KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. (United States Departement of Agriculture).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. (United States Departement of Agriculture)."

Transkripsi

1

2 KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2014 menerbitkan Buletin Konsumsi Pangan yang terbit setiap triwulan. Buletin konsumsi pangan ini merupakan terbitan tahun kelima, berisi informasi gambaran umum konsumsi pangan di Indonesia, konsumsi rumah tangga dan ketersediaan konsumsi per kapita serta ketersediaan di negara-negara dunia terutama untuk komoditas yang banyak di konsumsi masyarakat. Pada edisi volume 5 nomor 3 tahun 2014 ini disajikan perkembangan konsumsi Jagung, Kacang Hijau, Bawang Putih, Pisang dan Telur sampai dengan data tahun 2013 serta prediksi tahun 2014 sampai 2016 untuk Susenas, sedangkan NBM Prediksi tahun 2013 sampai Data yang disajikan dalam buletin ini diolah oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian bersumber dari publikasi hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS, Neraca Bahan Makanan (NBM) Badan Ketahanan Pangan, website FAO (Food Agriculture Organization) dan website USDA (United States Departement of Agriculture). Besar harapan kami bahwa buletin ini dapat bermanfaat bagi para pengguna baik di lingkup Kementerian Pertanian maupun para pengguna lainnya. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna penyempurnaan di masa mendatang. Jakarta, Oktober 2014 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

3 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

4 BAB I. PENJELASAN UMUM P angan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan pangan merupakan penjumlahan dari kebutuhan pangan untuk konsumsi langsung, kebutuhan industri dan permintaan lainnya. Konsumsi langsung adalah jumlah pangan yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan terhadap jenis dan kualitas produk makanan juga semakin meningkat dan beragam. Oleh karena itu salah satu target Kementerian Pertanian tahun adalah peningkatan diversifikasi pangan, terutama untuk mengurangi konsumsi beras dan terigu. Selama tahun , konsumsi beras ditargetkan turun 1,5% per tahun yang diimbangi dengan peningkatan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, buahbuahan dan sayuran. Selain itu juga diupayakan tercapainya pola konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman yang tercermin oleh meningkatnya skor Pola Pangan Harapan (PPH) dari 86,4 pada tahun 2010 menjadi 93,3 pada tahun 2014 (Renstra Kementerian Pertanian, 2010). Tabel 1.1. Sasaran Skor Pola Pangan Harapan (PPH) MAKANAN TAHUN Padi-padian 54,9 53,9 52,9 51,9 51,0 Umbi-umbian 5,0 5,2 5,4 5,6 5,8 Pangan Hewani 9,6 10,1 10,6 11,1 11,5 Minyak dan Lemak 10,1 10,1 10,1 10,0 10,0 Buah/Biji Berminyak 2,8 2,9 2,9 2,9 3,0 Kacangan-kacangan 4,3 4,4 4,6 4,7 4,9 Gula 4,9 4,9 5,0 5,0 5,0 Sayur dan Buah 5,2 5,4 5,5 5,7 5,8 Lain-lain 2,9 2,9 2,9 2,9 3,0 SKOR PPH 86,4 88,1 89,8 91,5 93,3 Sumber : Renstra Kementerian Pertanian, 2010 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 1

5 1.1. Sumber Data Data yang digunakan dalam buletin ini adalah publikasi dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS (Data Susenas yang digunakan terbitan bulan Maret), Neraca Bahan Makanan (NBM-BKP), website FAO (Food Agriculture Organization) dan website USDA (United States Departement of Agriculture). Sejak tahun 2011, BPS melaksanakan Susenas setiap triwulan, namun dalam publikasi buletin ini digunakan data hasil Susenas Bulan Maret, dengan menggunakan kuesioner modul konsumsi/ pengeluaran rumah tangga. Pengumpulan data dalam Susenas dilakukan melalui wawancara dengan kepala rumah tangga dengan cara mengingat kembali (recall) seminggu yang lalu pengeluaran untuk makanan dan sebulan untuk konsumsi bukan makanan. Data konsumsi/ pengeluaran yang dikumpulkan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu (1) pengeluaran makanan (215 komoditas yang dikumpulkan kuantitas dan nilai rupiahnya) dan (2) pengeluaran konsumsi bukan makanan (yang dikumpulkan nilai rupiahnya, kecuali listrik, gas, air dan BBM dengan kuantitasnya). Data konsumsi rumah tangga yang bersumber dari Susenas (BPS) disajikan per kapita per minggu. Selanjutnya dalam penyajian publikasi ini untuk menjadi per kapita per tahun dikalikan dengan 365/7. Neraca Bahan Makanan (NBM) memberikan informasi tentang situasi pengadaan/penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri, imporekspor dan stok serta penggunaan pangan untuk kebutuhan pakan, bibit, penggunaan untuk industri, serta informasi ketersediaan pangan untuk konsumsi penduduk suatu negara/wilayah dalam kurun waktu tertentu. sebagai berikut : Cara perhitungan NBM adalah 1. Penyediaan (supply) : Ps = P- ΔSt + I E dimana : Ps = total penyediaan dalam negeri P = produksi ΔSt = stok akhir stok awal I = Impor E = ekspor 2. Penggunaan (utilization) Pg = Pk + Bt + Id + Tc + K dimana : Pg = total penggunaan Pk = pakan Bt = bibit Id = industri Tc = tercecer K = ketersediaan bahan makanan. Untuk komponen pakan, bibit dan tercecer dapat digunakan besaran konversi persentase terhadap penyedian dalam negeri, seperti pada Tabel Ketersediaan pangan per kapita, diperoleh dari ketersediaan dibagi dengan jumlah penduduk. Jumlah 2 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

6 penduduk tahun 2010 sebesar ribu jiwa (Sensus Penduduk 2010, BPS). Selanjutnya jumlah penduduk tahun 2011 sampai tahun 2016 hasil proyeksi Bappenas, seperti tersaji pada Tabel 1.3. Tabel 1.2. Besaran konversi komponen penggunaan (persentase terhadap penyediaan dalam negeri) Angka Konversi Komoditas Komponen (%) Jagung Kacang Hijau Bawang Putih Pakan 6,00 Tercecer 5,00 Pakan 2,00 Tercecer 5,00 Bibit 0,24 Tercecer 7,13 Pisang Tercecer 4,70 Telur Ayam Ras Tercecer 2,05 Telur Ayam Buras Bibit 25,00 Tercecer 3,86 Bibit 13,50 Telur itik Tercecer 3,92 Sumber : Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan Tabel 1.3. Proyeksi Jumlah Penduduk, Tahun Jumlah Penduduk (000 jiwa) Tahun Jumlah Penduduk (000 jiwa) Sumber : Proyeksi Bappenas dan BPS 1.2. Ruang Lingkup Publikasi Pada edisi volume 5 no. 3 tahun 2014 disajikan informasi perkembangan pola konsumsi masyarakat Indonesia, konsumsi rumah tangga per kapita per tahun, ketersediaan konsumsi per kapita per tahun dan prediksi 3 tahun ke depan tahun 2014, 2015 dan 2016 serta konsumsi di negara-negara di dunia untuk komoditas yang di bahas. Komoditas yang dianalisis antara lain jagung, kacang hijau, bawang putih, pisang dan telur. Model terpilih dalam melakukan prediksi data konsumsi per kapita disajikan pada Tabel 1.4 dan 1.5. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 3

7 Tabel 1.4. Model terpilih dalam prediksi konsumsi per kapita per minggu beberapa komoditas pangan berdasarkan data Susenas Uraian Jagung Pipilan Tepung Jagung Minyak Jagung Kacang Hijau Bawang Putih Pisang Ambon Telur Ayam Ras Telur ayam Buras Telur itik Model terpilih Trend Kuadratik Trend Kuadratik Trend Liniar Trend Liniar Trend Kuadratik Trend Eksponenti DES Trend Liniar Trend Liniar MAPE 12, , , , ,4546 6,2790 8,448 14, ,1569 MAD 0,0060 0,0002 0,0004 0, ,0187 0,0020 0,007 0,0166 0,0076 MSD 0,0001 0,0000 0,0000 0,0000 0,0006 0,0000 0,000 0,0004 0,0001 Keterangan : ARIMA : Autoregressive Integrated Moving Avarage MAD : Mean Absolute Deviation SES : Single Exponential Smoothing MSD : Mean Square Deviation DES : Double Exponential Smoothing MA : Moving Avarage MAPE : Mean Absolute Percentage Error Tabel 1.5. Model terpilih prediksi penyediaan dan penggunaan beberapa komoditas pangan berdasarkan data Neraca Bahan Makanan Keluaran Impor Ekspor Stok Jagung Kacang Hijau Bawang Putih Pisang Telur Ayam Ras Moving Average SES Telur Ayam Buras DES Trend Linear Trend Linear Telur itik Trend Eksponential Model Moving Average MAPE 3,00 9,18 17,00 9,00 16,24 7,23 7,48 MAD 350,00 24, ,00 338,00 78,61 12,311 12,28 MSD , , , , , ,66 Model DES DES MAPE 78 21,49 MAD ,63 MSD ,74 Model Ekssponential Smooting DES MAPE 66,30 106,69 MAD 50,90 1,402 MSD 16353,20 3,191 Model MAPE MAD MSD Pakan Persentase 6,00% dr total penyediaan Tercecer 5,00% dr total 2,00% dr total penyediaan 5,00% dr total penyediaan Persentase penyediaan Bibit Model S-qurve SES MAPE 7,17 9,18 MAD 6,51 24,89 MSD 77, ,19 Diolah untuk Makanan Uraian Persentase MAPE MAD MSD Diolah untuk Bukan Makanan Model DES MAPE 30,00 MAD 372,00 MSD ,00 Bahan Makanan Model MAPE MAD MSD Perhitungan 7,13% dr total penyediaan 0,24% dr total penyediaan 4,70% dr total penyediaan Perkiraan sama tahun sebelumnya 2,05% dr total penyediaan 3,86% dr total penyediaan 25,00% dr total penyediaan 3,92% dr total penyediaan 13,50% dr total penyediaan Perhitungan Perhitungan Perhitungan Perhitungan Perhitungan Perhitungan 4 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

8 BAB II. POLA KONSUMSI MASYARAKAT INDONESIA 2.1. Perkembangan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Sesuai hukum ekonomi yang dinyatakan oleh Ernst Engel (1857), yaitu bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan menurun dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal ini dapat digunakan dalam menggambarkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Susenas, pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan dan non makanan selama tahun menunjukkan pergeseran, pada awalnya persentase pengeluaran untuk makanan lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk non makanan, namun mulai tahun 2007 menunjukkan pergeseran, dimana persentase pengeluaran non makanan seimbang dengan pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran penduduk Indonesia per kapita per tahun. Persentase untuk makanan pada tahun 2002 sebesar 58,47% dan non makanan sebesar 41,53% sedangkan pada tahun 2013 persentase untuk makanan menjadi 50,66% dan non makanan sebesar 49,34%, seperti tersaji pada Gambar 2.1. Besarnya rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tahun 2013 untuk bahan makanan sebesar Rp ,- dan non makanan sebesar Rp ,-. (%) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10, Makanan Non Makanan Gambar 2.1. Perkembangan persentase pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan dan non makanan, tahun Persentase pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan tahun 2013 terbesar adalah pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi yaitu sebesar 25,88%, disusul padi-padian sebesar 16,26%, tembakau dan sirih sebesar Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 5

9 12,32%, sayur-sayuran sebesar 8,74%, ikan sebesar 7,96%, telur dan susu sebesar 6,04%, sementara kelompok makanan lainnya kurang dari 5% (Gambar 2.2). Tahun 2007 Tahun 2013 Gambar 2.2. Persentase pengeluaran kelompok pangan terhadap total pengeluaran pangan Tahun 2007 dan 2013 Perkembangan pengeluran nominal bahan makanan per kapita per bulan tahun 2008 sampai tahun 2013 mengalami ratarata pertumbuhan sebesar 12,99%, meskipun secara riil hanya meningkat sebesar 4,78%. Pengeluaran per kapita per bulan untuk kelompok padi-padian, umbiumbian dan bumbu-bumbuan secara nominal mengalami peningkatan namun secara riil mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan terjadinnya penurunan kuantitas konsumsi pada kelompok bahan makanan tersebut. Indikasi penurunan kuantitas konsumsi juga terjadi pada kelompok bahan makanan lainnya mengingat peningkatan pengeluaran riil yang lebih lambat dibandingkan peningkatan pengeluaran nominal (Tabel 2.1). 6 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

10 Tabel 2.1. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil kelompok bahan makanan per kapita per bulan, No. Kelompok Barang Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Rata-rata Pertumbuhan (%) Nominal IHK Riil Nominal IHK Riil Nominal IHK Riil Nominal IHK Riil Nominal IHK Riil Nominal IHK Riil Nominal Riil 1 Padi-padian ,99 (0,24) 2 Umbi-Umbian ,58 (0,50) 3 Ikan ,29 6,72 4 Daging ,67 6,80 5 Telur dan susu ,36 8,36 6 Sayur-sayuran ,91 5,11 7 Kacang-kacangan ,66 3,63 8 Buah-buahan ,17 3,47 9 Minyak dan lemak ,12 5,60 10 Bahan minuman ,94 4,60 11 Bumbu-bumbuan ,62 (2,37) 12 Konsumsi lainnya ,46 1,24 13 Makanan & minuman jadi ,32 10,65 14 Tembakau dan sirih ,58 9,43 Jumlah Makanan ,99 4,78 Sumber: BPS, diolah Pusdatin 2.2. Perkembangan Konsumsi Kalori & Protein Masyarakat Indonesia Berdasarkan data Susenas, konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia memperlihatkan adanya perubahan dari tahun 2007 dan Pada Tabel 2.2 menunjukan adanya penurunan konsumsi kalori dan protein per hari pada tahun 2013 dibandingkan tahun Pada tahun 2007 rata-rata konsumsi kalori penduduk Indonesia sebesar 2.014,91 kkal, sedangkan pada tahun 2013 menjadi 1.842,75 kkal atau turun sebesar 172,16 kkal. Penurunan kalori tertinggi terjadi pada kelompok padi-padian sebesar 76,58 kkal, bahan minuman sebesar 25,59 kkal, kacang-kacangan sebesar 21,49 kkal dan umbi-umbian sebesar 21,40. Sementara konsumsi kalori makanan dan minuman jadi meningkat sebesar 45,86 kkal. Tabel Rata-rata Konsumsi Kalori (kkal) dan Protein (gram) per kapita sehari menurut kelompok makanan, Maret 2007 dan Maret 2013 No. Kelompok Barang Kalori (kkal) Protein (gram) Perubahan Perubahan 1 Padi-padian 953,16 876,58-76,58 22,43 20,57-1,86 2 Umbi-Umbian 52,49 31,09-21,40 0,40 0,27-0,13 3 Ikan 46,71 44,09-2,62 7,77 7,34-0,43 4 Daging 41,89 39,96-1,93 2,62 2,47-0,15 5 Telur dan susu 56,96 53,50-3,46 3,23 3,08-0,15 6 Sayur-sayuran 46,39 34,96-11,43 3,02 2,27-0,75 7 Kacang-kacangan 73,02 51,53-21,49 6,51 4,93-1,58 8 Buah-buahan 49,08 35,65-13,43 0,57 0,40-0,17 9 Minyak dan lemak 246,34 227,99-18,35 0,46 0,25-0,21 10 Bahan minuman 113,94 88,35-25,59 1,13 1,04-0,09 11 Bumbu-bumbuan 17,96 14,32-3,64 0,76 0,62-0,14 12 Konsumsi lainnya 70,93 52,83-18,10 1,43 1,09-0,34 13 Makanan dan minuman jadi 246,04 291,90 45,86 7,33 8,75 1,42 Jumlah 2.014, ,75-172,16 57,66 53,08-4,58 Sumber: Susenas, BPS Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 7

11 Pada tahun 2013 rata-rata konsumsi protein penduduk Indonesia sebesar 53,08 gram/hari atau turun 4,58 gram/hari dari tahun 2007 yang sebesar 57,66 gram/hari (Tabel 2.2). Penurunan konsumsi protein tertinggi per hari terjadi pada kelompok padi-padian sebesar 1,86 gram dan kacang-kacangan sebesar 1,58 gram, diikuti penurunan konsumsi protein pada kelompok sayur-sayuran 0,75 gram, serta kelompok lainnya masing-masing dibawah 0,45 gram, sedangkan konsumsi protein makanan dan minuman jadi mengalami peningkatn sebesar 1,42 gram. Secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4. Tahun 2007 Tahun ,31% 2,61% 12,21% 3,52% 0,89% 5,65% 12,23% 2,44% Padi-padian Umbi-Umbian Ikan 2,32% 2,08% 2,83% 2,30% 3,62% Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi Gambar 2.3. Persentase konsumsi kalori penduduk Indonesia Tahun 2007 dan 2013 Tahun 2007 Tahun ,90% 0,69% 13,48% 12,71% 4,54% 2,48% 5,60% 1,32% 1,96% 0,80% 0,99% 11,29% 5,24% Padi-padian Umbi-Umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi Gambar 2.4. Persentase konsumsi protein penduduk Indonesia Tahun 2007 dan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

12 BAB III. JAGUNG J agung - sweet corn (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari bulir), dibuat tepung (dari bulir, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung bulir dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi. Kandungan gizi Jagung per 100 gram bahan adalah: Kalori : 355 Kalori, Protein : 9,2 gr, Lemak : 3,9 gr, Karbohidrat : 73,7 gr, Kalsium : 10 mg, Fosfor : 256 mg, Ferrum : 2,4 mg, Vitamin A : 510 SI, Vitamin B1 : 0,38 mg, Air : 12 gr (Sumber Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia). Data konsumsi jagung menurut SUSENAS, BPS dibedakan atas konsumsi jagung basah/jagung muda, jagung pocelan, tepung jagung pada kelompok padi-padian dan minyak jagung pada kelompok minyak dan lemak. Dalam bahasan berikut akan dibedakan konsumsi wujud jagung basah/muda dan total jagung yang merupakan kompilasi dari wujud jagung pocelan, tepung jagung dan minyak jagung yang telah dikonversi ekuvalen jagung. Data ketersediaan menurut NBM untuk komoditas ini juga dibedakan atas jagung basah/muda dan jagung total Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Jagung Basah/Muda dalam Rumah Tangga di Indonesia Berdasarkan keragaan data hasil SUSENAS, BPS, konsumsi jagung basah selama periode tahun sangat berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 10,43% per tahun. Peningkatan konsumsi jagung basah cukup signifikan terjadi pada tahun 2007 dibanding tahun sebelumnya yakni dari 0,7821 kg/kapita pada tahun 2006 meningkat menjadi 2,3986 kg/kapita pada tahun 2007 atau naik sebesar 206,67%. Setelah periode tersebut, konsumsi jagung basah cukup berfluktuasi namun cenderung menurun hingga menjadi 0,5736 kg/kapita pada tahun Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 9

13 Tabel 3.1. Perkembangan konsumsi jagung basah dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi Tahun (kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun) ,023 1, ,020 1, , ,026 1, , ,033 1, , ,015 0, , ,046 2, , ,035 1, , ,012 0, , ,018 0, , ,012 0, , ,011 0,5736-8, ,011 0,5736 0,00 Rata-rata 0,022 1,138 10, *) 0,011 0,5866 2, *) 0,011 0,5866 0, *) 0,011 0,5866 0,00 Sumber : SUSENAS, BPS Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin Konsumsi Pertumbuhan (%) Sejalan dengan pola konsumsi dibandingkan tahun Pada tahun jagung basah pada tahun tahun sebelumnya, maka pada tahun 2014 konsumsi jagung basah diprediksikan akan terjadi peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil prediksi, konsumsi jagung basah tahun 2014 diperkirakan menjadi sebesar 0,5866 berikutnya yakni 2015 s.d besarnya konsumsi jagung basah diprediksikan tidak terjadi perubahan dibandingkan tahun sebelumnya. Keragaan konsumsi jagung basah tahun serta prediksinya hingga tahun 2016 tersaji secara lengkap pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.1. kg/kapita/thn atau naik sebesar 2,27% 10 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

14 (kg/kapita/th) 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0, Gambar 3.1. Perkembangan konsumsi jagung basah dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi Apabila ditinjau dari besaran pengeluaran untuk konsumsi jagung basah bagi penduduk Indonesia tahun secara nominal menunjukkan penurunan sebesar 3,96%, yakni dari Rp ,86/kapita pada tahun 2008 menjadi Rp ,43/kapita pada tahun Namun demikian setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi jagung basah secara riil sejatinya hanya mengalami penurunan yang cukup besar yakni mencapai 14,11%. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita jagung basah cenderung menglami penurunan. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi jagung basah secara nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia tahun secara rinci tersaji pada Tabel 3.2 dan Gambar 3.2. Tabel 3.2. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi jagung basah secara nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia, Uraian Nominal , , , , , ,43-3,96 IHK *) 109,96 114,12 134,06 153,83 170,83 178,39 10,30 Riil 9.578, , , , , ,51-14,11 Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan : *) IHK Kelompok padi-padian Pengeluaran (rupiah/kapita/tahun) Rata-rata pertumbuhan (%) Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 11

15 (Rupiah/kapita) Pengeluaran Nominal Pengeluaran Riil Gambar 3.2. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi jagung basah secara nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia, Perkembangan serta Prediksi Penyediaan dan Penggunaan Jagung Basah di Indonesia Dalam perhitungan NBM, yang dimaksud dengan penyediaan jagung basah adalah dalam wujud jagung muda. Berdasarkan hasil perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM), komponen penyediaan jagung basah terdiri dari produksi ditambah impor dan dikurangi ekspor, sementara data perubahan stok tidak tersedia. Komponen penggunaan jagung basah/muda adalah untuk diolah dalam industri bukan makanan serta penggunaan untuk bahan makanan. Perhitungan NBM jagung basah diawali dari perhitungan angka ketersediaan per kapita yang diperoleh dari angka konsumsi per kapita hasil SUSENAS ditambah 15%. Kemudian, angka penggunaan jagung basah untuk makanan dihitung dari angka ketersediaan per kapita tersebut dikalikan dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan. Angka penggunaan jagung basah yang lainnya adalah untuk diolah pada industri bukan makanan. Data ketersediaan per kapita jagung basah pada tahun , serta proyeksi tahun dengan menggunakan perhitungan ketersediaan per kapita yang berasal dari data konsumsi SUSENAS tersaji pada Tabel 3.3. Ketersediaan per kapita jagung basah selama periode tahun mengalami penurunan dengan rata-rata 11,54% per tahun, yakni dari 1,03 kg/kapita pada tahun 2010 turun menjadi 0,66 kg/kapita pada tahun Ketersediaan per kapita jagung basah 12 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

16 diprediksikan akan sedikit mengalami peningkatan hingga pada tahun 2016 menjadi sebesar 0,67 kg/kapita. Penggunaan jagung basah selain untuk bahan makanan adalah guna diolah pada industri bukan bahan makanan. Pada tahun 2010, penggunaan jagung basah untuk diolah dalam industri bukan makanan sebesar 279 ribu ton, kemudian terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2013 menjadi sebesar 1,76 juta ton. Pada tahun , penggunaan jagung basah untuk keperluan industri bukan makanan diprediksikan akan mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 5,61%, hingga menjadi 2,07 juta ton pada tahun Oleh karenanya, angka penggunaan jagung basah merupakan penjumlahan dari angka penggunaan untuk bahan makanan dan yang diolah untuk industry bukan makanan, karena penggunaan untuk keperluan lainnya tidak ada. Kuantitas ekspor dan impor jagung basah dari tahun dalam besaran yang tidak terlalu signifikan yakni hanya sebesar 1 ribu ton, dan diproyeksikan hingga tahun 2016 juga dalam kisaran 1 ribu ton. Dengan kenyataan tersebut, maka besarnya penyediaan jagung basah dari dan proyeksi tahun hanya ditentukan oleh angka penggunaan untuk bahan makanan dan untuk industry bukan makanan (Tabel 3.3). Tabel 3.3. Penyediaan dan Penggunaan Jagung Basah Tahun serta Prediksi Tahun No *) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran Impor Ekspor Perubahan Stok - - B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : Uraian - Makanan Bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan per kapita 1,03 0,69 0,66 0,66 0,67 0,67 0,67 (kg/kapita/tahun) Sumber : Neraca Bahan Makanan (NBM) Kementerian Pertanian, diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Prediksi Pusdatin Tahun Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 13

17 Penggunaan jagung basah menurut data Neraca Bahan Makanan (NBM) adalah diolah dalam industri bukan makanan dan sisanya merupakan bahan yang tersedia untuk dikonsumsi menjadi bahan makanan. Pada tahun 2010, penggunaan jagung basah untuk diolah dalam industri bukan makanan sebesar 279 ribu ton, sehingga ketersediaan yang digunakan sebagai bahan makanan sebesar 249 ribu ton. Kemudian, pada tahun terjadi peningkatan penggunaan jagung basah yang diolah untuk industri bukan makanan, sehingga penggunaan jagung basah untuk bahan makanan sedikit mengalami penurunan. Pada tahun , penggunaan jagung basah untuk keperluan industri bukan makanan diprediksikan akan mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 5,61%. Sementara itu, penggunaan jagung basah untuk bahan makanan diprediksikan berfluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 2,08% per tahun. Dengan membagi angka penggunaan jagung basah yang siap digunakan sebagai bahan makanan dengan jumlah penduduk maka diperoleh angka ketersediaan per kapita jagung basah. Pada tahun 2010 ketersediaan jagung basah mencapai 1,03 kg/kapita yang kemudian menurun hingga menjadi 0,66 kg/kapita pada tahun Ketersediaan jagung basah pada periode 2014 diprediksikan mengalami peningkatan sebesar 2,27% dibandingkan tahun sebelumnya hingga menjadi sebesar 0,67 kg/kapita. Pada tahun tahun berikutnya, ketersediaan per kapita jagung basah diprediksikan tidak mengalami perubahan (Tabel 3.3) Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Jagung Total dalam Rumah Tangga di Indonesia Selain konsumsi dalam wujud jagung basah, data SUSENAS juga mencakup konsumsi jagung dalam wujud jagung pocelan, tepung jagung dan minyak jagung. Tepung jagung dan minyak jagung merupakan wujud olahan yang berasal dari jagung pocelan. Oleh karenanya, dalam bahasan berikut akan dikompilasi konsumsi wujud tersebut ke dalam konsumsi jagung total dengan besaran konversi seperti tersaji pada Tabel Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

18 Tabel 3.4. Besaran konversi wujud olahan jagung ke dalam wujud jagung pipilan No Rincian jenis pangan Pengelompokan dalam SUSENAS Konversi ke bentuk asal 1 Jagung pipilan Padi-padian 1 2 Tepung Jagung Padi-padian 2,53 3 Minyak Jagung Padi-padian 1 Sumber : Studi PSKPG - IPB Dengan menggunakan besaran konversi yang tercantum pada Tabel 3.4 tersebut, maka total konsumsi jagung dari tahun , serta prediksi tahun disajikan pada Tabel 3.5. Secara umum, dari ketiga wujud jagung adalah jagung pocelan, disusul kemudian minyak jagung dan tepung jagung. Oleh karenanya pertumbuhan konsumsi total jagung dari tahun ke tahun sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan konsumsi jagung pocelan. tersebut, konsumsi per kapita terbesar Tabel 3.5. Perkembangan konsumsi total jagung dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi (kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun) , , , , , , ,6956 8, , ,5234-6, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,43 Rata-rata 0,0443 2,3099-4,91 Sumber Tahun 2014*) 0, ,5528 5, *) 0, ,4972-3, *) 0, ,4477-3,30 : SUSENAS, BPS Keterangan: Konsumsi jagung total merupakan jumlah konsumsi per kapita jagung pipilan, tepung jagung dan minyak jagung yang telah dihitung setara jagung pipilan *) hasil prediksi Pusdatin Konsumsi Pertumbuhan (%) Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 15

19 Selama periode tahun , konsumsi per kapita total jagung di Indonesia berfluktuasi namun cenderung mengalami penurunan dengan rata-rata sebesar 4,91%. Penurunan konsumsi total jagung terbesar terjadi pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni sebesar 24,66% atau dari 3,35 kg/kapita pada tahun 2007 menjadi 2,52 kg/kapita pada tahun Pada periode berikutnya hingga tahun 2013, konsumsi total jagung terus mengalami penurunan hingga menjadi 1,47 kg/kapita pada tahun Berdasarkan hasil analisis, konsumsi total jagung di Indonesia pada tahun 2014 diprediksikan akan sedikit meningkat dibandingkan tahun 2013 yakni menjadi sebesar 1,55 kg/kapita atau naik 5,72%. Namun demikian, pada tahun 2016 diprediksikan akan kembali mengalami penurunan hingga menjadi 1,45 kg/kapita. Perkembangan konsumsi total jagung di Indonesia tahun , serta prediksi tahun secara lengkap tersaji pada Tabel 3.5. (kg/kapita/th) 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0, Gambar 3.3. Perkembangan konsumsi total jagung dalam rumah tangga di Indonesia , serta prediksi Apabila ditinjau dari besaran pengeluaran untuk konsumsi jagung bagi penduduk Indonesia tahun secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 1,1%, yakni dari Rp ,86 per kapita pada tahun 2010 menjadi Rp ,14 per kapita pada tahun Namun demikian setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi jagung secara riil sejatinya mengalami penurunan sebesar yakni 8,38%. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita jagung terjadi penurunan. Perkembangan pengeluaran 16 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

20 untuk konsumsi jagung secara nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia tahun secara rinci tersaji pada Tabel 3.6 dan Gambar 3.4. Tabel 3.6. Perkembangan pengeluaran nominal dan rill rumah tangga untuk konsumsi total jagung di Indonesia, Pengeluaran (rupiah/kapita/tahun) Rata-rata Uraian pertumbuhan (%) Nominal 6.152, , , , , ,14 1,10 IHK *) 109,96 114,12 134,06 153,83 170,83 178,39 10,30 Riil 5.595, , , , , ,48-8,38 Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan : *) IHK Kelompok padi-padian (Rupiah/kapita) Pengeluaran Nominal Pengeluaran Riil Gambar 3.4. Perkembangan pengeluaran nominal dan rill dalam rumah tangga untuk konsumsi total jagung, Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan ketersediaan Jagung di Indonesia Data ketersediaan jaguang menurut Neraca Bahan Makanan adalah merujuk pada keluaran dengan wujud jagung pipilan kering. Komponen penyediaan jagung terdiri dari produksi jagung ditambah dari impor, kemudian dikurangi ekspor dan perubahan stok pada tahun yang bersangkutan. Ketersediaan data produksi jagung saat ini adalah hingga tahun 2014 (ARAM I), kemudian dilakukan prediksi untuk tahun 2015 s.d Sedangkan, data ekspor dan impor tersedia hingga tahun 2014 (kumulatif hingga bulan Juni). Prediksi data ekspor impor tahun 2014 menggunakan angka realisasi hingga bulan Juni 2014 ditambah dengan prediksi Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 17

21 Juli Desember Prediksi data ekspor dan impor menggunakan metode pemulusan. Ketersediaan data stok untuk komoditas jagung tidak ada, sehingga, total ketersediaan jagung hanya memperhatikan indikator produksi, ekspor, serta impor. Pada Pada tahun 2010, produksi jagung pipilan kering sebesar 18,33 juta ton yang kemudian terjadi fluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 0,46% per tahun hingga menjadi 18,55 juta ton pada tahun 2014 (ARAM I). Pada tahun 2015 hingga 2016, produksi jagung pipilan kering diprediksikan sedikit mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yakni mencapai sebesar 18,74 juta ton. Jagung pipilan yang masuk ke Indonesia melalui impor dari tahun terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yakni dari 1,78 juta ton pada tahun 2010 kemudian naik menjadi 2,4 juta ton pada tahun Pada tahun 2014, impor jagung pipilan diprediksikan akan sedikit menurun yakni menjadi 2,22 juta ton namun kemudian naik hingga menjadi 2,36 juta ton pada tahun Sementara, ekspor jagung pipilan kering dari tahun pada kuantitas yang tidak terlalu signifikan yakni hanya berkisar antara 17 ribu ton hingga 65 ribu ton. Pada tahun 2014 hingga 2016, ekspor jagung diprediksikan akan berkisar 39 ribu ton hingga 41 ribu ton. Dengan keragaan data tersebut, maka penyediaan jagung pipilan di Indonesia dari tahun 2010 hingga 2014 hanya mengalami peningkatan sebesar 0,8% per tahun, yakni dari 20,07 juta ton pada tahun 2010 dan meningkat menjadi sebesar 20,73 juta ton pada tahun Seiring dengan peningkatan produksi serta impor jagung, maka penyediaan jagung pipilan diprediksikan akan mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi 20,92 juta ton. Demikian pula, pada tahun 2016 kembali naik menjadi 21,05 juta ton. Komponen penggunaan jagung pipilan adalah untuk pakan, bibit, tercecer, diserap pada industri bukan makanan, serta dipergunakan sebagai bahan makanan. Menurut metode penghitungan NBM, penggunaan jagung pipilan sebagai pakan diasumsikan sebesar 6%, serta yang tercecer sebesar 5% dari total penyediaan dalam negeri. Dengan menggunakan asumsi perhitungan tersebut, maka kebutuhan jagung pipilan untuk pakan pada tahun hingga prediksi tahun akan terus mengalami peningkatan dengan rata-rata 0,82% per tahun yakni dari 1,2 juta ton pada tahun 2010 menjadi sebesar 1,26 juta ton pada tahun Demikian pula, jagung pipilan yang tercecer juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,82% atau dari 1 juta ton pada tahun 2010 dan diprediksikan menjadi sebesar 1,05 juta ton pada tahun Sementara, 18 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

22 penggunaan jagung pipilan sebagai bibit relatif berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun cenderung mengalami penurunan dengan rata-rata sebesar 2,55%, yakni dari 90 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 76 ribu ton pada tahun Jagung pipilan juga diserap untuk keperluan industri bukan makanan yang mencapai 4,43 juta ton pada tahun 2010 dan kemudian menurun menjadi 3,17 juta ton pada tahun 2013, namun setelah itu diprediksikan akan terjadi tendensi peningkatan hingga menjadi sebesar 3,29 juta ton pada tahun Sisa penyediaan jagung pipilan setelah digunakan untuk keperluan pakan, bibit, tercecer, dan untuk industri bukan makanan merupakan penyediaan yang siap digunakan sebagai bahan makanan. Jumlah jagung pipilan yang siap digunakan sebagai bahan makanan pada tahun 2010 mencapai 13,34 juta ton dan kemudian terus mengalami peningkatan hingga menjadi 15,38 juta ton pada tahun Pada tahun-tahun berikutnya, penggunaan jagung pipilan untuk bahan makanan diprediksikan mengalami sedikit meningkat hingga menjadi 15,37 juta ton pada tahun Tabel 3.7. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan jagung tahun serta prediksi tahun No *) 2013*) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 ton) Produksi Uraian - Masukan Keluaran Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : - Makanan Bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan per kapita 55,23 61,39 63,23 61,79 59,79 59,67 59,41 (kg/kapita/tahun) Tahun Sumber : Neraca Bahan Makanan (NBM) Kementerian Pertanian, diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Prediksi Pusdatin Keluaran tahun 2014 merupakan ARAM I - BPS Ketersediaan per kapita merupakan rasio dari jumlah jagung yang tersedia dan siap dikonsumsi sebagai bahan makanan dengan jumlah penduduk. Perkembangan ketersediaan jagung per kapita tahun dan prediksi tahun tersaji pada Gambar 2.5. Ketersediaan jagung per kapita berdasarkan NBM 2010 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 19

23 adalah sebesar 55,23 kg/kapita, dan meningkat pada tahun 2013 hingga menjadi sebesar 61,79 kg/kapita atau meningkat dengan rata-rata sebesar 3,96% selama kurun waktu 3 tahun tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya diprediksikan akan sedikit mengalami penurunan hingga pada tahun 2016 menjadi sebesar 59,41 kg/kapita (Tabel 3.7). Gambar 3.5. Perkembangan ketersediaan jagung per kapita per tahun di Indonesia , serta prediksi tahun Perbandingan Konsumsi (Susenas) dan Ketersediaan per kapita (NBM) Jagung Basah dan Jagung Pipilan di Indonesia Hasil SUSENAS menghasilkan angka konsumsi per kapita, sementara hasil perhitungan pada Neraca Bahan Makanan (NBM) menghasilkan angka penyediaan per kapita. Perhitungan perbedaan kedua angka tersebut untuk komoditas jagung basah pada tahun disajikan pada Tabel 3.8. Angka konsumsi total jagung basah berdasarkan hasil Susenas dari tahun 2010 hingga 2016 berfluktuasi namun cenderung menurun sebesar 6,57%, yakni dari 0,94 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 0,59 kg/kapita pada tahun Angka ketersediaan per kapita jagung basah pada tahun juga berfluktuasi dan cenderung turun yakni dari 1,03 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 0,67 kg/kapita pada tahun Pada periode tahun , besaran konsumsi per kapita jagung basah rata-rata diatas 90% dari angka ketersediaannya. Sisa dari ketersediaan jagung basah yang tidak dikonsumsi tersebut adalah akan terserap ke industri pengolahan makanan pada perhitungan NBM. 20 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

24 Tabel 3.8. Perbandingan konsumsi per kapita rumah tangga (Susenas) dengan Ketersediaan per kapita (NBM) jagung basah di Indonesia, No Uraian Konsumsi Rumah Tangga, Susenas 0,94 0,63 0,57 0,57 0,59 0,59 0,59 2 Ketersediaan, NBM 1,03 0,69 0,66 0,66 0,67 0,67 0,67 3 Selisih 0,09 0,06 0,09 0,09 0,09 0,09 0,09 Sumber: Susenas, BPS dan Ketersediaan, NBM - BKP Tahun (kg/kapita/tahun) Perhitungan perbedaan angka konsumsi dan ketersediaan jagung pipilan pada tahun disajikan pada Tabel 2.9. Angka konsumsi total jagung pipilan berdasarkan hasil Susenas dari tahun 2010 hingga 2016 berfluktuasi namun cenderung menurun sebesar 2,21%, yakni dari 1,76 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 1,45 kg/kapita pada naik yakni dari 55,23 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 59,41 kg/kapita pada tahun Pada periode tahun , besaran konsumsi per kapita jagung pipilan rata-rata hanya berkisar 2-3% dari angka ketersediaannya. Sisa dari ketersediaan jagung pipilan yang tidak dikonsumsi tersebut kemungkinan terserap ke industri pengolahan jagung untuk pakan ternak tahun Angka ketersediaan per yang pada perhitungan NBM masih belum kapita jagung pipilan pada tahun 2010 tercakup seluruhnya juga berflutuasi namun cenderung Tabel 3.9. Perbandingan konsumsi per kapita rumah tangga (Susenas) dengan Ketersediaan per kapita (NBM) jagung total di Indonesia, No Uraian Tahun (kg/kapita/tahun) Konsumsi Rumah Tangga, Susenas *) 1,76 1,36 1,68 1,47 1,55 1,50 1,45 2 Ketersediaan, NBM 55,23 61,39 63,23 61,79 59,79 59,67 59,41 3 Selisih 53,47 60,03 61,55 60,32 58,24 58,18 57,96 Sumber: Susenas, BPS Ketersediaan (NBM) Keterangan: *) Merupakan total konsumsi per kapita jagung (jagung pipilan, tepung jagung dan minyak jagung) 3.4. Penyediaan Total Domestik Jagung di beberapa negara di Dunia Menurut data USDA, penyediaan jagung terbesar di dunia tersebar di negara-negara di Amerika, Asia dan Afrika. Amerika Serikat merupakan negara dengan total penyediaan jagung terbesar di dunia yakni pada periode tahun mencapai 281,22 juta ton per tahun atau 32,16% dari total penyediaan jagung dunia. Disusul kemudian oleh China yang Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 21

25 menepati urutan kedua dengan rata-rata penyediaan sebesar 189 juta ton atau 21,62% dari total penyediaan di dunia. Uni Eropa menempati urutan ketiga dalam penyediaan jagung di dunia yang mencapai 68,46 juta ton atau 7,83% dari total penyediaan jagung dunia. Negara-negara berikutnya adalah Brazilia, Meksiko, India, Jepang, Indonesia, Mesir dan Kanada dengan total penyediaan masing-masing di bawah 6%. Kontribusi negara-negara dengan penyediaan jagung terbesar di dunia disajikan pada Tabel 3.10 dan Gambar 3.6. Tabel Negara dengan penyediaan jagung terbesar di dunia, No Negara Amerika Serikat ,16 2 China ,62 53,78 3 Uni Eropa ,83 61,61 4 Brasilia ,82 67,43 5 Meksiko ,37 70,80 6 India ,00 72,80 7 Jepang ,76 74,56 8 Indonesia ,55 76,11 9 Mesir ,39 77,49 10 Kanada ,35 78,84 11 Negara Lainnya ,16 100,00 Dunia ,00 Sumber: USDA, diolah Pusdatin Ketersediaan (000 Ton) Rata-rata Share (%) Share kumulatif (%) Amerika Serikat; 32,16 China; 21,62 Negara Lainnya; 21,16 Kanada; 1,35 Mesir; 1,39 Indonesia; 1,55 India; 2,00 Jepang; 1,76 Meksiko; 3,37 Brasilia; 5,82 Uni Eropa; 7,83 Amerika Serikat China Uni Eropa Brasilia Meksiko India Jepang Indonesia Mesir Kanada Negara Lainnya Gambar 3.6. Negara dengan penyediaan jagung terbesar di dunia, share terhadap rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

26 BAB IV. KACANG HIJAU K acang hijau merupakan tanaman jenis polong-polongan (Fabaceae) yang mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi seperti protein, vitamin, serat, fosfor, kalsium dan lemak tak jenuh yang tentunya sangat baik dikonsumsi untuk kesehatan tubuh. Kacang hijau tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita dan dapat ditemukan dengan mudah dengan harga yang terjangkau, selain itu kacang hijau bisa dibuat bermacam-macam makanan olahan seperti kue, onde-onde, bubur kacang hijau, es kacang hijau, sereal untuk anak, puding dan masih banyak lainnya. Untuk mendapatkan manfaat yang baik dari kacang hijau sebaiknya kacang hijau tidak dimasak terlalu matang karena akan mengurangi kandungan gizi di dalamnya, dan air rebusan kacang hijau juga bermanfaat untuk kesehatan kulit dan sangat membantu untuk proses penyembuhan luka. Bagian paling bernilai ekonomi adalah bijinya. Biji kacang hijau direbus hingga lunak dan dimakan sebagai bubur atau dimakan langsung. Biji matang yang digerus dan dijadikan sebagai isi ondeonde, bakpau, atau gandas turi. Kacang hijau bila direbus cukup lama akan pecah dan pati yang terkandung dalam bijinya akan keluar dan mengental, menjadi semacam bubur. Tepung pati biji kacang hijau disebut di pasaran sebagai tepung hunkue, digunakan dalam pembuatan kuekue dan cenderung membentuk gel. Tepung ini juga dapat diolah menjadi mi yang dikenal sebagai soun. Kacang hijau juga mengandung multi protein yang berfungsi mengganti sel mati dan membantu pertumbuhan sel tubuh, oleh karena itu anak-anak dan wanita yang baru saja bersalin dianjurkan untuk mengkonsumsinya ( Kacang hijau memiliki kandungan protein yang cukup tinggi sebesar 22% dan merupakan sumber mineral penting, antara lain kalsium dan fosfor. Sedangkan kandungan lemaknya merupakan asam lemak tak jenuh. Kandungan kalsium dan fosfor pada kacang hijau bermanfaat untuk memperkuat tulang. Kacang hijau juga mengandung rendah lemak yang sangat baik bagi mereka yang ingin menghindari konsumsi lemak tinggi. Kadar lemak yang rendah dalam kacang hijau menyebabkan bahan makanan atau minuman yang terbuat dari kacang hijau tidak mudah berbau. Lemak kacang hijau tersusun atas 73% asam lemak tak jenuh dan 27% asam lemak jenuh. Umumnya kacang-kacangan memang mengandung lemak tak jenuh tinggi. Asupan lemak tak jenuh tinggi Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 23

27 penting untuk menjaga kesehatan jantung. Kacang hijau mengandung vitamin B1 yang berguna untuk pertumbuhan. Manfaat kacang hijau yang mengandung asamfolat ini juga dapat menghindarkan dari terjadinya bayi kelainan jantung, bibir sumbing, dan berbagai kecacatan lainnya. Selain itu Asam folat juga dapat meningkatkan kecerdasan bayi. Kacang hijau sangat baik bagi kesehatan Jantung. Kandungan lemak tidak jenuh dalam kacang hijau aman untuk di konsumsi dan bermanfaat bagi kesehatan jantung. Karena lemaknya merupakan lemak tak jenuh, bagi Anda yang memiliki masalah dengan berat badan tidak perlu khawatir untuk mengonsumsi kacang hijau. Kandungan gizi yang terdapat dalam kacang hijau, antara lain : kalori, protein, lemak, vitamin A, B1, mineral berupa fosfor, zat besi, dan mg. Selain kandungan gizi/vitamin, kacang hijau ternyata bisa menyembuhkan penyakit beri-beri, radang ginjal, melancarkan pencernaan, tekanan darah tinggi, mengatasi keracunan alkohol, pestisida, timah hitam, mengatasi gatal karena biang keringat, muntaber, menguatkan fungsi limpa dan lambung, impotensi, TBC paruparu, jerawat, mengatasi flek hitam di wajah Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Kacang Hijau dalam Rumah Tangga di Indonesia kacang hijau dalam rumah tangga selama periode tahun relatif berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selama periode tahun , konsumsi kacang hijau mengalami penurunan yang terbesar terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 40% dibandingkan tahun 2010 atau menjadi sebesar 0,156 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi tertinggi terjadi pada tahun 2002 sebesar 0,574 kg/kapita/tahun. Penurunan konsumsi kacang hijau diprediksikan masih akan terjadi pada tahun 2016 sehingga menjadi sebesar 0,126 kg/kapita/tahun atau turun 15,66% dibandingkan tahun Tahun 2015 besarnya konsumsi kacang hijau sekitar 0,003 kg/kapita/ minggu atau 0,149 kg/kapita/tahun atau turun 13,54% dari tahun Perkembangan konsumsi kacang hijau dari tahun serta prediksinya tahun disajikan pada Tabel 4.1 dan Gambar Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

28 * 2015* 2016* Buletin Konsumsi Pangan Tabel 4.1. Perkembangan konsumsi kacang hijau dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi tahun Tahun Seminggu Setahun Pertumbuhan (Kg/Kap/Mgg) (Kg/Kap/Tahun) (%) ,011 0, ,008 0,417-27, ,009 0,469 12, ,009 0,469 0, ,007 0,365-22, ,009 0,469 28, ,007 0,365-22, ,005 0,261-28, ,005 0,261 0, ,003 0,156-40, ,003 0,156 0, ,003 0,156 0,00 Rata-rata 0,007 0,343-9, *) 0,0033 0,173 10, *) 0,0029 0,149-13, *) 0,0024 0,126-15,66 Sumber : Susenas, BPS diolah Pusdatin Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin (Kg/Kap/Tahun) 0,600 0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 Gambar 4.1. Perkembangan konsumsi kacang hijau dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi Apabila ditinjau dari besarnya pengeluaran untuk konsumsi kacang hijau bagi penduduk Indonesia tahun secara nominal menunjukkan penurunan 4,64%, yakni dari Rp. 2, ribu/kapita pada tahun 2008 menjadi Rp. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 25

29 (Rupiah/kapita) (Rupiah/kapita) Buletin Konsumsi Pangan 2, ribu/kapita pada tahun Demikian juga setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi kacang hijau secara riil mengalami penurunan sebesar 9,84%. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan pengeluaran riil menurun lebih cepat dibandingkan dengan nominal untuk konsumsi kacang hijau. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi kacang hijau nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonedia tahun secara rinci tersaji pada Tabel 4.2 dan Gambar 2.2 Tabel 4.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi kacang hijau, Pengeluaran (Rupiah/kapita) Rata-rata Pertumbuhan No. Uraian (%) 1 Nominal 2.815, , , , , ,86-4,64 2 IHK 153,45 154,97 158,95 170,29 183,29 204,42 5,97 3 Riil 1.834, , , , , ,84-9,84 Sumber: BPS, diolah Pusdatin Keterangan: Indeks Harga Konsumen (IHK) yang digunakan IHK Kelompok kacang-kacangan 3.500, , , , , , , , , , , ,00 500,00 500, Pengeluaran Nominal Pengeluaran Riil Pengeluaran Nominal Pengeluaran Riil Gambar 4.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi kacang hijau, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

30 4.2. Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan Kacang Hijau di Indonesia Berdasarkan hasil perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM), komponen penyediaan terdiri dari produksi, sementara komponen penggunaan adalah untuk pakan, bibit, tercecer dan tersedia sebagai bahan makanan, besaran yang siap tersedia sebagai bahan makanan inilah jika dibagi dengan jumlah penduduk menjadi ketersediaan per kapita dalam satu tahun. Secara rinci penyediaan dan penggunaan kacang hijau tahun 2010 sampai dengan 2016 dapat dilihat pada Tabel 4.3. Berdasarkan NBM tahun 2010 penyediaan kacang hijau adalah sebesar 292 ribu ton yang berasal dari produksi kacang hijau, penyediaan ini naik sekitar 16,78% di bandingkan tahun 2011 sebesar 341 ribu ton. Naiknya penyediaan kacang hijau di tahun 2011 terutama karena naiknya produksi. Berdasarkan NBM, besarnya penyediaan kacang hijau ini di tahun 2011 ini sebagian besar merupakan penyediaan untuk bahan makanan yaitu sebesar 308 ribu ton, tercecer sekitar 4,92% dari penyediaan atau sebesar 17 ribu ton dan bibit sebesar 9 ribu ton serta pakan 7 ribu ton dari penyediaan. Sebaliknya diprediksikan pada tahun 2014 besarnya penyediaan kacang hijau mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu menjadi 211 ribu ton atau naik sebesar 2,93%, dimana dari jumlah tersebut digunakan untuk bahan makanan sebesar 190 ribu ton, tercecer 11 ribu ton, bibit 6 ribu ton dan pakan 4 ribu ton (Tabel 4.3.) Penyediaan kacang hijau diprediksi akan mengalami sedikit kenaikan pada periode , terutama karena naiknya produksi dalam negeri. Tahun 2014 besarnya penyediaan adalah 211 ribu ton, sementara tahun 2015 dan 2016 diperkirakan sebesar 223 ribu. Sebagian besar penyediaan kacang hijau adalah digunakan untuk bahan makanan, persentasenya lebih dari 80% dari penyediaan, besarnya penggunaan kacang hijau untuk bahan makanan ini diprediksi akan terus meningkat seiiring dengan meningkatnya konsumsi kacang hijau di masyarakat. Ketersediaan kacang hijau per kapita menurut NBM pada periode tahun masing-masing sebesar 1,09 kg/kapita/tahun, 1,27 kg/kapita/tahun, 1,05 kg/kapita/tahun dan 0,77 kg/kapita/tahun. Sementara pada periode angka ketersediaan diprediksi cenderung stabil dibandingkan tahun 2013, dimana pada periode ini ketersediaan kacang hijau masing-masing sebesar 0,75 kg/kapita/tahun, 0,79 kg/kapita/tahun 0,78 kg/kapita/tahun. Perkembangan ketersediaan kacang hijau per kapita periode dapat dilihat pada Gambar 4.3. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 27

31 Tabel 4.3. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan kacang hijau tahun serta prediksi tahun No. Uraian Tahun *) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 Ton) Produksi - Masukan Keluaran Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 Ton) Pakan (ton) Bibit (ton) Diolah untuk : - makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan per kapita 1,09 1,27 1,05 0,77 0,75 0,79 0,78 (Kg/Kapita/Tahun) Sumber : Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan Keterangan: *) Angka Sementara **) Angka Prediksi Pusdatin Berdasarkan keragaan data komponen penyediaan kacang hijau tersebut maka penyediaan dalam negeri komoditas kacang hijau pada tahun 2010 hingga 2013 berfluktuasi namun cenderung menurunan sebesar 9,25%. Pada tahun 2010, penyediaan dalam negeri kacang hijau mencapai 292 ribu ton dan naik menjadi sebesar 341 ribu ton pada tahun 2011, kemudian menurun menjadi 284 ribu ton pada tahun 2012, dan 205 ribu ton pada tahun 2013 yang dominan disebabkan menurunnya produksi kacang hijau dalam negeri. Pada tahun berikutnya, penyediaan dalam negeri kacang hijau diprediksikan akan mengalami peningkatan menjadi sebesar 211 ribu ton pada tahun 2014, 223 ribu ton tahun 2015 dan tahun 2016 stabil atau naik 2,84% per tahun. Pada periode tahun , dari jumlah penyediaan kacang hijau domestik tersebut sekitar 7,65% digunakan untuk untuk pakan, 20,73% untuk bibit serta 4,85% merupakan kacang hijau yang tercecer, sehingga sekitar 79,27% siap dikonsumsi sebagai bahan makanan. Berdasarkan konversi angka penggunaan untuk bibit dan tercecer tersebut di atas, maka pada tahun 2010, total kacang hijau yang tersedia untuk bahan makanan mencapai 263 ribu ton, namun sedikit mengalami peningkatan menjadi 308 ribu ton pada tahun 2011, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2012 menjadi 257 ribu ton, dan terus menurun hingga tahun 2013 menjadi sebesar 185 ribu ton. 28 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

32 Dengan menggunakan angka konversi yang sama untuk penggunaan bibit dan tercecer, maka pada tahun 2014, penggunaan kacang hijau untuk bahan makanan diprediksikan akan menjadi 190 ribu ton atau naik 2,59% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2015, penggunaan kacang hijau untuk bahan makanan diprediksikan kembali naik 5,76% atau menjadi 201 ribu ton, kemudian pada tahun 2016 stabil (Tabel 4.3). Angka penyediaan untuk bahan makanan kemudian dibagi dengan jumlah penduduk maka bisa diketahui total ketersediaan per kapita. Pada tahun 2010, total ketersediaan kacang hijau sebesar 1,09 kg/kapita, kemudian sedikit mengalami peningkatan pada tahun 2011 hingga menjadi 1,27 kg/kapita, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2012 sebesar 1,05 kg/kapita namun pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi sebesar 0,77 kg/kapita. Pada tahun 2014 hingga 2016, penyedian kacang hijau per kapita diprediksikan cukup stabil dibandingkan tahun sebelumnya yakni masing-masing menjadi sebesar 0,75 kg/kapita, pada tahun 2014, 0,79 kg/kapita pada tahun 2015, dan 0,78 kg/kapita pada tahun (Kg/kapita/thn) 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0, ** 2015** 2016** Gambar 4.3. Perkembangan ketersediaan kacang hijau per kapita tahun serta prediksi tahun Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 29

33 4.3. Perbandingan Konsumsi (Susenas) dan Ketersediaan per kapita (NBM) Kacang Hijau di Indonesia Pada periode , konsumsi per kapita kacang hijau di berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukkan angka yang lebih kecil bila dibandingkan dengan ketersediaan dari Necara Bahan Makanan (NBM), ini berarti ketersediaan kacang hijau dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat di Indonesia. Angka konsumsi kacang hijau berdasarkan hasil Susenas dari tahun 2010 hingga 2016 cenderung menurun, yakni dari 0,26 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 0,13 kg/kapita pada tahun Begitu juga angka ketersediaan per kapita kacang hijau pada tahun cenderung menurun dari 1,09 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 0,78 kg/kapita tahun Selisih atau beda dari ketersediaan kacang hijau dari tahun 2010 hingga 2016 terlihat cukup besar, perbedaan tersebut diduga terserap pada industri makanan dan minuman seperti industri kue, onde-onde, bubur kacang hijau, es kacang hijau, sereal untuk anak, puding dan masih banyak lainnya. Perbandingan konsumsi per kapita rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan (NBM) komoditas kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Perbandingan konsumsi kacang hijau per kapita rumah tangga (Susenas) dengan ketersediaan (NBM), tahun Variabel Tahun (kg/kapita/tahun) *) 2014 **) 2015 **) 2016 **) Konsumsi Rumah Tangga, Susenas 0,26 0,16 0,16 0,16 0,17 0,15 0,13 Ketersediaan, NBM 1,09 1,27 1,05 0,77 0,75 0,79 0,78 Selisih 0,83 1,11 0,89 0,61 0,58 0,64 0,65 Sumber: Susenas, BPS dan Neraca Bahan Makanan, BKP Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Prediksi Pusdatin 30 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

34 BAB V. BAWANG PUTIH B awang putih (allium sativum) termasuk genus afflum atau di Indonesia lazim disebut bawang putih. Bawang putih termasuk klasifikasi tumbuhan terna berumbi lapis atau siung yang bersusun. Bawang putih tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi cm, mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepahpelepah daun. Helaian daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Akar bawang putih terdiri dari serabut-serabut kecil yang bejumlah banyak, setiap umbi bawang putih terdiri dari sejumlah anak bawang (siung) yang setiap siungnya terbungkus kulit tipis berwarna putih. Bawang putih yang semula merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, sekarang di Indonesia, jenis tertentu dibudidayakan di dataran rendah. Bawang putih berkembang baik pada ketinggian tanah berkisar meter di atas permukaan laut ( pd_tanobat). Bawang Putih menyimpan banyak kandungan yang sangat bermanfaat, seperti halnya zat alisin dimana kandungan ini sangat bermanfaat untuk menghancurkan pembekuan darah dalam arteri, mengurangi tekanan darah dan juga bisa mengurangi gejala diabetes. Bawang putih juga memiliki senyawa alil, dimana senyawa tersebut berkhasiat untuk mengatasi penyakit degeneraif serta bisa mengaktifkan pertumbuhan sel baru. Masih banyak kandungan lain yang dimiliki oleh Bawang Putih ini, seperti karbohidrat, protein, beberapa jenis vitamin, kalsium, zat besi, magnesium, dan masih banyak lagi Perkembangan serta Prediksi Konsumsi Bawang Putih dalam Rumah Tangga di Indonesia Perkembangan konsumsi bawang putih di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun berfluktuasi namun rata-rata mengalami peningkatan sebesar 2,56% per tahun. Peningkatan terbesar untuk bawang putih terjadi di tahun 2007 dimana konsumsi dalam rumah tangga naik sebesar 39,23% dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan konsumsi bawang putih dalam rumah tangga terbesar terjadi di tahun 2013 yaitu turun 24,76% dibandingkan tahun Selama periode , konsumsi bawang putih terbesar terjadi pada tahun 2012 yang mencapai 0,307 ons/kapita/minggu atau sebesar 1,601 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar 1,074 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2013, konsumsi bawang putih Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 31

35 yaitu sebesar 0,231 ons/kapita/minggu atau 1,205 kg/kapita/tahun. Prediksi konsumsi bawang putih untuk tahun 2014 hingga 2016 akan terus mengalami peningkatan. Konsumsi bawang putih tahun 2014 sebesar 1,452 kg/kapita/tahun atau meningkat sebesar 20,54% dibandingakn tahun Tahun 2015 dan 2016 diprediksi masing-masing sebesar 1,450 kg/kapita/tahun dan 1,442 kg/kapita/tahun. Perkembangan konsumsi bawang putih dari tahun serta prediksinya tahun disajikan pada Tabel 5.1 dan Gambar 5.1. Tabel 5.1. Perkembangan konsumsi bawang putih dalam rumah tangga di Indonesia, Tahun , serta prediksi tahun Sumber: Susenas, BPS diolah Pusdatin Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin 32 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

36 (Kg/Kapita/tahun) 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0, *) 2015*) 2016*) Gambar 5.1. Perkembangan konsumsi bawang putih dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi Apabila dilihat dari besarnya pengeluaran untuk konsumsi bawang putih bagi penduduk Indonesia tahun secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 39,94%, yakni dari Rp per kapita pada tahun 2008 menjadi Rp per kapita pada tahun Pada tahun 2011, secara nominal pengeluaran konsumsi bawang putih meningkat cukup tinggi yaitu sebesar Rp ,57 per kapita. Setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi bawang putih secara riil juga mengalami peningkatan sebesar 16,78%. Laju pengeluaran nominal bawang putih meningkat lebih besar dibandingkan pengeluaran secara riil, hal ini dikarenakan rata-rata inflasi bawang putih cukup tinggi mencapai 15,73%. Tabel 5.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi bawang putih, Rata-rata Pengeluaran (Rupiah/kapita/tahun) No. Uraian Pertumbuhan (%) 1 Nominal 1.898, , , , , ,36 39,94 2 IHK 116,84 125,24 164,31 165,13 150,69 223,77 15,73 3 Riil 1.624,50 836, , , , ,38 16,78 Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan: IHK (indeks Harga Konsumen) yang digunakan IHK Kelompok bumbu-bumbuan a/tahun) Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 33

37 (Rp/kapita/tahun) Pengeluaran Nominal Pengeluaran Riil Gambar 5.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil dalam rumah tangga untuk konsumsi bawang putih di Indonesia, Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan per Kapita Bawang putih di Indonesia Penyediaan bawang putih Indonesia berasal dari produksi dalam negeri ditambah impor, sementara komponen penggunaan adalah untuk bibit, tercecer dan sebagai bahan makanan. Penyediaan bawang putih di Indonesia hampir seluruhnya dipasok dari impor hanya sedikit sekali produksi dalam negeri. Ketersediaan data produksi dan impor bawang putih hingga 2013 adalah merupakan Angka Tetap. Produksi bawang putih periode tahun sedikit mengalami peningkatan. Produksi bawang putih pada tahun 2010 yaitu sebesar 9 ribu ton dan mengalami peningkatan menjadi 13 ribu ton pada tahun Sementara impor bawang putih dilakukan Indonesia selama periode tahun cukup besar yakni berkisar antara ribu ton atau 97,03% dari total penyediaan. Oleh karena itu, penyediaan dalam negeri bawang putih menjadi sebesar 268 ribu ton pada tahun 2010 dan meningkat menjadi sebesar 455 ribu ton pada tahun Pada tahun berikutnya, yakni tahun 2014 hingga tahun 2016, produksi bawang putih diprediksi stabil masing-masing sebesar 12 ribu ton atau mengalami penurunan dibandingkan tahun Impor pada tahun 2014 diprediksi mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan realisasi impor tahun 2013, yakni sebesar 459 ribu ton, sehingga total penyediaan bawang putih pada tahun 2014 menjadi sebesar 471 ribu ton. Tahun 2015 Impor diprediksi mengalami peningkatan dibandingkan 34 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

38 tahun 2014, yakni sebesar 484 ribu ton, sehingga total penyediaan bawang putih pada tahun 2015 menjadi sebesar 498 ribu ton atau meningkat sebesar 5,31%. Begitu juga pada tahun 2016 Impor diprediksi mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2015, yakni sebesar 508 ribu ton, sehingga total penyediaan bawang putih pada tahun 2016 menjadi sebesar 520 ribu ton atau meningkat sebesar 4,84%. Penggunaan bawang putih di Indonesia terutama adalah digunakan sebagai bahan makanan atau langsung dikonsumsi sebagai bahan makanan dengan persentase kurang lebih 92,63% dari total penyediaan dalam negeri dan untuk bibit dan tercecer mempunyai persentase masing-masing sebesar 0,24% dan 7,13%, sementara untuk penggunaan bawang putih olahan baik untuk makanan maupun bukan makanan datanya belum tersedia. Dari perhitungan tersebut, maka bawang putih yang tercecer pada tahun 2010 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan dari 19 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 32 ribu ton pada tahun seiring dengan pola peningkatan impor bawang putih. Pada tahun 2014 bawang putih yang tercecer diprediksi mengalami sedkit peningkatan mejadi sebesar 34 ribu ton, untuk tahun 2015 dan 2016 masingmasing menjadi sebesar 35 ribu ton dan 37 ribu ton. Bawang putih yang digunakan untuk bahan makanan mencapai 248 ribu ton pada tahun 2010 dan mengalami peningkatan hingga menjadi 422 ribu ton pada tahun Prediksi tahun 2014 hingga tahun 2016 memperlihatkan adanya peningkatan dalam penggunaan bawang putih sebagai bahan makanan masingmasing sebesar 436 ribu ton pada tahun 2014, 459 ribu ton pada tahun 2015 dan 482 ribu ton tahun Secara rinci penyediaan dan penggunaan bawang putih tahun dapat dilihat pada Tabel 5.3. Ketersediaan per kapita adalah jumlah suatu produk atau komoditas yang digunakan sebagai bahan makanan dibagi dengan jumlah penduduk. Pada tahun 2010 ketersediaan bawang putih per kapita sebesar 1,04 kg/kapita/tahun dan terus meningkat menjadi sebesar 1,70 kg/kapita/tahun pada tahun Pada tahun 2014 ketersediaan bawang putih diprediksi meningkat menjadi sebesar 1,73 kg/kapita/tahun begitu juga tahun 2015 dan 2016 ketersediaan bawang putih per kapita diprediksi meningkat masing-masing menjadi sebesar 1,80 kg/kapita/tahun dan 1,86 kg/kapita/tahun (Gambar 5.3) Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 35

39 Tabel 5.3. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan bawang putih tahun serta prediksi tahun Tahun No. Uraian *) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : - makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan kapita/tahun (kg) 1,04 1,19 1,73 1,70 1,73 1,80 1,86 Sumber : Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Prediksi Pusdatin (kg/kap/tahun) 2,00 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0, * 2014** 2015** 2016** Gambar 5.3. Perkembangan ketersediaan bawang putih per kapita, tahun serta prediksi tahun Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

40 5.3. Perbandingan Konsumsi (Susenas) dan Ketersediaan Per Kapita (NBM) Komoditas Bawang putih Pada periode , konsumsi per kapita bawang putih berdasarkan hasil Susenas, BPS menunjukkan angka yang lebih besar jika dibandingkan angka ketersediaan (NBM), ini berarti ketersediaan bawang putih tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat di Indonesia. Angka konsumsi bawang putih dalam rumah tangga berdasarkan hasil Susenas pada tahun 2010 sebesar 1,36 kg/kapita/tahun sedangkan ketersediaan sebesar 1,04 kg/kapita/tahun, begitu juga tahun 2011 Angka konsumsi bawang putih (Susenas) pada tahun 2011 sebesar 1,35 kg/kapita/tahun sedangkan ketersediaan sebesar 1,19 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2012 hingga 2016 konsumsi bawang putih dalam rumah tangga berfluktuasi namun cenderung menurun sebesar 1,60 kg/kapita/tahun pada tahun 2012 menjadi 1,44 kg/kapita pada tahun Sementara angka ketersediaan per kapita bawang putih pada tahun berfluktuasi namun cenderung meningkat dari 1,73 kg/kapita pada tahun 2012 menjadi 1,86 kg/kapita pada tahun Selisih atau beda dari ketersediaan bawang putih dari tahun 2012 hingga 2016 terlihat cukup sedikit, perbedaan tersebut diduga terserap pada sektor industri makanan dan restoran. Perbandingan konsumsi per kapita rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan (NBM) komoditas bawang putih dapat di lihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Perbandingan konsumsi bawang putih perkapita dalam rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan (NBM), Variabel Tahun (kg/kapita/tahun) * 2015* 2016* Konsumsi Rumah Tangga, Susenas 1,36 1,35 1,60 1,20 1,45 1,45 1,44 Ketersediaan, NBM 1,04 1,19 1,73 1,70 1,73 1,80 1,86 Selisih -0,32-0,16 0,13 0,49 0,28 0,35 0,42 Sumber: Susenas, BPS dan Ketersediaan NBM, BKP-Kementan Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 37

41 BAB VI. PISANG P isang adalah jenis tumbuhan yang banyak ditemukan di Indonesia dan merupakan buah tropis yang menjadi favorit banyak orang. Selain rasanya manis, pisang juga kaya vitamin dan mineral, bisa dimakan langsung atau diolah menjadi berbagai hidangan lezat. Pisang merupakan tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara. Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan terna raksasa berdaun besar memanjang dari suku Musacea. Hampir semua buah pisang memiliki kulit berwarna kuning ketika matang ( pisang). Pisang adalah buah yang sangat bergizi yang merupakan sumber vitamin, mineral dan juga karbohidrat. Mengkonsumsi buah pisang secara rutin memiliki banyak manfaat untuk kesehatan tubuh. Manfaat buah pisang antara pertama sebagai sumber energi, karena kandungan karbohidrat yang terkandung dalam pisang dapat menjadi sumber enegi untuk tubuh. Kedua, kaya kandungan vitamin dan serat sehingga tetap dapat menjaga kesehatan jantung. Ketiga menurunkan berat badan, karena buah pisang memiliki kandungan kalori yang relatif kecil. Keempat, dapat meningkatkan kesehatan otak. Kelima, Mengatasi diabetes, menyeimbangkan jumlah cairan, mengobati sakit maag, mengatasi anemia, menyehatkan tulang dan masih banyak lagi. Walaupun konsumsi pisang di Indonesia cenderung menurun tiap tahunnya tetapi pisang masih menjadi buah yang paling banyak dikonsumsi dibandingkan buah lainnya dengan ratarata konsumsi total pisang pada tahun 2013 mencapai 5,63 kg/kapita/tahun. Bagian yang dapat dimakan dari pisang menurut kajian NBM adalah sebesar 70%. Sementara kandungan zat gizi pisang per 100 gram adalah kalori 92 kkal, protein 1 gram dan lemak 0,3 gram. Varian buah pisang beranekaragam antara lain pisang raja, pisang ambon, pisang susu, pisang mas dan lain sebagainya. Selain dikonsumsi dalam wujud segar, pisang juga banyak digunakan sebagai bahan baku industri pertanian dengan berbagai hasil produk olahan pisang. Produksi pisang di Indonesia yang bersumber dari Direktorat Jenderal Hortikultura tahun 2013 sebesar 6,28 juta ton. Pusat produksi pisang di Indonesia terdapat di Sumatera, Jawa dan Bali. 38 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

42 6.1. Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Pisang dalam Rumah Tangga di Indonesia Perkembangan konsumsi pisang di tingkat rumah tangga di Indonesia selama periode berfluktuasi namun rata-rata mengalami penurunan sebesar 1,80% per tahun. Penurunan terbesar untuk total pisang terjadi di tahun 2012 dimana konsumsi dalam rumah tangga turun sebesar 34,32% dibandingkan tahun sebelumnya. Jenis pisang dengan penurunan konsumsi yang paling tinggi adalah pisang raja yaitu 46,67% atau konsumsi pisang dalam rumah tangga hanya 0,834 kg/kapita/tahun. Sementara peningkatan konsumsi pisang terbesar terjadi pada tahun 2011 sebesar 29,01% dan jenis pisang dengan peningkatan tertinggi yaitu pisang ambon sebesar 44,83% atau konsumsi sebesar 2,190 kg/kapita/tahun. Konsumsi total pisang terendah terjadi pada tahun 2013 sebesar 5,631 kg/kapita/tahun. Untuk pisang ambon, konsumsinya sebesar 1,251 kg/kapita dan pisang raja hanya sebesar 0,834 kg/kapita pada tahun Pada tahun 2014 konsumsi total pisang diprediksikan mengalami peningkatan sebesar 10,99%. Peningkatan konsumsi pisang ambon, pisang raja dan pisang lainnya diprediksi masing-masing sebesar 15,74%, 28,87% dan 5,11% dibandingkan tahun sebelumnya dengan konsumsi 1,448 kg/kapita/tahun, 1,075 kg/kapita/tahun dan 3,727 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2015 dan 2016 konsumsi total pisang diprediksi mengalami penurunan sebesar 2,86% dan 5,70%. Konsumsi pisang ambon pada tahun 2015 diprediksikan menurun menjadi 1,393 kg/kapita kemudian diprediksikan menurun kembali pada tahun 2016 menjadi sebesar 1,339 kg/kapita. Perkembangan konsumsi pisang ambon, pisang raja dan pisang lainnya dari tahun serta prediksinya tahun disajikan pada Tabel 6.1 dan Gambar 6.1. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 39

43 Tabel 6.1. Perkembangan konsumsi pisang dalam rumah tangga di Indonesia tahun serta prediksi tahun Pisang Ambon Pisang Raja Pisang lainnya Total Tahun (kg/kapita/ tahun) Pertumb. (%) (kg/kapita/ tahun) Pertumb. (%) (kg/kapita/ tahun) Pertumb. (%) (kg/kapita/ tahun) Pertumb. (%) ,399 1,356 4,067 7, ,242-6,52 1,147-15,38 4,589 12,82 7,978 2, ,138-4,65 1,199 4,55 4,276-6,82 7,613-4, ,190 2,44 1,304 8,70 4,380 2,44 7,874 3, ,086-4,76 1,199-8,00 4,276-2,38 7,561-3, ,512-27,50 1,304 8,70 5,006 17,07 7,821 3, ,721 13,79 1,460 12,00 5,214 4,17 8,395 7, ,721 0,00 1,251-14,29 4,954-5,00 7,926-5, ,512-12,12 1,147-8,33 4,171-15,79 6,831-13, ,190 44,83 1,564 36,36 5,058 21,25 8,812 29, ,825-16,67 0,834-46,67 3,129-38,14 5,788-34, ,251-31,43 0,834 0,00 3,546 13,33 5,631-2,70 rata-rata 1,899-3,87 1,217-2,03 4,389 0,27 7,504-1, *) 1,448 15,74 1,075 28,87 3,727 5,11 6,250 10, *) 1,393-3,85 1,049-2,46 3,630-2,60 6,071-2, *) 1,339-7,56 1,022-4,91 3,533-5,20 5,894-5,70 Sumber : SUSENAS, BPS Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin Gambar 6.1. Perkembangan konsumsi pisang dalam rumah tangga di Indonesia, Apabila dilihat dari besarnya pengeluaran untuk konsumsi pisang bagi penduduk Indonesia tahun secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 10,80%, yakni dari Rp ,- per kapita pada tahun 2008 menjadi Rp ,- per kapita pada tahun Pada tahun 2011, secara riil pengeluaran konsumsi pisang meningkat cukup tinggi yaitu sebesar Rp ,- per kapita. Setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi pisang secara 40 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

44 riil sejatinya hanya mengalami peningkatan sebesar 0,06%. Hal ini menunjukan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita pisang tidak berubah secara sigifikan namun harga pisang yang semakin tinggi. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi pisang secara nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia tahun secara rinci tersaji pada Tabel 6.2. Tabel 6.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi pisang, No. Uraian Pengeluaran (Rupiah/kapita/tahun) Pertumbuhan (%) 1 Nominal , , , , , ,29 10,80 2 IHK 114,75 125,74 136,98 149,09 159,01 189,94 10,69 3 Riil , , , , , ,24 0,06 Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan: IHK (indeks Harga Konsumen) yang digunakan IHK Kelompok buah-buahan , , , , , , , , , , , , Pengeluaran 2010 Nominal Pengeluaran 2013 Riil Gambar 6.2. Perkembangan Pengeluaran pengeluaran Nominal nominal Pengeluaran dan Riil riil dalam rumah tangga untuk konsumsi pisang di Indonesia, Perkembangan serta Prediksi Penyediaan dan Penggunaan Pisang di Indonesia Penyediaan total pisang Indonesia berasal dari produksi dalam negeri ditambah impor kemudian dikurangi ekspor. Untuk komponen impor pisang sangat rendah. Produksi pisang Indonesia periode tahun cenderung mengalami peningkatan. Produksi pisang pada tahun 2010 yaitu sebesar 5,76 juta ton dan terus mengalami peningkatani menjadi 6,28 juta ton pada tahun 2013 sementara tidak ada penambahan pasokan dari impor pada tahun tersebut. Ini menyebabkan penyediaan pada tahun 2013 juga Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 41

45 meningkat walaupun masih ada pengurangan dari ekspor sebesar 6 ribu ton sehingga lebih besar dibandingkan penyediaan tahun sebelumnya. Pada tahun berikutnya, yakni tahun 2014 hingga tahun 2016, produksi pisang diprediksi akan terus mengalami peningkatan diikuti dengan peningkatan penyediaan pisang. Produksi pisang tahun 2014 diprediksi mencapai 6,52 juta ton dengan pengurangan ekspor sebesar 6 ribu ton sehingga penyediaan menjadi sebesar 6,51 juta ton. Pada tahuntahun selanjutnya penyediaan pisang juga diprediksikan mengalami peningkatan menjadi 6,88 juta ton pada tahun 2016 dengan ekspor pisang diprediksikan meningkat menjadi 7 ribu ton pada tahun Sementara untuk impor pisang sangat kecil di bawah seribu ton. Pada perhitungan NBM, penggunaan pisang di Indonesia terutama adalah digunakan sebagai bahan makanan atau langsung dikonsumsi sebagai bahan makanan dengan persentase sebesar 95,3% dari total penyediaan dalam negeri dan yang tercecer 4,7%. Tabel 6.3. Penyediaan dan penggunaan pisang tahun serta prediksi tahun No. Uraian Tahun *) 2015*) 2016*) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan - Keluaran Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : - makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan (kg/kap/t 22,72 24,15 24,03 24,03 24,62 24,98 25,33 Sumber : NBM, BKP Kementan diolah Pusdatin Keterangan: *) Angka sementara **) Angka Prediksi Pusdatin Pada tahun 2010, penggunaan pisang untuk bahan makanan mencapai 5,49 juta ton dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2013 menjadi sebesar 5,98 juta ton. Begitu juga dari perhitungan konversi di atas untuk penggunaan pisang yang tercecer pada tahun 2010 sebesar 271 ribu ton dan meningkat hingga 295 ribu ton pada tahun Pada tahun berikutnya pisang yang tercecer diprediksikan juga terus meningkat sebesar 306 ribu ton pada 42 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

46 (kg/kapita/thn) Buletin Konsumsi Pangan tahun 2014 hingga tahun 2016 menjadi 323 ribu ton. Prediksi pisang yang digunakan untuk bahan makanan mencapai 6,21 juta ton pada tahun 2014 dan terus mengalami peningkatan hingga menjadi 6,55 juta ton pada tahun Secara rinci penyediaan dan penggunaan pisang tahun dapat dilihat pada Tabel 6.3. Ketersediaan per kapita adalah jumlah suatu produk atau komoditas yang digunakan sebagai bahan makanan dibagi dengan jumlah penduduk. Perkembangan ketersediaan per kapita pisang pada tahun 2010 hingga 2013 cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 ketersediaan pisang per kapita sebesar 22,72 kg/kapita/tahun dan terus meningkat pada tahun 2013 menjadi sebesar 24,03 kg/kapita/tahun. Ketersediaan pisang diprediksikan meningkat pada tahun-tahun berikutnya hingga 2016 ketersediaan pisang per kapita menjadi sebesar 25,33 kg/kapita/tahun (Gambar 6.3). 28,00 24,00 22,72 24,15 24,03 24,03 24,62 24,98 25,33 20,00 16,00 12,00 8,00 4,00 0,00 Gambar 6.3. Ketersediaan konsumsi pisang perkapita pertahun di Indonesia, tahun dan prediksi Perbandingan Konsumsi Perkapita (Susenas) dengan Ketersediaan Perkapita (NBM) Komoditas Pisang Pada periode , konsumsi per kapita pisang berdasarkan hasil susenas, BPS menunjukkan angka yang lebih kecil jika dibandingkan angka ketersediaan (NBM), ini berarti ketersediaan pisang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat di Indonesia. Angka konsumsi pisang berdasarkan hasil Susenas dari tahun 2010 hingga 2016 berfluktuasi namun cenderung menurun, yakni dari 6,83 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 5,89 kg/kapita pada tahun Sementara angka ketersediaan per kapita pisang pada tahun Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 43

47 terus meningkat dari 22,72 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 25,33 kg/kapita. Selisih atau beda dari ketersediaan pisang dari tahun 2010 hingga 2016 terlihat cukup tinggi, perbedaan tersebut diduga terserap pada sektor industri makanan dan minuman. Hasil produk olahan pisang antara lain selai, jus, keripik, buah kaleng dan lain-lain. Selain itu kenapa data Susenas cukup rendah, rumah tangga pada Susenas tidak mencakup rumah tangga khusus seperti orang yang tinggal di asrama, panti asuhan, lembaga pemasyarakatan dan sejenisnya. Perbandingan konsumsi per kapita rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan (NBM) komoditas pisang dapat di lihat pada Tabel 6.4. Tabel 6.4. Perbandingan konsumsi perkapita rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan per kapita (NBM) pisang, Variabel Tahun (kg/kapita/tahun) *) 2015*) 2016*) Konsumsi Rumah Tangga, Susenas 6,83 8,81 5,79 5,63 6,25 6,07 5,89 Ketersediaan, NBM 22,72 24,15 24,03 24,03 24,62 24,98 25,33 Selisih 15,89 15,34 18,24 18,40 18,37 18,91 19,44 Sumber : Susenas (BPS) dan NBM (BKP) Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin 6.4. Penyediaan Pisang di beberapa negara di Dunia Berdasarkan data dari FAO, rata rata penyediaan pisang dunia selama lima tahun ( ) sebesar 77,10 juta ton. Pada periode ini total penyediaan pisang dunia terlihat meningkat dari tahun ke tahun. Kumulatif penyediaan pisang ke- 10 negara ini mencapai 71,38% dari total penyediaan dunia. India merupakan negara terbesar dalam penyediaan pisang pada periode tersebut. Lima negara dengan total penyediaan terbesar di dunia secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6.5. Lima negara tersebut adalah India, Cina, Indonesia, Brazil dan Philipina. Rata-rata total penyediaan pisang di India pada periode tahun mencapai 21,52 juta ton per tahun atau 27,91% dari total penyedian pisang dunia. Negara berikutnya adalah Cina dengan penyediaan mencapai 7,88 juta ton dengan kontribusi terhadap total penyediaan dunia sebesar 10,22%. Indonesia menempati urutan ke-3 dengan rata-rata total penyediaan diperoleh dari data NBM sebesar 5,94 juta ton atau berkontribusi sebesar 7,71%. Selama periode penyediaan pisang di Indonesia cenderung meningkat kecuali pada tahun 2010 mengalami penurunan. Rata-rata total penyediaan negara Brazil 44 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

48 dan Philipina masing-masing berkontribusi sebesar 7,57% dan 5,65% terhadap total penyediaan dunia. Sementara negara lainnya menyumbang kurang dari 5%. Persentase kontribusi total penyediaan pisang di 10 negara terbesar di dunia dapat dilihat pada Gambar 6.4. Tabel 6.5. Negara dengan penyediaan pisang terbesar di dunia, No Negara Tahun (Ton) India ,91 27,91 2 China ,22 38,13 3 Indonesia*) ,71 45,84 4 Brazil ,57 53,41 5 Philiphina ,65 59,05 6 Amerika ,21 63,27 7 Tanzania ,62 65,89 8 Mexico ,22 68,11 9 Viet Nam ,65 69,76 10 Kenya ,62 71,38 Negara lain ,62 100,00 Total Dunia Sumber : diolah Pusdatin Keterangan : *) Data NBM, BKP Rata2 Share (%) Kumulatif (%) 29,48% 27,91% 1,62% 1,65% 2,22% 2,62% 10,22% 4,21% 5,65% 6,85% 7,57% India China Indonesia*) Brazil Philiphina Amerika Tanzania Mexico Viet Nam Kenya Lainnya Gambar 6.4. Negara dengan penyediaan pisang terbesar di dunia, share terhadap rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 45

49 6.5. Ketersediaan Pisang per Kapita per Tahun di Dunia Perkembangan ketersediaan pisang per kapita negara terbesar dunia tersaji secara rinci pada Tabel 6.6. Berdasarkan data dari FAO terlihat bahwa negaranegara Afrika mendominasi ketersediaan pisang per kapita dunia. Pada periode tahun lima negara dengan peringkat ketersediaan per kapita terbesar dunia untuk komoditas pisang adalah Sao Tome and Principe, Samoa, Ekuador, Vanuatu dan Kiribati. Rata-rata ketersediaan per kapita dunia sebesar 11,44 kg/kapita/tahun sedangkan kelima negara terbesar tersebut jauh lebih tinggi di atas rata-rata dunia, terutama ketersediaan pisang negara Sao Tome and Principe cukup tinggi mencapai 153,96 kg/ kapita/tahun. Negara dengan urutan ke-2 adalah negara Samoa dengan rata-rata ketersediaan per kapita sebesar 84,74 kg/kapita/tahun dan urutan ke-3 Ekuador dengan rata-rata ketersediaan per kapita sebesar 83,54 kg/kapita/tahun. Negara selanjutnya adalah vanuatu dan kiribati dengan rata-rata ketersediaan perkapita masing-masing sebesar 57,10 kg/kapita/ tahun dan 55,20 kg/kapita/tahun. Tabel 6.6. Ketersediaan pisang per kapita per tahun di beberapa negara di dunia, No Negara Tahun (kg/kapita/tahun) Rata -rata 1 Sao Tome and Principe 157,10 158,60 154,90 150,10 149,10 153,96 2 Samoa 82,10 81,30 87,80 89,10 83,40 84,74 3 Ecuador 60,20 66,20 91,20 98,60 101,50 83,54 4 Vanuatu 57,30 55,80 59,50 59,00 53,90 57,10 5 Kiribati 53,00 51,70 53,10 58,10 60,10 55,20 20 Indonesia *) 23,03 25,03 26,25 22,72 24,15 24,24 27 India 16,40 17,80 17,80 19,70 18,60 18,06 34 Thailand 20,60 16,30 14,10 17,00 13,60 16,32 84 Malaysia 7,60 8,20 8,20 9,60 8,60 8, Cina 5,20 4,90 5,50 6,10 6,70 5,68 Rata-rata Dunia 10,90 11,20 11,30 11,90 11,90 11,44 Sumber : diolah Pusdatin Keterangan : *) Data NBM, BKP Ketersedian pisang di Indonesia pada periode terlihat masih di atas rata-rata dunia. Indonesia menempati urutan ke-20 dengan rata-rata ketersediaan per kapita sebesar 24,24 kg/kapita/tahun. Jika dilihat untuk negara Asia, yaitu India, Thailand, Malaysia dan Cina masing- masing menempati urutan 46 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

50 kg/kapita/thn Buletin Konsumsi Pangan ke-27, 34, 84 dan 104. India dengan ratarata ketersediaan perkapita 18,706 kg/kapita/tahun dan Thailand 16,32 kg/kapita/tahun, sementara Malaysia dan Cina memiliki rata-rata kurang dari 10 kg/ kapita/tahun. Perkembangan ketersediaan pisang per kapita negara-negara di dunia tahun tersaji secara lengkap pada Tabel 6.6 dan Gambar ,00 153,96 140,00 120,00 100,00 84,74 83,54 80,00 60,00 40,00 20,00 57,10 55,20 24,24 18,06 16,32 8,44 5,68 0,00 Gambar 6.5. Perkembangan ketersediaan pisang per kapita beberapa negara di dunia, rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 47

51 BAB VII. TELUR T elur adalah salah satu sumber protein hewani yang memiliki banyak kandungan nutrisi penting bagi tubuh kita. Telur biasanya disajikan pada saat sarapan untuk memenuhi kebutuhan protein, juga diolah menjadi berbagai macam masakan atau langsung dimakan mentah yang biasanya digunakan untuk meningkatkan stamina tubuh. Seluruh bagian pada telur baik itu kuning telur, putih telur maupun cangkangnya bisa diambil manfaatnya. Telur sebagai sumber protein mempunyai banyak keunggulan antara lain, kandungan asam amino paling lengkap dibandingkan bahan makanan lain seperti ikan, daging, ayam, tahu, tempe, dan lain sebagainya. Telur yang biasa dikonsumsi adalah telur yang berasal dari unggas seperti ayam, bebek, angsa dan beberapa jenis burung seperti burung unta dan burung puyuh. Harga telur yang relatif murah dan mengandung nilai gizi yang tinggi membuat permintaan akan konsumsi telur menjadi meningkat. Produksi telur ayam ras di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 1,14 juta ton dan meningkat pada tahun 2013 menjadi sebesar 1,22 juta ton. Kandungan nutrisi telur ayam terdiri atas 13% protein, 12% lemak, vitamin dan mineral, nilai tertinggi telur terdapat pada bagian kuningnya. Kuning telur mengandung asam amino esensial, mineral yang dibutuhkan oleh tubuh seperti besi, fosfor, sedikit kalsium dan B komplek, 50% protein dan sebagian besar lemak terdapat pada kuning telur, sedangkan putih telur yang jumlahnya mencapai 60% dari seluruh bulatan telur mengandung 5 jenis protein dan sedikin telur mengandung 5 jenis protein dan sedikit karbohidrat. Beberapa manfaat mengonsumsi telur ayam adalah meningkatkan perkembangan sel-sel otak yang berperan dalam penyimpanan memori, meningkatkan fungsi dan menjaga kerusakan indra penglihatan, telur ayam juga mampu menurutkan berat badan dan telur ayam bermanfaat dalam mencegah pecahnya pembuluh darah. Dalam tulisan ini akan dibahas konsumsi telur ayam ras, telur ayam buras dan telur itik, dimana proporsi konsumsi telur ayam ras rumah tangga di Indonesia mencapai 90,25%, sementara proporsi konsumsi telur ayam buras dan telur itik masing-masing hanya 4,83% dan 4,93% Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Telur Ayam Ras, Ayam Buras dan itik dalam Rumah Tangga di Indonesia Perkembangan konsumsi telur ayam ras di tingkat rumah tangga di Indonesia 48 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

52 selama tahun pada umumnya mengalami fluktuasi namun cenderung meningkat, dengan peningkatan sebesar 3,01% per tahun atau rata-rata konsumsi telur ayam ras sebesar 5,653 kg/kapita/tahun. Peningkatan terbesar terjadi di tahun 2007 dimana konsumsi dalam rumah tangga untuk telur ayam ras naik sebesar 20,62% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 6,101 kg/kapita/ tahun. Penurunan konsumsi rumah tangga terjadi di tahun 2003, 2006, 2008, 2011 dan 2012, namun penurunan konsumsi ini masih di bawah 6%. Tahun 2008 merupakan penurunan yang terbesar yaitu 5,13%, dengan konsumsi telur ayam ras rumah tangga menjadi sebesar 5,788 kg/kapita/tahun. Prediksi yang dilakukan untuk tahun 2014, 2015 dan 2016 memperlihatkan bahwa konsumsi telur ayam ras perkapita mengalami peningkatan, untuk tahun 214 naik sebesar 1,37% dibandingkan tahun Konsumsi telur ayam ras tahun 2015 dan 2016 diprediksi masing-masing menjadi sebesar 6,344 kg/kapita/tahun dan 6,451 kg/kapita/tahun. Tabel 7.1. Perkembangan konsumsi telur ayam ras, ayam buras dan itik dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi Sumber : Susenas, BPS Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 49

53 (butir/kapita/thn) (kg/kapita/thn) Buletin Konsumsi Pangan 7,00 6,00 5,00 4,59 4,48 4,80 5,16 5,06 6,10 5,79 5,84 6,73 6,62 6,52 6,15 6,24 6,34 6,45 4,00 3,00 2,00 1,00 - Gambar 7.1. Perkembangan konsumsi telur ayam ras dalam rumah tangga di Indonesia, dan prediksi tahun ,00 8,00 8,08 8,50 8,71 7,87 7,00 6,36 6,00 5,00 4,00 5,11 4,17 3,65 3,70 3,75 3,00 2,76 2,61 2,67 2,30 1,92 2,00 1,00 - Gambar 7.2. Perkembangan konsumsi telur ayam buras dalam rumah tangga di Indonesia, dan prediksi tahun Berdasarkan data Susenas, konsumsi telur ayam buras dan telur itik dalam satuan butir menunjukkan perkembangan konsumsi telur ayam buras pada periode mengalami penurunan, dengan rata-rata penurunan sebesar 9,18% per tahun atau rata-rata konsumsi telur ayam buras menjadi sebesar 5,44 butir/kapita/tahun. Penurunan terbesar terjadi di tahun 2012 dimana konsumsi dalam rumah tangga untuk telur ayam buras turun sebesar 26,39% dibandingkan 50 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

54 (butir/kapita/thn) Buletin Konsumsi Pangan tahun sebelumnya menjadi 2,76 butir/kapita/ tahun. Prediksi yang dilakukan untuk tahun 2014, 2015 dan 2016 memperlihatkan bahwa konsumsi telur ayam buras perkapita mengalami keanikan pada tahun 2014 sebesar 2,38% dibandingkan tahun 2013 menjadi 2,67 butir/kapita/ tahun. Konsumsi telur ayam ras tahun 2015 dan 2016 diprediksi menurun masing-masing menjadi sebesar 2,29 butir/kapita/tahun dan 1,92 butir/ kapita/ tahun. Perkembangan konsumsi telur itik tercatat bahwa konsumsi telur itik pada periode yang sama yaitu pada umumnya mengalami penurunan, dengan rata-rata penurunan sebesar 7,29% per tahun atau rata-rata konsumsi telur itik sebesar 3,09 butir/kapita/tahun. Penurunan terbesar terjadi di tahun 2012 dimana konsumsi dalam rumah tangga untuk telur itik turun sebesar 22,22% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 2,19 butir/kapita/ tahun. Prediksi yang dilakukan untuk tahun 2014, sebesar 1,86 butir/kapita/tahun atau naik sebesar 1,76%. Prediksi tahun 2015 dan 2016 memperlihatkan bahwa konsumsi telur itik perkapita mengalami penurunann dengan diprediksi masing-masing menjadi sebesar 1,69 butir/kapita/tahun dan 1,52 butir/kapita/tahun. 5,00 4,48 4,00 3,81 3,91 3,49 3,00 2,97 3,02 3,13 2,87 2,50 2,82 2,19 2,61 2,00 1,86 1,69 1,52 1,00 - Gambar 7.3. Perkembangan konsumsi telur itik dalam rumah tangga di Indonesia, dan prediksi tahun Pengeluaran untuk konsumsi telur ayam ras dan buras bagi penduduk Indonesia selama lima tahun terakhir masing-masing menunjukkan peningkatan yang positif untuk pengeluaran konsumsi telur ayam ras, namun untuk pengeluaran Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 51

55 konsumsi telur ayam buras menunjukkan hal yang sebaliknya yaitu negatif pada periode yang sama. Rata-rata laju pertumbuhan nominal pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi telur ayam ras pada periode sebesar 6,99 %, yakni dari Rp. 69,819 ribu/kapita pada tahun 2008 menjadi Rp. 95,682 ribu pada tahun Rata-rata peningkatan pertumbuhan nominal tersebut dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata laju peningkatan riil yang meningkat sebesar 3,01%. Pengeluaran konsumsi telur ayam ras pada tahun 2013 sebesar Rp ,14 ribu/kapita setara dengan pengeluaran sebesar Rp. 64,054 ribu/kapita dengan faktor koreksi IHK sebesar 149,38% pada tahun dasar Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia dalam mengkonsumsi telur ayam ras meningkat sebesar 6,99% dan ratarata faktor inflasi pada periode yang sama sebesar 3,01%. Analog dengan pengeluaran untuk konsumsi telur ayam buras, hanya saja rata-rata laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi untuk telur ayam buras menunjukkan kondisi yang menurun. Hal ini seiring dengan besaran konsumsi telur ayam buras bagi masyarakat Indonesia juga menunjukan adanya kecenderungan menurun. Dari Tabel 6.2 terlhat bahwa penurunan rata-rata laju pertumbuhan pengeluaran nominal untuk konsumsi telur ayam buras selama periode sebesar 1,49%. Penurunan tersebut seiring dengan rata-rata penurunan pangeluaran riilnya pada periode yang sama yaitu sebesar 5,13%. Perlu kami dijelaskan untuk indeks harga konsumen telur itik sejauh ini belum tersedian datanya sehingga dalam tulisan ini tidak dapat kami bahas. Tabel 7.2. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi telur ayam ras dan telur ayam buras dengan harga nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia, No. Telur Ayam Ras Pengeluaran (Rupiah/kapita/tahun) Pertumbuhan (%) 1 Nominal , , , , , ,14 6,99 2 IHK 124,22 124,24 126,86 133,33 140,18 149,38 3,78 3 Riil , , , , , ,92 3,01 Telur Ayam Buras Pengeluaran (Rupiah/kapita/tahun) 1 Nominal 5.579, , , , , ,14-1,49 2 IHK 124,22 124,24 126,86 133,33 140,18 149,38 3,78 3 Riil 4.491, , , , , ,42-5,13 52 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

56 , , , , , Pengeluaran Nominal (Ayam Ras) Pengeluaran Nominal (Ayam Buras) Pengeluaran Riil (Ayam Ras) Pengeluaran Riil (Ayam Buras) Gambar 7.4. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi telur ayam ras dan telur ayam buras dengan harga nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia, Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan Telur Ayam Ras di Indonesia Komponen penyediaan telur ayam ras hanya terdiri dari produksi ditambah impor, sementara untuk ekspor tidak ada nilainya. Sedangkan komponen penggunaan telur ayam ras hanya terdiri dari dari dua komponen yaitu bagian yang tercecer dan sebagai bahan makanan. Secara rinci penyediaan dan penggunaan telur ayam ras tahun dapat dilihat pada Tabel 7.3. Pada periode tersebut, rata-rata total penyediaan telur ayam ras berasal dari produksi dan sisanya merupakan impor. Produksi telur ayam ras tahun 2009 yaitu sebesar 903 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2013 menjadi 1,224 juta ton. Peningkatan produksi telur ayam ras ini menyebabkan penyediaan telur ayam ras juga meningkat. Penyediaan telur ayam ras dari tahun terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga menjadi 1,225 juta ton pada tahun Pada tahun-tahun berikutnya, yakni tahun 2014, 2015 dan 2016, penyediaan telur ayam ras diprediksi akan terus mengalami peningkatan masing-masing menjadi sebesar 1,155 juta ton, 1,198 juta ton dan 1,240 juta ton. Untuk impor telur ayam ras dari tahun relatif kecil hanya sebesar 1 ribu ton. Impor rata-rata telur ayam ras Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 0,1% dari total penyediaan telur ayam ras nasional. Hasil prediksi untuk tahun 2014 sampai 2016 memperlihatkan bahwa impor telur ayam ras tidak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Sementara untuk ekspor telur ayam ras tidak ada nilainya. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 53

57 Komponen penggunaan telur ayam ras di Indonesia terutama adalah digunakan untuk bahan makanan dan tercecer. Telur ayam ras yang digunakan untuk bahan makanan mencapai proporsi rata-rata 97,95% dari total penggunaan telur ayam ras nasional. Pada tahun 2010 penggunaan telur ayam ras untuk bahan makanan mencapai 927 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga menjadi 1,200 juta ton pada tahun Prediksi tahun 2014 hingga tahun 2016 memperlihatkan adanya peningkatan kembali dalam penggunaan telur ayam ras sebagai bahan makanan, masing-masing sebesar 1,13 juta ton, 1,17 juta ton dan 1,22 juta ton. Menurut metode perhitungan NBM, jumlah penggunaan telur ayam ras yang tercecer sebesar 2,05% dari total penyediaan dalam negeri. Dari perhitungan tersebut, maka telur ayam ras yang tercecer pada tahun 2010 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan dari 21 ribu ton pada tahun 2010 hingga 25 ribu ton pada tahun 2013 seiring dengan pola peningkatan produksinya. Pada tahun telur ayam ras yang tercecer diprediksikan akan mengalami penurunan pada tahun 2014 dan mengalami konstan tahun berikutnya yaitu sebesar 25 ribu ton. Ketersediaan per kapita adalah jumlah suatu produk atau komoditas yang digunakan sebagai bahan makanan dibagi dengan jumlah penduduk. Perkembangan ketersediaan telur ayam ras per kapita pada tahun 2010 hingga 2013 mengalami rata-rata peningkatan sebesar 4,29% per tahun. Pada tahun 2010 ketersediaan telur ayam ras per kapita sebesar 3,84 kg/kapita/tahun dan terus meningkat hingga tahun 2013 menjadi sebesar 4,35 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2014, 2015 dan 2016 ketersediaan telur ayam ras per kapita diprediksikan akan kembali meningkat masing-masing menjadi sebesar 4,49 kg/kapita/tahun, 4,59 kg/kapita/tahun dan 4,70 kg/kapita/tahun (Tabel 7.3). 54 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

58 (kg/kapita/thn) Buletin Konsumsi Pangan Tabel 7.3. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan telur ayam ras tahun serta prediksi tahun No. Uraian Tahun *) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran *) Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : - makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan per kapita 3,84 4,11 4,25 4,35 4,49 4,59 4,70 (Kg/kapita/tahun) Sumber : NBM, Kementerian Pertanian diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka sementara **) Angka Prediksi Pusdatin 5,00 4,00 3,84 4,11 4,25 4,35 4,49 4,59 4,70 3,00 2,00 1,00 0,00 Gambar 7.5. Perkembangan ketersediaan telur ayam ras per kapita per tahun di Indonesia, tahun Pada periode , konsumsi per kapita telur ayam ras berdasarkan hasil susenas, BPS menunjukkan angka yang lebih besar jika dibandingkan angka ketersediaan (NBM). Hal tersebut dikarenakan bahwa kebutuhan telur di Indonesia masih impor. Perbandingan angka antara riil konsumsi telur ayam ras (Susenas) dengan penyediaan konsumsi (NBM) dapat dilihat untuk periode , yang berkisar antara -2,89 kg/kapita/tahun (2010) hingga -1,76 kg/kapita/tahun (2016). Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 55

59 Tabel 7.4. Perbandingan konsumsi telur ayam ras per kapita rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan (NBM), Variabel Tahun (kg/kapita/tahun) * 2015* 2016* Konsumsi Rumah Tangga, Susenas 6,73 6,62 6,52 6,15 6,24 6,34 6,45 Ketersediaan, NBM 3,84 4,11 4,25 4,35 4,49 4,59 4,70 Selisih -2,89-2,51-2,27-1,80-1,75-1,75-1,76 Keterangan :*) Data Prediksi Pusdatin 7.3. Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan Telur Ayam Buras di Indonesia Komponen penyediaan telur ayam buras hanya terdiri dari produksi, sementara untuk impor dan ekspor tidak ada nilainya. Sedangkan komponen penggunaan telur ayam buras hanya terdiri dari tiga komponen yaitu sebagai bahan makanan, bibit dan bagian yang tercecer. Secara rinci penyediaan dan penggunaan telur ayam buras tahun dapat dilihat pada Tabel 7.5. Pada periode tersebut, rata-rata total penyediaan telur ayam buras berasal dari produksi. Produksi telur ayam buras tahun 2010 yaitu sebesar 176 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2013 menjadi 201 ribu ton. Peningkatan produksi telur ayam buras ini menyebabkan penyediaan telur ayam buras juga meningkat. Namun karena penyediaan hanya terdiri dari komponen produksi maka penyediaan telur ayam buaras sama dengan produksinya. Komponen penggunaan telur ayam buras di Indonesia terutama adalah digunakan untuk bibit, bahan makanan dan tercecer. Telur ayam buras yang digunakan untuk bibit mencapai proporsi rata-rata 25% dari total penggunaan telur ayam buras nasional. Pada tahun 2010 penggunaan telur ayam buras untuk bibit mencapai 44 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga menjadi 50 ribu ton pada tahun Prediksi tahun 2014 hingga tahun 2016 memperlihatkan adanya peningkatan kembali dalam penggunaan telur ayam buras sebagai bibit, masing-masing sebesar 52 ribu ton, 53 ribu ton dan 54 ribu ton. Telur ayam buras yang digunakan untuk bahan makanan mencapai proporsi rata-rata 60% dari total penggunaan telur ayam buras nasional. Pada tahun 2010 penggunaan telur ayam buras untuk bahan makanan mencapai 125 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga menjadi 143 ribu ton pada tahun Prediksi tahun 2014 hingga tahun 2016 memperlihatkan adanya peningkatan 56 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

60 kembali dalam penggunaan telur ayam buras sebagai bahan makanan, masingmasing sebesar 148 ribu ton, 152 ribu ton dan 154 ribu ton. Menurut metode perhitungan NBM, jumlah penggunaan telur ayam buras yang tercecer sebesar 3,86% dari total penyediaan dalam negeri. Dari perhitungan tersebut, maka telur ayam buras yang tercecer pada tahun 2010 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan dari 7 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 8 ribu ton pada tahun 2013 seiring dengan pola peningkatan produksinya. Pada tahun telur ayam buras yang tercecer diprediksikan akan mengalami konstan tahun berikutnya yaitu sebesar pada angka 8 ribu ton. Ketersediaan per kapita adalah jumlah suatu produk atau komoditas yang digunakan sebagai bahan makanan dibagi dengan jumlah penduduk. Perkembangan ketersediaan telur ayam buras per kapita pada tahun 2010 hingga 2013 mengalami rata-rata peningkatan sebesar 3,35 % per tahun. Pada tahun 2010 ketersediaan telur ayam buras per kapita sebesar 0,52 kg /kapita/tahun dan terus meningkat hingga tahun 2013 menjadi sebesar 0,57 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2014 ketersediaan telur ayam buras per kapita diprediksikan akan kembali meningkat menjadi sebesar 0,59 kg/kapita/tahun, begitu juga tahun 2015 dan 2016 diprediksi masing-masing menjadi sebesar 0,60 kg/kapita/tahun (Tabel 7.5). Tabel 7.5. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan telur ayam buras tahun serta prediksi tahun Tahun No. Uraian *) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran *) Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : - makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan per kapita 0,52 0,55 0,57 0,57 0,59 0,60 0,60 (Kg/kapita/tahun) Sumber : Neraca Bahan Makanan (NBM) Keterangan : *) Tahun 2013 angka sementara **) Angka prediksi Pusdatin Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 57

61 (kg/kapita/thn) Buletin Konsumsi Pangan 0,75 0,52 0,55 0,57 0,57 0,59 0,60 0,60 0,50 0,25 0,00 Gambar 7.6 Perkembangan ketersediaan telur ayam buras per kapita pertahun di Indonesia, tahun *) Perbandingan konsumsi telur ayam buras (Susenas) dengan penyediaan konsumsi (NBM) periode tampak mengalami surplus setelah disetarakan satuannya dalam kg (asumsi 1 kg telur ayam buras 18 butir), yang berkisar antara 0,31 kg/kapita/tahun (2010) hingga 0,49 kg/kapita/tahun (2016). Tabel 7.6. Perbandingan konsumsi perkapita rumah tangga (Susenas) dengan ketersediaan (NBM) komoditas telur ayam buras, Variabel Tahun (kg/kapita/tahun) * 2015* 2016* Konsumsi Rumah Tangga, Susenas **) 0,21 0,21 0,15 0,14 0,15 0,13 0,11 Ketersediaan, NBM 0,52 0,55 0,57 0,57 0,59 0,60 0,60 Selisih 0,31 0,34 0,42 0,43 0,44 0,47 0,49 Sumber : Susenas BPS, NBM BKP Kementan Keterangan : *) Angka prediksi Pusdatin, Kementan **) Diasumsikan 1 kg telur ayam buras=18 butir 7.4. Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan Telur Itik di Indonesia Komponen penyediaan telur itik hanya terdiri dari produksi, sementara untuk impor dan ekspor tidak ada nilainya. Sedangkan komponen penggunaan telur itik hanya terdiri dari tiga komponen yaitu sebagai bahan makanan, bibit dan bagian yang tercecer. Secara rinci penyediaan dan penggunaan telur itik tahun dapat dilihat pada Tabel 7.7. Pada 58 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

62 periode tersebut, rata-rata total penyediaan telur itik berasal dari produksi. Produksi telur itik tahun 2010 yaitu sebesar 245 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2013 menjadi 272 ribu ton. Peningkatan produksi telur itik ini menyebabkan penyediaan telur itik juga meningkat. Namun karena penyediaan hanya terdiri dari komponen produksi maka penyediaan telur itik sama dengan produksinya. Komponen penggunaan telur itik di Indonesia terutama adalah digunakan untuk bibit, bahan makanan dan tercecer. Telur itik yang digunakan untuk bibit mencapai proporsi rata-rata 12,51% dari total penggunaan telur itik nasional. Pada tahun 2010 penggunaan telur itik untuk bibit mencapai 33 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga menjadi 37 ribu ton pada tahun Prediksi tahun 2014 hingga tahun 2016 memperlihatkan adanya peningkatan kembali dalam penggunaan telur itik sebagai bibit, masing-masing sebesar 35 ribu ton, 36 ribu ton dan 38 ribu ton. Telur itik yang digunakan untuk bahan makanan mencapai proporsi rata-rata 83,13% dari total penggunaan telur itik nasional. Pada tahun 2010 penggunaan telur itik untuk bahan makanan mencapai 202 ribu ton dan terus mengalami peningkatan menjadi 225 ribu ton pada tahun Prediksi tahun 2014 hingga tahun 2016 memperlihatkan adanya peningkatan kembali dalam penggunaan telur itik sebagai bahan makanan, masing-masing sebesar 224 ribu ton, 234 ribu ton dan 242 ribu ton. Menurut metode perhitungan NBM, jumlah penggunaan telur itik yang tercecer sebesar 3,86% dari total penyediaan dalam negeri. Dari perhitungan tersebut, telur itik yang tercecer pada tahun 2010 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan dari 10 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 11 ribu ton pada tahun 2013 seiring dengan pola peningkatan produksinya. Pada tahun telur itik yang tercecer diprediksikan akan menjadi sebesar 10 ribu ton pada tahun 2014 dan 11 ribu ton pada tahun 2015 dan Ketersediaan per kapita adalah jumlah suatu produk atau komoditas yang digunakan sebagai bahan makanan dibagi dengan jumlah penduduk. Perkembangan ketersediaan telur itik per kapita pada tahun 2010 hingga 2013 mengalami ratarata peningkatan sebesar 1,42% per tahun. Pada tahun 2010 ketersediaan telur itik per kapita sebesar 0,84 kg/kapita/tahun dan terus meningkat hingga tahun 2013 menjadi sebesar 0,90 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2014, 2015 dan 2016 ketersediaan telur itik per kapita diprediksikan masing-masing menjadi sebesar 0,89 kg/kapita/tahun, 0,92 kg/kapita/tahun dan 0,94 kg/kapita/tahun (Tabel 7.7). Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 59

63 (kg/kapita/tahun) Buletin Konsumsi Pangan Tabel 7.7. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan telur itik tahun serta prediksi tahun No. Uraian Tahun *) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran *) Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan 2. Bibit Diolah untuk : - makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan per kapita 0,84 0,87 0,89 0,90 0,89 0,92 0,94 (Kg/kapita/tahun) Sumber : NBM, Kementerian Pertanian diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka sementara **) Angka Prediksi Pusdatin 0,96 0,94 0,92 0,90 0,88 0,86 0,84 0,82 0,80 0,78 0,76 0,74 0,72 0,70 0,94 0,92 0,89 0,90 0,89 0,87 0, *) 2015*) 2016*) Gambar 7.7 Perkembangan ketersediaan telur itik per kapita pertahun di Indonesia, tahun Perbandingan konsumsi telur itik (Susenas) dengan penyediaan konsumsi (NBM) periode tampak mengalami surplus ketersediaan setelah disetarakan terhadap satuan kg (asumsi 1 kg sama dengan 10 butir telur itik), yang berkisar antara 0,59 kg/kapita/tahun (2010) hingga 0,78 kg/kapita/tahun (2016). 60 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

64 Tabel 7.8. Perbandingan konsumsi perkapita rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan (NBM) komoditas telur itik, Variabel Tahun (kg/kapita/tahun) * 2015* 2016* Konsumsi Rumah Tangga, Susenas **) 0,25 0,28 0,22 0,18 0,19 0,17 0,15 Ketersediaan, NBM 0,84 0,87 0,89 0,90 0,89 0,92 0,94 Selisih 0,59 0,59 0,67 0,72 0,70 0,75 0,78 Sumber : Susenas, BPS dan NBM BKP Kementan Keterangan : *) Angkal prediksi Pusdatin, Kementan **) Diasumsikan 1 kg telur itik = 10 butir 7.5. Penyediaan Telur di beberapa negara di Dunia Berdasakan data FAO, rata-rata total penyediaan telur dunia periode tahun mencapai 56,33 juta ton. Pada periode ini total penyediaan telur dunia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari Tabel 7.9 total penyediaan telur terbesar di dunia terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 61,57 juta ton. Cina merupakan negara terbesar dalam penyediaan telur sebagai bahan makanan penduduknya pada periode tersebut. Sepuluh negara dengan total penyediaan telur terbesar di dunia secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7.7. Sepuluh negara tersebut adalah Cina, Amerika Serikat, India, Jepang, Rusia, Meksiko, Brazil, Indonesia, Jerman dan Perancis. Rata-rata total penyediaan telur di Cina pada periode tahun mencapai 24,92 juta ton per tahun atau 42% dari total penyedian telur dunia. Tabel 7.9. Negara dengan penyediaan telur terbesar di dunia, No. Negara Tahun (Ton) Share Kumulatif Rata-rata % % 1 Cina ,00 42,00 2 Amerika Serikat ,31 49,32 3 India ,52 53,83 4 Jepang ,12 57,95 5 Federasi Rusia ,54 61,49 6 Meksiko ,43 64,92 7 Brazil ,62 67,54 8 Indonesia ,81 69,35 9 Jerman ,72 71,07 10 Prancis ,72 72,80 Negara Lainnya ,20 100,00 Dunia Sumber : diolah Pusdatin Amerika menempati urutan ke-2 dengan rata-rata total penyediaan sebesar 4,34 juta ton dengan kontribusi terhadap total penyediaan dunia sebesar 7,31%. Delapan negara lainnya memiliki kontribusi terhadap total penyediaan dunia dibawah Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 61

65 5% saja. Pada periode , ratarata penyediaan telur di Indonesia hanya sebesar 1,07 juta ton menempati urutan kedelapan dengan kontribusi terhadap total penyediaan dunia sebesar 1,81%. Persentase kontribusi total penyediaan telur ke-10 negara terbesar di dunia termasuk Indonesia dapat dilihat pada Gambar ,20% 42,00% 1,72% 1,72% 1,81% 2,62% 3,43% 3,54% 4,12% 4,52% 7,31% Cina Amerika Serikat India Jepang Federasi Rusia Meksiko Brazil Indonesia Jerman Prancis Negara Lainnya Gambar 7.8. Negara dengan penyediaan telur terbesar di dunia, share terhadap rata-rata Ketersediaan Telur Per Kapita per Tahun di Dunia Menurut data FAO, pada periode tahun terdapat lima negara dengan peringkat ketersediaan per kapita terbesar dunia yaitu Paraguay, Jepang, Cina, Meksiko dan Denmark. Rata-rata ketersediaan per kapita dunia sebesar 8,80 kg/kapita/tahun, dimana kelima negara terbesar tersebut jauh lebih tinggi di atas rata-rata dunia. Perkembangan ketersediaan telur ayam ras per kapita di dunia tahun dapat dilihat pada Tabel 7.10 di bawah ini. Selama periode terlihat negara paraguay merupakan negara dengan rata-rata ketersediaan telur per kapita terbesar di dunia yakni mencapai 19,24 kg/kapita/tahun. Jika dilihat untuk negara-negara Asia Tenggara, terlihat bahwa Brunai Darussalam, Malaysia dan Thailand merupakan negara dengan ketersediaan perkapita terbesar dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia dan Philipina hanya sekitar 5-4 kg/kapita/tahun. Brunei Darussalam memiliki peringkat ke-10 di dunia dengan rata-rata ketersediaan sebesar 14,74 kg/kapita/tahun. Malaysia, dan Thailand menempati urutan ke-26 dan 38 dengan rata-rata ketersediaan perkapita masing-masing sebesar 12,78 kg/kapita/ 62 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

66 (Kg/Kapita/Tahun) Buletin Konsumsi Pangan tahun dan 10,96 kg/kapita/tahun. Sementara Indonesia menempati urutan ke-107 dunia dengan rata-rata jauh di bawah rata-rata dunia yaitu hanya 4,62 kg/ kapita/tahun. Perkembangan ketersediaan telur per kapita negara-negara di dunia tahun tersaji secara lengkap pada Gambar 7.9. Tabel Ketersediaan telur per kapita per tahun di beberapa negara di dunia, Tahun (Kg/kapita/tahun) No Negara Rata-rata Paraguay 19,00 19,40 19,50 19,30 19,00 19,24 2 Jepang 19,60 19,40 19,00 19,00 18,90 19,18 3 Daratan Cina 17,10 18,20 18,30 18,50 18,60 18,14 4 Meksiko 17,40 17,50 17,40 17,30 17,70 17,46 5 Denmark 19,00 18,90 16,80 16,50 15,20 17,28 : : : : : : : : 10 Brunei Darussalam 13,30 14,90 15,20 15,10 15,20 14,74 26 Malaysia 12,50 10,80 12,20 14,60 13,80 12,78 38 Thailand 10,00 10,10 11,30 11,60 11,80 10, Indonesia 5,00 4,70 4,50 4,70 4,20 4, Philipina 4,00 4,00 4,20 4,30 4,30 4,16 Dunia 8,60 8,80 8,80 8,90 8,90 8,80 Sumber : diolah Pusdatin 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 - Gambar 7.9. Perkembangan ketersediaan telur per kapita beberapa negara di dunia, rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 63

67 DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. Survei Sosial Ekonomi Nasional, Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia tahun 1993 sampai dengan tahun Jakarta. Badan Pusat Statistik. Survei Sosial Ekonomi Nasional, Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia tahun 2007 sampai dengan tahun Jakarta. Badan Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian. Neraca Bahan Makanan Indonesia Tahun 1993 sampai dengan Tahun Jakarta Badan Pusat Statistik Statistik Indonesia. Jakarta. [terhubung berkala]. [terhubung berkala]. pd_tanobat. [terhubung berkala]. [terhubung berkala]. Kementerian Pertanian Rencana Strategis Kementerian Pertanian Jakarta. Khasiat dan Kandungan Gizi Telur: [terhubung berkala]. Saliem,H P, M. Ariani, Y.Marisa dan T.B. Purwantini Analisis Kerawanan Pangan Wilayah dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Telur ayam, Si bulat Kaya Manfaat. [terhubung berkala]. Wikipedia Kacang Hijau. [terhubung berkala]. Wikipedia Bawang putih. Putih. [terhubung berkala]. Wikipedia Pisang. [terhubung berkala]. Wikipedia Pisang. Pisang di Indonesia. [terhubung berkala]. 64 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

68

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. States Departement of Agriculture).

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. States Departement of Agriculture). KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2014 menerbitkan Buletin Konsumsi Pangan yang terbit setiap triwulan.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. (United States Departement of Agriculture).

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. (United States Departement of Agriculture). KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2014 menerbitkan Buletin Konsumsi Pangan yang terbit setiap triwulan.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 menerbitkan Buletin Konsumsi Pangan yang terbit setiap triwulan.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. Organization).

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. Organization). KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 menerbitkan Buletin Konsumsi Pangan yang terbit setiap triwulan.

Lebih terperinci

Statistik Konsumsi Pangan 2012 KATA PENGANTAR

Statistik Konsumsi Pangan 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan ketersediaan dan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian menerbitkan Buku Statistik Konsumsi Pangan 2012. Buku ini berisi

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan gizi kacang hijau per 100 gr. Tabel 1.2 Perbandingan kandungan protein kacang hijau per 100 gr

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan gizi kacang hijau per 100 gr. Tabel 1.2 Perbandingan kandungan protein kacang hijau per 100 gr BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu jenis tanaman kacang-kacangan yang sangat populer di Indonesia adalah kacang hijau (Vigna radiata.wilczek). Kacang hijau ialah tanaman penting ketiga di

Lebih terperinci

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN Pengantar Survei Konsumsi Pangan Tujuan Survei Konsumsi Pangan Metode berdasarkan Jenis Data yang diperoleh Metode berdasarkan Sasaran Pengamatan Neraca Bahan Makanan Pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produk bakery dengan kombinasi bahan pangan lokal Indonesia. diversifikasi pangan dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal.

BAB I PENDAHULUAN. produk bakery dengan kombinasi bahan pangan lokal Indonesia. diversifikasi pangan dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri bakery di tanah air terus berkembang, mulai dari industri roti rumahan hingga outlet modern yang berstatus waralaba dari luar negeri ketat bersaing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Semakin kompleksnya kebutuhan suatu negara, hampir tidak satupun negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Semakin kompleksnya kebutuhan suatu negara, hampir tidak satupun negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin kompleksnya kebutuhan suatu negara, hampir tidak satupun negara mampu memenuhi sendiri kebutuhannya. Sehingga hal yang lazim disaksikan adalah adanya kerjasama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber

BAB I PENDAHULUAN. beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung adalah salah satu komoditas yang penting di Indonesia setelah beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber pangan penduduk yang tersebar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilakan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Secara sempit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kemiskinan. Padahal potensi umbi-umbian cukup tinggi untuk digunakan sebagai

PENDAHULUAN. kemiskinan. Padahal potensi umbi-umbian cukup tinggi untuk digunakan sebagai PENDAHULUAN Latar Belakang Umbi-umbian di Indonesia masih kurang mendapat perhatian, karena komoditi ini dianggap sebagai makanan kelas rendahan yang dihubungkan dengan kemiskinan. Padahal potensi umbi-umbian

Lebih terperinci

NERACA BAHAN MAKANAN BAB I PENDAHULUAN

NERACA BAHAN MAKANAN BAB I PENDAHULUAN NERACA BAHAN MAKANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Neraca Bahan Makanan (NBM) merupakan salah satu alat informasi untuk memahami situasi penyediaan pangan di suatu daerah. Gambaran situasi pangan

Lebih terperinci

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) P R O S I D I N G 58 Fahriyah 1*, Rosihan Asmara 1 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya *E-mail ria_bgl@yahoo.com

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA A. Pengertian Pangan Asal Ternak Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

OUTLOOK KOMODITI TOMAT

OUTLOOK KOMODITI TOMAT ISSN 1907-1507 OUTLOOK KOMODITI TOMAT 2014 OUTLOOK KOMODITI TOMAT Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2014 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2014

Lebih terperinci

Katalog : 3201023 Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2014 BADAN PUSAT STATISTIK Katalog : 3201023 Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2014 POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PENDUDUK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produk hortikultura memiliki peranan penting bagi pembangunan pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Produk hortikultura memiliki peranan penting bagi pembangunan pertanian yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hortikultura memiliki peranan penting bagi pembangunan pertanian yang meliputi buah-buahan dan sayuran. Buah-buahan berfungsi penting dalam proses metabolisme tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar paling utama bagi manusia adalah kebutuhan pangan. Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih 220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per

Lebih terperinci

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN P R O S I D I N G 69 KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN Condro Puspo Nugroho 1*, Fahriyah 1, Rosihan Asmara 2 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan jajanan sudah menjadi kebiasaan yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai golongan apapun

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biskuit merupakan makanan kecil (snack) yang termasuk ke dalam kue kering dengan kadar air rendah, berukuran kecil, dan manis. Dalam pembuatan biskuit digunakan bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memiliki lahan pertanian cukup luas dengan hasil pertanian yang melimpah. Pisang merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut di Indonesia mengandung sumberdaya kelautan dan perikanan yang siap diolah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga sejumlah besar rakyat Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur pembangunan. Peningkatan kemajuan teknologi menuntut manusia untuk dapat beradaptasi dengan

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

KETERANGAN TW I

KETERANGAN TW I 1 2 2 KETERANGAN 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 - TW I Distribusi/Share Terhadap PDB (%) 3.69 3.46 3.55 3.48 3.25 3.41 4.03 Distribusi/Share Terhadap Kategori Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa

Lebih terperinci

JAGUNG. Bahan Pangan Alternatif SERI BACAAN ORANG TUA

JAGUNG. Bahan Pangan Alternatif SERI BACAAN ORANG TUA 19 SERI BACAAN ORANG TUA JAGUNG Bahan Pangan Alternatif Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Ir. M. Tassim Billah, M.Sc.

KATA PENGANTAR. Ir. M. Tassim Billah, M.Sc. KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin) menerbitkan Buku Saku Statistik Makro Triwulanan. Buku Saku Volume V No. 4 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

SUBSTITUSI TEPUNG BIJI NANGKA PADA PEMBUATAN KUE BOLU KUKUS DITINJAU DARI KADAR KALSIUM, TINGKAT PENGEMBANGAN DAN DAYA TERIMA

SUBSTITUSI TEPUNG BIJI NANGKA PADA PEMBUATAN KUE BOLU KUKUS DITINJAU DARI KADAR KALSIUM, TINGKAT PENGEMBANGAN DAN DAYA TERIMA SUBSTITUSI TEPUNG BIJI NANGKA PADA PEMBUATAN KUE BOLU KUKUS DITINJAU DARI KADAR KALSIUM, TINGKAT PENGEMBANGAN DAN DAYA TERIMA Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi

Lebih terperinci

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO AGRISE Volume XV No. 1 Bulan Januari 2015 ISSN: 1412-1425 ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO (ANALYSIS OF FOOD BALANCE SHEET (FBS) AND DESIRABLE DIETARY

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang

I. PENDAHULUAN. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. JUNI 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan. Indikator

Lebih terperinci

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya Secara garis besar, bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan asal tumbuhan (nabati) dan bahan pangan asal hewan (hewani).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis,

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

OUTLOOK KOMODITI PISANG

OUTLOOK KOMODITI PISANG ISSN 1907-1507 OUTLOOK KOMODITI PISANG 2014 OUTLOOK KOMODITI PISANG Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2014 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus

Lebih terperinci

PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT

PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT Oleh : ENDANG SUPRIYATI, SE KETUA KWT MURAKABI ALAMAT: Dusun Kenteng, Desa Puntukrejo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. APA YANG ADA dibenak dan PIKIRAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Ketela pohon atau ubi kayu dengan nama latin Manihot utilissima merupakan salah satu komoditas pangan penting di Indonesia selain tanaman padi, jagung, kedelai, kacang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai agroekologi dataran rendah sampai dataran tinggi yang hampir semua dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai agroekologi dataran rendah sampai dataran tinggi yang hampir semua dapat menghasilkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai agroekologi dataran rendah sampai dataran tinggi yang hampir semua dapat menghasilkan buah-buahan. Indonesia menghasilkan banyak jenis buah-buahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Snack telah menjadi salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia mengonsumsi snack karena kepraktisan dan kebutuhan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juli 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juli 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. JULI 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan Buletin Bulanan.

Lebih terperinci

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2015 OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU ISSN:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat banyak mengonsumsi mi sebagai makanan alternatif

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat banyak mengonsumsi mi sebagai makanan alternatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini masyarakat banyak mengonsumsi mi sebagai makanan alternatif pengganti nasi. Mi merupakan bahan pangan yang cukup potensial, selain harganya relatif murah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Oktober 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Oktober 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. OKTOBER 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan Buletin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buahan juga bersifat spesifik lokasi, responsif terhadap teknologi maju, produk

BAB I PENDAHULUAN. buahan juga bersifat spesifik lokasi, responsif terhadap teknologi maju, produk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditi buah buahan mempunyai keragaman dalam jenisnya serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi dibandingkan dengan tanaman pangan. Selain itu, buah buahan juga bersifat

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 4 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan dengan penentuan lokasi secara purposive. Penelitian ini berlansung selama 2 bulan, dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan teknologi memberikan dampak positif dan negatif terhadap gaya hidup dan pola konsumsi makanan pada masyarakat di Indonesia.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. SEPTEMBER 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan Buletin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang memadai akan mengakibatkan terjadinya kerawanan sosial berupa

I. PENDAHULUAN. yang memadai akan mengakibatkan terjadinya kerawanan sosial berupa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Ketergantungan manusia terhadap pangan yang tinggi tanpa diimbangi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan salah satu kelompok usia yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi disaat masa pertumbuhan dan pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan

Lebih terperinci

OUTLOOK Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2016

OUTLOOK  Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2016 OUTLOOK SUSU Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2016 OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU ISSN: 1907-1507 Ukuran Buku Jumlah Halaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor Pertanian memiliki peranan yang cukup penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Salah satu peranan sektor pertanian adalah sebagai penyedia pangan. Menurut Husodo

Lebih terperinci

Hasil Studi Biaya Pangan. Kerjasama BAPPENAS & WFP

Hasil Studi Biaya Pangan. Kerjasama BAPPENAS & WFP Hasil Studi Biaya Pangan Kerjasama BAPPENAS & WFP Maret 2017 Struktur Presentasi Investasi di bidang gizi Peningkatan Nilai Untuk Uang 1 Pengantar Studi Biaya Pangan 2 Metode 3 Hasil dan Temuan 4 Pengalaman

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 2 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 3 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL, KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mie adalah makanan alternatif pengganti beras yang banyak. dikonsumsi masyarakat. Mie menjadi populer dikalangan masyarakat karena

BAB I PENDAHULUAN. Mie adalah makanan alternatif pengganti beras yang banyak. dikonsumsi masyarakat. Mie menjadi populer dikalangan masyarakat karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie adalah makanan alternatif pengganti beras yang banyak dikonsumsi masyarakat. Mie menjadi populer dikalangan masyarakat karena harganya murah dan cara pengolahan

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN STRATEGIS DI KOTA MEDAN

ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN STRATEGIS DI KOTA MEDAN ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN STRATEGIS DI KOTA MEDAN Diah Winiarti Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sematera Utara Abstract This study aimed to analysis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,

Lebih terperinci

ISSN OUTLOOK LADA 2015 OUTLOOK LADA

ISSN OUTLOOK LADA 2015 OUTLOOK LADA ISSN 1907-1507 OUTLOOK LADA 2015 OUTLOOK LADA Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2015 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2015 OUTLOOK LADA ii

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses

Lebih terperinci

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi bukan merupakan makanan asli budaya Indonesia. Meskipun masih banyak jenis bahan makanan lain yang dapat memenuhi karbohidrat bagi tubuh manusia selain beras, tepung

Lebih terperinci

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN PROSPEK TANAMAN PANGAN Krisis Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Kacang Tanah

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Kacang Tanah Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Kacang Tanah PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2016 OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN KACANG TANAH ISSN : 1907 1507 Ukuran

Lebih terperinci

MENU BERAGAM BERGIZI DAN BERIMBANG UNTUK HIDUP SEHAT. Nur Indrawaty Liputo. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

MENU BERAGAM BERGIZI DAN BERIMBANG UNTUK HIDUP SEHAT. Nur Indrawaty Liputo. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas MENU BERAGAM BERGIZI DAN BERIMBANG UNTUK HIDUP SEHAT Nur Indrawaty Liputo Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Disampaikan pada Seminar Apresiasi Menu Beragam Bergizi Berimbang Badan Bimbingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada garis khatulistiwa. Hal ini mempengaruhi segi iklim, dimana Indonesia hanya memiliki 2 musim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengkonsumsi berbagai jenis pangan sehingga keanekaragaman pola

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengkonsumsi berbagai jenis pangan sehingga keanekaragaman pola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia adalah peningkatan jumlah penduduk yang pesat dan tidak seimbang dengan penyediaan pangan

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume VI Nomor 1 Tahun 2014 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL - KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. commit to user

I. PENDAHULUAN. commit to user digilib.uns.ac.id 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indikator yang tertuang di dalam Millenium Development Goals (MDGs).

BAB I PENDAHULUAN. indikator yang tertuang di dalam Millenium Development Goals (MDGs). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) atau maternal merupakan salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan perempuan. AKI juga merupakan salah satu indikator yang tertuang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Meksiko. Tanaman yang

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Meksiko. Tanaman yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah naga (Hylocereus sp.) merupakan tanaman jenis kaktus yang berasal dari Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Meksiko. Tanaman yang awalnya dikenal sebagai tanaman

Lebih terperinci