadi salah satu indikator mulai membaiknya perekonomian domestik dari kondisi perlambatan ekonomi pada tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, kondisi likuiditas perbankan dan masih berlanjutnya penurunan suku bunga kredit turut mendorong peningkatan pertumbuhan kredit UMKM pada akhir tahun Berdasarkan jenis penggunaannya, Kredit Modal Kerja (KMK) mengalami peningkatan pertumbuhan pada semester II 2016 menjadi sebesar 9,2% (yoy) dibandingkan semester I 2016 (7,8%, yoy). Sementara itu, Kredit Investasi (KI) turun menjadi 6,4% (yoy) dibandingkan dengan semester I 2016 (9,6%, yoy). Berdasarkan sektor ekonomi, peningkatan pertumbuhan kredit UMKM dialami oleh beberapa sektor ekonomi dengan pangsa kredit cukup besar, yaitu Industri Pengolahan dan Konstruksi, yang masingmasing meningkat menjadi 10,7% (yoy) dan 11,8% (yoy) pada semester II 2016 dibandingkan semester sebelumnya yang sebesar 5,3% dan 8%. Selain itu, peningkatan pertumbuhan juga terjadi pada sektor akomodasi dan transportasi & telekomunikasi yang masing-masing tumbuh menjadi sebesar 18,6% (yoy) dan 2,2% (yoy) pada semester II 2016 dibandingkan semester sebelumnya yakni sebesar 17,4% dan -1,7%. Di sisi lain, beberapa sektor ekonomi dengan pangsa kredit yang cukup besar juga masih mengalami dampak dari perlambatan ekonomi yang terlihat dari menurunnya pertumbuhan kredit UMKM pada semester II 2016, yaitu sektor perdagangan besar & eceran dan sektor pertanian dan kehutanan yang masing-masing turun menjadi 9,5% (yoy) dan 9,6% (yoy) dibandingkan semester sebelumnya sebesar 12,5% dan 9,8%. Perlambatan pertumbuhan juga dialami beberapa sektor lain, yaitu Real Estate, Perikanan, Jasa Kesehatan, dan Jasa Pendidikan yang masing-masing turun menjadi 5,7% (yoy), 7,4% (yoy), 9,2% (yoy), dan 10,2% (yoy) pada semester II 2016 dibandingkan semester sebelumnya sebesar 11,7%, 10,6%, 20,1%, dan 13,3%. Menurunnya pertumbuhan kredit UMKM pada sektor perdagangan dipengaruhi Grafik Perkembangan Kredit UMKM Grafik Pertumbuhan Kredit UMKM pada 6 Sektor Ekonomi Triliun Rp (%) Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 Mei-15 Jun-15 Jul-15 Agt-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 25, ,0 19,42 15, ,0 8,4 5, ,0 40,0% 30,0% 20,0% 11,8% 10,7% 10,0% 9,6% 0,0% 9,4% -10,0% 5,7% -2,0% -20,0% Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 May-15 Jun-15 Jul-15 Aug-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-16 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 May-16 Jun-16 Jul-16 Aug-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 BD Usaha Menengah BD Usaha Kecil BD Usaha Mikro Share Kredit UMKM (skala kanan) Growth Kredit UMKM -yoy (skala kanan) Sumber:,2016 Pertanian Real Estate Perdagangan Industri Pengolahan Js Kemasyarakatan Konstruksi Sumber:, Laporan Bulanan Bank Umum 2016, diolah. 128

157 Perbankan dan IKNB oleh pertumbuhan ekonomi domestik yang masih terbatas sehingga mempengaruhi laju bisnis perdagangan. Selain itu, ekspektasi konsumen untuk bulan Desember 2016 yang masih belum optimis juga turut mempengaruhi permintaan konsumen terhadap barang. Hal serupa juga dialami sektor pertanian dan kehutanan yang terimbas perlambatan ekonomi global, sehingga penyaluran kredit ke sektor tradable (pertanian, industri, dan pertambangan) masih melambat. Secara spasial, sebaran penyaluran kredit UMKM masih belum merata dan terfokus pada wilayahwilayah pusat aktivitas ekonomi seperti di pulau Jawa dan Sumatera dengan pangsa masing-masing sebesar 58,0% dan 19,7%. Sementara itu, untuk wilayah timur Indonesia yaitu Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, serta Papua dan Maluku pangsanya masih relatif rendah yakni masing-masing sebesar 7,2%, 7,0%, 5,7%, dan 2,3%. Hal ini antara lain disebabkan ketersediaan infrastruktur perbankan yang mayoritas berada di wilayah perkotaan. Sementara itu, secara sektoral, mayoritas kredit UMKM diserap oleh sektor Perdagangan Besar dan Eceran (pangsa 52,7%) yang ditujukan kepada usaha menengah. Dominasi ini lebih dipengaruhi oleh kompetensi SDM perbankan dalam penyaluran kredit ke sektor perdagangan, serta potensi risikonya yang relatif lebih teru. Sedangkan penyaluran kredit UMKM kepada sektor lainnya yang juga berkontribusi cukup besar pada pertumbuhan ekonomi seperti sektor industri pengolahan dan sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan masih rendah dengan pangsa 10,3% dan 8,2%. Berdasarkan kelompok BUKU, penyaluran kredit UMKM pada semester II 2016 tetap didominasi oleh BUKU 4 (pangsa 56,4%), diikuti oleh BUKU 3 (26,8%), BUKU 2 (14,2%), dan BUKU 1 (2,6%). Dominasi BUKU 4 pada penyaluran kredit UMKM disebabkan bank di kelompok BUKU 4 telah memiliki competitive advantage yang dibutuhkan dalam menyalurkan kredit UMKM secara luas dengan kualitas terjaga, antara lain jaringan kantor yang luas sampai ke tingkat desa serta jumlah SDM yang memadai. Dari sisi pertumbuhan, dibandingkan dengan semester II 2015 kelompok BUKU 1 mengalami penurunan pertumbuhan kredit UMKM yang signifikan yaitu sebesar -44,4%. Demikian juga BUKU 3 yang pada semester II 2016 mengalami pertumbuhan kredit sangat rendah sebesar 2,7%. Perlambatan serta rendahnya pertumbuhan kredit UMKM pada BUKU 1 dan BUKU 3 tersebut antara lain karena strategi bank untuk fokus pada upaya perbaikan kualitas kredit yang cenderung mengalami pemburukan sehingga menahan penyaluran kredit baru. Disamping itu menurunnya permintaan kredit sebagai dampak perlambatan ekonomi serta meningkatnya persaingan dengan adanya penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) memperkuat tertahannya pertumbuhan kredit. Di sisi lain, bank-bank BUKU 2 dan BUKU 4 masih mampu mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada semester II Perkembangan Risiko Kredit Meskipun risiko kredit masih melanjutkan tren peningkatan pada semester II 2016, namun pertumbuhan kredit bermasalah sudah mengalami perlambatan. Rasio NPL gross meningkat menjadi 2,93% dibanding 2,49% di semester II Namun demikian, tingkat NPL gross pada semester laporan tersebut tercatat lebih rendah dibandingkan dengan semester I 2016 sebesar 3,05%. Peningkatan NPL yang terjadi lebih rendah dibanding beberapa semester sebelumnya. Tren peningkatan risiko kredit disebabkan penurunan kinerja korporasi dan perlambatan pertumbuhan kredit. 129

158 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Dari sisi jenis penggunaan, risiko kredit KMK, KI, maupun KK mengalami peningkatan dibandingkan semester II Peningkatan NPL gross terbesar dialami KMK dan KI, masing-masing naik dari 2,99% dan 2,61% pada semester II 2015 menjadi 3,59% dan 3,21% pada semester II Sementara NPL gross KK naik tipis dari 1,50% menjadi 1,53%. Dibandingkan dengan semester II 2015, peningkatan NPL KMK terutama dikontribusikan oleh sektor industri pengolahan dan perdagangan. Sedangkan, peningkatan NPL KI dikontribusikan oleh sektor perdagangan dan pertambangan, sementara penyumbang utama NPL pada KK adalah kredit KPR tipe di atas 70. Tabel Pertumbuhan dan Pangsa Kredit UMKM berdasarkan BUKU BUKU Pertumbuhan Kredit UMKM (yoy) Pangsa Kredit UMKM Sem I 2014 Sem II 2014 Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Sem I 2014 Sem II 2014 Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Buku 1 5,7% 5,1% 5,1% -0,6% -1,9% -44,4% 5,7% 5,1% 5,1% 5,1% 5,1% 2,6% Buku 2 15,9% 13,7% 13,1% -11,1% -10,4% 12,3% 15,9% 13,7% 13,1% 13,7% 13,1% 14,2% Buku 3 27,6% 28,3% 26,4% 6,4% 3,7% 2,7% 27,6% 28,3% 26,4% 28,3% 26,4% 26,8% Buku 4 50,9% 52,9% 55,3% 16,4% 17,7% 15,6% 50,9% 52,9% 55,3% 52,9% 55,3% 56,4% Sumber:, Laporan Bulanan Bank Umum 2016, diolah. Grafik Perkembangan Rasio NPL Grafik 4.23 Rasio NPL gross per Jenis Penggunaan 5,0% 4,0% 3,0% 2,93% 4,0% 3,0% 2,99% 3,74% 3,59% 2,61% 3,26% 3,21% 2,0% 1,0% 1,24% 2,0% 1,0% 1,50% 1,67% 1,53% 0,0% Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II NPL Gross NPL Nett 0,0% KMK KI KK Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Grafik 4.24 Rasio NPL gross per Sektor Ekonomi (% yoy) Grafik 4.25 Rasio NPL gross per Sektor Ekonomi (Rp T) 8,0% 7,0% 6,0% 5,0% 4,0% 3,0% 2,0% 1,0% 0,0% Perdagangan 4,10% 3,44% 1,52% Lain-lain Industri Pengangkutan 4,83% Konstruksi 3,86% Pertanian 1,95% 2,10% 2,23% Jasa Dunia Usaha Jasa Sosial 7,16% Pertambangan 1,64% Listrik 2,93% Total (Rp T) ,4 7, ,6 1, Perdagangan Lain-lain Industri Pengangkutan Konstruksi 3,5 1,3 1,4 2,0 Pertanian Jasa Dunia Usaha -0,3 Jasa Sosial Pertambangan -0,1 Listrik Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Sumber: 130

159 Perbankan dan IKNB Apabila dilihat berdasarkan sektor ekonomi, penyumbang terbesar peningkatan NPL gross industri perbankan adalah sektor perdagangan, industri pengolahan dan pertambangan. Sementara sektor yang mencatat NPL gross tertinggi adalah sektor pertambangan, dengan NPL gross pada semester II 2016 sebesar 7,16%. Peningkatan NPL sektor perdagangan terutama berasal dari perdagangan bahan konstruksi dan perdagangan makanan, minuman dan tembakau lainnya. Sementara itu, sektor industri pengolahan juga mencatatkan peningkatan risiko kredit yang signifikan. NPL sektor ini tercatat 3,44% pada semester II 2016, meningkat dibanding semester II 2015 dimana NPL tercatat sebesar 2,50%. Peningkatan NPL pada sektor industri pengolahan khususnya pada industri pengolahan akhir tekstil dan industri minuman. Meskipun perbankan sudah membatasi eksposur kreditnya pada subsektor batubara sejalan dengan pemburukan komoditas tersebut, subsektor batubara kembali menjadi penyumbang peningkatan NPL terbesar di semester II 2016, selain itu NPL juga turut disumbang subsektor jasa pertambangan minyak dan gas. NPL gross subsektor pertambangan batubara dan jasa pertambangan minyak dan gas masing-masing naik dari 6,46% dan 7,17% di semester II 2015 menjadi 11,09% dan 14,78% di semester II Secara spasial, peningkatan rasio NPL gross industri perbankan dibandingkan semester II 2015 terjadi di Jawa, Kalimantan, serta Bali dan Nusa Tenggara. Jawa mencatatkan peningkatan terbesar dari 2,27% di semester II 2015 menjadi 2,92% di semester II Di sisi lain, Kalimantan sebagai daerah yang mengalami dampak cukup signifikan dari penurunan harga komoditas mencatatkan peningkatan NPL terbesar, naik dari 3,86% di semester II 2015 menjadi 4,40% di semester II Meskipun begitu, pangsa kredit Kalimantan relatif tidak terlalu besar sehingga peningkatan NPL tersebut dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap profil NPL nasional. Tabel 4.12 NPL Gross per Wilayah (%) Pulau Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Pangsa Kredit sem II 2016 (%) Jawa 2,27 2,27 2,91 2,92 69,90 Sumatera 3,34 2,82 3,14 2,68 14,66 Kalimantan 3,42 3,86 4,76 4,40 5,91 Sulawesi 3,40 2,98 2,99 2,58 4,98 Bali & Nusa Tenggara 1,84 2,15 2,69 2,47 3,26 Papua & Kepulauan Maluku 4,09 3,72 3,79 3,12 1,29 Sumber: 131

160 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Selanjutnya, berdasarkan BUKU, dibanding semester II 2015 peningkatan rasio NPL gross terjadi pada semua BUKU. Peningkatan NPL gross terbesar terjadi pada BUKU 1 dan BUKU 4. Namun, level NPL tersebut masih jauh di bawah threshold 5%. mengalami rating downgrade. Berdasarkan rating Pefindo, jumlah obligasi yang mengalami penurunan rating pada tahun berjumlah 24 obligasi atau meningkat dari tahun 2015 yang hanya berjumlah 13 Obligasi. Pemburukan kualitas kredit perbankan seiring dengan meningkatnya jumlah Obligasi Korporasi yang Tabel 4.13 Rasio NPL gross per BUKU (%) Tabel 4.14 Jumlah Obligasi Yang Mengalami Downgrade (Rating Pefindo) BUKU Sem I 2015 Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 BUKU 1 2,83 2,47 3,27 2,97 BUKU 2 3,19 2,97 3,71 3,31 BUKU 3 2,95 2,96 3,28 3,23 BUKU 4 1,94 1,90 2,61 2,55 Industri 2,56 2,49 3,05 2,93 Periode Q Q Q Q Total Sumber: Sumber: Bloomberg, diolah. Perkembangan Risiko Kredit UMKM Selama periode laporan, risiko kredit UMKM mengalami tren penurunan dibandingkan kondisi NPL selama awal tahun 2016 bahkan lebih rendah dibandingkan periode semester akhir tahun Perbaikan NPL sepanjang 2016 menunjukkan mulai pulihnya kondisi perekonomian domestik yang sempat melambat sejak Perbaikan tersebut ditunjukkan dengan menurunnya NPL pada semester II 2016 menjadi 4,15% dari 4,20% pada semester II Grafik Rasio NPL Gross Kredit UMKM per Tahun (%) ,20% 4,15% 3,97% ,23% 3,19% 3.00 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Sumber:, Laporan Bulanan Bank Umum 2016, diolah. 3 Penurunan rating hingga posisi akhir september 132

161 Perbankan dan IKNB Dari sisi perbankan, membaiknya NPL gross antara lain dipengaruhi oleh kehatian-hatian perbankan dalam menyalurkan kreditnya, dimana pada akhir tahun lebih berfokus berupaya mengembalikan kolektibilitas nasabah UMKM yang turun, sehingga dapat meminimalisir berkurangnya laba akibat Cadangan Kerugian Penurunan Nilai yang membesar. Berdasarkan jenis penggunaan, pada semester II 2016 Kredit Investasi UMKM memiliki rasio NPL gross sebesar 4,26%, lebih tinggi dibandingkan Kredit Modal Kerja UMKM yang sebesar 4,11%. Sejalan dengan membaiknya NPL gross kredit UMKM, risiko kredit kedua jenis kredit UMKM tersebut menurun dibandingkan semester I 2016 yaitu sebesar 4,54% untuk Kredit Investasi dan 4,60% untuk Kredit Modal Kerja. 6,00% 5,00% 4,00% 3,00% Grafik NPL Gross Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Penggunaan Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 Mei-15 Jun-15 Jul-15 Agt-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Kredit UMKM KMK UMKM KI UMKM Sumber:, Laporan Bulanan Bank Umum 2016, diolah. 4,26% 4,15% 4,11% 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 Grafik 4.28.NPL Gross Kredit UMKM Berdasarkan Klasifikasi Usaha Des-14 Feb-15 Apr-15 Jun-15 Usaha Mikro Usaha Kecil Agt-15 Okt-15 Usaha Kecil UMKM Des-15 Perbankan Sumber:, Laporan Bulanan Bank Umum 2016, diolah. 5,06% 4,30% 4,15% 2,91% 2,10% Perbaikan kualitas kredit UMKM pada semester II 2015 terjadi pada sebagian besar sektor ekonomi diantaranya sektor perdagangan besar dan eceran menjadi 3,94%, sektor industri pengolahan (3,8%), sektor pertanian dan kehutanan (4,21%), dan sektor jasa kemasyarakatan (3,58%). Di sisi lain, terdapat beberapa sektor yang juga mengalami perbaikan NPL, namun masih berada pada kategori macet, yaitu sektor konstruksi menjadi 6,70% yang bersumber dari subsektor konstruksi perumahan sederhana, serta sektor pertambangan & penggalian (8,27%) yang terutama bersumber dari subsektor pertambangan dan penggalian Lainnya Sementara itu, NPL di sektor real estate dan sektor listrik, gas & air mengalami pemburukan masing-masing menjadi 5,31% dan 2,43%. Feb-16 Apr-16 Jun-16 Agt-16 Okt-16 Des-16 Berdasarkan klasifikasi usaha, rasio NPL gross tertinggi terdapat pada Usaha Menengah sebesar 5,06%, diikuti oleh Usaha Kecil (4,30%), dan Usaha Mikro (2,10%). Tingginya NPL pada Usaha Menengah terutama bersumber dari sektor perdagangan besar dan eceran dengan porsi NPL yang sebesar 42,30% dari total nominal NPL Kredit Usaha Menengah. Sementara itu, berdasarkan kelompok BUKU, NPL gross tertinggi kredit UMKM terdapat pada BUKU 1 sebesar 7,17%, diikuti oleh BUKU 2 (7,02%), BUKU 3 (4,98%), dan BUKU 4 (2,90%). 12,0% 10,0% 8,0% 6,0% 4,0% 2,0% 0,0% Grafik Perkembangan NPL Gross Kredit UMKM Berdasarkan Sektor Ekonomi Pertambangan 8,27% 6,70% Konstruksi 5,31% 5,19% 4,21% 3,94% 3,80% Real Estate Transporatasi Sumber:, Laporan Bulanan Bank Umum 2016, diolah. Pertanian Perdagangan Sem II 2015 Sem I 2016 Sem II 2016 Industri 2,43% Listrik dan Gas 133

162 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Pemenuhan Kewajiban Penyaluran Kredit UMKM Dalam rangka mendorong pengembangan UMKM, melalui PBI No.14/22/PBI tanggal 21 Desember 2012 sebagaimana diubah oleh PBI No.17/12/PBI tanggal 25 Juni 2015 tentang Pemberian Kredit/Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, bank umum diwajibkan untuk menyalurkan kredit kepada UMKM minimum sebesar 20% (secara bertahap) dari total kredit yang disalurkan. Pada akhir tahun 2016, bank umum diwajibkan untuk memiliki rasio kredit UMKM terhadap total kredit minimum sebesar 10% dengan kualitas kredit yang terjaga. Khusus bagi kelompok Bank Campuran dan Kantor Cabang Bank Asing, mengingat kedua kelompok bank ini kurang memiliki keahlian dalam menyalurkan kredit UMKM, namun agar tetap memberikan kontribusi positif dalam perekonomian nasional, maka pemenuhan ketentuan rasio kredit UMKM kedua kelompok bank tersebut diakomodir dengan cara memasukkan kredit ekspor non migas kepada non UMKM. Di dalam implementasi kebijakan ini, mengenakan insentif dan disinsentif kepada Bank Umum yang dapat memenuhi atau tidak dapat memenuhi target rasio kredit UMKM pada setiap tahapnya dengan kualitas yang terjaga. Insentif yang diberikan berupa pelonggaran batas atas Loan to Funding Ratio (LFR) kepada bank yang dapat mencapai rasio kredit UMKM lebih cepat dari yang ditetapkan dengan kualitas kredit yang terjaga. Selain itu, juga dapat memberikan insentif berupa pelatihan kepada bank untuk meningkatkan kompetensi SDM bank dalam penyaluran kredit UMKM, pelatihan kepada UMKM calon debitur bank, fasilitasi pemeringkatan kredit (credit rating), serta publikasi dan penghargaan (award). Sedangkan disinsentif yang dikenakan berupa pengurangan jasa giro bagi bank umum konvensional yang tidak dapat mencapai rasio kredit UMKM yang ditentukan dan/ atau kualitas kredit UMKM dan total kredit kurang baik. Gambar 4.1. Pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank Umum tahun 2016 Mencapai Rasio Kredit UMKM 10% 118 Bank Tidak Mencapai Rasio Kredit UMKM 10%! NPL <5% NPL <5% 56 Bank 56 Bank 30 Bank Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum 2016, diolah. 134

163 Perbankan dan IKNB Pada akhir tahun 2016, dari 118 Bank Umum, 56 bank umum (47,5%) telah memenuhi kewajiban pencapaian rasio kredit UMKM dengan kualitas yang terjaga. Selebihnya merupakan bank umum yang belum dapat memenuhi kewajiban tersebut. Dari 30 Bank Umum yang belum dapat memenuhi rasio kredit UMKM, mayoritas berasal dari BUKU 2 sebanyak 15 bank diikuti oleh BUKU 1 (9 bank) dan BUKU 3 sebanyak 6 bank. Tidak terpenuhinya ketentuan rasio kredit UMKM terutama karena kurangnya keahlian bank dalam penyaluran kredit UMKM serta menurunnya permintaan kredit dan kinerja UMKM sebagai dampak perlambatan ekonomi domestik yang menyebabkan tingginya risiko kredit (NPL) UMKM pada Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak Perbankan, beberapa kendala yang dihadapi bank dalam memenuhi ketentuan rasio kredit UMKM adalah: a. Kurangnya keahlian dan kapasitas Bank dalam penyaluran kredit UMKM, antara lain mencakup aspek: 1) Keterbatasan jaringan kantor 2) Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) secara kuantitas dan kualitas 3) Minimnya infrastruktur dan Teknologi Informasi (TI) 4) Terbiasa dalam penyaluran kredit konsumtif, bukan produktif b. Biaya kredit yang tinggi, sehingga tingkat suku bunga kurang kompetitif c. Menurunnya permintaan kredit serta kinerja UMKM sebagai dampak perlambatan ekonomi domestik. d. Relatif sulitnya memperoleh debitur baru yang potensial (sebagai dampak persaingan dengan KUR) e. Khusus bagi beberapa Bank Asing dan Bank Campuran, juga terkendala dengan kebijakan internal bank, yaitu strategi bisnis head office yang tidak masuk ke segmen UMKM dan rating debitur tidak memenuhi standar rating bank. Di tengah kendala-kendala tersebut, perbankan tetap berupaya meningkatkan penyaluran kredit kepada UMKM, antara lain melalui strategi-strategi sebagai berikut: a. Pengembangan produk dengan pendekatan supply chain financing. b. Restrukturisasi dan eksekusi bagi debitur yang default. c. Mobile collection kepada debitur usaha mikro. d. Penyaluran kredit yang lebih selektif dan pembenahan internal untuk menjaga kinerja kredit. e. Pemetaan secara geografis berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan kredit per wilayah. f. Pembentukan biro baru yang menangani penyaluran kredit UMKM, penyederhanaan proses pengajuan kredit, optimalisasi Account Officer (AO), dan mempermudah prosedur kredit. Perkembangan Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Program KUR merupakan kredit/pembiayaan modal kerja dan atau investasi kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) di bidang usaha yang produktif dan layak namun belum bankable yang dijamin oleh Perusahaan Penjamin. KUR diluncurkan pertama kali pada November KUR bertujuan untuk meningkatkan akses pembiayaan UMKM kepada perbankan, yang terbagi dalam skim KUR Mikro, KUR Ritel, dan KUR Penempatan TKI. Dalam perjalanannya skema KUR mengalami penyempurnaan. Untuk KUR skema baru (skema tahun 2015 dan 2016) terutama diarahkan untuk mendorong kenaikan pertumbuhan ekonomi yang sedang melambat. 135

164 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Penyaluran KUR selama periode 2016 (hingga Desember 2016) telah mencapai Rp94,4 Triliun atau 94,4% dari target 2016 (Rp100 Triliun) yang disalurkan kepada debitur. Bank pelaksana KUR yang memiliki realisasi terbesar adalah BRI (Rp69,5 Triliun), 73,6% dari penyaluran KUR nasional, diikuti oleh Bank Mandiri (Rp13,3Triliun, 14,1%) dan BNI (Rp10,3Triliun, 10,9%). Sedangkan realisasi bank-bank pelaksana KUR lainnya sesuai dengan targetnya yang masih sangat rendah. Berdasarkan skema, penyaluran KUR terbesar dialokasikan pada skema KUR Mikro sebesar 69,5%. Grafik Realisasi KUR tahun 2016 Triliun % % 90 90% 80 80% 70 70% 60 60% 50 50% 40 40% 30 30% 20 20% 10 10% 0% 6,2% Jan-16 6,2 14,3% 14,3 Feb-16 26,9% 26,9 38,5% 38,5 Mar-16 Apr-16 46,1% 46,1 Mei-16 54,8% 54,8 Jun-16 61,9% 61,9 Jul-16 65,3% 65,3 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Target Realisasi Capaian (skala kanan) 72,3% 72,3 80,2% 80,2 87,8% 87,8 94,4% 94,4 Des-16 sektor jasa-jasa (11%), sektor industri pengolahan (4,1%) dan sektor perikanan (1,2%). Meskipun masih terkonsentrasi di sektor perdagangan besar dan eceran, porsi penyaluran KUR kepada sektor produksi (pertanian, perikanan, dan industri) cenderung meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan wilayah, Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah penyaluran KUR tertinggi, mencapai Rp16,9 triliun atau 17,9% dari realisasi KUR nasional, diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Barat. Sebaran tersebut sejalan dengan sebaran jumlah UMKM di Indonesia. Di sisi lain, terdapat penurunan pangsa penyaluran di wilayah Indonesia bagian Timur, terutama Maluku & Papua (2,3%) dari Desember 2015 (3,0%). 11,0% Grafik Baki Debet KUR Berdasarkan Sektoral ,4% 4,1% 1,2% Pertanian, Perburuan dan Kehutanan Perikanan Industri Pengolahan Perdagangan Grafik 4.31.Penyaluran KUR Berdasarkan Skema tahun ,3% Jasa-jasa 0,2% Realisasi : Rp 65,6 T Debitur : NPL : 0,35% 30,3% Realisasi : Rp 28,65 T Debitur : NPL : 0,54% Grafik Baki Debet KUR Berdasarkan Sektoral ,5% Realisasi : Rp 177 M Debitur : NPL : 4,3% KUR Mikro KUR TKI 6,2% 9,9% 2,3% KUR RItel Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, diolah. 19,6% 54,4% 7,6% Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, diolah. Sebagaimana periode sebelumnya, penyaluran KUR pada 2016 terkonsentrasi di sektor perdagangan besar dan eceran (66,3%), diikuti sektor pertanian (17,4%), 136

165 Perbankan dan IKNB Dari sisi risiko, NPL KUR tercatat masih sangat rendah yaitu sebesar 0,37%, dengan NPL terbesar pada skema KUR Penempatan TKI yaitu 4,3%, diikuti NPL skema Ritel (0,54%), dan NPL skema Mikro (0,35%). Pada skema KUR sebelum 2016, Non Performing Guarantee 5 (NPG) KUR relatif tinggi, sementara pada periode Januari hingga Desember 2016, NPG KUR mengalami penurunan sejalan dengan adanya skema KUR 2016 yang masih dalam kinerja baik. Namun demikian, perlu diwaspadai NPG ke depannya sebagaimana pengalaman periode tahun sebelumnya. Pada prinsipnya, mendukung program penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) skema baru yang dilakukan Pemerintah karena sejalan dengan upaya BI mendorong intermediasi perbankan kepada UMKM dengan penetapan rasio kredit UMKM secara bertahap. Penyaluran KUR juga mendukung peningkatan daya saing ekonomi, mendorong penurunan suku bunga kredit, dan memperluas jangkauan ke sektor yang dianggap berisiko tinggi. Namun di sisi lain, perlu dicermati tantangan bagi sektor perbankan yang muncul dengan adanya skema KUR, antara lain berupa potensi terjadinya shifting kredit UMKM ke KUR. Hal ini terindikasi dari mayoritas penyaluran kredit UMKM selama tahun 2016 yang berasal dari KUR. Dari 110 bank penyalur kredit UMKM di 2016, hanya 54 Bank yg mengalami peningkatan Baki Debet kredit UMKM (17 bank adalah penyalur KUR dengan pangsa 82,1% dari penambahan Baki Debet). Sementara Baki Debet kredit UMKM dari 56 bank lainnya mengalami penurunan. Grafik NPG dan NPL KUR 9,00% 8,00% 7,00% 6,00% 5,00% 4,00% 3,00% 2,00% 1,00% 0,00% 3,32% 2,60% Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des-16 NPG NPL Sumber: NPL (,LBU), NPG (Jamkrindo dan Askrindo) Tabel 4.15.Perbandingan Penyaluran Kredit UMKM dan KUR Keterangan Bank Baki Debet Kredit UMKM (Rp T) Des-2015 Des-2016 Baki Debet Kredit UMKM (Rp T) Outstanding KUR*) (Rp T) Des bank penyalur KUR dengan BD positif 500,17 580,14 79,97 70,34 37 bank non penyalur KUR dengan BD positif 49,18 66,58 17,39-56 bank dengan BD negatif (8 bank Penyalur KUR) 241,11 210,24 (30,87) 0,33 8 bank dengan BD = Total 790,47 856,96 66,49 70,67 Bali & Nusa Tenggara Papua & Kepulauan Maluku Sumber: LBU, diolah *) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Diolah 5 NPG menggambarkan klaim penjaminan yang dibayar oleh Lembaga Penjamin Kredit (LPK) dibandingkan dengan KUR yang dijamin porsi LPK. NPG = (klaim dibayar/nilai penjaminan) x 100% 137

166 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah masih terkonsentrasinya penyaluran KUR pada sektor perdagangan. Dalam mengoptimalkan manfaat KUR pada sektor produksi, perlu disinergikan dengan program-program lainnya seperti di sektor pertanian, penyaluran KUR dapat disinergikan dengan Skema Subsidi Resi Gudang (S-SRG) untuk menjamin kontinuitas produksi petani pasca panen serta dapat mengurangi risiko gagal bayar oleh petani karena SSRG dapat digunakan sebagai jaminan pelunasan KUR (bagan 1). Gambar 4.2. Skema Subsidi Resi Gudang Petani KUR Penyaluran KUR untuk modal kerja - Suku bunga KUR : 9% - Subsidi bunga : 9,5% Pelunasan KUR dengan S-SRG Hasil Panen Gudang Komoditas SRG dijadikan agunan di bank (max pembayaran 70%) Resi Gudang SSRG - Suku bunga SSRG : 6% - Subsidi bunga : 5,25% Prasyarat : 1. Penetapan komoditas S-SRG oleh Bappepti. 2. Penyesuaian ketentuan SSRG** menjadi Debitur yang sudah mempunyai KUR dapat mengajukan SSRG sepanjang SSRG yang diterima digunakan untuk pelunasan KUR mengingat ketentuan Bappeoti hal tersebut tidak diperbolehkan Prasyarat : *) Paling tinggi sebesar suku bunga penjaminan simpanan pada Bank Umum yang ditetapkan oleh LPS dtambah 5% **) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK 05/2009 Pasal 10 ayat 2 Selanjutnya, dalam menyempurnakan program KUR, telah diterbitkan Permenko Nomor 9 tahun 2016 pada 10 November 2016, dengan menambahkan keterlibatan Koperasi sebagai pelaksana KUR. Pada tahun 2017, rencana penyaluran KUR ditargetkan sebesar Rp110 Triliun, sementara total plafon yang telah ditetapkan untuk 38 lembaga penyalur sebesar Rp106,6 Triliun. Porsi penyaluran KUR pada sektor produksi ditargetkan sebesar 40% dari total penyaluran, yaitu untuk sektor pertanian, perikanan dan kelautan, serta industri pengolahan. Dengan mempertimbangkan suku bunga yang terus menurun, maka subsidi suku bunga untuk KUR mikro yang semula 10% diturunkan menjadi 9,5%, sehingga suku bunga dan subsidi untuk masing-masing jenis KUR serta alokasi plafon menjadi sebagai berikut : Tabel 4.16 Subsidi Suku Bunga Skema KUR Suku Bunga Subsidi Bunga Alokasi Plafon Mikro 9% 9,5% 10% 8,1% 70% Retail 9% 4,5% 6% 18% 28% KUR-TKI 9% 12% 15% 1% 2% Sumber:, Departemen Statistik 138

167 Perbankan dan IKNB Risiko Pasar Risiko pasar bagi Bank di Indonesia bersumber dari dampak perubahan suku bunga pasar terhadap: (i) suku bunga simpanan dan kredit, (ii) dampaknya terhadap harga portofolio Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki oleh perbankan, serta (iii) risiko nilai tukar. Risiko Suku Bunga Selama semester II 2016, risiko suku bunga yang dihadapi industri perbankan dari penghimpunan dana dan penyaluran kredit masih terjaga. Terjaganya risiko ini disebabkan penurunan suku bunga DPK perbankan lebih dalam dibandingkan dengan penurunan suku bunga kredit. Pelebaran intermediation spread tersebut menyebabkan profitabilitas perbankan masih relatif stabil Grafik 4.35 Perkembangan Suku Bunga Kredit dan DPK (%) (%) 9,0 8,5 8,0 7,5 7,0 6,5 6,0 Jan-10 Apr-10 Jul-10 Okt-10 Jan-11 Apr-11 Jul-11 Okt-11 Jan-12 Apr-12 Jul-12 Okt-12 Jan-13 Apr-13 Jul-13 Okt-13 Jan-14 Apr-14 Jul-14 Okt-14 Jan-15 Apr-15 Jul-15 Okt-15 Jan-16 Apr-16 Jul-16 Okt-16 Des-16 Suku Bunga Kredit Suku Bunga DPK Spread (Skala Kanan) Tren BI 7-Day (Reverse) Repo Rate yang merupakan policy rate pengganti BI Rate sejak Agustus 2016, menurun selama semester II 2016, yaitu berada pada level 4,75% (Oktober 2016 hingga Januari 2017) dari sebelumnya 5% pada September 2016 dan 5,25% pada Juni 2016 hingga Agustus Seiring dengan tren penurunan policy rate tersebut dan capping suku bunga OJK, secara umum suku bunga DPK industri perbankan selama semester II 2016 mengalami penurunan. Pada akhir semester laporan, suku bunga deposito rupiah 1 bulan menurun menjadi 6,46% dibandingkan dengan semester sebelumnya 6,82%, suku bunga tabungan rupiah menurun dari 1,67% menjadi 1,59%, sedangkan suku bunga giro rupiah naik tipis dari 2,17% menjadi 2,18%. Berdasarkan kelompok BUKU, penurunan suku bunga DPK dialami oleh semua kelompok BUKU, kecuali suku bunga giro rupiah pada BUKU 3 dan BUKU 4. Tabel 4.17 Suku Bunga DPK per BUKU Suku Bunga Deposito 1 Bln Rp (%) Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 BUKU 1 6,55 8,71 8,82 9,03 8,63 8,44 7,63 7,48 BUKU 2 5,77 8,60 8,64 8,94 8,36 8,26 7,40 7,23 BUKU 3 5,75 8,39 8,51 8,99 8,13 8,02 6,99 6,60 BUKU 4 5,06 7,02 7,77 7,95 7,00 6,76 6,22 5,94 Industri 5,55 7,92 8,27 8,58 7,78 7,60 6,82 6,46 139

168 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Suku Bunga Giro Rp (%) Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 BUKU 1 2,73 2,36 2,68 2,30 2,75 3,03 3,14 2,48 BUKU 2 2,56 2,36 2,78 2,57 2,73 2,57 2,73 2,46 BUKU 3 2,27 2,42 2,52 2,51 2,54 2,42 2,39 2,42 BUKU 4 1,85 1,80 1,92 1,90 1,74 1,75 1,72 1,96 Industri 2,17 2,12 2,32 2,22 2,25 2,10 2,17 2,18 Suku Bunga Tabungan Rp (%) Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 BUKU 1 3,22 3,23 3,15 3,08 3,21 3,05 2,87 2,69 BUKU 2 4,43 4,60 3,23 3,15 3,05 2,82 2,59 2,15 BUKU 3 2,62 2,51 2,56 2,66 2,97 3,01 2,70 2,58 BUKU 4 1,42 1,43 1,42 1,35 1,27 1,31 1,17 1,16 Industri 1,99 2,01 1,88 1,87 1,85 1,86 1,67 1,59 *) Penggolongan Bank menggunakan BUKU OJK per Desember 2016 Sumber:, LBU, diolah Selama semester II 2016, suku bunga kredit perbankan juga mengalami penurunan seiring dengan penurunan suku bunga DPK. Namun, penurunan suku bunga kredit tidak sebesar penurunan suku bunga DPK. Suku bunga KMK rupiah menurun dari 11,84% menjadi 11,38%, suku bunga KI rupiah menurun dari 11,49% menjadi 11,21%, dan suku bunga KK rupiah menurun dari 13,83% menjadi 13,59%. Secara umum, penurunan suku bunga kredit didorong oleh penurunan suku bunga DPK yang menyebabkan biaya intermediasi menjadi semakin murah di tengah tren penurunan policy rate. Selain itu, penurunan suku bunga kredit KMK dan KI didorong oleh upaya bank meningkatkan penyaluran kredit di tengah perlambatan kredit akibat melemahnya permintaan kredit KMK dan KI. Tabel 4.18 Suku Bunga Kredit per BUKU Suku Bunga KMK Rp (%) Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 BUKU 1 15,84 15,91 17,82 17,80 16,79 16,31 15,39 16,52 BUKU 2 11,99 12,71 13,17 14,09 13,73 13,52 13,13 13,19 BUKU 3 11,19 12,31 12,95 12,85 12,63 12,48 11,79 11,29 BUKU 4 11,31 11,72 12,08 12,22 12,31 12,02 11,34 10,71 Industri 11,42 12,14 12,64 12,81 12,71 12,48 11,84 11,38 Suku Bunga KI Rp (%) Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 BUKU 1 17,55 17,63 19,64 18,00 17,12 16,60 14,95 14,93 BUKU 2 12,09 12,60 13,04 13,48 13,38 13,00 12,73 12,61 BUKU 3 12,08 12,89 13,26 13,29 13,19 13,04 12,17 12,05 BUKU 4 9,93 10,60 11,05 11,25 11,25 11,19 10,72 10,31 Industri 11,14 11,83 12,25 12,36 12,30 12,12 11,49 11,21 Suku Bunga KK Rp (%) Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 BUKU 1 13,69 13,58 13,41 13,31 13,36 13,34 13,86 14,07 BUKU 2 13,05 12,95 12,97 13,30 13,34 13,37 13,01 12,91 BUKU 3 14,92 14,94 15,01 15,18 15,45 15,28 15,02 14,50 BUKU 4 11,06 11,13 11,46 11,90 12,22 12,60 12,91 12,86 Industri 13,14 13,13 13,30 13,58 13,82 13,88 13,83 13,59 *) Penggolongan Bank menggunakan BUKU OJK per Desember 2016 Sumber:, LBU, diolah 140

169 Perbankan dan IKNB Risiko Nilai Tukar Posisi nilai tukar pada semester II 2016 secara umum terjaga dengan baik, meskipun sempat melemah cukup tajam setelah Donald Trump dinyatakan terpilih sebagai presiden AS. Risiko pasar sektor perbankan melalui nilai tukar cenderung rendah. Risiko nilai tukar tersebut dapat dilihat dengan Posisi Devisa Neto (PDN) perbankan yang masih rendah. Pada akhir semester II 2016, perbankan mencatat posisi short valas sebesar Rp5,09 triliun, dibandingkan dengan posisi akhir semester I 2016 yang mencatat posisi long valas sebesar Rp2,22 triliun. Posisi short valas telah tercatat pada akhir bulan November 2016 sebesar Rp0,08 triliun, sementara pada akhir bulan Juli sampai dengan akhir bulan Oktober 2016 perbankan masih mencatat posisi long valas. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS pada bulan November Berbaliknya posisi tersebut sejalan dengan meningkatnya nilai tukar rupiah dari Rp per USD pada Juni 2016 menjadi Rp per USD pada Desember Bila dilihat dari rasio PDN terhadap modal perbankan, pada akhir semester II 2016 rasio tersebut sebesar 2,18%, meningkat jika dibandingkan dengan akhir semester I 2016 sebesar 1,52%. Rasio PDN tersebut masih jauh dibawah threshold ketentuan sebesar 20% dari modal. Berdasarkan kelompok BUKU, rasio PDN tertinggi terdapat pada BUKU 4 (2,75%) yang diikuti oleh BUKU 3 (1,82%), BUKU 2 (1,37%) dan BUKU 1 (0,81%). Grafik 4.36 Total dan Rasio PDN per BUKU RP T 4,0 Total PDN per Buku Smt II ,0 0,0-2,0-4,0-6,0-8,0 BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 Rasio PDN 5% 4% 3% 2% 1% 0% Des-11 Jun-12 Des-12 Jun-13 Des-13 Jun-14 Des-14 Jun-15 Des-15 Jun-16 DEs-16 BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 Industri Sumber: 141

170 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Risiko Penurunan Harga SBN Risiko pasar perbankan yang bersumber dari perubahan harga SBN sedikit meningkat terutama disebabkan penjualan SBN di pasar keuangan yang terjadi setelah Donald Trump dinyatakan terpilih sebagai presiden AS. Harga SBN yang tercermin dari IDMA Index yang turun dari 102,7 pada akhir semester I 2016 menjadi 99,0 pada akhir semester II Selama semester II 2016, perbankan meningkatkan kepemilikan SBN sejalan dengan masuknya dana tax amnesty dan perlambatan penyaluran kredit bank sehingga SBN menjadi salah satu alternatif bagi penempatan dana bank. Peningkatan penempatan SBN perbankan tersebut lebih dialokasikan pada portofolio Available for Sale (AFS) serta Hold to Maturity (HTM) yang mengindikasikan kecenderungan bank untuk menggunakan SBN sebagai alat likuiditas serta investasi jangka panjang, bukan untuk tujuan perdagangan. Portofolio SBN perbankan tercatat mengalami kenaikan sebesar 10,18% dari Rp409,6 triliun pada akhir semester I 2016 menjadi Rp451,27 triliun pada akhir semester II Berdasarkan kelompok BUKU, mayoritas kepemilikan SBN masih tercatat pada kelompok BUKU 4, diikuti oleh BUKU 3 dan BUKU 2. % Sem I 2014 Sem II 2014 Grafik 4.37 Volatilitas Yield SBN Sem I 2015 Sem II 2015 Sumber: Sem I 2016 Sem II 2016 Tabel 4.19 Tabel Nilai Kepemilikan SBN oleh Perbankan per BUKU SBN Trading (Rp T) Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 BUKU 1 0,11 0,04 0,10 0,03 0,23 0,26 0,02 0,04 BUKU 2 10,86 5,47 9,68 12,16 7,84 13,51 12,01 4,66 BUKU 3 13,68 9,57 17,18 11,32 15,93 17,31 21,74 24,05 BUKU 4 1,88 0,80 1,97 2,39 3,61 2,62 2,47 2,57 Industri 26,52 15,88 28,93 25,90 27,62 33,70 36,23 31,33 SBN AFS (Rp T) Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 BUKU 1 1,63 1,27 1,01 1,13 1,17 1,21 0,88 0,57 BUKU 2 11,86 15,10 18,60 19,09 25,44 27,92 27,51 17,44 BUKU 3 36,64 51,77 51,11 56,35 67,67 79,62 84,36 115,61 BUKU 4 114,48 108,10 123,26 123,14 96,44 110,74 126,21 138,78 Industri 164,61 176,23 193,98 199,71 190,73 219,50 238,96 272,40 SBN HTM (Rp T) Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 BUKU 1 1,22 1,57 1,99 2,35 2,58 2,67 2,64 1,07 BUKU 2 13,39 16,12 14,06 15,49 18,79 23,61 29,29 18,54 BUKU 3 7,04 11,51 14,24 18,25 21,47 30,97 28,55 44,96 BUKU 4 53,41 39,95 55,00 59,56 54,32 66,79 73,88 82,97 Industri 75,07 69,16 85,28 95,65 97,16 124,05 134,37 147,54 Sumber: 142

171 Perbankan dan IKNB Peningkatan kepemilikan SBN terjadi pada kelompok bank di BUKU 2, 3, dan 4, sedangkan pada BUKU 1 terjadi sedikit penurunan. Kelompok BUKU 3 dan 4 cenderung menempatkan SBN pada portofolio AFS sedangkan BUKU 1 dan 2 cenderung untuk menempatkan SBN pada portofolio HTM. Hal ini mengindikasikan perbedaan perilaku kelompok BUKU 3 dan 4 yang cenderung memegang SBN untuk tujuan likuiditas dan dapat sewaktu-waktu mencairkan SBN, sedangkan pada kelompok BUKU 1 dan 2 cenderung membeli SBN untuk tujuan investasi jangka panjang. Selanjutnya apabila diperlukan, kelompok BUKU 3 dan 4 akan lebih mudah untuk menjual SBN dan menyalurkan dananya untuk kredit tanpa hambatan sanksi secara akuntansi dibandingkan dengan kelompok BUKU 1 dan 2. Sementara itu, portofolio perdagangan pada seluruh kelompok bank relatif tidak berubah. Tabel 4.20 Pangsa Kepemilikan SBN oleh Perbankan per BUKU BUKU 4 Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 Trading 1,10 0,54 1,09 1,29 2,34 1,46 1,22 1,15 AFS 67,43 72,62 68,39 66,53 62,47 61,47 62,31 61,87 HTM 31,46 26,84 30,51 32,18 35,19 37,07 36,47 36,99 BUKU 3 Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 Trading 23,84 13,14 20,82 13,17 15,16 13,53 16,14 13,03 AFS 63,89 71,06 61,93 65,59 64,40 62,25 62,65 62,62 HTM 12,27 15,80 17,25 21,24 20,44 24,22 21,21 24,35 BUKU 2 Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 Trading 30,06 14,90 22,87 26,02 15,06 20,77 17,45 11,48 AFS 32,85 41,16 43,93 40,84 48,86 42,93 39,98 42,91 HTM 37,09 43,95 33,20 33,14 36,08 36,30 42,57 45,61 BUKU 1 Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 Trading 3,65 1,38 3,09 0,83 5,87 6,34 0,58 2,48 AFS 55,04 43,98 32,56 32,16 29,44 29,28 24,95 33,85 HTM 41,31 54,64 64,35 67,01 64,69 64,38 74,46 63,66 Industri Smt I 2013 Smt II 2013 Smt I 2014 Smt II 2014 Smt I 2015 Smt II 2015 Smt I 2016 Smt II 2016 Trading 9,96 6,08 9,39 8,06 8,75 8,93 8,85 6,94 AFS 61,84 67,45 62,94 62,16 60,45 58,18 58,35 60,36 HTM 28,20 26,47 27,67 29,77 30,80 32,88 32,81 32,69 Sumber: Utang Luar Negeri (ULN) Industri Perbankan Utang Luar Negeri (ULN) merupakan salah satu alternatif sumber pendanaan bagi bank. Selain itu, ULN bank juga dapat digunakan untuk memperbaiki funding maturity structure, dan pengelolaan likuiditas. Saat ini, kecenderungan penggunaan ULN bank sebagai alternatif sumber pendanaan semakin meningkat karena biaya dana ULN relatif lebih murah dibandingkan dengan DPK dan memiliki jangka waktu yang lebih fleksibel. Berdasarkan jangka waktu, ULN bank terdiri dari ULN jangka pendek (sampai dengan 1 tahun) dan ULN jangka panjang (di atas 1 tahun). Sumber ULN bank dapat berasal dari pihak terkait bank (seperti perusahaan induk atau kelompok usaha), dan pihak tidak terkait. ULN bank yang bersumber dari pihak terkait umumnya memiliki suku bunga dan persyaratan yang lebih ringan dibandingkan dengan ULN dari pihak tidak terkait. Sesuai ketentuan, bank 143

172 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 hanya diperkenankan memiliki ULN jangka pendek maksimum sebesar 30% dari modal. secara harian melakukan pemantauan terhadap pemenuhan ketentuan ULN jangka pendek Bank melalui Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Berdasarkan posisi Desember 2016, ULN Indonesia tumbuh 1,98% (yoy), yaitu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan semester I 2016 sebesar 6,66% (yoy). Per akhir Desember 2016 jumlah ULN Indonesia tercatat sebesar USD316,97Miliar, terdiri dari ULN Pemerintah dan Bank Sentral sebesar USD158,28Miliar (49,94% dari total ULN) dan ULN sektor swasta sebesar USD158,68Miliar (50,06% dari total ULN). Sementara itu, total outstanding ULN industri perbankan tercatat sebesar USD29,51Miliar, tumbuh -7,56% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada semester I 2016 sebesar -5,19% (yoy). Pangsa ULN perbankan tersebut mencapai 18,59% dari ULN sektor swasta atau 9,31% dari total outstanding ULN Indonesia. Berdasarkan jenis kepemilikan, bank yang memiliki outstanding ULN terbesar adalah kelompok Bank Swasta Nasional sebesar USD14,93Miliar (pangsa 50,58%), diikuti kelompok Bank Campuran sebesar USD7,58Miliar (25,70%), kelompok Bank BUMN USD4,48Miliar (15,20%) dan kelompok Kantor Cabang Bank Asing sebesar USD2,51Miliar (8,52%). Grafik 4.38 Perkembangan ULN Indonesia Grafik 4.39 ULN per Kelompok Bank juta USD juta USD Sem 1 Sem 2 Sem 1 Sem 2 Sem 1 Sem 2 Sem 1 Sem 2 Sem 1 Sem 2 Sem 1* Sem 2** Pemerintah dan Swasta Total PLN Indonesia bank Snetral (skala kanan) Juta USD SMT SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1* * 2016 BUMN Swasta Asing Swasta Campuran Swasta Nasional SMT 2** Grafik 4.40 ULN Swasta Grafik 4.41 Pertumbuhan ULN Bank Juta USD SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1* SMT 2** * 2016 Bank Bukan Bank Juta USD ,00% 35,00% 30,00% 25,00% SMT 1 SMT PLN Bank SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1* * 2016 Growth (yoy) PLN Bank SMT 2** 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% -5,00% -10,00% Sumber:, diolah 144

173 Perbankan dan IKNB 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% SMT 1 Grafik 4.42 Jangka Waktu Utang Luar Negeri Bank SMT 2 SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT * 2016 Jangka Pendek Jangka Panjang SMT 1 SMT 2 SMT 1 SMT 2 41,43% 42,15% 58,57% 57,85% SMT 1* SMT 2** pada 2017 tercatat sebesar USD2,45Miliar (21,31%). Sesuai Rencana Bisnis Bank (RBB) yang disampaikan kepada, pada tahun 2017 perbankan Indonesia merencanakan mengajukan permohonan ULN bank jangka panjang sebesar USD10,75Miliar. Untuk memitigasi risiko terkait ULN bank dapat dilakukan melalui naturally hedge yaitu menggunakan ULN tersebut untuk membiayai kredit dalam valas yang menghasilkan devisa. Sumber: ULN bank sebagian besar berjangka waktu pendek dengan outstanding sebesar USD17,28 Miliar (58,57%), yang umumnya berbentuk cash & deposit. ULN bank jangka panjang, mayoritas akan jatuh tempo pada tahun 2025 sebesar USD3,35Miliar (pangsa 29,11%). Sementara ULN bank jangka panjang yang jatuh tempo Kedepan akan terus meningkatkan pemantauan terhadap perkembangan ULN, khususnya terhadap ULN sektor swasta dalam rangka memitigasi risiko ULN yang dapat mempengaruhi stabilitas makroekonomi, serta mendorong agar ULN dapat berperan optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan. Grafik 4.43 Profil Jatuh Tempo ULN Jk. Panjang Bank (Desember 2016) Grafik 4.44 Komposisi Jatuh Tempo ULN Jk.Panjang (Desember 2016) Tahun 0,22% ,14 469,39 00,0 534,04 731, , , , , Juta USD 4,07% 4,64% 6,36% 15,35% 18,81% 21,31% 29,11% Sumber :, SIUL-DSta, Diolah Asesmen Profitabilitas, Efisiensi dan Permodalan Profitabilitas Kinerja profitabilitas perbankan secara umum sedikit menurun yang diperlihatkan oleh penurunan rasio Return On Asset (Roa) industri perbankan dari 2,26% pada semester I 2016 menjadi 2,17% pada semester II Penurunan Roa dalam situasi turunnya pertumbuhan kredit sebagai sumber utama pendapatan bank dan meningkatnya biaya pencadangan bank akibat peningkatan NPL tersebut, masih tertahan disebabkan pelebaran spread suku bunga. Pelebaran spread suku bunga diakibatkan penurunan suku bunga DPK (sebagai dampak dari kebijakan capping suku bunga OJK dan penurunan policy rate) yang lebih dalam dari suku bunga kredit. Perbankan cenderung menahan penurunan suku 145

174 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 bunga kredit sebagai upaya menahan peningkatan beban operasional (terutama peningkatan biaya pencadangan). Hal ini sejalan dengan rasio Net Interest Margin (NIM) industri perbankan yang masih meningkat menjadi 5,47% dari semester sebelumnya sebesar 5,44%. Secara kelompok BUKU, penurunan rasio Roa ini disumbang oleh kelompok BUKU 1, 2, dan 3, sedangkan rasio Roa kelompok BUKU 4 naik dibandingkan dengan semester sebelumnya. Pencapaian laba bersih perbankan setelah pajak pada semester II 2016 tercatat sebesar Rp51,92 triliun, sedikit lebih rendah dari semester I 2016 sebesar Rp54,62 triliun. Kenaikan laba tersebut terjadi pada BUKU 4, sedangkan BUKU 1, 2 dan 3, mengalami penurunan laba dibandingkan dengan semester sebelumnya. Adapun penurunan laba terjadi akibat meningkatnya biaya pencadangan akibat peningkatan NPL. (%) 4,00 3,50 Grafik 4.45 ROA per BUKU 6,00 5,00 (%) Grafik 4.46 NIM Per BUKU 5,47 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 2,17 4,00 3,00 2,00 1,00 0, I II I II I II Buku 1 Buku 2 Buku 3 Buku 4 Industri I II I II I II Buku 1 Buku 2 Buku 3 Buku 4 Industri Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, diolah *) Penggolongan Bank menggunakan BUKU OJK per Desember 2016 Tabel Perkembangan Laba/Rugi Industri Perbankan (Triliun Rp) Laba sebelum Pajak Laba setelah Pajak Kelompok I II I II I II I II I II I II I II I II BUKU 1 0,89 0,93 0,88 0,47 0,78 0,72 0,70 0,24 0,74 0,49 0,69 0,08 0,63 0,45 0,45 (0,10) BUKU 2 7,84 6,55 7,59 6,34 6,20 7,20 8,42 6,78 6,44 4,40 6,16 4,26 4,86 5,43 6,56 4,91 BUKU 3 20,74 23,05 23,49 17,36 17,25 11,83 19,72 13,78 15,59 17,48 18,52 13,15 12,98 8,76 15,15 10,12 BUKU 4 34,89 42,23 41,52 45,94 40,16 49,28 41,05 46,78 28,34 33,22 33,07 36,23 32,38 39,20 32,47 36,99 INDUSTRI 64,36 72,76 73,47 70,11 64,39 69,04 69,89 67,58 51,12 55,59 58,43 53,72 50,84 53,83 54,62 51,92 *) Penggolongan Bank menggunakan BUKU OJK per Desember 2016 Sumber:, LBU, diolah 146

175 Perbankan dan IKNB Di sisi pendapatan, pendapatan operasional bunga tumbuh 0,99% dari semester sebelumnya. Kenaikan ini disumbang oleh pendapatan bunga dari penempatan surat berharga dan penyaluran kredit, dengan pangsa 77,6% dari total pendapatan operasional bunga perbankan. Pendapatan bunga dari penempatan pada, surat berharga dan kredit naik masingmasing sebesar 1,98%, 4,86% dan 1,24% dari semester I Sementara itu, pendapatan operasional selain bunga menurun 7,25% dari semester sebelumnya. Pendapatan operasional selain bunga yang mengalami peningkatan pada semester II 2016 hanya berasal dari fee-based income yang naik sebesar 5,44% dibandingkan dengan semester sebelumnya, dengan pangsa 27% dari total pendapatan operasional selain bunga. Perbankan telah dapat menurunkan biaya operasional bunga sebesar 3,65% dari semester I 2016, dengan pangsa terbesar tetap di biaya bunga DPK (51,6%). Kenaikan biaya operasional bunga terjadi pada surat berharga yang meningkat 14,60% dibandingkan dengan semester sebelumnya. Sementara itu, biaya operasional selain bunga pada semester II 2016 tetap tinggi, meningkat 1% dibandingkan dengan semester sebelumnya. Peningkatan biaya operasional selain bunga terutama pada beban CKPN dengan kenaikan sebesar 14,43% dari semester I Pangsa biaya operasional selain bunga didominasi oleh beban CKPN sebesar 31,5%, diikuti oleh tenaga kerja (21%), dan kerugian transaksi spot dan derivatif (19,3%). Tabel 4.22.Rincian Pos Pendapatan (Trilliun Rp) Pos-Pos Pendapatan Pangsa I II I II I II Pendapatan Operasional Bunga 268,96 299,03 316,32 329,82 339,06 342,40 100% Penempatan pada BI 3,27 4,55 3,99 3,63 2,97 3,02 0,9% SSB 17,32 19,89 22,06 20,68 25,58 26,82 7,8% Kredit 193,30 210,60 219,53 231,10 235,89 238,81 69,7% Pendapatan Operasional Selain Bunga 80,22 68,21 93,94 116,90 129,11 119,74 100% Penjualan Surat Berharga 3,24 3,07 3,40 2,19 4,75 4,13 3,4% Trading (spot dan derivatif) 30,94 19,81 39,72 67,96 63,15 38,17 31,9% Deviden, Komisi/Provisi/Fee 26,67 27,54 28,77 29,09 30,66 32,32 27,0% Koreksi CKPN 13,38 9,61 15,79 8,13 23,05 22,45 18,7% Pendapatan Non-Operasional 12,82 12,41 12,15 11,93 7,86 12,86 100% Tabel 4.23.Rincian Pos Biaya (Trilliun Rp) Pos-Pos Biaya Pangsa I II I II I II Biaya Operasional Bunga 136,06 157,78 168,99 169,02 172,46 166,16 100% Kepada Bank Lain 2,24 2,37 2,96 3,52 3,57 3,36 2,0% Kepada Pihak Ketiga (non Bank) 79,56 93,37 94,76 92,31 89,31 85,67 51,6% Surat Berharga 3,51 3,49 3,92 4,04 3,83 4,39 2,6% Pinjaman Diterima 1,76 1,75 1,91 2,43 3,44 2,89 1,7% Biaya Operasional Selain Bunga 138,92 139,92 177,46 208,41 226,98 229,24 100% Kerugian Surat Berharga 1,66 0,92 1,39 1,46 0,75 1,73 0,8% Spot dan Derivatif 27,18 16,70 35,92 62,19 57,46 44,33 19,3% Premi Asuransi 4,76 5,13 5,82 6,11 6,50 6,19 2,7% CKPN 27,38 27,70 44,44 42,22 63,08 72,18 31,5% Tenaga Kerja 39,62 41,13 45,20 44,08 50,05 48,19 21,0% Biaya Non-Operasional 13,56 11,83 11,57 12,18 6,70 12,86 100% Sumber:, LBU, diolah 147

176 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Efisiensi Efisiensi industri perbankan masih mengalami penurunan sebagaimana tercermin dari kenaikan rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). Rasio BOPO naik dari 82,23% pada semester I 2016 menjadi 82,85% pada semester II Kenaikan rasio BOPO yang terjadi pada BUKU 1, 2, dan 3 ini, terutama dipengaruhi oleh kenaikan beban overhead berupa CKPN akibat peningkatan NPL di semester II 2016 dan beban tenaga kerja. Sedangkan pada BUKU 4, kenaikan beban overhead berupa CKPN dan tenaga kerja, serta kerugian transaksi spot dan derivatif diantisipasi dengan kenaikan pendapatan bunga (pelebaran spread suku bunga). Efisiensi tetap menurun meski indikator efisiensi lainnya yaitu Cost to Income Ratio (CIR) yang dihitung sebagai rasio biaya selain bunga terhadap pendapatan menunjukkan penurunan dari 56,20% pada semester I 2016 menjadi 55,53% pada semester II Penurunan CIR dipengaruhi oleh pendapatan bunga bersih dan pendapatan operasional selain bunga yang naik relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beban operasional selain bunga. Pergerakan CIR dan BOPO ke arah yang berbeda ini menunjukkan bahwa efisiensi bank yang menurun lebih disebabkan oleh kegiatan atau usaha bank dalam bentuk bunga. Grafik 4.47 Rasio BOPO per BUKU (%) (%) , I II I II I II Buku 1 Buku 2 Buku 3 Buku 4 Industri Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, diolah *) Penggolongan Bank menggunakan BUKU OJK per Desember 2016 Grafik 4.48 Rasio CIR per BUKU (%) (%) , I II I II I II Buku 1 Buku 2 Buku 3 Buku 4 Industri Sumber:, LBU, diolah *) Penggolongan Bank menggunakan BUKU OJK per Desember

177 Perbankan dan IKNB Permodalan Tingkat kecukupan permodalan industri perbankan relatif terjaga, tercermin dari CAR yang cukup tinggi diatas ketentuan minimum. CAR industri perbankan naik dari 22,56% pada semester I 2016 menjadi 22,69% pada semester laporan. Kenaikan CAR perbankan dikarenakan melambatnya pertumbuhan kredit sejalan dengan sikap bank yang berhati-hati dalam menyalurkan kredit di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi sehingga menurunkan pertumbuhan atmr bank. Tingginya CAR industri perbankan tersebut memungkinkan perbankan di Indonesia dalam memenuhi aturan Basel III mengenai permodalan, khususnya capital conservation buffer, countercyclical buffer dan capital surcharge untuk bank yang tergolong sistemik, yang mulai berlaku awal Adapun secara komposisi, permodalan bank masih didominasi oleh modal inti (Tier 1) dengan pangsa 92,16%. Grafik 4.49 Perkembangan CAR Perbankan (%) Grafik 4.50 Rasio Tier I Perbankan (%) Rp (T) ,69 23,00% 22,00% 21,00% 20,00% 19,00% 25,00 23,00 21,00 19,00 % 22,69 20, ,00% 17, I II I II I II Modal ATMR CAR 17,00% 15, I II I II I II CAR Tier 1 Sumber:, SIP, diolah Tabel 4.24 Perkembangan CAR berdasarkan BUKU CAR Tertinggi CAR Terendah CAR Rata-rata CAR % I II I II I II I II I II I II I II I II BUKU 1 145,53 142,94 116,85 123,45 10,02 8,98 11,29 13,05 25,28 29,42 24,70 27,58 19,86 23,24 20,87 21,86 BUKU 2 61,48 121,23 138,42 119,80 12,11 14,67 11,65 11,76 22,53 26,23 28,22 26,97 19,96 22,40 22,35 22,83 BUKU 3 77,04 80,56 84,09 85,16 13,56 14,20 11,98 12,54 21,56 22,76 23,79 24,66 22,35 23,50 24,58 24,49 BUKU 4 20,16 20,16 21,79 22,64 17,23 18,61 19,26 18,12 18,66 19,29 20,89 21,02 18,78 19,26 21,06 21,24 Industri 20,28 21,39 22,56 22,69 Sumber:, SIP, diolah 149

178 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Stress Test Perbankan Stress test dilakukan untuk mengukur tingkat kesehatan perbankan dari sisi permodalan yang diukur melalui CAR. Perhitungan dilakukan baik secara industri maupun per kelompok BUKU dengan memberikan tekanan berupa skenario makroekonomi dengan kondisi stress yang ditransmisikan melalui risiko kredit dan pasar (suku bunga, nilai tukar dan harga SBN) pada data neraca dan kinerja perbankan posisi Desember Skenario Makroekonomi Perhitungan stress test perbankan dimulai dengan menentukan skenario stress. Dalam menyusun skenario stress, perlu diketahui sumber risiko-risiko baik secara domestik (seperti kenaikan harga BBM dan pelemahan kinerja korporasi) maupun eksternal (seperti pelemahan harga komoditas dan perlambatan pertumbuhan ekonomi Tionghoa) yang dapat mengancam sistem perbankan. Sumber risiko-risiko tersebut kemudian akan mempengaruhi stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan yang pada akhirnya ditransmisikan kepada sistem perbankan melalui neraca perbankan dalam bentuk risiko kredit, suku bunga, nilai tukar maupun harga SBN. Setelah mempertimbangkan segala bentuk risiko yang dapat mengancam sistem perbankan baik secara eksternal maupun domestik, ditentukan tiga jenis skenario stress test: 1) baseline (BL); 2) severe I (S1); dan 3) severe II (S2). Skenario BL adalah proyeksi awal dengan mengasumsikan bahwa tidak terjadi tekanan dalam perekonomian dan sistem keuangan. Oleh karena itu, skenario ini mengasumsikan pertumbuhan ekonomi dan pergerakan harga dan nilai tukar yang stabil. Skenario ini diperlukan sebagai benchmark kondisi perbankan dalam perhitungan stress test. Pada skenario Severe I, diasumsikan bahwa terjadi tekanan yang relatif moderat pada perekonomian global. Tekanan tersebut didorong oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi mitra dagang yang tidak sesuai dengan ekspektasi awal serta risiko peningkatan Fed Fund Rate yang lebih tinggi dari perkiraan. Tekanan ini akan memperlambat pertumbuhan perekonomian domestik serta menimbulkan goncangan pada pasar uang dan surat-surat berharga seiring dengan adanya capital outflows. Pada skenario terakhir Severe II diasumsikan terjadinya kontraksi perekonomian dunia yang cukup dalam. Hal ini termasuk terjadinya krisis keuangan di salah satu mitra dagang utama Indonesia, tidak berlanjutnya perbaikan harga komoditas serta peningkatan Fed Fund rate yang cukup signifikan hingga menyebabkan capital outflows yang cukup besar. Tekanan ini akan mempengaruhi pertumbuhan PDB Indonesia secara signifikan. Di sisi lain, peningkatan suku bunga di Amerika juga menyebabkan goncangan besar di pasar yang direfleksikan oleh melemahnya rupiah dan harga surat-surat berharga. Setiap skenario dihitung dengan menggunakan model struktural yang dapat menangkap interaksi dari sumber tekanan domestik dan eksternal. Model struktural tersebut kemudian akan menghasilkan proyeksi variabel-variabel makroekonomi (perbankan seperti pertumbuhan PDB, inflasi dan nilai tukar) hingga dua tahun ke depan yang menjadi komponen utama transmisi tekanan ke sistem perbankan. 150

179 Perbankan dan IKNB Transmisi Risiko Kredit Perhitungan risiko kredit, yang direpresentasikan oleh NPL, bertujuan untuk mengukur ketahanan CAR perbankan di tengah perlambatan ekonomi dan dampaknya pada peningkatan NPL gross. Peningkatan NPL gross akan meningkatkan pencadangan (CKPN) risiko kredit bank yang pada akhirnya menurunkan profitabilitas bank. Profitabilitas bank yang lemah dapat mempengaruhi pertumbuhan permodalan sehingga menurunkan CAR. Berdasarkan hasil perhitungan skenario, skenario BL mengasilkan NPL perbankan yang cenderung stabil dan jauh di bawah 5% hingga akhir 2018 seiring dengan stabilnya perekonomian. Pada skenario severe I, NPL industri naik hingga 5,1% pada akhir Kemudian pada skenario severe II, peningkatan NPL secara signifikan terjadi pada akhir 2018 hingga mencapai 13,7% yang disebabkan oleh tekanan yang cukup tajam pada perekonomian. Transmisi Risiko Harga SBN Transmisi risiko harga SBN terjadi melalui jalur portofolio SBN pada sisi aset perbankan. Kategori portofolio yang diberikan tekanan adalah SBN dengan kategori AFS dan trading karena kedua portofolio tersebut diukur berdasarkan harga pasar (mark-to-market). Penurunan harga SBN pada kedua kategori tersebut dihitung berdasarkan pergerakan yield suku bunga. Yield suku bunga mengalami tekanan/peningkatan sesuai dengan skenario yang ada. Selanjutnya, harga SBN yang sudah mengalami tekanan dihitung dengan pendekatan discounted cash flows (DCF). Semakin besar tekanan yang dialami berdasarkan skenario makroekonomi, maka semakin tinggi kenaikan yield SBN dan semakin besar penurunan harga SBN. Selisih penurunan SBN tersebut menimbulkan biaya koreksi harga aset pada laporan laba/rugi bank yang pada akhirnya dapat menghambat pertambahan modal dan menurunkan CAR. Grafik 4.51 Skenario Risiko Kredit (NPL) Grafik 4.52 Skenario Yield SBN % 13,7 5,1 3,7 2,9 2,9 2,5 2,4 2,8 2,9 Baseline Severe I Severe II Bond Yield 22% 20% 18% 16% 14% 12% 10% 8% 6% 4% Year to Maurity Baseline Severe I Severe II Sumber:, diolah 151

180 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Transmisi Risiko Nilai Tukar Kerentanan bank terhadap nilai tukar rupiah dapat terjadi melalui eksposur Posisi Devisa Neto (Net Open Position) perbankan baik dari sisi on-balance sheet maupun off-balance sheet. Pada skenario BL, nilai tukar bergerak stabil seiring dengan kuatnya fundamental makroekonomi. Pada skenario severe I, nilai tukar mengalami depresiasi secara perlahan hingga mengalami tingkat depresiasi terburuk pada akhir 2018 sebesar 30%. Pada skenario severe II, nilai tukar turun cukup tajam sejak tahun pertama (2017) dan mencapai titik terburuk pada akhir 2018 dengan tingkat depresiasi sebesar 68%. Jika rupiah terdepresiasi cukup dalam, maka bank yang memiliki posisi net-long valas akan mengalami keuntungan dari selisih harga kurs. Disisi lain, bank yang memiliki posisi net-short akan mengalami kerugian sehingga dapat menghambat pertambahan CAR. Transmisi Risiko Suku Bunga Kerentanan bank terhadap risiko kenaikan suku bunga diukur melalui eksposur net tagihan dan kewajiban rupiah jangka pendek (di bawah 1 tahun) yang sensitif terhadap perubahan suku bunga berdasarkan data maturity profile bank. Pada skenario BS, suku bunga diasumsikan bergerak stabil sehingga tidak menimbulkan risiko pada neraca perbankan. Pada skenario severe I, suku bunga akan naik sebesar 425 bps pada 2017 dan 175 bps pada 2018 dengan total kenaikan 600 bps dalam dua tahun. Sementara itu, pada skenario severe II suku bunga akan naik sebesar 825 bps pada 2017 dan 350 bps pada 2018 dengan total kenaikan bps. Bank yang mengalami positive gap (tagihan lebih besar daripada kewajiban) pada neracanya akan mengalami keuntungan jika terjadi kenaikan suku bunga. Di sisi lain, bank dengan negative gap (tagihan lebih kecil daripada kewajiban) akan mengalami kerugian sehingga menghambat pertambahan modal dan dapat menurunkan CAR. Grafik 4.53 Skenario Risiko Nilai Tukar Grafik 4.54 Skenario Risiko Suku Bunga 80% 60% 40% 20% 0% -20% Tingkat Depresiasi 67,8% 54,4% 30,0% 23,3% 4,0% -2,6% 3,4% Baseline Severe I Severe II bps Q Q Baseline Severe I Severe II Sumber:, diolah 152

181 Perbankan dan IKNB Hasil Stress Test Perbankan - Agregat Setiap besaran tekanan dari masing-masing jenis risiko diagregasikan untuk menghasilkan hasil stress test yang terintegrasi. Dengan skenario stress test yang bersifat dinamis, dampak shock dari masingmasing skenario terhadap sistem perbankan dapat dihitung secara berkala hingga akhir tahun Secara keseluruhan, hasil stress test mengindikasikan bahwa industri perbankan masih memiliki kondisi permodalan yang cukup kuat. Hal ini direfleksikan oleh CAR industri perbankan yang masih jauh di atas 8% pada akhir tahun proyeksi (Q4 2018) dalam setiap skenario. Dari sisi sumber risiko, risiko kredit merupakan sumber risiko yang dominan di setiap skenario. Hal ini tercermin dari kontribusi rata-rata risiko kredit yang mencapai 75% dari total kerugian pada skenario severe I dan 87% dari total kerugian pada skenario severe II. Pada akhir skenario terburuk (severe II tahun 2018), capital shortfall atau keperluan modal menjadi Rp44 triliun atau sekitar 1,6% dari PDB Nominal Indonesia. Grafik 4.55 Hasil Stress Test Aggregat Rasio CAR Industri Perbankan Sumber Risiko % 22,7 22,7 22,7 25,0 23,9 22,7 27,8 24,4 19,0 100% % 80% 60% 15% 9% 3% 8% % 20% 75% 87% 5 0 0% Q Q Q Baseline Severe I Severe II Sumber:, diolah Kredit Severe I Suku Bunga Severe II Nilai Tukar SBN Hasil Stress test Perbankan - BUKU Berdasarkan BUKU, pada skenario severe I, semua BUKU masih memiliki CAR yang jauh di atas 8%. Pada skenario ini, bank yang paling banyak mengalami penurunan CAR pada akhir 2018 adalah BUKU 2 (penurunan 1,33 poin menjadi 21,5%) dan BUKU 3 (penurunan 0,85 poin menjadi 23,6%). BUKU 2 juga merupakan kategori BUKU dengan CAR terendah setelah tekanan. Meskipun demikian, secara keseluruhan permodalan perbankan masih menunjukkan ketahanan yang cukup baik pada skenario ini. Akan tetapi, diperkirakan terdapat beberapa bank kecil yang memerlukan suntikan modal khususnya jika terjadi perlambatan ekonomi secara berkelanjutan Grafik 4.56 Hasil Stress test per BUKU (Skenario Severe I) % 24,0 24,8 21,3 21,9 22,8 21,5 24,5 24,3 23,6 Buku 1 Buku 2 Buku 3 Buku 4 Q Q Q Sumber:, diolah 21,2 26,5 24,6 153

182 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Pada skenario severe II, hasil stress test menunjukkan bahwa semua BUKU masih memiliki permodalan yang cukup tebal dalam menghadapi tekanan yang cukup signifikan. Hal ini direfleksikan oleh CAR yang jauh di atas 8% pada setiap BUKU. Pada puncak tekanan (akhir tahun 2018), BUKU yang paling banyak mengalami penurunan kumulasi CAR adalah BUKU 3 (penurunan 7,66 poin menjadi 16,8%) dan BUKU 2 (penurunan 7,58 poin menjadi 15,3%). BUKU 2 juga merupakan kategori BUKU yang memiliki CAR paling rendah setelah tekanan. Meskipun demikian, hasil stress test skenario severe II menunjukkan bahwa semua BUKU masih menunjukkan permodalan yang kuat di tengah tekanan perekonomian yang cukup tajam walaupun terdapat beberapa bank yang mulai memiliki kesulitan permodalan. Berdasarkan risiko, risiko kredit masih mendominasi hampir di seluruh BUKU, baik dalam skenario severe I maupun severe II. Hal ini menunjukkan bahwa risiko kredit masih menjadi sumber risiko utama dalam sistem perbankan dan mitigasi risiko kredit yang baik akan meningkatkan ketahanan perbankan di saat kondisi stress. Grafik 4.57 Hasil Stress test per BUKU (Skenario Severe II) % 22,6 21,9 22,8 20,3 19,8 15,3 24,5 22,6 16,8 21,2 23,9 22, Buku 1 Buku 2 Buku 3 Buku 4 Q Q Q Sumber:, diolah 4.2. Asesmen Kondisi dan Risiko Industri Keuangan Non Bank Selama semester II 2016, Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 7 khususnya Perusahaan Pembiayaan (PP) menunjukkan kinerja yang positif jika dibandingkan dengan semester I Setelah mengalami penurunan pertumbuhan sejak semester II 2013, kinerja PP selama semester II 2016 mengalami perbaikan baik dari sisi pembiayaan maupun pendanaan meski masih menyisakan permasalahan peningkatan NPF dibandingkan dengan semester I 7 IKNB yang dibahas mencakup Perusahaan Pembiayaan (PP) dan Asuransi 154

183 Perbankan dan IKNB Di sisi lain, eksposur risiko yang berasal dari valuta asing mengalami penurunan seiring dengan terus menurunnya ULN. Meningkatnya pembiayaan berdampak positif terhadap kinerja profitabilitas PP sebagaimana ditunjukkan oleh Roa yang sedikit lebih tinggi dibandingkan semester I Tren pertumbuhan juga dialami industri asuransi secara umum sebagaimana tercermin dari pertumbuhan aset dan investasi yang meningkat dibandingkan semester sebelumnya. Tren positif juga ditunjukkan oleh peningkatan rasio kecukupan premi terhadap pembayaran klaim dibandingkan dengan semester sebelumnya yang mengindikasikan penurunan risiko usaha asuransi. Namun demikian, perkembangan industri Asuransi Jiwa perlu mendapat perhatian mengingat terdapat penurunan laba yang cukup signifikan pada semester II Dari sisi interconnectedness, terdapat peningkatan keterkaitan antara Bank dengan PP terutama yang berasal dari peningkatan kredit perbankan kepada PP. Sebaliknya, keterkaitan Bank dengan industri asuransi mengalami penurunan disebabkan berkurangnya penempatan dana asuransi di bank Perusahaan Pembiayaan Selama Semester II 2016, pembiayaan PP meningkat sebesar 6,67% (yoy). Jika dilihat berdasarkan jenisnya 8, pembiayaan PP didominasi oleh pembiayaan multiguna dengan proporsi mencapai 59,39% dari total pembiayaan diikuti oleh pembiayaan investasi sebesar 27,09%, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah (8,09%) dan pembiayaan modal kerja (5,41%). Secara sektoral, sektor Bukan Lapangan Usaha Lainnya (terutama pembiayaan kendaraan bermotor) memberikan kontribusi terbesar yang mencapai 26,43%. Pembiayaan ke sektor ini cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan penjualan kendaraan bermotor khususnya mobil yang tumbuh sebesar 6,06% (yoy) pada akhir semester II Selain otomotif, pembiayaan untuk konsumsi rumah tangga yang tumbuh 5,01% (yoy) 10 juga berkontribusi terhadap peningkatan volume pembiayaan PP. Berdasarkan jenis valuta, pembiayaan PP dalam valas mengalami tren penurunan. Selama semester II 2016, pembiayaan dalam valas hanya mencapai Rp44 triliun Grafik 4.58 Aset & Pembiayaan PP (Rp Triliun) (Rp. T) Jun-14 Aset Grafik 4.59 Pembiayaan PP per Jenis Usaha 237 Sumber: Otoritas Jasa Keuangan Des-14 Jun-15 Des-15 Jun-16 Des-16 Sewa Guna Usaha Anjak Piutang Pembiayaan Konsumen Investasi Modal Kerja 246 Pembiayaan Jun-14 Des-14 Jun-15 Des-15 Jun-16 Des-16 Multiguna Syariah Kartu Kredit Lainnya berdasarkan Persetujuan OJK Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, diatur jenis kegiatan usaha PP menjadi pembiayaan investasi, pembiayaan modal kerja, pembiayaan multiguna, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan pembiayaan lain berdasarkan persetujuan OJK (sebelumnya jenis pembiayaan meliputi sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit dan pembiayaan konsumtif). 9 Sumber : 10 Sumber : Laporan PDB menurut penggunaan (data per Triwulan IV 2016), 155

184 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 atau tumbuh negatif 15,30% (yoy). Pertumbuhan negatif tersebut lebih rendah dibandingkan semester I 2016 (-12,42%) dan periode yang sama tahun sebelumnya (-5,31%). Sebaliknya, pembiayaan dalam rupiah mengalami peningkatan sebesar 9,69% (yoy) menjadi Rp341 triliun, lebih tinggi dibandingkan semester I 2016 (3,15%) maupun periode yang sama tahun sebelumnya (0%). Meningkatnya pembiayaan dalam rupiah berkontribusi terhadap peningkatan proporsi pembiayaan rupiah terhadap total pembiayaan. Jika pada semester I 2016 dan semester II 2015 proporsi pembiayaan rupiah masing-masing mencapai 86,97% dan 85,57%, pada semester II 2016 porsi pembiayaan rupiah mencapai 88,48%. Sejalan dengan pembiayaan yang mulai meningkat, risiko kredit PP juga cenderung meningkat sebagaimana tercermin dari rasio Non Performing Financing (NPF) yang relatif tinggi yakni sebesar 3,26%, meningkat dibandingkan periode sebelumnya sebesar 2,20%. NPF terbesar berasal dari sektor pengangkutan/ transportasi seiring melemahnya kinerja sektor pertambangan dengan mayoritas objek pembiayaan berupa kapal dan truk pengangkut komoditas tambang. Peningkatan NPF juga disebabkan oleh proses reklasifikasi kolektibilitas pembiayaan sejalan dengan diberlakukannya POJK No.29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan yang sebelumnya terbagi menjadi 3 kolektibilitas (Lancar, Diragukan, Macet) menjadi 5 kolektibilitas (Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, Macet). Meski hasil simulasi 11 menunjukkan bahwa laba PP mampu menahan peningkatan NPF sampai level 4,79%, namun secara fundamental potensi peningkatan pembiayaan bermasalah perlu terus diwaspadai terutama jika perlambatan ekonomi masih berlanjut. Total volume pendanaan PP tumbuh 4,29% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan semester I 2016 (1,17%) maupun semester II 2015 (0,07%). Peningkatan Grafik 4.60 Pembiayaan berdasarkan Jenis Valuta Grafik 4.61 Rasio NPF PP (%) (Rp. T) 450 % ,5 3 2,5 2 1,1 1 0,5 0 1,45 2,20 3,26 Jun-14 Des-14 Jun-15 Des-15 Jun-16 Des-16 Sep-12 Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Okt-14 Jan-15 Apr-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des-16 Rupiah Valas NPF (%) Sumber : Otoritas Jasa Keuangan 11 Simulasi menggunakan data laba PP per Desember 2016 dengan beberapa asumsi sebagai berikut: - semua pinjaman dengan kolektibilitas 2 (Dalam Perhatian Khusus) turun menjadi kolektibilitas 3 (Kurang Lancar); dan - jika laba belum nihil maka kolektibilitas 3 diturunkan menjadi 4 (Diragukan) dan kolektibilitas 4 diturunkan menjadi 5 (Macet). 156

185 Perbankan dan IKNB sumber pendanaan terutama berasal dari pinjaman dalam negeri sebesar 15,86% (yoy) antara lain dipengaruhi oleh turunnya suku bunga pinjaman bank. Pada akhir semester II 2016, 27,38% total pinjaman dari bank dikenakan suku bunga < 10% sedangkan sisanya dikenakan suku bunga yang relatif tinggi (>10%) (Grafik 4.64). Meski demikian, persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan semester I 2016 (25%) dan semester II 2015 (22,73%). Di sisi lain, PP cenderung mengurangi sumber pendanaan yang berasal dari utang luar negeri (ULN). Pada semester II 2016, penurunan ULN tercatat sebesar 22,82% (yoy), lebih besar dibandingkan semester sebelumnya dan semester II 2015 masing-masing sebesar 21,36% (yoy) dan 6,24% (yoy). Meski menurun, porsi ULN sebagai sumber pendanaan PP masih relatif besar (22,95%) yang antara lain disebabkan relatif tingginya suku bunga pinjaman rupiah dibandingkan dengan suku bunga pinjaman valas. Grafik 4.62 Growth Pembiayaan & Pendanaan Grafik 4.63 Sumber Dana % ,67 4,29 (Rp.T) (5) Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Total Pendanaan Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Total Pembiayaan Jun-16 Sep-16 Des-16 - Jun-14 Des-14 Jun-15 Des-15 Jun-16 Des-16 Pinjaman Dalam Negeri Pinjaman Luar Negeri Surat Berharga uang diterbitkan Modal Total Pendanaan Sumber: Otoritas Jasa Keuangan Grafik 4.64 Suku Bunga Pinjaman Bank Kepada PP % ,24 27,38 27,38 10 Des-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des-16 0%-10% 10,01%-12% >12% Sumber: 157

186 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Untuk memitigasi risiko nilai tukar, sebagian PP yang memiliki ULN dan mayoritas pembiayaannya dalam rupiah telah melakukan hedging. Upaya tersebut merupakan strategi yang ditempuh PP untuk mengurangi potensi default pinjaman valuta asing serta mencegah efek penyebaran (contagious effect) terhadap bank yang menjadi induknya. Meski demikian, pada posisi Desember 2016 tercatat 41 PP dengan outstanding ULN mencapai Rp82,28 triliun. Dari jumlah tersebut, 8 diantaranya adalah PP yang sebagian sahamnya dimiliki oleh bank dengan porsi kepemilikan 25%. Total outstanding ULN 8 PP tersebut tercatat sebesar Rp25,81 triliun yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan dalam rupiah sebesar Rp89,50 triliun dan pembiayaan valuta asing sebesar Rp2,46 triliun. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya potensi risiko nilai tukar yang dihadapi ke-8 PP tersebut. Tingkat efisiensi PP relatif stabil tercermin dari rasio BOPO pada semester II 2016 tercatat sebesar 82,77%, sedikit meningkat dibandingkan semester I 2016 sebesar 82,71%, namun lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (85,35%). Aspek profitabilitas juga mengalami perbaikan sebagaimana ditunjukkan oleh Roa semester II 2016 yang tercatat sebesar 3,87% (yoy), sedikit lebih tinggi dari semester I 2016 (3,59%) dan periode yang sama tahun sebelumnya (3,36%). Sementara itu, ROE meningkat menjadi sebesar 12,01% pada semester II 2016, membaik dari semester I 2016 (11,04%) dan periode yang sama tahun sebelumnya (11,11%). Hasil stress test pelemahan nilai tukar terhadap permodalan 39 PP yang memiliki Net Foreign Liabilities (NFL) 12 dengan skenario nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp20.000,- per dolar AS menunjukkan bahwa secara umum ketahanan permodalan PP masih terjaga meski terdapat 12 PP yang diperkirakan akan mengalami negative equity dengan salah satu diantaranya saat ini sudah berada pada kondisi negative equity. Grafik 4.65 Perkembangan Utang Luar Negeri PP Grafik 4.66 Perkembangan ROA, ROE dan BOPO PP % % % % ,37 (22,82) (10) (20) (30) ,77 12,01 3, Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des-16 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des-16 Porsi ULN terhadap kewajiban (%) Growth ULN yoy (skala kanan) ROA ROE BOPO Sumber : Otoritas Jasa Keuangan 12 Net Foreign Liabilities (NFL) = kewajiban valas lebih besar dari aset valas 158

187 Perbankan dan IKNB Selama semester II 2016 terjadi peningkatan keterkaitan (interconnectedness) antar PP dengan perbankan dibandingkan dengan semester sebelumnya. Hal ini terlihat dari kenaikan kredit perbankan kepada PP yang meningkat sebesar 20,31% (yoy), lebih tinggi dibandingkan semester I 2016 sebesar 7,92%. Sementara itu, keterkaitan sisi sumber pendanaan dalam bentuk penempatan dana ke bank (Giro, Tabungan dan Deposito) meningkat sebesar 9,93%, lebih rendah dibandingkan dengan semester I 2016 yang tumbuh sebesar 37,62%. Tabel 4.25 Keterkaitan Perbankan dengan Perusahaan Pembiayaan Komponen Jun-15 Dec-15 Jun-16 Dec-16 yoy % yoy Investasi (dlm Rp M) 23,749 25,827 25,411 22,518 (3,309) (12,81) Deposito, Giro, Tabungan 14,196 15,785 19,537 17,352 1,567 9,93 Tagihan Spot dan Derivatif 6,871 7,405 3,409 2,327 (5,079) (68,58) Tagihan Akseptasi ,00 SSB yang Dimiliki PP (447) (100,00) Pinjaman yang Diberikan 2,125 2,136 2,279 2, ,08 Modal Pinjaman ,84 Kewajiban Repo ,00 Jaminan (1) (9,12) Liabilitas (dlm Rp M) 125, , , ,488 29,399 23,50 Hutang Bank 101, , , ,399 20,328 20,31 Kewajiban Spot Derivatif 2,059 1,896 1,420 1,161 (735) (38,77) SB yang Diterbitkan PP 12,633 14,370 16,391 19,781 5,410 37,65 Kewajiban Akseptasi (2) (100,00) Penyertaan dari Bank 8,552 8,750 8,948 13,148 4,398 50,26 Repo ,00 Reverse Repo ,00 Rupa-rupa Aset (0) (100,00) Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum Perusahaan Asuransi Sampai dengan akhir periode laporan, jumlah perusahaan asuransi yang terdiri dari asuransi jiwa, asuransi umum & reasuransi, asuransi sosial serta asuransi wajib tercatat sebanyak 146 perusahaan dengan total aset mencapai Rp944,58 triliun dengan sebagian besar saham dimiliki oleh swasta nasional. Total aset industri asuransi didominasi oleh 55 perusahaan asuransi jiwa dengan pangsa aset mencapai 41,83%, diikuti 2 perusahaan asuransi sosial (30,70%), 86 perusahaan asuransi umum dan reasuransi (14,77%), serta 3 perusahaan asuransi wajib (12,71%). Selama semester II 2016 industri asuransi mengalami peningkatan kinerja pada seluruh jenis asuransi dengan peningkatan rasio investasi paling tinggi terjadi pada asuransi jiwa. Industri asuransi mengalami pertumbuhan positif sebagaimana tercermin dari total aset yang meningkat sebesar 17,53% (yoy), lebih 159

188 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 tinggi dari semester I 2016 (12,19%) dan semester II 2015 (6,39%). Volume investasi juga mengalami pertumbuhan sebesar 21,70% (yoy), lebih besar bila dibandingkan dengan semester I 2016 (13,42%) sehingga meningkatkan rasio investasi asuransi menjadi 82,62%. Grafik Pangsa Aset Asuransi per Jenis 12,71% Asuransi Jiwa 41,83% Asuransi Umum & Reasuransi 30,70% Asuransi Sosial Asuransi Wajib 14,77% Sumber : Otoritas Jasa Keuangan Grafik Aset dan Investasi Asuransi (Rp T) ,62 80,90 81,94 79,79 80,77 80,01 78, Des-13 Des-14 Des-14 Jun-15 Des-15 Jun-16 Des-16 (%) Aset Investasi Rasio Investasi/Aset(skala kanan) Sumber : Otoritas Jasa Keuangan Tabel 4.26 Rasio Investasi per Jenis Asuransi Asuransi Jiwa (Rp.T) Dec-15 Jun-16 Dec-16 Aset 329,68 363,16 395,11 Asuransi Umum & Reasuransi (Rp.T) Dec-15 Jun-16 Dec-16 Aset 132,56 139,41 139,47 Investasi 283,20 313,02 343,27 Investasi 66,15 68,16 69,71 Rasio Investasi/Aset (rhs) 85,90 86,19 86,88 Rasio Investasi/Aset (rhs) 49,90 48,89 49,98 Asuransi Sosial (Rp.T) Dec-15 Jun-16 Dec-16 Aset 233,61 253,52 289,98 Investasi 215,33 235,83 273,16 Rasio Investasi/Aset (rhs) 92,18 93,02 94,20 Asuransi Wajib (Rp.T) Dec-15 Jun-16 Dec-16 Aset 107,86 115,93 120,01 Investasi 76,62 88,36 94,28 Rasio Investasi/Aset (rhs) 71,03 76,22 78,56 Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, (diolah) 160

189 Perbankan dan IKNB Sementara itu, risiko usaha asuransi mengalami penurunan yang tercermin dari peningkatan Rasio Kecukupan Premi terhadap Pembayaran Klaim dari 155,74% pada semester I 2016 menjadi 157,99% pada semester II 2016, yang juga lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (145,14%). Penurunan risiko asuransi terjadi pada seluruh jenis asuransi kecuali Asuransi Wajib disebabkan peningkatan klaim lebih besar dari peningkatan pendapatan premi. Demikian halnya dengan risiko likuiditas yang relatif terjaga tercermin dari rasio current asset 13 terhadap current liabilities 14 yang nilainya >1 yaitu sebesar 1,66. Grafik 4.69 Rasio Premi/ Klaim Bruto Grafik 4.70 Rasio Current Asset/Current Liabilities (Rp Triliun) , Jun ,7 Des-13 Jun ,25 Des ,17 Jun ,74 145,14 Des-15 Jun ,99 Des-16 (%) (Rp.T) Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 1,80 1,66 1,70 1,60 1,50 Des-16 Premi Bruto Klaim Bruto Rasio Premi/Kalim Bruto (skala kanan) CA CL CA/CL (skala kanan) Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, (diolah) Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, (diolah) Pertumbuhan positif juga ditunjukkan oleh indikator densitas dan penetrasi produk asuransi. Selama semester II 2016 indikator densitas dan penetrasi produk masing-masing mencatat angka sebesar Rp ,- dan 2,65%, lebih tinggi dari semester I 2016 masing-masing sebesar Rp dan 2,56%. Meski meningkat, masih relatif kecilnya kedua angka indikator tersebut mencerminkan bahwa industri asuransi masih memiliki peluang besar untuk terus tumbuh seiring dengan pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya kesejahteraan dan kesadaran masyarakat. Saat ini program ekstensifikasi dalam rangka menambah nasabah asuransi secara intensif telah dilakukan baik dalam bentuk program pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) maupun dengan penyediaan asuransi untuk segmen masyarakat berpenghasilan rendah antara lain melalui pengembangan asuransi mikro. Ketergantungan industri asuransi terhadap ULN masih relatif rendah. Pangsa ULN asuransi hanya sebesar 0,10% (145 juta dolar AS) dari total ULN, namun demikian memiliki tren yang relatif meningkat. ULN industri asuransi tersebut berupa utang premi, utang klaim, utang reasuransi, utang retrosesi (perusahaan reasuransi) dan utang komisi. 13 Komponen Current Asset = Jumlah Aset - Bangunan dengan Hak Strata atau Tanah dengan Bangunan untuk Dipakai Sendiri - Aset Tetap Lain - Aset Lain 14 Komponen Current Liabilities = Total Liabilities 161

190 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik 4.71 Perkembangan Indikator Asuransi Grafik 4.72 Perkembangan ULN Industri Asuransi (%) (Jutaan USD) (Jutaan USD) , Des-11 Des-12 Des-13 Des-14 Des-15 Des-16 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Des-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des-16 Premi Bruto (Rp T) Densitas (Rp Ribu) Penetrasi (Skala kanan) ULN Asuransi Total ULN (Skala Kanan) Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, (diolah) Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, (diolah) Secara umum, keterkaitan (interconnectedness) antara industri perbankan dan industri asuransi masih dalam tren penurunan. Pada akhir semester II 2016, penempatan dana asuransi di bank menurun sebesar 28,30% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan penurunan pada semester I 2016 sebesar 17,76%. Penurunan tersebut disebabkan oleh berkurangnya penempatan dana asuransi sebesar Rp49,84 triliun pada semester laporan yang antara lain dipengaruhi oleh ketentuan OJK terkait kewajiban pemenuhan investasi SBN. Sementara itu, pada periode yang sama, penempatan bank di industri asuransi mengalami peningkatan sebesar 51,69% (yoy) atau sebesar Rp2,53 triliun. Angka ini sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan semester sebelumnya sebesar 69,68%. Tabel 4.27 Keterkaitan Industri Perbankan dan Industri Asuransi Komponen Dec-15 Jun-16 Dec-16 yoy % yoy Investasi (dlm Rp M) 164, , ,736 (46,469) (28,30) Deposito, Giro, Tabungan 152, , ,612 (49,840) (32,69) Tagihan Spot dan Derivatif Tagihan Akseptasi ,00 SSB yang Dimiliki Asuransi 6,955 6,467 10,912 3,956 56,88 Pinjaman yang Diberikan ,72 Modal Pinjaman 4,268 5,362 3,596 (672) (15,75) Kewajiban Repo ,00 Jaminan ,99 Liabilitas (dlm Rp M) 4,897 5,534 7,429 2,532 51,69 Hutang Bank 537 1,176 1, ,06 Kewajiban Spot Derivatif ,00 SB yang Diterbitkan Asuransi ,00 Kewajiban Akseptasi ,00 Penyertaan dari Bank 4,123 4,125 6,078 1,955 47,40 Repo ,00 Reverse Repo ,00 Rupa-rupa Aset (219) (92,39) Sumber :, LBU (diolah) Data LBU (Rupiah penuh) 162

191 Perbankan dan IKNB Berdasarkan BUKU, kelompok bank yang memiliki keterkaitan paling besar dengan asuransi adalah BUKU 1. Proporsi dana asuransi yang ditempatkan terhadap total DPK BUKU 1 mencapai 6,03% atau sebesar 38,91% bila dibandingkan dengan total DPK IKNB pada BUKU 1. Meski cukup besar, namun ketergantungan BUKU 1 terhadap dana dari asuransi cenderung menurun. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh rata-rata suku bunga yang diberikan kepada asuransi telah berada di bawah suku bunga rata-rata DPK rupiah BUKU 1 (Grafik 4.73) pada akhir Sejalan dengan peningkatan kinerja, aset asuransi juga menunjukkan peningkatan. Secara umum, mayoritas aset asuransi ditempatkan dalam beberapa instrumen keuangan dengan porsi terbesar ditempatkan pada SBN sebesar Rp220,67 triliun (28,28%), diikuti saham sebesar Rp177,29 triliun (22,72%) dan reksadana sebesar Rp132,87 triliun (17,03%). Proporsi penempatan aset yang cukup tinggi pada SBN antara lain disebabkan industri asuransi melakukan akselerasi kepemilikan SBN dalam rangka pemenuhan ketentuan OJK 15. Sementara itu, profitabilitas industri asuransi 16 pada semester II 2016 sedikit mengalami penurunan tercermin dari Roa dan ROE yang lebih rendah jika dibandingkan dengan semester I 2016 maupun semester II 2015 seiring dengan meningkatnya beban pembayaran klaim dan manfaat. Grafik 4.73 Perkembangan Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga DPK Rupiah BUKU 1 (%) ,27 4, Des-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Des-14 Mar-15 Jun-15 Sep-16 Des-16 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Des-16 Rata-rata Tertimbang Suku Bunga DPK Rp Asuransi Rata-rata Tertimbang Suku Bunga DPK Rp (total) Sumber: 15 POJK No.1/POJK.05/2016 tgl 11 Januari 2016 tentang Investasi SBN 16 Data yang tersedia yaitu perusahaan asuransi jiwa, umum dan reasuransi 163

192 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik 4.74 Komposisi Aset Investasi Perusahaan Asuransi (Rp Triliun) Des-15 Jun-16 Des-16 Deposito Saham Sukuk atau Obligasi SBN SB Reksa Dana Lainnya Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (diolah) Tabel 4.28 Perkembangan Aset dan Kinerja Keuangan Asuransi Indikator (Rp.T) Dec-15 Jun-16 Dec-16 Growth yoy Total Aset 803,71 872,02 944,58 17,53% Total Investasi 641,29 705,36 780,42 21,70% Deposito 147,44 121,87 120,07-18,56% Saham 140,21 152,45 177,29 26,45% Sukuk atau Obligasi 71,98 89,04 98,61 36,99% SBN 151,19 188,95 220,67 45,96% SB 1,28 1,00 0,83-35,43% Reksa Dana 101,94 122,49 132,87 30,34% Lainnya 27,25 29,57 30,08 10,38% Jumlah Bukan Investasi 46,48 50,14 51,84 11,52% Total Ekuitas 342,57 369,86 401,44 17,18% Jumlah Beban 96,43 67,64 150,60 56,18% Profitabilitas* Dec-15 Jun-16 Dec-16 yoy ROA 4,26 3,69 3,29 (0,98) ROE 13,74 12,22 12,16 (1,58) Repo Reverse Repo Rupa-rupa Aset (219) Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (diolah) Sementara itu, dari sisi permodalan, seluruh perusahaan asuransi go public telah memenuhi kewajiban permodalan minimum sebesar Rp100 miliar. Selain itu, sebagian besar perusahaan asuransi go public juga sudah memenuhi target minimum Risk Based Capital (RBC) sebesar 120%. Besarnya modal industri asuransi tersebut diharapkan meningkatkan kemampuan penyerapan risiko yang muncul dari aktivitas perekonomian. Tabel 4.29 Kecukupan Modal Minimum Asuransi Go Public (Rp Miliar) Periode ABDA AHAP AMAG ASBI ASDM ASJT ASRM LPGI MREI PNIN ASMI VINS 2016 Tw III 325,69 208,48 647,67 131,04 235,41 164,89 142,34 171,50 260,66-273,43 842, Tw II 306,34 251,26 586,96 135,75 202,78 144,16 144,29 161,69 265,31-216,17 855, Tw I 305,64 241,68 530,57 149,37 212,58 160,24 139,25 182,28 252,67 212,30 209,02 878,32 Sumber: Laporan Keuangan Asuransi Go Public (diolah) 164

193 Perbankan dan IKNB 4.3. Asesmen Kondisi dan Risiko Perbankan Syariah Di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat sepanjang 2016, kinerja perbankan syariah juga terkena dampaknya. Namun, menjelang triwulan keempat menguatnya konsolidasi, telah mendorong membaiknya kinerja perbankan syariah. Kinerja intermediasi berada pada tingkat yang optimal dengan nilai FDR (BUS dan UUS) sebesar 88,78% dan tingkat kecukupan modal (CAR) BUS sebesar 15,95% di penghujung Sementara itu, rata-rata tingkat pembiayaan bermasalah perbankan syariah pada 2016 relatif cukup tinggi dan berada diatas 5%. Ke depan, dengan konsistensi penguatan pada internal perbankan syariah dan membaiknya kondisi perekonomian di 2017, maka pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah diperkirakan dapat mencapai 14% dan pertumbuhan dana 15%, dengan tingkat risiko pembiayaan dan likuiditas yang lebih terjaga. Pertumbuhan pembiayaan dan dana tersebut selanjutnya diperkirakan dapat mendorong peningkatan aset perbankan syariah hingga mencapai 18% Perkembangan Kinerja Perbankan Syariah Sepanjang 2016, kinerja industri perbankan syariah nasional relatif cukup baik, tercermin dari fungsi intermediasi berada pada tingkat yang cukup tinggi dengan nilai FDR (BUS dan UUS) sebesar 88.78% dan tingkat kecukupan modal (CAR) BUS sebesar 15,95% (pada bulan Desember 2016). Sementara itu, rata-rata tingkat pembiayaan bermasalah perbankan syariah pada 2016 semakin membaik setelah memasuki triwulan III. Hingga Desember 2016 rasio NPF BUS dan UUS mencapai 4,68% turun dari 5,68% pada bulan Juni Grafik 4.75 Perkembangan Industri Perbankan Syariah Rp Triliun % ,60 279,33 248,01 6,00 5, , ,50 0 Q Q Q Q ,00 Jan-15 Mar-15 Jun-14 Jul-15 Sep-15 Nov-15 Jan-16 Mar-16 Mei-16 Jul-16 Sep-16 Nov-16 Aset DPK Pembiayaan Ms. Aset Ms. DPK Ms.Pembiayaan a) Total Aset, DPK dan Pembiayaan per Desember 2016 b) Market Share 88,78 FDR / LDR 90,69 15,95 CAR 22,93 4,68 NPF / NPL 2, c) Kinerja Perbankan Syariah dan Perbankan Konvensional per Desember 2016 Sumber :, LBU,diolah 165

194 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Memasuki triwulan III-2016, pertumbuhan industri perbankan syariah mengalami peningkatan yang relatif tinggi, yaitu mencapai 20,33 persen. Konversi BPD Aceh menjadi bank syariah pada 19 September 2016 merupakan salah satu pendorong utama peningkatan asset di perbankan syariah. Pertumbuhan DPK sebesar 20,83% (yoy) dan pertumbuhan pembiayaan sebesar 16,44% (yoy) meningkat dibandingkan dari posisi Juni 2016 masing-masing sebesar 13,05% dan 7,82%. Dengan bertambahnya bank syariah maka posisi 2016, jumlah Bank Umum Syariah (BUS) telah mencapai 13 bank dan Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 21 unit Perkembangan Aset Aset perbankan syariah menunjukkan tren yang positif sepanjang 2016, dimana aset perbankan syariah pada Desember 2016 tercatat sebesar Rp356,5 Triliun dengan pertumbuhan tahunan mencapai 20,33% meningkat jika dibandingkan semester I 2016 yang hanya tumbuh sebesar 11,97%. Dilihat dari tingkat pertumbuhannya, sepanjang 2016 tren aset perbankan syariah selalu berada diatas pertumbuhan perbankan konvensional. Market share perbankan syariah terus menunjukkan peningkatan walaupun pertumbuhan perbankan syariah pada bulan Desember 2016 mengalami penurunan. Hingga Desember 2016 market share perbankan syariah adalah sebesar 5,3% meningkat dari bulan Juni 2016 sebesar 4,81%. Grafik 4.76 Pertumbuhan Aset, DPK, dan Pembiayaan 25,00 20,00 15,00 10,00 20,83 15,90 5,00 - Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des G Aset G. DPK G PYD Sumber :, LBU,diolah Grafik Perkembangan Aset Rp Triliun (%) , , , Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q Total Aset Growth Aset (Skala Kanan) Growth Aset BUK (Skala Kanan) Grafik Market Share Aset % 7,50 5,40 5,30 5,20 5,00 5,00 2,50 4,80 4,60 0,00 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 4, ,37-2,50 4,20 Delta Growth YOY Aset Market Share Aset (%) Sumber :, LBU,diolah 166

195 Perbankan dan IKNB Perkembangan DPK Volume DPK yang dihimpun perbankan syariah per Desember 2016 tercatat sebesar Rp279 Triliun dengan laju pertumbuhan sebesar 20,83% (yoy) dimana pertumbuhan tahunan posisi Juni 2016 hanya sebesar 13,05%. Secara umum, laju pertumbuhan DPK perbankan syariah mulai Januari 2016 menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dibandingkan perbankan konvensional, sehingga market share DPK terus mengalami peningkatan, hingga Desember 2016 market share DPK sebesar 5,78% atau sedikit meningkat jika dibandingkan dengan market share DPK pada Juni 2016 sebesar 5,28%. Berdasarkan proporsinya, DPK perbankan syariah pada Desember 2016 masih didominasi oleh deposito (59,49%), diikuti oleh tabungan (30,50%) dan giro (10,01%). Namun selama 2016, proporsi deposito terus mengalami penurunan sementara tabungan dan giro relatif mengalami peningkatan. Dengan demikian, terlihat bahwa nasabah bank syariah perlahan mengalihkan simpanan berjangka panjang menjadi simpanan berjangka lebih pendek. Dari sisi jumlah rekening, sepanjang tahun 2016 jumlah rekening DPK mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah rekening DPK yang dikelola BUS dan UUS per Desember 2016 mencapai 22,28 juta rekening atau sekitar 10,91% dari total rekening simpanan yang dikelola bank umum secara nasional. Jumlah rekening BUS dan UUS pada Desember 2016 tumbuh sebesar 19,94% (yoy). Grafik 4.79.Perkembangan DPK Grafik Komposisi DPK per Desember 2016 Rp Triliun % ,01% Giro - Wadiah Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q Total DPK Growth (DPK Skala Kanan) Growth DPK BUK (Skala Kanan) 59,49% 30,50% Tabungan Deposito - Mudharabah Grafik 4.80.Market Share DPK Grafik Perkembangan Komposisi DPK % 7,50 6,00 5,78 % 100,00 5,00 2,50 0,00 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 5,50 5,00 4,50 75,00 50,00 25,00 28,73 61,75 28,59 28,59 29,15 61,42 29,70 61,13 29,26 62,27 29,11 61,02 29,73 59,24 30,50 59,49-2, ,76 4,00 Delta Growth YOY DPK Market Share DPK (%) 0 9,52 10,28 9,43 9,17 8,47 9,88 11,08 10,01 Q Q Q Q Q Q Q Q Giro - Wardiah Tabungan Deposite - Mudharabah Sumber :, LBU,diolah 167

196 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Perkembangan Pembiayaan Jika dilihat dari komposisinya, penempatan dana oleh BUS dan UUS melalui pembiayaan masih menjadi pilihan utama untuk penempatan dana perbankan syariah dibandingkan alternatif penempatan dana lainnya, sebagaimana yang terlihat dalam Grafik Dari grafik tersebut terlihat bahwa dari segi proporsinya, penempatan dana dalam bentuk pembiayaan yang diberikan mengalami penurunan, sementara penempatan pada dan surat-surat berharga mengalami peningkatan. Sementara itu, sepanjang tahun 2016 FDR perbankan syariah cenderung mengalami penurunan, hingga Desember 2016 FDR BUS dan UUS adalah sebesar 88,78%. Jika melihat perkembangannya, pembiayaan perbankan syariah secara nominal menunjukkan tren peningkatan sepanjang Posisi penyaluran pembiayaan pada Desember 2016 tercatat sebesar Rp. 248 Triliun atau meningkat 16,44% (yoy) pada semester 2 tahun 2016 dibandingkan pertumbuhan pembiayaan 7,82% pada semester 1 tahun Pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah pada umumnya rendah dari perbankan konvensional, pada September 2016 pertumbuhan PYD perbankan Syariah meningkat hingga berada diatas pertumbuhan kredit perbankan Konvensional. Peningkatan dimaksud terutama disebabkan adanya konversi BPD Aceh menjadi Bank Umum Syariah. yang juga menyebabkan market share pembiayaan meningkat menjadi 5,78%. Grafik 4.83 Komposisi Penyaluran Dana Perbankan Syariah Grafik 4.84 FDR Perbankan Syariah % ,00 90,00 85,00 90,70 85,99 85, ,29 75,33 73,71 72,11 80, ,35 7,74 7,51 8,75 13,89 13,14 15,42 14,64 Q1-16 Q2-16 Q3-16 Q ,00 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q Q4 Surat Berharga yang Dimiliki Pembiayaan Penyertaan FDR LDR Grafik 4.85 Perkembangan Pembiayaan Rp T % Grafik 4.86 Perkembangan Pembiayaan , % 7,50 5,00 5,78 5, , Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q ,50 0,00-2,50 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q Q3 1,49 Q4 5,50 5,00 Total PYD Growth PYD (Skala Kanan) Growth PYD BUK (Skala kanan) Delta Growth YOY PYD Market Share PYD (%) Sumber :, LBU,diolah 168

197 Perbankan dan IKNB Porsi pembiayaan didominasi oleh pembiayaan konsumsi yang diikuti oleh modal kerja dan investasi (lihat Grafik 4.87) dengan jumlah pembiayaan masingmasing sebesar Rp100,6Triliun, Rp87,36Triliun, dan Rp60,04Triliun. Sementara, dilihat dari jenis akadnya, secara umum penyaluran pembiayaan perbankan syariah dengan akad murabahah masih mendominasi hingga Desember 2016 dengan pangsa sebesar 56,26%. Berdasarkan sektor usaha, sektor perdagangan, restoran, dan hotel serta sektor jasa-jasa dunia usaha menjadi sektor dengan porsi penyaluran pembiayaan terbesar, masing-masing 13,45% dan 12,80%, setelah sektor lain-lain (40,87%). Dari sisi jumlah rekening, hingga Desember 2016 jumlah rekening pembiayaan BUS dan UUS adalah sebanyak 4,52 juta rekening dengan share sebesar % dari jumlah rekening perbankan secara nasional. Pertumbuhan jumlah rekening pembiayaan BUS dan UUS pada Desember 2016 tercatat sebesar 20,52% (yoy). Grafik Pembiayaan Berdasarkan Jenis Penggunaan (Desember 2016) Grafik Pembiayaan Berdasarkan Akad (Desember 2016) 3,69% Akad Murabahah 40,56 24,21 35,23 Modal Kerja Investasi Konsumsi 31,62% 6,17% 56,25% Akad Istishna Akad Qaradh Akad Mudharabah Akad Musyarakah Akad Ijarah 1,91% 0,35% Grafik Pembiayaan Berdasarkan Sektor Ekonomi Desember 2016) 4,01% 2,66% 4,40% 3,27% 13,45% 7,96% 12,80% 4,75% 5,82% Industri Pengolahan Jasa-jasa dunia usaha Jasa-jasa sosial/masyarakat Konstruksi Lain - lain Perdagangan, restoran dan hotel Pertambangan Pertanian, Perburuan dan sarana pertanian Listrik, Gas dan Air 40,87% Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi Sumber :, LBU,diolah 169

198 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Imbal Hasil Secara umum, tingkat imbalan perbankan syariah mengalami penurunan dibandingkan pada bulan Juni 2016 yang diperlihatkan antara lain dengan adanya penurunan tingat imbalan deposito dan tabungan. Namun demikian, imbal hasil produk giro relatif stabil dan mengalami sedikit peningkatan. Pada bulan Desember 2016 deposito untuk jangka waktu 6 bulan menawarkan rata-rata tingkat imbalan tertinggi mencapai 5,90% sedangkan tingkat imbalan deposito 12 bulan mencapai 5,67%. Deposito 12 bulan memiliki rata-rata imbal hasil terkecil, dengan rata-rata imbalan sebesar 5,41%. Jika dibandingkan dengan bank konvensional, pada November 2016 imbal hasil giro dan deposito bank konvensional lebih tinggi daripada produk yang sama pada bank syariah. Dengan kondisi imbal hasil tersebut dapat mendorong pengalihan dana dari perbankan syariah kepada perbankan konvensional untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi (displacement risk). Grafik Tingkat Return Giro, Tabungan dan Deposito Syariah 4,00 9,00 3,00 2,00 1,00 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q Q3 Q4 1,87 1,05 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q Q3 Q4 5,90 5,51 5,46 5,67 5,41 Delta Growth YOY Asrt Market Share Aset (%) Dep 1 Bulan Dep 12 Bulan Dep 3 Bulan Dep >12 Bulan Dep 6 bulan Grafik 4.92 Struktur Imbal Hasil DPK Syariah Posisi November 2016 % 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Giro Tabungan 1 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 12 Bulan Sumber :, LBU,diolah 170

199 Perbankan dan IKNB ASESMEN RISIKO Risiko Likuiditas Alat likuid Bank Umum Syariah pada akhir tahun 2016 tercatat sebesar Rp. 45,50 Triliun, atau meningkat 26,73 (yoy) pada semester II tahun 2016 sedikit meningkat dari pertumbuhan alat likuid sebesar 24,62% pada semester 1 tahun Pada Desember 2016, rasio alat likuid terhadap total asset mencapai 17,90%. Sementara indikator lain yang menunjukkan likuiditas perbankan, yaitu rasio AL/DPK, berfluktuasi dan menunjukkan tren meningkat sejak semester I tahun Pada Desember 2016, AL/DPK perbankan syariah tercatat sebesar 22,04% Risiko Pembiayaan Pada Grafik 4.93, terlihat bahwa pada semester II tahun 2016, NPF perbankan syariah mencapai 4,15% yaitu sedikit membaik dibandingkan NPF pada posisi semester 1 tahun 2016 yaitu 5,05% dan pada posisi semester 2 tahun 2015 sebesar 4,34%.NPF untuk akad ijarah dan mudharabah mengalami peningkatan sementara akad lainnya mengalami penurunan. Pembiayaan untuk akad ijarah memiliki NPF paling tinggi dan melebihi batas 5% yaitu sebesar 7,23% sehingga perlu diwaspadai. Sementara, untuk akad murabahah sebagai pembiayaan terbesar, memilik NPF yang masih dibawah 5%. Berdasarkan sektor usaha, sektor yang paling besar menyumbang NPF adalah sektor perdagangan, restoran, dan hotel, sektor lain-lain, serta sektor jasa-jasa dunia usaha. Grafik Posisi Likuiditas Perbankan Syariah Grafik Perkembangan NPF 24,00 22,00 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 22,04 17,90 Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 Mei-15 Jun-15 Jul-15 Agt-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 AL/DPK AL/Aset 5,05 12,00 6,00 4,81 4,34 10,30 10,00 5,00 4,15 8,00 4,00 6,00 3,00 4,00 2,00 2,00 1,00 0,00 0,00 Q1-15 Q2-15 Q3-15 Q4-15 Q1-16 Q2-16 Q3-16 Q4-16 NPF Rasio NPF (Skala Kanan) Grafik Rasio NPF Berdasarkan Akad Grafik Komposisi NPF berdasarkan Sektor Ekonomi 8,00 6,00 4,00 7,23 4,48 3,66 21,58 4,03 5,61 12,97 14,17 Industri Pengolahan Jasa-jasa dunia usaha Jasa-jasa sosial/masyarakat Konstruksi Lain-lain 2,00 Listrik, Gas dan Air 0,00 Q1-15 Q2-15 Q3-15 Q4-15 Q1-16 Q2-16 Q3-16 Q4-16 5,49 8,75 19,37 Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi Akad Ijarah Akad Istishna Akad Mudharabah Akad Murabahah Akad Musyarakah Akad Qaradh Sumber :, LBU,diolah 4,92 3,11 Perdagangan, restoran dan hotel Pertambangan Peetanian, perburuan dan sarana pertanian 171

200 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Profitabiitas dan Permodalan Pendapatan operasional BUS menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pendapatan operasional per Desember 2016 tercatat sebesar Rp. 35,48 Triliun atau meningkat sebesar 11,24% (yoy). Sementara itu, biaya operasional perbankan syariah mencatatkan pertumbuhan sebesar 10,35% (yoy). Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional pada tercatat mengalami penurunan dari 97,01% pada Desember 2015 menjadi 96.23% pada Desember Adapun net operational margin perbankan syariah pada Desember 2016 mengalami peningkatan sebesar 0.68% terhadap posisi yang sama tahun Dari sisi pengembalian asset (Return on Aset/Roa), tingkat profitabilitas perbankan syariah sebesar 0.63% cenderung lebih rendah dibandingkan dengan perbankan konvensional yang mencapai 2,23%. Roa perbankan syariah pada Desember 2016 mengalami penurunan dibandingkan posisi Juni ,10% menjadi 0,63%. Sementara ROE perbankan syariah pada bulan Desember 2016 mengalami penurunan sebesar 8,70% dibandingkan posisi Juni 2016 sebesar 5,67%. Posisi ROE perbankan syariah dan perbankan konvensional pada Desember 2016 masing-masing sebesar 5,17% dan 47,46%. Pada 2016, permodalan perbankan syariah secara umum cenderung meningkat. Jumlah modal inti BUS per Desember 2016 tercatat sebesar Rp22,62Triliun atau tumbuh 19,74%(yoy). Disisi lain, CAR meningkat dari 14,72% pada Juni 2016 menjadi 15.95% pada Desember CAR tersebut mengindikasikan tingkat ketahanan risiko yang masih cukup memadai mengingat masih melebihi standar sebesar 8%. Secara relatif, permodalan perbankan syariah masih berada dibawah perbankan konvensional, dimana CAR perbankan konvensional pada Desember 2016 tercatat sebesar 22,93%. Grafik Return on Asset Grafik Return on Equity 3,00 60,00 2,25 45,00 1,50 30,00 0,75 15,00 0,00 Q Q Q Q Q Q Q Q ,00 Q Q Q Q Q Q Q Q ROA Syariah ROA Konvensional ROE Syariah ROE Konvensional 25,00 Grafik Capital Adequacy Ratio 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 Q Q Q Q Q Q Q Q CAR Syariah CAR Konvensional Sumber :, LBU,diolah 172

201 Perbankan dan IKNB Boks 4.1 Cakupan, Pemetaan Risiko dan Dampak Financial Technology (Fintech) terhadap Stabilitas Sistem Keuangan: Deposits, Lending dan Capital Raising Dari empat kategori fintech sebagaimana diatur oleh FSB, yang dibahas disini adalah kategori Deposits, Lending dan Capital Raising. Dari kategori tersebut dapat dibedakan beberapa fungsi, yaitu Crowdfunding, Online Lending dan Big Data Analytic. Crowdfunding Crowdfunding adalah pengumpulan dana dari banyak investor (masing-masing dalam jumlah kecil) melalui online platform untuk project tertentu (bisnis ataupun sosial). Crowdfunding dapat dilakukan untuk tujuan sosial, dimana penyumbang tidak memperoleh imbal hasil apapun, dengan tujuan mendanai proyek tertentu dimana penyumbang memperoleh imbal hasil dalam bentuk contoh produk atau diskon tertentu. Crowdfunding dapat juga digunakan untuk mendanai pinjaman yang diajukan melalui platform, dengan imbal hasil berupa bunga, disebut dengan peer-to-peer (P2P) lending atau mendanai suatu usaha startup dengan imbal hasil kepemilikan saham, disebut dengan equity crowdfunding. Gambar Boks Crowdfunding dan Peer-to-peer lending Crowdfunding Peer-to-peer lending Rp 5 Repayment 6 Platform Repayment Rp Rp Verifikasi & Asesmen Verifikasi Asesmen Rp Rp Borrower 1 2 Investor Crowdfunding Loan Funding 4 Bank 3 Online Lending Online lending (direct balance sheet) merupakan kegiatan penyaluran pinjaman (sebagian ataupun keseluruhan) yang dilakukan melalui platform online. Dana yang digunakan oleh online lending berasal dari fintech tersebut. Direct Balance Sheet Rp 3 Gambar Boks Direct Balance Sheet Verifikasi Asesment 1 Repayment Platform /Investor 2 Loan Bank 173

202 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Big Data Analytic Penggunaan big data analytic yaitu dengan mengolah big data untuk tujuan nontraditional credit scoring. Data yang digunakan berupa digital footprint, al: social network data, mobile data, browser data, online transaction data untuk proses credit scoring yang diolah menggunakan algoritma machine learning. P2P dan online lending platform dapat bekerja sama dengan fintech ini untuk mitigasi risiko kredit. Manfaat perkembangan fintech Perkembangan fintech yang sangat pesat membawa manfaat bagi peminjam, investor dan perbankan. Bagi peminjam, manfaat yang dirasa antara lain mendorong inklusi keuangan, memberikan alternatif pinjaman bagi debitur yang belum layak kredit, prosesnya mudah dan cepat, dan persaingan yang ditimbulkan mendorong penurunan suku bunga pinjaman. Bagi investor fintech merupakan alternatif investasi dengan return yang lebih tinggi dengan risiko default yang tersebar di banyak investor dengan nominal masing-masing cukup rendah dan investor dapat memilih peminjam yang didanai sesuai preferensinya. Bagi perbankan, kerjasama dengan fintech dapat mengurangi biaya (misalnya penggunaan nontraditional credit scoring untuk filtering awal aplikasi kredit), menambah DPK, menambah channel penyaluran kredit dan merupakan alternatif investasi bagi perbankan. Gambar Boks Risiko Fintech: Deposits, Lending and Capital Raising Fintech : Deposits, Lending & Capital Rising 1. Peer-topeer Lending 2. Non Financial Return Crowdfunding Intermediasi Operational Fintech Proses IT 3. Direct Balance Sheet 4. E-commerce Lending Perbankan Pendanaan Fintech Intermediasi SDM 5. Non Traditional Crecit Scoring 6. Securities Crowdfunding Risiko pada Fintech Likuiditas Risiko Regulasi Risiko Contagion ke Perbankan Kredit Profitabilitas Otoritas Risiko pada Lainnya 174

203 Perbankan dan IKNB Namun demikian, tanpa pengaturan rule of thumb serta penyiapan regulatory sandbox yang jelas maka kehadiran fintech dapat juga mengganggu optimalitas peran industri perbankan dan perkembangannya yang cepat juga dapat memunculkan potensi risiko bagi sistem keuangan. Beberapa risiko utama dari fintech adalah: - Pencatatan dan pelaporan Pencatatan yang dilakukan oleh fintech wajib dilaporkan kepada OJK setiap 3 bulan. Namun demikian, belum ada standarisasi pengkategorian kredit, sehingga antar fintech yang satu dengan fintech yang lain dapat berbeda dalam pengakuan NPL. - Credit scoring belum ada standarisasi komponen web footprint yang digunakan dapat berbeda antar credit scoring yang satu dengan yang lain, sehingga dapat memperoleh hasil yang berbeda. - Fraud Fraud dapat terjadi dalam berbagai bentuk, antara lain peminjam fiktif, penyaluran pinjaman secara berlebih kepada satu peminjam yang diragukan tanpa sepengetahuan investor. - Penurunan profitabilitas bank total aset fintech saat ini masih sangat kecil dibandingkan total aset perbankan, namun perkembangannya sangat pesat. Dengan perkembangan tersebut, fintech dapat mempengaruhi stabilitas DPK di bank yang ada saat ini dan bersaing dalam memperoleh pendapatan dari bunga kredit dari bank. - Penarikan dana investor secara tiba-tiba Suatu fintech cenderung menyalurkan pinjaman pada satu wilayah atau satu subsektor tertentu yang dapat menumbuhkan ketergantungan dari sekelompok peminjam pada pendanaan dari fintech. Sentimen negatif dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan investor kepada fintech secara tiba-tiba. Hal ini dapat mempengaruhi keberlangsungan usaha kelompok peminjam yang tergantung pada fintech. - it terdapat potensi pencurian data nasabah yang dikelola oleh fintech jika tidak diimbangi security yang memadai. Jika bank menggunakan teknologi dari fintech yang digunakan secara plug-in, meningkatkan kerentanan terhadap cyber attack. - Penyaluran kredit kepada debitur bermasalah Selain kepada peminjam layak yang belum bankable, terdapat potensi penyaluran pinjaman dari fintech kepada peminjam yang ditolak oleh bank sehingga lebih berisiko. - Proses collection Skala usaha yang kecil dan pengalaman yang belum lama menyebabkan proses collection yang dilakukan belum tentu sebaik yang dilakukan oleh bank sehingga berpotensi menurunkan recovery rate. - Exit policy belum ada pengaturan bagaimana perlakuan terhadap fintech yang tutup. 175

204 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Boks 4.2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kelembagaan Pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) didasarkan pada Undang-Undang No.24 Tahun 2011 tentang BPJS yang merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional tersebut dilakukan melalui pendirian BPJS dengan tujuan utama untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan ruang lingkup meliputi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan bertugas untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, sementara BPJS Ketenagakerjaan bertugas menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Dengan berdirinya BPJS, maka sejak 1 Januari 2014, PT Askes berganti peran menjadi BPJS Kesehatan dan Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Untuk membiayai kegiatan operasionalnya, BPJS mengumpulkan dana yang berasal dari iuran para peserta maupun pemberi kerja. Dana yang terkumpul tersebut kemudian dikelola dan diinvestasikan untuk meningkatkan jaminan kesejahteraan para anggotanya. Pengawasan Selain fungsi strategis terkait jaminan sosial, BPJS juga memiliki peran strategis dalam sistem keuangan. Hal ini terkait dengan besarnya jumlah dana kelolaan yang diinvestasikan di pasar keuangan domestik. Melihat pada kegiatan BPJS terkait dengan pengumpulan dana dari para peserta serta mengelola dana tersebut dalam bentuk investasi, maka BPJS dapat dikategorikan sebagai Institusi Keuangan Non Bank (IKNB) yaitu badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan, secara langsung ataupun tidak langsung, menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk kegiatan produktif 21. Berdasarkan hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan bahwa BPJS masuk dalam lingkup pengawasan IKNB sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK (POJK) No. 5/POJK.05/2013 tentang Pengawasan BPJS oleh OJK. Dalam operasionalnya, OJK menetapkan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan dalam kelompok asuransi sebagaimana Daftar Perusahaan Asuransi 22 (137 perusahaan) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Dengan penguasaan pangsa mencapai 33% dari total investasi industri asuransi atau 28% dari total aset industri asuransi, dapat dikatakan bahwa BPJS merupakan salah satu IKNB yang sangat signifikan dalam industri asuransi di Indonesia. 21 Sumber: Otoritas Jasa Keuangan Perusahaan Asuransi Umum, Jiwa, Reasuransi, Asuransi Wajib dan Asuransi Sosial per 31 Desember Pages/Daftar-Perusahaan-Asuransi-Umum,-Jiwa,-Reasuransi,-Asuransi-Wajib-Dan-Asuransi-Sosial.aspx#sthash.jV6uW2wJ.dpuf 176

205 Perbankan dan IKNB Aset Kelolaan dan Investasi Berdasarkan posisi Desember 2015, total investasi BPJS Kesehatan mencapai Rp4,4 triliun atau 26% dari total asset. Sementara itu, total investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp206 triliun atau mencapai 97 % dari total aset. Secara keseluruhan, portofolio investasi Dana Jaminan Sosial, yang merupakan aset kelolaan BPJS Ketenagakerjaan, didominasi oleh obligasi (baik Obligasi Korporasi maupun Obligasi Pemerintah) dengan proporsi mencapai 40,99%, diikuti oleh deposito (22,71%) dan saham (21,17%). Berbeda dengan Dana Jaminan Sosial, portofolio investasi induk perusahaan BPJS Ketenagakerjaan didominasi oleh deposito sebesar 41,96% diikuti oleh saham dan obligasi masing-masing sebesar 25,64% dan 24,59%. Melihat pada model bisnis yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan, maka portofolio BPJS Ketenagakerjaan mayoritas berdurasi jangka panjang terlihat dari komposisi portofolio investasi yang cukup besar pada instrumen obligasi dengan pola investasi Held to Maturity (HTM) 24. Tabel Boks Investasi dan Aset BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan 2015 Investasi Aset % Investasi thdp Aset BPJS Kesehatan Dana Jaminan Sosial 0,3 4,7 7% Induk Perusahaan 4,1 12,2 33% BPJS Ketenagakerjaan Dana Jaminan Sosial 199,0 200,7 99% Induk Perusahaan 7,1 11,1 64% Asuransi Sosial 210,5 228,6 92% Industri Asuransi 641,3 803,7 80% % BPJS terhadap Industri Asuransi 33% 28% Tabel Boks Portofolio Investasi BPJS Ketenagakerjaan 2015 Investasi Jaminan Kecelakaan Kerja Jaminan Hari Tua Jaminan Pensiun Jaminan Kematian Dana Jaminan Sosial % terhadap total investasi Konsolidasi Induk % terhadap total investasi Deposito 7,003 34,731 1,569 2,017 45,320 22,71% 2,966 41,96% Saham 1,649 39, ,244 21,17% 1,812 25,64% Reksadana , ,064 8,05% 328 4,64% KIK-EBA ,09% 51 0,72% Sukuk 1,086 10, ,126 6,08% 66 0,93% Obligasi 3,564 76, ,790 40,99% 1,738 24,59% Penyertaan Langsung ,05% 27 0,38% Properti Investasi 1,694 1,694 0,85% 81 1,15% Total 13, ,793 2,380 4, , ,00% 7, ,00% Sumber: Laporan Keuangan BPJS Ketenagakerjaan, diolah 24 Informasi FGD, Kamis, 11 Februari

206 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Peran BPJS di Pasar Keuangan Otoritas Jasa Keuangan melalui Peraturan ojk No.1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank telah mewajibkan ketentuan porsi minimum kepemilikan SBN pada Investasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. BPJS Ketenagakerjaan diwajibkan untuk menempatkan SBN paling rendah 50% dari seluruh jumlah investasi Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan paling rendah masingmasing 30% dari seluruh jumlah investasi BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Ketentuan ini paling lambat harus dipenuhi pada tanggal 31 Desember Selain BPJS, IKNB lainnya yaitu Asuransi Jiwa, Asuransi Umum & Reasuransi, Lembaga Penjaminan serta Dana Pensiun juga dikenakan kewajiban pemenuhan SBN dengan prosentase yang berbeda-beda (Tabel 3). Per 31 Desember 2016, Dana Jaminan Sosial BPJS Ketenagakerjaan telah mencapai target pemenuhan porsi SBN sebesar Rp129,3 triliun atau 53,6% dari total Investasi (Rp241,3 triliun). Seiring dengan peningkatan persentase kewajiban investasi SBN, pada tahun 2017 diperkirakan kebutuhan SBN akan mencapai angka Rp69 triliun yang berasal dari BPJS dan IKNB lainnya. Diharapkan kebutuhan SBN tersebut dapat terpenuhi yang antara lain berasal dari realisasi penerbitan SBN sebesar Rp155 Triliun 25 pada triwulan I Tabel Boks Porsi Kepemilikan SBN oleh IKNB IKNB Dec-15 Dec-16 Target 2016 Kekurangan Target 2017 Kekurangan (Rp. T) Investasi SBN % SBN Investasi SBN % SBN % SBN Nominal SBN %SBN % SBN Nominal SBN %SBN Asuransi - Jiwa 283,2 45,1 15,9% 343,3 55,9 16,3% 20,0% 68,7-12,7-3,7% 30,0% 103,0-47,1-13,7% - Umum & Reasuransi 66,1 2,8 4,2% 69,7 8,11 11,6% 10,0% 7,0 0,0 0,0% 20,0% 13,9-5,8-8,4% Lembaga Penjaminan 9,4 0,2 2,5% 9,7 0,2 2,5% 10,0% 1,0-0,7-7,5% 20,0% 1,9-1,7-17,5% Dana Pensiun 199,1 35,6 17,9% 228,8 54,3 23,7% 20,0% 45,8 0,0 0,0% 30,0% 68,6-14,3-6,3% BPJS Ketenagakerjaan (Dana Jaminan Sosial)* BPJS Ketenagakerjaan (Total Investasi) 199,0 66,2 33,3% 241,3 129,3 53,6% 50,0% 120,7 0,0 0,0% 50,0% 120,7 0,0 0,0% 7,1 0,6 8,2% 9,0 2,6 28,9% 30,0% 2,7-0,1-1,1% 30,0% 2,7-0,1-1,1% total 763,9 150,5 901,7 250,5 245,7 (13,6) 310,8 (69,0) Total 13, ,793 2,380 4, , ,00% 7, ,00% *) Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah dana jaminan Sosial kecelakaan kerja, Dana Jaminan Sosial kematian, Dana jaminan Sosial hari tua, dan Dana Jaminan Sosial Pensiun (POJK No.1/POJK.05/2016 tanggal 11 Januari 2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank) Sumber: Laporan OJK, BPJS 24 Informasi FGD, Kamis, 11 Februari

207 Perbankan dan IKNB Melihat pada pertumbuhan dana kelolaan BPJS khususnya BPJS Ketenagakerjaan yang terus meningkat, maka dalam beberapa tahun ke depan BPJS Ketenagakerjaan diperkirakan akan menjadi a significant market player di pasar SBN. Hal ini dapat terjadi jika BPJS Ketenagakerjaan mengoptimalkan fungsi treasury (pengelolaan portofolio investasi) dan tidak hanya melakukan strategi held to maturity. Selain itu, mengingat besarnya dana kelolaan yang dimiliki, maka BPJS Ketenagakerjaan juga membutuhkan varian instrumen investasi untuk mendapatkan optimal return serta diversifikasi risiko. Pengembangan strategi investasi sekaligus diversifikasi risiko yang dilakukan BPJS Kesehatan diharapkan akan menjadi bagian dari upaya memperdalam pasar keuangan di Indonesia. 179

208 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Boks 4.3. Perilaku BPD terkait likuiditas Likuiditas perbankan selama 2016 cenderung ample dan menunjukkan kecenderungan tren peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, sejalan dengan perlambatan kredit dan tersebut juga tercermin dari rasio likuiditas seluruh kelompok bank yang berada pada level lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Kecenderungan peningkatan likuiditas masih berlanjut di Q meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK). Kondisi Grafik Boks Rasio Likuiditas Industri Perbankan Tabel Boks Rasio Likuiditas per Kelompok Bank % 60,00 45,00 30,00 99,36% 20,93% % Kelompok Rasio AL/DPK (%) Des Des Mar Juni Sept Des 2015 (ytd) 2016 (ytd) 15,00 50% 45 8,5% 25 0, TW I 2012-TW II 2012-TW III 2012-TW IV 2013-TW I 2013-TW II 2013-TW III 2013-TW IV 2014-TW I 2014-TW II 2014-TW III 2014-TW IV 2015-TW I 2015-TW II 2015-TW III 2015-TW IV 2016-TW I 2016-TW II 2016-TW III 2016-TW IV BUMN 23,7 20,5 22,0 19,8 18,6 21,5 (3,2) 1,0 BUSN 17,0 16,6 19,4 18,3 18,3 18,0 (0,3) 1,4 BPD 12,1 12,9 17,9 17,8 17,3 18,6 0,8 5,7 KCba 49,1 53,2 59,5 53,3 60,3 53,4 4,0 0,3 AL/DPK AL/NCD (Skala Kanan) INDUSTRI 20,5 19,4 22,0 20,3 20,2 20,9 (1,1) 1,5 AL = Kas + Penempatan pada BI + Excess Reserve - GWM DPK = Giro + Tabungan + Deposito NCD = 30% Giro + 30% Tabungan + 10% Deposito Sumber :, LBU,diolah Namun sesuai dengan pola musimannya, likuiditas perbankan pada beberapa hari menjelang tutup tahun cenderung sedikit mengetat terkait pola ekspansi keuangan pemerintah pusat dan daerah. Kondisi tersebut tercermin dari kenaikan temporer Rata-Rata Tertimbang (RRT) suku bunga Desember 2016 menjadi di atas 6%, khususnya pada kelompok BPD. SB PUAB pinjam BPD jangka menengah (suku bunga PUAB 1, 2, dan 3 bulan) naik menjadi di atas 8%. Kenaikan dimaksud hanya bersifat temporer, karena telah kembali turun pada kisaran normal sejak Januari (SB) pasar uang antar bank (PUAB) pinjam pada % 10 Grafik Boks RRT SB PUAB Pinjam BPD per Tenor Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Des RRT Overnight 2-4 Hari 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan BI Rate/SBI 12 Bulan BI 7 Days Repo Rate Sumber :, LBU,diolah 180

209 Perbankan dan IKNB Tekanan likuiditas temporer pada akhir tahun 2016 tersebut lebih terbatas dan lebih singkat dibandingkan kondisi serupa pada tahun sebelumnya, dimana pada Desember 2015 tekanan disebabkan perubahan pola ekspansi keuangan Pemerintah terkait prefunding yang mencapai 46 triliun rupiah. Pada saat itu, RRT SB PUAB pinjam industri perbankan naik di atas 7%. RT SB PUAB Pinjam BPD jangka pendek dan menengah (suku bunga PUAB ON, 1 minggu dan 2 minggu) naik menjadi di atas 7%, sedangkan RRT SB PUAB jangka menengahnya (3 minggu, 1 bulan dan 2 bulan) naik menjadi di atas 8%. Tekanan likuiditas akhir tahun yang bersifat temporer tersebut sejalan dengan dinamika perkembangan DPK BPD, yang pada umumnya didominasi dana milik Pemda (rata-rata sejak 2012 sekitar 46% dari DPK BPD). Pada umumnya, pola DPK BPD cenderung meningkat secara gradual dan terakumulasi sejak awal tahun (seiring dropping dana Pemerintah Pusat), namun secara bertahap akan kembali menyusut di akhir tahun sejalan dengan operasi keuangan Pemda (jadwal pembayaran termin proyek Pemda). Sementara DPK BPD yang berasal dari dana non-pemda (mayoritas dana perorangan) secara umum cenderung stabil sepanjang tahun dan hanya meningkat temporer di akhir tahun. Oleh karena itu, meskipun likuiditas BPD berada pada level yang cukup tinggi, namun BPD kurang leluasa dalam memberikan pendanaan yang bersifat jangka panjang karena memiliki sumber dana yang umumnya bersifat jangka pendek. Dari sisi pertumbuhannya, DPK BPD pada 2016 cenderung melambat, antara lain dipengaruhi sempat tertundanya transfer daerah pada Triwulan IV Grafik Boks Perkembangan DPK BPD Berdasarkan Pemilik (Rp T) DPK PEMDA DPK NON PEMDA Sumber :, LBU,diolah 181

210 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik Boks Pertumbuhan DPK BPD (% Yoy) 80 % YOY DPK PEMDA yoy DPK NON PEMDA YOY DPK Sumber :, LBU,diolah Pola sumber dana dimaksud menyebabkan kecenderungan likuiditas BPD menjadi relatif tinggi pada pertengahan tahun, namun menipis di awal dan akhir tahun. Dinamika tersebut tercermin pada rasio likuiditas BPD (setelah memperhitungkan net penempatan antar bank) terhadap DPK. Pola likuiditas BPD dimaksud berbeda dengan likuiditas perbankan pada umumnya yang cenderung menebal pada awal tahun dan mengetat di pertengahan tahun, sejalan siklus penarikan dana masyarakat menjelang bulan puasa dan lebaran. Sumber dana dan siklus likuiditas BPD yang bersifat spesifik tersebut menyebabkan penempatan likuiditasnya juga sedikit berbeda dengan bank pada umumnya. Selain penempatan likuiditas dalam bentuk Alat Likuid (Kas, Penempatan pada BI, Excess Reserve - GWM), BPD cenderung melakukan penempatan di bank lain (penempatan langsung maupun melalui PUAB) dalam jumlah yang cukup besar (dapat mencapai lebih dari 40% likuiditas BPD). Pemda dan BPD perlu meningkatkan manajemen likuiditas mengingat peran strategis BPD dalam pembangunan daerah dan agar mengurangi tekanan likuiditas dan peningkatan PUAB akhir tahun serta menurunan risiko likuiditas dan kreditnya. Grafik Boks Rasio Likuiditas BPD % % AL + NAB/DPK AL/DPK (Skala Kanan) Sumber :, LBU,diolah

211 Perbankan dan IKNB Boks 4.4. Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/ Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) Terkait dengan Proyek Pemerintah Sebagaimana diamanatkan dalam Keppres No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri dan Keppres No. 39 Tahun 1991 tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri, Pemerintah membentuk Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) yang diketuai oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang beranggotakan, Kementerian Keuangan serta Kementerian terkait lainnya. Latar belakang dari pembentukan Tim PKLN ini adalah dalam rangka mewujudkan pengelolaan PKLN yang dikelola dengan baik sehingga diharapkan tidak menimbulkan tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia dan agar beban pembayaran kembali pinjaman luar negeri tetap dalam batas kemampuan ekonomi Indonesia. Berdasarkan Keppres No. 39 Tahun 1991, adapun tugas dari Tim PKLN antara lain mengkoordinasikan pengelolaan PKLN yang berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan Pemerintah yang diajukan oleh BUMN dan/atau BUMS. menyampaikan rekomendasi atas permohonan PKLN kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim PKLN. PKLN sangat bermanfaat sebagai salah satu sumber pelengkap pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur di berbagai bidang seperti ketenagalistrikan, telekomunikasi, dan pertambangan minyak dan gas. Selain itu, PKLN bermanfaat sebagai sumber pembiayaan proyek strategis lainnya di dalam negeri, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kapasitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, Bank Indonesia perlu untuk selalu mewaspadai risiko perkembangannya terhadap perekonomian nasional. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa PKLN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi. Sebagai anggota Tim PKLN, menerima permohonan tanggapan persetujuan PKLN dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian atas permohonan PKLN yang disampaikan oleh BUMN/BUMS dimaksud. Selanjutnya, melakukan asesmen atas permohonan tersebut berdasarkan dokumendokumen yang telah disampaikan BUMN/ BUMS secara lengkap. Asesmen yang dilakukan mempertimbangkan beberapa aspek diantaranya adalah aspek moneter dan aspek stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan asesmen yang dilakukan, Dalam rangka melakukan mitigasi risiko yang dapat ditimbulkan oleh PKLN, telah mengeluarkan Peraturan No.16/21/PBI/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. Penerapan prinsip kehati-hatian tersebut dilakukan dengan memperhatikan kegiatan usaha yang berkelanjutan dan mendukung kegiatan investasi. Selain itu, Bank Indonesia juga melakukan pemantauan terhadap perkembangan PKLN secara rutin. 183

212 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Selama tahun 2016, telah merekomendasikan persetujuan PKLN BUMN/ BUMS yang terkait Proyek Pemerintah dengan nominal sebesar USD10,43Miliar, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar USD7,15 miliar. Peningkatan ini terutama disebabkan peningkatan permohonan rekomendasi PKLN yang diperuntukkan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Mayoritas sumber dana berasal dari Jepang sebesar 78% terhadap total permohonan PKLN yang telah direkomendasikan, diikuti oleh China sebesar 18,70%, Amerika Serikat sebesar 1,70%, Perancis sebesar 1,42% dan Malaysia sebesar 0,18%. Pengajuan Utang Luar Negeri selama tahun 2016 adalah sebagian besar digunakan untuk membiayai infrastruktur pembangkit tenaga listrik sejalan dengan program Pemerintah dalam proyek penyediaan listrik MW. Utang Luar Negeri untuk sektor ketenagalistrikan mencapai 49,85% terhadap total nominal permohonan PKLN, diikuti sektor pertambangan minyak dan gas sebesar 47,92%, sektor telekomunikasi sebesar 1,27% dan perusahaan pembiayaan infrastruktur 0,96%. Gambar Boks Gambaran Umum Mekanisme Persetujuan PKLN Surat Permohonan Persetujuan PKLN Surat Permohonan Tanggapan Persetujuan PKLN Asesmen Permohonan PKLN Surat Tanggapan Rekomendasi PKLN Surat Tanggapan Rekomendasi PKLN BUMN/BUMS Terkait Proyek Pemerintah Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian BUMN/BUMS yang terkait dengan proyek Pemerintah menyampaikan Surat Permohonan PKLN Kepada Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan Surat Permohonan Tanggapan Persetujuan PKLN kepada anggota TIM PKLN 1. Sebagai anggota TIm PKLN Bank Indonesia menerima Surat Permohonan Tanggapan OKLN dari Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2. Selanjutnya melakukan asesmen atas permohonan PKLN berdasarkan dokumen-dokumen yang disampaikan oleh pemohon secara lengkap Berdasarkan asesmen yang dilakukan, menyampaikan Surat Tanggaoan Rekomendasi PKLN kepada Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian 1. Dengan mempertimbangkan rekomendasi yang disampaikan oleh anggota TIM PKLN, Kementrian Bidang Perekonomian akan menentukan apakah permohonan PKLN disetujui atau tidak 2. Selanjutnya Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian akan menyampaikan Surat Tanggapan Permohonan PKLN kepada pemohon Sumber :, LBU,diolah 184

213 Perbankan dan IKNB 185

214 Dalam permainan tarik tambang, dua regu yang berbeda posisi menggunakan tali tambang yang sama untuk tarik menarik sehingga kekuatan tali tambang menjadi syarat penting agar permainan dapat berlangsung dengan baik. Jika permainan tarik tambang merupakan metafora transaksi keuangan yang terjadi dalam sistem keuangan maka tali tambang ibarat sistem pembayaran yang harus dijaga supaya berjalan aman, lancar, efisien dan andal sehingga mampu menopang stabilitas sistem keuangan.

215 05 Sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh dan industri selama periode semester II 2016 berjalan dengan baik sehingga mampu mendukung terjaganya stabilitas moneter dan sistem keuangan serta memperlancar kegiatan perekonomian. Hal tersebut merupakan dampak dari kebijakan untuk terus menjaga sistem pembayaran yang aman, lancar, efisien dan andal. Penyelenggaraan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh berlangsung aman dan lancar yang tercermin dari rendahnya risiko setelmen dan likuiditas, terpenuhinya tingkat ketersediaan (availability) sistem sesuai dengan tingkat layanan (service level) yang telah ditetapkan dan pelaksanaan implementasi infrastruktur pembayaran baik untuk layanan ritel maupun high value. juga secara konsisten menetapkan kebijakan dan melakukan pengawasan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh industri untuk memitigasi risiko sistem pembayaran. Infrastruktur Sistem Keuangan

216 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 SISTEM PEMBAYARAN SEBAGAI SALAH SATU INFRASTRUKTUR SISTEM KEUANAGN MEMEGANG PERANAN YANG PENTING DALAM MENDUKUNG AKTIFITAS PEREKONOMIAN DOMESTIC DAN SSK. Sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh dan industri berjalan dengan aman, lancar dan efisien. SP yang diselenggarakan oleh SP yang diselenggarakan oleh Industri Indikator Sistem Pembayaran Nilai menjadi Rp87.600,43 triliun Volume Transaksi menjadi 67,72 juta BI-RTGS Nilai menjadi Rp57.970,06 triliun Volume Transaksi menjadi 4,7 juta BI-SSSS SKN BI Nilai menjadi Rp27.775,99 triliun Volume Transaksi menjadi 0,14 juta Nilai menjadi Rp1.854,38 triliun Volume Transaksi menjadi 62,89 juta Nilai menjadi Rp3.032,07 triliun Volume Transaksi menjadi Rp3.194,37 juta APMK Uang Elektronik P X Nilai menjadi Rp3.89Triliun Nilai menjadi Rp3.028,18 triliun Volume Transaksi menjadi 2.819,33 juta Volume Transaksi menjadi juta transaksi Mitigasi Risiko Saldo Giro menjadi Rp310,98 triliun Turn Over Ratio menjadi 1,14 Queue Transaction rendah 13 transaksi Rp1.055,60Miliar. 0,0003% dari nilai transaksi RTGS 0,0018% dari volume transaksi RTGS. Seluruhnya dapat diselesaikan di akhir hari yang sama. Upaya Mitigasi Risiko Operasional: Dilakukan penyesuaian infrastruktur back up sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SNKBI di lokasi Disaster Recovery Center (DRC) sejalan dgn implementasi sistem BI-RTGS, BI- SSSS dan SKNBI Generasi II. Pengecekan secara periodik berupa pemantauan dan uji coba parsial sistem back up dan pemantauan kesiapan infrastruktur Back up Front Office (BFO) dan RPTI. Upaya Mitigasi Risiko Sistemik Melakukan pemantauan secara reguler dan intensif terhadap potensi risiko sistemik dalam penyelenggaraan sistem pembayaran sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Rp Rp Perkembangan Layanan Keuangan Digital Akses dan penggunaan layanan keuangan oleh masyarakat Indonesia menunjukkan peningkatan Rp Rp Indeks Komposit Keuangan Inklusif Indonesia menjadi 0,41 Penyelenggara LKD menjadi 5 Bank Agen LKD menjadi agen P X Rp Nilai transaksi menjadi Rp13,49 milliar Kebijakan keuangan inklusif selama tahun 2016 difokuskan pada perluasan akses keuangan melalui integrasi ekosistem nontunai dengan program/layanan Pemerintah, antara lain : Bantuan Sosial (Bansos) secara nontunai Desa Digital Pemanfaatan Dana Desa secara Nontunai Digitalisasi Layanan Keuangan di Pondok Pesantren Remitansi Elektronifikasi sistem pembayaran retail 188

217 Infrastruktur Sistem Keuangan 5.1. Kinerja Sistem Pembayaran Sistem Pembayaran sebagai salah satu infrastruktur sistem keuangan merupakan faktor penting untuk mendukung kelancaran kegiatan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan nasional. Penyelenggaraan sistem pembayaran selama semester II 2016, berjalan dengan aman, lancar, efisien dan andal sehingga dapat mendukung aktivitas perekonomian domestik dan dan sistem keuangan. Kinerja sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh (BI) secara aman tercermin dari relatif rendahnya risiko setelmen dan kondisi likuiditas yang memadai untuk penyelesaian transaksi pada periode laporan. Sementara itu, penyelenggaraan sistem pembayaran yang lancar terindikasi dari tingkat kehandalan dan ketersediaan sistem yang sesuai dengan tingkat layanan yang telah ditetapkan. Adapun perwujudan kinerja sistem pembayaran yang efisien dilaksanakan dengan implementasi infrastruktur pembayaran yang mempercepat terjadinya setelmen untuk layanan ritel (Sistem Kliring Nasional -SKNBI) maupun infrastruktur pembayaran dengan mekanisme liquidity saving untuk layanan bernilai besar (Sistem Real Time Gross Settlement-BI RTGS dan -Scripless Securities Settlement System-BI SSSS). Hal-hal tersebut tidak terlepas dari berbagai upaya untuk memitigasi risiko dan meningkatkan kinerja operasional sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh BI. Upaya tersebut dilakukan dengan menetapkan berbagai kebijakan dan ketentuan, pengembangan infrastruktur dan pengawasan sistem pembayaran. Di sisi lain, kinerja sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh industri juga berjalan baik, tercermin dari tidak terdapatnya gangguan signifikan dalam penyelenggaraannya serta peningkatan volume dan nilai transaksi dibandingkan periode laporan sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan untuk senantiasa mendorong penggunaan instrumen pembayaran nontunai dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional dan aspek perlindungan konsumen. Dalam rangka memitigasi risiko pada penyelenggaraan sistem pembayaran oleh industri, telah menetapkan kebijakan dan ketentuan sistem pembayaran, melakukan koordinasi dengan lembaga dan industri, serta secara aktif melakukan pengawasan sistem pembayaran. Sebagai otoritas di bidang sistem pembayaran, Bank Indonesia menetapkan berbagai kebijakan baik terkait dengan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh maupun industri. Kebijakan terkait penyelenggaraan sistem pembayaran oleh yang diterbitkan pada periode laporan adalah ketentuan mengenai Bilyet Giro serta perubahan atas Peraturan mengenai Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong. Selain itu terdapat ketentuan mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran untuk pengaturan dari sisi instrumen, penyelenggara, mekanisme maupun infrastruktur dengan tetap memperhatikan perluasan akses, kepentingan nasional dan perlindungan konsumen. Dalam rangka meningkatkan kepercayaan, memperkuat aspek perlindungan konsumen dan akseptasi masyarakat atas instrumen pembayaran nontunai, memandang perlu untuk melakukan penyesuaian ketentuan terhadap batas maksimum suku bunga Kartu Kredit serta kewajiban 189

218 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Penerbit Kartu Kredit untuk penyampaian pernyataan penutupan (closing statement) Kartu Kredit yang diatur dalam Surat Edaran (SEBI) No.18/33/DKSP tanggal 2 Desember 2016 perihal Perubahan Keempat atas Surat Edaran Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Secara garis besar, SEBI tersebut mengatur mengenai penerapan batas maksimum suku bunga kartu kredit sebesar 2,25% per bulan atau 26,95% per tahun serta kewajiban Penerbit Kartu Kredit untuk memberikan pernyataan penutupan (closing statement) Kartu Kredit kepada Pemegang Kartu Kredit. Selain itu adanya ketentuan Bank Indonesia terkait penggunaan Personal Identification Number (PIN) online 6 (enam) digit untuk kartu ATM dan/atau Kartu Debet diharapkan dapat meningkatkan keamanan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi sistem pembayaran khususnya transaksi dengan kartu ATM/debet sehingga dapat lebih meningkatkan transaksi nontunai di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut memberikan dampak positif terhadap penggunaan infrastruktur dan pelaksanaan penyelenggaraan sistem pembayaran selama periode pelaporan menjadi semakin aman, lancar dan efisien. Pada periode laporan, tercatat pada semester II 2016 sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh dan industri (Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, SKNBI, APMK, dan Uang Elektronik) mampu melayani transaksi dengan volume sebanyak 3.262,10 juta transaksi dan nilai transaksi sebesar Rp90.632,50triliun Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan Selama semester II 2016, sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh BI (baik transaksi yang bernilai besar maupun retail) mampu melayani 67,72 juta transaksi atau meningkat 5,91% dibandingkan dengan semester II 2015 yang tercatat sebesar 63,95 juta transaksi. Sementara itu, nominal transaksi yang dapat dilayani pada periode laporan adalah sebesar Rp87.600,43triliun atau mengalami peningkatan sebesar 14,98% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp76.187,85triliun. Dari sisi kemampuan setelmen sistem, Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dapat beroperasi secara optimal yang tercermin dari tingkat kehandalan dan kemampuan setelmen mencapai 99,99% pada periode laporan atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang sebesar 99,97% Sistem Pembayaran yang Diselenggarakan oleh Selain Kinerja sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh industri mencatat peningkatan yang positif baik dari sisi instrumen yang beredar maupun penggunaan instrumen pembayaran nontunai. Hal ini tercermin dari meningkatnya penggunaan APMK dan uang elektronik yang merupakan hasil dari kebijakan mendorong penggunaan instrumen pembayaran nontunai. Selain itu, juga melakukan koordinasi dengan penyelenggara sistem pembayaran untuk semakin memeratakan infrastruktur dan memperluas cakupan layanan instrumen sistem pembayaran. Selama semester II 2016, sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh industri melayani volume transaksi sebesar 3.194,37 juta transaksi atau meningkat 13,28% dengan nilai transaksi sebesar Rp3.032,07triliun atau meningkat 190

219 Infrastruktur Sistem Keuangan 12,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia juga berwenang antara lain untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran yang telah memperoleh izin dari sebagai penyelenggara APMK dan uang elektronik. Pengawasan dilakukan melalui pemeriksaan tidak langsung (offsite) berdasarkan laporan yang disampaikan oleh penyelenggara maupun pemeriksaan langsung (onsite). Secara umum, ruang lingkup pemeriksaan terhadap penyelenggara sistem pembayaran adalah kepatuhan penyelenggara terhadap ketentuan, penerapan prosedur, termasuk penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) dan pengendalian internal Perkembangan Transaksi Sistem Pembayaran Aktivitas transaksi keuangan melalui sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh selama semester II 2016 mengalami peningkatan baik dari sisi nominal maupun volume transaksi. Porsi terbesar nilai transaksi keuangan melalui sistem pembayaran didominasi oleh transaksi melalui Sistem BI-RTGS, sedangkan porsi terbesar volume transaksi keuangan melalui sistem pembayaran masih berasal dari penggunaan kartu ATM dan ATM/Debet. Perkembangan transaksi melalui Sistem BI-RTGS, BI- SSSS dan SKNBI serta transaksi menggunakan APMK dan Uang Elektronik dapat dilihat dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1. Perkembangan Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, SKNBI, Transaksi menggunakan APMK dan Uang Elektronik NILAI NOMINAL VOLUME Sem II 2015 Sem II 2016 Sem II 2015 Sem II 2016 Δ (%) (TRILIUN RP) (TRILIUN RP) (JT TRANSAKSI) (JT TRANSAKSI) Δ (%) BI-RTGS , ,06 3,97% 5,31 4,70-11,54% BI-SSSS , ,99 48,31% 0,09 0,14 52,44% SKNBI 1.700, ,38 9,07% 58,54 62,89 7,42% APMK 2.692, ,18 12,48% 2.507, ,33 12,43% ATM & ATM/DEBET 2.546, ,86 13,35% 2.364, ,50 12,66% KARTU KREDIT 145,38 141,32-2,79% 143,38 155,84 8,69% UANG ELEKTRONIK 3,01 3,89 29,31% 312,22 375,04 20,12% TOTAL , , , ,10 Sumber: 191

220 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Setelmen transaksi pembayaran melalui Sistem BI- RTGS meliputi transaksi operasi moneter, pemerintah, transaksi atas perintah nasabah, pasar modal, Pasar Uang Antar Bank (PUAB), penyelesaian jual beli valas antar bank dalam mata uang rupiah, penyelesaian transaksi valas antara bank dengan dalam mata uang rupiah dan lain-lain. Selama semester II 2016, aktivitas transaksi Sistem BI-RTGS mengalami peningkatan dari sisi nominal namun mengalami penurunan dari sisi volume jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2015 (yoy). Dari sisi nominal transaksi, terjadi peningkatan sebesar 3,97% yaitu dari Rp55.759,02triliun menjadi Rp57.970,06triliun. Adapun dari sisi volume, terjadi penurunan sebesar 11,54%, yaitu dari 5,31 juta transaksi menjadi 4,70 juta transaksi. Berdasarkan jenis transaksi, peningkatan nominal transaksi Sistem BI-RTGS disebabkan oleh meningkatnya transaksi pasar modal sebesar Rp1.157,01triliun atau meningkat 48,53% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp2.383,96triliun. Sedangkan penurunan volume transaksi pada Sistem BI-RTGS disebabkan oleh menurunnya volume transaksi antar nasabah sebanyak 522,41 ribu transaksi atau menurun 12,13% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 4.306,84 ribu transaksi. Transaksi SP yang dilayani melalui BI-SSSS cenderung meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya baik dari sisi nominal maupun volume. Dari sisi nominal, transaksi BI-SSSS juga mengalami peningkatan sebesar 48,31% yaitu dari Rp ,67triliun menjadi Rp triliun pada periode laporan. Adapun dari sisi volume, terjadi peningkatan transaksi sebesar 52,44% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu dari 91,69 ribu transaksi menjadi sebesar 139,77 ribu transaksi pada periode laporan. Di sisi layanan transaksi ritel, aktivitas transaksi melalui SKNBI selama semester II 2016 mengalami peningkatan baik dari sisi nominal maupun volume transaksi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Dari sisi nominal transaksi SKNBI tercatat meningkat sebesar 9,07% yaitu dari Rp.1.700,16triliun menjadi Rp.1.854,38triliun. Adapun dari sisi volume transaksi SKNBI tercatat meningkat sebesar 7,42% yaitu dari 58,54 juta transaksi pada periode semester II-2015 menjadi 62,89 juta transaksi. Peningkatan tersebut terutama dikontribusikan oleh meningkatnya volume transaksi transfer dana kliring kredit antar peserta kliring khususnya untuk kepentingan nasabah. Sementara itu, transaksi kliring debet cenderung mengalami penurunan baik dari sisi nominal maupun volume transaksi, yaitu masing-masing sebesar 5,94% dan 8,69% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Di sisi sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh industri, kinerja transaksi APMK yang terdiri dari ATM/ Debet dan kartu kredit mencatat pertumbuhan positif dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dari sisi nominal transaksi APMK mencatat pertumbuhan mencapai 12,48% (yoy) menjadi Rp3.028,18triliun dan dari sisi volume tumbuh 12,43% (yoy) menjadi 2.819,33 juta transaksi sepanjang semester II Seiring dengan menguatnya konsumsi masyarakat pada periode laporan, kinerja positif tersebut didorong oleh peningkatan nominal dan volume transaksi ATM/Debet dengan pertumbuhan masing-masing mencapai 13,35% (yoy) 192

221 Infrastruktur Sistem Keuangan dan 12,66% (yoy). Namun demikian, kinerja positif APMK ini hanya didorong oleh tumbuhnya transaksi ATM/Debet, sementara transaksi Kartu Kredit (KK) mengalami sedikit koreksi sebesar 2,79% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, meskipun secara volume masih tumbuh 8,69% (yoy). Di sisi lain, transaksi uang elektronik juga tumbuh positif, secara nominal transaksi sepanjang semester II 2016 mencapai Rp3,89Triliun atau tumbuh 29,31% (yoy) dengan volume mencapai 375,04 juta transaksi atau tumbuh 20,12% (yoy). Peningkatan transaksi uang elektronik pada periode laporan didorong oleh adanya penambahan Gardu Tol Otomatis (GTO) di berbagai ruas jalan serta adanya berbagai program promosi yang diberikan oleh penerbit uang elektronik. berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait, akan terus melakukan langkahlangkah perluasan akseptansi nontunai di ruas jalan tol maupun moda transportasi Jabodetabek. Peningkatan transaksi APMK dan uang elektronik sejalan dengan terus dilakukannya edukasi terhadap masyarakat atas penggunaan instrumen pembayaran nontunai. Selain itu, juga senantiasa melakukan perluasan penggunaan instrumen pembayaran nontunai dengan berbagai upaya dan kebijakan. Pada periode laporan, melakukan kegiatan edukasi publik dengan nama Smart Money Wave di 4 (empat) kota di Indonesia, yaitu Banjarmasin, Makasar, Medan, dan Semarang yang bertujuan untuk mensosialisasikan Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dan membiasakan masyarakat melakukan transaksi secara nontunai. Sasaran utama dari kegiatan adalah mahasiswa/ mahasiswi dan generasi muda milenial (Gen-Y) yang memiliki komunikasi terbuka dan daya adaptif yang tinggi terhadap perkembangan zaman serta perubahan teknologi dan informasi. Kegiatan Smart Money Wave antara lain workshop dan mini pameran, kompetisi video dan blog, publikasi antara lain di media elektronik dan cetak, serta pesta netizen, yaitu pesta penghargaan dan hiburan. Selanjutnya Bank Indonesia juga terus mendorong penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk terus memperhatikan aspek perlindungan konsumen dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat atas instrumen pembayaran nontunai. 193

222 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Peningkatan TOR didorong oleh peningkatan TOR 5.3. Indikator Sistem Pembayaran Saldo Giro Saldo giro perbankan pada sistem BI-RTGS pada akhir semester II 2016 mengalami peningkatan sebesar 16,6%, yaitu dari Rp266,79triliun pada akhir semester I 2015 menjadi Rp310,98triliun pada akhir semester II Peningkatan saldo giro tersebut ditengarai sebagai antisipasi peningkatan transaksi perbankan di sistem BI-RTGS. pada kelompok BUKU 4 dan BUKU 3, yang juga merupakan pelaku transaksi terbesar. Kelompok BUKU 4 mengalami peningkatan sebesar 12% (TOR menjadi 0,84) sementara kelompok BUKU 3 mengalami peningkatan sebesar 14% (TOR menjadi 1,38). TOR tertinggi adalah pada kelompok BUKU 2 dengan TOR sebesar 1,38 yang mengalami penurunan 12% dari periode sebelumnya. Sedangkan TOR BUKU 1 menjadi 1,41 yaitu mengalami penurunan sebesar 4% dari sebelumnya Turn Over Ratio (TOR) 1 Sepanjang semester II 2016 nilai TOR tercatat sebesar 1,14 atau meningkat 7% apabila dibandingkan dengan semester I 2016 yang tercatat sebesar 1,07 (Grafik 5.1.). Peningkatan TOR terutama berasal dari peningkatan transaksi perbankan melalui sistem BI- RTGS, sejalan dengan kebijakan untuk menurunkan minimum transaksi untuk kepentingan nasabah dari Rp500 juta menjadi Rp100 juta sejak awal semester II ,00 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 Sem I Grafik 5.1. Perkembangan Turn Over Ratio Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I 2016 Sem II BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 Industri Sumber: Grafik 5.2. Perkembangan Turn Over Ratio per Kelompok BUKU 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II Sem I Sem II BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 Industri Sumber: Queue Transaction 2 Selama semester II 2016 terdapat 13 transaksi yang masuk dalam antrian (queue transaction) dengan total nilai transaksi sebesar Rp1.055,60miliar. Queue transaction tersebut secara volume setara dengan 0,0003% dari seluruh transaksi di Sistem BI-RTGS atau secara nominal setara dengan 0,0018% dari seluruh transaksi di Sistem BI-RTGS. Seluruh queue transaction tersebut dapat diselesaikan pada hari yang sama. Rendahnya queue transaction menunjukkan terjaganya risiko likuiditas dalam Sistem BI-RTGS. Grafik queue pada semester II tahun 2016 sebagaimana Grafik TOR merupakan perbandingan antara outgoing transaction dengan saldo giro peserta Sistem BI-RTGS yang tersedia pada awal hari. TOR digunakan untuk mengetahui kecenderungan kemampuan peserta Sistem BI-RTGS untuk memenuhi kewajiban dalam melakukan transaksi pembayaran. Rasio TOR >1,00 menunjukkan bahwa dalam pemenuhan kewajiban, peserta tidak dapat hanya mengandalkan saldo giro awal hari melainkan juga membutuhkan incoming dari peserta lain. 2 Queue Transaction merupakan transaksi yang pernah mengalami antrian di sistem BI-RTGS karena peserta BI-RTGS tidak memiliki kecukupan dana untuk melakukan setelmen pada saat transaksi dikirimkan namun transaksinya tetap dapat diselesaikan pada hari yang sama. 194

223 Infrastruktur Sistem Keuangan Grafik 5.3. Queue Transaction 4,74% cara repurchase agreement (repo) surat berharga. Penggunaan FLI diajukan oleh peserta dengan 4,74% 1,49% persetujuan dan akan digunakan oleh bank secara otomatis ketika saldo rekening giro bank Bank Asing peserta tidak mencukupi untuk memproses outgoing 25,81% 63,23% Bank Campuran BPD transaction. Selanjutnya, pelunasan FLI dilakukan Non Bank Syariah secara otomatis setiap terdapat incoming transaction ke rekening giro peserta. Sumber: Tidak terdapatnya penggunaan FLI dan/atau FLIS oleh peserta Sistem Pembayaran BI Nontunai 5.4. Risiko Sistem Pembayaran dan Upaya Mitigasi Risiko mengindikasikan bahwa selama semester II 2016 tidak terdapat peserta yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek akibat ketidaksesuaian (mismatch) antara incoming dan outgoing transaction Risiko Setelmen 3 Risiko setelmen pada semester II 2016 relatif rendah, tercermin dari kecilnya nilai dan volume transaksi pembayaran melalui Sistem BI-RTGS yang tidak dapat diselesaikan (unsettled transaction) sampai berakhirnya waktu (window time) operasional Sistem BI-RTGS. Selama semester II 2016, total nominal unsettled transaction Sistem BI-RTGS tercatat sebesar Rp8.519,68miliar atau hanya sebesar 0,00008% dari total nominal transaksi. Sementara dari sisi volume, tercatat sebanyak 64 transaksi yang tidak tersetel atau sebesar 0,000008% dari total volume sebanyak transaksi Risiko Likuiditas 4 Risiko likuiditas pada sistem pembayaran di semester II-2016 relatif rendah. Hal ini tercermin dari tidak terdapatnya penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) maupun FLI Syariah (FLIS) yang merupakan fasilitas pendanaan dari kepada bank dengan Risiko Operasional 5 Dalam rangka mitigasi risiko operasional, Bank Indonesia memiliki prosedur upaya Business Continuity Plan (BCP), termasuk ketersediaan infrastruktur sistem cadangan, infrastruktur dapat diaktifkan setiap saat apabila terjadi gangguan pada sistem utama, kinerja yang sama dengan sistem utama (production system). Secara periodik melakukan pengecekan terhadap kesiapan infrastruktur Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI. Selama semester II 2016, telah dilakukan penyesuaian infrastruktur sistem cadangan Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI di lokasi Disaster Recovery Center (DRC). Sejalan dengan implementasi Sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI Generasi II, pengujian secara periodik berupa pengecekan dan uji coba parsial sistem cadangan pada periode laporan telah dilakukan sebanyak 2 (dua) kali masing-masing pada tanggal 16 Agustus dan 3 November Pengecekan untuk kesiapan infrastruktur Back up 3 Secara umum, risiko setelmen dari sisi peserta merupakan risiko yang muncul akibat peserta sistem BI-RTGS terlambat atau tidak dapat menyelesaikan transaksi pembayaran karena saling menunggu incoming transaction dari peserta lain. Dari sisi penyelenggara, risiko setelmen tidak dimungkinkan terjadi karena penyelenggaraan sistem BI-RTGS menerapkan prinsip no money no game dimana setelmen transaksi hanya dilakukan apabila terdapat kecukupan dana. 4 Risiko likuiditas dalam sistem pembayaran terjadi manakala salah satu peserta dalam penyelenggaraan sistem BI-RTGS tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, meskipun mungkin mampu memenuhi kewajiban tersebut pada waktu berikutnya. 5 Risiko operasional merupakan risiko yang timbul karena faktor-faktor operasional, seperti permasalahan sistem atau jaringan yang digunakan. 195

224 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Front Office (BFO) telah dilakukan sebanyak 2 (dua) kali masing-masing pada tanggal 18 Agustus dan 11 November 2016, sedangkan pelaksanaan kegiatan Rencana Pemulihan Teknologi Informasi (RPTI) dilakukan sebanyak 1 (satu) kali yaitu pada tanggal 26 November Risiko Sistemik 6 Risiko sistemik merupakan suatu risiko yang menyebabkan kegagalan dari satu ataupun beberapa bank sebagai hasil dari kejadian sistemik. Dalam sistem keuangan, risiko sistemik dapat diukur dari keterhubungan antar peserta (interconnectedness) dalam Sistem BI-RTGS. Keterhubungan antar peserta dilihat dari jumlah counterparty yang dimiliki oleh masing-masing peserta Sistem BI-RTGS. Semakin besar jumlah counterparty yang dimiliki oleh peserta maka semakin besar risiko yang melekat pada peserta Sistem BI-RTGS tersebut. Adapun untuk semester II 2016, 10 bank yang tercatat menjadi core dalam sistem BI-RTGS sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.2. Pada Semester II 2016, terjadi penurunan risiko sistemik, yang tercermin dari penurunan total counterparty dari 10 bank tersebut di atas yang sebesar 2645 dibandingkan periode Semester I 2016 yang sebesar Namun demikian, apabila dibandingkan dengan Semester II 2015, terjadi peningkatan risiko sistemik, yang tercermin dari peningkatan total counterparty dari 2478 pada Semester II 2015 menjadi 2645 pada semester II Apabila bank yang dinilai sistemik mengalami kegagalan setelmen maka dapat berdampak pada kelancaran setelmen bank lain yang memiliki keterhubungan dengan bank yang dinilai sistemik tersebut dan berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Memperhatikan hal tersebut, Bank Indonesia melakukan pemantauan secara regular dan intensif terhadap potensi risiko sistemik dalam penyelenggaraan sistem pembayaran sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Tabel 5.2. Bank yang menjadi Core dalam Sistem BI-RTGS Outgoing Incoming No Bank #Counter-part Nominal Share #Counter-part Nominal Share 1 Bank Persero A ,62% ,18% 2 BUSN L ,97% ,89% 3 Bank Persero B ,66% ,11% 4 Bank Persero C ,19% ,54% 5 Bank Asing W ,58% ,72% 6 Bank Asing X ,37% ,43% 7 Bank Asing Y ,21% ,23% 8 BUSN M ,81% ,08% 9 Bank Asing Z ,59% ,88% 10 BUSN N ,55% ,53% Sumber: 6 Risiko sistemik merupakan suatu risiko yang menyebabkan kegagalan dari satu ataupun beberapa institusi keuangan sebagai hasil dari kejadian sistemik (systemic events). Hal ini dapat berupa guncangan (shock) yang mempengaruhi salah satu institusi ataupun shock yang mempengaruhi institusi yang kemudian menyebar ataupun suatu shock yang secara simultan mengenai sejumlah besar institusi lain (De Bandt dan Hartmann, 2000 dan Zebua, 2010 dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2013). 196

225 Infrastruktur Sistem Keuangan 5.5. Perkembangan Data Keuangan Inklusif dan Layanan Keuangan Digital Indeks Komposit Keuangan Inklusif Indonesia (IKKI) Salah satu indikator yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai tingkat inklusivitas suatu negara adalah indeks keuangan inklusif. Untuk menghitung indeks keuangan inklusif dimaksud, beberapa metode telah digunakan oleh beberapa negara, organisasi internasional seperti Alliance for Financial Inclusion (AFI), IMF, dan ekonom seperti Sarma (2008, 2010, 2012), Crisil, dan Chi-Wins. Bank Indonesia menggunakan metode pengukuran Sarma (2012) sebagai salah satu metode perhitungan Indeks Komposit Keuangan Inklusif Indonesia (IKKI). Dalam menghitung IKKI, menggunakan tiga indikator pada dua dimensi KI, yaitu (i) dimensi akses yang menggunakan indikator ketersediaan layanan bank (Banking Services-BS) yaitu kantor bank, ATM, dan agen Layanan Keuangan Digital (LKD), dan (ii) dimensi penggunaan dengan indikator rekening bank (Banking Penetration-BP), serta (iii) nilai simpanan dan kredit (Usage of Banking System-BU). Metode Sarma (2012) memiliki nilai indeks keuangan inklusif dengan rentang antara 0 dan 1, dimana semakin tinggi nilai indeks keuangan inklusif (mendekati satu), maka tingkat inklusi keuangan di negara tersebut semakin baik (complete financial inclusion). Sebaliknya, nilai indeks mendekati nol menggambarkan kondisi inklusi keuangan yang buruk (complete financial exclusion). Faktor yang mempengaruhi tingkat keuangan inklusif Indonesia dengan negara lain tentu berbeda, salah satu yang membedakan adalah kondisi geografis, kondisi awareness masyarakat dan ketersediaan infrastruktur di wilayahnya. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Sarma (2012) diperoleh IKKI pada Desember 2016 di level medium yaitu 0,41 atau 41% (Grafik 5.4), indeks tersebut mengalami peningkatan sebesar 7,89% dibandingkan Juni Hal ini menunjukkan bahwa akses masyarakat Indonesia untuk menggunakan layanan keuangan secara historical cenderung meningkat. Grafik 5.4. Indeks Komposit Keuangan Inklusif Indonesia 0,44 0,42 0,40 0,38 0,36 Jun-16 : 0,38 0,34 0,32 0,30 0,28 Jun-15 : 0,31 Keterangan Threshold : - Rendah (0 0,3) - Medium (0,3 0,6) - Tinggi ( ,26 0,24 0,22 0,20 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Sumber : Data Perkembangan Keuangan Inklusif dan Elektronifikasi Semester II

226 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Perkembangan Layanan Keuangan Digital (LKD) Layanan Keuangan Digital di Indonesia mengalami pertumbuhan yang meningkat, tercermin dari bertambahnya jumlah bank penyelenggara LKD, Agen LKD, jumlah nasabah LKD serta transaksi uang elektronik yang dilakukan di Agen LKD. i. Penyelenggara LKD. telah memberikan izin penyelenggaraan LKD kepada 5 (lima bank) penyelenggara yaitu BRI, Bank Mandiri, BNI, CIMB NIAGA dan BCA. Perkembangan agen LKD di Indonesia berdasarkan cakupan wilayah, BRI memiliki ketersebaran agen LKD paling luas di 446 Kabupaten/Kota, diikuti oleh Bank Mandiri dengan ketersebaran agen LKD di 375 Kabupaten/ Kota. Sementara itu Agen LKD dari CIMB Niaga hanya tersebar pada 3 Kabupaten/Kota, sedangkan BCA terkonsentrasi di Kota Jakarta. ii. Agen LKD. Selama semester II 2016 jumlah agen mengalami kenaikan yang cukup pesat dibandingkan jumlah agen LKD pada bulan Juni 2016 yaitu dari agen menjadi agen LKD pada bulan Desember Jumlah agen pada periode Desember 2016 tersebut terdiri dari agen merupakan Agen Individu sedangkan agen adalah Agen Badan Hukum. Agen individu yang digunakan antara lain berupa toko kelontong, toko pulsa, apotik, restoran, dan payment point online bank (PPOB). Sementara agen badan hukum yang digunakan antara lain berupa retailer, perusahaan, pegadaian, dan koperasi. Gambar 5.1. Penyelenggara Agen LKD di Indonesia 3 Agen LKD di 1 Kab/ Kota 14 Agen LKD di 3 Kab/ Kota Agen LKD di 467 Kab/ Kota Agen LKD di 438 Kab/ Kota Sumber :, Desember 2016, diolah 198

227 Infrastruktur Sistem Keuangan Grafik 5.5. Perkembangan Agen LKD Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Sumber: Tabel 5.3. Perkembangan Agen LKD Individu dan Agen LKD Badan Hukum Grafik 5.6 Persentase Jenis Transaksi Uang Elektronik pada Agen LKD Semester II Periode 2016 Agen Individu Agen Badan Hukum Jan 63,810 9,724 Feb 67,970 9,941 Mar 73,790 10,192 Apr 78,641 10,460 Mei 80,745 9,946 Jun 84,374 17,315 Jul 86,534 17,139 Agt 90,477 15,927 Sep 94,065 15,416 Okt 100,050 15,006 Nov 107,733 15,191 Des 118,700 15,111 11% 27% 1% 3% 0% 58% Top Up Initial Transfer PtoA Transfer PtoP Payment Cash Out Sumber :, Desember 2016, diolah Sumber :, Desember 2016, diolah iii. Transaksi. Pada semester II 2016 jenis transaksi yang paling banyak dilakukan oleh nasabah di agen LKD adalah transaksi setor tunai (top up) sebesar 27,00%. Hal ini menunjukkan adanya potensi untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan awareness masyarakat dalam melakukan jenis transaksi lainnya melalu agen LKD. Jumlah nilai transaksi uang elektronik di agen LKD tercatat sebesar Rp13,49miliar, dengan jumlah nilai transaksi terbesar berada di Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Jakarta Timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Jember. Selain itu, jumlah uang elektronik yang dibuka oleh masyarakat di agen LKD juga semakin meningkat selama tahun 2016 tercermin Des Nov Okt Sep Agt Jul Jun Mei Apr Mar Feb Jan dari jumlah pemegang uang elektronik pada bulan Desember 2016 mencapai yaitu mengalami peningkatan sebesar 8% dari Desember Grafik 5.7. Perkembangan Jumlah Pemegang Uang Elektronik Pada Agen LKD (Juta) 1,10 1,12 1,14 1,16 1,18 1,20 1,22 1,24 1,26 Sumber :, Desember 2016, diolah 199

228 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 v. Informasi Tambahan. Keuangan inklusif menjadi salah satu fokus kebijakan nasional Pemerintah dengan telah diresmikannya Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) oleh Presiden pada tanggal 18 November SNKI merupakan sebuah cara komprehensif bagi pemerintah untuk meningkatkan IKKI yang dibangun atas dasar 5 pilar yaitu edukasi keuangan, hak properti masyarakat, fasilitas intermediasi dan saluran distribusi, layanan keuangan pada sektor Pemerintah, serta perlindungan konsumen. Pemerintah menargetkan tahun 2019 indeks keuangan inklusif Indonesia akan mencapai angka 75 persen, artinya meningkat signifikan dibandingkan dengan indeks keuangan inklusif tahun 2014 yang masih berada pada angka 36 persen. Kebijakan keuangan inklusif selama tahun 2016 difokuskan pada perluasan akses keuangan melalui integrasi ekosistem nontunai dengan program/layanan Pemerintah, antara lain : a. Bantuan Sosial (Bansos) secara nontunai Penyaluran bansos dilakukan dalam bentuk nontunai yang bertujuan mengurangi perilaku konsumtif, menumbuhkan kebiasaan menabung serta meningkatkan pemahaman penerima bantuan mengenai pentingnya merencanakan keuangan dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan. Selama tahun 2016 bersama kementrian sosial telah menginisiasi penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH) melalui Layanan Keuangan Digital (LKD) kepada 1,2 juta penerima. b. Desa Digital Pemanfaatan Dana Desa secara Nontunai Pemanfaatan dana desa secara nontunai dilakukan melalui sistem yang memfasilitasi pemerintah desa untuk melakukan pembayaran penggunaan dana desa yang sebelumnya secara tunai menjadi secara nontunai. Pemanfaatan dana desa secara nontunai juga didukung dengan hadirnya Agen LKD. menginisiasi pilot project desa digital yang memfokuskan pada pemanfaatan dana desa secara nontunai di desa Sindang Jawa Cirebon. c. Digitalisasi Layanan Keuangan di Pondok Pesantren Perluasan akses keuangan juga dilakukan melalui perluasan jangkauan Layanan Keuangan Digital (LKD) bagi komunitas tertentu, salah satunya pada pondok pesantren. Adapun beberapa transaksi yang telah difasilitasi antara lain adalah pembayaran uang sekolah siswa, pembayaran gaji karyawan, dan pembayaran zakat. d. Remitansi Perluasan LKD juga dilakukan kepada TKI dan keluarga dengan pengembangan remitansi secara nontunai berbasis digital. Pengiriman uang oleh TKI yang sebelumnya dilakukan dengan cash to cash mulai diarahkan untuk cash to account sehingga akan mendorong keluarga penerima untuk memiliki akses keuangan. e. Elektronifikasi sistem pembayaran retail Pengembangan sistem elektronifikasi pada sistem pembayaran retail terus dilaksanakan secara berkesinambungan seperti halnya pada sektor transportasi yakni implementasi 200

229 Infrastruktur Sistem Keuangan e-ticketing dan e-parking. Selain itu juga dikembangkan kartu sebagai instrumen pembayaran untuk komunitas nelayan yang fungsi utamanya untuk membeli alat tangkap ikan di koperasi nelayan. Di masa datang kartu ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan bantuan kepada komunitas nelayan, dengan dukungan dari perbankan di Indonesia sehingga selain dapat digunakan untuk penyaluran bantuan dapat juga digunakan sebagai sarana untuk menabung. 201

230 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Boks 5.1 National Standard Indonesia Chip Card Specification (NSICCS) National Standar Indonesia Chip Card Specification (NSICCS) merupakan pengaturan standarisasi nasional teknologi chip yang ditetapkan oleh untuk kartu ATM/Debet yang diterbitkan oleh penerbit Indonesia dan digunakan di wilayah Indonesia. Penggunaan NSICCS adalah dalam rangka meningkatkan sistem keamanan dalam penyelenggaraan kartu ATM/Debet serta mendukung terwujudnya sistem yang saling terkoneksi pada penggunaan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). Penggunaan teknologi chip pada kartu ATM/ Debet memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan magnetic stripe. Hal ini karena penyimpanan data pada teknologi chip melalui mekanisme enkripsi dan proses autentikasi menggunakan algoritma tertentu sehingga sulit untuk digandakan. Pemanfaatan teknologi chip merupakan salah satu mitigasi untuk mencegah fraud yang dilakukan melalui metode pencurian data (skimming) sehingga dapat meningkatkan aspek keamanan, perlindungan konsumen dan kepercayaan masyarakat dalam melakukan transaksi sistem pembayaran khususnya transaksi dengan kartu ATM/debet. Dalam mendukung pelaksanaan implementasi NSICCS, telah menerbitkan beberapa kebijakan dan peraturan terkait NSICCS yaitu SE BI 17/52/DKSP tanggal 30 Desember 2015 mengenai Implementasi Standar Nasional Teknologi Chip Kartu ATM/Debet dan SE BI 18/15/ DKSP tanggal 20 Juni 2016 mengenai Pengelolaan Standar Nasional Teknologi Chip untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet. SEBI dimaksud merupakan tindak lanjut dari penerbitan SEBI No. 17/52/DKSP tanggal 30 Desember 2015 perihal Implementasi Standar Nasional Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number Online 6 (Enam) Digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai kepemilikan dan penetapan standar nasional serta pengaturan mengenai tugas, tanggung jawab, dan kewajiban pengelola standar nasional. Implementasi NSICCS ini melibatkan para penerbit kartu, Acquirer, Prinsipal dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Dalam rangka meningkatkan pemahaman para penerbit kartu, ASPI bekerjasama dengan telah menyelenggarakan workshop Persiapan Implementasi Standar Nasional Teknologi Chip dan penggunaan PIN 6 Digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet pada tanggal 31 Agustus 2016 sampai 1 September 2016 dengan dihadiri oleh 67 Bank (Bank Umum, BPD, dan BPR). Namun pelaksanaan NSICCS untuk kartu ATM/Debet hanya digunakan untuk rekening yang memiliki saldo diatas Rp5 juta, sedangkan rekening dengan saldo maksimal Rp5 juta masih dapat menggunakan kartu magnetic stripe dengan PIN online 6 digit. 202

231 Infrastruktur Sistem Keuangan 1 Jan 2022 : 100% Gambar Boks Roadmap Implementasi NSICCS 1 Jul 2017 : 0% 1 Jan 2019 : 30% 1 Jan 2010 : 50% 1 Jan 2021 : 80% *dimulainya implementasi NSICCS dengan persiapan infrastruktur dari sisi Acquier meliputi host and back end system serta implementasi PIN 6 digit Roadmap penerapan NSICCS sesuai SE No. 17/52/ DKSP tanggal 30 Desember 2015 adalah sebagai berikut : Dalam pelaksanaan NSICCS diperlukan interoperabilitas antar prinsipal ATM/Debet dalam mendukung beroperasinya penggunaan NSICCS. Industri perlu melakukan antara lain penyiapan infrastruktur dari sisi acquirer meliputi host and back end system, implementasi PIN 6 digit serta migrasi kartu ATM/Debet dari kartu magnetic stripe menjadi kartu dengan teknologi chip. Kartu baru yang diterbitkan dengan NSICCS dapat ditransaksikan untuk pembelanjaan pada merchant melalui proses switching dan setelmen transaksi pembayarannya melalui jaringan prinsipal debet domestik. Seiring dengan industri melakukan persiapan, terus memonitor kesiapan industri dengan pendekatan 1) Survei terhadap Perbankan, 2) Laporan dari Prinsipal, dan 3) Laporan Pengawasan secara onsite maupun offsite. Hal ini dilakukan untuk memastikan implementasi tersebut dapat berjalan sesuai timeline yang telah ditentukan. Berdasarkan monitoring yang telah dilakukan oleh selama tahun 2016 diketahui bahwa sebesar 24,64% mesin ATM dan 19,64% mesin EDC telah di roll-out untuk dapat memproses kartu ATM/Debet chip NSICCS sedangkan jumlah kartu ATM/Debet yang telah mengimplementasikan chip NSICCS sebesar 0,6%. Penerapan NSICCS ini sejalan dengan rencana pengembangan National Payment Gateway (NPG) yang mencakup proses transaksi menggunakan NSICCS untuk kartu debet hanya pada prinsipal debet nasional dimana keberadaan dan interkoneksinya merupakan bagian dari pengembangan NPG. 203

232 Strategi yang jitu dalam penempatan bidak berdasarkan langkah yang telah dilakukan, posisi lawan dan perkiraan respons lawan main merupakan kunci kemenangan dalam permainan Damdas. Serupa dengan hal tersebut, senantiasa menjaga stabilitas sistem keuangan dengan berbagai kebijakan Makroprudensial sebagai respon atas perkembangan sistem keuangan dan upaya memitigasi risiko sistemik yang ada dalam sistem keuangan.

233 06 Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, pada 2016 mengeluarkan sejumlah kebijakan Makroprudensial yang bersifat akomodatif dan countercyclical sebagai respon atas perkembangan sistem keuangan dan upaya memitigasi risiko-risiko utama ditengah konsolidasi perekonomian domestik. Tetap terjaganya risiko di sistem keuangan memberikan ruang kebijakan Makroprudensial yang akomodatif guna semakin mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan yang berperan kritikal dalam memperkuat laju perekonomian domestik. Hal tersebut dibarengi dengan penguatan aspek mitigasi risiko yang tetap menjadi prioritas untuk melindungi sistem keuangan dari perilaku pengambilan risiko yang berlebihan. Kebijakan Makroprudensial yang dikeluarkan meliputi ketentuan Loan (Financing) to Value Ratio, ketentuan Loan to Funding Ratio yang dikaitkan dengan GWM, serta penetapan besaran Countercyclical Buffer. Selain respon kebijakan, upaya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan juga dilakukan melalui penguatan sinergi koordinasi antara dan otoritas terkait sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) yang diterbitkan pada 15 April UU PPKSK juga menjadi momentum penguatan kerangka Protokol Manajemen Krisis ditiga kewenangan dibidang moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial. Respons Kebijakan Bank Indonesia Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan

234 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL DITUJUKAN UNTUK MEMITIGASI RISIKO SISTEMIK GUNA MENJAGA SSK DAN MENDORONG INTERMEDIASI YANG SEIMBANG Ketentuan Giro Wajib Minimum Terkait Loan to Funding Ratio (GWM LFR) Penyempurnaan ketentuan Loan to Funding Ratio yang dikaitkan dengan GWM (kebijakan GWM LFR). Penyesuaian dilakukan dengan menaikkan batas bawah LFR dari 78% menjadi 80% untuk bank umum konvensional, dengan batas atas tetap dipertahankan sebesar 92%. Rp Ketentuan LTV/FTV Evaluasi Kebijakan Countercyclical Buffer Penyempurnaan Ketentuan Mengenai Rasio Loan To Value Atau Rasio Financing To Value Untuk Kredit Atau Pembiayaan Properti Dan Uang Muka Untuk Kredit Atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor Evaluasi kebijakan Countercyclical Buffer (CCB), kembali menetapkan besaran CCB sebesar 0% atau tidak mengalami perubahan dari hasil evaluasi bulan Mei Pengawasan Makroprudensial Pengawasan makroprudensial dilakukan melalui surveilans dan pemeriksaan makroprudensial guna mengidentifikasi, menilai, dan memitigasi potensi risiko sistemik, serta tidak ditujukan untuk menilai tingkat kesehatan bank secara individual. Undang-Undang PPKSK dan Sinergi Koordinasi dengan Otoritas Lainnya RESPON KEBIJAKAN UU PPKSK merupakan landasan empat otoritas anggota KSSK untuk menjaga SSK. Selain itu dalam rangka koordinasi dalam kerangka KSSK, BI melakukan koordinasi bilateral dengan OJK dan LPS 206

235 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan Sepanjang 2016 telah mengeluarkan sejumlah kebijakan Makroprudensial yang bersifat akomodatif dan countercyclical yang ditunjang dengan penguatan sinergi koordinasi dengan otoritas terkait sebagai upaya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Mencermati perkembangan dan tetap terkendalinya risiko sistem keuangan, memberikan ruang penerapan kebijakan Makroprudensial yang akomodatif guna semakin mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan yang berperan kritikal dalam pemulihan pertumbuhan perekonomian domestik. Upaya tersebut ditempuh dengan tetap mengutamakan pada pentingnya mitigasi risiko-risiko utama yang dapat berpotensi sistemik guna dapat mencegah perilaku pengambilan risiko yang berlebihan yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan. Penguatan kerangka koordinasi dengan otoritas terkait mendukung pencapaian tujuan dari respon kebijakan Makroprudensial guna mengendalikan potensi risiko sistemik dan menahan dampak dari periode kontraksi siklus keuangan. Kebijakan Makroprudensial yang dikeluarkan meliputi ketentuan Loan (Financing) to Value Ratio, ketentuan Loan to Funding Ratio yang dikaitkan dengan GWM, serta penetapan besaran Countercyclical Buffer (CCB). Penyempurnaan terhadap ketentuan Loan (Financing) to Value Ratio didasari evaluasi terhadap ketentuan yang diterbitkan tahun 2015 lalu yang menunjukkan perlunya Loan (Financing) to Value Ratio yang lebih akomodatif terhadap kebutuhan pertumbuhan kredit properti dengan tetap mengedepankan aspek mitigasi risiko sistem keuangan. Kesimpulan yang sama juga mendasari penyempurnaan terhadap ketentuan Loan to Funding Ratio yang dikaitkan dengan GWM yaitu perlunya kebijakan yang lebih dapat mengatasi periode kontraksi siklus keuangan agar semakin mendorong peningkatan penyaluran kredit oleh bank-bank yang belum mengoptimalkan fungsi intermediasinya namun memiliki kecukupan alat likuid dan ketahanan modal yang memadai. Sejalan dengan masih berlangsungnya periode kontraksi siklus keuangan, evaluasi kebijakan CCB dengan data triwulan III 2016, baik indikator utama credit-to-gdp gap maupun indikator pelengkap, menunjukkan belum terdapatnya indikasi potensi risiko sistemik yang bersumber dari pertumbuhan kredit yang berlebihan, karenanya kembali menetapkan besaran CCB sebesar 0%. Di sisi nasional, lahirnya Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) pada 15 April 2016 menjadi tonggak penguatan sinergi koordinasi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Sejalan dengan amanat UU PPKSK, di 2016 Bank Indonesia memperkuat kerangka koordinasi dengan otoritas terkait melalui penyempurnaan kerjasama bilateral antara BI dan OJK serta BI dan LPS. UU PPKSK juga menjadi momentum bagi untuk meningkatkan kapasitasnya dalam pencegahan dan penanganan krisis melalui penyempurnaan kerangka Protokol Manajemen Krisis dibidang Moneter-Nilai Tukar, Makroprudensial dan Sistem Pembayaran yang merepresentasikan tiga tugas utama. 207

236 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Penyempurnaan Ketentuan Mengenai Rasio Loan To Value Atau Rasio Financing To Value Untuk Kredit Atau Pembiayaan Properti Dan Uang Muka Untuk Kredit Atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor Evaluasi terhadap implementasi ketentuan Loan (Financing) to Value Ratio (selanjutnya disebut ketentuan LTV/FTV) untuk kredit atau pembiayaan properti dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor yang ditetapkan tahun 2015 menunjukkan bahwa implementasi ketentuan tersebut telah mampu menahan perlambatan pertumbuhan kredit/pembiayaan pemilikan rumah yang diberikan bank. Hasil evaluasi di tahun 2016 menunjukkan perlunya penyempurnaan ketentuan lebih lanjut yang ditempuh dengan menurunkan rasio LTV/FTV agar lebih dapat mendukung konsolidasi perekonomian domestik ditengah periode kontraksi siklus keuangan dengan tetap memastikan mitigasi risiko sistem keuangan melalui persyaratan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Sejak tahun 2012 telah secara aktif menerapkan kebijakan makroprudensial yang bertujuan untuk memitigasi potensi risiko sistemik yang bersumber dari pertumbuhan kredit/ pembiayaan properti maupun kendaraan bermotor yang disalurkan oleh perbankan. Efek multiplier yang besar dari sektor tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi perlu dijaga dalam koridor mitigasi risiko sistem keuangan yang baik. Kebijakan makroprudensial terhadap kredit/pembiayaan sektor properti dan kendaraan bermotor diterapkan oleh melalui pengaturan rasio LTV/FTV untuk kredit/ pembiayaan properti dan uang muka untuk kredit/pembiayaan kendaraan bermotor. Dari awal penerbitan di tahun 2012, pengaturan tersebut telah beberapa kali disempurnakan guna memastikan ketentuan tetap antisipatif terhadap perkembangan risiko sistem keuangan, namun mampu merespon kondisi kontraksi atau ekspansi siklus keuangan sehingga tetap akomodatif terhadap kebutuhan pertumbuhan kredit/pembiayaan properti dan kendaraan bermotor guna mendukung perekonomian domestik. Sebagaimana tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan makroprudensial, pengaturan LTV/FTV dimaksudkan untuk mendorong manajemen risiko yang lebih baik dalam praktek pemberian kredit/pembiayaan untuk properti maupun kendaraan bermotor, sehingga diharapkan dapat meminimalkan potensi risiko sistemik yang dapat timbul dari perilaku prosiklikalitas pemberian kredit/pembiayaan properti maupun kendaraan bermotor. Ketentuan LTV/FTV juga diterbitkan dalam rangka memberikan perlindungan bagi konsumen yang seringkali berada dalam posisi yang tidak diuntungkan oleh pengembang, khususnya dalam pembelian properti dengan mekanisme inden. Disisi lain, dengan tetap memperhatikan kebutuhan rumah, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dan keinginan untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ketentuan LTV/ FTV mengatur pengecualian yang diberikan kepada program perumahan pemerintah pusat/daerah. Pada awal penerbitan di tahun 2012 dan penyempurnaan ketentuan di tahun 2013, pengaturan LTV/FTV bertujuan untuk memperkuat mitigasi risiko di sistem keuangan memperhatikan terdapatnya indikasi meningkatnya risiko yang bersumber dari pertumbuhan kredit properti. Sementara, penyempurnaan ketentuan 208

237 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan yang dilakukan di tahun 2015 bertujuan untuk menjaga momentum pertumbuhan perekonomian nasional melalui peningkatan intermediasi perbankan kepada sektor properti dan kendaraan bermotor dengan tetap memperhatikan aspek mitigasi risiko. Penyempurnaan di tahun 2015 dilakukan mempertimbangkan risiko di sistem keuangan yang bersumber dari kredit/ pembiayaan properti dan kendaraan bermotor relatif terjaga, sehingga terdapat ruang penyempurnaan kebijakan LTV/FTV yang akomodatif terhadap kebutuhan pertumbuhan kredit. Hal tersebut diperlukan mengingat perlambatan pertumbuhan kredit/pembiayaan properti dan kendaraan bermotor yang berkelanjutan pada gilirannya dapat pula menimbulkan risiko terhadap sistem keuangan. Penyesuaian ketentuan LTV/FTV di tahun 2015 telah mampu menahan penurunan lebih dalam pelambatan pertumbuhan kredit/pembiayaan pemilikan rumah (KPR) yang diberikan bank. Namun demikian, penyesuaian tersebut belum cukup kuat untuk meningkatkan pertumbuhan KPR. Karenanya, di tahun 2016, dalam rangka mendukung konsolidasi perekonomian domestik melalui pertumbuhan kredit sektor properti, diperlukan penyesuaian lebih lanjut terhadap ketentuan LTV/FTV dengan tetap memperhatikan mitigasi risiko sistem keuangan melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Penyesuaian tersebut diharapkan dapat berdampak positif terhadap perekonomian mengingat sektor tersebut memiliki efek multiplier yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan tetap meminimalkan potensi terbentuknya risiko sistemik di sistem keuangan. Penyesuaian ketentuan LTV/FTV tersebut diatur dalam Peraturan No.18/16/PBI/2016 dan Surat Edaran No.18/19/DKMP tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Adapun pokok-pokok penyempurnaan ketentuan LTV/FTV di tahun 2016 antara lain adalah sebagai berikut: 1. Penyesuaian rasio dan tiering LTV untuk Kredit Properti (KP) serta rasio dan tiering FTV untuk Pembiayaan Properti (PP) untuk untuk fasilitas ke- 1, fasilitas ke-2, fasilitas ke-3 dan seterusnya: Tabel 6.1. Rasio dan Tiering LTV untuk Kredit Properti dan Pembiayaan Properti Kredit Properti Dan Pembiayaan Properti Berdasarkan Akad Pembiayaan Properti Syariah (Akad mmq Dan Imbt) Mudharabah Dan Istishna Tipe Properti ketentuan Saat Ini KP dan KP Syariah Perubahan KP dan KP Syariah I II III dst I II III dst Rumah Tapak Tipe >70 m2 80% 70% 60% 85% 75% 65% Tipe 22 s.d 70 m2-80% 70% - 80% 70% Tipe 21 m Flat/Apt Tipe >70 m2 80% 70% 60% 85% 75% 65% Tipe 22 s.d 70 m2 90% 80% 70% 90% 80% 70% Tipe 21 m2-80% 70% - 80% 70% Ruko/Rukan - 80% 70% - 80% 70% Ketentuan Saat Ini KP dan KP Syariah Perubahan KP dan KP Syariah Tipe Properti I II III dst I II III dst Rumah Tapak Tipe >70 m2 85% 75% 60% 85% 85% 80% Tipe 22 s.d 70 m2-80% 70% - 90% 85% Tipe 21 m Flat/Apt Tipe >70 m2 85% 75% 65% 90% 85% 80% Tipe 22 s.d 70 m2 90% 80% 70% 90% 85% 80% Tipe 21 m2-80% 70% - 85% 80% Ruko/Rukan - 80% 70% - 85% 80% 209

238 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Namun demikian, pelonggaran rasio dan tiering LTV/FTV dimaksud hanya berlaku bagi bank yang memenuhi persyaratan tertentu yaitu Non Performing Loan (NPL)/Non Performing Funding (NPF) dari total kredit /pembiayaan secara net <5% dan NPL/NPF dari KP/PP secara gross <5%. Dalam hal bank tidak memenuhi persyaratan NPL/ NPF tersebut, maka rasio LTV/FTV yang berlaku adalah sebagai berikut: Tabel 6.2. Rasio LTV/FTV berdasarkan Tipe Properti Tipe Properti Kredit Properti dan Pembiayaan Properti Berdasarkan Akad Murabahah dan Istishna Fasilitas KP dan KP Syariah Pembiayaan Properti Syariah (Akad Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) dan Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT)) Fasilitas KP Syariah I II III dst I II III dst Rumah Tapak Tipe >70 m2 80% 70% 60% 85% 75% 65% Tipe 22 s.d 70 m2-80% 70% - 80% 70% Tipe 21 m Flat/Apt Tipe >70 m2 80% 70% 60% 85% 75% 65% Tipe 22 s.d 70 m2 (1,95) 80% 70% 2,49 80% 70% Tipe 21 m2-80% 70% - 80% 70% Ruko/Rukan - 80% 70% - 80% 70% 2. Kredit/pembiayaan properti dengan mekanisme inden diperkenankan sampai dengan fasilitas kredit ke-2 dengan mekanisme pencairan bertahap yang besarannya adalah sebagai berikut: 3. Kredit/pembiayaan top-up diperlakukan sebagai kredit/pembiayaan dengan fasilitas yang sama sepanjang kredit/pembiayaan memiliki kualitas lancar. Dalam hal kredit/pembiayaan tidak Tabel 6.3. Mekanisme Pencairan kredit/pembiayaan properti Besaran Pencairan Persyaratan 1. Rumah susun/ruko/rukan Maks. pencairan kumulatif s.d 40% dari plafon Maks. pencairan kumulatif s.d 80% dari plafon Maks. pencairan kumulatif s.d 90% dari plafon Maks. pencairan kumulatif s.d 100% dari plafon Fondasi telah sesuai Tutup atap telah selesai Penandatangan BAST Penandatangan BAST yang telah dilngkapi dengan AJB dan APHT/SKMHT 2. Rumah susun Maks. pencairan kumulatif s.d 40% dari plafon Maks. pencairan kumulatif s.d 70% dari plafon Maks. pencairan kumulatif s.d 90% dari plafon Maks. pencairan kumulatif s.d 100% dari plafon Fondasi telah sesuai Tutup atap telah selesai Penandatangan BAST Penandatangan BAST yang telah dilngkapi dengan AJB dan APHT/SKMHT 210

239 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan memenuhi persyaratan tersebut, maka top-up diperlakukan sebagai fasilitas kredit/pembiayaan baru. Pengaturan tersebut juga berlaku untuk kredit/pembiayaan take over. Sementara itu, pengaturan terkait uang muka kredit/ pembiayaan untuk pemilikan kendaraan bermotor dalam ketentuan LTV/FTV yang baru tidak mengalami perubahan. Pertumbuhan KPR semester II 2016 mengalami peningkatan menjadi sebesar 7,67% (yoy) lebih baik dibandingkan pada saat diberlakukannya ketentuan LTV sebesar 6,21%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada KPR rumah susun tipe 21. Membaiknya pertumbuhan KPR ditunjang pula oleh membaiknya risiko kredit yang tercermin dari menurunnya NPL KPR. NPL KPR Desember 2016 turun menjadi 2,54% dari sebelumnya sebesar 2,92% pada Agustus Penyesuaian ketentuan LTV/FTV yang diterbitkan pada bulan Agustus 2016 mulai menunjukkan perkembangan yang positif. Penerbitan ketentuan tersebut telah berhasil menahan perlambatan pertumbuhan KPR serta mendorong turunnya risiko dari kredit sektor properti. Dari sisi penjualan properti juga menunjukkan adanya peningkatan, terutama pada rumah tipe kecil. Disisi lain, meskipun penjualan properti meningkat, harga properti masih menunjukkan tren yang melambat. Kenaikan harga properti seluruh tipe rumah pada semester II 2016 sebesar 2,38% (yoy) lebih rendah dibandingkan semester I 2016 sebesar 3,39% (yoy). Grafik 6.1. Perkembangan Kredit Properti 60.0 yoy (%) 50.0 Housing Loan 40.0 Total Banking Loan Real Estate*) , , Construction*) 7,86 7,67 Mar-12 Jun-12 Sep-12 Dec-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13 Dec-13 Mar-14 Jun-14 Sep-14 Dec-14 Mar-15 Jun-15 Sep-15 Dec-15 Mar-16 Jun-16 Sep-16 Dec-16 Grafik 6.4. Pertumbuhan Kredit dan NPL per Tipe KPR Tipe KPR Pertumbuhan yoy (%) NPL (%) Agst'16 Des '16 Agst'16 Des '16 Rumah Tapak Tipe 21 m2 (7,62) (5,34) 2,93 2,30 Tipe 22 s.d 70 m2 13,93 14,32 2,69 2,31 Tipe >70 m2 1,02 3,45 3,03 2,70 Flat/Apt Tipe 21 m2 10,21 14,75 3,71 3,71 Tipe 22 s.d 70 m2 (1,95) (0,57) 2,49 2,39 Tipe >70 m2 (3,59) (3,33) 2,18 1,81 Ruko/Rukan 3,09 3,17 4,18 3,88 Total KPR 6,21 7,67 2,92 2,54 211

240 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik 6.2 Perkembangan Penjualan Properti (10.0) (20.0) (30.0) (40.0) qtq (%) Kecil Menengah Besar Total 8,28 5,06 4,32 2,58 I I I I I I II II II II II II III III III III III III IV IV IV IV IV IV Tabel 6.4. Perkembangan harga Properti Residensial % yoy qtq 2,38 0,37 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Evaluasi Kebijakan Countercyclical Capital Buffer 6.2. Evaluasi Kebijakan Countercyclical Buffer (CCB) (CCB) 2016 kembali menetapkan besaran CCB sebesar 0% atau tidak mengalami perubahan dari hasil evaluasi bulan Mei Pada November 2016, kembali melakukan evaluasi terhadap besaran CCB dengan menggunakan data triwulan III Evaluasi terhadap indikator utama yaitu gap Kredit terhadap PDB (creditto-gdp gap) menunjukkan tidak terdapat indikasi adanya potensi risiko sistemik yang bersumber dari pertumbuhan kredit yang berlebihan. Kesimpulan yang sama juga dikonfirmasi oleh indikator pelengkap yang terdiri dari indikator makroprudensial, indikator makroekonomi, indikator perbankan, dan indikator harga aset. Berdasarkan evaluasi tersebut disimpulkan bahwa pada saat ini belum perlu dilakukan pembatasan pertumbuhan kredit melalui penerapan besaran CCB di atas 0%. Karenanya, pada tanggal 17 November Indikator Utama Data triwulan III 2016 mengindikasikan bahwa indikator utama yang digunakan dalam evaluasi CCB yaitu credit-to-gdp gap menunjukkan penurunan dan berada pada area penyaluran kredit tidak berlebihan. Kondisi ini terutama disebabkan oleh belum optimal dan masih melambatnya pertumbuhan kredit dan ekonomi. Pertumbuhan kredit mengalami penurunan menjadi 6,47% pada triwulan III 2016, dibandingkan 8,89% pada triwulan II Sementara itu perekonomian tumbuh 5,02% pada triwulan III 2016, lebih rendah dibandingkan triwulan II 2016 (5,18%). Perkembangan tersebut menunjukkan belum ada potensi risiko sistemik yang bersumber 212

241 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan dari pertumbuhan kredit yang berlebihan, karenanya besaran CCB yang disarankan adalah 0%. Indikator Pelengkap Sementara itu, evaluasi terhadap indikator pelengkap yang digunakan untuk mendukung dan melengkapi informasi yang diperoleh dari indikator utama, juga mengkonfirmasi hasil evaluasi dari indikator utama. Secara umum perkembangan indikator pelengkap menunjukkan adanya perlambatan sehingga mendukung penetapan besaran CCB 0%. Adapun indikator pelengkap tersebut terdiri dari: (i). Indikator Makroprudensial Siklus Keuangan Indonesia (SKI) masih berada pada fase kontraksi sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 6.6. Hal ini terutama disebabkan oleh tren perlambatan pertumbuhan kredit sebagai salah satu komponen utama pembentuk siklus keuangan. Perlambatan tersebut mengindikasikan tidak terdapat potensi risiko sistemik yang berasal dari pertumbuhan kredit yang berlebihan. Grafik 6.4. Indikator Utama Gap Kredit terhadap PDB Grafik 6.5. Besaran CCB sesuai Indikator Utama Q1 2004Q3 2005Q1 2005Q3 2006Q1 2006Q3 2007Q1 2007Q3 2008Q1 2008Q3 2009Q1 2009Q3 2010Q1 2010Q3 2011Q1 2011Q3 2012Q1 2012Q3 2013Q1 2013Q3 2014Q1 2014Q3 2015Q1 2015Q3 2016Q1 2016Q3 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0, Q2 2004Q4 2005Q2 2005Q4 2006Q2 2006Q4 2007Q2 2007Q4 2008Q2 2008Q4 2009Q2 2009Q4 2010Q2 2010Q4 2011Q2 2011Q4 2012Q2 2012Q4 2013Q2 2013Q4 2014Q2 2014Q4 2015Q2 2015Q4 2016Q2 2016Q4 Krisis Kredit Per PDB Gap L H Grafik 6.6. Siklus Keuangan dan Siklus Bisnis 0, Q2 2007Q2 0,02 0,08 0,06 0, Q2Q 2005Q2Q 2013Q3 0,02 0,01 0,02 0,01 0, Q4 1993Q3 1993Q2 1996Q1 1996Q4 1997Q3 1998Q2 1999Q1 1999Q4 2000Q3 2001Q2 2002Q1 2002Q4 2003Q3 2004Q2 2005Q1 2005Q4 2006Q3 2007Q2 2008Q1 2008Q4 2009Q3 2010Q2 2011Q1 2011Q4 2012Q3 2013Q2 2014Q1 2014Q4 2015Q3 2016Q2 (0,01) 0,04 0,06 0,08 0, Q3Q 2000Q2Q 1999Q2 2009Q3 Siklus Keuangan (BPF/LHS) Siklus Bisnis (BPF/RHS) Peak SK (TP) Trough SK (TP) Krisis (0,01) (0,02) (0,02) 213

242 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 (ii). Indikator Makroekonomi Sejumlah indikator makroekonomi digunakan dalam evaluasi besaran CCB. PDB sebagai salah satu indikator makroekonomi menunjukkan terjadinya perlambatan pada triwulan III 2016 yakni menjadi 5,02% (yoy) dari 5,18% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Begitu pula dengan inflasi yang juga mengalami penurunan diakhir triwulan III 2016 yang tercatat sebesar 3,07% dibandingkan akhir triwulan II 2016 sebesar 3,45%. Indikator makroekonomi yang lain adalah perkembangan nilai tukar dan utang luar negeri (ULN). Nilai tukar mengalami apresiasi sepanjang triwulan I sampai dengan triwulan III Disisi lain, pertumbuhan ULN mengalami penurunan yakni tercatat sebesar -6,68% (yoy) pada triwulan III 2016 dibandingkan triwulan II ,27% (yoy). Indikator makroekonomi diatas secara umum menunjukkan bahwa saat ini perekonomian masih membutuhkan dukungan kredit perbankan agar dapat tumbuh lebih tinggi lagi. Besaran CCB sebesar 0% dapat mendukung bank untuk mendorong pertumbuhan kreditnya. Grafik 6.7. Pertumbuhan PDB Riil (yoy) Grafik 6.8. Inflasi (yoy) Q3 2002Q2 2003Q1 2003Q4 2004Q3 2005Q2 2006Q1 2006Q4 2007Q3 2008Q2 2009Q1 2009Q4 2010Q3 2011Q2 2012Q1 2012Q4 2013Q3 2014Q2 2015Q1 2015Q4 2016Q3 2003Q1 2003Q4 2004Q3 2005Q2 2006Q1 2006Q4 2007Q3 2008Q2 2009Q1 2009Q4 2010Q3 2011Q2 2012Q1 2012Q4 2013Q3 2014Q2 2015Q1 2015Q4 2016Q3 PDB Riil (yoy) Krisis Inflasi (yoy) Krisis Grafik 6.9. Nilai Tukar (Rp/USD) Grafik ULN Swasta Rp (yoy) Q3 2002Q2 2003Q1 2003Q4 2004Q3 2005Q2 2006Q1 2006Q4 2007Q3 2008Q2 2009Q1 2009Q4 2010Q3 2011Q2 2012Q1 2012Q4 2013Q3 2014Q2 2015Q1 2015Q4 2016Q Q1 2001Q3 2002Q1 2002Q3 2003Q1 2003Q3 2004Q1 2004Q3 2005Q1 2005Q3 2006Q1 2006Q3 2007Q1 2007Q3 2008Q1 2008Q2 2009Q1 2009Q3 2010Q1 2010Q3 2011Q1 2011Q3 2012Q1 2012Q2 2013Q1 2013Q3 2014Q1 2014Q3 2015Q1 2015Q3 2016Q1 2016Q3 Nilai Tukar (Rp/USD) Krisis ULN Swasta Rp (yoy) Krisis 214

243 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan (iii). Indikator Perbankan Perlambatan ekonomi juga tercermin dari perilaku prosiklikalitas pertumbuhan kredit perbankan yang juga melambat sehingga berpengaruh terhadap meningkatnya NPL perbankan. Sejalan dengan hal tersebut, pertumbuhan DPK juga masih menunjukkan tren menurun yaitu menjadi 3,15% pada triwulan III 2016 dari 5,90% pada triwulan sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan tekanan pada ROA perbankan meskipun telah mengalami sedikit kenaikan menjadi 2,32% pada triwulan III 2016 dibandingkan 2,26% pada triwulan sebelumnya. Sementara itu, CAR perbankan relatif tinggi sehingga terdapat ruang untuk peningkatan penyaluran kredit dan menyerap risiko yang mungkin timbul. Penetapan besaran CCB 0% semakin memberikan ruang bagi bank untuk meningkatkan penyaluran kreditnya. Grafik Pertumbuhan Kredit (yoy) Grafik Pertumbuhan DPK (yoy) Q3 2002Q2 2003Q1 2003Q4 2004Q3 2005Q2 2006Q1 2006Q4 2007Q3 2008Q2 2009Q1 2009Q4 2010Q3 2011Q2 2012Q1 2012Q4 2013Q3 2014Q2 2015Q1 2015Q4 2016Q3 2002Q2 2003Q1 2003Q4 2004Q3 2005Q2 2005Q2 2006Q1 2006Q4 2007Q3 2008Q2 2009Q1 2009Q4 2010Q3 2011Q2 2012Q1 2012Q4 2013Q3 2014Q2 2015Q1 2015Q4 2016Q3 Pertumbuhan Kredit (yoy) Krisis Pertumbuhan DPK (yoy) Krisis Grafik Rasio NPL (%) Grafik Rasio ROA (%) Q3 2002Q2 2003Q1 2003Q4 2004Q3 2005Q2 2006Q1 2006Q4 2007Q3 2008Q2 2009Q1 2009Q4 2010Q3 2011Q2 2012Q1 2012Q4 2013Q3 2014Q2 2015Q1 2015Q4 2016Q3 2003Q4 2004Q3 2005Q2 2006Q1 2006Q4 2007Q3 2008Q2 2009Q1 2009Q4 2010Q3 2011Q2 2012Q1 2012Q4 2013Q3 2014Q2 2015Q1 2015Q4 2016Q3 Rasio NPL (%) Krisis Rasio ROA (%) Krisis Grafik Rasio CAR (%) Q4 2004Q3 2005Q2 2006Q1 2006Q4 2007Q3 2008Q2 2009Q1 2009Q4 2009Q4 2010Q3 2011Q2 2012Q1 2012Q4 2013Q3 2014Q2 2015Q1 2015Q4 2016Q3 Rasio CAR (%) Krisis 215

244 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 (iv). Indikator Harga Aset Dari sisi indikator harga aset, volatilitas IHSG cenderung rendah yang mencerminkan cukup minimalnya tekanan pada pasar modal. Hal ini mendukung pula penetapan besaran CCB 0%. Grafik Volatilitas IHSG Q3 2002Q2 2003Q1 2003Q4 2004Q3 2005Q2 2006Q1 2006Q4 2007Q3 2008Q2 2009Q1 2009Q4 2010Q3 2011Q2 2012Q1 2012Q4 2013Q3 2014Q2 2015Q1 2015Q4 2016Q3 Volatilitas IHSG Krisis 1.3. Kebijakan Giro Wajib Minimum Terkait Loan to 6.3. Kebijakan Giro Wajib Minimum Terkait Funding Ratio (GWM LFR) Loan to Funding Ratio (GWM LFR) Penyempurnaan ketentuan Loan to Funding Ratio yang dikaitkan dengan GWM (kebijakan GWM LFR) di tahun 2016 dilatarbelakangi oleh perlunya kebijakan yang lebih dapat mengatasi periode kontraksi siklus keuangan guna semakin mendorong peningkatan penyaluran kredit oleh bank-bank dengan kinerja intermediasi yang relatif rendah namun memiliki alat likuid yang cukup tinggi dan ketahanan permodalan yang memadai. Dengan mempertimbangkan bahwa risiko dalam sistem keuangan masih terkelola dengan cukup baik, serta agar dapat mengoptimalkan pelonggaran kebijakan moneter, pada Agustus 2016 kembali melakukan penyempurnaan terhadap kebijakan GWM LFR. Penyesuaian dilakukan dengan menaikkan batas bawah LFR dari 78% menjadi 80% untuk bank umum konvensional, dengan batas atas tetap dipertahankan sebesar 92%. Pertumbuhan kredit yang masih mencatat perlambatan pada tahun 2016 menunjukkan belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan. Hal ini dapat diidentifikasi salah satunya dari posisi Loan to Funding Ratio (LFR) pada sejumlah bank yang masih lebih rendah dari batas bawah LFR target yang ditetapkan oleh BI sebesar 78% dan memiliki pertumbuhan kredit yang rendah selama beberapa tahun terakhir. Perlambatan pertumbuhan kredit tersebut antara lain sebagai dampak dari turunnya demand korporasi serta meningkatnya risiko kredit, disisi lain korporasi juga cenderung menahan ekspansi kredit dan melakukan efisiensi. Instrumen GWM LFR merupakan instrumen makroprudensial yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan bank dengan memastikan kecukupan likuiditas dan pengelolaan risiko kredit sehingga dapat mendorong pelaksanaan fungsi intermediasi yang lebih optimal. Upaya untuk mendorong lebih optimalnya pelaksanaan fungsi intermediasi oleh bank melalui instrumen GWM LFR telah dilakukan di tahun 2015 melalui penyesuaian kebijakan GWM LFR. Pada tahun 2015, menyempurnakan formula yang digunakan sebagai salah satu parameter berjalannya intermediasi perbankan yaitu dari Loan to Deposit Ratio (LDR) menjadi LFR melalui penerbitan Peraturan Nomor 17/11/PBI/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional. Penyempurnaan kebijakan tersebut dilakukan dengan menambahkan komponen surat-surat berharga (SSB) tertentu yang diterbitkan oleh bank ke dalam formula funding (sebelumnya hanya memperhitungkan dana pihak ketiga) yang 216

245 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan digunakan dalam perhitungan LFR. Penyempurnaan tersebut bertujuan untuk dapat mendorong proses intermediasi perbankan, mendorong bank memanfaatkan sumber pendanaan di luar DPK, serta memperdalam pasar keuangan. Hal tersebut dilakukan dengan tetap memastikan termitigasinya potensi risiko sistemik yang menjadi tujuan dari kebijakan makroprudensial. menerbitkan penyempurnaan kebijakan GWM LFR sebagaimana tertuang dalam PBI No.18/14/PBI/2016 tentang Perubahan Keempat atas PBI No.15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. Dalam PBI tersebut, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan ketentuan dengan menaikkan batas bawah LFR terkait GWM dari Grafik Intermediasi Perbankan % LDR , , DPK SSB yang diterbitkan (Skala kanan) 35, LFR Kredit 30,00 25, ,00 Jul-15 Agt-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Jul-15 Agt-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16 Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Keterangan: khusus Bank Umum Konvensional Pasca pemberlakuan ketentuan tersebut di 2015, hasil evaluasi di 2016 menunjukkan masih perlunya mendorong peningkatan penyaluran kredit, khususnya oleh bank-bank dengan kinerja intermediasi yang relatif rendah namun memiliki alat likuid yang cukup tinggi dan ketahanan permodalan yang memadai. Selain itu, penyempurnaan lebih lanjut terhadap ketentuan GWM LFR dipandang dapat mengoptimalkan pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan melalui penurunan suku bunga kebijakan dan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer pada tahun Karenanya, dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas serta memperhatikan bahwa risiko dalam sistem keuangan masih terkelola dengan cukup baik, pada Agustus 2016 kembali melakukan penyempurnaan terhadap kebijakan GWM LFR. 78% menjadi 80% untuk bank umum konvensional, dengan batas atas tetap dipertahankan sebesar 92%. Ketentuan tersebut mulai diberlakukan pada 24 Agustus Sebagai peraturan pelaksana, Bank Indonesia juga melakukan penyempurnaan terhadap Surat Edaran (SE) yaitu SE Bank Indonesia Nomor 18/18/DKMP perihal Perubahan Ketiga atas SEBI No.17/17/DKMP tentang Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. 217

246 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Grafik Perkembangan Batas Atas dan Batas Bawah Ketentuan GWM-LDR/LFR 24 Agust 16 80% 92% LFR 3 Agust 15 78% 92% LDR 31 Des 13 78% 92% 1 Mar 11 78% 100% Peningkatan batas bawah rasio LFR dari 78% ke 80% tersebut telah mendorong perbankan melakukan proses intermediasi ke perekonomian. Hal ini dapat terlihat dari penurunan jumlah bank yang tidak dapat memenuhi rasio LFR < 80% yaitu dari 26 bank di triwulan III 2016 menjadi 20 bank di akhir tahun Adapun jumlah bank yang memiliki rasio LFR dalam rentang 80% s.d. 92% stabil sebanyak 40 bank. Dalam periode yang sama, jumlah bank yang memiliki rasio LFR > 92% juga meningkat, baik yang memiliki CAR > 14% maupun bank yang memiliki CAR < 14% namun masih merupakan rasio modal yang memadai bagi bank tersebut. Adapun bank yang memiliki rasio LFR > 92% dengan CAR > 14% meningkat dari 36 bank menjadi 41 bank, sementara bank yang memiliki rasio LFR > 92% dengan CAR < 14% naik dari 2 ke 3 bank. Meningkatnya jumlah bank yang memiliki rasio LFR > 92% mencerminkan proses ekspansi intermediasi perbankan juga didukung dengan kondisi permodalan yang kuat. Grafik 6.19.Perkembangan Jumlah Bank Yang Memenuhi Ketentuan GWM LFR 36 LFR <80% 42 80%<LFR<92% LFR>92%&CAR<14% 3 LFR>92%&CAR>14% Juli September Desember Juli September Desember Juli September Desember Juli September Desember 218

247 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan 6.4. Pengawasan Makroprudensial Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang menjaga stabilitas sistem keuangan, sebagai otoritas makroprudensial, berwenang melakukan tidak hanya pengaturan makroprudensial namun juga pengawasan makroprudensial. Dalam konteks pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengawasi bank atau lembaga jasa keuangan lainnya. Pengawasan makroprudensial dilakukan melalui surveilans dan pemeriksaan makroprudensial. Surveilans makroprudensial dilakukan terhadap seluruh elemen sistem keuangan untuk mengetahui kondisi sistem keuangan antara lain dengan memantau, mengidentifikasi dan menilai risiko sistemik maupun ketidakseimbangan dalam sistem keuangan. Sementara itu, apabila diperlukan, dapat melakukan pemeriksaan makroprudensial terhadap bank dan lembaga lain yang memiliki keterkaitan dengan bank. Pemeriksaan makroprudensial tersebut bersifat tematik yang bertujuan untuk meyakini terjadinya risiko sistemik ataupun kepatuhan bank dan/atau lembaga lainnya atas kebijakan makroprudensial. Pemeriksaan tersebut tidak ditujukan untuk menilai tingkat kesehatan institusi keuangan (bank) secara individual. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, berpedoman kepada ketentuan internal pengawasan makroprudensial. Ketentuan tersebut mengatur mengenai pelaksanaan pengawasan makroprudensial serta tindak lanjut pengawasan maupun pengenaan sanksi. Selain pengawasan makroprudensial, sebagai tindak lanjut pengembangan pengawasan pasca peralihan pengawasan bank dari BI ke OJK, maka pengawasan oleh saat ini juga meliputi pengawasan di bidang moneter dan sistem pembayaran dengan DSSK ditunjuk sebagai center of excellence pengawasan. 219

248 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan Sinergi Koordinasi dengan Otoritas Lainnya Penerbitan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) menjadi momentum signifikan dalam membangun kestabilan sistem keuangan di Indonesia dengan memberikan landasan yang kuat bagi empat otoritas sektor keuangan di Indonesia, yaitu Kementerian Keuangan,, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK) agar berfungsi efektif, efisien, serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam dan luar negeri. UU tersebut menjadi panduan sinergi koordinasi yang terstruktur antar empat otoritas sektor keuangan tersebut dalam (i) melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan SSK; (ii) melakukan penanganan krisis sistem keuangan; serta (iii) melakukan penanganan permasalahan bank sistemik, baik dalam kondisi SSK normal maupun kondisi krisis sistem keuangan. Tugas tersebut menjadi tugas dari Komite yang dibentuk oleh UU PPKSK dalam rangka menjaga SSK terutama dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan, yaitu Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Anggota KSSK terdiri dari Menteri Keuangan sebagai koordinator merangkap anggota, Gubernur sebagai anggota, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (Ketua DK OJK) sebagai anggota, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (Ketua DK LPS) sebagai anggota. Di dalam KSSK ini, Menteri Keuangan, Gubernur, dan Ketua DK OJK memiliki hak suara. Sementara Ketua DK LPS adalah anggota KSSK tanpa hak suara. Tugas berat menjaga SSK tersebut hanya dapat dilaksanakan apabila koordinasi antarotoritas, baik dalam kerangka KSSK maupun secara bilateral antarotoritas, dapat berjalan dengan baik. Koordinasi antarotoritas anggota KSSK berperan krusial dalam upaya menjaga SSK mengingat keterkaitan dan irisan pelaksanaan tugas dan kewenangan antarotoritas yang cukup signifikan terutama terkait dengan bidang perbankan. Dalam hal ini, UU PPKSK menguatkan pentingnya koordinasi dan kerjasama antarotoritas dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan, terutama antara BI, OJK, dan LPS. Dalam peranannya sebagai otoritas moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial, UU PPKSK mengamanatkan koordinasi antara BI dengan otoritas terkait yang mencakup sejumlah hal yaitu: i) pertukaran data dan/atau informasi, ii) koordinasi antara BI dan LPS dalam penanganan permasalahan solvabilitas bank, iii) koordinasi antara BI dan OJK dalam penyediaan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek serta penetapan dan pemutakhiran daftar bank sistemik, maupun iv) dukungan dari Kementerian Keuangan, BI, dan OJK terhadap program restrukturisasi perbankan yang diselenggarakan oleh LPS. Sebagai tindak lanjut dari amanat tersebut, Bank Indonesia telah memiliki sejumlah kerangka koordinasi bilateral dengan OJK dan LPS. Meskipun kerangka koordinasi dengan kedua lembaga tersebut sudah ada sejak sebelum penerbitan UU PPKSK, namun kerangka kerjasama tersebut semakin diperkuat dengan adanya UU PPKSK. Kerangka koordinasi bilateral antara BI dengan OJK maupun LPS diwujudkan dalam bentuk Keputusan Bersama BI-OJK dan Nota Kesepahaman BI-LPS. Kesepakatan dalam kedua kerangka koordinasi bilateral tersebut diharapkan dapat memperlancar 220

249 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan dan mengoptimalkan kerjasama dan koordinasi BI dengan kedua lembaga tersebut dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang BI. Selain itu, dalam rangka koordinasi dalam kerangka KSSK, BI telah menyusun ketentuan internal mengenai Protokol Manajemen Krisis yang didalamnya antara lain mengatur mengenai koordinasi antar lembaga dalam kerangka KSSK. a. Koordinasi Bilateral antara BI dan OJK Sebelum terbitnya UU PPKSK, kerangka koordinasi antara BI dan OJK lahir sebagai tindak lanjut amanat dari Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). UU OJK menandai perubahan mendasar penataan kelembagaan otoritas keuangan di Indonesia. Sebelum lahirnya OJK, merupakan otoritas yang bertugas untuk: i) menetapkan kebijakan moneter; ii) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan iii) mengatur dan mengawasi bank, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang sebagaimana yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang. Dengan lahirnya UU OJK, tugas mengatur dan mengawasi bank dari sisi mikroprudensial beralih dari kepada OJK. Sementara, tugas mengatur dan mengawasi bank dari sisi makroprudensial tetap merupakan tugas Bank Indonesia yang cakupannya adalah hal-hal selain yang diatur dalam pasal 7 UU OJK. Selain itu, penjelasan pasal 7 juga menyebutkan bahwa dalam rangka pengaturan dan pengawasan makroprudensial, OJK membantu BI untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada perbankan. Pengaturan tersebut menunjukkan salah satu amanat perlunya terdapat koordinasi antara BI dan OJK. Sejumlah pasal lain dalam UU OJK juga memberikan amanat koordinasi antara BI dan OJK dalam pelaksanaan tugasnya yaitu sebagai berikut: - Dalam pasal 39 diatur bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: i) kewajiban pemenuhan modal minimum bank; ii) sistem informasi perbankan yang terpadu; iii) kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; iv) produk perbankan, transaksi derivatif, dan kegiatan usaha bank lainnya; iv) penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan v) data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. - Dalam pasal 40 ayat (1) diatur bahwa dalam hal BI untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut, dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. Selanjutnya dalam ayat (3) diatur bahwa laporan hasil pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. - Dalam pasal 41 ayat (2) diatur bahwa dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau 221

250 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 kondisi kesehatan makin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan. - Dalam pasal 43 diatur bahwa OJK, BI dan LPS wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi. Pasal-pasal tersebut menegaskan pentingnya koordinasi dengan adanya pemisahan antara fungsi pengaturan dan pengawasan mikroprudensial dan makroprudensial mengingat adanya irisan dalam pelaksanaan kewenangan BI sebagai otoritas makroprudensial dan OJK sebagai otoritas mikroprudensial. Karenanya, kerangka koordinasi antara BI dan OJK telah lahir sejak tahun 2013 yaitu ditandai dengan kesepakatan antara Gubernur dan Ketua Dewan Komisioner OJK melalui Keputusan Bersama BI dan OJK Nomor tanggal 18 Oktober 2013 tentang Kerjasama dan Koordinasi Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas dan Otoritas Jasa Keuangan. Kesepakatan antara BI dan OJK disusun dalam rangka mengelola peralihan kewenangan agar berjalan lancar serta menjamin tetap lancarnya koordinasi dalam pelaksanaan tugas masing-masing otoritas. Kerjasama dan koordinasi BI dan OJK tersebut dilandasi dengan prinsip-prinsip: i)bersifat kolaborasi; ii) meningkatkan efisiensi dan efektivitas; iii) menghindari duplikasi; iv) melengkapi pengaturan di sektor keuangan; dan v) memastikan kelancaran pelaksanaan tugas BI dan OJK, dalam rangka mencapai sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan. Keputusan Bersama tersebut merupakan payung bagi kerjasama dan koordinasi BI dan OJK yang meliputi empat area utama yaitu: 1) pelaksanaan tugas sesuai kewenangan masingmasing; 2) pertukaran informasi Lembaga Jasa Keuangan serta pengelolaan sistem pelaporan bank dan perusahaan pembiayaan oleh BI dan OJK; 3) penggunaan kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan BI oleh OJK; serta 4) pengelolaan pejabat dan pegawai BI yang dialihkan atau dipekerjakan pada OJK. Selanjutnya, untuk memperlancar pelaksanaan koordinasi dan kerjasama atas Keputusan Bersama tersebut, telah pula disusun suatu Petunjuk Pelaksanaan atau Petunjuk Teknis yang mengatur detail pelaksanaannya. Kerjasama dan koordinasi tidak hanya meliputi antar satuan kerja di Kantor Pusat BI-OJK melainkan juga mencakup kerjasama dan koordinasi antara Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri dengan Kantor Regional/ Kantor OJK. Adapun lingkup koordinasi dan kerjasama tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Pertukaran Data dan/atau Informasi Hasil Pengawasan LJK dan Macro-Surveillance 2. Pelaksanaan Pemeriksaan Bank 3. Penyusunan Kajian dan/atau Penelitian Bersama 4. Stance Indonesia atas Isu-Isu Fora Internasional 5. Pertukaran Informasi Dalam Rangka Sosialisasi dan Edukasi Kepada Masyarakat 6. Kerjasama dan Koordinasi di Bidang Sistem Pembayaran 7. Kerjasama dan Koordinasi antara Kantor Perwakilan Dalam Negeri dengan Kantor Regional/Kantor Otoritas Jasa Keuangan 222

251 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan Berbagai pelaksanaan kerjasama dan koordinasi antara BI dan OJK telah berjalan dengan baik. Sejumlah pencapaian telah dicatatkan dari hasil kerjasama dan koordinasi tersebut, diantaranya: 1. Pertukaran data dan/atau informasi. Salah satu bentuk kerjasama dan koordinasi yang paling krusial antara BI dan OJK adalah pertukaran data dan/atau informasi. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, BI dan OJK membutuhkan data yang bersumber dari Lembaga Jasa Keuangan antara lain perbankan, IKNB, dan Pasar Modal. Sehubungan dengan hal tersebut, BI dan OJK berkoordinasi dan bekerjasama dalam melakukan pertukaran data dan/atau informasi sebagaimana amanat Pasal 43 UU OJK. Pertukaran data dan/ informasi tersebut dilakukan diantaranya melalui suatu sarana yang disebut Sarana Pertukaran Informasi Terintegrasi (SAPIT) untuk data yang sifatnya machine to machine (data capturing dari aplikasi pelaporan). Sementara, untuk pertukaran data dan/ atau informasi BI-OJK yang bukan machine to machine dipertukarkan melalui sarana lainnya seperti Sarana Pertukaran Informasi Terintegrasi Information Exchange Application (SAPIT IEA), surat, CD maupun . Terkait dengan keterlibatan LPS dalam pertukaran data/informasi, saat ini BI dan OJK masing-masing telah memiliki Nota Kesepahaman dengan LPS dimana di dalamnya mengatur mengenai pertukaran data dan/atau informasi masing-masing lembaga. Ke depan akan segera diatur mengenai keterlibatan LPS dalam sarana pertukaran informasi terintegrasi yang telah dibangun oleh BI dan OJK saat ini serta potensi integrasi pelaporan dari Lembaga Jasa Keuangan. 2. Penggunaan dokumen dan/atau kekayaan. Dalam bidang arsip/dokumen, telah dilakukan identifikasi arsip/dokumen antara BI dan tim transisi OJK, termasuk mekanisme peminjaman arsip/dokumen oleh OJK kepada BI, yaitu arsip/dokumen pengaturan dan pengawasaan bank sebelum peralihan kewenangan mikroprudensial kepada OJK. Selanjutnya, terkait dengan penggunaan kekayaan BI oleh OJK, telah pula diatur mekanisme pengembalian dan/atau perpanjangan penggunaan kekayaan BI oleh OJK. 3. Penugasan pejabat dan/atau pegawai BI kepada OJK. Dalam bidang SDM, sesuai dengan UU OJK, penugasan pejabat dan/atau pegawai BI kepada OJK telah berakhir pada 31 Desember Atas hal tersebut, telah diselesaikan pengalihan pegawai baik yang memilih untuk menjadi pegawai OJK, ataupun yang memilih untuk kembali ke BI. Dalam masa penyelesaian penugasan dimaksud, BI dan OJK terus berkoordinasi dan bekerjasama sehingga hak ataupun kewajiban pegawai yang memilih menjadi pegawai OJK telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya, pasca penerbitan UU PPKSK, BI-OJK juga menyusun Petunjuk Pelaksanaan sebagai tindak lanjut diterbitkannya UU PPKSK yaitu Petunjuk Pelaksanaan Kerjasama dan Koordinasi 223

252 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 tentang Penetapan dan Pemutakhiran Daftar Bank Sistemik serta Petunjuk Pelaksanaan Kerjasama dan Koordinasi Dalam Rangka Pemberian Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek/Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah. Sejauh ini koordinasi dan kerjasama antara BI dan OJK telah berjalan dengan cukup baik, diantaranya terkait dengan pertukaran data rutin, pengembangan laporan, serta koordinasi dalam penyusunan peraturan BI maupun peraturan OJK. Ke depan, kebutuhan koordinasi dan kerjasama antara BI dan OJK semakin perlu diperkuat. Hal ini tidak hanya dilandasi dengan sejarah pendirian OJK, melainkan juga adanya perkembangan dalam industri keuangan yang membutuhkan penanganan terpadu antarotoritas. Beberapa perkembangan dalam bidang pendalaman pasar keuangan, financial technology, dan financial inclusion sangat jelas terkait dengan kewenangan berbagai otoritas, terutama karena objek pengaturan dan pengawasannya sebagian besar adalah perbankan. Berbagai inisiatif yang diluncurkan oleh masing-masing lembaga hendaknya dapat dirumuskan melalui mekanisme koordinasi dan kolaborasi agar lebih efisien serta memberikan nilai tambah yang lebih besar. b. Koordinasi dan Lembaga Penjamin Simpanan Kerangka koordinasi dan kerjasama antara BI dan LPS diwujudkan melalui penandatanganan Nota Kesepahaman oleh Gubernur dan Ketua Dewan Komisioner LPS Nomor tanggal 28 Juli 2016 tentang Koordinasi dan Kerjasama Dalam Rangka Pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Wewenang dengan Lembaga Penjamin Simpanan. Nota Kesepahaman (NK) tersebut merupakan pembaharuan dari Surat Keputusan Bersama BI-LPS tahun 2009 dengan mempertimbangkan telah beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan mikroprudensial perbankan kepada OJK serta telah diterbitkannya UU PPKSK pada April Cakupan koordinasi dan kerjasama antara BI-LPS meliputi: i) kerjasama dan koordinasi penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik berupa pencabutan izin usaha; ii) pendanaan dalam rangka penanganan permasalahan solvabilitas Bank; iii) pertukaran data dan/atau informasi; iv) pengembangan kompetensi pegawai; v) penelitian, kajian dan/atau survei bersama; vi) sosialisasi dan/ atau edukasi bersama; vii) penugasan pegawai; dan/atau viii) penanganan pelaksanaan tugas lainnya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, antara lain mendukung pelaksanaan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), pendalaman pasar keuangan dan perluasan akses keuangan. Cakupan yang terkait dengan aspek pendanaan dalam rangka penanganan permasalahan solvabilitas bank, merupakan amanat Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK yang mengatur tentang penjualan Surat Berharga Negara (SBN) oleh LPS kepada BI dalam rangka penanganan permasalahan solvabilitas bank sistemik dan bank selain bank sistemik dalam kondisi krisis sistem keuangan. Sebagai tindak lanjut dari amanat tersebut, telah disusun peraturan pelaksanaan dengan ditandatangani 224

253 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan Perjanjian Kerjasama (PKS) tentang Penjualan Surat Berharga Oleh Lembaga Penjamin Simpanan Kepada pada 31 Oktober PKS tersebut merupakan pedoman pelaksanaan bagi BI dan LPS untuk melakukan transaksi penjualan SBN dalam rangka penanganan permasalahan solvabilitas bank sistemik dan bank selain bank sistemik dalam kondisi krisis sistem keuangan sesuai dengan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Sebagaimana disebutkan di atas, selain penguatan koordinasi, penerbitan UU PPKSK juga menjadi momentum untuk mensinergikan Protokol Manajemen Krisis antarotoritas di Indonesia sebagai pedoman yang terintegrasi mengenai proses kerja dan pengambilan keputusan dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Terkait hal ini, telah melakukan penguatan terhadap kerangka Protokol Manajemen Krisis di tiga tugas yaitu bidang moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial (Boks 6.2.). 225

254 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Boks 6.1 Center of Excellence Pengawasan Pasca beralihnya pengawasan Bank dari BI ke OJK pada bulan 2014, maka cakupan pengawasan oleh Bank Indonesia saat ini adalah sesuai dengan cerminan tiga tugas di bidang moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial. Karenanya cakupan pengawasan saat ini meliputi pengawasan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial. Dalam hal ini, tugas tersebut dilaksanakan oleh Departemen Surveilans Sistem Keuangan (DSSK) yang telah ditunjuk sebagai center of excellence pengawasan. Sebagai otoritas moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial, memiliki kepentingan yang besar untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi kebijakan mengingat tujuan/sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan diketiga area tersebut mempunyai keterkaitan satu sama lain yang dapat berdampak terhadap stabilitas sistem keuangan. Kebijakan moneter memiliki sasaran akhir untuk mencapai stabilitas moneter yang bermuara pada stabilitas nilai Rupiah. Mengingat sebagian besar pelaku ekonomi juga merupakan elemen dalam sistem keuangan, perubahan perilaku karena perubahan kebijakan moneter secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kondisi sistem keuangan, yang pada akhirnya bermuara pada stabilitas sistem keuangan. Karenanya monitoring terhadap variabel-variabel moneter dilakukan tidak hanya untuk pencapaian tujuan stabilitas moneter namun juga untuk tujuan stabilitas sistem keuangan mengingat variabelvariabel moneter tersebut juga merupakan dari sumber risiko bagi sistem keuangan. Di sisi lain, kebijakan makroprudensial yang diterapkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan juga turut berpengaruh terhadap pencapaian target moneter dan stabilitas sistem pembayaran. Sebagai contoh, kebijakan makroprudensial yang mengatur mengenai tambahan bantalan modal bank sesuai dengan siklus ekonomi (countercyclical capital buffer) dapat mempengaruhi penyaluran kredit oleh bank ke dalam perekonomian domestik. Hal tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sehingga pada akhirnya dapat turut berpengaruh terhadap pencapaian inflasi yang menjadi target kebijakan moneter. Hubungan antara kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran dapat dilihat dari peranan fungsi sistem pembayaran dalam sistem keuangan. Permasalahan dalam sistem pembayaran akan berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap stabilitas sistem keuangan. Sebaliknya, kondisi di sistem keuangan, seperti kecukupan likuiditas bank untuk menjalankan kewajibannya dalam transaksi di sistem pembayaran akan turut mempengaruhi kelancaran sistem pembayaran. Dengan demikian, kebijakan makroprudensial yang terkait dengan peran bank sentral sebagai penyedia pinjaman likuiditas (Lender of Last Resort) akan turut berpengaruh terhadap stabilitas sistem pembayaran. 226

255 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan Gambar Boks Interaksi Kebijakan di Bidang Makroprudensial, Moneter dan Pasar Uang, serta Sistem Pembayaran Objective Stabilitas Nilai Tukar Rp Stabilitas Sistem Keuangan Sistem Pembayaran yang Lancar, Aman, Efisien dan Handal Scope Pelaku Ekonomi Bank Bank dan LSB Policy Moneter & Pasar Uang Makroprudential Sistem Pembayaran Risiko dan Kerentanan Risiko Likuiditas Risiko Nilai Tukar Risiko Inflasi Risiko Sistemik: Financial Imbalances & Procyclicality Common Exposure Risk Herding & Taking Contagion & Intercon Risiko Settlement: Gangguan Operasional: eg System Failure Permasalahan Likuiditas Risiko Kredit, Likuiditas, Ops, Reputasi dan Hukum terkait Produk dan Aktivitas Sp Memperhatikan keterkaitan sasaran yang ingin dicapai dari tiga tugas, maka pengawasan merupakan elemen yang penting dalam pelaksanaan kebijakan. Hasil pengawasan akan menjadi masukan untuk melihat efektivitas kebijakan maupun kepatuhan terhadap kebijakan. Adapun cakupan dari masing-masing pilar pengawasan adalah: a. Pengawasan makroprudensial dilakukan terhadap sistem keuangan dalam rangka mencegah dan mengurangi Risiko Sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan efisiensi. b. Pengawasan moneter antara lain mencakup pengawasan terhadap aktivitas treasury Bank dan aktivitas Pialang Pasar Uang, dengan fokus pada aspek kepatuhan ketentuan moneter (GWM, utang luar negeri (ULN), posisi devisa neto (PDN)) dan identifikasi risiko di pasar uang dalam rangka mendukung analisis risiko sistemik. c. Pengawasan sistem pembayaran antara lain meliputi pengawasan terhadap bank sebagai peserta BI RTGS dan SKNBI dan pengawasan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran oleh industri berupa alat pembayaran menggunakan kartu (APMK), uang elektronik (UE) termasuk layanan keuangan digital, dan transfer dana Bank. Dengan cakupan tersebut, pengawasan sistem pembayaran akan fokus terhadap aktivitas sistem pembayaran yang dapat menimbulkan risiko sistemik, seperti adanya keterkaitan yang tinggi dari para pelaku 227

256 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 sistem pembayaran. Selain itu, pengawasan juga dilakukan atas penerapan prinsip kehati-hatian yang dapat berpengaruh pada keamanan, kelancaran, kehandalan dan efisiensi sistem pembayaran, termasuk kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, pengawasan juga dilakukan terhadap proses pemberian persetujuan terhadap pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran, pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran, dan kerjasama penyelenggara sistem pembayaran dengan pihak lain. Berdasarkan cakupan pengawasan tersebut, tiga tujuan utama Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah (1) mencegah dan mengurangi risiko sistemik; (2) memastikan penyelenggaraan sistem pembayaran dan aktivitas pasar keuangan dilakukan dengan memperhatikan penerapan prinsip kehatihatian; dan (3) memastikan kepatuhan terhadap implementasi ketentuan. Gambar Boks Siklus Pengawasan Siklus Keuangan & Makroekonomi - Global - Domestik Kebijakan Moneter, Makroekonomi (GDP, Fiskal, BaP), Perkembangan Pembiayaan, ULN. Lembaga Keuangan - Bank Besar - IKNB Size, Interconn ectedness Complexity, Aspek Compliance Pasar Keuangan dan Infrastruktur Rekomendasi Penyempurnaan kebijakan pada Satker terkait Makroprudential, Moneter (termasuk Pasar Keuangan) dan Sistem Pembayaran Rekomendasi Penguatan pengawasan Koordinasi dengan institusi/otoritas lain Pembinaan: Rekomendasi kepada Bank, Pengenaan Sanksi SURVEILANS 1 -Pasaar Uang -Pasaar Modal dan Ekuitas -Pasar Valas -Pialang Pasar Uang (PPU) Entitas Non keuangan Liquidity, Maturity, Curency mismatch, Aspek Compliance, Ops Risk Evaluasi dan Tindak Lanjut 3 SIKLUS PENGAWASaN BANK INDONESIA Monitoring - Korporasi - Rumah Tangga Penyelenggaraan Sistem Pembayaran - Entitas Penyelenggara - Sistem dan Pendukung Asset & Liabilities ( Leverage), Likuiditas, Asset Turn Over, DER Indeks Keyakinan Konsumen, DIR Risiko Peserta RTGS-SKNBI dan PJSP: Likuiditas, Settlement, Interconnectedness, Oprasional, aspek compliance, Persetujuan PJSP PEMERIKSAAN TEMATIK (Makroprudensial, Moneter, dan SP KEPATUHAN - Targeted 2 Monitoring Asesmen Asesmen Risiko Sistemik: Granular Stress Test Liquidity Stress Test Banking Industry Rating & Risk Register Network Analysis Monitoring Identifikasi Sumber Risiko Sistemik Dan Transmisi Risiko Sistemik Sumber Risiko dari Informasi EWI dan analisis sumber risiko prioritas Sumber Risiko Lainnya, termasuk sumber risiko dibidang moneter Trasmisi Risiko : Lembaga Keuangan, Sektor Ril, Pasar, Sistem Pembayaran Risiko Sistemik Kerentanan Financial Imbalances (termasuk Procyclicality) Common Exposure Interconnectedness & Contagion effect dari idiosyncratic risk LAPORAN SURVEILANS SISTEM KEUANGAN Laporan Reguler/Periodik Laporan Insidentil/Tematik Banking Industry Rating Risk Register LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN Asesmen Risiko Lain: Risk Matrix Asesmen Risiko Lain: Risk Matrix Risiko Moneter dari Interkasi Pelaku Sistem Keuangan Aktivitas Pasar uang, pasar valas, treasury bank termasuk lembaga pendukung Transaksi valas rupiah,dll Risiko Lain & Kepatuhan Prinsip Kehati-hatian Prinsip Kehati-hatian Kepatuhan Penyelengara jasa SP SP Penyelengara jasa SP Penyelenggaraan Jasa Ketentuan Penyelenggaraan Jasa Sistem Pembayaran Makroprudensial, Sistem Pembayaran Instrumen dan Produk Moneter, Instrumen dan SProduk Sistem Pembayaran Pialang Sistem Pembayaran Pasar Uang 228

257 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan Kerangka Pengawasan dibangun melalui suatu siklus pengawasan yang berkelanjutan dengan cakupan kegiatan yang terdiri dari kegiatan surveilans, pemeriksaan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Pelaksanaan surveilans dilakukan melalui pemantauan (monitoring), identifikasi (identification), dan asesmen (assessment). a) Pemantauan Pemantauan dilakukan terhadap data dan informasi yang relevan yang dibutuhkan dalam rangka mengidentifikasi risiko yang berpotensi mempengaruhi kondisi dan stabilitas sistem keuangan. Data dan informasi tersebut antara lain mencakup siklus keuangan, kondisi dan kinerja lembaga keuangan (seperti bank, lembaga keuangan non bank, maupun grup konglomerasi keuangan), kondisi pasar keuangan dan infrastruktur berikut pelaku yang terkait (seperti pasar uang, pasar valas, pasar modal dan ekuitas, serta pialang pasar uang), kondisi entitas non keuangan, sektor riil (yang meliputi sektor korporasi dan rumah tangga), dan penyelenggaraan sistem pembayaran (yang mencakup: i) pemantauan terhadap kegiatan dan transaksi bank sebagai peserta BI RTGS dan SKNBI maupun ii) pemantauan kegiatan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran oleh industri, termasuk pelaporan terhadap produk, kegiatan, dan kerjasama sistem pembayaran, serta aspek pendukung lainnya). b) Identifikasi Dalam tahap ini akan dilakukan identifikasi dan analisis sumber instabilitas pada sistem keuangan yang meliputi (1) identifikasi timbulnya risiko sistemik dalam sistem keuangan dan (2) identifikasi risiko lain pada aktivitas pasar uang dan sistem pembayaran yang tidak terkait langsung dengan risiko sitemik. Identifikasi risiko sistemik dimulai dengan analisis sumber risiko prioritas bagi sistem keuangan serta proses transmisinya ke sistem keuangan. Sumber risiko berupa gangguan atau shock tersebut dapat berasal dari faktor eksternal maupun faktor internal. Sumber risiko dari faktor eksternal diantaranya kondisi ekonomi global, penurunan harga komoditas, perkembangan geopolitik dan lain sebagainya. Sementara itu, sumber risiko dari faktor internal dapat berupa gangguan yang cukup masif pada sistem pembayaran atau kegagalan institusi keuangan yang tergolong sistemik. Gangguan atau shock yang termaterialisasi pada institusi keuangan akan terefleksi pada perubahan atau pemburukan profil risiko institusi tersebut, seperti risiko kredit, pasar, dan operasional. Jika pemburukan tersebut dibarengi dengan kerentanan di dalam sistem keuangan, maka potensi peningkatan risiko sistemik akan semakin tinggi. Kerentanan pada sistem keuangan dapat dijabarkan ke dalam beberapa kondisi, yaitu (1) financial imbalances, termasuk procyclicality, (2) risk taking dan risk herding behaviour, dan (3) common exposure serta interconnectedness dalam sistem keuangan. Identifikasi risiko lain pada pasar keuangan dan sistem pembayaran meliputi identifikasi risiko- 229

258 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 risiko yang tidak terkait langsung dengan risiko sistemik, namun dapat berpengaruh terhadap pencapaian sasaran kebijakan moneter maupun sistem pembayaran. Sebagai contoh, pada sistem pembayaran juga dilakukan identifikasi risiko operasional untuk penyelenggaran kartu kredit pada setiap bank penyelenggara. Identifikasi risiko tersebut tidak terkait langsung dengan risiko sistemik namun sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pengawasan sistem pembayaran dalam mencapai sistem pembayaran yang aman, lancar, handal dan efisien. c) Asesmen Asesmen dilakukan terhadap risiko sistemik dan risiko lain. Saat ini, asesmen risiko sistemik antara lain dilakukan dengan menggunakan beberapa tools seperti granular stress test, liquidity stress test, Banking Industry Rating, dan network analysis. Sementara itu, asesmen risiko lain yang saat ini sedang dikembangkan adalah penggunaan risk matrix yang dapat menggambarkan profil risiko setiap penyelenggara sistem pembayaran. Sesuai dengan tahapan siklus pengawasan Bank Indonesia, apabila diperlukan, dapat melakukan pemeriksaan, baik yang terkait dengan pengawasan moneter, makroprudensial maupun sistem pembayaran. Pemeriksaan tersebut dibedakan menjadi pemeriksaan yang bersifat tematik dan kepatuhan. Pemeriksaan tematik dilakukan untuk suatu topik tertentu pada satu atau beberapa bank, sementara pemeriksaan kepatuhan lebih bersifat pemeriksaan berbasis kepatuhan terhadap ketentuan. Hasil pengawasan selanjutnya akan menentukan tidak lanjut pengawasan yang perlu dilakukan, baik berupa rekomendasi kebijakan, pembinaan kepada bank/penyelenggara sistem pembayaran, penguatan pengawasan, maupun pengenaan sanksi kepada bank dan/atau pihak lain. 230

259 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan Boks 6.2 Protokol Manajemen Krisis (PMK) Pengalaman krisis tahun 1997 dan 2008 telah mengajarkan pentingnya stabilitas sistem keuangan. Krisis yang terjadi dalam suatu sistem keuangan dapat bersumber dari faktor domestik maupun faktor eksternal sebagai dampak rambatan dari kondisi perekonomian global. Kerentanan pada sistem keuangan serta adanya gangguan/shock eksternal maupun domestik meningkatkan potensi terjadinya krisis sistem keuangan yang dapat menimbulkan biaya penanganan krisis yang besar serta membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama. Kecepatan dan ketepatan tindak lanjut yang dilakukan oleh otoritas akan berperan krusial guna meminimalkan semakin memburuknya dan menyebarnya dampak krisis sistem keuangan. Karenanya diperlukan suatu pedoman yang mengatur secara terstruktur tindakan yang akan dilakukan dalam pencegahan dan penangangan krisis dalam suatu Protokol Manajemen Krisis. Untuk itu, sebagai salah satu perangkat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia telah membangun Protokol Manajemen Krisis internal sebagai pedoman dan payung hukum yang mengatur proses kerja di dalam Bank Indonesia secara sistematis dan terintegrasi yang disebut dengan Protokol Manajemen Krisis Bank Indonesia (PMK BI). Disahkannya Undang Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) pada tanggal 15 April 2016 menjadi momentum bagi untuk menyempurnakan PMK BI yang disusun pada tahun 2012 dalam bentuk Peraturan Dewan Gubernur Nomor18/16/ PDG/2016 tentang Protokol Manajemen Krisis dan Surat Edaran Intern Nomor 18/105/INTERN tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Protokol Manajemen Krisis. Penyempurnaan tersebut mencakup beberapa penyesuaian pengaturan khususnya terkait dengan status tekanan, mekanisme tukar menukar data dan informasi, serta mekanisme koordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam kerangka PMK Nasional. Pengaturan PMK BI dalam PDG tahun 2016 bertujuan untuk menjadi pedoman yang sistematis, terintegrasi, dan berkelanjutan yang mengatur proses kerja di serta sebagai landasan hukum bagi dalam pengambilan keputusan serta pelaksanaan tindakan yang dilakukan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. PMK BI mencakup 3 (tiga) sub protokol yaitu sub protokol Moneter Nilai Tukar, sub protokol Makroprudensial, dan sub protokol Sistem Pembayaran. Ketiganya merepresentasikan tiga tugas utama Bank Indonesia. Setiap sub protokol mengatur pelaksanaan surveilans dan asesmen baik secara berkala maupun sewaktu-waktu sebagai salah satu langkah dalam rangka pencegahan krisis sistem keuangan. 231

260 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Surveilans dan asesmen tersebut dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mencakup: (1) Identifikasi risiko, baik global maupun domestik. Identifikasi dilakukan terhadap risiko-risiko yang dapat memicu peningkatan tekanan nilai tukar dan eksternal, ketidakstabilan sistem keuangan serta peningkatan risiko sistemik, dan ketidakstabilan sistem pembayaran, hal tersebut dilakukan melalui pengumpulan dan monitoring data dan informasi. Indikasi status tekanan dari hasil surveilans dan asesmen dibedakan menjadi Normal dan Ditengarai Krisis. Kondisi Normal dibedakan lagi menjadi kondisi Stabil, Waspada, dan Siaga. Kriteria dari masing-masing status tekanan dibedakan antara lain berdasarkan intensitas tekanan, dampak terhadap Stabilitas Sistem Keuangan dan perekonomian serta respon kebijakan yang harus diambil oleh. (2) Analisis kerentanan dan faktor pemicu terjadinya peningkatan tekanan Nilai Tukar dan Eksternal, ketidakstabilan Sistem Keuangan serta peningkatan Risiko Sistemik dan ketidakstabilan Sistem Pembayaran. Analisa dilakukan dengan menggunakan berbagai indikator baik kuantitatif maupun kualitatif. (3) Perumusan indikasi status tekanan subprotokol Moneter-Nilai Tukar, subprotokol Makroprudensial, dan subprotokol Sistem Pembayaran. Kegiatan surveilans dan asesmen dalam rangka PMK BI tersebut dilakukan oleh masing-masing subprotokol secara berkala (yaitu bulanan, mingguan dan harian) maupun sewaktu-waktu. Surveilans dan asesmen dilakukan dengan menggunakan indikator baik kualitatif maupun kuantitatif. Hasil surveilans dan asesmen dengan menggunakan berbagai indikator tersebut memuat analisis perkembangan, potensi risko, serta indikasi status tekanan terhadap masing-masing subprotokol. Pengambilan keputusan dalam rangka PMK BI dilakukan melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG). Tujuan dari RDG tersebut yaitu untuk mengambil keputusan terkait: (1) status tekanan, (2) penyampaian status tekanan kepada KSSK, (3) respons kebijakan yang perlu dilakukan oleh, dan (4) opsi respons kebijakan yang memerlukan koordinasi dengan Pemerintah, KSSK, dan atau institusi terkait lainnya. Dalam hal RDG menetapkan status tekanan ditengarai Krisis, RDG dapat memutuskan pembentukan pusat penanganan krisis sistem keuangan guna mempercepat langkah atau prosedur yang dilakukan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. Dalam kaitannya dengan PMK Nasional, pada status tekanan Ditengarai Krisis, akan mengusulkan penyelenggaraan Rapat KSSK guna membahas perubahan status tekanan tersebut. Hal tersebut dilakukan mengingat pada kondisi Ditengarai Krisis respons kebijakan harus dilakukan dengan menyeluruh secara nasional. 232

261 Respons Kebijakan Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan Dalam kerangka PMK nasional, merupakan salah satu dari 4 (empat) lembaga yang memilki tugas untuk menjaga SSK terutama dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Selain, 3 (tiga) lembaga lainnya adalah Kementerian Keuangan, OJK, dan LPS. Berdasarkan UU PPKSK, Komite yang bertanggung jawab dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan disebut dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan yang merangkap sebagai koordinator, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisionar LPS. Berdasarkan UU PPKSK, mempunyai peran yang sangat signifikan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yaitu (1) sebagai anggota KSSK dengan hak suara, (2) berperan aktif dalam koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan sesuai dengan tiga kewenangan Bank Indonesia di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, (3) memberikan masukan kepada OJK dalam penetapan bank sistemik, (4) sebagai pemberi Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek/Syariah (PLJP/S), (5) sebagai pembeli Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki oleh LPS untuk penanganan Bank bermasalah berdasarkan keputusan KSSK, dan (6) memberikan dukungan terhadap Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) yang dilakukan oleh OJK dan LPS. Pelaksanaan amanat UU PPKSK memerlukan koordinasi dan kerjasama antarotoritas baik secara bilateral maupun melalui KSSK. Karenanya koordinasi dan kerjasama dalam kerangka PMK Nasional menjadi prioritas setiap lembaga dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Pelaksanaan peran dalam kerangka PMK nasional tersebut juga diatur dalam ketentuan internal mengenai PMK dan peraturan lainnya. 233

262 Bermain layang-layang memerlukan pengenalan cuaca serta arah dan kecepatan angin sehingga dapat mengendalikan layang-layang agar layang-layang terbang dengan stabil dan tenang di angkasa. Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, juga dapat memproyeksikan kondisi perekonomian baik global maupun domestik, tantangan yang akan dihadapi serta potensi risiko yang ada sehingga dapat mempersiapkan respons kebijakan yang diperlukan agar stabilitas tetap terjaga dengan baik.

263 07 Pada tahun 2017, stabilitas sistem keuangan (SSK) diperkirakan dalam kondisi terkendali seiring dengan membaiknya perekonomian serta didukung oleh meningkatnya ketahanan dan kinerja industri perbankan. Sejalan dengan hal tersebut pertumbuhan kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan di 2017 diperkirakan akan lebih baik. Risiko kredit juga diperkirakan stabil dan diharapkan menurun sejalan dengan upaya konsolidasi perbankan dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Walaupun demikian terdapat beberapa sektor ekonomi yang tetap perlu menjadi perhatian dan dicermati terkait dengan perkembangan risiko kredit di sektor-sektor tersebut. Kedepan, terdapat beberapa potensi risiko yang perlu dicermati, baik dari sisi eksternal (antara lain pemulihan ekonomi global yang belum stabil dan ketidakpastian arah kebijakan pemerintah AS) maupun internal (antara lain potensi kenaikan inflasi dari (administered price) yang dapat mempengaruhi SSK. Oleh karena itu, senantiasa akan memperkuat kebijakan makroprudensial yang terukur, terintegrasi dan bersinergi dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran, termasuk penguatan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah, OJK dan LPS. Kebijakan makroprudential terutama diarahkan untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan dan menjaga resiliensi sistem keuangan yakni antara lain melalui penguatan asesmen dan surveillance terhadap sistem keuangan, serta identifikasi dan pemantauan risiko sistemik dengan menggunakan Balance set of Systemic Risk. Tantangan, Outlook dan Arah Kebijakan SSK Ke Depan

264 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 TANTANGAN, OUTLOOK DAN ARAH KEBIJAKAN Prospek SSK 2017 diperkirakan terkendali yang didukung oleh meningkatnya ketahanan dan kinerja industri perbaikan di tengah membaiknya kondisi perekonomian. Eksternal Internal üüpemulihan ekonomi global yang belum stabil. üü Ketidakpastian arah kebijakan pemerintah AS termasuk rencana kenaikan suku bunga The Fed sebanyak tiga kali pada tahun üürebalancing yang terjadi di China. üüpotensi kenaikan inflasi yg bersumber dari administred price dan volatile food üümenjaga agar tidak terdapat kenaikan NPL, serta upaya perbaikan kinerja debitur üüstruktur dana perbankan yang belum seimbang dan pasar keuangan yang masih belum dalam üütidak terpenuhinya target penerimaan negara dari pajak dapat menyebabkan pemotongan anggaran pengeluaran pemerintah sehingga dpt mempengaruhi stimulus fiskal bagi perekonomian 5,0% 5,4% 4,0% ± 1% yoy Rp Pertumbuhan Kredit (yoy) Rp Rp Pertumbuhan DPK (yoy) 26% 23% 18% 16% 20% 14% 17% 12% 11% 10% 14% 12% 8% 9% 11% 6% 8% 10% 4% 2% 5% Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 0% Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q Rp Arah Kebijakan SSK 1. Memperkuat dan memperluas cakupan surveilans makroprudensial untuk mengidentifikasi lebih dini sumber tekanan 2. Identifikasi dan pemantauan risiko sistemik dengan menggunakan Balance set of Systemic Risk dalam bentuk Risk Assesment Matriks untuk mendeteksi risiko prioritas yang berpotensi mengakibatkan ketidakseimbangan pada sistem keuangan, 3. Penguatan kerangka manajemen krisis melalui penetapan alignment indikator SSK dan hasil surveillance dengan PMK Nasional, 4. Mendukung upaya-upaya pendalaman pasar keuangan untuk memperkuat ketahanan pasar keuangan terhadap guncangan/shock, serta 5. Penguatan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah, OJK dan LPS untuk mendukung bauran kebijakan yang ditempuh. 236

265 Tantangan, Outlook dan Arah Kebijakan SSK Ke Depan 7.1. Tantangan Stabilitas Sistem Keuangan kawasan emerging market yang diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,5% Peluang dan Tantangan Eksternal Tantangan dari sisi eksternal antara lain adalah: (1) pemulihan ekonomi global yang belum stabil, (2) tekanan inflasi di negara maju diperkirakan akan meningkat sehingga dapat mendorong kebijakan moneter ketat di negara-negara tersebut, (3) risiko geopolitik di Eropa, serta (4) ketidakpastian arah kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) termasuk rencana kenaikan suku bunga The Fed yang dapat mendorong penguatan mata uang AS sehingga meningkatkan cost of borrowing serta berpotensi menimbulkan tekanan pada arus modal dan nilai tukar. Selain itu, rebalancing (konsolidasi dan menyesuaikan sumber-sumber pertumbuhan ekonominya) yang terjadi di China juga dapat menjadi salah satu tantangan dari sisi eksternal. Sementara itu, IMF dalam publikasi World Economic Outlook (WEO) Januari 2017 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2017 mengalami perbaikan menjadi 3,4%. Hal tersebut terutama ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Tabel 7.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia Variabel PDB Dunia 3,2 3,1 3,4 3,6 - PDB Advance Economies 2,1 1,6 1,9 2,0 -PDBEmerging Economies 4,1 4,1 4,5 4,8 World Trade Volume 2,7 1,9 3,8 4,1 Sumber: WEO IMF 2017 Kontributor pertumbuhan tersebut antara lain berasal dari pertumbuhan ekonomi China dan AS pada tahun 2017 yang masing-masing diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,5% dan 2,3%. Pertumbuhan ini terutama didukung oleh faktor: (1) relatif terbatasnya peluang penurunan harga komoditas dunia lebih lanjut terutama harga minyak, (2) kebijakan stimulus fiskal pemerintah AS, dan (3) kemungkinan normalisasi kebijakan moneter AS yang lebih akomodatif dibandingkan perkiraan semula. Berbagai faktor tersebut diperkirakan dapat memberikan dampak positif ke negara lain serta meningkatkan volume perdagangan internasional yang diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,8% pada tahun Tabel 7.2 Proyeksi PDB AS dan Tiongkok Proyeksi PDB AS Proyeksi PDB Tiongkok The Fed Oct'16 IMF Jan'17 Govt Oct'16 IMF Jan' ,9 1,6 1, ,1 2,2 2, ,5-7 6,6 6, ,5 6,2 6,5 237

266 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Selain itu, terdapat upside risk yang dapat mempengaruhi outlook ke depan yakni pertumbuhan ekonomi AS yang lebih tinggi dibandingkan perkiraan semula. Apabila skenario tersebut terjadi maka dapat membuat the Fed menaikkan suku bunga acuannya lebih agresif dibandingkan proyeksi sehingga mendorong kenaikan yield curve US Treasury dan apresiasi mata uang USD. Di sisi lain, downside risk yang perlu dicermati antara lain adalah ketika pemerintah AS secara agresif melakukan proteksionisme terhadap produk dalam negeri dan membatasi imigran dari luar AS. Kebijakan tersebut dapat mengakibatkan produksi barang AS yang sebelumnya terdiversifikasi berdasarkan keunggulan komparatif setiap negara menjadi terpusat di AS sehingga berpotensi memicu perlambatan ekonomi negara mitra dagang AS. Selain itu, produk ekspor tujuan AS menjadi semakin sulit untuk masuk ke AS karena adanya rencana pengenaan pajak dalam jumlah yang cukup signifikan. Hal ini berpotensi memperlemah pertumbuhan ekonomi dunia dan tekanan inflasi karena peningkatan ongkos produksi Peluang dan Tantangan Internal Di sisi internal/domestik, tantangan yang perlu dicermati adalah potensi kenaikan inflasi dari administered price atau harga yang diatur pemerintah, serta upaya peningkatan penerimaan negara terutama yang berasal dari pajak untuk mengendalikan defisit. Sementara itu, upaya perbaikan kualitas kredit perbankan masih akan berlanjut sehingga diharapkan risiko kredit sudah mulai stabil dan diperkirakan akan turun. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, membaiknya beberapa harga komoditas dan juga masih kuatnya konsumsi domestik akan menjadi peluang bagi peningkatan kredit perbankan, sekaligus perbaikan kualitas kredit. Berlanjutnya implementasi paket kebijakan ekonomi pemerintah juga dapat menjadi peluang bagi sektor keuangan untuk bertumbuh dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi serta upaya menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. melalui kebijakan makroprudensial berupaya untuk mencapai hal tersebut antara lain dengan relaksasi Loan to Value (LTV) untuk kredit properti dan Financing to Value (FTV) untuk pembiayaan properti, serta peningkatan batas bawah Giro Wajib Minimum (GWM)-Loan to Funding Ratio (LFR) dari semula 78% menjadi 80%. Selain itu, kinerja korporasi yang diperkirakan akan lebih stabil dan membaik juga dapat menjadi peluang bagi sektor keuangan untuk tetap tumbuh, termasuk upaya untuk memperbaiki kualitas kredit. Selanjutnya, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan membaiknya kinerja korporasi diharapkan dapat meningkatkan penghimpunan DPK perbankan sebagai salah satu sumber dana bagi bank dalam menyalurkan kredit. Dari sisi pengendalian inflasi, terutama administered prices serta pengaruh volatile food terhadap inflasi, senantiasa akan melakukan penguatan koordinasi dengan pemerintah melalui Tim Pemantauan & Pengendalian Inflasi baik di skala nasional maupun daerah dengan fokus pada pengendalian harga agar tetap berada pada kisaran tertentu guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sementara itu, dari sisi fiskal, program tax amnesty diharapkan dapat memberikan tambahan penerimaan negara dan perluasan tax base pembayar pajak. Risiko tidak terpenuhinya target penerimaan negara dari pajak dapat membuat pemotongan anggaran pengeluaran 238

267 Tantangan, Outlook dan Arah Kebijakan SSK Ke Depan pemerintah yang dapat berdampak pada terbatasnya kemampuan fiskal untuk memberikan stimulus bagi perekonomian. Dari sektor keuangan, terutama perbankan, tantangan terbesar adalah menjaga agar tidak terjadi kenaikan NPL lebih lanjut serta perbaikan kinerja debitur agar dapat memenuhi kewajibannya. Upaya untuk menurunkan NPL ini dapat mengurangi biaya pencadangan perbankan sehingga diharapkan dapat mendukung upaya penurunan suku bunga kredit. Selain itu, struktur dana perbankan yang belum seimbang dan pasar keuangan yang masih belum dalam juga menjadi tantangan domestik Prospek Ketahanan Perbankan dan Stabilitas Sistem Keuangan Kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 2017 diperkirakan akan lebih baik ditengah perekonomian global yang diperkirakan masih tumbuh terbatas. Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,0% 5,4% dengan sasaran inflasi 4% ± 1%. Fase pemulihan ekonomi diperkirakan terus berlanjut terutama ditopang oleh membaiknya kinerja ekspor seiring dengan mulai meningkatnya harga beberapa komoditas. Sementara itu pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan masih cukup stabil dan kuat dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didukung oleh terkendalinya inflasi. Stabilitas sistem keuangan juga diperkirakan akan stabil dan terkendali terutama didukung oleh ketahanan dan membaiknya kinerja industri perbankan. Sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi dan berbagai kebijakan yang telah dilakukan sebelumnya, pertumbuhan kredit dan DPK di 2017 diperkirakan akan lebih baik dibandingkan tahun Kredit diperkirakan mengalami pertumbuhan pada kisaran 10%-12% seiring dengan kinerja korporasi yang cenderung meningkat walaupun masih sedikit berhati-hati dalam melakukan ekspansi. Seiring dengan kinerja korporasi non keuangan di tahun 2016 yang menunjukkan perbaikan dan kondisi dunia usaha di 2017 masih menghadapi tantangan, diperkirakan kinerja korporasi non keuangan masih dapat terjaga dengan beberapa sektor ekonomi yang akan mengalami pertumbuhan. Sektor infrastruktur masih memerlukan pembiayaan yang cukup besar sehingga dapat mendorong pertumbuhan kredit perbankan sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam membangun sarana pendukung pertumbuhan ekonomi. Sementara itu ekspor diperkirakan meningkat seiring dengan perbaikan ekonomi di negara mitra dagang dan meningkatnya harga beberapa komoditas. Perbaikan ekspor tersebut diperkirakan akan berlanjut tidak hanya ditopang oleh ekspor komoditas tetapi juga produk manufaktur. Sementara itu, DPK pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh dalam kisaran 9%-11% atau lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, pertumbuhan kredit yang diperkirakan lebih tinggi dari DPK berpotensi menimbulkan terjadinya funding gap terutama di triwulan IV 2017, sehingga akan mendorong perbankan untuk mencari sumber pendanaan lain. Hal ini sejalan dengan meningkatnya proyeksi penerbitan surat berharga dan ULN bank pada tahun Perkiraan pertumbuhan DPK yang relatif masih rendah tersebut antara lain disebabkan oleh adanya potensi perpindahan dana perbankan dari DPK ke Surat Berharga Negara (SBN) karena SBN menawarkan return yang lebih tinggi, serta peraturan OJK yang mewajibkan IKNB untuk menempatkan dana investasi di instrumen SBN dalam porsi tertentu. 239

268 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret % Grafik 7.2 Pertumbuhan Kredit (yoy) Grafik 7.3 Pertumbuhan DPK (yoy) 23% 18% 16% 20% 14% 17% 12% 11% 10% 14% 12% 8% 9% 11% 6% 8% 10% 4% 2% 5% Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 0% Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q Non Performing Loan (NPL) dan konsolidasi perbankan diperkirakan masih akan mempengaruhi dinamika pertumbuhan kredit pada tahun Risiko kredit diperkirakan mulai stabil dan diharapkan dapat turun sejalan dengan upaya konsolidasi perbankan dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu terdapat beberapa sektor ekonomi yang masih perlu menjadi perhatian dan dicermati terkait dengan kondisi risiko kredit sektor-sektor tersebut saat ini dibandingkan dengan periode sebelumnya. Selanjutnya, dengan mempertimbangkan kemampuan perbankan dalam mempertahankan pertumbuhan laba dan ketahanan permodalan, serta mengelola risiko kredit dengan cukup baik, maka stabilitas sistem keuangan dan ketahanan perbankan diperkirakan akan tetap terjaga di Sementara itu, kondisi likuiditas perbankan diperkirakan juga membaik seiring dengan operasi keuangan pemerintah dan aliran masuk uang kartal, serta meningkatnya perekonomian Arah Kebijakan Kedepan, berbagai tantangan, baik dari sisi eksternal maupun domestik, masih perlu diwaspadai guna menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Menghadapi tantangan tersebut Bank Indonesia senantiasa akan memperkuat kebijakan makroprudensial yang terukur, terintegrasi dan bersinergi dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran. Kebijakan makroprudential diarahkan untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan dan menjaga resiliensi sistem keuangan. Dengan memperhatikan tantangan di 2017, arah kebijakan makroprudential antara lain akan meliputi: (1) memperkuat dan memperluas cakupan surveilans makroprudensial untuk mengidentifikasi lebih dini sumber tekanan, (2) identifikasi dan pemantauan risiko sistemik dengan menggunakan Balance set of Systemic Risk dalam bentuk Risk Assesment Matriks, (3) penguatan kerangka manajemen krisis melalui penetapan alignment indikator SSK dan hasil surveilans dengan PMK Nasional, (4) mendukung upaya-upaya pendalaman pasar keuangan untuk memperkuat ketahanan pasar keuangan terhadap guncangan, serta (5) penguatan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah, OJK dan LPS untuk mendukung bauran kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia. 240

269 Tantangan, Outlook dan Arah Kebijakan SSK Ke Depan Selanjutnya, upaya dalam memperkuat asesmen dan surveilans terhadap sistem keuangan antara lain dilakukan melalui pendekatan dan penerapan kebijakan LTV, Countercyclical Capital Buffer (CCB), GWM LFR, analisa national and regional balance sheet, dan peran financial technology office dalam merespon perkembangan fintech terutama kaitannya dengan sistem keuangan Indonesia. juga akan terus mendukung pengembangan UMKM melalui dua pendekatan utama, yaitu mendorong peran intermediasi perbankan kepada UMKM dan peningkatan kapasitas ekonomi UMKM. Selain itu, akan melanjutkan program perluasan dan pendalaman infrastruktur kredit UMKM guna mengurangi kendala asymmetric information yang disebabkan adanya kesenjangan antara kapasitas UMKM dan kapasitas pembiayaan perbankan. Selain itu, akses pelaku UMKM khususnya di sektor industri kreatif akan dijajaki bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Berkaf) yang mana Bank Indonesia akan memfasilitasi penyusunan model bisnis pembiayaan dan intermediasi perbankan dengan pelaku usaha industri kreatif. Upaya mendorong penyaluran kredit UMKM juga didukung dengan terbukanya peluang penyaluran kredit kepada UMKM melalui pola linkage bekerjasama dengan fintech seiring dengan berkembangnya layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (fintech). 241

270 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Boks 7.1 Survei Risiko Sistemik Sistem Keuangan Indonesia Sebagai institusi yang memiliki kewenangan di bidang Makroprudensial, berperan untuk menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan (SSK), terutama dengan mencegah dan mengurangi risiko sistemik. Dalam melaksanakan tugasnya, mengembangkan mekanisme Balanced Approach, yakni dengan mengidentifikasi risiko-risiko prioritas yang perlu diwaspadai, sehingga resources yang dimiliki dapat digunakan secara efektif dan efisien pada risiko-risiko tersebut. Implementasi Balanced Approach meliputi: (1) identifikasi sumber-sumber gangguan berupa shocks 1 dan vulnerabilities 2, (2) identifikasi sumber risiko yang merupakan interaksi antara shock dan vulnerability, serta (3) melakukan prioritisasi atas risiko-risiko tersebut yang berpotensi menyebabkan risiko sistemik. Dalam mengidentifikasi shock dan vulnerability yang menjadi sumber risiko dalam sistem keuangan, juga menjaring informasi dari stakeholder melalui pelaksanaan survei risiko sistemik. Dengan demikian, dapat memperoleh informasi yang lebih komprehensif, serta dapat mengurangi asimetrik informasi mengenai risiko dalam sistem keuangan Indonesia. Survei risiko sistemik mulai dilaksanakan pada tahun 2015, dengan penyempurnaan kuesioner pada survei kedua tahun Kedepan, survei ini akan dilaksanakan secara semesteran. Pada Survei Risiko Sistemik 2016, jumlah responden sebanyak 202 responden dengan tingkat pengembalian kuesioner (response rate) sebesar 74,3%. Responden survei antara lain pelaku di bidang keuangan yang dinilai memiliki kompetensi dan pengetahuan yang memadai atas perkembangan terkini dalam sistem keuangan. Responden merupakan pejabat high-level di institusi keuangan bank dan nonbank, asosiasi profesi, pakar ekonomi, korporasi, lembaga internasional, dan lainnya seperti akademisi, media, dan lembaga riset. Survei didesain dengan 2 (dua) pertanyaan utama. Pertama, pertanyaan untuk menggali informasi mengenai sumber risiko sistemik (shock dan vulnerability) dalam Sistem Keuangan Indonesia. Pertanyaan ini ditujukan untuk menggali persepsi responden atas dampak 3 dan kemungkinan terjadi 4 dari setiap shock, serta sifat risiko 5 dan tingkat keparahan 6 dari setiap vulnerability. Hasil penilaian responden akan dikuantifikasi 7 sehingga menghasilkan daftar prioritas shock dan vulnerability. Kedua, pertanyaan ditujukan untuk menggali informasi terkait tingkat kepercayaan responden terhadap Stabilitas Sistem Keuangan 1 Shock adalah peristiwa tertentu yang memicu (membarengi) terjadinya krisis (the proximate cause). 2 Vulnerabilities adalah kondisi (pre-existing features) sistem keuangan yang dapat memperkuat (amplify) dan mempercepat penyebaran shock. 3 Penilaian dampak risiko dibedakan menjadi Besar, Sedang dan Kecil dengan nilai kuantifikasi masing-masing 3,2 dan 1. 4 Penilaian kemungkinan terjadi dibedakan menjadi Tinggi, Sedang dan Rendah dengan nilai kuantifikasi masing-masing 3,2 dan 1. 5 Penilaian sifat risiko dibedakan menjadi Temporal dan Struktural dengan nilai kuantifikasi masing-masing 2 dan 1. 6 Penilaian tingkat keparahan dibedakan menjadi Mengkhawatirkan dan Tidak Mengkhawatirkan dengan nilai kuantifikasi masing-masing 2 dan 1. 7 Total nilai shock diperoleh dengan mengkalikan nilai dampak dan kemungkinan terjadi, sedangkan nilai vulnerbility diperoleh dengan menambahkan nilai sifat dan tingkat keparahan. 8 Penilaian tingkat kepercayaan dibedakan menjadi Sangat Percaya, Percaya, Tidak Percaya dan Sangat Tidak Percaya dengan nilai kuantifikasi 4,3,2 dan

271 Tantangan, Outlook dan Arah Kebijakan SSK Ke Depan di Indonesia, baik dalam jangka pendek(<6 bulan) maupun panjang (> 6bulan) 8. Adapun daftar prioritas shock dan vulnerability berdasarkan hasil Survei Risiko Sistemik tahun 2016 adalah sebagai berikut: Shock Vulnerability 1. Perlambatan pertumbuhan ekonomi negara yang memiliki pengaruh pada perekonomian dunia (e.g Tiongkok). 2. Perubahan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan fiskal (e.g. tax amnesty, kebijakan front loading). 3. Penurunan indeks harga komoditas. 4. Perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik. 5. Penurunan harga minyak dunia. 6. Kenaikan Fed Fund rate. 7. Perubahan kebijakan dan/atau regulasi pada institusi keuangan (e.g. kepemilikan SBN oleh IKNB, capping suku bunga). 8. Isu politik dan keamanan dalam dan luar negeri. 9. Force majeur yang mempengaruhi operasional sistem keuangan. 1. Terkonsentrasinya sumber pendanaan pada nasabah besar. 2. Sektor perbankan yang didominasi oleh beberapa bank besar. 3. Pangsa dan volatilitas kepemilikan dana asing yang tinggi. 4. Pasar keuangan yang belum dalam (shallow financial market). 5. Peningkatan utang luar negeri swasta. 6. Komposisi ekspor didominasi oleh komoditas yang mengalami penurunan harga. 7. Over leverage korporasi. 8. Inovasi teknologi keuangan (Financial technology) yang belum diimbangi dengan keamanan IT. 9. Permasalahan sumber pendanaan bank. 10. Keterkaitan sistem keuangan dengan defisit fiskal. 11. Konsentrasi kredit pada sektor tertentu atau pada komoditas yang mengalami penurunan harga. 12. Segmentasi di PUAB. 13. Prosiklikalitas pertumbuhan kredit. Hasil survei tersebut selanjutnya akan diolah menjadi daftar dan penetapan sumber risiko dalam Sistem Keuangan Indonesia. Melalui penetapan ini, dapat mengidentifikasi prioritas sumber risko sistemik sehingga mitigasi risiko yang dilakukan dapat lebih fokus, terarah dan komprehensif. 243

272 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Boks 7.2 Fungsi Pengembangan Shock Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan merupakan otoritas makroprudensial yang turut berperan dalam mendorong terpeliharanya Stabilitas Sistem Keuangan 9 (SSK) melalui kewenangan di bidang makroprudensial. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, kewenangan dalam bentuk pengaturan dan pengawasan Makroprudensial dilakukan dengan tujuan untuk: 1) mencegah dan mengurangi risiko sistemik, 2) mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, dan 3) meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan. Meskipun mitigasi risiko sistemik umumnya menjadi ultimate goal dari kebijakan Makroprudensial, namun tujuan intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta tujuan efisiensi dan akses keuangan juga diperlukan khususnya bagi Indonesia sebagai negara berkembang. Tujuan intermediasi yang seimbang dan berkualitas tersebut dilakukan dalam upaya menciptakan penyaluran kredit yang sehat dan optimal sesuai dengan kapasitas dan siklus perekonomian, sehingga dapat meminimalkan risiko yang mungkin timbul antara lain terkonsentrasinya kredit pada sektor tertentu dan procyclicality kredit. Sementara itu, tujuan efisiensi dan akses keuangan antara lain dilakukan dalam upaya mendorong iklim persaingan yang sehat yang diharapkan dapat menurunkan biaya intermediasi, serta mendukung pengembangan pasar keuangan melalui pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sekaligus memperluas jangkauan perbankan kepada semua lapisan masyarakat (financial inclusion). Hal ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan makroprudensial oleh dilakukan dengan melihat dan mempertimbangkan faktor penting lainnya sesuai dengan kondisi Indonesia yaitu memasukkan aspek peningkatan akses keuangan khususnya akses keuangan UMKM sebagai salah satu faktor pendukung dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan. Adapun beberapa pertimbangan dimasukkannya fungsi pengembangan UMKM sebagai cakupan implementasi kebijakan makroprudensial adalah sebagai berikut: 1. Peran Strategis UMKM dalam Sistem Keuangan Indonesia. Dalam struktur perekonomian Indonesia, UMKM merupakan salah satu komponen dari perusahaan non keuangan dan rumah tangga yang melakukan usaha produktif. UMKM memegang peranan penting dalam sistem keuangan karena sekitar 98,74% unit bisnis di Indonesia merupakan UMKM dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 59% dan menyerap hampir 97% tenaga kerja Indonesia. 9 Stabilitas Sistem Keuangan adalah kondisi sistem keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri (UU PPKSK, 2016). 244

273 Tantangan, Outlook dan Arah Kebijakan SSK Ke Depan Grafik Boks Kontribusi UMKM Terhadap Jumlah Unit Usaha, PDB, dan Penyerapan Tenaga Kerja Kontribusi Terhadap PDB 2013 Kontribusi Penyerapan Tenaga Kerja 2014 Kontribusi terhadap Unit Usaha % 16% 13% 30% 5,7% 4,0% 3,3% 87,0% 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 98,74% Usaha Mikro 1,15% Usaha Kecil Usaha Menengah Usaha Besar Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Kecil Usaha Besar Usaha Menengah Usaha Besar Usaha Menengah Usaha Mikro Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM Mengingat peran strategis dan kontribusi UMKM yang besar dalam perekonomian Indonesia tersebut, maka dalam rangka mewujudkan stabilitas sistem keuangan tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membangun ketahanan UMKM melalui terjaganya keberlangsungan usaha serta meningkatnya kapasitas ekonomi. 2. Upaya Menciptakan Intermediasi Perbankan yang Seimbang. Walaupun peran UMKM sangat strategis dalam perekonomian Indonesia, namun UMKM belum sepenuhnya didukung oleh pembiayaan yang memadai dari lembaga keuangan formal (perbankan). Pada Desember 2016, kredit perbankan yang disalurkan ke UMKM di Indonesia baru mencapai 7,2% dari PDB. Dukungan pembiayaan ini relatif rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (22,4%), Thailand (36,6%), Korea (40,2%) dan Kamboja (10,7%). Kondisi ini dapat terjadi karena porsi pembiayaan 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% Grafik Boks Pembiayaan UMKM dibandingkan Negara Lain 20% 10% 0% 40,20% 40,20% 94,36% 22,17% 18,01% 10,70% 7,16% 19,42% 32,58% Korea Cambodia Indonesia * ) SMI Loan to GDP 19,4% UMKM 30,5% Perseorangan 22,40% SME Loan to Total Loan Sumber: - Asia SME Finance Monitor, ADB, WB Global Findex 2014 (kepemilikan akun) Grafik Boks Komposisi Kredit Perbankan 7,7% Pemerintah 1,2% Lainnya Sumber: LBU, Desember ,30% 80,67% Malaysia 36,60% 34,50% 78,14% Thailand Kepemilikan Akun 41,2% Korporasi 245

274 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 perbankan yang disalurkan ke UMKM di Indonesia relatif rendah yakni sebesar 19,4%, lebih rendah dibandingkan dengan Thailand (34,5%) dan Korea (40,2%). Porsi tersebut juga lebih rendah dibandingkan dengan penyaluran kredit perbankan kepada korporasi (41,2%) dan perseorangan/rumah tangga (30,5%) yang sebagian besar untuk tujuan konsumsi. Indikator di atas menunjukkan bahwa penyaluran kredit kepada UMKM di Indonesia masih relatif rendah. Di sisi lain, dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan antara lain diperlukan adanya fungsi intermediasi yang lebih seimbang dengan memperluas akses kredit bagi UMKM. Disamping itu, dengan mengembangkan akses kepada UMKM dapat memitigasi terjadinya risiko sistemik yang berpotensi muncul dari tingginya konsentrasi kredit kepada korporasi. Selanjutnya guna mengembangkan UMKM melalui peningkatan intermediasi perbankan kepada UMKM, melalui PBI No.14/22/PBI tanggal 21 Desember 2012 sebagaimana diubah oleh PBI No.17/12/PBI tanggal 25 Juni 2015 tentang Pemberian Kredit/ Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, mewajibkan Bank Umum untuk menyalurkan kredit kepada UMKM minimum sebesar 20% (secara bertahap) dari total kredit yang disalurkan. Kewajiban peningkatan rasio kredit UMKM tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian bank, yang mana Bank Umum wajib menjaga tingkat risiko kredit dengan rasio NPL kredit UMKM dan rasio NPL total kredit dibawah 5%. Selain itu, juga menyempurnakan upaya untuk mengembangkan UMKM dengan melaksanakan berbagai program fasilitasi serta pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan UMKM, sehingga diharapkan asymmetric information antara institusi keuangan dan UMKM dapat diminimalisir dan juga risiko dapat dikelola dengan baik. 3. Pengembangan UMKM sebagai Upaya Financial Development dalam Mendukung Implementasi Kebijakan Makroprudensial yang Lebih Efektif. Berdasarkan penelitian BIS (2016) 10 mengenai keterkaitan antara financial development di suatu negara dengan tingkat efektifitas instrumen makroprudensial, disebutkan bahwa instrumen makroprudensial khususnya yang bersifat price-based, seperti Giro Wajib Minimum berdasarkan Loan to Funding Ratio (GWM LFR), lebih efektif pada kondisi pasar sistem keuangan yang telah berkembang (financial developed). Adapun indikator financial development yang digunakan dalam penelitian tersebut mengacu pada indikator 10 Baskaya, Kenc, Shim, and Turner (2016): Financial Development and The Effectiveness of Macroprudential Measures BIS Working Paper, no

275 Tantangan, Outlook dan Arah Kebijakan SSK Ke Depan financial development World Bank yang sebagian besar menunjukkan bahwa semakin besar kontribusi pembiayaan perbankan dan lembaga keuangan terhadap PDB maka semakin berkembang sistem keuangan suatu negara (Financial Developed), antara lain: private credit by bank/gdp. Sehubungan dengan hal tersebut, kebijakan rasio kredit UMKM minimum yang diterapkan oleh merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan financial development pada sistem keuangan Indonesia. Pencapaian hal ini diharapkan dapat mendukung upaya-upaya dalam menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan antara lain melalui kebijakan makroprudensial. 4. Fungsi Pengembangan UMKM sebagai Pendukung Pencapaian Tugas. Selain untuk mendukung upaya dalam menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan, pelaksanaan fungsi pengembangan UMKM oleh juga dimaksudkan untuk mendukung tugas lainnya yakni di bidang moneter dan sistem pembayaran yaitu antara lain: 1) menjaga stabilitas inflasi melalui volatile food dengan pelaksanaan program-program fasilitasi untuk mengembangkan UMKM yang bergerak di komoditas ketahanan pangan, dan 2) mendorong keuangan inklusi dan efisiensi transaksi keuangan serta meningkatkan akses pasar UMKM melalui pemanfaatan teknologi. Di beberapa negara lain fungsi pengembangan UMKM juga dilaksanakan oleh bank sentral, diantaranya India, Filipina, dan Korea. Reserve Bank of India (RBI) melaksanakan fungsi pengembangan UMKM dalam rangka inklusi keuangan dan pengembangan sistem keuangan. Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP) melaksanakan pengaturan penyaluran kredit perbankan kepada UMKM sebagai bagian dari fungsi pengawasan sistem keuangan. Sementara Bank of Korea (BOK) mengimplementasikan kebijakan penyaluran kredit UMKM untuk tujuan mendukung kebijakan moneter. 247

276 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Artikel 1. Liquidity Stress Testing Penggunaan Macroprudential Tools dalam Kerangka Protokol Manajemen Krisis Irman Robinson 1, Wahyu Widianti 2, Duky Sumantri 3, I.G.N. Yudia 4, Rolan Marulitua 5 248

277 Artikel Latar Belakang Sejalan dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui UU No. 21 Tahun 2011, telah diberikan mandat untuk ikut mendorong stabilitas sistem keuangan melalui pendekatan makroprudensial dalam bentuk pengaturan dan pengawasan. Dalam rangka implementasi mandat tersebut, telah diterbitkan Peraturan (PBI) No.16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 perihal Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial. Berdasarkan ketentuan ini, salah satu tujuan Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang makroprudensial adalah untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik. Granular Stress Test (GST) merupakan salah satu instrumen pengukuran risiko sistemik yang berasal dari risiko individual bank (idiosyncratic risk) yang dapat berinteraksi satu sama lain dengan bank atau elemen lain dalam sistem keuangan sehingga menyebabkan terjadinya contagion impact yang mengganggu stabilitas sistem keuangan. Beberapa jenis risiko yang dicakup dalam granular stress test adalah risiko kredit, pasar dan likuiditas. Sesuai dengan cakupannya, GST dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu (i) Solvency Stress Test untuk menilai ketahanan permodalan bank dalam menghadapi kondisi stress karena peningkatan eksposur risiko kredit dan risiko pasar, dan (ii) Liquidity Stress Test untuk menilai kecukupan likuiditas bank dalam memenuhi penarikan dana dalam kondisi stress selama 30 hingga 90 hari ke depan. Kedua stress test meliputi beberapa model pengukuran risiko, antara lain model NPL untuk risiko kredit, model yield curve untuk risiko pasar trading book, gap analysis untuk risiko suku bunga pada banking book, model risiko nilai tukar berdasarkan analisis sensitivitas untuk Posisi Devisa Neto (PDN), dan model simplified Liquidity Coverage Ratio (LCR) untuk risiko likuiditas. Khusus untuk GST likuiditas, selain untuk penilaian kecukupan likuiditas bank, pelaksanaan GST tersebut juga merupakan bagian dari Kerangka Protokol Manajemen Krisis, khususnya dalam rangka pelaksanaan tugas sebagai lender of the last resort. Dalam siklus pengawasan makroprudensial, GST merupakan bagian dari asesmen risiko sistemik yang dilakukan bersama dengan tools asesmen lainnya. Selain GST, pengawas makroprudensial di saat ini telah memiliki tools dan early warning indicator yang digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai risiko sistemik, seperti Banking Industri Rating dan Network Analysis. Dengan demikian, stress test menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam rangkaian aktivitas surveilans dalam siklus pengawasan. Kepala Tim di Grup Sektor Keuangan 3, Departemen Surveilans Sistem Keuangan (DSSK),. irman_r@bi.go.id Kepala Unit di Grup Sektor Keuangan 3, Departemen Surveilans Sistem Keuangan (DSSK),. wahyu_w@bi.go.id Asisten Manajer di Grup Sektor Keuangan 3, Departemen Surveilans Sistem Keuangan (DSSK),. duky_s@bi.go.id Kepala Unit di Grup Sektor Keuangan 3, Departemen Surveilans Sistem Keuangan (DSSK),. ign_yudia@bi.go.id Kepala Unit di Grup Sektor Keuangan 3, Departemen Surveilans Sistem Keuangan (DSSK),. rolan_m@bi.go.id 249

278 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Pelaksanaan GST Likuiditas dalam Siklus Pengawasan Makroprudensial dan Penggunaan dalam Kerangka Protokol Manajemen Krisis Siklus Keuangan & Makroekonomi - Global - Domestik Kebijakan Moneter, Makroekonomi (GDP, Fiskal, BaP), Perkembangan Pembiayaan, ULN. Lembaga Keuangan - Bank Besar - IKNB Size, Interconn ectedness Complexity, Aspek Compliance Pasar Keuangan dan Infrastruktur Rekomendasi Penyempurnaan kebijakan pada Satker terkait Makroprudential, Moneter (termasuk Pasar Keuangan) dan Sistem Pembayaran Rekomendasi Penguatan pengawasan Koordinasi dengan institusi/otoritas lain Pembinaan: Rekomendasi kepada Bank, Pengenaan Sanksi SURVEILANS 1 -Pasaar Uang -Pasaar Modal dan Ekuitas -Pasar Valas -Pialang Pasar Uang (PPU) Entitas Non keuangan Liquidity, Maturity, Curency mismatch, Aspek Compliance, Ops Risk Evaluasi dan Tindak Lanjut 3 SIKLUS PENGAWASaN BANK INDONESIA Monitoring - Korporasi - Rumah Tangga Penyelenggaraan Sistem Pembayaran - Entitas Penyelenggara - Sistem dan Pendukung Asset & Liabilities ( Leverage), Likuiditas, Asset Turn Over, DER Indeks Keyakinan Konsumen, DIR Risiko Peserta RTGS-SKNBI dan PJSP: Likuiditas, Settlement, Interconnectedness, Oprasional, aspek compliance, Persetujuan PJSP PEMERIKSAAN TEMATIK (Makroprudensial, Moneter, dan SP KEPATUHAN - Targeted 2 Monitoring Asesmen Asesmen Risiko Sistemik: Granular Stress Test Liquidity Stress Test Banking Industry Rating & Risk Register Network Analysis Monitoring Identifikasi Sumber Risiko Sistemik Dan Transmisi Risiko Sistemik Sumber Risiko dari Informasi EWI dan analisis sumber risiko prioritas Sumber Risiko Lainnya, termasuk sumber risiko dibidang moneter Trasmisi Risiko : Lembaga Keuangan, Sektor Ril, Pasar, Sistem Pembayaran Risiko Sistemik Kerentanan Financial Imbalances (termasuk Procyclicality) Common Exposure Interconnectedness & Contagion effect dari idiosyncratic risk LAPORAN SURVEILANS SISTEM KEUANGAN Laporan Reguler/Periodik Laporan Insidentil/Tematik Banking Industry Rating Risk Register LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN Asesmen Risiko Lain: Risk Matrix Asesmen Risiko Lain: Risk Matrix Risiko Moneter dari Interkasi Pelaku Sistem Keuangan Aktivitas Pasar uang, pasar valas, treasury bank termasuk lembaga pendukung Transaksi valas rupiah,dll Risiko Lain & Kepatuhan Prinsip Kehati-hatian Prinsip Kehati-hatian Kepatuhan Penyelengara jasa SP SP Penyelengara jasa SP Penyelenggaraan Jasa Ketentuan Penyelenggaraan Jasa Sistem Pembayaran Makroprudensial, Sistem Pembayaran Instrumen dan Produk Moneter, Instrumen dan SProduk Sistem Pembayaran Pialang Sistem Pembayaran Pasar Uang Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam kerangka Protokol Manajemen Krisis, Granular Stress Test likuiditas menjadi salah satu confirming factor terhadap indikator likuiditas yang digunakan dalam aktivitas surveilans untuk menetapkan status sistem keuangan, antara lain berupa early warning indicators dan cash flow projection. 250

279 Artikel Referensi Beberapa Negara terkait GST Likuiditas Pelaksanaan stress test likuiditas di beberapa negara dilakukan dengan pendekatan yang berbeda-beda sebagaimana berikut ini: dengan pendekatan ini mirip dengan perhitungan LCR, ketersediaan alat likuid (atau high quality liquid assets) dibandingkan dengan kebutuhan likuiditas untuk memenuhi cash outflows akibat pelunasan kewajiban Otoritas Pendekatan Skenario Methods and Model Time Horizon Cakupan Bank of Japan Balance Sheet Hypothetical Liquidity Ratio Based 3 months All major and Regional Banks (77% total asset) Sveriges Riksbank Balance sheet Hypothetical % historical Swedish LCR (old basel III version) 30 days 4 largest banks (75% total asset) Bank of Italy Balance sheet Hypothetical % historical Counterbalancing and NCO Gap 30 days Top 33 Banks (90% total asset) Central Bank of Brazil Balance sheet Hypothetical Liquidity Coverage Ratio approach 30 days All Banks Central Bank of Austria Model Based Macroeconomic scenarios align with sovency test Cash flow based days. & 1 year Largest 29 Banks (80% Total asset) Bank of England Model Based Hypothetical align with solvency test LCR and Implied cash flow 5 and 30 days 10 Banks (80% total aset) Bank of Korea Model Base Hypothetical Implied cash flow 30 days All Commercial Bank Serupa dengan model yang digunakan, beberapa otoritas di dunia menggunakan pendekatan balance sheet untuk mengukur kecukupan likuiditas bank pada kondisi stress. Stress test likuiditas dilakukan secara terpisah dari stress test solvency yang lebih fokus pada ketahanan permodalan bank. Dasar pemikiran dari pemisahan kedua jenis stress test adalah krisis keuangan global tahun 2008 (global financial crisis) dimana bank-bank yang memiliki permodalan kuat belum tentu aman dari risiko likuiditas. Meskipun demikian, terdapat beberapa otoritas yang mencoba menggabungkan kedua jenis stress test tersebut dengan menggunakan pendekatan berbasis model untuk menangkap interaksi di antara kedua jenis stress test. Stress test likuiditas dengan pendekatan balance sheet pada umummya dilakukan dengan menggunakan asumsi roll-off dan run-off yang ditetapkan berdasarkan referensi tertentu (hypothetical) maupun berdasarkan data historis yang dimiliki bank atau industri. Pendekatan perhitungan kecukupan likuiditas dan penarikan dana nasabah. Hasil akhir dari stress test tersebut dapat bervariasi dalam bentuk rasio (sebagaimana LCR) dan dalam bentuk sisa alat likuid yang dimiliki bank setelah periode tertentu. Pada umumnya, otoritas melakukan stress test likuiditas untuk periode 30 hingga 90 hari ke depan dengan menggunakan balance sheet saat ini (static balance sheet). Penerapan stress test likuiditas di beberapa otoritas difokuskan pada beberapa bank besar yang cenderung merupakan bank sistemik. Di Indonesia, Bank Indonesia menerapkan stress test likuiditas terhadap seluruh bank, tidak hanya pada bank-bank yang tergolong sistemik. Pendekatan stress test likuiditas di Indonesia adalah pendekatan balance sheet dengan skenario yang bersifat hypothetical dan historis untuk mengukur roll-off kredit dan run-off dana pihak ketiga. Hasil akhirnya adalah ketersediaan alat likuid hingga 90 hari ke depan dalam memenuhi kebutuhan likuiditas untuk menutup cash outflows dari pelunasan kewajiban dan penarikan dana nasabah. 251

280 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret Framework GST Likuiditas Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pendekatan GST likuiditas menggunakan pendekatan balance sheet yang tidak jauh berbeda dengan pendekatan LCR yang diatur dalam Basel III atau yang dikenal sebagai simplified LCR. Serupa dengan LCR, komponen cash inflow dan cash outflow terdiri dari komponen on- dan off- balance sheet yang pada kondisi stress dikenakan roll-off dan run-off rate tertentu sesuai asumsi severity yang ditetapkan. Asumsi tersebut (roll-off maupun run-off) ditetapkan atas dasar hypothetical maupun historikal untuk menangkan behaviour dari nasabah. Sebagai contoh, run-off untuk pinjaman dari bank lain ditetapkan sebesar 100% berdasarkan asumsi hypothetical, sementara run-off untuk deposito nasabah ditetapkan berdasarkan data historis. Perbandingan antara cash outflows dan cash inflows tersebut akan menghasilkan net cash outflows yang akan dipenuhi dari counterbalancing capacity bank, di antaranya adalah alat likuid yang dimiliki dan dikuasai bank, seperti Kas, Giro di BI, Operasi Moneter, penempatan pada deposit facility bank sentral, serta Surat Berharga AFS dan Trading. Alat likuid tersebut merupakan aset yang dimiliki dan dalam penguasaan bank serta mudah untuk dikonversi menjadi Kas. Tingkat risiko dan kemudahan konversi menentukan weight atau haircut untuk setiap alat likuid. Besarnya haircut untuk alat likuid dalam GST likuiditas Bank Indonesia ditentukan berdasarkan pendekatan hypothetical, yaitu dengan menggunakan referensi LCR, IMF dan ketentuan BI, serta berdasarkan pendekatan historis, yaitu berdasarkan data historis dari harga alat likuid yang diukur. Pelaksanaan GST dengan framework tersebut dilakukan untuk likuiditas Rupiah dan Valas (total likuiditas) maupun hanya untuk likuiditas valas. Adapun perbandingan antara GST likuiditas Bank Indonesia dan LCR adalah sebagai berikut: LIQUIDITY COVERAGE RATIO VS LIQUIDITY STRESS TEST Stock of HQLA (High Quality Liquid Assets) Net Cash Outflow (Cash Outflow - Cash Inflow) In 30 days FORMULA Gap antara Alat Likuid dan Net Cash Outflow (Cash inflow - Cash Outflow Menilai ketahanan HQLA bank dalam memenuhi kewajiban (net cash outflow) pada skenario stress yang berlangsung selama 30 (tiga puluh) hari ke depan TUJUAN Menilai kecukupan Alat Likuid bank dalam memenuhi net cash outflow pada situasi stress selama 90 (sembilan puluh) hari ke depan Granular, sesuai Basel III DATA GRANULARITY Simplified, sesuai granularitas LBU LHBU dan LBBU Ratio Based BASIS PERHITUNGAN Daily Cash Flow Gapping Minimum 100% PASS/FAIL Fail jika Alat Likuid tidak dapat memenuhi NCO dalam 90 hari Tidak ada liquidation strategy HQLA LIQUIDATION Mempertimbangkan liquidation strategy 252

281 Artikel 1 Dalam framework LCR, suatu bank ditetapkan pass atau fail jika rasio antara alat likuid dan net cash outflows bank berada di atas threshold 100%. Berbeda dengan kriteria tersebut, pass dan fail bank dalam GST likuiditas ditetapkan berdasarkan sisa alat likuid yang dimiliki setelah dikurangi dengan net cash outflows harian hingga 90 hari ke depan. Jika masih terdapat alat likuid di atas threshold tertentu (misalnya di atas Giro Wajib Minimum), bank ditetapkan pass karena masih mampu memenuhi kebutuhan likuiditas dalam kondisi stress Skenario GST Likuiditas GST likuiditas bank dilakukan berdasarkan dua skenario yang berbeda berdasarkan sumber pemicu terjadinya tekanan, yaitu dari individu bank (skenario idiosyncratic) dan dari kondisi industri atau pasar (general market). Perbedaan utama pada kedua jenis skenario adalah sebagai berikut: a. Metode perhitungan asumsi run-off untuk dana pihak ketiga didasarkan pada data historis (pendekatan kontraktual maupun behavioural) dengan tingkat severity yang lebih tinggi pada skenario general market, dibandingkan dengan run-off pada skenario idiosyncratic. b. Metode perhitungan asumsi roll-off rate untuk kredit dilakukan dengan tingkat severity yang lebih tinggi pada skenario general market. Misalnya saja, pada saat krisis, cash inflows yang diharapkan akan diterima bank hanya berasal dari kredit modal kerja. Penetapan run-off tersebut belum memperhitungkan asumsi flight to safety dimana pada saat krisis, sebagian bank justru dapat memperoleh tambahan cash inflows yang berasal dari pengalihan dana nasabah di bankbank kecil. c. Haircut pada alat likuid untuk memenuhi kebutuhan net cash outflow ditetapkan lebih rendah pada skenario idiosyncratic daripada pada skenario general market. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa harga surat berharga yang menjadi alat likuid masih berada pada kisaran normal pada skenario idiosyncratic. Tekanan likuiditas yang terjadi pada satu bank tidak berdampak terhadap harga surat berharga yang tergolong alat likuid bank. Sebaliknya, pada skenario general market, tekanan yang terjadi pada industri dan pasar keuangan menyebabkan seluruh bank mengalami tekanan atas harga alat likuid yang dimiliki. d. Strategi likuidasi aset pada skenario idiosyncratic dilakukan dengan prioritas pada surat-surat berharga dengan tingkat likuiditas yang lebih tinggi terlebih dahulu (seperti SBN dan SBI), dan baru diikuti dengan likuidasi aset dengan tingkat likuiditas yang lebih rendah (seperti obligasi korporasi dan asset-backed securities). Strategi sebaliknya dilakukan pada skenario general market. Pertimbangannya adalah pada skenario idiosyncratic, tidak terdapat tekanan pada harga surat-surat berharga sehingga bank mendahulukan likuiditas pada surat-surat berharga dengan haircut yang lebih rendah untuk menghindari kerugian. Di sisi lain, pada skenario general market, terdapat tekanan harga pada surat-surat berharga sehingga bank perlu mendahulukan likuidasi aset pada surat-surat berharga second class untuk menghindari penurunan harga yang lebih tajam. 253

282 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Secara ringkas, asumsi haircut untuk alat likuid, rolloff rate untuk cash inflow, dan run-off rate untuk cash outflow terlihat pada tabel berikut: impact) yang dapat ditimbulkan bagi bank yang lain, baik untuk first round, second round dan seterusnya. Transmisi risiko likuiditas Description Skenario Idiosyncratic Risk Skenario General Market Risk HAIRCUT Alat Likuid Cash in vault Giro di Oprasi Moneter (OM) Deposit Facility (DF) SSB Kategori AFS dan Trading: Level 1 Level 2 A Level 2 B 0% 0% 0% 0% 5% 15% 50% 0% 0% 0% 0% 5% 15% 50% 0% 0% 0% 0% 20% 20% 50% Reverse Repo (sovereign)*) SSB HTM (Reclassified)**) GWM Primer dan LFR 5%- 0% 5% Sesuai Klarifikasi (Level) 0% 20% 0% Total AL xxxx xxxx xxxx ROLL-OFF Cash inflow Cash Outflow on B/S off B/S Kredit Penempatan pada Bank Lain Reverse Repo (Soverign) SSB HTM NPL (Moderate) 100% 100% 100% NPL (Severe) 100% 100% 100% Kredit Modal kerja No Repayment 100% 100% Derivatif 100% 100% 100% Total Cash Inflow xxxx xxxx xxxx RUN-OFF Percentile Run-Off DPK P-10% P-5% P-2,5% Cash inflow on B/S Giro Rupiah Giro Valas Giro Inti***) Tabungan Rupiah Tabungan Valas Tabungan Inti***) Deposito Rupiah Deposito Valas Deposito Inti***) Run-off rates berdasarkan behavior dar DPK****) Run-off rates berdasarkan behavior dar DPK****) Run-off rates berdasarkan behavior dar DPK****) Kewajiban pada Bank lain Kewajiban Lainnya 100% 100% 100% 100% 100% 100% off B/S Kelonggaran Tarik (commited) Deviratif Kewajiban Kontijensi Lainnya 5% 100% 5% 5% 100% 5% 5% 100% 5% Total Cash Outflow xxxx xxxx xxxx Net Cash Outflow xxxx xxxx xxxx *) jatuh tempo > 90 hari **) jatuh tempo > 90 hari, reklasifikasi pada kondisi stress ***) run off sesuai proxy LCR ****) 7, 14, 21, 30, & 90 hari 1.6. Persepsi Makroprudensial atas Hasil GST Likuiditas a. Analisis Contagion dari Liquidity Stress Test Hasil GST likuiditas akan menghasilkan kesimpulan mengenai kecukupan alat likuid setiap bank dalam memenuhi net cash outflows pada kondisi stress. Untuk bank-bank yang tergolong fail, akan dilakukan analisis lanjutan mengenai dampak penyebaran (contagion dari satu bank ke bank lain dilakukan melalui jalur interbank. Dengan demikian, kegagalan likuiditas pada satu bank akan menyebabkan kerugian pada bank lain yang memiliki penempatan pada bank yang gagal. Hasil akhir dari analisis contagion tersebut adalah besaran risiko sistemik yang terefleksikan dari jumlah bank yang gagal. 254

283 Artikel 1 b. Interconnectedness Perbankan Disamping contagion analysis atas hasil GST likuiditas, analisis interconnectedness bankbank juga dilakukan untuk memperkuat penilaian risiko sistemik yang terkait dengan likuiditas. Analisis interconnectedness tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai metode network analysis untuk melihat peran suatu bank dalam transaksi pinjam-meminjam di pasar uang. Dengan analisis ini, akan diketahui posisi bank apakah sebagai central intermediary, central borrower, atau central lender di pasar uang antarbank (PUAB). Posisi bank yang tergolong sentral di PUAB akan semakin meningkatan risiko sistemik apabila bank tersebut gagal berdasarkan GST likuiditas. 255

284 Kajian Stabilitas KEuangan No. 28, Maret 2017 Artikel 2. Analisis Kerentanan Rumah Tangga Menggunakan Balance Sheet Approach (BSA) dan Financial Margin Approach (FMA) Arlyana Abubakar 1, Rieska Indah Astuti 2, Rini Oktapiani 3 256

RINGKASAN EKSEKUTIF. Di sisi lain, pasar keuangan domestik membaik, terutama didorong oleh besarnya modal asing yang. xvii

RINGKASAN EKSEKUTIF. Di sisi lain, pasar keuangan domestik membaik, terutama didorong oleh besarnya modal asing yang. xvii RINGKASAN EKSEKUTIF Stabilitas sistem keuangan pada semester I 2016 membaik walaupun risiko yang berasal dari dampak lambatnya pertumbuhan ekonomi global dan domestik masih cukup besar. Perbaikan tersebut

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF. xvii

RINGKASAN EKSEKUTIF. xvii RINGKASAN EKSEKUTIF Sistem keuangan pada paruh kedua 2016 relatif stabil bahkan membaik sejalan dengan menurunnya risiko perekonomian domestik. Meningkatnya stabilitas sistem keuangan didukung oleh tingginya

Lebih terperinci

et 2018 o. 30, Mar n an G an U ke as BILIT sta an JI ka RiNGKAsAN EKsEKuTif Bank IndonesIa XVIII

et 2018 o. 30, Mar n an G an U ke as BILIT sta an JI ka RiNGKAsAN EKsEKuTif Bank IndonesIa XVIII Bank IndonesIa KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 30, Maret 2018 ringkasan eksekutif XVIII Pada Semester II 2017, Stabilitas Sistem Keuangan Menunjukkan Perkembangan Yang Lebih Baik Dibandingkan Dengan Periode

Lebih terperinci

Menjaga Stabilitas Keuangan di Tengah Berlanjutnya Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi

Menjaga Stabilitas Keuangan di Tengah Berlanjutnya Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Sambutan Gubernur Bank Indonesia Menjaga Stabilitas Keuangan di Tengah Berlanjutnya Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Diskusi dan Peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan Yang kami hormati, Jakarta, 10

Lebih terperinci

perlambatan ekonomi domestik serta pasar uang dan pasar modal yang masih tersegmentasi dan dangkal juga mempengaruhi kondisi pasar keuangan domestik.

perlambatan ekonomi domestik serta pasar uang dan pasar modal yang masih tersegmentasi dan dangkal juga mempengaruhi kondisi pasar keuangan domestik. RINGKASAN EKSEKUTIF Pemulihan ekonomi di negara maju yang belum merata serta melambatnya pertumbuhan emerging market economies (EMEs) khususnya Tiongkok, telah berkontribusi terhadap peningkatan risiko

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015 PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015 Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa secara umum kondisi sektor jasa keuangan domestik masih terjaga, dengan stabilitas yang memadai.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015

PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015 PERKEMBANGAN DAN PROFIL RISIKO INDUSTRI JASA KEUANGAN FEBRUARI 2015 Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa secara umum kondisi sektor jasa keuangan domestik masih terjaga, dengan stabilitas yang memadai.

Lebih terperinci

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 29, September 2017

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 29, September 2017 RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 29, September 2017 Stabilitas sistem keuangan pada semester I 2017 relatif stabil dengan didukung oleh meningkatnya permodalan dan likuiditas perbankan

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif. Ringkasan Eksekutif

Ringkasan Eksekutif. Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif xi halaman ini sengaja dikosongkan xii Ringkasan Eksekutif Pada semester I 2015, pasar keuangan global mengalami pelemahan yang dipicu oleh ketidakpastian arah kebijakan moneter di

Lebih terperinci

Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan di Tengah Dinamika Tantangan Global dan Domestik

Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan di Tengah Dinamika Tantangan Global dan Domestik Sambutan Gubernur Bank Indonesia Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan di Tengah Dinamika Tantangan Global dan Domestik Diskusi dan Peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan Yang kami hormati, Jakarta,

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai bank sentral, Bank

Lebih terperinci

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 27, September 2016

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 27, September 2016 KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 27, September 2016 Mitigasi Risiko Sistemik dan Penguatan Intermedasi Dalam Upaya Menjaga Stabilitas Penerbit : Bank Indonesia Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta Indonesia Kajian

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 127 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 29, September 2017

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 29, September 2017 KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 29, September 217 KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 29, September 217 DEPARTEMEN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL Menjaga Sistem Stabilitas Mendorong Perekonomian Penerbit : Bank Indonesia

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif. Ringkasan Eksekutif

Ringkasan Eksekutif. Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif xi halaman ini sengaja dikosongkan xii Ringkasan Eksekutif Sejalan dengan kebijakan moneter global yang akomodatif, likuiditas global masih berlimpah dan telah mendorong berlanjutnya

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 26, Maret 2016

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 26, Maret 2016 KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 26, Maret 2016 Mitigasi Risiko Sistemik untuk Menjaga Stabilitas Sistem dan Mendorong Intermediasi di Tengah Tantangan Global & Domestik Penerbit : Bank Indonesia Jl. MH

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Surat Berharga Negara (SBN) dipandang oleh pemerintah sebagai instrumen pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan agreement). Kondisi APBN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERBANKAN. BI. Makroprudensial. Pengaturan. Pengawasan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 141) PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Juni 2017 RESEARCH TEAM

Juni 2017 RESEARCH TEAM RESEARCH TEAM RINGKASAN Ekonomi Indonesia kuartal pertama 2017 tumbuh 5,01% yoy. Angka ini lebih tinggi dibandingkan PDB pada kuartal keempat 2016 sebesar 4,94%(yoy) dan kuartal ketiga 2016 sebesar 4,92%

Lebih terperinci

Monthly Market Update

Monthly Market Update Monthly Market Update RESEARCH TEAM RINGKASAN Ekonomi Indonesia tumbuh 4,94% yoy pada kuartal keempat 2016. Angka ini lebih rendah dibandingkan PDB pada kuartal sebelumnya yaitu sebesar 5,02% (yoy). Pada

Lebih terperinci

Alamat Redaksi: Grup Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik Departemen Statistik Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 15 Jl.

Alamat Redaksi: Grup Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik Departemen Statistik Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 15 Jl. September 2014-1 Alamat Redaksi: Grup Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik Departemen Statistik Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 15 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Telepon

Lebih terperinci

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN

KAJIAN STABILITAS KEUANGAN KAJIAN STABILITAS KEUANGAN No. 30, Maret 2018 Penguatan SSK Dalam Upaya Menjaga Momentum Pertumbuhan Penerbit : Bank Indonesia Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta Indonesia Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN SEMINAR MAJALAH INVESTOR

KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN SEMINAR MAJALAH INVESTOR Keynote Speech KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN SEMINAR MAJALAH INVESTOR Dengan tema Outlook Ekonomi dan Pasar Modal 2016 Balroom Hotel JW Marriot, Jakarta, 19 November 2015 Assalamu alaikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut UU No.10 tahun 1998 : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

Lebih terperinci

04 Analisis dan Pembahasan Manajemen

04 Analisis dan Pembahasan Manajemen 01 Ikhtisar Data 02 Laporan 03 Profil 04 Analisis dan Pembahasan 05 Tata Kelola 06 Tanggung Jawab Sosial 07 Laporan Konsolidasian 04 Tinjauan Bisnis Pendukung Bisnis Tinjauan Tinjauan Pada tahun 2016 BCA

Lebih terperinci

2017, No menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang

2017, No menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang No.82, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Bank Umum. Konvensional. Jangka Pendek. Likuiditas. Pinjaman. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6044) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand) dana jangka

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand) dana jangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasar modal merupakan bagian dari suatu pasar finansial karena berhubungan dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand) dana jangka panjang. Hal ini berarti pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk simpanan. Sedangkan lembaga keuangan non-bank lebih

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk simpanan. Sedangkan lembaga keuangan non-bank lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lembaga keuangan digolongkan ke dalam dua golongan besar menurut Kasmir (2012), yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Lembaga keuangan bank atau

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran 1 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia I.1

Lebih terperinci

-2- Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk mengatur kembali PLJP bagi Bank yang diharapkan dapat memelihara stabilitas sistem keuangan teruta

-2- Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk mengatur kembali PLJP bagi Bank yang diharapkan dapat memelihara stabilitas sistem keuangan teruta TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PERBANKAN. BI. Bank Umum. Konvensional. Jangka Pendek. Likuiditas. Pinjaman. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 82) PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

KETERANGAN PERS. Penguatan Koordinasi Dan Bauran Kebijakan Perekonomian Dan Keberlanjutan Reformasi

KETERANGAN PERS. Penguatan Koordinasi Dan Bauran Kebijakan Perekonomian Dan Keberlanjutan Reformasi KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KETERANGAN PERS Penguatan Koordinasi Dan Bauran Kebijakan Untuk Menjaga Stabilitas Perekonomian Dan Keberlanjutan Reformasi Jakarta, 28 Mei 2018 Pemerintah, Bank

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,Triwulan III - 2005 135 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2005 Tim Penulis

Lebih terperinci

Perkembangan Terkini Perekonomian Global dan Nasional serta Tantangan, dan Prospek Ekonomi ke Depan. Kantor Perwakilan BI Provinsi Kalimantan Timur

Perkembangan Terkini Perekonomian Global dan Nasional serta Tantangan, dan Prospek Ekonomi ke Depan. Kantor Perwakilan BI Provinsi Kalimantan Timur 1 Perkembangan Terkini Perekonomian Global dan Nasional serta Tantangan, dan Prospek Ekonomi ke Depan Kantor Perwakilan BI Provinsi Kalimantan Timur ALUR PIKIR 2 PEREKONOMIAN GLOBAL PEREKONOMIAN DOMESTIK

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Perkembangan Inflasi di Indonesia 14 INFLASI 12 10 8 6 4 2 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Sumber: Hasil Olahan Data Oleh Penulis (2016) GAMBAR 4.1. Perkembangan

Lebih terperinci

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN hingga tahun 2012 terlihat cukup mengesankan. Di tengah krisis keuangan

BAB I PENDAHULUAN hingga tahun 2012 terlihat cukup mengesankan. Di tengah krisis keuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja perekonomian Indonesia dalam lima tahun terakhir, antara tahun 2008 hingga tahun 2012 terlihat cukup mengesankan. Di tengah krisis keuangan di Eropa dan Amerika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III 2004 185 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004 Tim Penulis Laporan Triwulanan III 2004, Bank Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai lembaga intermediasi antara investor atau pihak yang memiliki kelebihan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai lembaga intermediasi antara investor atau pihak yang memiliki kelebihan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank merupakan salah satu penyokong perekonomian sebuah negara, bank sebagai lembaga intermediasi antara investor atau pihak yang memiliki kelebihan likuiditas

Lebih terperinci

FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQ) PBI NO.16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL

FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQ) PBI NO.16/11/PBI/2014 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MAKROPRUDENSIAL 1. Apa latar belakang penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial? a. Pengalaman krisis keuangan global menunjukkan pentingnya untuk menjaga stabilitas sistem

Lebih terperinci

LAPORAN EKONOMI MAKRO KUARTAL III-2014

LAPORAN EKONOMI MAKRO KUARTAL III-2014 LAPORAN EKONOMI MAKRO KUARTAL III-2014 Proses perbaikan ekonomi negara maju terhambat tingkat inflasi yang rendah. Kinerja ekonomi Indonesia melambat antara lain karena perlambatan ekspor dan kebijakan

Lebih terperinci

Triwulan IV-2015 dan Tahun Laporan Pelaksanaan. Tugas dan Wewenang Bank Indonesia

Triwulan IV-2015 dan Tahun Laporan Pelaksanaan. Tugas dan Wewenang Bank Indonesia Triwulan IV-2015 dan Tahun 2015 Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia www.bi.go.id Triwulan IV-2015 dan Tahun 2015 Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia Penyampaian Laporan

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh 19,7% tahun 2015, jauh lebih tinggi dari tahun triliun menjadi Rp triliun hingga akhir tahun.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh 19,7% tahun 2015, jauh lebih tinggi dari tahun triliun menjadi Rp triliun hingga akhir tahun. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan laba perbankan akan tumbuh 19,7% tahun 2015, jauh lebih tinggi dari tahun 2014 yang pertumbuhannya hanya 5%. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika dalam keadaan kondisi ekspansi dan mempercepat penurunan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. ketika dalam keadaan kondisi ekspansi dan mempercepat penurunan kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prosiklikalitas 1 perbankan adalah perilaku penyaluran kredit yang berlebihan sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat ketika dalam keadaan kondisi

Lebih terperinci

P u s d a l i s b a n g B a p p e d a J a w a B a r a t

P u s d a l i s b a n g B a p p e d a J a w a B a r a t PROFIL INDIKATOR MAKRO FINANSIAL PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2015 Pengarah : Prof. Dr. Ir. Deny Juanda Puradimaja,DEA Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat Penanggung jawab : H.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Aktivitas sektor perbankan dalam suatu negara memegang peranan penting dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Setiap orang dalam melakukan transaksi finansial yang berhubungan

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN:

ANALISIS TRIWULANAN: ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2014 261 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2014 Tim Penulis

Lebih terperinci

Banking Weekly Hotlist (9 April 13 April 2018)

Banking Weekly Hotlist (9 April 13 April 2018) KINERJA PERBANKAN Banking Weekly Hotlist (9 April 13 April 2018) Deposito Tumbuh Melambat, Bagaimana Likuiditas Bank? Pertumbuhan simpanan berjangka atau deposito tengah mengalami perlambatan. Bank Indonesia

Lebih terperinci

PERAN KEBIJAKAN MONETER DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur

PERAN KEBIJAKAN MONETER DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur PERAN KEBIJAKAN MONETER DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur Surabaya 21 Desember 2016 OUTLINE 2 Perekonomian Global Perekonomian Nasional Kebijakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/11/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keemasan yang puncaknya ditandai dengan keberhasilan beberapa bank besar

BAB I PENDAHULUAN. keemasan yang puncaknya ditandai dengan keberhasilan beberapa bank besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan adanya krisis ekonomi yang menimpa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang menyebabkan merosotnya nilai rupiah hingga terjadinya krisis keuangan

Lebih terperinci

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK 1. Q: Apa latar belakang diterbitkannya PBI

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

Boks.3 MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN YANG EFISIEN MENUJU PERTUMBUHAN YANG BERKESINAMBUNGAN

Boks.3 MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN YANG EFISIEN MENUJU PERTUMBUHAN YANG BERKESINAMBUNGAN Boks.3 MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN YANG EFISIEN MENUJU PERTUMBUHAN YANG BERKESINAMBUNGAN Ekonomi Global 2011 Tahun 2011 merupakan tahun dengan berbagai catatan keberhasilan, namun juga penuh dinamika dan sarat

Lebih terperinci

Monthly Market Update

Monthly Market Update Monthly Market Update RESEARCH TEAM RINGKASAN Ekonomi Indonesia tumbuh 5,02% yoy pada kuartal ketiga 2016, lebih tinggi dari 2015 sebesar 4,74% yoyatau lebih rendah dari 2016 sebesar 5,18% yoy. PDB kuartal

Lebih terperinci

FREQUENTLY ASKED QUESTIONS

FREQUENTLY ASKED QUESTIONS FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQ) PBI NOMOR 20/4/PBI/2018 TANGGAL 3 APRIL 2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM

Lebih terperinci

Banking Weekly Hotlist (04 Januari 08 Januari 2016)

Banking Weekly Hotlist (04 Januari 08 Januari 2016) Banking Weekly Hotlist (04 Januari 08 Januari 2016) Senin, 04 Januari 2016 Laba Bank Sulit Berkembang OJK menyatakan laba industri perbankan nasional pada kuartal IV/2015 mengalami penurunan dibandingkan

Lebih terperinci

BELI. Kang Iman cari. Perbankan Tresuri dan Internasional. Tinjauan Bisnis. 01 Ikhtisar Data Keuangan. 03 Profil Perusahaan. 05 Tata Kelola Perusahaan

BELI. Kang Iman cari. Perbankan Tresuri dan Internasional. Tinjauan Bisnis. 01 Ikhtisar Data Keuangan. 03 Profil Perusahaan. 05 Tata Kelola Perusahaan 01 Ikhtisar Data 02 Laporan 03 Profil Tinjauan Bisnis 04 04 Analisis dan Pembahasan 05 Tata Kelola 06 Tanggung Jawab Sosial Pendukung Bisnis Tinjauan Perbankan Tresuri dan Internasional Kang Iman cari

Lebih terperinci

Diskusi Terbuka INFID

Diskusi Terbuka INFID Diskusi Terbuka INFID Dr. Edi Prio Pambudi Asisten Deputi Moneter dan Neraca Pembayaran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 10 September 2015 PERSOALAN SAAT INI Tantangan Global Pemulihan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. taraf hidup rakyat banyak. Perbankan sendiri merupakan perantara keuangan

BAB I PENDAHULUAN. taraf hidup rakyat banyak. Perbankan sendiri merupakan perantara keuangan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Fungsi utama perbankan di Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

Lebih terperinci

Asesmen terhadap Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Propinsi Sumatera Selatan

Asesmen terhadap Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Propinsi Sumatera Selatan SUPLEMEN 4 Asesmen terhadap Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Propinsi Sumatera Selatan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) menjadi topik sentral dalam beberapa tahun terakhir khususnya pasca terjadinya krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara tujuan investasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara tujuan investasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tujuan investasi yang menguntungkan. Dengan total populasi mencapai 248,8 juta jiwa pada tahun 2013 (Sumber: Statistik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (subprime mortgage) yang melanda industri perbankan Amerika Serikat.

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (subprime mortgage) yang melanda industri perbankan Amerika Serikat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada September 2008 dunia dikejutkan dengan runtuhnya sistem ekonomi kapitalis yang ditandai dengan bangkrutnya Lehman Brothers dan institusi keuangan dunia lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan perekonomian. Begitu penting perannya sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan "nyawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan

BAB I PENDAHULUAN. strategi dalam rangka mengefisienkan dana dari masyarakat seperti dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang memegang peranan penting dalam perekonomian di setiap negara, merupakan sebuah alat yang dapat mempengaruhi suatu pergerakan pertumbuhan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2003

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2003 1 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2003 Tim Penulis Laporan Triwulanan III 2003, Bank Indonesia Sampai dengan triwulan III-2003, kondisi perekonomian Indonesia masih mengindikasikan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN II 2004

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN II 2004 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan II 2004 1 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN II 2004 Tim Penulis Laporan Triwulanan II 2004, Bank Indonesia Selama

Lebih terperinci

menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan sistem keuangan dan ekonomi makro seperti yang

menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan sistem keuangan dan ekonomi makro seperti yang TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/20/PBI/2014 TANGGAL 28 OKTOBER 2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK 1. Q: Apa latar belakang diterbitkannya

Lebih terperinci

Triwulan II. Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia

Triwulan II. Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia Triwulan II 2014 Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia Penyampaian Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah pada setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengalami gejolak-gejolak

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengalami gejolak-gejolak 1 Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih mengalami gejolak-gejolak perekonomian yang mempengaruhi seluruh aspek masyarakat. Salah

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Memperkuat Perekonomian Nasional di Tengah Ketidakseimbangan Pemulihan Ekonomi Global

Ringkasan Eksekutif Memperkuat Perekonomian Nasional di Tengah Ketidakseimbangan Pemulihan Ekonomi Global Ringkasan Eksekutif Memperkuat Perekonomian Nasional di Tengah Ketidakseimbangan Pemulihan Ekonomi Global Di tengah ketidakseimbangan pemulihan ekonomi global, kinerja perekonomian domestik selama tahun

Lebih terperinci

Mempertahankan Soliditas

Mempertahankan Soliditas Hasil Kinerja Semester I 2017 Mempertahankan Soliditas Public Expose 2017 PT Bank Central Asia Tbk Jakarta, 9 Agustus 2017 Daftar Isi Tinjauan Makro Ekonomi halaman Kondisi makro ekonomi 4 Ikhtisar kinerja

Lebih terperinci

2017, No Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (L

2017, No Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (L No.87, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Bank Umum Konvensional. GWM. Rupiah. Valuta. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6047) PERATURAN

Lebih terperinci

Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan di Tengah Ketidakseimbangan Eksternal

Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan di Tengah Ketidakseimbangan Eksternal 1 KSK No.22, Maret 2014 Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan di Tengah Ketidakseimbangan Eksternal Dr. Halim Alamsyah Deputi Gubernur Bank Indonesia Bank Indonesia 19 Mei 2014 Agenda 2 I. Stabilitas Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. global dan domestik cenderung bias ke bawah yang disebabkan oleh. pertumbuhan ekonomi dunia berjalan tidak seimbang.

BAB I PENDAHULUAN. global dan domestik cenderung bias ke bawah yang disebabkan oleh. pertumbuhan ekonomi dunia berjalan tidak seimbang. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kondisi dunia perbankan di Indonesia mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini selalu disebabkan dari perkembangan di luar industri

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH Perbankan Aceh PERKEMBANGAN PERBANKAN DI ACEH KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROV. ACEH TRIWULAN 4-2012 45 Perkembangan Perbankan Aceh Kinerja perbankan (Bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelompokkan unsur-unsur pendapatan dan biaya, akan dapat diperoleh hasil pengukuran

BAB I PENDAHULUAN. mengelompokkan unsur-unsur pendapatan dan biaya, akan dapat diperoleh hasil pengukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Laba atau rugi sering dimanfaatkan sebagai ukuran untuk menilai prestasi perusahaan. Unsur-unsur yang menjadi bagian pembentuk laba adalah pendapatan dan biaya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Modal memegang peranan penting dalam perusahaan untuk pembiayaan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Modal memegang peranan penting dalam perusahaan untuk pembiayaan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Modal memegang peranan penting dalam perusahaan untuk pembiayaan modal kerja maupun pemodalan investasi atau ekspansi. Sumber pembiayaan eksternal bisa didapatkan melalui

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sistem keuangan merupakan salah satu hal yang krusial dalam masyarakat

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sistem keuangan merupakan salah satu hal yang krusial dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem keuangan merupakan salah satu hal yang krusial dalam masyarakat modern. Sistem pembayaran dan intermediasi hanya dapat terlaksana bila ada sistem keuangan

Lebih terperinci

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Penurunan momentum pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau di periode ini telah diperkirakan sebelumnya setelah mengalami tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

KREDIT PERBANKAN MASIH SEPERTI LINGKARAN SETAN EKO B SUPRIYANTO/INFOBANK INSTITUTE

KREDIT PERBANKAN MASIH SEPERTI LINGKARAN SETAN EKO B SUPRIYANTO/INFOBANK INSTITUTE KREDIT PERBANKAN MASIH SEPERTI LINGKARAN SETAN EKO B SUPRIYANTO/INFOBANK INSTITUTE Bagaimana memutus rantai pelemahan kredit & PDB Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat (Yunan, 2009:2). Pertumbuhan ekonomi juga berhubungan dengan proses

BAB I PENDAHULUAN. rakyat (Yunan, 2009:2). Pertumbuhan ekonomi juga berhubungan dengan proses 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang berusaha dengan giat melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan

Lebih terperinci

Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BANK INDONESIA

Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BANK INDONESIA Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BANK INDONESIA Penyampaian kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah pada setiap triwulan merupakan pemenuhan amanat yang digariskan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal (capital market) telah terbukti memiliki andil yang cukup. besar dalam perkembangan perekonomian suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal (capital market) telah terbukti memiliki andil yang cukup. besar dalam perkembangan perekonomian suatu negara. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Pasar modal (capital market) telah terbukti memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan perekonomian suatu negara. Pasar modal memiliki beberapa daya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian 9 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan kebijakan pemerintah dalam bidang perbankan antara lain adalah paket deregulasi Tahun 1983, paket kebijakan 27 Oktober 1988, paket kebijakan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/ 12 /PBI/2016 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/ 12 /PBI/2016 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/ 12 /PBI/2016 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mencapai tujuan Bank Indonesia yakni mencapai

Lebih terperinci

Februari 2017 RESEARCH TEAM

Februari 2017 RESEARCH TEAM RESEARCH TEAM RINGKASAN Ekonomi Indonesia tumbuh 4,94% yoy pada kuartal keempat 2016. Angka ini lebih rendah dibandingkan PDB pada kuartal sebelumnya yaitu sebesar 5,02% (yoy). Pada kuartal terakhir ini,

Lebih terperinci

BUKU LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2010 ISSN

BUKU LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2010 ISSN BUKU LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2010 ISSN 0522-2572 Laporan Perekonomian Indonesia 2010 i Visi Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya (kredibel) secara nasional maupun internasional melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak cara yang dapat dilakukan investor dalam melakukan investasi,

BAB I PENDAHULUAN. Banyak cara yang dapat dilakukan investor dalam melakukan investasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Banyak cara yang dapat dilakukan investor dalam melakukan investasi, salah satunya adalah dengan melakukan investasi di Pasar Modal. Dalam hal ini Pasar

Lebih terperinci

Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan Neraca STANDARD CHARTERED BANK WISMA STANDARD CHARTERED,.JL.SUDIRMAN KAV 33 A, Telp.

Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan Neraca STANDARD CHARTERED BANK WISMA STANDARD CHARTERED,.JL.SUDIRMAN KAV 33 A, Telp. Neraca (Dalam Jutaan Rupiah) Bank Konsolidasi 03-2006 03-2005 03-2006 03-2005 AKTIVA Kas 39,883 33,731 Penempatan pada Bank Indonesia 1,213,314 1,541,286 a. Giro Bank Indonesia 833,099 543,590 b. Sertifikat

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF Pembiayaan APBNP 2017 masih didukung oleh peran utang Pemerintah Pusat. Penambahan utang neto selama bulan Agustus 2017 tercatat sejumlah Rp45,81 triliun, berasal dari penarikan pinjaman

Lebih terperinci

Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BANK INDONESIA

Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BANK INDONESIA Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BANK INDONESIA Penyampaian kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah pada setiap triwulan merupakan pemenuhan amanat yang digariskan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci