BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa kejang. Serangan tersebut disebabkan oleh aktivasi listrik berlebihan pada neuron korteks dan ditandai dengan perubahan aktivitas listrik seperti yang diukur degan electro ensephalography (EEG) (Rogers dan Cavazos, 2009). Menurut Tjay dan Rahardja (2010), epilepsi atau sawan/ayan adalah suatu gangguan saraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala, biasanya dengan perubahan kesadaran. Penyebabnya adalah aksi serentak dan mendadak dari sekelompok besar sel-sel saraf di otak. Aksi ini disertai pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari neuron-neuron tersebut. Lazimnya pelepasan muatan listrik ini terjadi secara teratur dan terbatas dalam kelompok-kelompok kecil, yang memberikan ritme normal pada electroencephalograms (EEGs). Serangan ini kadang kala bergejala ringan dan hampir tidak kentara, tetapi ada kalanya bersifat demikian hebat sehingga perlu dirawat di rumah sakit. Kurang lebih 30% dari pasien epilepsi mempunyai keluarga dekat yang juga menderita gangguan konvulsi. Epilepsi merupakan salah satu penyebab morbiditas di bidang saraf anak yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. Insidensi epilepsi pada 1

2 anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada rancangan penelitian dan kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40-50% terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, cerebral palsy, dan sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat. Di samping itu, dikenal pula beberapa sindrom epilepsi pada anak antara lain Sindrom Ohtahara, spasme infantil (Sindrom West), Sindrom Lenox-Gestaut, benign rolandic epilepsy, dan juvenile myoclonic epilepsy (Suwarba, 2011). Kebanyakan pasien anak yang baru didiagnosis epilepsi memiliki prognosis jangka panjang yang baik, khususnya pada pasien dengan etiologi idiopatik. Sebaliknya, epilepsi akan tetap aktif pada kurang lebih 30% pasien dan memburuk pada kurang lebih 10% pasien (Geerts et al., 2010). Pengobatan epilepsi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun demikian, berbagai jenis efek samping dapat terjadi selama pengobatan berlangsung. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mustarsid et al. (2011), semakin lama pengobatan epilepsi semakin besar kemungkinan terjadi gangguan memori. Kualitas hidup pasien epilepsi juga dapat menurun di antaranya karena gangguan daya ingat yang dapat disebabkan oleh epilepsi, pengaruh OAE, serta faktor psikososial. Penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pengobatan epilepsi jangka panjang memungkinkan terjadinya berbagai efek samping pada pasien. 2

3 Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian berupa evaluasi efek samping obat anti epilepsi yang telah digunakan pada jangka panjang dan diberikan secara monoterapi pada pasien epilepsi pediatrik. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Sardjito karena merupakan rumah sakit pendidikan tipe A yang menjadi pusat rujukan di DIY dan Jawa Tengah bagian selatan (Humas RSUP Dr. Sardjito, 2015). Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi tenaga kesehatan untuk terus melakukan pemantauan efek samping sehingga kualitas hidup pasien dapat meningkat. B. Rumusan Masalah Masalah yang dapat dirumuskan berdasarkan uraian di atas adalah: 1. Bagaimana pola pengobatan epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari Maret 2015? 2. Bagaimana efek samping obat anti epilepsi pada pengobatan monoterapi pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari Maret 2015? C. Tujuan Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui pola pengobatan epilepsi pada pasien pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta bulan Januari-Maret

4 2. Mengetahui jenis efek samping Obat Anti Epilepsi (OAE) monoterapi yang terjadi pada pasien pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta bulan Januari-Maret tahun D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi terkait efek samping Obat Anti Epilepsi yang digunakan secara monoterapi pada pasien epilepsi pediatrik. 2. Manfaat bagi rumah sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam melakukan pemantauan efek samping obat, khususnya efek samping OAE sebagai bagian dari pharmaceutical care sehingga kualitas hidup pasien dapat meningkat. 4

5 E. Tinjauan Pustaka 1. Epilepsi a. Definisi Menurut Ginsberg (2008), epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak, yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat. Secara klinis epilepsi merupakan gangguan paroksismal. Cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Harus dibedakan antara kejang yang terjadi sendiri dan kejang berulang yang berupa epilepsi. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007). b. Epidemiologi Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang banyak diderita, terutama pada usia anak-anak. Angka kejadian per tahun mencapai 44 dari orang. Setiap tahun, ada kurang lebih insidensi epilepsi 5

6 yang tercatat di Amerika Serikat; hanya 30% di antaranya yang berusia kurang dari 18 tahun pada saat didiagnosa epilepsi (Rogers dan Cavazos, 2008). World Health Organization (2012) menyebutkan bahwa perkiraan proporsi penderita epilepsi aktif dari keseluruhan populasi adalah antara 4 sampai 10 per 1000 orang. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa di negara berkembang, proporsi penderita epilepsi diperkirakan sebanyak 6 sampai 10 per 1000 orang. Di negara berkembang, kasus baru tiap tahunnya berkisar antara 40 sampai 70 kasus per orang. c. Etiologi Berbagai kondisi medis diketahui dapat menyebabkan epilepsi, mulai dari mutasi genetik hingga trauma otak. Pasien dengan keterbelakangan mental, cerebral palsy, trauma kepala, atau stroke memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kejang dan epilepsi. Semakin tinggi derajat keterbelakangan mental yang diukur menggunakan intelligent quotient (IQ), semakin tinggi pula insidensi epilepsi yang terjadi. Beberapa kasus menunjukkan jika etiologi kejang dapat diketahui dan dikoreksi maka pasien memungkinkan untuk tidak mendapatkan obat anti epilepsi jangka panjang. Pasien dapat juga mengalami kejang dengan penyebab yang tidak diketahui, yang kemudian secara definisional disebut epilepsi idiopatik atau kriptogenik. Idiopathic etiology merupakan batasan yang digunakan pada pasien kejang umum primer, sedangkan cryptogenic etiology digunakan jika 6

7 tidak ditemukan penyebab yang jelas pada pasien kejang parsial (Rogers dan Cavazos, 2008). Menurut Rogers dan Cavazos (2008), perubahan hormonal yang terjadi pada waktu menstruasi, pubertas, atau kehamilan dapat mempengaruhi onset kejang maupun meningkatkan frekuensi kejang. Penting juga untuk mengetahui riwayat penggunaan obat pada pasien kejang karena teofilin, alkohol, fenotiazin dosis tinggi, serta antidepresan dapat memicu terjadinya kejang. Kecelakaan perinatal dan berat badan bayi lahir rendah juga merupakan faktor risiko terjadinya kejang parsial. Menurut Shorvon (2011), klasifikasi epilepsi secara etiologis adalah sebagai berikut. 1) Idiopathic Epilepsy Epilepsi yang mayoritas terjadi karena adanya kelainan secara genetis tanpa adanya abnormalitas neuropatologis dan neuroanatomis. 2) Symptomatic Epilepsy Epilepsi yang diperoleh secara genetis, berhubungan dengan adanya abnormalitas anatomis dan patologis, dan atau kondisi klinis sebagai indikasi dari penyakit yang mendasari. 3) Provoked Epilepsy Epilepsi yang penyebab utamanya berasal dari lingkungan dan tidak terdapat abnormalitas neuroanatomis dan neuropatologis. 4) Cryptogenic Epilepsy Epilepsi yang penyebabnya belum diketahui. 7

8 d. Patofisiologi Menurut Sukandar et al. (2013), pada kasus epilepsi, terjadi konduktansi kalium yang tidak normal, cacat pada kanal kalsium sensitif voltase, atau defisiensi pada membran Adenosin Trifosfat (ATPase) yang berkaitan dengan transpor ion sehingga dapat menghasilkan ketidakstabilan membran neuronal dan kejang. Aktivitas neuronal normal tergantung pada faktor pemicu rangsang (glutamat, aspartat, asetilkolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotropin, purin, peptida, sitokin, dan hormon steroid) dan penghambat neurotransmiter (dopamin, asam gama aminobutirat [GABA]), pasokan glukosa, oksigen, natrium, kalium, klorida, kalsium, asam amino yang cukup, ph normal, dan fungsi normal reseptor. Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada proses inhibisi (Madara dan Pomarico-Denino, 2008). Menurut Harsono (2007), serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian menstimulasi neuron-neuron sekitarnya atau neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu aktivitas listrik berlebihan di dalam otak. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni neuron sangat 8

9 penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Pada epilepsi yang berulang, ketidaknormalan saraf menyebabkan depolarisasi secara spontan (Madara dan Pomarico-Denino, 2008). e. Klasifikasi epilepsi Menurut Gidal et al. (2005) klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda klinik dan data EEG, dibagi menjadi: 1) Kejang umum (generalized seizure) Kejang epilepsi digolongkan dalam kejang umum jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfer otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas: a) Absense (Petit mal) Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Kesadaran hilang beberapa detik, ditandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat. Penderita tibatiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai. b) Tonik-klonik (grand mal) Merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi, biasanya didahului oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar air liur. Pasien juga bisa mengalami sianosis, ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini terjadi beberapa menit, lalu diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur. 9

10 c) Mioklonik Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba. d) Atonik Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat segera pulih kembali. 2) Kejang parsial Serangan parsial merupakan perubahan-perubahan klinis dan elektroensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang berbatas di salah satu bagian otak Kejang parsial ini terbagi menjadi: a) Simple partial seizure Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran. Terjadi sentakansentakan pada bagian tertentu dari tubuh. b) Complex partial seizure Pasien mengalami penurunan kesadaran. Perubahan tingkah laku dapat terjadi pada penderita dengan penurunan kesadaran. 3) Kejang tak terklasifikasikan Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan epilepsi pada neonatus misalnya gerakan mata ritmis, dan gerakan mengunyah serta berenang. 10

11 f. Diagnosa Budikayanti et al. (2014) menjelaskan bahwa diagnosa epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakan diagnosis adalah sebagai berikut. 1) Anamnesis Auto atau allo-anamnesis dari orangtua atau saksi mata mengenai halhal terkait di bawah ini. a) Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan b) Faktor pencetus c) Usia saat didiagnosis epilepsi, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval antar bangkitan yang terpanjang, kesadaran antara bangkitan d) Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya e) Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas f) Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga g) Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang h) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam i) Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat, dll. 11

12 2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis a) Pemeriksaan fisik umum Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya. (1) Trauma kepala (2) Tanda-tanda infeksi (3) Kelainan kongenital (4) Kecanduan alkohol atau napza (5) Kelainan pada kulit (6) Tanda-tanda keganasan b) Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan ini dilakukan uutuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama pada tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti: (1) Paresis Todd (2) Gangguan kesadaran pascaiktal (setelah kejang) (3) Afasia pascaiktal (gangguan bicara setelah kejang) 3) Pemeriksaan penunjang a) Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG) Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis, 12

13 penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, menentukan prognosis, dan menentukan keputusan pemberian OAE. b) Pemeriksaan pencitraan otak Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Magnetic Resonance Imaging (MRI) beresolusi tinggi (minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi patologik. Functional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan. Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT Scan kepala atau MRI kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi struktural penyebab kejang. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif daripada CT Scan kepala. c) Pemeriksaan laboratorium (1) Pemeriksaan hematologis Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit 13

14 (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin. (2) Pemeriksaan kadar OAE Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien. d) Pemeriksaan penunjang lainnya Dilakukan sesusai dengan indikasi, misalnya: (1) Punksi lumbal (2) EKG Beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptik, seperti pingsan (syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement disorder ditemukan pada beberapa kasus. Hal ini sering membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya. Oleh karena itu perlu dilakukan diagnosis banding (Budikayanti et al, 2014). Tjandrajani et al. (2012), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa klasifikasi sindrom epilepsi tepatnya dapat ditentukan berdasarkan keadaan klinis, pemeriksaan EEG, dan neuroradiologi serta pemeriksaan genetik. Meskipun demikian, diagnosis epilepsi dan pengelompokan sindrom 14

15 epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan klinis (riwayat sakit, pemeriksaan fisis dan atau EEG). g. Penatalaksanaan terapi Menurut Gunadharma et al. (2014), ketepatan diagnosis merupakan dasar terapi. Diagnosis yang kurang tepat dapat menyebabkan kesalahan terapi. Adapun tujuan utama dari terapi epilepsi adalah mengupayakan pasien epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal. Harapannya adalah bebas bangkitan tanpa efek samping. Obat Anti Epilepsi (OAE) dapat diberikan bila: 1) Diagnosis epilepsi sudah dipastikan 2) Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun 3) Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan 4) Pasien dan atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE 5) Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari (misalnya kurang tidur, alkohol, stres, dll.) Pemberian obat dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihen sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. 15

16 Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya, bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tappering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan. Bila diperoleh respon yang buruk, kedua OAE harus diganti dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respon suboptimal dengan OAE kedua walaupun penggunaan OAE pertama sudah maksimal. Obat anti epilepsi kedua yang ditambahkan harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk mulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila: 1) Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG 2) Pada pemeriksaan CT Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan, misalnya meningioma, neoplasma otak, malformasi arteri dan vena, abses otak ensefalitis herpes 3) Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak 4) Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orangtua) 5) Riwayat bangkitan simtomatis 16

17 6) Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi 7) Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran 8) Bangkitan pertama berupa status epileptikus Jika terapi OAE pada pasien anak dinilai efektif, maka harus ada kepastian tentang diagnosis epilepsi dan atau sindrom epilepsi yang terjadi. Respon terhadap penggunaan obat tunggal bervariasi menurut jenis kejang dan jenis sindrom. Keputusan untuk memulai pengobatan dapat memberikan hasil yang optimal apabila terjadi kerjasama yang baik antara pasien anak, keluarga pasien dan klinisi kesehatan anak (SIGN, 2005). 2. Obat Anti Epilepsi (OAE) Menurut Wibowo dan Gofir (2006) mekanisme kerja obat antiepilepsi dibagi menjadi 2 bagian besar, yakni: efek langsung pada membran yang eksitabel dan efek melalui perubahan meurotransmitter. Berikut penggolongan obat anti epilepsi berdasarkan pada mekanisme tersebut: a. Efek langsung pada membran yang eksitabel. Perubahan permeabilitas membran merubah fase recovery serta mencegah aliran frekuensi tinggi dan neuron pada keadaan lepas muatan listrik epilepsi. Efek ini karena adanya perubahan mekanisme pengaturan aliran ion Na + dan ion Ca 2+. Obat-obat antiepilepsi dengan mekanisme ini antara lain: 17

18 1) Fenitoin Senyawa imidazolin ini tidak bersifat hipnotik seperti senyawa barbital dan suksinimida. Fenitoin terutama efektif pada grand mal dan serangan psikomotor, tetapi tidak boleh diberikan pada petit mal, karena dapat memprovokasi absense (Tjay dan Rahardja, 2010). Cara kerja utama fenitoin adalah memblokade pergerakan ion melalui kanal Na dengan menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun aliran ion Na yang mengalir selama penyebaran potensial aksi, memblokade dan mencegah potensial post tetanik, membatasi perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan mengurangi penyebaran serangan. Fenitoin memberikan efek stabilitas pada membran yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang tidak eksitabel. Fenitoin juga dapat menghambat efek kanal Ca dan menunda aktifasi ion K keluar aksi potensial, menyebabkan kenaikan periode refractory dan menurunnya cetusan ulangan (Wibowo dan Gofir, 2006). Kadar terapeutik fenitoin untuk sebagian besar pasien adalah antara 10 dan 20µg/mL. Dosis awal dapat diberikan secara oral atau intravena; yang terakhir adalah metode pilihan untuk status epileptikus konvulsif. Bila terapi oral dimulai, pada umumnya pemberian dosis kepada orang dewasa mulai dari 300mg/hari, tanpa memandang berapa berat badannya (Porter dan Meldrum, 2009). Efek samping yang seringkali timbul adalah hiperplasia gusi (tumbuh berlebihan) dan obstipasi. Efek lainnya antara lain, 18

19 menyebabkan pusing, mual, dan bertambahnya rambut/bulu badan (hipertrichosis). Wanita hamil tidak boleh menggunakan fenitoin karena bersifat teratogenik (Tjay dan Rahardja, 2010) 2) Karbamazepin Derivat dari anti depresan trisiklik ini efektif untuk serangan parsial dan general tonik klonik, dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi. Mekanisme kerja obat ini dengan memblokade kanal Na selama pelepasan dan mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah potensial post tetanik (Wibowo dan Gofir, 2006). Obat ini efektif untuk anak-anak, dan dosis yang tepat adalah mg/kg/hari (Porter dan Meldrum, 2009). Efektivitas obat ini sama dengan fenitoin untuk penggunaan pada epilepsi grand mal dan epilepsi parsial. Namun efek samping yang ditimbulkan lebih sedikit. Fenobarbital dapat memperkuat efek obat ini. Karbamazepin tidak efektif pada jenis absence (Tjay dan Rahardja, 2010). Efek samping yang paling sering terjadi berupa sedasi, sakit kepala, pusing, mual, muntah dan ataksia yang umumnya bersifat sementara (kurang dari 2 minggu). Kurang lebih 40% dari pengguna masih mengalami rasa kantuk setelah 1 tahun, reaksi kulit juga agak sering terjadi. Efek lainnya adalah anoreksia, mengantuk, radang kulit dan gangguan psikis. Berhubung dapat terjadi gangguan darah, hepatitis dan lupus erythematodes, maka harus dilakukan pemeriksaan darah setiap minggu/bulan. Kombinasi dengan antara lain fenobarbital dan fenitoin 19

20 dapat menyulitkan terapi. Obat ini dapat menembus plasenta, berakumulasi di jaringan janin dan dapat mengganggu pertumbuhan janin. Oleh sebab itu, tidak dianjurkan penggunaannya pada saat kehamilan (Tjay dan Rahardja, 2010). Dosis permulaan sehari mg dibagi dalam beberapa dosis yang berangsur-angsur dapat dinaikkan sampai mg dibagi dalam 2-4- dosis. Pada manula, setengah dari dosis ini. Dosis awal bagi anak-anak sampai usia 1 tahun 100 mg sehari, 1-5 tahun mg sehari, 5-10 tahun mg sehari dengan dosis pemeliharaan mg/kg BB sehari dibagi dalam beberapa dosis (Tjay dan Rahardja, 2010). 3) Etosuksimid Mekanisme kerja obat ini menghambat kanal Ca tipe T. etosuksimid mempunyai efek penting pada arus Ca 2+, menurunkan arus nilai ambang rendah (tipe T). Arus kalsium tipe T diperkirakan merupakan arus yang menimbulkan pemacu pada saraf talamus sehingga terjadi gelombang korteks yang ritmis dari serangan absens. Penghambat arus tersebut merupakan kerja terapeutik dari etosuksimid (Porter dan Meldrum, 2009). Etosuksimid sebagai obat pilihan untuk serangan absens pada anak-anak yang tidak disertai serangan tonik-klonik atau mioklonik (Wibowo dan Gofir, 2006). Kadar terapeutik sebesar µg/mL dapat dicapai pada orang dewasa dengan dosis mg/hari, meski kadang dibutuhkan dosis yang lebih tinggi atau lebih rendah (Porter dan Meldrum, 2009). 20

21 Efek samping berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk dan termenung, sakit kepala, anoreksia, dan mual. Leukopenia jarang terjadi, namun gambaran darah, juga fungsi hati dan urin, perlu dikontrol secara teratur (Tjay dan Rahardja, 2010). 4) Asam valproat Memiliki mekanisme aksi yang multipel. Asam valproat menghambat kanal Ca tipe T. Asam valproat meningkatkan fungsi GABA tetapi hanya terlihat pada konsentrasi tinggi. Obat ini meningkatkan sintesa GABA dengan menstimulasi Glutamic Acid Dekarboksilasi (GAD). Obat ini menghasilkan modulasi selektif pada arus Na selama pelepasan muatan (Wibowo dan Gofir, 2006). Asam valproat diindikasikan sebagai drug of choice untuk epilepsi general idiopatik, epilepsi mioklonik juvenile, dapat digunakan untuk serangan mioklonus tipe-tipe lain, epilepsi fotosensitif dan sindrom Lennox. Sebagai second-line pada terapi spasme infantil. Sebagai firstline pada epilepsi fokal (Wibowo dan Gofir, 2006). Dosis sebesar mg/kg/hari mungkin sesuai untuk sebagian pasien, tetapi ada pula yang membutuhkan 60 mg/kg atau lebih. Kadar terapeutik asam valproat berkisar 50µg/mL sampai 100µg/mL. Dalam uji efikasi, pemberian obat sebaiknya tidak dihentikan hingga kadar puncak waktu pagi hari paling sedikit 80µg/mL sudah dicapai; beberapa pasien dapat memerlukan dan menoleransi kadar puncak yang lebih besar dari 100µg/m (Porter dan Meldrum, 2009). 21

22 Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan saluran cerna yang bersifat sementara, adakalanya juga sedasi, ataksia, udema pergelangan kaki, dan rambut rontok (reversibel). Efek lainnya kenaikan berat badan terutama remaja putri (Tjay dan Rahardja, 2010). Valproat menghambat metabolisme beberapa obat (fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin), meningkatkan konsentrasi obat-obat tersebut dalam darah. Penghambatan metabolisme fenobarbital menyebabkan kadar barbiturat meningkat secara tajam hingga menimbulkan stupor atau koma (Porter dan Meldrum, 2009). b. Efek melalui perubahan neurotransmitter 1) Blokade aksi glutamat Obat-obat dengan aksi ini antara lain: a) Felbamat Mekanisme kerja obat dengan memperkuat aktivitas GABA yakni dengan memblokade reseptor NMDA. Memblokade kanal Na voltagedependent, tetapi tidak berefek pada reseptor GABA (Wibowo & Gofir, 2006). Felbamat terbukti efektif baik pada monoterapi maupun terapi tambahan pada serangan parsial pada pasien dengan usia 14 tahun. Obat ini juga bermanfaat untuk sindrom lennox-gastaut yang tidak berespon terhadap terapi lain (Wibowo dan Gofir, 2006). Dosis lazim berkisar antara mg/hari pada orang dewasa, dan rentang kadar plasma efektif adalah 30µg/mL sampai 100µg/mL (Porter dan Meldrum, 2009). 22

23 Efek samping berupa mual, muntah, gangguan penglihatan, pusing, dan reaksi alergi di kulit serta anemia aplastik (Tjay dan Rahardja, 2010). b) Topiramat Memiliki mekanisme aksi yang beragam, menghambat reseptor glutamat subtipe Alpha-amino-3-hidroxy-5methylisoxazole-4- propionicacid (AMPA), menghambat karbonik anhidrase dengan lemah, menghambat channel Na high-voltaged-activated, memperpendek durasi ledakan spontan dan frekuensi potensial aksi, dan menghambat GABA dengan mekanisme yang tidak diketahui dengan pasti. Topiramat sebagai terapi adjuvan pada epilepsi parsial dan general tonik-klonik sekunder, epilepsi general tonik-klonik primer dan sindrom Lennox-Gastaut. Dosis obat ini biasanya berkisar dari 200 mg/hari sampai 600 mg/hari, dengan sedikit pasien menoleransi dosis lebih besar dari 1000 mg/hari (Porter dan Meldrum, 2009). Efek yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan dosis paling sering terjadi dalam empat minggu pertama meliputi rasa kantuk, kelelahan, pusing, lambat berpikir, parestesi, kegelisahan, dan bingung (Porter dan Meldrum, 2009). 2) Mendorong aksi inhibisi Gamma Amino Butyruc Acid (GABA) pada membran pasca-sinaptik dan neuron Obat-obat dengan aksi ini antara lain: 23

24 a) Klonazepam Sebagai agonis reseptor GABA, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap resepto GABA-A. efektif untuk serangan mioklonik dan subkortikal mioklonus. Obat ini juga efektif pada serangan umum dan sedikit berperan pada serangan parsial. Obat ini digunakan sebagai terapi adjuvan untuk epilepsi refrakter. Klonazepam juga digunakan sebagai terapi emergensi pada status epileptikus seperti diazepam (Wibowo dan Gofir, 2006). Efek sedasi cukup menonjol terutama pada awal terapi, dosis awal seharusnya rendah. Dosis maksimal yang dapat ditolerir berkisar antara 0,1-0,2 mg/kg, tetapi untuk pasien tertentu diperlukan beberapa minggu untuk mencapai dosis tersebut. Kadar terapeutik obat dalam darah biasanya kurang dari 0,1 µg/ml (Porter dan Meldrum, 2009). Efek samping yang agak sering terjadi adalah sedasi, seperti mengantuk, pusing, juga kelemahan otot dan sekresi ludah berlebihan yang dapat membahayakan pernapasan terutama pada anak-anak (Tjay dan Rahardja, 2010). b) Fenobarbital Beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada tempat ikatan barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan kanal Cl, mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan menurunkan eksitabilitas glutamat. Merupakan obat entiepilepsi dengan spektrum luas, digunakan pada terapi serangan parsial dan 24

25 serangan umum sekunder. Obat ini digunakan sebagai obat lini kedua karena memberikan efek buruk seperti sedasi dan penurunan daya kognitif. Namun, pada status epileptikus, obat ini masih digunakan sebagai obat lini pertama (Wibowo dan Gofir, 2006). Fenobarbital bersifat menginduksi enzim dan mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rakhitis pada anak kecil. Penggunaan bersama valproat harus hati-hati, karena kadar fenobarbital dalam darah dapat meningkat. Di lain pihak kadar fenitoin dan karbamazepin dalam darah efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital (Tjay dan Rahardja, 2010). Kadar terapeutik fenobarbital pada kebanyakan paisen berkisar antara 10µg/mL hingga 40µg/mL. Dokumentasi dari efektivitasnya adalah paling baik untuk kejang demam, dan kadar dibawah 15µg/mL tampaknya tidak efektif untuk mencegah kambuhnya kejang demam. Batas atas dari rentang terapeutik sulit untuk ditetapkan, dimana banyak pasien tampaknya menoleransi kadar kronis di atas 40µg/mL (Porter dan Meldrum, 2009). Pemilihan OAE pada pasien epilepsi pediatrik membutuhkan perhatian khusus. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain AED-specific variables (sindrom epilepsi spesifik, efikasi/ efektivitas, efek samping, farmakokinetik, formulasi, dan sebagainya), patient specific variables (latar belakang genetik, jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan status sosial ekonomi), 25

26 dan nation specific variables (ketersediaan dan biaya OAE) (Glauser et al., 2006). Tabel I. Pilihan Terapi Untuk Berbagai Tipe Bangkitan Epilepsi Anak (NICE Guideline, 2012) Tipe Bangkitan Obat Lini 1 Obat lini 2 Alternatif/obat Obat yang lain yang dapat dipertimbangkan harus dihindari (mungkin memperburuk Kejang umum tonik-klonik Absens Mioklonik Tonik Atonik Spasme infantil Kejang fokal dengan/tanpa kejang umum sekunder Karbamazepin Lamotrigin Valproat Topiramat Etosuksimid Lamotrigin Valproat Valproat Topiramat Lamotrigin Valproat Lamotrigin Valproat Steroid Vigabatrin Karbamazepin Lamotrigin Okskarbazepin Valproat Topiramat Klobazam Levetirasetam okskarbazepin Klobazam Klonazepam Topiramat Klobazam Klonazepam Lamotrigin Levetirasetam Pirasetam Klobazam Klonazepam Levetirazetam Topiramat Klobazam Klonazepam Levetirazetam Topiramat Klobazam Klonazepam Valproat Topiramat Klobazam Gabapentin Levetirasetam Fenitoin Tiagabin Aserazolamida Klonazepam Fenobarbital Fenitoin Pirimidon kejang) Tiagabin Vigabatrin - Karbamazepin Gabapentin Okskarbazepin Tiagabin Vigabatrin - Karbamazepin Gabapentin Okskarbazepin Tiagabin Vigabatrin Asetazolamida Fenobarbital Fenitoin Pirimidon Asetazolamida Fenobarbital Pirimidon Nitrazepam Asetazolamida Klonazepam Fenobarbital Pirimidon Karbamazepin Okskarbazepin Karbamazepin Okskarbazepin Fenitoin Karbamazepin Okskarbazepin Keterangan: 1. Enzim hati menginduksi OAE 2. Harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam keadaan seperti diuraikan dalam NICE Technology Appraisal of Newer AEDs for Children 3. Jarang dan perlu inisiasi, jika barbiturat yang digunakan lebih disukai 3. Efek Samping Penggunaan obat secara kronis sering memberikan efek samping yang merugikan bagi pasien. Obat antiepilepsi digunakan minimal 2 tahun untuk - 26

27 mengontrol kejang, oleh karena itu banyak efek samping yang dialami oleh pasien dengan penggunaan kronis tersebut. Kemudian efek samping tersebut bisa memiliki beberapa kemungkinan, yaitu menjadi masalah yang sangat serius, masalah sedang, masalah ringan atau bukan masalah. Penilaian efek samping yang terjadi pada pasien pediatrik dilakukan menggunakan kuesioner Pediatric Epilepsy Side Effect Questionnaire (PESQ) yang terdiri atas 19 item pertanyaan dengan pengelompokan 6 item pertanyaan untuk mengukur perubahan kognitif, 4 item pertanyaan untuk mengukur perubahan motorik, 3 item pertanyaan untuk mengukur perubahan tingkah laku, 4 item pertanyaan untuk mengukur perubahan neurologis, dan 2 item pertanyaan untuk mengukur perubahan berat badan (Morita et al, 2012). Menurut Gunadharma (2014), strategi untuk mencegah efek samping adalah sebagai berikut. a. Memilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik pasien b. Menggunakan titrasi dosis terkecil mengacu pada sindrom epilepsi dan karakteristik pasien. Tabel II. Efek Samping Obat Anti Epilepsi (Sukandar et al., 2013) OAE Efek Samping Akut Tergantung Kadar Obat Idiosinkratik Efek Samping Kronis Asam Valproat Gangguan saluran cerna Gagal hepar akut Polocystic ovarylike-syndrome Sedasi Goyah / tidak bisa tegak Tremor Pankreatitis akut Alopesia Berat bertambah badan 27

28 OAE Etosuksimid Felbamat Fenitoin Fenobarbital Gabapentin Okskarbazepin Pirimidon Tiagabin Tabel II. Lanjutan... Efek Samping Akut Tergantung Kadar Obat Idiosinkratik Ataksia Diskarsia darah Mengantuk Kemerahan pada Gangguan pencernaan kulit Goyah / tidak bisa tegak Cegukan Anoreksia Anemia aplastik Mual Gagal hati akut Muntah Insomnia (gangguan pola tidur) Sakit kepala Ataksia Nystagmus Perubahan perilaku Pusing Sakit kepala Inkoordinasi Sedasi Letargia Gangguan kognitif Kelelahan Penglihatan kabur Ataksia Hiperaktivitas Sakit kepala Goyah / tidak bisa tegak Sedasi Mual Pusing Kelelahan Somnolen Ataksia Sedasi Pusing Ataksia Mual Perubahan perilaku Sakit kepala Mual Sedasi Goyah / tidak bisa tegak Pusing Kelelahan Sulit berkonsentrasi Gelisah Tremor Penglihatan kabur Depresi Efek Samping Kronis Perubahan perilaku Sakit kepala (belum ditemukan) Diskarsia darah Perubahan perilaku Kemerahan pada Sindrom serebral kulit Perubahan jaringan Reaksi imunologi konektif Penebalan kulit Hiperplasia gusi Kulit wajah menjadi kasar Jerawat Gangguan kognitif Penyakit tulang metabolik Sedasi Diskarsia darah Perubahan perilaku Kemerahan pada Gangguan jaringan kulit konektif Gangguan intelektual Penyakit tulang metabolik Gangguan mood Sedasi Kaki bengkak Berat badan meningkat Kemerahan kulit pada Diskarsia darah Kemerahan pada kulit Spike-wave stupor Hiponatremia Perubahan perilaku Gangguan jaringan konektif Gangguan kognitif Sedasi (belum ditemukan) 28

29 OAE Topiramat Zonisamid Tabel II. Lanjutan... Efek Samping Akut Tergantung Kadar Obat Idiosinkratik Sulit berkonsentrasi Asidosis metabolik Kelambatan psikomotor Acute-angle Gangguan bicara / glaucoma bahasa Oligohirolisis Somnolen Kelelahan Pusing Sakit kepala Sedasi Pusing Gangguan kognitif Mual Kemerahan kulit Oligohidrolisis pada Efek Samping Kronis Batu ginjal Berat badan menurun Batu ginjal Berat badan menurun F. Keterangan Empiris Epilepsi merupakan penyakit yang angka kejadiannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pengobatan epilepsi menjadi hal yang perlu mendapat perhatian. Masa terapi epilepsi yang memakan waktu lama diketahui meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat. Penelitian ini diharapkan mendapatkan hasil berupa data kejadian efek samping dari penggunaan Obat Anti Epilepsi (OAE) secara monoterapi yang diresepkan pada pasien pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 29

Takrif/pengertian. 1/2/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes

Takrif/pengertian. 1/2/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes EPILEPSI Takrif/pengertian epilepsi : kejadian kejang yang terjadi berulang (kambuhan) Kejang : manifestasi klinik dari aktivitas neuron yang berlebihan di dalam korteks serebral Manifestasi klinik kejang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologi serius dan kronik. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak dengan gejala berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kelainan otak kronis dengan berbagai macam penyebab yang ditandai serangan epilepsi berulang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilepsi merupakan kekambuhan periodik yang ditandai adanya bangkitan, baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan berlebihan dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Informasi Obat Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi obat, rekomendasi obat yang independen, akurat,. 4 komprehensif, terkini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang berulang-ulang yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Epilepsi 1. Definisi Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit kedua terbanyak setelah stroke (Blum, 2003). Epilepsi disebabkan oleh berbagai etiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilepsi merupakan gangguan saraf kronik dengan ciri timbulnya gejalagejala yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang disebabkan lepasnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Definisi Epilepsi Epilepsi merupakan gangguan kronik otak yang menunjukan gejala-gejala berupa serangan yang berulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan

Lebih terperinci

2/19/2017 MATERI DEFINISI EPILEPSI PENATALAKSANAAN EPILEPSI. Definisi Konseptual

2/19/2017 MATERI DEFINISI EPILEPSI PENATALAKSANAAN EPILEPSI. Definisi Konseptual PENATALAKSANAAN EPILEPSI DR. Suryani Gunadharma SpS(K), M.Kes MATERI Definisi Etiologi Pemeriksaan penunjang Klasifikasi Patofisiologi Terapi DEFINISI EPILEPSI Definisi Konseptual Kelainan otak yang ditandai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Menurut Fadila, Nadjmir dan Rahmantini (2014), dan Deliana (2002), kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38

Lebih terperinci

Matakuliah: Farmakologi dan Toksikologi II Program Studi Sarjana Farmasi (T.A. 2016/2017) ANTIEPILEPSI. Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt.

Matakuliah: Farmakologi dan Toksikologi II Program Studi Sarjana Farmasi (T.A. 2016/2017) ANTIEPILEPSI. Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt. Matakuliah: Farmakologi dan Toksikologi II Program Studi Sarjana Farmasi (T.A. 2016/2017) ANTIEPILEPSI Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt. Departemen Farmakologi Farmasi Fakultas Farmasi USU Pengantar

Lebih terperinci

Kejang Pada Neonatus

Kejang Pada Neonatus Kejang Pada Neonatus Guslihan Dasa Tjipta Emil Azlin Pertin Sianturi Bugis Mardina Lubis 1 DIVISI PERINATOLOGI Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan 2 Definisi : Kejang merupakan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Palsi serebral 2.1.1 Definisi palsi serebral Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik, gangguan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI BAB I PENDAHULUAN Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi : status petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Di sini khusus dibicarakan status epileptikus dengan kejang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

Lebih terperinci

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM PADA ANAK B. ETIOLOGI Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas C. PATOFISIOLOGI Peningkatan

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM NEUROPSIKIATRI CONVULSANT & ANTICONVULSANT

PENUNTUN PRAKTIKUM NEUROPSIKIATRI CONVULSANT & ANTICONVULSANT SISTEM NEUROPSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN PENUNTUN PRAKTIKUM NEUROPSIKIATRI CONVULSANT & ANTICONVULSANT UNTUK MAHASISWA DISUSUN OLEH : dr. Jason Sriwijaya, Sp.FK FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran darah otak berupa tersumbatnya

Lebih terperinci

DRUGS USED IN EPILEPSI

DRUGS USED IN EPILEPSI DRUGS USED IN EPILEPSI Dwi Bagas Legowo, dr Depart. Of Pharmacology & Therapy Medical School Malahayati University Benzodiazepine dan Barbiturate Farmakokinetik : A. Absorpsi : kecepatan absorbsi dari

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang

BAB 5 PEMBAHASAN. Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang BAB 5 PEMBAHASAN Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang demam pada anak adalah faktor tinggi demam dan faktor usia kurang dari 2 tahun. Dari karakteristik orang tua anak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. EPILEPSI 1. Definisi Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan

Lebih terperinci

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ BIPOLAR oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ Definisi Bipolar Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini disebabkan oleh demam dimana terdapat kenaikan suhu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38 C) akibat suatu proses ekstrakranium tanpa adanya infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cerebrovaskular accident atau yang sering di sebut dengan istilah stroke adalah gangguan peredaran darah di otak yang mengakibatkan terganggunya fungsi otak yang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada anak, dan biasanya kejang sudah dimulai sejak usia bayi dan anak-anak. Kejang pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terdapat 204 resep (50,62%) dan pasien berjenis kelamin laki-laki

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terdapat 204 resep (50,62%) dan pasien berjenis kelamin laki-laki BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Data Pasien Hasil penelitian menunjukan dari 403 resep yang masuk kriteria inklusi meliputi pasien anak berjenis kelamin perempuan terdapat 204 resep (50,62%)

Lebih terperinci

GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI. Pendahuluan

GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI. Pendahuluan GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI Pendahuluan Epilepsy dapat menyebabkan gangguan kesadaran yang transient mulai dari gannguan kesiagaan ringan sampai hilangnya kesadaran. hal ini disebabkan terdapatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kejang berulang disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kejang berulang disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi adalah kondisi neurologis yang ditandai dengan kekambuhan kejang berulang disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas C) 38 tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta individu di dunia (WHO, 2005a). Epilepsi di wilayah Asia Tenggara berkisar 1% dari populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi menyerang 70 juta dari penduduk

Lebih terperinci

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia? Skizofrenia Skizofrenia merupakan salah satu penyakit otak dan tergolong ke dalam jenis gangguan mental yang serius. Sekitar 1% dari populasi dunia menderita penyakit ini. Pasien biasanya menunjukkan gejala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seluruh dunia (WHO, 2001). Epilepsi adalah suatu kondisi neurologis yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seluruh dunia (WHO, 2001). Epilepsi adalah suatu kondisi neurologis yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang umum terjadi di seluruh dunia (WHO, 2001). Epilepsi adalah suatu kondisi neurologis yang ditandai oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia mempunyai dua faktor yang berpengaruh besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia mempunyai dua faktor yang berpengaruh besar terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai dua faktor yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan anak yaitu gizi dan infeksi. Saat ini 70% kematian balita disebabkan karena pneumonia, campak,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kejang Demam 2.1.1. Definisi Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4 o C tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit

Lebih terperinci

Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak

Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak Yazid Dimyati Divisi Saraf Anak Departemen IKA FKUSU / RSHAM Medan UKK Neurologi / IDAI 2006 Pendahuluan Kejang merupakan petunjuk adanya

Lebih terperinci

KEJANG PADA ANAK. Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes

KEJANG PADA ANAK. Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes KEJANG PADA ANAK Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami

Lebih terperinci

Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun epilepsi tidak jarang dijumpai dalam masyarakat.

Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun epilepsi tidak jarang dijumpai dalam masyarakat. BAB 1 PENDAHULUAN Epilepsi merupakan suatu gangguan fungsional kronik yang relatif sering terjadi dimana ditandai oleh aktivitas serangan yang berulang. Serangan kejang yang merupakan gejala atau manifestasi

Lebih terperinci

SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI. Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013.

SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI. Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013. SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013 Disusun Oleh: Afnies Basugis Pembimbing: dr. Yeti Hutahean, Sp.S Dibawakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epilepsi 2.1.1. Definisi Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum terjadi dan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kejang Demam 1. Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakaranium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa wanita masa menstruasi merupakan masa-masa yang sangat menyiksa. Itu terjadi akibat adanya gangguan-gangguan pada siklus menstruasi. Gangguan menstruasi

Lebih terperinci

Curiculum vitae. Dokter umum 1991-FKUI Spesialis anak 2002 FKUI Spesialis konsultan 2008 Kolegium IDAI Doktor 2013 FKUI

Curiculum vitae. Dokter umum 1991-FKUI Spesialis anak 2002 FKUI Spesialis konsultan 2008 Kolegium IDAI Doktor 2013 FKUI Curiculum vitae Nama : DR.Dr. Setyo Handryastuti, SpA(K) Tempat/tanggal lahir : Jakarta 27 Januari 1968 Pekerjaan : Staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Pendidikan : Dokter umum 1991-FKUI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh survei ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit (RS) di seluruh Indonesia, pada penderita

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keaadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas

Lebih terperinci

Pendahuluan Meniere s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang

Pendahuluan Meniere s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang MENIERE S DISEASE Pendahuluan Meniere s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang dari vertigo yang berlangsung dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan tidur dijumpai 25% pada populasi anak yang sehat, 1-5%

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan tidur dijumpai 25% pada populasi anak yang sehat, 1-5% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan tidur dijumpai 25% pada populasi anak yang sehat, 1-5% diantaranya adalah gangguan kesulitan bernapas saat tidur (obstructive sleep apneu syndrome: OSAS) (Owens,

Lebih terperinci

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA EPILEPSI. No. Dokumen : No. Revisi : Tanggal Terbit : Halaman : 1/2

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA EPILEPSI. No. Dokumen : No. Revisi : Tanggal Terbit : Halaman : 1/2 DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA EPILEPSI No. Dokumen : SOP No. Revisi : Tanggal Terbit : 02-01-2016 Halaman : 1/2 UPT PUSKESMAS HARAPAN SANTOSO NIP. 19651010 199001 1 002 1. Pengertian Epilepsi didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan obat-obatan masih merupakan pilihan utama untuk terapi epilepsi pada

BAB I PENDAHULUAN. dengan obat-obatan masih merupakan pilihan utama untuk terapi epilepsi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan bangkitan kejang bersifat sementara yang disebabkan oleh aktifitas neuron yang abnormal atau berlebihan dan sinkronisasi. Penanganan dengan obat-obatan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Depresi Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi yang menuju meningkatnya

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya Apakah diabetes tipe 1 itu? Pada orang dengan diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat membuat insulin. Hormon ini penting membantu sel-sel tubuh mengubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I PENDAHULUAN Anemia adalah kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan wanita-wanita. Untuk laki-laki,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

Kejang Demam (KD) Erny FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Kejang Demam (KD) Erny FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Kejang Demam (KD) Erny FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Tingkat kompetensi : 4 Kompetensi dasar : mampu mendiagnosis dan melakukan tatalaksana secara paripurna Sub-kompetensi : Menggali anamnesa untuk

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecemasan 2.1.1 Definisi Kecemasan adalah sinyal peringatan; memperingatkan akan adanya bahaya yang akan terjadi dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit. Inflamasi yang terjadi pada sistem saraf pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit. Inflamasi yang terjadi pada sistem saraf pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, infeksi susunan saraf pusat menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit (Saharso dan Hidayati, 2000). Inflamasi yang terjadi pada sistem

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital yang sangat bervariasi, tidak saling terkait, dengan karakteristik klinis, patologis dan genetik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epilepsi 2.1.1 Pengertian Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya

Lebih terperinci

MAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI

MAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI MAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI OLEH: Vita Wahyuningtias 07.70.0279 Daftar Isi Bab 1 Pendahuluan...1 Bab 2 Tujuan...2 Bab 3 Pembahasan...3 1. Pengertian...3 2. Etiologi...4 3. Patofisiologi...4 4. Gejala dan

Lebih terperinci

Epilepsi (Epilepsy, Ayan)

Epilepsi (Epilepsy, Ayan) Epilepsi (Epilepsy, Ayan) Penyakit ayan atau epilepsi (epilepsy) Penyakit epilepsi merupakan penyakit yang dapat terjadi pada siapa pun walaupun dari garis keturunan tidak ada yang pernah mengalami epilepsi

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m DELIRIUM Oleh : dr. H. Syamsir Bs, Sp. KJ Departemen Psikiatri FK-USU 1 Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nekrosis merupakan proses degenerasi yang menyebabkan kerusakan sel yang terjadi setelah suplai darah hilang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap A. Pemeriksaan penunjang - Darah lengkap Darah lengkap dengan diferensiasi digunakan untuk mengetahui anemia sebagai penyebab depresi. Penatalaksanaan, terutama dengan antikonvulsan, dapat mensupresi sumsum

Lebih terperinci

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya.

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya. IPAP PTSD Tambahan Prinsip Umum I. Evaluasi Awal dan berkala A. PTSD merupakan gejala umum dan sering kali tidak terdiagnosis. Bukti adanya prevalensi paparan trauma yang tinggi, (termasuk kekerasan dalam

Lebih terperinci

JENIS GANGGUAN ELEKTROLIT

JENIS GANGGUAN ELEKTROLIT A.HIPERKALEMIA a. pengertian JENIS GANGGUAN ELEKTROLIT Hiperkalemia (kadar kalium darah yang tinggi b. penyebab 1.pemakaian obat tertentu yang menghalangi pembuangan kalium oleh ginjal misalnya spironolakton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. detik seseorang akan terkena stroke. 6 Sementara di Inggris lebih dari. pasien stroke sekitar milyar dolar US per tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. detik seseorang akan terkena stroke. 6 Sementara di Inggris lebih dari. pasien stroke sekitar milyar dolar US per tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Stroke menurut World Health Organization (WHO) 1995 adalah suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik

Lebih terperinci

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN. Saya dr. Azwita Effrina Hasibuan, saat ini sedang menjalani Program

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN. Saya dr. Azwita Effrina Hasibuan, saat ini sedang menjalani Program LAMPIRAN 1 LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN Selamat pagi Bapak/Ibu Yth, Saya dr. Azwita Effrina Hasibuan, saat ini sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf di FK USU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya infeksi ataupun kelainan yang jelas di intrakranial. 2,3 Demam adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya infeksi ataupun kelainan yang jelas di intrakranial. 2,3 Demam adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan klasifikasi kejang demam Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya

Lebih terperinci

Gangguan Bipolar. Febrilla Dejaneira Adi Nugraha. Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ

Gangguan Bipolar. Febrilla Dejaneira Adi Nugraha. Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ Gangguan Bipolar Febrilla Dejaneira Adi Nugraha Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ Epidemiologi Gangguan Bipolar I Mulai dikenali masa remaja atau dewasa muda Ditandai oleh satu atau lebih episode

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Struktur tiroid terdiri dari folikel yang berfungsi untuk mensekresikan hormon

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Struktur tiroid terdiri dari folikel yang berfungsi untuk mensekresikan hormon BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Regulasi hormon tiroid Struktur tiroid terdiri dari folikel yang berfungsi untuk mensekresikan hormon tiroid. Setiap folikel terdiri dari dua tipe sel yang mengelilingi inti

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Penelitian telah dilakukan pada 40 pasien epilepsi yang menjalani monoterapi

BAB 5 PEMBAHASAN. Penelitian telah dilakukan pada 40 pasien epilepsi yang menjalani monoterapi 88 BAB 5 PEMBAHASAN Penelitian telah dilakukan pada 40 pasien epilepsi yang menjalani monoterapi obat anti epilepsi fenitoin yang terdiri dari 20 pasien dalam kelompok kasus dan 20 pasien sebagai kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dia mampu menunjukan eksistensi dirinya terhadap orang lain. inginkan oleh semua orang tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. dia mampu menunjukan eksistensi dirinya terhadap orang lain. inginkan oleh semua orang tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia di lahirkan di dunia ini pasti memiliki keinginan menjadi manusia yang sempurna dan dapat memenuhi tugas perkembangannya serta melakukan setiap aktifitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper & BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam bidang neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA)

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA) Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA) Penyakit flu umumnya dapat sembuh dengan sendirinya jika kita cukup istirahat, makan teratur, dan banyak mengkonsumsi sayur serta buah-buahan. Namun demikian,

Lebih terperinci

PEDOMAN DIAGNOSTIK & PENGOBATAN EPILEPSI PADA ANAK. Dr Erny SpA(K) FK UWKS

PEDOMAN DIAGNOSTIK & PENGOBATAN EPILEPSI PADA ANAK. Dr Erny SpA(K) FK UWKS PEDOMAN DIAGNOSTIK & PENGOBATAN EPILEPSI PADA ANAK Dr Erny SpA(K) FK UWKS 1 Kompetensi dasar mampu menegakkan diagnosis epilepsi dan menyusun program terapi epilepsi pada anak 2 Sub-kompetensi Mampu menyebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke, yang juga dikenal dengan istilah cerebrovascular

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke, yang juga dikenal dengan istilah cerebrovascular BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang terjadi secara tiba-tiba dan menyebabkan kerusakan neurologis. Kerusakan neurologis tersebut dapat disebabkan oleh adanya

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nyeri kepala merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nyeri kepala merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak dan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Migren Nyeri kepala merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak dan remaja. 11 Nyeri kepala merupakan penyebab tersering anak-anak dirujuk ke ahli neurologi anak.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kehamilan Risiko Tinggi Kehamilan berisiko adalah kehamilan yang akan menyebabkan terjadinya bahaya dan komplikasi yang lebih besar, baik terhadap ibu maupun terhadap janin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai dengan hilangnya sirkulasi darah ke otak secara tiba-tiba, sehingga dapat mengakibatkan terganggunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan. Kelainan penyerta yang timbul pada bayi baru lahir akan menghambat

BAB I PENDAHULUAN. kandungan. Kelainan penyerta yang timbul pada bayi baru lahir akan menghambat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Proses pembentukan manusia yang berkualitas dimulai sejak masih di dalam kandungan. Kelainan penyerta yang timbul pada bayi baru lahir akan menghambat proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan penurunan system syaraf secara tiba-tiba yang ditandai dengan adanya serangan iskemia atau Transcient Ischemic Attack (TIAs) berlangsung selama kurang

Lebih terperinci

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Tulang adalah jaringan hidup yang memiliki vaskularisasi yang baik, dengan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Tulang adalah jaringan hidup yang memiliki vaskularisasi yang baik, dengan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. METABOLISME TULANG Tulang adalah jaringan hidup yang memiliki vaskularisasi yang baik, dengan aliran darah total 200-400 ml/menit. 14 Sel yang berperan dalam pembentukan dan

Lebih terperinci

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk: HIPONATREMIA 1. PENGERTIAN Hiponatremia adalah suatu kondisi yang terjadi ketika kadar natrium dalam darah adalah rendah abnormal. Natrium merupakan elektrolit yang membantu mengatur jumlah air di dalam

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan perubahan tanda klinis secara cepat baik fokal maupun global yang mengganggu fungsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang tua. 1 Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak-anak mempunyai kondisi berbeda dengan orang dewasa pada saat pra bedah sebelum masuk

Lebih terperinci