HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Respon deferensiasi sel darah perifer mencit terhadap vaksin S. agalactiae yang diradiasi.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Respon deferensiasi sel darah perifer mencit terhadap vaksin S. agalactiae yang diradiasi."

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Vaksinasi adalah suatu proses membangkitkan kekebalan protektif dengan menggunakan antigen yang relatif tidak berbahaya (Tripp 2004). Vaksinasi merupakan metode yang paling efektif untuk mencegah penyakit, meningkatkan efisiensi produksi makanan, dan mengurangi atau mencegah transmisi penyakitpenyakit zoonotik ke manusia (Roth 2011). Banyak metode dalam pembuatan sebuah vaksin. Salah satu metodenya yaitu dengan metode diradiasi. Metode ini dapat melemahkan agen penyebab infeksi dengan menggunakan sinar gamma sehingga virulensinya berkurang sehingga mampu merangsang sistem kekebalan tubuh (Syaifudin et al. 2008). Contoh vaksin yang diradiasi adalah vaksin Koksivet, Brucella abortus, Neospora caninum, Dictyocaulus, Fasciolosis (Tetriana dan Sugoro 2007). Penelitian ini dilakukan untuk melihat respon vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi melalui tiga parameter yaitu deferensiasi leukosit (neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit), jumlah dan diameter pulpa putih pada limpa, serta luas sumsum tulang. Ada empat kelompok mencit dalam penelitian ini yaitu kelompok kontrol (K), kelompok vaksin (V), kelompok vaksin tantang (VT), dan kelompok tantang (T). 1. Respon deferensiasi sel darah perifer mencit terhadap vaksin S. agalactiae yang diradiasi. 1a. Neutrofil Netrofil merupakan sel pertahanan tubuh non spesifik yang pertama kali mengatasi adanya antigen melalui proses yang dinamakan dengan fagositosis (Susanti dan Rahayuningsih 2003). Menurut Harvey (2001) ciri-ciri neutrofil yaitu intinya bersegmen (minimal dua lobus) dan sitoplasmanya terlihat polos dan bergranul halus.

2 µm Gambar 15 Neutrofil mencit kelompok vaksin. Inti (1); Sitoplasma (2). Menurut Harvey (2001) ciri-ciri neutrofil yaitu intinya bersegmen (minimal dua lobus) dan sitoplasmanya terlihat polos dan bergranul halus. Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase neutrofil mencit yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 4, sedangkan grafik dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 16. Tabel 4 Rata-rata persentase neutrofil mencit sebelum dan setelah vaksinasi Kelom- Pok dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. (dalam persen (%)) Minggu 1** *** K 9.67±4.9 abc 9.67±4.7 abc 10±7.6 abc 10±3.6 abc 13±11.2 abc V 16±9.9 bc 3.67±1.2 a 13±7.0 abc 13±7.0 abc 9.33±3.5 abc VT* 17.33±4.0 c 4.67±3.2 ab 7±1.7 abc 10.3±4.2 abc 11±0.0 abc T* 8±5.0 abc 6.33±2.9 abc 13.67±12.7 abc 10.3±4.5 abc 8.67±5.0 abc Keterangan: *sehari sebelum nekropsi ditantang. **minggu I sebelum vaksinasi. ***nekropsi. Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05. Pada minggu pertama terdapat variasi walaupun tidak berbeda nyata. Persentase kelompok V dan VT mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada kelompok K dan T. Hal ini disebabkan adanya variasi individu dalam merespon lingkungannya. Selain itu faktor genetik juga dapat menyebabkan perbedaan ini karena mencit yang digunakan berasal dari indukan yang

3 29 berbeda-beda sehingga resiko adanya perbedaan genetik cukup besar. Menurut Evans et al faktor genetik dan lingkungan dapat menyebabkan adanya variasi individu dalam mengekspresikan leukosit sehingga terjadi variasi jumlah neutrofil, monosit, eosinofil dan limfosit. Persentase (%) minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 K V VT T Gambar 16 Rata-rata persentase neutrofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. Pada tabel dan grafik di atas terlihat bahwa persentase neutrofil kelompok kontrol (K) pada minggu ke-1, 2, 3, 4 cenderung meningkat, namun tidak berbeda nyata. Pada minggu ke-5 terjadi sedikit peningkatan dari 10% menjadi 13%. Peningkatan ini mungkin disebabkan adanya faktor stres sebelum nekropsi karena kelompok K tidak mengalami perlakuan apapun sebelumnya. Tindakan handling dan pembiusan sebelum nekropsi yang sebelumnya tidak pernah dialami mencit membuat kondisi mencit menjadi stres. Menurut Colville dan Bassert (2002) stres akan menyebabkan peningkatan sekresi ACTH (adenocorticotropic hormone) yang mengakibatkan peningkatan glukokortikoid di dalam darah. Glukokortikoid dikenal sebagai anti peradangan karena glukokortikoid mencegah migrasi netrofil dari darah dibawah pengaruh ekspresi molekul adhesi leukosit (L selektin dan B2 integrin) yang berperan penting dalam mengatur pergerakan neutrofil dari sirkulasi ke dalam jaringan (Jain 1993). Terhambatnya migrasi neutrofil ke jaringan ini mengakibatkan jumlah neutrofil di dalam pembuluh darah meningkat.

4 30 Pada minggu ke-2 terjadi penurunan neutrofil yang signifikan dan berbeda nyata pada kelompok V dan VT. Penurunan ini disebabkan karena adanya tindakan vaksinasi seminggu sebelumnya. Vaksinasi dilakukan melalui injeksi intraperitoneal. Menurut Cho et al. (2011) lima belas menit setelah vaksinasi jumlah antigen yang berasal dari vaksin mulai meningkat di dalam pembuluh darah. Namun setelah 24 jam berikutnya jumlah antigen ini menurun seiring dengan peningkatan jumlah antigen di organ-organ seperti hati, limpa, limponodus, paru-paru, dan ginjal. Antigen akan merangsang neutrofil untuk keluar dari pembuluh darah ke tempat dimana terdapat banyak antigen tersebut untuk melakukan fagositosis (Sunderkotter et al. 2003; Agricola et al. 2008). Akibatnya neutrofil di dalam pembuluh darah akan mengalami penurunan. Pada minggu ke-3, terjadi peningkatan persentase neutrofil baik kelompok V maupun kelompok VT namun tidak berbeda nyata. Vaksinasi akan merangsang terbentuknya antibodi pada mencit. Hal ini terbukti dari penelitian Tuasikal (2012) yang menyatakan bahwa mencit yang di vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi memiliki tingkat IgG lebih tinggi daripada kelompok yang tidak divaksin. Pada saat booster pertama, adanya antibodi akan berikatan dengan antigen yang ada pada booster. Ikatan ini akan merangsang neutrofil untuk datang dan membuat neutrofil lebih sensitif. Menurut Tizard (1987) antibodi memiliki kemampuan untuk berikatan pada antigen spesifiknya dan merupakan faktor kemotaktik bagi neutrofil untuk datang ke tempat terjadinya reaksi antigen-antibodi. Akibatnya terjadi peningkatan neutrofil di pembuluh darah untuk didistribusikan ke jaringan. Pada minggu ke-4 (tujuh hari setelah booster kedua), terjadi kenaikan neutrofil pada kelompok VT. Hal ini disebabkan antibodi yang terbentuk sudah semakin tinggi akibat booster pertama sehingga dengan antibodi yang tinggi menyebabkan ikatan antibodi dengan antigen yang ada pada booster kedua semakin tinggi pula. Ikatan yang semakin tinggi ini juga akan merangsang lebih banyak lagi neutrofil untuk datang sehingga terjadi peningkatan neutrofil di pembuluh darah untuk didistribusikan ke jaringan. Sedangkan kelompok V tidak terjadi penurunan atau kenaikan jumlah neutrofil. Hal ini disebabkan

5 31 karena adanya perbedaan respon imun mencit. Menurut Thomas (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi adanya variasi dalam respon imun yaitu umur, jenis kelamin, ras, kualitas antigen, dosis dan rute pemberian antigen, dan genetik. Pada minggu ke-5 (nekropsi), terjadi penurunan jumlah neutrofil pada kelompok V sedangkan pada kelompok VT justru terjadi peningkatan. Peningkatan neutrofil ini disebabkan adanya tantangan dengan bakteri S. agalactiae sehari sebelum nekropsi. Bakteri S. agalactiae diberikan melalui orificium externa kanal puting mencit yang mengakibatkan kerusakan pada epitel alveol mamae. Produk yang dihasilkan oleh kerusakan ini seperti histamin, trombin dan produk bakteri seperti lipopolisakkarida (LPS) akan mengaktivasi neutrofil keluar pembuluh darah untuk melakukan fagositosis (Lamoureux et al. 2012; Tizard 2004). Setelah melakukan fagositosis neutrofil akan mengalami lisis dan melepaskan histamin dan faktor leukopoietik (sitokin dan interleukin) yang akan merangsang sumsum tulang melepaskan cadangan neutrofil sehingga jumlah neutrofil di dalam pembuluh darah meningkat (Meyer et al dalam Hafizhiah 2008). Pada kelompok tantang (T) terlihat bahwa jumlah neutrofil minggu pertama tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok kontrol. Pada minggu ke-2 sedikit mengalami penurunan tapi tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan minggu pertama. Pada minggu ke-3 jumlah neutrofil meningkat dari 6.33% menjadi 13,67%. Hal ini mungkin disebabkan adanya faktor stres yang mengakibatkan terhambatnya migrasi neutrofil ke jaringan. Menurut Abeysena 2010 pada saat periode kebuntingan, stres merupakan hal yang sangat rentan terjadi, sehingga terjadi peningkatan glukokortikoid yang dikenal sebagai anti peradangan karena glukokortikoid mencegah migrasi neutrofil dari pembuluh darah dibawah pengaruh ekspresi molekul adhesi leukosit (L selektin dan B2 integrin) yang berperan penting dalam mengatur pergerakan neutrofil dari sirkulasi ke dalam jaringan (Jain 1993). Selain itu stres ini juga dipicu oleh mencit kelompok T yang mempunyai jumlah rata-rata anak 10 ekor/induk. Jumlah ini diatas jumlah rata-rata anak kelompok lain dan mencit normal yaitu

6 ekor/mencit (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Pada minggu ke-4 jumlah neutrofil kembali turun. Hal ini menandakan bahwa kondisi mencit sudah tidak stres lagi sehingga tidak ada yang menghambat migrasi neutrofil keluar pembuluh darah. Pada minggu ke-5 (nekropsi), terjadi penurunan neutrofil di pembuluh darah. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya infeksi bakteri S. agalactiae pasca tantang sehari sebelumnya. Bakteri ini membuat kerusakan jaringan sehingga merangsang neutrofil untuk keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang mengalami kerusakan. Keluarnya neutrofil ini mengakibatkan jumlahnya di pembuluh darah menjadi berkurang. 1b. Eosinofil Eosinofil merupakan leukosit multifungsi yang terlibat dalam patogenesis berbagai proses inflamasi termasuk infeksi parasit dan alergi (Rothenberg dan Hogan 2006; Alessandry et al. 2011). Eosinofil memiliki kemampuan untuk membunuh banyak spesies cacing. Eosinofil membunuh cacing melalui kemampuan mereka untuk menghasilkan oksidan kuat dan melalui protein kationik yang terdapat pada granulnya (Gleich dan Adolphson 2003). Jumlah eosinofil yang bersirkulasi di dalam tubuh mencit sekitar 0-7% (Weiss dan Wardrop 2010) µm Gambar 17 Eosinofil mencit kelompok vaksin tantang. Inti (1); sitoplasma (2). Menurut Weiss dan Wardrop (2010) eosinofil mempunyai sitoplasma yang mengandung granul yang besar dan bersifat asidofilik dan berwarna merah muda. Inti dari eosinofil hampir sama dengan neutrofil tapi cenderung

7 33 mempunyai lobulasi sedikit dan tidak tersegmentasi dengan baik. Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase eosinofil yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 5, sedangkan grafik dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 18. Tabel 5 Rata-rata persentase eosinofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. (dalam persen (%)) Kelom- pok Minggu 1** *** K 0±0.0 a 0.33±0.6 ab 0±0.0 a 1±1 b 0±0.0 a V 0.33±0.6 ab 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a VT* 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a 0.33±0.6 ab 0.67±1.2 ab T* 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a Keterangan: *sehari sebelum nekropsi ditantang. **minggu I sebelum vaksinasi. ***nekropsi. Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P< Persentase (%) minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 K V VT T Gambar 18 Rata-rata persentase eosinofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. Rata-rata persentase eosinofil setiap kelompok tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa vaksin ini tidak mempengaruhi terhadap persentase eosinofil. Persentase eosinofil meningkat pada minggu ke-4, 5 kelompok VT menjadi 0,67%, namun peningkatan ini masih dalam kisaran normal. Hal ini disebabkan karena adanya tantangan sehari sebelum nekropsi pada minggu ke-5. Patogenitas yang tinggi dari S.

8 34 agalactiae akan merangsang peningkatan eosinofil untuk melakukan fagositosis. Menurut Fawcett (2002) eosinofil memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri namun tidak seefektif neutrofil. Selain itu, dengan adanya vaksinasi pada kelompok VT mengakibatkan terbentuknya antibodi sehingga pada saat ditantang dengan antigen yang sama terjadi reaksi antigen-antibodi yang dapat merangsang peningkatan eosinofil. Interleukin-5 dan sitokin lain yang dilepaskan ke tempat terjadinya reaksi antigen-antibodi merangsang proliferasi prekursor dan pembebasan eosinofil dari sumsum tulang ke dalam darah sehingga jumlah eosinofil di pembuluh darah sedikit meningkat (Fawcett 2002). Sel mast dan eosinofil merupakan sel-sel efektor utama dari suatu reaksi alergi. Eosinofil mengatur efek peradangan alergi dengan menghancurkan faktor yang dilepaskan sel mast (Elishmereni et al. 2011). Eosinofil tertarik ke tempat terjadinya degranulasi sel mast oleh faktor kemotaktik eosinofil dari anapilaksis (FKE-A), leukotrien B, histamin, dan hasil penguraiannya. Setelah sampai ditempat tersebut, faktor-faktor yang dilepaskan oleh sel mast ini akan dihancurkan oleh enzim eosinofil. Eosinofil mengandung histaminase yang memecah histamin, arilsulfatase yang menghancurkan leukotrien dan fosfolipase D yang menguraikan faktor pengaktif trombosit. Di samping itu, eosinofil meningkatkan produksi prostaglandin E 1, yang menaikkan tingkat AMP siklik sel mast sehingga menghambat degranulasi sel mast (Tizard 1987). Jadi tidak adanya perbedaan yang nyata pengaruh vaksin terhadap persentase eosinofil menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan tidak menimbulkan reaksi alergi. 1c. Basofil Basofil merupakan leukosit yang paling jarang, jumlahnya sangat rendah yaitu sekitar <1% dari leukosit dalam sirkulasi (Theml et al. 2004). Basofil akan melepaskan senyawa seperti heparin, serotonin dan histamin ke dalam darah. Jika terjadi luka, basofil akan mengeluarkan histamin. Histamin akan

9 memicu pembesaran dan peningkatan permeabilitas kapiler di dekatnya sehingga terjadi reaksi peradangan (Campbell et al. 2004) µm Gambar 19 Basofil mencit kelompok vaksin tantang. Inti (1); Sitoplasma (2); Granul (3) Menurut Harvey (2001) Basofil adalah granulosit yang bersifat polimormonuklear-basofilik. Basofil mempunyai sitoplasma berwarna biru pucat dan inti basofil kurang tersegmentasi daripada inti neutrofil. Granul basofil bersifat asam, berwarna biru tua sampai dengan ungu yang sering menutupi inti yang berwarna agak cerah. Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase basofil yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 6, sedangkan grafik dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 20. Tabel 6 Rata-rata persentase basofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi Kelom- pok dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. (dalam persen (%)) Minggu 1** *** K 0.33±0.6 a 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a V 0±0.0 a 0±0.0 a 0.33±0.6 a 0±0.0 a 0±0.0 a VT* 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a 0.33±0.6 a T* 0±0.0 a 0.67±1.2 a 0±0.0 a 0±0.0 a 0±0.0 a Keterangan: *sehari sebelum nekropsi ditantang. **minggu I sebelum vaksinasi. ***nekropsi. Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05.

10 36 Persentase (%) minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 K V VT T Gambar 20 Rata-rata persentase basofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. Dari grafik di atas terlihat adanya beberapa peningkatan persentase basofil seperti pada minggu ke-3 kelompok vaksin, minggu 5 kelompok VT dan peningkatan paling tinggi terjadi pada minggu ke-2 kelompok T. Akan tetapi secara keseluruhan rata-rata persentase basofil pada setiap kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Antigen yang terdapat pada vaksin S. agalactiae yang diradiasi merupakan antigen yang telah dilemahkan dengan radiasi. Radiasi akan menyebabkan patogenitasnya berkurang namun tidak kehilangan sifat antigeniknya sehingga antigen ini dapat menimbulkan antibodi dan merangsang sistem kekebalan yang dibuktikan dengan tingginya kadar IgG (Tuasikal 2012). Berkurangnya patogenitas antigen ini membuat antigen ini tidak akan menimbulkan kerusakan jaringan atau alergi. Selain itu, berdasarkan penelitian Tuasikal (2012) vaksin ini merangsang peningkatan IgG sehingga tidak akan menimbulkan peningkatan basofil karena basofil meningkat apabila terdapat IgE (Guyton dan Hall 2006). Peningkatan basofil juga tidak terjadi pada kelompok VT walaupun antigen pada tantang mempunyai patogenitas tinggi. Hal ini disebabkan S. agalactiae hanya melakukan adhesi atau perlekatan pada epitel alveol tanpa melakukan invasif sehingga tidak menimbulkan kerusakan jaringan atau peningkatan basofil. Menurut Wibawan (1998) S. agalactiae yang memiliki

11 37 Hemaglutinin yang mempunyai kemampuan adhesi lebih besar pada sel epitel alveol. Ditinjau dari fungsinya, basofil merupakan komponen yang sangat mirip dengan sel mast. Sel mast dan basofil ini memainkan peranan yang sangat penting dalam sebuah reaksi alergi yang disebabkan oleh antibodi seperti Imunoglobulin E (IgE) (Galli 2000). Apabila antigen spesifik untuk IgE beraksi dengan antibodinya, maka akan menyebabkan sel mast dan basofil akan degranulasi, pecah dan melepaskan histamin, bradikidin, serotonin, heparin, slow-reacting substance dari anafilaksis, dan sejumlah enzim lisosom. Ini menyebabkan peradangan pada pembuluh darah lokal dan reaksi alergi (Karasuyama et al. 2011; Guyton dan Hall 2006). Jadi tidak adanya perbedaan yang nyata pengaruh vaksin terhadap persentase basofil menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan tidak menimbulkan reaksi alergi dan peradangan. 1d. Monosit Monosit merupakan sel yang berperan dalam reaksi tanggap kebal kedua setelah neutrofil dan berfungsi sebagai alat pertahanan terhadap infeksi bakteri, jamur, virus, dan benda asing (Theml et al. 2004). Monosit mempunyai inti seperti huruf U atau tapal kuda berbentuk ginjal, band-shaped, atau berbelitbelit (ameboid) dengan kromatin yang menyebar atau sedikit mengelompok. Sitoplasmanya biasanya berwarna biru-abu-abu dan sering terdapat vakuola (Harvey 2001). Jumlah monosit di dalam sirkulasi sekitar 2-8% dari leukosit yang beredar (Theml et al. 2004). Monosit berkembang menjadi makrofag apabila mereka telah meninggalkan pembuluh darah dan masuk ke jaringan (Harvey 2001). Monosit dan makrofag membunuh mikroorganisme melalui proses fagositosis dan membunuh mereka dengan oksigen reaktif yang dibentuk oleh NADPH oksidase (Haase et al. 2011).

12 µm Gambar 21 Monosit mencit kelompok vaksin tantang. Inti (1); Sitoplasma (2) Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase monosit yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 7, sedangkan grafik dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 22. Tabel 7 Rata-rata persentase monosit mencit sebelum dan sesudah vaksinasi Kelom- pok dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. (dalam persen (%)) Minggu 1** *** K 1.33±0.6 abc 1.67±2.0 abc 1.33±1.2 abc 4±3.0 c 2±1.7 abc V 1.67±1.2 abc 0±0.0 a 1.67±0.6 abc 3±2.6 abc 0.33±0.6 ab VT* 4.33±3.0 c 0.33±0.6 ab 2.67±1.2 abc 1.33±0.6 abc 2±2.0 abc T* 0.67±0.6 ab 1.33±0.6 abc 0.67±1.2 ab 3.33±1.2 bc 2.67±0.6 abc Keterangan: *sehari sebelum nekropsi ditantang. **minggu I sebelum vaksinasi. ***nekropsi. Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05.

13 39 Persentase (%) 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 K V VT T Gambar 22 Rata-rata persentase monosit mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. Pada tabel dan grafik di atas terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) persentase monosit antara kelompok K dan T pada minggu ke- 1,2,3 walaupun terjadi sedikit kenaikan. Pada minggu ke-4 terjadi kenaikan persentase monosit yang cukup tinggi yaitu sebesar 2,7% baik kelompok K maupun kelompok T. Kenaikan ini mungkin disebabkan karena mencit berada pada akhir kebuntingan dan minggu partus. Menurut Lurie et al. (2006) monosit akan meningkat signifikan pada masa akhir kebuntingan. Periode kebuntingan dan partus dilaporkan sebagai kondisi stres fisiologis yang disertai peningkatan hormon glukokortikoid. Tingginya hormon glukokortikoid akan menekan aktivitas fagositosis (Widhyari 2005). Rendahnya aktivitas fagositosis neutrofil juga mengakibatkan aktifitas monosit juga rendah karena tidak ada faktor kemotaktik yang dilepaskan neutrofil untuk merangsang monosit ke jaringan. Menurut Tizard (2004) makrofag atau monosit tertarik secara kemotaktik bukan hanya pada produk mikroorganisme tapi juga pada faktor yang dilepaskan oleh sel yang rusak terutama neutrofil. Akibatnya jumlah monosit di pembuluh darah tinggi. Pada minggu ke-5 terjadi penurunan persentase monosit baik pada kelompok K maupun T. Hal ini disebabkan sudah mulai turunnya hormon glukokortikoid yang mengakibatkan aktivitas fagositosis kembali meningkat sehingga persentase monosit di pembuluh darah menjadi turun. Pada kelompok

14 40 K terjadi penurunan persentase monosit yang lebih besar daripada kelompok T yaitu sebesar 2%. Hal ini disebabkan karena kelompok T di tantang dengan bakteri S. agalactiae melalui intramamae. Infeksi bakteri ini akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan mamae. Produk-produk dari bakteri seperti lipopolisakarida (LPS) dan faktor yang dikeluarkan oleh sel yang rusak (mediator inflamasi) seperti nitric oxide (NO), prostaglandin E2, interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor (TNF) akan menginduksi peningkatan monosit di dalam pembuluh darah untuk segera keluar menuju jaringan yang rusak (Haase et al. 2008). Selain itu, rendahnya persentase neutrofil di pembuluh darah menandakan aktifitas fagositosis neutrofil di jaringan tinggi. Aktifitas fagositosis ini akan menyebabkan neutrofil rusak dan merangsang peningkatan monosit (Tizard 1987). Akibatnya terjadi penurunan monosit yang tidak terlalu besar seperti kelompok T. Sedangkan pada kelompok K tidak ada antigen yang menginduksi peningkatan monosit ini di dalam pembuluh darah sehingga terjadi penurunan yang cukup besar. Lain halnya dengan kelompok V dan VT, persentase monosit pada minggu pertama kelompok ini lebih tinggi daripada kelompok K dan T. Hal ini disebabkan adanya variasi individu dalam merespon lingkunngannya. Selain itu faktor genetik juga dapat menyebabkan perbedaan ini karena mencit yang digunakan berasal dari indukan yang berbeda-beda sehingga resiko adanya perbedaan genetik sangat besar. Menurut Evans et al faktor genetik dan lingkungan dapat menyebabkan adanya variasi individu dalam mengekspresikan leukosit sehingga terjadi variasi jumlah neutrofil, monosit, eosinofil dan limfosit. Pada minggu ke-2 terjadi penurunan monosit yang signifikan dan berbeda nyata pada kelompok V dan VT. Penurunan ini disebabkan karena adanya tindakan vaksinasi seminggu sebelmnya. Vaksinasi dilakukan melalui injeksi intraperitoneal. Menurut Cho et al. (2011) 15 menit setelah vaksinasi jumlah antigen yang berasal dari vaksin mulai meningkat di dalam pembuluh darah. Namun setelah 24 jam berikutnya jumlah antigen ini menurun seiring dengan peningkatan jumlah antigen di organ-organ seperti hati, limpa, limponodus, paru-paru, dan ginjal. Awalnya antigen ini akan merangsang neutrofil untuk keluar dari pembuluh darah ke tempat dimana

15 41 terdapat banyak antigen tersebut untuk melakukan fagositosis. Setelah melakukan fagositosis neutrofil akan rusak dan akan menginduksi monosit untuk keluar juga dari pembuluh darah untuk melakukan fagositosis (Tizard 2004). Akibatnya monosit di dalam pembuluh darah juga akan mengalami penurunan. Pada minggu ke-3, Kelompok V dan VT masing-masing 1,67% dan 2.67% namun tidak berbeda nyata. Hal ini berkaitan dengan aktifitas fagositosis dari neutrofil akibat adanya antigen. Pada kelompok VT aktifitas neutrofil lebih tinggi daripada kelompok V yang dibuktikan dengan persentase neutrofil di pembuluh darah lebih kecil daripada kelompok V karena keluar menuju jaringan. Aktifitas fagositosis dari neutrofil ini akan melepaskan faktor yang akan merangsang peningkatan monosit di pembuluh darah untuk segera keluar menuju jaringan (Tizard 1987) sehingga persentase monosit kelompok VT lebih besar daripada kelompok V. Pada minggu ke-4, terdapat perbedaan antara kelompok V dan VT. Persentase monosit pada kelompok V mengalami kenaikan sebesar 1,33% sedangkan pada kelompok VT mengalami penurunan sebesar 1,33%. Kenaikan pada kelompok V mungkin disebabkan karena mencit berada pada akhir kebuntingan dan minggu partus. Periode kebuntingan dan partus dilaporkan sebagai kondisi stres fisiologis yang disertai peningkatan hormon glukokortikoid. Tingginya hormon glukokortikoid akan menekan aktivitas fagositosis sehingga jumlah monosit di pembuluh darah tinggi (Widhyari 2005). Sedangkan pada kelompok VT terjadi penurunan persentase monosit. Penurunan ini mungkin disebabkan karena monosit tidak sedang berada di pembuluh darah. Hal ini mungkin disebabkan adanya kerusakan jaringan setelah partus yang memungkinkan terjadinya infeksi sekunder sehingga menginduksi monosit untuk keluar dari pembuluh darah. Menurut Guyton dan Hall (2006), monosit akan menuju ke jaringan untuk melakukan fagositosis terhadap infeksi bakteri, virus, adanya jaringan yang rusak, dan benda asing di jaringan.

16 42 Pada minggu ke-5 terjadi penurunan persentase monosit pada kelompok V. Penurunan ini disebabkan karena adanya tindakan vaksinasi sebelumnya. Antigen yang ada pada vaksin ini akan merangsang neutrofil untuk keluar dari pembuluh darah untuk melakukan fagositosis. Setelah melakukan fagositosis neutrofil akan rusak dan akan menginduksi monosit untuk keluar juga dari pembuluh darah untuk melakukan fagositosis (Tizard 2004). Akibatnya monosit di dalam pembuluh darah juga akan mengalami penurunan. Sedangkan pada kelompok VT terjadi peningkatan monosit. Peningkatan ini disebabkan karena kelompok VT di tantang dengan bakteri S. agalactiae melalui intramamae. Infeksi bakteri ini akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan dan menginduksi peningkatan monosit di dalam pembuluh darah untuk segera keluar menuju jaringan yang rusak (Haase et al. 2008). Pada tabel 19 terlihat bahwa ada beberapa data yang diperoleh mempunyai standar deviasi yang lebih tinggi daripada rataannya. Hal ini disebabkan oleh hal sama yang terjadi pada data basofil. Namun pada data monosit memang terlihat adanya sedikit variasi data. Variasi ini terjadi karena adanya variasi respon imun setiap mencit yang juga berbeda. Menurut Thomas (2009) Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya variasi respon imun yaitu umur, jenis kelamin, ras, kualitas antigen, dosis dan rute pemberian antigen, dan genetik. Hal ini juga didukung oleh Shinkai et al. (2012) yang menyatakan bahwa perbedaan efek vaksinasi bukan hanya disebabkan oleh faktor lingkungan tapi juga karena adanya perbedaan genetik terutama gen pengkode untuk major histocompatibility complex (MHC) dan Toll-like receptors (TLRs). Pada penelitian ini variasi respon imun mungkin disebabkan faktor genetik karena mencit yang digunakan berasal dari indukan yang berbeda-beda sehingga resiko adanya perbedaan genetik sangat besar. 1e. Limfosit Limfosit merupakan unsur kunci dalam sistem kekebalan. Pada mamalia, sistem ini mampu menghasilkan antibodi melawan beberapa juta agen asing berbeda yang dapat menginvasi tubuh. Limfosit berdiferensiasi menjadi sel T dan sel B. Sel T berperan dalam imunitas seluler yang bertanggung jawab bagi

17 43 reaksi alergi tertunda dan penolakan transplantasi jaringan asing, sedangkan sel B berperan dalam imunitas humoral yaitu imunitas yang terbentuk karena antibodi bersirkulasi di dalam fraksi γ globulin protein plasma. Sel B dapat berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memory (Ganong 1995) (a) 20 µm 20 µm (b) Gambar 23 (a) limfosit kelompok kontrol. (b) limfosit kelompok vaksin. Nukleus (1); Sitoplasma (2). Gambar di atas menunjukkan tidak ada perbedaan morfologi antara kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi perlakuan atau vaksin. Hal ini terlihat dari inti masing-masing limfosit berwarna ungu tua dengan sitoplasma biru muda. Menurut Theml et al. (2004) limfosit merupakan sel leukosit agranulosit yang memiliki sitoplasma dengan warna biru muda sedangkan intinya berwarna ungu tua. Selain itu juga tidak terlihat adanya perubahan bentuk dari limfosit. Hal ini membuktikan bahwa vaksin S. agalactiae yang diradiasi tidak menimbulkan perubahan morfologi dari limfosit. Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase limfosit yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 8, sedangkan grafik dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 24.

18 Tabel 8 Rata-rata persentase limfosit mencit sebelum dan sesudah vaksinasi Kelom- Pok dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. (dalam persen (%)) Minggu *** K 88.6±3.7 abc 88.3±7.2 abc 88.6±8.505 abc 85±3.6 abc 85±12.3 abc V 79.3±5.1 ab 90±10.4 abc 84.6±7.2 abc 88±3.0 abc 86.3±4.5 abc VT 77.3±7.6 a 95±3.5 c 90.3±1.5 abc 88±4.4 abc 85.6±1.5 abc T 91.3±4.5 bc 91.6±0.0 bc 85.6±13.7 abc 86.3±4.7 abc 89.3±6.0 abc Keterangan: *sehari sebelum nekropsi ditantang. **minggu I sebelum vaksinasi. ***nekropsi. Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P< Persentase (%) K V VT T 75 minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 Gambar 24 Rata-rata persentase limfosit mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. Pada tabel dan grafik di atas, persentase limfosit pada kelompok K pada minggu 1 sampai 3 terlihat stabil karena tidak mendapatkan vaksinasi atau rangsangan antigen. Pada minggu ke-4 terjadi penurunan persentase. Hal ini disebabkan karena mencit berada pada akhir kebuntingan dan partus. Menurut Jain 1993 penurunan jumlah limfosit pada masa kebuntingan dan partus diduga disebabkan oleh peningkatan sekresi hormon kortikosteroid dari adrenal korteks. Hormon ini dapat menyebabkan terjadinya limfolisis dan penahanan limfosit di dalam jaringan limfoid sehingga menyebabkan berkurangnya

19 45 jumlah limfosit di dalam peredaran darah. Selain itu penurunan limfosit juga dapat disebabkan oleh peningkatan hormon estrogen. Menurut Crighton 1984 hormon estrogen berefek sama seperti kortisol yang dapat menghambat proliferasi limfosit. Pada minggu ke-5 persentase limfosit terlihat stabil. Hal ini disebabkan karena mencit masih berada seminggu setelah partus. Menurut Triakoso 2009 pada periode periparturein atau masa sebelum partus, partus dan laktasi sejumlah hormon yang berkaitan dengan reproduksi, pengaturan dan stress dilepas dari hipofisis, yang kemudian menstimulasi organ endokrin lain atau jaringan target, termasuk sistem kekebalan. Pada masa ini terjadi peningkatan glukokortikoid yang merupakan agen imunosupresif dan menurunkan jumlah limfosit. Hal ini juga didukung oleh penelitian Kehrli dan Goff (1989) yang menunjukkan bahwa pada periode peripaturien terjadi penurunan fungsi limfosit sehingga jumlahnya menurun. Berbeda pada kelompok V dan VT persentase limfosit pada minggu pertama kelompok ini lebih rendah daripada kelompok K dan T yaitu sebesar 79,3% dan 77,3%. Hal ini disebabkan adanya variasi individu dalam merespon lingkungannya. Selain itu faktor genetik juga dapat menyebabkan perbedaan ini karena mencit yang digunakan berasal dari indukan yang berbeda-beda sehingga resiko adanya perbedaan genetik sangat besar. Menurut Evans et al faktor genetik dan lingkungan dapat menyebabkan adanya variasi individu dalam mengekspresikan leukosit sehingga terjadi variasi jumlah neutrofil, monosit, eosinofil dan limfosit. Pada minggu ke-2 terjadi peningkatan limfosit yang cukup tinggi baik pada kelompok V dan VT menjadi 90% dan 95%. Peningkatan ini disebabkan karena adanya tindakan vaksinasi seminggu sebelumnya. Menurut Tizard (2004) bila antigen disuntikkan ke dalam jaringan akan merangsang sel fagositik bermigrasi ke tempat tersebut yang diawali oleh neutrofil kemudian monosit/makrofag. Makrofag akan mengeluarkan interleukin 1 yang akan merangsang sel T helper dan sel B. Sel T helper juga mengeluarkan interleukin 2 yang mempertinggi tanggap sel B terhadap antigen. Faktor yang dilepaskan makrofag dan sel T helper ini mensensitisasi dan mempercepat sel B dan sel T

20 46 untuk datang dan berikatan dengan antigen. Akibatnya terjadi peningkatan persentase limfosit. Peningkatan yang lebih tinggi terjadi pada kelompok VT dibanding kelompok V meski keduanya mengalami perlakuan yang sama. Perbedaan ini disebabkan karena adanya variasi respon imun tiap mencit. Menurut Thomas (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi adanya variasi dalam respon imun yaitu umur, jenis kelamin, ras, kualitas antigen, dosis dan rute pemberian antigen, dan genetik. Vaksinasi pertama menyebabkan peningkatan limfosit seperti sel B dan sel T. Sel B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori setelah berintekrasi dengan antigen. Sel memori akan bertahan hidup sampai berbulanbulan sedangkan sel plasma akan berdiferensiasi menghasilkan molekul antibodi, sehingga dengan adanya peningkatan sel B yang berikatan dengan antigen akan sejalan dengan peningkatan jumlah antibodi yang terbentuk. Selain itu sel T jika berintegrasi dengan antigen juga akan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan sel efektor. Sel-sel memori ini baik dari sel B ataupun sel T akan mensensitisasi sel-sel peka antigen sehingga apabila antigen yang sama diberikan untuk kedua kali akan merangsang lebih banyak sel pekaantigen (Tizard 1987). Inilah yang menyebabkan pada minggu ke-3 terjadi penurunan limfosit karena limfosit telah disensitisasi sehingga dengan cepat mampu berdiferensiasi menjadi sel plasma. Pada minggu ke-4 terjadi penurunan persentase limfosit pada kelompok VT. Hal ini disebabkan semakin banyaknya sel memori dan antibodi yang terbentuk sehingga limfosit semakin tersensitisasi oleh adanya antigen. Akibatnya semakin banyak dan cepat limfosit berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel-sel memori. Menurut Tizard (1987) Jika antigen diberikan untuk ketiga kali akan merangsang pembentukan sel memori dan antibodi yang lebih banyak lagi dan semakin mensensitisasi sel-sel tanggap terhadap antigen. Lain halnya dengan kelompok VT yang justru mengalami peningkatan pada minggu ke-4. Hal ini disebabkan adanya variasi respon imun dimana sel memori dan antibodi yang terbentuk belum cukup mampu mensensitisasi limfosit terhadap antigen.

21 47 Pada minggu ke-5 (nekropsi), persentase limfosit pada kelompok V dan VT menunjukkan terjadi penurunan. Penurunan pada kelompok VT lebih besar daripada kelompok V. Hal ini disebabkan karena adanya tantangan dengan antigen. Sehari sebelum nekropsi kelompok VT di tantang dengan S. agalactiae melalui orificium externa kanal puting mencit. Bakteri ini akan melakukan adhesi atau perlekatan pada sel epitel alveol mamae (Wibawan dan Lammler 1991). Perlekatan ini akan mengundang neutrofil kemudian makrofag untuk datang ke jaringan. Makrofag akan mengundang limfosit ke jaringan dan berfungsi sebagai Antigen Precenting Cell (APC) yang akan berintekrasi dengan sel limfosit T. Interaksi ini akan menginduksi limfosit B menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi (Wibawan et al. 2003; Kim et al. 2010; Haveman et al. 2010). Inilah yang mengakibatkan persentase limfosit di pembuluh darah turun. Pada kelompok T persentase limfosit pada minggu pertama dan kedua relatif konstan dan tidak ada perbedaan yang nyata dengan kelompok V. Pada minggu ke-3 terjadi penurunan limfosit menjadi 85,6%. Penurunan ini mungkin disebabkan karena mencit dalam kondisi stress saat bunting. Menurut Abeysena 2010 pada saat periode kebuntingan, stres merupakan hal yang sangat rentan terjadi, sehingga terjadi peningkatan glukokortikoid yang merupakan agen imunosupresor dan menurunkan jumlah limfosit. Selain itu stres ini juga dipicu oleh mencit kelompok T yang mempunyai anak sekitar 10 ekor/induk. Jumlah ini diatas jumlah rata-rata anak mencit normal yaitu 6-8 ekor/mencit (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Pada minggu ke-4 jumlah limfosit mengalami sedikit peningkatan. Hal ini menandakan bahwa kondisi mencit sudah tidak stres lagi sehingga kadar glukokortikoid kembali turun dan limfosit kembali naik. Pada minggu ke-5 terjadi lagi peningkatan limfosit. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya tantangan S. agalactiae melalui orificium externa kanal puting mencit sehari sebelumnya. Bakteri ini akan melakukan adhesi atau perlekatan pada sel epitel alveol mamae (Wibawan dan Lammler 1991). Perlekatan ini akan mengundang neutrofil kemudian makrofag untuk datang ke jaringan. Makrofag akan mengundang limfosit ke jaringan dan berfungsi sebagai Antigen Precenting Cell (APC) yang akan berintekrasi

22 48 dengan sel limfosit T (Wibawan et al. 2003; Kim et al. 2010; Haveman et al. 2010). Namun responnya lambat karena kelompok T belum pernah terpapar antigen tersebut sebelumnya. Akibat nya mobilisasi limfosit ke jaringan berjalan lambat sehingga sirkulasinya di pembuluh darah lebih tinggi. 2. Pengaruh Vaksin S. agalactiae terhadap jumlah pulpa putih dan diameternya pada limpa mencit Limpa berfungsi sebagai organ yang menyaring darah dan membuang partikel antigen serta sel darah yang sudah tua. Limpa memiliki kapsul yang kaya otot polos dan serat elastis. Bagian parenkimnya dibagi menjadi dua bagian yaitu pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah merupakan bagian untuk menyimpan eritrosit, penjeratan antigen dan eritropoiesis, sedangkan pulpa putih tempat terjadinya proses tanggap kebal (Bacha dan Bacha 2000). Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik jumlah dan diameter pulpa putih setelah divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah dan diameter pulpa putih limpa mencit setelah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. Kelompok Jumlah pulpa putih Diameter pulpa putih (µm) Kontrol 12.33±1.53 a 0.228±0.024 a Vaksin 13.33±0.57 a 0.213±0.030 a Vaksin tantang 14±3.6 a 0.232±0.053 a Tantang 15±2.0 a 0.199±0.019 a Keterangan: Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05. Pada tabel di atas terlihat bahwa kelompok V mempunyai jumlah pulpa putih lebih banyak daripada kelompok K namun mempunyai diameter yang hampir sama. Pulpa putih merupakan tempat terjadinya proses tanggap kebal dan terdiri dari folikel primer dan sekunder (Bacha dan Bacha 2000). Masuknya antigen atau vaksin akan meningkatkan jumlah folikel dan merangsang folikel primer yang sebagian besar terdiri dari sel B membentuk germinal center dan

23 berubah menjadi folikel sekunder (Tizard 1987). Inilah yang menyebabkan jumlah pulpa putih pada kelompok V meningkat mm Gambar 25 Limpa mencit kelompok kontrol 0.5 mm Gambar 26 Limpa mencit kelompok vaksin tantang Pada kelompok VT mempunyai jumlah pulpa putih lebih banyak daripada kelompok V. Hal ini disebabkan karena kelompok VT mengalami dua kali paparan antigen, pertama antigen yang berasal dari vaksin, kedua antigen yang berasal dari tantangan. Akibatnya jumlah folikel atau pulpa putih yang terbentuk pun semakin banyak. Hal ini sesuai dengan penelitian Pribadi et al yang melakukan penelitian pada babi yang divaksin dan ditantang Pasteurella

24 50 multocida. Hasilnya menyatakan bahwa kelompok yang ditantang dan kelompok yang divaksin dan ditantang memperlihatkan jumlah folikel dan pusat germinal yang lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol dan kelompok yang divaksin. Pada tabel 10 juga terlihat perbedaan antara kelompok vaksin tantang dengan tantang. Pada kelompok tantang mempunyai jumlah pulpa putih paling banyak namun memiliki diameter paling kecil diantara kelompok lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya tantangan sehingga timbul respon dari limpa berupa peningkatan dan perkembangan folikel untuk melawan antigen tersebut (Tizard 1987). Namun respon ini masih lambat karena belum terbentuknya antibodi atau imunitas karena belum pernah terpapar antigen tersebut sebelumnya akibatnya pembentukan germinal center menjadi lambat sehingga pada saat nekropsi folikel yang terbentuk diameternya masih kecil. Lain halnya dengan kelompok vaksin tantang walaupun jumlah folikelnya lebih sedikit daripada kelompok tantang, kelompok ini mempunyai diameter pulpa putih lebih besar daripada kelompok tantang. Hal ini disebabkan karena kelompok vaksin tantang telah memiliki antibodi terhadap antigen yang digunakan saat penantangan akibat adanya vaksinasi sebelumnya. Berdasarkan penelitian Tuasikal (2012) kelompok yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi mempunyai IgG lebih tinggi daripada kelompok yang tidak divaksin. Adanya antibodi ini akan mempercepat proliferasi limfosit pada saat antigen masuk. Peningkatan limfosit pada pulpa putih akan menyebabkan bertambah luasnya folikel (Sari 2011). Menurut Guyton dan Hall (2006) Semakin luas folikel dan Germinal center menandakan adanya peningkatan jumlah sel B yang matang dan siap untuk melakukan respon imun terhadap benda asing. 3. Pengaruh vaksin S. agalactiae terhadap luasan sumsum tulang mencit Sumsum tulang merupakan organ hematopoiesis yang berperan memproduksi sel darah dan trombosit. Sumsum tulang mempunyai dua bagian yaitu bagian hematopoietik (tempat perkembangan sel darah) dan sinusoid vaskuler (Tizard 1987). Sel darah yang sudah matang akan masuk dalam sinusoid

25 dan terus ikut dalam aliran darah sedangkan sel yang belum matang akan tetap tinggal dalam sumsum tulang. Sel darah awalnya berasal dari sel omnipotent yang berkembang menjadi sel limfoid pluripotent dan sel myeloid pluripotent. Sel limfoid menghasilkan keturunan limfosit sedangkan sel myeloid menghasilkan keturunan eritrosit, megakariosit, basofil, eosinofil, neutrofil dan makrofag (Weiss dan Wardrop 2010). Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik luas sumsum tulang setelah divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Luas sumsum tulang mencit setelah vaksinasi dengan vaksin S. Kontrol Vaksin Vaksin tantang Tantang agalactiae yang diradiasi. Kelompok Luas sumsum tulang/mm 2 15,26±0 a 12,38±0,14 b 11,89±0,01 b 12,61±0,15 b Keterangan: Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05. Pada tabel diatas terlihat bahwa kelompok vaksin dan vaksin tantang mempunyai luas sumsum tulang yang relatif lebih kecil daripada kelompok kontrol (Gambar 25). Hal ini disebabkan karena antigen yang ada pada vaksin merangsang proses proliferasi dan pematangan sel darah untuk didistribusikan ke dalam aliran darah dan organ limfiod. Menurut Fawcett 2002 interleukin-5 dan sitokin lain yang dilepaskan ke tempat terjadinya reaksi antigen-antibodi merangsang proliferasi prekursor dan pembebasan eosinofil dari sumsum tulang ke dalam darah. Selain itu, menurut Meyer et al. (1992) dalam Hafizhiah (2008) histamin dan faktor leukopoietik (sitokin dan interleukin) yang dilepaskan akibat adanya aktivitas fagositosis neutrofil akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan cadangan neutrofilnya. Akibatnya luas sumsum tulang menjadi 51

26 52 berkurang. Kelompok vaksin tantang mempunyai luas sumsum tulang paling kecil jika dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal ini karena selain di vaksin kelompok ini juga di tantang sehari sebelum nekropsi sehingga merangsang lebih banyak sel darah untuk keluar dari sumsum tulang namun tidak diimbangi dengan diferensiasi dan pematangan sel darah yang ada pada sumsum tulang karena proses diferensiasi dan pematangan sel membutuhkan waktu 10 hari untuk sel granulosit dan 55 jam untuk monosit (Fawcett 2002). Akibatnya luas sumsum tulang menjadi sangat berkurang. 1 mm Gambar 27 Sumsum tulang mencit kelompok kontrol. 1 mm Gambar 28 Sumsum tulang mencit kelompok vaksin tantang.

27 53 Pada kelompok tantang juga terlihat adanya penurunan luas sumsum tulang jika dibandingkan dengan kelompok kontrol walaupun penurunannya tidak sebesar kelompok vaksin. Hal ini disebabkan karena adanya tantangan dengan antigen. Antigen ini belum dikenali tubuh mencit sehingga respon sumsum tulang masih lambat. Sedangkan pada kelompok vaksin tantang, tubuh mencit sudah mengenali antigen tersebut dan sudah mempunyai antibodi spesifik terhadap antigen tersebut karena adanya tindakan vaksinasi sebelumnya. Akibatnya respon sumsum tulang terhadap adanya antigen tersebut akan semakin meningkat. Menurut Tizard (1987) dengan adanya antibodi akan meningkatkan respon tubuh serta mempercepat penghancuran dan penyingkiran antigen. PEMBAHASAN UMUM Vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi pada mencit menimbulkan respon deferensiasi leukosit yang berbeda- beda. Vaksin mampu meningkatkan respon neutrofil terhadap adanya antigen S. agalactiae yang dibuktikan dengan tingginya persentase neutrofil di pembuluh darah setelah di tantang. Hal ini disebabkan antibodi yang terbentuk merangsang neutrofil ke jaringan dan merangsang sumsum tulang melepaskan neutrofil ke dalam aliran darah untuk segera menuju ke jaringan. Vaksin tidak menyebabkan peningkatan eosinofil dan basofil. Ini menunjukkan bahwa vaksin tidak menyebabkan reaksi alergi karena eosinofil dan basofil merupakan komponen yang memainkan peranan penting dalam sebuah reaksi alergi. Basofil akan melepaskan senyawa seperti heparin, serotonin dan histamin ke dalam darah. Senyawa-senyawa ini akan memicu pembesaran dan peningkatan permeabilitas kapiler di dekatnya sehingga terjadi reaksi peradangan dan alergi. Vaksin juga meningkatkan respon monosit yang dibuktikan dengan tingginya persentase monosit di pembuluh darah setelah ditantang. Hal ini disebabkannya tingginya aktifitas fagositosis neutrofil di jaringan yang melepaskan faktor kemotaktik sehingga terjadi peningkatan monosit di pembuluh darah untuk segera keluar menuju jaringan. Selain itu, vaksin juga meningkatkan persentase limfosit. Ini artinya bahwa antigen yang ada pada vaksin mampu

28 54 meningkatkan jumlah limfosit untuk segera berdiferensiasi menjadi sel B dan sel T untuk membentuk antibodi. Pada limpa, vaksin S. agalactiae menyebabkan peningkatan jumlah pulpa putih. Hal ini disebabkan antigen dari vaksin merangsang pembentukan folikel limfoid dan merangsang merangsang folikel primer membentuk germinal center yang kemudian berubah menjadi folikel sekunder sehingga diameternya bertambah besar. Semakin luas folikel dan Germinal center menandakan adanya peningkatan jumlah sel B yang matang dan siap untuk melakukan respon imun terhadap benda asing. Pada sumsum tulang vaksin S. agalactiae dapat meningkatkan respon sumsum tulang untuk melepaskan sel-sel darah ke dalam aliran darah terhadap adanya antigen S. agalactiae. Hal ini terlihat pada Tabel 10 terjadi penurunan luas sumsum tulang kelompok vaksin dan vaksin tantang jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan tantang. Hal ini juga didukung oleh Tabel 4 dan Tabel 7 pada minggu ke-5 terjadi peningkatan neutrofil dan monosit di pembuluh darah.

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap diferensiasi leukosit mencit (Mus musculus) yang diinfeksi P. berghei, setelah diberi infusa akar tanaman kayu kuning (C. fenestratum) sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah LeukositTotal Leukosit merupakan unit darah yang aktif dari sistem pertahanan tubuh dalam menghadapi serangan agen-agen patogen, zat racun, dan menyingkirkan sel-sel rusak

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

SISTEM PEREDARAN DARAH

SISTEM PEREDARAN DARAH SISTEM PEREDARAN DARAH Tujuan Pembelajaran Menjelaskan komponen-komponen darah manusia Menjelaskan fungsi darah pada manusia Menjelaskan prinsip dasar-dasar penggolongan darah Menjelaskan golongan darah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus Jaringan limfoid sangat berperan penting untuk pertahanan terhadap mikroorganisme. Ayam broiler memiliki jaringan limfoid primer (timus dan bursa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Temperatur Tubuh Peningkatan temperatur tubuh dapat dijadikan indikator terjadinya peradangan di dalam tubuh atau demam. Menurut Kelly (1984), temperatur normal tubuh sapi

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Neutrofil pada Mencit Jantan Berdasarkan Tabel 2, rata-rata persentase neutrofil ketiga perlakuan infusa A. annua L. dari hari ke-2 sampai hari ke-8 setelah infeksi cenderung lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau bahan yang dianggap sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh akan mengadakan tanggapan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Mastitis

TINJAUAN PUSTAKA. Mastitis TINJAUAN PUSTAKA Mastitis Mastitis berasal dari bahasa Yunani yaitu mastos yang berarti kelenjar ambing (mammary gland) dan itis yang berarti peradangan. Mastitis secara umum di defenisikan sebagai peradangan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman,

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal Kuntarti, SKp Sistem Imun Fungsi: 1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton 2008). Kondisi tubuh dan lingkungan yang berubah setiap saat akan mengakibatkan perubahan

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Eritrosit Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem imun berfungsi dalam mempertahankan kondisi tubuh terhadap benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus dan parasit. Sistem

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Diferensiasi Leukosit Tubuh manusia maupun hewan sepanjang waktu terpapar oleh agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur dan parasit dalam berbagai tingkatan

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ limfatik sekunder Limpa Nodus limfa Tonsil SISTEM PERTAHANAN TUBUH MANUSIA Fungsi Sistem Imun penangkal benda asing yang masuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari pengamatan diferensial leukosit pada mencit yang diinfeksi dengan P.berghei setelah pemberian ekstrak akar kayu kuning (C. fenestratum) dengan pelarut etanol yaitu sebagai

Lebih terperinci

Bila Darah Disentifus

Bila Darah Disentifus Judul Fungsi Darah Bila Darah Disentifus Terdiri dari 3 lapisan yaitu : Darah di sentrifuse q Lapis paling bawah (merah) 45% adalah Eritrosit atau hematokrit q Lapis tengah (abu-abu putih) 1 % adalah

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Fungsi utama eritrosit:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolitis Ulserativa (ulcerative colitis / KU) merupakan suatu penyakit menahun, dimana kolon mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut

Lebih terperinci

PANDUAN PRAKTIKUM HISTOLOGI II MODUL 2.3 KARDIOVASKULER DAN HEMATOLOGI DARAH

PANDUAN PRAKTIKUM HISTOLOGI II MODUL 2.3 KARDIOVASKULER DAN HEMATOLOGI DARAH PANDUAN PRAKTIKUM HISTOLOGI II MODUL 2.3 KARDIOVASKULER DAN HEMATOLOGI DARAH Tujuan pembelajaran: 1. Mahasiswa mampu memahami istilah plasma, serum, hematokrit 2. Mahasiswa mampu memahami komposisi plasma

Lebih terperinci

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS.

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS. PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS. Praktikum IDK 1 dan Biologi, 2009 Tuti Nuraini, SKp., M.Biomed. 1 TUJUAN Mengetahui asal sel-sel

Lebih terperinci

Gambar: Struktur Antibodi

Gambar: Struktur Antibodi PENJELASAN TENTANG ANTIBODY? 2.1 Definisi Antibodi Secara umum antibodi dapat diartikan sebagai protein yang dapat ditemukan pada plasma darah dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan

Lebih terperinci

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung 16 HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung memiliki kelainan hematologi pada tingkat ringan berupa anemia, neutrofilia, eosinofilia,

Lebih terperinci

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian 2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil leukosit (nilai total leukosit diferensiasi jenis leukosit, dan jumlah masing-masing jenis leukosit) kambing PE setelah vaksinasi iradiasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kim et al., 2009). Tuberkulosis pada umumnya terjadi di paru-paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr Sistem Imun A. PENDAHULUAN Sistem imun adalah sistem yang membentuk kekebalan tubuh dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh. Fungsi sistem imun: 1) Pembentuk kekebalan tubuh. 2) Penolak

Lebih terperinci

Respon imun adaptif : Respon humoral

Respon imun adaptif : Respon humoral Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Organ limfoid primer unggas terdiri dari timus dan bursa Fabricius sedangkan pada mamalia terdiri dari sumsum tulang. Limpa, limfonodus dan MALT (Mucosa-associated Lymphoid Tissue)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data hasil penelitian jumlah netrofil yang menginvasi cairan intraperitoneal mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buah merah merupakan tanaman endemik Papua yang bermanfaat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan membantu pengobatan beberapa penyakit, antara lain kanker, tumor,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepadatan Ayam Petelur Fase Grower Ayam petelur adalah ayam yang efisien sebagai penghasil telur (Wiharto, 2002). Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon inflamasi. Hormon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan segala macam organisme pengganggu atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Uji LD-50 Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui kepadatan bakteri yang akan digunakan pada tahap uji in vitro dan uji in vivo. Hasil

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tubuh manusia secara fisiologis memiliki sistim pertahanan utama untuk melawan radikal bebas, yaitu antioksidan yang berupa enzim dan nonenzim. Antioksidan enzimatik bekerja

Lebih terperinci

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

SISTEM PERTAHANAN TUBUH SISTEM PERTAHANAN TUBUH Sistem Pertahanan Tubuh Sistem Pertahanan Tubuh Non spesifik Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik Jenis Kekebalan Tubuh Disfungsi sitem kekebalan tubuh Eksternal Internal Struktur Sistem

Lebih terperinci

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt.

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt. SISTEM IMUN SPESIFIK Lisa Andina, S.Farm, Apt. PENDAHULUAN Sistem imun spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan respon

Lebih terperinci

Makalah Sistem Hematologi

Makalah Sistem Hematologi Makalah Sistem Hematologi TUGAS I untuk menyelesaikan tugas browsing informasi ilmiah Disusun Oleh: IBNU NAJIB NIM. G1C015004 PROGRAM DIPLOMA IV ANALISI KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

Lebih terperinci

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM Pengertian Sistem Pertahanan Tubuh Pertahanan tubuh adalah seluruh sistem/ mekanisme untuk mencegah dan melawan gangguan tubuh (fisik, kimia, mikroorg) Imunitas Daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi Pengamatan histopatologi limpa dilakukan untuk melihat lesio pada limpa. Dari preparat yang diamati, pada seluruh kelompok perlakuan baik kontrol (-) maupun

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

ulangan pada tiap perlakuan. Pada penelitian ini dilakuan sebanyak 6 kali ulangan.

ulangan pada tiap perlakuan. Pada penelitian ini dilakuan sebanyak 6 kali ulangan. Hasil dari perhitungan rumus di atas diperoleh nilai minimal 3 kali ulangan pada tiap perlakuan. Pada penelitian ini dilakuan sebanyak 6 kali ulangan. 3.6. Analisis Data Data-data yang diperoleh adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika disebut juga dermatitis atopik yang terjadi pada orang dengan riwayat atopik. Atopik ditandai oleh adanya reaksi yang berlebih terhadap rangsangan

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

Imunisasi: Apa dan Mengapa?

Imunisasi: Apa dan Mengapa? Imunisasi: Apa dan Mengapa? dr. Nurcholid Umam K, M.Sc, Sp.A Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Jogjakarta Penyebab kematian pada anak di seluruh dunia Campak

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Untuk mengerti bagaimana kedudukan dan peran imunologi dalam ilmu kefarmasian, kita terlebih dahulu harus mengetahui apakah yang

Lebih terperinci

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Apabila tubuh mendapatkan serangan dari benda asing maupun infeksi mikroorganisme (kuman penyakit, bakteri, jamur, atau virus) maka sistem kekebalan tubuh akan berperan

Lebih terperinci

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Ikan Lele Dumbo Pada penelitian ini dihitung jumlah sel darah putih ikan lele dumbo untuk mengetahui pengaruh vitamin dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan keganasan pada usus besar dan rektum. Gangguan replikasi DNA di dalam sel-sel usus yang diakibatkan oleh inflamasi kronik dapat meningkatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tikus Putih Tikus putih termasuk dalam kingdom Animalia, Filum Chordata, Klas Mamalia, Ordo Rodentina, Famili Muridae, Subfamily Muroidae, Genus Rattus, Species Rattus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut TUGAS IMUNOLOGI DASAR TUGAS I : CELLS AND TISSUE IN THE IMMUNE SYSTEM 1 Sebutkan jaringan dan sel yang terlibat dalam system imun Jaringan yang terlibat dalam system imun adalah : a. Primer Bone Marrow

Lebih terperinci

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Dasar-dasar Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Departemen Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Unair Pokok Bahasan Sejarah Imunologi Pendahuluan Imunologi Komponen Imunologi Respons Imun Imunogenetika

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan terhadap gejala klinis pada semua kelompok perlakuan, baik pada kelompok kontrol (P0) maupun pada kelompok perlakuan I, II dan III dari hari pertama sampai pada

Lebih terperinci

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan bahan alam untuk mengobati penyakit sudah sejak lama diterapkan oleh masyarakat. Pada jaman sekarang banyak obat herbal yang digunakan sebagai alternatif

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN A. MEKANISME SISTEM IMUN

BAB II PEMBAHASAN A. MEKANISME SISTEM IMUN BAB II PEMBAHASAN A. MEKANISME SISTEM IMUN Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat menimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Pedaging Klasifikasi biologis ayam (Gallus gallus) berdasarkan Rasyaf (2003) adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Pedaging Klasifikasi biologis ayam (Gallus gallus) berdasarkan Rasyaf (2003) adalah sebagai berikut : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Pedaging Klasifikasi biologis ayam (Gallus gallus) berdasarkan Rasyaf (2003) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordate Kelas : Aves Ordo : Galliformes

Lebih terperinci

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sel sel darah primitif dibentuk dalam saccus vitelinus. Sel sel darah disini masih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sel sel darah primitif dibentuk dalam saccus vitelinus. Sel sel darah disini masih BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembentukan Sel Darah (hemopoiesis) Terdiri dari 3 fase hemopoesis : 1. Fase mesoblastik Sel sel darah primitif dibentuk dalam saccus vitelinus. Sel sel darah disini masih serupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci