BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kelainan otak kronis dengan berbagai macam penyebab yang ditandai serangan epilepsi berulang yang disebabkan oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan. Gangguan ini sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya. Di samping itu juga dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik (WHO, 2001). Gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran. Kondisi ini tergantung lokasi kelainan di otak (Rahardjo, 2008). Epilepsi ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan mortalitas. Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia. WHO (2001) menyebutkan bahwa kejadian epilepsi di negara maju berkisar 50 per penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per ribu. Epilepsi dapat menyerang pada laki-laki ataupun perempuan. Secara umum diperkirakan ada 2,4 juta kasus baru setiap tahun, dan 50% kasus terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja (WHO,2006). Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Secara umum, rekomendasi terapi yang tepat pada epilepsi harus mempertimbangkan rasio risiko dan biaya obat dengan keuntungan/efek 1

2 terapinya. Keuntungan terapi berkaitan dengan tingkat kualitas hidup penderita dengan manifestasi adanya penurunan/pengendalian kejang, di samping perbaikan dalam aspek psikis, kognitif, dan sosial. Efek samping dan biaya terapi berhubungan dengan dampak klinik, psikologi, sosial dan ekonomi akibat penanganan epilepsi yang kurang adekuat (Heaney dkk, 2002). Obat Anti Epilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi. Tujuan pengobatan epilepsi dengan OAE adalah untuk menghindari terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dengan efek samping yang minimal (Wibowo & Gofir, 2006). Terapi pilihan lainnya termasuk perubahan pola makan, menghindari faktor pencetus (contohnya alkohol atau kurang tidur), penanaman saraf stimulator dan pembedahan (Gidal dkk, 2005). Pemilihan OAE pada pediatrik bukanlah tugas yang sederhana. Banyak variabel yang harus dipertimbangkan antara lain jenis epilepsi, efikasi/efektivitas, efek samping, farmakokinetik, formulasi, latar belakang genetik, jenis kelamin, usia, komorbiditas, status sosial ekonomi, ketersediaan dan biaya OAE (Glauser dkk, 2006). OAE monoterapi menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi, karena sebagian besar pasien berhasil dikontrol dengan obat monoterapi pertama atau kedua yang diberikan. Penggunaan monoterapi dapat mengurangi potensial interaksi obat dan efek toksik yang merugikan (Louis dkk, 2009). Sebagian besar pasien epilepsi merespon pengobatan dengan monoterapi, 47% pasien menjadi bebas kejang dengan percobaan OAE pertama dan 13% mencapai bebasan kejang dengan percobaan monoterapi kedua (Kwan & Brodie, 2000). Penggunaan politerapi baru dapat dipertimbangkan ketika pasien gagal dua atau lebih dengan 2

3 monoterapi (WHO, 2009). Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melihat keefektifan terapi obat anti epilepsi secara monoterapi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada klinisi terkait pengobatan epilepsi sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan/acuan dalam penyusunan standar terapi pengobatan epilepsi. Hal ini dimaksudkan agar target utama dari pengobatan epilepsi yaitu pengurangan frekuensi kejang dan keparahan kejang dapat tercapai. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang merupakan salah satu rumah sakit pendidikan tipe A yang membantu memberikan fasilitas untuk melaksanakan kegiatan pendidikan profesi calon dokter dan dokter spesialis serta menjadi lahan praktek dari Institusi Kesehatan dan Non Kesehatan baik di wilayah Provinsi DIY maupun dari luar Provinsi DIY bahkan ada dari luar negeri. Selain itu RS Dr. Sardjito merupakan rujukan tertinggi bagi pasien epilepsi untuk daerah DIY dan Jawa Tengah bagian Selatan. Pasien epilepsi sekitar 70% dari jumlah pasien yang datang ke Instalansi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. RSUP Dr. Sardjito memiliki jumlah tempat tidur untuk pasien sebanyak 750 buah. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai efek terapi OAE secara monoterapi pada pengobatan pasien epilepsi pediatrik di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito pada periode Januari-Maret

4 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran pola pengobatan OAE secara monoterapi pada pengobatan pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode Januari-Maret 2015? 2. Bagaimanakah efek terapi OAE secara monoterapi pada pengobatan pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode Januari-Maret 2015? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui gambaran pola pengobatan OAE secara monoterapi pada pengobatan pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode Januari-Maret Mengevaluasi efek terapi OAE secara monoterapi pada pengobatan pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode Januari-Maret Bagi Peneliti D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi terkait efek terapi OAE secara monoterapi pada pengobatan pasien epilepsi 4

5 pediatrik rawat jalan. 2. Bagi rumah sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi gambaran pola pengobatan epilepsi menggunakan OAE secara monoterapi dan sebagai evaluasi dalam memberikan terapi kepada pasien epilepsi pediatrik secara tepat dan dapat memberikan umpan balik terkait dengan standar terapi pengobatan epilepsi pada pasien pediatrik. E. Tinjauan Pustaka 1. Epilepsi a. Definisi Epilepsi Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan yang bersifat spontan (tidak ada penyebab) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan kejang tidak berkala misalnya kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007 a ). b. Epidemiologi Epilepsi Epilepsi ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan mortalitas, terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia. WHO 5

6 (2001) menyebutkan bahwa kejadian epilepsi di negara maju berkisar 50 per penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per ribu. Diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi di Indonesia. Prevalensi epilepsi di indonesia adalah 5-10 kasus per orang dan insidensi sebanyak 50 kasus per orang per tahun (Harsono, 2007 a ). Epilepsi dapat menyerang pada laki-laki ataupun perempuan. Secara umum diperkirakan ada 2,4 juta kasus baru setiap tahun, dan 50% kasus terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja (WHO,2006). Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006) terhadap penelitian terdahulu menunjukkan insidensi epilepsi pada anak-anak adalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat. Penelitian Heaney dkk (2002) di Inggris dilakukan secara prospektif terhadap orang, sepanjang pengamatan dijumpai 190 kasus baru epilepsi, 65 diantaranya (34,2%) dimulai saat pada usia <14 tahun. Hasil menyebutkan bahwa penyandang epilepsi masih sangat banyak, hal ini juga akan menimbulkan dampak sosial masyarakat bagi penyandangnya (Heaney dkk,2002). 6

7 c. Etiologi Epilepsi Dasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Setiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron yaitu perbedaan konsentrasi ion-ion seperti K, Na, Ca, Cl (Shih, 2007). Menurut Shorvon (2001) dan Deliana (2002) ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : 1). Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi ±50% dari penderita epilepsi anak, umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun. 2). Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat, misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), kelainan neurodegeneratif dan kejang demam. 3). Epilepsi kriptogenik dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. 7

8 Beberapa penyebab secara spesifik timbulnya serangan epilepsi adalah: 1). Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera (trauma) atau mendapat penyinaran (radiasi). 2). Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan (forsep), atau trauma lain pada otak bayi. 3). Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang-kejang dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3 tahun kemudian. Bila serangan terjadi berulang pada saat yang berlainan baru dinyatakan sebagai penyandang epilepsi. 4). Tumor otak, merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum, terutama pada anak-anak. 5). Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak. 6). Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang otak dapat menyebabkan epilepsi. 7). Penyakit keturunan seperti fenilketonuria. Sklerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan timbulnya kejang yang berulang. 8

9 8). Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan biasanya terjadi pada masa anak-anak (Harsono, 2005). Epilepsi dapat kambuh kembali dikarenakan beberapa faktor. Faktor pencetus timbulnya serangan pada penderita epilepsi, diantaranya yaitu : gangguan emosional, stress, tidur, haid, cahaya tertentu. Faktor yang lainnya yaitu faktor makan dan minum, suara tertentu, membaca, drug abuse, lupa atau enggan minum obat, faktor hiperventilasi dan suhu tubuh penyandangnya (Harsono, 2001). d. Patofisiologi Epilepsi Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menembus membran neuron (Harsono, 2007 a ). Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan 9

10 listrik abnormal ini kemudian menstimulasi neuron-neuron sekitarnya atau neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak (Harsono, 2007 a ). e. Klasifikasi Epilepsi Terapi epilepsi tidak hanya berdasarkan atas diagnosa yang tepat, jenis serangan juga harus ditentukan. Menurut Gidal dkk (2005) klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda klinik dan data EEG, dibagi menjadi: 1). Kejang umum (generalized seizure) Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas: a). Absence (Petit mal) Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Kesadaran hilang beberapa detik, ditandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat. Penderita tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai. b). Tonik-klonik (grand mal) Merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi, biasanya didahului oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar air liur. Bisa terjadi 10

11 juga sianosis, ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur. c). Mioklonik Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba. d). Atonik Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat segera pulih kembali. 2). Kejang parsial Kejang parsial merupakan perubahan klinis dan elektro-ensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang berbatas di salah satu bagian otak. Kejang parsial ini terbagi menjadi: a). Simple partial seizure Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran, hanya terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh. b). Complex partial seizure Pasien mengalami penurunan kesadaran. Penderita dengan penurunan kesadaran dapat mengalami perubahan tingkah laku. 11

12 3). Kejang tak terklasifikasikan Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan epilepsi pada neonatus misalnya gerakan mata ritmis, dan gerakan mengunyah serta berenang. f. Diagnosa Epilepsi Diagnosa yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosa epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi, penderita epilepsi akan meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat OAE (Wibowo & Gofir, 2006). Konsekuensi psikologis dan sosial ini, dapat menciptakan disabilitas yang lebih besar pada penderita epilepsi dari disabilitas akibat gangguan otak itu sendiri. Oleh karena itu lebih baik tidak menegakkan diagnosa epilepsi sebelum dapat memastikan bahwa itu benar-benar epilepsi (Kusumaastuti, 2008). Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Menurut Kusumastuti (2008), langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis dalam praktik klinis adalah sebagai berikut: 1). Anamnesis Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai gejala dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan. Anamnesis lain yang perlu dilakukan adalah anamnesis terhadap 12

13 faktor pencetus, usia, durasi, dan frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan, terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya, penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas, riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga, riwayat saat berada dalam kandungan- kelahiran- tumbuh kembang, riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam, dan riwayat trauma kepala-stroke- infeksi susunan saraf pusat. 2). Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, seperti trauma kepala. Pemeriksaan neurologis berfungsi untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. 3). Pemeriksaan penunjang, seperti berikut: a). Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG) Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis, penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, prognosis, dan perlu/ tidaknya pemberian OAE. 13

14 b). Pemeriksaan pencitraan otak Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak secara non-invasif, seperti: Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT), Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT) Scanning. c). Pemeriksaan laboratorium (1). Pemeriksaan hematologis Pemeriksaan hematologis di awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE, 2 bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping OAE, rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE. (2). Pemeriksaan kadar OAE dilakukan untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien. g. Prognosis Epilepsi Prognosis anak yang menderita epilepsi tergantung bermacam-macam faktor medis, sosial, dan psikologis. Secara umum prognosis epilepsi berhubungan dengan beberapa faktor seperti 14

15 kekerapan kejang, ada atau tidaknya defisit neurologis atau mental, jenis dan lamanya kejang (Taslim & Sofyan, 1999). Prognosis epilepsi cukup baik, pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan minum obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat (Harsono, 2005). Prognosis epilepsi pada anak sangat tergantung pada jenis epilepsi yang dideritanya. Faktor yang berhubungan dengan baiknya prognosis diantaranya tidak terdapatnya kelainan neurologis dan mental, tidak kambuhnya kejang, terutama jenis tonik klonik umum, hanya terdapat satu jenis kejang, dan cepatnya kejang dikendalikan. Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun merupakan faktor yang menguntungkan. Risiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. Faktor yang berhubungan dengan prognosis yang buruk diantaranya terdapat penyebab kejang organik, terdapatnya kelainan neurologis dan atau mental, terdapatnya beberapa jenis kejang tonik klonik umum yang sering dan atau kejang tonik dan atonik (Taslim & Sofyan, 1999). 2. Terapi Anti Epilepsi a. Prinsip Terapi Antiepilepsi Langkah selanjutnya yang diambil setelah diagnosa epilepsi ditegakkan adalah membuat rancangan tatalaksana farmakoterapeutik dengan mempertimbangkan setiap konsekuensi dari masing-masing pilihan terapi (Harsono, 2007 b ). 15

16 Prinsip pengobatan epilepsi adalah : 1). Pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun 2). Pengobatan dimulai diberikan bila diagnosa telah ditegakkan dan setelah penyandang dan atau keluarganya menerima penjelasan tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping 3). Pemilihan jenis obat yang sesuai dengan jenis bangkitan 4). Sebaiknya pengobatan dengan monoterapi 5). Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif tercapai 6). Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila diperlukan penggantian obat, obat pertama diturunkan bertahap dan obat kedua dinaikkan secara bertahap 7). Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dipertimbangkan kombinasi OAE 8). Bila memungkinkan dilakukan pemantauan kadar obat sesuai indikasi (Kustiowati dkk, 2003). b. Pediatrik Pediatrik bukan merupakan miniatur dari orang dewasa. Hal ini karena pada pediatrik masih terjadi pertumbuhan dan perkembangan dalam profil farmakologinya yang berbeda dengan populasi dewasa (US. Department of Health and Human Service, 2014). Menurut Europe Medicine Agency (EMA) (2001) populasi pediatrik dapat diklasifikasikan 16

17 menjadi 4 kelompok berdasarkan usia seperti berikut ini: 1). Neonatus (0-27 hari) 2). Infant (28 hari - 23 bulan) 3). Anak (2-11 tahun) 4). Remaja (12-18 tahun) c. Memulai Terapi Antiepilepsi pada Pasien Anak Sebagian besar kasus epilepsi dimulai sejak masa bayi dan anak. Penderita epilepsi anak, merupakan segmen pasien tertentu, yang dalam beberapa hal, berbeda dengan pasien dewasa. Manajemen terapi yang optimal diperlukan pengetahuan tentang kondisi anak, perkembanganya, status penyakitnya, dan tentu juga pengetahuan farmakologi OAE. Terapi epilepsi anak memerlukan perhatian khusus yang perlu dicermati, seperti misalnya pertumbuhan organ pasien, metabolisme hepar, eliminasi ginjal, profil farmakokinetik OAE, toleransi terhadap OAE, serta ketaatan mengkonsumsi obat. Hal-hal tersebut berpengaruh terhadap penyesuaian dosis OAE yang akan diberikan (Wibowo dan Gofir, 2006). d. Pengobatan OAE secara Monoterapi pada Pasien Epilepsi Anak OAE monoterapi menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi, karena sebagian besar pasien berhasil dikontrol dengan obat monoterapi pertama atau kedua yang diberikan. Penggunaan monoterapi dapat mengurangi potensial interaksi obat dan efek toksik yang 17

18 merugikan (Louis dkk, 2009). Sebagian besar pasien epilepsi merespon pengobatan dengan monoterapi, 47% pasien menjadi bebas kejang dengan percobaan OAE pertama, dan 13% mencapai bebasan kejang dengan percobaan monoterapi kedua (Kwan & Brodie, 2000). Pengobatan pada pasien epilepsi anak sedapat mungkin dengan monoterapi. Cara memilih OAE pertama adalah menentukan jenis epilepsinya. (Wibowo & Gofir, 2006). Tabel I. Pilihan Terapi Untuk Berbagai Tipe Bangkitan Epilepsi Anak Tipe seizure First-line drugs Second-line drugs Generalized tonic-clonic Absence Myoclonic Tonic Atonic Infantile Spasme Focal with/without secondary generalisation Karbamazepin a, Lamotigrin, Valproat, Topiramat a,b Etosuksimid, Lamotigrin b, Valproat, Valproat, Topiramat a Lamotigrin b, Valproat, Lamotigrin b, Valproat Steroid a, Vigabatrin b Karbamazepin a, Lamotigrin a, Okskarbazepin a,b, Valproat, Topiramat a,b Klobazam, Levitirasetam, Okskarbazepin a Klobazam, Klonazepam, Topiramat a Klobazam, Klonazepam, Lamotigrin, Levetirasetam, Pirasetam Klobazam, Klonazepam, Levetirasetam, Topiramat a Klobazam, Klonazepam, Levetirasetam, Topiramat a Klobazam, Klonazepam, Valproat, Topiramat a Klobazam, Gabapentin, Levetirasetam, Fenitoin a, Tiagabin Alternatif/obat lain yang dapat dipertimbangkan Asetazolamida, Klonazepam, Fenobarbital a, Fenitoin a, Primidon a,c Asetazolamida, Fenobarbital a, Fenitoin a, Primidon a,c Asetazolamida, Fenobarbital a, Primidon a,c Nitrazepam Asetazolamida c, Klonazepam, Fenobarbital a, Primidon a,c Obat yang harus dihindari (mungkin memperburuk kejang) Tiagabin, Vigabatrin Kabarmazepin a, Gabapentin, Okskarbazepin a, Tiagabin, Vigabatrin Kabarmazepin a, Gabapentin, Okskarbazepin a, Tiagabin, Vigabatrin Kabarmazepin a, Okskarbazepin a, Kabarmazepin a, Okskarbazepin a, Fenitoin a Kabarmazepin a, Okskarbazepina Keterangan: a. Enzim hati menginduksi OAE b. Harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam keadaan seperti diuraikan dalam NICE Technology Appraisal of Newer AEDs for Children c. Jarang dan perlu inisiasi, jika barbiturat yang digunakan lebih disukai (NICE Guideline, 2012) Edukasi yang dapat diberikan pada pasien anak : 18

19 1). Pasien dan orang tua diharapkan mengetahui permasalahan dan terapi epilepsi 2). Botol berisi obat epilepsi sebaiknya ditandai 3). Berusaha untuk hidup senormal mungkin 4). Anak-anak sebaiknya banyak melakukan kegiatan fisik yang sesuai dengan umur mereka 5). Tidur yang cukup, hindari kekurangan tidur (Shih, 2007) Pembagian dosis OAE untuk terapi pasien anak dapat dilihat pada Tabel II berikut. Tabel II. Dosis Obat Antiepilepsi untuk Pediatrik Obat Dosis awal (mg/kg/hari) Dosis maintenance (mg/kg/hari) Fenitoin Karbamazepin Okskarbazepin Lamotrigin 0, Zonisamid Etosuksimid Felbamat Topiramat 0, Clobazam 0,25 0, Clonazepam 0,025 0,025-0,1 2-3 Fenobarbital Pirimidon Vigabatrin Gabapentin Valproat Frekuensi pemberian (kali/hari) Levetiracetam Tiagabin Tidak disarankan untuk anak di bawah usia 12 tahun (Brodie dkk., 2005) e. Penggolongan dan Mekanisme Kerja Antiepilepsi Wibowo & Gofir (2006) membagi mekanisme kerja obat antiepilepsi menjadi 2 bagian besar, yaitu : efek langsung pada 19

20 membran yang eksitabel dan efek melalui perubahan meurotransmitter. Berikut penggolongan OAE berdasarkan pada mekanisme tersebut: 1). Efek langsung pada membran yang eksitabel. Perubahan pada permeabilitas membran serta mencegah aliran frekuensi tinggi dan neuron-neuron pada keadaan lepas muatan listrik epilepsi (Wibowo & Gofir, 2006). OAE dengan mekanisme ini antara lain: a). Fenitoin : Ikaphen, Dilantin, Kutoin Fenitoin diindikasikan sebagai terapi awal atau terapi tambahan pada serangan parsial kompleks atau serangan tonik klonik. Efek sampingnya dapat menimbulkan hiperplasia gingival yang reversibel dan efek samping kosmetik lainnya (Browne dan Holmes, 2000). Mekanisme aksinya dengan memblokade kanal natrium dan beraksi dengan konduktansi pada klorida dan kalsium, serta neurotransmisi voltage-dependent (Shorvon, 2000). Fenitoin memiliki kinetika eliminasi tergantung dosis dan dihidroksilasi di hati oleh sistem enzim. Peningkatan dosis yang kecil dapat meningkatkan waktu paruh dan kadar dalam serum yang besar. Peningkatan kadar tunak mungkin tidak proporsional dengan toksisitas yang dihasilkan dari peningkatan dosis 10% atau lebih (Porter dan Meldrum, 2012). 20

21 b). Karbamazepin : Tegretol Derivat anti depresan trisiklik ini efektif untuk serangan parsial dan general tonik klonik, dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat kanal Na selama pelepasan dan mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah potensial post tetanik (Wibowo & Gofir, 2006). c). Etosuksimid Etosuksimid sebagai obat pilihan untuk serangan absence pada anak-anak yang tidak disertai serangan tonik-klonik atau mioklonik (Wibowo & Gofir, 2006). Mekanisme kerja obat ini menghambat kanall Ca tipe T. Etosuksimid mempunyai efek penting pada arus Ca 2+, menurunkan arus nilai ambang rendah (tipe T). Arus kalsium tipe T diperkirakan merupakan arus yang menimbulkan pemacu pada saraf talamus sehingga terjadi gelombang korteks yang ritmis dari serangan absence. Penghambat arus tersebut karenanya merupakan kerja terapeutik dari etosuksimid (Katzung, 2002). d). Valproat : asam dipropilasetat, Depakene, Depakote, Ikalep Valproat diindikasikan sebagai drug of choice untuk epilepsi general idiopatik, epilepsi fokal, epilepsi mioklonik, 21

22 epilepsi fotosensitif, sindrom lennox dan second-line pada terapi spasme infantil (Wibowo & Gofir, 2006). Valproat memiliki mekanisme aksi yang multipel, yaitu mengahambat kanal Ca tipe T dan meningkatkan fungsi GABA tetapi hanya terlihat pada konsentrasi tinggi. Obat ini meningkatkan sintesa GABA dengan menstimulasi Glutamic Acid Dekarboksilasi (GAD). Obat ini menghasilkan modulasi selektif pada arus Na selama pelepasan muatan (Wibowo dan Gofir, 2006). Valproat menghambat metabolisme beberapa obat termasuk fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin, menyebabkan konsentrasi obat-obat tersebut dalam darah menjadi meningkat. Penghambatan metabolisme fenobarbital menyebabkan kadar barbiturat meningkat secara tajam hingga menimbulkan stupor atau koma (Katzung, 2002). e). Okskarbazepin : Trileptal Okskarbazepin merupakan 10-keto analog dari karbamazepin, dikembangkan dalam upaya untuk menghindari autoinduksi dan potensi interaksi sebagaimana terdapat pada karbamazepin. OAE ini telah memperoleh lisensi di seluruh dunia, lebih dari 50 negara. Beberapa negara telah menggunakan okskarbamazepin sebagai obat pilihan pertama (Harsono, 2007 b ). 22

23 Okskarbamazepin digunakan sebagai monoterapi atau terapi tambahan pada serangan parsial (sederhana, kompleks, umum sekunder) pada dewasa dan anak-anak, termasuk pasien yang baru terdiagnosa (Browne dan Holmes, 2000). Mekanisme aksinya dengan menghambat kanal Na dan berdampak pada konduktansi kalium dan memodulasi tegangan tinggi sehingga mengaktivasi kanal Ca (Shorvon, 2000). f). Lamotrigin : Lamictal Lamotrigin diindikasikan sebagai terapi tambahan pada pasien dewasa dengan serangan parsial yang tidak terkontrol dengan obat-obat pilihan pertama seperti fenitoin dan karbamazepin. Lamotrigin memiliki toksisitas tergantung dosis yang minimal dan tidak memerlukan monitoring hasil laboratorium (Browne dan Holmes, 2000). 2). Efek melalui perubahan neurotransmitter a). Penghambatan aksi glutamat Obat-obat dengan aksi ini antara lain: (1). Felbamat Mekanisme kerja obat dengan memperkuat aktivitas GABA. Felbamat terbukti efektif baik pada monoterapi maupun terapi tambahan pada serangan parsial pada pasien dengan usia 14 tahun, obat ini juga 23

24 bermanfaat untuk sindrom lennox-gastaut yang tidak berespon terhadap terapi lain (Wibowo dan Gofir, 2006). (2). Topiramat : Topamax Topiramat diindikasikan sebagai terapi tambahan untuk serangan parsial dan untuk serangan umum tonik-klonik primer pada pasien dewasa dan anak-anak berusia 2 hingga 16 tahun. Topiramat dilaporkan memiliki sedikit interaksi dan diberikan sebanyak 2 kali sehari (Browne dan Holmes, 2000). Mekanisme aksinya dengan menghambat kanal Na, memulai influx GABA-mediated chloride dan memodulasi efek dari reseptor GABA A dan bereaksi pada reseptor AMP (Shorvon, 2000). b). Mendorong aksi inhibisi Gamma Amino Butyruc Acid (GABA) pada membran pasca-sinaptik dan neuron Obat-obat dengan aksi ini antara lain: (1). Klonazepam : Riklona 2 Klonazepam sebagai agonis reseptor GABA, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor GABA A. Efektif untuk serangan mioklonik, serangan umum dan sedikit berperan pada serangan parsial. Obat ini digunakan sebagai terapi adjuvan untuk epilepsi refrakter. Klonazepam juga digunakan sebagai terapi 24

25 emergensi pada status epileptikus seperti diazepam (Wibowo dan Gofir, 2006). (2). Fenobarbital : fenobarbiton, Luminal Fenobarbital beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada tempat ikatan barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan kanal Cl, mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan menurunkan eksitabilitas glutamat. Fenobarbital merupakan OAE dengan spektrum luas, digunakan pada terapi serangan parsial dan serangan umum sekunder. Obat ini digunakan sebagai second drug karena memberikan efek buruk seperti sedasi dan penurunan daya kognitif, namun pada status epileptikus, obat ini masih digunakan sebagai first drug (Wibowo dan Gofir, 2006). (3). Klobazam : Frisium Klobazam merupakan derivat 1,5-benzodazepin (1982) yang memiliki khasiat antikonvulsi yang sama kuatnya dengan diazepam. Klobazam digunakan sebagai obat tambahan pada absence yang resisten terhadap klonazepam. Tidak dapat dikombinasi dengan valproat (Tan dan Rahardja, 2000). Klobazam merupakan terapi tambahan pada serangan parsial, umum, terapi 25

26 intermittent, terapi one-off profilaktik, dan non-konvulsif status epileptikus (Shorvon, 2000). (4). Gabapentin : Neurontin Gabapentin mempunyai hubungan struktural yang sangat dekat dengan GABA. Walaupun dirancang sebagai agonis GABA, pengalaman dan bukti klinis menunjukan bahwa gabapentin tidak beraksi atau sedikit beraksi terhadap reseptor GABA A maupun GABA B. Sementara itu, gabapentin juga tidak berpengaruh terhadap sintesis GABA. Awalnya gabapentin diteliti manfaatnya sebagai antispasmodik dan sebagai analgetik. Kemudian gabapentin diteliti manfaatnya sebagai OAE. Saat ini gabapentin sudah memperoleh lisensi untuk dipakai sebagai OAE di Inggris, Amerika Serikat, Eropa daratan dan berbagai negara lainnya, namun demikian ada yang menggunakan gabapentin sebagai analgetik walaupun tanpa lisensi. Gabapentin dipakai sebagai adjuvan untuk serangan parsial atau serangan umum sekunder pada terapi epilepsi (Harsono, 2007 b ). 3). Obat dengan mekanisme lain a). Levetiracetam : Keppra Levetiracetam diterima oleh FDA untuk mengatasi serangan parsial. Obat ini dapat digunakan bersama dengan 26

27 obat lain pada orang berusia 4 tahun ke atas. Keppra juga diterima oleh FDA untuk mengatasi mioklonik pada orang dewasa dan epilepsi mioklonik juvenil untuk orang berusia 12 tahun ke atas. Obat ini diekskresi di ginjal, dan dosisnya dapat mengalami perbedaan pada orang yang mengalami gangguan ginjal. 3. Efek Terapi Efek terapi merupakan hasil yang diharapkan setelah pemberian terapi yaitu meningkatnya outcome. Penilaian outcome pada pasien epilepsi selain pengurangan keparahan kejang, pengukuran kualitas hidup pasien juga sangat dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana aspek psikososial pasien. Pengurangan kejang akan berdampak langsung pada fungsi psikososial pasien (Sabaz dkk, 2001). Penurunan jumlah kejang merupakan penilaian outcome yang paling mudah dilakukan. Pasien datang kontrol ke poliklinik secara rutin, akan mudah menanyakan jumlah kejang yang terjadi setelah kontrol sebelumnya, ataupun jumlah kejang yang sesuai periode yang diinginkan, misalnya sebulan, seminggu, ataupun sehari. Pasien dikatakan berespon terhadap pengobatan jika pengurangan frekuensi kejang lebih dari 50%. Selain penurunan jumlah kejang, pengukuran keparahan kejang juga merupakan parameter efek terapi Obat Anti Epilepsi (Bachtera, 2007). Cramer dan French (2001) meyebutkan, penilaian kuantitatif keparahan kejang dapat dilakukan dengan berbagai sistem, seperti : 27

28 a. Veterans Administration (VA) Scale Sistem ini menilai frekuensi kejang yang terjadi pada kejang tipe parsial (secondarily generalized tonic clonic, complex partial seizure dan simple partial seizure) maupun keparahan kejangnya. VA Scale diselesaikan oleh dokter berdasarkan pertanyaan spesifik tentang komponen kejang yang dilakukan dengan pemeriksaan dan wawancara. VA Scale dikritik karena merupakan sistem skoring yang kompleks, meskipun penilaian terhadap beberapa kejang dapat dihitung. b. Chalfont-National Hospital Seizure Severity Scale (NHS3) Chalfont Seizure Severity Scale merupakan penyederhanaan dari VA Scale yang kemudian diperbaharui dan berganti nama menjadi National Hospital Seizure Severity Scale (NHS3). Skala ini digunakan untuk pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Kuesioner diberikan oleh dokter yang mewawancarai pasien dan orang-orang yang menyaksikan tipe kejangnya. Penilaian ini terhadap 3 jenis kejang ( kejang umum, complex partial seizure dan simple partial seizure). c. Occupational Hazard Scale Sistem ini menggambarkan tingkat bahaya berdasarkan frekuensi dan keparahan kejang. Gangguan sosial yang mungkin disebabkan oleh kejang (seperti, risiko kecelakaan) merupakan suatu hal yang penting. Skala ini memberikan contoh jenis kejang dan status pengobatan, digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian pemilihan pekerjaan pasien berdasarkan tingkat keparahan kejang. 28

29 d. Liverpool Seizure Severity Scale (LSSS) LSSS dikembangkan untuk menilai keparahan kejang pasien yang dirasakan oleh pasien. Kuesioner dijawab oleh pasien tanpa adanya interpretasi dari penyedia layanan kesehatan untuk menilai aktivitas kejang selama 4 minggu sebelumnya. Item skala berfungsi untuk mendiskripsikan persepsi pasien dari dampak kejang pada fungsi sehari-hari tanpa menetapkan poin disetiap pertanyaan. Kuesioner ini tidak memberikan informasi tentang frekuensi yang tepat dari kejang dan juga tidak menggambarkan klasifikasi kejang secara spesifik. e. Hague Seizure Severity Scale (HASSS) HASSS merupakan pengembangan skala keparahan kejang untuk anak-anak yang didasarkan pada persepsi orang tua pasien. Sebagian besar konten HASSS berdasarkan LSSS dan didesain ulang menjadi kuesioner yang diisi oleh orang tua, bukan pasien. Komponen dari beberapa kuesioner diatas hampir sama, yaitu : frekuensi kejang, jenis kejang, durasi kejang, kejadian postictal, durasi postictal, automatisme, pola yang diketahui, tanda-tanda, menggigit lidah dan gangguan fungsional (Cramer dan French, 2001) Kuesioner yang digunakan adalah Hague Seizure Severity Scale (HASSS) merupakan bentuk kuesioner yang dikembangkan oleh Carpay, dkk. (1996) untuk mengukur keparahan kejadian kejang yang terjadi selama 3 bulan terakhir berdasarkan persepsi orang tua. Nilai HASSS berkisar antara (Carpay dkk.,1996). 29

30 F. Keterangan Empirik Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola pengobatan dan efek terapi OAE secara monoterapi dilihat dari frekuensi dan keparahan kejang pada pengobatan pasien epilepsi pediatrik rawat jalan dengan umur 4-16 tahun di Instalasi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode Januari-Maret Evaluasi efek terapi dinilai dalam suatu kuesioner yang diberikan kepada subyek penelitian yang bersedia. Kuesioner tersebut berisi pertanyaan jumlah kejang sebulan terakhir dan pertanyaan-pertanyaan terjemahan dari Hague Seizures Severity Scale (HASSS). HASSS ditujukan untuk mengukur keparahan kejang. 30

Takrif/pengertian. 1/2/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes

Takrif/pengertian. 1/2/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes EPILEPSI Takrif/pengertian epilepsi : kejadian kejang yang terjadi berulang (kambuhan) Kejang : manifestasi klinik dari aktivitas neuron yang berlebihan di dalam korteks serebral Manifestasi klinik kejang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilepsi merupakan kekambuhan periodik yang ditandai adanya bangkitan, baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan berlebihan dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Informasi Obat Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi obat, rekomendasi obat yang independen, akurat,. 4 komprehensif, terkini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilepsi merupakan gangguan saraf kronik dengan ciri timbulnya gejalagejala yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang disebabkan lepasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologi serius dan kronik. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak dengan gejala berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa kejang. Serangan tersebut disebabkan oleh aktivasi listrik berlebihan pada neuron korteks dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit kedua terbanyak setelah stroke (Blum, 2003). Epilepsi disebabkan oleh berbagai etiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kejang berulang disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kejang berulang disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi adalah kondisi neurologis yang ditandai dengan kekambuhan kejang berulang disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Epilepsi 1. Definisi Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Definisi Epilepsi Epilepsi merupakan gangguan kronik otak yang menunjukan gejala-gejala berupa serangan yang berulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan

Lebih terperinci

Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun epilepsi tidak jarang dijumpai dalam masyarakat.

Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun epilepsi tidak jarang dijumpai dalam masyarakat. BAB 1 PENDAHULUAN Epilepsi merupakan suatu gangguan fungsional kronik yang relatif sering terjadi dimana ditandai oleh aktivitas serangan yang berulang. Serangan kejang yang merupakan gejala atau manifestasi

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM NEUROPSIKIATRI CONVULSANT & ANTICONVULSANT

PENUNTUN PRAKTIKUM NEUROPSIKIATRI CONVULSANT & ANTICONVULSANT SISTEM NEUROPSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN PENUNTUN PRAKTIKUM NEUROPSIKIATRI CONVULSANT & ANTICONVULSANT UNTUK MAHASISWA DISUSUN OLEH : dr. Jason Sriwijaya, Sp.FK FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini disebabkan oleh demam dimana terdapat kenaikan suhu

Lebih terperinci

2/19/2017 MATERI DEFINISI EPILEPSI PENATALAKSANAAN EPILEPSI. Definisi Konseptual

2/19/2017 MATERI DEFINISI EPILEPSI PENATALAKSANAAN EPILEPSI. Definisi Konseptual PENATALAKSANAAN EPILEPSI DR. Suryani Gunadharma SpS(K), M.Kes MATERI Definisi Etiologi Pemeriksaan penunjang Klasifikasi Patofisiologi Terapi DEFINISI EPILEPSI Definisi Konseptual Kelainan otak yang ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38 C) akibat suatu proses ekstrakranium tanpa adanya infeksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang berulang-ulang yang terjadi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Menurut Fadila, Nadjmir dan Rahmantini (2014), dan Deliana (2002), kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38

Lebih terperinci

DRUGS USED IN EPILEPSI

DRUGS USED IN EPILEPSI DRUGS USED IN EPILEPSI Dwi Bagas Legowo, dr Depart. Of Pharmacology & Therapy Medical School Malahayati University Benzodiazepine dan Barbiturate Farmakokinetik : A. Absorpsi : kecepatan absorbsi dari

Lebih terperinci

Matakuliah: Farmakologi dan Toksikologi II Program Studi Sarjana Farmasi (T.A. 2016/2017) ANTIEPILEPSI. Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt.

Matakuliah: Farmakologi dan Toksikologi II Program Studi Sarjana Farmasi (T.A. 2016/2017) ANTIEPILEPSI. Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt. Matakuliah: Farmakologi dan Toksikologi II Program Studi Sarjana Farmasi (T.A. 2016/2017) ANTIEPILEPSI Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt. Departemen Farmakologi Farmasi Fakultas Farmasi USU Pengantar

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. otak (Dipiro et.al, 2005). Epilepsi dapat dialami oleh setiap orang baik laki-laki

I. PENDAHULUAN. otak (Dipiro et.al, 2005). Epilepsi dapat dialami oleh setiap orang baik laki-laki I. PENDAHULUAN Epilepsi adalah terganggunya aktivitas listrik di otak yang disebabkan oleh beberapa etiologi diantaranya cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, dan tumor otak (Dipiro et.al, 2005). Epilepsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta individu di dunia (WHO, 2005a). Epilepsi di wilayah Asia Tenggara berkisar 1% dari populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kejang demam adalah kejang yang terjadi karena adanya suatu proses ekstrakranium tanpa adanya kecacatan neurologik dan biasanya dialami oleh anak- anak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi menyerang 70 juta dari penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seluruh dunia (WHO, 2001). Epilepsi adalah suatu kondisi neurologis yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seluruh dunia (WHO, 2001). Epilepsi adalah suatu kondisi neurologis yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang umum terjadi di seluruh dunia (WHO, 2001). Epilepsi adalah suatu kondisi neurologis yang ditandai oleh

Lebih terperinci

SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI. Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013.

SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI. Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013. SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013 Disusun Oleh: Afnies Basugis Pembimbing: dr. Yeti Hutahean, Sp.S Dibawakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper & BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam bidang neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada anak, dan biasanya kejang sudah dimulai sejak usia bayi dan anak-anak. Kejang pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terdapat 204 resep (50,62%) dan pasien berjenis kelamin laki-laki

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terdapat 204 resep (50,62%) dan pasien berjenis kelamin laki-laki BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Data Pasien Hasil penelitian menunjukan dari 403 resep yang masuk kriteria inklusi meliputi pasien anak berjenis kelamin perempuan terdapat 204 resep (50,62%)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara tiap penduduk tiap

BAB I PENDAHULUAN. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara tiap penduduk tiap 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan suatu manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang lebih dari 24 jam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit serebrovaskuler atau yang lebih dikenal dengan stroke merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan obat-obatan masih merupakan pilihan utama untuk terapi epilepsi pada

BAB I PENDAHULUAN. dengan obat-obatan masih merupakan pilihan utama untuk terapi epilepsi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan bangkitan kejang bersifat sementara yang disebabkan oleh aktifitas neuron yang abnormal atau berlebihan dan sinkronisasi. Penanganan dengan obat-obatan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Palsi serebral 2.1.1 Definisi palsi serebral Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik, gangguan tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran darah otak berupa tersumbatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan tidur dijumpai 25% pada populasi anak yang sehat, 1-5%

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan tidur dijumpai 25% pada populasi anak yang sehat, 1-5% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan tidur dijumpai 25% pada populasi anak yang sehat, 1-5% diantaranya adalah gangguan kesulitan bernapas saat tidur (obstructive sleep apneu syndrome: OSAS) (Owens,

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang

BAB 5 PEMBAHASAN. Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang BAB 5 PEMBAHASAN Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang demam pada anak adalah faktor tinggi demam dan faktor usia kurang dari 2 tahun. Dari karakteristik orang tua anak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lima belas juta orang di dunia setiap tahunnya terkena serangan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lima belas juta orang di dunia setiap tahunnya terkena serangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lima belas juta orang di dunia setiap tahunnya terkena serangan stroke, dimana didapatkan data 6 juta orang meninggal dunia, dan 5 juta lainnya mengalami cacat permanen.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit. Inflamasi yang terjadi pada sistem saraf pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit. Inflamasi yang terjadi pada sistem saraf pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, infeksi susunan saraf pusat menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit (Saharso dan Hidayati, 2000). Inflamasi yang terjadi pada sistem

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epilepsi 2.1.1. Definisi Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum terjadi dan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi

Lebih terperinci

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ BIPOLAR oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ Definisi Bipolar Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan ditandai

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. listrik secara berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba,

BAB II TINJAUAN TEORI. listrik secara berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba, BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi otak secara periodik yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan listrik secara berlebihan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nekrosis merupakan proses degenerasi yang menyebabkan kerusakan sel yang terjadi setelah suplai darah hilang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4 F) atau lebih yang tidak. (SFSs) merupakan serangan kejang yang bersifat tonic-clonic di

BAB 1 PENDAHULUAN. 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4 F) atau lebih yang tidak. (SFSs) merupakan serangan kejang yang bersifat tonic-clonic di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kejang demam atau febrile seizure (FS) merupakan kejang yang terjadi pada anak dengan rentang umur 6 sampai dengan 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4

Lebih terperinci

SKRIPSI FITRIA ARDHITANTRI K Oleh :

SKRIPSI FITRIA ARDHITANTRI K Oleh : IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS POTENSIAL KATEGORI DOSIS PADA PASIEN DI INSTALASI RAWAT JALAN BAGIAN ANAK RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA PERIODE JANUARI - JUNI 2007 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kejang Demam 1. Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakaranium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular adalah sistem organ pertama yang berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat mengganggu. Psikopatologinya melibatkan kognisi, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku.

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Nyeri kepala mungkin merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia,

BAB 1. PENDAHULUAN. Nyeri kepala mungkin merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia, BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri kepala mungkin merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia, Diperkirakan sekitar 90% manusia pernah mengalami minimal satu kali nyeri kepala berat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa. maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa. maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan kasus yang cukup banyak dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan dengan begitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

Epilepsi (Epilepsy, Ayan)

Epilepsi (Epilepsy, Ayan) Epilepsi (Epilepsy, Ayan) Penyakit ayan atau epilepsi (epilepsy) Penyakit epilepsi merupakan penyakit yang dapat terjadi pada siapa pun walaupun dari garis keturunan tidak ada yang pernah mengalami epilepsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi di seluruh dunia (Ghajar, 2000; Cole, 2004). Secara global cedera kepala traumatik merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. darah menuju otak, baik total maupun parsial (sebagian) (Čengić et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. darah menuju otak, baik total maupun parsial (sebagian) (Čengić et al., 2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke adalah suatu keadaan akut yang disebabkan oleh terhentinya aliran darah menuju otak, baik total maupun parsial (sebagian) (Čengić et al., 2011). Lebih ringkas,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia (Mansjoer, 2000). Serangan otak ini merupakan kegawatdaruratan medis

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan perubahan tanda klinis secara cepat baik fokal maupun global yang mengganggu fungsi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Definisi gagap yang disetujui belum ada. Menurut World Health Organization (WHO) definisi gagap adalah gangguan ritme bicara dimana seseorang tahu apa yang mau dibicarakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stroke merupakan suatu sindrom yang ditandai gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak yang berkembang dengan sangat cepat berlangsung lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI BAB I PENDAHULUAN Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi : status petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Di sini khusus dibicarakan status epileptikus dengan kejang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cedera kepala merupakan masalah kesehatan, sosial, ekonomi yang penting di seluruh dunia dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cedera kepala merupakan masalah kesehatan, sosial, ekonomi yang penting di seluruh dunia dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan masalah kesehatan, sosial, ekonomi yang penting di seluruh dunia dan merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas permanen pada usia dewasa

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menurut WHO MONICA project, stroke didefinisikan sebagai gangguan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menurut WHO MONICA project, stroke didefinisikan sebagai gangguan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut WHO MONICA project, stroke didefinisikan sebagai gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda klinis fokal atau global yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital yang sangat bervariasi, tidak saling terkait, dengan karakteristik klinis, patologis dan genetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan kemakmuran di negara berkembang banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara berkembang, hipertensi telah menggeser penyakit menular sebagai penyebab terbesar mortalitas dan morbiditas. Hal ini dibuktikan hasil Riset Kesehatan Dasar

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Kedaruratan Psikiatri Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan. Kelainan penyerta yang timbul pada bayi baru lahir akan menghambat

BAB I PENDAHULUAN. kandungan. Kelainan penyerta yang timbul pada bayi baru lahir akan menghambat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Proses pembentukan manusia yang berkualitas dimulai sejak masih di dalam kandungan. Kelainan penyerta yang timbul pada bayi baru lahir akan menghambat proses

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kejang Demam 2.1.1. Definisi Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4 o C tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sama, tergantung nilai ambang kejang masing-masing. Oleh karena itu, setiap

BAB I PENDAHULUAN. sama, tergantung nilai ambang kejang masing-masing. Oleh karena itu, setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejang demam merupakankelainan neurologis yang paling sering terjadi pada anak, 1 dari 25 anak akan mengalami satu kali kejang demam. Hal ini dikarenakan, anak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya dan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi motorik dan sensorik yang berdampak pada timbulnya

Lebih terperinci

GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI. Pendahuluan

GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI. Pendahuluan GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI Pendahuluan Epilepsy dapat menyebabkan gangguan kesadaran yang transient mulai dari gannguan kesiagaan ringan sampai hilangnya kesadaran. hal ini disebabkan terdapatnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Stroke atau cedera serebrovaskular adalah berhentinya suplai darah ke

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Stroke atau cedera serebrovaskular adalah berhentinya suplai darah ke BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Stroke atau cedera serebrovaskular adalah berhentinya suplai darah ke bagian otak sehingga mengakibatkan hilangnya fungsi otak (Smeltzer & Suzane, 2001). Hal ini dapat

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS POTENSIAL KATEGORI DOSIS PADA PASIEN DI INSTALASI RAWAT JALAN POLI ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO PERIODE JANUARI JUNI 2007 SKRIPSI Oleh : TRI HANDAYANI

Lebih terperinci

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika Serikat. Pada 2002, stroke membunuh sekitar orang. Jumlah tersebut setara

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika Serikat. Pada 2002, stroke membunuh sekitar orang. Jumlah tersebut setara BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sehat secara jasmani dan rohani adalah keinginan setiap manusia moderen, di era pembangunan di segala bidang yang kini sedang digalakkan pemerintah dituntut sosok manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah suatu disfungsi neurologis akut (dalam beberapa detik) atau setidak-tidaknya secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala - gejala dan tanda

Lebih terperinci

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM PADA ANAK B. ETIOLOGI Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas C. PATOFISIOLOGI Peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat ini masyarakat dihadapkan pada berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Lupus, yang merupakan salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh masyarakat,

Lebih terperinci

Vitamin D and diabetes

Vitamin D and diabetes Vitamin D and diabetes a b s t r a t c Atas dasar bukti dari studi hewan dan manusia, vitamin D telah muncul sebagai risiko potensial pengubah untuk tipe 1 dan tipe 2 diabetes (diabetes tipe 1 dan tipe

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam

BAB 1 PENDAHULUAN. serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam adalah bangkitan kejang terkait dengan demam dan umur serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam apabila suhu tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh, kemampuan, dan kepribadiannya. Lebih lanjut, seorang anak adalah

BAB I PENDAHULUAN. tubuh, kemampuan, dan kepribadiannya. Lebih lanjut, seorang anak adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semua orang yang peduli terhadap keselamatan anak sejak konsepsi sampai masa dewasa, mempunyai tujuan utama bagaimana mempertahankan perkembangan otak yang normal. Bahaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih dan dapat mengakibatkan kematian atau

Lebih terperinci

Sehat merupakan kondisi yang ideal secara fisik, psikis & sosial, tidak terbatas pada keadaan bebas dari penyakit dan cacad (definisi WHO)

Sehat merupakan kondisi yang ideal secara fisik, psikis & sosial, tidak terbatas pada keadaan bebas dari penyakit dan cacad (definisi WHO) 1 Sehat merupakan kondisi yang ideal secara fisik, psikis & sosial, tidak terbatas pada keadaan bebas dari penyakit dan cacad (definisi WHO) Sakit : pola respon yang diberikan oleh organisme hidup thd

Lebih terperinci

Kejang Pada Neonatus

Kejang Pada Neonatus Kejang Pada Neonatus Guslihan Dasa Tjipta Emil Azlin Pertin Sianturi Bugis Mardina Lubis 1 DIVISI PERINATOLOGI Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan 2 Definisi : Kejang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan penyakit biasanya akut tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. fisik, mental, sosial dan ekonomi bagi penderitanya (Satyanegara et al, 2009)

BAB I PENDAHULUAN UKDW. fisik, mental, sosial dan ekonomi bagi penderitanya (Satyanegara et al, 2009) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang cukup besar di dunia. Stroke adalah gangguan fungsi otak fokal maupun secara menyeluruh yang terjadi

Lebih terperinci

Curiculum vitae. Dokter umum 1991-FKUI Spesialis anak 2002 FKUI Spesialis konsultan 2008 Kolegium IDAI Doktor 2013 FKUI

Curiculum vitae. Dokter umum 1991-FKUI Spesialis anak 2002 FKUI Spesialis konsultan 2008 Kolegium IDAI Doktor 2013 FKUI Curiculum vitae Nama : DR.Dr. Setyo Handryastuti, SpA(K) Tempat/tanggal lahir : Jakarta 27 Januari 1968 Pekerjaan : Staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Pendidikan : Dokter umum 1991-FKUI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, depresi masih sering terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena seringkali pasien depresi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam adalah kenaikan

Lebih terperinci

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA)

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA) Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA) Penyakit flu umumnya dapat sembuh dengan sendirinya jika kita cukup istirahat, makan teratur, dan banyak mengkonsumsi sayur serta buah-buahan. Namun demikian,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas C) 38 tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian nomor 2 di dunia. pada populasi dewasa dan penyebab utama kecacatan (Ikram

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian nomor 2 di dunia. pada populasi dewasa dan penyebab utama kecacatan (Ikram BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian nomor 2 di dunia pada populasi dewasa dan penyebab utama kecacatan (Ikram et al., 2012). World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci