KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. States Departement of Agriculture).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. States Departement of Agriculture)."

Transkripsi

1

2 KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2014 menerbitkan Buletin Konsumsi Pangan yang terbit setiap triwulan. Buletin konsumsi pangan ini merupakan terbitan tahun kelima, berisi informasi gambaran umum konsumsi pangan di Indonesia, konsumsi rumah tangga dan ketersediaan konsumsi per kapita serta ketersediaan di negara-negara dunia terutama untuk komoditas yang banyak di konsumsi masyarakat. Pada edisi volume 5 nomor 1 tahun 2014 ini disajikan perkembangan konsumsi Beras, Ubi Kayu, Bawang Merah, Gula Pasir dan Daging Ayam sampai dengan data tahun 2013 serta prediksi tahun 2014 sampai 2016 untuk Susenas, sedangkan NBM Prediksi tahun 2013 sampai Data yang disajikan dalam buletin ini diolah oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian bersumber dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS, Neraca Bahan Makanan (NBM) Badan Ketahanan Pangan, website FAO (Food Agriculture Organization) dan website USDA (United States Departement of Agriculture). Besar harapan kami bahwa buletin ini dapat bermanfaat bagi para pengguna baik di lingkup Kementerian Pertanian maupun para pengguna lainnya. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna penyempurnaan di masa mendatang. Jakarta, April 2014 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

3 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

4 BAB I. PENJELASAN UMUM P angan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan pangan merupakan penjumlahan dari kebutuhan pangan untuk konsumsi langsung, kebutuhan industri dan permintaan lainnya. Konsumsi langsung adalah jumlah pangan yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan terhadap jenis dan kualitas produk makanan juga semakin meningkat dan beragam. Oleh karena itu salah satu target Kementerian Pertanian tahun adalah peningkatan diversifikasi pangan, terutama untuk mengurangi konsumsi beras dan terigu. Selama tahun , konsumsi beras ditargetkan turun 1,5% per tahun yang diimbangi dengan peningkatan konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, buahbuahan dan sayuran. Selain itu juga diupayakan tercapainya pola konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman yang tercermin oleh meningkatnya skor Pola Pangan Harapan (PPH) dari 86,4 pada tahun 2010 menjadi 93,3 pada tahun 2014 (Renstra Kementerian Pertanian, 2010). Tabel 1.1. Sasaran Skor Pola Pangan Harapan (PPH) MAKANAN TAHUN Padi-padian 54,9 53,9 52,9 51,9 51,0 Umbi-umbian 5,0 5,2 5,4 5,6 5,8 Pangan Hewani 9,6 10,1 10,6 11,1 11,5 Minyak dan Lemak 10,1 10,1 10,1 10,0 10,0 Buah/Biji Berminyak 2,8 2,9 2,9 2,9 3,0 Kacangan-kacangan 4,3 4,4 4,6 4,7 4,9 Gula 4,9 4,9 5,0 5,0 5,0 Sayur dan Buah 5,2 5,4 5,5 5,7 5,8 Lain-lain 2,9 2,9 2,9 2,9 3,0 SKOR PPH 86,4 88,1 89,8 91,5 93,3 Sumber : Renstra Kementerian Pertanian, 2010 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 1

5 1.1. Sumber Data Data yang digunakan dalam buletin ini adalah publikasi dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS (Data Susenas yang digunakan terbitan bulan Maret), Neraca Bahan Makanan (NBM-BKP), website FAO (Food Agriculture Organization) dan website USDA (United States Departement of Agriculture). Sejak tahun 2011, BPS melaksanakan Susenas setiap triwulan, namun dalam publikasi buletin ini digunakan data hasil Susenas Bulan Maret, dengan menggunakan kuesioner modul konsumsi/ pengeluaran rumah tangga. Pengumpulan data dalam Susenas dilakukan melalui wawancara dengan kepala rumah tangga dengan cara mengingat kembali (recall) seminggu yang lalu pengeluaran untuk makanan dan sebulan untuk konsumsi bukan makanan. Data konsumsi/ pengeluaran yang dikumpulkan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu (1) pengeluaran makanan (215 komoditas yang dikumpulkan kuantitas dan nilai rupiahnya) dan (2) pengeluaran konsumsi bukan makanan (yang dikumpulkan nilai rupiahnya, kecuali listrik, gas, air dan BBM dengan kuantitasnya). Data konsumsi rumah tangga yang bersumber dari Susenas (BPS) disajikan per kapita per minggu. Selanjutnya dalam penyajian publikasi ini untuk menjadi per kapita per tahun dikalikan dengan 365/7. Neraca Bahan Makanan (NBM) memberikan informasi tentang situasi pengadaan/penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri, imporekspor dan stok serta penggunaan pangan untuk kebutuhan pakan, bibit, penggunaan untuk industri, serta informasi ketersediaan pangan untuk konsumsi penduduk suatu negara/wilayah dalam kurun waktu tertentu. sebagai berikut : Cara perhitungan NBM adalah 1. Penyediaan (supply) : Ps = P- ΔSt + I E dimana : Ps = total penyediaan dalam negeri P = produksi ΔSt = stok akhir stok awal I = Impor E = ekspor 2. Penggunaan (utilization) Pg = Pk + Bt + Id + Tc + K dimana : Pg = total penggunaan Pk = pakan Bt = bibit Id = industri Tc = tercecer K = ketersediaan bahan makanan. Untuk komponen pakan, bibit dan tercecer dapat digunakan besaran konversi persentase terhadap penyedian dalam negeri, seperti pada Tabel Ketersediaan pangan per kapita, diperoleh dari ketersediaan dibagi dengan jumlah penduduk. Jumlah penduduk tahun 2010 sebesar Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

6 ribu jiwa (Sensus Penduduk 2010, BPS). Selanjutnya jumlah penduduk tahun 2011 sampai tahun 2016 hasil proyeksi Bappenas, seperti tersaji pada Tabel 1.3. Tabel 1.2. Besaran konversi komponen penggunaan (persentase terhadap penyediaan dalam negeri) Angka Konversi Komoditas Komponen (%) Beras Ubi Kayu Bawang Merah Pakan 0,17 Tercecer 2,50 Pakan 2,00 Tercecer 2,13 Bibit 0,24 Tercecer 8,36 Gula Pasir Tercecer 0,98 Daging Ayam Ras Tercecer 5,00 Sumber : Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan Tabel 1.3. Proyeksi Jumlah Penduduk, Tahun Jumlah Penduduk (000 jiwa) Tahun Jumlah Penduduk (000 jiwa) Sumber : Proyeksi Bappenas 1.2. Ruang Lingkup Publikasi Pada edisi volume 5 no. 1 tahun 2014 disajikan informasi perkembangan pola konsumsi masyarakat Indonesia, konsumsi rumah tangga per kapita per tahun, ketersediaan konsumsi per kapita per tahun dan prediksi 3 tahun ke depan tahun 2014, 2015 dan 2016 serta konsumsi di negara-negara di dunia untuk komoditas yang banyak dikonsumsi masyarakat. Komoditas yang dianalisis antara lain beras, ubi kayu/ketela pohon, bawang merah, gula pasir dan daging ayam. Model terpilih dalam melakukan prediksi data konsumsi per kapita disajikan pada Tabel 1.4 dan 1.5. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 3

7 Tabel 1.4. Model terpilih dalam prediksi konsumsi per kapita per minggu beberapa komoditas pangan berdasarkan data Susenas Uraian Model terpilih Beras Trend Kuadratik Beras Ketan Trend Liniar Tepung Beras DES Lainnya Padipadian Trend S- kurve Ubi Kayu Trend Liniar Bawang Merah Trend Liniar Gula Pasir Trend Liniar Daging Ayam Ras Trend Liniar Daging Ayam Buras Trend Kuadratik MAPE 0,8437 0, , , , ,7657 5, , ,2870 MAD 0,0157 0,0157 0,0009 0,0038 0,0161 0,0010 0,0877 0,3432 0,0973 MSD 0,0004 0,0004 0,0000 0,0001 0,0004 0,0000 0,0119 0,1719 0,0164 Keterangan : ARIMA : Autoregressive Integrated Moving Avarage MAD : Mean Absolute Deviation SES : Single Exponential Smoothing MSD : Mean Square Deviation DES : Double Exponential Smoothing MA : Moving Avarage MAPE : Mean Absolute Percentage Error Tabel 1.5. Model terpilih prediksi penyediaan dan penggunaan beberapa komoditas pangan berdasarkan data Neraca Bahan Makanan Keluaran Impor Ekspor Gabah Beras Ubi Kayu Bawang Merah Gula Pasir Daging Ayam Ras Daging Ayam Buras Trend DES Trend Linear Trend Linear Trend Linear Model Angka Proyeksi Eksponential MAPE Koversi 62,74% Bidang Data 4 9, ,71 6,012 dari Masukan MAD Komoditas , ,09 8,967 MSD , ,89 Trend Trend Model Trend S-Curve Trend Linear Eksponential Kuadratik MAPE 67, , MAD 4, , MSD 51, , , Trend Model Kuadratik MAPE 41,8671 MAD 1,6908 MSD 5,4349 Stok Model DES Trend Kuadratik MAPE ,7 MAD ,0 MSD 538, ,0 Pakan Persentase 0,44% dr total 0,17% dr total 2,00% dr total Tercecer Bibit Diolah untuk Makanan Uraian Diolah untuk Bukan Makanan Bahan Makanan Persentase Model MAPE MAD MSD penyediaan 5,4% dr total penyediaan penyediaan 2,50% dr total penyediaan penyediaan 2,13% dr total penyediaan 8,36% dr total penyediaan 0,98% dr total penyediaan Persentase DES MAPE 50 MAD 2422 MSD Trend Model Eksponential MAPE 105, MAD 56,25 19 MSD 5, Model MAPE MAD MSD 1,00% dr total penyediaan 0,24% dr total penyediaan 91,40% dr total penyediaan Trend Linear 5,00% dr total penyediaan 95,00% dr total penyediaan 5,00% dr total penyediaan 95,00% dr total penyediaan 4 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

8 BAB II. POLA KONSUMSI MASYARAKAT INDONESIA 2.1. Perkembangan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Sesuai hukum ekonomi yang dinyatakan oleh Ernst Engel (1857), yaitu bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan menurun dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal ini dapat digunakan dalam menggambarkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Susenas, pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan dan non makanan selama tahun menunjukkan pergeseran, pada awalnya persentase pengeluaran untuk makanan lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk non makanan, namun mulai tahun 2007 menunjukkan pergeseran, dimana persentase pengeluaran non makanan seimbang dengan pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran penduduk Indonesia per kapita per tahun. Persentase untuk makanan pada tahun 2002 sebesar 58,47% dan non makanan sebesar 41,53% sedangkan pada tahun 2013 persentase untuk makanan menjadi 50,66% dan non makanan sebesar 49,34%, seperti tersaji pada Gambar 2.1. Besarnya rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tahun 2013 untuk bahan makanan sebesar Rp ,- dan non makanan sebesar Rp ,-. (%) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10, Makanan Non Makanan Gambar 2.1. Perkembangan persentase pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan dan non makanan, tahun Persentase pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan tahun 2013 terbesar adalah pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi yaitu sebesar 25,88%, disusul padi-padian sebesar 16,26%, tembakau dan sirih sebesar Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 5

9 12,07%, ikan sebesar 8,22%, sayursayuran sebesar 7,40%, telur dan susu makanan lainnya kurang dari 5% (Gambar 2.2). sebesar 5,88%, sementara kelompok Tahun 2007 Tahun ,10% 20,61% 13,58 17,92 1,14% 0,97 21,28% 28,52 8,77 7,94% 4,10 2,72% 2,24% 6,03% 4,48% 3,42% 7,87% 5,20% 2,99% Padi-padian Umbi-Umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi Tembakau dan sirih 3,96% 2,26 6,66 2,10 9,63 4,14 3,57 5,06 2,92 Padi-padian Umbi-Umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi Tembakau dan sirih Gambar 2.2. Persentase pengeluaran kelompok pangan terhadap total pengeluaran pangan Tahun 2007 dan 2013 Perkembangan pengeluran nominal bahan makanan per kapita per bulan tahun menunjukkan terjadinnya penurunan kuantitas konsumsi pada kelompok bahan makanan tersebut. Indikasi penurunan 2008 sampai tahun 2013 mengalami ratarata pertumbuhan sebesar 12,99%, meskipun secara riil hanya meningkat sebesar 4,78%. Pengeluaran per kapita per bulan untuk kelompok padi-padian, umbiumbian dan bumbu-bumbuan secara nominal mengalami peningkatan namun kuantitas konsumsi juga terjadi pada kelompok bahan makanan lainnya mengingat peningkatan pengeluaran riil yang lebih lambat dibandingkan peningkatan pengeluaran nominal (Tabel 2.1). secara riil mengalami penurunan. Hal ini 6 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

10 No. Tabel 2.1. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil kelompok bahan makanan per kapita per bulan, Kelompok Barang Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Rata-rata Pertumbuhan (%) Nominal IHK Riil Nominal IHK Riil Nominal IHK Riil Nominal IHK Riil Nominal IHK Riil Nominal IHK Riil Nominal Riil 1 Padi-padian ,99 (0,24) 2 Umbi-Umbian ,58 (0,50) 3 Ikan ,29 6,72 4 Daging ,67 6,80 5 Telur dan susu ,36 8,36 6 Sayur-sayuran ,91 5,11 7 Kacang-kacangan ,66 3,63 8 Buah-buahan ,17 3,47 9 Minyak dan lemak ,12 5,60 10 Bahan minuman ,94 4,60 11 Bumbu-bumbuan ,62 (2,37) 12 Konsumsi lainnya ,46 1,24 13 Makanan & minuman jadi ,32 10,65 14 Tembakau dan sirih ,58 9,43 Jumlah Makanan ,99 4,78 Sumber: BPS, diolah Pusdatin 2.2. Perkembangan Konsumsi Kalori & Protein Masyarakat Indonesia Berdasarkan data Susenas, konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia memperlihatkan adanya perubahan dari tahun 2007 dan Pada Tabel 2.2 menunjukan adanya penurunan konsumsi kalori dan protein per hari pada tahun 2013 dibandingkan tahun Pada tahun 2007 rata-rata konsumsi kalori penduduk Indonesia sebesar 2.014,91 kkal, sedangkan pada tahun 2013 menjadi 1.842,75 kkal atau turun sebesar 172,16 kkal. Penurunan kalori tertinggi terjadi pada kelompok padi-padian sebesar 76,58 kkal, bahan minuman sebesar 25,59 kkal, kacang-kacangan sebesar 21,49 kkal dan umbi-umbian sebesar 21,40. Sementara konsumsi kalori makanan dan minuman jadi meningkat sebesar 45,86 kkal. Tabel Rata-rata Konsumsi Kalori (kkal) dan Protein (gram) per kapita sehari menurut kelompok makanan, Maret 2007 dan Maret 2013 No. Kelompok Barang Kalori (kkal) Protein (gram) Perubahan Perubahan 1 Padi-padian 953,16 876,58-76,58 22,43 20,57-1,86 2 Umbi-Umbian 52,49 31,09-21,40 0,40 0,27-0,13 3 Ikan 46,71 44,09-2,62 7,77 7,34-0,43 4 Daging 41,89 39,96-1,93 2,62 2,47-0,15 5 Telur dan susu 56,96 53,50-3,46 3,23 3,08-0,15 6 Sayur-sayuran 46,39 34,96-11,43 3,02 2,27-0,75 7 Kacang-kacangan 73,02 51,53-21,49 6,51 4,93-1,58 8 Buah-buahan 49,08 35,65-13,43 0,57 0,40-0,17 9 Minyak dan lemak 246,34 227,99-18,35 0,46 0,25-0,21 10 Bahan minuman 113,94 88,35-25,59 1,13 1,04-0,09 11 Bumbu-bumbuan 17,96 14,32-3,64 0,76 0,62-0,14 12 Konsumsi lainnya 70,93 52,83-18,10 1,43 1,09-0,34 13 Makanan dan minuman jadi 246,04 291,90 45,86 7,33 8,75 1,42 Jumlah 2.014, ,75-172,16 57,66 53,08-4,58 Sumber: Susenas, BPS Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 7

11 Pada tahun 2013 rata-rata konsumsi protein penduduk Indonesia sebesar 53,108 gram/hari atau turun 4,58 gram/hari dari tahun 2007 yang sebesar 57,66 gram/hari (Tabel 2.2). Penurunan konsumsi protein tertinggi per hari terjadi pada kelompok padi-padian sebesar 1,86 gram dan kacang-kacangan sebesar 1,58 gram, diikuti penurunan konsumsi protein pada kelompok sayur-sayuran 0,75 gram, serta kelompok lainnya masing-masing dibawah 0,45 gram, sedangkan konsumsi protein makanan dan minuman jadi mengalami peningkatn sebesar 1,42 gram. Secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4. Tahun 2007 Tahun ,31% 2,61% 12,21% 3,52% 0,89% 5,65% 12,23% Padi-padian Umbi-Umbian Ikan 2,44% Daging Telur dan susu Sayur-sayuran 2,32% 2,08% 2,83% 2,30% 3,62% Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi Gambar 2.3. Persentase konsumsi kalori penduduk Indonesia Tahun 2007 dan 2013 Tahun 2007 Tahun ,90% 0,69% 38,75 0,51 13,48% 13,83 12,71% 2,48% 4,54% 5,60% 16,48 4,65 1,32% 1,96% 0,80% 0,99% 11,29% 5,24% 2,05 1,17 1,96 0,47 0,75 9,29 4,28 5,80 Padi-padian Umbi-Umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi Padi-padian Umbi-Umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi Gambar 2.4. Persentase konsumsi protein penduduk Indonesia Tahun 2007 dan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

12 BAB III. BERAS B eras merupakan bahan pangan pokok lebih dari setengah penduduk dunia, dan konsumsi beras menyumbang asupan lebih dari 20 persen kalori. Lebih dari 90 persen beras dunia diproduksi dan dikonsumsi oleh 6 negara Asia (China, India, Indonesia, Bangladesh, Vietnam dan Jepang). Pada saat ini, di negara-negara Asia menunjukkan kecenderungan bahwa produksi dan ekspor beras meningkat namun angka konsumsi yang menurun. Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan urbanisasi, konsumsi per kapita beras mempunyai kecenderungan menurun di negara-negara Asia Tengah dan berpenghasilan tinggi seperti Jepang, Taiwan dan Republik Korea. Tapi, hampir seperempat populasi di Negara Asia masih tergolong miskin dan belum memiliki akses yang cukup terhadap beras seperti Afghanistan, Korea Utara, Nepal dan Vietnam. Beras juga merupakan kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 90% penduduk Indonesia. Berdasarkan data hasil SUSENAS - BPS, konsumsi beras per kapita cenderung menurun yakni dari 107,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 97,65 kg/kapita/tahun pada tahun 2012 (Susenas BPS, 2002 dan 2012). Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, walaupun mempunyai kecenderungan laju pertumbuhannya melandai. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yakni 1,49 % per tahun pada periode tahun (Statistik Indonesia 2000, BPS). Dengan kenyataan ini maka total konsumsi domestik beras Indonesia akan terus meningkat walaupun per kapitanya menunjukkan penurunan. Dalam tulisan ini akan diulas keragaan dan prediksi konsumsi beras hasil SUSENAS - BPS, serta ketersediaan beras hasil perhitungan NBM, Kementan. Konsumsi beras menurut SUSENAS dibedakan dalam wujud beras dan makanan jadi berbahan dasar beras. Wujud makanan jadi berbahan dasar beras kemudian dikonversi ke dalam wujud beras menggunakan faktor konversi yang bersumber dari hasil Studi PSKPG-IPB, guna memperoleh total konsumsi beras Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Beras dalam Rumah Tangga di Indonesia Cakupan data konsumsi menurut hasil SUSENAS - BPS merupakan konsumsi dalam wujud beras dan makanan olahan berbahan dasar beras. Guna mendapatkan angka konsumsi total beras, maka makanan olahan berbahan dasar beras Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 9

13 dikonversi ke wujud asal beras dengan faktor konversi menurut Pusat Studi Keanekaragaman Pangan dan Gizi, IPB (PSKPG-IPB) seperti tersaji pada 3.1. Tabel Tabel 3.1. Besaran konversi makanan jadi berbahan dasar beras ke bentuk asal beras No Jenis Pangan Satuan Konversi (gram) Konversi ke bentuk asal Bentuk konversi 1 Beras kg Beras 2 Beras Ketan kg Beras 3 Tepung beras kg ,01 Beras 4 Lainnya padi-padian kg Beras 5 Bihun ons Beras 6 Bubur bayi kemasan 150 gr Beras 7 Lainnya konsumsi lainnya Beras 8 Kue basah buah 30 0,4 Beras 9 Nasi campur/rames porsi 500 0,5 Beras 10 Nasi goreng porsi 250 0,5 Beras 11 Nasi putih porsi 200 0,5 Beras 12 Lontong/ketupat sayur porsi 350 0,25 Beras Sumber : Studi PSKPG- IPB Total konsumsi beras selama periode tahun cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 2003 dan 2008 mengalami peningkatan masing-masing sebesar 0,65% dan 4,84% dibandingkan tahun sebelumnya. Rata-rata konsumsi beras selama periode sebesar 1,98 kg/kapita/minggu atau setara dengan 103,18 kg/kapita/tahun dengan laju penurunan rata-rata sebesar 0,88% per tahun. Konsumsi beras tertinggi terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 108,42 kg/kapita/tahun. Setelah itu, konsumsi beras cenderung terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2013 menjadi sebesar 97,40 kg/kapita/tahun. Perkembangan konsumsi beras total per kapita dari tahun disajikan pada Tabel Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

14 Buletin Konsumsi Pangan Tabel 3.2. Perkembangan konsumsi bahan makanan yang mengandung beras di rumah tangga menurut hasil Susenas, serta prediksi Tahun Konsumsi (kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun) Pertumbuhan (%) , , , ,4018 0, , ,9991-1, , ,2770-1, , ,9980-1, , ,0507-3, , ,8909 4, , ,2146-2, , ,7453-1, , ,8661 2, , ,6455-5, , ,4045-0,25 Rata-rata 1, ,1833-0, *) 1, ,6715 0, *) 1, ,0881-0, *) 1, ,5259-0,58 Sumber : SUSENAS, BPS *) hasil prediksi Pusdatin (Kg/kapita) Gambar 3.1. Perkembangan konsumsi beras dalam rumah tangga di Indonesia , serta prediksi Sejalan dengan perilaku konsumsi beras pada tahun tahun sebelumnya, maka pada tahun 2014 diprediksikan akan terjadi sedikit peningkatan konsumsi per kapita beras. Berdasarkan hasil prediksi, konsumsi beras tahun 2014 diperkirakan sebesar 97,67 kg/kapita/thn atau naik sebesar 0,27% dibandingkan tahun Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 11

15 Namun demikian, pada tahun 2015, konsumsi beras per kapita diprediksikan akan turun sebesar 0,6% dibandingkan tahun 2014 atau menjadi sebesar 97,09 kg/kapita dan pada tahun 2016 menjadi ribu/kapita pada tahun 2008 menjadi Rp. 682,03 ribu/kapita pada tahun Namun demikian setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi beras secara riil sejatinya hanya mengalami sebesar 96,53 kg/kapita/thn. Keragaan peningkatan sebesar 3,65%. Hal ini konsumsi beras tahun serta prediksi tahun secara lengkap tersaji pada Tabel 3.2 dan Gambar 3.1. Apabila ditinjau dari besaran pengeluaran untuk konsumsi beras bagi penduduk Indonesia tahun secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 14,03%, yakni dari Rp. 364,06 menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita beras penduduk Indonesia terjadi tendensi penurunan. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi beras nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia tahun secara rinci tersaji pada Tabel 3.3 dan Gambar 3.2. Tabel 3.3. No Uraian Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi beras nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia, Pengeluaran (Rupiah/kapita/tahun) Nominal ,03 2 IHK*) 109,96 114,12 134,06 153,83 170,83 178,39 10,30 3 Riil ,65 Sumber: BPS, diolah Pusdatin Keterangan : *) Indeks Harga Konsumen (IHK) Kelompok padi-padian Pertumbuhan (%) (Rupiah/kapita) Nominal Riil Gambar 3.2. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi beras nominal dan rill dalam rumah tangga di Indonesia, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

16 3.2. Perkembangan serta Prediksi Penyediaan dan Penggunaan Padi di Indonesia Berdasarkan hasil perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM) komoditas padi, komponen penyediaan terdiri dari produksi ditambah impor dan dikurangi ekspor dan perubahan stok, sementara komponen penggunaan adalah untuk bibit, pakan, diolah sebagai bahan makanan, dan tercecer. Penyediaan padi dalam wujud gabah kering giling (GKG) di Indonesia seluruhnya bisa dipasok dari produksi dalam negeri, walaupun ada realisasi impor namun dalam kuantitas yang sangat kecil karena hanya digunakan sebagai penyangga ketersediaan dalam negeri atau digunakan sebagai bibit. Produksi padi dalam wujud GKG dari tahun 2010 hingga 2013 (Angka Sementara, BPS) relatif berfluktuasi namun menunjukkan pola meningkat dengan ratarata sebesar 2,39% per tahun, yakni dari 66,47 juta ton pada tahun 2010 menjadi 71,29 juta ton pada tahun Selama periode tahun tersebut terdapat realisasi impor gabah yang dilakukan oleh Indonesia dalam kuantitas yang relatif kecil yakni berkisar antara 1 24 ribu ton, sementara tidak ada realisasi ekspor serta tidak ada stok dalam wujud gabah. Oleh karenanya, penyediaan gabah dalam negeri hanya dihitung dari besarnya produksi ditambah impor atau sebesar 66,47 juta ton pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 71,29 juta ton pada tahun Ketersediaan data penggunaan gabah hasil perhitungan NBM adalah hingga tahun 2012 (Angka Sementara). Pada periode tahun , dari jumlah penyediaan gabah domestik tersebut sekitar 0,44% digunakan untuk pakan, sekitar 5,4% tercecer, serta sekitar 1% untuk bibit, sehingga 93,16% siap dikonsumsi sebagai bahan makanan atau dikonversi ke wujud beras. Dengan faktor konversi seperti tersebut diatas maka fluktuasi penyediaan gabah yang siap dikonversi menjadi beras sangat bergantung pada fluktuasi produksi gabah nasional. Pada tahun 2010, jumlah penyediaan gabah yang siap dikonversi menjadi beras untuk bahan makanan sebesar 61,89 juta ton, dan meningkat menjadi 64,37 juta ton pada tahun 2012 (Tabel 3.4). Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 13

17 Tabel 3.4. Penyediaan dan penggunaan padi tahun serta prediksi tahun No. Uraian Tahun *) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : - Makanan Bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan per kapita (kg/kapita/tahun) Sumber : Neraca Bahan Makanan (NBM) Kementerian Pertanian, diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka Sementara untuk keluaran **) Angka Prediksi Pusdatin hingga 2016 produksi padi (GKG) akan terus mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 0,09% per tahun sehingga pada tahun 2016 menjadi sebesar 71,48 juta ton. Dengan asumsi besaran impor gabah sama seperti tahun-tahun sebelumnya dan tidak ada realisasi ekspor, maka pada tahun 2014 hingga 2016, ketersediaan padi diprediksi masih berkisar pada besaran tersebut di atas. Dengan besaran konversi penggunaan padi untuk untuk pakan, bibit dan tercecer yang masih tetap seperti tahun-tahun sebelumnya maka besarnya gabah yang dapat digunakan untuk diolah menjadi beras diprediksikan menjadi sebesar 66,18 juta ton pada tahun 2014 dan terus meningkat menjadi 66,59 juta ton pada tahun 2016 (Tabel 3.4) Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan ketersediaan Beras di Indonesia Berdasarkan hasil perhitungan NBM gabah seperti tersaji pada Tabel 3.4, maka besaran gabah yang siap diolah sebagai bahan makanan akan menjadi produksi masukan pada penyediaan beras seperti tersaji pada Tabel 3.5. Kemudian, masukan yang berupa gabah menghasilkan keluaran berupa beras dengan menggunakan faktor konversi sebesar 62,74%. Oleh karennya, berdasarkan keragaan data pada Tabel 3.5 telah diperoleh keluaran beras tahun serta prediksi tahun Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

18 Komponen total penyediaan beras merupakan angka produksi keluaran beras ditambah impor, dikurangi ekspor dan perubahan stok pada tahun yang bersangkutan. Data ekspor dan impor tersedia hingga tahun 2013, sementara perubahan stok baru tersedia hingga tahun 2012, dan kemudian dilakukan prediksi hingga Pada tahun 2010, masukkan berupa gabah sebesar 61,89 juta ton menghasilkan keluaran berupa beras sebesar 38,83 juta ton, kemudian ditambah impor beras sebesar 683 ribu ton dan dikurangi perubahan stok sebesar -726 ribu ton, sehingga total ketersediaan beras tahun 2010 mencapai 40,24 juta ton. Setelah periode tahun 2010, impor beras Indonesia menunjukkan pola berfluktuasi hingga menjadi sebesar 472 ribu ton pada tahun 2013, serta diprediksikan terus mengalami peningkatan hingga menjadi 857 ribu ton pada tahun Realisasi ekspor beras diprediksikan relatif stabil dan dalam kuantitas yang sangat kecil sebesar 3 ribu ton hingga 2016, serta angka perubahan stok yang sangat berfluktuatif. Dengan keragaan tersebut, total penyediaan beras Indonesia terus mengalami peningkatan, yakni menjadi sebesar 41,87 juta ton pada tahun 2013 dan dan diprediksikan terus mengalami peningkatan menjadi sebesar 42,13 juta ton pada tahun Total penggunaan beras pada perhitungan NBM adalah untuk pakan, tercecer, diolah untuk industri bukan makanan serta digunakan sebagai bahan makanan. Penghitungan penggunaan beras untuk pakan dan tercecer menggunakan faktor konversi masing-masing sebesar 0,17% dan 2,5% terhadap total penyediaan beras. Total penggunaan beras pada tahun 2010 sebesar 68 ribu ton untuk pakan ternak, 25 ribu ton sebagai bahan baku industri bukan makanan, serta 1 juta ton merupakan jumlah beras yang tercecer. Yang dimaksud dengan tercecer adalah sejumlah makanan yang tercecer pada saat produksi hingga beras tersebut tersedia di tingkat pedagang pengecer. Selisih total penyediaan dengan total penggunaan untuk pakan, tercecer dan bahan baku industri bukan makanan merupakan kuantitas beras yang tersedia untuk bahan makanan. Tahun 2010 ketersediaan beras untuk bahan makanan mencapai 39,14 juta ton. Karena penggunaan beras untuk pakan dan tercecer menggunakan faktor konversi yang tetap, sementara kuantitas yang diolah untuk industri bukan makanan relatif kecil, maka setelah tahun 2010 pola peningkatan ketersediaan beras untuk bahan makanan mengikuti pola peningkatan penyediaan beras. Selanjutnya, pada tahun , penggunaan beras untuk bahan makanan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 15

19 Indonesia juga diprediksikan masih terus mengalami peningkatan dari 40,81 juta ton menjadi 40,99 juta ton, secara rinci tersaji pada Tabel 3.5. Tabel 3.5. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan beras tahun serta prediksi tahun No. Uraian Tahun *) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : - Makanan Bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan per kapita (kg/kapita/tahun) 162,08 165,01 162,84 163,68 161,83 159,79 158,42 Sumber : Neraca Bahan Makanan (NBM) Kementerian Pertanian, diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka Sementara untuk indikator masukan **) Angka Prediksi Pusdatin (kg/kapita) Gambar 3.3. Perkembangan ketersediaan beras per kapita pertahun di Indonesia , serta prediksi tahun Ketersediaan per kapita merupakan rasio dari jumlah beras yang tersedia dan siap dikonsumsi sebagai bahan makanan dengan jumlah penduduk. Perkembangan ketersediaan beras per kapita tahun dan prediksi tahun tersaji pada Gambar 3.3. Ketersediaan beras per kapita berdasarkan NBM Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

20 adalah sebesar 162,08 kg/kapita/thn, dan meningkat pada tahun 2011 menjadi sebesar 165,01 kg/kapita/tahun atau meningkat dengan rata-rata sebesar 0,25% selama kurun waktu 3 tahun tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya diprediksikan akan mengalami penurunan hingga pada tahun 2016 diprediksi menjadi 158,42 kg/kapita/th. Penurunan ini disebabkan peningkatan populasi lebih besar dibandingkan dengan peningkatan ketersediaan beras untuk bahan makanan (Gambar 3.3 dan Tabel 3.5) Perbandingan Konsumsi (Susenas) dan Ketersediaan per kapita (NBM) Beras di Indonesia Hasil Susenas menghasilkan angka konsumsi rumah tangga per kapita, pada Tabel 3.6 terlihat data konsumsi per kapita beras berdasarkan hasil Susenas, BPS serta data ketersediaan per kapita beras berdasarkan perhitungan NBM, Kementerian Pertanian. Data Susenas mengekspresikan kuantitas yang benarbenar dikonsumsi per kapita penduduk Indonesia di rumah tangga, sementara data NBM mengekspresikan jumlah ketersediaan beras setelah memperhitungkan jumlah penduduk pada setiap tahunnya. Berdasarkan keragaan data pada Tabel 3.6 terlihat bahwa jumlah beras yang tersedia untuk dikonsumsi lebih tinggi dari besaran yang benar-benar dikonsumsi. Hal ini merupakan hal yang sangat wajar dimana jumlah beras yang disediakan logikanya lebih besar dari jumlah riil yang akan dikonsumsi. Perbedaan angka konsumsi riil (Susenas) dengan ketersediaan untuk konsumsi (NBM) ini diasumikan adalah beras yang terserap ke industri pengolahan makanan berbahan baku beras yang belum dihitung pada NBM. Tabel 3.6. Perbandingan konsumsi per kapita rumah tangga (Susenas) dengan Ketersediaan per kapita (NBM) beras di Indonesia, No Uraian * 2015* 2016* 1 Susenas (kg/kapita) 100,75 102,87 97,65 97,40 98,29 97,88 97,56 2 Ketersediaan, NBM (kg/kapita) 162,08 165,01 162,84 163,68 161,83 159,79 158,42 3 Selisih (kg/kapita) 61,33 62,14 65,19 66,28 63,54 61,91 60,86 Sumber: Susenas, BPS dan ketersediaan NBM, BKP Kementan Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin Tahun Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 17

21 3.5. Penyediaan Total Domestik Beras di beberapa negara di Dunia Menurut data dari USDA, penyediaan beras terbesar di dunia didominasi oleh negara-negara di Asia dimana bahan pangan pokok penduduknya dominan adalah beras, dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Cina merupakan negara dengan total penyediaan beras terbesar di dunia yakni pada periode tahun mencapai 139,78 juta ton per tahun atau 30,74% dari total penyediaan beras dunia. Disusul kemudian oleh India dengan ratarata penyediaan sebesar 91,81 juta ton atau 20,19% dari total penyediaan di dunia. Indonesia menempati urutan ketiga dalam penyediaan beras di dunia mengingat lebih dari 90% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokoknya yakni mencapai 39,12 juta ton atau 8,60% dari total penyediaan beras dunia. Disusul kemudian oleh Bangladesh dengan rata-rata persediaan beras sebesar 33,48 juta ton atau 7,36% dari total ketersediaan beras dunia. Negara-negara berikutnya adalah Vietnam, Phillipina, Thailand, Burma, Jepang, dan Brazil dengan total penyediaan beras masing-masing di bawah 5%. Kontribusi negara-negara dengan penyediaan beras terbesar di dunia tahun disajikan pada Tabel 3.7 dan Gambar 3.4. Tabel 3.7. Negara dengan penyediaan beras terbesar di dunia, Total Ketersediaan (000 Ton) Rata-rata Share (%) No Negara China ,74 2 India ,19 3 Indonesia ,60 4 Bangladesh ,36 5 Vietnam ,36 6 Philippines ,84 7 Thailand ,30 8 Burma ,29 9 Japan ,80 10 Brazil ,78 Lainnya ,73 Total dunia ,00 Sumber: USDA, diolah Pusdatin 18 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

22 China 30,74% India 20,19% Lainnya 17,73% Indonesia 8,60% Brazil 1,78% Japan 1,80% Burma 2,29% Thailand 2,30% Bangladesh 7,36% Vietnam 4,36% Philippines 2,84% Gambar 3.4. Negara dengan penyediaan beras terbesar di dunia, share terhadap rata-rata Penyediaan Beras per Kapita per Tahun di Dunia Menurut data dari FAO, penyediaan beras per kapita di negara-negara Asia cukup dominan, khususnya Asia Tenggara yang memang menjadikan beras sebagai bahan pangan pokok penduduknya. Berdasarkan data rata-rata selama lima tahun ( ), tercatat bahwa Bangladesh merupakan negara dengan penyediaan beras per kapita terbesar di dunia yakni mencapai 171,14 kg/kapita/tahun. Disusul kemudian Rep. Demokratik Laos dan Kamboja masingmasing sebesar 163,48 kg/kapita/tahun dan 159,08 kg/kapita/tahun. Indonesia menduduki urutan keempat sebagai negara dengan penyediaan beras terbesar di dunia dengan rata-rata tahun sebesar 148,62 kg/kapita/tahun. Dua negara berikutnya yakni Myanmar dan Vietnam dengan rata-rata penyediaan beras per kapita masing-masing sebesar 143,28 kg/kapita/tahun dan 143,18 kg/kapita/tahun. Selanjutnya adalah Phillipina, Thailand, Madagaskar, dan Srilanka dengan peryediaan beras per kapita masing-masing sebesar 125,10 kg/kapita/tahun, 123,20 kg/kapita/tahun, 104,36 kg/kapita/tahun, dan 99,18 kg/kapita/tahun. Rata-rata penyediaan beras di sepuluh negara tersebut jauh berada di atas rata-rata penyediaan negara-negara di dunia yang hanya sebesar 29,36 kg/kapita/tahun. Perkembangan penyediaan beras per kapita negara-negara di dunia tahun secara lengkap disajikan pada Tabel 3.8 dan Gambar 3.5. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 19

23 Bangladesh Rep. Dem. Laos Kamboja Indonesia Myanmar Viet Nam Philippina Thailand Madagascar Sri Lanka Buletin Konsumsi Pangan Tabel 3.8. Penyediaan beras per kapita per tahun beberapa negara di dunia, No Negara Ketersediaan per kapita (kg/kapita) Rata-rata Bangladesh 169,90 170,70 174,80 167,00 173,30 171,14 2 Rep. Dem. Laos 163,00 164,10 160,90 163,90 165,50 163,48 3 Kamboja 157,20 158,40 159,30 160,20 160,30 159,08 4 Indonesia 142,69 141,59 147,91 153,42 157,50 148,62 5 Myanmar 146,10 146,00 142,20 141,30 140,80 143,28 6 Viet Nam 144,00 142,60 143,20 144,90 141,20 143,18 7 Philippina 120,90 121,20 128,90 131,20 123,30 125,10 8 Thailand 119,50 120,50 118,80 124,20 133,00 123,20 9 Madagascar 103,50 103,80 104,50 104,50 105,50 104,36 10 Sri Lanka 96,60 97,10 97,90 100,50 103,80 99,18 Rata-rata dunia 29,37 29,39 29,34 29,61 30,09 29,56 Sumber: FAO, diolah Pusdatin (Kg/kap/th) 180,00 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 Gambar 3.5. Perkembangan penyediaan beras per kapita di beberapa negara di dunia, rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

24 BAB IV. UBI KAYU U bi Kayu merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh di berbagai lingkungan agroklimat tropis, walaupun tingkat produksinya akan bervariasi menurut tingkat kesuburan dan ketersediaan air tanah. Ubi kayu merupakan tanaman yang tahan di lahan kering, sedangkan pada lahan-lahan dengan tingkat kesuburan tinggi, akan menyerap unsur hara yang banyak. Produksi optimal akan dapat dicapai bila tanaman mendapat sinar matahari yang cukup, berada pada ketinggian sampai dengan 800 m dpl, tanah gembur, dan curah hujan di antara mm/tahun dengan bulan kering sekitar 6 bulan. Ubi kayu merupakan tanaman pangan penghasil karbohidrat paling tinggi per satuan waktu dan luas. Komoditas ini dapat menjadi bahan pangan alternatif substitusi beras, serta bahan baku industri dan ekspor, sehingga potensial untuk dikembangkan seiring dengan meningkatnya pembangunan sektor industri. Potensi pengembangan ubi kayu di Indonesia masih sangat luas mengingat lahan yang tersedia untuk budidaya ubi kayu cukup luas. Dalam upaya penyediaan bahan baku yang besar dan kontinyu untuk bioethanol, usaha tani ubi kayu perlu dilakukan dalam bentuk perkebunan atau pertanaman monokultur. Tanaman ubi kayu mampu berproduksi dengan hasil rata-rata 30 ton - 40 ton per hektar umbi basah. Produktivitas ini dengan perkiraan hasil (asumsi) setiap batang mampu menghasilkan antara 2,5 kg hingga 4,0 kg dengan jarak tanam 100 cm x 100 cm dan populasi tanaman per hektar s/d pohon. Usahatani ubi kayu memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya, yaitu : 1) Resiko kegagalan relatif kecil; 2) Biaya produksi relatif rendah; 3) Pemasaran mudah; 4) Sumber pendapatan petani di daerah sentra produksi; 5) Daya adaptasi luas; 6) Teknologi budidaya tersedia dan 7) Hasil olahannya sangat bervariasi. Berdasarkan keunggulan tersebut, ubi kayu merupakan tanaman pangan yang dapat diandalkan untuk menjadi cadangan pangan dan dapat diandalkan pula untuk meningkatkan pendapatan petani. Selain sebagai pengganti nasi pada saat musim paceklik, ternyata tanaman ubi kayu ini memiliki manfaat bagi kesehatan. Beberapa penyakit yang dapat diobati dengan menggunakan bahan dari tanaman ubi kayu yaitu: Reumatik, Demam, Sakit kepala, Diare, Cacingan, Mata kabur, Nafsu Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 21

25 makan, Luka bernanah, luka baru kena panas, dan lain sebagainya ( Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Ubi Kayu dalam Rumah Tangga di Indonesia Konsumsi rumah tangga ubi kayu di tingkat rumah tangga di Indonenasi selama tahun mengalami kecenderungan menurun dari tahun ke tahun. Konsumsi ubi kayu tahun 2002 di Indonesia mencapai 8,50 kg/kapita/tahun. Rata-rata konsumsi rumah tangga untuk kurun waktu sebesar 6,64 kg/kapita/tahun dengan laju rata-rata menurun 6,49% setiap tahunnya. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 2012 dimana konsumsi rumah tangga untuk ubi kayu turun sebesar 37,84% dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan konsumsi ubi kayu di rumah tangga selama kurun waktu hanya terjadi pada tahun 2004, 2008 dan Sepanjang kurun waktu tersebut peningkatan konsumsi ubi kayu rumah tangga terbesar terjadi pada tahun 2011 dengan peningkatan sebesar 14,43% (Tabel 4.1). Berdasarkan hasil prediksi, konsumsi ubi kayu tahun 2014 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya menjadi sebesar 0,083 kg/kapita/minggu atau sebesar 4,320 kg/kapita/tahun. Sedangkan prediksi pada tahun 2015 dan 2016 mengalami sedikit peningkatan jika dibandingkan tahun Prediksi konsumsi ubi kayu pada tahun 2015 sebesar 0,077 kg/kapita/minggu atau sebesar 3,991 kg/kapita/tahun, mengalami penurunan sebesar 7,62% jika dibandingkan tahun 2014, begitu juga tahun 2016 menjadi sebesar 0,070 kg/kapita/minggu atau sebesar 3,663 kg/kapita/tahun, mengalami penurunan sebesar 8,22% dibandingkan tahun 2015, seperti terlihat pada Gambar 4.1. Rendahnya konsumsi ubi kayu di Indonesia kemungkinan disebabkan oleh karena belum bergesernya konsumsi pokok sebagian besar masyarakat dari beras ke pangan yang mengandung karbohidrat seperti ubi kayu (singkong). 22 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

26 Tabel 4.1. Perkembangan konsumsi ubi kayu dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi tahun Tahun Konsumsi Seminggu Konsumsi Setahun Pertumbuhan (kg/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun) (%) ,163 8, ,162 8,447-0, ,169 8,812 4, ,162 8,447-4, ,141 7,352-12, ,134 6,987-4, ,147 7,665 9, ,106 5,527-27, ,097 5,058-8, ,111 5,788 14, ,069 3,598-37, ,067 3,494-2,90 Rata-rata 0,127 6,640-6, *) 0,083 4,320 23, *) 0,077 3,991-7, *) 0,070 3,663-8,22 Sumber : Susenas, BPS diolah Pusdatin Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin (Kg/Kapita/tahun) 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0, *) 2015*) 2016*) Gambar 4.1. Perkembangan konsumsi ubi kayu dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi Apabila dilihat dari besaran pengeluaran untuk konsumsi ubi kayu bagi penduduk Indonesia tahun secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 1,34%, yakni dari Rp. 9,23 ribu/kapita pada tahun 2008 menjadi 9,59 ribu/kapita pada tahun Namun demikian setelah dikoreksi Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 23

27 dengan faktor inflasi, pengeluran untuk konsumsi ubi kayu secara riil sejatinya menunjukkan penurunan sebesar 8,03%. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita ubi kayu penduduk Indonesia terjadi tendensi penurunan. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi ubi kayu nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia tahun secara rinci tersaji pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.2. Tabel 4.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi ubi kayu, No. Uraian Pengeluaran (Rupiah/kapita) Pertumbuhan (%) 1 Nominal ,34 2 I H K ,30 3 Riil ,03 Sumber: BPS, diolah Pusdatin Keterangan: Indeks Harga Konsumen (IHK) yang digunakan IHK kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya (Rupiah/kapita) Pengeluaran Nominal Pengeluaran Riil Gambar 4.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi ubi kayu, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

28 4.2. Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan Ubi Kayu di Indonesia Komponen penyediaan ubi kayu terdiri dari produksi ditambah impor dikurangi ekspor dan perubahan stok. Demikian halnya untuk komponen perubahan stok, karena kualitas ubi kayu secara umum mudah rusak sehingga tidak ditemukan adanya perubahan stok. Dengan demikian komponen penyediaan ubi kayu hanya terdiri dari produksi, impor dan ekspor. Kelompok penggunaan pada ubi kayu terdiri dari empat komponen (1) pakan, (2) diolah untuk makanan, (3) bagian yang tercecer dan (4) sebagai bahan makanan. Produksi ubi kayu beberapa tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Produksi ubi kayu nasional pada tahun 2010 sebesar 23,92 juta ton sedangkan pada tahun 2012 sebesar 24,18 juta ton atau mengalami peningkatan sebesar 1,08% jika dibandingkan tahun Tabel 4.2. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan ubi kayu tahun serta prediksi tahun Tahun No. Uraian * 2013** 2014** 2015** 2016** A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan kapita/tahun (kg) 44,86 67,37 45,96 46,01 46,11 45,48 44,88 Sumber : Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan Keterangan: *) Angka sementara **) Angka Prediksi Pusdatin Tahun 2013 penyediaan ubi kayu dalam negeri sebesar 23,82 juta ton (angka sementara, BPS) atau turun sebesar 1,46% jika dibandingkan tahun Menurut prediksi Pusdatin, penyediaan ubi kayu nasional tahun cenderung meningkat berkisar antara 24,37 juta ton sampai 25,06 juta ton. Dari jumlah itu yang digunakan untuk bahan makanan pada tahun berkisar Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 25

29 antara 11,45 juta ton sampai 11,63 juta ton. Sementara yang diolah untuk makanan pada periode yang sama berkisar antara 11,39 juta ton sampai 12,42 juta ton, sedangkan bagian yang tercecer dan untuk pakan pada periode yang sama di konversi masing-masing sebesar 12,13% dan 12,00% dari total penyediaan (Tabel 4.2). Ketersediaan perkapita merupakan rasio jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sebagai bahan makanan dengan jumlah penduduk yang tersedia. Ketersediaan ubi kayu per kapita berdasarkan NBM 2010 adalah sebesar 44,86 kg/kapita/tahun, sementara tahun 2011 ketersediaan perkapita meningkat cukup signifikan menjadi 67,37 kg/kapita/tahun. Hal ini disebabkan karena penggunaan ubi kayu yang diolah untuk makanan jumlahnya lebih sedikit, sehingga ketersediaan untuk bahan makanan menjadi lebih besar dan berimplikasi terhadap ketersediaan perkapita. Pada tahun 2012 ketersediaan per kapita ubi kayu sebesar 45,96 kg/kapita/tahun mengalami penurunan jika dibandingkan tahun Berdasarkan angka prediksi Pusdatin diperkirakan ketersediaan per kapita tahun berkisar antara 44,88 kg/kapita/tahun sampai 46,11 kg/kapita /tahun. (kg/kap/tahun) 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0, * 2013** 2014** 2015** 2016** Gambar 4.2. Perkembangan ketersediaan ubi kayu per kapita tahun serta prediksi tahun Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

30 4.3. Perbandingan Konsumsi (Susenas) dan Ketersediaan per kapita (NBM) Ubi Kayu di Indonesia Dari Tabel 4.3 terlihat perbandingan antara ketersediaan konsumsi ubi kayu (NBM) dengan konsumsi ubi kayu dalam rumah tangga (Susenas) mengalami surplus. Artinya bahwa ketersediaan yang disiapkan cukup aman untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ubi kayu masyarakat Indonesia. pada tahun 2013 sampai 2016 akan berkisar antara 41,22 kg/kapita/tahun sampai 42,52 kg/kapita /tahun. Besarnya selisih antara konsumsi rumah tangga hasil Susenas dengan ketersediaan NBM tersebut, diduga belum tercakup data olahan dari ubi kayu segar ke industri intermedier, seperti tepung mocaf (modified cassava fermentation). Disamping itu, belum tercakupnya data penyerapan ubi kayu segar yang diolah untuk industri bukan makanan. Surplus tertinggi terjadi pada tahun 2011 hingga mencapai 61,58 kg/kapita/ tahun, sementara hasil prediksi surplus Tabel 4.3. Perbandingan konsumsi ubi kayu per kapita rumah tangga (Susenas) dengan ketersediaan (NBM), tahun Variabel Tahun (kg/kapita/tahun) * 2015* 2016* Konsumsi Rumah Tangga, Susenas 5,06 5,79 3,60 3,49 4,32 3,99 3,66 Ketersediaan, NBM 44,86 67,37 45,96 46,01 46,11 45,48 44,88 Selisih 39,80 61,58 42,36 42,52 41,79 41,49 41,22 Sumber: Susenas, BPS dan Neraca Bahan Makanan, BKP Keterangan : *) Angka Prediksi Pusdatin 4.4. Penyediaan Ubi Kayu di beberapa negara di Dunia Berdasarkan data dari FAO, rata-rata selama lima tahun ( ), penyediaan Ubi Kayu dunia secara ratarata mencapai 91,16 juta ton. Dari data tersebut kumulatif penyediaan Ubi Kayu ke sepuluh negara mencapai 71,82% dari total penyediaan dunia. Menggunakan data rata-rata selama lima tahun ( ), tercatat bahwa Nigeria merupakan negara terbesar penyediaan Ubi Kayu di dunia hingga mencapai 16,52 juta ton atau sebesar 18,13% dari total penyediaan Ubi Kayu dunia. Negara terbesar kedua, adalah Indonesia dengan rata-rata total penyediaan selama lima tahun sebesar 9,67 juta ton atau sebesar 10,61% dari total penyediaan Ubi Kayu dunia. Negara terbesar ketiga, keempat dan kelima Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 27

31 adalah Brazil, India dan United Republik of Tanzania masing-masing berkisar antara 8,67 4,96 juta ton atau sebesar 9,52% 5,44%, selebihnya menyumbang di bawah 5,30%. Perlu di tegaskan bahwa Indonesia menempati urutan ke dua untuk penyedian ubi kayu dunia, sehingga memiliki prospek yang cukup bagus untuk dikembangkan, baik sebagai bahan dasar industri makanan maupun sebagai sumber-sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Singkong atau ubi kayu merupakan salah satu jenis tanaman yang berorentasi (bisa dijadikan bioethanol) untuk dijadikan bahan bakar alternatif pengganti premium. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan bahan makanan penting di Indonesia setelah padi dan jagung. Sebagai bahan makanan, jika ditinjau dari kalori yang dihasilkan per satuan luas tanah, ubi kayu menghasilkan kalori lebih tinggi dibandingkan dengan padi dan jagung. Sedangkan apabila ditinjau dari kalori yang dihasilkan per satuan waktu, jagung lebih tinggi hasil kalorinya dibandingkan padi dan ubi kayu. Secara rinci persentase kontribusi total penyediaan Ubi Kayu ke-10 negara terbesar di dunia dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.3 di bawah ini. Tabel 4.4. Negara dengan penyediaan ubi kayu terbesar di dunia, No Negara Ketersediaan (Ton) Rata-rata Share Kumulatif % % 1 Nigeria ,13 18,13 2 Indonesia ,61 28,73 3 Brazil ,52 38,25 4 India ,80 47,05 5 Republik Tanzania ,44 52,49 6 Mozambique ,28 57,76 7 Ghana ,28 63,04 8 Uganda ,22 66,27 9 Angola ,97 69,23 10 Madagaskar ,59 71,82 Negara Lainnya ,18 100,00 Dunia ,00 Sumber : diolah pusdatin 28 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

32 8,80% 5,44% 5,28% 5,28% 3,22% 2,97% 2,59% 9,52% 28,18% 10,61% 18,13% Nigeria Indonesia Brazil India United Republic of Tanzania Mozambique Ghana Uganda Angola Madagascar Negara Lainnya Gambar 4.3. Negara dengan penyediaan ubi kayu terbesar di dunia, share terhadap rata-rata Ketersediaan Ubi Kayu Per Kapita per Tahun di Dunia Rata-rata total penyediaan di atas belum mencerminkan besarnya konsumsi atau ketersediaan perkapita. Hal ini karena besarnya konsumsi atau ketersediaan tergantung pada banyaknya jumlah penduduk dalam negara yang bersangkutan, pada periode tahun lima negara dengan peringkat ketersediaan per kapita terbesar dunia untuk komoditas ubi kayu adalah Kongo, Mozambique, Ghana, Angola dan Liberia. Rata-rata ketersediaan per kapita dunia sebesar 14,06 kg/kapita/tahun sedangkan kelima negara terbesar tersebut jauh lebih tinggi di atas rata-rata dunia. Selama periode terlihat negara Kongo merupakan negara dengan rata-rata ketersediaan ubi kayu per kapita terbesar di dunia yakni 261,18 kg/kapita/tahun. Negara kedua adalah Mozambique dengan rata-rata ketersediaan ubi kayu per kapita sebesar 220,94 kg/kapita/tahun, selanjutnya Ghana, Angola dan Liberia dengan rata-rata ketersediaan perkapita masing-masing sebesar 211,68 kg/kapita/tahun, 154,20 kg/kapita/tahun dan 151,72 kg/kapita/ tahun. Berdasarkan data NBM, rata-rata selama lima tahun ( ) Indonesia menempati urutan ke 24 dengan ketersediaan per kapita sebesar 50,57 kg/kapita/tahun masih jauh diatas rata-rata ketersediaan dunia. Perkembangan ketersediaan ubi kayu per kapita negaranegara di dunia tahun dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.4. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 29

33 Tabel 4.5. Ketersediaan ubi kayu per kapita per tahun di beberapa negara di dunia, No Negara Ketersediaan (kg/kapita/tahun) Rata-rata 1 Kongo 263,20 264,60 254,70 262,00 261,40 261,18 2 Mozambique 238,20 236,70 205,60 211,60 212,60 220,94 3 Ghana 209,10 204,30 210,70 214,80 219,50 211,68 4 Angola 147,70 151,50 162,10 159,50 150,20 154,20 5 Liberia 167,30 150,90 158,20 153,10 129,10 151,72 6 Benin 149,80 138,70 146,30 149,10 148,90 146,56 7 Republik Afrika 139,60 135,70 139,40 142,30 144,40 140,28 8 Paraguay 131,80 132,10 131,10 131,00 129,70 131,14 9 Madagaskar 125,90 125,00 124,10 123,70 122,50 124,24 10 Tanzania 118,90 125,70 123,80 115,60 119,10 120,62 : : : : : : : : 24 Indonesia *) 50,08 65,32 17,76 91,27 28,42 50,57 Rata-rata Dunia 13,60 14,10 13,90 14,40 14,30 14,06 Sumber : diolah pusdatin Keterangan: *) Data NBM, BKP (kg/kapita/tahun) Gambar 4.4. Perkembangan ketersediaan ubi kayu per kapita beberapa negara di dunia, rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

34 BAB V. BAWANG MERAH B awang Merah (Alium cape L) termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan/masakan, bahan obat tradisional karena banyak mengandung zat antibiotika serta sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Masyarakat di Indonesia terbiasa menggunakan bawang merah dalam masakan sehari-hari sebagai bumbu untuk masakan. Bawang merah memiliki nama lokal diantaranya adalah bawang abang mirah (Aceh), bawang abang (Palembang), dasun merah (Minangkabau), bawang suluh (Lampung), bawang beureum (Sunda), brambang abang (Jawa), bhabang merah (Madura), dan masih banyak lagi yang lainnya. Bawang merah merupakan tanaman sayuran semusim dengan bagian yang dapat dimakan adalah sebesar 90%. Komposisi zat gizi yang terkandung dalam per 100 gram bawang merah adalah kalori 39 kkal, protein 2,50 g dan lemak 0,30 g. Penggunaan bawang merah oleh masyarakat biasanya cenderung meningkatkan di saat-saat tertentu seperti hari raya besar keagamaan. Disamping itu banyak konsumsi seperti nasi goreng, sate, tongseng dan lain-lain yang menggunakan bawang merah sebagai taburan dalam bentuk bawang goreng Perkembangan serta Prediksi Konsumsi Bawang Merah dalam Rumah Tangga di Indonesia Konsumsi bawang merah dalam rumah tangga selama periode tahun relatif berfluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selama periode tahun , konsumsi bawang merah terbesar terjadi pada tahun 2007 yang mencapai 3,014 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2013 sebesar 2,065 kg/kapita/tahun. Peningkatan konsumsi bawang merah diprediksikan masih akan terjadi pada tahun 2016 sehingga menjadi sebesar 2,300 kg/kapita/tahun atau naik 0,04% dibandingkan tahun Tahun 2015 besarnya konsumsi bawang merah sekitar 0,441 kg/kapita/minggu atau 2,300 kg/kapita/tahun atau naik 0,04% dari tahun Perkembangan konsumsi bawang merah dari tahun serta prediksinya tahun disajikan pada Tabel 5.1 dan Gambar 5.1. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 31

35 *) 2015 *) 2016 *) Buletin Konsumsi Pangan Tabel 5.1. Perkembangan konsumsi bawang merah dalam rumah tangga di Indonesia, Tahun , serta prediksi tahun Sumber: Susenas terbitan bulan Maret, BPS Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin (Kg/Kap/Tahun) 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Gambar 5.1. Perkembangan konsumsi bawang merah dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

36 Apabila ditinjau dari besarnya pengeluaran untuk konsumsi bawang merah bagi penduduk Indonesia tahun secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar 16,85%, yakni dari Rp per kapita pada tahun 2008 menjadi Rp per kapita pada tahun 2012 dan tahun 2013 meningkat cukup tajam menjadi sebesar Rp per kapita. Demikian juga setelah dikoreksi dengan faktor inflasi, pengeluaran untuk konsumsi bawang merah secara riil pada tahun mengalami fluktuasi dengan kecenderunagn meningkat sebesar 13,92%. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, konsumsi per kapita bawang merah penduduk Indonesia terjadi peningkatan. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi bawang merah nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonedia tahun secaraa rinci tersaji pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.2. Tabel 4.2. Perkembangan pengeluaran nominal dan riil rumah tangga untuk konsumsi bawang merah, No Uraian Pengeluaran (Rupiah/kapita) Pertumbuhan (%) 1 Nominal , , , , , ,86 32,02 2 IHK 116,84 125,24 164,31 165,13 150,69 223,77 15,73 3 Riil , , , , , ,57 13,92 Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan: IHK (indeks Harga Konsumen) yang digunakan IHK Kelompok bumbu-bumbuan (Rupiah/kapita) Nominal Riil Gambar 4.2. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi bawang merah nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 33

37 5.2. Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan Per Kapita Bawang Merah di Indonesia Berdasarkan hasil perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM), komponen penyediaan terdiri dari produksi, impor dan ekspor sementara komponen penggunaan adalah bibit, tercecer dan tersedia sebagai bahan makanan, besaran yang siap tersedia sebagai bahan makanan inilah jika dibagi dengan jumlah penduduk menjadi ketersediaan per kapita dalam satu tahun. Secara rinci penyediaan dan penggunaan bawang merah tahun 2010 sampai dengan 2016 dapat dilihat pada Tabel 5.2. Berdasarkan NBM tahun 2012 penyediaan bawang merah adalah sebesar 673 ribu ton yang berasal dari produksi, impor dan ekspor bawang merah, penyediaan ini naik sekitar 0,25% di bandingkan tahun 2011 sebesar 671 ribu ton. Naiknya penyediaan bawang merah di tahun 2012 terutama karena naiknya produksi. Berdasarkan kajian NBM, besarnya penyediaan bawang merah tahun 2012 ini sebagian besar merupakan penyediaan untuk bahan makanan yaitu sebesar 615 ribu ton, tercecer sekitar 0,23% dari penyediaan atau sebesar 56 ribu ton dan bibit tidak ada perubahan dari penyediaan atau sebesar 2 ribu ton. Prediksi tahun 2013, besarnya penyediaan bawang merah mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu menjadi 696 ribu ton atau naik sebesar 1,71%, dimana dari jumlah tersebut digunakan untuk bahan makanan sebesar 636 ribu ton, tercecer 58 ribu ton dan bibit 2 ribu ton. Penyediaan bawang merah diprediksi akan mengalami kenaikan pada periode , terutama karena naiknya produksi dalam negeri. Tahun 2014 besarnya penyediaan adalah 711 ribu ton, sementara tahun 2015 diperkirakan sebesar 727 ribu ton atau rata-rata naik sekitar 2,20% setiap tahunnya. Sebagian besar penyediaan bawang merah adalah digunakan untuk bahan makanan, persentasenya lebih dari 90% dari penyediaan, besarnya penggunaan bawang merah untuk bahan makanan ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi bawang merah di masyarakat. Tahun 2014 sampai dengan 2016 diprediksi penyediaan bawang merah yang siap dikonsumsi sebagai bahan makanan berturut-turut besarnya 650 ribu ton, 665 ribu ton dan 679 ribu ton, kenaikannya secara rata-rata selama 3 tahun ini sebesar 2,20% setiap tahunnya. Ketersediaan bawang merah per kapita menurut NBM pada periode tahun masing-masing sebesar 2,73 kg/kapita/tahun, 2,54 kg/kapita/tahun, 2,51 kg/kapita/tahun dan 2,56 kg/kapita/tahun. Sementara pada periode angka ketersediaan diprediksi cenderung meningkat dibandingkan tahun 2013, dimana pada periode ini 34 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

38 ketersediaan bawang merah berkisar antara 2,58, sampai 2,63 kg/kapita/tahun. Perkembangan ketersediaan bawang merah per kapita periode dapat dilihat pada Gambar 5.2. Tabel 5.2. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan bawang merah tahun serta prediksi tahun No. Uraian Tahun *) 2013**) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 Ton) Produksi - Masukan Keluaran Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 Ton) Pakan (ton) Bibit (ton) Diolah untuk : - makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan 2,73 2,54 2,51 2,56 2,58 2,60 2,63 (kg/kapita/tahun) Sumber : Neraca Bahan Makanan, BKP Kementan Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Prediksi Pusdatin (Kg/kapita/thn) 2,75 2,70 2,65 2,60 2,55 2,50 2,45 2, ** 2014** 2015** 2016** Gambar 5.2. Perkembangan ketersediaan bawang merah per kapita, tahun serta prediksi tahun Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 35

39 5.3. Perbandingan Konsumsi (Susenas) dan Ketersediaan Per Kapita (NBM) Komoditas Bawang Merah Konsumsi bawang merah per kapita rumah tangga hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukkan angka yang lebih kecil bila dibandingkan dengan ketersediaan dari Necara Bahan Makanan (NBM). Hal tersebut dikarenakan bawang merah per kapita dalam rumah tangga (Susenas) adalah riil yang dikonsumsi oleh penduduk, sementara ketersediaan bawang merah menurut NBM merupakan angka yang perlu disediakan dengan memperhitungkan jumlah penduduk dan penyediaannya, sehingga penyediaannya lebih besar dari pada riil bawang merah yang dikonsumsi oleh rumah tangga, kecuali tahun 2012 terjadi sebaliknya (Tabel 5.3). Tabel 5.3. Perbandingan konsumsi bawang merah perkapita dalam rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan (NBM), Tahun (kg/kapita/tahun) Variabel * 2015* 2016* Konsumsi Rumah Tangga, Susenas 2,53 2,36 2,76 2,06 2,30 2,30 2,30 Ketersediaan, NBM 2,73 2,54 2,51 2,56 2,58 2,60 2,63 Selisih 0,20 0,18-0,25 0,49 0,28 0,30 0,32 Sumber: Susenas, BPS dan Ketersediaan NBM, BKP-Kementan Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin 5.4. Penyediaan Bawang Merah di Beberapa Negara di Dunia Berdasarkan data dari FAO, selama lima tahun ( ), rata-rata penyediaan bawang merah dunia mencapai 63,27 juta ton. Kumulatif penyediaan bawang merah kesepuluh negara ini mencapai 65,73% dari total penyediaan dunia. Menggunakan data rata-rata selama lima tahun ( ), tercatat bahwa China merupakan negara terbesar penyediaan bawang merah di dunia hingga 17,68 juta ton atau sebesar 27,94% dari total penyediaan bawang merah dunia. Negara terbesar ke dua adalah India mencapai 10,04 juta ton atau sebesar 15,87%. Tiga Negara berikutnya menyumbangkan total penyediaan bawang merah dunia terbesar berturut-turut adalah Amerika Serikat 5,12%, Rusia 3,27 dan Pakistan 2,77%. Sementara lima negara lainnya menyumbang kurang dari 2,55% yaitu Iran, Turki, Jepang, Mesir dan Brazil. Secara rinci persentase kontribusi total penyediaan bawang merah ke sepuluh negara terbesar di dunia dapat dilihat pada Tabel 5.4 dan Gambar Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

40 Tabel 5.4. Negara dengan penyediaan bawang merah terbesar di dunia, No Negara Ketersediaan (Ton) Share Kumulatif Rata-Rata (%) (%) 1 China ,94 27,94 2 India ,87 43,81 3 Amerika Serikat ,12 48,94 4 Rusia ,27 52,21 5 Pakistan ,77 54,97 6 Iran ,52 57,50 7 Turki ,22 59,71 8 Jepang ,16 61,87 9 Mesir ,94 63,82 10 Brazil ,91 65,73 25 Indonesia ,99 66,72 Lainnya ,28 100,00 Dunia Sumber : FAO diolah Pusdatin 33,28 27,94 0,99 1,91 1,94 2,16 2,22 2,52 2,77 3,27 5,12 China India Amerika Serikat Rusia Pakistan Iran Turki Jepang Mesir Brazil Indonesia Lainnya 15,87 Gambar 5.3. Negara dengan penyediaan bawang merah terbesar di dunia, rata-rata Ketersediaan Bawang Merah di Beberapa Negara di Dunia Rata-rata total penyediaan bawang merah di atas belum mencerminkan besarnya konsumsi atau ketersediaan bawang merah per kapita. Hal ini karena besarnya konsumsi atau ketersediaan tergantung pada banyaknya jumlah penduduk dalam negara yang bersangkutan. Lima negara dengan peringkat ketersediaan bawang merah per kapita terbesar pada periode adalah Libya, Tajikistan, Sudan, Maroko dan Iran. Jika dilihat pada Tabel 5.5 untuk kelima negara terbesar rata-rata ketersediaan bawang merah per kapita di atas rata-rata dunia sebesar 8,44 kg/kapita/tahun. Libya menempati posisi teratas dengan rata-rata ketersediaan per kapita sebesar 29,76 kg/kapita/tahun. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 37

41 Kemudian negara terbesar ke dua dan ke tiga adalah Tajikistan 24,48 kg/kapita/tahun dan Sudan 23,08 kg/kapita/tahun. Dua negara dengan ketersediaan perkapita terbesar berikutnya adalah Maroko 23,02 kg/kapita/tahun dan Iran 22,36 kg/kapita/tahun. Sedangkan lima negara berikutnya menyumbangkan kurang dari 22,20% yaitu Algeria, Uzbekistan, Republik Korea, Kyrgyzstan dan Uni Emirat Arab. Sementara negara Indonesia merupakan negara urutan ke 118 dalam hal ketersediaaan bawang merah per kapita dunia yaitu sebesar 3,32 kg/kapita/tahun (Tabel 5.5. dan Gambar 5.4). Tabel 5.5. Ketersediaan bawang merah per kapita per tahun beberapa negara di dunia, No Negara Ketersediaan (Kg/kap/tahun) Rata-Rata 1 Libya 33,30 29,90 28,90 28,30 28,40 29,76 2 Tajikistan 23,60 24,50 17,40 25,60 31,30 24,48 3 Sudan 26,90 24,30 24,40 19,30 20,50 23,08 4 Moroko 22,30 27,20 21,40 20,10 24,10 23,02 5 Iran 21,40 24,00 25,10 22,70 18,60 22,36 6 Algeria 19,80 20,00 23,20 20,90 26,60 22,10 7 Uzbekistan 16,60 19,20 19,90 25,00 27,10 21,56 8 Republik Korea 20,30 17,60 23,50 20,20 26,00 21,52 9 Kyrgyzstan 20,60 20,10 20,20 20,60 23,90 21,08 10 Uni Emirat Arab 22,90 14,30 23,40 26,10 17,80 20, Indonesia 3,00 3,20 3,20 3,40 3,80 3,32 Negara Lainnya 7,29 7,37 7,42 7,65 7,59 7,47 Dunia 8,26 8,29 8,38 8,60 8,64 8,44 (Kg/Kapita/Tahun) 31,00 26,00 21,00 16,00 11,00 6,00 1,00 Gambar 5.4. Ketersediaan bawang merah per kapita per tahun beberapa negara di dunia, rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

42 BAB VI. GULA PASIR G ula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi perdagangan utama. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis dan paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu, bit gula atau aren ( Gula pasir adalah bahan makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Gula pasir mengandung energi sebesar 364 kilokalori, protein 0 gram, karbohidrat 94 gram, lemak 0 gram, kalsium 5 mg, fosfor 1 mg dan zat besi 0 mg. Selain itu di dalam gula pasir juga terkandung vitamin A, vitamin B1 dan vitamin C. Tingkat konsumsi gula pasir di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain sehingga diperkirakan bahwa konsumsi gula pasir akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat. Produksi tebu di Indonesia yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perkebunan 2012 sebesar 2,44 ribu ton. Manfaat gula untuk tubuh manusia antara lain merupakan sumber energi yang instan, dapat meningkatkan kemampuan otak, sebagai obat depresi, dapat menyembuhkan luka dengan cepat dari obat-obatan dan bagi penderita tekanan darah rendah gula baik untuk dikonsumsi Perkembangan serta Prediksi Konsumsi Gula Pasir dalam Rumah Tangga di Indonesia Perkembangan konsumsi gula pasir di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun pada umumnya mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan 3,72% per tahun. Penurunan terbesar untuk gula pasir terjadi di tahun 2011 dimana konsumsi dalam rumah tangga turun sebesar 14,39% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebaliknya peningkatan konsumsi gula pasir rumah tangga terjadi di tahun 2007 dan 2013 dengan peningkatan konsumsi terbesar terjadi pada tahun 2007 yaitu 7,33%. Pada tahun 2013, konsumsi gula pasir sebesar 6,65 kg/kapita/tahun. Prediksi tingkat konsumsi untuk tahun 2014 yaitu sebesar 7,50 kg/kapita/tahun, konsumsi ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013 sementara tahun 2015 dan 2016 memperlihatkan bahwa konsumsi gula pasir perkapita mengalami sedikit penurunan. Konsumsi gula pasir tahun 2015 dan 2016 diprediksi masingmasing sebesar 7,43 kg/kapita/tahun dan 7,36 kg/kapita/tahun. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 39

43 (kg/kapita/thn) Buletin Konsumsi Pangan Tabel 6.1. Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Indonesia tahun serta prediksi tahun Tahun Konsumsi Pertumbuhan (ons/kapita/minggu) (kg/kapita/tahun) (%) ,765 9, ,739 9,068-1, ,712 8,927-1, ,704 8,885-0, ,541 8,035-9, ,654 8,624 7, ,617 8,432-2, ,516 7,905-6, ,475 7,691-2, ,416 7,383-4, ,242 6,476-12, ,275 6,648 2,66 rata-rata 1,555 8,106-2, *) 1,439 7,504 12, *) 1,425 7,432-0, *) 1,412 7,361-0,96 Sumber : SUSENAS, BPS Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 Gambar 6.1. Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Indonesia, Perkembangan dan Prediksi Penyediaan dan Penggunaan Gula Pasir di Indonesia Penyediaan gula pasir di Indonesia berasal dari produksi dalam negeri ditambah impor kemudian dikurangi ekspor dan perubahan stok. Produksinya dalam wujud gula hablur yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perkebunan, sedangkan 40 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

44 data impor dan ekspor bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Produksi gula pasir tahun 2010 yaitu sebesar 2,35 juta ton namun di tahun 2011 produksi menurun sedikit menjadi 2,27 juta ton. Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2012 produksi gula pasir meningkat kembali menjadi 2,59 juta ton. Ini menyebabkan penyediaan gula pasir pada tahun 2012 juga meningkat sehingga lebih besar dibandingkan penyediaan tahun 2011, walaupun pada tahun 2012 perubahan stok gula pasir cukup tinggi yaitu sebesar 311 ribu ton. Pada tahun berikutnya, yakni tahun 2013 produksi gula pasir diprediksikan menurun sedikit namun kembali meningkat hingga tahun 2016, produksi gula pasir diprediksi akan terus mengalami peningkatan diikuti dengan peningkatan penyediaan gula pasir. Produksi gula pasir tahun 2016 mencapai 2,70 juta ton dengan penyediaan sebesar 5,47 juta ton. Besarnya penyediaan gula pasir ini juga disebabkan impor gula pasir yang cukup tinggi. Untuk impor gula pasir tahun 2012 mencapai 2,77 juta ton dengan ekspor hanya sebesar seribu ton. Prediksi impor gula pasir tahun 2013 yaitu 2,22 juta ton ini lebih kecil di tahun Namun pada tahun impor gula pasir diprediksikan meningkat menjadi 2,51 juta ton pada tahun Sementara untuk ekspor gula pasir diprediksikan hanya sebesar seribu ton saja selama tahun Penggunaan gula pasir di Indonesia terutama adalah digunakan sebagai bahan makanan atau langsung dikonsumsi sebagai bahan makanan dengan persentase kurang lebih 98% dari total penyediaan dalam negeri, sementara yang tercecer mempunyai persentase sebesar 0,98% begitu pula penggunaan gula pasir diolah untuk bukan makanan cukup kecil. Dari perhitungan tersebut, maka gula pasir yang tercecer pada tahun 2010 hingga tahun 2012 mengalami peningkatan dari 34 ribu ton pada tahun 2010 hingga 49 ribu ton pada tahun 2012 seiring dengan pola peningkatan produksinya. Pada tahun 2013 gula pasir yang tercecer diprediksikan menurun sedikit yaitu sebesar 48 ribu ton dan akan kembali meningkat pada tahun 2014 hingga 2016 menjadi 54 ribu ton. Gula pasir yang digunakan untuk bahan makanan mencapai 3,43 juta ton pada tahun 2010 dan mengalami peningkatan hingga menjadi 4,95 juta ton pada tahun Prediksi tahun 2013 hingga tahun 2016 memperlihatkan adanya peningkatan dalam penggunaan gula pasir sebagai bahan makanan sebesar 5,37 juta ton. Secara rinci penyediaan dan penggunaan gula pasir tahun dapat dilihat pada Tabel 6.2. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 41

45 kg/kapita/thn Buletin Konsumsi Pangan Tabel 6.2. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan gula pasir, tahun dan prediksi tahun No. Uraian Tahun *) 2013**) 2014**) 2015**) 2016**) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : - makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan (000 ton) C. Ketersediaan (kg/kap/tahun) 14,20 20,51 20,16 19,14 19,60 20,18 20,77 Sumber : Neraca Bahan Makanan (NBM) Keterangan : * ) Angka Sementara **) Angka Prediksi Pusdatin Ketersediaan per kapita adalah jumlah suatu produk atau komoditas yang digunakan sebagai bahan makanan dibagi dengan jumlah penduduk. Pada tahun 2010 ketersediaan gula pasir per kapita sebesar 14,20 kg/kapita/tahun dan meningkat pada tahun 2012 menjadi sebesar 20,16 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2013 ketersediaan gula pasir diprediksikan sedikit menurun namun pada tahun-tahun berikutnya hingga 2016 ketersediaan gula pasir per kapita diprediksikan meningkat menjadi sebesar 20,77 kg/kapita/tahun (Gambar 6.2). 24,00 20,00 20,51 20,16 19,14 19,60 20,18 20,77 16,00 14,20 12,00 8,00 4,00 0,00 Gambar 6.2. Ketersediaan konsumsi gula pasir perkapita pertahun di Indonesia, tahun dan prediksi Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

46 6.3. Perbandingan Konsumsi Perkapita (Susenas) dengan Ketersediaan Perkapita (NBM) Gula Pasir Pada periode , konsumsi per kapita gula pasir berdasarkan hasil susenas, BPS menunjukkan angka yang lebih kecil jika dibandingkan angka ketersediaan (NBM), ini berarti ketersediaan gula pasir dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat di Indonesia. Angka konsumsi gula pasir berdasarkan hasil Susenas dari tahun 2010 hingga 2016 cenderung menurun, yakni dari 7,69 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 7,36 kg/kapita pada tahun Sementara angka ketersediaan per kapita gula pasir pada tahun berfluktuasi namun cenderung meningkat dari 14,20 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 20,77 kg/kapita. Selisih atau beda dari ketersediaan gula pasir dari tahun 2010 hingga 2016 terlihat cukup tinggi, perbedaan tersebut diduga terserap pada sektor industri makanan atau minuman, mengingat komponen gula impor adalah dalam wujud gula rafinasi yang diperuntukan untuk sektor industri. Perbandingan konsumsi per kapita rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan (NBM) komoditas gula pasir dapat di lihat pada Tabel 6.3. Tabel 6.3. Perbandingan konsumsi perkapita rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan per kapita (NBM) gula pasir, Variabel Tahun (kg/kapita/tahun) * 2014* 2015* 2016* Konsumsi Rumah Tangga, Susenas 7,69 7,38 6,48 6,65 7,50 7,43 7,36 Ketersediaan, NBM 14,20 20,51 20,16 19,14 19,60 20,18 20,77 Selisih 6,51 13,13 13,69 12,49 12,10 12,75 13,41 Sumber : Susenas (BPS) dan NBM (BKP) Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin 6.4. Penyediaan Gula Pasir di beberapa negara di Dunia Rata-rata penyediaan gula dunia berdasarkan sumber USDA, periode tahun sebesar 159,67 juta ton. Pada periode ini total penyediaan gula dunia terlihat meningkat dari tahun ke tahun. Kumulatif penyediaan gula ke-10 negara terbesar mencapai 62,84% dari total penyediaan dunia. India merupakan negara terbesar dalam penyediaan gula pada periode tersebut. Lima negara dengan total penyediaan terbesar di dunia secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6.4. Lima negara tersebut adalah India, Uni Eropa, Cina, Brazil dan Amerika. Rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 43

47 total penyediaan gula di India pada periode tahun mencapai 24,09 juta ton per tahun atau 15,08% dari total penyedian gula dunia. Dua negara berikutnya adalah Uni Eropa dan Cina masing-masing sebesar 18,08 juta ton dan 14,72 juta ton dengan kontribusi terhadap total penyediaan dunia masing-masing sebesar 11,32% dan 9,22%. Negara terbesar keempat dan kelima adalah Brazil dan Amerika dengan kontribusi masing-masing sebesar 7,24% dan 6,40%. Negara lainnya memiliki kontribusi terhadap total penyediaan dunia dibawah 4% saja. Sementara Indonesia menempati urutan ke-7 dengan rata-rata total penyediaan gula sebagai bahan makanan sebesar 4,56 juta ton per tahun atau 2,85% dari total penyediaan gula dunia. Persentase kontribusi total penyediaan gula tebu di 10 negara terbesar di dunia dapat dilihat pada Gambar 6.4. Tabel 6.4. Negara dengan penyediaan gula pasir terbesar di dunia, No Negara Ketersediaan (000 Ton) India ,08 15,08 2 Uni Eropa ,32 26,41 3 Cina ,22 35,63 4 Brazil ,24 42,86 5 Amerika ,40 49,26 6 Rusia ,49 52,75 7 Indonesia ,85 55,60 8 Meksiko ,80 58,40 9 Pakistan ,69 61,09 10 Mesir ,75 62,84 Negara lain ,16 100,00 Total Dunia Sumber : diolah pusdatin Rata2 Share (%) Kumulatif (%) 44 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

48 15,08% 37,16% 11,32% 1,75% 9,22% 2,69% 7,24% 2,80% 2,85% 3,49% 6,40% India Uni Eropa Cina Brazil Amerika Rusia Indonesia Meksiko Pakistan Mesir Lainnya Gambar 6.4. Negara dengan penyediaan gula terbesar di dunia, share terhadap rata-rata Ketersediaan Gula per Kapita per Tahun di Dunia Menurut data FAO, pada periode tahun lima negara dengan peringkat ketersediaan per kapita terbesar dunia untuk komoditas gula adalah Kuba, Mesir, Pakistan, Nepal dan Laos. Rata-rata ketersediaan per kapita dunia sebesar 4,30 kg/kapita/tahun sedangkan kelima negara terbesar tersebut jauh lebih tinggi di atas rata-rata dunia. Perkembangan ketersediaan gula tebu per kapita di dunia tahun dapat dilihat pada Tabel 6.5 di bawah ini. Selama periode terlihat negara Kuba merupakan negara dengan rata-rata ketersediaan gula per kapita terbesar di dunia yakni 43,76 kg/kapita/ tahun. Negara berikutnya adalah Mesir, Pakistan, Nepal dan Laos dengan rata-rata ketersediaan perkapita masing-masing sebesar 41,74 kg/kapita/tahun, 38,54 kg/kapita/tahun, 33,34 kg/kapita/tahun dan 29,66 kg/kapita/tahun. Jika dilihat untuk negara Asia, yaitu India, Thailand dan Malaysia, masingmasing menempati urutan ke-15, 18 dan 24. India dengan rata-rata ketersediaan perkapita 7,92 kg/kapita/tahun dan Thailand 5,40 kg/kapita/tahun, sementara Malaysia memiliki rata-rata kurang dari 4 kg/kapita/tahun. Ketersedian gula di Indonesia pada periode terlihat diatas rata-rata dunia yaitu sebesar 16,98 kg/kapita/tahun. Perkembangan ketersediaan gula per kapita negara-negara di dunia tahun tersaji secara lengkap pada Gambar 6.4. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 45

49 (kg/kapita/thn) Buletin Konsumsi Pangan Tabel 6.5. Ketersediaan gula per kapita per tahun di beberapa negara di dunia, Sumber : diolah pusdatin Keterangan : *) Data NBM, BKP 50,00 43,76 41,74 40,00 38,54 33,34 29,66 30,00 20,00 16,98 10,00 7,92 5,40 3,08 4,30 0,00 Gambar 6.4. Perkembangan ketersediaan gula per kapita beberapa negara di dunia, rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

50 BAB VII. DAGING AYAM D aging Ayam adalah bahan makanan hewani unggasunggasan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Daging Ayam mengandung energi sebesar 302 kilokalori, protein 18,2 gram, karbohidrat 0 gram, lemak 25 gram, kalsium 14 miligram, fosfor 200 miligram, dan zat besi 2 miligram. Selain itu di dalam Daging Ayam juga terkandung vitamin A sebanyak 810 IU, vitamin B1 0,08 miligram dan vitamin C 0 miligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram Daging Ayam, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 58 %. Setiap 100 gram daging ayam mengandung 74 persen air, 22 persen protein, 13 miligram zat kalzium, 190 miligram zat fosfor dan 1,5 miligram zat besi. Daging ayam mengandung vitamin A yang kaya, lebih-lebih ayam kecil. Selain itu, daging ayam juga mengandung vitamin C dan E. Daging ayam selain rendah kadar lemaknya, lemaknya juga termasuk asam lemak tidak jenuh, ini merupakan makanan protein yang paling ideal bagi anak kecil, orang setengah baya dan orang lanjut usia, penderita penyakit pembuluh darah jantung dan orang yang lemah pasca sakit. Daging ayam lebih unggul daripada daging sapi, kambing dan babi. Mengapa daging ayam lebih digemari masyarakat daripada daging-dagingan lainnya, karena daging ayam gampang dimasak. Ditambah masa pertumbuhan dan peternakannya agak pendek. Produksi total daging ayam di Indonesia yang bersumber dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2013 (angka sementara) sebesar 1,76 juta ton, dengan produksi sebesar 1,5 juta ton daging ayam ras dan 287 ribu ton daging ayam bukan ras/kampung Perkembangan dan Prediksi Konsumsi Daging Ayam dalam Rumah Tangga di Indonesia Konsumsi perkapita daging ayam menurut SUSENAS, dirinci menjadi daging ayam ras pedaging dan ayam bukan ras. Perkembangan konsumsi daging ayam ras di tingkat rumah tangga di Indonesia selama tahun pada umumnya mengalami fluktuasi namun cenderung meningkat dengan peningkatan 4,31% per tahun, sedangkan untuk konsumsi daging ayam buras pada periode tersebut mengalami penurunan rata-rata 2,34% per tahun. Peningkatan terbesar untuk daging ayam ras dan buras terjadi di tahun 2007 dimana konsumsi dalam rumah tangga naik masing-masing sebesar 37,5% dan 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 47

51 Penurunan konsumsi daging ayam ras rumah tangga terjadi di tahun 2004, 2006, 2008, 2009 dan 2012 dengan penurunan konsumsi terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu 17,24%. Prediksi yang dilakukan untuk tahun 2014, 2015 dan 2016 memperlihatkan bahwa konsumsi daging ayam ras perkapita mengalami peningkatan, untuk tahun 2014 naik cukup tinggi yaitu 10,58% dibandingkan tahun Konsumsi daging ayam ras tahun 2015 dan 2016 diprediksi naik masingmasing menjadi 4,185 kg/kapita/tahun (3,67%) dan 4,333 kg/kapita/tahun (3,54%). Rata-rata konsumsi daging ayam buras periode sebesar 0,647 kg/kap/tahun. Penurunan konsumsi daging ayam buras rumah tangga terjadi di tahun 2005, 2006, 2008, 2009 dan 2012 dengan penurunan konsumsi terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu 33,33%. Prediksi yang dilakukan untuk tahun 2014, 2015 dan 2016 memperlihatkan bahwa konsumsi daging ayam buras perkapita mengalami peningkatan, untuk tahun 2014 naik menjadi 0,528 kg/kapita/tahun (12,60%) dibandingkan tahun 2013 dan kembali diperkirakan meningkat sedikit pada tahun 2015 menjadi 0,533 kg/kapita/tahun (0,81%). Sementara prediksi tahun 2016 meningkat menjadi 0,542 kg/kapita/tahun (1,68%). Tabel 7.1. Perkembangan konsumsi daging ayam dalam rumah tangga di Indonesia, serta prediksi Konsumsi seminggu Konsumsi setahun(kg/kapita/tahun) (kg/kapita/minggu) Tahun Daging Ayam Ras Daging Ayam Buras / kampung Daging Ayam Ras Pertumb. (%) Daging Ayam Buras / kampung Pertumb. (%) ,049 0,014 2,555 0, ,059 0,016 3,076 20,41 0,834 14, ,053 0,017 2,764-10,17 0,886 6, ,058 0,015 3,024 9,43 0,782-11, ,048 0,010 2,503-17,24 0,521-33, ,066 0,013 3,441 37,50 0,678 30, ,062 0,011 3,233-6,06 0,574-15, ,059 0,010 3,076-4,84 0,521-9, ,068 0,012 3,546 15,25 0,626 20, ,070 0,012 3,650 2,94 0,626 0, ,067 0,010 3,494-4,29 0,521-16, ,070 0,009 3,650 4,48 0,469-10,00 rata-rata 0,061 0,012 3,168 4,31 0,647-2, *) 0,076 0,009 4,036 10,58 0,528 12, *) 0,079 0,009 4,185 3,67 0,533 0, *) 0,082 0,009 4,333 3,54 0,542 1,68 Sumber : Susenas, BPS Keterangan: *) Angka Prediksi Pusdatin 48 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

52 kg/kapita/tahun Buletin Konsumsi Pangan 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Daging Ayam Ras Daging Ayam Buras / kampung Gambar 7.1. Perkembangan konsumsi daging ayam dalam rumah tangga di Indonesia, dan prediksi tahun Apabila dilihat dari besaran pengeluaran untuk konsumsi daging ayam bagi penduduk Indonesia selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang positif baik untuk daging ayam ras maupun daging ayam buras. Peningkatan pertumbuhan rata-rata pengeluaran nominal penduduk Indonesia untuk konsumsi daging ayam ras pada periode sebesar 17,36 %, yakni dari Rp. 45,68 ribu/kapita pada tahun 2008 menjadi Rp. 99,54 ribu pada tahun Sementara untuk pengeluaran nominal penduduk Indonesia untuk konsumsi daging ayam buras pada periode yang sama meningkat 8,84%, yakni dari Rp.10,74 ribu/kapita pada tahun 2008 menjadi Rp. 15,69 ribu/kapita pada tahun Namun setelah dikoreksi oleh faktor inflasi, pengeluaran riil untuk konsumsi daging ayam ras meningkat sebesar 10,20%, sementara pengeluaran per kapita daging ayam buras hanya meningkat 1,36%. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia lebih banyak mengkonsumsi daging ayam ras dibandingkan dengan daging ayam buras. Hai ini disebabkan oleh faktor harga daging ayam ras jauh lebih murah dibandingkan dengan daging ayam buras. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 49

53 Tabel 7.2. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi daging ayam ras dan buras dengan harga nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia, (Rp/kapita) Pengeluaran Nominal (Ayam Ras) Pengeluaran Riil (Ayam Ras) Pengeluaran Nominal (Ayam Buras) Pengeluaran Riil (Ayam Buras) Gambar 7.2. Perkembangan pengeluaran untuk konsumsi daging ayam ras dan buras dengan harga nominal dan riil dalam rumah tangga di Indonesia, Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan Daging Ayam Ras di Indonesia Penyediaan daging ayam ras siap konsumsi merupakan perkalian dari produksi daging ayam ras dalam wujud karkas dengan besarnya konversi daging ayam murni sebesar 58% kemudian ditambah impor. Pada periode tersebut, rata-rata lebih dari 99% total penyediaan daging ayam ras berasal dari produksi dan sisanya merupakan impor. Produksi daging ayam ras tahun 2010 dalam bentuk karkas sebesar ribu ton dan di konversi menjadi daging ayam ras sebesar 671 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2012 menjadi 773 ribu ton. Peningkatan produksi daging ayam ras ini menyebabkan penyediaan 50 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

54 daging ayam ras juga meningkat. Pada tahun-tahun berikutnya, yakni tahun 2013 sampai dengan 2016, penyediaan daging ayam ras diprediksi akan terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut diprediksi pada tahun 2013 sebesar 789 ribu ton dan pada tahun 2016 menjadi 890 ribu ton. Untuk impor daging ayam ras dari tahun relatif kecil di bawah 1 ribu ton. Sementara untuk ekspor daging ayam ras tidak ada. Penggunaan daging ayam ras di Indonesia terutama adalah digunakan sebagai bahan makanan dengan persentase 95% dari total penyediaan dalam negeri, sementara sisanya adalah merupakan jumlah yang tercecer, tidak ada penggunaan untuk komponen lain, seperti untuk pakan, maupun sebagai bahan baku untuk diolah lebih lanjut menjadi produk lain baik produk makanan maupun non makanan. Jumlah penggunaan daging ayam ras yang tercecer sebesar 5% dari total penyediaan dalam negeri. Dari perhitungan tersebut, maka daging ayam ras yang tercecer pada tahun 2010 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan dari 34 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 39 ribu ton pada tahun 2012, seiring dengan pola peningkatan produksinya. Pada tahun 2013 daging ayam ras yang tercecer diprediksikan masih sebesar 39 ribu ton, namun pada tahun mengalami peningkatan masingmasing adalah 41 ribu ton, 43 ribu ton dan 45 ribu ton. Daging ayam ras yang digunakan untuk bahan makanan mencapai 637 ribu ton pada tahun 2010 dan terus mengalami peningkatan hingga menjadi 734 ribu ton pada tahun Prediksi tahun 2013 hingga tahun 2016 memperlihatkan adanya peningkatan dalam penggunaan daging ayam ras sebagai bahan makanan. Peningkatan tersebut diprediksi pada tahun 2013 sebesar 750 ribu ton dan pada tahun 2016 menjadi 846 ribu ton. Secara rinci penyediaan dan penggunaan daging ayam ras tahun dapat dilihat pada Tabel 7.3. Ketersediaan per kapita adalah jumlah suatu produk atau komoditas yang digunakan sebagai bahan makanan dibagi dengan jumlah penduduk. Perkembangan ketersediaan daging ayam ras per kapita pada tahun 2010 hingga 2012 mengalami rata-rata peningkatan sebesar 6,13 % per tahun. Pada tahun 2010 ketersediaan daging ayam ras per kapita sebesar 2,64 kg/kapita/tahun dan terus meningkat hingga tahun 2012 menjadi sebesar 3,00 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2013 ketersediaan daging ayam ras per kapita diprediksikan akan meningkat menjadi sebesar 3,02 kg/kapita/tahun, sementara tahun 2016 diprediksi akan meningkat menjadi 3,26 kg/kapita/tahun (Gambar 7.2). Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 51

55 Tabel 7.3. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan daging ayam ras tahun serta prediksi tahun No. Uraian Tahun *) 2014*) 2015*) 2016*) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran *) Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : - makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan per kapita 1. Ketersediaan perkapita 2,64 3,01 3,00 3,02 3,11 3,19 3,26 Sumber : NBM, Kementerian Pertanian diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka Prediksi Pusdatin Gambar 7.2. Perkembangan ketersediaan daging ayam ras per kapita per tahun di Indonesia, tahun Perkembangan serta Prediksi Penyediaan, Penggunaan dan Ketersediaan Daging Ayam Buras/Kampung di Indonesia Penyediaan ayam buras/kampung keseluruhannya berasal dari produksi dalam wujud karkas tahun 2010 dan 2012 sebesar 243 ribu ton dan dengan konversi ke daging murni 58% menjadi 141 ribu ton. Prediksi tahun 2013 hingga 2016, penyediaan daging ayam buras akan mengalami peningkatan yang kecil / relatif konstan yaitu pada angka 149 ribu ton. 52 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

56 Komponen penggunaan daging ayam buras di Indonesia terutama adalah digunakan untuk bahan makanan dan terdapat komponen tercecer. Menurut metode perhitungan NBM, jumlah penggunaan daging ayam buras yang tercecer sebesar 5% dari total penyediaan dalam negeri. Pada periode tahun , daging ayam buras yang tercecer ratarata 7 ribu ton. Kemudian diprediksikan pada tahun daging ayam buras yang tercecer akan mengalami peningkatan sebesar 1 ribu ton menjadi 8 ribu ton. Daging ayam buras digunakan untuk bahan makanan yang mencapai proporsi 95% dari total penggunaan daging ayam buras nasional. Pada tahun berkisar antara 133 ribu ton ribu ton. Hasil prediksi tahun 2013 hingga tahun 2016 adanya peningkatan yang konstan yaitu 141 ribu ton. Tabel 7.3. Penyediaan, penggunaan dan ketersediaan daging ayam buras/kampung tahun serta prediksi tahun No. Uraian Tahun *) 2014*) 2015*) 2016*) A. Penyediaan (000 ton) Produksi - Masukan Keluaran *) Impor Ekspor Perubahan Stok B. Penggunaan (000 ton) Pakan Bibit Diolah untuk : - makanan bukan makanan Tercecer Bahan Makanan C. Ketersediaan 0,56 0,54 0,54 0,57 0,56 0,55 0,55 (kg/kapita/tahun) Sumber : Neraca Bahan Makanan, Kementan Keterangan : *) Angka Prediksi Pusdatin Perkembangan ketersediaan daging ayam buras per kapita pada tahun 2010 hingga 2012 mengalami pola yang konstan yaitu pada angka 0,54-0,56 kg/kapita/ tahun. Pada tahun 2013 ketersediaan daging ayam buras per kapita diprediksikan meningkat dengan kecenderungan menurun tiap tahunnya. Prediksi ketersediaan ayam buras tahun masing-masing adalah sebesar 0,57 kg/kapita/tahun dan 0,56 kg/kapita/ tahun, namun pada tahun diprediksikan menurun menjadi 0,55 kg/kapita/tahun (Gambar 7.3). Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 53

57 (kg/kapita/thn) Buletin Konsumsi Pangan 0,60 0,56 0,54 0,55 0,57 0,56 0,55 0,55 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 Gambar 7.3. Perkembangan ketersediaan daging ayam buras/kampung per kapita pertahun di Indonesia, tahun Perbandingan Konsumsi dan Ketersediaan Per Kapita Komoditas Daging Ayam Pada periode , konsumsi per kapita daging ayam ras berdasarkan hasil Susenas, BPS menunjukkan angka yang lebih besar jika dibandingkan angka ketersediaan (NBM). Begitu pula prediksi tahun 2013 dan 2016 data konsumsi lebih tinggi dari ketersediaannya. Hal ini mengingat Susenas adalah berdasarkan wawancara dengan rumah tangga dimana diduga dalam wujud karkas, sementara NBM dalam wujud daging murni dengan konversi dari daging karkas ke daging murni yaitu ayam ras dan buras masingmasing sebesar 58,00%. Angka antara riil konsumsi daging ayam ras (Susenas) dengan penyediaan konsumsi (NBM) dapat dilihat untuk periode , yang berkisar antara 1,01 kg/kapita/tahun hingga 1,68 kg/kapita/tahun. Demikian pula selisih antara ketersediaan konsumsi per kapita daging ayam buras/kampung periode tahun , yang berkisar antara 0,31 kg/kapita/tahun hingga 0,51 kg/kapita/tahun. Perbandingan konsumsi per kapita rumah tangga (Susenas) dengan ketersediaan (NBM) baik komoditas daging ayam ras atau daging ayam buras dapat di lihat pada Tabel Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

58 Tabel 7.4. Perbandingan konsumsi daging ayam ras dan daging ayam buras per kapita rumah tangga (SUSENAS) dengan ketersediaan (NBM), Sumber: Susenas, BPS dan NBM Kementan diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka Prediksi Pusdatin 7.5. Penyediaan Daging Unggas di beberapa negara di Dunia Menurut data USDA, rata-rata total penyediaan konsumsi daging unggas dunia periode tahun mencapai 78,94 juta ton. Pada periode ini total penyediaan daging unggas dunia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Amerika merupakan negara terbesar dalam penyediaan daging unggas pada periode tersebut. Lima negara dengan total penyediaan daging unggas terbesar di dunia secara rinci dapat dilihat pada tabel 7.5. Lima negara tersebut adalah Amerika Serikat, Cina, Uni Eropa, Brazil dan Meksiko. Ratarata total penyediaan daging unggas di Amerika pada periode tahun mencapai 13,42 juta ton per tahun atau 17,00% dari total penyedian daging unggas dunia. Cina menempati urutan ke-2 dengan rata-rata total penyediaan sebesar 12,91 juta ton dengan kontribusi terhadap total penyediaan dunia sebesar 16,36%. Dua negara lainnya memiliki kontribusi terhadap total penyediaan dunia sekitar 11% yaitu Uni Eropa dan Brazil, sementara urutan ke lima adalah Meksiko yang memiliki ratarata total penyediaan sebesar 3,47 juta ton dengan kontribusi sebesar 4,39% terhadap total penyediaan daging unggas dunia. Pada periode yang sama, penyediaan daging unggas di Indonesia hanya 1,50 juta ton menempati urutan ke-23 dengan kontribusi terhadap total penyediaan dunia sebesar 1,90%. Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, maka Malaysia merupakan negara yang memiliki total penyediaan tertinggi, sementara Singapura merupakan negara dengan ratarata total penyediaan daging unggas terendah yaitu hanya 0,17 juta ton, dengan kontribusi terhadap total penyediaan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 55

59 daging unggas dunia sebesar 0,22%. Kontribusi total penyediaan daging unggas ke-5 negara terbesar di dunia dan negaranegara di ASEAN dapat dilihat pada Tabel 7.5 dan Gambar 7.4. Tabel 7.5. Negara dengan penyediaan daging unggas terbesar di dunia, No. Negara Tahun (000 Ton ) Rata-rata Share Kumulatif % % 1 Amerika 12,946 13,472 13,665 13,345 13,656 13, Cina 12,210 12,457 13,015 13,543 13,345 12, Uni Eropa 8,717 8,955 9,010 9,185 9,325 9, Brazil 7,802 9,041 9,422 9,139 9,191 8, Mexico 3,264 3,364 3,473 3,569 3,672 3, : : : : : : : : : 12 Malaysia 1,040 1,326 1,346 1,374 1,383 1, Thailand , Philippina Indonesia 1,412 1,465 1,515 1,540 1,550 1, Singapore Negara Lain 23,576 25,272 26,674 27,914 28,760 26, Total Dunia 72,760 77,226 80,053 81,655 83,017 78, Sumber : diolah pusdatin 34,47% 17,00% 16,36% 0,22% 0,92% 1,13% 1,13% 1,64% 4,39% 11,30% 11,45% Amerika Cina Uni Eropa Brazil Meksiko Malaysia Thailand Philippina Indonesia Singapura Negara Lainnya Gambar 7.4. Negara dengan penyediaan daging unggas terbesar di dunia, share terhadap rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

60 7.6. Ketersediaan Daging Unggas Per Kapita per Tahun di Dunia Menurut data FAO, pada periode tahun lima negara dengan peringkat ketersediaan per kapita terbesar dunia untuk komoditas daging unggas adalah Kuwait, Israel, Saint Vincent and the Grenadines, Netherlands Antilles dan Saint Lucia. Rata-rata ketersediaan per kapita dunia sebesar 17,76 kg/kapita/tahun sedangkan kelima negara terbesar tersebut jauh lebih tinggi di atas rata-rata dunia. Perkembangan ketersediaan daging unggas per kapita di dunia tahun dapat dilihat pada Tabel 7.6 di bawah ini. Selama periode terlihat negara Kuwait merupakan negara dengan rata-rata ketersediaan daging unggas per kapita terbesar di dunia yakni 82,14 kg/kapita/tahun. Negara selanjutnya adalah Israel, Saint Vincent and the Grenadines, Belanda dan Saint Lucia dengan rata-rata ketersediaan perkapita masing-masing sebesar 69,32 kg/kapita/ tahun, 61,94 kg/kapita/tahun, 59,88 kg/kapita/tahun dan 58,10 kg/kapita/ tahun. Jika dilihat untuk negara Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Thailand dan Philippina, masing-masing menempati urutan ke-21, 101 dan 113. Malaysia dengan rata-rata ketersediaan perkapita 36,42 kg/kapita/tahun, Thailand memiliki rata-rata ketersediaan perkapita sebesar 11,88 kg/kapita/tahun, sementara philippina memiliki rata-rata sebesar 9,10 kg/kapita/tahun. Indonesia menempati urutan ke-139 dunia dengan rata-rata jauh di bawah rata-rata dunia yaitu hanya 3,67 kg/kapita/tahun. Rendahnya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan protein asal hewani, tentu saja tidak semata-mata hanya berkaitan dengan penyediaan makanan, tetapi juga berkorelasi dengan kesadaran masyarakat akan gizi, himpitan ekonomi yang terasa semakin sulit, serta tingkat pendidikan penduduk yang masih relatif rendah. Menurut Djaya, rata-rata konsumsi daging ayam tertinggi di ASEAN adalah Brunei Darusalam yang mencapai 42,70 Kg/kapita/tahun (Djaya dan Prambudy dalam Soekardono,2009). Data ini sekaligus menunjukkan bahwa konsumsi protein asal hewani di Indonesia relatif rendah bila dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Rendahnya konsumsi protein hewani oleh masyarakat Indonesia merupakan faktor pendorong (motivasi), perlu pengembangan peternakan atau agribisnis peternakan. Komitmen Pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, termasuk menanggulangi rawanan pangan dan kekurangan gizi tersebut tertuang dalam program utama Kementerian Pertanian yaitu program peningkatan ketahanan pangan. Untuk sub sektor peternakan tertuang dalam program terobosan yaitu Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 57

61 program kecukupan pangan hewani. Peningkatan ketahanan pangan nasional pada hakekatnya mempunyai arti strategis bagi pembangunan nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga terjangkau dan bergizi bagi manusia. Perkembangan ketersediaan daging unggas per kapita negara-negara di dunia tahun tersaji secara lengkap pada Gambar 7.5. Tabel 7.6. Ketersediaan daging unggas per kapita per tahun di beberapa negara di dunia, Tahun No. Negara Rata-rata Kuwait 85,8 63,5 73, ,5 82,14 2 Israel 72,7 70,6 67,9 68,7 66,7 69,32 3 Saint Vincent dan the Grenadines 58,1 61,8 63,9 63,7 62,2 61,94 4 Antillen Belanda 63,7 58,6 54,9 62,5 59,7 59,88 5 Saint Lucia 59 57,2 55,4 56,5 62,4 58,1 : : : : : : : : 21 Malaysia 34,8 36,4 36,7 35,9 38,3 36, Thailand 11,9 12,2 12,1 11,6 11,6 11, Philippina 8,2 8,3 9,2 9,8 10,0 9,1 139 Indonesia 3,81 3,02 4,12 3,81 3,60 3,67 Rata-rata Dunia 17,26 16,86 17,75 18,43 18,62 17,76 Sumber : diolah pusdatin (Kg/Kap/Thn) ,14 69,32 61,94 59,88 58, , ,88 9,1 3,67 17,76 0 Gambar 7.5. Perkembangan ketersediaan daging unggas per kapita beberapa negara di dunia, rata-rata Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. (United States Departement of Agriculture).

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. (United States Departement of Agriculture). KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2014 menerbitkan Buletin Konsumsi Pangan yang terbit setiap triwulan.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. (United States Departement of Agriculture).

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. (United States Departement of Agriculture). KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2014 menerbitkan Buletin Konsumsi Pangan yang terbit setiap triwulan.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 menerbitkan Buletin Konsumsi Pangan yang terbit setiap triwulan.

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

Statistik Konsumsi Pangan 2012 KATA PENGANTAR

Statistik Konsumsi Pangan 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan ketersediaan dan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian menerbitkan Buku Statistik Konsumsi Pangan 2012. Buku ini berisi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. Organization).

KATA PENGANTAR. Buletin Konsumsi Pangan. Organization). KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 menerbitkan Buletin Konsumsi Pangan yang terbit setiap triwulan.

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 2 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 3 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL, KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN Pengantar Survei Konsumsi Pangan Tujuan Survei Konsumsi Pangan Metode berdasarkan Jenis Data yang diperoleh Metode berdasarkan Sasaran Pengamatan Neraca Bahan Makanan Pola

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume VII Nomor 1 Tahun 2015 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL - KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

OUTLOOK KOMODITI TOMAT

OUTLOOK KOMODITI TOMAT ISSN 1907-1507 OUTLOOK KOMODITI TOMAT 2014 OUTLOOK KOMODITI TOMAT Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2014 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume VI Nomor 2 Tahun 2014 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL - KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume VI Nomor 4 Tahun 2014 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL - KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume VI Nomor 3 Tahun 2014 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL - KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 4 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS ISSN 1907-1507 OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2015 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2015 OUTLOOK KAPAS

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

OUTLOOK KOMODITI PISANG

OUTLOOK KOMODITI PISANG ISSN 1907-1507 OUTLOOK KOMODITI PISANG 2014 OUTLOOK KOMODITI PISANG Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2014 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilakan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Secara sempit

Lebih terperinci

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Ubi Kayu

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Ubi Kayu Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Ubi Kayu PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN UBI KAYU ISSN : 1907 1507 Ukuran Buku

Lebih terperinci

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN PROSPEK TANAMAN PANGAN Krisis Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

ISSN OUTLOOK LADA 2015 OUTLOOK LADA

ISSN OUTLOOK LADA 2015 OUTLOOK LADA ISSN 1907-1507 OUTLOOK LADA 2015 OUTLOOK LADA Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2015 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2015 OUTLOOK LADA ii

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume VI Nomor 1 Tahun 2014 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL - KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Semakin kompleksnya kebutuhan suatu negara, hampir tidak satupun negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Semakin kompleksnya kebutuhan suatu negara, hampir tidak satupun negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin kompleksnya kebutuhan suatu negara, hampir tidak satupun negara mampu memenuhi sendiri kebutuhannya. Sehingga hal yang lazim disaksikan adalah adanya kerjasama

Lebih terperinci

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2015 OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU ISSN:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

memenuhi kebutuhan warga negaranya. Kemampuan produksi pangan dalam negeri dari tahun ke tahun semakin terbatas. Agar kecukupan pangan nasional bisa

memenuhi kebutuhan warga negaranya. Kemampuan produksi pangan dalam negeri dari tahun ke tahun semakin terbatas. Agar kecukupan pangan nasional bisa BAB I PENDAHULUAN Kebutuhan pangan secara nasional setiap tahun terus bertambah sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk, sementara lahan untuk budi daya tanaman biji-bijian seperti padi dan jagung luasannya

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan dengan penentuan lokasi secara purposive. Penelitian ini berlansung selama 2 bulan, dimulai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi. Apabila pemenuhan pangan tersebut mengalami hambatan maka kegiatan sehari-hari akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih 220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Kontribusi Tanaman Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian pada Tahun (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Kontribusi Tanaman Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian pada Tahun (Miliar Rupiah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak bagi sistem perekonomian nasional. Sektor pertanian mengalami pertumbuhan positif dan memberikan kontribusi nyata terhadap

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 28/07/31/Th.XIII, 1 Juli 2011 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011 RINGKASAN Garis Kemisknan (GK) tahun 2011 sebesar Rp 355.480 per kapita per bulan, lebih tinggi dibanding

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Pertanian merupakan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN MASYARAKAT UNTUK MENJAGA KETAHANAN PANGAN NASIONAL

PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN MASYARAKAT UNTUK MENJAGA KETAHANAN PANGAN NASIONAL PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN MASYARAKAT UNTUK MENJAGA KETAHANAN PANGAN NASIONAL Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 Kedaulatan Pangan Kemandirian Pangan Ketahanan Pangan Masyarakat dan perseorangan

Lebih terperinci

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) P R O S I D I N G 58 Fahriyah 1*, Rosihan Asmara 1 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya *E-mail ria_bgl@yahoo.com

Lebih terperinci

Tinjauan Spasial Produksi dan Konsumsi Beras

Tinjauan Spasial Produksi dan Konsumsi Beras ARTIKEL Tinjauan Spasial Produksi dan Konsumsi oleh Rumah Tangga Tahun 2007 Oleh: Slamet Sutomo RINGKASAN Ditinjau dari sisi produksi dan konsumsi secara total, produksi beras di Indonesia pada tahun 2007

Lebih terperinci

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK DI BEBERAPA PROPINSI DI INDONESIA

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK DI BEBERAPA PROPINSI DI INDONESIA POLA KONSUMSI PANGAN POKOK DI BEBERAPA PROPINSI DI INDONESIA Oleh: Mewa Arifin dan Handewi P. Saliemo ABSTRAK Dengan menggunakan data Susenas disertai beberapa penyesuaian untuk menghitung konsumsi energi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

ISSN OUTLOOK NENAS 2015 OUTLOOK NENAS

ISSN OUTLOOK NENAS 2015 OUTLOOK NENAS ISSN 1907-1507 OUTLOOK NENAS 2015 OUTLOOK NENAS Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2015 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2015 OUTLOOK NENAS

Lebih terperinci

ISSN OUTLOOK NENAS 2016 OUTLOOK NENAS

ISSN OUTLOOK NENAS 2016 OUTLOOK NENAS ISSN 197-157 216 Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 216 i 216 ii 216 ISSN : 197-157 Ukuran Buku : 1,12 inci x 7,17 inci (B5) Jumlah Halaman : 85 halaman Penasehat : Dr. Ir. Suwandi, MSi. Penyunting

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017 No. 46/07/51/Th. X, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017 Terjadi kenaikan persentase penduduk miskin di Bali pada 2017 jika dibandingkan dengan September 2016. Tingkat kemiskinan pada 2017

Lebih terperinci

METODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder)

METODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder) 31 METODE Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah restrospektif. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan (Lampiran 1). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

Katalog : 3201023 Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2014 BADAN PUSAT STATISTIK Katalog : 3201023 Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2014 POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PENDUDUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki arti dan kedudukan penting dalam pembangunan nasional. Sektor ini berperan sebagai sumber

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. JUNI 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan. Indikator

Lebih terperinci

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Ubi Kayu

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Ubi Kayu Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Ubi Kayu PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2016 OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN UBI KAYU ISSN : 1907 1507 Ukuran Buku

Lebih terperinci

ISS N OUTLOOK TEH Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2015

ISS N OUTLOOK TEH Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2015 OUTLOOK TEH ISSN 1907-1507 2015 OUTLOOK TEH Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2015 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2015 OUTLOOK TEH ii Pusat

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015 No. 44/09/36/Th. IX, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 702,40 RIBU ORANG Pada bulan 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI

Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI Pangan merupakan kebutuhan pokok (basic need) yang paling azasi menyangkut kelangsungan kehidupan setiap

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014 No. 07/07/62/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

NERACA BAHAN MAKANAN BAB I PENDAHULUAN

NERACA BAHAN MAKANAN BAB I PENDAHULUAN NERACA BAHAN MAKANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Neraca Bahan Makanan (NBM) merupakan salah satu alat informasi untuk memahami situasi penyediaan pangan di suatu daerah. Gambaran situasi pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber

BAB I PENDAHULUAN. beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung adalah salah satu komoditas yang penting di Indonesia setelah beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber pangan penduduk yang tersebar

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN STRATEGIS DI KOTA MEDAN

ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN STRATEGIS DI KOTA MEDAN ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN STRATEGIS DI KOTA MEDAN Diah Winiarti Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sematera Utara Abstract This study aimed to analysis

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. SEPTEMBER 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan Buletin

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juli 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juli 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. JULI 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan Buletin Bulanan.

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus diimbangi dengan kesadaran masyarakat akan arti penting peningkatan gizi dalam kehidupan. Hal

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 BADAN PUSAT STATISTIK No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimiliki oleh suatu negara. Indonesia merupakan negara berkembang

I. PENDAHULUAN. yang dimiliki oleh suatu negara. Indonesia merupakan negara berkembang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perekonomian nasional tidak terlepas dari berkembangnya sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu negara. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki

Lebih terperinci

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN ahanan pangan nasional harus dipahami dari tiga aspek, yaitu ketersediaan, distribusi dan akses, serta

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015 No. 05/01/17/Th. X, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015 - JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 322,83 RIBU ORANG (17,16 PERSEN) - TREN KEMISKINAN SEPTEMBER 2015

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ISSN OUTLOOK JERUK 2016 OUTLOOK JERUK. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian

ISSN OUTLOOK JERUK 2016 OUTLOOK JERUK. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian ISSN 1907-1507 OUTLOOK JERUK 2016 OUTLOOK JERUK Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2016 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2016 OUTLOOK JERUK

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis

Lebih terperinci

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA Oleh : I Wayan Rusast Abstrak Pertumbuhan ekonomi telah menggeser pola konsumsi dengan penyediaan produk pangan ternak yang lebih besar.

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan bahan pangan adalah ketersediaan bahan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi domestik, perdagangan dan bantuan. Ketersediaan

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci