HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Neutrofil pada Mencit Jantan Berdasarkan Tabel 2, rata-rata persentase neutrofil ketiga perlakuan infusa A. annua L. dari hari ke-2 sampai hari ke-8 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Pada hari ke-9 setelah infeksi, rata-rata persentase neutrofil ketiga perlakuan cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan. Pada hari ke-1 setelah infeksi, rata-rata persentase neutrofil kelompok cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase neutrofil dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit jantan disajikan pada Tabel 2, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 1 di bawah ini O Hari Pengamatan Gambar 1 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Neutrofil pada Mencit Betina Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase neutrofil dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit betina disajikan pada Tabel 3. Diagram batang dari Tabel 3 disajikan pada Gambar 11.

2 25 Tabel 2 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O 3.33 ± 1.41 abcd 39. ±. bcd ± 8.92 bcd ± 3.79 abcd ± 12.5 bcd 39. ± 14. bcd ± 19.1 abcd 28. ± 5. abc 3. ± 8.54 abcd ± 1.53 abcd ± 5.3 abcd 21. ± 2.65 a 31. ± 8.72 abcd ± 16.2 bcd ± 3.6 abcd 37. ± 1.82 abcd 34. ± 8.66 abcd 36. ±. abcd ± 1.26 abcd ± 2.52 ab ± 13.5 abcd ± 6.11 abcd ± abcd 35. ± 1. abcd ± 6.66 abcd ± 2.8 abcd 33. ± 3.61 abcd 33. ± 4.36 abcd 3.33 ± 1.53 abcd ± 7.37 abcd 3.33 ± 9.61 abcd ± 12.6 cd 32.5 ± 7.5 abcd ± 3.21 abcd ± 5.86 d 36. ± 4.36 abcd 43. ±. cd ± 5.51 abcd 4.33 ± 2.89 cd ± 9.29 abcd *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<.5; O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml),1 1-4 (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Tabel 3 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O ± 3.21 abcdefghi ± abcdefghij 31. ± 6.56 abcdefghij 33. ± 5.29 cdefghij ± 4.51 j 3.67 ± 3.21 abcdefghij ± 6.3 abcdefghij ± j ± 1.53 abcdefghi ± 2.8 ghij ± 9.7 abcd 39. ± 9.54 ghij ± 3.21 hij 41.5 ± 1.5 j 4. ± 1. ij 42. ±. j ± 4.93 abcdefg ± 8.39 defghij ± 3.51 bcdefghij ± efghij 3. ± 2. abcdefghij 37. ± 2. efghij ± 4.62 fghij ± 8.5 defghij 37. ± 2.65 efghij 36. ± defghij 18. ± 7. ab 23.5 ± 13.5 abcdef 36. ± 7. defghij 16.5 ± 2.5 a 32.5 ± 3.5 bcdefghij 26. ± 3. abcdefghi ±.56 abcdefg ± 8.8 j ± 1.53 abcde ± 6.11 abcdef ± 2.51 abcd ± 6.87 abc 25. ± 1. abcdefgh 3.33 ± abcdefghij *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<.5; O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml),1 1-4 (.96 mg/ml), (.96 mg/ml).

3 26 Pada hari ke-2 setelah infeksi (Tabel 3), hanya yang memiliki persentase rata-rata neutrofil lebih tinggi dibandingkan kelompok. Pada hari ke-4 setelah infeksi, rata-rata persentase kelompok perlakuan dan cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Rata-rata persentase neutrofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-6 sampai ke-11 setelah infeksi cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok O Hari Pengamatan Gambar 11 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Monosit Pada Mencit Jantan Berdasarkan Tabel 4, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok. Hal sebaliknya terjadi pada hari ke-4 setelah infeksi, persentase rata-rata monosit ketiga kelompok perlakuan A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Pada hari ke-6 dan ke-8 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Pada hari ke-9 dan ke-1 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok, sedangkan kelompok 26

4 27 perlakuan dan cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase monosit dari berbagai kelompok perlakuan di mencit jantan disajikan pada Tabel 4, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 12 di bawah ini O Hari Pengamatan Gambar 12 Rata-rata persentase monosit dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Monosit pada Mencit Betina Berdasarkan Tabel 5, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit ketiga perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Pada hari ke-4 setelah infeksi, hanya yang memiliki rata-rata persentase monosit lebih tinggi dibandingkan kelompok. Hari ke-6 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan rata-rata persentase kelompok. Rata-rata persentase monosit pada hari ke-9 dan ke-1 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase monosit dari mencit betina disajikan pada Tabel 5, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar

5 28 Tabel 4 Rata-rata persentase monosit dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O 4. ± 2.65 ab ± 4.51 abc 8.33 ± 2.8 abc 4.67 ± 4.62 ab ± 7.57 abc ± 3.21 abc 1. ± 5. abc 13. ± 2. abc 2.33 ±.57 a ± 5.13 abc 7.67 ± 4.51 abc 8.33 ± 4.93 abc 3.67 ± 1.54 ab 6.33 ± 8.39 ab 5. ± 6.25 ab 3.33 ± 1.53 a 5.33 ± 2.8 ab ± 12.5 abc 12. ± 1. abc 7.67 ± 4.73 abc 9.67 ± 6.11 abc 8.33 ± 4.4 abc 15. ± 6.8 bc 18. ± 7. d 2.67 ± 1.53 a 3.67 ± 1.53 ab ± 3.5 abc 4.67 ± 2.8 ab 2.67 ± 1.53 a 9.67 ± 4.73 abc 9.67 ± 7.51 abc 9.67 ± 5.77 abc 9.5 ± 6.5 abc 3.33 ± 2.52 a ± 6.43 bcd 1. ± 8.72 abc 1. ± 3.46 abc 3.67 ± 3.5 ab 4.33 ± 2.8 ab 11. ± abc *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<.5; O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml),1 1-4 (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Tabel 5 Rata-rata persentase monosit dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O 3. ± 1.73 abcd 6.33 ± 1.53 abcdefghi 9. ± 8.54 defghi ±1.53 ghi 8.33 ± 2.31 bcdefghi 9.33 ± 3.6 defghi 9.67 ± 4.13 defghi 6. ± 2. abcdefghi 1.67 ±.58 abc 3.33 ± 2.31 abcde 6. ± 4.36 abcdefghi 8.67 ± 3.6 cdefghi 5.67 ± 5.69 abcdefgh 3. ± 1. abcd 8. ± 2. abcdefghi 9.5 ±.5 defghi 3.67 ± 1.53 abcde 13. ± 3.61 i 1. ± 1. a 4. ± 3.61 abcdef 1.33 ±.58 ab 1.33 ±.58 ab 9. ± 3.61 defghi ± 2.89 hi 4.33 ± 3.21 abcdef 6. ± 3.61 abcdefghi 8.5 ±.5 bcdefghi 5.5 ± 1.5 abcdefgh 8.5 ± 7.5 bcdefghi 5.5 ± 4.5 abcdefgh 6.5 ±.5 abcdefghi 6.5 ± 2.5 abcdefghi 4.67 ± 3.79 abcdef 11. ± 1. fghi 5.33 ± 1.53 abcdefg 6.33 ± 7.51 abcdefghi 5.33 ± 4.61 abcdefg 9.33 ± 6.43 defghi 1.33 ± 4.16 efghi 8.67 ± 3.79 cdefghi *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<.5; O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml),1 1-4 (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). 28

6 O Hari Pengamatan Gambar 13 Rata-rata persentase monosit dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Limfosit pada Mencit Jantan Rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-4 dan ke-6 setelah infeksi berdasarkan Tabel 6 cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok. Pada hari ke-8 dan ke-1 setelah infeksi, kelompok memiliki rata-rata persentase limfosit paling tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. Pada hari ke-9 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok, dan kelompok memiliki rata-rata persentase limfosit tertinggi dibandingkan dua kelompok perlakuan infusa A. annua L. lainnya. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase limfosit dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit jantan disajikan pada Tabel 6, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 14 berikut ini. 29

7 O Hari Pengamatan Gambar 14 Rata-rata persentase limfosit dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Limfosit pada Mencit Betina Berdasarkan Tabel 7, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok. Pada hari ke-4 dan ke-6 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit kelompok dan cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Pada hari ke-8 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit kelompok dan cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan A. annua L. pada hari ke-9 sampai ke-11 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase limfosit dari berbagai kelompok perlakuan di mencit betina disajikan pada Tabel 7, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 15. 3

8 31 Tabel 6 Rata-rata persentase limfosit dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O 6. ± abcde ± 4.16 abcde ± 1.5 abcd 55. ± 3. abcde ± 17.5 abcd ± 15.4 abc 54. ± 2.3 abcde 58. ± 3. abcde ± 9.54 cde ± 6.81 abcde ± 9.81 abcde ± 7.2 e 62. ± 9.54 bcde ± abcde 55. ± abcde ± abcde ± 1.12 abcde 49. ± abcde ±1.69 abcde ± 7.51 de ± abcde 57. ± 6.93 abcde 46. ± abcd ± 7.51 abc ± 6.66 abcde ± 2.52 abcde ± 2.52 abcde 61. ± 5.57 bcde ±.58 cde ± 8.33 abcde 57. ± 8.66 abcde ± 8.8 abcde 57.5 ± 14.5 abcde ± 5.86 abcde ± 4.72 a 53. ± 9.64 abcde ± 8.5 ab 61. ± 4.58 bcde ± 2.52 abcde ± 6.66 abcde *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<.5; O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml),1 1-4 (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Tabel 7 Rata-rata persentase limfosit dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O ± 2.89 fghijk ± bcdefghijk 58. ±12.17 abcdefghij 5. ± 2. abcde 47. ± 4.36 abc 56. ± 1.73 abcdefghij ± 5.51 bcdefghijk ± abcd ±1.15 jk 57. ± 3.46 abcdefghij ± 15.1 hijk 46. ± ab ± 4.4 abcdefghi 54. ± 3. abcdefghi 48.5 ± 2.5 abcd 46. ± 1. ab ± 5.3 ghijk 5.67 ± 5.51 abcde ± 2.8 cdefghijk ± abcdefghij ± 2.51 fghijk 59. ± 3. abcdefghij ± 7.37 abcdefg 51. ± 7.81 abcdef ± 7.57 abcdefghij 56. ± 17.9 abcdefghij 7. ± 8. ijk 68.5 ± 14.5 ghijk 53. ±. abcdefgh 76.5 ± 1.5 k 6.5 ± 3.5 abcdefghijk 66. ± 6. efghijk ± 3.78 ghijk ± 9.71 a ± 1.53 hijk ± 9.71 ghijk ± 3.51 hijk ± 7.23 jk ± 6.66 defghijk 61. ± 8.72 abcdefghijk *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<.5; O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml),1 1-4 (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). 31

9 O Hari Pengamatan Gambar 15 Rata-rata persentase limfosit dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Eosinofil pada Mencit Jantan Berdasarkan Tabel 8, rata-rata persentase eosinofil ketiga kelompok perlakuan disemua hari pengamatan, kecuali hari ke- dan ke-8 setelah infeksi, cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok. Pada hari ke-2, ke-4 dan ke-9 setelah infeksi, rata-rata persentase eosinofil kelompok cenderung lebih tinggi dibandingkan kedua perlakuan infusa A. annua L. lainnya. Pada hari ke-8 setelah infeksi, hanya kelompok yang memiliki rata-rata persentase eosinofil lebih tinggi dibandingkan kelompok. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase eosinofil dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit jantan disajikan pada Tabel 8, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 16 berikut ini. 32

10 33 1 O Hari Gambar 16 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Eosinofil pada Mencit Betina Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase eosinofil dari berbagai kelompok perlakuan di mencit betina disajikan pada Tabel 9, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar O Hari Pengamatan Gambar 17 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). 33

11 34 Tabel 8 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O 5. ± 2.65 de 2. ± 1. abcde 4.67 ± 3.79 cde 2.67 ± 2.8 abcde 2. ±. abcde 4. ± 1.73 bcde 2.67 ± 1.53 abcde 1. ±. abc 1.33 ±.58 abcd 8.33 ± 4.73 h 3. ± 1. abcde 2. ± 2.65 abcde 3.33 ± 1.53 abcde 2. ± 2.65 abcde 3.33 ± 4.16 abcde 3.33 ±.58 abcde 2.33 ± 1.15 abcde 3.33 ± 2.52 abcde 2. ± 1.73 abcde 1.33 ± 1.53 abcd.67 ±.58 ab. ±. a 2.67 ± 2.8 abcde 1.5 ±.5 abcd 3. ±. abcde 2. ± 1. abcde 1. ± 1. abc 1.33 ±.58 abcd 1.33 ±.58 abcd. ±. a 2. ± 2. abcde. ±. a.55 ±.5 ab 4.67 ±.58 cde 2.33 ±.58 abcde 1. ± 1.73 abc 5.67 ± 5.13 ef 1.67 ± 1.53 abcd 1. ± 1. abc 1. ± 1.73 abc *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<.5; O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml),1 1-4 (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Tabel 9 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O 3. ± 1.73 bcdefg 1.67 ±.58 abcdef 2. ±1. abcdefg 4.67 ± 2.8 gh 2.33 ± 2.52 abcdefg 3.67 ± 2.8 defgh 1.33 ± 1.53 abcdef 4. ± 2. fgh 1.33 ±.58 abcdef 1. ± 1. abcde 3.33 ± 3.21 cdefgh 6. ± 3.61 h 1. ± 1. abcd 1.5 ±.5 abcdef 3.5 ± 1.5 defgh 2.5 ±.5 abcdefg 3.67 ±.58 efgh 2. ± 1. abcdefg 3. ± 2.65 bcdefg 3.33 ± 1.53 cdefgh 1.33 ±.58 abcdef 2.67 ± 1.15 abcdefg 1. ± 1. abcd 1. ± 1. abcd.67 ± 1.15 abcd 2. ± 1. abcdefg 2. ±. abcdefg 2.5 ±.5 abcdefg 2.5 ±.5 abcdefg 1.5 ±.5 abcdef.5 ±.5 abc 1.5 ±.5 abcdef 2.33 ± 1.53 abcdefg 3. ± 1. bcdefg 2.67 ±.58 abcdefg 1.67 ± 1.53 abcdef 4. ± 2. fgh.67 ±.58 abcd.33 ±.58 ab. ±. a *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<.5; O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml),1 1-4 (.96 mg/ml), (.96 mg/ml) 34

12 35 Berdasarkan Tabel 9, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase eosinofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok, diantara ketiga kelompok perlakuan infusa tersebut, kelompok cenderung memiliki rata-rata persentase eosinofil paling tinggi. Pada hari ke-4 dan ke-6 setelah infeksi, rata-rata persentase ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok. Rata-rata persentase eosinofil kelompok pada hari ke-6 setelah infeksi lebih rendah dibandingkan semua kelompok perlakuan. Pada hari ke-8 setelah infeksi (Tabel 9), rata-rata persentase eosinofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok, diantara ketiga kelompok perlakuan infusa tersebut, kelompok memiliki rata-rata persentasae eosinofil paling tinggi. Pada hari ke-1 dan ke-11 setelah infeksi, rata-rata persentase eosinofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok. Basofil pada Mencit Jantan Rata-rata persentase basofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. di semua hari pengamatan menunjukkan nilai nol (Tabel 1). Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase basofil dari mencit jantan disajikan pada Tabel 1, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 18 berikut ini. 5 O Hari Pengamatan Gambar 18 Rata-rata persentase basofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). 35

13 36 Basofil pada Mencit Betina Berdasarkan Tabel 11, rata-rata persentase basofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-2 sampai ke-11 setelah infeksi menunjukkan nilai nol. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase basofil dari berbagai kelompok perlakuan di mencit betina disajikan pada Tabel 11, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 19 berikut ini. 5 O Hari Pengamatan Gambar 19 Rata-rata persentase basofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). 36

14 37 Tabel 1 Rata-rata persentase basofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O.67 ± 1.15 abc. ±. a. ±. a.33 ±.58 ab. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a.33 ±.58 ab. ±. a. ±. a. ±. a 1.33 ± 1.53 c 1. ± 1.73 bc. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<.5; O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml),1 1-4 (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). Tabel 11 Rata-rata persentase basofil dari betina jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. O.33 ±.58 ab. ±. a. ±. a. ±. a.67 ± 1.15 b.33 ±.58 ab. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a.33 ±.58 ab. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a.33 ±.58 ab. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a. ±. a *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<.5; O: Kontrol Normal; : Kontrol Negatif;,, dan : Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml),1 1-4 (.96 mg/ml), (.96 mg/ml). 37

15 38 Pembahasan Tanaman A. annua L. mengandung beberapa senyawa antimalaria. Menurut Dharani et al. (21), senyawa seskuiterpen lakton endoperoksida yang terkandung di dalam tanaman A. annua L. aktif mengatasi serangan malaria. Dharani et al. (21), juga menyatakan bahwa flavonoid (quecetagetin 4-metil eter) telah berhasil diisolasi dari tanaman ini, dan dapat meningkatkan aktivitas antimalaria dari artemisinin secara signifikan. Penggunaan herbal A. annua L. (diseduh seperti teh) dengan takaran 5-9 g herbal/liter air/hari yang dikonsumsi selama 7 hari menunjukkan kemanjuran dalam menanggulangi malaria pada manusia dengan tingkat keberhasilan mencapai 74% (Kardinan 28). Seskuiterpen lakton endoperoksida dan flavonoid yang terdapat di dalam A. annua L. bersifat skizontisida darah, sehingga penggunaan A. annua L. sebagai antimalaria dapat mengurangi jumlah parasit (Plasmodium spp.) di dalam darah (Dharani et al. 21). Mekanisme kerja tubuh terhadap parasit malaria sangat kompleks, karena melibatkan hampir semua komponen imun, baik imunitas yang timbul secara alami maupun dapatan, karena adanya imunitas non spesifik maupun spesifik. Sel leukosit merupakan sel yang berperan baik dalam imunitas non spesifik dan spesifik, sehingga dengan mengetahui rata-rata persentase dari tiap-tiap jenis leukosit diharapkan dapat mengetahui reaksi tubuh yang sedang terjadi terhadap adanya parasit (P. berghei) yang masuk ke dalam tubuh. Neutrofil Rata-rata persentase neutrofil di dalam darah mencit normal adalah 6-4% (Malole & Pramono 1989). Neutrofil berfungsi sebagai sel pertahanan pertama terhadap patogen-patogen yang masuk ke dalam tubuh (Oberholzer et al. 21). Patogen tersebut akan mengeluarkan bahan kemotaktik yang dapat menarik neutrofil untuk datang, kemudian neutrofil akan datang ke daerah asal kemotaktik tersebut dan melakukan fagositosis (Meyer et al. 1992). Parasit akan dicerna oleh enzim lisozim yang terdapat di dalam neutrofil, kemudian neutrofil akan mengalami autolisis setelah proses fagositosis selesai. Histamin dan faktor leukopoietik (sitokin dan interleukin) yang dilepaskan setelah lisisnya neutrofil 38

16 39 akan meransang sumsum tulang melepaskan cadangan neutrofil, sehingga produksi neutrofil akan meningkat (Hafizhiah 28). Rata-rata persentase neutrofil mencit jantan ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-2 sampai ke-8 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Rata-rata jumlah parasit mencit jantan di ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-4 sampai ke-11 setelah infeksi lebih rendah dibandingkan kelompok (Ditya 29). Berdasarkan rata-rata persentase neutrofil dan rata-rata jumlah parasit pada mencit jantan, dapat diketahui bahwa pemberian infusa A. annua L. dapat meningkatkan rata-rata persentase jumlah neutrofil, sehingga rata-rata jumlah parasit dapat ditekan. Rendahnya rata-rata parasit pada mencit jantan pada ketiga perlakuan infusa juga disebabkan oleh kandungan artemisinin dan flavonoid yang bersifat antiplasmodial terdapat pada A. annua L. (Ditya 29), sehingga kerjasama antara neutrofil dan antiplasmodial dapat menekan jumlah parasit di dalam tubuh mencit. Menurut Ditya (29), kelompok mencit betina pada hari ke-2 setelah infeksi memiliki rata-rata jumlah parasit paling tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lainnya, namun pada hari ke-4 setelah infeksi, merupakan kelompok dengan rata-rata jumlah parasit paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Berdasarkan Tabel 3, hari ke-2 setelah infeksi, pada mencit betina, hanya yang cenderung memiliki rata-rata persentase neutrofil lebih tinggi dibandingkan kelompok. Pada hari ke-4 setelah infeksi, rata-rata persentase neutrofil mencit mencit betina kelompok dan lebih tinggi dibandingkan kelompok. Tingginya rata-rata persentase neutrofil pada hari ke-2 dan ke-4 setelah infeksi inilah yang membantu tubuh dalam mengeliminasi jumlah parasit selain karena pemberian infusa A. annua L. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada hari ke-6 sampai ke-11 setelah infeksi, rata-rata persentase neutrofil ketiga kelompok perlakuan cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok. Ditya (29) menyatakan bahwa rata-rata jumlah parasit mencit betina ketiga perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-6 sampai ke-11 setelah infeksi lebih rendah dibandingkan kelompok. Rendahnya rata-rata persentase neutrofil mencit betina di ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari-hari terakhir ini dapat disebabkan oleh 39

17 4 fungsi neutrofil yang berperan sebagai pemberi tanda pertama untuk membunuh parasit hanya memiliki paruh waktu selama 2 hari dan hanya efektif pada hari-hari pertama terjadinya serangan parasit (Hargono 1996). Monosit Rata-rata persentase monosit mencit normal adalah,7-14% (Malole & Pramono 1989). Ditya (29) menyatakan bahwa rata-rata jumlah parasit mencit jantan pada hari ke-4 setelah infeksi di ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. lebih rendah dibandingkan kelompok. Berdasarkan Tabel 4, pada hari ke-4 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit mencit jantan ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Tingginya rata-rata persentase ini dapat disebabkan oleh senyawa flavonoid yang terkandung di dalam A. annua L. (Dharani et al. 21). Flavonoid berpotensi sebagai antioksidan pada pertumbuhan tumor dan mampu meningkatkan respon imun (Depkes RI 1985). Monosit merupakan salah satu sel yang berperan penting dalam respon imun, baik berperan fungsional dalam fagositosis maupun perannya sebagai antigen presenting cells (APC) (Bratawidjaja 23). Dengan demikian, pemberian infusa A. annua L. dapat meningkatkan jumlah monosit di dalam tubuh. Ditya (29) menyatakan bahwa rata-rata jumlah parasitemia mencit jantan kelompok pada hari ke-6 setelah infeksi lebih rendah dibandingkan kelompok, pada hari ke-8 setelah infeksi, kelompok mencit jantan memiliki rata-rata jumlah parasitemia paling rendah dibandingkan kelompok lainnya. Berdasarkan Tabel 4, pada hari ke-6 dan ke-8 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Rata-rata persentase monosit mencit jantan hari ke-6 dan ke-8 setelah infeksi cenderung tinggi pada kelompok perlakuan infusa A. annua L. dan rata-rata jumlah parasitemia cenderung rendah pada ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. Hal ini diduga karena flavonoid (salah satu kandungan A. annua L.) berpotensi bekerja terhadap limfokin yang dihasilkan oleh sel T, sehingga akan meransang sel-sel fagosit (monosit) untuk melakukan respon fagositosis (Kusmardi 26). Dengan adanya flavonoid, jumlah monosit di dalam tubuh akan 4

18 41 meningkat. Monosit tersebut akan memfagosit parasit yang ada, sehingga jumlah parasit di dalam tubuh dapat menurun. Limfosit Rata-rata persentase limfosit mencit normal adalah 36-9% (Malole & Pramono 1989). Berdasarkan Tabel 6, pada hari ke-4 dan ke-6 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit mencit jantan ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok. Ditya (29) menyatakan bahwa rata-rata jumlah parasitemia mencit jantan kelompok dan pada hari ke-4 setelah infeksi lebih rendah dibandingkan kelompok dan hari pengamatan sebelumnya (hari ke-2 setelah infeksi). A. annua L mengandung seskuiterpene laktone endoperoksida yang bersifat antiplasmodial (Dharni et al. (21), sehingga jumlah parasit yang terdapat di dalam tubuh dapat ditekan dengan pemberian tanaman ini. Berdasarkan Tabel 6, pada hari ke-9 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit mencit jantan ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok, dan kelompok cenderung memiliki rata-rata persentase limfosit tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Pada Tabel 7, rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. mencit betina hari ke-9 sampai ke-11 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok. Ditya (29) menyatakan bahwa rata-rata jumlah parasitemia mencit jantan ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-9 setelah infeksi lebih rendah dibandingkan kelompok, hal yang sama terjadi pada mencit betina, rata-rata jumlah parasitemia mencit betina ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-9 sampai ke-11 setelah infeksi cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok. Rata-rata persentase limfosit kelompok perlakuan infusa A. annua L. mencit jantan dan mencit betina yang tinggi pada hari-hari terakhir pengamatan dapat disebabkan oleh kandungan flavonoid pada A. annua L. yang masih ada pada tubuh mencit. Jiao (25) menyatakan bahwa flavonoid dapat meningkatkan aktivitas IL-2 dan meningkatkan proliferasi limfosit. Ganong (22) menyatakan bahwa adanya benda asing (P. berghei) akan meransang terbentuknya antigen precenting cell (APC), APC ini akan meransang tubuh untuk membentuk sel 41

19 42 limfosit T. Ganong (22) juga menyatakan bahwa IL-2 akan diproduksi dengan adanya sel limfosit T, IL-2 ini akan meransang sel T sitotoksik untuk menghancurkan benda asing (P. berghei) yang masuk ke dalam tubuh. Pemberian infusa A. annua L. meningkatkan jumlah limfosit, sehingga dengan adanya kerjasama antara sistem kekebalan tubuh dan infusa A. annua L. dalam tubuh mencit dapat mengeliminasi jumlah parasit yang ada. Eosinofil Rata-rata persentase eosinofil mencit normal adalah -15% (Malole & Pramono 1989). Berdasarkan Tabel 9, pada hari ke-8 setelah infeksi, rata-rata persentase eosinofil mencit betina ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan, diantara ketiga kelompok perlakuan infusa tersebut, kelompok cenderung memiliki rata-rata persentase eosinofil paling tinggi. Ditya (29) menyatakan bahwa pada hari ke-8 setelah infeksi, kelompok pada mencit betina memiliki rata-rata jumlah parsitemia lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. Guyton (1996) menyatakan bahwa eosinofil berperan dalam proses imun tubuh terhadap adanya infeksi parasit seperti cacing, protozoa dan lain-lain. Franklin (1991) menyatakan adanya eosinofil dalam jumlah besar cenderung terjadi karena adanya infeksi cacing daripada protozoa. Saptanto (24) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara adanya eosinofil dalam jumlah besar terhadap kehadiran parasit malaria (Plasmodium spp.), namun tidak terdapat hubungan yang bermakna antara eosinofil dalam jumlah besar terhadap jumlah parasit yang ada pada penderita malaria. Dengan demikian, rata-rata persentase eosinofil tidak dapat dikaitkan dengan jumlah parasit (P. berghei) yang ada di dalam tubuh mencit. Rata-rata persentase eosinofil yang tinggi pada kelompok mencit betina mungkin dapat disebabkan oleh A. annua L. yang bekerja meningkatkan rata-rata persentase eosinofil. Basofil Basofil pada mencit normal memiliki persentase -3% (Malole & Pramono 1989). Basofil memiliki peran utama dalam berbagai proses alergi dan penutupan luka serta basofil kurang berperan terhadap adanya parasit (Campbell et al. 24). 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap diferensiasi leukosit mencit (Mus musculus) yang diinfeksi P. berghei, setelah diberi infusa akar tanaman kayu kuning (C. fenestratum) sebagai berikut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari pengamatan diferensial leukosit pada mencit yang diinfeksi dengan P.berghei setelah pemberian ekstrak akar kayu kuning (C. fenestratum) dengan pelarut etanol yaitu sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria masih menjadi masalah kesehatan di dunia baik di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit malaria telah menjangkiti 103 negara di dunia. Populasi orang

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

KETAHANAN VARIETAS/KLON UBI KAYU TERHADAP HAWAR BAKTERI SECARA ALAMI DI LAPANGAN

KETAHANAN VARIETAS/KLON UBI KAYU TERHADAP HAWAR BAKTERI SECARA ALAMI DI LAPANGAN KETAHANAN VARIETAS/KLON UBI KAYU TERHADAP HAWAR BAKTERI SECARA ALAMI DI LAPANGAN Nasir Saleh, Budhi Santoso r., dan Muslikul Hadi Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jl. Raya Kendalpayak

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem imun berfungsi dalam mempertahankan kondisi tubuh terhadap benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus dan parasit. Sistem

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 18 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Respon Umur Tanaman Pada Cekaman Kekeringan Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi penyakit endemis di beberapa daerah tropis dan subtropis dunia. Pada tahun 2006, terjadi 247 juta kasus malaria,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Uji LD-50 Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui kepadatan bakteri yang akan digunakan pada tahap uji in vitro dan uji in vivo. Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Percobaan 1. Penapisan Galur Padi terhadap Cekaman Besi secara Hidroponik Perlakuan cekaman 750 ppm Fe ke dalam media larutan Yoshida konsentrasi penuh (full strength) selama

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. (turunan) dari persilangan intraspesifik RRIM 600 x PN 1546 di Balai Penelitian

METODE PENELITIAN. (turunan) dari persilangan intraspesifik RRIM 600 x PN 1546 di Balai Penelitian METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan tanaman F1 hasil okulasi (turunan) dari persilangan intraspesifik RRIM 600 x PN 1546 di Balai Penelitian Sungei Putih-Pusat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tubuh manusia secara fisiologis memiliki sistim pertahanan utama untuk melawan radikal bebas, yaitu antioksidan yang berupa enzim dan nonenzim. Antioksidan enzimatik bekerja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan di sekitar manusia banyak mengandung berbagai jenis patogen, misalnya bakteri, virus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan bahan alam untuk mengobati penyakit sudah sejak lama diterapkan oleh masyarakat. Pada jaman sekarang banyak obat herbal yang digunakan sebagai alternatif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

Keragaan Fenotipik Klon-Klon Mawar Hasil Persilangan Tunggal. Phenotypic Performance of Rose Clones From Single Hybridization.

Keragaan Fenotipik Klon-Klon Mawar Hasil Persilangan Tunggal. Phenotypic Performance of Rose Clones From Single Hybridization. Keragaan Fenotipik Klon-Klon Mawar Hasil Persilangan Tunggal Phenotypic Performance of Rose Clones From Single Hybridization Dedeh Kurniasih 1 1 Balai Penelitian Tanaman Hias Jl. Raya Ciherang PO. Box

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia, penyakit

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM Pengertian Sistem Pertahanan Tubuh Pertahanan tubuh adalah seluruh sistem/ mekanisme untuk mencegah dan melawan gangguan tubuh (fisik, kimia, mikroorg) Imunitas Daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi

Lebih terperinci

BAB IV IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

BAB IV IMPLEMENTASI DAN EVALUASI 45 BAB IV IMPLEMENTASI DAN EVALUASI 4.1. Implementasi Dalam mengimplementasikan tugas akhir ini digunakan PC dengan spesifikasi sebagai berikut : 4.1.1. Spesifikasi Kebutuhan Perangkat keras yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penurunan sistem imun dapat menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam tubuh (Murphy et al.,

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit intraseluler Protozoa, yaitu genus Plasmodium, menginfeksi 500 juta dan membunuh lebih dari 1 juta jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolitis Ulserativa (ulcerative colitis / KU) merupakan suatu penyakit menahun, dimana kolon mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Aplikasi Insektisida terhadap Populasi WBC dan Musuh Alaminya di Lapangan Nilaparvata lugens Populasi wereng batang cokelat (WBC) selama penelitian dipengaruhi oleh interaksi antara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biji Buru Hotong Gambar biji buru hotong yang diperoleh dengan menggunakan Mikroskop Sterio tipe Carton pada perbesaran 2 x 10 diatas kertas millimeter blok menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray].

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray]. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bahan alam berkhasiat obat yang banyak diteliti manfaatnya adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray]. Tanaman kembang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. rizosfer tanaman nanas yang diambil dari PT. Great Giant Pineapple (GGP)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. rizosfer tanaman nanas yang diambil dari PT. Great Giant Pineapple (GGP) 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Isolat jamur tanah yang diperoleh Dari isolasi yang telah dilakukan, didapatkan 54 isolat jamur tanah yang diperoleh dari tingkat pengenceran 10-4

Lebih terperinci

PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL

PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL 99 PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL Effect of Plant Spacing on Yield of Various Types of Rice Cultivars Abstrak Penelitian yang bertujuan mempelajari pengaruh jarak tanam terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ limfatik sekunder Limpa Nodus limfa Tonsil SISTEM PERTAHANAN TUBUH MANUSIA Fungsi Sistem Imun penangkal benda asing yang masuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Upaya peningkatan produksi ubi kayu seringkali terhambat karena bibit bermutu kurang tersedia atau tingginya biaya pembelian bibit karena untuk suatu luasan lahan, bibit yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlukaan merupakan rusaknya jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan suhu,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 3 penyakit menyular setelah TB dan Pneumonia. 1. Diare dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, salah satunya infeksi bakteri.

BAB 1 PENDAHULUAN. 3 penyakit menyular setelah TB dan Pneumonia. 1. Diare dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, salah satunya infeksi bakteri. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit infeksi merupakan penyakit yang banyak dialami oleh masyarakat Indonesia. Salah satu penyakit yang sering dialami adalah diare. Penyakit diare merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun negara berkembang. Dewasa ini para sarjana kedokteran telah

BAB I PENDAHULUAN. maupun negara berkembang. Dewasa ini para sarjana kedokteran telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dunia modern ini alergi merupakan penyakit yang penyebarannya paling luas. Menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan terdapat lima puluh juta orang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Hasil pengamatan histopatologi bursa Fabricius yang diberi formula ekstrak tanaman obat memperlihatkan beberapa perubahan umum seperti adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem imunitas didalam tubuh manusia merupakan satu kesatuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Sistem imunitas didalam tubuh manusia merupakan satu kesatuan yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sistem imunitas didalam tubuh manusia merupakan satu kesatuan yang kompleks dan berlapis-lapis dalam menghadapi invasi patogen yang masuk seperti bakteri, jamur, virus

Lebih terperinci

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr Sistem Imun A. PENDAHULUAN Sistem imun adalah sistem yang membentuk kekebalan tubuh dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh. Fungsi sistem imun: 1) Pembentuk kekebalan tubuh. 2) Penolak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Respon deferensiasi sel darah perifer mencit terhadap vaksin S. agalactiae yang diradiasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Respon deferensiasi sel darah perifer mencit terhadap vaksin S. agalactiae yang diradiasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Vaksinasi adalah suatu proses membangkitkan kekebalan protektif dengan menggunakan antigen yang relatif tidak berbahaya (Tripp 2004). Vaksinasi merupakan metode yang paling efektif

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jumlah Leukosit Data perhitungan terhadap jumlah leukosit pada tikus yang diberikan dari perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Rata-rata leukosit pada tikus dari perlakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2009 mencapai 1,85% per 1000 penduduk. Penyebab malaria yang tertinggi

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2009 mencapai 1,85% per 1000 penduduk. Penyebab malaria yang tertinggi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang WHO melaporkan 3,2 milyar orang atau hampir setengah dari populasi dunia beresiko terinfeksi malaria. 1 Kemenkes RI melaporkan angka kesakitan malaria tahun 2009

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati Hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi yang terbanyak diperoleh dari biji S. mahagoni, diikuti daun T. vogelii, biji A.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus plasmodium yang dapat ditularkan melalui cucukan nyamuk anopheles betina. Penyakit

Lebih terperinci

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Ikan Lele Dumbo Pada penelitian ini dihitung jumlah sel darah putih ikan lele dumbo untuk mengetahui pengaruh vitamin dalam meningkatkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perbanyakan tanaman cabai secara in vitro dapat dilakukan melalui organogenesis ataupun embriogenesis. Perbanyakan in vitro melalui organogenesis dilakukan dalam media MS dengan penambahan

Lebih terperinci

ABSTRAK Penggunaan asam glycyrrhizic yang merupakan bahan aktif dari Viusid Pet sudah lazim digunakan untuk meningkatkan respon imun.

ABSTRAK Penggunaan asam glycyrrhizic yang merupakan bahan aktif dari Viusid Pet sudah lazim digunakan untuk meningkatkan respon imun. ii ABSTRAK Penggunaan asam glycyrrhizic yang merupakan bahan aktif dari Viusid Pet sudah lazim digunakan untuk meningkatkan respon imun. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh Viusid Pet terhadap

Lebih terperinci

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal Kuntarti, SKp Sistem Imun Fungsi: 1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor)

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT (Mus musculus) YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei DAN DIBERI INFUSA Artemisia annua Linn. SEPTI RUBIYANI

GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT (Mus musculus) YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei DAN DIBERI INFUSA Artemisia annua Linn. SEPTI RUBIYANI GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT (Mus musculus) YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei DAN DIBERI INFUSA Artemisia annua Linn. SEPTI RUBIYANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

- Agustus 1998), tetapi secara keseluruhan lebih bersifat basah (Gambar 7).

- Agustus 1998), tetapi secara keseluruhan lebih bersifat basah (Gambar 7). HASEL Kondisi Iltiim dan Mnsim Gugur Daun Sebelum penyajian data pengamatan, terlebih dahulu akan disajilcan data iklim selama penelitian sebagai faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi musiman masing-masing

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengamatan Vegetatif di Kebun Uji Sei Dadap

PEMBAHASAN. Pengamatan Vegetatif di Kebun Uji Sei Dadap 44 PEMBAHASAN Pengamatan Vegetatif di Kebun Uji Sei Dadap Pengamatan pertumbuhan vegetatif di kebun uji Sei Dadap meliputi tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun fronds (pelepah), panjang rachis,

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) BAB V PEMBAHASAN 1. Kemampuan fagositosis makrofag Kemampuan fagositosis makrofag yang dinyatakan dalam indeks fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau bahan yang dianggap sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh akan mengadakan tanggapan

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia yang menjadi perhatian serius untuk segera ditangani. Rendahnya kesadaran masyarakat akan hidup sehat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya semua manusia memiliki sistem imun. Sistem imun diperlukan oleh tubuh sebagai pertahanan terhadap berbagai macam organisme asing patogen yang masuk ke

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular utama di sebagian wilayah Indonesia seperti di Maluku Utara, Papua Barat, dan Sumatera Utara. World Malaria Report - 2008,

Lebih terperinci

HASIL. Pengaruh Seduhan Kompos terhadap Pertumbuhan Koloni S. rolfsii secara In Vitro A B C

HASIL. Pengaruh Seduhan Kompos terhadap Pertumbuhan Koloni S. rolfsii secara In Vitro A B C HASIL Pengaruh Seduhan Kompos terhadap Pertumbuhan Koloni S. rolfsii secara In Vitro Pertumbuhan Koloni S. rolfsii dengan Inokulum Sklerotia Pada 5 HSI diameter koloni cendawan pada semua perlakuan seduhan

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. infeksi setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Berdasarkan hasil Survei

BAB I PENDAHULUAN. infeksi setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Berdasarkan hasil Survei BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia, diare merupakan penyebab kematian nomor dua karena infeksi setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan

Lebih terperinci

Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Giyanto (Institut Pertanian Bogor )

Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Giyanto (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Giyanto (Institut Pertanian Bogor ) Ir. Lilik Koesmihartono Putra, M.AgSt (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia) Tahun-3 1. Konstruksi

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Eritrosit Fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara empiris dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tumbuh subur pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara empiris dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tumbuh subur pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Mahkota Dewa Mahkota dewa merupakan tanaman asli Indonesia tepatnya Papua dan secara empiris dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tumbuh subur pada ketinggian

Lebih terperinci

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Apabila tubuh mendapatkan serangan dari benda asing maupun infeksi mikroorganisme (kuman penyakit, bakteri, jamur, atau virus) maka sistem kekebalan tubuh akan berperan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

Effect of Coating Formulation on Viability, Vigor and Storability of Rice Seeds (Oryza sativa L.)

Effect of Coating Formulation on Viability, Vigor and Storability of Rice Seeds (Oryza sativa L.) Pengaruh Formula Coating terhadap Viabilitas dan Vigor serta Daya Simpan Benih Padi (Oryza sativa L.) Effect of Coating Formulation on Viability, Vigor and Storability of Rice Seeds (Oryza sativa L.) Tantri

Lebih terperinci

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Dasar-dasar Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Departemen Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Unair Pokok Bahasan Sejarah Imunologi Pendahuluan Imunologi Komponen Imunologi Respons Imun Imunogenetika

Lebih terperinci

Effects of Mixed Extract of Alstonia scholaris Bark and Phyllanthus niruri in Swiss Webster Mice Infected by Plasmodium berghei

Effects of Mixed Extract of Alstonia scholaris Bark and Phyllanthus niruri in Swiss Webster Mice Infected by Plasmodium berghei Artikel Riset Jurnal Kefarmasian Indonesia Efek Ekstrak Campuran Kulit.. Vol.6 (Putri No.2-Agustus. Reno Intan, 2016:79-88 dkk..) p-issn: 2085-675X e-issn: 2354-8770 Efek Ekstrak Campuran Kulit Batang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alergi terjadi akibat adanya paparan alergen, salah satunya ovalbumin.

BAB I PENDAHULUAN. Alergi terjadi akibat adanya paparan alergen, salah satunya ovalbumin. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan suatu antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN 19 GALUR TOMAT F6(Lycopersicon esculentum Mill.)

UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN 19 GALUR TOMAT F6(Lycopersicon esculentum Mill.) 654 Jurnal Produksi Tanaman Vol. 4 No. 8, Desember 2016: 654-659 ISSN: 2527-8452 UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN 19 GALUR TOMAT F6(Lycopersicon esculentum Mill.) YIELD POTENSTIAL TEST OF 19 TOMATOES LINES F6(Lycopersicon

Lebih terperinci

KERAGAAN PERTUMBUHAN VEGETATIF DAN REPRODUKTIF HIBRIDA JAGUNG PERSILANGAN GALUR INBRIDA MUTAN (M4) PADA LATOSOL DARMAGA

KERAGAAN PERTUMBUHAN VEGETATIF DAN REPRODUKTIF HIBRIDA JAGUNG PERSILANGAN GALUR INBRIDA MUTAN (M4) PADA LATOSOL DARMAGA ISSN 1411-0067 KERAGAAN PERTUMBUHAN VEGETATIF DAN REPRODUKTIF HIBRIDA JAGUNG PERSILANGAN GALUR INBRIDA MUTAN (M4) PADA LATOSOL DARMAGA Rustikawati 1, Catur Herison 1 Surjono H. Sutjahjo 2 1 Jurusan Budidaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis (reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda asing berupa antigen dan bibit penyakit.

menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda asing berupa antigen dan bibit penyakit. Bab 10 Sumber: Biology: www. Realm nanopicoftheday.org of Life, 2006 Limfosit T termasuk ke dalam sistem pertahanan tubuh spesifik. Pertahanan Tubuh Hasil yang harus Anda capai: menjelaskan struktur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dikenal masyarakat Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang terkandung seperti polisakarida,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat terutama di negara tropis dan subtropis. Di dunia terdapat 207 juta kasus malaria dan 627.000 kematian akibat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah LeukositTotal Leukosit merupakan unit darah yang aktif dari sistem pertahanan tubuh dalam menghadapi serangan agen-agen patogen, zat racun, dan menyingkirkan sel-sel rusak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia. Berdasarkan data WHO (2010), terdapat sebanyak

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Diferensiasi Leukosit Tubuh manusia maupun hewan sepanjang waktu terpapar oleh agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur dan parasit dalam berbagai tingkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing seperti

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada keadaan normal, paparan mikroorganisme patogen terhadap tubuh dapat dilawan dengan adanya sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Pada saat fungsi dan jumlah sel

Lebih terperinci